Bab 1 Pendahuluan. 1 Prinsip adoption at all costs approach harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 1 Pendahuluan. 1 Prinsip adoption at all costs approach harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem"

Transkripsi

1 Bab 1 Pendahuluan Sebagaimana diketahui, dalam arahan Gubernur Bank Indonesia yang disampaikan pada awal Januari 2005 yang terkait dengan kebijakan perbankan ke depan, Bank Indonesia dipastikan akan menerapkan standar internasional yang direkomendasikan Basel Committee on Banking Supervision ( Committee ) dalam dokumen The International Convergence of Capital Measurement and Capital Standards (yang lebih dikenal dengan Basel II ) terhadap perbankan Indonesia. Dokumen Basel II merupakan penyempurnaan lebih lanjut dari dokumen Basel Accord 1988 yang telah diadopsi oleh Bank Indonesia melalui pengaturan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) sejak tahun Dalam penerapannya di lebih dari 100 negara, Basel Accord 1988 banyak mendapat kritikan karena memiliki berbagai kelemahan, antara lain: (i) kategori pembobotan risiko sangat luas sehingga kurang dapat mencerminkan gradasi risiko kredit yang sebenarnya dan mengabaikan implikasi diversifikasi portofolio; (ii) belum merefleksikan keseluruhan jenis risiko yang dihadapi perbankan, dan (iii) tidak memberikan insentif bagi penerapan manajemen risiko yang lebih baik. Didasari pertimbangan tersebut, Committee menerbitkan dokumen Basel II yang pada prinsipnya menyempurnakan metode pengukuran risiko yang lebih akurat dalam mengukur kecukupan permodalan sehingga dapat menyelaraskan antara modal yang seharusnya dibentuk bank sesuai profil risiko (economic capital) dan modal yang dipersyaratkan otoritas (regulatory capital). Selanjutnya, merujuk pada rekomendasi Committe tersebut, perlu dipertegas bahwa Basel II tidak melakukan perubahan terhadap komponen permodalan (yang mencakup Tier 1, Tier 2, dan Tier 3) serta tetap menetapkan 8% sebagai batas minimum pemeliharaan permodalan. Dokumen Basel II telah disirkulasikan kepada otoritas pengawas di seluruh dunia agar mereka mempertimbangkan pengadopsian dokumen tersebut dengan tetap memperhatikan skala prioritas dalam pengembangan dan pelaksanaan fungsi pengawasan di masing-masing yurisdiksi. Committee menyadari bahwa penerapan dalam waktu dekat bukanlan merupakan prioritas bagi otoritas pengawas di negara-negara non G-10 sehubungan dengan berbagai kebutuhan yang unik dari setiap negara dalam melakukan strategi peningkatan efektivitas pengawasan mereka. Dengan demikian, setiap otoritas pengawas diharapkan mempertimbangkan secara berhati-hati manfaat rekomendasi Basel II dalam konteks sistem perbankan domestik saat mempertimbangkan dan menetapkan kerangka waktu dan pendekatan yang akan diimplementasikan. 1 1 Prinsip adoption at all costs approach harus dihindari, khususnya negara berkembang deng an sistem perbankan yang belum advanced dan memiliki keterbatasan sumber daya. Prioritas yang harus dilakukan adalah memastikan kesehatan dan kestablian sektor keuangan melalui penerapan Basel Accord 1988 dan 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision (BCP s). Program Penilaian Sektor Keuangan (Financial Sector Assessments Program) seyogyanya tidak dilakukan berdasarkan penerapan/ pemenuhan Basel II bagi negara yang tidak akan menerapkan Basel II, namun lebih didasarkan pada kecukupan standar pengaturan/pengawasan serta enforcement di masing-masing negara, yang senantiasa mengacu pada 25 BCP s (IMF & World Bank). 1

2 Melalui berbagai survei dan pengkajian kesiapan perbankan, telah disepakati bersama bahwa penerapan Basel II akan di mulai tahun 2008 secara bertahap. Sebagai langkah konkret selanjutnya untuk mengetahui implikasi penerapan Basel II tersebut, Direktorat Penelitian dan Pengaturan Bank (DPNP) telah merencanakan melakukan Quantitative Impact Study (QIS) 2, yaitu untuk posisi April dan Juli 2005 menggunakan format QIS 4, sementara posisi Oktober 2005 menggunakan format QIS 5. Disamping untuk mengetahui dampak kuantitatif penerapan Basel II terhadap profil risiko serta rasio permodalan bank, studi ini dimaksudkan sebagai bahan pertimbangan bagi Bank Indonesia untuk menetapkan national discretion, khususnya perlakuan dan penetapan bobot risiko terhadap berbagai eksposur perbankan. Bank Partisipan Pada tahap awal, studi ini hanya dilakukan terhadap beberapa bank yang ditetapkan sebagai sampel. Penetapan bank sampel tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa bank-bank tersebut dapat mewakili seluruh kelompok bank, yaitu : (i) kelompok bank Persero, Devisa, Non-Devisa, BPD, ex Campuran dan Asing; maupun (ii) kelompok bank besar, sedang dan menengah (berdasarkan skala total aset). Dengan demikian, hasil studi ini diharapkan dapat menggambarkan kondisi pada seluruh kelompok maupun skala bank. Berdasarkan kriteria tersebut, bank-bank yang terpilih sebagai sampel adalah 40 bank dengan pangsa aset mencapai 79,95% dari total aset perbankan sebagaimana dapat dilihat pada Lampiran 1. Namun, untuk posisi April 2005, dari 40 bank tersebut hanya informasi dari 35 bank yang dapat digunakan karena kualitas data dari 4 bank tidak memenuhi syarat dan terdapat 1 bank yang tidak menyampaikan informasi sampai batas akhir yang ditetapkan. Adapun untuk posisi Juli 2005, hanya data dari 37 bank sampel yang dianalisa karena terdapat 2 bank sampel yang melakukan merger dan 2 bank yang tidak mengembalikan laporan. Untuk keperluan analisa, bank sampel akan dikelompokkan dalam 3 grup bank, yaitu (i) Grup 1, bank dengan total aset = Rp 1 trilyun, (ii) Grup 2, bank dengan total aset > Rp 1 trilyun s.d Rp 10 trilyun, dan (iii) Grup 3, bank dengan total aset > Rp 10 trilyun. Sementara untuk tujuan agregasi data, baik secara grup maupun keseluruhan, metode yang digunakan adalah metode simple average. 2 Secara umum, QIS bertujuan untuk melihat sejauhmana dampak kuantitatif penerapan Basel II terhadap profil risiko serta rasio permodalan perbankan. Adapun format dan template QIS telah disediakan oleh Basel Committee. Dilihat dari formatnya, dapat dikatakan bahwa QIS merupakan tool yang cukup efektif untuk membantu perbankan memahami substansi Basel II, khususnya Pillar 1 dengan Pendekatan Standar (Standardized Approach). Disamping itu, format QIS setidaknya memberikan gambaran mengenai persiapan yang perlu dilakukan oleh perbankan, khususnya terkait dengan pengumpulan informasi, pengembangan IT dan database, serta formulasi kebijakan perkreditan (lending policy). 2

3 Persiapan Survei Studi dilakukan dengan melakukan survei dan mengumpulkan data-data dalam format workbook QIS 4 yang telah disediakan Committee. Workbook tersebut telah dirancang untuk melihat pengaruh perbedaan pengukuran risiko berdasarkan Basel II dibandingkan regulasi saat ini, khususnya pengaruh Basel II terhadap rasio permodalan bank. Untuk mendukung studi tersebut, DPNP telah menyusun pedoman teknis pelaksanaan QIS (Lampiran) serta melakukan 2 kali workshop, yaitu workshop secara umum pada tanggal 12 April 2005 dan workshop secara per kelompok bank tanggal Agustus Diharapkan pelaksanaan workshop tersebut akan membantu bank-bank dalam melakukan pengisian data QIS. Pendekatan, Definisi, Penetapan National Discretion, dan Skenario Untuk tahap awal, studi QIS 4 akan mencakup perhitungan seluruh risiko (kredit, pasar, dan operasional), dengan menggunakan pendekatan perhitungan berikut: 1. Standardised Approach, untuk risiko kredit; 2. Standard Model, untuk risiko pasar; dan 3. Basic Indicator Approach, untuk risiko operasional. Berdasarkan kerangka Basel II, dalam beberapa area tertentu otoritas pengawas diberikan keleluasaan untuk menetapkan kebijakan tersendiri (national discretion) sesuai kondisi di masing-masing negara, sepanjang diskresi tersebut bersifat lebih konservatif dibandingkan standar yang ditetapkan Committee. Untuk tujuan studi ini, definisi eksposur/tagihan (claims) dan beberapa diskresi serta asumsi yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 2. Dalam pelaksanaan studi ini, terdapat beberapa diskresi yang perlu mendapat perhatian, yaitu: 1. Perlakuan terhadap eksposur kepada Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia (sovereign claims) Sebagaimana dikemukakan diatas, pengukuran risiko kredit dalam studi ini menggunakan Standardised Approach dimana penetapan bobot risiko kredit terhadap setiap eksposur/tagihan bank didasarkan pada hasil peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat yang diakui, termasuk seluruh eksposur bank kepada Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia. Melihat kondisi saat ini, dimana sovereign rating yang diterbitkan lembaga pemeringkat internasional terhadap Indonesia adalah Ba- (Moody s) dan BB- (Standard & Poor), tidak dapat dihindari bahwa seluruh eksposur kepada Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia harus dikenakan bobot risiko sebesar 100%. Namun, Basel II memberi peluang bagi bank untuk mengenakan bobot risiko yang lebih rendah (preferential treatment) yaitu sebesar 50% jika pendanaan atas eksposur sovereign 3

4 tersebut dilakukan dalam mata uang yang sama sehingga tidak terjadi currency mismatch. Mengingat saat ini penempatan dana industri perbankan masih banyak didominasi eksposur sovereign, maka studi ini akan menggunakan 2 skenario untuk melihat sejauh mana penerapan Basel II akan berdampak pada tingkat permodalan bank, yaitu: a. Skenario 1 - bobot risiko 100% (berdasarkan sovereign rating); dan b. Skenario 2 - bobot risiko 50% (berdasarkan preferential treatment dengan asumsi tidak terjadi currency mismatch) 2. Perlakuan terhadap eksposur yang dijamin dengan properti rumah tinggal (claims secured by residential property) atau tagihan KPR serta portofolio ritel Dalam dokumen Basel II, Committee merekomendasikan pengenaan bobot risiko yang lebih rendah untuk eksposur KPR dan portofolio ritel. Hal ini dilatarbelakangi pengkajian terhadap historical data yang meyakini bahwa : a. eksposur KPR umumnya memiliki recovery rate yang cukup tinggi sehingga dianggap layak untuk mendapatkan bobot risiko 35% dibandingkan bobot risiko sebelumnya sebesar 50%; dan b. risiko portofolio ritel cukup menyebar karena terdiversifikasi pada sejumlah besar debitur dengan nilai eksposur individual relatif kecil, sehingga dianggap layak untuk mendapatkan bobot risiko 75% dibandingkan bobot risiko sebelumnya sebesar 100%. Meskipun demikian, Committee menekankan bahwa setiap otoritas pengawas harus menetapkan bobot risiko yang lebih tinggi apabila pengalaman historis di masing-masing negara memberikan indikasi relatif tingginya tingkat default (default experience) atas eksposur KPR dan portofolio ritel 3. Untuk tujuan studi ini, DPNP mengenakan bobot risiko minimal yang telah ditetapkan committee, yaitu 35% untuk eksposur KPR dan 75% untuk portofolio ritel. Namun, diskresi yang akan ditetapkan Bank Indonesia pada saat penerapan ke depan akan didasarkan pada pengkajian yang lebih komprehensif terhadap default experience dari eksposur KPR dan portofolio ritel yang saat ini sedang dalam tahap penyelesaian. 3 National supervisory authorities should evaluate whether the risk weight at 35% are considered to be too low based on the default experience for these types of exposures in their jurisdiction. Supervisors, therefore, may require banks to increase these risk weights as appropriate (paragraph 73). 4

5 Bab 2 Analisa Hasil QIS 4 Dampak Terhadap Aktiva Tertimbang Menurut R isiko (ATMR) Hasil studi memperlihatkan bahwa penerapan Basel II dapat memberikan gambaran profil risiko perbankan yang lebih tinggi (higher risk profile) yang tercermin dari peningkatan total ATMR, hal mana sejalan dengan semangat Basel II yang bertujuan merumuskan suatu standar pengukuran risiko yang lebih sensitif (more risk sensitive). Secara umum, meningkatnya profil risiko perbankan dapat dikaitkan dengan hal-hal berikut: 1. Penggunaan hasil peringkat oleh lembaga pemeringkat belum merupakan suatu budaya/kultur dalam pengambilan keputusan pemberian kredit oleh perbankan nasional. Fakta ini didasarkan pada hasil survei terhadap beberapa bank besar yang pernah dilakukan beberapa tahun lalu diperoleh gambaran bahwa rata-rata hanya 20% dari seluruh debitur bank yang memiliki peringkat dari lembaga pemeringkat (misalnya Standard & Poors, Moodys, Fitch, PT Pefindo, ataupun PT. Kasnic). Disamping itu, data yang diperoleh dari rating announcement yang dipublikasikan lembaga pemeringkat domestik menunjukkan masih sedikitnya data pemeringkatan yang dapat digunakan sebagai benchmark dalam perhitungan risiko kredit, khususnya peringkat terhadap perusahaan. (lihat Tabel 1). Tabel 1 Jumlah Perusahaan yang Memperoleh Peringkat Posisi September 2005 PT. Pefindo PT. Kasnic Issuance Rating Corporate Rating Issuance Rating Corporate Rating Issuance Rating Corporate Rating : Peringkat yang diberikan terhadap penerbitan suatu surat berharga : Peringkat yang diterbitkan terhadap suatu perusahaan Siituasi demikian menyebabkan bank belum dapat menikmati insentif penggunaan hasil peringkat yang dapat memperkecil angka perhitungan ATMR, khususnya terhadap eksposur kepada BUMN/BUMD. Dalam rezim pengaturan saat ini, BUMN/BUMD diperlakukan sebagai public sector entities (PSE) yang dikenakan bobot risiko 50%. Namun, merujuk pada kriteria PSE dalam Basel II, hanya sebagian kecil BUMN/BUMD yang dapat dikenakan bobot risiko 50%, sementara mayoritas harus diperlakukan sebagai eksposur corporate dengan besarnya bobot risiko bergantung pada hasil 5

6 peringkat. Dengan demikian, BUMN/BUMD yang tidak memiliki peringkat (unrated) harus dikenakan bobot risiko sebesar 100% Pengenaan bobot risiko yang lebih tinggi terhadap eksposur kepada Pemerintah Indonesia dan Bank Indonesia, yaitu sebesar 100% (skenario 1) dan 50% (skenario 2), sementara saat ini seluruh sovereign claims dianggap bebas risiko (risk free) dengan bobot risiko 0%. 3. Bobot risiko untuk eksposur kepada bank ditetapkan satu level dibawah bobot risiko untuk ekposur pemerintah dimana bank tersebut berdomisili (opsi 1) atau berdasarkan hasil peringkat eksternal (opsi 2). Dengan kondisi peringkat sovereign maupun peringkat bank saat ini, maka dapat dipastikan besarnya bobot risiko yang harus dikenakan terhadap ekposur kepada bank melebihi ketentuan yang berlaku saat ini sebesar 20%. 4. Seluruh eksposur yang telah jatuh tempo lebih dari 90 hari (past due loan) dikenakan bobot risiko 150% karena dianggap sebagai eksposur dengan risiko tinggi (higher risk category). 5. Sebagian besar jenis agunan yang dijaminkan oleh debitur adalah agunan fisik (misalnya tanah dan bangunan perumahan atau industri). Disamping itu, transaksi credit derivative dan sekuritisasi yang dapat dikategorikan sebagai bentuk mitigasi risiko belum berkembang luas dan menjadi produk pilihan perbankan maupun pelaku pasar lainnya. Dengan demikian, perbankan Indonesia belum memiliki banyak pilihan strategi/teknik memitigasi risiko kredit sehingga aspek yang merupakan insentif (sweetener) dari kerangka Basel II belum sepenuhnya dapat dinikmati perbankan. 6. Adanya tambahan komponen risiko operasional dalam perhitungan ATMR, yang dalam studi ini menggunakan Basic Indicator Approach, yaitu sebesar 15% dari total gross income. Dengan latar belakang struktur neraca perbankan Indonesia serta kultur aktivitas pembiayaan kegiatan yang belum menggunakan hasil peringkat eksternal sebagaimana uraian diatas, maka implementasi Basel II dengan menggunakan skenario 1 menyebabkan peningkatan total ATMR rata-rata mencapai 92,10% untuk posisi April 2005 dan 86,88% untuk posisi Juli 2005, sedangkan dengan skenario 2 rata-rata mencapai 63.6% untuk posisi April 2005 dan 59.58% untuk posisi Juli 2005 (Lihat Tabel 2). Tabel tersebut memperlihatkan besarnya persentase peningkatan total ATMR dengan penerapan framework Basel II dibandingkan perhitungan total ATMR berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini. Dari hasil perhitungan posisi April dan Juli 2005, baik menggunakan skenario 1 maupun skenario 2, terlihat bahwa secara umum rata-rata peningkatan total ATMR tertinggi dialami bank-bank besar dalam grup 3, dan sebaliknya peningkatan total ATMR terkecil dialami bank-bank dalam grup 2. Peningkatan total ATMR bank-bank tersebut tidak hanya bersumber dari pengenaan bobot risiko kredit yang lebih tinggi, khususnya bobot risiko atas eksposur kepada sovereign serta kepada bank, namun juga adanya tambahan beban modal 4 Untuk menghindari moral hazard, Committee memberikan keleluasaan bagi otoritas pengawas untuk mengenakan bobot risiko yang lebih tinggi (> 100%), khususnya jika terdapat indikasi tingginya probabilitas default rate dari eksposur yang tidak berperingkat. 6

7 yang dialokasikan untuk mengantisipasi risiko operasional. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa lebih dari 50% peningkatan total ATMR dikontribusikan oleh eksposur yang mengandung risiko kredit. Tabel 2 Persentase Peningkatan Total ATMR berdasarkan Basel II POSISI APRIL 2005 Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel Jumlah Bank Skenario 1 Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum Skenario 2 Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum 56,83% 201,50% 18,02% 35,83% 104,27% 10,26% 46,64% 112,95% 13,82% 38,70% 63,54% 11,02% POSISI JULI ,35% 190,93% 35,74% 65,98% 111,10% 30,38% 92,10% 201,50% 13,82% 63,60% 111,10% 10,26% Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel Jumlah Bank Skenario 1 Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum Skenario 2 Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum 43,77% 300,84% 14,85% 26,05% 202,21% 7,99% Grup 1 : bank dengan total aset = Rp 1 trilyun Grup 2 : bank dengan total aset > Rp 1 trilyun s.d Rp 10 trilyun Grup 3 : bank dengan total aset > Rp 10 trilyun 28,47% 124,14% 0,82% 18,70% 97,00% (2,28%) 92,42% 163,93% 29,94% 63,49% 101,33% 10,09% 86,88% 300,84% 0,82% 59,58% 202,21% (2,28%) Sebagaimana telah dikemukakan diatas, Basel II tidak hanya merekomendasikan penggunaan hasil p eringkat eksternal dalam pengukuran risiko kredit yang dapat berdampak pada pengenaan bobot risiko yang lebih tinggi, namun juga mengusulkan pengenaan bobot risiko yang lebih rendah atas eksposur KPR (claims secured by residential property) serta portofolio ritel, dengan pertimbangan bahwa berdasarkan data historis ke dua jenis portofolio tersebut terekspos pada risiko yang relatif lebih rendah. Namun, rekomendasi Basel II yang bersifat relaksasi tersebut tampaknya tidak banyak memberikan dampak pada penurunan total ATMR bank disebabkan volume eksposur KPR dan portofolio ritel tidak terlalu signifikan dibandingkan jumlah eksposur kepad a sovereign dan eksposur kepada bank lainnya. Tabel 2 diatas memperlihatkan bahwa hanya 1 bank yang mengalami penurunan total ATMR sebesar 2,28% yaitu bank dalam Grup 2 yang memiliki eksposur sovereign yang relatif rendah. Penurunan ATMR hanya dapat dinikmati bank tersebut jika perhitungan ATMR dilakukan dengan skenario 2. 7

8 Risiko Kredit 1. Analisa Portofolio Penggunaan Standardized Approach dalam studi ini secara nyata menghasilkan angka perhitungan ATMR risiko kredit yang umumnya meningkat cukup signifikan, baik dengan skenario 1 maupun skenario 2. Grafik 1 dan 2 menggambarkan besarnya peningkatan ATMR risiko kredit untuk masing-masing bank berdasarkan skenario 1 dan 2 yang dikelompokkan berdasarkan grup bank, masing-masing untuk posisi April dan Juli G Grafik 1 Dampak terhadap Peningkatan ATMR Posisi April % 175% 150% 125% 100% Grup 1 Grup 2 Grup 3 75% 50% 25% 0% -25% Skenario 1 Skenario 2 Grafik 2 Dampak terhadap Peningkatan ATMR Posisi Juli % 225% 200% 175% 150% 125% 100% Grup 1 Grup 2 Grup 3 75% 50% 25% 0% -25% Skenario 1 Skenario 2 8

9 Grafik 1 dan 2 menunjukkan bahwa secara rata-rata bank-bank dalam grup 3 (total aset > Rp 10 trilyun) mengalami peningkatan ATMR risiko kredit yang relatif lebih tinggi. Lebih rinci, Tabel 3 dibawah ini menggambarkan jumlah bank yang mengalami peningkatan maupun penurunan jumlah ATMR risiko kredit. Tabel 3 Jumlah Bank dengan Peningkatan dan Penurunan ATMR Risiko Kredit Posisi April 2005 Posisi Juli 2005 Skenario 1 Skenario 2 Skenario 1 Skenario 2 ATMR meningkat ATMR menurun Jumlah Analisa lebih jauh mengenai kontribusi masing-masing jenis eksposur/portofolio terhadap peningkatan angka ATMR risiko kredit mengemukakan fakta bahwa berdasarkan kerangka Basel II, eksposur kepada sovereign secara umum merupakan kontributor terbesar bagi peningkatan profil risiko perbankan di Indonesia, yaitu mencapai lebih dari 50% untuk skenario 1 dan berkisar 28% untuk skenario 2. Besarnya kontribusi eksposur kepada sovereign tersebut merupakan implikasi langsung dari dominasi penempatan dana pada surat utang pemerintah dan SBI yang mencapai lebih dari 25% dari total portofolio bank sampel. Disamping itu, eksposur kepada korporasi (termasuk kepada BUMN/BUMD) juga memberikan kontribusi terhadap peningkatan ATMR. Hal ini disebabkan mayoritas ekposur tersebut tidak memiliki peringkat (unrated) sehingga dikenakan bobot risiko 100%, dimana sebelumnya eksposur kepada BUMN/BUMD hanya dikenakan bobot risiko 50%. Pada posisi April 2005 dan Juli 2005, eksposur kepada korporasi yang tidak memiliki peringkat masing-masing mencapai 64,44% dan 67,06%. Gambaran lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Pangsa Eksposur dan Konstribusi Terhadap Peningkatan ATMR Eksposur/Portofolio Sovereign Skenario 1 Skenario 2 % Eksposur 26.80% April 2005 Juli 2005 % Kontribusi terhadap Peningkatan ATMR 56.85% 28.35% % Eksposur 26.22% % Kontribusi terhadap Peningkatan ATMR 54.60% 27.30% Korporasi 28.78% 0.79% 29.63% 1.14% Bank 4.70% 0.67% 5.93% 1.27% Ritel KPR Non KPR 13.29% 3.04% 10.25% (5.33%) (0.93%) (4.39%) 12.12% 2.97% 9.15% (4.40%) (0.86%) (3.54%) SME 10.37% (0.97%) 10.84% (1.98%) 9

10 Eksposur/Portofolio Diperlakukan sbg Korporasi Diperlakukan sbg Ritel % Eksposur 6.82% 3.55% April 2005 Juli 2005 % Kontribusi terhadap Peningkatan ATMR 0.40% (1.38%) % Eksposur 7.19% 3.64% % Kontribusi terhadap Peningkatan ATMR (0.26%) (1.72%) Equity 0.02% 0.00% 0.03% 0.00% Anjak Piutang 0.75% 0.00% 0.93% 0.00% Sekuritisasi Aset 0.17% (0.21%) 0.00% (0.17%) Trading book 9.22% 17.07% 8.57% 14.51% Risiko Operasional 23.25% 21.91% Total Skenario % 86.88% Total Skenario % 59.58% 2. Analisa Mitigasi Risiko Kredit Sesuai kerangka Basel II, pengukuran risiko kredit dapat memperhitungkan faktor agunan (collateral) dan proteksi kredit tertentu yang memenuhi persyaratan sebagai faktor mitigasi risiko. Bentuk agunan yang memenuhi persyaratan tersebut antara lain uang tunai (cash) dan instrumen keuangan seperti surat berharga, reksadana, dan saham yang memiliki peringkat tertentu dan diperdagangkan di pasar keuangan terkemuka. Hasil studi (khusus posisi Juli 2005) menunjukkan bahwa perhitungan agunan dan proteksi kredit sebagai faktor mitigasi risiko tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan ATMR risiko kredit sebagaimana terlihat pada Tabel 5 berikut. Tabel 5 Dampak Perhitungan Agunan dan Proteksi Kredit sebagai Mitigasi Risiko Kredit POSISI JULI 2005 Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel Eksposur Korporasi % eksposur yang beragunan 1) % eksposur yang berproteksi kredit % penurunan ATMR karena CRM 2) Eksposur SME Korporasi % eksposur yang beragunan % eksposur yang berproteksi kredit % penurunan ATMR karena CRM Total Eksposur % eksposur yang beragunan % eksposur yang berproteksi kredit % penurunan ATMR karena CRM 1) 2) 21,96% - (24,31%) 7,12% - (8,23%) 6,75% - (8,17%) Agunan dalam bentuk uang tunai dan instrumen keuangan CRM : Credit Risk Mitigation 5,23% 3,43% (9,16% ) 3,90% - (4,26% ) 3,35% 3,69% (6,54% ) 2,04% 0,72% (3,86%) 3,18% 0,01% (3,82%) 1,23% 0,24% (1,87%) 2,64% 1,17% (4,79%) 3,36% 0,01% (3,97%) 1,50% 0,62% (2,40%) Hal ini terkait dengan kelaziman di perbankan Indonesia dimana secara umum jenis agunan yang dijaminkan oleh debitur adalah agunan fisik seperti tanah dan bangunan 10

11 yang tidak memenuhi kriteria sebagai bentuk mitigasi risiko dalam penerapan Standardized Approach. Hanya sejumlah kecil debitur yang menyerahkan agunan yang memenuhi kriteria. Sebagai gambaran, eksposur yang memiliki agunan yang eligible tidak lebih dari 1,50% total eksposur bank sampel. Dari nilai tersebut, sebesar 60,62% dan 18,99% merupakan agunan yang diserahkan debitur korporasi dan SME korporasi. Sementara itu, kondisi yang sama juga berlaku atas eksposur dengan proteksi kredit dalam bentuk garansi yang hanya tercatat sebesar 0,62% dari total eksposur bank sampel. Dari seluruh proteksi kredit tersebut, sebesar 64,94% merupakan garansi yang umumnya diberikan bank sebagai jaminan atas eksposur kepada korporasi. Secara keseluruhan, faktor mitigasi risiko kredit (baik agunan maupun proteksi kredit) diperhitungkan dapat menurunkan ATMR sebesar -2,40%, dimana sebesar 70,40% dari penurunan tersebut bersumber dari eksposur kepada korporasi Risiko Pasar Kewajiban memperhitungkan risiko pasar (dengan menerapkan Standard Model) telah berlaku efektif sejak awal tahun Sesuai Peraturan Bank Indonesia mengenai perhitungan risiko pasar, bank-bank yang memenuhi kiriteria yang telah ditetapkan wajib mengalokasikan modalnya untuk risiko pasar. Dari total seluruh bank sampel, terdapat 25 bank yang terkena kewajiban tersebut. Tabel 6 Persentase Kenaikan ATMR untuk Risiko Pasar POSISI APRIL 2005 Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel Jumlah Bank Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum 5,63% ,64% 54,61% 0,007% POSISI JULI ,32% 54,22% 2,93% 18,71% 54,61% 0,07% Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel Jumlah Bank Rata-rata (simple average) Maksimum Minimum 2,12% 4,23% 3,37% 6,70% 43,22% 0,00% 15,40% 54,99% 0,93% 14,76% 54,99% 0,00% Secara umum dap at dikatakan bahwa perhitungan eksposur risiko pasar 25 bank tersebut tidak berdampak terlalu signifikan terhadap peningkatan ATMR risiko pasar, yaitu rata-rata 18,71% pada posisi April 2005 dan 14,76% pada posisi Juli 2005 (lihat Tabel 6). Peningkatan ATMR risiko pasar tersebut sangat dipengaruhi oleh besarnya pangsa portofolio 5 Berdasarkan pendekatan Standard Model, beban modal dihitung atas eksposur risiko suku bunga dan nlai tukar sesuai standar pembobotan (weighting) yang ditetapkan. Selanjutnya, perhitungan ATMR risiko pasar diperoleh dari 12,5% x beban modal risiko pasar. 11

12 trading book (baik eksposur surat berharga dan derivatif) terhadap total seluruh eksposur bank, yang rata-rata tercatat sebesar 9,22% pada posisi April 2005 dan 8,57% pada posisi Juli 2005 (lihat Tabel 4). Penelitian lebih lanjut memperlihatkan bahwa diantara bank-bank sampel terdapat + 9 bank yang mengalami peningkatan ATMR yang mayoritas dikontribusikan oleh risiko pasar, yaitu khususnya bank yang memiliki eksposur sovereign yang lebih besar tercatat dalam trading book dibandingkan dalam banking book. Eksposur sovereign dalam trading book tersebut umumnya berbentuk surat utang pemerintah yang dimiliki bank untuk diperdagangkan. Risiko Operasional Dalam uraian diatas telah dikemukakan bahwa perhitungan risiko operasional untuk tujuan studi ini menggunakan pendekatan yang paling sederhana, yaitu Basic Indicator Approach dimana beban modal yang harus dialokasikan untuk risiko operasional adalah sebesar 15% dari rata-rata gross income bank selama 3 tahun terakhir, yaitu 2002, 2003, dan Melihat pada metode perhitungan tersebut, besarnya beban modal untuk risiko operasional terkait langsung dengan kinerja rentabilitas bank yang dalam hal ini dicerminkan oleh besarnya gross income bank. Definisi Gross Income yang digunakan dalam studi ini (yang mengacu pada dokumen Basel II - lihat Lampiran 2) pada dasarnya mencerminkan besarnya net interest income (NII) yaitu spread antara borrowing rate dan lending rate. Dengan demikian, semakin besar spread yang dinikmati bank, semakin besar pula beban modal yang dialokasikan sehingga ATMR untuk risiko operasional akan semakin kecil, demikian sebaliknya. Rata -rata (simple average) Maksimum Minimum Rata -rata (simple average) Maksimum Minimum Tabel 7 Persentase Kenaikan ATMR untuk Risiko Operasional POSISI APRIL 2005 Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel 15,08% 33,65% 4,47% 10,94% 21,40% 4,47% POSISI JULI ,39% 33,09% 11,62% 23,25% 33,65% 4,47% Grup Grup 1 Grup 2 Grup 3 Seluruh Sampel 16,27% 86,76% 10,45% 10,50% 23,22% 0,86% 22,98% 29,09% 10,34% 21,91% 86,76% 0,86% Tabel 7 memperlihatkan bahwa persentase peningkatan total ATMR yang diatribusikan oleh risiko operasional cukup besar, yaitu rata-rata 23,25% dan 21,91% pada 2 periode tersebut, namun komposisi ATMR risiko operasional dalam total ATMR relatif kecil dibandingkan ATMR risiko kredit, yaitu berkisar antara 3,01% - 19,40% (skenario 1, 6 Perhitungan ATMR risiko operasional diperoleh dari 12,5% x beban modal risiko operasional (yaitu 15% x gross inc ome) 12

13 April 2005) atau 3,12% - 21,38% (skenario 2, April 2005), dan 0,68% - 21,65% (skenario 1, Juli 2005) atau 0,74% - 28,71% (skenario 2, Juli 2005). Hasil studi menunjukkan bahwa penerapan Basel II membawa implikasi pada tambahan ATMR dari risiko operasional. Namun, secara keseluruhan pangsa risiko operasional hanya mencapai kisaran 10% - 12 % dibandingkan risiko kredit yang mencapai 80% %. Dengan kata lain, hanya + 12% saja dari modal bank yang dialokasikan untuk risiko operasional. Dampak Terhadap Rasio Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) Berdasarkan hasil studi terhadap 35 bank sampel pada posisi April 2005, terlihat bahwa penurunan rasio KPMM tersebut cukup bervariasi yaitu berkisar -1,71% s.d -58,12% (skenario 1) atau -1,26% s.d -45,25% (skenario 2). Penurunan tersebut utamanya disebabkan peningkatan ATMR untuk risiko kredit. Berdasarkan skenario 1, penurunan KPMM menyebabkan rasio KPMM 5 dari 35 bank sampel turun menjadi dibawah 8%. Sedangkan berdasarkan skenario 2, hanya 4 bank yang rasio KPMM-nya turun dibawah 8%. (lihat Grafik 3). Sementara itu, hasil studi pada posisi Juli 2005 menggambarkan kondisi yang serupa dimana penurunan rasio KPMM bervariasi yaitu berkisar -0,15% s.d -95,24% (skenario 1) atau 0,42% s.d -84,91% (skenario 2). Penggunaan skenario 1 menyebabkan 7 bank memiliki rasio KPMM dibawah 8%. Sedangkan dengan skenario 2, hanya 4 bank saja yang rasio KPMM-nya turun dibawah 8%. (lihat Grafik 4). Gambaran demikian tidak dapat diartikan bahwa penerapan Basel II tidak akan membebani bahkan membahayakan eksistensi perbankan Indonesia. Dalam jangka panjang, khususnya jika perbankan melakukan ekspansi usaha, maka perbankan akan dihadapkan pada peningkatan profil risiko yang lebih besar dibandingkan dengan Basel Accord Apabila kebutuhan tambahan modal tidak dapat dipenuhi, maka dimungkinkan perbankan akan memiliki rasio permodalan dibawah batas minimum. 13

14 G Grafik 3 Dampak terhadap Penurunan Rasio KPMM Posisi April % 88% Current Accord Skenario 1 Skenario 2 80% 72% Grup 1 64% 56% 48% 40% 32% Grup 2 Grup 3 24% 16% 8% 0% G Grafik 4 Dampak terhadap Penurunan Rasio KPMM Posisi Juli % 88% Current Accord Skenario 1 Skenario 2 80% 72% Grup 1 64% 56% 48% 40% 32% Grup 2 Grup 3 24% 16% 8% 0% 14

15 Bab 3 Persepsi Terhadap Pelaksanaan Studi Dalam pelaksanaan survei, bank-bank sampel diminta untuk menyampaikan berbagai manfaat dan kendala yang ditemui pada saat melakukan pengumpulan data untuk QIS tersebut. Secara umum bank merasakan manfaat dari pelaksaan studi ini, yaitu antara lain : 1. memberikan kesempatan untuk mulai mempelajari perhitungan kebutuhan permodalan sesuai kerangka Basel II (learning process) 2. mengetahui dampak penerapan Basel II terhadap kecukupan modal (impact analysis) 3. memberikan pemahaman dalam rangka mempersiapkan diri menghadapai implementasi Basel II, sehingga pada waktunya bank siap dengan seluruh infrastruktur yang dibutuhkan seperti SDM, database, sistem informasi, dan faktor pendukung lainnya. Sementara itu, bank juga menemui berbagai kendala dalam menyelesaikan survei, antara lain : 1. Petunjuk dalam pengisian untuk setiap panel yang harus diisi bank dalam workbook QIS kurang terinci. 2. Struktur (penggolongan) data yang dibutuhkan untuk pengisian berbeda dengan struktur data laporan yang telah ada di bank. 3. Segmentasi eksposur yang digunakan pada QIS 4 berbeda dengan segmentasi dalam pos akunting bank, sehingga mengharuskan bank meredefinisikan dan memilah segmentasi yang ada di pos-pos akunting agar sesuai dengan Basel II. 4. Sistem informasi bank belum menunjang untuk studi kuantitatif ini dalam hal kelengkapan data (data completeness) maupun pengolahan data (data extraction), sehingga untuk QIS ini banyak data yang diolah secara manual. 15

16 Bab 4 Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan Penerapan perhitungan risiko berdasarkan kerangka Basel II berpotensi meningkatkan hasil perhitungan ATMR sehingga mendorong penurunan rasio KPMM perbankan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari semangat Basel II yang mendorong penerapan manajemen risiko yang lebih baik melalui perhitungan risiko yang lebih akurat (risk sensitive) serta perhitungan risiko lainnya yang belum tercakup, misalnya risiko operasional. Melihat pada kondisi perbankan yang tercermin pada laporan keuangan dan struktur neraca, maka konsentrasi pada eksposur sovereign merupakan salah satu faktor utama peningkatan ATMR. Bank-bank yang tercatat memiliki loan to deposit ratio (LDR) yang rendah dan menempatkan dana dalam bentuk surat utang negara (SUN) dan SBI dapat dipastikan mengalami lonjakan penurunan ATMR yang cukup signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa secara tidak langsung penerapan Basel II dapat mendorong perbankan meningkatkan fungsi intermediasi karena kerangka Basel II tidak lagi memberikan preferential treatment atas eksposur sovereign berupa bobot risiko 0% (risk free) sebagaimana kondisi saat ini. Disamping eksposur sovereign, penempatan dana kepada BUMN/BUMD tidak lagi memperoleh perlakuan khusus (preferential treatment) berupa bobot risiko sebesar 50% melainkan diperlakukan sebagai eksposur kepada korporasi sehingga bobot risiko ditentukan berdasarkan hasil peringkat. Rekomendasi Melihat pada hasil analisis QIS tersebut diatas, dapat kami kemukakan beberapa rekomendasi sebagai langkah persiapan menuju penerapan Basel II mulai tahun 2008 mendatang, yaitu : 1. Memperluas jumlah bank sampel yang berpartisipasi dalam pelaksanaan studi QIS sebagai tool yang cukup efektif untuk membantu perbankan memahami kerangka Basel II serta membuka wawasan mengenai langkah persiapan yang diperlukan, misanya pengembangan maupun penyempurnaan sistem informasi yang akomodatif terhadap penerapan Basel II. 2. Melakukan berbagai kajian yang terkait dengan penerapan national discretion, seperti perlakukan terhadap eksposur kepada sovereign, eksposur kepada BUMN/BUMD, dsb. Kebijakan yang diambil hendaknya menyeimbangkan antara dampak terhadap industri perbankan dan perekonomian dengan penerapan praktek manajemen risiko dan corporate governance yang merupakan esensi dari Basel II. Misalnya, penetapan bobot 16

17 risiko sesuai hasil peringkat hendaknya diberlakukan secara bertahap untuk memberikan waktu bagi perbankan dalam melakukan penyesuaian terhadap penempatan dana, khususnya dalam bentuk eksposur kepada sovereign. 3. Melakukan kajian yang terkait dengan faktor-faktor mitigasi risiko (misalnya agunan dan proteksi kredit), serta aspek hukum di Indonesia yang belum mendukung dan memberikan jaminan/kepastian hukum sehingga dapat diperlakukan sebagai faktor mitigasi risiko. 4. Melengkapi studi kuantitatif ini dengan evaluasi kesiapan perbankan secara kualitatif, yaitu melalui gap analysis sehingga diperoleh kesimpulan yang komprehensif mengenai kesiapan perbankan. 17

Sekilas Implementasi Basel II

Sekilas Implementasi Basel II Sekilas Implementasi Basel II Peningkatan Standardisasi Perhitungan Kecukupan Modal Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank sebagai lembaga intermediasi berperan dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi nasional suatu negara karena bank mempunyai fungsi menyalurkan dana dari

Lebih terperinci

Lampiran 1 : Ilustrasi Pengungkapan Kecukupan Modal-Metode Standar

Lampiran 1 : Ilustrasi Pengungkapan Kecukupan Modal-Metode Standar Lampiran 1 : Ilustrasi Pengungkapan Kecukupan Modal-Metode Standar No. Jenis Eksposur 1 Risiko Kredit a Eksposur Neraca Tagihan kepada Pemerintah Tagihan kepada Bank Pembangunan Multilateral Tagihan kepada

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/10/PBI/2004 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang

Lebih terperinci

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/ 35 /DPNP Jakarta, 10 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu yang Disampaikan kepada

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM

PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 5/8/PBI/2003 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO BAGI BANK UMUM UMUM Kegiatan usaha Bank senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang berkaitan erat dengan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Pada Bab 4 ini akan dijelaskan latar belakang perusahaan, organisasi manjemen risiko PT. Bank ABC Tbk, analisis kuantitatif penggunaan metode standardised approach dan gap

Lebih terperinci

No.12/ 27 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2010 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Perihal : Rencana Bisnis Bank Umum

No.12/ 27 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2010 S U R A T E D A R A N. Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Perihal : Rencana Bisnis Bank Umum No.12/ 27 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2010 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Rencana Bisnis Bank Umum Sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagaimana diketahui bersama, kegiatan penyaluran dana dalam bentuk kredit masih merupakan aktivitas yang dominan bagi usaha perbankan di Indonesia, atau dengan kata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah sebuah lembaga yang diberikan izin oleh otoritas perbankan untuk menerima simpanan, memberikan kredit, dan menerima serta menerbitkan cek. Bank perlu di

Lebih terperinci

BAB 1. dengan sifat bank sebagai lembaga yang highly geared. berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.

BAB 1. dengan sifat bank sebagai lembaga yang highly geared. berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, memiliki kemampuan untuk menyalurkan dana kepada para debiturnya dengan cara mendayagunakan dana dari para tabungan deposannya.

Lebih terperinci

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 15/28/DPNP Jakarta, 31 Juli 2013 SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Penilaian Kualitas Aset Bank Umum Sehubungan dengan Peraturan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5861 KEUANGAN OJK. Bank. Manajemen Risiko. Penerapan. Pencabutan. (Penjelasan atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 53) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis keuangan global yang melanda seluruh dunia pada tahun 2008 atau yang lebih dikenal dengan Subprime Mortgage Crisis berawal dari krisis keuangan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi

BAB I PENDAHULUAN. signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Industri perbankan di Indonesia telah mengalami perkembangan yang signifikan, hal ini ditandai dengan diterbitkannya paket-paket deregulasi keuangan, moneter dan

Lebih terperinci

Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia

Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA. Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia No. 7/ 8 /DPNP Jakarta, 31 Maret 2005 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM DI INDONESIA Perihal : Lembaga Pemeringkat dan Peringkat yang Diakui Bank Indonesia Dalam Pasal 12 Peraturan Bank Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty

I. PENDAHULUAN. lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menjalankan usahanya, bank menghadapi berbagai risiko antara lain risiko kredit, yaitu risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.

Lebih terperinci

PENGUNGKAPAN INFORMASI KUANTITATIF EKSPOSUR RISIKO

PENGUNGKAPAN INFORMASI KUANTITATIF EKSPOSUR RISIKO 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah No Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 Wilayah 4 Total Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perbankan memiliki peranan penting dalam menggerakkan roda perekonomian, memfasilitasi pertumbuhan ekonomi suatu negara untuk memenuhi tantangan dunia usaha dan industri

Lebih terperinci

2. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak (Dalam Jutaan Rp)

2. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Sisa Jangka Waktu Kontrak (Dalam Jutaan Rp) A. RISIKO KREDIT 1. Pegungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Tagihan bersih berdasarkan Wilayah Wilayah 1 Wilayah 2 Wilayah 3 Wilayah 4 Jakarta Medan Surabaya Lainnya (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor

BAB I PENDAHULUAN. atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Sesuai dengan Undang undang RI nomor 10 tahun 1998 tentang

Lebih terperinci

Sekilas Implementasi Basel II

Sekilas Implementasi Basel II 1 Daftar Isi Pengantar 1 Sekilas Implementasi Basel II 2 Permodalan Bank Rasio Kecukupan Modal (CAR) 8 Definisi dari regulatory capital 8 Rasio Modal Minimum 9 Bobot risiko 9 Evolusi Basel II Basel Capital

Lebih terperinci

TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM

TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 25 /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM Sehubungan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS

ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS ANALISIS TINGKAT KESEHATAN PERBANKAN BERDASARKAN METODE CAMELS MUNGNIYATI STIE TRISAKTI mungniyati@stietrisakti.ac.id PENDAHULUAN K esehatan merupakan aspek yang sangat penting dalam berbagai bidang kehidupan.

Lebih terperinci

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016)

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Tabel 1. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KOMPONEN MODAL

Lebih terperinci

4.3 Kepemilikan silang pada entitas lain yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat 0 0

4.3 Kepemilikan silang pada entitas lain yang diperoleh berdasarkan peralihan karena hukum, hibah, atau hibah wasiat 0 0 Tabel 01.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum Bank : Bank Sinarmas Tbk KOMPONEN MODAL 30-Jun-17 30-Jun-16 I Modal Inti (Tier 1) 4,184,369 3,819,657 1 Modal Inti Utama/Common Eqiuty

Lebih terperinci

PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM (TIER

PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM (TIER PT. BANK Lampiran 1 ACTION PLANS PEMENUHAN MODAL INTI MINIMUM (TIER - 1) NO SUMBER PEMENUHAN MODAL INTI jutaan Rp 2005 2006 2007 2008 2009 2010 31-Dec 30-Jun 31-Dec 30-Jun 31-Dec 30-Jun 31-Dec 30-Jun 31-Dec

Lebih terperinci

9 31 Desember 2009 Unit Kontrol Tabel 1.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam Jutaan Rupiah) KOMPONEN MODAL Posisi

Lebih terperinci

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016)

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Tabel 1. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KOMPONEN MODAL

Lebih terperinci

RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu

RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individu Tagihan bersih berdasarkan wilayah Kategori Portofolio Kalimantan & Central Java East Java & Bali Jakarta Sumatera

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Tingkat Kesehatan Bank Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004, tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kualitatif

Lebih terperinci

BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA

BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA BAB 4 PEMBAHASAN PERSIAPAN IMPLEMENTASI BASEL II DI BANK MEGA Sehubungan dengan rencana pemerintah dalam melakukan implementasi Basel II pada industri perbankan di Indonesia dimana masih terdapat banyak

Lebih terperinci

STIE DEWANTARA Pengelolaan Risiko Kredit

STIE DEWANTARA Pengelolaan Risiko Kredit Pengelolaan Risiko Kredit Manajemen Risiko, Sesi 6 Latar Belakang 1. Risiko Kredit didefinisikan sebagai risiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada Bank. 2. Pada

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/25/PBI/2004 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/25/PBI/2004 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 6/25/PBI/2004 TENTANG RENCANA BISNIS BANK UMUM GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa dalam rangka meningkatkan good corporate governance, bank perlu

Lebih terperinci

Pengungkapan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. Bank BNI Syariah periode 30 September 2017

Pengungkapan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. Bank BNI Syariah periode 30 September 2017 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah No. Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jabodetabek Barat Timur Total (1) (2) (3) (4) (5) (7) 1 Tagihan Kepada Pemerintah 7.516.769

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan 31 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Risiko kredit atau dalam bahasa asing disebut credit risk adalah suatu potensi kerugian yang disebabkan oleh ketidak mampuan (gagal bayar) dari debitur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat yang hidup di negara negara maju, seperti negara

BAB I PENDAHULUAN. Bagi masyarakat yang hidup di negara negara maju, seperti negara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat yang hidup di negara negara maju, seperti negara negara di Eropa, Amerika dan Jepang mendengar kata bank sudah tidak asing lagi. Bank sudah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank adalah sebuah lembaga yang diberikan izin oleh otoritas perbankan untuk menerima simpanan, memberikan kredit, dan menerima serta menerbitkan cek. Bank perlu di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibiayai, perbankan lebih memilih mengucurkan dana untuk kredit ritel dan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibiayai, perbankan lebih memilih mengucurkan dana untuk kredit ritel dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat sebelum krisis tahun 1998 sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) tidak dilirik oleh perbankan karena mereka menilai sektor ini tidak layak untuk dibiayai,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tabel 1 Perkembangan obligasi korporasi

1 PENDAHULUAN. Tabel 1 Perkembangan obligasi korporasi 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar modal merupakan suatu sarana bagi pelaku bisnis untuk mendapatkan kebutuhan dana jangka panjang dengan cara memperjualbelikan instrumen keuangan. Salah satu instrumen

Lebih terperinci

PT Bank KEB Hana Indonesia Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

PT Bank KEB Hana Indonesia Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu NO KATEGORI PORTOFOLIO Jawa Sumatera Sulawesi & Bali 1 Tagihan Kepada Pemerintah 5,300,126 - - 2 Tagihan Kepada Entitas Sektor Publik

Lebih terperinci

Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah) KETERANGAN

Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah) KETERANGAN Tabel 1.a. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KETERANGAN Bank Konsolidasi (1) (2) (3) (4) I KOMPONEN MODAL A Modal Inti 1 Modal disetor 1,663,146 1,663,146 2 Cadangan tambahan modal

Lebih terperinci

BAB 2 TEORI PENUNJANG

BAB 2 TEORI PENUNJANG BAB 2 TEORI PENUNJANG 2.1. Kerangka Teoritis 1. Kredit dan faktor-faktor yang mempengaruhinya Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan kesepakatan antara

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual

Tabel 1.1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual Tabel 1.1. Pengungkapan Bersih Berdasarkan Wilayah Bank secara Individual Posisi Juni 2017 Bersih Berdasarkan Wilayah Jakarta Sumatra Wilayah Timur Jaw a Total (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) 1 kepada Pemerintah

Lebih terperinci

Pengungkapan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. Bank BNI Syariah periode 30 Juni 2017

Pengungkapan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. Bank BNI Syariah periode 30 Juni 2017 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah No. Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jabodetabek Barat Timur Total (1) (2) (3) (4) (5) (7) 1 Tagihan Kepada Pemerintah 6.305.052

Lebih terperinci

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016)

Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) Tabel 1. Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum Pengungkapan Permodalan dan Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko PT. PRIMA MASTER BANK (Sesuai SE OJK Nomor 43/SEOJK.03/2016) KOMPONEN MODAL

Lebih terperinci

Pengungkapan Ekposur Risiko Bank

Pengungkapan Ekposur Risiko Bank Pengungkapan Ekposur Risiko Bank A. Risiko Kredit A.1 Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah No. Kategori Portofolio Kategori Portofolio wilayah Mataram wilayah Selong wilayah Praya wilayah Sumbawa

Lebih terperinci

Tabel 1.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah)

Tabel 1.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum (dalam jutaan rupiah) Tabel 1.a Pengungkapan Kuantitatif Struktur Permodalan Bank Umum KOMPONEN MODAL Bank Konsolidasi Bank Konsolidasi (1) (2) (3) (4) (5) (6) I KOMPONEN MODAL A Modal Inti 162,348 162,348 1 Modal disetor 137,200

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/1/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/1/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR:9/1/PBI/2007 TENTANG SISTEM PENILAIAN TINGKAT KESEHATAN BANK UMUM BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kesehatan suatu bank berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengaruh Risiko Usaha Terhadap Capital Adequacy Ratio (CAR) pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengaruh Risiko Usaha Terhadap Capital Adequacy Ratio (CAR) pada BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Ada tiga penelitian sebelumnya yang sangat bermanfaat bagi penulis sebagai bahan acuan, yaitu dilakukan oleh : 1. Riski Yudi Prasetyo 2012 Penelitian yang

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT Yth. Direksi Bank Perkreditan Rakyat di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PERKREDITAN RAKYAT Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Otoritas Jasa

Lebih terperinci

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi Juni 2017

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi Juni 2017 Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi Juni 2017 PT. BANK SYARIAH BUKOPIN KANTOR PUSAT Jl. Salemba Raya. 55, Jakarta Pusat 10440 Telp. : (021) 2300912 (Hunting) Fax. : (021) 3148401 Website : www.syariahbukopin.co.id

Lebih terperinci

No.6/ 23 /DPNP Jakarta, 31 Mei S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No.6/ 23 /DPNP Jakarta, 31 Mei S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No.6/ 23 /DPNP Jakarta, 31 Mei 2004 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal: Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Institusi Perbankan

II. TINJAUAN PUSTAKA Institusi Perbankan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Institusi Perbankan Menurut Undang-Undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan, pengertian bank diatur dalam Pasal 1 ayat 2. Bank adalah suatu badan usaha yang menghimpun dana

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Perusahaan PT Bank CIMB Niaga, Tbk berdiri pada tanggal 26 September 1955 dengan nama Bank Niaga. Pada dekade awal berdirinya, fokus utama adalah pada membangun

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL Yth. Direksi Bank Umum Konvensional di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11 /SEOJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI DAN PUBLIKASI LAPORAN BANK UMUM KONVENSIONAL Sehubungan dengan berlakunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai perantara keuangan (financial intermediary) yaitu menghimpun dana dari

BAB I PENDAHULUAN. sebagai perantara keuangan (financial intermediary) yaitu menghimpun dana dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bank memegang peran penting dalam kegiatan perekonomian suatu negara. Sebagai salah satu lembaga penyedia jasa keuangan, bank mendukung pertumbuhan ekonomi dengan menyediakan

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jakarta Bandung Surabaya Semarang Medan Makassar Kalimantan Total

Lebih terperinci

PENGUNGKAPAN INFORMASI KUANTITATIF EKSPOSUR RISIKO PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH BALI POSISI 30 JUNI 2017

PENGUNGKAPAN INFORMASI KUANTITATIF EKSPOSUR RISIKO PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH BALI POSISI 30 JUNI 2017 PENGUNGKAPAN INFORMASI KUANTITATIF EKSPOSUR RISIKO PT. BANK PEMBANGUNAN DAERAH BALI POSISI 30 JUNI 2017 A. RISIKO KREDIT 1. Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Tagihan Bersih Berdasarakan Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya

BAB I PENDAHULUAN. yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank sebagai lembaga financial intermediary mempunyai fungsi utama, yaitu menghimpun dana dari masyarakat luas (funding) dan menyalurkannya dalam bentuk pinjaman

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN Yth. Direksi Bank Umum Konvensional, di tempat. SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2017 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN TAGIHAN BERSIH TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERHITUNGAN ASET TERTIMBANG

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No.5841 KEUANGAN OJK. Bank. Rencana Bisnis. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 17) PENJELASAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah JAKARTA BANDUNG SURABAYA SEMARANG MEDAN MAKASSAR KALIMANTAN Total

Lebih terperinci

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu

Risiko Kredit Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Tabel 1 : Pengungkapan Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank Secara Individu Kategori Portofolio Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah JAKARTA BANDUNG SURABAYA SEMARANG MEDAN MAKASSAR KALIMANTAN Total

Lebih terperinci

GUBERNUR BANK INDONESIA,

GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 8/6/PBI/2006 TENTANG PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO SECARA KONSOLIDASI BAGI BANK YANG MELAKUKAN PENGENDALIAN TERHADAP PERUSAHAAN ANAK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA ITAS JASA K OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN INDONESIA SA PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 11/POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Definisi Bank Pengertian bank menurut PSAK No. 31 adalah: Suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak-pihak yang memiliki kelebihan

Lebih terperinci

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH

SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH Yth. Bank Umum Syariah di tempat SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2014 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM SESUAI PROFIL RISIKO BAGI BANK UMUM SYARIAH Sehubungan dengan berlakunya

Lebih terperinci

No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA

No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012. Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA No. 14/37/DPNP Jakarta, 27 Desember 2012 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA SECARA KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Nama Bank Total Asset (triliun) Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Nama Bank Total Asset (triliun) Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Gambaran Umum Objek Penelitian Daftar nama bank yang termasuk dalam objek penelitian ini adalah 10 bank berdasarkan total aset terbesar di tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 1.1.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Analisa pengaruh..., Wendy Endrianto, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Topik Perkembangan perokonomian di era globalisasi yang menuntut kemajuan disegala sektor ini telah menjadikan bank sebagai salah satu sektor industri yang paling

Lebih terperinci

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

- 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA - 1 - OTORITAS JASA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 32 /POJK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 6/POJK.03/2015 TENTANG TRANSPARANSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam berbagai alternatif investasi.

BAB I PENDAHULUAN. bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam berbagai alternatif investasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam berbagai alternatif investasi. Sehubungan dengan

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN BAB 4 ANALISIS PEMBAHASAN 4.1. Strategi Sekuritisasi Aset pada Piutang Pembiayaan Konsumen Seperti telah diuraikan maka salah satu aset yang memungkinkan untuk disekuritisasi oleh Perseroan adalah piutang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pada tahun Pulihnya kondisi perbankan nasional dicirikan dengan

I. PENDAHULUAN. pada tahun Pulihnya kondisi perbankan nasional dicirikan dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia perbankan saat ini mulai pulih setelah terjadinya krisis moneter pada tahun 1998. Pulihnya kondisi perbankan nasional dicirikan dengan peningkatan tingkat kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Dunia perbankan Indonesia semakin menghadapi banyak tantangan, terutama menghadapi pasar global. Di dalam melaksanakan bisnis, perbankan Indonesia akan dihadapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital

BAB I PENDAHULUAN. Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PT. Bank UOB Indonesia sebagai salah satu anak perusahaan Grup UOB Singapore yang telah mengadopsi Kerangka Basel II tentang Risk Based Capital Adequacy Requirements

Lebih terperinci

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /SEOJK.03/2017

SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /SEOJK.03/2017 Yth. Direksi Bank Umum Konvensional, di tempat. SALINAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 48 /SEOJK.03/2017 TENTANG PEDOMAN PERHITUNGAN TAGIHAN BERSIH TRANSAKSI DERIVATIF DALAM PERHITUNGAN ASET

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (funding)

BAB I PENDAHULUAN. usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998, Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan (funding) dan menyalurkannya kepada masyarakat

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 4/7/PBI/2002 TENTANG PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA PEMBELIAN KREDIT OLEH BANK DARI BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kegiatan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 9/13/PBI/2007 TENTANG KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM DENGAN MEMPERHITUNGKAN RISIKO PASAR GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam perhitungan kecukupan

Lebih terperinci

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi SEPTEMBER 2017

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi SEPTEMBER 2017 Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi SEPTEMBER 2017 PT. BANK SYARIAH BUKOPIN KANTOR PUSAT Jl. Salemba Raya. 55, Jakarta Pusat 10440 Telp. : (021) 2300912 (Hunting) Fax. : (021) 3148401 Website

Lebih terperinci

RANCANGAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH

RANCANGAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Yth. Direksi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di tempat. RANCANGAN SURAT EDARAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR /SEOJK.03/2016 TENTANG RENCANA BISNIS BANK PEMBIAYAAN RAKYAT SYARIAH Sehubungan dengan berlakunya

Lebih terperinci

SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA

SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA SISTEM DAN KEBIJAKAN PERBANKAN DI INDONESIA 1 1 BANK INDONESIA Bank Sentral Republik Indonesia Menetapkan & Melaksanakan Kebijakan Moneter MENCAPAI & MEMELIHARA KESTABILAN NILAI RUPIAH Mengatur dan Menjaga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan standar akuntansi yang dikhususkan bagi industri perbankan di

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan standar akuntansi yang dikhususkan bagi industri perbankan di BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) bekerja sama dengan Bank Indonesia mengeluarkan standar akuntansi yang dikhususkan bagi industri perbankan di Indonesia. Standar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank

II. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bank Menurut Undang-Undang RI Nomor 10 tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

Lebih terperinci

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/20/PBI/2014 TANGGAL 28 OKTOBER 2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sistem keuangan memegang peranan yang sangat penting dalam perekonomian. Bank merupakan bagian sistem keuangan dan sistem pembayaran suatu negara, bahkan pada

Lebih terperinci

30-Jun-17 Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total

30-Jun-17 Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah. Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total Tabel 1.1 : Pengungkapan Risiko Kredit - Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah - Bank secara Individual Tagihan Bersih Berdasarkan Wilayah Jawa Bali Sumatera Kalimantan Sulawesi Lainnya Total (1) (2) (3)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penelitian Terdahulu 2.1.1. Lusia Estine Martin, Saryadi, dan Andi Wijayanto (2014) Lusia Estine Martin, Saryadi, dan Andi Wijayanto melakukan penelitian ini dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbankan. Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia nomor 10 tahun

BAB I PENDAHULUAN. perbankan. Menurut Undang-Undang Negara Republik Indonesia nomor 10 tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kinerja kegiatan di sektor riil dalam perekonomian suatu negara sangat terkait dengan kinerja sektor moneternya. Salah satu sumber pendanaan yang mempunyai pengaruh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bank Menurut Undang-undang Pokok Perbankan Nomor 14 tahun 1967, bank didefinisikan sebagai Lembaga Keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian 9 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kebijakan kebijakan pemerintah dalam bidang perbankan antara lain adalah paket deregulasi Tahun 1983, paket kebijakan 27 Oktober 1988, paket kebijakan

Lebih terperinci

No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum No.13/ 24 /DPNP Jakarta, 25 Oktober 2011 S U R A T E D A R A N Kepada SEMUA BANK UMUM KONVENSIONAL DI INDONESIA Perihal : Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum Sehubungan dengan berlakunya Peraturan Bank

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu untuk menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (kreditur) dan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu untuk menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (kreditur) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan mempunyai peranan dan fungsi penting dalam perekonomian suatu negara yaitu untuk menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana (kreditur) dan menyalurkannya

Lebih terperinci

OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA

OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA REPUBLIK INDONESIA OOTORITAS JASA KEUANGAN ReREPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN NOMOR 12 /POJK.03/2015 TENTANG KETENTUAN KEHATI-HATIAN DALAM RANGKA STIMULUS PEREKONOMIAN NASIONAL

Lebih terperinci

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi DESEMBER 2017

Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi DESEMBER 2017 Informasi Kuantitatif Eksposur Risiko Posisi DESEMBER 2017 PT. BANK SYARIAH BUKOPIN KANTOR PUSAT Jl. Salemba Raya. 55, Jakarta Pusat 10440 Telp. : (021) 2300912 (Hunting) Fax. : (021) 3148401 Website :

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perbankan secara umum menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian perbankan secara umum menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Perbankan Syariah Pengertian perbankan secara umum menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank yang mencakup kelembagaan,

Lebih terperinci

PENGENALAN TINGKAT KESEHATAN BANK DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS CAMEL

PENGENALAN TINGKAT KESEHATAN BANK DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS CAMEL KOMPUTER LEMBAGA KEUANGAN PERBANKAN PENGENALAN TINGKAT KESEHATAN BANK DENGAN MENGGUNAKAN ANALISIS CAMEL Rowland Bismark Fernando Pasaribu UNIVERSITAS GUNADARMA PERTEMUAN 10 dan 11 EMAIL: rowland dot pasaribu

Lebih terperinci