MODEL PENGUKURAN KINERJA BELANJA INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN/LEMBAGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PENGUKURAN KINERJA BELANJA INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN/LEMBAGA"

Transkripsi

1 MODEL PENGUKURAN KINERJA BELANJA INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN/LEMBAGA 1. Permasalahan Persoalan mendasar dalam APBN adalah bahwa adanya keterbatasan dana (budget constrains) pada satu sisi, sementara pada sisi lain pemerintah berkewajiban untuk menangani berbagai isu strategis, terutama yang terkait dengan pengangguran, kemiskinan, pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan, kesenjangan, serta konservasi lingkungan yang seolah-olah mutlak menjadi tanggungjawab pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah harus mampu menciptakan belanja negara yang berkualitas dengan berupaya secara konsisten mengarahkan sumber daya yang terbatas agar dapat digunakan secara terukur, efektif dan efisien untuk mencapai target yang ditetapkan. Untuk menjaga dan meningkatkan kualitas belanja negara tersebut Pemerintah harus mendorong terpenuhinya aspek efisiensi dan efektivitas dalam seluruh tahapan penyusunan APBN, yaitu mulai tahap perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, hingga tahap pelaporan. Sementara itu, untuk mewujudkan hal tersebut perlu didukung sebuah alat (tool) analisis yang mampu menghasilkan output yang objektif dan kredibel, serta dapat menjangkau seluruh tahapan penyusunan APBN. Selama ini tolok ukur untuk melihat kinerja belanja negara lebih didasarkan pada pendekatan tingkat penyerapan belanja. Semakin besar tingkat penyerapan, dianggap semakin optimal kinerja belanjanya dan sebaliknya, semakin rendah tingkat penyerapan semakin rendah pula kinerja belanja suatu K/L. Dasar pemikiran tersebut memang tidaklah salah, mengingat belanja negara merupakan instrumen fiskal yang diharapkan dapat menstimulus perekonomian, sehingga semakin besar penyerapannya seharusnya semakin besar pula daya dorongnya terhadap perekonomian, dan sebaliknya. Namun demikian, pengukuran efektivitas belanja yang hanya disandarkan pada tingkat penyerapan, menurut hemat kami kuranglah tepat. Beberapa kelemahan pengukuran kinerja belanja negara dengan pendekatan tingkat penyerapan antara lain : a) Hanya mampu mengevaluasi tahap pelaksanaan, dimana penyerapan hanya diukur dari jumlah dana yang berhasil terserap dari alokasi yang direncanakan selama pelaksanaan anggaran (tingkat kesesuaian terhadap alokasi yang direncanakan), sehingga hasilnya kurang optimal; b) Hanya mampu mengukur kinerja dari sisi penyerapan keuangan saja, namun belum memberi informasi pencapaian/realisasi secara fisik. Padahal indikator terwujudnya efektivitas belanja negara tidak hanya ditunjukkan oleh penyerapan keuangan yang optimal sesuai kebutuhan,tetapi juga menghasilkan output/outcome yang berkualitas sesuai target yang ditetapkan; c) Hasil pengukuran dengan pendekatan penyerapan belum mampu mewakili indikator efektivitas belanja secara komprehensif, sehingga perlu disempurnakan. 1

2 Untuk mewujudkan kualitas belanja infrastruktur yang lebih terukur dan terjaga efektivitasnya, maka perlu dikembangkan sebuah alat pengukuran kinerja infrastruktur yang reliable, sehingga menghasilkan output yang kredibel dan objektif. 2. Tujuan dan Manfaat Kajian Tujuan yang hendak dicapai dalam kajian tersebut adalah: 1. Membangun model pengukuran kinerja belanja K/L (infrastruktur) yang reliable dan komprehensif; 2. Menguji model untuk memastikan bahwa hasil pengukuran model relatif kredibel dan objektif, serta aplikatif; Sementara itu, kajian ini diharapkan mempunyai manfaat berupa: 1. pengukuran kinerja belanja K/L (infrastruktur) yang lebih komprehensif dan kredibel serta objektif, yaitu yang mampu menjangkau tahap perencanaan dan pelaksanaan, baik terkait keuangan, fisik maupun outcome; 2. Hasil pengukuran dapat memberikan informasi mengenai tingkat efektivitas belanja infrastruktur, baik secara agregat, per jenis infrastruktur, maupun pada masing-masing variabel. Hal ini memudahkan bagi perumus kebijakan untuk mengidentifikasi kelemahan maupun kelebihan sebuah proyek/kegiatan, sehingga dapat meningkatkan upaya penguatan belanja infrastruktur. 3. Hasil pengukuran belanja K/L(infrastruktur) juga dapat memberikan informasi berupa tingkat efisiensi belanja infrastruktur, yaitu penggunaan input yang optimal serta potensi efisiensi penggunaan input. 3. Metode Perhitungan Kajian tentang pengukuran kinerja belanja terhadap suatu institusi (K/L termasuk belanja infrastuktur) selama ini telah banyak dilakukan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Berdasarkan konsep pengukuran belanja, kualitas output/outcome merupakan cerminan kinerja belanja, sehingga apabila output/outcome yang dihasilkan berkualitas, maka hal ini menujukkan bahwa kinerja belanja optimal, dan sebaliknya, apabila output/outcome yang dihasilkan kurang berkualitas, maka hal tersebut merupakan indikasi bahwa kinerja belanja juga kurang optimal. Jenis data yang digunakan dalam kajian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh dari K/L terkait, Bappenas, SKPD, DJA dan DJPB. Sedangkan data primer diperoleh dengan cara pemberian Kuesioner kepada responden dan wawancara secara langsung kepada sumber informasi, baik instansi terkait maupun masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi dan pengguna infrastruktur yang bersangkutan. Data primer yang diperoleh dari Kuesioner tidak seluruhnya digunakan karena terdapat beberapa jawaban yang dipandang kurang logis dan terdapat indikasi bahwa responden memberi jawaban tidak sesuai kondisi yang sebenarnya. Untuk menguji apakah jawaban dalam Kuesioner logis atau tidak, maka juga dilakukan wawancara secara langsung dengan beberapa sumber yang mempunyai pemahaman yang memadai terkait infrastruktur. Hal tersebut dilakukan dalam rangka cross check kebenaran informasi dimaksud, dengan harapan akan diperoleh data yang relatif lebih valid dan akurat. 2

3 3.1 Indikator Berdasarkan beberapa teori yang dikemukakan oleh para pakar tersebut di atas, di antaranya Emerson dalam Handayaningrat (1996:16), bahwa Efektivitas adalah pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang telah ditentukan. Jadi, apabila tujuan tersebut telah dicapai, baru dapat dikatakan efektif. Sementara itu, Gibson, Donnely, dan Ivancevich memberikan batasan dalam kriteria efektivitas organisasi melalui pendekatan teori sistem (1997:31-32), antara lain: meliputi produksi, efisiensi, kepuasan, adaptasi, perkembangan dan kelangsungan hidup organisasi. Berdasarkan teori tersebut, maka indikator terpenuhinya aspek efektifitas belanja infrastruktur meliputi (i) Ketersediaan fisik (availability), (ii) Kualitas fisik (quality), (iii) Kesesuaian (appropriateness), (iv) Pemanfaatan (utility), dan (v) Penyerapan tenaga kerja (job creation). Adapun dasar pemikiran pemilihan beberapa variabel tersebut sebagai indikator terpenuhinya aspek efektivitas adalah sebagai berikut : 1) Ketersediaan fisik (availability) adalah bahwa dalam setiap aktivitas belanja negara yang diperuntukan bagi kegiatan fisik tentunya indikator dasarnya akan menghasilkan output yang berupa barang/bangunan secara fisik. Hal tersebut dapat diartikan bahwa ketersediaan secara fisik mutlak harus dipenuhi oleh aktivitas belanja fisik; 2) Kualitas fisik (quality) adalah kualitas output yang dihasilnya, yaitu bahwa aspek efektifitas akan lebih reliable apabila cakupannya lebih luas, yaitu tidak hanya keterpenuhan secara fisik tetapi juga didukung kualitas output yang baik dan optimal; 3) Kesesuaian (appropriateness) adalah kesesuaian antara kebijakan yang telah ditetapkan pemerintah dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilandasi dasar pemikiran bahwa kesesuaian antara kebijakan dengan kebutuhan akan memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat selaku penerima manfaat ; 4) Pemanfaatan (utility) adalah tingkat pemanfaatan atas output yang telah dihasilkan, yaitu semakin besar pemanfaatan atas output, maka semakin besar pula tingkat efektivitasnya; dan 5) Penyerapan tenaga kerja (job creation) adalah tingkat penyerapan tenaga kerja yang dihasilkan atas kegiatan pembangunan/peningkatan infrastruktur; 3.2 Penentuan Bobot Indikator Indikator kinerja belanja yang telah dijelaskan di atas merupakan alat yang digunakan untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas dari suatu belanja infrastruktur yang dilakukan oleh Pemerintah. Oleh karena itu, penilaian dengan menggunakan kelima indikator tersebut harus dilakukan secara komperehensif dan integral, sehingga pengukuran kinerja menjadi suatu kesatuan yang utuh. Karena kelima indikator tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda dalam pengukuran maupun penilaianya, maka setiap indikator harus mendapat perlakuan pengukuran yang berbeda pula. Agar kelima indikator tersebut tetap dapat dinilai secara integral, maka perlu dilakukan pembobotan setiap indikator kinerja tersebut sesuai dengan tujuan pengukuran kinerja belanja. Untuk melakukan pembobotan indikator kinerja, perlu dilakukan analisis mengenai signifikansi dari setiap indikator dalam menggambarkan kinerja belanja infrastruktur. Pembobotan yang dilakukan pada setiap indikator pada prinsipnya didasari pada kekuatan setiap indikator dalam menggambarkan efektifitas belanja infrastruktur. Dalam pembentukan model pengukuran 3

4 kinerja belanja infrastruktur, kelima indikator kinerja belanja dibobotkan dengan menggunakan metode analytical hierarchy process (AHP), dimana setiap indikator diberikan bobot kuantitatif secara presentase sesuai dengan hasil kuesioner AHP yang dibagikan pada respoden. Dengan menggunakan metode AHP, setiap indikator diberikan nilai porsi yang disesuaikan dengan tingkat kekuatannya dalam menggambarkan efektifitas belanja infrastruktur sesuai dengan persepsi dari respoden yang mengisi kuesioner. Nilai indikator = a (ketersediaan) + b (kualitas) + c (kesesuaian) + d (pemanfaatan + e (penyerapan tenaga kerja) di mana, a s/d e menggambarkan nilai bobot Total nilai bobot indikator = 1 atau sama dengan 100% a+ b + c + d + e = 100% Sesuai dengan prinsip dari metode AHP yang membutuhkan pendapat dari ahli (expert choice) maka pemilihan responden untuk melakukan pembobotan indikator didasarkan pada tiga kriteria berikut yaitu (1) tingkat kepentingan responden terhadap belanja infrastruktur, (2) tingkat keahlian/pengetahuan bidang infrastruktur, dan (3) tingkat keahlian responden di bidang keuangan. Dalam kasus pembobotan indikator pengukuran kinerja belanja infraruktur, maka responden yang dipilih berasal dari instansi Kementerian/Lembaga yang menjadi perencana dan pelaksana dalam pembangunan infrastruktur, yaitu Bappeneas, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan dan UKM, serta Kementerian Pertanian. Selain itu, responden juga diambil dari Kementerian Keuangan yang berkepentingan dalam hal penyediaan anggaran, pencairan dana, dan evaluasi efektifitas penggunaan dana. Selanjutnya, hasil kuesioner yang didapatkan dari responden tersebut diharapkan dapat menggambarkan tingkat signifikansi dari setiap indikator dalam menggambarkan efektifitas dari belanja infrastruktur, sehingga hasil penilaian yang dihasilkan dari pengukuran indikator-indikator tersebut dapat secara objektif dan akurat menilai kinerja belanja infrastruktur secara komperehensif.sesuai dengan tabulasi data dari 15 responden yang dihitung menggunakan metode AHP maka dihasilkan nilai bobot setiap indikator sebagai berikut: Bobot Pengukuran Indikator Kinerja Belanja Infrastruktur No Indikator Pengukuran Kinerja Nilai Bobot Keterangan 1 Ketersediaan 40% paling signifikan 2 Kualitas 20% cukup signifikan 3 Kesesuaian 20% cukup signifikan 4 Pemanfaatan 15% signifikan 5 Peyerapan Tenaga Kerja 5% sulit diukur secara pasti 3.3 Formula Model Alat Analisis Sesuai dengan konsep D. Conyers dan Hills (Performance Indocators,1984) pengukurannya dilakukan dengan cara menentukan indikator dan pembobotan yang pada akhirnya menghasilkan 4

5 indeks sebagai dasar penilaian untuk mengidentifikasi efektifitas kinerja belanja. Formula model pengukuran kinerja tersebut adalah sebagai berikut: Indeks pengukuran infrastruktur secara agregat = (Total Index type A + B + C+D+E)/n (Keterangan : A, B, C, D,E adalah jenis infrastruktur antara lain seperti jalan dan jembatan, bendungan, pasar, rusunawa dan jalan kereta api) Indeks pengukuran pada masing-masing jenis infrastruktur (parsial) misalnya jenis infrastruktur A = (IndexAV + IndexQ + IndexAP + IndexU + IndexJ) (Keterangan : AV = availability, Q = Quality, AP=Appropriateness, U=Utility, dan J=Job Creation Indeks pada masing-masing indikator: IndexAV = Score x Weight (40 %) IndexQ = Score x Weight (20 %) IndexAP = Score x Weight (20 %) IndexU = Score x Weight (15 %) IndexJ= Score x Weight (5 %) Berdasarkan formula tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam pengukuran kinerja belanja infrastruktur dilakukan dengan mengidentifikasi tingkat keterpenuhan output/outcome pada masing-masing jensi infrastruktur terhadap indikator efektifitas belanja. Indikator efektifitas belanja infrastruktur ditetapkan meliputi tingkat keterpenuhan fisik (availability), kualitas output (quality), tingkat kesesuaian (appropriateness), tingkat pemanfaatan (utility) dan kemampuan penyerapan tenaga kerja (job creation). Beberapa indikator tersebut merupakan variabel pembentuk terciptanya efektifitas belanja infrastruktur, sehingga semakin tinggi indeks tingkat keterpenuhan, maka semakin optimal kinerja belanja, dan sebaliknya, semakin rendah indeksnya, maka semakin buruk pula kinerja belanjanya. Indeks didasarkan pada hasil jawaban kuesioner yang menggunakan skala linkert 1 s.d 5, berupa indikasi kinerja dengan keterangan sebagai berikut : skala 1 (tidak optimal), 2 (kurang optimal), 3 (cukup optimal), 4 (optimal), dan 5 (sangat optimal). Penetapan indeks tersebut sangat dipengaruhi oleh ketersediaan data sekunder dari K/L terkait, serta data primer dari responden, dimana akurasi persepsi responden terhadap objek penelitian sangat menentukan pembentukan indeks. Untuk penentuan score (nilai) pada masingmasing indikator dijelaskan sebagai berikut: a) Ketersediaan (availability) Score 1 = <30%, 2=31<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% b) Kualitas (quality) Didasarkan pengamatan kondisi fisik infrastruktur yang dijadikan objek pengukuran; c) Kesesuaian (appropriateness) Didasarkan pada persepsi responden ; 5

6 d) Pemanfaatan (utility) Score 1 = <20%, 2=21<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% e) Penyerapan tenaga kerja (job creation) Score 1 = <20%, 2=21<x<55%, 3=56%,x<79%, 4=80%<x<94%, 5=>95% 4. Hasil Pengujian dan Pembahasan 4.1 Pengukuran kinerja belanja infrastruktur parsial Pengukuran kinerja infrastruktur dilakukan pada beberapa jenis infrastruktur yang dijadikan sampel khusus belanja stimulus fiskal untuk infrastruktur, antara lain pembangunan pasar di Kabupaten Bangkalan - Madura, Rusunawa di kota Malang - Jawa Timur, pembangunan rel kereta api di Madiun, pembangunan jalan dan jembatan di kota Semarang - Jawa Tengah, dan Jalan di Kerawang - Jawa Barat. Pengujian model pengukuran kinerja didasarkan data sekunder yang diperoleh dari Bappenas dan data primer hasil Kuesioner. Data Realisasi Stimulus Fiskal 2009 (Juta Rp) Keuangan Fisik Tenaga Kerja Jenis Pagu Real % Pagu Real % Rencana Real % Pasar, Bangkalan 1, % 100% 100% Jalan & Jembatan Semarang 20, , % 99.80% 99.80% 53,333 53, Jalan & Jembatan Kerawang 46, , % 100% 100% 5,150 4, Rusunawa, Malang 6, , % 57% 57% Rel Kereta Api, Mediun 107, , % 100% 100% 660 1, Pengukuran Kinerja Infrastruktur Jalan & Jembatan di Semarang Ketersediaan , , , , ,25 33,25 Kualitas , , , , ,75 23,75 Kesesuaian , , , , ,00 16,00 Pemanfaatan , , , , ,75 12,75 Penyerapan TK , , , , ,25 3,50 Indeks 4,46 Pengukuran Kinerja Infrastruktur Pasar di Bangkalan, Madura Ketersediaan , , , , ,00 35,00 Kualitas , , , , ,00 17,50 Kesesuaian , , , , ,00 18,00 Pemanfaatan , , , , ,00 4,20 Penyerapan TK , , , , ,00 3,00 Indeks 3,89 Pengukuran Kinerja Infrastruktur Rusunawa di Malang Ketersediaan , , , , ,00 15,75 Kualitas , , , , ,00 7,50 Kesesuaian , , , , ,00 14,40 Pemanfaatan , , , , ,00 4,20 Penyerapan TK , , , , ,00 3,40 Indeks 2,26 6

7 Pengukuran Kinerja Infrastruktur Rel KA di Madiun Ketersediaan , , , , ,75 29,75 Kualitas , , , , ,00 18,25 Kesesuaian , , , , ,00 14,20 Pemanfaatan , , , , ,75 13,35 Penyerapan TK , , , , ,00 4,00 Indeks 3,98 Pengukuran Kinerja Infrastruktur Jalan & Jembatan di Karawang, Jawa Barat Ketersediaan , , , , ,75 32,55 Kualitas , , , , ,00 20,25 Kesesuaian , , , , ,00 15,40 Pemanfaatan , , , , ,75 12,75 Penyerapan TK , , , , ,25 3,50 Indeks 4,22 Berdasarkan hasil pengukuran pada beberapa jenis infrastruktur dapat dijelaskan bahwa indeks kinerja belanja infrastruktur untuk peningkatan jalan dan jembatan di Semarang adalah sebesar 4,5, sedangkan pembangunan jalan di Kerawang - Jawa Barat sebesar 4,2, pembangunan pasar di Bangkalan - Madura sebesar 3,9, pembangunan Rusunawa di Malang sebesar 2,3, serta pembangunan rel kereta api di Madiun - Jawa Timur sebesar 3,98. Interpretasi atas hasil pengukuran terhadap kinerja belanja infrastruktur pada masing-masing jenis infrastruktur tersebut menunjukan bahwa kinerja belanja infrastruktur untuk pembangunan atau peningkatan jalan dan jembatan, baik di Kerawang maupun di Semarang mencapai indeks di atas 4,0. Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja belanja infrastruktur pada dua wilayah tersebut sudah mencapai tahap optimal. Sementara pengukuran kinerja belanja infrastruktur untuk pembangunan rel kereta api di Madiun dan pasar di Bangkalan Madura, masing-masing sebesar 3,98 dan 3,9 (2,9 < X < 4). Hal tersebut menunjukkan bahwa kinerja belanja infrastruktur pada dua kota tersebut masih pada level cukup optimal. Adapun pembangunan Rusunawa di Malang menunjukkan kinerja yang kurang optimal, dimana indeksnya hanya mencapai 2, Pengukuran kinerja belanja infrastruktur didasarkan Penyerapan Keuangan dan Fisik Untuk melihat konsistensi dan menguji tingkat akurasi pengukuran kinerja belanja infrastruktur tersebut didasarkan dengan Model pengukuran. Oleh karena itu, dalam pengukuran atas obyek yang sama perlu dibandingkan dengan metode pengukuran lainnya, yaitu dengan pendekatan Perfomance Based Budgeting (PBB). Metode ini lazim digunakan untuk pengukuran kinerja belanja yang didasarkan penyerapan secara keuangan dan fisik. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan pendekatan penyerapan keuangan dan fisik terhadap ke 5 (lima) jenis infrastruktur yang menjadi sampel, telah menunjukkan tingkat konsistensi yang relatif terjaga. Hal ini berarti bahwa hasil pengukuran dengan menggunakan model, menunjukan level yang relatif sama. Hal tersebut menggambarkan bahwa akurasi model relatif reliable, bahkan pengukuran dengan model juga dapat mengidentifikasi variabel-variabel yang lemah dalam pembentukan tingkat efektifitas pada masing-masing jenis infrastruktur. 7

8 Keu Hasil Pengukuran Kinerja Belanja berdasarkan Penyerapan Rusunawa Jalan Smg Jalan Krg Rel KA pasar fisik 5. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari hasil kajian yang kami lakukan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Model pengukuran infrastruktur ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengevaluasi kinerja belanja infrastruktur, baik pada tahap perencanaan maupun tahap pelaksanaan; 2. Model pengukuran infrastruktur tersebut cakupannya lebih komprehensif, karena mampu menjangkau kinerja keuangan, pencapaian target fisik, dan mengakomodasi pencapaian outcome dengan melihat presepsi masyarakat selaku penerima manfaat atas pembangunan infrastruktur; 3. Model tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi belum optimalnya kinerja belanja infrastruktur; 4. Hasil pengukuran masih bersifat kasusistik, mengingat objek penelitian masih bersifat random sampling belum mewakili karakteristik seluruh populasi, namun demikian hasil pengukuran relatif objektif dan kredibel; Sementara itu dari hasil pengujian model pengukuran kinerja belanja infrastruktur, kami merekomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Dalam pengukuran tingkat efektivitas kinerja belanja infrastruktur, beberapa variabel yang dapat dijadikan indikator adalah (i) ketersediaan fisik (availability), (ii) kualitas (quality), (iii) kesesuaian (appropriateness), (iv) pemanfaatan (utility), (v) penyerapan tenaga kerja (job creation); 2. Model pengukuran diatas dapat dijadikan sebagai alat analisis alternatif/pengganti, terutama pengukuran kinerja yang hanya menggunakan pendekatan penyerapan anggaran semata. Kemampuan model tersebut relatif lebih komprehensif, karena selain dapat digunakan untuk mengevaluasi tahap pelaksanaannya, juga mampu menjangkau tahap perencanaan, sehingga lebih relevan dengan penerapan Performance Based Budgeting (PBB). 8

Menjaga Kualitas Belanja Melalui Pengendalian Pelaksanaan Anggaran

Menjaga Kualitas Belanja Melalui Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Menjaga Kualitas Belanja Melalui Pengendalian Pelaksanaan Anggaran disampaikan oleh: Marwanto Harjowiryono Direktur Jenderal Perbendaharaan Budget Day Jakarta, 22 November 2017 Anggaran yang dikelola dengan

Lebih terperinci

SEKILAS TENTANG ANALISIS KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK/NEGARA

SEKILAS TENTANG ANALISIS KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK/NEGARA SEKILAS TENTANG ANALISIS KEBIJAKAN BELANJA PUBLIK/NEGARA 1. Arti penting dan peran analisis kebijakan belanja publik. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menurut Dubnick (2005), akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan perilaku administrasi dengan

Lebih terperinci

BAGIAN III : PENGUATAN MONITORING KINERJA PENGANGGARAN

BAGIAN III : PENGUATAN MONITORING KINERJA PENGANGGARAN BAGIAN III : PENGUATAN MONITORING KINERJA PENGANGGARAN PENGUKURAN DAN EVALUASI KINERJA ATAS PELAKSANAAN RKA-K/L TATA CARA PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN PENGENAAN SANKSI ATAS PELAKSANAAN ANGGARAN BELANJA K/L

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. dari rahasia perusahaan yang tertutup untuk publik, namun sebaliknya pada sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penganggaran di sektor pemerintahan merupakan suatu proses yang cukup rumit. Karakteristik penganggaran di sektor pemerintahan sangat berbeda dengan penganggaran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen

BAB 1 PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang digunakan oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya dalam mengatur

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan cara survei untuk

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan cara survei untuk III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif, yaitu dengan cara survei untuk menghasilkan kajian deskriptif analitis yang berupa analisis tingkat kepuasan masyarakat

Lebih terperinci

SINERGI PENGELOLAAN APBN YANG LEBIH BERKUALITAS DISAMPAIKAN OLEH DIRJEN ANGGARAN BUDGET DAY 22 NOVEMBER 2017

SINERGI PENGELOLAAN APBN YANG LEBIH BERKUALITAS DISAMPAIKAN OLEH DIRJEN ANGGARAN BUDGET DAY 22 NOVEMBER 2017 SINERGI PENGELOLAAN APBN DISAMPAIKAN OLEH DIRJEN ANGGARAN BUDGET DAY 22 NOVEMBER 2017 YANG LEBIH BERKUALITAS 1 OUTLINE 01 PENGANTAR SINERGI PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PUSAT DAN DAERAH 02 03 DUKUNGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

BAB. I PENDAHULUAN. perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian yang dapat dijelaskan sebagai berikut : BAB. I PENDAHULUAN Penelitian ini akan menjelaskan implementasi penganggaran berbasis kinerja pada organisasi sektor publik melalui latar belakang dan berusaha mempelajarinya melalui perumusan masalah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. No. 25/2004 yang telah mensyaratkan adanya konsistensi perencanaan anggaran

BAB I PENDAHULUAN. No. 25/2004 yang telah mensyaratkan adanya konsistensi perencanaan anggaran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi manajemen keuangan publik agar lebih tepat guna mengharuskan Indonesia untuk menggunakan sistem penganggaran baru. Sistem tersebut berorientasi pada ketepatan

Lebih terperinci

K A T A P E N G A N T A R i

K A T A P E N G A N T A R i K A T A P E N G A N T A R i KA PENGANR Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Reformasi

Lebih terperinci

Kebijakan Pengalokasian, Penyaluran dan Pelaporan Dana Keistimewaan DIY

Kebijakan Pengalokasian, Penyaluran dan Pelaporan Dana Keistimewaan DIY KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Kebijakan Pengalokasian, Penyaluran dan Pelaporan Dana Keistimewaan DIY Disampaikan Oleh : Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan DJPK Kementerian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1. Metode Penelitian Metodologi penelitian merupakan gambaran proses atau tahapan-tahapan penelitian yang harus ditetapkan terlebih dahulu sehingga menjadi suatu kerangka

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010

KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010 KEBIJAKAN DAK BIDANG KESEHATAN 2010 Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bogor, 13 Oktober 2009 Dasar Hukum UU No.17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong terciptanya. rangka bentuk tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong terciptanya. rangka bentuk tanggungjawab pemerintah kepada masyarakat. 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia mendorong terciptanya pengelolaan keuangan yang lebih transparan dan akuntabel. Sistem ini diharapkan dapat mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada

BAB I PENDAHULUAN. penerimaan dan pengeluaran yang terjadi dimasa lalu (Bastian, 2010). Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran dapat diinterpretasi sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam satu atau beberapa periode mendatang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis multidimensional yang terjadi di Indonesia pada era akhir pemerintahan orde baru, telah mendorong tuntutan demokratisasi di berbagai bidang. Terutama

Lebih terperinci

2017, No Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor

2017, No Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor No.1963, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. RKA-K/L. Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 214/PMK.02/2017 TENTANG PENGUKURAN

Lebih terperinci

PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN

PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2017 KATA PENGANTAR Pada tahun 2017, pelaksanaan Program Peningkatan Diversifikasi

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-15.3-/215 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.938, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Evaluasi Kinerja. RKA-K/L. Pengukuran. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 249/PMK.02/2011 TENTANG PENGUKURAN DAN EVALUASI

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ilmiah memerlukan suatu kerangka penelitian sebelum pelaksanaannya. Kerangka penelitian tersebut harus disusun secara sistematis dan terarah, berdasarkan permasalahan

Lebih terperinci

L A P O R A N K I N E R J A

L A P O R A N K I N E R J A L A P O R A N K I N E R J A 2 0 1 4 A s i s t e n D e p u t i B i d a n g P e m b e r d a y a a n M a s y a r a k a t Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kabinet Republik Indonesia 2014 K a

Lebih terperinci

BAB VI ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DESA

BAB VI ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DESA BAB VI ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DESA Berdasar permendagri nomor tahun 20, keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan desa yang dapat dinilai dengan uang, termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah

BAB I PENDAHULUAN. birokrasi dalam berbagai sektor demi tercapainya good government. Salah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam satu dekade terakhir ini, bangsa Indonesia sedang berupaya memperbaiki kinerja pemerintahannya melalui berbagai agenda reformasi birokrasi dalam berbagai sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penerapan anggaran berbasis kinerja pemerintah daerah mulai dilaksanakan di Indonesia sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud

BAB I PENDAHULUAN. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undangundang dan dilaksanakan secara terbuka

Lebih terperinci

3.1. Kerangka Pemikiran

3.1. Kerangka Pemikiran 52 III. METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Pembangunan Kabupaten Lampung Barat sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumberdaya

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016

PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 PEMERINTAH KOTA SOLOK LAPORAN KINERJA TAHUN 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH (BAPPEDA) KOTA SOLOK 2017 KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah (Pemda). Dalam APBD

BAB I PENDAHULUAN. kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah (Pemda). Dalam APBD BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah (Pemda). Dalam APBD termuat prioritas-prioritas

Lebih terperinci

Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Terbitnya Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian

BAB I PENDAHULUAN. Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun anggaran 2013, kewenangan atas pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) beralih dari Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPB) kepada Direktorat

Lebih terperinci

PMK Nomor 214 Tahun 2017 RKA-K/L. Sosialisasi: tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan DIREKTORAT SISTEM PENGANGGARAN

PMK Nomor 214 Tahun 2017 RKA-K/L. Sosialisasi: tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan DIREKTORAT SISTEM PENGANGGARAN Sosialisasi: PMK Nomor 214 Tahun 2017 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan RKA-K/L DIREKTORAT SISTEM PENGANGGARAN Jakarta, Maret 2018 Outline 1. Urgensi Evaluasi Kinerja Anggaran

Lebih terperinci

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. oaching

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. oaching Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi 1 oaching SASARAN REFORMASI BIROKRASI 2 Pemerintah belum bersih, kurang akuntabel dan berkinerja rendah Pemerintah belum efektif dan efisien

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001, pemerintah daerah telah melaksanakan secara serentak otonomi daerah dengan berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 22 & 25 tahun 1999, kemudian diubah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisasi baik itu organisasi swasta maupun organisasi milik pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. organisasi baik itu organisasi swasta maupun organisasi milik pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran merupakan suatu hal yang paling penting bagi kelangsungan suatu organisasi baik itu organisasi swasta maupun organisasi milik pemerintah (lembaga pemerintahan

Lebih terperinci

VII. SIMPULAN DAN SARAN

VII. SIMPULAN DAN SARAN VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa : 1. Komposisi terbesar belanja Pemerintah Indonesia adalah untuk belanja rutin dan pelayanan

Lebih terperinci

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA

RINGKASAN PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA PENERAPAN PENGANGGARAN PARTISIPATIF DI TINGKAT DESA Pengalihan kewenangan pemerintah pusat ke daerah yang membawa konsekuensi derasnya alokasi anggaran transfer ke daerah kepada pemerintah daerah sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakekat dari otonomi daerah adalah adanya kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan pemerintahan daerah, termasuk didalamnya pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH PROVINSI PAPUA PERIODE Ary Anjani Denis 1 Mesak Iek 2

ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH PROVINSI PAPUA PERIODE Ary Anjani Denis 1 Mesak Iek 2 ANALISIS KINERJA KEUANGAN DAERAH PROVINSI PAPUA PERIODE 2008-2013 Ary Anjani Denis 1 anjanidenis@yahoo.com Mesak Iek 2 imesaki@yahoo.com Robert M. W. S. T. Marbun 3 robertmarbun@gmail.com Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (2009, p2) yang dibuat

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (2009, p2) yang dibuat BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Alur /Kerangka Desain Penelitian Dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D (2009, p2) yang dibuat oleh Sugiyono, dikutip bahwa: Metodologi penelitian

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-015.12-0/2015 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Otonomi daerah sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk melakukan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman. No.418, 2009 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA DEPARTEMEN KEUANGAN. Penanggulangan Kemiskinan. Pendanaan. Pusat. Daerah. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 168 /PMK.07/2009 TENTANG

Lebih terperinci

MEWUJUDKAN BIROKRASI AKUNTABEL, EFEKTIF DAN EFISIEN

MEWUJUDKAN BIROKRASI AKUNTABEL, EFEKTIF DAN EFISIEN MEWUJUDKAN BIROKRASI AKUNTABEL, EFEKTIF DAN EFISIEN 1 3 S A S A R A N R E F O R M A S I B I R O K R A S I Pemerintah yang bersih, akuntabel, dan berkinerja tinggi Pemerintah yang efektif dan efisien Pemerintahan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENYUSUNAN, PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2015 NOMOR : SP DIPA /2015 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-15.6-/215 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara.

Lebih terperinci

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2015 TENTANG PERJANJIAN KINERJA DAN INDIKATOR KINERJA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Aturan-aturan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Anggaran merupakan salah satu bagian dari proses pengendalian manajemen yang berisi rencana tahunan yang dinyatakan secara kuantitatif, diukur dalam satuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Landasan Teori 2.1.1 Performance Based Budgeting (PBB) Pertama kali, penganggaran di pemerintahan Indonesia menggunakan metode pendekatan Line Item Budgeting atau yang sering

Lebih terperinci

Disampaikan oleh : Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Disampaikan oleh : Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Disampaikan oleh : Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Badan Perencanaan Pembangunan dan Penelitian Pengembangan Daerah Latar Belakang: KONDISI:

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENGENDALIAN DAN EVALUASI PELAKSANAAN RENCANA PEMBANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PMK No. 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara /Lembaga

PMK No. 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara /Lembaga PMK No. 249 Tahun 2011 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara /Lembaga 1 OUTLINE I. Tata Cara Monev Kinerja Penganggaran. II. Panduan Pengoperasian

Lebih terperinci

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG)

BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 34 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN RESPONSIF GENDER (PPRG) BUPATI MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka mengintegrasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam berbagai organisasi, lembaga, instansi atau perusahaan, memerlukan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Dalam berbagai organisasi, lembaga, instansi atau perusahaan, memerlukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam berbagai organisasi, lembaga, instansi atau perusahaan, memerlukan aktivitas operasional yang optimal serta efektif dan efisien sesuai dengan rencana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK TAHUN ANGGARAN 2016 NOMOR : SP DIPA /2016 SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (SP-DIPA) INDUK NOMOR SP DIPA-015.07-0/2016 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan

Lebih terperinci

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa

Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Prioritas Pengembangan Jaringan Jalan Pendukung Kawasan Strategis Di Pulau Sumbawa Rizal Afriansyah Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Email : rizaldi_87@yahoo.co.id Abstrak - Transportasi mempunyai

Lebih terperinci

BAB V PERTANGGUNGJAWABAN LURAH

BAB V PERTANGGUNGJAWABAN LURAH BAB V PERTANGGUNGJAWABAN LURAH Deskripsi Singkat Topik : Pokok Bahasan Waktu : Bentuk Laporan Pertanggungjawaban Kepala Desa : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan (selama 100 menit) Tujuan : Praja dapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.... i LEMBAR PERSETUJUAN.... ii LEMBAR PENGESAHAN.... iii LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS TUGAS AKHIR.... iv ABSTRAK..... v RIWAYAT HIDUP... vi KATA PENGANTAR... vii DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan pengalaman yang lalu hanya beberapa hari saja TPA Leuwigajah ditutup, sampah di Bandung Raya sudah menumpuk. Oleh karena itu sebagai solusinya Pemerintah

Lebih terperinci

BAB III METODE KAJIAN

BAB III METODE KAJIAN 47 BAB III METODE KAJIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Meningkatnya aktivitas perkotaan seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi masyarakat yang kemudian diikuti dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk akan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian Anggaran Negara dan Keuangan Negara. Menurut Revrisond Baswir (2000:34), Anggaran Negara adalah

BAB II LANDASAN TEORITIS. 1. Pengertian Anggaran Negara dan Keuangan Negara. Menurut Revrisond Baswir (2000:34), Anggaran Negara adalah BAB II LANDASAN TEORITIS A. Teori-teori 1. Pengertian Anggaran Negara dan Keuangan Negara Menurut Revrisond Baswir (2000:34), Anggaran Negara adalah gambaran dari kebijaksanaan pemerintah yang dinyatakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat

III. METODE PENELITIAN. informasi dari kalangan aparat pemerintah dan orang yang berhubungan erat III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data-data yang digunakan untuk penelitian ini merupakan gabungan antara data primer dan data sekunder. Data primer mencakup hasil penggalian pendapat atau

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Diagram Alir Penelitian Metode penelitian menunjukan bagaimana penelitian dilakukan dari identifikasi masalah sampai dengan analisis dan kesimpulan. Tahapan metode dari penelitian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Anggaran merupakan suatu instrumen didalam manajemen karena

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS. Anggaran merupakan suatu instrumen didalam manajemen karena BAB 2 TINJAUAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Teoritis Anggaran merupakan suatu instrumen didalam manajemen karena merupakan bagian dari fungsi manajemen. Di dunia bisnis maupun di organisasi sektor publik, termasuk

Lebih terperinci

L A P O R A N K I N E R J A

L A P O R A N K I N E R J A L A P O R A N K I N E R J A 2 014 Asisten Deputi Bidang Pendidikan, Agama, Kesehatan, dan Kependudukan Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Kabinet Republik Indonesia 2014 Kata Pengantar Dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS 2.1Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini berkaitan dengan tata kelola pemerintahan dalam penganggaran sektor publik, yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Semarapura, 30 Maret 2016 Kepala Bappeda Kabupaten Klungkung, I Wayan Wasta, SE, M.Si Pembina Tk. I (IV/b) NIP

KATA PENGANTAR. Semarapura, 30 Maret 2016 Kepala Bappeda Kabupaten Klungkung, I Wayan Wasta, SE, M.Si Pembina Tk. I (IV/b) NIP KATA PENGANTAR Sesantih Angayubagya kami haturkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan yang Maha Esa, Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Bappeda Kabupaten Klungkung dapat diselesaikan.

Lebih terperinci

Langgeng Suwito. Pemaparan Materi:PMK 214 tahun 2017 tentang Pengukuran

Langgeng Suwito. Pemaparan Materi:PMK 214 tahun 2017 tentang Pengukuran Pemaparan Materi:PMK 214 tahun 2017 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan RKA-K/L Langgeng Suwito Kepala Subdirektorat Evaluasi Kinerja Penganggaran Direktorat Sistem Penganggaran

Lebih terperinci

TATA CARA PENYUSUNAN INISIATIF BARU

TATA CARA PENYUSUNAN INISIATIF BARU KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL TATA CARA PENYUSUNAN INISIATIF BARU Disampaikan Dalam Acara Kick Off Meeting Penyusunan RKP 2012 DEPUTI BIDANG PENDANAAN

Lebih terperinci

PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN

PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN PANDUAN PENGUKURAN REALISASI FISIK OUTPUT KEGIATAN BADAN KETAHANAN PANGAN Kementerian Pertanian 2016 KATA PENGANTAR Pada tahun 2016, pelaksanaan Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu aspek penting dalam reformasi birokrasi adalah penataan manajemen pemerintah pusat dan daerah (propinsi, kabupaten, kota). Hal tersebut dinilai penting

Lebih terperinci

1. Tujuan dan Landasan Konseptual PBK; 2. Kerangka PBK; 3. Syarat Penerapan PBK; 4. Tahapan Kegiatan Penerapan PBK; 5. Mekanisme Penganggaran.

1. Tujuan dan Landasan Konseptual PBK; 2. Kerangka PBK; 3. Syarat Penerapan PBK; 4. Tahapan Kegiatan Penerapan PBK; 5. Mekanisme Penganggaran. 1. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK); 2. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM); 3 Format Baru RKA-KL. 3. RKA KL di Indonesia (Menuju pengelolaan APBN yang transparan dan kredibel) Direktorat Jenderal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Semangat reformasi telah mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk melakukan perubahan secara holistik terhadap pelaksaaan pemerintahan orde baru. Keinginan untuk

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang tujuannya untuk menyajikan

Lebih terperinci

MONITORING DAN EVALUASI

MONITORING DAN EVALUASI MILIK NEGARA TIDAK DIPERDAGANGKAN NSPK Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria PETUNJUK TEKNIS MONITORING DAN EVALUASI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ANAK USIA DINI,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 90 TAHUN 2010010 TENTANG PENYUSUNAN RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTERIAN NEGARA/LEMBAGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN KAJIAN PENDANAAN BIDANG KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL

LAPORAN PENDAHULUAN KAJIAN PENDANAAN BIDANG KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL KAJIAN PENDANAAN BIDANG KERJASAMA PEMBANGUNAN INTERNASIONAL Direktorat Politik Luar Negeri dan Kerjasama Pembangunan Internasional Kementerian Perencanaan Pembangunan nasional/bappenas Juli 2016 DAFTAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam satuan moneter yang mengestimasikan mengenai apa yang

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam satuan moneter yang mengestimasikan mengenai apa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses perencanaan pada organisasi sektor publik terbagi menjadi beberapa tahapan, salah satunya penganggaran. Penganggaran merupakan proses untuk menyiapakan anggaran,

Lebih terperinci

BAB V STRATEGI MONEV

BAB V STRATEGI MONEV V STRTEGI MONEV Monitoring dan Evaluasi merupakan komponen perencanaan yang sangat penting, sebagai alat (tools) yang mengontrol kinerja perencanaan yang dilakukan di suatu wilayah terntentu. Suatu program

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di tempat wisata yang ada di Bogor, diantaranya yaitu kebun raya Bogor, taman wisata mekarsari, taman matahari, dan taman safari

Lebih terperinci

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK

SURAT PENGESAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN INDUK SURAT PENGESAHAN NOMOR SP DIPA-15.6-/AG/214 DS 12-392-713-178 A. DASAR HUKUM 1. 2. 3. UU No. 17 Tahun 23 tentang Keuangan Negara. UU No. 1 Tahun 24 tentang Perbendaharaan Negara. UU No. 23 Tahun 213 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 103 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penelitian Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui sejauhmana fungsi-fungsi standar biaya khusus dalam penganggaran di BPOM. Dengan mengetahui faktorfaktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. disahkan untuk periode satu tahun merupakan bentuk investasi pemerintah dalam

BAB I PENDAHULUAN. disahkan untuk periode satu tahun merupakan bentuk investasi pemerintah dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun dan disahkan untuk periode satu tahun merupakan bentuk investasi pemerintah dalam pembangunan perekonomian

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN BAB IV METODOLOGI PENGAMBILAN KEPUTUSAN 4.1. Objek Pengambilan Keputusan Dalam bidang manajemen operasi, fleksibilitas manufaktur telah ditetapkan sebagai sebuah prioritas daya saing utama dalam sistem

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Kajian Kajian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, dengan batasan waktu data dari tahun 2000 sampai dengan 2009. Pertimbangan pemilihan lokasi kajian antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era reformasi, pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada era reformasi, pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada era reformasi, pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja menjadi perhatian utama bagi para pengambil keputusan di pemerintahan. Perubahan perubahan penting dan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI B A B BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berbagai upaya ditempuh untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran, kemiskinan dan kesenjangan antarwilayah Dalam konteks pembanguan saat ini,

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 96, 2006 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4663) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi sistem penganggaran telah berjalan sejak disahkan paket. undang-undang keuangan negara yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17

BAB 1 PENDAHULUAN. Reformasi sistem penganggaran telah berjalan sejak disahkan paket. undang-undang keuangan negara yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi sistem penganggaran telah berjalan sejak disahkan paket undang-undang keuangan negara yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun

Lebih terperinci

LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011

LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 LAPORAN MENTERI KEUANGAN ACARA PENYERAHAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN ANGGARAN 2011 Jakarta, 28 Desember 2010 1 Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam sejahtera untuk kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perencanaan dan penganggaran Pemerintah Daerah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan perencanaan dan penganggaran Pemerintah Daerah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan perencanaan dan penganggaran Pemerintah Daerah diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Lebih terperinci

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan

2017, No d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No.21, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENKEU. Bendahara Umum Negara. Kinerja. Monitoring. Evaluasi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 245/PMK.02/2016 TENTANG MONITORING KINERJA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Sesuai dengan permasalahan dan uraian pada latar belakang, penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif asosiatif. Pendekatan

Lebih terperinci

2 pengukuran kinerja masing-masing unit kerja. Model pengukuran kinerja yang digunakan di UNS saat ini masih bersifat manual yang cenderung mengedepan

2 pengukuran kinerja masing-masing unit kerja. Model pengukuran kinerja yang digunakan di UNS saat ini masih bersifat manual yang cenderung mengedepan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Universitas Sebelas Maret (UNS) sebagai salah satu Perguruan Tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan tinggi sebagaimana dirumuskan

Lebih terperinci