PERTIMBANGAN MANAJEMEN UNTUK PENERAPAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH YANG BERHASIL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERTIMBANGAN MANAJEMEN UNTUK PENERAPAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH YANG BERHASIL"

Transkripsi

1 PERTIMBANGAN MANAJEMEN UNTUK PENERAPAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH YANG BERHASIL September, 2006 Ministry of Forestry

2 BUKU KELIMA DARI RANGKAIAN PEDOMAN TEKNIS PROJECT ITTO PD 110/01 REV.4 (I) : PROGRAM UNTUK MEMFASILITASI DAN MEMPROMOSIKAN PELAKSANAAN REDUCED IMPACT LOGGING DI INDONESIA DAN WILAYAH ASIA PACIFIC Pertimbangan Mana jemen Untuk Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah Yang Berhasil Badan Pelaksanaan : Pusat Pendidikan dan Pelatihan Departmen Kehutanan, Republik Indonesia Jl. Gunung Batu, P.O. Box. 141 Bogor 16610, Indonesia Phone : (0251) / / Fax : (0251) dikhutan@telkom.net Bogor, September 2006

3 TROPICAL FOREST FOUNDATION Manggala Wanabakti Build., Block IV, Floor 7, Wing B Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta 10270, Indonesia Telephone: (62-21) , Fax. (62-21) tff@cn.net.id ISBN : Publikasi ini ditujukan untuk penggunaan dan distribusi secara luas. Seluruh bagian dari dokumen ini dapat direproduksi untuk tujuan peningkatan penerapan praktek-praktek kehutanan dengan menyebutkan sebagai sumber. Salinan dalam bentuk digital dari manual ini dapat diperoleh di dengan membayar biaya penggantian duplikasi dan pengiriman.

4 Pertimbangan Mana jemen Untuk Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah Yang Berhasil Penulis : Art Klassen Editor : Hasbillah Layout : Mario Ekaroza September, 2006 Prepared for ITTO Project PD 110 / 01 Rev. 4 (I) TROPICAL FOREST FOUNDATION Departemen Kehutanan REPUBLIK INDONESIA

5 K ata Pengantar Kata Pengantar Buku ini merupakan yang kelima dari seri buku pedoman teknis tentang strategi penerapan pengelolaan sistem pembalakan berdampak rendah (RIL) di hutan-hutan dipterocarp di dataran rendah dan tinggi di Indonesia. Pertimbangan Manajemen Untuk Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah Yang Berhasil, mencakup bidang manajemen yang penting diluar aspek-aspek teknis pembalakan berdampak rendah (RIL). Buku manual ini menyampaikan analisa mengenai bagaimana kebijakan dan praktek pengelolaan HPH secara fundamental mempengaruhi hasil akhir aspek teknis RIL. Dalam pandangan ini, peran menajemen sering kali menjadi faktor paling mendasar dan berpengaruh untuk menentukan apakah suatu HPH bisa berhasil melaksanakan pengelolaan hutan secara baik sesuai standar RIL. Buku ini merupakan buku pedoman terakhir tentang RIL yang telah dikembangkan oleh i

6 Kata Pengantar dengan dana bantuan dari International Tropical Timber Organization (ITTO). Rangkaian buku-buku pedoman teknis pembalakan berdampak rendah (RIL) yang telah terbit lebih dahulu adalah : 1. Prosedur Survei Topografi Hutan dan Pemetaan Pohon. Buku pedoman pertama ini menguraikan langkah demi langkah prosedur pengumpulan data inventori dan kontur untuk menghasilkan peta posisi pohon dan kontur yang akurat bagi perencanaan operasional. 2. Pertimbangan dalam Merencanakan Pembalakan Berdampak Rendah, menguraikan berbagai pertimbangan dan standar yang perlu diperhatikan dalam perencanaan kegiatan pembalakan sistem RIL. Buku pedoman ini menyampaikan kepada pembaca lengkah-langkah yang diperlukan untuk mempersiapkan rencana kerja lapangan. 3. Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak Rendah, meninjau kegiatan operasional mulai dari proses pembukaan hutan, penebangan, bucking dan penyaradan hingga proses deaktivasi jalan sarad. Bagian khusus mengenai pemanfaatan menitikberatkan pada masalah limbah; penyebab dan saran untuk penyelesaiannya. 4. Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan untuk Pembuatan Jalan Logging Berdampak Rendah. Ini adalah buku pedoman khusus yang terpisah dengan memusatkan perhatian pada kegiatan perencanaan, penempatan, pembuatan dan pemeliharaan jaringan jalan di hutan. Penekanannya adalah pada pengurangan dampak yang ditimbulkan. Tema pokok dari buku pedoman ini adalah dampak yang besar menyebabkan biaya tinggi, dan dampak kecil menghasilkan penghematan. Buku pedoman ini disusun oleh dengan dana hibah dari International Tropical Timber Organization (ITTO). Badan pelaksana dana hibah ini adalah Pusat Pendidikan dan Pelatihan (PUSDIKLAT) Departemen Kehutanan RI, dimana pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh TFF bekerjasama dengan PUSDIKLAT. ii

7 Kritik dan saran untuk perbaikan dapat dikirim ke : Direktur Regional Manggala Wanabakti, Blk.IV, Lt. 7, Wing B Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta 10270, Indonesia Kata Pengantar Tel. (+021) Fax. (+021) tff@cbn.net.id Buku petunjuk ini dapat diperoleh tanpa biaya selama persediaan masih ada hanya dengan mengajukan permohonan. Buku petunjuk ini juga tersedia dalam bentuk file PDF yang dapat didownload melalui website TFF : iii

8 Daftar Isi Daftar Isi Kata Pengantar... i Daftar Isi... iv Daftar Gambar... vi Daftar Tabel... vii Daftar Foto... viii Pendahuluan... 1 BAB I - Pengantar RIL Lingkup Pertimbangan Manajemen Apa itu RIL? Kerangka Kerja untuk Petunjuk Implementasi...16 BAB II - Kebijakan Pemerintah dan Praktek di Lapangan Peran Manajemen dari Pemerintah Tujuan dari Kerangka Kerja Peraturan Dampak dari Buruknya Peraturan Praktek Korupsi BAB III - Persyaratan Pengorganisasian dan Operasional RIL Persyaratan Pengorganisasian Jumlah staf yang memadai Kualifikasi yang memadai Struktur Organisasi Persyaratan Operasional Definisi tugas dan tanggung jawab Memadukan fungsi Komunikasi Feedback / Umpan Balik BAB IV - Peran Teknologi dan Keahlian Peran Teknologi Peralatan yang Tepat Alat yang Tepat Sebagian besar adalah mengenai keahlian...37 iv

9 LAMPIRAN I - Contoh Prosedur Standar Operasional (SOP) SOP #22 : PENGELOLAAN WILAYAH KHUSUS...42 SOP #24 : PERENCANAAN PEMBALAKAN Daftar Isi SOP #25 : PENETAPAN LOKASI JALAN SARAD DAN TPN SOP #40 : PEMBANGUNAN JALAN SARAD DAN TEMPAT PENIMBUNAN KAYU / TPN...57 SOP #41 : STANDAR PEMANFAATAN...61 SOP #42 : PENEBANGAN DAN BUCKING SOP #43 : KEGIATAN EKSTRAKSI v

10 Daftar Gambar, Tabel dan Foto Pertimbangan Manajemen Untuk Penerapan Daftar Gambar Gambar 1 : Anda bisa membuat SOP untuk meruncingkan pensil. Tetapi apakah itu berguna?!!...39 Gambar 22-1 : Batasan Pembalakan...47 Gambar 24-1 : Contoh Perencanaan Pembalakan...53 Gambar 40-1 : Membuat tempat penyeberangan dari kayu log pada sungai kecil Gambar 41-1 : Perbaikan pemanfaatan volume kayu dari batang pohon Gambar 42-1 : Kerangka pengambilan keputusan untuk penebang vi

11 Daftar Tabel Daftar Gambar, Tabel dan Foto Tabel 1 : Kriteria dan Indikator Penerapan Sistem RIL di Indonesia...16 Table 2 : Elemen RIL dibandingkan dengan Peraturan Serta Usulan Departemen Kehutanan Tabel 3 : Usulan kerangka kerja SOP yang mencakup administrasi kehutanan, perencanaan serta pelaksanaannya vii

12 Daftar Gambar, Tabel dan Foto Pertimbangan Manajemen Untuk Penerapan Daftar Foto Foto 1 : Keterlibatan menajemen dalam aspek operasional RIL sangat penting untuk penerapan teknik RIL yang berhasil Foto 2 : Pengumpulan data pohon Foto 3 : Pembuatan peta kontur dengan mengunakan data yang teklah dikumpulkan di lapangan Foto 4 : Persiapan rencana kegiatan logging Foto 5 : Penetapan lokasi jalan sarad di lapangan Foto 6 : Pembukaan jalan sarad sebelum penebangan...12 Foto 7 : Cara bucking yang benar guna meningkatkan pemanfaatan...13 Foto 9 : Pembuatan sudetan...14 Foto 8 : Mempersiapkan pengunaan winch pada pohon yang telah ditebang Foto 10 : Penilaian kayu yang terbuang, sebagai salah satu kegiatan evaluasi Foto 11 : Sikorsky S-64F...32 Foto 12 : Thundebird TTY-70 skyline yarder, memang biasanya dihubungkan dengan kegiatan pembalakan di kawasan Amerika dan Canada Foto 13 : Alat Rimbaka Timber Harvester Foto 14 : Penampilan bisa mengelabui. Alat ini bukanlah traktor crawler yang biasa. Caterpillar 527 Track Skidder...35 Foto 15 : Alat penyaradan dengan ban karet Foto 16 : Pengunaan baji; adalah cara sederhana tapi efektip dalam memperbaiki arah rebah viii

13 Pendahuluan Pendahuluan Ketidaktahuan sudah tidak bisa menjadi alasan yang logis bagi HPH untuk tidak menerapkan pembalakan berdampak rendah atau RIL. Konsep ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu dan aspek teknisnya sudah dipahami. Informasi dan pelatihan tentang pembalakan berdampak rendah (RIL) telah diadakan oleh beberapa organisasi, sehingga kekurangan sumber informasi juga tidak bisa dijadikan alasan. Manfaat dari RIL telah dibuktikan secara terus menerus, dan alasan lama, seperti terlalu mahal untuk dilaksanakan sama sekali tidak berlaku lagi. Lagi pula, kini sudah ada contoh-contoh RIL yang telah sukses dilaksanakan oleh HPH di Indonesia. Tetapi, banyak HPH yang mulai menerapkan RIL, sebenarnya tidak mengikuti penerapannya secara penuh, yaitu hingga titik di mana manfaat RIL bisa dicapai pada tingkat operasional. Mengapa sesuatu yang begitu bermanfaat untuk perusahaan HPH, tidak bisa diterima dengan cepat? Apa yang menjadi penghalang? Dan bagaimana halangan itu bisa diatasi? Buku pedoman ini menyelidiki pertanyaanpertanyaan tersebut dan memberikan beberapa jawaban serta petunjuk mengenai penerapan RIL secara lebih efektif. Semakin banyak jumlah peneliti dan praktisi yang menemukan bahwa ternyata sering sekali pihak Menajemen lah menjadi penghambat utama perbaikan praktekpraktek kehutanan. Ini terjadi dalam berbagai 1

14 Pendahuluan bentuk mulai dari sikap/pendirian, kelalaian, dan penyusunan kelembagaan dan cara kerja yang tidak tepat. Menajemen juga bisa menjadi penghalang pelaksanaan RIL melalui kesalahan penggunaan teknologi dan keahlian yang sesuai. Buku pedoman ini menyelidiki rintangan utama keberhasilan menerapkan RIL, yang ada dibawah pengawasan langsung Menajemen HPH. Buku ini juga memberikan petunjuk bagaimana untuk mengatasi rintangan ini. Walaupun, fokus utama buku ini adalah Menajemen perusahaan HPH, disadari bahwa Departemen Kehutanan juga memiliki peran utama dalam pengelolaan sumber kekayaan hutan. Peran itu telah tercatat dalam bentuk hukum dan peratuan yang menyebabkan beban bagi staff dan menajemen HPH, yaitu melalui kunjungan lapangan dan peraturan pengawasan. Telah semakin jelas bahwa sistem peraturan kehutanan seperti telah ditetapkan oleh pemerintah mengandung banyak rintangan untuk pemanfaatan pengelolaan hutan secara lestari dan strategi pengelolaan tertentu seperti RIL. Penghambat bisa berupa peraturan yang telah dirumuskan secara tidak baik, atau bagaimana peraturan tersebut dilaksanakan. Walaupun buku ini tidak mengulas secara detil peran manajemen dari Departemen Kehutanan, namun menyoroti dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan, peraturan dan praktek terhadap kemauan Menajemen HPH untuk menerapkan RIL. 2

15 BAB I Pengantar RIL Pengantar RIL 1.1 Lingkup Pertimbangan Manajemen Pembalakan Berdampak Rendah (RIL) biasanya dianggap sebagai hal praktis yang mencakup perubahan dalam perencanaan pembalakan, penebangan terarah(directional felling), peralatan yang tepat, deaktivasi jalan sarad serta serangkaian modifikasi teknis lain terhadap praktek-praktek yang berlaku. Memang hal ini merupakan elemen penting dari RIL dan juga merupakan elemen yang paling mudah untuk dicapai melalui diseminasi informasi, program pelatihan dan peragaan. Namun ada aspek RIL yang lebih signifikan dan sering kurang diperhatikan tapi cukup berperan dalam menentukan apakah RIL telah diterapkan secara efektif atau belum. Aspek ini adalah peran manajemen. Secara dasar manajemen perusahaanlah yang akan menentukan apakah strategi RIL telah diterapkan secara efektif atau apakah strategi ini akan mati begitu saja karena staf perusahaan harus berjuang keras menghadapi masalah jurisdiksi dan komunikasi saat mereka berusaha menerapkan solusi teknisnya. Peran manajemen adalah memberi visi, bimbingan, serta fasilitasi. Untuk dapat menjalankan peran ini, manajemen perlu memenuhi beberapa syarat yang sangat dasar seperti: 1. Perlu ada pemahaman yang baik dan benar tentang sistem RIL. Apa tujuan, peluang, tantangan serta aspek teknis yang terlibat. 2. Manajemen benar-benar harus menunjukkan komitmen yang penuh agar berhasil menerapkan sistem RIL. Inilah yang disebut sebagai komitmen manajemen yang sering dibahas para pelaku riset dan praktisi RIL saat membahas masalah yang mungkin timbul pada saat akan menerapkan system. 3. Manajemen harus dapat menjamin bahwa mereka memiliki kebijakan, struktur organisasi, staf terlatih dan prosedur BAB I 3

16 Pengantar RIL pelaksanaan yang tepat yang mampu menjamin bahwa semua kegiatan RIL yang dilaksanakan berada dalam sinergi antara satu dengan lainnya. Dalam buku petunjuk ini, kami berusaha memberi bimbingan guna memfasilitasi pemahaman mengenai tiga kondisi di atas. Kami juga akan membahas peran manajemen secara ringkas. Dalam konteks Indonesia, hutan adalah milik pemerintah dan hak untuk memanfaatkan hasil hutan telah diberikan kepada sektor swasta. Walaupun sektor swasta melaksanakan semua kegiatan pengelolaan hutan yang memberi dampak secara langsung pada hutan, pemerintah melalui penetapan serta implementasi kerangka kerja peraturan juga secara signifikan mempengaruhi perilaku manajer hutan yang berasal dari sektor swasta. Intinya, tindakan pemerintah dapat dilihat sebagai cara untuk menetapkan insentif atau disinsentif dalam menerapkan praktek pengelolaan hutan yang berkelanjutan seperti RIL. 1.2 Apa itu RIL? Pembalakan berdampak rendah (Reduced-Impact Logging/RIL) terdiri dari serangkaian teknologi dan praktek yang dirancang guna mengurangi dampak lingkungan akibat kegiatan penebangan. Tidak ada satupun definisi RIL yang dapat diterapkan secara global guna menjelaskan aspek teknis RIL karena peraturan pemerintah, kondisi hutan, topografi, silvikultur pohon, praktek manajemen, peralatan penebangan serta variable lain umumnya berbeda dari satu hutan tropis ke hutan tropis lainnya. BAB I Di Indonesia/Malaysia penerapan sistem RIL umumnya mencakup hal-hal berikut: Inventarisasi sebelum pemanenan serta pemetaan masingmasing pohon yang akan ditebang. Mempersiapkan peta kontur yang tepat berdasarkan skala operasional. Merencanakan jalan utama, jalan sarad, serta TPn guna memberikan akses menuju areal penebangan dan pohonpohon yang telah dijadwalkan untuk ditebang dengan mengurangi kerusakan pada lapisan tanah serta melindungi anak sungai dan aliran air dengan penyeberangan yang dibuat secara benar. Menyusun standar lingkungan dan operasional secara tertulis 4

17 sebagai dasar dari perencanaan serta pelaksanaan kegiatan operasional dan integrasi standar ini ke dalam struktur perusahaan. Menggunakan sistem penebangan terkendali serta teknik bucking termasuk penebangan terarah. Menyusun standar penebangan dan bucking secara tertulis guna mengurangi limbah pembalakan serta meningkatkan volume dan pemulihan nilai. Membangun jalan utama dan tempat penimbunan kayu yang sesuai dengan petunjuk teknis serta lingkungan sambil pada saat yang bersamaan mengurangi kerusakan lapisan tanah, kerusakan pada tegakan tinggal, dampak pada sistem sungai hutan, serta dampak menyeluruh pada bentang hutan. Memberi tanda yang jelas pada lokasi jalan sarad sehingga operator mesin penyaradan dapat melihatnya dengan mudah. Membuka jalan sarad sebelum melakukan kegiatan penebangan. Mengurangi kerusakan pada lapisan tanah pada saat membangun dan menggunakan jalan sarad dengan jalan memberikan petunjuk yang sederhana dan supervisi yang memadai. Winching balok kayu menuju jalan sarad yang telah direncanakan dan memastikan bahwa setiap saat alat penyaradan tetap berada pada jalan sarad yang telah direncanakan. Untuk mengurangi erosi pada topografi dengan kelerengan tertentu, jalan sarad harus di non-aktifkan setelah kegiatan selesai dilakukan (contoh dengan membuat sudetan). Melakukan penilaian paska pemanenan guna memberi umpan balik kepada para pemegang hak pengusahaan hutan dan kru pembalakan, juga untuk mengevaluasi sejauh mana penerapan petunjuk RIL berhasil dilakukan. Pengantar RIL Agar praktek ini dapat diterapkan dengan biaya yang efektif serta berwawasan lingkungan, persyaratan berikut perlu diperhatikan: Para pemegang HPH dan pengelola harus dapat memberikan suatu dokumentasi yang menunjukkan bahwa mereka memang secara resmi berhak memanen kayu dalam areal penebangan dan bahwa penebangan tersebut dilakukan sesuai dengan undang-undang serta hukum yang berlaku. Harus ada serangkaian prosedur standar operasional dan lingkungan yang benar-benar ditaati, dan seluruh kru manajerial, perencanaan, pembalakan harus benar-benar mengenali standar ini. BAB I 5

18 Pengantar RIL Kru perencanaan dan pembalakan perlu diberi pelatihan sehubungan dengan tugas-tugas mereka, dan mereka juga perlu memahami tidak hanya apa yang harus dilakukan dan cara melakukannya tapi juga perlu memahami mengapa hal itu penting untuk dilakukan. Para kru harus dilengkapi dengan alat-alat pengaman dan perlu diberi pelatihan mengenai cara menggunakan serta perawatan alat-alat tersebut. Supervisor yang berpengetahuan, berwawasan harus ada di lapangan untuk mengawasi kegiatan, memastikan prosedur standar operasional dilaksanakan dan untuk menjamin bahwa jadual kegiatan dipenuhi. Di mana diperlukan tempat bermalam di lapangan, maka kamp tersebut harus memenuhi standar sanitasi dan makanan yang sesuai dengan jurisdiksi lokasi tersebut. Alat pembalakan harus sesuai dengan keadaan di areal pembalakan, selalu dirawat dengan baik untuk digunakan di kondisi kerja yang baik. Kegiatan perencanaan serta operasional harus benar-benar terpadu agar perencanaan tersebut benar-benar dilaksanakan dengan baik. Hal ini mungkin membutuhkan penyesuaian atas pengaturan struktural dan prosedural perusahaan. Suatu sistem manajemen dan pengendalian harus diimplementasikan sehingga dapat memberi informasi kegiatan secara berkala kepada para pemegang HPH, manajer pembalakan, serta auditor eksternal. Sistem ini mencakup hal-hal seperti daftar tugas, informasi mengenai staf, inventarisasi peralatan, prosedur standar operasional dan informasi sejenis. BAB I Pembalakan konvensional seperti yang masih dilaksanakan di sebagian besar areal konsesi di Indonesia dan Malaysia, bahkan hampir di sebagian besar negara tropis, memberi dampak yang sangat tinggi. Penebangan dan ekstraksi kayu bulat dari hutan umumnya dilakukan tanpa rencana. Pada cara konvensional, kru pembalakan bebas melaksanakan kegiatan pembalakan mereka di petak penebangan dengan sedikit pengawasan. Kegiatan tanpa perencanaan ini membawa dampak cukup tinggi terhadap tegakan sisa yang merupakan dasar dari siklus penebangan berikutnya. Hal ini juga mengakibatkan pergerakan mesin yang berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan lapisan tanah serta musnahnya vegetasi hutan. Akibatnya, hal ini mendorong penanaman spesies pohon dengan nilai rendah dan terjadinya penyebaran vegetasi yang tidak produktif. Gangguan pada 6

19 lapisan tanah yang berlebihan juga dapat mengakibatkan erosi dan sedimentasi pada sungai hutan dengan dampak yang negatif pada masyarakat setempat. Implikasi penting dari pembalakan konvensional yang relatif tidak terencana dengan dampak yang berlebihan sebagai akibat dari beroperasinya mesin tanpa kendali ini adalah bahwa pendekatan ini menunjukkan inefisiensi yang cukup tinggi. Sistem RIL dapat memperbaiki situasi ini dan memberikan peluang kepada para manajer untuk mengurangi biaya melalui produktivitas serta efisiensi yang tinggi, dengan volume pemulihan yang lebih baik. Pengantar RIL RIL dapat dilihat sebagai serangkaian teknik yang bila digabungkan akan menghasilkan strategi manajemen yang komprehensif. Dalam strategi ini proses ekstraksi dirancang hingga untuk masing-masing pohon. RIL juga menekankan diterapkannya standar serta prosedur operasional yang akan mengarah pada peningkatan pengetahuan serta implementasi lebih efetif kegiatan pemanenan. Perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mengembangkan informasi yang dibutuhkan agar bisa melakukan perencanaan yang lebih rinci. Namun demikian sebagian besar praktisi kehutanan sepakat bahwa keuntungan finansial yang signifikan dan langsung dicapai akan dapat diperoleh melalui perencanaan yang lebih baik, persiapan di lapangan dan pengendalian operasional. Manfaat ini umumnya dinyatakan dalam istilah seperti efisiensi yang lebih baik, atau penghematan biaya produksi yang meningkatkan pendapatan bersih dari kegiatan kehutanan ini. Manfaat ekonomi jangka panjang dari penerapan sistem RIL pada proses perencanaan dan pemanenan tidak dapat dipungkiri, walaupun memang belum banyak studi yang dilakukan atas hal ini. Dengan mengurangi kerusakan hutan yang terjadi pada awal dimulainya penebangan, maka dapat diharapkan hasil pemanenan yang sama atau lebih baik. Di samping itu dari perspektif ekologis dan sosial dapat dikatakan bahwa berkurangnya dampak akan menghasilkan hutan yang lestari. Guna mempromosikan penerapan sistem RIL melalui peragaan dan pelatihan, telah mendefinisikan strategi RIL dalam konteks serangkaian elemen dengan ciriciri yang khas. Sebagian besar dari elemen ini sudah ada pada kegiatan penebangan. Namun demikian agar sesuai dengan BAB I 7

20 Pengantar RIL standar RIL sebagian dari elemen ini membutuhkan pengembangan keterampilan khusus atau modifikasi dari kegiatan yang telah dilaksanakan. Pada beberapa kasus ditambahkan beberapa kegiatan atau elemen baru. Elemen 1 Menciptakan Lingkungan Manajemen yang Tepat Seringkali RIL dipersepsikan sebagai strategi teknis yang sebagian besar didasarkan pada aspek perencanaan dan kegiatan ekstraksi. Akan tetapi tanpa adanya komitmen penuh dari Manajemen, sangat tidak mungkin hanya melalui perbaikan praktek teknis dapat menjamin keberhasilan penerapan dan implementasi strategi RIL. Komitmen kuat berdasarkan pemahaman tentang manfaat potensial RIL bisa menjadi titik awal. Tidak kalah penting adalah kesediaan untuk mengakui adanya kesenjangan dalam keterampilan serta Foto 1 : Keterlibatan menajemen dalam pemahaman tentang konsep aspek operasional RIL sangat penting untuk RIL pada setiap tingkat proses penerapan teknik RIL yang berhasil. produksi. Pemahaman ini tentunya perlu diikuti dengan implementasi dari berbagai tindak korektif yang diperlukan. BAB I Di banyak perusahaan, implementasi perubahan teknis atau prosedural yang diperlukan guna mengimplementasi RIL lebih berhasil dengan disertai penyusunan petunjuk operasional dan lingkungan yang sering disebut sebagai prosedur standar operasional (SOP). Manfaat dari rangkaian SOP kini baru mulai disadari perusahaan-perusahaan yang progresif. Agar bisa berhasil melaksanakan satu set SOP yang baru, besar kemungkinan akan diperlukan tambahan personel, meningkatkan kemampuan staf yang ada, atau bahkan perlu dilakukan penyesuaian fungsi dan tanggung jawab dalam perusahaan. (Lampiran I: Contoh dari SOP) Elemen 2 Melaksanakan Inventarisasi Operasional 8

21 Pemetaan pohon merupakan hasil inventarisasi 100% yang dilakukan sebagian besar perusahaan berdasarkan sistem silvikultur dan administrasi TPTI 1). Peraturan yang mendasari inventarisasi 100% hanya mensyaratkan posisi pohon diperlihatkan pada peta. Dapat dikatakan bahwa pada sebagian besar perusahaan peta ini tidak digunakan untuk kegiatan yang berarti dan hanya untuk memenuhi persyaratan birokratis Departemen Kehutanan. Pengantar RIL Foto 2 : Pengumpulan data pohon. bermanfaat. Dalam sistem RIL, pengumpulan data dapat dimasukkan ke dalam prosedur survei untuk menghasilkan peta yang memiliki perencanaan yang jelas dan kegunaan operasional. Posisi pohon biasanya digabungkan dengan rincian kontur dan planimetrik guna menghasilkan peta yang komprehensif dan Elemen 3 Mempersiapkan Pembuatan Peta Kontur dan Posisi Pohon dengan Skala Operasional Ada pendapat bahwa peta kontur dengan skala operasional merupakan persyaratan dasar untuk bisa menerapkan sistem RIL dengan berhasil, khususnya dalam merencanakan lokasi jalan sarad pada topografi Indonesia dan Malaysia yang berbukit-bukit. Skala operasional bisa bervariasi dari 1:1,000 hingga 1: 5,000. Pilihan skala peta dan interval kontur harus merupakan fungsi variabilitas topografi dan tingkat rincian kegiatan yang ingin dimasukkan ke dalam peta. Persiapan peta kontur tersebut dapat dilakukan dengan teknik pemetaan konvensional melalui foto udara, namun demikian karena berbagai alasan hal ini masih sulit diperoleh di Indonesia. TFF mempromosikan pendekatan pragmatis dalam mengumpulkan data topografi dimana prosedur inventarisasi 100% dimodifikasi BAB I 1) Tebang Pilih Tanam Indonesia. Ini adalah sistem resmi administrasi dan silvicultur untuk pengelolaan hutan di Indonesia. 9

22 Pengantar RIL sehingga mampu mencakup kumpulan data elevasi yang memungkinkan dihasilkannya peta kontur 2) yang tepat dengan skala operasional. Pengalaman menunjukkan bahwa modifikasi ini akan meningkatkan biaya inventarisasi sebesar $1.50 hingga $1.80 per hektar. Foto 3 : Pembuatan peta kontur dengan mengunakan data yang telah dikumpulkan di lapangan. Peta dengan skala operasional yang menggabungkan kontur, rincian planimetris dan informasi posisi pohon dapat dilakukan dengan menggunakan metode kartografis manual atau menggunakan serangkaian teknik pemetaan dengan bantuan computer. Langkah ini mensyaratkan kru inventarisasi memperoleh pelatihan bukan untuk mengumpulkan data, tetapi justru untuk mengikuti protokol survei yang ketat guna menghindari kesalahan data yang tidak dapat ditangani pada tahap pemetaan. Dari berbagai langkah yang terdapat dalam proses RIL, langkah ini merupakan langkah yang memiliki tantangan teknis terbesar. Elemen 4 Merencanakan Jaringan Jalan Sarad Peta kontur dan inventarisasi merupakan dasar dari perencanaan jaringan jalan sarad. Rencana pembuatan jalan sarad 3) merupakan elemen paling mendasar dalam sistem RIL. Pastikan untuk mempertimbangkan konsep spasialnya. Sebagian besar konsesi masih menggunakan sistem batas/100 ha/petak penebangan untuk mengorganisir dan melakukan perencanaan serta operasionalnya. Areal perbatasan seperti ini sebaiknya tidak digunakan sebagai batas saat melakukan perencanaan jalan sarad. Batas alam seperti sungai, rawa-rawa, puncak bukit atau lahan yang sangat curam sebaiknya menjadi batas dari areal yang akan dilakukan penyaradan menuju tempat penimbunan BAB I 2) Prosedur Survei Topografi Hutan dan Pemetaan Pohon, April 2004, buku panduan pertama dari serangkaian panduan pelaksanaan teknis RIL. 3) Pertimbangan Dalam Merencanakan Pembalakan Berdampak Rendah, buku pedoman kedua dari serangkaian panduan pelaksanaan teknis RIL. 10

23 kayu. Perencanaan sistem jalan sarad yang berhasil harus bisa melihat di luar batas administratif di dalam areal penebangan tahunan yang sudah disetujui dan harus dapat dilaksanakan dalam konteks perencanaan unit pemanenan yang paling efisien. Pengantar RIL Foto 4 : Persiapan rencana kegiatan Yang paling penting dalam perencanaan pembalakan berdasarkan sistem RIL adalah integrasi standar dasar operasional dan lingkungan. Pedoman operasional dapat menunjuk pada pertimbangan sederhana seperti kemiringan maksimum jalan sarad atau lokasi dan rancangan dari Tpn. Standar lingkungan dapat berkaitan dengan pertimbangan kemiringan, zona pengelolaan riparian, dan kemungkinan hambatan lingkungan lain. Definisi terbaik untuk standar ini dapat dilihat dalam konteks rangkaian SOP yang komprehensif (Lihat Lampiran 1). Penggunaan peta untuk perencanaan operasional sangat buruk pada tingkat pendidikan formal dan di antara staf pemegang konsesi. Persyaratan keterampilan ini sering membutuhkan pelatihan yang signifikan sebelum peta ini dapat memberi kontribusi yang efektif pada penerapan sistem RIL dan pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Elemen 5 Lokasi Jalan Sarad dan TPn di lapangan Foto 5 : Penetapan lokasi jalan sarad di lapangan. Menegaskan validitas rencana jaringan jalan sarad di lapangan dengan memberi tanda berupa cat atau pita pada batas lokasi. Baik perencanaan maupun lokasi lapangan dari jaringan jalan sarad harus berdasarkan standar yang dapat memberi petunjuk tentang bagaimana menangani kelerengan jalan sarad, jarak penyaradan BAB I 11

24 Pengantar RIL maksimum dan bagaimana menangani masalah lahan curam, situs yang berwawasan lingkungan dan sungai di hutan. Penyeberangan sungai harus dihindari di mana mungkin agar tetap dapat mempertahankan kualitas air serta fungsi hidrologis menyeluruh. Elemen 6 Membuka Jalan Sarad sebelum Melakukan Kegiatan Penebangan 4) Manfaat pembukaan jalan sarad sebelum melakukan kegiatan penebangan belum dipahami sepenuhnya. Traktor atau alat penyarad harus memasuki lokasi jalan sarad dengan mata pisaunya diangkat sedikit di atas tanah. Manfaat dilakukannya hal ini sebelum memulai kegiatan penebangan dan penyaradan adalah secara jelas dapat dilihat bahwa jaringan ekstraksi telah dimulai sebelum melakukan kegiatan penebangan. Para penebang memiliki akses yang lebih baik dan akan lebih menyadari pentingnya penebangan terarah. Lapisan tanah sebaiknya tidak diganggu dan semua anakan pohon harus dibiarkan tumbuh di jalan sarad. Bahan ini akan melindungi tanah pada saat Foto 6 : Pembukaan jalan sarad sebelum penebangan dilakukan penyaradan. Namun di mana penyaradan harus melalui areal bukit dengan kelerengan maka pemotongan lereng tidak akan dapat dihindari. BAB I Elemen 7 Penebangan - Menyusun Petunjuk Penebangan dan 4) Untuk Elemen 6 s/d 10 berpedoman ke Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak Rendah, buku pedoman ketiga dari serangkaian pedoman teknis untuk RIL. 12

25 Bucking yang Tepat Pertimbangan yang perlu disertakan dalam menyusun petunjuk ini adalah hal-hal seperti penebangan terarah, menghindari pohonpohon yang dilindungi, pohon-pohon yang memiliki nilai dagang di masa depan serta cara bucking yang benar guna meningkatkan pemanfaatan, zona perlindungan riparian dan keamanan para pekerja. Pengantar RIL Para penebang perlu mendapatkan pelatihan agar selalu mengingat petunjuk ini pada saat memilih arah penebangan yang paling tepat. Oleh karena prosedur inventarisasi telah mensyaratkan penandaan pohon-pohon yang akan ditebang pada masa selanjutnya dan pohon-pohon yang dilindungi, maka seorang penebang yang mengetahui cara menebang pohon dilatih dan diberikan beberapa petunjuk yang selalu harus diingat tentang bagaimana menentukan arah penebangan yang tepat. Yang ingin dikemukakan disini adalah bahwa para penebang merupakan pembuat keputusan utama dalam kegiatan di hutan karena apa yang dilakukan penebang akan memberi dampak terbesar di hutan. Foto 7 : Cara bucking yang benar guna meningkatkan pemanfaatan Tingkat keterampilan para penebang harus memadai sehingga dapat melaksanakan penebangan terarah secara efektif. Perusahaan perlu memastikan bahwa para penebang dilengkapi dengan peralatan yang sesuai untuk melakukan penebangan terarah. Elemen 8 Penyaradan - Menyusun Petunjuk Penyaradan yang Tepat Pada praktek penebangan konvensional, kegiatan penyaradan mengakibatkan kerusakan yang berat pada lapisan tanah dan tegakan tinggal. Melalui perencanaan, penetapan lokasi, serta pembukaan jalan sarad sebelum memulai kegiatan penebangan, akan terjadi perbaikan yang signifikan pada penyaradan BAB I 13

26 Pengantar RIL Foto 8 : Mempersiapkan pengunaan winch pada pohon yang telah ditebang. dan kerusakan dapat dikurangi. Agar tingkat kerusakan akibat penyaradan dapat berkurang maka dibutuhkan pengawasan yang ketat serta penerapan petunjuk penyaradan sederhana yang tepat bagi perusahaan atau situasi tertentu. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan mencakup meningkatnya penggunaan winch, perlunya untuk berada tetap pada jalan sarad yang telah ditentukan, menghindari penyeberangan sungai, dan menerapkan strategi yang tepat dalam menangani situs-situs yang berkaitan dengan adat. Penyusunan pedoman atau SOP merupakan tanggung jawab masing-masing perusahaan, supaya petunjuk yang diberikan tepat dan sesuai dengan sistem manajemen serta situasi fisik areal konsesi. Untuk kegiatan penebangan dan penyaradan, penting untuk mengingat jenis peralatan yang tepat untuk digunakan agar meningkatkan manfaat dari melakukan perencanaan serta pengendalian operasional yang lebih baik. Elemen 9 Deaktivasi BAB I Dalam banyak kasus, akan sangat baik untuk melakukan deaktivasi jalan sarad, terutama bila lokasinya di kawasan berbukit. Ini termasuk sudetan untuk mengurangi penyaluran dan erosi dari jalan sarad yang curam. Kegiatan ini perlu dicantumkan dalam daftar tugas operator traktor dan harus segera dilakukan Foto 9 : Pembuatan sudetan 14

27 segera setelah jalan sarad selesai digunakan untuk mengurangi biaya tambahan yang tidak diperlukan. Sebagaimana aspek operasional lain dalam sistem manajemen RIL, pedoman yang jelas dan sederhana perlu dikembangkan dalam konteks unit operasional atau konsesi, guna merefleksikan kondisi manajemen dan operasional yang unik di tiap areal. Pengantar RIL Di mana diperlukan atau sesuai, reklamasi TPn dan jalan sarad dapat dijadikan bagian dari kegiatan ini, dengan menggunakan berbagai teknik. Elemen 10 Evaluasi dan Monitoring Untuk menjamin keberhasilan penerapan sistem RIL dan memberi masukan yang baik kepada manajemen dan staf di areal konsesi, maka perusahaan perlu mengembangkan prosedur evaluasi yang tepat. Ini melibatkan survei pasca pembalakan pada jalan sarad untuk memperoleh sampling kerusakan pada lapisan tanah, atau bisa juga dengan melakukan inspeksi lapangan yang sederhana terhadap unit pembalakan oleh orang yang telah dipilih kemudian membuat laporan sederhana. Tujuan dari evaluasi dan inspeksi adalah untuk memberikan masukan internal sehingga kekurangan dalam menerapkan sistem RIL dapat langsung diidentifikasi dan dikoreksi. Evaluasi semacam ini juga perlu dilakukan untuk menjamin agar manajemen dan staf menyadari tujuan, prestasi, serta hal-hal yang perlu diperbaiki demi keberhasilan dalam menerapkan sistem RIL. Foto 10 : Penilaian kayu yang terbuang, sebagai salah satu kegiatan evaluasi. Untuk memperoleh petunjuk teknis yang lebih rinci tentang pertimbangan operasional dalam menerapkan sistem RIL, dapat membaca buku petunjuk, Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak Rendah, yang diterbitkan pada bulan Maret BAB I 15

28 1.3 Kerangka Kerja untuk Petunjuk Implementasi Pengantar RIL Dalam proses mengembangkan modul pelatihan untuk menerapkan sistem RIL, TFF menemukan bahwa sangat bermanfaat untuk mengelaborasi persyaratan teknis dan prosedural dalam bentuk matriks kriteria dan indikator. Matriks ini dapat digunakan oleh para manajer sebagai petunjuk untuk memahami dan mengimplementasikan perubahan yang dibutuhkan guna merealisasikan manfaat sistem RIL. Kerangka kerja ini juga dapat digunakan oleh pihak lain yang ingin mengevaluasi dan memonitor kinerja unit manajemen kehutanan dalam usahanya menerapkan sistem RIL. Tabel 1 : KRITERIA DAN INDIKATOR PENERAPAN SISTEM RIL DI INDONESIA BAB I Kegiatan atau elemen Indikator Implementas Verivikasi Implementasi Pendapat tambahan 1. Inventarisasi sebelum kegiatan pemanenan telah dilakukan untuk mengidentifi kasikan semua pohon yang akan dipanen dan pohon yang dilindungi, sesuai standar yang diatur dalam sistem silvikultur dan administrasi TPTI 5) atau TPTJ 6). PENDAPAT : 1.1 Kunjungan lapangan memverifi kasikan bahwa inventori telah dilakukan dan pohonpohon telah diberi label dan dinomori sesuai dengan peraturan yang berlaku Pemeriksaan lapangan harus dilakukan secara berkala pada berbagai lokasi. 1.2 Perusahaan telah menyusun standar kegiatan cruising termasuk kebijakan yang jelas tentang pohon mana tepat diinventori (lihat catatan audit di bawah). 1.3 Ringkasan hasil cruising (LHC) tersedia semua areal yang akan dipanen. 1.4 Dokumen harus dapat menunjukkan bahwa spesies yang dilindungi Undang-undang Indonesia dan protokol CITES tidak termasuk dalam daftar yang akan dipanen. Inventori 100% merupakan hal yang mandatoris bagi konsesi di Indonesia. Sudah banyak persyaratan serta prosedur untuk inventori ini yang telah didokumentasikan oleh Departemen Kehutanan dan dapat diperoleh oleh semua perusahaan. Peraturan Departemen Kehutanan merinci prosedur inventarisasi, penandaan, pemetaan, dan pelaporan untuk pohon-pohon komersial, pohon-pohon yang dilindungi, serta pohon-pohon yang memiliki nilai komersial di masa mendatang. Surat Keputusan tentang standar minimum stok untuk memperoleh izin HPH dan perpanjangan RKT tidak dianggap sah dalam kerangka audit RIL karena hal tersebut berlawanan dengan tujuan RIL dan menjanjikan harapan-harapan yang tidak dapat diimplementasikan. 2. Tersedia Peta Posisi Pohon dan Kontur Skala Operasional dengan akurasi yang baik untuk seluruh area yang akan dipanen. 2.1 Perusahaan telah memiliki peta kontur dengan skala yang tepat yang diperoleh melalui metode remote sensing atau telah menerapkan prosedur survei yang baik sehingga dalam memetakan kontur dan posisi pohon yang akurat secara rutin Skala peta operasional yang baik adalah tidak lebih dari 1: dengan interval kontur tidak lebih dari 5m. 5) TPTI - Tebang Pilih Tanaman Indonesia 6) TPTJ - Tebang Pilih Tanaman Jalur 16

29 Kegiatan atau elemen PENDAPAT : Indikator Implementas Verivikasi Implementasi Pendapat tambahan Informasi yang terdapat pada peta operasional kontur dan posisi pohon sedikitnya memuat mencakup informasi lintasan air yang permanen maupun yang musiman, kontur, jalan (yang sudah ada atau yang masih direncanakan), batas wilayah, tanda-tanda alam yang dapat mempengaruhi perencanaan pembalakan dan lokasi seluruh pohon yang dapat dipanen Direkomendasikan agar survey dasar dilakukan dengan menggunakan jaringan survey yang dapat digunakan untuk orientasi lapangan. 2.2 Tingkat keakuratan peta harus memadai agar dapat dilakukan perencanaan jalan sarad yang juga akurat sesuai dengan kontur, lokasi tanda-tanda alam (misal sungai) dan informasi lokasi pohon Pemeriksaan lapangan akan memverifi kasi keakuratan peta. Lokasi pohon harus akurat dalam radius 20m. Walaupun pemetaan kontur direkomendaskan dalam peraturan Departemen Kehutanan, tapi bukanlah keharusan. Namun, dibandingkan dengan peta posisi pohon, peta kontur yang akurat memegang peran yang lebih besar dalam perencanaan RIL. Akibatnya indicator serta verifi kasi ini merupakan prakondisi yang penting untuk menerapkan RIL dan perlu mendapat perhatian yang besar pada saat dilakukan audit. 3. Jalan di hutan dirancang, ditentukan lokasinya, dibangun dan dipelihara untuk mengurangi dampak yang terjadi pada hutan dan nilai-nilai terkait. PENDAPAT : 3.1 Standar khusus perusahaan untuk pembangunan jalan telah disusun sebagai pedoman dalam membuat rencana, menetapkan lokasi, konstruksi, perawatan dan deaktivasi jalan hutan. 3.2 Pembangunan jalan raya dilakukan di lokasi berdasarkan sesuai standar yang dimiliki perusahaan. 3.3 Lokasi jalan secara rutin dimasukkan pada peta perencanaan operasional sebelum membuat rencana pembalakan dan pelaksanaannya. 3.4 Jalan selalu dirawat guna mengurangi erosi. 3.5 Jalan raya yang tidak dibutuhkan lagi untuk kegiatan pengelolaan hutan dideaktivasi untuk mencegah terjadinya kegiatan kegiatan yang tidak memiliki izin dan erosi. Petunjuk teknis tentang pembangunan jalan dapat dilihat dalam publikasi TFF yang berjudul: Perencanaan, Lokasi, Survei, Konstruksi dan Pemeliharaan untuk Pembuatan Jalan Logging Berdampak Rendah. 4. Batas wilayah pemanenan harus dibuat di lapangan dan ditunjukkan di atas peta sesuai dengan peraturan/persyaratan yang ada. PENDAPAT : 4.1 Prosedur tentang penetapan batas areal pembalakan diuraikan secara jelas Pemeriksaan lapangan secara random dan representatif memverifi kasi tapal batas areal operasional. 4.2 Batas areal pemanenan tidak tumpang tindih dengan batas kawasan yang dilindungi dengan diidentifi kasikan pada peta baik yang terdapat di dalam maupun diluar batas konsesi. Demarkasi tapal batas merupakan persyaratan yang terdapat dalam peraturan Departemen Kehutanan dan harus dipenuhi Prosedur telah dijelaskan secara rinci oleh Departemen Kehutanan. Baik pemeriksaan peta maupun lapangan harus dilakukan untuk memverifi kasikan kepatuhan pada petunjuk yang ada. 5. Perusahaan memiliki izin HPH dan SK Rencana Karya Tahunan (SK RKT) yang valid. 5.1 Surat izin HPH dan RKT disetujui dan ditandatangani oleh pihak yang berwenang. Pengantar RIL BAB I 17

30 Pengantar RIL Kegiatan atau elemen PENDAPAT : Indikator Implementas Verivikasi Implementasi Pendapat tambahan Pemeriksaan dokumen untuk memverifi kasikan sahnya dokumen perijinan, Memiliki surat izin resmi HPH dan RKT merupakan bagian dari standar legalitas dan merupakan prakondisi utama untuk bisa berpartisipasi dalam program Verifi kasi RIL. 6. Rancangan pemanenan dengan skala operasional dipersiapkan yang menunjukkan bagaimana perusahaan merencanakan pemanenan yang akan dilakukan. PENDAPAT : 6.1 Rencana pemanenan dipersiapkan pada peta kontur dan posisi pohon. 6.2 Perusahaan telah mengembangkan standar operasional dan lingkungan sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pembalakan Standar operasional mencakup pertimbangan kelerengan maksimum jalan sarad, kondisi tanah, lokasi TPn, pembuatan sub-petak penebangan 7), dan prosedur penyeberangan sungai Standar lingkungan mencakup kebijakan kelerengan maksimum baik untuk pembalakan ground based, zona riparian, penyeberangan sungai serta pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan aspek budaya 8). 6.3 Perusahaan telah menunjuk staf yang bertanggung jawab membuat persiapan perencanaan pembalakan yang rinci Rancangan yang akurat dimana informasi kontur dan posisi pohon berhubungan erat dengan standar perencanaan, haruslah menjadi kegiatan yang rutin. Ini merupakan persyaratan RIL. Satu-satunya persyaratan Departemen Kehutanan untuk rencana pembalakan membagi areal RKT menjadi petak seluas +/-100 hektar dan perencanaan membangun jalan hutan dua tahun sebelum pemanenan. Namun, persiapan pemanenan yang rinci oleh staf yang kompeten merupakan elemen kunci dari keberhasilan penerapan RIL. 7. Penetapan lokasi jalan sarad dan TPn dilakukan sebelum kegiatan penebangan sesuai standar operasional dan ingkungan. PENDAPAT : 7.1 Perusahaan telah menunjuk staf yang bertanggung jawab menetapkan lokasi jalan sarad dan TPn Pemeriksaan lapangan memastikan bahwa lokasi jalan sarad dan TPn secara rutin ditetapkan sesuai rencana pembalakan dan standar yang telah dispesifi kasikan. 7.2 Peta-peta diperbaharui dengan memperlihatkan lokasi TPN dan jalan sarad yang actual bila terjadi perubahan pada peta sebelumnya. Pemeriksaan lapangan perlu dilakukan untuk mengkonfi rmasikan kepatuhan sesuai pedoman. 8. Pembukaan jalan sarad dilakukan sebelum penebangan dimulia dan sesuai dengan standar operasional dan lingkungan 9) 8.1 Tujuan dan prosedur pembukaan jalan sarad disampaikan secara jelas kepada supervisor dan staf operasional. 7) Standar Operasional telah dipublikasikan dalam buku pedoman Pertimbangan dalam Perencanaan BAB I Pembalakan Berdampak Rendah. 8) Standar Lingkungan telah dipublikasikan dalam buku pedoman Pertimbangan dalam Perencanaan Pembalakan Berdampak Rendah. 9) Buku pedoman Pertimbangan Operasional... telah dipublikasikan sebagai bagian dari proyek ITTO, dan merupakan buku ketiga. 18

31 Kegiatan atau elemen Indikator Implementas Verivikasi Implementasi Pendapat tambahan Mandor yang bertanggung jawab melakukan kegiatan pembalakan harus memiliki peta terbaru yang akurat sebagai panduan dalam melaksanakan kegiatan pembalakan. 8.2 Tersedianya petunjuk teknis yang sederhana untuk membuka jalan sarad. 10) Pemeriksaan lapangan memastikan bahwa pembukaan jalan sarad dan TPN secara rutin dilakukan sebelum memulai penebangan berdasarkan standar yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan persyaratan RIL guna memastikan bahwa manfaat rencana pemanenan yang rinci benar-benar dilakukan hingga ke tahap operasional. Pengalaman menujukkan bahwa membuka jalan sarad yang progresif dengan kegiatan pembalakan tidak akan efektif bila dilakukan pada kondisi di mana terdapat pohon-pohon yang tinggi dan areal yang PENDAPAT : berbukit-bukit yang sering ditemukan di Indonesia. Sebagai akibatnya pembukaan jalan sarad sebelum penebangan merupakan langkah penting dalam proses implementasi sistem RIL. 9. Penebangan dan bucking dilaksanakan sesuai dengan prinsip dan pedoman RIL 11) PENDAPAT : 9.1 Para penebang telah diberi petunjuk mengenai bagaimana pengambilan keputusan yang sederhana sebagai pedoman mereka saat melakukan penebangan terarah. Termasuk pertimbangan tingkat keselamatan, kesesuaian dengan jalan sarad, lokasi pemanenan berikutnya dan pohon-pohon yang dilindungi serta pohon inti lokasi, tingkat pemulihan pohon yang ditebang serta memperkecil penebangan yang patah, tidak sempurna Apakah para penebang memiliki buku saku yang berisi informasi perhitungan dasar penebangan dan bucking? 9.2 Para penebang dilengkapi dengan peralatan dasar leselamatan kerja dan alat-alat yang penebangan terarah Para penebang dilengkapi dengan alat keselamatan kerja yang paling dasar (top/helm) serta perlengkapan penebangan lainnya seperti baji. 9.3 Perusahaan memiliki kebijakan yang jelas dan tertulis mengenai standar pemanfaatan dan bucking. Kebijakan ini harus menyebutkan batas maksimum kerusakan yang bisa ditolerir, panjang kayu bulat dan jenis-jenis apa saja yang dikehendaki. Untuk mengetahui lebih banyak rincian teknis dapat membacanya dalam buku petunjuk Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak Rendah. 10. Penyaradan dilakukan sedemikian rupa untuk menekani kerusakan tanah dan tegakan tinggal Perusahaan mengeluarkan petunjuk operasional kepada operator traktor untuk memastikan bahwa mesin tetap berada di jalan sarad dan memaksimalkan winching Apabila kayu bulat berada sekitar 20 m dari jalan sarad, maka harus ditarik dengan menggunakan winch kecuali bila posisinya sulit sehingga tidak memungkinkan memasukan sling ke kayu log atau jika ada rintangan yang menghalangi winching Operator traktor tidak akan membuka jalan sarad baru yang tidak ditandai tanpa berkonsultasi dengan mandor Tidak dibenarkan adanya jalan sarad berpotongan atau ganda. 10) Ini telah dimasukkan dalam buku pedoman Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Pengantar RIL BAB I Berdampak Rendah. 11) Lihat footnote No

32 Pengantar RIL BAB I Kegiatan atau elemen PENDAPAT : Indikator Implementas Verivikasi Implementasi Pendapat tambahan Hal ini merupakan persyaratan RIL sehubungan dengan penyaradan. Dalam hutan Dipeterocarp meminimalkan kerusakan lapisan tanah merupakan kunci regenerasi yang baik. Lapisan tanah di hutan biasanya memiliki banyak benih tumbuhan baru. Terjadinya pembukaan tajuk mahkota maka regenerasi yang ada akan tumbuh dengan agresif. Kerusakan pada lapisan tanah tidak hanya berimplikasi pada perusakan anak pohon tapi juga benihnya. Gangguan/pemindahan lapisan tanah merupakan factor penting yang mempengaruhi regenerasi hutan. 11. Perusahaan memiliki kebijakan yang jelas mengenai deaktivasi TPn dan jalan sarad untuk meminimalisir resiko erosi. PENDAPAT : 11.1 Pedoman deaktivasi untuk jalan sarad harus menjelaskan bagaimana dan seperti apa kondisi sudetan harus dibuat Sudetan pada jalan sarad merupakan bagian dari pekerjaan seorang operator traktor Pemeriksaan lapangan memastikan bahwa sudetan dan deaktivasi TPn dilakukan sesuai standar perusahaan. Pemeriksaan lapangan diperlukan. Petunjuk teknis dapat dibaca dalam buku, Operational Considerations for RIL. 12. Monitoring dan evaluasi setelah pemanenan dilakukan sebagai evaluasi-diri secara kontinu dan umpan balik kepada pihak manajemen atas penerapan RIL. PENDAPAT : 12.1 Monitoring dan evaluasi diidentifi kasikan sebagai tugas serta tanggung jawab pekerjaan dan dari staf yang cakap yang telah diberi petunjuk bagaimana kegiatan-kegiatan ini dilakukan Tugas-tugas ini dapat ditambahkan ke dalam daftar tugas mandor atau kemungkinan ada staf baru yang akan direkrut sebagai inspector petak Monitoring rutin di lapangan dilaksanakan selama pembalakan untuk memastikan bahwa tujuan RIL telah dicapai Prosedur evaluasi setelah pemanenan yang telah diterapkan, yang menilai bagaimana tujuan RIL terpenuhi dan melaporkannya kepada manajemen Tersedia laporan petak penebangan. Laporan tersebut harus memuat seluruh aspek dan persyaratan pembalakan maupun deaktivasi serta melaporkan hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan. Peta yang mengindikasikan area yang dibalak sebaiknya disertakan. Rincian petunjuk teknis dapat dilihat dalam publikasi TFF yang berjudul, Pertimbangan Operasional untuk Pembalakan Berdampak. 13. Manajemen telah memiliki kebijakan, pedoman dan personel yang tepat untuk memastikan bahwa seluruh aspek kegiatan jelas dipahami atau perlu dilakukan modifi kasi sehingga dapat merealisasikan penerapan praktekril. PENDAPAT : 13.1 Kebijakan dan pedoman perusahaan mengenai inventori, perencanaan dan personel operasional menyebutkan/menjelaskan tujuan penerapan sistem RIL dan secara jelas mendeskripsikan tanggung jawab masing-masing staf Terdapat standar operasionial prosedur dan/atau kebijakan yang menguraikan berbagai elemen system RIL Terdapat uraian tugas dan tanggung jawab yang memperlihatkan integrasi fungsi dan tanggung jawab Personel yang telah dipiih, dilatih dan diberi petunjuk yang memadai agar kegiatan RIL dapat dilaksanakan secara efektif. Petunjuk implementasi RIL terdapat dalam publikasi TFF yang berjudul Pertimbangan dalam Merencanakan Pembalakan Berdampak Rendah. 20

33 BAB II Kebijak an Pemerintah dan Praktek di Lapangan Kebijakan Pemerintah dan Praktek di Lapangan 2.1 Peran Manajemen dari Pemerintah Walaupun fokus buku pedoman ini adalah mengenai pengelola/ manajer hutan dari sektor swasta dan bagaimana ia dapat memberi pengaruh pada penerapan RIL, namun pembahasan ini tidak akan lengkap tanpa melihat peran pemerintah sebagai mitra dalam pengelolaan. Undang-undang kehutanan di Indonesia secara jelas menyatakan bahwa hutan di Indonesia adalah milik Negara dan pemerintah tetap memegang tanggung jawab penuh atas pengelolaannya guna memastikan tercapainya pengelolaan hutan Negara yang lestari. Undang-undang kehutanan ini juga memberi peluang adanya pengalihan hak pengusahaan hutan ke sektor swasta Indonesia sehingga mereka juga dapat memanfaatkan hasil hutan tentunya dengan imbalan melaksanakan pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan membayar royalty serta pajak sebagiamana ditetapkan pemerintah. Pemerintah memenuhi tanggung jawab pengelolaannya melalui pengembangan kerangka kerja peraturan yang terdiri dari Undangundang, Peraturan, Surat Keputusan, serta Surat Instruksi Khusus. Kerangka ini mencakup serangkaian persyaratan yang cukup rumit mengenai pelaporan dan inspeksi. Departemen Kehutanan beserta jajaran perwakilannya di tingkat Provinsi dan Kabupaten bertanggung jawab melaksanakan dan mengatur kebijakan kehutanan melalui penerapan kerangka kerja tersebut. Komitmen Pemerintah Departemen Kehutanan meyadari pentingnya arti RIL dalam usaha mencapai tujuan pengelolaan hutan lestari. Niat pemerintah untuk mendukung penerapan RIL dikemukakan dalam Kriteria 2 dan 3 dalam Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan yang Berkelanjutan (SK Menhut No. No. 4795/KPTS 11/2002) yang ditandatangani Menteri Kehutanan. Walaupun BAB II 21

PERTIMBANGAN DALAM MERENCANAKAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH

PERTIMBANGAN DALAM MERENCANAKAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH PERTIMBANGAN DALAM MERENCANAKAN PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH Agustus, 2005 Departemen Kehutanan Republik Indonesia BUKU KEDUA DARI RANGKAIAN PEDOMAN TEKNIS PROJECT ITTO PD 110/01 REV.4 (I) : PROGRAM UNTUK

Lebih terperinci

PERTIMBANGAN OPERASIONAL UNTUK PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH

PERTIMBANGAN OPERASIONAL UNTUK PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH PERTIMBANGAN OPERASIONAL UNTUK PEMBALAKAN BERDAMPAK RENDAH Maret, 2006 Departemen Kehutanan Republik Indonesia BUKU KETIGA DARI RANGKAIAN PEDOMAN TEKNIS PROJECT ITTO PD 110/01 REV.4 (I) : PROGRAM UNTUK

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT.

PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. PEMBELAJARAN PENERAPAN RIL-C DI PERUSAHAAN (PENERAPAN PRAKTEK PENGELOLAAN RENDAH EMISI DI HUTAN PRODUKSI DI AREAL PT. NARKATA RIMBA DAN PT. BELAYAN RIVER TIMBER) Bogor, Mei 2018 LEGALITAS/PERIZINAN PT.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus

BAB I PENDAHULUAN. (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya hutan merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable resources), namun apabila dimanfaatkan secara berlebihan dan terusmenerus akan mengalami

Lebih terperinci

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PERANCANGAN JALAN SAARAD UNTUK MEMINIMALKAN KERUSAKAN LINGKUNGAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Pemanenan kayu konvensional merupakan teknik pemanenan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Tanaman Industri Hutan Tanaman Industri adalah hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan alam yang ada di Indonesia banyak diandalkan sebagai hutan produksi untuk mencukupi kebutuhan kayu perkakas dan bahan baku industri kayu. Guna menjaga hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian 3.2 Objek dan Alat Penelitian 19 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di IUPHHK-HA PT. Ratah Timber, Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Kutai Barat, Provinsi Kalimantan Timur (Lampiran 14). Waktu penelitian

Lebih terperinci

Elias Grahame Applegate Kuswata Kartawinata Machfudh Art Klassen. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia ITTO

Elias Grahame Applegate Kuswata Kartawinata Machfudh Art Klassen. Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia ITTO Elias Grahame Applegate Kuswata Kartawinata Machfudh Art Klassen Pedoman Reduced Impact Logging Indonesia ITTO PEDOMAN REDUCED IMPACT LOGGING INDONESIA Elias Grahame Applegate Kuswata Kartawinata Machfudh

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan merupakan kegiatan mengeluarkan hasil hutan berupa kayu maupun non kayu dari dalam hutan. Menurut Suparto (1979) pemanenan hasil hutan adalah serangkaian

Lebih terperinci

PROSEDUR SURVEI TOPOGRAFI HUTAN DAN PEMETAAN POHON

PROSEDUR SURVEI TOPOGRAFI HUTAN DAN PEMETAAN POHON PROSEDUR SURVEI TOPOGRAFI HUTAN DAN PEMETAAN POHON Januari, 2007 Edisi Ketiga Departemen Kehutanan PROSEDUR SURVEI TOPOGRAFI HUTAN DAN PEMETAAN POHON Penulis : Art Klassen dan Hasbillah Editor : Hasbillah

Lebih terperinci

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI. Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara DAMPAK PEMANENAN KAYU TERHADAP TERJADINYA KETERBUKAAN LANTAI HUTAN MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN Agar kayu dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis

Lebih terperinci

Pedoman Multilokasi Sertifikasi Produk dan Legalitas Kayu

Pedoman Multilokasi Sertifikasi Produk dan Legalitas Kayu DPLS 19 rev.0 Pedoman Multilokasi Sertifikasi Produk dan Legalitas Kayu Issue Number : 000 Desember 2013 Komite Akreditasi Nasional National Accreditation Body of Indonesia Gedung Manggala Wanabakti, Blok

Lebih terperinci

PERENCANAAN, LOKASI, SURVEI, KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN UNTUK PEMBUATAN JALAN LOGGING BERDAMPAK RENDAH

PERENCANAAN, LOKASI, SURVEI, KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN UNTUK PEMBUATAN JALAN LOGGING BERDAMPAK RENDAH PERENCANAAN, LOKASI, SURVEI, KONSTRUKSI DAN PEMELIHARAAN UNTUK PEMBUATAN JALAN LOGGING BERDAMPAK RENDAH Mei, 2006 Ministry of Forestry BUKU KEEMPAT DARI RANGKAIAN PEDOMAN TEKNIS PROJECT ITTO PD 110/01

Lebih terperinci

CODES OF PRACTICE. 1. Pendahuluan

CODES OF PRACTICE. 1. Pendahuluan 1. Pendahuluan Codes of Practice ini telah ditulis sesuai dengan persyaratan badan akreditasi nasional dan dengan persetujuan PT AJA Sertifikasi Indonesia yang saat ini beroperasi. PT. AJA Sertifikasi

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2

GUBERNUR PAPUA. 4. Undang-Undang.../2 GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 14 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMANFAATAN KAYU LIMBAH PEMBALAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang : a. bahwa sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal

BAB I PENDAHULUAN. tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan curah hujan yang tinggi sehingga rentan terhadap terjadinya erosi tanah, terlebih pada areal-areal tidak berhutan.

Lebih terperinci

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015

Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Ringkasan Eksekutif Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terluas di dunia, dan sebagian

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Tegakan Sebelum Pemanenan Kegiatan inventarisasi tegakan sebelum penebangan (ITSP) dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan berdiameter 20 cm dan pohon layak tebang.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu

2 ekonomi biaya tinggi sebagaimana hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu pengaturan kembali mengenai Inventarisasi Hutan Menyelu No.690, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Alam. Pemanfaatan. Hutan Kayu. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

Lebih terperinci

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI

KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 21/Kpts-II/2001 Tanggal : 31 Januari 2001 KRITERIA DAN STANDAR IJIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU HUTAN TANAMAN PADA HUTAN PRODUKSI No KRITERIA STANDAR

Lebih terperinci

CODES OF PRACTICE. Dokumen: Codes of Practice Edisi / Rev: 1 / 2 Tanggal: 03 April 2017 Hal : Hal 1 dari 7

CODES OF PRACTICE. Dokumen: Codes of Practice Edisi / Rev: 1 / 2 Tanggal: 03 April 2017 Hal : Hal 1 dari 7 1. Pendahuluan Codes of Practice ini telah ditulis sesuai dengan persyaratan badan akreditasi nasional dan dengan persetujuan PT AJA Sertifikasi Indonesia yang saat ini beroperasi. PT. AJA Sertifikasi

Lebih terperinci

Syarat dan Aturan Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP PHPL)

Syarat dan Aturan Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP PHPL) DPLS 13 Rev. 0 Syarat dan Aturan Tambahan Akreditasi Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LP PHPL) Komite Akreditasi Nasional National Accreditation Body of Indonesia Gedung Manggala Wanabakti,

Lebih terperinci

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia

PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia PUP (Petak Ukur Permanen) sebagai Perangkat Pengelolaan Hutan Produksi di Indonesia Authors : Wahyu Catur Adinugroho*, Haruni Krisnawati*, Rinaldi Imanuddin* * Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan,

Lebih terperinci

LAMPIRAN 6. PERJANJIAN KERJASAMA UNTUK MELAKSANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA (Versi Ringkas)

LAMPIRAN 6. PERJANJIAN KERJASAMA UNTUK MELAKSANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA (Versi Ringkas) LAMPIRAN 6 PERJANJIAN KERJASAMA UNTUK MELAKSANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA (Versi Ringkas) Pihak Pertama Nama: Perwakilan yang Berwenang: Rincian Kontak: Pihak Kedua Nama:

Lebih terperinci

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia

MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia www.greenomics.org MEMBENDUNG meluasnya preseden buruk pengelolaan HPH di Indonesia 5 Desember 2011 HPH PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa -- yang beroperasi di Provinsi Riau -- melakukan land-clearing hutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang bisa dipindahkan ke lokasi lain sehingga

Lebih terperinci

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF

PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF PROGRAM HUTAN DAN IKLIM WWF LEMBAR FAKTA 2014 GAMBARAN SEKILAS Praktek-Praktek REDD+ yang Menginspirasi MEMBANGUN DASAR KERANGKA PENGAMAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI INDONESIA Apa» Kemitraan dengan Ratah

Lebih terperinci

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI. 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI SANITASI 6.1 Gambaran Umum Struktur Pemantauan dan Evaluasi Sanitasi Strategi Sanitasi Kota (SSK) merupakan alat manajemen untuk meningkatkan transparansi perencanaan dan

Lebih terperinci

TEKNIK PENYARADAN KAYU

TEKNIK PENYARADAN KAYU TEKNIK PENYARADAN KAYU Penyaradan kayu adalah kegiatan memindahkan kayu dari tempat tebangan ke tempat pengumpulan kayu (TPn) atau ke pinggir jalan angkutan. Kegiatan ini merupakan kegiatan pengangkutan

Lebih terperinci

Petunjuk Teknis. Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah-Carbon (RIL-C) Pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) Ruslandi

Petunjuk Teknis. Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah-Carbon (RIL-C) Pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) Ruslandi Penerapan Pembalakan Berdampak Rendah-Carbon (RIL-C) Ruslandi Petunjuk Teknis Pada Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA) Panduan ini diproduksi oleh The Nature Conservancy dengan

Lebih terperinci

(Reduced Impact Logging) di Kalimantan

(Reduced Impact Logging) di Kalimantan Pembalakan dengan Dampak Dikurangi (Reduced Impact Logging) di Kalimantan Timur: Sebuah Cara untuk Melestarikan Hutan dan Keuntungan Metode pembalakan dengan dampak dikurangi dapat mengurangi emisi CO

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.33/Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN MENYELURUH BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU DALAM HUTAN ALAM

Lebih terperinci

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION

KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 369/Kpts-IV/1985 TANGGAL : 7 Desember 1985 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. DAYA SAKTI TIMBER CORPORATION KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

Update - Laporan Assurance KPMG Rencana Aksi Final

Update - Laporan Assurance KPMG Rencana Aksi Final Update - Laporan Assurance KPMG Rencana Aksi Final Rencana Aksi Kepatuhan Jumlah Rencana Aksi 3 Ketidaksesuaian 7 Peluang untuk Perbaikan 7 Peluang untuk Perbaikan 14 Peluang untuk Perbaikan Status Selesai

Lebih terperinci

LAMPIRAN 3 NOTA KESEPAKATAN (MOU) UNTUK MERENCANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA. (Versi Ringkas)

LAMPIRAN 3 NOTA KESEPAKATAN (MOU) UNTUK MERENCANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA. (Versi Ringkas) LAMPIRAN 3 NOTA KESEPAKATAN (MOU) UNTUK MERENCANAKAN CSR DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI INDONESIA (Versi Ringkas) Pihak Pertama Nama: Perwakilan yang Berwenang: Rincian Kontak: Pihak Kedua

Lebih terperinci

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk

1 BAB I. PENDAHULUAN. tingginya tingkat deforestasi dan sistem pengelolan hutan masih perlu untuk 1 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan tropis merupakan sumber utama kayu dan gudang dari sejumlah besar keanekaragaman hayati dan karbon yang diakui secara global, meskupun demikian tingginya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu,

TINJAUAN PUSTAKA. bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat. Selain itu, TINJAUAN PUSTAKA Pemanenan Hasil Hutan Pemanenan hasil hutan didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon atau biomassa lain menjadi bentuk yang dapat bermanfaat bagi kehidupan

Lebih terperinci

-1- DOKUMEN STANDAR MANAJEMEN MUTU

-1- DOKUMEN STANDAR MANAJEMEN MUTU -1- LAMPIRAN VII PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 27/PRT/M/2016 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM DOKUMEN STANDAR MANAJEMEN MUTU 1. Lingkup Sistem Manajemen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju

BAB I PENDAHULUAN. pengolahan hasil hingga pemasaran hasil hutan. Pengelolaan menuju BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan tanaman di Jawa, khususnya oleh Perum Perhutani merupakan suatu rangkaian kegiatan yang mencakup beberapa kegiatan utama mulai dari penanaman, pemeliharaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990

LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 LAMPIRAN KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 744/Kpts-II/1990 TANGGAL : 13 Desember 1990 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. WAPOGA MUTIARA TIMBER KETENTUAN I : TUJUAN PENGUSAHAAN HUTAN

Lebih terperinci

Q # Pertanyaan Audit Bukti Audit 4 Konteks Organisasi 4.1 Memahami Organisasi dan Konteksnya

Q # Pertanyaan Audit Bukti Audit 4 Konteks Organisasi 4.1 Memahami Organisasi dan Konteksnya Q # Pertanyaan Audit Bukti Audit 4 Konteks Organisasi 4.1 Memahami Organisasi dan Konteksnya 4.1q1 Bagaimana organisasi menentukan masalah eksternal dan internal yang relevan dengan tujuan dan arah strategis?

Lebih terperinci

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Luas Areal Yang Terbuka 5.1.1. Luas areal yang terbuka akibat kegiatan penebangan Dari hasil pengukuran dengan menggunakan contoh pengamatan sebanyak 45 batang pohon pada

Lebih terperinci

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel.

Lampiran 1 KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 50 Tahun 2012) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel. Lampiran KUESIONER PENELITIAN (Berdasarkan PP 5 Tahun ) Nama : Alamat : Jabatan : Lama Bekerja : NO Isi pertanyaan Kel. Yang Pemenuhan Keterangan ditanya 3 Ya Tdk 4. PEMBANGUNAN DAN PEMELIHARAAN KOMITMEN..

Lebih terperinci

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI)

PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) LAMPIRAN 1. PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN NOMOR : P.9/VI-BPHA/2009 TANGGAL : 21 Agustus 2009 PEDOMAN PELAKSANAAN SISTEM SILVIKULTUR TEBANG PILIH TANAM INDONESIA (TPTI) 1 PEDOMAN PELAKSANAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perubahan Institusi Kehutanan Pada tahun 1999 terjadi reformasi institusi kehutanan yang diformalisasikan dalam perubahan undang-undang no 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai Studi Kelayakan Hutan Rakyat Dalam Skema Perdagangan Karbon dilaksanakan di Hutan Rakyat Kampung Calobak Desa Tamansari, Kecamatan

Lebih terperinci

Lihat https://acrobat.adobe.com/sea/en/how-to/pdf-to-word-doc-converter.html untuk informasi lebih lanjut. LAMPIRAN 3

Lihat https://acrobat.adobe.com/sea/en/how-to/pdf-to-word-doc-converter.html untuk informasi lebih lanjut. LAMPIRAN 3 Untuk mengedit teks ini: Buka file ini pada Adobe Acrobat Klik 'Export PDF tool' pada bagian kanan Pilih Microsoft Word' untuk formatnya kemudian pilih Word Document Klik Export. Simpan file dengan memberikan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 84 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

B. BIDANG PEMANFAATAN

B. BIDANG PEMANFAATAN 5 LAMPIRAN SURAT KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 145/Kpts-IV/88 Tanggal : 29 Februari 1988 KETENTUAN MENGENAI PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN PT. PURUK CAHU JAYA KETENTUAN I. KETENTUAN II. TUJUAN PENGUSAHAAN

Lebih terperinci

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu

Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Mencegah Kerugian Negara Di Sektor Kehutanan: Sebuah Kajian Tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Penatausahaan Kayu Kajian Sistem Pengelolaan PNBP Sektor Kehutanan, Tahun 2015 Direktorat Penelitian

Lebih terperinci

SYARAT DAN ATURAN AKREDITASI LABORATORIUM DAN LEMBAGA INSPEKSI

SYARAT DAN ATURAN AKREDITASI LABORATORIUM DAN LEMBAGA INSPEKSI KAN 01 SYARAT DAN ATURAN AKREDITASI LABORATORIUM DAN LEMBAGA INSPEKSI Terbitan Nomor: 4 Februari 2012 Komite Akreditasi Nasional National Accreditation Body of Indonesia Gedung Manggala Wanabakti, Blok

Lebih terperinci

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM

STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM STUDI PRODUKTIVITAS PENYARADAN KAYU DENGAN MENGGUNAKAN TRAKTOR KOMATSU D70 LE DI HUTAN ALAM Muhdi, *) Abstract The objective of this research was to know the productivity skidding by tractor of Komatsu

Lebih terperinci

DP INFORMASI KAN MENGENAI PROSEDUR AKREDITASI JANUARI 2004

DP INFORMASI KAN MENGENAI PROSEDUR AKREDITASI JANUARI 2004 DP.01.02 INFORMASI KAN MENGENAI PROSEDUR AKREDITASI JANUARI 2004 Komite Akreditasi Nasional National Accreditation Body of Indonesia Gedung Manggala Wanabakti, Blok IV, Lt. 4 Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah

BAB I PENDAHULUAN. menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang menutupi banyak lahan yang terletak pada 10 LU dan 10 LS dan memiliki curah hujan sekitar 2000-4000

Lebih terperinci

PEDOMAN KNAPPP 01:2005. Kata Pengantar

PEDOMAN KNAPPP 01:2005. Kata Pengantar Kata Pengantar Pertama-tama, kami mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT yang atas izinnya revisi Pedoman Komisi Nasional Akreditasi Pranata Penelitian dan Pengembangan (KNAPPP), yaitu Pedoman KNAPPP

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP.

EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. KARYA TULIS EVALUASI PENERAPAN PEMANENAN KAYU DENGAN TEKNIK REDUCED IMPACT LOGGING DALAM PENGELOLAAN HUTAN ALAM MUHDI, S.HUT., M.SI NIP. 132296512 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATRA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.5/Menhut-II/2012 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN TUGAS KEHUMASAN DI LINGKUNGAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA NOMOR : PER. 05/MEN/1996 TENTANG SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA MENTERI TENAGA KERJA Menimbang : a. bahwa terjadinya kecelakaan di tempat kerja sebagian

Lebih terperinci

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF

PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PENILAIAN NILAI KONSERVASI TINGGI RINGKASAN EKSEKUTIF PT Inhutani II adalah BUMN Holding Kehutahan di luar Jawa, dengan aktivitas bisnis utama meliputi pengusahaan hutan alam, pengusahaan hutan tanaman,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG PENUNJUKAN KAWASAN HUTAN LINDUNG DAN HUTAN PRODUKSI TERBATAS SELUAS ± 29.000 (DUA PULUH SEMBILAN RIBU) HEKTAR DI KELOMPOK HUTAN PESISIR, DI

Lebih terperinci

PERSYARATAN ISO 9001 REVISI 2008 HANYA DIGUNAKAN UNTUK PELATIHAN

PERSYARATAN ISO 9001 REVISI 2008 HANYA DIGUNAKAN UNTUK PELATIHAN PERSYARATAN ISO 9001 REVISI 2008 HANYA DIGUNAKAN UNTUK PELATIHAN 4. Sistem Manajemen Mutu (=SMM) 4.1 Persyaratan Umum Organisasi harus menetapkan, mendokumentasikan, menerapkan dan memelihara suatu SMM

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR NOMOR 50 TAHUN 2001 T E N T A N G IZIN PEMANFAATAN HUTAN (IPH) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TANJUNG JABUNG TIMUR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT.

Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH. Oleh : PT. Kenapa Perlu Menggunakan Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ) Teknik Silvikultur Intensif (Silin) pada IUPHHK HA /HPH Oleh : PT. Sari Bumi Kusuma PERKEMBANGAN HPH NASIONAL *) HPH aktif : 69 % 62% 55%

Lebih terperinci

Catatan Pengarahan FLEGT

Catatan Pengarahan FLEGT FLEGT PENEGAKAN HUKUM, TATA KELOLA DAN PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN Jaminan legalitas berbasis peserta pasar dan pemberian izin FLEGT Latar belakang Rencana Tindakan mengenai Penegakan Hukum, Tata Kelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah serta Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2017 TENTANG DUKUNGAN DATA, INFORMASI DAN AHLI DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERSYARATAN SERTIFIKASI F-LSSM

PERSYARATAN SERTIFIKASI F-LSSM PERSYARATAN SERTIFIKASI LEMBAGA SERTIFIKASI SISTIM MUTU () KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN R.I BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI BALAI RISET DAN STANDARDISASI INDUSTRI PALEMBANG JL. PERINDUSTRIAN II

Lebih terperinci

SYARAT DAN ATURAN TAMBAHAN AKREDITASI LEMBAGA VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

SYARAT DAN ATURAN TAMBAHAN AKREDITASI LEMBAGA VERIFIKASI LEGALITAS KAYU DPLS 14 Rev. 0 SYARAT DAN ATURAN TAMBAHAN AKREDITASI LEMBAGA VERIFIKASI LEGALITAS KAYU Komite Akreditasi Nasional National Accreditation Body of Indonesia Gedung Manggala Wanabakti, Blok IV, Lt. 4 Jl.

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA

RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN PT. TELAGABAKTI PERSADA RENCANA PENGELOLAAN PERIODE TAHUN 2010 2019 PT. TELAGABAKTI PERSADA I. MAKSUD & TUJUAN Maksud penyusunan rencana pengelolaan PT. Telagabakti Persada adalah untuk memanfaatkan hutan alam secara lestari

Lebih terperinci

PEDOMAN KNAPPP 02:2007 Persyaratan Umum Akreditasi Pranata Litbang

PEDOMAN KNAPPP 02:2007 Persyaratan Umum Akreditasi Pranata Litbang PEDOMAN 02:2007 Persyaratan Umum Akreditasi Pranata Litbang 1. Organisasi dan Lingkup Kegiatan 1.1. Organisasi 1.1.1 Pranata Litbang merupakan organisasi yang kegiatan intinya adalah penelitian dan pengembangan,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP-42/MENLH/11 /94 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN,

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP-42/MENLH/11 /94 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN, KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP-42/MENLH/11 /94 TENTANG PEDOMAN UMUM PELAKSANAAN AUDIT LINGKUNGAN, MENIMBANG : 1. bahwa setiap orang yang menjalankan suatu bidang

Lebih terperinci

Bab III PERENCANAAN PEMANENAN HASIL HUTAN

Bab III PERENCANAAN PEMANENAN HASIL HUTAN Bab III PERENCANAAN PEMANENAN HASIL HUTAN Sebelum kegiatan pemanenan kayu dapat dilaksanakan dihutan secara aktual, maka sebelumnya harus disusun perencanaan pemanenan kayu terlebih dahulu. Perencanaan

Lebih terperinci

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau

Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau Kabar dari Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama Hulu Sungai Malinau No. 6, September 2001 Bapak-bapak dan ibu-ibu yang baik, Salam sejahtera, jumpa lagi dengan Tim Pendamping Pengelolaan Hutan Bersama.

Lebih terperinci

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005

Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 Draft Legalitas: Versi Anyer 28 September 2005 DESKRIPSI PRINSIP/KRITERIA/ DETERMINAN MENURUT VERSI 1.0 PRINSIP 1. PENGUASAAN LAHAN DAN HAK PEMANFAATAN Status hukum dan hak penguasaan Unit Pengelolaan

Lebih terperinci

Ekologi Padang Alang-alang

Ekologi Padang Alang-alang Ekologi Padang Alang-alang Bab 2 Ekologi Padang Alang-alang Alang-alang adalah jenis rumput tahunan yang menyukai cahaya matahari, dengan bagian yang mudah terbakar di atas tanah dan akar rimpang (rhizome)

Lebih terperinci

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen

kepemilikan lahan. Status lahan tidak jelas yang ditunjukkan oleh tidak adanya dokumen Lampiran 1 Verifikasi Kelayakan Hutan Rakyat Kampung Calobak Berdasarkan Skema II PHBML-LEI Jalur C NO. INDIKATOR FAKTA LAPANGAN NILAI (Skala Intensitas) KELESTARIAN FUNGSI PRODUKSI 1. Kelestarian Sumberdaya

Lebih terperinci

Standard Operating Procedure

Standard Operating Procedure Halaman : 1 of 7 01. TUJUAN Sebagai pedoman dalam pelaksanaan FPIC/Padiatapa (Pesertujuan di Awal Tampa Paksaan) sebagai penghormatan hak-hak masyarakat atas tanah/hutan adatnya. 02. RUANG LINGKUP Prosedur

Lebih terperinci

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut

Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Menerapkan Filosofi 4C APRIL di Lahan Gambut Peta Jalan Lahan Gambut APRIL-IPEWG Versi 3.2, Juni 2017 Kelompok Ahli Gambut Independen (Independent Peatland Expert Working Group/IPEWG) dibentuk untuk membantu

Lebih terperinci

TEKNIK PENEBANGAN KAYU

TEKNIK PENEBANGAN KAYU TEKNIK PENEBANGAN KAYU Penebangan merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong kayu dari tunggaknya secara aman dan efisien (Suparto, 1979). Tujuan

Lebih terperinci

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja

2 Pemberantasan Korupsi Tahun 2013, perlu perbaikan dan pemisahan dalam Peraturan tersendiri menyangkut Inventarisasi Hutan Berkala dan Rencana Kerja No. 1327, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Hutan Berkala. Rencana Kerja. Izin. Hasil Hutan. Restorasi Ekosistem. Inventarisasi. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI

LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Laporan ini berisi Kata Pengantar dan Ringkasan Eksekutif. Terjemahan lengkap laporan dalam Bahasa Indonesia akan diterbitkan pada waktunya. LAPORAN PENELITIAN HUTAN BER-STOK KARBON TINGGI Pendefinisian

Lebih terperinci

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013

Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 Daftar Tanya Jawab Permintaan Pengajuan Konsep Proyek TFCA Kalimantan Siklus I 2013 1. Apakah TFCA Kalimantan? Tropical Forest Conservation Act (TFCA) merupakan program kerjasama antara Pemerintah Republik

Lebih terperinci

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU

PERENCANAAN PEMANENAN KAYU PERENCANAAN PEMANENAN KAYU A. PENGERTIAN DAN TUJUAN PERENCANAAN PEMANENAN KAYU Defenisi : Perencanaan pemanenan kayu diartikan sebagai perancangan keterlibatan hutan beserta isinya, manusia/organisasi,

Lebih terperinci

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang

PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management. Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang PROJECT MANAGEMENT BODY OF KNOWLEDGE (PMBOK) PMBOK dikembangkan oleh Project Management Institute (PMI) sebuah organisasi di Amerika yang mengkhususkan diri pada pengembangan manajemen proyek. PMBOK merupakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 95 TAHUN 2008 TENTANG URAIAN TUGAS SEKRETARIAT, BIDANG, SUB BAGIAN DAN SEKSI DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR MENIMBANG :

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU (VLK) PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD, HTHR) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.5/VI-BPPHH/2014 Tanggal : 14 Juli 2014 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Lebih terperinci

Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko

Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko Manajemen Risiko Kelelahan: Preskriptif versus Pendekatan Berbasis Risiko Solichul HA. BAKRI, et al Ergonomi untuk Keselamatan, Keselamatan Kerja dan Produktivitas ISBN: 979-98339-0-6 Mengelola Kelelahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 1993 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO

PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 22 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT KABUPATEN WONOSOBO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO Menimbang : 1. bahwa

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 66 /Menhut-II/2014 TENTANG INVENTARISASI HUTAN BERKALA DAN RENCANA KERJA PADA IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN KAYU RESTORASI EKOSISTEM DENGAN

Lebih terperinci

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD)

STANDAR VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA HUTAN NEGARA YANG DIKELOLA OLEH MASYARAKAT (HTR, HKm, HD) Lampiran 2.2. Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2011 Tanggal : 30 Desember 2011 Tentang : Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lebih terperinci

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL DI KABUPATEN SUMEDANG BAGIAN HUKUM SEKRETARIAT

Lebih terperinci

Layanan Pengoptimalan Cepat Dell Compellent Keterangan

Layanan Pengoptimalan Cepat Dell Compellent Keterangan Layanan Pengoptimalan Cepat Dell Compellent Keterangan Ikhtisar Layanan Keterangan Layanan ini ("Keterangan Layanan") ditujukan untuk Anda, yakni pelanggan ("Anda" atau "Pelanggan") dan pihak Dell yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.59/Menhut-II/2011 TENTANG HUTAN TANAMAN HASIL REHABILITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang Mengingat : a. bahwa penanaman modal merupakan

Lebih terperinci

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention)

Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) Naskah Terjemahan Lampiran Umum International Convention on Simplification and Harmonization of Customs Procedures (Revised Kyoto Convention) BAB 1 PRINSIP UMUM 1.1. Standar Definisi, Standar, dan Standar

Lebih terperinci