BAB III KAJIAN TERHADAP OBJEK-OBJEK RUANG PERAIRAN MENUJU KE ARAH PENGELOLAAN KADASTER KELAUTAN DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III KAJIAN TERHADAP OBJEK-OBJEK RUANG PERAIRAN MENUJU KE ARAH PENGELOLAAN KADASTER KELAUTAN DI INDONESIA"

Transkripsi

1 BAB III KAJIAN TERHADAP OBJEK-OBJEK RUANG PERAIRAN MENUJU KE ARAH PENGELOLAAN KADASTER KELAUTAN DI INDONESIA 3.1 Kajian Hukum Tentang Hak-Hak Atas Pengelolaan Ruang Hak-Hak Atas Tanah Sumber hukum pengelolaan atas tanah telah disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pelaksanaan amanat UUD 1945 tersebut dituangkan dalam Undang- Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 sebagai peraturan lanjutan yang lebih sering dikenal dengan UUPA. Pada Pasal 1 ayat 1 dijelaskan tentang keberadaan negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang menjadi penguasa tertinggi atas bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kemudian pada Pasal 1 ayat 2 dijelaskan mengenai wewenang negara untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dengan bumi, air dan ruang-angkasa; c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Atas dasar memiliki wewenang untuk menguasai tersebut, lebih lanjut di Pasal 4 ditentukan hak-hak yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Hak-hak yang dapat diberikan, dalam hal ini untuk penguasaan tanah, menurut Pasal 16 adalah: 1. Hak milik (HM), 25

2 2. Hak guna-usaha (HGU), 3. Hak guna-bangunan (HGB), 4. Hak pakai (HP), 5. Hak sewa (HS), 6. Hak membuka tanah (HBT), 7. Hak memungut-hasil-hutan. Secara khusus untuk hak guna-usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP) atas tanah diatur secara teknis dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun Hak Milik Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan tetap mengingat ketentuan hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada orang lain. Kepemilikan atas hak ini yang diatur berdasarkan undang-undang adalah: - hanya dapat dimiliki oleh WNI, - badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah, - orang asing yang memperoleh hak milik karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Hak milik ditetapkan berdasarkan penetapan pemerintah melalui Peraturan Pemerintah dan ketentuan undang-undang dengan tetap menghormati hukum adat. Hak milik beserta peralihan, penghapusan dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan pendaftaran tanah yang meliputi: (a) pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. 26

3 2. Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan dalam jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha merupakan hak khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya sendiri guna perusahaan, pertanian, perikanan dan peternakan. Hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kepemilikan atas hak guna usaha yang diatur undang-undang adalah: - dapat dimiliki oleh WNI - badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna usaha ditetapkan berdasarkan penetapan pemerintah. Syarat-syarat pemberian, peralihan dan penghapusan hak guna usaha tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan pendaftaran tanah yang meliputi: (a) pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; (b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; (c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat. 3. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunanbangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Hak guna bangunan dapat diberikan atas tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Hak guna bangunan diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk tanah negara dan tanah hak pengelolaan. Hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Kepemilikan atas hak guna bangunan yang diatur undang-undang adalah: - dapat dimiliki oleh WNI - badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. 27

4 4. Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria. Hak pakai diberikan paling lama untuk jangka waktu dua puluh lima tahun. Hak pakai dapat diberikan atas tanah negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Hak pakai diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk tanah negara dan tanah hak pengelolaan. Hak pakai dapat diberikan : a. selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; b. dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Kepemilikan atas hak pakai yang diatur undang-undang ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan-hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Hak pakai dapat beralih dan dialihkan berdasarkan izin penjabat yang berwenang untuk tanah negara dan perjanjian untuk tanah hak milik. 5. Hak Sewa Hak sewa adalah hak untuk mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar sejumlah uang sewa kepada pemiliknya. Pembayaran uang sewa dilakukan satu kali atau tiap-tiap waktu tertentu maupun 28

5 sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan. Kepemilikan atas hak sewa yang diatur dalam undang-undang adalah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan-hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. 6. Hak Membuka Tanah dan Memungut Hasil Hutan Hak membuka-tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu Hak-Hak Atas Air dan Ruang Angkasa Selain hak-hak atas tanah, pada pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Pokok Agraria disebutkan adanya hak-hak atas air dan ruang angkasa. Hak-hak atas air dan ruang angkasa tersebut lebih lanjut dijelaskan pada pasal 47 dan 48. Sementara itu, diatur juga Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. 1. Hak Guna Air, Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan Hak Guna Air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, disebutkan dua hak atas air, yaitu hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Dalam hal ini, hak memperoleh air tersebut harus tetap memperhatikan kepentingan sosial dan tidak untuk kepemilikan pribadi. 29

6 2. Hak Guna Ruang Angkasa Hak guna-ruang-angkasa merupakan wewenang untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu. Adanya hak-hak atas tanah, air dan ruang angkasa tersebut merupakan tanggung jawab yang dimiliki negara untuk mengelola pemanfaatan ruang dari dan bagi masyarakat untuk kemakmuran bersama. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang diatur wewenang negara dalam menguasai bumi, air dan ruang angkasa secara khusus dalam rangka penataan ruang untuk menjaga keberlanjutan kualitas ruang wilayah nasional demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Secara umum, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mengatur penataan ruang darat dan mengisyaratkan undang-undang tersendiri dalam pemanfaatan ruang laut dan ruang angkasa. Dalam hal pemberian hak, harus tetap diperhatikan konsep tenure system yang umumnya dikenal dengan kepemilikan lahan (land tenure). Land tenure merupakan hubungan, baik secara hukum atau lazim didefinisikan, antara orangorang, sebagai individu atau kelompok, terhadap tanah. Kepemilikan lahan menentukan bagaimana hak terhadap tanah harus dialokasikan dalam masyarakat. Hal ini mendefinisikan bagaimana akses pemberian hak untuk menggunakan, kontrol dan transfer tanah serta terkait tanggung jawab dan hambatan di dalamnya. Secara sederhana, land tenure menentukan siapa yang dapat menggunakan sumber daya apa untuk berapa lama dan di bawah kondisi apa (FAO, 2002). Tentu saja, hal ini dapat diterapkan di dalam pengelolaan kelautan yang kemudian dikenal dengan sea/marine tenure. 30

7 3.2 Objek-Objek Ruang Perairan Di Indonesia Hak pemanfaatan dalam wilayah laut yang tercakup dalam objek Kadaster Kelautan dapat diidentifikasi dari objek-objek ruang perairan yang terdapat di dalamnya. Secara khusus di Indonesia, terdapat beberapa contoh objek-objek ruang perairan (Djunarsjah, dkk., 2008 dalam BPN-RI, 2011), yaitu : - Bangunan Atas Air (tempat tinggal, hotel, tempat ibadah, restoran, dan lain-lain) banyak terdapat di wilayah pesisir di seluruh Indonesia dalam hal ini tidak hanya wilayah laut namun juga mencakup perairan darat (sungai dan danau) - Wahana Pengeboran Lepas Pantai (Rig) (Laut Jawa, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka-Belitung, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur) - Budidaya Rumput Laut (Pantai Timur Bali, Pantai Utara Jawa), Budidaya Mutiara (Talise Sulsel, Banggai Sulteng), Budidaya Ikan (Kepulauan Seribu) - Perumahan Terapung (Muara Sungai Barito Banjarmasin) - Pasar Terapung (Muara Sungai Barito Banjarmasin) - Perkampungan Nelayan (Suku Laut di Pulau Mapur, Muara Sungai Papua) - Taman Laut Nasional (Bunaken, Pangandaran) - Jalur Pelayaran Kapal (terdapat hampir di seluruh wilayah pesisir dan laut Indonesia) - Kawasan Pariwisata Laut (Teluk Kalianda, Bintan Utara) - Jaringan Pipa dan Kabel Bawah Laut, contohnya di sepanjang perairan laut sebelah utara Pulau Bintan (Handayani 2007 dalam BPN-RI, 2011) - Harta Karun Bawah Laut yang terdapat di beberapa lokasi di perairan Indonesia (BRKP - KKP, 2006 dalam BPN-RI, 2011) - Kultur Adat, misalnya Suku Bajo (Herdiana, 2002) Bila diklasifikasi secara umum, objek-objek perairan di atas dapat diidentifikasi dari aktivitas-aktivitas kelautan yang disajikan dalam Tabel 2.1 sebelumnya pada Bab II. Objek ruang perairan tersebut ditandai oleh batas-batas ruang perairan 31

8 berupa tapak bangunan di atas air. Ilustrasi dari objek ruang perairan dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut ini. Gambar 3.1 Ilustrasi Objek Ruang Perairan (BPN-RI, 2011) Objek Ruang Perairan Di Pulau Bintan Dalam tugas akhir ini, objek-objek ruang perairan yang akan dibahas terdapat di Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Pada Gambar 3.2 di bawah ini, ditunjukkan lokasi studi dari penelitian ini. Gambar 3.2 Lokasi Studi 32

9 Keberadaan objek-objek ruang perairan di Pulau Bintan, Provinsi Kepulauan Riau: - Kota Tanjung Pinang Terdapat rumah tinggal, hotel, dan tempat ibadah vihara di atas air di tepi pantai. Secara khusus yang dikaji adalah tapak bangunan Hotel Laut Jaya, Vihara Pelantar II, dan rumah penduduk. - Kabupaten Bintan Terdapat hotel, villa, restoran di atas air di wilayah pesisir pantai Kecamatan Bintan Utara, Kelurahan Tanjung Uban Kota dan Kecamatan Bintan Timur, Kelurahan Kijang Kota. Secara khusus yang dikaji adalah tapak bangunan yang berada di Resort Bintan Sayang yang terdiri dari villa air dan restoran. Untuk mengetahui posisi objek-objek ruang perairan yang akan dikaji, dapat dilihat pada Gambar 3.3 di bawah ini yang menunjukkan lokasi Hotel Laut Jaya dan Resort Bintan Sayang. Gambar 3.3 Lokasi Hotel Laut Jaya dan Resort Bintan Sayang. 33

10 Objek-objek ruang perairan tersebut sudah diberikan sertifikat hak pakai oleh Kantor Pertanahan Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun. Pemberian hak pakai merupakan kebijakan dari kantor pertanahan daerah setempat untuk memberikan kepastian hukum bagi banyaknya pengajuan hak yang dilakukan masyarakat terutama untuk kepentingan pariwisata, pemukiman dan rumah ibadah. Umumnya, pengajuan hak atas objek-objek ruang perairan tersebut berlokasi di zona pasang-surut. Dengan kata lain, kebanyakan objek-objek ruang perairan tersebut akan berada di atas air ketika air laut pasang dan di atas tanah ketika air laut surut. Bila diperhatikan lagi, terdapat tiga kondisi keberadaan objek-objek ruang di sekitar wilayah pesisir, yaitu : 1. Objek-objek ruang terdapat di atas tanah di sekitar pantai yang tidak dipengaruhi pasang maupun surut. Objek seperti ini merupakan objek ruang di darat/tanah. Untuk objek ruang seperti ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) melalui Kantor Pertanahan untuk menerbitkan sertifikat hak atas tanah dan bangunan. 2. Objek-objek ruang yang terdapat di zona pasang-surut, objek ruang ini berada di atas air ketika air pasang dan berada di atas tanah ketika air surut. Keberadaan objek-objek ruang seperti ini diklasifikasikan ke dalam objek-objek ruang perairan, dan kebanyakan pengajuan hak oleh masyarakat kepada pemerintah melalui BPN-RI diterima dengan menerbitkan sertifikat hak pakai untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun oleh Kantor Pertanahan. 3. Objek-objek ruang perairan yang terdapat di lepas pantai, di mana keberadaan objek tersebut sepenuhnya berada di atas air laut baik pasang maupun surut. Untuk lebih memahami keberadaan objek-objek tersebut, pada gambar 3.4 di bawah ini, ditunjukkan ilustrasi dari keberadaan objek-objek ruang. 34

11 Garis Air Tinggi MSL Garis Air Rendah Laut a b c Darat Gambar 3.4 Ilustrasi Objek Ruang (a) darat, (b) zona pasang-surut, (c) lepas pantai Keberadaan objek-objek ruang perairan yang menjadi fokus penelitian adalah di zona pasang-surut. Hal ini dikaitkan dengan konsep kelautan merupakan kelanjutan dari kadaster pertanahan yang sering disebut sebagai seamless cadastre. Beberapa contoh objek-objek ruang perairan di Pulau Bintan dapat dilihat pada gambar berikut ini. Gambar 3.5 adalah gambar Hotel Laut Jaya. Gambar 3.5 Hotel Laut Jaya 35

12 Selain objek ruang perairan yang berada di atas tapak permanen seperti pada Gambar 3.5 tersebut, terdapat juga beberapa objek ruang perairan yang berada di atas tapak semi-permanen. Pada Gambar 3.6 ditunjukkan objek ruang perairan berupa vila dan restoran di atas air. (a) (b) Gambar 3.6 (a) Vila di atas air dan (b) Restoran Kelong di Resort Bintan Sayang Keberadaan objek-objek ruang perairan tersebut bila dikaitkan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tidak berada di sempadan pantai. Sempadan pantai menurut UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir adalah daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai, minimal 100 (seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Dengan kata lain, sempadan pantai tersebut termasuk dalam kawasan darat untuk objek-objek ruang. Kawasan sempadan pantai tersebut merupakan kawasan lindung/konservasi yang pemanfaatannya terbatas disesuaikan dengan karakteristik pantai dan tanpa mengganggu fungsinya untuk kelestarian pantai. Oleh sebab itu, keberadaan objek-objek ruang perairan tersebut sejauh berada di zona pasang-surut masih diizinkan dengan tetap mendukung kelestarian pantai dan kepentingan sosial. 36

13 3.2.2 Pengukuran dan Pemetaan Objek Ruang Perairan Objek-objek ruang perairan tersebut harus dikelola dalam bingkai kadaster kelautan dikaitkan dengan konsep 3R (Right, Restriction, dan Responsibility), secara khusus dalam memberikan kepastian batas-batas hak pengelolaan. Oleh karena itu, pemberian sertifikat hak pakai pada objek-objek ruang perairan tersebut disertai dengan kepastian batas objek. Penetapan batas objek ruang perairan tersebut berkaitan dengan aspek teknis, yaitu kegiatan pengukuran dan pemetaan objek-objek ruang perairan. Urutan langkah yang dilakukan dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan adalah sebagai berikut (Ilova, 2009): 1. Pengukuran dan pemetaan titik dasar teknik. 2. Pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan peta dasar pendaftaran. 3. Pengumpulan data persil laut dan bukti-bukti hak. 4. Pengukuran batas-batas persil laut. 5. Pembuatan gambar ukur. 6. Pembuatan peta pendaftaran. 7. Penggambaran persil laut dan penerbitan surat ukur/gambar situasi. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di Pulau Bintan, secara khusus di Kota Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan, kegiatan teknis pengukuran dan pemetaan adalah sebagai berikut. 1. Pengikatan Titik Dasar Teknik 2. Pengamatan Pasang Surut 3. Pengukuran Detil Objek dan Batas-Batas Persil Laut 4. Pengukuran Kedalaman 5. Perpetaan Pengikatan Titik Dasar Teknik Pengikatan Titik Dasar Teknik (TDT) dilakukan dengan menggunakan metode GPS rapid static. Base station dipasang pada TDT BPN orde 3 dengan lokasi pada Kantor Pos Kota Tanjung Pinang. Pengukuran dilakukan selama dua jam dalam 37

14 satu sesi. Pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8 berikut diperlihatkan dokumentasi pelaksanaan pengikatan TDT pada base station dan pengikatan TDT di Rover Sation (Hotel Laut Jaya). Gambar 3.7 Pengikatan TDT pada Base Station Gambar 3.8 Pengikatan TDT di Rover Sation (Hotel Laut Jaya) (BPN-RI, 2011) Pengamatan Pasang Surut Pengamatan pasut dilakukan dengan pemasangan palem pada dua stasiun pasut di tempat kajian, yaitu pada daerah pelantar di Kota Tanjungpinang dan pada daerah Resort Bintan Sayang, Kabupaten Bintan. Palem tersebut selanjutnya diikatkan ke 38

15 titik BM pasut yang sudah diketahui koordinatnya. Pengamatan pasut dilakukan setiap jam selama kurun waktu sebulan untuk lokasi Hotel Laut Jaya, dan selama 39 jam untuk lokasi survei di Resort Bintan Sayang. Pemasangan palem dan pengikatan pada BM pasut dapat dilihat pada Gambar 3.9 dan Gambar 3.10 berikut ini. Gambar 3.9 Pemasangan Palem Gambar 3.10 Pengikatan Palem Terhadap BM Pasut 39

16 Pengukuran Detil Objek dan Batas-Batas Persil Laut 1) Pengukuran Detil Objek dengan Metode Terestris Survei terestris dilakukan pada wilayah di sekitar Hotel Laut Jaya dan wilayah di sekitar Resort Bintan Sayang selama tiga hari. Pengukuran yang dilakukan adalah pemetaan detil situasi dengan pengikatan persil yang diikatkan terhadap titik dasar nasional orde 3. Proses pengukuran detil objek dengan metode terestris dapat dilihat pada Gambar 3.11 berikut ini. Gambar 3.11 Pengukuran Detil Situasi dan Batas-Batas Persil Laut dengan Metode Terestris 2) Pengukuran Detil Objek dengan Metode Ekstraterestris (GPS-RTK) Pengukuran detil objek ruang perairan ini juga menggunakan Metode Ekstraterestris. Survei yang dilakukan adalah survei GPS dengan teknik RTK 40

17 (Real Time Kinematics) pada wilayah sekitar Hotel Laut Jaya (Kota Tanjungpinang) dan wilayah Resort Bintan Sayang (Kabupaten Bintan). Pada wilayah Hotel Laut Jaya pengukuran dengan GPS-RTK dilakukan pada semua objek yang dikaji, sementara pada wilayah Resort Bintan Sayang hanya dilakukan pada proses pengukuran garis pantai. Proses pengukuran detil objek dengan metode ekstraterestris dapat dilihat pada Gambar 3.12 berikut ini. Gambar 3.12 Pengukuran Detil Situasi dan Batas-Batas Persil Laut dengan Metode Ekstraterestris Pengukuran Kedalaman Pengukuran kedalaman dilakukan dengan cara Mekanis, yaitu dengan menggunakan Tongkat Penduga/Rambu Ukur dan cara Akustik yaitu dengan alat Single Beam Echosounder HD 370. Pengukuran kedalaman dilakukan di beberapa titik di pojok-pojok bangunan atau persil dengan cara pengukuran kedalaman dengan menggunakan perangkat Echosounder atau Tongkat Penduga untuk titik yang kedalamannya dangkal (lebih kecil dari 3 meter). Kegiatan pengukuran kedalaman dilakukan sesuai dengan jalur perencanaan yang telah dipersiapkan sebelumnya. 41

18 Kegiatan pengukuran kedalaman yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 3.13 berikut ini. Gambar 3.13 Pengukuran Kedalaman di Sekitar Objek Ruang Perairan Perpetaan Setelah dilakukan pengolahan keseluruhan data pengukuran di lapangan, dilakukan penggambaran titik-titik koordinat sesuai dengan sketsa lapangan untuk memperoleh peta objek-objek ruang perairan tersebut. Penggambaran terhadap data-data lapangan tersebut disajikan dalam bentuk gambar ukur, peta objek ruang perairan dan surat ukur. 42

19 Pada Gambar 3.14 di bawah ini ditunjukkan gambar ukur kawasan Resort Bintan Sayang. Gambar 3.14 Gambar Ukur Kawasan Resort Bintan Sayang 43

20 Sementara itu, pada Gambar 3.15 di bawah ini ditunjukkan peta objek ruang perairan kawasan Resort Bintan Sayang. Gambar Peta Objek Ruang Perairan Kawasan Resort Bintan Sayang 44

21 Gambar 3.16 di bawah ini adalah gambar surat ukur objek ruang perairan dalam bentuk hybrid tiga dimensi. Gambar Surat Ukur Hybrid Objek Ruang Perairan 45

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.573, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Pertanahan. Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Penataan. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK Pasal 1 (1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan

Lebih terperinci

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun,

PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai Hak Milik adalah hak turuntemurun, LAMPIRAN: 1 Persandingan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Menurut Undang-Undang Pertanahan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria PENGERTIAN Hak Milik Hak Guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggalnya di atas tanah. Pada perkembangan dunia yang

BAB I PENDAHULUAN. untuk tempat tinggalnya di atas tanah. Pada perkembangan dunia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Tanah merupakan sesuatu yang bernilai dan mempunyai fungsi yang tinggi dalam kehidupan manusia. Manusia tinggal dan mendirikan bangunan untuk tempat tinggalnya

Lebih terperinci

7. SIMPULAN DAN SARAN

7. SIMPULAN DAN SARAN 7. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Metode analisis kebijakan pemanfaatan ruang pesisir dan laut dengan SPLL, yang dikembangkan dalam penelitian ini telah menjawab hipotesis, bahwa penerapan konsep marine

Lebih terperinci

MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI

MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI e FIAT JUSTITIA MS & PARTNERS LAW OFFICE NEWSLETTER 10 September 2016 www.msp-lawoffice.com MENATA WILAYAH PESISIR, PULAU KECIL, DAN TANAH REKLAMASI Kajian terhadap Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/

Lebih terperinci

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Revisi. Cet.8, (Jakarta, Djambatan, 1999), hal.18.

Agraria Isi dan Pelaksanaannya, Ed. Revisi. Cet.8, (Jakarta, Djambatan, 1999), hal.18. 9 BAB 2 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMILIK HAK ATAS TANAH DALAM HAL PENGAJUAN PERMOHONAN HAK ATAS TANAH (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan No. 138/G/2007/PTUN.JKT) 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Hak- Hak Atas

Lebih terperinci

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih.

BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH. yang mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Turun temurun dan dapat beralih. BAB III MACAM-MACAM HAK ATAS TANAH A. Hak Milik 1. Pengertiannya Hak Milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Kata-kata

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28/PRT/M/2015 TENTANG PENETAPAN GARIS SEMPADAN SUNGAI DAN GARIS SEMPADAN DANAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI MENTERI PEKERJAAN UMUM Menimbang : a. Bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5490 WILAYAH. Kepulauan. Pesisir. Pulau-Pulau Kecil. Pengelolaan. Perubahan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 2) PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA

PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA PEMANFAATAN SURVAI DAN PEMETAAN LAUT DALAM RANGKA MENGOPTIMALISASIKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT INDONESIA Oleh: Pauri Yanto, SP & Adnan Fabiandi, ST. (Kelompok 1) Indonesia merupakan negara

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING

HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING HAK ATAS TANAH UNTUK WARGA NEGARA ASING MAKALAH Oleh : Hukum Agraria Dosen : FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2012 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa bahwa

Lebih terperinci

BAB II STUDI LITERATUR

BAB II STUDI LITERATUR BAB II STUDI LITERATUR 2.1 Konsep Kadaster Kelautan 2.1.1 Pengertian Kadaster Kelautan Kadaster kelautan menurut Permanent Committee on GIS Infrastructure for Asia and the Pasific (PCGIAP) memiliki definisi

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa tanah memiliki peran yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK POKOK AGRARIA *) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa didalam Negara Republik

Lebih terperinci

Pengertian Hak Milik Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat dan terpenuh. Kata terkuat dan terpenuh tidak berarti bahwa hak milik itu merupakan hak yang mutlak, tidak dapat diganggu

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 50/Menhut-II/2009 TENTANG PENEGASAN STATUS DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

Menimbang: Mengingat:

Menimbang: Mengingat: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 40 Tahun 1996 Tentang HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang: Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memiliki peran yang sangat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Menimbang : PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, a. bahwa tanah memilik peran yang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 502 TAHUN : 2001 SERI : D Menimbang PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3

HIRARKI IV ZONASI. sub zona suaka dan pelestarian alam L.1. sub zona sempadan lindung L.2. sub zona inti konservasi pulau L.3 LAMPIRAN VI : PERATURAN DAERAH DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA DETAIL TATA RUANG DAN PERATURAN TABEL-2 KLASIFIKASI ZONA DAN SUB ZONA HIRARKI I fungsi lindung adm fungsi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi daerah, pengelolaan kawasan pantai merupakan wewenang Pemerintah Daerah ;

b. bahwa dalam rangka pelaksanaan Otonomi daerah, pengelolaan kawasan pantai merupakan wewenang Pemerintah Daerah ; PEMERINTAH KABUPATEN SERANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 5 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN PANTAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERANG Menimbang : a. Bahwa kawasan pantai merupakan

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1991 Tentang : Rawa Oleh : Presiden Republik Indonesia Nomor : 27 TAHUN 1991 (27/1991) Tanggal : 2 MEI 1991 (JAKARTA) Sumber : LN 1991/35; TLN NO. 3441 Presiden Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL I. UMUM Pancasila

Lebih terperinci

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK

HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK HAK ATAS TANAH BAGI PARTAI POLITIK Agus Sekarmadji Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga Email: agussekarmadji_unair@yahoo.com Abstract Land Law in Indonesia does not clearly specify the political

Lebih terperinci

PENDAFTARAN TANAH RH

PENDAFTARAN TANAH RH PENDAFTARAN TANAH RH Menurut Boedi Harsono yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : Merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur, terus menerus untuk mengumpulkan, menghimpun

Lebih terperinci

WALIKOTA BANJARMASIN

WALIKOTA BANJARMASIN WALIKOTA BANJARMASIN PERATURAN DAERAH KOTA BANJARMASIN NOMOR 31 TAHUN 2012 TENTANG PENETAPAN, PENGATURAN PEMANFAATAN SEMPADAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARMASIN,

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN BUPATI KOTABARU PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTABARU NOMOR 05 TAHUN 2014 TENTANG GARIS SEMPADAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI DENGAN

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016

RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 RANCANGAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN 2016 TENTANG PENGALIHAN SAHAM DAN BATASAN LUASAN LAHAN DALAM PEMANFAATAN PULAU-PULAU KECIL DAN PEMANFAATAN PERAIRAN DI SEKITARNYA DALAM RANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Indonesia adalah negara yang susunan kehidupan rakyat dan perekonomiannya masih bercorak agraris. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

Lebih terperinci

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,

2008, No hukum dan kejelasan kepada warga negara mengenai wilayah negara; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.177, 2008 WILAYAH NEGARA. NUSANTARA. Kedaulatan. Ruang Lingkup. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4925) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu unsur yang paling penting bagi setiap manusia di dalam melangsungkan kebutuhan hidupnya. Tanah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960

POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 POLITIK HUKUM PERTANAHAN BAGI WARGA NEGARA ASING BERDASARKAN UU NOMOR 5 TAHUN 1960 Agus Suprijanto agussuprijanto@upgris.ac.id ABSTRAK Dalam era globalisasi, warga negara asing mempunyai peluang besar

Lebih terperinci

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA)

HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) www.4sidis.blogspot.com HAK MILIK DAN HAK GUNA USAHA (Menurut UUPA) MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pertanahan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kaitanya tentang hukum tanah, merupakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN TAHUN 2009-2028 I. UMUM 1. Ruang wilayah Kabupaten Pacitan, baik sebagai kesatuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

BAB I PENDAHULUAN. negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. vii BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban sehingga dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ditentukan Bumi dan air dan

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN AUDIT

Lebih terperinci

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nom No.1513, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Audit Tata Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah

BAB I PENDAHULUAN. memanfaatkan tanah untuk melangsungkan kehidupan. Begitu pentingnya tanah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup baik manusia, hewan, atau tumbuh-tumbuhan. Manusia hidup dan tinggal diatas tanah dan memanfaatkan tanah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2013 TENTANG PERIZINAN REKLAMASI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN TAHUN 2009 NOMOR 11 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA SELATAN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bertempat tinggal serta melanjutkan kehidupannya. Menurut Santoso (2005 :

BAB I PENDAHULUAN. bertempat tinggal serta melanjutkan kehidupannya. Menurut Santoso (2005 : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah merupakan sumber kehidupan sekaligus tempat melakukan aktivitas sehari-hari. Hal ini disebabkan fungsi tanah sebagai sarana untuk mencari kehidupan di berbagai

Lebih terperinci

BERKAITAN DENGAN RENCANA PEROLEHAN TANAH

BERKAITAN DENGAN RENCANA PEROLEHAN TANAH BERKAITAN DENGAN RENCANA PEROLEHAN TANAH Hal-hal yang harus diperhatikan 1. Jenis penggunaan Tanah (Proyek)-nya 2. Status Tanah yang Tersedia 3. Respon/Kesediaan Pemilik Tanahnya 4. Letak/Lokasi tanah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG- UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017 SERTIFIKAT KEPEMILIKAN HAK ATAS TANAH MERUPAKAN ALAT BUKTI OTENTIK MENURUT UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA NO. 5 TAHUN 1960 1 Oleh : Reynaldi A. Dilapanga 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk

Lebih terperinci

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA

Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH. Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA Pertemuan ke-5 HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Dosen: Dr. Suryanti T. Arief, SH., MKn., MBA PENGERTIAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH Hak penguasaan atas tanah memberikan kewenangan kepada pemegang haknya untuk

Lebih terperinci

PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI

PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI PENERTIBAN ATAS TANAH DAN BANGUNAN TNI DENGAN STATUS OKUPASI Muhadi Prabowo (muhadi.prabowo@gmail.com) Widyaiswara Madya Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Abstrak Pemberian hak atas tanah oleh Negara telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Dalam pembangunan peran tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha, yang meliputi bidang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan sarana kepentingan umum. Hak-hak atas tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan

I. PENDAHULUAN. pembangunan sarana kepentingan umum. Hak-hak atas tanah mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi geografis Indonesia yang memiliki daratan (tanah) yang sangat luas telah menjadikan persoalan tanah sebagai salah satu persoalan yang paling urgen di antara persoalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Agraria a. Pengertian Hukum Agraria Keberadaan Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di Bumi ini manusia memiliki ketergantungan dengan tanah yang dimilikinya, sehingga manusia memiliki hak dan kewajibannya dalam mengelola dan memanfaatkan segala yang

Lebih terperinci

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL

BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL 87 BAB IV HAMBATAN YANG DIHADAPI OLEH MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TANAH TIMBUL Adanya perbedaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat berkaitan dengan tanah timbul. Pemerintah daerah kota bengkulu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 1990 TENTANG USAHA PERIKANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sumber daya ikan sebagai bagian kekayaan bangsa Indonesia perlu dimanfaatkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K

Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial. Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K Titiek Suparwati Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Disampaikan dalam Workshop Nasional Akselerasi RZWP3K Latar Belakang Dasar Hukum Pengertian Peran BIG dalam Penyusunan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI,

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENEGASAN BATAS DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penentuan batas daerah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan

Lebih terperinci

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU

BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DANAU LINDU PEMERINTAH KABUPATEN SIGI TAHUN 2013 0 BUPATI SIGI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIGI NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

ANALISIS PERATURAN DAERAH

ANALISIS PERATURAN DAERAH ANALISIS PERATURAN DAERAH Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 6 Tahun 2005 Judul : Usaha Perikanan dan Usaha Kelautan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Surat Menteri Dalam

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 29 TAHUN 2005 TENTANG GARIS SEMPADAN BANGUNAN, GARIS SEMPADAN PAGAR, GARIS SEMPADAN SUNGAI, GARIS SEMPADAN PANTAI.

PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 29 TAHUN 2005 TENTANG GARIS SEMPADAN BANGUNAN, GARIS SEMPADAN PAGAR, GARIS SEMPADAN SUNGAI, GARIS SEMPADAN PANTAI. PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 29 TAHUN 2005 TENTANG GARIS SEMPADAN BANGUNAN, GARIS SEMPADAN PAGAR, GARIS SEMPADAN SUNGAI, GARIS SEMPADAN PANTAI. BUPATI BERAU Menimbang : a. bahwa dalam upaya tertatanya

Lebih terperinci

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas

~ 53 ~ PASAL DEMI PASAL. Pasal 1 Cukup Jelas. Pasal 2 Cukup Jelas. Pasal 3 Cukup Jelas ~ 51 ~ PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAYONG UTARA NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KABUPATEN KAYONG UTARA TAHUN 2015-2035 I. UMUM 1. Ruang Wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1996 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1996 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1996 TENTANG KAWASAN INDUSTRI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka mempercepat pengembangan Kawasan Industri, maka perlu diadakan

Lebih terperinci

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI

PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI 214 MIMBAR HUKUM Volume 27, Nomor 2, Juli 2015, Halaman 214-225 PEROLEHAN HAK ATAS TANAH YANG BERASAL DARI REKLAMASI PANTAI Urip Santoso * Departemen Hukum Administrasi, Fakultas Hukum Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH.

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH. 1 of 16 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ATAS TANAH Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa tanah memilik peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan,

BAB I PENDAHULUAN. (pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian, perkeb unan, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan (pendukung mata

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 16 TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG SUMBER PENDAPATAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI ASAHAN, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat

BAB I PENDAHULUAN. karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu faktor penting dalam kehidupan manusia karena setiap manusia membutuhkan tanah sebagai tempat tinggal maupun tempat usaha. Oleh

Lebih terperinci

OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA

OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA OLEH : KEPALA KANTOR WILAYAH BPN PROVINSI DKI JAKARTA I. Latar Belakang 1 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tingga dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat kebutuhan

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG GARIS SEMPADAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. alam yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.penggunaan tanah

BAB I PENDAHULUAN. alam yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat.penggunaan tanah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Kebutuhan manusia akan tanah dimulai ketika manusia hidup sampai dengan meninggal. Di wilayah Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III PEMANFAATAN TANAH MENURUT UUPA. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaanya meliputi juga

BAB III PEMANFAATAN TANAH MENURUT UUPA. Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaanya meliputi juga 55 BAB III PEMANFAATAN TANAH MENURUT UUPA A. Pengertian Pemanfaatan Tanah Tanah adalah permukaan bumi yang dalam penggunaanya meliputi juga sebagian tubuh bumi yang ada di bawahnya dan sebagian dari ruang

Lebih terperinci

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG http://www.sindotrijaya.com I. PENDAHULUAN Hutan tropis Indonesia sangat kaya flora dan fauna serta kekayaan alam lainnya, termasuk mineral dan batubara. Dengan kawasan

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR: 63/PRT/1993 TENTANG GARIS SEMPADAN DAN SUNGAI, DAERAH MANFAAT SUNGAI, DAERAH PENGUASAAN SUNGAI DAN BEKAS SUNGAI MENTERI PEKERJAAN UMUM, MENIMBANG : a. bahwa sungai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah. yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali. 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tanah Dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan pengertian mengenai tanah, yaitu permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali.

Lebih terperinci

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai

BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF. Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai BAB II PERJANJIAN JAMINAN DALAM HUKUM POSITIF G. Pengertian Perjanjian Jaminan Istilah jaminan dalam peraturan perundang-undangan dapat dijumpai pada Pasal 1131 KUHPerdata dan penjelasan Pasal 8 UUP, namun

Lebih terperinci

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012

LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 LANGKAH STRATEGIS PENGELOLAAN HUTAN DAN MEKANISME PENETAPAN HUTAN ADAT PASCA TERBITNYA PUTUSAN MK NO. 35/PUU-X/2012 disampaikan oleh: MENTERI KEHUTANAN Jakarta, 29 Agustus 2013 1. Pemohon KERANGKA PAPARAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa peningkatan pembangunan nasional yang berkelanjutan memerlukan dukungan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH KHUSUS PROVINSI PAPUA NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK PERORANGAN WARGA MASYARAKAT HUKUM ADAT ATAS TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 28 BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Tanah Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang disebut permukaan bumi.tanah yang dimaksud di sini bukan mengatur tanah dalam segala

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria PERTAMA BAB I DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK BAB II HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA SERTA PENDAFTARAN TANAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara di sisi lain luas tanah tidak bertambah. Begitu pentingnya tanah bagi

BAB I PENDAHULUAN. penduduk, sementara di sisi lain luas tanah tidak bertambah. Begitu pentingnya tanah bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan salah satu kebutuhan primer bagi manusia. Kebutuhan manusia terhadap tanah dewasa ini makin meningkat. Hal ini disebabkan semakin bertambahnya

Lebih terperinci