KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Drs. H. Masrum M Noor, MH. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA. Oleh: Drs. H. Masrum M Noor, MH. (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten)"

Transkripsi

1 KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA Oleh: Drs. H. Masrum M Noor, MH (Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten) A. PERMASALAHAN Konsinyasi adalah salah satu kompetensi Pengadilan Agama, namun oleh karena dalam praktik di Pengadilan Agama perkara tersebut jarang terjadi, bahkan di sebagian banyak Pengadilan Agama konsinyasi tersebut tidak pernah terjadi, sehingga sebagian besar aparat Peradilan Agama belum mengenal apa itu konsinyasi, bahkan cenderung mengabaikannya, meskipun konsinyasi merupakan salah satu tugas pokok Pengadilan Agama karena berhubungan langsung dengan pelayanan hukum bagi masyarakat pencari keadilan. Penulis berkeyakinan dengan pembahasan singkat ini akan menambah wawasan aparat peradilan agama tentang konsinyasi, sehingga dalam pelaksanaannya, dapat dilakukan dengan tepat, benar, efektif dan efisien. Selama ini kita mengenal konsinyasi/consignasi terbatas sebagai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1404 KUH Perdata: jika si berpiutang menolak pembayaran, maka si berutang dapat melakukan pembayaran tunai apa yang diutangnya, dan jika si berpiutang menolaknya, menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran yang demikian, diikiti dengan penitipan, membebaskan si berutang, dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu telah dilakukandengan cara menurut Undang-Undang; sedangkan apa yang dititpkan secara itu tetap atas tanggungan si berpiutang. Aparat Pengadilan Agama yang selama ini memahami konsinyasi hanya sekedar sebagai titipan dari salah satu pihak yang berperkara kepada Pengadilan Agama, baik titipan itu berupa uang ataupun barang, titipan mana dimaksudkan untuk diserahkan kepada pihak lawan yang bersengketa dan berhak menerimanya. Pengadilan Agama menerima uang atau barang titipan itu dengan membuat berita acara penitipan begitu 1

2 saja atau dengan semacam tanda bukti titipan, tanpa prosedur konsinyasi (penitipan) yang benar menurut undang-undang. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka berikut ini akan dibahas serba singkat tentang hal-hal penting yang berkaitan dengan konsinyasi di Pengadilan Agama, meliputi: 1. Pengertian Konsinyasi; 2. Konsinyasi di Pengadian Agama; 3. Menejemen konsinyasi di Pengadilan Agama. B. PENGERTIAN KONSINYASI Konsinyasi (Belanda: consignasi, Ingris: consign, consignment) secara bahasa berarti menyerahkan, mengirimkan atau menyampaikan sedang secara istilah hukum berarti penitipan uang kepada pengadilan. Dalam perkembangannya kata konsinyasi sering digunakan dalam dunia bisnis dengan pengertian menitipkan barang kepada orang lain untuk dijualkan dengan pembayaran kemudian, jual beli dengan cara menitipkan barang kepada orang lain atau agen tertentu disebut dengan jual beli dengan system konsinyasi). Istilah konsinyasi juga sering digunakan dalam dunia property yang pada saat akan membebaskan lahan; masyarakat pemilik tanah yang bersangkutan tidak mau menerima pembayaran harga tanah yang sudah disepakati. Begitu juga, istilah konsinyasi sering digunakan oleh Negara yang pada saat melakukan pembayaran ganti rugi tanah masyarakat yang akan dipergunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk pembangunan jalan tol attau fasilitas umum lainnya, namun pada saat pembayaran ganti rugi, masyarakat pemilik tanah tidak mau menerimanya, padahal harga ganti rugi itu telah disetujui, sehingga uang ganti rugi tersebut dititipkan kepada Pengadilan Negeri sebagai uang konsinyasi. Dengan demikian, konsinyasi yang pada awalnya hanya dipergunakan untuk menyelesaikan sengketa utang piutang antara debitur (yang berutang) dan kreditur 2

3 (yang berpiutang/yang mengutangi), dengan alasan karena kreditur melanggar kesepakatan atau perjanjian berupa tidak lagi mau menerima sejumlah harga barangnya yang sudah disepakati, namun akhir-akhir ini istilah konsinyasi juga digunakan dalam dunia bisnis dan pembebasan lahan tanah. Yakni, istilah konsinyasi bukan hanya digunakan dalam perkara utang-piutang, akan tetapi juga diguakan dalam masalah pemenuhan hak dan kewajiban. Artinya orang yang menurut hukum (termasuk oleh putusan pengadilan) diwajibkan untuk membayar sejumlah uang kepada orang yang berhak, namun oleh karena orang yang berhak itu menolak menerimanya, sehingga orang yang berkewajiban tersebut menitipkan uangnya kepada pengadilan. Akibat hukum dari konsinyasi adalah pembebasan debitur/orang yang berutang dari perikatan (dalam hal utang piutang) dan atau pembebasan seseorang dari kewajiban membayar atau menyerahkan barang yang dibebankan kepadanya. Pembebasan tersebut mengakibatkan: 1. Debitur/orang yang dibebani kewajiban membayar uang atau menyerahkan barang dapat menolak tuntutan pemenuhan prestasi atau ganti rugi dengan mengemukakan adanya konsinyasi; 2. Debitur/orang yang dibebani kewajiban membayar atau menyerahkan barang tidak lagi berutang bunga atau bertanggung jawab atas kerusakan barangnya; 3. Sejak penitipan, kreditur/orang yang berhak menerima uang atau barang konsinyasi menanggung resiko atas barangnya. C. KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA a. Konsinyasi yang berhubungan dengan utang putang: Sebagaimana dimaklumi, bahwa perkara utang piutang pada umumnya bukanlah wewenang Pengadilan Agama, namun setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 3

4 Agama, maka Pengadilan Agama memasuki babak baru dengan diberikannya wewenang mengadili perkara ekonomi syari ah. Dalam perkara ekonomi syari ah tersebut dimungkinkan adanya sengketa utang piutang dalam transaksi mudharabah atau murabahah di perbankan syari ah, baik antara orang dengan bank syari ah atau lembaga keuangan syari ah lainnya, atau antar lembaga keuangan syari ah atau perbankan syariah satu sama lain, sehingga tidak tertutup kemungkinan akan dipergunakan lembaga konsinyasi di Pengadilan Agama. Sejauh pengetahuan Penulis, sampai saat ini belum pernah ada konsinyasi macam ini yang terjadi di Pengadilan Agama, mungkin memang sengketa utang piutang yang transaksinya berdasarkan prinsip syariah selama ini dapat diselesaikan melalui forum lain atau lembaga lain selain lembaga konsinyasi atau bahkan memang belum pernah ada kasus utang piutang secara syar iy yang memerlukan konsinyasi sama sekali. Namun demikian bagi aparat Pengadilan Agama tidak boleh lengah, apalagi mengabaikan persoalan konsinyasi ini, karena dimasa yang akan datang sangat mungkin akan terjadi. Tata kelola pelaksanaan konsinyasi utang piutang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), sebagai berikut: 1. Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada Pengadilan (konsinyasi). (Pasal 1404 KUH Perdata); 2. Penawaran dan penitipan tersebut membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran asal dilakukan menurut undang-undang (harus disahkan oleh hakim/pengadilan) (Pasal 1404 KUH Perdata); 3. Syarat sahnya penawaran dalam konsinyasi (Pasal 1405 KUH Perdata): 1) Penawaran dilakukan kepada kreditur atau kuasanya; 4

5 2) Penawaran dilakukan oleh orang yang berkuasa untuk membayar; 3) Penawaran mengenai seluruh uang pokok yang dapat dituntut dan bunga yang dapat ditagih serta biaya yang telah ditetapkan; 4) Bahwa ketetapan waktu telah tiba, jika itu dibuat untuk kepentingan kreditur; 5) Syarat yang menjadi beban utang telah terpenuhi; 6) Penawaran dilakukan di tempat yang menurut persetujuan pembayaran harus dilakukan atau jika tiada suatu persetujuan khusus mengenai itu, kepada kreditur pribadi atau di tempat tinggal yang sebenarnya atau tempat tinggal dipilihnya; yang telah 4. Syarat sahnya penyimpanan atau penitipan dalam konsinyasi (Pasasl 1406 KUH Perdata): 1) Sebelum penyimpanan, kepada kreditur disampaikan keterangan yang memuat hari, jam dan tempat penyimpanan; 2) Debitur telah melepaskan barang yang ditawarkannya itu dan menitipkankannya pada Pengadilan yang akan mengadilinya jika ada perselisihan beserta bunga sampai pada saat penitipan; 3) Oleh Notaris atau Jurusita masing-masing disertai dua orang saksi dibuat berita acara yang memuat jenis mata uang, penolakan kreditur dan pelaksanaan penyimpanan tersebut; 4) Jika kreditur tidak datang untuk menerimanya, berita acara tentang penitipan diberitahuakan kepadanya, dengan peringatan untuk mengambil apa yang dititipkan itu; 5

6 5. Biaya penawaran pembayaran tunai dan penyimpanan harus dipikul oleh kreditur (Pasal 1407 KUH Perdata); 6. Selama apa yang dititipkan tidak diambil oleh kreditur, debitur dapat mengambilnya kembali (Pasal 1408 KUH Perdata); 7. Akan tetapi bila debitur sudah memperoleh putusan hakim/pengadilan yang menyatakan sah penawarannya (konsinyasinya), maka debitur tidak dapat lagi mengambil kembali apa yang dititipkan (Pasal 1409 KUH Perdata); 8. Kreditur yang telah mengijinkan barang yang dititipkan itu diambil kembali oleh debitur setelah penitipan itu dikuatkan putusan hakim, tidak dapat lagi menggunakan hak-hak istimewanya atau hipotik yang melekat pada piutang tersebut untuk menuntut pembayaran piutangnya (Pasal 1411 KUH Perdata); 9. Jika dengan perantaran pengadilan, debitur telah memperingatkan kepada kreditur untuk mengambil barang yang dititipkan, tetapi kreditur tidak mengambilnya, maka debitur dapat diijinkan oleh hakim/pengadilan untuk menitipkan barang tersebut di tempat lain (Pasal 1412 KUH Perdata). Sehubungan dengan konsinyasi utang piutang di Pengadilan Agama, Mahkamah Agung RI telah memberi petunjuk tentang tata cara penitipan/konsinyasi utang piutang sebagaimana tercantum dalam buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama edisi revisi cetakan 2013 halaman , sebagai berikut: 1. Yang berutang mengajukan permohonan tentang penawaran pembayaran dan penitipan ke Pengadilan Agama yang meliputi tempat di mana persetujuan pembayaran harus dilakukan (debitur sebagai Pemohon dan kreditur sebagai Termonon); 6

7 2. Dalam hal tidak ada persetujuan, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama dimana Termohon bertempat tinggal atau tempat tinggal yang telah dipilihnya; 3. Permohonan konsinyasi didaftar dalam register permohonan konsinyasi; 4. Ketua Pengadilan Agama memerintahkan Jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi dalam bentuk surat penetapan untuk melakukan penawaran pembayaran kepada si berpiutan (kriditur) pribadi di tempat tinggalnya atau tempat tinggal pilihannya; 5. Jurusita disertai 2 (dua) orang saksi menjalankan perintah Ketua Pengadilan Agama Tersebut dan dituangkan dalam berita acara tentang pernyataan kesedian untuk membayar (aanbod van gereede betaling); 6. Pihak berpiutang diberikan salian berita acara tersebut; 7. Juru sita membuat berita acara pemberitahuan, bahwa karena pihak berpiutang menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan penyimpanan (konsinyasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama yang akan dilakukan pada hari, tanggal dan jam yang ditentukan dalam berita acara tersebut; 8. Pada waktu yang telah ditentukan tersebut pada angka 7, Jurusita dengan disertai 2 orang saksi menyerahkan uang tersebut kepada Panitera Pengadilan Agama dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disimpan di kas kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang konsinyasi; 9. Agar pernyataan kesediaan untuk membayar yang diikuti dengan penyimpanan tersebut sah dan berharga, harus diikuti dengan 7

8 pengajuan permohonan oleh si berutang terhadap berpiutang sebagai Termohon kepada Pengadilan Agama dengan petitum: - Menyatakan sah dan berharga penawaran pembayaran dan penitipan sebagai konsinyasi. - Menghukum Pemohon membayar biaya perkara. b. Konsinyasi yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan: Sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya, bahwa perkembangan pelaksanaan konsinyasi pada saat ini tidak lagi hanya di bidang utang piutang, akan tetapi konsinyasi juga dipraktikkan dalam hal pelaksanaan putusan pengadilan. Pedoman yang tercantum dalam buku II edisi revisi 2013 Peradilan Agama ternyata hanya terbatas pada konsinyasi yang berhubungan dengan utang piutang, sedangkan konsinyasi yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan pengadilan, terutama di Pengadilan Agama, sampai saat ini belum ada peraturan perundangundangannya atau petunuk-petunjuk lainnya yang mengaturnya. Dalam praktik di sebagian besar Pengadilan Agama selama ini, pelaksanaan konsinyasi yang berkaitan dengan pelaksanaan putusan sering terjadi dalam bentuk antara lain sebagaiman contoh dibawah ini: 1. Dalam putusan perkara cerai talak terdapat amar: Menghukum Pemohon (suami) membayar mut ah kepada Termohon (isteri) sebesar Rp 1.5 M. Pada saat sidang ikrar talak, Pemohon telah membawa uang dimaksud untuk diserahkan kepada Termohon di depan sidang ikrar talak, akan tetapi ternyata Termohon tidak hadir dalam sidang ikrar talak tersebut, sehingga uang mut ah tidak dapat diserahkan saat itu juga. Kemudian Pemohon menitipkan uang mut ah tersebut kepada Pengadilan Agama. 2. Pada saat sidang ikrar talak, bekas suami (Pemohon) menyerahkan sebuah jam tangan kepada bekas isterinya (Termohon) sebagai mut ah sesuai dengan amar putusan Pengadilan Agama, namun Termohon tersebut tidak 8

9 mau menerimanya, sedangkan Pemohon juga tidak mau mengambil kembali jam tangan tersebut. Kemudian Pemohon bermaksud menitipkan jam tangan itu kepada Pengadilan Agama. 3. Dalam eksekusi putusan perkara pembagian harta warisan, ternyata pada saat diadakan pelaksanaan pembagian harta waris, ada sebagian ahli waris yang tidak hadir, sehingga bagiannya tidak bisa diserahkan kepadanya. Kemudian Panitera sebagai pelaksana pembagian warisan bermaksud mengamankan bagian ahli waris yang belum dapat diserahkan tersebut dengan menyimpannya di kepaniteraan Pengadilan Agama. 4. Dalam eksekusi putusan perkara pembagian harta bersama secara riil, mantan suami tidak mau merima bagiannya, sedang mantan isteri juga tidak mau dititipi bagian suaminya yang tidak diterima tersebut. Kemudian Pengadilan Agama sebagai eksekutor bermaksud mengamankan bagian harta bersama milik mantan suami tersebut di pengadilan Agama. Selama ini Pengadilan Agama menyimpan uang atau barang hasil eksekusi tersebut di kepaniteraan Pengadilan Agama sebagai uang atau barang konsinyasi hanya dengan membuat berita acara penyimpanan/penitipan, bahkan kadang-kadang hanya dengan kwitansi atau tanda terima penyimpanan/penitipan. Menurut Penulis penyimpanan/penitipan oleh Pengadilan Agama tersebut tidak tepat dan tidak dapat disebut sebagai konsinyasi, karena tanpa adanya penetapan hakim atau Ketua Pengadilan Agama yang menyatakan sah dan berharga penyimpanan/penitipan tersebut sebagai konsinyasi. Kedua konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang dengan konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi saya kira harus dibedakan. Bila konsinyasi yang berkaitan dengan utang piutang, inisiatif penawaran dan penitipannya berasal dari debitur, sedangkan konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi, inisiatif penawaran dan penitipannya berasal dari Pengadilan Agama itu sendiri. Oleh karena itu bagi konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang harus ditempuh prosedur sebagaimana ditentukan dalam KUH Perdata dan Buku II Peradilan Agama. sedangkan konsinyasi 9

10 yang berkaitan dengan eksekusi kiranya cukup adanya berita acara penyimpanan/penitipan yang dibuat oleh Panitera sebagai Pelaksana eksekusi serta penetapan Hakim atau Ketua Pengadilan Agama yang amarnya berbunyi: Menyatakan sah dan berharga penitipan sebagai konsinyasi. Suatu titipan, baik berupa uang atau barang di Pengadilan Agama yang tanpa penetapan hakim atau Ketua yang menyatakan sah dan berharga, status titipan tersebut bukanlah konsinyasi. Apabila setelah dilakukan secara sah suatu titipan, maka selanjutnya dapat dianalogkan dengan ketentuan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2008, tentang Pemungutan Biaya perkara pada angka 3 dan 4 yang menyatakan sebagai berikut: 3. Apabila ada kelebihan uang yang tidak terpakai dalam proses berperkara, maka biaya tersebut wajib dikembalikann kepada pihak yang berhak, bilamana biaya tersebut tidak diambil dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pihak yang bersangkutan diberitahu, maka uang kelebihan tersebut dikeluarkan dari buku jurnal yang bersangkutan dan dicatat dalam buku tersendiri sebagai uang tang bertuan (1948 KUH Perdata). Uang tak bertuan tersebut secara berkala disetorkan ke kas Negara. 4. Apabila ada uang yang dikonsinyasikan oleh pihak-pihak yangbberhubungan dengan pengadilan, maka uang tersebut wajib disimpan di Bank, apabila uang tersebut menghasilkan jasa giro, maka uang jasa giro tersebut wajib disetorkan kepada Negara. Norma yang terdapat dalam angka 3 dari SEMA di atas dapat di pergunakan dalam hal konsinyasi, yakni bilamana uang atau barang konsinyasi tidak diambil dalam waktu 6 (enam) bulan setelah pihak yang bersangkutan diberitahu tentang adanya konsinyasi tersebut, maka uang atau barang konsinyasi dapat dianggap sebagai uang atau barang tak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara. Sedangkan norma yang terdapat dalam angka 4 dari SEMA tersebut juda mesti diamalkan, yakni, bahwa uang atau barang konsinyasi tersebut harus disimpan pada bank, bukan di kepaniteraan Pengadilan Agama. 10

11 Dengan demikian, prinsip konsinyasi dalam kaitannya dengan pelaksanaan putusan di Pengadilan Agama yang terpenting adalah adanya penetapan dari Pengadilan Agama tentang sah dan berharganya penitipan uang atau barang tersebut sebagai konsinyasi. Majelis hakim yang menyidangkan ikrar talak yang didalamnya terdapat konsinyasi dalam penetapannya sekaligus menambah amar: Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang sebagai konsinyasi. Sedangkan dalam hal yang berkaitan dengan eksekusi, Panitera sebagai pelaksana eksekusi cukuplah mengajukan permintaan agar Ketua Pengadian Agama membuat penetapan yang berbunyi: Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang sebagai konsinyasi. Kemudian Panitera segera menyampaikan penetapan tersebut kepada pihak yang menolak uang/barang konsinyasi tersebut atau yang tidak hadir dalam pelaksanaan eksekusi dengan pemberitahuan; apabila dalam waktu 6 (enam) bulan dari tanggal pemberitahuan tersebut, uang/barang titipan tidak diambil, maka uang/barang titipan tersebut akan dinyatakan sebagai uang atau barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara. Terhadap penetapan Majelis hakim dan atau penetapan Ketua Pengadilan yang berkaitan dengan konsinyasi ini, oleh karena berkaitan dengan pelaksanaan putusan, maka tidak dimungkinkan adanya upaya hukum apapun. Sedangkan penetapan sah dan berharganya konsinyasi yang berkaitan dengan utang-piutang, oleh karena merupakan putusan hakim terhadap perkara permohonan konsinyasi, maka dimungkinkan adanya kasasi ke Mahkamah Agung. D. MENEJEMEN KONSINYASI DI PENGADILAN AGAMA Dengan uraian di atas dapat direkomendasikan system menejemen atau tata kelola konsinyasi di Pengadilan Agama yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan (termasuk ikrar talak), adalah sebagai barikut: 1. Dalam hal konsinyasi yang berkaitan dengan ikrar talak: 11

12 a. Hakim dalam sidang ikrar talak dalam berita acara sidangnya mencantumkan ada uang atau barang yang akan ditipkan kepada Pengadilan Agama; b. Hakim dalam sidang ikrar talak menambah amar dalam penetapannya: Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang tersebut sebagai konsinyasi ; c. Apabila dalam sidang ikrar talak Termohon (isteri) hadir, maka tambahan amar pada huruf b ditambah kalimat dan apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak penetapan ini di bacakan, Termohon tidak mengambil, maka uang/barang tersebut akan dinyatakan sebagai uang/barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara ; d. Apabila dalam sidang ikrar talak Termohon (isteri) tidak hadir, maka tambahan amar pada huruf b ditambah kalimat dan apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak penetapan ini diberitahukan, Termohon (isteri) tidak mengambil, maka uang/barang tersebut akan dinyatakan sebagai uang/barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara; e. Panitera mencatat uang/barang konsinyasi tersebut dalam buku konsinyasi yang ada di Pengadilan Agama dan menyimpannya di bank yang ditunjuk serta memberitahukan tentang penetapan talak yang berisi tambahan kosinyasi kepada Termohon (isteri). 2. Dalam hal konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi: a. Panitera sebagai pelaksanaan eksekusi dalam berita acara pelaksanaan eksekusi mencantumkan adanya uang atau barang yang akan dititipkan kepada Pengadilan; 12

13 b. Ketua Pengadilan Agama membuat penetapan yang amarnya: Menyatakan sah dan berharga penitipan uang/barang tersebut sebagai konsinyasi ; c. Panitera mencatat uang/barang konsinyasi tersebut dalam buku konsinyasi yang ada di Pengadilan Agama dan menyimpan uang/barang konsinyasi tersebut di bank yang ditunjuk; d. Panitera memberi tahu kepada pihak yang berhak menerima uang/barang titipan tentang adanya konsinyasi tersebut dengan keterangan: apabila dalam waktu 6 (enam) bulan sejak pemberitahuan ini yang bersangkutan tidak mengambil, maka uang/barang titipan tersebut akan dinyatakan sebagai barang tidak bertuan dan akan disetorkan kepada Negara; Sedangkan Konsinyasi yang berhubungan dengan utang-piutang menejemen atau tata kelolanga harus tetap mengikuti ketentuan dalam KUH Perdata yang pada pokoknya sebagai berikut: 1. Yang berutang (debitur) mengajukan permohonan tentang penawaran dan penitipan ke Pengadilan Agama (Debitur sebagai Pemohon dan kreditur sebagai Termohon); 2. Permohonan konsinyasi didaftar dalam register permohonan konsinyasi; 3. Ketua pengadilan Agama memerintahkan Jurusuta dengan disertai oleh 2 (dua) orang saksi dengan surat penetapan untuk melakukan penawaran pembayaran kepada si berpiutang (kreditur); 4. Jurusita dengan disertai 2(dua) orang saksi melaksanakan perintah ketua Pengadilan Agama tersebut dan dituangkan dalam berita acara; 5. Jurusita membuat berita acara pemberitahuan bahwa karena pihak berpiutang menolak pembayaran, uang tersebut akan dilakukan 13

14 penyimpanan/penitipan (konsinyasi) di kas kepaniteraan Pengadilan Agama (bank) yang akan dilakukan pada hari, tanggal, jam 6. Pada waktu yang telah ditentukan dalam berita acara tersebut pada angka 5, Jurusita dengan disertai 2 (dua) orang saksi menyerahkan uang tersebut kepada Panitera dengan menyebutkan jumlah dan rincian uangnya untuk disimpan dalam kas kepaniteraan Pengadilan Agama (bank); 7. Si berutang (debitur) melanjutkan proses dengan mengajukan permohonan dengan mendudukkan orang yang berpiutang (kreditur) sebagai Termohon kepada Pengadilan Agama, dengan petitum: - Menyatakan sah dan berharga penawaran dan penitipan sebagai konsinyasi; - Menghukum Pemohon membeyar biaya perkara. 8. Permohonan didaftar dalam register perkara permohonan dengan kode nomor perkara Pdt.P dan diproses sesuai hukum acara yang berlaku. 9. Putusannya berupa Penetapan dan atas penetapan tersebut dimungkinkan adanya upaya kasasi. E. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan: 1. Bahwa konsinyasi yang berkaitan dengan utang-putang telah diatur secara baku dalam KUH Perdata, namun konsinyasi yang berkaitan dengan eksekusi belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur; 2. Bahwa agar suatu titipan dianggap sebagai konsinyasi, prinsipnya adalah adanya penetapan hakim/ketua Pengadilan yang menyatakan sah dan berharga penitipan tersebut sebagai konsinyasi; 14

15 b. Saran: 1. Direkomendasikan agar dalam waktu yang tidak terlalu lama Mahkamah Agung menerbitkan peraturan Mahkamah Agung tentang konsinyasi, khususnya yang berkaitan dengan perkara diluar perkara utang-piutang. Wallahu a lam bis shawaab 15

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan Perikatan dalam bahasa Belanda disebut ver bintenis. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa gejolak moneter yang terjadi di

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA Tempat Pendaftaran : BAGAN PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA Pengadilan Agama Brebes Jl. A.Yani No.92 Telp/ fax (0283) 671442 Waktu Pendaftaran : Hari Senin s.d. Jum'at Jam 08.00 s.d 14.00 wib PADA PENGADILAN

Lebih terperinci

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C. PROSES PELAKSANAAN SITA PENYESUAIAN TERHADAP BARANG TIDAK BERGERAK YANG DIAGUNKAN ATAU DIJAMINKAN DI BANK SWASTA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Memenuhi

Lebih terperinci

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian. BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP PELAKSANAAN PUTUSAN PERCERAIAN ATAS NAFKAH ISTRI DAN ANAK DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA DAN PENYELESAIANYA JIKA PUTUSAN TERSEBUT TIDAK DILAKSANAKAN A. Pelaksanaan Putusan

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI

KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1. Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI perdata. 2 Menurut pengertian yang lazim bagi aparat Pengadilan, eksekusi adalah 1 KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA MELAKSANAKAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN ( PADA BANK SYARIAH) 1 Oleh : Drs.H Insyafli, M.HI (

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. satu cara yang dapat dilakukan adalah membuka hubungan seluas-luasnya dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dalam perkembangan jaman yang semakin maju saat ini membuat setiap orang dituntut untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dan kualitas hidupnya. Salah

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Talak PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

K E J U R U S I T A A N Oleh: Drs. H. MASRUM M NOOR, M.H (Hakim Tinggi PTA Banten)

K E J U R U S I T A A N Oleh: Drs. H. MASRUM M NOOR, M.H (Hakim Tinggi PTA Banten) K E J U R U S I T A A N Oleh: Drs. H. MASRUM M NOOR, M.H (Hakim Tinggi PTA Banten) A. DASAR HUKUM EKSISTENSI JURUSITA 1. Pasal 38 UU no 7/1989: Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru

Lebih terperinci

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA I.A. Prosedur Dan Proses Penyelesaian Perkara Cerai Talak PROSEDUR Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (suami) atau kuasanya : 1. a. Mengajukan

Lebih terperinci

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak

1905:217 juncto Staatsblad 1906:348) sebagian besar materinya tidak UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. PRESIDEN, bahwa pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan

Lebih terperinci

SALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg.

SALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg. SALINAN P U T U S A N Nomor : 72/Pdt.G/2011/PTA.Bdg. BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung telah memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N :

P U T U S A N. Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M E L A W A N : P U T U S A N Nomor 0318/Pdt.G/2015/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Pasuruan yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

KEJURUSITAAN PENGADILAN

KEJURUSITAAN PENGADILAN KEJURUSITAAN PENGADILAN PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN JURUSITA Kata Jurusita berasal dari bahasa Belanda yaitu deuurwaader Jurusita/Jurusita Pengganti adalah Pegawai Negeri yang diangkat oleh pemerintah untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1

BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 BERACARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH Oleh: Agus S. Primasta, SH 1 Abstraksi Berdasarkan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, semua Pengadilan baik secara teknis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan perkara di lingkungan peradilan agama, khususnya di pengadilan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian perkara di lingkungan peradilan agama sebagaimana lingkungan peradilan lainnya tidak hanya dilakukan oleh hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan Eks Pasal 71 ayat (2) Dan Akta Cerai Eks Pasal 84 ayat (4)

SURAT EDARAN Nomor : 1 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pembuatan Penetapan Eks Pasal 71 ayat (2) Dan Akta Cerai Eks Pasal 84 ayat (4) KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Nomor : MA/Kumdil/1375/III/1990 Lampiran : - JAKARTA, 12 Mei 1990 Kepada Yth. 1. Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi Agama 2. Sdr. Ketua Pengadilan Agama Di Seluruh Indonesia.

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 29 IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Penyelesaian Kepailitan Melalui Upaya Perdamaian Berdasarkan UU No. 37 Tahun 2004 Pasal 144 UU No. 37 Tahun 2004 menentukan, debitor pailit berhak untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PP 4/1998, TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PP 4/1998, TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PP 4/1998, TATA CARA PENJUALAN BARANG SITAAN YANG DIKECUALIKAN DARI PENJUALAN SECARA LELANG DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 4 TAHUN 1998 (4/1998)

Lebih terperinci

TENTANG DUDUK PERKARANYA

TENTANG DUDUK PERKARANYA P U T U S A N Nomor : 7/Pdt.G/2010/PTA Smd BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Samarinda yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding

Lebih terperinci

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA MASOHI NOMOR : W24-A2/27/SK/HM.01.3/I/2016 T E N T A N G PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MASOHI

SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA MASOHI NOMOR : W24-A2/27/SK/HM.01.3/I/2016 T E N T A N G PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MASOHI SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA MASOHI NOMOR : W24A2/27/SK/HM.03/I/2016 T E N T A N G PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MASOHI KETUA PENGADILAN AGAMA MASOHI Menimbang : a. Bahwa untuk penyelesaian

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA

STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA STANDAR PELAYANAN PADA BADAN PERADILAN AGAMA (KMA Nomor 026/KMA/SK/II/2012) A. Dasar Hukum 1. HIR/Rbg 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 3. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH. A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan

BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH. A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan BAB III EKSEKUSI NAFKAH IDDAH DAN MUT AH A. Prosedur dan Biaya Eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan 1. Prosedur eksekusi Dalam melaksanakan eksekusi di Pengadilan Agama Pekalongan, ada beberapa prosedur

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH

BAB IV. ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH 56 BAB IV ANALISIS PELAKSANAAN PUTUSAN No. 0985/Pdt.G/2011/PA.Sm. TENTANG MUT AH DAN NAFKAH IDDAH A. Analisis Prosedur Pelaksanaan Putusan Pengadilan Agama Tentang Mut ah dan Nafkah Iddah. Tujuan pihak-pihak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat

Drs. H. Zulkarnain Lubis, MH BAGIAN KEPANITERAAN Judul SOP Pelaksanaan Persidangan Perkara Gugatan Cerai Gugat PENGADILAN AGAMA SIMALUNGUN JLN. ASAHAN KM. 3 TELP/FAX (0622) 7551665 E-MAIL : pasimalungun@gmail.com SIMALUNGUN Nomor SOP W2-A12/ /OT.01.3/I/2017 Tanggal Pembuatan 28 Maret 2016 Tanggal Revisi 03 Januari

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK)

PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) PROSEDUR BERPERKARA TATA CARA PENGAJUAN PERKARA (VIA BANK) Pertama : Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. Kedua : Pihak berperkara menghadap petugas

Lebih terperinci

Nomor : 121/Pdt.G/2011 /PTA.Bdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Nomor : 121/Pdt.G/2011 /PTA.Bdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Salinan P U T U S A N Nomor : 121/Pdt.G/2011 /PTA.Bdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang 1 Tahun - Jangka Waktu Hibah - Kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, Debitor dianggap mengetahui atau patut mengetahui bahwa hibah

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor : 52/Pdt.G/2012/PTA. Bdg. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor : 52/Pdt.G/2012/PTA. Bdg. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA S A L I N AN P U T U S A N Nomor : 52/Pdt.G/2012/PTA. Bdg. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung, yang memeriksa dan mengadili perkara

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PUTUSAN Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA.Btn BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA.Btn BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PUTUSAN Nomor 00/Pdt.G/2013/PTA.Btn BISMILLAHIRRAHMANNIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara- perkara perdata tertentu

Lebih terperinci

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram )

SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) SEKITAR PEMERIKSAAN SETEMPAT DAN PERMASALAHANNYA ( Oleh : H. Sarwohadi, S.H.,M.H. Hakim Tinggi PTA Mataram ) A. Pendahuluan : 1. Pengertian Pemeriksaan Setempat Pemeriksaan Setempat atau descente ialah

Lebih terperinci

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu)

SEKITAR EKSEKUSI. (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) SEKITAR EKSEKUSI (oleh H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Tinjauan Umum Eksekusi 1. Pengertian eksekusi Pengertian eksekusi menurut M. Yahya Harahap, adalah pelaksanaan secara paksa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO. 3400 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENGAJUAN KEBERATAN DAN PENITIPAN GANTI KERUGIAN KE PENGADILAN NEGERI DALAM PENGADAAN TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

Lebih terperinci

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1267, 2015 MA. Penyalahgunaan Wewenang. Penilaian Unsur. Pedoman Beracara. PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN BERACARA DALAM

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1003, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEUANGAN. Penagihan. Bea Masuk. Cukai. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PMK 111/PMK.04/2013 TENTANG

Lebih terperinci

PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI BIAK TENTANG

PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI BIAK TENTANG PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI BIAK Nomor : W30.U4/ /HK.02/III/2017 TENTANG PERUBAHAN PANJAR BIAYA PERKARA PERDATA, SITA, PEMERIKSAAN SETEMPAT, DAN EKSEKUSI PADA PENGADILAN NEGERI BIAK KETUA PENGADILAN

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sungai Penuh yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 350/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 350/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA SALINAN P U T U S A N Nomor : 350/Pdt.G/2013/PA.SUB. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Agama Sumbawa Besar yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1989 (AGAMA. KEHAKIMAN. PERADILAN. Perkawinan. Perceraian. Warisan. Warganegara. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA

MAHKAMAH MAHASISWA UNIVERSITAS INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH MAHASISWA NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA KEPANITERAAN MAHKAMAH MAHASISWA Menimbang Mengingat : a. bahwa Mahkamah Mahasiswa Universitas Indonesia sebagai wadah formal dan legal

Lebih terperinci

BAB VII PERADILAN PAJAK

BAB VII PERADILAN PAJAK BAB VII PERADILAN PAJAK A. Peradilan Pajak 1. Pengertian Keputusan adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan

Lebih terperinci

BIAYA PERKARA UNDANG-UNDANG NO. 50 TAHUN 2009

BIAYA PERKARA UNDANG-UNDANG NO. 50 TAHUN 2009 BIAYA PERKARA UNDANG-UNDANG NO. 50 TAHUN 2009 1 TAKAH RAKERPTA 2012 Pasal 91A UU NO. 50 TAHUN 2009 (1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik biaya perkara. (2) Penarikan biaya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 41/Pdt.G/2007/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 41/Pdt.G/2007/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 41/Pdt.G/2007/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama di Banten, dalam persidangan majelis untuk mengadili perkara-perkara

Lebih terperinci

Adapun dari sisi materi, perubahan materi buku II Edisi Revisi 2009, dibandingkan dengan Buku II Edisi 2009, adalah sebagai berikut :

Adapun dari sisi materi, perubahan materi buku II Edisi Revisi 2009, dibandingkan dengan Buku II Edisi 2009, adalah sebagai berikut : Perubahan Materi Adapun dari sisi materi, perubahan materi buku II Edisi Revisi 2009, dibandingkan dengan Buku II Edisi 2009, adalah sebagai berikut : 1. Penambahan 1 (satu) poin pada bagian Teknis Administrasi,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

P U T U S A N NOMOR 000/Pdt.G/2015/PTA.Btn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N NOMOR 000/Pdt.G/2015/PTA.Btn DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N NOMOR 000/Pdt.G/2015/PTA.Btn ΟŠÏm 9$# uη q 9$#É!$#ÇΟó Î0 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 06/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 06/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 06/Pdt.G/2010/MS-Aceh BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Cerai Talak pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding:

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding: Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon banding: 1. Permohonan banding harus disampaikan secara tertulis atau lisan kepada pengadilan agama/mahkamah syar iah dalam tenggang waktu : a. 14 (empat belas)

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA NEGARA Nomor : W.15-A11/163b/HK.02/II/2014

KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA NEGARA Nomor : W.15-A11/163b/HK.02/II/2014 KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN AGAMA NEGARA Nomor : W.15-A11/163b/HK.02/II/2014 TENTANG PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA NEGARA KETUA PENGADILAN AGAMA NEGARA Menimbang : a. Bahwa dalam rangka mendukung

Lebih terperinci

PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA

PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA PROSEDUR BERPERKARA PENGADILAN TINGKAT PERTAMA CERAI GUGAT A. Pendahuluan Penggugat atau kuasanya mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah (Pasal 118 HIR,

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN WEWENANG MAHKAMAH KONSTITUSI OLEH MAHKAMAH AGUNG MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Sekitar Kejurusitaan

Sekitar Kejurusitaan Sekitar Kejurusitaan (Oleh : H. Sarwohadi, S.H., M.H. Hakim Tinggi PTA Bengkulu) A. Pengertian Juru Sita Juru sita adalah salah satu pejabat yang bertugas di pengadilan agama, selain hakim, panitera dan

Lebih terperinci

PENGADILAN AGAMA SIJUNJUNG

PENGADILAN AGAMA SIJUNJUNG PENGADILAN AGAMA SIJUNJUNG Jl. Prof. M.Yamin, SH, No.65 Muaro Sijunjung 27511 Telp.(0754) 20147, Fax. (0754) 20734, Homepage: www.pa-sijunjung.net Email: pa.sijunjung@pta-padang.go.id SIJUNJUNG SUMATERA

Lebih terperinci

PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MAKASSAR

PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MAKASSAR PANJAR BIAYA PERKARA PADA PENGADILAN AGAMA MAKASSAR I. PANJAR BIAYA PERKARA TINGKAT PERTAMA 1. Pendaftaran Gugatan/ 30.000,- Permohonan 2. Administrasi 3. Panggilan Penggugat/ Pemohon (3x*) 4. Panggilan

Lebih terperinci

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

P U T U S A N. Nomor 48/Pdt.G/2009/PTA.Btn BISMILLAHIRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor 48/Pdt.G/2009/PTA.Btn BISMILLAHIRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 48/Pdt.G/2009/PTA.Btn BISMILLAHIRAHMAANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten, dalam persidangan Majelis untuk mengadili perkara-perkara

Lebih terperinci

STANDAR PELAYANAN PERKARA PERMOHONAN

STANDAR PELAYANAN PERKARA PERMOHONAN Lampiran I STANDAR PELAYANAN PERKARA PERMOHONAN 1. Pemohon menyampaikan permohonan kepada Ketua Pengadilan Agama Lamongan. Pengadilan Agama Lamongan mendaftarkan permohonan dalam buku register dan memberi

Lebih terperinci

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1

TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG OLEH: LILIK MULYADI 1 I. TUGAS DAN WEWENANG HAKIM PENGAWAS DALAM PERKARA KEPAILITAN Putusan perkara kepailitan

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2014/PTA Btn. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara perdata tertentu pada tingkat

Lebih terperinci

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA BLOKIR

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 43/Pdt.G/2009/PTA Btn

P U T U S A N Nomor 43/Pdt.G/2009/PTA Btn P U T U S A N Nomor 43/Pdt.G/2009/PTA Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara perdata pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

SILABUS SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI PENGADILAN AGAMA (SIADPA Plus) PADA KOMPETENSI TENAGA TEKNIS PERADILAN AGAMA

SILABUS SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI PENGADILAN AGAMA (SIADPA Plus) PADA KOMPETENSI TENAGA TEKNIS PERADILAN AGAMA SILABUS SISTEM INFORMASI ADMINISTRASI PENGADILAN AGAMA (SIADPA ) PADA KOMPETENSI TENAGA TEKNIS PERADILAN AGAMA DIREKTORAT PEMBINAAN ADMINISTRASI PERADILAN AGAMA DIREKTORAT JENDERAL BADAN PERADILAN AGAMA

Lebih terperinci

PROSDUR BERPERKARA. CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya

PROSDUR BERPERKARA. CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya CERAI GUGAT A. Langkah-langkahnya PROSDUR BERPERKARA Penggugat atau kuasanya mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan kepada Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah (Pasal 118 HIR, 142 Rbg jo.pasal 73

Lebih terperinci

PUTUSAN. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

PUTUSAN. Nomor <No Prk>/Pdt.G/2017/PTA.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan PUTUSAN Nomor /Pdt.G/2017/PTA.Bdg. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Bandung yang memeriksa dan mengadili perkara Cerai Talak pada tingkat banding telah

Lebih terperinci

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN BAB III PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 718 K/AG/2012 TENTANG BIAYA KEHIDUPAN (NAFKAH) BAGI BEKAS ISTRI YANG DIBERIKAN OLEH SUAMI PASCA PERCERAIAN A. Mahkamah Agung dalam Sistem Peradilan Agama di Indonesia

Lebih terperinci

GUGURNYA KEKUATAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. Oleh: Drs. H.Abdul Mujib AY,M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tanah Grogot) BAB I PENDAHULUAN

GUGURNYA KEKUATAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA. Oleh: Drs. H.Abdul Mujib AY,M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tanah Grogot) BAB I PENDAHULUAN GUGURNYA KEKUATAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA Oleh: Drs. H.Abdul Mujib AY,M.H. (Wakil Ketua Pengadilan Agama Tanah Grogot) BAB I PENDAHULUAN Menurut ketentuan pasal 70 ayat (1), (2), dan (3) bentuk keputusan

Lebih terperinci

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95

PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat Telp./Fax. (021) sd. 95 \ PENGADILAN AGAMA JAKARTA BARAT Jl. Pesanggrahan Raya No.32 Kembangan Jakarta Barat 11610 Telp./Fax. (021) 58352092 sd. 95 E-Mail: info@pa-jakartabarat.go.id ; Website: www.pa-jakartabarat.co.id A. Dasar

Lebih terperinci

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di

Putusan di atas merupakan putusan dari perkara cerai talak, yang diajukan. oleh seorang suami sebagai Pemohon yang ingin menjatuhkan talak raj i di 79 BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TIDAK DITERAPKANNYA KEWENANGAN EX OFFICIO HAKIM TENTANG NAFKAH SELAMA IDDAH DALAM PERKARA CERAI TALAK (STUDI PUTUSAN NOMOR:1110/Pdt.G/2013/PA.Mlg) Putusan di atas merupakan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BENGKULU

KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BENGKULU SURAT KEPUTUSAN KETUA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA BENGKULU Nomor : WI-TUN8/ 371 /AT.10.10/II/2012 TENTANG PERUBAHAN PANJAR BIAYA PERKARA TINGKAT PERTAMA, BANDING, KASASI DAN PENINJAUAN KEMBALI SERTA PEMERIKSAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK UMUM Pelaksanaan pemungutan Pajak yang tidak sesuai dengan Undang-undang perpajakan akan menimbulkan ketidakadilan

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun No.1112, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ATR/BPN. Blokir dan Sita. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2017 TENTANG

Lebih terperinci

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara

Lebih terperinci

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA ANCANGAN PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILIHAN DAN SENGKETA PELANGGARAN

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI. - 2 - e. bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan. Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 55/Pdt.G/2009/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor : 55/Pdt.G/2009/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor : 55/Pdt.G/2009/MSy-Prov. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar'iyah Aceh yang mengadili perkara Cerai Talak pada tingkat banding,

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 00/Pdt.G/2012/PTA. Btn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Banten yang mengadili perkara tertentu pada tingkat banding

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor : 57/Pdt.G/2009/PTA.Pdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N

P U T U S A N Nomor : 57/Pdt.G/2009/PTA.Pdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA L A W A N SALINAN P U T U S A N Nomor : 57/Pdt.G/2009/PTA.Pdg BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA PENGADILAN TINGGI AGAMA PADANG yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara

Lebih terperinci

P U T U S A N Nomor 27/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 27/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA P U T U S A N Nomor 27/Pdt.G/2014/PTA.Mks BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili perkara tertentu pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT

BAB IV. ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT BAB IV ANALISIS TERHADAP PUTUSAN NO. 0688/Pdt.G/2011/PA.Tbn TENTANG PENCABUTAN GUGATAN TANPA PERSETUJUAN TERGUGAT DALAM PERKARA CERAI GUGAT A. Dasar Hukum Hakim dalam Penerapan Pencabutan Cerai Gugat Pengadilan

Lebih terperinci

بسم هللا الرحمن الرحيم

بسم هللا الرحمن الرحيم P U T U S A N Nomor : XXX/Pdt.G/2012/MS-ACEH بسم هللا الرحمن الرحيم DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA Mahkamah Syar iyah Aceh yang mengadili perkara Cerai Talak pada tingkat banding dalam

Lebih terperinci

P U T U S A N No. 83 K/AG/2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara

P U T U S A N No. 83 K/AG/2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara P U T U S A N No. 83 K/AG/2006 BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA M A H K A M A H A G U N G memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan

Lebih terperinci

PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN (ITSBAT NIKAH) BAGI WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI. Drs. H. Masrum M Noor, MH.

PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN (ITSBAT NIKAH) BAGI WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI. Drs. H. Masrum M Noor, MH. PENETAPAN PENGESAHAN PERKAWINAN (ITSBAT NIKAH) BAGI WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI Drs. H. Masrum M Noor, MH. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Pusat MUKADIMAH Bahwa Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Lelang sebagai suatu kelembagaan telah dikenal saat pemerintahan Hindia Belanda yaitu sejak tahun 1908 pada saat Vendu Reglement diumumkan dalam Staatsblad

Lebih terperinci