PENGEMBANGAN BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI (DEVELOPING BIOSAFETY CLEARING HOUSE) 1

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI (DEVELOPING BIOSAFETY CLEARING HOUSE) 1"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI I. Latar Belakang (DEVELOPING BIOSAFETY CLEARING HOUSE) 1 oleh: B. Satyawan Wardhana 2 Keanekaragaman hayati adalah keragaman kehidupan di bumi, dari gen bakteria yang paling sederhana hingga ke ekosistem hutan hujan tropis yang sangat luas dan kompleks. Manusia merupakan bagian integral dari keanekaragaman ini, sebagaimana ia membutuhkan bahan pangan, obat-obatan, bahan pakaian dan segala sumber daya hayati yang mendukung kehidupan kita. Menyadari nilai penting keanekaragaman hayati pada keberlangsungan hidup umat manusia dan menyadari pula akan akibat dari tekanan aktivitas manusia pada sumber daya ini, telah mendorong diadopsinya Konvensi Keanekaragaman Hayati pada saat Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, pada tahun Sejak dari awal penyusunan dan negosiasi Konvensi, telah disadari bahwa pengetahuan ilmiah dan penguasaaan teknologi mempunyai peranan yang penting dalam menjaga keberlanjutan keanekaragaman hayati bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Namun demikian, kapasitas penguasaan teknologi dan informasi sangat bervariasi pada berbagai negara. Oleh karena itu, Konvensi telah menetapkan untuk membentuk suatu balai kliring informasi yang dimaksudkan untuk membantu negara-negara pihak dalam mengakses informasi yang dibutuhkan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Istilah balai kliring sendiri berasal dari sektor perbankan yang mangacu pada penyelesaian finansial antar bank dimana cek dan surat-surat berharga dipertukarkan sehingga uang tunai hanya dipergunakan dalam penyelesaian neraca neto saja. Pada saat ini, istilah balai kliring ini semakin luas pengertiannya, termasuk semua badan atau institusi yang berfungsi mempertemukan pencari dan penyedia (baik barang, jasa maupun informasi) dalam satu wahana, atau dengan kata lain badan yang berfungsi untuk mempertemukan kebutuhan dan penyediaan. Balai kliring Konvensi dibangun untuk mendorong kerjasama ilmiah dan teknis di segala tingkatan antar semua Pihak Konvensi. Balai kliring juga dimaksudkan untuk memfasilitasi akses pada dan pertukaran informasi mengenai keanekaragaman hayati di seluruh dunia. Balai kliring ini didirikan sesuai dengan provisi Pasal 18 ayat (3) Konvensi, mempunyai tujuan untuk: 1. Kerjasama mendorong dan memfasilitasi kerjasama ilmiah dan teknis; 2. Pertukaran informasi pengembangan mekanisme global untuk pertukaran dan pemaduan informasi mengenai kenakeragaman hayati, dan 3. Pengembangan jaringan kerja pengembangan focal point-focal point dan partnernya, baik secara tematik maupun dalam pengelompokkan interest group/user group. Satu komponen yang krusial dari kerangka kerja operasional Balai kliring ini adalah bahwa BK harus berorientasi pada penyediaan jasa. BK harus mampu menyambungkan informasi dan pengetahuan yang dimilikinya untuk merespon pertanyaan2 mengenai topik yang relevan dalam implementasi Konvensi, memberi arahan kepada pengguna ke lokasi informasi yang 1 Disampaikan dalam Diskusi Fokus HANDAL Exploring Local Needs in Developing Biosafety Clearing House, Bogor, 26 September Analis Kebijakan Pengelolaan Ekosistem daratan, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, National Focal Point for CBD Clearing House Mechanisms. Downloaded from 1

2 relevan, serta menjawab pertanyaan ilmiah dan teknis spesifik yang diajukan oleh para pengguna. Melalui sifat interactivenya, Balai kliring memberikan sarana untuk identifikasi dan diseminasi sumber informasi ganda dalam cara yang efektif dan terdesentralisasi. II. Balai Kliring Keamanan Hayati Protokol Cartagena mengenai Keamanan Hayati yang telah diadopsi dalam Sidang Kelima Konferensi Para Pihak Konvensi Keanekaragaman Hayati, bertujuan untuk menjamin konservasi keanekaragaman hayati terhadap dampak negatif yang mungkin timbul dari organisme hidup hasil modifikasi bioteknologi rekayasa genetik. Protokol ini berfokus pada pergerakan lintas batas. Protokol mengembangkan prosedur impor OHM yang disebut advance informed agreement atau AIA untuk menjamin bahwa setiap negara memperoleh cukup informasi yang dibutuhkan untuk membuat keputusan yang bijak dan terinformasi baik sebelum menyetujui untuk impor OHM ke dalam negara tersebut. Untuk maksud ini, Protokol menetapkan suatu balai kliring untuk memfasilitasi pertukaran informasi semacam itu dan juga untuk membantu negara-negara dalam mengimplementasikan Protokol. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Protokol, Balai Kliring Keamanan Hayati mempunyai dua tujuan, yaitu: a. Untuk memfasilitasi pertukaran informasi teknis, ilmiah, lingkungan dan perundangundangan (legal) serta pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan OHM; dan b. Untuk membantu negara Pihak dalam mengimplementasikan Protokol, dengan mempertimbangkan kebutuhan yang khas negara berkembang, khususnya negara kurang beruntung dan negara kepulauan kecil serta negara-negara yang merupakan countries of origin dan pusat-pusat keanekaragaman genetik. Balai kliring keamanan hayati akan berperan sebagai wahana dimana informasi made available untuk membantu negara-negara dalam mewujudkan tujuan fasilitasi pertukaran informasi dan implementasi Protokol. Melalui National focal Point dan/atau National Competent Authorities yang dibentuk berdasarkan Pasal 19, ayat (1) dan (2), negara-negara Pihak diminta untuk menyediakan, meng-update dan memproses informasi-informasi yang dibutuhkan dalam implementasi Protokol, seperti: Notifikasi-notifikasi untuk AIA (Pasal 7, 8, 9, dan 10), Prosedure bagi Organisme Hidup Hasil Modifikasi untuk pemanfaatan sebagai Pangan, Pakan dan Pemrosesan/OHM-P3 (Pasal 11), Review terhadap Keputusan (Pasal 12), prosedur yang disederhanakan (Pasal 13), Pergerakan Lintas Batas yang tidak disengaja serta Upaya-upaya Tanggap Daruratnya (Pasal 17); Keputusan terkait dengan OHM P3 (LMO-FFP) seperti tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) dan Annex II Protokol; Review terhadap keputusan yang telah diambil seperti tercantum dalam Pasal 12, ayat (1) Protokol; Pelaksanaan Prosedur yang Disederhanakan sebagai pelaksanaan Pasal 13 Protokol; Kesepakatan dan perjanjian Bilateral, Regional dan Multilateral yang terkait dengan pergerakan lintas batas yang disengaja dari OHM seperti yang tercantum dalam Pasal 14 Protokol; Pergerakan Lintas Batas yang tidak disengaja serta Upaya-upaya Tanggap Daruratnya (Pasal 17) Pengaturan dan/atau peraturan perundangan dalam negeri yang terkait dengan penelitian dan pengembangan, peredaran, pelepasan serta pemanfaatan OHM; Summaries dari RAR dan RMR (risk assessment report dan risk management report); Downloaded from 2

3 Laporan yang wajib diserahkan kepada Sekretariat sesuai dengan Pasal 33 Protokol. III. Operasi Balai Kliring Keamanan hayati Protokol Keamanan hayati menetapkan AIA sebagai mekanisme sentral bagi pergerakan lintas batas yang pertama secara sengaja untuk diintroduksikan ke lingkungan. Secara ringkas, dasar persyaratan AIA adalah memberikan Pihak pengimpor untuk menerima informasi selengkapnya mengenai OHM yang akan diintroduksikan ke lingkungan dan bilamana dipandang tepat bagi negara Pihak yang bersangkutan, diperkenankan untuk menolak atau membatasi impor OHM tersebut. Keputusan penerimaan atau penolakan atau pembatasan penerimaan dan/atau pembatasan pelepasan harus dikomunikasikan melalui Balai Kliring Keamanan Hayati (selanjutnya disebut BKKH). Protokol juga memuat pembatasan penerapan prosedur AIA ini bagi sejumlah komoditi. Sebagai contoh, prosedur AIA ini tidak berlaku bagi OHM yang digunakan sebagai farmasi, OHM yang sedang dalam transit dan/atau yang dimaksudkan untuk dimanfaatan secara tertutup, OHM yang telah diputuskan dalam MOP/COP untuk tidak lagi diproses dengan AIA, serta OHM yang dipergunakan sebagai pangan, pakan dan pemrosesan, atau lebih dikenal sebagai OHM-P3. Bagi OHM P3 ini, prosedur impornya lebih merupakan modifikasi dari AIA. Yaitu, pihak pengekspor diminta untk memberikan notifikasi melalui BKKH informasi mengenai OHM P3 yang diekspornya dengan standar kandungan informasi seperti tercantum dalam Annex II. Keputusan-keputusan yang diambil terkait dengan OHM P3 ini juga wajib dicantumkan di dalam BKKH Karakteristik sistem pertukaran informasi BKKH BKKH bertugas untuk memproses data dan informasi yang relevant dengan Pasal-pasal Protokol. Sistem pertukaran informasi di dalam BKKH harus dibangun sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan informasi bagi audiens yang sangat beragam termasuk NCAs dan NFP serta berbagai badan pemerintah yang lain, lembaga pemerintahan internasional, badanbadan penegak hukum, industri, Ornop dan anggota masyarakat secara umum, serta Sekretariat Konvensi. Karakteristik pertukaran informasi BKKH oleh karena itu diharapkan mampu: a. memungkinkan adanya validasi data yang diserahkan kepada sistem; b. menyimpan dan memelihara data dan informasi dan/atau menyediakan akses kepada data dan informasi tersebut; c. menyajikan data dalam bentuk dan format yang mudah untuk ditemukan; d. mengkontrol akses pada data-data konfidensial dalam sistem; dan e. melindungi data yang telah diserahkan kepada sistem Format laporan, data atau informasi Untuk memungkinkan penelusuran dan pencarian data dalam pangkalan data yang ada, sangat penting bahwa semua laporan dan atau data yang diserahkan pada BKKH mempunyai format yang seragam baik format tunggal atau format terbuka yang mempunyai kerangka kandungan yang disepakati dimana perangkat untuk membaca dokumentasi ini tersedia secara bebas di internet. Bagi pertukaran laporan, data dan informasi yang efektif, maka dalam BKKH harus disepakati: a. Information requirements b. Common formats; c. Data input and input procedures; Downloaded from 3

4 d. Common language; e. Content validation and quality assurance; f. Data reporting Arsitektur Sistem Isu penting yang pertama harus dipertimbangkan dalam mendisain sistem adalah apakah nantinya data dan informasi akan dikelola dalam jejaring disentralisasi atau dalam pangkalan data sentral. Dalam jejaring terdesentralisasi, masing-masing pemilik data akan memelihara, mengelola dan mengupdate data dan informasinya secara mandiri. Disain ini mempunyai keuntungan bahwa kepemilikan, nilai konfidensial, dan tanggungjawab atas pemeliharan data tetap berada pada pemilik data. BKKH akan menghemat banyak resource, terutama resource yang terkait dengan pemeliharaan data. Namun demikian, kapasitas personel dalam BKKH harus berkualitas, karena BKKH harus melakukan validasi atas data dan informasi yang masuk dalam BKKH. Kendala yang lain adalah inter-operability dari beragamnya sistem informasi yang ada pada berbagai pemilik data dan informasi. Kendala lain yang biasanya terjadi pada negara berkembang adalah kurangnya koordinasi dalam pelapiran data dan jaminan kualitas data, overlaping dan gaps, serta ketidak sinkronan data dan informasi pada objek yang sama. Salah satu strategi alternatif untuk mengatasi permasalahan di atas adalah dengan membentuk sistem pangkalan data sentral. Namun demikian sistem ini akan sangat membutuhkan jumlah personel BKKH yang sangat besar, peralatan yang rumit, serta sangat sulitnya prosedur bagi para pemilik data untuk mengupdate data dan informasi yang telah disimpan dalam BKKH Pertimbangan untuk konfidensialitas informasi Pasal 21 Protokol memungkinkan pihak pemberi informasi untuk meminta jaminan kepada BKKH atas informasi yang menurut sifatnya harus diperlakukan secara konfidensial. Menurut Pasal 21, ayat (6) Protokol, data atau informasi yang dapat dipertimbangkan sebagai non-konfidensial adalah: a. Nama dan alamat pihak pemberi notifikasi; b. Deskripsi umum mengenai OHM atau organisme sumber; c. Ringkasan dari RAR dan RMR d. Segenap methoda dan rancang tindak upaya tanggap darurat. Informasi-informasi selain yang tersebut di atas apabila diminta oleh pemberi notifikasi dapat saja dipertimbangkan sifat konfidensialnya (dengan justifikasi yang tepat). Untuk mendorong transparansi sistem informasi BKKH sebesar mungkin, dan untuk menjamin bahwa hanya sejumlah kecil saja informasi yang dapat diklasifikasikan sebagai konfidensial, maka informasi-informasi yang berstatus konfidensial tersebut dihindari untuk dicampur adukkan dengan informasi non-konfidensial dan akan lebih baik apabila dicantumkan secara terpisah dalam Lampiran terhadap dokumen utama notifikasi. IV. Kebutuhan Khusus Negara Berkembang dalam BKKH Penggunaan perangkat dan media elektronik semakin memainkan peran yang penting dalam komunikasi antar Pemerintah, pihak-pihak berwenang dan masyarakat. Jelas kiranya, bahwa transfer data, informasi dan dokumen secara elektronis akan secara dramatis meningkatkan kapasitas penanganan dan pemrosesan informasi baik pada pihak pengguna maupun pada pihak penyedia informasi serta meningkatkan jumlah informasi yang disimpan dan ditransfer secara elektronik. Downloaded from 4

5 Kelemahan kapasitas negara berkembang akses pada komputer, jaringan informasi, dan teknologi informasi serta infrastruktur komunikasi masih merupakan kendala bagi pemngembangan BKKH yang berbasis internet. Namun demikian, keberhasilan transfer informasi sepenuhnya bergantung pada kemampuan sistem dalam menyampaikan/memberikan informasi bilamana, dimana dan kapan informasi tersebut dibutuhkan dalam format dan kualitas yang sesuai/tepat. Pasal 20, ayat (1) butir b Protokol, secara khusus menekankan kebutuhan khusus negara berkembang, negara-negara pusat keragaman genetik dan pusat asal tanaman komoditas yang terkait pula dengan operasional BKKH Infrastruktur Komunikasi Tampak secara jelas bahwa terdapat disparity yang sangat besar pada sumber daya dan infrastruktur telekomunikasi antar negara, dan meskipun internet telah digunakan secara luas di berbagai kawasan, saat ini internet bukan merupakan media yang viable bagi pertukaran informasi terutama di negara-negara berkembang. Penggunaan sumberdaya komunikasi berbasis internet membutuhkan infrastruktur telekomunikasi yang relatif baik, dan biaya untuk akses cenderung berbanding terbalik dengan pendapatan per kapita penduduk. Oleh karena itu dengan melihat keterbatasan ini, pengembangan kapasitas untuk pertukaran informasi merupakan kebutuhan kunci di bidang ini. Di samping permasalahan hardware dan akses, negara-negara berkembang masih menghadapi kendala kapasitas dalam menyediakan data dan informasi dalam bentuk atau format digital. Pengembangan pangkalan data elektronik/digital membutuhkan disain sistem, standard, pemeliharaan, publisitas dan pelatihan. Permasalahan utama yang tampaknya akan dihadapi dalam hal ini adalah ketersediaan dan/atau kecukupan sumberdaya finansial (untuk pengembangan SDM, infrastruktur dan teknologi informasi) dan akses pada teknologi yang dibutuhkan. BKKH harus dibuat dengan tingkat aksesibilitas yang memungkinkan untuk dimanfaatkan oleh semua pengguna, regardless tingkat penguasaan teknologi informasi yang tersedia. Oleh karena itu, sejalan dengan pengembangan system pertukaran data elektronis, upaya yang sama inensitasnya diperlukan untuk menggali segenap mekanisme pertukaran informasi tradisional yang ada, baik untuk mengimplementasikan Protokol serta untuk penguasaaan pengetahuan dalam aplikasi praktis mengenai pengkajian dan pengelolaan keamanan hayati Keberagaman Wahana Akses pada Informasi Pertama-tama, disadari adanya kebutuhan untuk menggabungkan sistem non-internet untuk mengakses BKKH, seperti distribusi melalui layanan pos bahan-bahan tercetak, disket atau CD-ROMs, dan/atau pangkalan data elektronik yang tidak terlalu rumit/besar. Selanjutnya ada beberapa pendekatan yang dapat dieksplor dengan sasaran untuk mendukung pertukaran informasi se-efisien mungkin, khususnya terkait dengan peningkatan akses pada informasi Penguatan Jejaring Data Regional Sifat ketersambungan pangkalan data melalui jejaring regional dan sub-regional dapat membantu meningkatkan kecepatan akses pada informasi serta menghindari kepadatan lalulintas data yang tidak diperlukan. Penguatan atau pengembangan mekanisme yang memadai untuk mensuply dan mempertukarkan informasi dipandang sebagai kebutuhan yang mendesak pada tingkat nasional dan regional. Sejalan dengan hal tersebut, pengembangan pangkalan data regional dapat meningkatkan arus pertukaran informasi mengenai approvals atau decision yang telah dibuat related to pengelolaan OHM, rooster of experts, kelembagaan keamanan hayati dan peraturan perundangn yang terkait. Pangkalan-pangkalan data regional ini akan membantu negara-negara dalam kawasan untuk menshare beban finansial untuk melaksanakan RA dan memungkinkan negara-negara tersebut mengidentifikasi external sources dari kepakaran dalam rangka pengembangan kapasitas serta untuk upaya harmonisasi langkah-langkah keamanan hayati dalam kawasan. Downloaded from 5

6 4.4. Pusat-pusat informasi publik Solusi alternatif yang berbiaya relatif murah adalah dengan memanfaatkan jejaring telekomunikasi dan infrastruktur publik yang sudah ada, seperti warung-warung informasi (sebagai contoh WARINTEK yang dikembangkan oleh BPPT, atau memanfaatkan projek IPTEKNet World Bank yang merupakan komponen dari Projek IID) Pengembangan Kemitraan Implementasi jejaring regional tergantung pada kolaborasi negara dan partner bekerja bersama, belajar bersama dan sharing pengetahuan, kepakaran serta pengalaman. Mekanisme kolaborasi diperlukan untuk mendorong kinerja jejaring, seperti halnya ssistem untuk mengidentifikasi kebutuhan negara dan/atau mitra yang bersama mengimplementasikan upaya keamanan hayati (termasuk strategi untuk mengatasi barriers yang saat ini membatasi partisipasi masyarakat umum) dan suatu sistem untuk mengidentifikasi sumberdaya yang tersedia bagi kebutuhan2 tersebut. Bogor, 26 September 2001 Downloaded from 6

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG PENGESAHAN CARTAGENA PROTOCOL ON BIOSAFETY TO THE CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI

Lebih terperinci

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI

PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI PROTOKOL CARTAGENA TENTANG KEAMANAN HAYATI ATAS KONVENSI TENTANG KEANEKARAGAMAN HAYATI Para Pihak pada Protokol ini, Menjadi Para Pihak pada Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati, selanjutnya disebut

Lebih terperinci

BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI ( BIOSAFETY CLEARING HOUSE ) DAN PENGEMBANGANNYA 1

BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI ( BIOSAFETY CLEARING HOUSE ) DAN PENGEMBANGANNYA 1 BALAI KLIRING KEAMANAN HAYATI ( BIOSAFETY CLEARING HOUSE ) DAN PENGEMBANGANNYA 1 Slamet-Loedin, I.H 1). dan E. Sukara 2) 1) Puslitbang Bioteknologi - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jl. Raya Bogor

Lebih terperinci

KebijakanKeanekaragamanHayati. FakultasPertaniandanPeternakan

KebijakanKeanekaragamanHayati. FakultasPertaniandanPeternakan KebijakanKeanekaragamanHayati Zulfahmi FakultasPertaniandanPeternakan Sebelum Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) Sumber daya hayati sebagai common heritage mankind Belum ada kesadaran akan pentingnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGESAHAN NAGOYA PROTOCOL ON ACCESS TO GENETIC RESOURCES AND THE FAIR AND EQUITABLE SHARING OF BENEFITS ARISING FROM THEIR UTILIZATION TO THE

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN NOMOR 39 TAHUN 2010 TENTANG KOMISI KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 29 ayat (1)

Lebih terperinci

SEJAUH MANA KEAMANAN PRODUK BIOTEKNOLOGI INDONESIA?

SEJAUH MANA KEAMANAN PRODUK BIOTEKNOLOGI INDONESIA? SEJAUH MANA KEAMANAN PRODUK BIOTEKNOLOGI INDONESIA? Sekretariat Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia Puslit Bioteknologi LIPI Jl. Raya Bogor Km 46 Cibinong Science Center http://www.indonesiabch.org/

Lebih terperinci

2013, No.73.

2013, No.73. 5 2013, No.73 2013, No.73 6 7 2013, No.73 2013, No.73 8 9 2013, No.73 2013, No.73 10 11 2013, No.73 2013, No.73 12 13 2013, No.73 2013, No.73 14 15 2013, No.73 2013, No.73 16 17 2013, No.73 2013, No.73

Lebih terperinci

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI. Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY KULIAH KSDH-1: PENGGOLONGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY Penggolongan Keanekaragaman Hayati 1. Keanekaragaman genetik. Variasi genetik dalam satu sp, baik diantara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. TENTANG AKSES PADA SUMBER DAYA GENETIK SPESIES LIAR DAN PEMBAGIAN KEUNTUNGAN ATAS PEMANFAATANNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati *

Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Perlukah Dibentuk Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Sumber Daya Genetik? oleh: Meirina Fajarwati * Naskah diterima: 19 Januari 2016; disetujui: 26 Januari 2016 Indonesia merupakan negara yang kaya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PENGESAHAN PROTOCOL AMENDING THE MARRAKESH AGREEMENT ESTABLISHING THE WORLD TRADE ORGANIZATION (PROTOKOL PERUBAHAN PERSETUJUAN MARRAKESH MENGENAI

Lebih terperinci

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE

Lebih terperinci

Aspek Legal Produk Rekayasa Genetik

Aspek Legal Produk Rekayasa Genetik Aspek Legal Produk Rekayasa Genetik BAHAN PRESENTASI SEMINAR NASIONAL BIOTEKNOLOGI UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG, JAWA TIMUR 10 SEPTEMBER 2015 Prof. (Riset). Dr. Ir. Agus Pakpahan Ketua KKHPRG 1 SEJARAH

Lebih terperinci

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan

2017, No penguatan basis data perpajakan untuk memenuhi kebutuhan penerimaan pajak dan menjaga keberlanjutan efektivitas kebijakan pengampunan No.190, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. Penetapan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6112). UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA. A. Permintaan Informasi kepada Otoritas Pajak Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR : 125/PMK.010/2015 TENTANG : PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION)

Lebih terperinci

TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE

TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY ON PLANT GENETIC RESOURCES FOR FOOD AND AGRICULTURE PERJANJIAN MENGENAI SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN PEMBUKAAN Para Pihak, Yakin akan sifat khusus

Lebih terperinci

KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI. Para Pihak pada Konvensi ini,

KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI. Para Pihak pada Konvensi ini, KONVENSI MINAMATA MENGENAI MERKURI Para Pihak pada Konvensi ini, Menyadari bahwa merkuri merupakan suatu bahan kimia yang menjadi permasalahan global akibat luasnya perpindahan melalui atmosfer, persistensinya

Lebih terperinci

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN

KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN KONVENSI STOCKHOLM TENTANG BAHAN PENCEMAR ORGANIK YANG PERSISTEN Para Pihak atas Konvensi ini, mengakui bahwa bahan pencemar organik yang persisten memiliki sifat beracun, sulit terurai, bersifat bioakumulasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumberdaya hutan tropis yang dimiliki negara Indonesia, memiliki nilai dan peranan penting yang bermanfaat dalam konteks pembangunan berkelanjutan. Manfaat yang didapatkan

Lebih terperinci

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA

Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA Bahan Kuliah Ke-10 Undang-undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN KARANTINA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 9 TAHUN 2017 TENTANG : PENETAPAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG AKSES INFORMASI KEUANGAN UNTUK KEPENTINGAN PERPAJAKAN

Lebih terperinci

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta

No ke luar Indonesia. Dengan adanya pusat-pusat pelarian pajak/perlindungan dari pengenaan pajak (tax haven), dan belum adanya mekanisme serta TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.6051 KEUANGAN. Perpajakan. Informasi. Akses. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tah

2016, No Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3482); 3. Undang-Undang Nomor 5 Tah No. 1188, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. PRG. Keamanan Pakan. Pengkajian. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMENTAN/LB.070/8/2016 TENTANG PENGKAJIAN KEAMANAN PAKAN

Lebih terperinci

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu

2018, No Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahu No.89, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Pelaksanaan KLHS. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.69/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN Gambaran Umum BPLH Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum BPLH Kota Bandung I su-isu kerusakan lingkungan saat ini bukan lagi hanya merupakan isu lokal daerah, akan tetapi sudah menjadi isu global, dimana negara-negara di

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN KOORDINASI PENYULUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.148, 2017 KEMTAN. Karantina Tumbuhan. Pengeluaran Media Pembawa Organisme Pengganggu Tumbuhan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01/PERMENTAN/KR.020/1/2017

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

A. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia yang Berkaitan dan Mendukung Konvensi

A. Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku di Indonesia yang Berkaitan dan Mendukung Konvensi I. U M U M PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON BIOLOGICAL DIVERSITY (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI KEANEKARAGAMAN

Lebih terperinci

National Single Window;

National Single Window; PERATURAN PRESIDEN NOMOR 10 TAHUN 2008 TENTANG PENGGUNAAN SISTEM ELEKTRONIK DALAM KERANGKA INDONESIA NATIONAL SINGLE WINDOW DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG SISTEM INFORMASI KESEHATAN I. UMUM Pembangunan Kesehatan pada hakikatnya adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian Peraturan Penelitian dan Publikasi Ilmiah

KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian Peraturan Penelitian dan Publikasi Ilmiah KETENTUAN UMUM Pasal 1 Pengertian Peraturan Penelitian dan Publikasi Ilmiah (1) Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: a. Peraturan Penelitian dan Publikasi Ilmiah adalah seperangkat aturan mengenai

Lebih terperinci

Terjemahan Naskah International Treaty on Plant GeneticResources for Food and Agriculture

Terjemahan Naskah International Treaty on Plant GeneticResources for Food and Agriculture TERJEMAHAN: INTERNATIONAL TREATY on PLANT GENETIC RESOURCES for FOOD and AGRICULTURE PERJANJIAN mengenai SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN untuk PANGAN dan PERTANIAN Para Pihak, PEMBUKAAN Yakin akan sifat khusus

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.228, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Strategis. Penyelenggaraan. Tata Cara. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5941) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN

Renstra Pusat Akreditasi Lembaga Sertifikasi BSN Tahun RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN RENSTRA PUSAT AKREDITASI LEMBAGA SERTIFIKASI TAHUN 2015-2019 BADAN STANDARDISASI NASIONAL 2015 Kata Pengantar Dalam rangka melaksanakan amanat Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Undang Undang No. 6 Tahun 1994 Tentang : Pengesahan United Nations Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) Oleh : PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 240/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PROSEDUR PERSETUJUAN BERSAMA (MUTUAL AGREEMENT PROCEDURE) DENGAN

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5542 TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI KESRA. Kesehatan. Sistem Informasi. Data. Pengelolaan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 126) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN

ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN ACTION PLAN IMPLEMENTASI PERJANJIAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PANGAN DAN PERTANIAN Oleh DR (IPB) H. BOMER PASARIBU, SH,SE,MS.* SOSIALISASI UU NO 4 TH 2006 Tentang Pengesahan Perjanjian Mengenai

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 28/PJ/2017 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN DALAM RANGKA MELAKSANAKAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DIREKTUR JENDERAL PAJAK, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL PENUNJUK UNDANG-UNDANG PENANAMAN MODAL 1 tahun ~ pemberian izin masuk kembali bagi pemegang izin tinggal terbatas pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2005 TENTANG KEAMANAN HAYATI PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN

PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN PANDUAN PERMOHONAN IZIN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN SUMBER DAYA GENETIK TANAMAN UNTUK PENELITIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN JL. RAGUNAN 29, PASAR MINGGU JAKARTA SELATAN 2011 DAFTAR ISI Halaman

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.34/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2017 TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS)

KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS) KEPEMIMPINAN IKLIM GLOBAL PERJANJIAN KERJA SAMA (PKS) I. Pernyataan Tujuan A. Perubahan iklim menimbulkan tantangan dan resiko global terhadap lingkungan dan ekonomi, membawa dampak bagi kesehatan manusia,

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH E-COMMERCE MANFAAT DAN KELEMAHAN E-COMMERCE

KARYA ILMIAH E-COMMERCE MANFAAT DAN KELEMAHAN E-COMMERCE KARYA ILMIAH E-COMMERCE MANFAAT DAN KELEMAHAN E-COMMERCE NAMA : Teguh laksana NIM : 10.12.4883 KELAS : S1-SI-07 SEKOLAH TINGGI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011 / 2012 ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah membawa perubahan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah membawa perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi yang semakin pesat telah membawa perubahan dalam dunia bisnis suatu perusahaan. Hal ini tentu menuntut perusahaan untuk terus meningkatkan

Lebih terperinci

Bagian 1: Tentang minat anda

Bagian 1: Tentang minat anda Konsultasi 1: Penilaian Kebutuhan dan Pandangan dari Pengguna 1 Konsultasi 1: Penilaian Kebutuhan dan Pandangan dari Pengguna May 2006 Bantu kami membangun jaringan kerja sumberdaya HCVF anda Kami ingin

Lebih terperinci

BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW

BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW BAB III NATIONAL SINGLE WINDOW 3.1 GAMBARAN UMUM Terminologi dari UN/CEFACT, Single Window adalah sebuah sistem yang memungkinkan kalangan perdagangan (traders) cukup menyampaikan informasi kepada satu

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH

PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG SINGLE DATA SYSTEM UNTUK PEMBANGUNAN DAERAH DI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA - SALINAN SALINAN

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA - SALINAN SALINAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA - SALINAN SALINAN p PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2016 TENTANG KELAS JABATAN DI LINGKUNGAN

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 59 Peraturan Pemerintah N No.404, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Pertukaran Informasi. Perpajakan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 60/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI

Lebih terperinci

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari

RESUME. Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan. biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari RESUME Liberalisasi produk pertanian komoditas padi dan biji-bijian nonpadi di Indonesia bermula dari penandatanganan Perjanjian Pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) oleh pemerintahan Indonesia yaitu

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c

2018, No Produk, Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya, dan Limbah; d. bahwa Pedoman Umum Inventarisasi GRK sebagaimana dimaksud dalam huruf c No.163, 2018 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-LHK. Inventarisasi GRKN. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.73/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2017 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DI INSTANSI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DI INSTANSI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2008 TENTANG PELAKSANAAN E-GOVERNMENT DI INSTANSI PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengkajian. Keamanan. Pangan. Produk. Rekayasa Genetik. Pedoman.

BERITA NEGARA. BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengkajian. Keamanan. Pangan. Produk. Rekayasa Genetik. Pedoman. No.369, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN. Pengkajian. Keamanan. Pangan. Produk. Rekayasa Genetik. Pedoman. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK

Lebih terperinci

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung kegiatan Layanan Tunggal

Menimbang: a. bahwa dalam rangka mendukung kegiatan Layanan Tunggal KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA Jalan Merdeka Barat No. 8 Jakarta 10110 KotakPosNo. 1389 Jakarta 10013 Telepon : 3505550-3505006 (Sentral) Fax:3505136-3505139 3507144 PERATURAN

Lebih terperinci

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela

2) faktor-faktor yang terkait dengan peranan Indonesia di dalam kerjasama multilateral CTI-CFF adalah faktor geografis dan ketahanan pangan. Jadi sela BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dari analisis pada bab empat terkait pembahasan terhadap peran Indonesia dalam kerjasama multilateral CTI-CFF untuk upaya menjaga keanekaragaman hayati laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu syarat penting menuju terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan tersebut melibatkan banyak sektor

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 19/7/PBI/2017 TENTANG PEMBAWAAN UANG KERTAS ASING KE DALAM DAN KE LUAR DAERAH PABEAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

-2- Pasal 68 ayat huruf c dan Pasal 69 ayat UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.621, 2017 KEMEN-LHK. Pengelolaan Pengaduan Dugaan Pencemaran. Perusakan Lingkungan Hidup dan/atau Perusakan Hutan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan Akuntansi merupakan satu-satunya bahasa bisnis utama di pasar modal. Tanpa standar akuntansi yang baik, pasar modal tidak akan pernah berjalan dengan baik pula karena laporan

Lebih terperinci

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA KELAS JABATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA KELAS JABATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN NOMOR : 7 TAHUN 2015 TANGGAL : 18 SEPTEMBER 2015 KELAS JABATAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN Sekretariat Kementerian

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian

Presented by: M Anang Firmansyah IMF. system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian Presented by: M Anang Firmansyah IMF Dana Moneter Internasional adalah Salah satu badan khusus dalam system Perserikatan Bangsa-bangsa yang didirikan berdasarkan perjanjian internasional pada tahun 1945

Lebih terperinci

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN

STRUKTUR ORGANISASI KEMENTERIAN KESEHATAN 1. Staf Ahli Bidang Ekonomi Kesehatan; 2. Staf Ahli Bidang Teknologi Kesehatan dan Globalisasi; 3. Staf Ahli Bidang Desentralisasi Kesehatan; dan 4. Staf Ahli Bidang Hukum Kesehatan STAF AHLI STRUKTUR

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA,

BUPATI TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, BUPATI TASIKMALAYA PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 32 TAHUN 2008 TENTANG RINCIAN TUGAS UNIT DI LINGKUNGAN DINAS KOPERASI, PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN KABUPATEN TASIKMALAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERIZINAN PENELITIAN ASING. PP No 41/2006

PERIZINAN PENELITIAN ASING. PP No 41/2006 PERIZINAN PENELITIAN ASING PP No 41/2006 Latar Belakang Dasar Hukum: 1) UU. No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 2) PP. No.

Lebih terperinci

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI

PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : TANGGAL : PETUNJUK PELAKSANAAN KERJA SAMA PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN LUAR NEGERI I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi ekonomi

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH,

GAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH, SALINAN GAH GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN PROVINSI

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati atau biodiversitas adalah keanekaragaman organisme yang menunjukkan keseluruhan atau totalitas variasi gen, jenis, dan ekosistem pada suatu daerah,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19/PMK.03/2018 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 70/PMK.03/2017 TENTANG PETUNJUK TEKNIS MENGENAI AKSES INFORMASI KEUANGAN

Lebih terperinci

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research

Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan. Center for International Forestry Research Menyelaraskan hutan dan kehutanan untuk pembangunan berkelanjutan Center for International Forestry Research Siapakah kami Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (Center for International Forestry Research)

Lebih terperinci

Bab IV Kesimpulan dan Saran

Bab IV Kesimpulan dan Saran Bab IV Kesimpulan dan Saran Sebagai bagian akhir, bab ini akan membahas mengenai temuan studi, kesimpulan serta beberapa rekomendasi yang dapat dilakukan untuk lebih memacu perbaikan kelembagaan penanggulangan

Lebih terperinci

PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN

PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN Para Anggota, PERSETUJUAN MENGENAI FASILITASI PERDAGANGAN Pembukaan Memperhatikan negosiasi yang diluncurkan dalam Deklarasi Menteri di Doha; Mengingat dan menegaskan mandat dan prinsip yang terkandung

Lebih terperinci

Pengembangan Portal Belajar Online

Pengembangan Portal Belajar Online Pengembangan Portal Belajar Online PENDAHULUAN Permasalahan B A B 1 Pengembangan sumber daya manusia merupakan upaya yang harus dilakukan secara terus menerus untuk memperoleh hasil yang optimal. Hal ini

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

PEDOMAN PRAKTISI ASEAN

PEDOMAN PRAKTISI ASEAN RESPON PENEGAK HUKUM TERHADAP KEJAHATAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG: PEDOMAN PRAKTISI ASEAN Bagian Satu Hal-hal tentang Pembuktian A. Memperkuat Kerangka Kerja Hukum 1. Segala bentuk perdagangan orang

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR HK.03.1.23.03.12.1564 TAHUN 2012 TENTANG PENGAWASAN PELABELAN PANGAN PRODUK REKAYASA GENETIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS

Lebih terperinci

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 60/PMK.03/2014 TENTANG : TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI (EXCHANGE OF INFORMATION) TATA CARA PERTUKARAN INFORMASI BERDASARKAN PERMINTAAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.817, 2012 PPATK. Organisasi. Tata Kerja. PPATK. PERATURAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN NOMOR PER-07/1.01/PPATK/08/12 TENTANG ORGANISASI DAN

Lebih terperinci

Dinas Perkebunan, Pertanian, Peternakan Perikanan dan Kehutanan Kota Prabumulih 1

Dinas Perkebunan, Pertanian, Peternakan Perikanan dan Kehutanan Kota Prabumulih 1 Kota Prabumulih 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Keinginan Pemerintah dan tuntutan dari publik saat ini adalah adanya transparansi dan akuntabilitas terhadap pengelolaan keuangan negara. Dasar dari

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN

RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN RENCANA STRATEGIS BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2010 2014 BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BALAI PENGKAJIAN

Lebih terperinci

NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM

NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM Lampiran I Pengumuman Nomor : Tanggal : NAMA JABATAN : KASUBPOKJA PERENCANAAN PROGAM DAN ANGGARAN ATASAN LANGSUNG : KAPOKJA PERENCANAAN ANGGARAN DAN HUKUM Tugas dan Fungsi : Melakukan Penyiapan koordinasi

Lebih terperinci