BAB II KAJIAN PUSTAKA. ditandai dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA. ditandai dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit"

Transkripsi

1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Definisi Psoriasis adalah suatu penyakit kulit autoimun bersifat kronis yang ditandai dengan adanya hiperproliferasi epidermis, diferensiasi keratinosit epidermis yang berlangsung singkat dan inflamasi kulit disertai dengan fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Koebner (Gudjonsson dkk., 2012; Traub dkk., 2007). Karakteristik lesi yang paling utama adalah adanya plak eritematoskuamosa berbatas tegas, umumnya mengenai daerah ekstensor ekstremitas terutama siku dan lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong dan genitalia (Gudjonsson dkk., 2012; Griffiths dkk., 2010) Epidemiologi Psoriasis ditemukan di seluruh dunia, namun prevalensinya bervariasi dari 0,1% sampai 11,8% (Neimann dkk., 2006). Prevalensi di Amerika Serikat berkisar antara 2,2% hingga 2,6%, dengan sekitar kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya. Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk terkena penyakit ini (Gudjonsson dkk., 2012). Winta dkk melaporkan di RSUP dr. Kariadi terdapat 198 kasus (0,97%) psoriasis selama rentang waktu 5 tahun ( ) (Winta dkk., 2008). Kisaran umur penderita yang terbanyak adalah antara tahun, 70%-90% pasien mulai 7

2 8 mengalami gejala sebelum umur 40 tahun, sedangkan 10% pada masa anak-anak (Jacoeb, 2003; Sugianto, 2009). Psoriasis dapat terjadi pada semua umur, tetapi jarang pada umur di bawah 10 tahun. Paling sering terjadi antara umur 15 sampai 30 tahun (Gudjonsson dkk., 2008; Griffiths dkk., 2010). Onset sebelum umur 40 tahun umumnya menunjukkan kerentanan genetik yang lebih besar dan tentu saja lebih parah bahkan berdampak pada berulangnya psoriasis (Krueger dkk., 2013). Banyak penelitian menunjukkan bahwa jika psoriasis timbul lebih awal, akan dapat menetap seumur hidup dan bermanifestasi dalam jangka waktu yang tidak dapat ditentukan. Studi longitudinal menunjukkan remisi spontan dapat terjadi pada sekitar sepertiga pasien psoriasis dengan frekuensi yang bervariasi ( Elder, 2012) Faktor pencetus Faktor genetik dapat mencetuskan psoriasis, namun faktor lingkungan ternyata juga berperan penting pada patogenesis psoriasis. Beberapa penelitian membuktikan adanya hubungan antara Human leucocyte antigen (HLA), yaitu HLA-B13, -B17, -B39, -B57, -CW6, -CW7, -DR4, -DR7, dan analisis kromosomal dengan kejadian psoriasis. Faktor pencetus eksternal antara lain trauma fisik seperti garukan, stres psikologik, paparan sinar matahari, pembedahan, obat-obatan dan infeksi dapat mencetuskan psoriasis pada individu yang telah mempunyai predisposisi genetik (Habif, 2004). Faktor pencetus tersebut selain memperberat psoriasis juga dapat menimbulkan kekambuhan yang berat. Beberapa obat yang dilaporkan dapat mengeksaserbasi psoriasis antara lain beta blocker, ACE (angiotensin converting enzyme) inhibitor, antimalaria, dan

3 9 litium. Infeksi bakteri, virus, dan jamur juga dilaporkan dapat mencetuskan psoriasis (Griffiths dkk., 2005) Etiologi dan patogenesis Berdasarkan pada penelitian di populasi, risiko psoriasis adalah suatu hasil turunan yang telah diperkirakan berkisar 41 persen jika kedua orang tua terkena, 14 persen jika salah satu orang tua terkena, 6 persen jika satu saudara kandung terkena, dan 2 persen jika tidak ada orang tua atau saudara kandung yang terkena. Kembar monozigot bervariasi mulai dari 35 persen sampai 73 persen dari berbagai penelitian. Variasi dan fakta bahwa angka ini tidak mendekati 100 persen, mendukung suatu peran faktor lingkungan (Gudjonsson dkk., 2012). Pada penelitian-penelitian yang mempelajari kaitan faktor genetik, diidentifikasi beberapa lokus gen yang berperan dalam patogenesis psoriasis yaitu 6p (PSORS1), 17q25 (PSORS2), 4q34 (PSORS3), 1q21 (PSORS4), 3q21 (PSORS5), 19p13 (PSORS6), 1p32 (PSORS7), 16q (PSORS8), dan 4q31 (PSORS9) (Mahajan dkk., 2013). Diantara lokus gen suseptibel psoriasis tersebut (PSORS 1-9), didapatkan hubungan yang paling kuat terhadap insiden psoriasis yaitu gen PSORS1 (Chandran dkk., 2010). PSORS1 terletak pada major histocompatibility complex (MHC), kromosom 6p21.3, tempat dari gen HLA. Alel HLA multipel telah dihubungkan dengan psoriasis, khususnya HLA-B13, HLA B37, HLA-B46, HLA-B57, HLA-Cwl, HLA-cw6, HLA-DR7, dan HLA DQ9. Kebanyakan alel ini berada dalam ketidakseimbangan pertalian dengan HLA- Cw6, yang menunjukkan risiko relatif tertinggi untuk terjadinya psoriasis pada populasi kaukasian(mahajan dkk., 2013; Chandran dkk., 2010). Hanya sekitar 10

4 10 persen karier HLA-Cw6 berkembang menjadi psoriasis, dan telah diperkirakan bahwa PSORS1 berjumlah sekitar sepertiga sampai setengah dari variasi kecenderungan genetik terhadap psoriasis. Sehingga, sangat mungkin bahwa gen non-mhc tambahan juga terlibat (Pelsyak, 2012). Setelah PSORS1, lokus psoriasis yang paling rentan adalah PSORS2 (17q24-25). Lokus lain yang dinyatakan juga terlibat adalah PSORS4 (1q21.3), PSORS5 (3q21), PSORS8 (16q12-q13), dan PSORS9 (4q28-q31) (Mahajan dkk., 2013). Patogenesis psoriasis diperankan oleh sistem imunitas baik sistem imunitas alami maupun adaptif yang menginduksi sel-sel residen kulit seperti keratinosit, fibroblast dan sel endotelial. Sel T yang telah teraktivasi diketahui berperan penting dalam patogenesis psoriasis (Nograles dkk., 2010). Dengan adanya TGF-ß, dan IL-6 maka sel T naif akan bertransformasi menjadi Th17. Sel yang telah terakivasi ini akan memasuki sirkulasi dan mengalami ekstravasasi melalui endotel menuju tempat inflamasi di kulit sehingga terjadi ketidakseimbangan Th1-Th2-Th17 (Betteli dkk., 2006). Antigen precenting cells (APC) seperti sel dendritik dan makrofag menghasilkan interleukin 23. Sel dendritik pada lesi psoriasis, memiliki peranan dalam mengawali respon imun spesifik dan induksi self tolerance, namun peranan spesifik dari masing-masing subset masih belum jelas. Interleukin 23 yang dihasikan oleh sel dendritik dan makrofag menyebabkan aktivasi Th 17 untuk menghasilkan IL-17 dan IL-22. Sel Th 17 merupakan afektor sel CD4+ yang berperanan baik dalam imunitas nonspesifik maupun adaptif untuk melawan patogen. (Martin dkk., 2013).

5 11 Keratinosit berperan dalam patogenesis psoriasis sebagai penghasil utama sitokin proinflamasi, kemokin dan growth factor serta mediator inflamasi lainnya seperti eikosanoid dan mediator imunitas alami antara lain katelisidin, defensin, dan protein S100. Keratinosit pada psoriasis diaktifkan melalui suatu jalur alternatif diferensiasi keratinosit. Jalur ini diaktivasi sebagai respon terhadap stimulasi imunologi pada psoriasis, akan tetapi mekanisme bagaimana peristiwa ini terjadi saat ini masih belum diketahui. Selanjutnya didapatkan peran faktor angiogenik yang dihasilkan oleh keratinosit menyebabkan proliferasi vaskuler dermis yang abnormal dan angiogenesis. Pada lesi psoriasis tipe plak didapatkan peningkatan kadar vascular endothelial growth factor (VEGF) (Maharajan dkk., 2013). Gambar 2.1 Patogenesis psoriasis (Chiricozzi A, dkk., 2013).

6 Manifestasi klinis psoriasis Psoriasis vulgaris atau psoriasis dengan lesi plak kronis merupakan presentasi klasik dan yang paling sering terjadi pada psoriasis. Gambaran klasik lesi psoriasis adalah plak eritema berbatas tegas, meninggi dan ditutupi oleh skuama putih. Lesi dapat bervariasi mulai dari papul kecil hingga plak yang menutupi sebagian permukaan tubuh. Psoriasis cenderung merupakan erupsi yang simetris. Tanda Auspitz adalah tanda berupa bintik-bintik perdarahan yang merupakan pelebaran kapiler bila skuama disisihkan selain kulit eritema yang homogen dan mengkilap. Fenomena berupa munculnya lesi psoriasis setelah mendapat trauma pada kulit yang awalnya tidak ada lesi, sering muncul selama serangan disebut sebagai fenomena koebner, yang muncul 7-14 hari setelah cedera. Tanda tetesan lilin juga dapat ditemukan pada pasien psoriasis. Lesi baru bermula sebagai lesi pin point yang berkembang dan bergabung menjadi satu dengan lesi lain menjadi lesi plak (Pelsyak, 2012; Patel, 2011). Psoriasis vulgaris merupakan bentuk yang terjadi pada sekitar 90% kasus. Psoriasis secara umum adalah seperti psoriasis vulgaris dengan pola distribusi yang simetris. Lesi dapat terlokalisir dimanapun, tetapi wajah biasanya terhindar dari lesi dibandingkan dengan bagian ekstensor yaitu siku dan lutut serta kulit kepala adalah bagian tubuh yang paling sering terlibat (Newman dkk., 2008; Gudjonsson dkk., 2012). Kelainan kuku ditemukan pada 40 persen kasus dan jarang dijumpai jika tidak ada penyakit kulit di tempat lain. Pitting nail adalah bentuk yang banyak dijumpai dan lebih sering mengenai jari-jari tangan dibanding kaki. Daerah yang terlibat lainnya termasuk telinga, glans penis, daerah perianal dan derah yang mengalami trauma berulang (Traub, 2007; Patel, 2011).

7 13 Gambar 2.2(A-F) Lesi klasik pada psoriasis (Gudjonsson dkk., 2012) Psoriasis digolongkan menjadi beberapa subtipe. Psoriasis inversa terjadi pada daerah intertriginosa dan lipatan kulit berwarna merah, mengkilap dan biasanya tanpa skuama. Psoriasis inversa ini terjadi sekitar 2-6% dari seluruh pasien psoriasis (Kurian dkk., 2011). Sebopsoriasis sering dibingungkan dengan dermatitis seboroik, ditandai dengan sisik berminyak di daerah alis, cekungan nasolabial, dan daerah postaurikular dan presternal (Chaudhari dkk., 2008). Psoriasis gutata akut pada anak-anak, remaja, dan dewasa muda berkisar dua minggu setelah infeksi streptococcus B haemoliticus seperti tonsilitas atau pharingitis atau infeksi virus. Manifestasi berupa erupsi papular eritema ukuran diameter kurang dari 1 cm pada badan dan ekstremitas. Psoriasis gutata akut biasanya sembuh dengan sendirinya, membaik dalam 3 sampai 4 bulan. Suatu

8 14 studi menyatakan bahwa hanya sepertiga individu dengan psoriasis gutata berkembang menjadi plak psoriasis klasik (Newman dkk., 2008: Traub dkk., 2007). Psoriasis pustulosa juga merupakan erupsi psoriasis akut. Pasien mengeluh panas badan, pustul kecil steril monomorfik, nyeri dan sering dipicu oleh infeksi kambuhan atau penghentian mendadak dari steroid topikal superpoten atau sistemik. Hal ini dapat terlokalisir pada telapak tangan maupun kaki (psoriasis palmoplantar) atau dapat menyeluruh dan berpotensi mengancam nyawa (Kurian, 2011; Newman dkk., 2008). Psoriasis eritrodermi juga mengancam nyawa, melibatkan seluruh permukaan tubuh dan dapat menyebabkan hipotermi, hippoalbuminemia, uremia dan infeksi serta gagal jantung. Sehingga pasien perlu perawatan untuk mencegah hal-hal tersebut diatas (Pelsyak, 2012; Newman dkk., 2008). Manifestasi ekstrakutan dari psoriasis melibatkan kuku dan persendian. Psoriasis kuku terjadi pada sekitar persen pasien psoriasis dan paling sering bermanifestasi sebagai pitting. Perubahan kuku lainnya dapat termasuk onikolisis, perubahan warna, penebalan dan distropi (Gudjonsson dkk., 2012; Patel dkk., 2011). Psoriasis artropati adalah komplikasi dari psoriasis yang terjadi pada 5-10% pasien dan dapat juga terjadi pada pasien tanpa manifestasi kulit psoriasis. Manifestasi yang paling sering adalah arthritis dengan gejala yang sama dengan arthritis rheumatoid. Gejala yang patognomonik adalah arthritis pada sendi interphalangeal dari tangan. Kadang monoartritis dan poliartritis dari sendi besar

9 15 dapat terjadi. Pasien dengan psoriasis artropati, peningkatan frekuensi dari HLA- B27 dan HLA-Bw38 telah ditemukan (Lebwohl, 2001; Kurian, 2011) Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan histopatologi jarang diperlukan untuk membuat diagnosis psoriasis, namun dapat dilakukan pada kasus yang sulit. Gambaran histopatologi dari psoriasis vulgaris bervariasi berdasarkan stadium lesi, namun secara umum akan terdapat parakeratosis, rete ridges yang mengalami elongasi, penipisan suprapapilari epidermis dan hilangnya lapisan granuler. Pada dermis, elongasi dan oedema dari papilanya terlihat dengan dilatasi dan infiltrat inflamasi (Pelsyak, 2012). Pemeriksaan khusus berupa teknik Immunostaining memberikan kontribusi untuk memaparkan patogenesis dari psoriasis serta mengamati respon terhadap terapi namun tidak lazim digunakan untuk membuat diagnosis atau pertimbangan terapi (Lebwohl, 2001; Gudjonsson, 2012) Diagnosis psoriasis Diagnosis psoriasis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, dan dapat dibantu oleh pemeriksaan biopsi kulit. Manifestasi klinis psoriasis vulgaris berupa lesi plak eritema berbatas tegas dan ditutupi oleh skuama berwarna putih tebal. Tampak bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Fenomena Koebner atau respon isomorfik lebih sering terjadi selama masa perkembangan penyakit (Langley dkk., 2005; Gudjonsson dkk., 2012). Klinisi juga sebaiknya menggali riwayat penyakit pada penderita termasuk riwayat

10 16 keluarga, faktor modifikasi/lingkungan, dan kemungkinan penyakit penyerta lainnya (Kuchekar dkk., 2011; Gudjonsson dkk., 2012). Salah satu teknik yang digunakan untuk mengukur derajat keparahan psoriasis yaitu dengan menggunakan skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) (Bonifati dan Berardesca, 2007; Kenneth, 2005). Skor PASI merupakan gold standar pengukuran yang digunakan untuk mengetahui derajat keparahan dan luas lesi psoriasis. Pada uji klinis, perubahan skor PASI digunakan untuk menilai kemajuan terapi. Klinisi berpendapat bahwa keberhasilan pengobatan psoriasis ditunjukkan dengan adanya perbaikan skor PASI hingga lebih atau sama 75%, walaupun perbaikan skor PASI <75% masih menunjukkan adanya perbaikan klinis psoriasis (Feldman dkk., 2005) Penatalaksanaan Penatalaksanaan psoriasis didasarkan pada luas area tubuh yang terkena. Bila area tubuh yang terkena kurang dari 10 persen pilihan pengobatannya adalah pengobatan topikal dan dapat dikombinasi dengan fototerapi. Apabila area tubuh yang terkena lebih dari 10 persen yang termasuk kategori sedang adalah kombinasi antara terapi topikal, fototerapi dan pusat perawatan harian. Sedangkan untuk kategori berat dengan keterlibatan lebih dari 30 persen area permukaan tubuh diperlukan pengobatan sistemik, dikombinasi dengan pusat perawatan harian, fototerapi dan terapi topikal (Chaudhari dkk., 2008; Prodanovic dan Korman, 2008). Beberapa peneliti juga mempergunakan skor PASI untuk menentukan tingkat keparahan psoriasis sehingga dapat ditentukan pilihan terapi dan untuk mengevaluasi keberhasilan terapi (Gudjonsson, 2012).

11 17 Dalam memilih regimen pengobatan sangatlah penting untuk mendiskusikan mengenai berat tidaknya penyakit serta tanggapan pasien terhadap penyakitnya sendiri. Pada beberapa studi 40 persen penderita psoriasis merasa frustasi karena kegagalan dalam terapi dan 32 persen dilaporkan sudah tidak terlalu antusias dengan pengobatan. Oleh karena psoriasis adalah penyakit yang kronis maka sangat penting untuk memahami aman tidaknya suatu terapi jika digunakan jangka panjang. Pada kebanyakan terapi, durasi pengobatan dibatasi oleh karena adanya potensi akumulasi toksisitas serta adanya penurunan efektivitas pengobatan seiring waktu (takifilaksis) (Lebwohl dan Ali, 2001; Kurian dan Barankin, 2011). Pengobatan anti psoriasis berspektrum luas baik secara topikal maupun sistemik telah tersedia. Sebagian besar obat-obatan ini memberikan efek imunomodulator(gudjonsson dan Elder, 2012) Pengobatan topikal Pilihan pengobatan topikal antara lain kortikosteroid, vitamin D3 dan analognya, antralin, coal tar, tazaroten, inhibitor kalsineurin topikal, dan emolien (Reichrath dan Nurnberg, 2009). Kortikosteroid topikal sering sebagai terapi lini pertama pada psoriasis ringan dan sedang. Perbaikan biasanya dicapai dalam waktu 2-4 minggu, dengan terapi pemeliharaan yaitu dengan pemakaiannya yang intermiten (biasanya terbatas pada akhir minggu). Terjadinya takifilaksis pada pengobatan dengan kortikosteroid topikal adalah kejadian yang biasa. Penggunaan topikal kortikosteroid jangka panjang bisa menyebabkan atrofi kulit, telangiektasi, striae dan supresi adrenal (Van de Kerkhof, 2003). Kortikosteroid

12 18 topikal menjadi terapi andalan untuk psoriasis di Amerika Serikat maupun di banyak negara meskipun telah banyak diperkenalkan agen non steroid yang sama efektifnya dengan kortikosteroid salah satunya adalah vitamin D topikal (Shaaban dan El-Samad, 2011). Vitamin D bekerja dengan berikatan dengan reseptor vitamin D3, yang merupakan anggota lain dari superfamili reseptor hormon inti, Vitamin D3 bekerja dengan meregulasi pertumbuhan sel, diferensiasi dan fungsi imun, dan juga metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D digunakan untuk menghambat proliferasi dari keratinosit pada kultur dan untuk mengatur proses diferensiasi epidermal. Selain itu, vitamin D menghambat produksi berbagai sitokin proinflamasi melalui klon sel T psoriasis termasuk IL-2 dan IFN-γ ( Menter, 2009; Gudjonsson dkk., 2012). Analog dari vitamin D yang telah digunakan sebagai terapi penyakit kulit adalah kalsipotrien (kalsipotriol), takalsitol dan maxakalsitol. Pada studi jangka pendek, ditemukan bahwa kortikosteroid topikal yang poten lebih superior daripada kalsipotrien. Jika dibandingkan dengan penggunaan antralin dalam jangka waktu yang singkat atau coal tar 15%, ternyata kalsipotrien lebih efektif. Efikasi dari kalsipotrien tidak berkurang meskipun digunakan sebagai terapi jangka panjang. Kalsipotrien digunakan dua kali sehari dan lebih efektif daripada penggunaan sekali sehari. Adanya hiperkalsemia merupakan satu-satunya hal utama yang perlu diperhatikan dalam persiapan penggunaan vitamin D topikal. Jika jumlah yang digunakan tidak melampaui jumlah yang direkomendasikan

13 19 yaitu 100 g/minggu, pemakaian kalsipotrien relatif aman (Menter, 2009; Gudjonsson dkk., 2012). Dithranol ( 1,8- dihidroksi-9-antron) diakui sebagai terapi terapi psoriasis plak kronis. Sering digunakan sebagai terapi pada psoriasis. Bisa dikombinasikan dengan fototerapi UVB dengan hasil yang baik (rejimen Ingram). Efek samping yang paling sering adalah dermatitis kontak iritan dan dapat mewarnai baju, kulit, rambut dan kuku. Antralin memiliki aktivitas anti proliperatif pada keratinosit manusia serta efek anti inflamasi yang poten. (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Goeckerman memperkenalkan penggunaan coal tar mentah dan sinar UV sebagai terapi psoriasis pada tahun Tar bekerja dengan menekan sintesis DNA dan menurunkan aktivitas mitotik pada lapisan basal epidermis, dan beberapa komponen dari tar memiliki akivitas anti inflamasi. Tar sering dikombinasikan dengan asam salisilat (2%-5%), yang mana memiliki efek keratolitik dan memudahkan penyerapan dari coal tar (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Tazaroten adalah generasi ketiga retinoid, diduga cara kerjanya dengan membentuk reseptor asam retinoid, akan tetapi target molekularnya belum diketahui. Sering terjadi iritasi lokal jika digunakan sebagai monoterapi dan ditambahkan ditengah-tengah penggunaan fototerapi (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Takrolimus dapat memblok baik sinyal transduksi dari limfosit T maupun transkripsi Il-2 serta membentuk kesatuan dan menghambat kalsineurin.

14 20 Pimekrolimus adalah inhibitor kalsineurin dan bekerja dengan cara yang sama dengan takrolimus dan CsA. Agen ini sebagai terapi psoriasis pada wajah dan psoriasis inversa, memberikan terapi yang efektif (Martin, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Asam salisilat sebagai agen topikal keratolitik, mekanisme kerjanya juga mengurangi adesi keratinosit dan menurunkan ph dari stratum korneum. Asam salisilat sering dikombinasikan dengan terapi topikal yang lain seperti kortikosteroid dan coal tar (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012). Perawatan kulit dengan emolien seharusnya dilakukan selama masa pengobatan untuk mencegah kulit kering. Emolien dapat mengurangi skuama, mengurangi nyeri lecet dan membantu mengontrol rasa gatal. Penambahan urea (sampai 10 %) berguna untuk meningkatkan hidrasi dari kulit dan melepaskan skuama pada lesi awal. Penggunan emolien lunak di atas lapisan terapi topikal yang tipis dapat meningkatkan hidrasi dan mengurangi biaya pengobatan (Menter, 2009 ; Gudjonsson dkk., 2012) Fototerapi Fototerapi dengan UVB dan fotokemoterapi dengan menggunakan psoralen topikal atau sistemik dikombinasikan dengan UVA biasanya diindikasikan untuk kasus psoriasis. UVB 311nm memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan UVB konvensional dengan efek eritema yang lebih sedikit, tetapi relatif lebih mahal (Azfar dan Voorhees, 2008). Dosis terapi UVB antara % dari minimal eritema dose, diberikan dua atau lima kali setiap minggu. Terapi diberikan sampai remisi total tercapai

15 21 atau sampai tidak ada perbaikan yang akan didapat jika terapi dilanjutkan. Narrowband (312 nm) UVB (NB-UVB) fototerapi lebih efektif dibandingkan dengan broadband konvensional UVB ( nm) dengan melihat keberhasilannya baik dalam membersihkan maupun dalam hal waktu remisi. Pancaran supraeritematogenik yang dimiliki oleh UVB dan PUVA diketahui menghasilkan klirens psoriasis yang lebih cepat, namun ada faktor lain seperti intoleransi dari kulit normal disekitar lesi karena lesi psoriasis sering dapat lebih tahan terhadap paparan UV yang lebih tinggi. Laser eksimer monokromatik 308 nm bisa menghantarkan dosis supraeritematogenik seperti yang dimiliki oleh UVB dan PUVA ( sampai dengan 6 MED, biasanya dalam jarak 2-6 MED) secara terfokus pada lesi kulit. Dosis ditentukan berdasarkan kondisi kulit pasien dan ketebalan dari plak dengan dosis berikutnya berdasarkan respon dari terapi atau perkembangan dari efek samping (Honigsmann, 2001; Gudjonsson dkk., 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Osmancevic di Swedia didapatkan perbaikan pada semua pasien psoriasis dengan penurunan skor PASI serta peningkatan kadar 25(OH)D setelah dilakukan fototerapi, tidak terdapat korelasi antara dosis UVD dengan peningkatan 25(OH)D (Osmancevic, 2012) Agen oral sistemik Pilihan pengobatan sistemik antara lain adalah metotreksat yang merupakan obat yang sangat efektif untuk pengobatan psoriasis. Obat ini diperkirakan bekerja secara langsung menghambat hiperproliferasi epidermal dengan jalan menghambat dihidrofolat reduktase. Metotreksat memiliki efek

16 22 samping terhadap sistem hemopoetik dan merusak hati (Shah dan Weinberg, 2008; Robinson dan Korman, 2008; Afifi dkk., 2005). Jika terjadi hepatotoksik, supresi hematopoetik, infeksi aktif, mual dan pneumonitis, maka pengobatan dengan MTX harus dihentikan. Metotreksat bersifat teratogenik dan sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil (Strober, 2006; Gudjonsson dkk., 2012). Retinoid yang merupakan derivat vitamin A memberikan hasil yang baik pada pasien psoriasis pustular dan psoriasis gutata, efek sampingnya berupa kekeringan pada mukokutan, hipertrikosis, pruritus dan paronikia (Afifi dkk, 2005). Siklosporin merupakan alternatif terapi yang merupakan inhibitor spesifik dari sel T, efek samping yang dapat terjadi adalah hipertensi dan gagal ginjal. Obat sistemik yang lain seperti kortikosteroid tetapi jarang dipergunakan mengingat efek remisi yang cepat dari psoriasis (Robinson dan Korman, 2008). Azathioprin, asam fumarat, sulphasalasin, hidroksiurea dan FK506 adalah pengobatan sistemik lainnya yang belum terdaftar sebagai pengobatan psoriasis, namun akan dapat membantu jika obat lain tidak memberikan efek atau adanya kontraindikasi pengobatan (Azfar dan Voorhees, 2008; Afifi dkk, 2005). Pemberian vitamin D oral pernah dicobakan pada penelitian yang dilakukan oleh Finamor dkk. pada pasien psoriasis di Brazil tahun Penelitian ini memberikan vitamin D oral dengan dosis IU perhari selama 6 bulan. Skor PASI secara signifikan mengalami perbaikan pada semua passion psoriasis yang ikut dalam penelitian ini tanpa adanya efek samping (Finamor dkk., 2013).

17 Terapi kombinasi Terapi kombinasi diberikan untuk mendapatkan meningkatkan efikasi dan mengurangi efek samping pengobatan sehingga menghasilkan perbaikan yang lebih besar dengan dosis yang sama dengan pengobatan tunggal. Data mengenai kombinasi terapi biologi dengan sistemik yang lain atau agen topikal masih belum banyak tersedia, tapi beberapa kombinasi biasanya digunakan sebagai terapi artritis inflamasi, seperti kombinasi MTX dan agen anti-tnf yang juga bermanfaat sebagai terapi penyakit psoriasis yang rekalsitran (Gudjonsson dkk., 2012). 2.2 Vitamin D Vitamin D adalah nutrisi larut lemak dimana manusia memperoleh dari makanan dan juga sintesis di kulit dari paparan matahari (Glowacki dan Leboff, 2010). Peran utama vitamin D yang diakui adalah dalam pembentukan tulang, namun dengan semakin banyaknya penelitian yang berbasis bukti maka fungsi vitamin D semakin diakui berfungsi pada berbagai jaringan dalam tubuh termasuk otak, jantung, otot, sistem kekebalan tubuh dan kulit. Defisiensi vitamin D dicurigai berperan dalam berbagai penyakit dengan perjalanan yang panjang seperti kanker, penyakit autoimun, jantung dan gangguan neurologis. Keterlibatannya dalam patogenesis penyakit kulit telah menjadi subyek dalam banyak penelitian selama beberapa tahun terakhir (Mostafa dan Hegazy, 2014).

18 Sejarah vitamin D William Fletcher pada tahun 1905 menjadi ilmuwan pertama yang menetapkan bahwa penyakit yang terjadi akibat faktor-faktor khusus (vitamin) dihilangkan dari makanan. Dia meneliti penyebab penyakit beri-beri saat menemukan perbedaan antara orang yang makan nasi yang masih terbungkus sekam dengan yang telah dihilangkan sekamnya. Dia percaya bahwa ada nutrisi khusus yang terkandung dalam sekam padi. Pada saat yang sama ahli biokimia Frederick Gowland Hopkins menemukan bahwa faktor-faktor spesifik dalam makanan penting untuk kesehatan. Ilmuwan asal Polandia Cashmir Funk menamakan nutrisi khusus pada makanan sebagai vitamine yang berasal dari kata vita yang artinya kehidupan dan amine yang berasal dari kata thiamin, merupakan senyawa yang terisolasi dalam sekam padi (Osmancevic, 2009). Daniel Whistler mendeskripsikan gambaran klinis ricketsia untuk pertama kalinya di Universitas Lugdunum Batovarum pada tahun Asal-usul penyakit ini sebagian besar tidak diketahui sampai ditemukan vitamin D sebagai senyawa gizi oleh Mellanby di awal abad ke-20 (Bouillon dkk., 2008; Wacker dan Holick, 2013). Ricketsia secara bertahap mengalami perbaikan setelah mendapat paparan sinar matahari atau setelah minum minyak hati ikan yang kaya vitamin D (Atapattu, 2013). Pengetahuan tentang vitamin D semakin berkembang setelah ditemukannya metabolism kompleks vitamin D, sebanyak lebih dari 41 metabolit terutama 25-hydroxyvitamin D (25-OHD) dan 1,2 dihydroxyvitamin D [1,25- (OH)2D] dan regulasi kompleks produksi ginjal dari produk aktif [1,25-(OH)2D] sebagai hormon steroid (Bouillon dkk., 2008). Vitamin D diklasifikasikan

19 25 sebagai vitamin pada awal abad ke-20 dan pada pertengahan abad ke-20 sebagai prohormon. Kemampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup vitamin D3 dengan paparan cahaya matahari yang cukup menunjukkan bahwa vitamin D sebenarnya tidak vitamin. Sekarang diketahui bahwa vitamin D dimetabolisme menjadi hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D3 [(1,25(OH)2D3] atau calcitriol. Sebelumnya telah dilakukan pengamatan bahwa metabolit vitamin D berinteraksi dengan protein dalam ekstra intestinal yang menyebabkan identifikasi dari Vitamin D receptor (VDR). Vitamin D receptor mengaktivasi faktor transkripsi yang berinteraksi dengan coregulators dan kompleks preinisiasi transkripsional untuk mengubah tingkat target transkripsi gen. Kehadiran VDR pada jaringan yang tidak berpartisipasi pada hemostasis ion mineral menyebabkan penemuan dari sejumlah fungsi lain pada hormon vitamin D. Kemampuan 1,25(OH)2 D3 untuk menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi berbagai jenis sel menunjukkan fungsi beragam vitamin D untuk mencegah kanker, modulasi sistem imun dan mengendalikan berbagai sistem endokrin (Dusso dkk.,2005) Nomenklatur Ada dua bentuk vitamin D yang tersedia yaitu vitamin D2 (ergokalsiferol) dan vitamin D3 (kolekalsiferol) (Glowacki dan Leboff, 2010). Vitamin D3 diproduksi pada kulit sebagai hasil iradiasi ultraviolet dari 7-dehydrocholesterol (7-DHC) sedangkan vitamin D2 dihasilkan dari iradiasi ultraviolet tumbuhan yang mengandung sterol ergosterol seperti jamur dan ragi (Osmancevic, 2009). Selain perbedaan pada metabolismenya, terdapat perbedaan kimia antara vitamin D2 dan D3 pada rantai samping. Berbeda dengan vitamin D3, vitamin D2 memiliki ikatan

20 26 ganda antara karbon 22 dan 23 dan gugus metal pada karbon 24, namun secara umum, aktivitas biologisnya hampir sama (Chung dkk., 2009; Osmancevic, 2009). Gambar 2.3 Struktur vitamin D3 dan D2 prekursor masing masing 7-dehydrocholesterol dan ergosterol (Osmancevic, 2009) Metabolisme vitamin D Pernyataan bahwa vitamin D3 hanya merupakan prekursor untuk bentuk fungsional aktif, 1α,25-dihydroxyvitamin D3, dapat dikatakan salah satu perkembangan yang paling penting dalam penelitian vitamin dalam pertengahan abad ke-20. Penemuan dua langkah aktivasi yang terlibat dalam metabolisme vitamin D3 menjadi hormon 1,25-(OH)2D3 dapat menjelaskan tentang peran vitamin D dalam peristiwa fisiologis yang terlibat dalam kalsium dan fosfat homeostasis (Burger, 2010; Tanghetti, 2009). Diperkirakan bahwa antara 90% sampai 95% dari semua orang memperoleh kebutuhan vitamin D dari paparan sinar matahari (Holick, 1994). Kemungkinan lain, vitamin D, baik dalam bentuk vitamin D2 atau D3, dapat

21 27 diperoleh dari sumber makanan. Terdapat sedikit vitamin D yang secara alami ada pada makanan. Sumber makanan alami yaitu lemak ikan, hati sapi dan kuning telur, namun banyak makanan yang kini telah difortifikasi dengan vitamin D (Dusso dkk.,2005; Chung dkk.,2009). Kedua vitamin ini menjalani proses aktivasi yang sama, yang melibatkan 25-hydroxylation pertama kali di hati, diikuti 1αhydroxylation pada ginjal, untuk membuat senyawa biologis aktif masing-masing 1,25-(OH)2D3 dan 1,25-(OH)2D2. Ada sedikit bukti bahwa kedua bentuk aktif berbeda dalam tempat dan mekanisme kerjanya, tetapi kebanyakan yang diketahui adalah sintesis dan kerja dari 1,25-(OH)2D3 maka lebih banyak sumber yang membahas tentang senyawa D3 ini (Miller dan Gallo, 2010; Samuel dan Sitrin, 2008). Produksi vitamin D yang terjadi di kulit dibawah pengaruh sinar UVB merupakan reaksi fotokimia murni tanpa ada enzim yang terlibat. Reaksi ini tergantung pada waktu dalam hari, musim, lokasi, warna kulit dan usia. Reaksi ini memerlukan konsentrasi yang cukup besar 7-dehydrocholesterol (7DHC) dan UV-B nm. 7-dehydrocholesterol merupakan hasil akhir sintesis de novo kolesterol normal dan biasanya ada dalam konsentrasi rendah (Bouillon dkk., 2008; Romagnoli dkk.,2013). Paparan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi photolitik 7- dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 diikuti isomerisasi termal menjadi vitamin D3 (Dusso dkk., 2005; Chung dkk., 2009). Setelah terbentuk, vitamin D3 dikeluarkan dari membran plasma keratinosit dan ditarik ke dalam kapiler dermis oleh DBP. Vitamin D kemudian dilepaskan ke sistim limfatik dan memasuki

22 28 darah vena, yang diikat oleh DBP dan lipoprotein kemudian diangkut menuju hepar (Nezhad dkk.,2013). Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan metabolit lainnya) adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa sitokrom p-450 hepar telah menunjukkan mengandung 25- hydroxylasevitamin D. Kadar 25(OH)D meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini kadar plasma 25(OH)D biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso dkk.,2005). Bioaktivasi vitamin D, pembentukan 1,25-dihydroxyvitamin D [1,25- (OH)2D] dari 25-hydroxyvitamin D, terjadi dalam kondisi fisiologis, terutama pada ginjal, namun beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar dalam sirkulasi seperti kehamilan, gagal ginjal kronis, sarkoidosis, tuberkulosis, granulomatus dan rheumatoid arthritis. Produksi 1,25 (OH)2D ekstrarenal terutama berfungsi sebagai faktor autokrin atau parakrin dengan fungsi sel spesifik. Regulasi 1αhydroxylase ekstrarenal sangat berbeda dari enzim ginjal, sesuai dengan fungsi autokrin atau parakrin yang secara lokal memproduksi 1,25(OH)2D3. Sampai saat ini, 1α-hydroxylase diketahui terdapat pada beberapa sel dan jaringan yaitu prostat, panyudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan sel paratiroid. Ratarata 1,25(OH)2D3 mengalami sintesis dan degadrasi dibawah kontrol faktor lokal seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang mengoptimalkan kadar 1,25(OH)2D3 untuk fungsi sel spesifik ini melalui mekanisme yang masih belum sepenuhnya dipahami (Dusso dkk.,2005). Kekurangan vitamin D merupakan masalah yang luas. Vitamin D3 diproduksi di kulit atau dari asupan makanan yang disimpan dalam lemak tubuh

23 29 akan dilepaskan ke dalam sirkulasi pada kondisi dimana produksi vitamin D3 pada kulit tidak memadai. Vitamin D tidak disirkulasi lama didalam darah, tapi akan segera diambil oleh jaringan adipose untuk disimpan di hati untuk metabolisme selanjutnya. Pada manusia simpanan vitamin D pada jaringan dapat berbulanbulan bahkan tahun. Pertama kali akan teraktivasi di hati sebelum berfungsi pada masing-masing target organ (Reichrath dan Nurnberg, 2009). Pengamatan pada subyek dengan paparan yang konstan dari UVB tinggi yang tinggal dekat dengan khatulistiwa memiliki rata-rata level serum 25(OH)D 107nmol -1 yang memberikan asumsi bahwa level diatas 100 nmol -1 dapat dianggap memadai dimana tidak ada gangguan fungsi vitamin D tubuh yang terjadi (Glowacki dan Leboff, 2010). Hipovitaminosis D lazim terjadi pada orang tua karena aktivitas diluar ruangan yang terbatas dan penurunan kapasita sintesis vitamin D pada kulit bila dibandingkan dengan orang dewasa muda. Dalam sebuah survei epidemiologi di 11 negara Eropa, kekurangan vitamin D ditemukan pada 36% subyek laki-laki tua dan 47% pada subyek perempuan tua (Reichrath dan Nurnberg, 2009; Ricketts dan Rothe, 2010). Anak-anak maupun orang dewasa dengan obesitas kolekalsiferol disimpan lebih dalam pada lemak tubuh, sehingga bioavailabilitas kurang (Osmancevic, 2009). Kondisi ini menyebabkan orang-orang dengan obesitas hanya mampu meningkatkan kadar vitamin D dalam darahnya sekitar 50% dari orang yang bukan obesitas (Wortsman dkk., 2000). Obesitas dikaitkan dengan tingginya kejadian dan aktivitas psoriasis serta dapat mempengaruhi pendekatan terapi dan respon klinis untuk pengobatan sistemik (Hercogova dkk, 2010). Orgaz-molina

24 30 dkk mendapatkan bahwa serum 25-hydroxyvitamin D pada pasien psoriasis secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan kontrol dan berbanding terbalik dengan obesitas. Pasien psoriasis dengan indeks masa tubuh lebih atau sama dengan 27 mempunyai kecenderungan untuk memiliki insufisiensi vitamin D (Orgaz-molina dkk., 2012). Kondisi ini juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Wilson yaitu terdapat korelasi yang negatif antara kadar vitamin D dengan IMT (r= -0,4, p< 0,001) (Wilson, 2013). Vitamin D bekerja dengan berikatan dengan reseptor vitamin D, yang merupakan anggota protein dari superfamili reseptor hormon inti. Cara kerjanya dengan mengatur pertumbuhan sel, diferensiasi dan fungsi imun serta untuk metabolisme kalsium dan fosfor. Vitamin D telah terbukti berperan menghambat proliferasi keratinosit pada kultur dan mengatur proses diferensiasi epidermis. Selain itu vitamin D juga menghambat produksi dari berbagai sitokin pro inflamasi termasuk IL-2 dan ץ- IFN (Reichrath dan Nurnberg, 2009; Ricketts dan Rothe, 2010; Shaaban dan El-Samad, 2011) Fungsi vitamin D pada kulit Selain signifikansinya dalam homeostasis kalsium dan metabolisme tulang, bentuk aktif vitamin D, 1,25-dihydroxyvitamin D3 [1,25 (OH)2D3; calcitriol] menunjukkan efek melalui VDR di lebih dari 30 jaringan yang berbeda. Salah satu target jaringan untuk 1,25 (OH)2D3 adalah kulit. Dimana keratinosit memiliki VDR (Shaaban dan El-Samad, 2011). Kulit adalah organ yang unik dalam sintesis vitamin D karena dapat mensintesis vitamin D setelah radiasi UV dan mampu mengaktivasi metabolisme

25 31 vitamin D menjadi 25-OHD dan 1,25 (OH)2D. Metabolisme ini dapat mengekspresikan VDR dan merespon aktivasi VDR untuk induksi atau regresi multipel gen. Vitamin D receptor merupakan anggota superfamili nuklear. Pada mamalia VDR terdapat pada jaringan metabolik seperti usus, ginjal, kulit dan kelenjar tiroid. Vitamin D receptor aktif mengikat vitamin D respon elements (VDREs) yang terletak di daerah promoter gen target, sehingga mengendalikan transkripsi gen. Kulit merupakan satu-satunya jaringan yang mampu mensintesis dan mengaktivasi vitamin D serta aktivasi autokrin atau parakrin oleh hormon vitamin D. Seperti kalsium, 1,25-(OH)2D merangsang diferensiasi keratinosit epidermis. Analisis in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa dua jalur ini bertindak secara sinergis (Bouillon dkk., 2008; Wu dan Sun,2011). Studi pada kultur keratinosit menunjukkan bahwa peningkatan kalsium dan terapi dengan 1,25-(OH)2D menurunkan proliferasi keratinosit dan merangsang diferensiasi keratinosit. Beberapa penelitian melalui percobaan in vitro menyebutkan bahwa 1,25- (OH)2D3 menginduksi diferensiasi keratinosit, dimana hal ini pertama kali dilaporkan oleh Hosomi dkk. Namun seberapa penting efek diferensiasinya secara in vivo masih sulit untuk dinilai (Samuel dan Sitrin, 2008). Analisis in vivo pada tikus tanpa VDR signifikan menunjukkan kelainan pada diferensiasi keratinosit epidermis setelah 2 minggu kehidupan. Namun pencegahan hipokalsemia pada tikus tanpa VDR mencegah fenotip ini, menunjukkan bahwa normalisasi kalsium dapat mengkompensasi adanya VDR. Selain pada keratinosit epidermis, VDR

26 32 juga terdapat pada outer root sheath, folikel rambut, serta kelenjar sebaceous (Bouillon dkk., 2008; Wu dan Sun,2011). Kultur keratinosit manusia yang dipaparkan kalsitriol menunjukkan inhibisi dari pertumbuhan dan pematangan yang dipercepat. Efek pada proliferasi sel dan diferensiasi melalui VDR ini yang dijadikan konsep penggunaan 1,25 (OH)2D3 untuk psoriasis. Kalsitriol dan analognya bekerja sebagai antiproliferasi dan prodiferensiasi sebagaimana aktivitas imunoregulator. Ligan VDR secara langsung mempengaruhi aktivasi sel-t dan memodulasi fenotif dan fungsi dari antigen presenting cells dan sel dendritik. Analog vitamin D termasuk kalsipotrien, 1,24-dihydroxyvitamin D3 dan 1,25 (OH)2D3 dianggap sebagai basis pertama pengobatan untuk psoriasis. Mereka menunjukkan khasiat yang sama seperti kortikosteroid topikal poten dan ditoleransi dengan baik bahkan untuk penggunaan jangka panjang (Glowacki dan Leboff, 2010; Reichrath dan Nurnberg, 2009) Mekanisme immunomodulasi vitamin D Sel dendritik adalah target utama untuk aktivitas imunomodulator dari 1,25(OH)2D3 dengan cara menghambat diferensiasi dan pematangan sel dendritik, yang mengarah pada penurunan regulasi ekspresi MHC-II, stimulasi molekul (CD40, CD80, dan CD86) dan penurunan produksi IL-12. 1,25(OH)2D3 mensupresi Th1 dan TH17, merangsang sitokin, menginduksi sel Treg, menginduksi IL-4 memproduksi Th2 dan meningkatkan fungsi NKT. Diferensiasi dan maturasi sel B juga terhambat. Th sebagai CD4+ helper cell subsets (th1, Th2, Th3-Treg, Th17) yang berasal dari sel T naïf (Th0). Pada gambar dibawah garis

27 33 tipis(kiri) mengindikasikan sitokin yang menginduksi diferensiasi sel T0 dan panah tebal (kanan) menunjukkan sitokin yang dihasilkan oleh Th cell subset. Semua sel T yang telah diuji mengekspresikan VDR. Sel B dan sel NKT juga dilaporkan. Lingkaran kuning menunjukkan sitokin/penghambatan aktivitas oleh vitamin D. sebaliknya lingkaran hijau menunjukkan sitokin ditingkatkan oleh vitamin D. Selain itu 1,25(OH)2D3 meningkatkan produksi IL-10 dan memicu apoptosis sel dendritik. Sintesis aktif 1,25(OH)2D3 tampak merangsang autoregulasi dengan menghambat diferensiasi prekursor monosit menjadi sel dendritik imatur dan kemampuan berikutnya dari sel dendritik imatur mengalami diferensiasi terminal dalam menanggapi rangsangan maturasi (Boudal dan Attar, 2012). Gambar 2.4 Mekanisme yang terlibat dalam modulasi respon imun oleh vitamin D (Boudal dan Attar, 2012)

28 Vitamin D dan psoriasis Vitamin D memegang peranan penting sebagai regulator sistem imun pada limfosit T CD4+ serta pada produksi dan kerja beberapa sitokin. Terdapat beberapa bukti yang meyakinkan fungsi vitamin D dalam pembentukan dan atau pemeliharaan imunologi self tolerance, sehingga semakin banyak studi yang mempelajari hubungan antara vitamin D dengan psoriasis plak kronis (Gisondi dkk., 2012). Mekanisme pasti defisiensi vitamin D berkontribusi pada patogenesis psoriasis yang kompleks belum sepenuhnya dipahami. Beberapa jalur telah dikemukakan termasuk hilangnya fungsi anti-proliferasi vitamin D, seperti yang telah dikemukakan bahwa kultur keratinosit manusia yang dipaparkan kalsitriol menunjukkan penghambatan pertumbuhan dan kecepatan maturasi (Holick, 2003). Inflamasi dan angiogenesis juga sebagai pilar dalam patogenesis psoriasis, hilangnya aktivitas anti inflamasi dan antiangigenik vitamin D bisa mewakili penjelasan lain untuk kontribusi kekurangan vitamin D pada psoriasis (Botti dkk., 2012; Picotto dkk., 2012). 1,25-dihydroxyvitamin D3 diketahui dapat menekan proliferasi sel Th1 dan Th17, serta menginduksi Treg, hal ini merupakan jalur alternatif yaitu defisiensi vitamin D dapat terjadi pada kondisi psoriasis dengan proliferasi sel Th1 dan Th17 pada satu sisi dan penghambatan sel Treg pada sisi lainnya (Sugiyama dkk., 2005). Vitamin D3 melalui vitamin D receptor (VDR) mengatur pertumbuhan dan diferensiasi keratinosit. Juga memiliki pengaruh terhadap fungsi imun dari sel dendritik dan limfosit T sehingga kadar vitamin D yang rendah juga mungkin

29 35 memiliki implikasi penting dalam patogenesis psoriasis (Swchwalfenberg GK, 2011). Banyak studi terbaru juga menunjukkan adanya defisiensi vitamin D pada pasien psoriasis, dan bukti-bukti semakin berkembang (Orgaz-molina, et all, 2012). Selain itu, turunan vitamin D topikal memiliki efek imunomodulator pada monosit, makrofag, sel T dan sel dendritik, dan sedang banyak dipergunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan steroid untuk pengobatan psoriasis secara topikal (Menter A et all, 2009). Selain itu, telah diusulkan bahwa radiasi sinar narrowband ultraviolet (UV) B dapat memberikan efek menguntungkan pada psoriasis dengan meningkatkan kadar vitamin D endogen sebagai fototerapi telah terbukti meningkatkan kadar serum vitamin D pada pasien dengan psoriasis (Ryan dkk., 2010). Gambar 2.5 Jalur kerja vitamin D pada keratinosit (Lehman, 2007)

30 36 Gambar 2.6 Efek Immunomodulator Vitamin D pada sel imun (Yang dkk., 2013) Gambar 2.7 Skema metabolisme dan mekanisme kerja vitamin D pada psoriasis (Osmancevic, 2012)

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup

BAB I PENDAHULUAN. ditutupi sisik tebal berwarna putih. Psoriasis sangat mengganggu kualitas hidup 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema batas tegas ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis

BAB I PENDAHULUAN. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit autoimun kronis yang mengakibatkan proliferasi berlebihan di epidermis. Normalnya seseorang mengalami pergantian kulit setiap 3-4

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Psoriasis vulgaris merupakan suatu penyakit inflamasi kulit yang bersifat kronis dan kompleks. Penyakit ini dapat menyerang segala usia dan jenis kelamin. Lesi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis dengan karakteristik proliferasi dan diferensiasi keratinosit yang abnormal, dengan gambaran klinis berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya

BAB I PENDAHULUAN. depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Vitiligo merupakan suatu gangguan pigmentasi, ditandai dengan adanya depigmentasi kulit berupa makula hipopigmentasi disebabkan karena hilangnya fungsi melanosit epidermis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran

BAB I PENDAHULUAN. dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik residif yang ditandai dengan hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal keratinosit, dengan gambaran lesi yang khas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. akibat proses tersebut maka tampak skuama, eritema dan indurasi. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.I Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis ditandai dengan adanya hiperkeratosis dan penebalan lapisan epidermis yang diikuti dengan peningkatan vaskularisasi dan infiltrasi sel radang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan seperti trauma, infeksi atau obat-obatan (Van de Kerkhof, 2012). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kronis yang diperantarai oleh sistem imun dan disebabkan oleh kombinasi dari predisposisi poligenik serta pemicu dari lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit peradangan kulit kronis, dan sering rekuren, dengan gejala klinis berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Psoriasis adalah salah satu penyakit kulit termasuk dalam kelompok dermatosis eritroskuamosa, bersifat kronis residif dengan lesi yang khas berupa plak eritema berbatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kusta merupakan salah satu penyakit infeksi yang masih mendapatkan perhatian khusus dari Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), terutama di negara-negara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kulit merupakan organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Berat kulit kira-kira 15% dari berat badan seseorang. Kulit merupakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Akne vulgaris adalah suatu peradangan yang bersifat menahun pada unit pilosebasea yang ditandai adanya komedo, papul, pustul, nodus dan kista dengan predileksi di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan

BAB I PENDAHULUAN 1,2,3. 4 United Nations Programme on HIV/AIDS melaporkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi dari virus Human Immunodeficiency

Lebih terperinci

Vitamin D and diabetes

Vitamin D and diabetes Vitamin D and diabetes a b s t r a t c Atas dasar bukti dari studi hewan dan manusia, vitamin D telah muncul sebagai risiko potensial pengubah untuk tipe 1 dan tipe 2 diabetes (diabetes tipe 1 dan tipe

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit kulit inflamasi kronis yang sering dijumpai namun penyebab utama masih belum diketahui secara pasti. Pada penyakit ini dapat terjadi papul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan

BAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Makanan adalah sumber kehidupan. Di era modern ini, sangat banyak berkembang berbagai macam bentuk makanan untuk menunjang kelangsungan hidup setiap individu. Kebanyakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi Psoriasis adalah penyakit kulit kronik-residif yang ditandai adanya epidermis yang hiperproliferasi dan diferensiasi abnormal (Jean et al., 2011).

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang

BAB 1 PENDAHULUAN. kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis seboroik merupakan suatu kelainan kulit papuloskuamosa kronik yang sering ditemukan (Kurniati, 2003). Biasanya terjadi di daerah yang banyak mengandung kelenjar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pruritus uremia (PU) masih merupakan keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien gagal ginjal terminal (GGT). Keluhan pruritus yang signifikan ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS

JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS JOURNAL READING MANAGEMENT OF PSORIASIS Oleh : Cintya Dunihapsari 01.211.6354 Pembimbing : dr. Eko Kristanto, Sp.KK Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Kota Semarang FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang, yang memiliki kasus TB terbanyak. Negara-negara ini menyumbangkan

BAB 1 PENDAHULUAN. berkembang, yang memiliki kasus TB terbanyak. Negara-negara ini menyumbangkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian di dunia. TB Global Report 2011 melaporkan terdapat 22 negara, terutama negara berkembang, yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah suatu penyakit inflamasi kulit kronis yang di mediasi oleh sistem imunitas sel T dan dikarakteristikkan sebagai perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Artritis Reumatoid Artritis reumatoid adalah penyakit autoimun dengan karakteristik adanya inflamasi kronik pada sendi disertai dengan manifestasi sistemik seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

VITAMIN D (KALSIFEROL) Dr. Inge Permadhi MS

VITAMIN D (KALSIFEROL) Dr. Inge Permadhi MS VITAMIN D (KALSIFEROL) Dr. Inge Permadhi MS Sifat kimia vitamin D Tidak tahan panas dan oksidasi Diaktifkan oleh sinar uv Vitamin D1 tidak ada Vitamin D 2 adalah bentuk sintetik dari vitamin D yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker telah menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk di Indonesia. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2014 menunjukkan kanker merupakan penyebab kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. mutasi sel normal. Adanya pertumbuhan sel neoplasma ini ditandai dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Leukemia atau lebih dikenal kanker darah atau sumsum tulang merupakan pertumbuhan sel-sel abnormal tidak terkontrol (sel neoplasma) yang berasal dari mutasi sel normal.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Psoriasis 2.1.1. Definisi dan Sejarah Psoriasis adalah peradangan kulit yang bersifat kronik dengan karakteristik berupa plak eritematosa berbatas tegas, skuama kasar, berlapis,

Lebih terperinci

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah.

HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA. PENYEBAB Konsentrasi kalsium darah bisa menurun sebagai akibat dari berbagai masalah. 1. Hipokalsemia HIPOKALSEMIA DAN HIPERKALSEMIA Hipokalsemia (kadar kalsium darah yang rendah) adalah suatu keadaan dimana konsentrasi kalsium di dalam darah kurang dari 8,8 mgr/dl darah. PENYEBAB Konsentrasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa

BAB I PENDAHULUAN. Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat, berupa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Melasma (juga dikenal sebagai chloasma atau topeng kehamilan) berasal dari bahasa Yunani, melas yang berarti hitam. Melasma merupakan kelainan hiperpigmentasi didapat,

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Vitamin D Vitamin D sering dikenal dengan vitamin matahari karena vitamin D dapat dibentuk tubuh dengan bantuan sinar matahari. Bila tubuh mendapat cukup sinar matahari, maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari

BAB I PENDAHULUAN. hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1% dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Vitiligo adalah kelainan pigmentasi kulit yang didapat, ditandai dengan adanya makula hipopigmentasi berwarna putih susu berbatas tegas. Vitiligo mengenai sekitar 0,5-1%

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE

BAB I PENDAHULUAN. penyakit beragam (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011). Manifestasi klinis SLE BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya dengan gambaran klinis yang luas serta tampilan perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

BAB I PENDAHULUAN. sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Akne vulgaris merupakan kelainan yang sering dijumpai pada struktur kelenjar sebasea yang dapat dialami oleh semua usia dengan gambaran klinis yang bervariasi antara

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : : Pemeriksaan Penunjang Laboratorium Pada Infeksi Jamur Subkutan : infeksi jamur subkutan adalah infeksi jamur yang secara langsung masuk ke dalam dermis atau jaringan subkutan melalui suatu trauma.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma

BAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan

BAB I PENDAHULUAN. atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum (UD) adalah luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan oleh adanya komplikasi kronik berupa mikroangiopati dan makroangiopati akibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu peradangan kronik dari folikel pilosebasea yang disebabkan oleh berbagai faktor dengan gambaran klinis yang khas (Siregar, 2013). Gambaran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berwarna keputihan. Penyakit ini umumnya mengenai daerah ekstensor. pada tiap populasi bervariasi di berbagai belahan dunia. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis Psoriasis adalah penyakit inflamasi kulit kronik yang umum dijumpai, bersifat rekuren dan melibatkan beberapa faktor misalnya; genetik, sistem imunitas, lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan insufisiensi vaskuler dan neuropati. 1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ulkus diabetikum pada penderita diabetes melitus merupakan komplikasi kronis berupa makroangiopati dan mikroangiopati yang paling sering kita jumpai diakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Preeklamsi merupakan penyulit utama dalam kehamilan dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health Organization (WHO) melaporkan angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Inflamatory bowel disease (IBD) mewakili suatu kondisi inflamasi kronik usus yang idiopatik. IBD terdiri atas dua jenis penyakit, yaitu Crohn's disease (CD)

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak

PENDAHULUAN. Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara alamiah seluruh komponen tubuh setelah mencapai usia dewasa tidak dapat berkembang lagi, tetapi justru terjadi penurunan fungsi tubuh karena proses penuaan

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya ukuran yang dipakai untuk menilai baik atau buruknya pelayanan kebidanan (maternity care) dalam suatu negara atau daerah ialah kematian maternal (maternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penderita diabetes mellitus (DM) di Indonesia menurut World Health Organizaton (WHO) pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 4 juta orang, jumlah tersebut diperkirakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian

BAB I PENDAHULUAN. negara karena serangan Jantung. Salah satu penyakit yang menyebabkan kematian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian tertinggi di dunia. Hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya populasi kematian usia produktif di banyak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kanker merupakan pertumbuhan yang cepat dan abnormal pada sel, tidak terkontrol, dan tidak terlihat batasan yang jelas dengan jaringan yang sehat serta mempunyai sifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akhir-akhir ini insiden kanker sebagai salah satu jenis penyakit tidak menular semakin meningkat. Peningkatan ini terjadi salah satunya karena perubahan pola hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA

BAB I PENDAHULUAN. adanya disfungsi fungsi sawar kulit adalah dermatitis atopik (DA). Penderita DA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondisi gangguan fungsi sawar kulit dapat menyebabkan berbagai jenis penyakit di bidang Dermatologi. Salah satu penyakit kulit yang disebabkan oleh adanya disfungsi

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas

BAB I PENDAHULUAN. Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring proses penuaan mengakibatkan tubuh rentan terhadap penyakit. Integritas sistem imun sangat diperlukan sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap ancaman,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. v i t a m i n. Food. m i n e r a l. for Kids. Resep 44. Bayi 4 Ragam Ingridien untuk MP-ASI. Calon Ibu 35 Suplemen Penting untuk Calon Ibu

DAFTAR ISI. v i t a m i n. Food. m i n e r a l. for Kids. Resep 44. Bayi 4 Ragam Ingridien untuk MP-ASI. Calon Ibu 35 Suplemen Penting untuk Calon Ibu Food for Kids I N D O N E S I A DAFTAR ISI Edisi 11 November Vol 4 2016 Resep 44 18 14 Bayi 4 Ragam Ingridien untuk MP-ASI Anak 10 Top 5 Vitamin untuk Anak 16 Ekstrak Sayur dan Buah dalam Kapsul 24 Mengapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendir yang terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self tolerance

Lebih terperinci

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi

BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA. jaringan periodonsium yang dapat terlihat secara langsung sehingga mempengaruhi BAB 2 DESKRIPSI SINGKAT PEMBESARAN GINGIVA Gingiva merupakan bagian dari jaringan periodonsium yang menutupi gigi dan berfungsi sebagai jaringan penyangga gigi. Penyakit periodontal yang paling sering

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut,

BAB 5 PEMBAHASAN. Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, lxxiii BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian terhadap 100 penderita stroke iskemik fase akut, setelah dialokasikan secara acak 50 penderita masuk kedalam kelompok perlakuan dan 50 penderita lainnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kanker merupakan penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan yang tidak terkendali dan penyebaran sel-sel abnormal. Kanker disebabkan oleh faktor eksternal (tembakau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis, yang berarti dapat berlangsung selama bertahun-tahun, pasien mungkin mengalami waktu yang lama tanpa gejala. Rheumatoid

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan sepsis merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di Intensive Care Unit (ICU). Tingginya biaya perawatan,

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi

BAB I PENDAHULUAN. kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hipertensi dalam kehamilan merupakan penyebab 3 besar kematian ibu, disamping perdarahan dan infeksi. Dari kelompok hipertensi dalam kehamilan, syndrom preeklampsia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Benign Prostat Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak adalah salah satu penyakit degeneratif pria yang sering dijumpai, berupa pembesaran dari kelenjar

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved

Leukemia. Leukemia / Indonesian Copyright 2017 Hospital Authority. All rights reserved Leukemia Leukemia merupakan kanker yang terjadi pada sumsum tulang dan sel-sel darah putih. Leukemia merupakan salah satu dari sepuluh kanker pembunuh teratas di Hong Kong, dengan sekitar 400 kasus baru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karsinoma larings merupakan keganasan yang cukup sering dan bahkan kedua tersering pada keganasan daerah kepala leher di beberapa Negara Eropa (Chu dan Kim 2008). Rata-rata

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Psoriasis 2.1.1 Definisi Psoriasis adalah penyakit inflamasi kronis pada kulit, ditandai dengan adanya plak eritema dan ditutupi skuama putih tebal, tanda auspitz, fenomena bercak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit multisistem yang disebabkan kerusakan jaringan akibat deposisi kompleks imun berupa ikatan antibodi dengan komplemen.

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari

BAB VI PEMBAHASAN. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari BAB VI PEMBAHASAN VI.1. Pembahasan Hasil uji statistik menunjukkan bahwa kadar NO serum awal penelitian dari kedua kelompok tak berbeda bermakna. Kadar NO serum antar kelompok berbeda bermakna. Kadar NO

Lebih terperinci