Kata Kunci : Penerapan, Sanksi, Awig-Awig, Masyarakat Hindu.
|
|
- Benny Hartono
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 ISSN: PENERAPAN SANKSI DALAM AWIG-AWIG MASYARAKAT HINDU DI DESA MANTAREN II KECAMATAN KAHAYAN HILIR KABUPATEN PULANG PISAU Oleh: Ni Made Ratini* dan Ni Luh Sudiasih* Abstrak Awig-awig, bentuk hukum hidup, dilestarikan dan ditaati setiap masyarakat Bali-Hindu di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau. Awig-awig mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa serta anggota masyarakat. Sanksi yang ditimpakan kepada anggota yang melanggar awig-awig berupa sejumlah uang atau bentuk lainnya. Penelitian ini menelusuri penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantarena dengan fokus permasalahan yaitu: (1) Dasar penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantaren). (2) fungsi penerapan sanksi dalam awig-awig. (3) Dampak penerapan sanksi dalam awig-awig masyarakat Hindu di Desa Mantaren. Penelitian ini penelitian sosial lapangan, dengan pendekatan penelitian deskriptif. Tekhnik pengumpulan data tekhnik observasi, wawancara, studi kepustakaan dan dokumentasi. Sedangkan analisis data penelitian ini dipergunakan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian: 1). Dasar hukum diterapkannya sanksi dalam awigawig bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau mengacu pada UUD 1945 Republik Indonesia Pasal 18B Ayat 2 serta kesepakatan bersama seluruh warga masyarakat Hindu. 2). Fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketenteraman masyarakat, mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera. 3). Dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, berdampak positif dan apabila sanksi dalam awig-awig tersebut tidak diterapkan akan berdampak negatif. Kata Kunci : Penerapan, Sanksi, Awig-Awig, Masyarakat Hindu. *Dosen Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya *Mahasiswa Jurusan Hukum Agama Hindu STAHN-TP Palangka Raya. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
2 A. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Secara resmi, hukum adat diakui keberadaanya namun dibatasi dalam peranannya. Hukum adat merupakan seperangkat norma dan aturan adat/kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah yang sebagian besar bentuk aturan itu tidak tertulis dan tersebar di berbagai masyarakat Indonesia, sebenarnya merupakan suatu kekhasan dan kekayaan dari kemajemukan bangsa Indonesia yang seharusnya kita jaga. Upaya untuk melestarikan budaya dan tradisi dengan sendirinya tidak akan terlepas dari upaya mempertahankan norma dan aturan adat atau kebiasaan tersebut. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kehidupan ini tidak pernah terlepas dari perubahan. Setiap kehidupan akan membawa perubahan karena perubahan adalah bagian dari pada kehidupan. Terkait dengan norma tersebut diatas, dalam pelaksanaannya tentu tidak terlepas dari manusia sebagai pelaku dari norma itu sendiri. Sebagai mana di katakan bahwa manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial, sebagai individu ia mempunyai kemauan dan kehendak yang mendorong ia berbuat dan bertindak. Dari apa yang diperbuatnya dan dari sikap hidupnya orang dapat mengetahui pribadi seseorang. Hidup sebagai makhluk pribadi sematamata tidak mungkin tanpa juga sebagai makhluk sosial. Manusia hanya dapat hidup dengan sebaik-baiknya dan akan mempunyai arti, apabila ia hidup bersama-sama dengan manusia lainnya di dalam masyarakat. Tidak dapat dibayangkan adanya manusia yang hidup menyendiri tanpa berhubungan dan bergaul dengan sesama manusia lainnya. Hanya dalam hidup bersama manusia dapat berkembang dengan wajar dan sempurna. Hal ini ternyata bahwa sejak lahir sampai meninggal manusia memerlukan bantuan orang lain untuk kesempurnaan hidupnya. Bantuan ini tidak hanya bantuan untuk memenuhi kebutuhan jasmani tetapi juga untuk kebutuhan rohani. Untuk mencapai ketentraman dalam hidup ini, perlu adanya aturan-aturan atau norma didalam bertingkah laku. Tak seorangpun boleh berbuat sekehendak hatinya ia harus menyesuaikan dirinya dengan lingkungan dan tunduk kepada aturan yang berlaku. Seperti halnya Masyarakat Bali sejak zaman dahulu telah mengenal sistem Kahyangan pakraman Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya diimplementasikan dalam wadah desa adat/ desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang. Kegiatan ngayah (gotong-royong/ kerja bakti) sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Kahyangan Tiga dijalankan Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
3 oleh desa pakraman dan biasanya diatur dalam awig-awig (peraturan) desa pakraman menurut Desa (tempat), Kala (waktu) dan patra (kondisi) di masing-masing desa pakraman/ desa adat setempat yang seringkali disertai sanksi bagi setiap pelanggarnya. Tak hanya di Bali, Hukum adat juga merupakan sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia maupun di Negaranegara lainnya, seperti halnya di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Kalimantan Tengah. Dimana di desa tersebut juga telah turun temurun memiliki/mewarisi suatu tata yang disebut awig-awig yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat desa serta berbagai sanksi yang akan ditimpa apabila ada anggota masyarakat melanggar aturan yang termuat di dalam awig-awig. Sanksi yang ditimpakan kepada anggota yang melanggar awig-awig desa itu bisa berupa sejumlah uang atau bentuk lainnya. Sistem masyarakat yang majemuk sangat berperan dalam kemajuan di desa tersebut. Dalam hal pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan hal religius masyarakat di desa tersebut sangat antusias. Masyarakat Hindu khususnya masyarakat Hindu Bali yang berada di desa tersebut sangat menjunjung tinggi ajaran agama dari leluhur mereka yang telah dilaksanakan secara turun temurun. Berdasarkan fenomena aturan sanksi dalam awig-awig yang diterapkan bagi masyarakat Hindu di desa tersebut, maka penulis tertarik dalam penelitian ini untuk mengangkat dan menjelaskan bagaimana sesungguhnya Penerapan Sanksi Dalam Awig-awig Bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau. B. Pembahasan (1) Dasar Hukum Penerapan Sanksi dalam awig-awig Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kabupaten Pulang Pisau Seperti diketahui, awig-awig itu tumbuh dari bawah yaitu dari ketulusan masyarakat adat untuk kepentingan ketentraman dan keharmonisan masyarakat adat itu sendiri. Sedang di zaman kini peraturan yang ditimpakan kepada masyarakat untuk mengatur kehidupan dalam rangka bernegara, segala aturan itu selalu diukur dari apa dasar berlakunya. Awig-awig yang tumbuh dan mengikuti perkembangan masyarakat mempunyai kekuatan berlaku karena ia lekat dan diperlakukan karena dirasa mutlak untuk tentram. Sedangkan dari sudut kekuatan berlakunya yang justru sering diberikan oleh penguasa sebagai landasan hukum yang tegas dapat disebutkan sejumlah pasal-pasal perundang-undangan yang saling berkaitan. Berdasarkan teori Efektivitas Hukum, adapun yang menjadi landasan daripada hukum adat ini sendiri adalah melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut: Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
4 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Sebagai masyarakat hukum adat, maka berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 keberadaan desa adat beserta hak-hak tradisionalnya diakui dan dihormati oleh Negara. Salah satu hak tradisional desa adat adalah membuat awig-awig, disamping menyelenggarakan pemerintahan sendiri, serta menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang terjadi diwilayahnya, baik yang berupa sengketa ataupun pelanggaran adat. Semua itu merupakan bagian dari pelaksanaan otonomi desa adat. Dengan demikian, landasan konstitusional kewenangan desa adat untuk membuat awig-awig dalam konstitusi terletak pada Pasal 18B ayat (2) UUD Menurut Ketut Sumarta (wawancara 21 mei 2013), diterapkannya peraturan di desa Mantaren II ialah sejak umat beragama Hindu yang berasal dari transmigrasi asal Bali pada tahun 1971 dan diperkirakan pada tahun 1972 masyarakat setempat mulai mengadakan musyawarah untuk membuat suatu aturan di desa tersebut. Aturan itu hanya berlaku bagi masyarakat Hindu yang ada di Desa Mantaren II dan belum memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga aturan itu hanya bersifat biasa tanpa adanya suatu sanksi atau hukuman bagi yang melanggar. Menurut Wayan Alit, (wawancara 22 Mei 2013) berdasarkan UUD 1945 Pasal 18B ayat 2, masyarakat desa Mantaren II kemudian melakukan musyawarah yang dipimpin oleh Kelihan Desa pertama desa Mantaren II yaitu alm. Pan Srie. Dari hasil musyawarah tersebut, menghasilkan beberapa pokok aturan-aturan yang diberlakukan di desa tersebut. Aturan itu berupa awig-awig yang tidak tertulis (tidak dibuat dalam pembukuan) yang telah disepakati bersama oleh semua masyarakat Hindu yang ada di desa Mantaren II. Jadi, acuan atau dasar hukum masyarakat Hindu di desa Mantaren II membuat awig-awig adalah berdasarkan UUD 1945 Republik Indonesia Pasal 18B Ayat 2 dan juga kesepakatan seluruh warga masyarakat Hindu yang ada di desa tersebut. (2) Fungsi Penerapan Sanksi Dalam Awig-awig Bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau Fungsi merupakan kegunaan, pekerjaan atau jabatan, tindakan atau kegiatan perilaku dan kategori bagi aktivitas-aktivitas. (Komaruddin, 1994:168). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 2001:322) mendefinisikan bahwa fungsi adalah jabatan (pekerjaan) yang dilakukan dan kegunaan suatu hal. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
5 Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi memiliki arti pekerjaan dan pola perilaku yang diharapkan dari seseorang dalam manajemen dan ditentukan berdasarkan status yang ada padanya. Berdasarkan teori fungsional struktural pelaksanaan dari penerapan sanksi dalam awig-awig dapat dipandang sebagai organisme yang memiliki struktur dan fungsi masing-masing pada penerapan sanksi dalam awig-awig tersebut. Awig-awig adalah peraturan-peraturan hidup bersama bagi masyarakat desa di desa adatnya, untuk mewujudkan kehidupan yang aman, tentram, tertib, dan sejahtera di desa adat. Awig-awig itu memuat aturan-aturan dasar yang menyangkut wilayah adat, krama desa adat, keagamaan serta sanksi. Awig-awig merupakan hukum adat yang mempunyai fungsi untuk menjaga kebersamaan, kedisiplinan, kekompakkan dari semua masyarakat desa sehingga kegiatan sekecil apapun dilakukan secara bersama-sama. Menurut Wayan Merto (wawancara, 18 Mei 2013), fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig di desa Mantaren II adalah untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat, untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan seperjuangan sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan masyarakat desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa tersebut. Mangku Santi (wawancara 19 Mei 2013) menambahkan bahwa fungsi awig-awig didalam kehidupan masyarakat mempunyai nilai yang sangat menentukan didalam menata kehidupan masyarakat, oleh karena itu adat istiadat bersifat dinamis disamping merupakan pengikat yang seolah-olah memaksa para masyarakat desa untuk bertindak sesuatu demi kehidupan kolektifnya dapat terus berlangsung. Dalam penerapannya awig-awig merupakan aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat yang diikuti dengan adanya sanksi-sanski hukum yang dapat menjamin kewibawaan demi tegaknya nilai-nilai dari peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menuntun suatu hubungan yang harmonis dalam kehidupan di masyarakat. a. Tempat Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam awig-awig Sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan tempat pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig dilaksankan di Pura. Menurut Wayan Merto (wawancara, 18 Mei 2013), tempat pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig itu menyesuaikan dengan konsep yang Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
6 dimiliki oleh agama Hindu yaitu konsep desa, kala dan patra, artinya menyesuaikan dengan keadaan tempat waktu, situasi dan kondisi. b. Waktu Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam Awig-awig Waktu pelaksanaan Penerapan sanksi dalam awig-awig, Mangku Santi (wawancara, 17 Mei 2013), mengatakan Desa mawa cara, Negara mawa tata. Artinya setiap tempat, masyarakat dan kaum memiliki cara-cara tersendiri dalam segala hal. Termasuk dalam waktu pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig yaitu pada saat adanya kegiatan di Pura seperti rapat, gotong Royong, Ngayah maupun kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan oleh Kelihan Desa bersama seluruh anggota masyarakat yang beragama Hindu. c. Pemimpin Pelaksanaan Penerapan Sanksi dalam Awig-awig Menurut I Wayan Suparta (wawancara 22 Mei 2013) yang menjadi pemimpin pelaksanaan penerapan sanksi dalam awig-awig bagi umat Hindu di desa Mantaren II Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah seorang Kelihan Desa. Dimana kelihan Desa yang bertugas mengatur tentang jalannya dari awig-awig yang ada dan Kelihan Desa merupakan pedoman yang sangat dominan di dalam menjalankan pemerintahan di desa tersebut. Selain memiliki tugas mengatur tentang awig-awig dan pedoman dalam menjalankan pemerintahan desa, kelihan desa juga memiliki beberapa tugas penting lainnya, antara lain : 1. Memimpin rapat desa di Pura. 2. Mengawasi pelaksanaan awig-awig yang ada di desa. 3. Bertanggungjawab terhadap properti atau sarana dan prasarana yang ada di desa dan menentukan tata cara pengunaan peralatan tersebut apabila diperlukan oleh masyarakat desa. 4. Membimbing masyarakat Hindu apabila diperlukan, menyaksikan dan mengesahkan setiap upacara yang dilakukan oleh warga desa terutama dalam hal pernikahan. 5. Menjadi juru bicara apabila ada pertemuan di tingkat yang lebih tinggi, semisal pertemuan di tingkat kabupaten. 6. Membacakan dan mengumumkan segala keputusan yang diputuskan melalui rapat. Jika kelihan desa berhalangan hadir maka yang menjadi pemimpin dalam suatu kegiatan yang dilakukan adalah Sekretaris Kelihan Desa atau yang dipercayai. (3) Dampak Penerapan Sanksi dalam awig-awig Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kabupaten Pulang Pisau a. Jenis Sanksi dalam Awig-awig di Desa Mantaren II Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
7 Adapun jenis dari sanksi dalam awig-awig yang berlaku di desa Mantaren II antara lain sebagai berikut: 1. Denda dengan tenaga, denda/sanksi yang dimaksud yaitu; melakukan kegiatan gotong royong. 2. Denda artha, denda/sanksi yang dimaksud yaitu: berupa pembayaran sejumlah uang atau harta benda. 3. Denda penghasilan, denda/sanksi yang dimaksud yaitu berupa pembayaran sejumlah barang dan uang. 4. Denda kesepekang (dikucilkan), denda/sanksi yang dimaksud yaitu: tidak diajak ngomong/mekrama desa bagi krama yang melanggar ketentuan awigawig. 5. Hukuman dalam bentuk upacara agama seperti, melakukan upakara pakeling di Pura Kahyangan Tiga untuk menyucikan dan menyeimbangkan unsur skala dan niskala (dunia akhirat). Berdasarkan hasil wawancara, menurut Wayan Merto (wawancara 18 Mei 2013) mengatakan bahwa jenis sanksi yang terdapat dalam awig-awig di desa Mantaren II adalah sebagai tersebut diatas. Tetapi, sanksi yang sering diberlakukan kepada masyarakat di desa Mantaren II yang melanggar berupa sanksi ringan yaitu Denda Artha dan Denda Penghasilan. Dimana, masyarakat di desa Mantaren II hanya melakukan pelanggaran awig-awig yang sifatnya ringan, seperti tidak mengikuti kegiatan gotong royong dalam pemeliharaan lingkungan Pura yang dilaksanakan 1 (satu) bulan sekali seperti kegiatan gotong royong sehari sebelum pelaksanaan persembahyangan Purnama atau Tilem. Bagi masyarakat yang tidak mengikutinya, maka akan dikanakan denda sebesar Rp ,- sebagai pemasukan uang kas. Jika ada kegiatan gotong royong yang bersifat membangun atau membuat prasarana di dalam lingkungan Pura seperti, membangun prasarana Pura, membangun tempat persembahyangan, memperbaiki bangunan Pura yang rusak, membuat Balai Piasan atau kegiatan-kegiatan lainnnya yang tidak hanya rutin dilakukan dalam waktu 1 (satu) bulan, maka bagi masyarakat Hindu yang tidak mengikuti pelaksanaan gotong royong tersebut dikenakan sanksi yang lebih besar yaitu membayar uang sebesar Rp ,- per hari. Hasil pembayaran uang denda tersebut menjadi pemasukan uang kas Pura. Wayan Suparta menambahkan (wawancara, 18 mei 2013), selain kegiatan gotong royong rutin yang diadakan setiap 1 (satu) bulan 1 (satu) kali, ada juga kegiatan ngayah yang dilaksanakan pada saat piodalan atau hari raya keagamaan yang kegiatannya dilaksanakan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun. Dimana pelaksanaan upakara tersebut bersifat upakara kecil dan upakara besar. Dalam pelaksanaan upakara kecil biasanya banten dibuat secara bergiliran oleh warga masyarakat di desa tersebut dan apabila ada warga yang Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
8 mendapat giliran tetapi tidak membuat banten yang telah ditentukan, maka warga tersebut dikenakan sanksi sebesar Rp ,-. Sedangkan dalam pelaksanaan upakara besar, biasanya banten dibuat oleh warga desa di Pura secara bersama-sama. Setiap kepala keluarga wajib menyerahkan atau melakukan urunan berupa beras, ketan, kelapa, ayam, telor itik, minyak goreng, janur, dan kayu bakar untuk meringankan pengeluaran dari uang kas Pura. Jika ada warga yang tidak mampu urunan berupa sarana upakara, maka dapat membayar berupa uang sesuai dengan nilai bahan yang telah diwajibkan. Serta jika dalam Ngayah Piodalan Besar 1 (satu) hari tidak dapat mengikuti Ngayah maka dikenakan sanksi berupa membayar uang sebesar Rp ,- per hari. Berdasarkan uraian diatas, bentuk dari pelanggaran awig-awig yang dilakukan oleh masyarakat serta jenis sanksi yang diberikan bagi masyarakat yang melanggar. Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1 Bentuk Pelanggaran awig-awig dan Jenis Sanksi yang diberikan No Bentuk Pelanggaran awig-awig Jenis Sanksi 1. Masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan gotong royong yang dilaksanakan satu bulan sekali (gotong royong rutin sehari sebelum kegiatan persembahyangan di Pura). 2. Masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan gotong royong yang dilaksanakan satu bulan sekali (gotong royong yang bersifat membangun prasarana Pura). 3. Masyarakat yang sudah mendapat giliran membuat banten dalam Upacara kecil tetapi tidak membuatnya. 4. Masyarakat yang tidak menyerahkan atau melakukan urunan yang telah ditentukan pada saat Upacara besar. 5. Masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan Ngayah dalam Piodalan di Pura. Membayar uang Rp ,- Membayar uang Rp ,- Membayar uang Rp ,- Membayar sesuai dengan nilai bahan yang telah diwajibkan Membayar uang Rp ,- Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
9 Semua hasil pembayaran sanksi tersebut dikelola oleh Kelihan Desa sebagai pemasukan uang kas Pura. Selanjutnya, Mangku Santi (wawancara, 20 mei 2013) menyatakan bahwa sampai saat ini masyarakat di desa Mantaren II tidak pernah melakukan pelanggaran awig-awig yang bersifat berat, hanya sanksi yang bersifat pembayaran uang denda saja yang sering diberlakukan sehingga sanksi dalam bentuk lainnya tidak pernah diterapkan bagi masyarakat desa yang melanggar awig-awig tersebut. b. Hambatan dalam Penerapan Sanksi Awig-awig bagi Masyarakat Menurut Wayan Alit (wawancara, 19 Mei 2013), selama ini yang menjadi hambatan penerapan sanksi dalam awig-awig di desa Mantaren II yaitu belum adanya suatu pemahaman dan pengertian oleh masyarakat desa itu sendiri mengenai awig-awig yang diterapkan dalam masyarakat, karena belum adanya sosialisasi secara terus-menerus kepada masyarakat desa oleh para perangkat desa dalam hal ini dilakukan oleh Kelihan Desa (Ketua Adat) dan juga para perangkat desa lainya. Disamping itu pula Ketut Sumarta (wawancara 22 Mei 2013) mengatakan bahwa hambatan-hambatan dalam penerapan sanksi awig-awig ialah dimana Kelihan Desa umumnya tidak mengetahui bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk bertindak sebagai Hakim Perdamaian Desa, sehingga adanya keragu-raguan dalam penerapan sanksi atau menyelesaikan sengketa-sengketa adat terjadi di desanya, hal ini jelas sangat menghambat dan mempengaruhi dalam bertindak atau menerapkan sanksi-sanksi yang tercantum dalam awig-awig di desa Mantaren II. c. Dampak Penerapan Sanksi dalam Awig-awig bagi Masyarakat Pengertian dampak dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun (2001: 125) adalah benturan, mempunyai pengaruh kuat yang mendatangkan akibat (baik negatif maupun positif), benturan yg cukup hebat antara dua benda sehingga menyebabkan perubahan. Menurut Mangku Santi (wawancara 21 Mei 2013), mengatakan dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig yaitu berupa dampak yang sangat positif. Dimana penerapan sanksi dalam awig-awig berupaya untuk: 1. Selalu mengadakan pendekatan terhadap masyarakat desa mengenai pentingnya memelihara rasa persatuan dan kesatuan ditingkat desa guna terciptanya keadaan yang aman, tentram tertib di lingkungan desa. 2. Lebih mementingkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan demi ajegnya desa mantaren II khususnya dan Indonesia pada umumnya. 3. Menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif yang hidup di masyarakat. 4. Desa diharapkan mampu menumbuhkan serta mengaktifkan kegiatan yang ada di lingkungan desa. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
10 5. Lembaga Desa selalu netral dalam bidang kasta atau warna yang ada di masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan upacara. 6. Mengadakan suatu sistem komunikasi yang terbuka dengan seluruh masyarakat agar mampu mengikuti dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Desa mantaren II. 7. Desa sebagai organisasi musyawarah untuk mufakat, selalu menyediakan diri untuk mengadakan dialog atau musyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat dan pemuka agama yang berada di wilayah Desa Mantaren II untuk bersama-sama mengadakan suatu tukar pikiran. 8. Memupuk rasa kekeluargaan dan solidaritas dalam kebersamaan terhadap masyarakat desa melalui pesangkepan atau mengaktifkan sekaha teruna (organisasi kepemudaan) dengan tujuan untuk melestarikan kesenian dan kebudayaan juga bertujuan untuk membina rasa kekeluargaan dan rasa persatuan untuk menciptakan tatanan hubungan harmonis setiap masyarakat desa di dalam wilayah Desa Mantaren II. Jika penerapan sanksi dalam awig-awig tidak diterapkan maka akan menimbulkan dampak yang sangat negatif terutama bagi masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau, dampak tersebut antara lain akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam bermasyarakat dan menimbulkan perselisihan antar warga masyarakat, contohnya dalam kegiatan gotong royong, ngayah atau kegiatan yang bersifat keagamaan hanya ada beberapa warga masyarakat yang hadir meskipun kegiatan sudah diberitahukan atau diumumkan oleh kelihan desa (pengurus), sehingga kegiatan tersebut tidak berjalan dengan maksimal. C. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Penerapan Sanksi Dalam Awigawig bagi Masyarakat Hindu di Desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1) Dasar hukum dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat Hindu di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah berdasarkan UUD 1945 Negara Republik Indonesia Pasal 18B ayat 2 dan juga kesepakatan seluruh warga masyarakat Hindu yang ada di desa tersebut. 2) Fungsi dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah untuk mengatur dan mengendalikan prilaku warga masyarakat dalam pergaulan hidupnya guna mencapai ketertiban dan ketentraman masyarakat, untuk mengintegrasikan warga masyarakat dalam suatu persatuan dan kesatuan yang hidup bersama sepenanggungan dan Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
11 seperjuangan sedangkan arti penting awig-awig adalah merupakan pengikat persatuan dan kesatuan masyarakat desa guna menjamin kekompakan dan keutuhan dalam manyatukan tujuan bersama mewujudkan kehidupan yang aman, tertib, dan sejahtera di wilayah desa tersebut. 3) Dampak dari diterapkannya sanksi dalam awig-awig bagi masyarakat di desa Mantaren II Kecamatan Kahayan Hilir Kabupaten Pulang Pisau adalah terdapat dampak dalam hal yang positif. Dimana penerapan sanksi dalam awig-awig berupaya untuk: a. Selalu mengadakan pendekatan terhadap masyarakat desa mengenai pentingnya memelihara rasa persatuan dan kesatuan ditingkat desa guna terciptanya keadaan yang aman, tentram tertib di lingkungan desa. b. Lebih mementingkan dan meningkatkan persatuan dan kesatuan. c. Menghilangkan kebiasaan-kebiasaan negatif yang hidup di masyarakat. d. Desa diharapkan mampu menumbuhkan serta mengaktifkan kegiatan yang ada di lingkungan desa. e. Lembaga Desa selalu netral dalam bidang kasta atau warna yang ada di masyarakat khususnya yang ada kaitannya dengan upacara. f. Mengadakan suatu sistem komunikasi yang terbuka dengan seluruh masyarakat agar mampu mengikuti dan menghormati kebiasaan dan adat istiadat yang berlaku di Desa mantaren II. g. Desa sebagai organisasi musyawarah untuk mufakat, selalu menyediakan diri untuk mengadakan dialog atau musyawarah dengan tokoh-tokoh. h. Memupuk rasa kekeluargaan dan solidaritas dalam kebersamaan terhadap masyarakat desa. Daftar Pustaka Ali Achmad, Perubahan Masyarakat, Perubahan Hukum dan Penemuan Hukum oleh Hakim. Ujung Pandang : Lembaga Penerbitas Unhas. Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Rineka Cipta. Artana, Dewa Ketut, dkk. 1999, Agama Hindu. Jakarta Selatan : Ganeca Exact. Astika, Ketut Sudhana, Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali. Denpasar : Dapertemen pendidikan dan kebudayaan. Bungin, Burhan Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Variasi Kontemporer. Jakarta : PT. Remaja Grafindo persada. Doyle Teori Sosiolagi Klasik dan Modern. Jakarta : Gramedia. Ihromi. T.O Antropologi dan Hukum. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. Iqbal, Hasan, M. 2002, Metodologi penelitian. Jakarta : Ghalia Indo Press. Komaruddin Ensiklopedia Manajemen. Jakarta : Gramedia. Moleong, Lexi J Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2000, Metodologi Penelitian. Jakarta : Bumi Aksara. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
12 Nasikun. 2003, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Riduwan, Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung : Alfabeta. Roesmidi, Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Bumi Aksara. Sagala, H. Syaipul, Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sarwono, Jonathan. 2006, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu. Sedarmayanti, Metodologi Penelitian. Bandung : Bandar Maju. Subagyo, Joko. 1997, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta : Rineka Cipta. Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta. Suwarno, 1999, Pengantar Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Triguna, Ida Bagus Gde Yudha, Mengapa Bali Unik. Jakarta : Pusaka Jurnal Keluarga. Tim penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. UUD 1945 Republik Indonesia Hindu. Belom Bahadat: Volume III No. 1 April
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 97 Peraturan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN DAN MEKANISME PENYUSUNAN PERATURAN DESA, SUMBER PENDAPATAN DESA, KERJA SAMA DESA, LEMBAGA ADAT, LEMBAGA KEMASAYARATAN DAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI
LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 5 2015 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebudayaan Indonesia yang beraneka ragam terdiri dari puncak-puncak kebudayaan daerah dan setiap kebudayaan daerah mempunyai ciri-ciri khas masing-masing. Walaupun
Lebih terperinciSeetan : Sistem Pengendalian Sosial Masyarakat Desa Pakraman Susut Kelod, Bangli
Seetan : Sistem Pengendalian Sosial Masyarakat Desa Pakraman Susut Kelod, Bangli Made Andika Hadiputra Evaganna 1*, Putu Sukardja 2, Ketut Darmana 3 [123] Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Unud 1
Lebih terperinciBUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016
P BUPATI ENREKANG PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ENREKANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DI KABUPATEN ENREKANG DENGAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA
PEMERINTAH KABUPATEN BARITO UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 7 TAHUN 2007 TENTANG K E L U R A H A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BARITO UTARA, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciBAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,
BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT
PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 24 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM WILAYAH
Lebih terperinciBUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG
SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 12 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG
Lebih terperinciBUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT
BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 18 TAHUN 2017 TENTANG PEMBERDAYAAN DAN PEMBINAAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang
Lebih terperinciPengertian Damang diatur dalam Pasal 1 angka (24) Peraturan. Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2008 adalah:
96 Pengertian Damang diatur dalam Pasal 1 angka (24) Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 1 Tahun 2008 adalah: Pimpinan adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO
PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN JEMBER
PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBER NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBER, Menimbang : a. bahwa dalam rangka
Lebih terperinci2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut
Lebih terperinciWALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : Mengingat : a. bahwa untuk meningkatkan
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASIR NOMOR 3 TAHUN 2000 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASIR Mengingat
Lebih terperinciBERITA DAERAH KOTA SUKABUMI
BERITA DAERAH KOTA SUKABUMI TAHUN 2009 NOMOR 27 PERATURAN WALIKOTA SUKABUMI Tanggal : 29 Desember 2009 Nomor : 27 Tahun 2009 Tentang : PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBENTUKAN DAN BUKU ADMINISTRASI RUKUN WARGA
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA
LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SAMARINDA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan pasal
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 18 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN,PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang WALIKOTA BANJAR, : a. bahwa dalam rangka pemberdayaan dan peningkatan kualitas
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat
Lebih terperinci- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- 1 - PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,
RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG SUBAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa Lembaga Subak sebagai bagian dari budaya Bali merupakan organisasi
Lebih terperinciIMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG
IMPLEMENTASI AJARAN TRI HITA KARANA PADA SEKAA TARUNA PAGAR WAHANA DI DESA ADAT PELAGA KECAMATAN PETANG, KABUPATEN BADUNG Ni Made Sri Windati Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar sriwindati95@gmail.com
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 20 TAHUN 1994 TENTANG PENGUSAHAAN DAN RETRIBUSI OBYEK WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEPALA DAERAH TINGKAT II BADUNG Menimbang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU
PEMERINTAH KABUPATEN KAPUAS HULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAPUAS HULU NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KAPUAS HULU, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciTAHUN 2002 NOMOR 03 SERI D BUPATI BARITO UTARA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA TAHUN 2002 NOMOR 03 SERI D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 01 TAHUN 2002 T E N T A N G PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN ADAT DAYAK Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang luas, besar, dan memiliki keanekaragaman akan tradisi dan budayanya. Budaya memiliki kaitan yang erat dengan kehidupan manusia, di mana
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 73 TAHUN 2005 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 17 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PENGEMBANGAN DAN PERLINDUNGAN ADAT ISTIADAT SERTA LEMBAGA ADAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH TINGKAT I BALI NOMOR 3 TAHUN 1991 T E N T A N G PARIWISATA BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KEPALA DAERAH TINGKAT I BALI, Menimbang : a. bahwa kepariwisataan
Lebih terperinciBUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA
BUPATI BANYUMAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUMAS NOMOR 13 TAHUN 2000 TENTANG PEMBENTUKAN LEMBAGA ADAT DAN/ATAU KEMASYARAKATAN DI DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUMAS, Menimbang : a.
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG N0M0R 13 TAHUN 2005 SERI D ==================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN BADAN
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan
Lebih terperinciBUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007
BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KUANTAN SINGINGI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA
PERATURAN DAERAH KUANTAN SINGINGI NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUANTAN SINGINGI, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERATURAN DESA SUKARAJA NOMOR : TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN RT DAN RW DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DESA SUKARAJA NOMOR : TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PEMILIHAN, PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN RT DAN RW DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SUKARAJA Menimbang: 1. bahwa Rukun Tetangga
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI KARTANEGARA, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciOleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TRADISI NGAYAH DI TENGAH AKSI DAN INTERAKSI UMAT HINDU DI DESA ADAT ANGGUNGAN KELURAHAN LUKLUK KECAMATAN MENGWI KABUPATEN BADUNG Oleh I Gusti Ayu Sri Utami Institut
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG
PEMERINTAH KABUPATEN KETAPANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN KETAPANG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KETAPANG,
Lebih terperinci2 Kebiasaan (Folksway) Norma yang menunjukan perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama
C. Lembaga Sosial 1. Pengertian Lembaga Sosial dan Norma Lembaga Sosial suatu sistem norma yg bertujuan utk mengatur tindakan tindakan maupun kegiatan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA
KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa penting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia yang kemudian akan menimbulkan akibat hukum tertentu.
Lebih terperinciPROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 82 TAHUN 2016 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG,
PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI PANDEGLANG NOMOR 82 TAHUN 2016 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang Mengingat : : bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO KUALA NOMOR 8 TAHUN 2007 T E N T A N G PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN BUPATI BARITO KUALA, Menimbang : Mengingat : a. b. 1. 2. 3. 4. 5. bahwa
Lebih terperinciBUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU BELITONG KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG
BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA, RUKUN WARGA, LEMBAGA KEMASYARAKATAN LAINNYA DAN DUSUN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN
DHARMMOTTAMA SATYA PRAJA PEMERINTAH KABUPATEN SEMARANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SEMARANG NOMOR 25 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG
LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 3 Tahun 2011 PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG, Menimbang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR NOMOR : TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA
Lebih terperinciPERATURAN DESA SEPAHAT
PEMERINTAH KABUPATEN BENGKALIS KEPALA DESA SEPAHAT Jalan Sultan Syarif Kasim KECAMATAN BUKIT BATU PERATURAN DESA SEPAHAT KECAMATAN BUKIT BATU KABUPATEN BENGKALIS NOMOR 07 TAHUN 2009 TENTANG PEMBENTUKAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan 1. Latar Belakang Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem yaitu peraturan-peraturannya merupakan suatu kebulatan berdasarkan atas kesatuan alam pikiran.
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2006
SALINAN 1 PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 2 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciQANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
QANUN ACEH NOMOR 9 TAHUN 2008 TENTANG PEMBINAAN KEHIDUPAN ADAT DAN ADAT ISTIADAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR NANGGROE ACEH DARUSSALAM, Menimbang : a. bahwa Adat
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH TENGAH,
QANUN KABUPATEN ACEH TENGAH NOMOR 5 TAHUN 2011 TENTANG KEMUKIMEN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA Menimbang : a. BUPATI ACEH TENGAH, bahwa dengan diakuinya keistimewaan Aceh
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG
PERATURAN DAERAH PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PELESTARIAN ADAT ISTIADAT DAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA ADAT MELAYU KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBADAN PERMUSYAWARATAN DESA DESA WATUGAJAH, KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DESA WATUGAJAH, KECAMATAN GEDANGSARI KABUPATEN GUNUNGKIDUL KEPUTUSAN BADAN PERMUSYAWARATAN DESA NOMOR : 02/KPTS/BPD/2013 TENTANG TATA TERTIB BADAN PERMUSYAWARATAN DESA Menimbang
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MAJENE
PEMERINTAH KABUPATEN MAJENE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJENE NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJENE, Menimbang
Lebih terperinciBUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA
BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA
1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 14 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANDUNG BARAT, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA
PERATURAN DAERAH KABUPATEN CIAMIS NOMOR 8 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS, Menimbang : a. bahwa Organisasi
Lebih terperinciRANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR. TAHUN. TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI PAMEKASAN,
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PAMEKASAN NOMOR. TAHUN. TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG ESA BUPATI PAMEKASAN, Menimbang : a. bahwa usaha untuk menumbuhkembangkan inisiatif
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 11 TAHUN 2007
LEMBARAN DAERAH K A B U P A T E N B A N D U N G NOMOR 11 TAHUN 2007 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG NOMOR 11 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI PEMERINTAH DESA DAN PERANGKAT DESA DENGAN RAHMAT TUHAN
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 1 TAHUN 2008 T E N T A N G PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT BANGGAI
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGGAI NOMOR 1 TAHUN 2008 T E N T A N G PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT BANGGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGGAI, Menimbang
Lebih terperinciBERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 38 SERI D
BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2002 NOMOR 38 SERI D KEPUTUSAN BUPATI BANJARNEGARA NOMOR : 449 TAHUN 2002 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DI DESA BUPATI BANJARNEGARA,
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2000 SERI D NOMOR SERI 6
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 11 TAHUN 2000 SERI D NOMOR SERI 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 10 TAHUN 2000 T E N T A N G LEMBAGA ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU,
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 10 TAHUN 2006 BUPATI SUKAMARA,
SUKAMARA SUKAMARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKAMARA NOMOR 10 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKAMARA, Menimbang Mengingat : a. bahwa sebagai tindak
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG
LEMBARAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI E PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 29 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA
BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 3 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 26 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR : 26 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 127 ayat (1) Undang-
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2001 TENTANG
BUPATI TANJUNG JABUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 7 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERDAYAAN, PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 06 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 06 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan peranan
Lebih terperinciPERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG
SALINAN WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA KEDIRI NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT
Lebih terperinciUPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu)
UPACARA NGADEGANG NINI DI SUBAK PENDEM KECAMATAN JEMBRANA KABUPATEN JEMBRANA (Perspektif Nilai Pendidikan Agama Hindu) Oleh Ni Luh Setiani Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar niluhsetiani833@gmail.com
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN,
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERUYAN NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERUYAN, Menimbang : a. bahwa sebagai Pelaksanaan Pasal 42 Peraturan Pemerintah
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA
PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 5 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN KELEMBAGAAN DAN PEMBERDAYAAN ADAT DAYAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MURUNG
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA SALINAN
LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA Nomor 22 Tahun 2013 SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA SAMARINDA NOMOR 22 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 17 TAHUN 2002 TENTANG PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR : 15 TAHUN 2006 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR Menimbang
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR : 2 TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LEBAK, Menimbang : a. Bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 SERI D ===============================================================
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 SERI D =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 14 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN
Lebih terperinciWALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
WALIKOTA MADIUN SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA MADIUN NOMOR 07 TAHUN 2013 TENTANG RUKUN TETANGGA DAN RUKUN WARGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MADIUN, Menimbang : a. bahwa dalam upaya meningkatkan
Lebih terperinciBUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN
BUPATI LUWU UTARA PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU UTARA NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU UTARA, Menimbang :
Lebih terperinciBADAN PERMUSYAWARATAN DESA
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KERINCI TAHUN 2007 NOMOR 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KERINCI NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KERINCI,
Lebih terperinciPEMERINTAH KOTA BATU
PEMERINTAH KOTA BATU PERATURAN DAERAH KOTA BATU NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang : bahwa dalam rangka
Lebih terperinciLEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR,
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR NO. : 12, 2006 PERATURAN DAERAH KABUPATEN ALOR NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ALOR, Menimbang : a. bahwa untuk
Lebih terperinciPERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 8 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERDAYAAN PELESTARIAN, PENGEMBANGAN ADAT ISTIADAT DAN KEDAMANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTAWARINGIN BARAT
Lebih terperinciBUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG
BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN FORUM PEMBAURAN KEBANGSAAN DI KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN
Lebih terperinciBUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA
BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG KEWENANGAN DAN KELEMBAGAAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GROBOGAN, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperinciQANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
QANUN KABUPATEN BENER MERIAH NOMOR : 02 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAHAN KAMPUNG BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BENER MERIAH Menimbang : a. bahwa Pemerintahan Kampung
Lebih terperinciWALIKOTA BANJARMASIN
WALIKOTA BANJARMASIN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN RUKUN TETANGGA (RT) DAN RUKUN WARGA (RW) DI WILAYAH KOTA BANJARMASIN DENGAN
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA
KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 64 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGATURAN MENGENAI DESA Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL
PEMERINTAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PEMBENTUKAN LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GUNUNGKIDUL,
Lebih terperinciPENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014
PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014 Membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
Lebih terperinciMEMUTUSKAN: PERATURAN DAERAH TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA KECAMATAN DALAM WILAYAH KABUPATEN BULUNGAN.
SALINAN SALINAN BUPATI BULUNGAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA PERATURAN BUPATI BULUNGAN NOMOR 60 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA KECAMATAN DALAM WILAYAH
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO
PEMERINTAH KABUPATEN MOJOKERTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN MOJOKERTO NOMOR 14 TAHUN 2006 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DI KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, Menimbang : bahwa
Lebih terperinci