METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN"

Transkripsi

1 METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN PENGURUS BESAR IKATAN DOKTER INDONESIA JAKARTA, 2013

2 KATA PENGANTAR Awal Januari tahun 2014 Indonesia akan mulai menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penerapan JKN menyebabkan perubahan fundamental pada berbagai aspek yang terkait dengan industri kesehatan di tanah air. Pelayanan kesehatan akan menjadi hak penduduk, bukan lagi komoditas yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar. Tapi penduduk pun wajib membayar iuran, menggunakan fasilitas kesehatan secara berjenjang, dan mengadopsi perilaku hidup sehat. Iuran penduduk miskin dan tidak mampu akan dibayari Pemerintah. Dengan demikian seluruh penduduk dimanapun ia berdomisili diharapkan akan mendapat pelayanan kesehatan yang sama baiknya. Profesi dokter sebagai tulang punggung sistem pelayanan kesehatan nasional juga akan memasuki era baru, era pembayaran mengikuti kaidah asuransi kesehatan sosial. Dokter tidak bisa lagi menentukan tarifnya secara sepihak, tarifnya akan ditentukan oleh BPJS setelah bernegosiasi dengan asosiasinya. Metode pembayaran ke fasilitas kesehatan telah pula ditetapkan, yaitu secara INA-CBG dan kapitasi. Kedua metode ini memiliki filosofi yang sama, yaitu mentransfer risiko ke fasilitas kesehatan yang berarti dokter ikut menanggung risiko biaya bila ia memberikan pelayanan tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Hal ini akan mendorong terjadinya perubahan perilaku dan cara dokter menjalankan praktik kedokteran. Metode membayar dokter seyogianya tidak hanya dipandang sebagai transaksi sederhana memberi imbalan atas kerja dokter mengobati pasien. Metode membayar dapat digunakan untuk mengubah perilaku dokter dalam menjalankan praktik, mendorong persebaran dan pemerataan dokter, memotivasi dokter untuk meningkatkan kompetensinya, dan mengurangi disparitas pendapatan antar dokter. Dengan kata lain, metode membayar dokter dapat digunakan sebagai kekuatan untuk menata ulang sistem pelayanan yang saat ini berberorientasi spesialis menjadi berorientasi pelayanan primer. Dasar pemikiran ini yang mendorong IDI untuk mencari metode membayar yang lebih tepat guna dan berhasil guna dalam mencapai tujuan utama penerapan JKN. Peluang untuk membayar DLP dengan metode lain dimungkinkan oleh peraturan yang ada. Dalam buku Metode Membayar Dokter Layanan Primer Dalam Era JKN ini penulis mencoba menyajikan informasi ringkas tentang berbagai aspek yang terkait dengan membayar dokter. Tulisan diawali dengan sejarah pembayaran dokter yang sejak zaman Hipocrates sampai saat ini selalu menjadi dilemma, dan dalam palam pro-kontra ini disajikan pandangan dokter dan para penentu kebijakan publik. Menarik untuk menyimak berbagai isu dan kecenderungan sehingga dapat dipahami apa yang terjadi saat ini. Ada masalah mendasar dalam isu ini yang harus dicarikan jalan keluarnya bila kita ingin membangun sistem yang lebih baik. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page ii

3 Bab kedua menjelaskan Dokter Layanan Primer (DLP) yang akan menjadi tulang punggung program JKN. Pemahaman tentang peranan dan kedudukan, lingkup pelayanan, potensi produktivitas, dan bentuk entitas praktik DLP sangat diperlukan. Dalam setting pelayanan JKN, sebenarnya DLP mengemban fungsi baru yang tidak dikenal dalam sistem pelayanan yang berorientasi spesialis, yaitu sebagai gatekeeper. Banyak kebijakan yang masih simpangsiur tentang DLP, karena kita terperangkap dengan fungsi UKP dan UKM yang melekat di puskesmas. Diharapkan penjelasan ringkas di bab ini dapat membuka wacana untuk memahami DLP. Informasi lebih lengkap dapat dibaca di buku Membangun Praktik Dokter Layanan Primer Dalam Era JKN. Bab tiga menjelaskan metode membayar dokter yang lazim digunakan di berbagai negara agar pembaca memahami prinsip dasar serta kelebihan dan kekurangan setiap metode. Sebagai binatang ekonomi perilaku dokter mengikuti metode pembayaran sehingga kesalahan menerapkan metode membayar dokter dapat memberi dampak negatif bagi pasien dan masyarakat. Bab terakhir berisi gagasan untuk menggabungkan tiga metode membayar dokter dalam upaya menyingkirkan segi negatif dan menonjolkan segi positif dari setiap metode tersebut. Metode campuran ini disebut sebagai metode Sandwich, sesuai dengan komponennya yang terdiri dari 3 lapis. Metode Sandwich ini dapat diterapkan dalam skala mikro di sebuah fasilitas kesehatan dan dapat pula dijadikan kebijakan nasional untuk membayar profesi dokter di seluruh tanah air. Informasi yang disajikan dalam buku ini, diharapkan dapat membuka wacana para pemangku kepentingan untuk mengembangkan berbagai alternatif membayar dokter yang dapat diterima semua pihak, baik dokter, pasien maupun pembayar. Kepada para pengguna buku ini, kami harapkan saran perbaikan untuk menyempurnakan buku ini. Semoga bermanfaat. Jakarta, 1 Oktober 2013 Penyusun Dr. Gatot Soetono, MPH Dr. Dien Kurtanty, MKM METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page iii

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... iv I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sejarah Pembayaran Dokter Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter Isu Strategis dan Kecenderungan Istilah dan Batasan II. DOKTER LAYANAN PRIMER Jaminan Kesehatan Nasional Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Lingkup Pelayanan DLP Potensi Produktivitas DLP Entitas Praktik DLP Hubungan Praktik DLP dengan UKM III. METODE MEMBAYAR DOKTER Salary Fee For Service Kapitasi Case-Based Reimbursement Pay For Performance Metode Campuran IV. MEMBAYAR DLP di ERA JKN Dasar Pemikiran Metode Sandwich Komponen Basik Kompensasi Untuk Menghargai Tanggung-Jawab Dan Beban Kerja Insentif Untuk Mendukung Pencapaian Target Pembangunan Kesehatan Penerapan Metode Sandwich Implikasi Pada Kebijakan Nasional KEPUSTAKAAN LAMPIRAN-1: Contoh Pelayanan Praktik Dokter Layanan Primer METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page iv

5 LAMPIRAN-2: Contoh Menghitung Kapitasi Dokter Layanan Primer METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page v

6 I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Dalam dua dekade terakhir ilmu dan teknologi kedokteran mengalami kemajuan yang sangat pesat, kemajuan ini memberi konstribusi yang besar pada deteksi dini, penegakan diagnosis, pengobatan dan penyembuhan pasien, juga peningkatan efisiensi dan mutu pelayanan. Namun, seiring dengan kemajuan itu pelayanan kesehatan telah tumbuh menjadi industri yang kompleks, membutuhkan investasi besar dan sumber daya manusia profesional dari berbagai spesialisasi. Di negara yang regulasinya lemah, sistem pelayanan kesehatan akan terdorong menjadi berorientasi spesialis dan menghasilkan komoditi mahal, konsumtif, terfragmentasi, dan tidak sepenuhnya berdasarkan evidence based medicine. Kemajuan yang besar ini belum dapat dimanfaatkan sepenuhnya di Indonesia, mengingat keterbatasan infrastruktur, dana, sdm, dan manajemen yang mendukung ilmu dan teknologi tersebut. Fasilitas kesehatan di Indonesia belum memadai dari segi kualitas dan kuantitas, serta penyebarannya pun tidak merata. Rasio fasilitas kesehatan dengan jumlah penduduk masih jauh dari ideal yang menyebabkan terhambatnya akses masyarakat ke pelayanan kesehatan. Akses menjadi semakin terhambat dengan mahalnya biaya kesehatan saat ini. Keluhan masyarakat terhadap akses, mutu, dan biaya kesehatan menjadi berita sehari-hari. Bagi sebagian besar masyarakat, jatuh sakit berarti jatuh miskin. Dalam sistem pelayanan kesehatan, dokter mempunyai peranan yang sangat strategis bukan saja karena keterampilan dan kompetensinya, tapi juga karena peranannya dalam menyerap dan mengeluarkan biaya kesehatan. Proporsi biaya untuk membayar dokter terhadap total biaya kesehatan relatif besar, misalnya di Canada biaya dokter tercatat 15% dari total biaya kesehatan di negara tersebut (Deber, 1998). Hal yang lebih bermakna adalah kinerja dan perilaku dokter terbukti memberi pengaruh besar terhadap total biaya kesehatan. Setiap tindakan dokter dapat diibaratkan dirigen yang menaikkan atau menurunkan nada (baca biaya). Berbagai penelitian membuktikan bahwa perilaku dokter dalam menjalankan praktik kedokteran sangat dipengaruhi oleh metode membayar dokter. Salah satu metode membayar dokter, yaitu fee for service (FFS), selama ini dianggap sebagai biang keladi peningkatan biaya kesehatan. Di banyak negara FFS mulai ditinggalkan dan digantikan dengan metode baru seperti pay for performance (PFP). Di Indonesia, FFS sangat dominan dan mewarnai mindset para dokter dan pemangku kepentingan lain. Dalam situasi dan kondisi seperti tersebut di atas mulai awal tahun 2014 penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan di Indonesia akan memasuki era baru, era ketika pembiayaan kesehatan diwarnai oleh mekanisme asuransi kesehatan sosial dan pelayanan kesehatan diselenggarakan secara terpadu. Oleh sebab itu salah satu yang harus disiapkan adalah mencari metode membayar dokter yang sesuai dengan tujuan JKN, yaitu METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 6

7 dapat menjamin akses dan mutu pelayanan, serta penyebaran, kinerja dan kesejahteraan para dokternya. Dengan latar belakang inilah buku ini ditulis. 2. Sejarah Pembayaran Dokter Konsep tentang kompensasi dokter sudah menjadi perdebatan beberapa filsuf seperti Hipokrates, Aristoteles, Plato, Aristopan, Sopoles dan Galen. Hal ini berasal dari perbedaan dalam mengartikan pekerjaan dokter sebagai seni ataukah teknik (keterampilan). Menurut Aristoteles, jika praktik kedokteran merupakan keterampilan seperti tukang, maka dia memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kompensasi, sebagai sumber nafkah atas pelayanan yang telah diberikan. Namun jika praktik kedokteran adalah seni, maka pembayaran kompensasi dokter dianggap merendahkan profesinya. Bagi Hipokrates dan Galen, praktik kedokteran adalah seni dan kerja sosial, maka sebaiknya tidak menuntut pembayaran. Namun tidak semua dokter berasal dari keluarga kaya dan mulia seperti Hipokrates dan Galen, sehingga pada akhirnya banyak dokter yang menuntut pembayaran atas pelayanan yang diberikannya. Pembayaran kompensasi terhadap dokter mulai diatur sejak berabad-abad yang lalu. Salah satu bukti pengaturan ini dituliskan pada kode Hammurabi, yaitu seperangkat hukum yang ditetapkan oleh Raja Hammurabi dari Babilonia (± 2000 SM). Pada buku tersebut terdapat beberapa pembahasan tentang dokter termasuk bagaimana dokter harus dibayar untuk pelayanan yang mereka berikan. Misalnya, pada kode disebutkan bahwa seorang dokter yang telah menyembuhkan pasien yang luka parah atau melakukan bedah tumor maka dia akan menerima 10 uang perak, namun jika pasien tersebut orang miskin maka dia hanya menerima 5 uang perak, dan jika pasiennya adalah buruh maka dia akan menerima 2 uang perak dari majikannya. Pengaturan kompensasi dokter juga terjadi pada berbagai negara di dunia. Pada abad pertengahan di Eropa, dokter bekerja dan dibayar oleh pihak istana untuk melayani istana, serta dibayar oleh pihak gereja untuk melayani masyarakat miskin. Di Amerika, ada banyak sumber yang mencatat bagaimana dokter dibayar dan apakah kompensasi itu diatur atau tidak. Salah satu contohnya adalah pengaturan kompensasi dokter di Boston yang dibuat oleh Boston Medical Society sejak tahun Hal ini dibuat untuk mengurangi perilaku persaingan yang tidak sehat diantara para dokter. Regulasi itu mengatur upah minimal yang dapat diterima dokter, dan upah ini dapat lebih besar. Selain itu pasien hanya akan membayar untuk pelayanan yang disertakan obat-obatan dan prosedur tindakan. Aturan ini berlaku untuk setiap kunjungan yang disebut sebagai fee for service. Dalam perkembangannya biaya pengobatan menjadi tidak terkendali, biaya ke dokter cenderung naik meskipun situasi ekonomi sedang sulit. Misalnya, pada tahun 1795 dan 1806 saat pertumbuhan ekonomi sangat lambat, biaya ke dokter justru meningkat 50-60%. Tetapi besarnya kompensasi dokter di Amerika saat itu tidak merata, bergantung pada kondisi ekonomi setempat. Jika di Boston biaya ke dokter mahal, di South Carolina justru METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 7

8 sebaliknya, misalnya biaya amputasi tangan di Boston pada tahun 1806 sebesar $40.00 sedangkan di South Carolina tahun 1844 hanya $5.00. Di Kanada, kompensasi dokter pun mengalami peningkatan yang signifikan. Metode pembayaran kompensasi dilakukan dengan sistem gaji. Pada tahun 1653 seorang dokter bedah militer akan menerima total kompensasi sebesar 500 livre setahun untuk gajinya sebagai tentara, melayani 42 keluarga dan sebagai pengajar. Besarnya kompensasi ini adalah 17 kali lebih besar dibandingkan dengan upah minimal seorang pekerja saat itu. Kemudian pada pertengahan abad kedelapan belas, kompensasi dokter meningkat menjadi 2400 livre atau 60 kali lebih besar dibandingkan upah minimal pekerja. Pengaturan kompensasi dokter juga dilakukan di Australia dimulai pada pertengahan abad kesembilan belas oleh The Port Philip Medical Association. Besarnya kompensasi diatur berdasarkan tiga kelas yang berbeda. Kelas pertama ditujukan bagi orang kaya yang membayar dua hingga lima kali lebih besar dibandingkan kelas 3 untuk orang miskin pada jenis layanan yang sama. Sejak zaman Hipocrates sampai saat ini pelayanan kesehatan telah tumbuh dari pelayanan oleh individual dokter (healer) menjadi pelayanan oleh entitas yang melibatkan banyak orang, banyak disiplin, salah satunya dokter, dan kompleks. Metode membayar dokter pun turut berkembang dari metode tradisional seperti fee for service, salary dan kapitasi menjadi metode yang lebih modern seperti case mix, rbrvs dan pay for performance. Perkembangan metode pembiayaan dokter ini mengindikasikan bahwa perkembangan ilmu dan pelayanan kedokteran perlu diiringi dengan metode membayar dokter yang tepat agar peran strategis profesi dokter dapat diberdayakan untuk sebesar-besarnya kepentingan seluruh masyarakat. Sejarah pembayaran dokter di Indonesia seumur dengan sejarah dokter Indonesia yang diawali oleh Dokter Jawa, yang awalnya dididik sebagai mantri cacar oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selanjutnya pendidikan Dokter Jawa ditingkatkan dan dokter lulusan STOVIA digaji 150 gulden per bulan, suatu jumlah yang sangat besar pada zaman itu. Karena kebutuhan masyarakat, dokter diberi wewenang untuk praktik partikelir di luar jam kerja dengan cara pembayaran fee for service (FFS). Dengan dua sumber pendapatan ini profesi dokter memiliki tingkat sosial-ekonomi yang jauh di atas rata-rata penduduk, sehingga tidak mengherankan bila banyak orang tua memimpikan anaknya menjadi dokter. Metode yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun ini berlanjut sampai saat ini, tapi ada perbedaan yang mendasar. Saat ini sumber pendapatan dari kerja utama sebagai PNS tidak cukup untuk hidup layak, sehingga seorang dokter terpaksa harus melakukan kerja tambahan untuk mencukupi hidupnya. Tingginya demand pelayanan kesehatan dan adanya keterbatasan dokter menyebabkan tidak semua fasilitas kesehatan mempekerjakan dokter sebagai pegawai tetap. Kondisi ini menumbuhkan cara pembayaran baru, yaitu dokter bekerja paruh waktu di luar jam kerja utamanya dan diberi gaji setiap bulan yang besarnya ditentukan dari persentase tarif pelayanan medik. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 8

9 3. Persepsi Tentang Pendapatan dan Kerja Dokter Kita sering mendengar ungkapan Medicine is a science and an art. Ungkapan ini menunjukkan bahwa seorang dokter dalam menjalankan profesinya dituntut tidak saja menguasai pengetahuan dan keterampilan tinggi, tapi juga dapat memadukan nalar, rasa dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi pasiennya. Sehingga cara ia menangani masalah kesehatan yang sama pada dua individu bisa berbeda, meskipun sebenarnya ia melayani kedua pasien tersebut dengan kompetensi/kewenangan yang sama, bahkan dengan peralatan medis dan obat-obatan yang sama. Hal ini karena ia memahami bahwa ia sedang mengobati seorang manusia yang sedang menderita penyakit, bukan mengobati penyakit yang ada di manusia. Ungkapan medicine is an art perlu dipahami dalam konteks di atas. Pekerjaan dokter sangat terukur, langkah demi langkah mengikuti prosedur yang disusun berdasarkan bukti ilmiah. Dengan demikian seorang dokter tidak bisa mengaku dirinya sebagai seorang artis, dan kemudian menghargai layanannya sebagai suatu karya seni layaknya produk seorang artis yang seakan nilainya sangat subjektif dan tidak bisa diukur. Sebaliknya, kerja dan imbalan jasa untuk kerja dokter dapat dinilai secara objektif. Dokter dalam menjalankan profesinya dipayungi Undang-Undang Praktik Kedokteran. Ia diwajibkan mengikuti standar profesinya dan standar prosedur operasional yang berlaku. Standar prosedur operasional ini serba terukur dan karenanya setiap tindakan/prosedur medik dapat diperkirakan waktunya. Waktu untuk menjalankan profesinya mengikuti kaidah yang umum berlaku, 40 jam per minggu, dan mempertimbangkan keterbatasan seorang manusia. Tidak mungkin seorang dokter dapat bekerja nonstop 24 jam terus menerus tanpa istirahat, karena ini berdampak pada keselamatan pasien. Kerja profesi medik merupakan kerja profesional yang membutuhkan kerja fisik dan mental, harus membuat keputusan (judgement) dalam waktu cepat yang kadang kala menyangkut mati/hidup/kecacatan yang sering menimbulkan beban stres. (W. Shiao, 1988). Ia pun harus memiliki pengetahuan dan keterampilan tinggi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya. Dengan gambaran ini produktivitas dokter per satuan waktu (hari, bulan, tahun) dapat dihitung. Bila produktivitas dapat dihitung berarti potensi kompensasi (pendapatan) seorang dokter pun dapat pula dihitung. Secara umum besarnya potensi pendapatan dokter setahun merupakan perkalian antara produktivitas dokter dengan jasa medik. Jasa medik adalah imbalan yang diberikan kepada dokter untuk suatu jenis layanan medik (dalam metode pembayaran FFS). Besarnya jasa medik seyogianya mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat membayar (ability and willingness to pay). Pada hakekatnya kompensasi (pendapatan) dan jasa medik merupakan wujud dari tingkat penghargaan masyarakat pada profesi dokter dan bagaimana dokter sendiri menghargai profesinya. Idealnya jasa medik ini dapat memenuhi harapan kedua belah pihak. Pihak pasien/pembayar merasa puas dengan tarif layanan dan mutu layanan yang diterimanya, dan pihak pemberi layanan (dokter) merasa puas dengan penghargaan yang pantas untuk kerja profesionalnya (lihat gambar). METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 9

10 Dasar pemikiran ini yang dijadikan landasan untuk menjelaskan pasal 50 dan 53 Undangundang Praktik Kedokteran tentang hak/kewajiban dokter dan pasien melalui gambar berikut ini. UU Praktik Kedokteran Memberi imbalan jasa Pasien Kemampuan & Kemauan membayar Kerja Profesi Medik Kerja fisik & mental, ketrampilan teknis, keputusan klinis, beban stress, sesuai kompetensi & kewenangan Waktu yang tersedia Untuk menjalankan praktik setahun Potensi Produktivitas menyajikan layanan medic setahun Menerima imbalan jasa Pemberi Layanan Kenyataan/ Harapan Potensi Kompensasi dari praktik kedokteran setahun Rentang Jasa Medik Masuk akal, layak & berkeadilan Gambar 1-1. Produktivitas dokter integral dengan kompensasi dokter Dengan melihat hubungan antara kerja dokter, waktu, produktivitas, kompensasi dan jasa medik, dapat dipahami bila produktivitas dokter merupakan bagian yang tak terpisahkan (integral) dari kompensasi, dan kompensasi dokter dirumuskan menjadi formula generik (Griffith, 2001) sebagai berikut. Perspektif Dokter Menarik untuk mengetahui perspektif dokter tentang bagaimana seharusnya dokter dibayar dan apa alasannya. Berikut ini berbagai pandangan para dokter tentang kompensasi yang dihimpun dari berbagai sumber: 1. Dokter seyogianya dibayar sepadan dengan pola pendidikannya yang lebih lama dari profesi lain, dan sepadan dengan kewajiban belajar sepanjang hayat untuk memelihara dan mengembangkan keterampilan dan pengetahuannya. Kewajiban ini tidak ada pada profesi lain. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 10

11 2. Dokter seyogianya dibayar lebih tinggi karena jam kerja dokter umumnya lebih tinggi dari jam kerja profesi lain. 3. Dokter yang menghasilkan pelayanan bermutu tinggi seyogianya dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan layanan yang berkualitas rendah. 4. Dokter yang menghasilkan kuantitas layanan banyak seyogianya dibayar lebih banyak dibandingkan dokter yang menghasilkan pelayanan yang lebih sedikit. 5. Pelayanan berupa prosedur atau tindakan medis seyogianya bukan satu-satunya faktor penentu bahwa dokter dibayar lebih dari dokter lainnya. 6. Cara pembayaran profesi dokter seyogianya tidak mengurangi otonomi profesi dokter dan tidak membatasi kebebasan profesi dokter dalam memilih dan memberi layanan medik yang dibutuhkan pasiennya. 7. Kompensasi yang diberikan pada profesi dokter seyogianya bukan bersadarkan status kepegawaian, kepangkatan atau institusi tempat dokter bekerja. Perspektif Kebijakan Publik 1. Pembayaran dokter hendaknya tidak menjadi hambatan bagi individu pasien untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang dibutuhkannya. 2. Jasa profesi dokter seyogianya mempertimbangkan kemampuan masyarakat (ability to pay) dan kemauan masyarakat (willingness to pay) membayar pelayanan kesehatan, dan nilainya seyogianya wajar, masuk akal, dan berkeadilan. 3. Keseimbangan pendapatan antar-dokter dan antar-spesialisasi seyogianya dapat mendorong terwujudnya piramida pelayanan kesehatan (primary, secondary & tertiary care). 4. Keseimbangan pendapatan dokter antar-wilayah seyogianya dijaga agar pemerataan distribusi dokter di Indonesia dapat terwujud. 5. Kompensasi dokter integral dengan produktivitas dokter dan seyogianya dihitung berdasarkan kerja dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dengan mempertimbangkan karakteristik profesi dokter, waktu dan intensitas kerja dokter, dan kontribusi dokter dalam pembangunan kesehatan. 6. Metode pembayaran dokter seyogianya dapat mendorong peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan kedokteran bagi sebesar-besarnya kepentingan individu pasien, dokter dan pembayar. 7. Metode untuk menentukan kompensasi dokter seyogianya mempertimbangkan produktivitas dan mutu layanan, mudah diterapkan, transparan dan akuntabel. 8. Kompensasi dokter dipengaruhi hukum ekonomi (supply and demand), sehingga harus dikawal dengan regulasi untuk menjamin ketersediaan dan distribusi dokter di seluruh wilayah Indonesia. 9. Dokter seyogianya menerima kompensasi yang seimbang dengan trias peran dokter (agent of change, angent of development & agent of treatment) yang sangat strategis dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan kesehatan nasional. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 11

12 4. Isu Strategis dan Kecenderungan Proporsi Pembiayaan Didominasi UKP Pembiayaan kesehatan di Indonesia masih rendah, rata-rata 2,2% dari produk domestik bruto (PDB), masih jauh di bawah angka yang dianjurkan WHO maupun yang ditetapkan UU Kesehatan, yaitu paling sedikit 5% dari PDB setahun. Sebagian besar digunakan untuk belanja upaya kesehatan perorangan (UKP) yang didominasi upaya kuratif dan belanja obat, dan hanya sebagian kecil untuk upaya kesehatan masyarakat (UKM). Pembiayaan UKM yang rendah pada gilirannya menjadi bumerang dan membebani UKP, karena masalah kesehatan yang harusnya bisa dicegah kemudian menjadi penyakit yang harus diselesaikan di UKP. Rendahnya alokasi dana UKM ini, salah satunya karena UKM hasilnya baru tampak dalam jangka panjang, sangat berbeda dengan UKP yang hasilnya bisa segera dirasakan. Bila kedua upaya ini dikelola oleh satu institusi, biasanya alokasi dana UKM selalu kalah bersaing dengan UKP. Dalam era JKN perencanaan kebutuhan dana UKP menjadi lebih mudah dan pasti, karena berdasarkan jumlah populasi dan besaran iuran, dan selanjutnya dana ini akan dikelola oleh BPJS. Di sini tampak ada kecenderungan peran Pemerintah sebagai pelaksana UKP menurun dan seyogianya penurunan kapasitas ini dikompensasi untuk meningkatkan kapasitas UKM. Dengan demikian pembangunan kesehatan nasional ditopang oleh UKP dan UKM yang sama kuatnya. Pelayanan Kesehatan Jadi Komoditas Pelayanan kesehatan telah menjadi komoditas, dalam arti hanya mereka yang memiliki uang yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan. Komoditas pun bukan komoditas biasa, tapi komoditas yang mahal dan harganya meningkat dari tahun ke tahun, sehingga membebani masyarakat, terutama masyarakat miskin dan masyarakat yang tidak mempunyai asuransi kesehatan. Biaya berobat telah menjadi penghalang (financial barrier) akses ke layanan kesehatan. WHO melaporkan 152 juta orang setahun yang bangkrut dan ekonomi keluarganya morat-marit karena mahalnya biaya kesehatan (financial catastrophy) dan 100 juta orang setahun yang jatuh miskin karena sakit (WHO, 2002). Munculnya gurauan SADIKIN (sakit sedikit jadi miskin) di masyarakat sebenarnya merepresentasikan kondisi yang dilaporkan WHO. Penerapan JKN menunjukkan keberadaan Negara yang ingin mengembalikan pelayanan kesehatan menjadi hak penduduk, dan untuk itu dibutuhkan banyak rambu-rambu regulasi yang harus dibuat untuk mendukung penerapan JKN. Moral Hazards Dalam kondisi pelayanan kesehatan yang telah menjadi komoditas dan kentalnya konsumerisme, masyarakat dihadapkan pada pilihan yang tidak mudah dalam mencari pelayanan kesehatan yang sesuai dengan kebutuhannya, mengingat keterbatasan informasi yang dimilikinya (asimetry information). Seiring dengan itu masyarakat membayar secara out of pocket (OOP) dan fee for service (FFS) pada saat mereka membutuhkan pelayanan. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 12

13 Asimetry information, OOP, dan FFS secara bersamaan berpotensi memicu moral hazards. Indikasi moral hazards ini sebenarnya kasat mata kalau dilihat dari tingginya angka secio caesaria dan meningkatnya penggunaan obat-obat mahal. Dengan pembayaran secara praupaya dan kapitasi dalam JKN, kecenderungan moral hazards akan tetap ada, baik dari peserta JKN maupun dari pemberi layanan kesehatan. Oleh sebab itu penerapan JKN harus diiringi dengan kebijakan untuk menekan serendah mungkin terjadinya moral hazards ini. Paradoks Pendapatan Dokter Survei IDI tahun 2007 menunjukkan keadaan yang bertentangan dengan kelaziman (paradoks), yaitu kerja utama (40 jam per minggu) hanya menghasilkan 15-20% dari total pendapatan dokter. Lazimnya kerja utama menjadi sumber pendapatan utama untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL), dan kerja tambahan hanya dilakukan bila seseorang ingin lebih dari cukup. Paradoks ini yang menyebabkan dokter terpaksa harus bekerja tambahan (praktik) diluar jam kerja utamanya, yang awalnya hanya untuk menutupi kebutuhan hidup kemudian diterima seolah-olah sebagai kelaziman. Implikasi dari kondisi ini adalah profesi dokter harus bekerja lebih lama dari profesi lainnya (58-65 jam per minggu), dokter lebih loyal pada kerja yang memberikan pendapatan terbesar (bias loyalitas), dokter lebih memilih berpraktik di lokasi yang dapat menjamin pendapatannya (maldistribusi), dan institusi tempat dokter bekerja paruh waktu tidak bertanggung jawab untuk membina dokter sehingga pembinaan dokter terabaikan. Dalam era JKN, fasilitas kesehatan (faskes) dilibatkan untuk menanggung risiko biaya kesehatan dan karena tidak mau merugi otomatis faskes akan mentransfer pula risiko ini ke dokter. Kondisi ini menumbuhkan kecenderungan dokter akan bekerja di satu institusi saja (monoloyalitas) yang berarti pula di masa depan pendapatan dokter berasal dari 1 sumber pendapatan saja. Produktivitas Dokter Terabaikan Saat ini, produktivitas dan pola pelayanan dokter Indonesia terabaikan karena sebagian besar dokter bekerja di beberapa institusi. Misalnya: berapa rerata pasien yang dilayani setahun? Berapa rerata waktu tatap mukanya? Data sederhana ini saja sulit diperoleh atau tidak ada data nasional. Padahal data produktivitas dokter sangat diperlukan untuk merencanakan kebutuhan dokter dan menyusun sistem remunerasi dokter. Kondisi ini menunjukkan kalau kebutuhan dokter belum direncanakan dengan baik, dan belum ada sistem kompensasi/pendapat dokter yang memperhitungkan produktivitas dokter, misalnya per 1 FTE (Full Time Equivalent). Keberhasilan JKN diukur salah satunya dari akses penduduk ke faskes primer, artinya seluruh penduduk terbagi habis ke faskes primer. Jadi isu strategis dalam penerapan JKN adalah bagaimana mendorong pemerataan dan penyebaran dokter ke seluruh wilayah Indonesia. Kebijakan untuk menjawab isu ini tentunya membutuhkan dukungan data, dan salah satunya adalah data tentang produktivitas dan pola pelayanan dokter. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 13

14 Fragmentasi Pelayanan Kesehatan Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran telah mendorong tumbuhnya percabangan ilmu kedokteran dan berlanjut menjadi fragmentasi pelayanan kesehatan. Pelayanan tradisional diwarnai dengan model hubungan one to one, yang terjadi karena pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan pasien melekat pada diri seorang dokter. Kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran telah mengubah model hubungan ini menjadi hubungan many to one, dalam arti beberapa spesialis yang memiliki kompetensi berbeda bersama-sama menangani masalah kesehatan seorang pasien. Dalam pembayaran FFS fragmentasi pelayanan ini menguntungkan dokter namun membebani pasien, misalnya seorang pasien yang dirawat 4 spesialis biaya dokternya menjadi 4 kali lipat. Dalam era JKN karena faskes dilibatkan dalam menanggung risiko finansial, maka ada kecenderungan faskes akan menata ulang tata cara pelayanan pasiennya dan cara membayar dokternya. Kondisi ini akan mendorong faskes untuk membuat suatu sistem remunerasi untuk seluruh personilnya, termasuk sistem remunerasi dokter. Status, Pendapatan, Dan Karir Dokter Tidak Jelas Pada tahun 60an, masuk ke fakultas kedokteran gratis (malah sebagian mendapat uang saku/beasiswa). Setelah lulus semuanya ditampung menjadi dokter PNS/ABRI dan mendapat gaji plus fasilitas lain yang cukup untuk hidup layak. Karena punya privilege menjalankan praktik pribadi untuk mendapat tambahan penghasilan secara resmi, maka tingkat ekonomi profesi dokter lebih tinggi dari PNS lainya. Kini keadaan telah berubah! Untuk menjadi dokter dibutuhkan modal juta. Begitu lulus para dokter baru menanggung beban finansial akibat proses pendidikannya dan ia dihadapkan pada pasar tenaga kerja yang tidak informatif, tidak jelas karir dan pendapatannya sebagai seorang dokter. Sekitar 10% dokter dari sekitar 5000 lulusan dokter yang direkrut sebagai PNS, gajinya tidak mencukupi untuk hidup layak sehingga praktik pribadi menjadi keharusan dan sumber pendapatan utama. Dalam ketidakpastian karir dan pendapatan ini, para dokter memilih menjadi spesialis sebagai pilihan untuk mengamankan pendapatan dan masa depannya. Penerapan JKN membutuhkan sistem pelayanan kesehatan berorientasi pelayanan primer. Dalam sistem ini dapat dipastikan mayoritas dokter Indonesia adalah dokter layanan primer (DLP). Data dari tahun 60an sampai saat ini menunjukkan kecenderungan proporsi dokter PNS terus menurun dan saat ini mayoritas dokter adalah non-pns. Kecenderungan menurunnya dokter yang menjadi PNS dapat dimengerti, karena sebenarnya dokter termasuk kategori self-employed profesion. Kecenderungan ini harus menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan model entitas praktik dokter di wilayah pekotaan, pedesaan dan daerah terpencil dalam era JKN. Kesenjangan Pendapatan Antar-dokter Kondisi carut-marutnya sistem pelayanan kesehatan dan pembayaran yang didominasi oleh FFS telah mendorong terjadinya persaingan yang tidak sehat antar-dokter. Bila pada tahun METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 14

15 60-70an kesenjangan antar-dokter tidak begitu besar, kini kesenjangan pendapatan antardokter dan antar-spesialisasi menjadi sangat besar, apalagi kesenjangan antara dokter spesialis (DSP) dengan dokter praktik umum. Survei IDI pada tahun 2007 menunjukkan pendapatan dokter spesialis kali pendapatan dokter praktik umum. Di negara OECD kisarannya hanya kali dan di USA kisarannya 1,5-3,8 kali. Isu kesenjangan dokter ini merupakan isu krusial yang dapat menghambat keberhasilan penerapan JKN. Mengingat dalam era JKN dokter layanan primer (DLP) ditempatkan sebagai fondasi sistem pelayanan kesehatan dan harus tersedia merata di seluruh tanah air, maka harus ada kebijakan yang menjadikan DLP sebagai profesi yang atraktif dari segi karir, pendapatan, dan perannya di masyarakat. Salah satu kebijakan untuk menjamin eksistensi DLP adalah jaminan pendapatan yang relatif tidak jauh berbeda dengan dokter spesialis. 5. Istilah dan Batasan Kompensasi: Adalah penghargaan berbentuk finansial (uang) dan non-finansial (bukan uang) yang langsung dan tidak langsung diberikan kepada seseorang sebagai imbalan untuk suatu pekerjaan, dengan mempertimbangkan nilai pekerjaaan tersebut serta kontribusi dan kinerja seorang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut. Kompensasi langsung biasanya berbentuk pendapatan per periodik (pendapatan dasar plus insentif yang terkait dengan produktivitas), sedangkan kompensasi tidak langsung berbentuk manfaat/imbalan tambahan yang punya nilai ekonomi (fringe benefits), misalnya: tunjangan kesehatan, jamsostek, THR, bonus tahunan, mobil perusahaan, program kepemilikan rumah, tunjangan telepon seluler, dan lain-lain. Manfaat tambahan (fringe benefits) Adalah fasilitas tambahan yang diberikan kepada dokter, yang mempunyai nilai finansial, tetapi tidak dibayarkan secara langsung kepada dokter, seperti asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi malpraktik, biaya CPD, perumahan, kendaraan, dan lain lain. Fringe benefits biasanya diberikan untuk menjadi daya tarik dan untuk menahan dokter agar betah dan tidak pindah ke institusi lain. Gaji Adalah kompensasi bersifat pasti dan dibayarkan pada waktu yang tetap (mingguan, dua mingguan atau bulanan). Banyak gaji yang mencakup juga manfaat/imbalan tambahan seperti tunjangan transport, perumahan, kemahalan, dan kesehatan, dan tunjangan lainnyanya. Honorarium Adalah sejumlah uang (fee) yang diberikan kepada seorang profesional untuk suatu pelayanan, seperti pembicara seminar, pengajar tamu dan lain-lainnya yang biasanya pelaksanaannya hanya sesekali saja. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 15

16 Jasa medik (medical fee): Adalah imbalan yang diterima dokter untuk setiap layanan medis yang diberikan kepada pasiennya (pada cara pembayaran fee for service). Insentif Adalah sejumlah rupiah (fee) di luar gaji yang diberikan atas pencapaian seseorang dengan memakai indikator tertentu. Sistem remunerasi/sistem kompensasi/sistem penggajian Adalah tata cara suatu organisasi untuk membayar seseorang yang terikat ikatan kerja dengan organisasi tersebut. Tata cara ini umumnya menggabungkan beberapa metode pembayaran dengan tujuan meningkatkan kinerja dan produktivitas. Dalam organisasi pemerintahan Indonesia, sistem remunerasi adalah tata cara memberikan imbalan tambahan di luar gaji PNS yang sudah diatur di PGPNS. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 16

17 II. DOKTER LAYANAN PRIMER 1. Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan adalah perlindungan kesehatan agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan, yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah berdasarkan prinsip asuransi kesehatan sosial. Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) harus ditopang oleh dua sistem, yaitu sistem pembiayaan kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan. Kedua sistem ini harus dapat diintegrasikan untuk menjamin hak masyarakat memperoleh akses ke pelayanan kesehatan bermutu. Sistem pembiayaan kesehatan Sistem pembiayaan kesehatan memiliki 3 fungsi utama, yaitu: mengumpulkan dana dari peserta (collecting), menghimpun dana dan meminimalkan risiko (risk polling), dan membeli dan menyediakan layanan kesehatan untuk melayani peserta (purchasing). Ketiga fungsi ini dilaksanakan berlandaskan pada kaidah dan prinsip asuransi kesehatan sosial. Gambar 2-1. Sistem pembiayaan kesehatan Ketiga fungsi ini akan dilaksanakan oleh sebuah badan hukum publik, yaitu badan penyelenggara jaminan sosial bidang kesehatan (BPJS) yang merupakan transformasi PT Askes menurut amanat UU BPJS. BPJS berfungsi mengumpulkan dana dari pembayar (payor) dengan mekanisme tertentu, mengelola dana tersebut, serta menyeleksi dan mengontrak pemberi layanan kesehatan (provider) untuk melayani peserta JKN. Dengan mekanisme ini tidak ada hambatan akses finansial untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Lihat gambar). Adanya JKN tidak berarti peserta sama sekali terbebas dari hambatan finansial, karena peserta tetap harus menanggung biaya tidak langsung. Untuk meminimalkan pengeluarkan METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 17

18 biaya tidak langsung ini, BPJS harus mengupayakan ketersediaan provider sedekat mungkin atau di tengah masyarakat. Sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer Sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer adalah sistem pelayanan kedokteran yang bertumpu pada konsep primary health care (PHC). Sistem ini ditata menjadi 3 strata sesuai dengan pola pencarian pelayanan kesehatan di masyarakat. Strata pertama berfungsi sebagai mitra masyarakat dalam menerapkan perilaku hidup sehat, memelihara kesehatan dan mengatasi sebagian besar masalah kesehatan sehari-hari. Karena fungsinya ini entitas strata pertama harus berada di tengah atau sedekat mungkin dengan masyarakat yang dilayani. Strata kedua berfungsi mendukung (back-up) strata pertama, untuk mengatasi masalah kesehatan yang tidak dapat diselesaikan di strata pertama. Strata ketiga merupakan pusat rujukan untuk mengatasi kasus-kasus langka yang membutuhkan pengetahuan, keterampilan dan peralatan medik yang sangat spesifik. Fungsi ini menjadikan strata ketiga sebagai pusat rujukan dan juga pusat penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran (center of excellence). Dalam fasilitas kesehatan yang tertata seperti ini masyarakat wajib mendaftarkan diri ke satu point of care strata pertama yang berada di wilayahnya dan selanjutnya memanfaatkan point of care tersebut bila ia membutuhkan pelayanan kesehatan. Sistem pelayanan kedokteran dengan ciri-ciri seperti di atas disebut sistem pelayanan kedokteran berorientasi pada pelayanan primer. Gambar berikut ini adalah visualisasinya. Gambar 2-2. Kerangka konsep sistem pelayanan kesehatan berbasis pelayanan primer METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 18

19 2. Peranan Dan Kedudukan DLP Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Dokter Layanan Primer (DLP) adalah dokter yang memiliki kompetensi luas tentang beragam disiplin ilmu kedokteran, tetapi tidak sedalam spesialis bidang tersebut, yang diperoleh melalui pendidikan setara spesialis dan ranah kerjanya di strata primer. DLP berperan sebagai ujung tombak atau pintu masuk masyarakat ke sistem pelayanan kesehatan dan berfungsi menyelesaikan sebagian besar masalah kesehatan individu dan keluarga. Ia berperan sebagai mitra, pembina, pemberi layanan, dan koordinator segala kebutuhan pelayanan kesehatan dari komunitas yang dibinanya. Peran ini mengharuskan DLP berdomisili dan berpraktik di tengah masyarakat atau sedekat mungkin dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan kata lain, peranan dan kedudukan DLP adalah dokter yang ditempatkan di tengah masyarakat untuk melaksanakan trias peranan dokter, yaitu agent of change, agent of development, dan agent of treatment. Saat ini yang disebut DLP adalah semua dokter non-spesialis yang berpraktik di strata pertama. Para dokter ini, yang jumlahnya an bekerja di puskesmas, klinik, dan klinik 24, dan praktik sendiri. Kompetensi para dokter ini sangat heterogen dan belum sepenuhnya dapat menjalankan peranan sebagai gatekeeper program JKN. 3. Lingkup Pelayanan DLP Pelayanan DLP merupakan pelayanan kontak pertama dalam arti pelayanan yang pertama kali dikunjungi masyarakat bila ia membutuhkan layanan kesehatan, baik untuk keperluan pemeliharaan dan pencegahan penyakit di kala sehat maupun keperluan pengobatan di kala sakit. Idealnya DLP dapat menyediakan 20 jenis pelayanan di bawah ini dengan mutu dan standar yang sama baiknya untuk melayani peserta JKN (Lihat lampiran 1). 1). Penilaian Status Kesehatan Pribadi (Wellnes Checkup) Penilaian faktor risiko, pemeriksaan fisik dan wellness setiap peserta JKN untuk memperoleh profil kesehatan pribadi guna merancang program proaktif yang spesifik bagi setiap peserta JKN. 2). Program Proaktif Pengendalian Penyakit/Kondisi Khusus Program promotif-preventif yang dilaksanakan secara proaktif untuk mengendalikan penyakit atau kondisi khusus, seperti hipertensi, diabetes mellitus, hiperlipidemia, kegemukan, merokok, dan lain-lainnya. 3). Pendidikan Kesehatan Program pendidikan kesehatan untuk modifikasi gaya hidup, mengendalikan faktor risiko, seperti konseling individu, pembinaan keluarga, edukasi kelompok, mini seminar, brosur/e-brosur. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 19

20 4). Pencegahan Kegiatan preventif untuk melindungi peserta dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi, skrening dan detekni dini sebelum penyakit bergejala. 5). Pemeliharaan Kesehatan Bayi Dan Anak Balita Pemeriksaan rutin pada bayi dan anak balita, seperti memantau pertumbuhan, status imunisasi dan gizi, perkembangan motorik, dan memberikan nasehat tentang perawatan, nutrisi, dan psikologi agar tercapai pertumbuhan yang optimal. 6). Pemeliharaan Kesehatan Anak Usia Sekolah Bekerja sama dengan puskesmas dan sekolah yang berada di wilayah praktiknya untuk melaksanakan pemeriksaan rutin dan deteksi dini masalah kesehatan anak usia sekolah. 7) Pemeliharaan Kesehatan Wanita Dan Kesehatan Reproduksi Melaksanakan pemeriksaan rutin, deteksi dini, dan pengelolaan masalah kesehatan yang khusus ada pada wanita, seperti deteksi dini kanker mulut rahim, kanker payudara, dan sindroma menopause, serta menyediakan pelayanan KB. 8). Pemeliharaan Kesehatan Lansia Melaksanakan pemeriksaan rutin bagi mereka yang termasuk kelompok lansia untuk deteksi dini dan mengelola masalah kesehatan yang sering ditemui di usia lanjut, seperti pembesaran prostat, penyakit degeneratif, dan lain-lainnya. 9). Pemeriksan Antenatal/ Postnatal dan Persalinan Melakukan pemeriksaan rutin pada peserta yang hamil agar diperoleh kehamilan yang baik dan persalinan yang aman. 10). Konsultasi, Diagnosis, dan Pengobatan Memberikan layanan konsultasi dan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, menegakkan diagnosis, pengobatan, dan tindakan medis yang sesuai dengan kompetensi dan kewenangan DLP. 11). Peresepan Obat Meresepkan obat-obatan secara rasional sesuai dengan kebutuhan medis peserta dan mengutamakan penggunaan obat esensial dan obat generik yang terdapat di dalam Formularium Obat Pelayanan Primer. 12). Tindakan Medis Melakukan tindak medis yang menjadi kompetensi dan kewenangannya, antara lain tindakan bedah kecil (ekstirpasi, insisi, sirkumsisi), injeksi, resusitasi. 13). Penunjang Diagnostik Melakukan pemeriksaan penunjang diagnostik seperti laboratorium untuk layanan strata pertama, elektrokardiografi, ultrasonografi, dan fasilitas penunjang lainnya. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 20

21 14). Rehabilitasi Medik Menyediakan perawatan rehabilitasi medik bagi penderita pasca-stroke, pascabedah, dan kondisi lainnya. Perawatan rehabilitasi medik ini sebatas kompetensi DLP dan timnya dan dapat dilakukan di tempat praktik atau di rumah peserta. 15). Kunjungan Rumah Melakukan kunjungan rumah untuk memberikan layanan bila kondisi mitra, karena alasan medis, tidak memungkinkannya datang ke praktik DLP. 16). Perawatan di Rumah Peserta dapat minta dirawat di rumah karena pertimbangan ekonomi, kenyamanan, termasuk untuk akhir kehidupan, dan DLP akan menyetujui permintaan tersebut bila secara medis memungkinkan. 17). Kunjungan Ke Rumah Sakit DLP akan mengunjungi peserta yang dirawat di rumah sakit untuk menjelaskan riwayat penyakit mitra kepada dokter yang merawat dan memantau perawatan mitra. 18). Layanan Mendesak/Gawat Darurat DLP siap untuk memberikan layanan mendesak atau gawat darurat yang sewaktu-waktu terjadi di tempat praktik, seperti mengatasi syok atau asma akut. 19) Koordinasi dan fasilitasi rujukan DLP menyiapkan data, surat dan kondisi peserta, dan menghubungi dokter di fasilitas kesehatan rujukan untuk mengkoordinasikan kebutuhan pasiennya. 20) Ambulans Sesuai dengan kebutuhan dan kondisi setempat, praktik DLP dapat dilengkapi dengan layanan ambulans untuk kemudahan dan kenyamanan transportasi peserta yang memiliki kondisi khusus. 4. Potensi Produktivitas DLP 1 Full Time Equivalent DLP Produktivitas DLP terkait langsung dengan waktu efektif yang tersedia untuk melayani pasien. Sebagaimana profesi lainnya, DLP bekerja 40 jam per minggu, atau 8 jam per hari sepanjang hari kerja setahun. Sebagaimana di banyak negara, karena sifat pekerjaannya, profesi dokter mempunyai jam kerja yang lebih panjang dari profesi lainnya. Dengan memperhitungkan jumlah hari libur nasional, Sabtu/Minggu, cuti tahunan, maka waktu kerja DLP adalah sekitar jam/tahun (Lihat tabel). Dengan acuan jam kerja tersebut, pada kajian yang dilakukan di satu klinik yang hasilnya dibandingkan data dari beberapa negara diperoleh gambaran bahwa idealnya alokasi waktu kerja DLP terbesar adalah untuk kegiatan tatap muka dengan pasiennya (face to face/f2f). Sisa waktunya digunakan untuk kegiatan pendukung, seperti CPD, dan administrasi. METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 21

22 Pada tabel berikut ini disajikan kegiatan rutin DLP dalam memanfaatkan jam waktu kerjanya dengan proporsi waktu yang ideal, yaitu 80% untuk tatap muka melayani pasien (peserta baru, kasus baru, kasus lama, edukasi, tindakan medik, dan kunjungan rumah), dan 20% untuk kegiatan lain. Dengan proporsi waktu tersebut DLP dapat melayani kunjungan atau sekitar 28 kunjungan per hari dengan variasi waktu tatap muka yang berbeda. Produktivitas ini dipengaruhi oleh keterampilan, cara kerja, standar sarana dan perangkat kerja, serta dukungan dari tim kerja DLP. Pada Tabel 2-1 di bawah ini, tampak bahwa potensi produktivitas seorang DLP dalam setahun adalah sekitar kunjungan (dibulatkan menjadi kunjungan). Angka ini disebut 1 full time equivalent atau 1 FTE. Tabel 2-1 Potensi produktivitas seorang dokter layanan primer Kegiatan Rutin DLP Proporsi waktu Waktu tersedia per tahun (jam) Rerata tatap muka per kunjungan (menit) Pemanfaatan layanan kesehatan peserta JKN Untuk menggambarkan pemanfaatan (utilization) layanan kesehatan, biasanya digunakan angka kunjungan per orang per tahun (contact rate/person/year), yaitu jumlah kunjungan rata-rata peserta ke entitas pelayanan primer per tahunnya. Seorang DLP yang mengayomi 2000 peserta dan dalam setahun melayani 7400 kunjungan, maka angka kunjungan DLP tersebut adalah 7400/2000 atau 3,7 kunjungan/orang-tahun adalah. Angka ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ciri demografi, pola penyakit, daya beli masyarakat, ketersediaan dan kemudahan akses ke sarana kesehatan, dan lain-lainnya. Di bawah ini adalah perbandingan utilization beberapa pengelola managed care. Tabel 2-2. Berbagai tingkat pemanfaatan (utilization) managed care Produktivitas per tahun (kunjungan) 1. Melayani pasien (F2F) a. Peserta baru 6% b. Kasus baru 30% ,916 c. Kasus lama 18% ,062 d. Edukasi 12% e. Tindakan medik 6% f. Kunjungan rumah 8% Subtotal 80% 1,814 7, CPD 10% Administrasi 5% Lain-lain 5% 113 Subtotal 20% 454 Total 100% 2,268 Angka kunjungan per orang per tahun) NHS HMO (USA) Average USA Pertamina PT Askes 4, ,8 METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 22

23 Catatan: Angka kunjungan/orang/tahun PT Askes dikonversi dari data kunjungan rawat jalan per bulan sebesar 15% yang tercantum dalam Pedoman Pelaksanaan Askeskin Rendahnya angka pemanfaatan PT Askes dapat disebabkan antara lain oleh masih adanya hambatan finansial tidak langsung (transport, opportunity cost), pelayanan hanya kuratif saja dan tidak proaktif, sebagian peserta tidak menggunakan fasilitas yang disediakan karena mutunya tidak memenuhi harapan. Dalam perjanjian kerja sama BPJS dan DLP dengan pembayaran kapitasi, seyogianya tercantum tingkat pemanfaatan yang disepakati yang setidaknya mencakup 3 angka berikut ini. Angka kunjungan per orang per tahun (contact rate per person per year) yang menggambarkan keseringan (frekuensi) masyarakat memanfaatkan (mengunjungi) entitas pelayanan primer, dan berimplikasi pada beban kerja yang harus dilayani DLP. Service use rate, yaitu jumlah rata-rata pemanfaatan setiap jenis layanan (resep, pemeriksaan laboratorium, usg, ekg dan lain-lainnya) yang diberikan kepada peserta yang berkunjung ke DLP dalam satu tahun. Participation rate, yaitu angka yang menggambarkan seberapa banyak peserta dari total komunitas binaan DLP yang berkunjung ke DLP dalam satu tahun. Tiga angka ini menjadi acuan bagi kedua belah pihak untuk melihat tingkat pemanfaatan, baik untuk kepentingan monitoring dan evaluasi, menentukan bonus atau penalti, atau mengoreksi angka pemanfaatan dan kapitasi pada periode berikutnya. Patut diingat peran DLP sebagai gatekeeper dan pola kerja DLP yang proaktif ini sangat berbeda dengan peran dan pola praktik dokter umum saat ini, sehingga dapat dipastikan kunjungan dan beban kerja DLP lebih tinggi dari angka yang digunakan PT Askes. Untuk kepentingan perencanaan dan evaluasi beban kerja DLP, seyogianya digunakan angka kontak per orang-tahun sebanyak 3-4 kali dan bukan angka PT Askes sebanyak 1,8 kali. Angka ini berdasarkan pengamatan di klinik dokter keluarga yang bekerja secara proaktif. Occupancy rate DLP Occupancy rate atau angka okupansi DLP adalah persentase jumlah kunjungan yang dilayani DLP dalam 1 tahun terhadap potensi produktivitasnya dalam kerja penuh waktu selama 1 tahun (1 FTE). Sebagai contoh, seorang DLP mempunyai 2500 peserta JKN. Dengan asumsi angka kunjungan populasi tersebut adalah 3 kali/peserta-tahun, maka perkiraan kunjungan setahun adalah 2500 x 3 = kunjungan. Sementara itu, pada Tabel 2-1, tampak bahwa 1 FTE untuk seorang DLP adalah kunjungan, maka angka kesibukan DLP adalah 7.500/7.200 = 104%. Angka okupansi DLP tersebut menunjukkan bahwa bila rerata kontak 3 kali/peserta/tahun maka beban kerja yang ditimbulkan komunitas binaan DLP telah melampaui kapasitas DLP. Kelebihan 4% ini masih bisa diterima mengingat proporsi tatap muka DLP adalah 80% (lihat Tabel 2-1). Jadi DLP masih bisa menyerap kelebihan kunjungan ini dengan mengurangi METODE MEMBAYAR DOKTER LAYANAN PRIMER DALAM ERA JKN, OKTOBER 2013 Page 23

Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa Medik

Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa Medik Panduan Kompensasi Dokter dan Jasa Medik Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia November 2008 Pendahuluan Muktamar IDI XXVI di Semarang tahun 2006 telah menetapkan untuk membangun Sistem Pelayanan Kedokteran

Lebih terperinci

KOMPENSASI DOKTER PELAYANAN PRIMER DALAM ERA JAMKESNAS *

KOMPENSASI DOKTER PELAYANAN PRIMER DALAM ERA JAMKESNAS * KOMPENSASI DOKTER PELAYANAN PRIMER DALAM ERA JAMKESNAS * DR. GATOT SOETONO, MPH Bidang Pengembangan Sistem Pelayanan Kedokteran Terpadu Forum Kebijakan Medik, Hotel Santika, 8 Januari 2013 * Materi Pokja

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. medical service yang berbentuk pelayanan individu, atau untuk saat ini dikenal

BAB 1 PENDAHULUAN. medical service yang berbentuk pelayanan individu, atau untuk saat ini dikenal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelayanan dokter dalam sistem pelayanan kesehatan adalah salah satu jenis medical service yang berbentuk pelayanan individu, atau untuk saat ini dikenal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit kronis merupakan penyebab utama kematian dan kecacatan di seluruh dunia. WHO (2005) melaporkan penyakit kronis telah mengambil nyawa lebih dari 35 juta orang

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini

PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN. Yulita Hendrartini PERKEMBANGAN BPJS DAN UNIVERSAL COVERAGE DENGAN SISTEM PEMBAYARAN PROVIDER DALAM SISTEM JAMINAN KESEHATAN Yulita Hendrartini 1 Latar Belakang Salah satu masalah dalam pembiayaan kesehatan di Indonesia:

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. asuransi sehingga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dasar kesehatan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) merupakan salah satu kebijakan pemerintah bidang kesehatan yang terintegrasi dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang memiliki banyak pulau sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai dengan sistem kesehatan nasional (SKN), bahwa pembangunan kesehatan harus merata di seluruh wilayah di Indonesia, namun kenyataannya pembangunan pada aspek kesehatan

Lebih terperinci

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG NORMA PENETAPAN BESARAN KAPITASI DAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Karakteristik responden berdasarkan usia. dikelompokkan seperti pada Gambar 3 :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. a. Karakteristik responden berdasarkan usia. dikelompokkan seperti pada Gambar 3 : 40 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Karakteristik Responden a. Karakteristik responden berdasarkan usia Karakteristik responden berdasarkan usia dapat dikelompokkan seperti pada Gambar

Lebih terperinci

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero)

DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) DR. UMBU M. MARISI, MPH PT ASKES (Persero) AGENDA KESIAPAN SEBAGAI BPJS TANTANGAN 2 2 PERJALANAN PANJANG ASKES Menkes 1966-1978 Prof Dr GA Siwabessy Cita-cita: Asuransi kesehatan bagi rakyat semesta BPDPK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PELAYANAN PROMOTIF, PREVENTIF, KURATIF OLEH DOKTER KELUARGA DI SARANA LAYANAN PRIMER DALAM JKN

KEBIJAKAN PELAYANAN PROMOTIF, PREVENTIF, KURATIF OLEH DOKTER KELUARGA DI SARANA LAYANAN PRIMER DALAM JKN KEBIJAKAN PELAYANAN PROMOTIF, PREVENTIF, KURATIF OLEH DOKTER KELUARGA DI SARANA LAYANAN PRIMER DALAM JKN Prof. Dr.dr. Akmal Taher, Sp.U(K) DIREKTORAT JENDERAL BINA UPAYA KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. investasi dan hak asasi manusia, sehingga meningkatnya derajat kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu bangsa salah satunya dipengaruhi oleh status kesehatan masyarakat. Kesehatan bagi seseorang merupakan sebuah investasi dan hak asasi

Lebih terperinci

panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal

panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal panduan praktis Pelayanan Kebidanan & Neonatal 05 02 panduan praktis Kebidanan & Neonatal Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat 2 menyebutkan bahwa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 diamanatkan bahwa pelayanan kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia, yaitu sebagaimana yang tercantum

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 41 TAHUN 2016 TENTANG SISTEM RUJUKAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan adalah kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh seluruh manusia, karena kesehatan menentukan segala aktivitas dan kinerja manusia. Pengertian sehat

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero)

BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN TRANSFORMASI PT. ASKES (PERSERO) PT. Askes (Persero) DASAR HUKUM 1 JANUARI 2014, PT ASKES (PERSERO) MENJADI BPJS KESEHATAN 1 DASAR HUKUM Peraturan Pemerintah

Lebih terperinci

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN

KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN KONSEP PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI PELAYANAN KESEHATAN UUS SUKMARA, SKM, M.Epid. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat Bandung, 24 Agustus 2015 DASAR HUKUM UU 40/ 2004 UU 24 Tahun 2011 tentang

Lebih terperinci

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL:

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL: JAMINAN KESEHATAN NASIONAL: Pengawasan dan Potensi Fraud Seminar Implementasi JKN dan Mekanisme Pengawasannya dalam Sistem Kesehatan Nasional Jogjakarta, 15 Maret 2014 Dewan Jaminan Sosial Nasional 1 BPJS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam rangka mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam rangka mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka mewujudkan komitmen global sebagaimana amanat resolusi World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 15 Tahun : 2010 Seri : E PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 23 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang. menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Puskesmas Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 1 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2015 PEDOMAN SISTEM RUJUKAN PELAYANAN KESEHATAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT DENGAN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1400, 2013 KEMENTERIAN KESEHATAN. Jaminan Kesehatan Nasional. Pelayanan. Penyelenggaraan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kondisi sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang produktif secara ekonomis (Ps. 1 point (1) UU Nomor 23/1992 tentang

Lebih terperinci

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI

Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI Eksistensi Apoteker di Era JKN dan Program PP IAI Disampaikan dalam kegiatan Bimbingan Teknis Pengelola Obat Apotek & Rumah Sakit di Kota Yogyakarta 10 Mei 2016 Nurul Falah Eddy Pariang, Apoteker 1 PERUNDANG-UNDANGAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN DASAR PENDUDUK KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan bagi masyarakat baik masyarakat umum maupun peserta asuransi kesehatan misalnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 99 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 71 TAHUN 2013 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN PADA JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 29 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PEMBAGIAN PENERIMAAN JASA PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN MASYARAKAT DAN JAMINAN PERSALINAN DI PUSAT KESEHATAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Mereka mengeluh, oleh karena sakit menjadi mahal. Semakin

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Mereka mengeluh, oleh karena sakit menjadi mahal. Semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembiayaan kesehatan, pada akhir akhir ini banyak dikeluhkan masyarakat. Mereka mengeluh, oleh karena sakit menjadi mahal. Semakin meningkatnya biaya pelayanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan pasien adalah suatu perasaan pasien yang timbul akibat kinerja

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan pasien adalah suatu perasaan pasien yang timbul akibat kinerja BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepuasan Pasien Kepuasan pasien adalah suatu perasaan pasien yang timbul akibat kinerja layanan kesehatan yang diterima setelah pasien membandingkannya dengan apa yang diharapkan.

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.266, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KESEHATAN. Badan Layanan Umum. Rumah Sakit. Pola Tarif. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG POLA TARIF BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak tahun 2004, Indonesia telah mempunyai Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan dikeluarkannya Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 (UU SJSN). Jaminan Kesehatan Nasional

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. mampu berperan sebagai pelaku dalam pembangunan kesehatan untuk menjaga, memelihara, dan

BAB 1 : PENDAHULUAN. mampu berperan sebagai pelaku dalam pembangunan kesehatan untuk menjaga, memelihara, dan BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemauan hidup sehat bagi setiap penduduk, dengan perkataan lain bahwa masyarakat diharapkan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 111 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun

BAB I PENDAHULUAN. berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pelayanan kesehatan tidak lagi berpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, namun pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya (Kemenkes RI, 2012). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsabangsa didunia,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prinsip dasar pembangunan kesehatan di Indonesia dirumuskan berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945, yaitu pasal 28 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Rumah Sakit merupakan salah satu tempat pelayanan umum di bidang kesehatan. Rumah Sakit sebagai tempat layanan kesehatan publik makin dituntut untuk menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hak azazi setiap warga negara sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan.

Lebih terperinci

TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PEMBAYARAN KAPITASI BERBASIS PEMENUHAN KOMITMEN PELAYANAN PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA PERATURAN BERSAMA SEKRETARIS JENDERAL KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA DAN DIREKTUR UTAMA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN NOMOR HK.01.08/III/980/2017 TAHUN 2017 NOMOR 2 TAHUN 2017

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007).

BAB I PENDAHULUAN. (SDM) yang berkualitas dan berdaya saing (UU No. 17/2007). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 SERI D NOMOR 9 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK UTARA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA RUMAH SAKIT

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN BERAU

- 1 - PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN BERAU - 1 - SALINAN PERATURAN BUPATI BERAU NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN BERAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BERAU, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hal yang paling penting dalam setiap kehidupan manusia. Di era globalisasi ini banyak kita temukan penyakit-penyakit yang bukan hal biasa lagi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberadaan suatu perusahaan tentunya tidak terlepas dari aset yang dimiliki. Salah satu aset penting perusahaan adalah sumber daya manusia atau karyawan. Sumber

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu kebutuhan pokok hidup manusia yang bersifat mutlak adalah kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun (2009), kesehatan adalah keadaan sehat,

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah

BAB 1 : PENDAHULUAN. ekonomis (Undang-Undang Kesehatan No 36 tahun 2009) (1). Pada saat ini telah BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. program Jamsostek disamping program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan

BAB 1 PENDAHULUAN. program Jamsostek disamping program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) merupakan salah satu program Jamsostek disamping program Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan diperhatikan oleh pemerintah. Kesehatan juga merupakan salah satu indikator penting dalam menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. SJSN. mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun,

BAB I PENDAHULUAN. termasuk ke Perguruan Tinggi dan Lembaga Swadaya Masyarakat. SJSN. mencakup beberapa jaminan seperti kesehatan, kematian, pensiun, BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Tahun 2003 pemerintah menyiapkan rancangan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 1. Rancangan SJSN disosialisasikan ke berbagai pihak termasuk ke Perguruan Tinggi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pelayanannya dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya,

I. PENDAHULUAN. pelayanannya dilakukan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rumah sakit merupakan suatu institusi yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan, yang sehari-hari melakukan kontak dengan pasien. Rumah sakit sebagai penyelenggara kesehatan

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 146 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Dari data survey baik dan IFLS 2000 dan 2007 serta SUSENAS 2009 dan 2010 dapat disimpulkan bahwa terdapat kemajuan dalam pembangunan kesehatan dari tahun ke

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa di dunia,

Lebih terperinci

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN

JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN JAMINAN KESEHATAN SUMATERA BARAT SAKATO BERINTEGRASI KE JAMINAN KESEHATAN MELALUI BPJS KESEHATAN Pembangunan kesehatan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.693,2012 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 029 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KESEHATAN NOMOR 416/MENKES/PER/II/2011 TENTANG

Lebih terperinci

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

S A L I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO, 06 JANUARI 2015 BERITA DAERAH KABUPATEN PROBOLINGGO NOMOR 11 S A L I N A N PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 11 TAHUN 2015 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH WALUYO JATI KRAKSAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pelanggan terbagi menjadi dua jenis, yaitu: fungsi atau pemakaian suatu produk. atribut yang bersifat tidak berwujud. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Kepuasan Konsumen Kepuasan konsumen berarti bahwa kinerja suatu barang atau jasa sekurang kurangnya sama dengan apa yang diharapkan (Kotler & Amstrong, 1997).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Primary Health Care (PHC) di Jakarta pada Agustus 2008 menghasilkan rumusan

BAB I PENDAHULUAN. Primary Health Care (PHC) di Jakarta pada Agustus 2008 menghasilkan rumusan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Health Organization (WHO) Regional Meeting on Revitalizing Primary Health Care (PHC) di Jakarta pada Agustus 2008 menghasilkan rumusan tentang perlunya melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG BUPATI BOYOLALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG TARIF PELAYANAN KESEHATAN KELAS III PADA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANDAN ARANG KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG TARIF LAYANAN PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ACEH

PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG TARIF LAYANAN PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 73 TAHUN 2016 TENTANG TARIF LAYANAN PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan, dan aspek-aspek lainnya. Aspek-aspek ini saling berkaitan satu dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang kesejahteraan sosial sudah pasti berkaitan dengan seluruh aspek kehidupan masyarakat, baik dari segi ekonomi, sosial, politik, pendidikan, kesehatan,

Lebih terperinci

WALIKOTA TANGERANG SELATAN. Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang kesehatan pada. dasarnya ditujukan untuk peningkatan

WALIKOTA TANGERANG SELATAN. Menimbang : a. bahwa pembangunan di bidang kesehatan pada. dasarnya ditujukan untuk peningkatan PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 26 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PEMBEBASAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN DASAR DI UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT BAGI PENDUDUK KOTA TANGERANG

Lebih terperinci

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN

Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN panduan praktis Program Rujuk Balik Bagi Peserta JKN 07 02 panduan praktis Program Rujuk Balik Kata Pengantar Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pasien penerima bantuan iuran. secara langsung maupun tidak langsung di Rumah sakit.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pasien penerima bantuan iuran. secara langsung maupun tidak langsung di Rumah sakit. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PASIEN PENERIMA BANTUAN IURAN 2.1.1.Pengertian pasien penerima bantuan iuran Undang-undang Republik Indonesia nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah sakit menyebutkan bahwa pasien

Lebih terperinci

VI. PENUTUP A. Kesimpulan

VI. PENUTUP A. Kesimpulan VI. PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Secara umum peran Dokter Puskesmas sebagai gatekeeper belum berjalan optimal karena berbagai kendala, yaitu : a. Aspek Input :

Lebih terperinci

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang

2 Mengingat e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang No.307, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Keperawatan. Pelayanan. Praktik. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5612) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT BUPATI LOMBOK BARAT PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 2A TAHUN 2015 TENTANG PENETAPAN MEKANISME DAN PROPORSI PENGELOLAAN DANA KLAIM NON KAPITASI PELAYANAN KESEHATAN DASAR

Lebih terperinci

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat Menimbang Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG TATA KELOLA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH PUSKESMAS DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA TASIKMALAYA

Lebih terperinci

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 9 TAHUN 2016 TENTANG IZIN DAN PENYELENGGARAAN PRAKTIK BIDAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PASURUAN, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2012 TENTANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR TAHUN 2012 TENTANG TARIF LAYANAN KESEHATAN KELAS III RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PANEMBAHAN SENOPATI KABUPATEN BANTUL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan

BAB I PENDAHULUAN. sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Implementasi dari program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah dimulai sejak 1 Januari 2014 yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Lebih terperinci

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Minahasa Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara dengan ibu Kota Amurang. Kabupaten Minahasa Selatan mempunyai topografi wilayah

Lebih terperinci

KONSEP REMUNERASI DOKTER PANDUAN IDI UNTUK REMUNERASI PROFESI DOKTER DI INDONESIA TIM MONEV JKN

KONSEP REMUNERASI DOKTER PANDUAN IDI UNTUK REMUNERASI PROFESI DOKTER DI INDONESIA TIM MONEV JKN KONSEP REMUNERASI DOKTER PANDUAN IDI UNTUK REMUNERASI PROFESI DOKTER DI INDONESIA TIM MONEV JKN JASA MEDIS ERA JKN Menganut pre payment sistim Pentarifan dengan pola case mix/drg Pelayanan mengikuti pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya merupakan hak asasi manusia dan diakui oleh segenap bangsa-bangsa

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014 NOMOR 19 SERI F NOMOR 315 PERATURAN BUPATI SAMOSIR NOMOR 18 TAHUN 2014

BERITA DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014 NOMOR 19 SERI F NOMOR 315 PERATURAN BUPATI SAMOSIR NOMOR 18 TAHUN 2014 BERITA DAERAH KABUPATEN SAMOSIR TAHUN 2014 NOMOR 19 SERI F NOMOR 315 PERATURAN BUPATI SAMOSIR NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG PEMANFAATAN DANA KAPITASI DAN NON KAPITASI PROGRAM JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang

Lebih terperinci

PDKI (PERHIMPUNAN DOKTER KELUARGA INDONESIA) DAN PERAN DOKTER KELUARGA DI RANAH PELAYANAN PRIMER. OLEH DR. ERDIYANTO, DK (KETUA PDKI CABANG JAMBI)

PDKI (PERHIMPUNAN DOKTER KELUARGA INDONESIA) DAN PERAN DOKTER KELUARGA DI RANAH PELAYANAN PRIMER. OLEH DR. ERDIYANTO, DK (KETUA PDKI CABANG JAMBI) PDKI (PERHIMPUNAN DOKTER KELUARGA INDONESIA) DAN PERAN DOKTER KELUARGA DI RANAH PELAYANAN PRIMER. OLEH DR. ERDIYANTO, DK (KETUA PDKI CABANG JAMBI) PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia) dan Peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para

BAB I PENDAHULUAN. tersebut perlu dilakukan secara bersama-sama dan berkesinambungan oleh para BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kesehatan ibu dan perinatal merupakan masalah nasional yang perlu dan mendapat prioritas utama karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan

Lebih terperinci

NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1993 TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan Undangundang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA, BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 11 TAHUN 2017 TENTANG REMUNERASI PADA BADAN LAYANAN UMUM DAERAH UNIT PELAKSANA TEKNIS PUSAT KESEHATAN MASYARAKAT KABUPATEN BLORA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

FRAUD DALAM SISTEM MIKRO PELAYANAN KESEHATAN. Hanevi Djasri, dr, MARS Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-UGM

FRAUD DALAM SISTEM MIKRO PELAYANAN KESEHATAN. Hanevi Djasri, dr, MARS Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-UGM FRAUD DALAM SISTEM MIKRO PELAYANAN KESEHATAN Hanevi Djasri, dr, MARS Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-UGM DEFINISI FRAUD Fraud adalah kesengajaan melakukan kesalahan terhadap kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berpijak dari kesehatan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia, dimana hal tersebut merupakan indikator bagi pengukuran kesejahteraan manusia. Maka dengan

Lebih terperinci

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 11 TAHUN 2003 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN PEMBIAYAAN UPAYA KESEHATAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR PROVINSI NANGGROE

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan. iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes, RI., 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan. iurannya dibayar oleh pemerintah (Kemenkes, RI., 2013). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS) Kesehatan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia. Sehat mencantumkan empat sasaran pembangunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia. Sehat mencantumkan empat sasaran pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Tujuan Pembangunan Kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010-2014 mencantumkan empat sasaran pembangunan kesehatan, yaitu: 1) Menurunnya disparitas status kesehatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kredensialing dan Rekredensialing Ada beberapa definisi mengenai kredensialing dan rekredensialing yang dikemukakan oleh para ahli. Menurut Payne (1999) mendefinisikan kredensialing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Strategi pemerintah dalam pembangunan kesehatan nasional 2015-2019 bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Peningkatan

Lebih terperinci

MANAGED CARE. (Sistem Pelayanan Kesehatan Terkendali) DIDIK SUNARYADI,SKM, MKes

MANAGED CARE. (Sistem Pelayanan Kesehatan Terkendali) DIDIK SUNARYADI,SKM, MKes MANAGED CARE (Sistem Pelayanan Kesehatan Terkendali) DIDIK SUNARYADI,SKM, MKes FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 3 Januari 2014 1 tujuan 1. Memahami konsep managed care 2. Memahami

Lebih terperinci

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju

2 Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetuju LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.185, 2014 KESEHATAN. Jiwa. Kesehatan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5571) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2014

Lebih terperinci