Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya"

Transkripsi

1 Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia Okt 2016

2

3 Seluk Beluk Pekebun Kelapa Sawit dan Tantangan Budi Daya Sawit Secara Swadaya Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia

4 ii Daftar Isi Daftar Isi Kata Sambutan Ringkasan Eksekutif Latar Belakang Definisi hukum pekebun di Indonesia Perkembangan terkini : Perkebunan kelapa sawit di Indonesia Metodologi Seluk beluk perkebunan swadaya di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan Tenurial lahan pekebun swadaya Pengaturan Kelembagaan: organisasi pekebun PraktikPraktik Budidaya Akses terhadap input pertanian dan pelatihan Struktur Perdagangan Diskusi dan Rekomendasi Legalitas : Surat Kepemilikan dan Pendaftaran Tanah Organisasi Pekebun Input Pertanian dan Pelatihan Perdagangan Kelapa Sawit Inisiatif yurisdiksi bagi pekebun swadaya Referensi Lampiran 1: Desa di Kotawaringin Barat Lampiran 2: Desa di Seruyan ii iii iv

5 Kata Sambutan iii Menyaksikan terselesaikannya laporan ini adalah kebahagiaan tersendiri bagi kami. Laporan ini menyajikan sebagian data mengenai pekebun kelapa sawit swadaya di Kalimantan Tengah yang telah dikumpulkan oleh Institut Penelitian Inovasi Bumi (INOBU), pemerintah provinsi Kalimantan Tengah, pemerintah kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, serta mitramitra lainya. Laporan ini menyajikan data pekebun dari total pekebun yang telah dipetakan di Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat sampai dengan bulan Juli Sejalan dengan kegiatan pemetaan yang masih berlangsung sampai saat ini, laporan ini akan diperbarui secara berkala sampai pemerintah daerah memiliki instrumen tersendiri untuk melaporkan data mengenai pekebun kelapa sawit swadaya. Selain disajikan dalam laporan ini, data mengenai pekebun sawit swadaya telah pula diintegrasikan ke dalam Sistem Monitoring Perkebunan Kalimantan Tengah yang saat ini berada di Dinas Perkebunan Provinsi dan dikelola bersama dengan Dinas Perkebunan Kabupaten di Kotawaringin Barat, Seruyan, dan Gunung Mas. Sistem monitoring ini memungkinkan pemerintah provinsi untuk mengeluarkan laporan berkala mengenai produksi sektor perkebunan, khususnya kelapa sawit. Sistem ini dapat pula digunakan untuk memonitor dampak kegiatan perkebunan terhadap lingkungan hidup melalui penggabungan data pekebun swadaya dan perusahaan perkebunan dengan data spasial dan pengindraan jarak jauh, seperti data mengenai kebakaran dan deforestasi. Laporan ini adalah laporan pertama dari serangkaian laporan mengenai pekebun swadaya yang akan dipublikasikan oleh INOBU. INOBU juga tengah mempersiapkan beberapa laporan lainnya, antara lain: Studi kondisi awal atau baseline di tingkat desa yang memuat antara lain data mengenai praktikpraktik pertanian skala kecil, pendapatan, dan kelembagaan rumah tangga; Tantangan dalam mendapatkan sertifikasi keberlanjutan di tingkat kelompok atau desa. Laporan ini ditulis secara kolaboratif oleh para peneliti INOBU. Penulis utama laporan ini adalah John Daniel Watts dan Silvia Irawan. Keseluruhan analisis data dalam kajian ini dipimpin oleh Aklan Huda. Shofia menulis bagian mengenai praktikpraktik pertanian sementara Bernadinus Steni menyumbang analisis legal. Triyoga Widiastomo menyiapkan peta dan melakukan analisis spasial. Dukungan lain untuk penelitian ini diberikan oleh Benita Nathania. Pengumpulan data dilakukan oleh para peneliti lapangan di Kotawaringin Barat dan Seruyan yang dipimpin oleh Fadly Fadhillah. INOBU menyampaikan terima kasih atas dukungan yang tak terputus dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, Dinas Perkebunan Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Seruyan. Beberapa pengkaji yang telah berkontribusi terhadap laporan ini antara lain: Asril Darussamin, Dani Hidayat, Toby McGrath, dan Ofra Fitri. Pekerjaan ini merupakan bagian dari Forest, Farms and Finance Initiative, yang dipimpin oleh Earth Innovation Institute dan didanai oleh Badan Kerja Sama Pembangunan Norwegia. INOBU juga mendapatkan dana dari David and Lucille Packard Foundation dan Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam, Bangunan, dan Keselamatan Nuklir Republik Federal Jerman. Salam hangat dan selamat membaca, Joko Arif Managing Director, INOBU

6 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia iv Ringkasan Eksekutif Keberlanjutan rantai pasok minyak kelapa sawit global bergantung pada kemampuan untuk menentukan siapa yang memproduksi minyak kelapa sawit, di mana kelapa sawit dibudidayakan, dan seperti apa proses budidayanya. Rantai pasok minyak kelapa sawit menjadi semakin rumit terlacak khususnya yang berasal dari pekebun kelapa sawit swadaya berskala kecil. Kondisi ini berbanding terbalik dengan perkebunan besar atau pekebun plasma (pekebun yang bermitra dengan perkebunan besar). Informasi yang kita ketahui mengenai pekebun kelapa sawit swadaya sangat sedikit, termasuk mengenai di mana lokasi perkebunan mereka, bagaimana cara mereka bertani, dan kepada siapa mereka menjual hasil perkebunan mereka. Pekebun swadaya berskala kecil menanam kelapa sawit hampir tanpa dukungan dari pemerintah ataupun perusahaan perkebunan yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas tandan buah segar yang mereka hasilkan. Memastikan bahwa pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil memproduksi kelapa sawit secara berkelanjutan dan produktif adalah langkah tak terpisahkan dari upaya mengurangi dampak negatif kelapa sawit terhadap lingkungan hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut, pertamatama kita harus mengetahui mengenai kondisi para pekebun ini dan di mana sesungguhnya mereka berada. Kajian ini ditujukan untuk memberi kontribusi pada upaya meningkatkan pemahaman mengenai pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil di Indonesia. Demi konsistensi, di dalam laporan ini kami akan menyebut pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil sebagai pekebun swadaya. Kajian ini melaporkan temuantemuan dari kegiatan survei dan pemetaan pekebun swadaya yang sedang berjalan hingga saat ini di dua kabupaten di Kalimantan Tengah, Indonesia, yakni Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Dari tahun 2014 hingga akhir tahun 2015, sebanyak pekebun di dua kabupaten tersebut berhasil disurvei dan lahan mereka berhasil dipetakan, yakni mencakup delapan desa di Kabupaten Kotawaringin Barat seluas 1.671,61 hektar dan delapan desa di Kabupaten Seruyan seluas 2.182,75 hektar. Angkaangka ini mewakili sekitar 6 persen dari keseluruhan jumlah pekebun kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 9 persen dari keseluruhan jumlah pekebun kelapa sawit di Kabupaten Seruyan. Di Kotawaringin Barat, para pekebun yang dimaksud sebagian besar berasal dari masyarakat transmigrasi (87 persen), sedangkan pekebun lokal atau masyarakat adat proporsinya lebih kecil (12 persen). Akan tetapi, di Kabupaten Seruyan, sebagian besar pekebun yang disurvei merupakan masyarakat lokal (81 persen). Laporan ini menganalisa tantangan utama yang dihadapi para pekebun swadaya untuk menanam kelapa sawit secara produktif dan berkelanjutan. Dibangun dari kajiankajian terkait pekebun swadaya yang ada sebelumnya, kami melihat bahwa hambatan utama yang dihadapi pekebun untuk mendapatkan manfaat dari budidaya kelapa sawit adalah: Pengakuan hukum hakhak atas tanah mereka; Akses terhadap pendanaan, material tanaman, pupuk, dan pelatihan; serta Persyaratan perdagangan dan harga yang adil dari penjualan tandan buah segar yang mereka panen.

7 Terdapat perbedaan antara Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat terkait bentuk dari bukti penguasaan atas kepemilikan tanah yang mereka punya. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, dikarenakan proporsi pekebun transmigran yang tinggi, sebagian besar (60 persen) pekebun memiliki sertifikat tanah (Sertifikat Hak Milik atau SHM), yang merupakan bukti hak atas tanah terkuat di Indonesia. Sertifikat ini dikeluarkan untuk pekebun sebagai bagian dari skema transmigrasi yang disponsori pemerintah. Sertifikat ini dapat dialihtangankan dan dapat pula digunakan sebagai jaminan untuk meminjam uang dari bank. Sebaliknya, di Kabupaten Seruyan, di mana sebagian besar pekebun adalah masyarakat adat/lokal, hanya 11 persen pekebun memiliki SHM. Sebagian besar pekebun di kabupaten Seruyan hanya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) atau Surat Keterangan Tanah Adat (SKTA). SKT dikeluarkan oleh kepala desa, diverifikasi oleh camat dan dicatat di buku catatan tanah di desa. Berbeda dengan SKT, SKTA yang merupakan salah satu bentuk kepemilikan lahan di Kalimantan Tengah dikeluarkan oleh lembaga adat setempat. Dibandingkan dengan SKT yang dapat digunakan untuk sebagai dasar pengajuan sertifikat kepemilikan tanah, SKTA tidak dapat dijadikan dasar pengajuan karena Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya dapat mengakui surat keterangan atas tanah yang ditandatangani oleh kepala desa. Akses terhadap pendanaan, input pertanian, dan pelatihan berpengaruh pada cara pekebun membudidayakan kelapa sawit. Kepemilikan sertifikat tanah dan kedekatan secara geografis dengan bank menentukan kemampuan para pekebun untuk mengakses pinjaman bank. Berdasarkan survei komprehensif di Kabupaten Kotawaringin Barat, hanya 13,8 persen pekebun memiliki tabungan di bank dan hanya 7,7 persen pekebun memiliki akses terhadap pinjaman bank, kebanyakan dengan menjaminkan SKT. Di Kabupaten Seruyan, tidak ada pekebun yang melaporkan bahwa mereka memperoleh pinjaman dari bank. Dari studi kasus di Pangkalan Tiga, sertifikat tanah banyak digunakan sebagai jaminan pinjaman bank untuk membiayai investasi di perkebunan sawit. Sementara itu, hanya 15 pekebun dari keseluruhan pekebun yang disurvei melaporkan pernah menerima sejenis pelatihan. Bagi sebagian besar pekebun di kedua kabupaten tersebut, pihak perantara (pengepul) adalah sumber utama bagi mereka untuk mendapatkan pupuk, diikuti oleh toko perlengkapan pertanian di desa mereka. Sebagian besar pekebun di kedua kabupaten tersebut menghasilkan material tanaman mereka sendiri atau mendapatkan dari teman, tetangga, atau kerabat mereka. Sekitar 26,2 persen pekebun di Kabupaten Seruyan mendapatkan material tanaman tersebut dari perusahaan atau pabrik kelapa sawit sementara di Kabupaten Kotawaringin Barat, jumlah tersebut hanya 9,22 persen. Hanya beberapa pekebun sekitar 3,1 persen di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 1,7 persen di Kabupaten Seruyan yang merupakan anggota kelompok atau organisasi tani. Organisasi pekebun ini pada umumnya tidak berhubungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit swadaya melainkan terkait dengan kegiatan pertanian lain seperti pertanian tanaman pangan atau perkebunan kelapa sawit plasma. Produktivitas pekebun tampaknya tercermin dari etnisitas mereka meskipun ada banyak faktor lain yang mempengaruhi produktivitas seperti umur tanaman, jenis tanah, pupuk, dan lainnya. Di Kabupaten Kotawaringin Barat, produktivitas ratarata pekebun lokal adalah 12,69 ton per hektar per tahun selama periode panen yang stabil (410 tahun) sementara produktivitas pekebun transmigran dalam periode yang sama mencapai 15,8 ton per hektar per tahun. Dalam periode yang sama, pekebun di Kabupaten Seruyan dapat menghasilkan hingga 16,7 ton per hektar per tahun. Produktivitas yang lebih tinggi di Kabupaten Seruyan ini kemungkinkan disebabkan oleh kualitas benih yang lebih baik yang tersedia bagi para pekebun yang mendirikan perkebunan pada akhir tahun 2000an, dibandingkan dengan mereka yang membangun kebun pada akhir tahun 1990an dan awal tahun 2000an. Faktor terkait jenis dan kualitas tanah tidak dimasukan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini. Kami juga menganalisa tantangantantangan utama dalam memastikan keberlanjutan dan keterlacakan rantai pasok kelapa sawit, yaitu: Lokasi plot perkebunan pekebun swadaya; dan Rantai pasok antara pekebun dan pabrik kelapa sawit Kami juga menganalisa kesesuaian lokasi lahanlahan pekebun swadaya terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan klasifikasi penggunaan lahan yang dikeluarkan secara resmi oleh pemerintah. Kami menemukan bahwa tidak ada pekebun yang memiliki kebun di dalam hutan konservasi. Di Kabupaten Seruyan, sebanyak 559 hektar plot perkebunan sawit pekebun swadaya berlokasi di dalam kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas. Di kedua kabupaten tersebut, v

8 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia vi pekebun yang memiliki plot perkebunan sawit di wilayah yang diklasifikasikan sebagai hutan produksi untuk konversi berjumlah 226 hektar di Seruyan dan 344 hektar di Kotawaringin Barat. Sisanya berlokasi di wilayah yang diklasifikasikan sebagai Areal Penggunaan Lain (APL) atau di lahanlahan yang diberikan pada konsesi perkebunan sawit skala besar. Ada atau tidaknya plot perkebunan pekebun swadaya di kawasan hutan tidak sertamerta mengindikasikan terjadinya deforestasi maupun perambahan liar ke dalam hutan, karena proses pengklasifikasian lahan seringkali mengabaikan klaim lahan masyarakat yang ada. Di saat yang sama, banyak lahan di kawasan hutan telah mengalami kerusakan atau degradasi. Di Kalimantan tengah, para pekebun swadaya jarang sekali menjual tandan buah segar mereka langsung ke pabrik kelapa sawit. Di kedua kabupaten, sebagian besar pekebun yang memiliki kebun produktif melaporkan bahwa mereka menjual tandan buah segar mereka ke para pedagang yang biasa disebut sebagai pengepul. Di Kabupaten Seruyan, sekitar 14 persen pekebun melaporkan bahwa mereka menjual langsung ke pabrik kelapa sawit, namun jawaban ini mungkin mencerminkan kesalahpahaman akan pertanyaan survei dan bukan gambaran dari situasi yang sesungguhnya. Para pengepul bertanggung jawab untuk membeli tandan buah segar dari pekebun dan mengangkut hasil panen tersebut ke pabrik kelapa sawit. Para pengepul adalah orangorang yang memiliki surat perintah pengiriman (delivery order) resmi dari pabrik kelapa sawit atau mereka juga bisa menjual tandan buah segar ke pabrik kelapa sawit dengan menggunakan surat perintah pengiriman milik pihak lain. Meskipun demikian, peran pengepul lebih dari sekadar membeli dan mengangkut tandan buah segar. Di tengah ketiadaan layanan pemerintah, mereka juga menyediakan pinjaman, pupuk, dan berbagai input pertanian lain. Sejumlah kecil pekebun menjual produk mereka ke beberapa pengepul yang berbeda, namun sebagian besar pekebun hanya akan menjual ke satu pengepul saja, yang pada umumnya dilaksanakan tanpa ada persyaratan ataupun kontrak. Hubungan antara pekebun dan pengepul dibangun di atas dasar kepercayaan. Biasanya, seorang pekebun terlebih dahulu mencoba menjual ke beberapa pengepul yang berbeda sebelum ia memutuskan untuk menjalin relasi dengan satu pengepul saja. Begitu menjalin relasi dengan seorang pengepul, mereka akan hanya menjual tanda buah segar kepada pengepul tersebut. Berdasarkan temuantemuan dalam kajian ini, kami mengajukan beberapa rekomendasi, yaitu sebagai berikut: Memformalkan keterlibatan pengepul dalam rantai pasok kelapa sawit. Untuk memastikan keberlanjutan dan terlacaknya rantai pasok kelapa sawit, para pengepul harus terdaftar sebagai entitas perorangan maupun badan hukum. Sebagai bagian dari proses pendaftaran atau registrasi tersebut, pengepul harus memenuhi persyaratanpersyaratan tertentu, seperti pencantuman nama, sertifikat tanda daftar budi daya (STDB) dan kuantitas yang dibeli dari pekebun perorangan. Informasi ini kemudian diteruskan ke pabrik kelapa sawit. Diperlukan pula regulasi yang mengatur berbagai fungsi tambahan yang dijalankan pengepul untuk memastikan bahwa input pertanian dan layananlayanan lain yang mereka berikan kepada pekebun diberikan secara adil. Mendukung pembentukan kelompok tani dan koperasi usaha tani. Kelompok tani berpotensi menjadi lembaga yang mampu mendukung pekebun swadaya dan memperbaiki kemudahan dalam akses pasar bagi mereka. Diperlukan insentif yang jelas bagi pekebun untuk bergabung dalam kelompok tani maupun mekanisme untuk memastikan bahwa kelompokkelompok tani tersebut dikelola secara baik. Akan tetapi, pembentukan koperasi dan kelompok tani tidak bisa menjadi satusatunya solusi. Kebijakan dan intervensi yang dirancang untuk mendukung pekebun swadaya harus memasukkan persyaratan bagi pekebunpekebun yang tidak bergabung dalam koperasi. Memetakan lahan pekebun swadaya dan menyediakan pembinaan bagi mereka. Memetakan lahan para pekebun swadaya adalah langkah pertama yang diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan keterlacakan rantai pasok kelapa sawit. Peta plot lahan pekebun dan surat tanda daftar budi daya harus menjadi syarat untuk bisa menjual dan mengangkut tandan buah segar. Dikeluarkannya surat tanda daftar budi daya kepada pekebun swadaya harus dipertimbangkan sebagai bukti keberlanjutan tandan buah segar yang mereka panen dan pasarkan. Karena sistem ini mungkin merugikan pekebun swadaya di wilayahwilayah (yurisdiksi) yang tidak memiliki inisiatif pemetaan skala besar, harus ada upaya untuk mendukung pekebun yang terkena dampak. Pekebun swadaya juga harus didukung dalam hal penyediaan inputinput pertanian seperti material tanaman, pupuk, pestisida, dan akses pasar.

9 Latar Belakang 1 Seiring dengan bertambahnya kerusakan hutan di Indonesia oleh karena perkebunan kelapa sawit, seringkali pekebun rakyat, atau sering disebut sebagai pekebun, dihadapkan pada tuduhan turut berperan dalam pengrusakan tersebut. 1 Pada tahun 2013, terdapat rumah tangga pekebun di seluruh Indonesia. Pekebun swadaya juga menjadi bahan perdebatan terkait keberlanjutan budidaya sawit di Indonesia. Seiring dengan dideklarasikannya komitmen menghapuskan deforestasi dalam rantai pasok kelapa sawit oleh kalangan bisnis perkebunan besar pada tahun 2014 yang paling menarik perhatian adalah Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP). Pemerintah, masyarakat sipil, dan aktoraktor lain justru menolak komitmen ini. Mereka berargumen bahwa komitmen tersebut akan merugikan para pekebun, khususnya pekebun swadaya. Tidak seperti perusahaan perkebunan besar, pekebun tidak memiliki sarana dan prasarana untuk bertransisi menuju praktikpraktik berkelanjutan. Oleh karenanya, komitmen deforestasi nol akan mengucilkan pekebun dari rantai pasok yang berkelanjutan dan berdampak pada berkurangnya jumlah pembelian tandan buah segar dari para pekebun oleh pabrik kelapa sawit. Meskipun banyak klaim yang menyatakan demikian, hanya ada sedikit informasi mengenai pekebun kelapa sawit, terutama yang melakukan budidaya secara swadaya. Perusahaan penandatangan IPOP telah memutuskan untuk membubarkan entitas IPOP, dan akan terus melanjutkan komitmen mereka tehadap keberlanjutan secara indepeden. 2 Pekebun kelapa sawit di Indonesia menguasai sekitar 44 persen dari keseluruhan lahan yang digunakan untuk budidaya sawit, setara dengan 4,4 juta hektar pada tahun 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Namun pekebun hanya menyumbang sekitar 27 hingga 38 persen dari keseluruhan produksi minyak sawit Indonesia. Produktivitas pekebun kelapa sawit di Indonesia sangat rendah, ratarata di bawah pekebun plasma atau pekebun yang bekerjasama dengan perusahaan perkebunan (International Finance Corporation, 2013). Pekebun plasma adalah pekebun yang memiliki semacam hubungan kontraktual dengan perusahaan untuk melakukan produksi dengan atau menjual kelapa sawit kepada perusahaan tersebut. Bentuk hubungan ini dapat berupa skema, yang mencakup Skema Perkebunan IntiPlasma, skema joint venture, atau modelmodel produksi yang dibantu oleh perusahaan (Cramb dan Curry, 2012). Dalam kerjasama tersebut, perusahaan perkebunan menyediakan bantuan bagi para pekebun, termasuk 1 Badan Pusat Statistik, 2013, Sensus Pertanian

10 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia 2 pelatihan dan inputinput budidaya seperti pupuk. Adanya bantuan langsung ini menyebabkan pekebun plasma lebih produktif dibandingkan pekebun swadaya yang hanya mendapatkan sedikit bantuan atau tidak mendapatkan bantuan sama sekali baik dari pemerintah maupun perkebunan besar. Di Kalimantan Tengah, pekebun swadaya hanya menyumbang sebagian kecil dari proporsi perkebunan kelapa sawit di provinsi tersebut. Pada tahun 2013, Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah melaporkan bahwa pekebun hanya berjumlah 11 persen dari keseluruhan wilayah perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Mantan Gubernur Kalimantan Tengah, Teras Narang, berkomitmen untuk meningkatkan proporsi pekebun dalam rantai pasok minyak kelapa sawit berkelanjutan hingga mencapai 20 persen 3. Komitmen ini berarti memprioritaskan pekebun swadaya dalam ekspansi perkebunan kelapa sawit di masa yang akan datang, dengan memastikan produksi yang berkelanjutan secara sosial dan lingkungan hidup. Kajian ini akan menyediakan informasi mengenai kondisi awal atau baseline pekebun swadaya di Kalimantan Tengah dan mengusulkan langkahlangkah yang harus dilakukan untuk mencapai komitmen pemerintah provinsi tersebut. Laporan ini berfokus pada pekebun swadaya di Kalimantan Tengah. Untuk menjaga konsistensi, kami akan menyebut pekebun kelapa sawit swadaya skala kecil sebagai pekebun swadaya. Informasi mengenai pekebun swadaya sangatlah minim saat ini. Kami menyajikan hasil kegiatan survei dan pemetaan yang dilakukan terhadap lahan pekebun swadaya di 16 desa di Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Barat. Kabupaten Kotawaringin Barat memiliki jumlah pekebun swadaya tertinggi kedua di Kalimantan Tengah setelah Kotawaringin Timur, yakni sejumlah orang pada tahun 2013 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Di Kabupaten Seruyan, yang terletak di antara Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat, mempunyai jumlah pekebun swadaya sebanyak orang, menurut Kementerian Pertanian pada tahun Kotawaringin Barat adalah kabupaten penghasil kelapa sawit dengan banyaknya perusahaan perkebunan sawit yang telah beroperasi serta didukung dengan infrastruktur yang memadai, termasuk pelabuhan, jalan, dan pabrik kelapa sawit. Sebagian besar pekebun swadaya di Kotawaringin Barat mulai membudidayakan sawit antara tahun 2005 dan Para pekebun ini secara umum merupakan masyarakat transmigran yang sebelumnya menanam kelapa sawit sebagai pekebun plasma sebelum tahun Selagi meneruskan budidaya kelapa sawit dengan sistem plasma, pekebunpekebun tersebut juga mulai mengkonversi lahan mereka yang awalnya dialokasikan untuk tanaman pangan menjadi kebun kelapa sawit swadaya. Berkebalikan dengan di Kotawaringin Barat, sebagian besar para pekebun di Seruyan adalah masyarakat asli yang memulai budidaya sawit antara tahun 2010 dan Para pekebun ini tidak pernah menjadi pekebun plasma sebelumnya dan karenanya mereka hanya memiliki sedikit pengetahuan mengenai budidaya kelapa sawit. Untuk membantu pekebun berbudidaya kelapa sawit secara lebih berkelanjutan, produktif, dan legal, langkahlangkah intervensi harus diidentifikasi. Berbagai perubahan tersebut sangat mungkin untuk mempengaruhi praktikpraktik dan kelembagaan terkait dengan budidaya dan perdagangan kelapa sawit yang ada saat ini. Fokus dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi praktikpraktik yang dijalankan oleh pekebun swadaya di Kalimantan Tengah dan berbagai model kelembagaan pekebun dalam berbudidaya dan berdagang kelapa sawit. Selain itu, kami turut menaruh perhatian khusus pada rantai pasok kelapa sawit yang menghubungkan pekebun swadaya dan pabrik kelapa sawit. Lalu, kami mengkaji mengenai intervensi dan reformasi kelembagaan yang dibutuhkan untuk mentransformasi praktikpraktik budidaya kelapa sawit oleh pekebun swadaya. Pada bagian akhir kajian ini, kami mengeksplorasi potensi dampak dari berbagai intervensi yang diusulkan bersamaan dengan dikembalikannya peran pemerintah daerah yang sebelumnya dimainkan oleh perusahaan dan pihak perantara lainnya. 3 Government of Central Kalimantan (2013) Central Kalimantan Roadmap to LowDeforestation Rural Development: Developing a sustainable plan which increases production and reduces poverty. Tersedia online di link berikut: centralkalimantanroadmaptolowdeforestationruraldevelopment/

11 Definisi hukum pekebun di Indonesia 3 Pekebun kecil dikenal di Indonesia dengan istilah petani atau pekebun (UU 29/2014). Istilah petani merujuk pada mereka yang terlibat dalam kegiatan pertanian padi lahan basah (irigasi) sementara pekebun merujuk pada mereka yang menanam tanaman tahunan atau musiman, termasuk tanaman pepohonan, dalam skala kecil yang tidak terdefinisikan secara jelas. Secara hukum, pekebun didefinisikan berdasarkan total lahan yang mereka kelola, jenis tanaman, teknologi, jumlah pekerja, besar modal atau kapasitas manufaktur. Peraturan Menteri No. 98/ Permentan/OT.140/9/2013 (Permentan 98/2013) hanya meregulasi mengenai berbagai izin yang diwajibkan untuk menjalankan berbagai jenis kegiatan yang berbeda dan membedakan antara kewajiban orangperorangan (individu) dan korporasi. Permentan ini mengacu pada UndangUndang Pokok Agraria (UUPA) yang membatasi luas maksimal lahan yang dapat dimiliki individu adalah seluas 25 hektar. Akibatnya, angka ini dijadikan batas mengenai luas lahan maksimal yang dapat dimiliki seseorang untuk dapat digolongkan sebagai pekebun. Sementara dalam Peraturan lain, misalnya UU 19/2013 mengenai Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, ditetapkan bahwa luas lahan maksimal petani kecil adalah sebesar 2 hektar. Dalam kajian ini, kami mendefinisikan pekebun sebagai pekebun yang memiliki lahan kurang dari 25 hektar karena jumlah responden kami yang memiliki lahan lebih dari 2 hektar cukup signifikan. Secara umum, terdapat dua jenis pekebun: Pekebun plasma dan pekebun dengan pendampingan; Pekebun swadaya Pekebun plasma dan pekebun yang mendapat pendampingan memiliki sejenis hubungan kontraktual dengan perusahaan perkebunan untuk memperdagangkan dan memproduksi kelapa sawit. Bentuk skema yang dominan adalah Skema Perkebunan IntiPlasma atau Perkebunan Inti Rakyat (PIR) (Cramb and Curry, 2012; Rist dkk., 2010; Zen dkk., 2016). Dalam skema ini, terdapat sebuah konsesi besar (inti) yang dikelilingi oleh plotplot perkebunan masyarakat seluas 2 hingga 3 hektar (plasma). Dalam skema ini, perusahaan perkebunan bertanggung jawab untuk membuka lahan, menanam, dan mengelola lahan pekebun dalam kurun waktu 4 tahun pertama di samping menyediakan pekerjaan alternatif untuk pekebun dalam fasefase tidak produktif.

12 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia 4 Skema ini diluncurkan pada tahun 1978 dan telah berkembang melalui beberapa tahap, di mana tahap pertama berfokus pada pekebun dari masyarakat lokal sebelum perlahanlahan beralih ke pekebun transmigran. Pada tahun 1995, skema ini digantikan dengan Skema Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA) yang berfokus untuk menyediakan lahan produktif dan dukungan bagi pekebunpekebun dari masyarakat lokal sebagai kompensasi atas penyediaan lahan skala besar kepada perusahaan. Berbagai inisiatif ini didukung dengan diberikannya pinjaman dengan bunga rendah dari Bank Indonesia. Skemaskema perkebunan lain mencakup Skema Revitalisasi Perkebunan yang diluncurkan pada tahun 2006 dan subsidi untuk melakukan penanaman kembali di lahan pekebun plasma. Model Perkebunan IntiPlasma secara umum digantikan dengan model kemitraan yang lebih menguntungkan bagi perusahaan (Rival dan Levang, 2014; Zen dkk., 2016). Jika sebelumnya perusahaan harus mengalokasikan sebagian besar lahan konsesinya kepada pekebun, dalam model baru ini perusahaan dapat mengontrol hingga 80 persen lahan. Pekebun dapat diberi kompensasi berupa bagi hasil untung sebagai ganti dari alokasi plot perkebunan. Peraturan Menteri selanjutnya yang dikeluarkan pada tahun 2013 semakin meringankan syarat bagi pemegang konsesi 4. Peraturan tersebut menyatakan bahwa 20 persen lahan yang harus dialokasikan untuk pekebun dimungkinkan untuk berlokasi di luar batas konsesi. Peraturan ini juga menyatakan bahwa masyarakat harus diberi saham perkebunan hingga mencapai 30% pada tahun ke15. Model ini semakin menggerus partisipasi langsung pekebun dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit dan lebih berpihak pada upaya mendorong investasi skala besar. Peraturan Menteri Pertanian 98/2013 memberikan kewenangan pada pemerintah kabupaten untuk melakukan registrasi lahan perkebunan yang prosesnya diitentukan melalui peraturan daerah. Di Kalimantan Tengah, Peraturan Daerah No. 5/2011 mengenai Perkebunan Berkelanjutan menentukan proses registrasi lahan. Peraturan tersebut mengklasifikasikan lahan yang luasnya kurang dari 25 hektar sebagai perkebunan rakyat, yang dimiliki dan dikerjakan oleh pekebun. Pekebun atau individu yang lahan kebunnya kurang dari 25 hektar diwajibkan untuk mendaftarkan lahannya kepada walikota atau bupati. Untuk melakukan pendaftaran, pekebun harus memiliki apa yang disebut sebagai Surat Tanda Daftar Budidaya atau STDB yang mensyaratkan informasi berikut: identitas pekebun, lokasi kebun, status lahan perkebunan, total wilayah kebun, tanaman yang dibudidaya, jumlah produksi tanaman secara keseluruhan, sumber benih, jumlah tanaman keseluruhan, pola penanaman, pupuk, hubungan kemitraan, jenis tanah, dan tahun penanaman. Untuk perkebunan lebih dari 25 hektar, diperlukan Izin Usaha Perkebunan (IUP). Untuk mendapatkan STDB, pekebun harus menunjukkan bukti kepemilikan lahan. Namun, karena Kementerian Pertanian tidak menyediakan panduan yang baku mengenai jenis dokumen yang disyaratkan, bukti ini dapat berupa SKT, SKTA, atau Sertifikat Hak Milik (SHM). Kementerian Pertanian pernah membuat pernyataan dalam sebuah pertemuan bahwa SHM tidak diharuskan dalam pembuatan STDB sehingga bukti kepemilikan lahan apapun dianggap mencukupi asalkan perkebunan pekebun tersebut tidak terletak di dalam kawasan hutan negara. 5 Kewenangan untuk mengeluarkan STDB telah diserahkan ke tingkat kabupaten. Beberapa kabupaten mendelegasikan tanggung jawab ini lebih jauh ke pemerintah kecamatan sementara beberapa kabupaten lain menugaskan dinas perkebunan kabupaten untuk mengeluarkan STDB. Kementerian Pertanian mewajibkan pemerintah daerah untuk melaporkan hasil dari proses pendaftaran ini setiap enam bulan. Sejauh ini, registrasi perkebunan pekebun swadaya masih terbatas. Hal ini diakibatkan oleh terbatasnya pengetahuan pemerintah daerah mengenai STDB, fungsinya, dan kemampuan pemerintah daerah dalam proses penerbitan. Pemerintah daerah juga harus memiliki kemampuan untuk memetakan lahan pekebun swadaya dan mengeluarkan peta plotplot perkebunan mereka. Sebagian besar pemerintah daerah di Indonesia tidak memiliki kapasitas ini. Pekebun swadaya mempunyai hak untuk menerima bantuan pemerintah, namun dengan persyaratan bahwa mereka tergabung dalam kelompok tani. Berdasarkan peraturan Kementerian Perdangan (07/2/2009) dan Kementerian Pertanian (82/Ot140/8/2013), pekebun diwajibkan menjadi anggota kelompok tani atau koperasi untuk dapat menerima bantuan maupun subsidi dari pemerintah. Pemerintah Kalimantan Tengah juga telah mengeluarkan Peraturan Daerah No. 2/2013 yang menyatakan bahwa harga tandan buah segar ditentukan melalui kontrak atau faktur di antara produsen dan pabrik kelapa sawit. Pekebun diwajibkan memiliki kontrak untuk dapat memperdagangkan tandan buah segar mereka melalui kelompok tani melalui sistem kemitraan dengan pabrik kelapa sawit. 4 Peraturan Menteri Pertanian No. 98/Permentan/OT.140/9/ Notulensi Rapat Koordinasi di antara Kementerian Pertanian, ISPO, Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah, dan INOBU tertanggal 19 Desember 2015 di Bali

13 Perkembangan terkini: pekebun kelapa sawit di Indonesia 5 Kelapa sawit (Elaeis guineensis), sejenis tanaman palem hutan tropis, adalah penghasil minyak yang sangat efektif, yang digunakan antara lain untuk memasak, sebagai bahan kosmetik, dan bahan bakar nabati. Kelapa sawit mulai produktif dalam dua hingga tiga tahun setelah penanaman dan mencapai kematangan penuh pada usia sembilan tahun. Setelah 25 hingga 30 tahun, harus dilakukan peremajaan (penanaman kembali) karena tanaman ini menjadi terlalu tinggi untuk dipanen (Sheil dkk., 2009). Buah sawit harus segera diproses dalam kurun waktu 48 jam setelah dipanen kalau tidak kualitas minyak sawit mentah (CPO) yang dihasilkannya akan rusak. Selain umur tanaman, produktivitas kelapa sawit juga bergantung pada akses terhadap material tanaman dengan varietas berkualitas tinggi, pupuk, kredit, dan harga pasar (International Finance Corporation, 2013). Pekebun yang ingin menanam kelapa sawit dapat mengerjakannya secara mandiri atau berlembaga sehingga memiliki akses terhadap kredit, material tanaman, dan pupuk yang dibutuhkan untuk berbudidaya kelapa sawit. Mereka juga harus memiliki akses terhadap pabrik kelapa sawit untuk memastikan bahwa tandan buah segar yang mereka hasilkan dapat diolah dalam kurun waktu 48 jam setelah pemanenan. Pekebun yang mampu mengatasi berbagai hambatan ini menemukan bahwa keuntungan yang mereka dapatkan dari menanam kelapa sawit lebih besar dari tanaman lain yang biasa mereka tanam (Belcher dkk., 2004). Keuntungan tersebut relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan luas lahan yang dibutuhkan dan kebutuhan tenaga kerja (Feintrenie dkk., 2010a). Di Indonesia, bentuk budidaya sawit pekebun yang paling umum adalah melalui skemaskema perkebunan yang dikenal dengan skema plasma atau inti. Sejak awal tahun 80an, skemaskema ini dihubungkan dengan program transmigrasi yang memindahkan orangorang dari pulau Jawa dan pulaupulau lain yang lebih padat ke pulaupulau terluar Indonesia. Skemaskema ini dijalankan berdasarkan konsep bahwa pekebun akan diberi lahan di sekitar perkebunan utama atau inti di mana mereka dapat mengelola plot perkebunan sawit yang lebih kecil (Rival and Levang, 2014).

14 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia 6 Dalam persyaratan skema tersebut, pekebun diwajibkan untuk mengembalikan biaya pembangunan plot perkebunan mereka. Dalam skenario lain, pekebun setempat dapat menukar sebidang lahan yang luas dengan kebun kelapa sawit yang luasnya lebih kecil, yakni 2 hektar, atau membuat perjanjian hutangpiutang dengan perusahaan, atau menjual lahan mereka secara langsung kepada perusahaan (Rist dkk., 2010). Para pekebun dalam skema ini akan mendapatkan akses terhadap material tanaman dan pupuk yang disediakan oleh perusahaan dan menjual produk mereka secara langsung ke perusahan tersebut. Namun, pada awal tahun 2000an, model pembangunan perkebunan seperti ini sudah tidak lagi dilakukan karena alokasi lahan skala besar sudah tidak lagi dimungkinkan (Rival and Levang, 2014). Sebagai gantinya, pekebun muncul di wilayahwilayah yang telah memiliki infrastruktur pengolahan kelapa sawit yang telah ada sebelumnya. Pekebun swadaya yang berlokasi di sekitar pabrik kelapa sawit memiliki beberapa pilihan jika mereka ingin melakukan budidaya sawit. Pekebun dan masyarakat adat/lokal mempunyai opsi untuk langsung menjual lahan mereka kepada perusahaan atau investor skala kecil dimana mereka akan menanam kelapa sawit di atas lahan tersebut (Rival and Levang, 2014). Pekebun lainnya harus terlebih dahulu terlibat dalam berbagai macam model kelembagaan untuk memperoleh input yang diperlukan untuk membangun perkebunan kelapa sawit. Salah satu tantangan yang dihadapi pekebun adalah minimnya pemasukan yang dihasilkan dari suatu lahan kelapa sawit dalam dua atau tiga tahun pertama sebelum akhirnya menjadi produktif. Pekebun baru akan menerima keuntungan dari menanam kelapa sawit ketika pohon kelapa sawit yang mereka tanam telah tumbuh dewasa (Feintrenie dkk., 2010b). Pada akhirnya bagi para pekebun yang tidak dapat melewati tantangan di tahuntahun pertama penanaman kelapa sawit ini umumnya berakhir dengan kondisi keuangan yang lebih buruk dibandingkan dengan kondisi keuangan mereka sebelum menanam kelapa sawit. Pada umumnya, pekebun swadaya menghabiskan delapan jam kerja setiap bulannya untuk mengelola dan memanen kelapa sawit di lahan seluas 2 hektar (Li, 2015). Rendahnya tingkat tenaga kerja yang diperlukan dalam pengelolaan kelapa sawit menjadikannya lebih diminati daripada tanaman pangan lainnya (Feintrenie dkk, 2010b). Selain itu, para pekebun pun memiliki lebih banyak waktu luang yang kemudian digunakan untuk menanam tanaman pangan lainnya (li, 2015). Namun, rendahnya tingkat produktivitas dari plotplot ini membuktikan bahwa lahan dengan luas 2 hektar tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Oleh karena itu, pekebun swadaya memerlukan sumber pendapatan lainnya atau lahan kelapa sawit dengan luas yang lebih besar untuk mengimbangi tekanan keuangan (Li, 2015). Meningkatkan produktivitas pekebun swadaya melalui peningkatan penggunaan pupuk atau peningkatan kualitas varietas benih kelapa sawit merupakan salah satu cara untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga pekebun swadaya yang layak (International Finance Corporation, 2013). Persyaratan kelembagaan yang dilaksanakan oleh pekebun swadaya ketika mereka mulai membudidaya kelapa sawit akan turut menentukan untungrugi yang mereka dapatkan dari menanam kelapa sawit (McCarthy, 2010). Prosesproses negosiasi untuk mendapatkan akses terhadap benih, pupuk dan kredit akan menentukan kemampuan mereka untuk bertahan pada tahuntahun awal penanaman serta kualitas kelapa sawit yang dihasilkan kedepannya. Para pekebun pun perlu menegosiasikan aturan dan persyaratan dengan pihak perantara mengenai sistem pembelian langsung atau pengangkutan tandan buah segar menuju tempat pengolahan (Belcher dkk., 2004). Akibat persyaratan kelembagaan yang ada, pengklasifikasian antara pekebun plasma dan pekebun swadaya menjadi tidak tegas, namun terdapat spektrum yang lebih luas dari sekedar dua klasifikasi tersebut. Selain perusahaan perkebunan dan pekebun swadaya, terdapat skema IntiPlasma, jointventure dan pekebun swadaya dengan pendampingan (Cramb and Curry, 2012). Kemandirian para pekebun dalam berbagai hubungan ini bergantung pada persyaratan kelembagaan yang diikuti seperti penyediaan input pertanian dan dukungan yang diberikan serta bagaimana lahan dapat didistribusikan atau dimanfaatkan sebagai jaminan atas pinjaman dari perusahaan. Kompleksitas serta resiko dari berbagai aturan ini dapat menyurutkan niat para pekebun untuk menanam kelapa sawit sehingga banyak dari mereka yang lebih memilih untuk menanam komoditas lain seperti karet yang lebih menjamin kemandirian mereka (Belcher dkk., 2004).

15 Bagi pekebun swadaya, keterlibatan dan hubungan kontraktual dengan pihak perantara menentukan apakah mereka dapat mendapatkan keuntungan dari budidaya sawit. Pihak perantara seperti pengepul dapat memainkan peran ganda dengan menyediakan input pertanian dan kredit sekaligus membeli dan mengangkut tandan buah segar dari pekebun swadaya. Dalam situasi di mana pihak perantara berperan sebagai pemasok input sekaligus pembeli, suatu pasar monopsoni akan terbentuk, yang kemudian berpengaruh terhadap harga yang diberikan kepada pekebun. Hal yang sama juga terjadi ketika petani berhadapan langsung dengan perkebunan kelapa sawit (McCarthy and Cramb, 2009). Dalam konteks budidaya sawit di Indonesia, pihak perantara sering kali dikategorisasikan sebagai mereka yang memegang izin perintah pengiriman resmi dari pabrik kelapa sawit, terlibat dalam pengangkutan dan pembelian tandan buah segar (TBS) dari pekebun, atau kombinasi dari faktorfaktor ini. Perintah pengiriman (delivery order) merupakan hak eksklusif yang diberikan kepada pengepul untuk mengirimkan tandan buah segar ke sebuah pabrik kelapa sawit (Anggraini and Grundmann, 2013). Jika seorang pengepul juga berperan sebagai penyedia benih dan pupuk dengan imbalan bahwa pekebun tersebut menjual TBS hanya kepadanya, ia akan membutuhkan akses terhadap pendanaan yang signifikan. Pengepul yang memegang perintah pengiriman menghadapi tekanan untuk memenuhi pesanan dan dapat dijatuhi sanksi atau kehilangan izin jika mereka tidak dapat memenuhinya. Untuk mengurangi tekanan tersebut, terdapat kemungkinan pemegang perintah pengiriman akan mengkompromikan kualitas tandan buah segar untuk memenuhi kuantitas yang diharapkan (Anggraini and Grundmann, 2013). Namun, masingmasing pabrik kelapa sawit memiliki standar yang berbeda beda dalam penentuan kualitas tandan buah segar yang dikirimkan pengepul atau pekebun langsung kepada mereka. Hal lain yang juga penting adalah jenis lahan yang dibuka oleh pekebun untuk menanam kelapa sawit dan dampak lingkungan hidup yang diakibatkannya. Lahan yang dibuka pekebun bisa berasal dari: hutan primer dan sekunder, lahan gambut, kebun agroforestri, dan lahan pertanian untuk tanaman pangan serta komoditas lain. Konversi hutan, lahan gambut, dan hutan yang beragam telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan menyumbang emisi gas rumah kaca yang besar (Carlson dkk., 2013). Sementara itu, konversi lahan pangan dan pertanian subsisten dapat mengancam ketahanan pangan dan meningkatkan kerentanan pekebun terhadap fluktuasi harga pasar. Perubahan lahan dari hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit dapat dilaksanakan secara legal, ilegal, atau berdasarkan klaim adat yang tidak diakui keberadaannya. Hal ini sama dengan penggunaan lahan lainnya seperti kebun masyarakat dan lahan agroforestri, yang mana sistem tenurialnya beragam termasuk rezim hak milik, klaim adat, dan klaimklaim lain yang tidak jelas atau ilegal. Seiring dengan meningkatnya fokus pada rantai pasok kelapa sawit yang berkelanjutan, kondisi pekebun yang berbudidaya secara swadaya juga harus diakui. Rantai pasok kelapa sawit berkelanjutan mensyaratkan bahwa seluruh TBS dalam rantai pasok harus legal, berkelanjutan, dan berkualitas tinggi. Hal ini merupakan beban tersendiri bagi pekebun swadaya yang seringkali tidak dapat memenuhinya. Pemerintah daerah, dengan kemungkinan dukungan dari pihak luar, harus membantu pekebun swadaya untuk memenuhi berbagai persyaratan tersebut. Dukungan ini akan memastikan bahwa plot perkebunan yang dikelola pekebun swadaya telah terdaftar dan TBS yang mereka hasilkan dapat dilacak. Pekebun juga memerlukan dukungan untuk mengadopsi praktikpraktik budidaya yang baik seperti penggunaan material tanaman berkualitas tinggi dan pupuk yang sesuai. Adopsi praktikpraktik budidaya yang baik ini juga memerlukan ketersediaan pinjaman secara finansial dengan syaratsyarat yang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pekebun swadaya. Dalam memastikan keterlacakan tandan buah segar tersebut identitas dan praktikpraktik pihak perantara seperti pengepul dan pengangkut perlu untuk diketahui dan turut diregulasi. 7

16 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia 8 Metodologi Kajian ini dilakukan di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, dua kabupaten penghasil kelapa sawit utama di Kalimantan Tengah, dan berfokus pada pekebun swadaya. Kami memilih pekebun swadaya karena mereka merupakan produsen kelapa sawit yang belum banyak dikaji secara mendalam dan dimonitor dalam rantai pasok minyak kelapa sawit. Dengan memfokuskan pada pekebun swadaya, kami memilih untuk tidak memasukan pekebun yang tidak memiliki kebun kelapa sawit dan pekebun plasma. Di dalam proses pemetaan, kebun sawit yang tidak dikelola secara swadaya tidak kami petakan. Para pekebun dalam kajian ini mungkin memiliki kebun plasma atau kebun yang ditanami jenis tanaman lain, namun kebunkebun tersebut tidak diikutsertakan dalam kajian ini. Fokus kajian kami adalah untuk mendapatkan pemahaman mengenai praktikpraktik yang dijalankan pekebun swadaya, mulai dari budidaya hingga penjualan dan pengangkutan kelapa sawit ke pabrik kelapa sawit. Keterlacakan hasil kelapa sawit dari pekebun swadaya menjadi jauh lebih jelas dan lebih mudah dimonitor ketika ia memasuki rantai pasok. Salah satu tahapan dari kajian ini adalah wawancara dengan para pihak perantara yang terlibat dalam perdagangan dan pengangkutan TBS dari lahan pekebun swadaya ke pabrik kelapa sawit. Kajian ini dilakukan bersama dengan pemerintah kabupaten dan desa melalui beberapa tahapan berikut: 1. Pertemuan dengan kepala desa untuk mendiskusikan kajian dan mensosialisasikan proses pemetaan; 2. Mengidentifikasi pekebun swadaya di masingmasing desa; 3. Melakukan wawancara dengan pekebun swadaya yang telah menanam kelapa sawit dan memetakan kebun mereka; 4. Melakukan referensi spasial (georeferencing) terhadap data dan menggunggahnya ke dalam sistem monitoring; 5. Melakukan wawancara terhadap para pihak perantara yang melakukan pembelian dari pekebun dan menjualnya kepada pihak yang memegang perintah pengiriman dari pabrik kelapa sawit; dan 6. Melakukan wawancara mendalam dengan beberapa pekebun terpilih, kepala desa, fasilitator lokal, dan beberapa responden lain yang relevan.

17 Kami menggunakan dua kuesioner terpisah dalam melakukan wawancara dan memetakan lahan pekebun swadaya. Kuesioner pertama terdiri dari survei komprehensif mengenai seluruh aspek budidaya kelapa sawit serta informasi sosial dan ekonomi dari masingmasing rumah tangga pekebun swadaya. Secara keseluruhan, 345 rumah tangga diwawancarai dengan menggunakan metode ini. Kuesioner kedua lebih singkat dan ditujukan untuk mengumpulkan data minimal untuk mensertifikasi pekebun swadaya berdasarkan standarstandar sertifikasi. Secara keseluruhan, 884 rumah tangga pekebun disurvei dengan menggunakan kuesioner kedua (Tabel 1 dan 2). Laporan ini menyajikan analisis data mengenai pekebun yang dikumpulkan antara bulan Juli 2014 dan Desember Di Kabupaten Kotawaringin Barat, kami melakukan survei terhadap 748 pekebun dari 8 desa yang mencakup wilayah seluas 1.671, 61 hektar Di Kabupaten Seruyan, kami melakukan survei terhadap 481 pekebun di 8 desa yang mencakup wilayah seluas 2.182, 75 hektar. Di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan, jumlah pekebun kelapa sawit diperkirakan mencapai dan orang pada tahun Data para pekebun yang disajikan dalam laporan ini mewakili sekitar 6 persen dari keseluruhan populasi pekebun kelapa sawit di Kabupaten Kotawaringin Barat dan 9 persen di Kabupaten Seruyan. 9 Tabel 1: Total jumlah pekebun yang diwawancarai di Kabupaten Kotawaringin Barat berdasarkan desa Desa Bumiharjo Pangkalan Tiga Pangkalan Satu Sei Bedaun Sei Kapitan Sei Sekonyer Teluk Pulai Sei Cabang Jumlah Responden yang diwawancarai Populasi Total Catatan : Profil pekebun swadaya di beberapa desa disajikan dalam Lampiran 1 6 Direktorat Jenderal Perkebunan 2014, Statistik Perkebunan Indonesia Kelapa Sawit, Direktorat Jendral Perkebunan, Kementerian Pertanian. 7 Pusat Statistik, B. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Kumai 2015 (2015 ed., p. 3). Kumai, Kalimantan Tengah: BPS

18 SELUK BELUK PEKEBUN KELAPA SAWIT DAN TANTANGAN BUDI DAYA SAWIT SECARA SWADAYA Studi Kasus Kabupaten Seruyan dan Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, Indonesia 10 Tabel 2: Total jumlah pekebun yang diwawancarai di Kabupaten Seruyan berdasarkan desa Desa Jumlah Responden yang diwawancarai Populasi 8 Bangkal Tabiku Telaga Pulang Sembuluh II Sembuluh I Pembuang Hulu I Pembuang Hulu II Selunuk TOTAL Plotplot kebun swadaya juga dipetakan. Plotplot tersebut dipetakan sebelum atau sesudah survei dilakukan, tergantung pada waktu yang disetujui oleh pemilik lahan. Plotplot tersebut dipetakan dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS) genggam dengan pengambilan minimal empat titik untuk memetakan batasbatas plot tersebut. Kami memetakan keseluruhan plot kebun swadaya masyarakat, tidak hanya bagianbagian yang ditanami sawit. Titiktitik ini kemudian digunakan untuk menciptakan poligon batasbatas lahan dengan menggunakan piranti lunak bernama ArcMap. Kami turut menyajikan informasi yang dikumpulkan dari hasil wawancara terhadap 70 orang pekebun di Desa Pangkalan Tiga di Kotawaringin Barat yang dipilih berdasarkan kesiapan mereka untuk menjalani sertifikasi keberlanjutan. Para pekebun ini, yang sebelumnya merupakan pekebun plasma, secara umum lebih terorganisir dan telah menjalankan praktikpraktik budidaya yang baik dibandingkan pekebun di desadesa lain. Para pekebun ini juga telah menerima lebih banyak bantuan teknis dan bantuan lainnya dibandingkan pekebun di desadesa lain. Oleh karena itu, para pekebun ini diperlakukan sebagai studi kasus yang unik dan bukan sampel representatif dari pekebun swadaya di Kalimantan Tengah. Kombinasi data sosialekonomi dan batasbatas kebun yang dikumpulkan tidak hanya difungsikan untuk tujuan penelitian, tetapi juga sebagai dasar implementasi kegiatan pemantauan terhadap produksi dan rantai pasok pekebun swadaya serta membantu mereka untuk memenuhi persyaratan sertifikasi. Selain kewajiban untuk menjalankan praktikpraktik pertanian yang baik, pekebun swadaya juga menghadapi dua hambatan signifikan untuk mendapatkan sertifikasi, yaitu memperoleh sertifikat kepemilikan lahan dan juga STDB. Tujuan akhir dari pengumpulan data ini adalah untuk membantu pengembangan sebuah sistem pemantauan online sebagai basis data perkebunan yang komprehensif. Dengan data sosialekonomi yang telah digeoreferensikan, para pembuat kebijakan dapat mengetahui di mana pekebun swadaya berada, kepada siapa mereka menjual produknya, dan bantuan apa yang mereka butuhkan untuk meningkatkan produktivitas mereka. Dengan data biofisik, para pembuat kebijakan juga dapat memitigasi praktikpraktik budidaya yang dapat merusak lingkungan hidup dengan mengidentifikasi lokasi dan faktorfaktor yang menyebabkannya. 8 Pusat Statistik, B. (2015). Statistik Daerah Kecamatan Kumai 2015 (2015 ed., p. 3). Kumai, Kalimantan Tengah: BPS

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN

PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN PENDEKATAN SERTIFIKASI YURISDIKSI UNTUK MENDORONG PRODUKSI MINYAK SAWIT BERKELANJUTAN Di sela-sela pertemuan tahunan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang ke-13 di Kuala Lumpur baru-baru ini,

Lebih terperinci

05/12/2016 KUALA PEMBUANG

05/12/2016 KUALA PEMBUANG KUALA PEMBUANG 1 KUALA PEMBUANG TERLETAK DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MERUPAKAN PEMEKARAN DARI KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2002 DENGAN IBU KOTA KUALA PEMBUANG.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11/Permentan/OT.140/3/2015 TENTANG SISTEM SERTIFIKASI KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL CERTIFICATION SYSTEM /ISPO)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana pembangunan dibidang pertanian menjadi prioritas utama karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memberikan komitmen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 26/Permentan/OT.140/2/2007 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa dengan Keputusan

Lebih terperinci

Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO

Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan. Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat Tantangan dan Hambatan Di Masa Depan Oleh : Asmar Arsjad APKASINDO Medan 28 September 2017 1 ABSTRAK Luas Kelapa Sawit Nasional 11,9 juta ha 4,8 juta ha diantaranya adalah

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN

VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN 158 VI. REKOMENDASI KEBIJAKAN Pengelolaan lahan gambut berbasis sumberdaya lokal pada agroekologi perkebunan kelapa sawit rakyat di Kabupaten Bengkalis dilakukan berdasarkan atas strategi rekomendasi yang

Lebih terperinci

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah Peluang untuk Meningkatkan Produktivitas dan Profiabilitas Petani Kecil Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah April 2015 Supported by: Dalam Konteks Indonesia dan Kalimantan Tengah Indonesia memiliki 10% dari

Lebih terperinci

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan

Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Untuk diterbitkan segera Siaran Pers Golden Agri Resources Memprakarsai Keterlibatan Industri untuk Konservasi Hutan Jakarta, Singapura, 9 Februari 2011 Golden Agri Resources Limited (GAR) dan anakanak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PEMERINTAH KABUPATEN KOTABARU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KOTABARU, Menimbang : a. bahwa dengan adanya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO

Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO Focus Group Discussion Pertama: Penyusunan Kajian Kritis Penguatan Instrumen ISPO LATAR BELAKANG Sebaran Areal Tanaman Kelapa Sawit di Indonesia Sumber: Statistik Perkebunan Indonesia, 2014 Ekstensifikasi

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang : a. bahwa keanekaragaman

Lebih terperinci

PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN SWADAYA

PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN SWADAYA LAMPIRAN VI PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : TANGGAL : PRINSIP DAN KRITERIA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN INDONESIA (INDONESIAN SUSTAINABLE PALM OIL/ISPO) UNTUK USAHA KEBUN

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN BISMILLAHHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR, Menimbang : Mengingat: a. bahwa keanekaragaman

Lebih terperinci

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG

BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG BUPATI TANAH BUMBU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANAH BUMBU NOMOR 8 TAHUN 2017 TENTANG PERLINDUNGAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANAH BUMBU,

Lebih terperinci

Pertanyaan Umum (FAQ):

Pertanyaan Umum (FAQ): Pertanyaan Umum (FAQ): Persyaratan dan Panduan Sistem Manajemen RSPO untuk Kelompok Produksi TBS (Versi AKHIR, Maret 2016) Untuk diperhatikan: dokumen FAQ ini akan diperbaharui secara berkala setelah menerima

Lebih terperinci

Lingkup hunbungan kemitraan meliputi :

Lingkup hunbungan kemitraan meliputi : Lingkup hunbungan kemitraan meliputi : 1. Penyediaan Lahan Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria KESESUAIAN LAHAN ( Suitable) dari aspek teknis, TERJAMIN dari aspek Legal dan KONDUSIF secara Sosial.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN

PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 33/Permentan/OT.140/7/2006 TENTANG PENGEMBANGAN PERKEBUNAN MELALUI PROGRAM REVITALISASI PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PETANIAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

Sustainability Policy

Sustainability Policy Sustainability Policy Progress Report 4 Dec 2014-31 Mar 2015 Komitmen Kelestarian Kebijakan Kelestarian Musim Mas Membawa manfaat bagi masyarakat sekitar. Laporan Triwulan terhadap Perkembangan Kebijakan

Lebih terperinci

Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi :

Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi : Adapun lingkup hunbungan kemitraan meliputi : 1. Penyediaan Lahan Lahan yang dimaksud harus memenuhi kriteria KESESUAIAN LAHAN ( Suitable) dari aspek teknis, TERJAMIN dari aspek Legal dan KONDUSIF secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi

I. PENDAHULUAN. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditi pertanian yang sangat penting bagi Indonesia. Pengembangan kelapa sawit telah memberikan dampak yang sangat positif bagi kemajuan pembangunan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1.tE,"P...F.3...1!..7. INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah

Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah Program Production and Protection Approach to Landscape Management (PALM) di Kalimantan Tengah Februari 2017 Tentang CPI Climate Policy Initiative (CPI) merupakan lembaga independen dan nirlaba yang mendukung

Lebih terperinci

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit

Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Fitur Pemeringkatan ICRA Indonesia April 2015 Metodologi Pemeringkatan Perusahaan Kelapa Sawit Pendahuluan Sektor perkebunan terutama kelapa sawit memiliki peran penting bagi perekonomian Indonesia karena

Lebih terperinci

SURAT TANDA DAFTAR USAHA BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN (STD-B) Kabupaten/Kota... Kecamatan...

SURAT TANDA DAFTAR USAHA BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN (STD-B) Kabupaten/Kota... Kecamatan... 31 LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 98/Permentan/OT.140/9/2013 PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN SURAT TANDA DAFTAR USAHA BUDIDAYA TANAMAN PERKEBUNAN (STD-B) Kabupaten/Kota...

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut

Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut www.greenomics.org KERTAS KEBIJAKAN Menguji Rencana Pemenuhan Target Penurunan Emisi Indonesia 2020 dari Sektor Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Gambut 21 Desember 2009 DAFTAR ISI Pengantar... 1 Kasus 1:

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan industri minyak kelapa sawit (crude palm oil CPO) di Indonesia dan Malaysia telah mampu merubah peta perminyakan nabati dunia dalam waktu singkat. Pada tahun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI. Halaman LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... i KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 7 1.3 Tujuan

Lebih terperinci

Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Karakteristik dan definisi Petani swadaya dalam konteks perkebunan kelapa sawit berkelanjutan www.spks-nasional.org Latar belakang Belum ada titik temu antara kondisi petani swadaya kelapa sawit dengan

Lebih terperinci

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD)

SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) SERBA SERBI HUTAN DESA (HD) Oleh Agus Budhi Prasetyo, S.Si.,M.Si. Dalam Renstra 2010-2014, Kemenhut merencanakan hutan kemasyarakatan seluas 2 juta ha dan hutan desa seluas 500.000 ha. Dari areal yang

Lebih terperinci

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA

PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA PIDATO UTAMA MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA PADA The Business and Investment Forum for Downstream Palm Oil Industry Rotterdam, Belanda, 4 September 2015 Bismillahirrohmanirrahim 1. Yang Terhormat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. penting dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2012, sumbangan sektor

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. penting dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2012, sumbangan sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, dimana pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian nasional. Pada tahun 2012, sumbangan sektor pertanian terhadap Produk

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a. bahwa tanah yang difungsikan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71 ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.105, 2015 SUMBER DAYA ALAM. Perkebunan. Kelapa Sawit. Dana. Penghimpunan. Penggunaan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN

Lebih terperinci

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 71

Lebih terperinci

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015

RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 RUMUSAN RAPAT KOORDINASI PANGAN TERPADU SE KALTIM TAHUN 2015 Pada Kamis dan Jumat, Tanggal Lima dan Enam Bulan Maret Tahun Dua Ribu Lima Belas bertempat di Samarinda, telah diselenggarakan Rapat Koordinasi

Lebih terperinci

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI SKRIPSI YAN FITRI SIRINGORINGO JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

Disampaikan dalam Semiloka Refeleksi setahun nota kesepakatan bersama (NKB) Selasa, 11 November 2014 Hotel Mercure Ancol, Ancol Jakarta Baycity

Disampaikan dalam Semiloka Refeleksi setahun nota kesepakatan bersama (NKB) Selasa, 11 November 2014 Hotel Mercure Ancol, Ancol Jakarta Baycity Disampaikan dalam Semiloka Refeleksi setahun nota kesepakatan bersama (NKB) Selasa, 11 November 2014 Hotel Mercure Ancol, Ancol Jakarta Baycity KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Peraturan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia telah dikenal sebagai negara agraris. Hal ini disebabkan karena Indonesia memiliki luas lahan dan agroklimat yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERDAYAAN NELAYAN KECIL DAN PEMBUDIDAYA-IKAN KECIL. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Pera No.166, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUMBER DAYA ALAM. Pembudidaya. Ikan Kecil. Nelayan Kecil. Pemberdayaan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5719) PERATURAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM INFORMASI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik

6. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG IZIN USAHA PERKEBUNAN DI KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HULU SUNGAI SELATAN, Menimbang

Lebih terperinci

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA

INDUSTRI PENGGUNA HARUS MEMBERSIHKAN RANTAI PASOKAN MEREKA SOLUSI Masa depan perdagangan internasional Indonesia tidak harus bergantung pada deforestasi. Sinar Mas Group adalah pemain terbesar dalam sektor-sektor pulp dan kelapa sawit, dan dapat memotori pembangunan

Lebih terperinci

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB)

KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) KERANGKA DAN STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG DALAM PROGRAM KARBON HUTAN BERAU (PKHB) Menimbang berbagai faktor utama yang menghambat pengelolaan hutan lindung secara efektif, maka pengelolaan hutan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI

PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI PENERAPAN SERTIFIKASI PERKEBUNAN LESTARI OLEH DIREKTUR TANAMAN TAHUNAN HOTEL SANTIKA, JAKARTA 29 JULI 2011 1 KRONOLOGIS FAKTA HISTORIS Sejak 1960-an dikalangan masyarakat internasional mulai berkembang

Lebih terperinci

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SALINAN BUPATI SERUYAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI SERUYAN NOMOR 13 TAHUN 2015 TENTANG KEBUTUHAN DAN HARGA ECERAN TERTINGGI PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN TAHUN ANGGARAN 2015 DENGAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Laporan Akhir Hasil Penelitian TA.2015 KAJIAN KEBIJAKAN AKSELERASI PEMBANGUNAN PERTANIAN WILAYAH TERTINGGAL MELALUI PENINGKATAN KAPASITAS PETANI Tim Peneliti: Kurnia Suci Indraningsih Dewa Ketut Sadra

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana

BAB I. PENDAHULUAN. kegiatan pertanian yang mendominasi perekonomian masyarakat desa, dimana BAB I. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Pembangunan pedesaan merupakan pembangunan yang berbasis desa dengan mengedepankan seluruh aspek yang terdapat di desa termasuk juga pola kegiatan pertanian yang

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 47 TAHUN 2016 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNSUR ORGANISASI DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang

Lebih terperinci

Final - disetujui pada Juli 2010

Final - disetujui pada Juli 2010 Final - disetujui pada Juli 2010 Disusun oleh: BIOCert Indonesia dan ProForest RSPO will transform markets to make sustainable palm oil the norm KONTEN: Istilah dan Definisi... 3 PENDAHULUAN... 7 Cakupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu kebutuhan dasar manusia sebagai makhluk hidup adalah kebutuhan akan pangan, sehingga kecukupan pangan bagi setiap orang setiap waktu merupakan hak asasi yang

Lebih terperinci

Mungkur dan Gading Jaya. kebun Limau. PT Selapan Jaya, OKI ha ha, Musi Banyuasin. PT Hindoli, 2, kebun Belida dan Mesuji

Mungkur dan Gading Jaya. kebun Limau. PT Selapan Jaya, OKI ha ha, Musi Banyuasin. PT Hindoli, 2, kebun Belida dan Mesuji Tabel 13 Perbandingan Karakteristik Kebun Kelapa Sawit Inti dan Plasma Contoh di Sumatera Selatan Tahun 2002 No Karakteristik Betung Barat 1 Nama lain IV Betung Talang Sawit Sungai Lengi II B Sule PT Aek

Lebih terperinci

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri

LESTARI BRIEF KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN USAID LESTARI PENGANTAR. Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri LESTARI BRIEF LESTARI Brief No. 01 I 11 April 2016 USAID LESTARI KETERPADUAN DALAM PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Penulis: Suhardi Suryadi Editor: Erlinda Ekaputri PENGANTAR Bagi ilmuwan, kebakaran

Lebih terperinci

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010

Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010 Upaya Menuju Kemandirian Pangan Nasional Jumat, 05 Maret 2010 Teori Thomas Robert Malthus yang terkenal adalah tentang teori kependudukan dimana dikatakan bahwa penduduk cenderung meningkat secara deret

Lebih terperinci

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan

BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan 51 BAB VI FAKTOR FAKTOR PENDUKUNG PERUBAHAN PRODUKSI PERTANIAN 6.1 Faktor Eksternal Komoditas Kelapa Sawit memiliki banyak nilai tambah dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Harga pasaran yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

2 bidang pertanian secara transparan, terukur, perlu menetapkan syarat, tata cara, dan standar operasional prosedur dalam pemberian rekomendasi teknis

2 bidang pertanian secara transparan, terukur, perlu menetapkan syarat, tata cara, dan standar operasional prosedur dalam pemberian rekomendasi teknis BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.680, 2015 KEMENTAN. Izin Usaha. Pertanian. Penanaman Modal. Rekomendasi Teknis. SOP. Tata Cara. Syarat. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/HK.140/4/2015

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH

PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH PEMBANGUNAN PERKEBUNAN BERKELANJUTAN DI KALIMANTAN TENGAH Disampaikan pada FIELD TRIP THE FOREST DIALOGUE KE PT. WINDU NABATINDO LESTARI PUNDU, 17 MARET 2014 PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN TENGAH DINAS

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DAN PENGGUNAAN DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan mempunyai fungsi tertentu, dimana kegiatan ekonominya, sektor dan produk unggulannya, mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN

PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN PERMASALAHAN PENGELOLAAN PERKEBUNAN Disampaikan pada Acara Monev Gerakan Nasioanal Penyelamatan SDA sektor Kehutanan dan Perkebunan Tanggal 10 Juni 2015 di Gorontalo DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN JENIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan

KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan KERTAS POSISI Kelompok Masyarakat Sipil Region Sulawesi Sistem Sertifikasi Bukan Sekedar Label Sawit Berkelanjutan INDUSTRI PERKEBUNAN SAWIT merambah Sulawesi sejak tahun 1980 an dan ekspansinya tetap

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan,

PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN. Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT: PERSPEKTIF LINGKUNGAN Mukti Sardjono, Saf Ahli Menteri Pertanian Bidang Lingkungan, Solo, 18 Juli 2017 Fakta dan Peran Penting Kelapa Sawit Pemilikan perkebunan sawit

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT SALINAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2016 2012 TENTANG BADAN RESTORASI GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka percepatan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERKEBUNAN NOMOR: 29/KPTS/KB.120/3/2017 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERKEBUNAN NOMOR: 29/KPTS/KB.120/3/2017 TENTANG KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERKEBUNAN NOMOR: 29/KPTS/KB.120/3/2017 TENTANG PEDOMAN PEREMAJAAN TANAMAN KELAPA SAWIT PEKEBUN, PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA DAN BANTUAN SARANA DAN PRASARANA DALAM KERANGKA

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai

BAB I PENDAHULUAN. telah dibuka maka investasi harus terus dilanjutkan sampai kebun selesai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bisnis perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu bisnis yang dinilai prospektif saat ini. Karakteristik investasi dibidang perkebunan kelapa sawit teramat berbeda

Lebih terperinci

CATATAN : - Peraturan Daerah ini memiliki 7 halaman penjelasan. - Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 25 Februari 2015.

CATATAN : - Peraturan Daerah ini memiliki 7 halaman penjelasan. - Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan 25 Februari 2015. PENGELOLAAN SAMPAH PERDA KAB. KETAPANG NO. 1. LD. SETDA KAB. KETAPANG: 24 HLM. PERATURAN DAERAH KAB. KETAPANG TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH : - Pengelolaan sampah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.81/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG KERJASAMA PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DENGAN

Lebih terperinci

PEMBELIAN TBS (TANDAN BUAH SEGAR)/PENERIMAAN SUPPLIER BARU

PEMBELIAN TBS (TANDAN BUAH SEGAR)/PENERIMAAN SUPPLIER BARU PENERIMAAN SUPPLIER BARU Dibuat Oleh, Direview oleh, Disahkan oleh Riwayat Perubahan Dokumen Revisi Tanggal Revisi Uraian Oleh Daftar Isi 1. Tujuan...4 2. Ruang Lingkup...4 3. Referensi...4 4. Definisi...4

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005

REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 BOKS REKOMENDASI SEMINAR STRATEGI DAN TANTANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI JANGKA MENENGAH PROVINSI JAMBI 22 DESEMBER 2005 I. PENDAHULUAN Dinamika daerah yang semakin kompleks tercermin dari adanya perubahan

Lebih terperinci

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN

ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL I. PENDAHULUAN ANALISIS FINANSIAL USAHA PUPUK ORGANIK KELOMPOK TANI DI KABUPATEN BANTUL A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur

Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Oleh : Kepala Bidang Perkebunan Berkelanjutan Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Timur Disampaikan dalam Festival Iklim KemenLHK Jakarta, 17 Januari 2018 Periode Peletakan Dasar Transformasi Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Selama lebih dari 3 dasawarsa dalam pasar minyak nabati dunia, terjadi pertumbuhan konsumsi yang cukup pesat. Konsumsi minyak nabati dunia antara tahun 1980 sampai

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 188.44 / 62 / 2012 TENTANG KELAYAKAN LINGKUNGAN HIDUP KEGIATAN PEMBANGUNAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT PT. SUMUR PANDANWANGI LUAS AREAL

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 26/Permentan/HK.140/4/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 26/Permentan/HK.140/4/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 26/Permentan/HK.140/4/2015 TENTANG SYARAT, TATA CARA DAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PEMBERIAN REKOMENDASI TEKNIS IZIN USAHA DI BIDANG PERTANIAN DALAM

Lebih terperinci

Golden Agri-Resources Ltd

Golden Agri-Resources Ltd Golden Agri-Resources Ltd Intisari Laporan Keberlanjutan (Sustainability Report) 2015 Agus Purnomo Managing Director Sustainability and Strategic Stakeholder Engagement Bambang Chriswanto Head of National

Lebih terperinci