SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION"

Transkripsi

1 SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION Munirah Ghazali School of Educational Studies, UniversitiSains Malaysia, Penang, Malaysia Abstrak. Education is an essential tool for achieving sustainability. People around the world recognize that current economic development trends are not sustainable and that public awareness, education, and training are key to moving society toward sustainability. This paper will discuss part of bigger project aimed at integrating issues in energy efficiency and early mathematics with special focus on numbers. Specifically this paper will discuss issues in the teaching of number concepts in mathematics, issues surrounding energy efficiencies and how those issues are integrated in order to model a sustainable pedagogy in mathematics education 1

2 2

3 3

4 4

5 5

6 6

7 7

8 8

9 9

10 10

11 11

12 12

13 13

14 14

15 15

16 SUSTAINABLE PEDAGOGY IN MATHEMATICS EDUCATION Fatimah Saleh Universiti Sains Malaysia Pulau Pinang Abstrak. Sustainable Pedagogy is about the establishment of collaborative learning cultures that encourage risk-taking. Sustainable pedagogy offers radically different ways of comprehending learning, teaching and human interaction with the environment. Teachers should be prepared for transformative education with theaccompanying personal transformation where the development of creativity and expression are important in addition to the central elements of identity, values and beliefs and classroom practice. Sustainable pedagogy involves a wide range of methods and tools to address affective, spiritual, manual, and physical needs as well as cognitive skills and creative inquiry(sterling, 2001). Learners are thus empowered to develop their own learning priorities, to construct their own meaning, and, through application and dialogue, subject it to the scrutiny of their teachers, peers, and the community. Three key elements to be focused on are teachers knowledge, values and belief system and their classroom practice in accordance to the mathematics teaching philosophy. Keywords: sustainable pedagogy, pedagogy in mathematics, mathematics education 16

17 17

18 18

19 19

20 20

21 21

22 22

23 23

24 24

25 MODEL-MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN KURIKULUM 2013 UNTUK MENGEMBANGKAN KOMPETENSI MATEMATIS DAN KARAKTER SISWA Rahmah Johar Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Salah satu dasar perubahan kurikulum di Indonesia menjadi kurikulum 2013 adalah karena tuntutan untuk megembangkan kompetensi dan karakter siswa. Oleh karena itu guru perlu merancang tahap-tahap pembelajaran yang mengacu pada model pembelajaran inovatif, seperti Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL). Namun hal ini tidak mudah bagi sebagian besar guru karena sudah terbiasa menerapkan tahaptahap pembelajaran langsung (Direct instruction), sehingga kompetensi matematis dan karakter siswa kurang berkembang. Makalah ini membahas model Discovery Learning (DL), Problem- Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), contoh penerapannya dalam pembelajaran matematika, untuk mengembangkan kompetensi matematis dan karakter siswa. Kata kunci : Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), kurikukulm 2013, kompetensi matematis, karakter 1. Pendahuluan Kurikulum merupakan salah satu unsur yang memberikan kontribusi untuk mewujudkan proses berkembangnya kualitas potensi peserta didik tersebut. Kurikulum 2013 dikembangkan berbasis pada kompetensi sangat diperlukan sebagai instrumen untuk mengarahkan peserta didik menjadi: (1) manusia berkualitas yang mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah; (2) manusia terdidik yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri; dan (3) warga negara yang demokratis, bertanggung jawab. Dengan demikian, aspek karakter religious, karakter sosial, pengetahuan, dan keterampilan menjadi fokus dari kurikulum 2013 (Kemendikbud, 2014). Untuk mencapai tujuan kurikulum 2013 di atas, Permendikbud No. 81A tahun 2013 mengatur bahwa proses pembelajaran pada kurikulum 2013 hendaknya terdiri atas lima pengalaman belajar yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan, yang disingkat dengan 5M. Pengalaman belajar ini dikenal dengan pendekatan saintifik. Kemendikbud (2014) memperjelas bahwa model pembelajaran yang diterapkan untuk melaksanakan pendekatan saintifik diantaranya adalah Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project- Based Learning (PjBL). Berdasarkan pengalaman penulis memberikan kuliah dan memberikan pelatihan, banyak mahasiswa dan guru menyampaikan bahwa mereka kesulitan merancang perangkat pembelajaran yang menerapkan DL apalagi PBL dan PjBL. Bahkan diantara mereka tidak yakin bahwa PBL dan PjBL cocok diterapkan dalam pembelajaran matematika karena matematika itu abstrak sehingga PBL dan PjBL akan membuang-buang waktu. Makalah ini membahas hakikat belajar matematik, penerapan DL, PBL, dan PjBL dalam pembelajaran matematika dan kaitannya dengan pengembangan kompetensi matematis dan karakter siswa. 25

26 2. Tinjauan Pustaka Hakikat Belajar Matematika Van de Walle (2007) menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu tentang pola dan urutan. Oleh karena itu mengerjakan matematika artinya menemukan dan mengungkap keteraturan atau urutan. Pola tidak hanya terdapat pada bilangan dan persamaan, tetapi juga berada pada setiap sesuatu di sekeliling kita. Dunia penuh dengan pola dan urutan: di alam, dalam seni, dalam bangunan, dalam music, dan lain-lain. Pola dan urutan juga ditemukan dalam perdagangan, sains, obat-obatan, pabrik, dan sosiologi. Matematika menyelidiki pola ini, member arti, dan emnggunakannya dalam berbagai cara yang menarik, untuk memperbaiki dan memperluas kehidupan kita. Sekolah harus membantu anak-anak dalam proses penyelidikan tersebut. Dikaitkan dengan ide Freudenthal sebagai tokoh Pendidikan Matematika Realistik, dia menjelaskan bahwa dalam pendekatan realistik, matematika dipandang sebagai aktivitas manusia. Maksudnya, matematika dipandang sebagai aktivitas menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan aktivitas dalam mengorganisasikan materi pelajaran. Masalah ini bisa berasal dari realitas yang telah diatur/diorganisasikan sesuai dengan pola-pola matematika. Dapat juga berasal dari diri sendiri atau orang lain, baru atau lama yang telah diorganisasikan menurut ide baru untuk pemahaman yang lebih baik dalam konteks yang lebih luas (dalam Gravemeijer, 1994). Jadi, belajar matematika dimaksudkan sebagai mengerjakan matematika, dimana menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari sebagai bagian utamanya. Variasi dari masalah kontekstual ini diintegrasikan dalam kurikulum dari awal. Oleh karena itu, fokus utama pendidikan matematika bukan hanya hasil (produk), tetapi juga proses memperoleh hasil (Johar, 2006). Untuk mengetahui sejauh mana siswa dapat menggunakan matematika dalam berbagai konteks, asesemen internasional, yaitu PISA Program for International Student Assessment) menilai kemampuan siswa berkaitan dengan literasi matematika (mathematics literacy), sebagai akibat dari belajar matematiks. Literasi atau melek matematika didefinisikan sebagai kemampuan seseorang individu merumuskan, menggunakan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks. Termasuk di dalamnya bernalar secara matematis dan menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika dalam menjelaskan serta memprediksi fenomena. Dengan demikian literasi matematika membantu seseorang untuk mengenal peran matematika dalam dunia dan membuat pertimbangan maupun keputusan yang dibutuhkan sebagai warga negara (OECD, 2010). Dengan demikian pengetahuan dan pemahaman tentang konsep matematika sangatlah penting, tetapi lebih penting lagi adalah kemampuan untuk mengaktifkan literasi matematika itu untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari (Johar 2013). Salah satu cara mewujudkan tujuan belajar matematika di atas adalah dengan menerapkan model-model pembelajaran seperti yang disarankan oleh kurikulum 2013, yaitu Discovery Learning (DL), Problem- Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL). Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning/DL) Istilah discovery learning (belajar penemuan) diungkapkan pertama kali oleh Bruner yang berlawanan dengan reception learning (belajar penerimaan). Baik discovery learning maupun rote learning bisa bermakna atau hafalan tergantung pada dikaitkan atau tidaknya pengetahuan baru dengan struktur kognitif siswa (Kirschner, Sweller, and Clark (2004). Alfieri et. al (2011) menjelaskan bahwa many literature suggests that discovery learning occur whenever the learner is not provided with the target information or conceptual understanding and must find it independently and with only provided materials. Maksudnya, banyak literatur menjelaskan bahwa discovery learning terjadi ketika siswa bukan sebagai target informasi atau pemahaman konseptual melainkan siswa yang menemukannya secara independen dengan menggunakan material yang disediakan. Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa prinsip belajar yang nampak jelas dalam Discovery Learning adalah materi atau bahan pelajaran yang akan disampaikan tidak disampaikan dalam bentuk final akan tetapi siswa sebagai siswa didorong untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui dilanjutkan dengan 26

27 mencari informasi sendiri kemudian mengorgansasi atau membentuk (konstruktif) apa yang mereka ketahui dan mereka pahami dalam suatu bentuk akhir. Syah (2004) menjelaskan fase (syntax) model discovery learning adalah sebagai berikut. 1. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) 2. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah) 3. Data collection (pengumpulan data) 4. Data processing (pengolahan data) 5. Verification (pembuktian) 6. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Contoh peneapan discovery learning berikut dikembangkan dari Buku Matematika Kelas VII edisi revisi (Kemendikbud, 2014), sebagai berikut. TAHAP PEMBELAJARAN 1. Stimulation (stimulasi/pembe rian rangsangan) Tabel 1. Tahap Pembelajaran Discovery Learning KEGIATAN PEMBELAJARAN Pendahuluan 1. Membuka pelajaran dengan salam pembuka dan berdo a 2. Memeriksa kehadiran siswa sebagai sikap disiplin Apersepsi : Mengingat kembali materi tentang bilangan ganjil, bilangan genap, siswa diminta menyebutkan ciri-cirinya Motivasi : Memotivasi siswa dengan cara menunjukkan gambar berkaitan dengan susunan benda-benda ciptaan Tuhan dan buatan manusia yang giat menuntut ilmu. Guru mendemonstrasikan pengelompokan gelas di meja, siswa diminta melanjutkan kelompok berikutnya??? (Ada lebih dari satu jawaban) Guru menayangkan video barisan Fibonacci dan siswa diminta membaca riwayat Fibonacci di buku siswa 3. Menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai\ 4. Menyampaikan langkah pembelajaran dengan discovery learning 27

28 2. Problem statemen (pertanyaan/iden tifikasi masalah) Kegiatan Inti Mengamati Guru memberi kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk mengidentifikasi masalah yang relevan dengan pola bilangan, seperti gambar bola berikut 3. Data collection (pengumpulan data) - Diberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi bola di atas yang berwarna biru - Guru menyampaikan permasalahan, yaitu tuliskan banyaknya bola biru pada gambar di atas. Menanya: Minta siswa untuk mengajukan pertanyaan tentang pola banyak bola biru pada gambar. Contoh pertanyaan: Apakah 3 bola biru dapat ditulis sebagai ½ x 2 x 3 atau 3 = 2+1? Mengumpulkan informasi Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya yang relevan sebagai bahan menganalisis dalam rangka menjawab pertanyaan atau hipotesis di atas. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan antara lain: - Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk mengumpulkan informasi dari susunan gambar tersebut. Pola ke Banyaknya bola

29 4. Data processing (pengolahan data) Mengasosiasi: Siswa mengolah data atau informasi yang telah diperoleh para siswa melalui pengamatan. Alternatif kegiatan pembelajaran yang bisa dilakukan oleh guru antara lain meminta siswa melengkapi tabel beriktu: Pola ke Banyaknya bola Pola bilangan 1 2 x1x2 1 2 x2x3 1 x3x Verification (pembuktian) 6. Generalization (menarik kesimpulan/ generalisasi) Tuliskan dugaanmu tentang banyak bola, lalu diskusikan, mengapa banyak bola pada pola ke-n adalah Un = ½ x n x (n+1) dengan mengisi tabel pada LKS Siswa menarik kesimpulan tentang banyak bola pada suku ke-n n + 1 n Pola ke- n adalah Un = 1 n (n + 1) 2 Dengan menggunakan rumus pola yang sudah ditemukan diatas, kita dapat menentukan pola ke-10, yaitu U 10 = 1 10(11) = 55 2 Mengkomunikasikan Beberapa kelompok mempresentasikan hasil kerja mereka, kelompok lain menanggapi Siswa mengerjakan soal tes individu Penutup Guru membimbing siswa menyimpulkan tentang pola bilangan Setiap kelompok diberikan penghargaan berdasarkan keberhasilan belajar kelompoknya. Guru mengajukan pertanyaan refleksi, misalnya - Bagaimana komentarmu tentang pelajaran hari ini? - Aktivitas mana yang sudah dan belum kuasai? - Bagaimana saranmu tentang proses pembelajaran berikutnya? Guru menginformasikan bahwa pertemuan selanjutnya akan membahas tentang menentukan pola bilangan lanjutan 29

30 Siswa mengerjakan tugas projek halaman 81 buku siswa (di rumah) Pembelajaran diakhiri dengan penyampaian pesan moral berkaitan dengan pola bilangan Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning/PBL) Arends (2008) menyatakan bahwa Problem Based Learning (PBL), berusaha untuk memandirikan siswa. Tuntutannya adalah guru mendorong dan mengarahkan siswa untuk bertanya dan mencari solusi sendiri masalah nyata, dan siswa menyelesaikan tugas-tugas dengan kebebasan berpikir dan dengan dorongan inkuiri terbuka. Problem Based Learning (PBL) juga sering disebut Problem Based Instruction. Menurut Nur (2011) ciri khas sebagai berikut. 1. Mengajukan pertanyaan atau masalah PBL menekankan pada mengorganisasikan pembelajaran di sekitar pertanyaan-pertanyaan atau masalah-masalah yang penting secara sosial dan bermakna secara pribadi bagi siswa. Pelajaran diarahkan pada situasi kehidupan nyata, menghindari jawaban sederhana, dan memperbolehkan adanya keragaman solusi beserta argumentasinya. 2. Berfokus pada interdisiplin Meskipun PBL dapat berpusat pada mata pelajaran tertentu (sains, matematika, IPS) namun solusinya menghendaki siswa melibatkan banyak mata pelajaran. 3. Penyelidikan otentik PBL menghendaki siswa menggeluti penyelidikan otentik dan berusaha memperoleh pemecahan nyata terhadap masalah nyata, seperti mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengupulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika diperlukan), dan membuat kesimpulan. 4. Menghasilkan karya nyata dan memamerkan PBL menghendaki siswa menghasilkan produk dalam bentuk karya nyata dan memamerkannya. Produk ini mewakili solusi-solusi mereka, misalnya skrip sinetron, sebuah laporan, modul fisik, rekaman video, atau program komputer 5. Kolaborasi Seperti pembelajaran kooperatif, PBL juga ditandai oleh siswa yang bekerja sama dengan siswa lain. Selain ciri yang di atas, PBL menurut Nur (2011) juga dimaksudkan untuk membantu siswa berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar peran-peran penting yang biasa dilakukan oleh orang dewasa. Gallagher, Stephien, Sher & Workman (dalam Chin and Li-Gek, tanpa tahun) menjelaskan bahwa PBL where students generate their own problems which are often realistic, ill-structured and precede learning. Maksudnya, dalam PBL siswa membangun masalah mereka sendiri yang realistik, illstructured, dan mendahului materi pelajaran. Selanjutnya dijelaskan bahwa ill-structured problems are those where (a) the initial situations lack all the information necessary to develop a solution, (b) there is no single right way to approach the task of problem solving, (c) as new information is gathered the problem definition change, and (d) the students will never be 100% sure that they have made the correct selection of solution options. Dalam pembelajaran guru harus terlebih dahulu menetapkan tujuan pembelajaran sehingga tujuan itu dapat dikomunikasikan dengan jelas kepada siswa. Setelah guru menetapkan tujuan kemudian guru harus merancang situasi masalah yang sesuai dengan materi. Situasi masalah yang baik seharusnya autentik, mengandung teka-teki, dan tidak terdefinisikan dengan ketat, memungkinan kerja sama, bermakna bagi siswa, dan konsisten dengan tujuan kurikulum (Johar, Hanum, dan Nurfadhilah, 2006). Arends (2001) mengemukakan lima ciri utama pembelajaran berdasarkan masalah yaitu pengajuan masalah atau pertanyaan, keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan yang autentik, menghasilkan dan memamerkan hasil karya, dan kolaborasi. Arends (1997) mengemukakan tahapantahapan/fase dalam PBL seperti pada tabel berikut : Orientasi siswa kepada masalah Tabel 2. Tahapan Pembelajaran Berdasarkan Masalah Tahap Tingkah Laku Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

31 2. Mengorganisasi siswa untuk belajar 3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya 5. Menganalisis & mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka&proses-proses yg mereka gunakan Contoh masalah untuk menerapkan PBL dalam pembelajaran matematika: 1. Pembelajaran topik perbandingan dengan tema perayaan ulang tahun di SMP Nassya Catering mendapat pesanan minuman sirup acara untuk ulang tahun. Banyak tamu undangan adalah 150 orang. Bantulah Nassya Catering menentukan banyak sirup yang akan dibeli dan jumlah biaya yang diperlukan. Sumber belajar/alat: satu botol sirup, sendok ukur, air putih, dan brosur harga satu botol sirup. 2. Pembelajaran topik Aritmatika Sosial di SMP Ibu Sofi akan memanfaatkan bunga di sekitar rumahnya sebagai penghasilan keluarga. Jenis bunga di sekitar rumah Bu Sofi sudah disesiakan di atas meja. Apa yang harus dilakukan Bu Sofie agar usaha merangkai bunganya beruntung? Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL) Project Based Learning is a teaching and learning model (curriculum development and instructional approach) that emphasizes student-centered instruction by assigning projects. It allows students to work more autonomously to construct their own learning, and culminates in ealistic, student-generated products (Moursund, 2002; Thomas et al., 1999 dalam Kemendikbud (2014) menjelaskan bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek (Project-Based Learning/PjBL) adalah model pembelajaran yang menggunakan proyek/kegiatan sebagai inti pembelajaran. Siswa melakukan eksplorasi, penilaian, interpretasi, sintesis, dan informasi untuk menghasilkan berbagai bentuk hasil belajar. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan model belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. Pembelajaran Berbasis Proyek dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan siswa dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya. Melalui PjBL, proses inquiry dimulai dengan memunculkan pertanyaan penuntun (a guiding question) dan membimbing siswa dalam sebuah proyek kolaboratif yang mengintegrasikan berbagai subjek (materi) dalam kurikulum. Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. siswa membuat keputusan tentang sebuah kerangka kerja, 2. adanya permasalahan atau tantangan yang diajukan kepada siswa, 3. siswa mendesain proses untuk menentukan solusi atas permasalahan atau tantangan yang diajukan, 4. siswa secara kolaboratif bertanggungjawab untuk mengakses dan mengelola informasi untuk memecahkan permasalahan, 5. proses evaluasi dijalankan secara kontinyu, 6. siswa secara berkala melakukan refleksi atas aktivitas yang sudah dijalankan, 7. produk akhir aktivitas belajar akan dievaluasi secara kualitatif, 8. situasi pembelajaran sangat toleran terhadap kesalahan dan perubahan Schneiderman et al dalam Edu Tech Wiki, membedakan PBL dengan PjBL sebagai berikut, projectbased learning focuses mostly on a production model. Students start by defining the purpose of creating the end-product, identify their audience, they research the topic, design the product, do the project management, solve the problems that arise and finish the product followed by a self-evaluation and reflection. So, the driving force is the end-product, but the key to success is the skills acquired during it s production. In that sense, Project-Based Learning is a broader category than the Problem-based 31

32 Learning. DEngan demikian dapat disimpulkan bahwa PjBL lebih focus pada menghasilkan produk, sehingga PjBL lebih luas dari PBL. Lebih jelas, persamaan dan perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning dapat dilihat pada gambar berikut. Gambar 1. Persamaan dan Perbedaan Problem-based Learning dan Project-based Learning Contoh penerapan PjBL dalam pembelajaran matematika berikut dirangkum dari Muschla and Muschla (2006). 1. Debat Heboh (Great Debate) Pengantar: Biasanya debat berhubungan dengan bahasa inggris, dan pelajaran sosial lainnya. Debat adalah aktivitas unik yang menguntungskan siswa dalam pmbelajaran matematika. Untuk mempersiapkan debat siswa harus mencari topik mereka, memperjelas pemikiran mereka, dan merumuskan argumentasi. Mereka harus mengerti mengenai topik secara mendalam. Ada unsur kompetisi dalam debat, namun kebanyakan siswa menemukan kenyaman dalam berdebat. Petunjuk untuk guru: a) Mulai projek ini dengan menjelaskan kepada siswa bahwa mereka akan ambil bagian dalam debat mengenai isu dan masalah matematika b) Ada banyak topik yang bisa digunakan dalam debat matematika. Beberapa topik tersebut antara lain sebagai berikut. Bolehkah kalkulator digunakan di sekolah dasar? Apakah UN dapat dijadikan indikasi yang baik untuk melihat hasil belajar siswa? Dapatkah PR dijadikan alat untuk evaluasi? 32

33 Apakah masih perlu belajar perkalian menggunakan tabel? c) Pemilihan topik juga bisa dilakukan dengan curah pendapat (brainstorming) dengan siswa d) Pastikan setiap kelompok heterogen e) Minta siswa melakukan studi pustaka yang mendukung topik mereka baik menggunakan buku atau pun sumber online. f) Sediakan sarana debat agar siswa merasa suasana debat. g) Pilih seorang moderator dan pencatat waktu 2. Membuat anggaran (making a budget) Pengantar: Banyak siswa mengganggap bahwa uang adalah sesuatu yang tak akan habis. Mereka membeli sesuatu tanpa mempertimbangkan apakah mereka benar-benar membutuhkannya. Masalahnya adalah mereka tidak tahu bagaimana cara mereka menghabiskan uang mereka. Untuk beberapa siswa membuat anggaran bisa bermanfaat. Menyusun anggaran tidak memberi jaminan bahwa uang akan mereka habiskan secara bijak, tetapi memungkinkan siswa untuk memonitor income dan pengeluaran mereka. Petunjuk untuk Guru a) Mulai projek dengan menjelaskan bahwa siswa akan bekerja individu untuk membuat anggran bulanan yang akan memonitor income dan pengeluaran mereka. b) Diskusikan kata income, biaya, dan surplus c) Jika perlu, review perkiraan di kelas d) Minta siswa menuliskan pemasukan, pengeluaran, sisa uang, dan rencana penggunaan uang 3. Merencanakan kamar sendiri (A floor plan my room) Pengantar: Biasanya kamar remaja berantakan. Kadang-kadang perabot di kamar tidak diatur sehingga kamar terasa sempit. Pengaturan kembali bisa membuat ruangan nyaman dan tidak berantakan. Pengaturan kembali tata letak perabot adalah sebuah pekerjaan besar, berfikir, apalagi jika perabotnya banyak. Cara yang baik adalah membuat rancangan di atas kertas tentang tata letak perabotan di kamar. Petunjuk untuk Guru: a) mulai projek ini dengan menjelaskan bekerja sendiri-sendiri untuk membuat perencanaan lantai kamar b) Mendorong siswa membuat sket kamar mereka beserta ukurannya, c) Minta siswa mengukur panjang dan lebar furniture d) siswa menentukan skala dan konsultasi terlebih dahlu bagaimana mennetukan skala e) Minta siswa menuliskan skala pada gambar f) siswa bersiap-siap untuk diskusi tentang rancangan lantai kamarnya dan mengapa rancangan lantainya adalah yang terbaik. Kompetensi Matematika Kompetensi matematika yang dimaksud dalam makalah ini adalah kemampuan yang hendaknya dimiliki oleh siswa berdasarkan prinsip NCTM (2000), yaitu kemampuan memecahkan masalah (problem solving), bernalar dan membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) Problem solving-it means solving the non-routine problem or context problem- is a primary goal of mathematics teaching and learning and is considered to be the essence of mathematics (NCTM, 2000). Maksudnya, problem solving sebagai soal non rutin atau masalah kontekstual merupakan tujuan utama dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa Pemecahan masalah sebagai kegiatan yang meliputi: a) Mengidentifikasi kecukupan data untuk memecahkan masalah b) Membuat model matematik dari suatu masalah dan menyelesaikannya. c) Memilih dan menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika d) Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa kebenaran hasil atau jawaban e) Menerapkan matematika secara bermakna 33

34 However, some students fail in solving problems typically defined as non-routine and teachers encounter difficulties in supporting the development of the students problem-solving competency (Kolovou, et al. 2009, Johar 2011). Maksudnya, beberapa siswa gagal dalam menyelesaikan masalah non rutin dan guru berudaha membantu kesulitan siswa dengan memberikan dorongan untuk mengembangkan kompetensi siswa dalam memecahkan masalah. The teacher has to play an active role in orchestrating productive whole-class discussions and in selecting framing mathematics issues - context problem - as topics discussion (Gravemeijer, 2010, Gravemeijer and Cobb, 2006). The teacher not only asks the student to explain your strategy but also show how you got your answer (van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Peressini (1999, 156) menyatakan bahwa penalaran matematika memainkan peranan yang sangat penting dalam proses berpikir meliputi: - mengumpulkan data - membuat konjektur - membangun generalisasi - membangun argument - menggambarkan (menvalidasi) konklusi logis tentang sejumlah ide dan keterkaitannya Sumarmo (2012) menjelaskan bahwa secara garis besar penalaran dapat digolongkan dalam dua jenis yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif diartikan sebagai penarikan kesimpulan yang bersifat umum atau khusus berdasarkan data yang teramati. Nilai kebenaran dalam penalaran induktif dapat bersifat benar atau salah. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran induktif di antaranya adalah: a) Transduktif: menarik kesimpulan dari satu kasus atau sifat khusus yang satu diterapkan pada yang kasus khusus lainnya. b) Analogi: penarikan kesimpulan berdasarkan keserupaan data atau proses c) Generalisasi: penarikan kesimpulan umum berdasarkan sejumlah data yang teramati d) Memperkirakan jawaban, solusi atau kecenderungan: interpolasi dan ekstrapolasi e) Memberi penjelasan terhadap model, fakta, sifat, hubungan, atau pola yang ada f) Menggunakan pola hubungan untuk menganalisis situasi, dan menyusun konjektur Pada umumnya penalaran transduktif tergolong pada kemampuan berpikir matematik tingkat rendah sedang yang lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi. Penalaran deduktif adalah penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati. Nilai kebenaran dalam penalaran deduktif bersifat mutlak benar atau salah dan tidak keduanya bersama-sama. Penalaran deduktif dapat tergolong tingkat rendah atau tingkat tinggi. Beberapa kegiatan yang tergolong pada penalaran deduktif di antaranya adalah: a) Melaksanakan perhitungan berdasarkan aturan atau rumus tertentu. b) Menarik kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan menyusun argumen yang valid c) Menyusun pembukltian langsung, pembukltian tak langsung dan pem-buktian dengan induksi matematika. Kemampuan pada butir a) pada umumnya tergolong berpikir matematik tingkat rendah, dan kemampuan lainnya tergolong berpikir matematik tingkat tinggi. NCTM (2000) menjelaskan bahwa komunikasi adalah bagian yang esensial dari matematika dan pendidikan matematika sebagai suatu cara membagi ide dan mengklarifikasi pemahaman. Kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya adalah: a) Menyatakan suati situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematik b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan c) Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis e) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri 34

35 Kegiatan yang tergolong pada koneksi matematik menurut NCTM (2000) dan Sumarmo (2012) diantaranya adalah: a) Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur. b) Memahamai hubungan antar topik matematika. c) Menerapkan matematika dalam bidang lain atau dalam kehidupan sehar-hari. d) Memahami representasi ekuivalen suatu konsep. e) Mencari hubungan satu prosedur dengan prosedur lain dalam represntasi yang ekuivalen. Menerapkan hubungan antar topik matematika dan antara topik matematika dengan topik di luar matematika. Pengembangan Karakter melalui Pembelajaran Matematika Pendidikan di sekolah merupakan salah satu komponen yang turut mempengaruhi pembentukan karakter siswa. Namun kondisi pendidikan di sekolah saat ini cenderung mengembangkan aspek kognitif siswa, dimana aspek selain kognitif seperti afektif kurang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh sistem pendidikan yang lebih berorientasi pada mengejar target kurikulum. Bahkan terkadang guru menunjukkan sikap yang negatif terhadap pembentukan karakter siswa, seperti kurang menghargai siswa, jarang memberikan pujian kepada siswa, guru lebih banyak mengkritik siswa. Akibatnya siswa menjadi kurang percaya diri, kurang menghargai orang lain, dan tidak kreatif (Johar, 2012). Respon guru sangat penting dalam mengembangkan karakter siswa. Respon yang bersifat kritik yang merendahkan atau menjatuhkan siswa merupakan suatu hal yang harus dihindari. Pemberian pujian merupakan suatu pemberian respon yang efektif, tetapi perlu diperhatikan pemberian pujian tersebut haruslah sungguh-sungguh berarti bagi siswa. Pemberian pujian yang berlebihan dan tidak pada tempatnya akan membuat pujian itu tidak bermakna bagi siswa (Marliyah dkk, 2004). Pujian yang diberikan secara tepat akan membuat siswa termotivasi untuk melakukan yang terbaik (Wright, 2002). Sebagai seorang guru (dalam tips-menumbuhkan-percayadiri-anak/) dijelaskan bahwa guru perlu menahan diri untuk cepat-cepat turun tangan membantu anak melakukan sesuatu. Membantu boleh-boleh saja, tapi tidak berarti mengambil alih atau langsung ikut campur tangan tanpa dimintanya. Doronglah dia untuk tidak terlalu gampang mengatakan, Saya tidak bisa, Saya tak pernah akan bisa, atau Saya memang bodoh. Dengarkan siswa dan dorong dia untuk berpikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Untuk mendorong kreativitas siswa dalam matematika, guru perlu memberikan soal-soal terbuka/openended (Johar dkk, 2006) dan soal yang berbentuk problem solving (Johar dan Afrina, 2011). Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL), sangat berpotensi untuk mengembangkan kompetensi matematika dan karakter siswa. Karakter yang dimaksud seperti kreatif, memiliki rasa ingin tau, demokratis, percaya diri, kerjasama, dan tanggung jawab. Selain itu kompetensi matematis siswa seperti kemampuan memecahkan masalah (problem solving), bernalar dan membuktikan (reasoning and proof), berkomunikasi (communication), dan koneksi (connection) juga dapat ditingkatkan. Untuk itu, guru perlu memfasilitasi siswa dengan cara mendesain permasalahan dan aktivitas agar dapat menerapkan model Discovery Learning (DL), Problem-Based Learning (PBL), dan Project-Based Learning (PjBL) untuk meningkatkan Daftar Pustaka Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc Graw-Hill Arends, Richard L. (2008). Learning to Teach. University of Maryland: Pustaka Pelajar. Alfieri, L., Brooks, P. J., Aldrich, N. J., and Tenenbaum, H. R. (2011) Does Discovery-Based Instruction Enhance Learning? Journal of Educational Psychology. Vol p

36 Chin, C. and Li-Gek, C (without year). Implementing Problem-Based Learning in Biology. Nanyang Tachnology University. Singapore Edu Tech Wiki Project-based learning dalam Gravemeijer, K.P.E and Cobb, P. (2006). Design Research from a Learning Design Perspective. In Dekker, van den, Gravemeijer, K., Mc Kenny, S., & Nieven, N. (Eds). Educational Design Research (pp ). London: Rontledge. Gravemeijer, K.P.E (2010). Realistic Mathematics Education Theory as a Guideline for Problem- Centered, Interactive Mathematics Education. In Sembiring, R. K., Hoogland, K., & Dolk, M., (Eds), A Decade of PMRI in Indonesia, Bandung, Utrecht: APS International. Nur, Mohamad (2011) Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah. Johar, Rahmah (2006) Pendidikan Matematika Realistik: Pendekatan Baru dalam Pembelajaran Matematika dalam Jurnal Wacana FKIP Unsyiah, ISSN , Vol. 5 No. 1 Tahun Johar, Rahmah; Hanum, Latifah; Nurfadhilah, Cut (2006) Strategi Belajar Mengajar. Modul. FKIP Unsyiah. Johar, Rahmah and Afrina, Marisa (2011) The Teachers Efforts to Encourage the Students Strategies to Find the Solution of Fraction Problem in Banda Aceh. Proceeding of International Congress for School Effectiveness and Improvement. Cyprus, 4-7 Januari Johar, Rahmah (2012). Upaya Guru Mengembangkan Karakter Siswa melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika dan Terapan (SimanTap). Medan, November Johar, Rahmah (2013). Domain Soal Pisa untuk Literasi Matematika. Jurnal Peluang. Vol 1. No. 1 Oktober Kemendikbud (2014). Materi Pelatihan Implementasi Kurikulum Jakarta Kolovou, A., Van den Heuvel-Panhuizen, M., & Bakker, A. (2009) Non-Routine Problem Solving Tasks in Primary School Mathematics Textbooks A Needle in a Haystack. Mediterranean Journal for Research in Mathematics Education 8 (2), Muschla, J. A. and Muschla, G. R. (2006) Hands-on Math Projects with Real-Life Applications. (2 nd Edition) Jossey-Bass A Wiley Imprint. USA NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. Reston VA: NCTM OECD (2010). PISA Mathematics Framework: Draft Subject to Possible revision after the Field Trial. Peressini, D. (1999). Analyzing Mathematical Reasoning in Students Responses across Multiple Performance Assessment Tasks. Dalam Developing Mathematical Reasoning Grades K-12 by Lee V. Stiff dan Frances R. Curcio (edt), NCTM, Virginia; USA. Sumarmo, Utari (2012) Pendidikan Karakter serta Pengembangan Berfikir dan Disposisi Matematik dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Pendidikan Matematika di NTT tanggal 25 Februari 2012 Syah, M. (2004). Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. van den Heuvel-Panhuizen, M. (1996). Assesment Realistic Mathematics Education. Utrecht, Netherland: Freudental Institute 36

37 van de Walle. J. (2007) Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Alih Bahasa Suyono. Jakarta: Erlangga. Wright, Jim (2002) Lesson 2: How to Give Compliments to Tutees. In 37

38 IDENTIFIKASI SCAFFOLDING GURU MATEMATIKA MENUJU PELAKSANAAN KURIKULUM 2013 Anwar 1, Ipung Yuwono 2, Edy Bambang Irawan 2, Abdur Rahman As ari 2 1 Mahasiswa S3 Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang anwarramli@gmail.com 2 Dosen Pendidikan Matematika Universitas Negeri Malang, Malang Abstrak. Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran matematika adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yaitu pemberian bantuan guru secara terbatas yang mampu mendorong keberhasilan konstruksi pemahaman siswa selama pembelajaran. Artikel ini berasal dari observasi peneliti di SDI dan MTsI Surya Buana di Malang. Artikel ini membahas scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dan siswa menuju pelaksanaan kurikulum Hasil observasi menunjukkan bahwa scaffolding yang diberikan guru matematika merujuk kepada Anghileri (2006), masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit berada pada level 2 dan 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining dengan showing dan telling. Kata-kunci: pembelajaran matematika, scaffolding, kurikulum Pendahuluan Kegiatan pembelajaran matematika di kelas tidak terlepas dari interaksi antara guru dan siswa (Franke, 2007). Interaksi ini berkontribusi terhadap pencapaian praktik di ruang kelas yang mendukung penguasaan belajar siswa (h. 251). Namun, proses membangun interaksi ini tidaklah mudah. Hal ini bergantung dari pengalaman guru, keyakinan guru, pengetahuan guru tentang materi yang disampaikan, watak pribadi dan lain sebagainya (Hiebert & Grows, 2007; Rice, 2010; Unal, 2012). Salah satu bentuk interaksi yang diduga kuat terjadi dalam pembelajaran adalah ketika guru memberikan scaffolding kepada siswa, yakni sebagai pemberian bantuan secara terbatas oleh guru yang mampu mendorong keberhasilan siswa mengkonstruksi pemahaman siswa sendiri dalam pembelajaran. Perubahan kurikulum di Indonesia pada tahun 2013 sebagai kurikulum yang pembelajarannya menggunakan pendekatan saintifik, yang disingkat dengan K-13 (Kemendikbud, 2013), telah melahirkan tantangan baru bagi guru matematika yang tentu saja mempengaruhi interaksi pembelajaran di kelas. Beberapa tantangan itu secara garis besar berkaitan dengan: (1) pembenahan pemahaman guru tentang esensi kurikulum, (2) penyiapan dan penguasaan materi matematika yang difasilitasi, dan (3) pengelolaan pembelajaran matematika di dalam kelas. Untuk menghadapi tantangan ini, menurut As ari (2014), diperlukan upaya guru mengubah mindset-nya. Dalam kaitan ini, ada dua hal yang sangat penting yang harus dilakukan guru yaitu: (1) guru harus berubah bukan lagi sebagai satu-satunya penyedia pengalaman belajar, dan (2) guru harus berubah dari sosok yang aktif menjelaskan menjadi pendorong siswa untuk mencari informasi, mengolahnya dan menyimpulkannya. Namun, perubahan kurikulum K-13 bukanlah bersifat total melainkan berupa penyesuaian dari kurikulum yang sudah digunakan selama ini, sejak tahun 1974 hingga kurikulum KTSP Kurikulum sebelum K-13 sudah memberikan ruang keaktifan siswa. Namun dalam K-13 ini diharapkan ruang keaktifan belajar tersebut lebih besar lagi terjadi, yakni dengan menerapkan kegiatan 5M. Kelima kegiatan tersebut seperti yang dituangkan dalam Permendikbud No. 81a 2013 adalah mengamati, menanya, menggali informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013) Tuntutan pelaksanaan 5M tersebut tentu akan memperkuat interaksi antara guru dengan siswa di dalam kelas. Apalagi, model yang disarankan untuk melaksanakan pembelajaran dalam K-13 adalah guided discovery learning, problem based learning, dan project based learning (As ari, 2014: 6). Ketiga model ini berasaskan pendekatan konstruktivis yang mengarahkan pembelajaran berpusat pada siswa. Memperhatikan siswa sebagai individu yang sedang berkembang, tidak dipungkiri bahwa dalam pencapaian ketiga model itu diperlukan bantuan secara terbatas oleh guru (meminjam istilah Bruner disebut scaffolding). Pemberian scaffolding diharapkan akan mewujudkan kesuksesan belajar. 38

39 Sebagaimana dikemukakan Hiebert (2007) bahwa mengajar adalah sesuatu yang bisa diubah di bawah kondisi yang mendukungnya. Pemberian scaffolding adalah dalam rangka mencapai strategi pembelajaran yang efektif. Menurut Sowder (2007), guru yang efektif haruslah dapat memprediksi apa yang dipahami siswa, bagaimana siswa memahami, dan bagaimana memberi bantuan yang diperlukan sehingga siswa tidak mengalami kesalahpahaman. Paraguru haruslah memainkan peran penting dalam mengantisipasi kesukaran belajar siswa sehingga pembelajaran menjadi efektif. Oleh karena itu, guru matematika perlu mempertimbangkan kegiatan yang dirasa paling sesuai dengan tuntutan K-13 tersebut. Di sinilah peran pemberian scaffolding diperlukan. Guru matematika yang efektif tidak hanya memikirkan bagaimana rencana pembelajaran dibuat tetapi bagaimana menyampaikan materi secara tepat dan memberikan bantuan yang diperlukan seperlunya sehingga siswa menjadi mandiri. Para guru harus tahu bagaimana pemberian scaffolding yang dapat membantu pengembangan pemahaman para siswa. Namun, diingatkan oleh Yuwono (2014), penjelasan guru yang bersifat dogmatis, mencontohi, atau menggurui, harus diminimalkan. Guru di kelas hanya sebagai fasilitator kegiatan belajar siswa, sehingga siswa belajar secara bermakna. Tujuan Artikel ini berusaha untuk mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru matematika sebagai salah satu bentuk interaksi antara guru dengan siswa selama pembelajaran. Diharapkan identifikasi yang diperoleh bermanfaat untuk pengembangan pembelajaran matematika menuju pelaksanaknaan kurikulum Tinjuauan Pustaka Kerangka Teori Scaffolding Kata scaffolding berasal dari bahasa Inggrsis yaitu dari kata benda scaffold yang berarti perancah atau penopang, selanjutnya berkembang menjadi scaffolding. Metaphora ini banyak digunakan dalam teknik sipil yaitu berupa bangunan kerangka sementara atau penyangga (biasanya terbuat dari bambu, kayu, atau batang besi) yang memudahkan pekerja membangun gedung (Yamin, 2013). Teori pemberian scaffolding ini pertama kali diperenalkan oleh Wood, Bruner dan Ross di-akhir tahun 70-an dan sejalan dengan teori Vygotsky dengan istilah Zone Proximal Development (ZPD) (Akhtar, 2014). ZPD merupakan jarak antara tingkat perkembangan aktual dengan tingkat perkembangan potensial, yakni jarak antara apa yang siswa mampu pahami secara mandiri dengan kemampuan siswa memahami sesuatu yang membutuhkan orang lain. Menurut pandangan ini, setiap anak membutuhkan bantuan orang lain yang lebih dewasa yang semakin lama semakin harus dikurangi. Anak dalam perkembangannya secara sosial memiliki tiga wilayah (daerah) perkembangan intelektual yakni: 1) daerah yang anak secara bebas melakukan sesuatu tanpa ada bantuan orang lain, 2) daerah yang anak melakukan sesuatu memerlukan bantuan orang lain, dan 3) daerah yang tidak mungkin dicapai oleh anak. Pemberian bantuan mengajar berada dalam daerah pertengahan. Menggunakan kata-kata Vigotsky, what the child is able to do in collaboration today he will be able to do independently tomorrow (Akhtar, 2014). Meskipun banyak perbedaan definisi yang diberikan para ahli mengenai scaffolding, tetapi pada prinsipnya scaffolding merupakan bantuan secara terbatas yang sifatnya sementara dari orang yang lebih mampu kepada orang yang membutuhkan bantuan. Orang yang lebih mampu itu misalnya para ahli, guru, teman sejawat, atau alat-alat yang dipergunakan ketiga membutuhkan bantuan seperti kertas, penggaris atau software. Pemberi scaffolding, sebut saja scaffolder, harus mampu mengorganisasikan prosedur dan konsep agar pemahaman siswa menjadi benar. Dalam pembelajaran, scaffolding haruslah berkenaan dengan empat tujuan 1) tujuan yang berkenaan dengan pengetahuan domain belajar, 2) mempelajari bagaimana belajar itu sendiri, 3) belajar menggunakan alat bantu belajar, dan 4) belajar mengadaptasikan atau memodifikasi konteks dan keunggulan belajar (Azevedo & hadwin, 2005). Menurut Anghileri (2006), pembelajaran matematika sekarang telah mengubah peran guru dari pendekatan pembelajaran tradisonal yang menekankan showing and telling menuju pembelajaran yang cepat tanggap yang membimbing siswa mengembangkan pikirannya sendiri. Inilah hakikat dari 39

40 pembelajaran scaffolding dalam pembelajaran matematika. Selanjutnya, ditambahkan oleh Angileri bahwa ada 3 tingkatan (level) yang secara hierarki merupakan interaksi yang berkaitan dengan praktik pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar matematika. Ketiga level itu adalah 1) environmental provision, 2) explaining, reviewing, dan restucturing, 3) developing conceptual thinking. Untuk level pertama memungkinkan pembelajaran dapat melakukannya tanpa bantuan guru. Sementara untuk kedua level lainnya memerlukan interaksi langsung guru antara guru dan siswa yang lebih besar. Namun, dalam pembelajaran tertentu dapat terjadi semuanya. Kegiatan guru pada level 1, misalnya memilih benda-benda yang diperlukan (papan tulis, alat manipulatif, permainan, dan alat alat yang tepat), pengorganisasian kelas seperti pengaturan tempat dan urutan pembelajaran). Meskipun hal ini tidak memberi kesan langsung sebagai scaffolding tetapi ia mempengaruhi pembelajaran. Pemberian LKS (lembar kerja siswa) atau kegiatan yang diarahkan guru, pengelompokan siswa untuk bekerja secara kooperatif, termasuk dalam level ini. Kegiatan guru pada Level 2, bantuan secara terbatas berupa penjelasan (explaining) termasuk di dalamnya penunjukan (showing), mengatakan (telling) ide yang dipelajari. Dalam pembelajaran tradisional lebih didominasi dengan kegiatan showing dan telling, sehingga kontribusi belajar siswa sangat sedikit. Penjelasan yang tidak dalam batas-batas berpikir siswa dapat berakibat bertumpuknya kesulitan yang dihadapi siswa sehinga dapat menimbulkan masalah baru bagi siswa. Oleh karena itu suatu alternatif dari showing dan telling adalah mengembangkan pemahaman siswa melalui rewiewing dan restructuring. Rewieweing berkaitan dengan interaksi yang dibangun guru yang mendorong pengalaman belajar matematika yang ada pada diri siswa. Misalnya, guru meminta siswa melihat, menyentuh, atau menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan. Guru meminta siswa menjelaskan dan membenarkan. Guru menginterpretasikan apa yang dilakukan dan dikatakan siswa. Guru menggunakan pertanyaan yang melacak. Restrucuring berkaitan dengan kegiatan guru membuat suatu adaptasi untuk memodikasi pengalaman belajar siswa. Perhatian guru secara progresif memperkenalkan modifikasi yang akan membuat ide-ide lebih mudah diterima, tidak hanya membangun kontak dengan siswa tetapi mengambil makna selanjutnya. Hal ini berbeda dengan reviewing yakni interaksi guru dan siswa cenderung mendorong refleksi, penjelasan tetapi tidak mengubah pemahaman yang ada pada siswa. Kegiatan guru antara lain membekali konteks bermakna untuk situasi abstrak, menyederhanakan masalah dengan membatasi agar jangan terlalu meluas, mengucapkan kembali perkataan siswa, dan mendiskusikan makna. Kegiatan guru pada level 3, merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan menyingkap pemahaman bersama antara guru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedikit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi dan menggunakan sistem gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami simbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai bentuk atap, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga. Kegiatan guru pada level 3, yang merupakan level scaffolding tertinggi, terdiri atas interaksi pembelajaran yang secara eksplisit menyatakan perkembangan berpikir konseptual dengan menghasilkan kesempatan untuk menyingkap pemahaman bersama antara gru dan siswa. Guru perlu mencari perkembangan konsep melalu proses yang khusus seperti generalisasi, extrapolasi, dan abstraksi. Di sini peran guru lebih bersifat perintah. Meskipun sedkit sekali terjadi, pembelajaran akan efektif jika difokuskan pada pembuatan koneksi dan membangun pemahaman konseptual. Kegiatan guru antara lain mengembangkan alat-alat representasi. Secara umum, karena matematika berkaitan dengan interpretasi dan menggunakan system gambar, kata dan simbol maka kegiatan guru mendorong siswa memahami symbol menjadi penting. Dalam kegiatan praktik, kegiatan guru dapat membantu siswa sekitar bahasa, baik formal maupun informal. Misalnya ketika mengatakan prisma segitiga dengan memperkenal dengan istilah informal sebagai bentuk atap, meskipun secara formal dinamai prisma segitiga. 40

41 Dalam membuat koneksi, intervensi guru sangat diperlukan sebagai bantuan bagi belajar siswa. Guru dapat memperluas strategi yang digunakan sebelumnya sebagai sesuatu pengaitan yang baru. Misalnya, dari pada meminta siswa menjumlahkan 6 ditambah 6, lebih baik mengatakan coba gandakan 6- nya sebagai bentuk menyatakan kembali selesaian yang diberikan siswa. Contoh lain ketika pebelajaran decimal, kegiatan dapat ditingkatkan dengan mengaitkan pecahan dan persen yang telah dibuat. Misalnya, ½ x 40, 40 x 0.5, 50% dari 40. Selanjutnya, dalam hal membangun wacana konseptual, guru harus melampaui scaffolding yang telah dilewati sebelumnya. Misalnya, setelah mengurutkan bentuk-bentuk benda yang dapat bergulir, guru menanyakan Mengapa ia akan bergulir? dan dilanjutkan dengan diskusi. Bahkan sampai meminta siswa membuat contoh sendiri. Berikut adalah tiga level scaffolding dan contohnya menurut Anghileri (2006). Tabel 1. Jenis Scaffolding dan Contohnya Level Scaffolding 1. Enviro nmental Provision 2. Explai ning, reviewing, dan restructuring: melibatkan interaksi langsung dengan siswa 3. Developing Conceptual thinking: lebih bersifat imperative (perintah) Contoh 1. Artefacts (memilih alat-alat yang cocok, benda tiruan, papan tampilan dinding), tekateki, perangkat pengukuran. 2. Free play (menggunakan papan blok) 3. Grouping (kerjasama kelompok) 4. Interjection (ujaran khas, spontan) atau balikan, mendapatkan perhatian 5. Self constructing task (tugas-tugas yang dilakukan sendiri) Reviewing 1. Meminta siswa melihat, menyentuh dan menyatakan apa yang mereka lihat dan pikirkan 2. Meminta siswa menjelaskan dan membenarkan 3. Menginterpretasikan kegiatan dan omongan siswa 4. Menggunakan pertanyaan yang melacak 5. Menggunakan strategi alternative (parallel model) Restructuring 6. Identifying meaningful context [ 6:12=? disederhanakan 6 kue akan dibagikan kepada 12 orang ] 7. Symplifying the problem [ Menyederhanakan pengulangan benda dengan meminta yang dua sisi dan satu sisi saja ] 8. Re-phrasing student talk [menyebutkan kubus sebagai istilah yang benar dari ucapan siswa yang menyebutkan persegi ] 9. Negotiating meaning [berjuang bersama-sama guru dan siswa untuk memahami sesuatu yang dipahami dalam belajar matemaika sebenarnya] 1. Mengembangkan alat-alat representasi:[memperkenalkan prisma segitiga sebagai bentuk atap. Guru menggunakan representasi grafis dan spreadsheets untuk memaknai struktur matematika apa yang disajikan 2. Membuat koneksi [menggunakan ide gandakan 6-nya daripada 6 tambah 6 dalam mengulangi kerja yang sudah dilakukan siswa.] 3. Membangun wacana konseptual [Setelah mengurutkan bentuk-bentuk pilihan benda yang bisa bergelinding, guru menanyakan mengapa ia akan bergelinding. Menanyakan strategi yang digunakan unuk Jika perlu mintalah siswa untuk membuat contoh mereka sendiri] Pemberian Scaffolding Pada Pembelajaran Matematika Salah satu prinsip yang dituangkan dalam proses pembelajaran menggunakan K-13 adalah pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah (Kemendikbud, 2013). Hal ini berarti bahwa pelaksanaan K-13 menuntut adanya kemandirian siswa yang lebih besar. Oleh karena itu, dalam pembelajaran tidaklah mengapa jika siswa melakukan kesalahan selama proses mereka menyelesaikan masalah. Yang lebih dipentingkan dalam pembelajaran tersebut adalah prosesnya di samping hasilya. Tugas guru adalah memfasilitasi proses belajar siswa sehingga siswa dapat 41

42 menyelesaikan masalahnya, yang dikenal sebagai scaffolding produktif (lawan dari scaffolding tak produktif) Pembelajaran matematika dengan menerapkan kurikulum K-13 merupakan atmosphere baru bagi guru matematika di Indonesia. Hal ini berdampak tidak hanya pada poses pembelajaran yang dilakukan guru di kelas, tetapi juga pada proses siswa mengelola belajarnya. Tuntutan melahirkan kegiatan 5M di kelas menyebabkan beban kognitif siswa berbeda dari yang selama ini difasilitasi guru. Menurut (Danilenko, 2010), beban kognitif adalah suatu konstruksi penyajian beban yang menunjukkan suatu tugas khusus yang membebani system kognitif siswa. Beban kognitif ini terdiri dari tiga komponen, yaitu intrinsic, extraneous, dan germane. Ketiga beban ini sifatnya sementara. Beban intrinsic berkaitan dengan kealamiahan dan hubungan dengan materi yang dipelajari. Beban kognitif extraneous dibutuhkan pada memory kerja karena cara materi itu difasilitasi ke siswa. Beban germane merupakan hasil dari upaya yang sengaja yang dihabiskan secara aktif atau mengotomatiskan scheme. Pembelajaran guru matematika memunculkan kegiatan 5M pada diri siswa tidaklah mudah. Kondisi ini memungkinkan terjadinya beban kognitif yang tinggi bagi siswa. Pemberian scaffolding untuk memunculkan 5M merupakan suatu strategi pembelajaran yang dapat mengurangi beban kognitif siswa dan membantu siswa mengkreasikan skema yang telah dimiliki guna mencapai hasil belajar yang lebih tinggi. 3. Metode Artikel ini merupakan deskripsi hasil observasi pembelajaran matematika yang dilakukan oleh dua guru, masing-masing bertempat di SD Islam Surya Buana dan di MTs Surya Buana pada tanggal 7 April 2014 dan 14 April 2014, keduanya di Malang. Observasi dilakukan 1 kali di masing-masing sekolah selama 90 menit. Pembelajaran juga menggunakan rekaman video dan selanjutnya hasil rekaman dianalisis guna mengidentifikasi scaffolding yang diberikan guru selama pembelajaran matematika berlangsung. 4. Hasil dan Pembahasan Berikut ini adalah deskripsi pembelajaran yang merupakan hasil pengamatan kelas terhadap dua guru matematika Ibu AN dan Bapak IR (bukan nama sebenarnya) Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Ibu AN Ibu AN, seorang guru lulusan sarjana matematika, berpengalaman kurang dari lima tahun, sedang memfasilitasi pelajaran tematik integratif di kelas IV. Materi tematiknya antara lain tentang PKn (kerja sama), Matematika (sudut) dan IPS (berbagai profesi dan pekerjaan). Proses pembelajaran diberikan secara berurutan, diawali dengan masalah berbagai profesi (PKn), kemudian diikuiti oleh kerjasama (IPS) dan terakhir dengan masalah sudut (Matematika). Ibu AN membagikan LKS dan menjelaskan cara mengisi LKS dengan detail. Siswa dibagi dalam enam kelompok guna menerapkan pembelajaran kooperatif. Siswa diminta bekerja dalam kelompoknya dan pada umumnya para siswa aktif mengikuti instruksi guru dengan penuh antusias. Selama pembelajaran guru tidak pernah menulis di papan tulis, meskipun untuk menjelaskan matematika. Sebagaimana dituliskan dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Ibu AN ingin menerapkan pembelajaran yang bernuansa pendekatan saintifik berdasarkan K-13, sebagai kurikulum terbaru di Indonesia. Ketika membahas matematika dengan materi memahami sudut, Ibu AN melakukan praktik yang meminta siswa menggunting kertas yang telah disiapkannya. Selama itu, Ibu AN banyak memberikan bantuan kepada kelompok siswa, baik dengan cara memberi penjelasan, atau ketika ada siswa yang tidak bisa melakukan sesuatu atau bertanya, pada umumnya Ibu AN langsung menjawabnya, baik dengan cara melanjutkan kerja siswa (menggunting) atau menunjukkannya. Dengan cara ini anakanak terlihat senang dengan Ibu AN. Namun, di akhir pembelajaran ternyata masih ada juga kelompok siswa yang tidak tuntas mengerjakan tugas dari Ibu AN. Ketika pelajaran usai, Ibu AN berusaha meminta siswa menyimpulkan apa yang telah mereka pelajari. Tetapi karena pada umumnya siswa belum mampu menyimpulkan maka akhirnya Ibu AN sendirilah yang memberi simpulan. 42

43 Deskripsi pembelajaran yang dilaksanakan Bapak IR Pak IR, seorang guru matematika berpendidikan magister dengan pengalaman mengajar kurang dari 5 tahun sedang memfasilitasi materi segitiga. Tujuan pebelajarannya adalah menentukan keliling segitiga dan menggambarkan segitiga yang sisi-sisinya diketahui. Pembelajaran berlangsung aktif dan bersemangat, baik guru maupun siswanya. Pembelajaran dimulai dengan memberikan apersepsi yang menggali pemahaman siswa tentang segitiga dengan menanyakan bentuk-bentuk segitiga yang ada di alam. Ada siswa yang menyebutkan contoh segitiga yang ada pada penggaris, segitiga Bermuda, dll. Selanjutnya guru menanyakan yang bukan segitiga, sebagai non contoh. Seorang siswa, namanya Dier, memberikan contoh benda yang bukan segitiga adalah roda mobil. Katanya roda mobil berbentuk lingkaran. Ada siswa lain, Ilman memberikan jawaban yang merupakan segitiga yaitu piramida (sisinya). Untuk menyakinkan apakah siswa mampu menggolongkan contoh dan non contoh segitiga, guru mengeluarkan beberapa bangun geometri yang ada dalam sakunya. Ketika itu, ada siswa yang mengatakan segitiga sama kaki, ada yang mengatakan bukan segitiga. Selanjutnya, guru memperlihatkan bangun persegipanjang. Semua siswa tahu jika bangun yang diperlihatkan itu adalah persegipanjang. Tetapi ketika ditanya mengapa namanya persegi panjang, alasan siswa karena bentuknya panjang. Anehnya lagi, ketika diambil bentuk lain dari saku guru berbentuk belah ketupat, siswa sukar menentukan apakah bangun itu segitiga atau bukan. Oleh karena itu, guru mencoba menggunting bangun tersebut menjadi dua bagian sehingga membentuk segitiga dan akhirnya siswa mampu mengatakan bahwa setengah potongan belah ketupat tadi sebagai contoh segitiga. Setelah siswa mampu membedakan segitiga dan bukan segitiga, barulah kegiatan pembelajaran dimulai. Guru membagi siswa menjadi enam kelompok. Setelah memberikan LKS kepada masing-masing kelompok, guru memberi penjelasan tentang cara mengerjakan lima masalah dari LKSnya dengan membacakannya. LKS terdiri dari tiga kegiatan siswa yaitu menentukan keliling segitiga dengan cara mengukur panjang sisi yang diberikan, menggambar bentuk segitiga dari panjang ruas garis yang diketahui, dan memberikan alasan kapan suatu segitiga dapat dibentuk dari tiga ruas garis yang diketahui. Melalui scaffolding yang diberikan selama pembelajaran dengan cara berkeliling ke setiap kelompok dengan penunjukan dan bekerja sama dengan siswa akhirnya semua kelompok dapat menyelesaikan dua tugas yang pertama. Tetapi, hanya satu kelompok saja yang dapat memberikan simpulan kapan tiga ruas garis dapat membentuk suatu segitiga. Analisis Scaffolding yang Diberikan Kedua Guru Berdasarkan hasil observasi penulis terhadap dua guru, baik ibu AN dan pak IR, menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika selalu ada scaffolding dan kedua guru tersebut memberikan scaffolding berbeda. Hal ini bergantung dari pengetahuan dan pengalaman mengajar guru. Sebagaimana dituliskan dalam deskripsi Ibu AN, sejak awal hingga akhir pembelajaran, Ibu AN banyak sekali memberikan scaffolding kepada siswanya. Scaffolding yang diberikan berupa pengarahan langsung, pujian, memberikan simpulan, dan gerakan (tindakan). Pada umumnya, scaffolding yang diberikan Ibu AN berupa kata-kata yang bersifat menjelaskan dan tindakan langsung oleh Ibu AN sendiri. Menurut penulis, Ibu AN sebagai fasilitator terlalu mendominasi pembelajaran. Ketika ada siswa yang meminta bantuan, misalnya ketika melekatkan potongan setiap sudut dari suatu persegi panjang hingga memperlihatkan jumlah besar sudut satu lingkaran, Ibu AN langsung memberikan contohnya dengan melakukannya sendiri. Seharusnya, Ibu AN cukup memfasilitasi siswa dengan memberi tahu mereka atau menunjukkan cara melekatnya (bukan Ibu AN yang melekatkannya). Dengan kata lain, pemberian scaffolding seperti itu perlu diminimalkan (Yuwono, 2014), karena kurang produktif. Akibat konstruksi siswa yang kurang terjadi, maka siswa tidak bergitu terdorong dalam mengkonstruk sendiri masalah yang dihadapinya. Hal ini terjadi hingga akhir pembelajaran. Sebagai akibatnya, masih ada kelompok siswa yang belum menyelesaikan tugasnya sampai akhir pembelajaran. Ibu AN lebih banyak diberikan secara oral (telling, lisan) dan gerakan menunjuk (showing). Secara telling, guru lebih banyak memberikan pertanyaan, arahan, penjelasan, dan instruksi. Secara gerakan, guru lebih mengunakan gerakan tangan (khususnya jari), menunjukkan kerja siswa, dan membantu langsung kegiatan siswa. Jarang sekali guru memberikan scaffolding yang berbentuk tulisan. Hal ini 43

44 mungkin karena pengamatan dilakukan pada kedua kelas tersebut menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS) sebagai media belajar. Beberapa bantuan yang diberikan Ibu AN yaitu: (1) memberi tahu jawaban bahwa jumlah sudut dalam satu putaran adalah 360 o dan sudut siku-siku adalah 90 o, (2) mengerakkan tangan membentuk lingkaran untuk menunjukkan satu putaran besarnya 360 o. (3) menunjukkan bagian yang akan dipotong, dan melekatkan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa. Menurut Anghileri (2006), bantuan guru seperti ini termasuk memenuhi kriteria scaffolding. Adapun menurut Yuwono (2014), penjelasan guru seperti ini harus diminimalkan. Gambar 1. Jenis Scaffolding tindakan Ibu AN (gerakan menunjuk dan mela-kukan sendiri potongan gambar yang seharusnya dikerjakan oleh siswa) Berbeda dengan Ibu AN, meskipun tidak mengatakan secara jelas model pembelajarannya, pak IR yang pendidikannya lebih tinggi dari Ibu AN telah melaksanakan pembelajaran dengan baik. Kekuatan belajar pak IR adalah pada pemberian apersepsi yang lama, yakni mengeksplorasi contoh dan noncontoh segitiga, dan penyiapan LKS, serta pemberian scaffolding yang lebih produktif selama pembelajaran. Hambatan kecil terjadi ketika Pak IR menuangkan teks dalam LKS-nya yang ternyata masih sukar dipahami siswa. Namun, dengan scaffolding (menurut Angileri (2006) scaffolding ini disebut scaffolding analogi) yang diberikan pengamat kepada pak IR, akhirnya siswa memahami maksud dari perintah yang diinginkan dalam LKS. Temuan analogi ini sesuai dengan temuan Hidayah (2011) bahwa dengan berpikir analogi siswa dapat menyelesaikan masalah baru. Beberapa bantuan yang diberikan pak IR adalah: (1) gerakan menunjuk, (2) gerakan peragaan mencontohkan sambil melibatkan siswa, (3) bantuan berupa analogi pengerjaan, yakni bantuan berupa benda manipilatif yang mirip ruas garis untuk membantu pemahaman siswa merangkai tiga ruas garis membentuk segitiga. Semua bantuan ini termasuk scaffolding menurut Anghileri (2006). 44

45 Gambar 3. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (berupa gerakan menunjuk, peragaan mencontohkan sambil melibatkan siswa, dan bekerja sama) Gambar 4. Jenis Scaffolding Tindakan pak IR (membuat analogi pengerjaan ) Dalam kaitannya dengan K-13, ternyata scaffolding yang diberikan guru yang mengarah langsung kepada kegiatan 5M masih sulit terjadi. Hal ini terbukti dari dua observasi yang ditunjukkan di atas. Meskipun Ibu AN telah secara nyata menyatakan bahwa ia melaksanakan pembelajaran saintifik seperti yang dituliskan dalam RPPnya, tetapi kegiatan 5M masih sulit terjadi. Demikian pula pada pembelajaran yang dilakukan pak IR, mungkin karena pengetahuannya yang lebih tinggi dari Ibu AN telah membawa kesuksesan belajar siswa, tetapi juga belum sepenuhnya menerapkan 5M. Oleh karena itu, pelaksanaan K-13 perlu diberikan secara spesifik mengarah kepada selain mendorong guru memunculkan 5M, perlu diupayakan pula mendorong guru memiliki pengetahuan memunculkan scaffolding pada setiap kegiatan 5M. 5. Simpulan Pelaksanakan K-13 yang menerapkan kegiatan 5M memerlukan lebih banyak scaffolding dari guru. Merujuk kepada Angileri (2006), scaffolding guru masih banyak terjadi pada level 1, dan sedikit berada pada level 2 dan jarang sekali berada pada level 3, yakni guru lebih banyak melakukan kegiatan explaining dengan showing dan telling. Juga, masih ditemukan adanya pemberian scaffolding yang berlebihan sehingga kurang dapat mengembangkan konstruksi pemahaman siswa atau kurang produktif. Tantangan ke depan guru perlu memberikan scaffolding lebih banyak pada level 2 dan level 3. Guru diharapkan mampu mengembangkan scaffolding yang dapat memunculkan kegiatan 5M untuk setiap materi matematika yang difasilitasi kepada siswa. Adanya scaffolding akan bermanfaat bagi siswa dan guru dalam membangun interaksi di kelas sebagaimana harapan dari pembelajaran menggunakan pendekatan konstruktivis. Oleh karena itu, pemberian scaffolding sebagai suatu strategi guru dalam memfasilitasi belajar perlu selalu diberikan dalam pembelajaran matematika. Daftar Pustaka Akhtar, M. (2014). Patterns of Scaffolds in One-to-One Mathematics Teaching: An Analysis. Educational Research International. Vol (3)1 Februari ISSN: , e ISSN:

46 Anghileri, J. (2006). Scaffolding Practices That Enhance Mathematics Learning. Journal of Mathematics Teacher Education (2006) 9: A sari, Abdur Rahman. (2014). Mewujudkan Pendekatan Saintifik Dalam Kelas Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Internasional dengan tema Curriculum In Global Perspective Pada Tanggal 8 Maret 2014 di Universitas Muhammadiyah Ponorogo.s Azevedo, R., & Hadwin, A. F. (2005). Scaffolding self-regulated learning and metacognition- Implications for the design of computer-based scaffolds. Instructional Science. 33: DOI /s Danilenko, E.P. (2010). The Relationship of Scaffolding on Cognitive Load in an Online Self-Regulated Learning Environment. A Dissertation Submitted to the Faculty of the Graduate school of the University of Minnesota. Franke, M.L. et al. (2007). Mathematics Teaching and Classroom Practice. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp ). America: Information Age Publishing Inc. Hidayah, I. N. (2011). Analogi Dalam Struktur Aljabar 1. Jurnal Pembelajaran Matematika. Tahun I, Nomor 1, Januari ISSN: X Hiebert J. & Grouws, D. A. (2007). The Effect of Classroom Mathematics Teaching on Students Learning. In Lester Jr, F. (Ed). Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp ). America: Information Age Publishing Inc. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 65, tahun Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kemdikbud (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No. 81a, tahun Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Rice, J.K., (2010). The Impact of Teacher Experience Examining the Evidence and Policy Implications. National Center for Analysis of Longitudinal Data in Educational Research (CALDER). Grant R305A Urban Institute, Washington DC. Sowder, J.T. (2007). The Mathematics Education and Development of Teachers. Second handbook of research on mathematics teaching and learning. (pp ). America: Information Age Publishing Inc. Ünal, Zafer & Ünal Aslihan (2012). The impact of Years of Teaching Experience on the Classroom Management Approaches of Elementary School Teachers. International Journal of Instruction, July 2012 vol.5, no.2, e-issn: p-issn: x. Yamin, M. (2013). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Anggota IKAPI. Yuwono, I. (2013). Pendidikan Matematika dan Pendidikan Karakter Dalam Implementasi Kurikulum Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung. Volume 1, Tahun ISSN

47 KECERDASAN TRIANGLE SEMPURNA PADA PENERAPAN DESAIN MAKET MATEMATIKA (MAMA) DI PERGURUAN TINGGI PADA MATA KULIAH WORKSHOP MATEMATIKA Ariyani Muljo 1 Prodi Pendidikan Matematika, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Zawiyah Cot Kala, Langsa ariyanimulyo41@gmail.com Abstrak. Makalah ini bertujuan untuk mendesain Maket Matematika (MaMa) untuk mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika Jurusan Tarbiyah STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa pada mata kuliah workshop matematika yang akan mereka terapkan nanti nya di sekolah tempat mereka mengajar. Metode Penulisan ini menggunakan Pendekatan Pengembangan (Development Research) yaitu model pengembangan 4-D meliputi 4 tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan desseminate atau diadaptasikan menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran. Kegiatan pada tahap analisis muka belakang yang dilaksanakan meliputi menganalisis materi yang diajar pada mata kuliah workshop, menganalisis buku-buku teks matematika, merivieu literatur tentang pembelajaran dengan maket matematika berbasis kecerdasan, interviu dengan teman sejawat dalam hal ini dosen pengampu mata kuliah. Yang ingin ditunjukkan pada makalah ini adalah maket matematika (MaMa) dapat di didesain berdasarkan kecerdasaan triangle sempurna. Kata kunci :Desain, MaketMatematika (MaMa), Kecerdasan Triangle Sempurna. 1. Pendahuluan Potensi sumber daya manusia merupakan aset nasional sekaligus sebagai modal dasar pembangunan bangsa. Potensi ini hanya dapat digali dan dikembangkan serta dipupuk secara efektif melalui strategi pendidikan dan pembelajaran yang terarah dan terpadu, yang dikelola secara serasi dan seimbang dengan memperhatikan pengembangan potensi siswa secara utuh dan optimal. Strategi pembelajaran yang digunakan saat ini masih bersifat massal, yang memberikan perlakuan dan layanan pendidikan yang sama kepada semua peserta didik. Padahal, mereka berbeda tingkat kecakapan, kecerdasan, minat, bakat dan kreativitasnya. Strategi pelayanan pendidikan sepeti ini memang tepat dalam konteks pemerataan kesempatan, tetapi kurang menunjang usaha menoptimalisasikan pengembangan potensi siswa secara tepat. Siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa merupakan kelompok kecil, berdasarkan data di Balitang Depdikbud (1994) menunjukkan hanya 2-5% dari seluruh siswa yang ada. Jumlah ini semakin meningkat pada jenjang yang lebih tinggi, di tingkat SMU jumlah siswa berkemampuan dan berkecerdasan luar biasa mencapai 8%.(Uno Hamzah, 2009:2) Salah satu tujuan mempelajari matematika adalah membentuk kepribadian dalam diri siswa untuk menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu hal yang jamak jika siswa dalam satu kelas beragam dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kecerdasan mereka. Idealnya, seorang guru harus memperhatikan keragaman jenis dan tingkat kecerdasan siswa yang biasa disebut dengan Multiple Intelligent. Pembelajaran matematika merupakan proses terjadinya interaksi antara guru dengan siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan siswa untuk memperoleh pengetahuan yang dilakukan dalam proses belajar mengajar yang sedang berlangsung. Dalam pembelajaran matematika guru memerlukan bahan ajar yang bisa mendukung siswa dalam proses pembelajaran. Salah satu bahan ajar yang bisa digunakan dan mendukung proses pembelajaran adalah dengan maket. Maket adalah sebagai barang tiruan yang kecil dengan bentuk (rupa) persis seperti yang ditiru. Sedangkan maket adalah bentuk tiruan (gedung, kapal, pesawat terbang, dan sebagainya) dalam bentuk tiga dimensi dan skala kecil, biasanya dibuat dari kayu, kertas, tanah liat, dan sebagainya. Dari arti 47

48 secara bahasa tersebut dapat kita mengerti bahwa kedua istilah itu (model dan maket) memiliki arti yang hampir sama atau bahkan bisa disebut sama. Maka, dalam penggunaannya di buku ini, kedua istilah tersebut disebutkan secara bersamaan dan hanya dipisahkan dengantanda dalam kurung Sementara itu, sudjana dan rivai (2005) mengungkapkan bahwa model adalah tiruan tiga dimensi dari beberapa benda nyata yang terlalu besar, terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu mahal, terlalu panjang, atau terlalu ruwet untuk dibawa ke dalam kelas dan dipelajari peserta didik dalam wujud aslinya. Dari pandangan tersebut dapat kita pahami bahwa model (maket) sebagai bahan ajar tiga dimensi adalah tiruan benda nyata untuk menjembatani berbagai kesulitan yang bisa ditemui, apabila menghadirkan objek atau benda tersebut langsung ke dalam kelas. Dengan demikian, nuansa asli dari benda mengurangi struktur aslinya, sehingga pembelajaran lebih bermakna. Dengan adanya maket yang ada pada saat proses pembelajaran dapat membantu permasalahan yang sering dihadapi pada mata pelajaran matematika yaitu siswa selalu merasa takut karena guru cenderung untuk tidak memperhatikan secara individual siswa nya, lebih mengedepankan target materi yang akan diajarkan dan ketuntasan kelas yang harus dipenuhi. Sehingga mengakibatkan guru tidak lagi memperhatikan siswa yang memiliki kecenderungan akan satu bidang. Setelah melakukan wawancara dengan guru SMA Negeri 5 Langsa pada tanggal 16 januari 2014, pukul Wib. Dalam proses belajar mengajar guru menyampaikan materi pelajaran matematika menggunakan buku teks. Tapi, ketika proses belajar mengajar berlangsung tidak ada seorang siswa yang menggunakan buku teks. Buku teks yang tersedia di SMA Negeri 5 Langsa jumlahnya masih terbatas. Dalam kegiatan belajar mengajar siswa hanya menggunakan Lembar Kerja Siswa (LKS). Ketika guru selesai memberikan materi pelajaran siswa jarang bertanya jika diberikan kesempatan untuk bertanya tentang materi yang belum dimengerti. Ketika guru memberikan latihan kepada siswa, banyak dari siswa yang tidak mengerti dan bingung untuk mengerjakan soal tersebut. Dalam model pembelajaran ini akan dikembangkan oleh peneliti dengan pengembangan bahan ajar berbentuk maket dengan model 4-D. dengan adanya kecerdasan triangle ini dapat merancang dan mendesain maket yang bisa membuat siswa menerima pembelajaran matematika yang baik. Kecerdasan triangle sempurna yang dimaksud adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal dan kecerdasan visual spasial yang melatarbelakangi maket yang akan di desain melalui model 4-D. Skala kecerdasan yang selama ini dipakai, ternyata memiliki banyak keterbatasan sehingga kurang dapat meramalkan kinerja yang sukses untuk masa depan seseorang. Kecerdasan seseorang meliputi unsurunsur kecerdasan matematika logika, kecerdasan bahasa, kecerdasan musikal, kecerdasan visual spasial, kecerdasan kinestetis, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Yang difokuskan pada desain bahan ajar ini adalah kecerdasan matematis logika, kecerdasan musikal dan kecerdasan visual spasial. Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Kecerdasan spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal bentuk, misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk atau rancang bangun. Musik sendiri memiliki dimensi kreatif dan memiliki bagian yang identik dengan proses belajar secara umum. Musik mempunyai peranan penting dalam kehidupan seseorang, selain dapat mengembangkan sensitivitas, membangun rasa keindahan mengungkapkan ekspresi, memberikan tantangan, melatih disiplin dan mengenalkan sejarah budaya bangsa. Selain itu, musik juga berpengaruh sebagai alat untuk meningkatkan dan membantu perkembangan kemampuan pribadi dan sosial. Perkembangan pribadi meliputi aspek kemampuan kognitif, penalaran, intelegensi, kreatifitas, membaca, bahasa, perilaku sosial, dan interaksi sosial. Dalam kesempatan kali ini, peneliti akan melakukan penelitian dengan memanfaatkan faktor eksternal/lingkungan berupa model (maket) sebagai stimulus untuk merangsang hasil belajar anak. Hal ini diupayakan karena dalam proses pembelajaran matematika sangat membutuhkan daya konsentrasi yang tinggi, suasana yang rileks, serta menenangkan dan menurunkan stress. Oleh karena itu, kehadiran 48

49 musik dinilai penting dalam pembelajaran matematika. Model (maket) yang akan digunakan oleh peneliti adalah kotak ajaib. Pengembangan media visual komik bilangan bulat dalam penelitian ini adalah menggunakan model 4- D. model desain sistem 4-D meliputi 4 tahapan pengembangan, yaitu define, design, develop dan desseminate atau diadaptasikan menjadi pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran. Peneliti memilih model 4-D karena peneliti memandang bahwa model desain pembelajaran dengan pendekatan sistem ini sesuai dengan masalah yang melatarbelakangi penelitian ini. Dengan adanya pendefenisisan, perancangan, pengembangan dan penyebaran maka peneliti berharap dengan model ini dapat dikembangkan maket matematika sesuai yang valid, praktis dan efektif dalam meningkatkan hasil belajar matematika siswa berdasarkan kecerdasan matematika logika, musikal dan visual-spasial Berdasarkan uraian di atas, hal yang mendasari mendesain maket matematika adalah ketidakmampuan siswa dalam memahami pelajaran matematika, sehingga terjadi kesulitan belajar dalam hal menyelesaikan bentuk soal matematika pada siswa kelas X di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan Bireun. Pada keadaan ideal siswa seharusnya dapat memahami cara penyelesaian dari bentuk soal tersebut. Namun penggunaan yang abstrak membuat siswa tidak bisa menggambarkannya dengan nyata apa yang dipelajari nya selama ini. Oleh karena itu, metode penyajian soal tersebut memerlukan alat bantu media edukatif berupa maket matematika. Sebagaimana yang telah dikemukakan dalam latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan sebuah penelitian yang bertujuan mendesain bahan ajar berbentuk maket yang disebut maket matematika (MAMA) untuk dilakukan penelitian dengan judul: Kecerdasan Triangle Sempurna pada Penerapan Desain Maket Matematika di SMAN Unggul Aceh Timur Kecamatan Bireun.Rumusan Masalahyang bisa di rangkum adalah :Apakah maket matematika dapat digunakan sebagai media edukatif?, Bagaimana praktikalitas siswa kelas X yang belajarnya menggunakan maket matematika di SMAN Unggul Aceh Timur?, Bagaimana efektivitas siswa kelas X yang belajar menggunakan maket matematika di SMAN Unggul Aceh Timur? 2. Tinjauan Pustaka Model (Maket) Model atau maket sebagai bahan ajar, jika disiapkan dan dibuat secara baik, maka akan memberikan manfaat yang luar biasa bagi proses pembelajaran. Oleh karena itu, model yang digunakan dalam proses pembelajaran hendaknya dibuat oleh pendidik atau para peserta didik. Sebab, model atau maket dapat memberikan makna yang hampir sama dengan benda aslinya. Weidermann mengungkapkan bahwa dengan melihat dan berinteraksi dengan benda aslinya, yang berarti dapat dipegang, maka peserta didik akan lebih mudah mempelajarinya.(dikdas, 2004) Hal ini sebenarnya juga tidak terlepas dari manfaat besar yang bisa ditimbulkan oleh bahan ajar ini bagi proses pembelajaran, yaitu menciptakan pembelajaran yang bermakna dan mengesankan. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat kita pahami bahwa penggunaan model sebagai bahan ajar memiliki beberapa tujuan, diantaranya sebagai berikut : a. Menyederhanakan objek atau benda yang terlalu sulit, terlalu besar, terlalu jarang, terlalu jauh, terlalu kecil, atau terlalu mahal jika dihadirkan di kelas secara langsung dalam bentuk aslinya. b. Memberikan pengalaman nyata kepada peserta didik terhadap suatu objek atau benda, meskipun hanya dalam bentuk tiruannya. c. Memudahkan penjelasan tentang suatu objek atau benda dengan menunjukkan tiruan benda aslinya. Sementara itu, fungsi model dalam kegiatan pembelajaran antara lain menjadi tiruan objek atau benda atau benda asli didatangkan ke kelas untuk diobservasi peserta didik.(andi Prastowo,2012) Bagi peserta didik, dengan adanya model atau maket, maka mereka dapat belajar dengan lebih mudah. Mereka dapat mengamati objek atau benda secara langsung. Penjelasan penjelasan secara oral yang disampaikan oleh pendidik pun dapat dicerna secara langsung oleh mereka dengan membandingkannya dengan model yang mereka amati atau buat sendiri. Hal hal yang bersifat abstrak menjadi konkrit ketika model ada di depan mereka. Selain itu, mereka juga mendapatkan pengalaman yang sangat berharga dari kegiatan yang mereka lakukan, sehingga mereka memperoleh banyak hal yang mengesankan. Padahal, seperti kita ketahui, jika suatu kegiatan pembelajaran mampu memberi kesan 49

50 mendalam bagi peserta didiknya, berarti pembelajaran itu bermakna bagi mereka. Jika proses pembelajaran tersebut bermakna, maka kegiatan pembelajaran itu telah berjalan secara efektif. Pembelajaran Matematika Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa untuk belajar. Kegiatan pembelajaran akan melibatkan siswa mempelajari sesuatu dengan cara efektif dan efesien.(riyantoyatim, 2010:131) Pembelajaran Matematika adalah pemberian bantuan kepada siswa untuk membangun konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi sehingga konsep atau prinsip itu terbangun. Pembelajaran matematika secara sempit yaitu proses pembelajaran dalam lingkup persekolahan, sehingga terjadi proses sosialisasi individu siswa dengan lingkungan sekolah, seperti guru, sumber atau fasilitas, dan teman sesame siswa. Sedangkan pembelajaran matematika secara luas yaitu upaya penataan lingkungan yang member nuansa agar program belajar matematika tumbuh dan berkembang secara optimal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembelajaran matematika merupakan serangkaian aktivitas guru dalam memberikan pengajaran terhadap siswa untuk membangun konsep-konsep dan prinsipprinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi, sehingga konsep atau prinsip itu terbangun dengan metode atau pendekatan mengajar dan aplikasinya agar dapat meningkatkan kompetensi dasar dan kemampuan siswa. Kecerdasan Triangle Sempurna Kecerdasan Matematis Logika Kecerdasan Logis matematika adalah kemampuan seseorang untuk menangani bilangan dan perhitungan pola dan pemikiran logis dan ilmiah.(wina Sanjaya, 2009:214)Kecerdasan logis matematis memuat kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir. Peserta didik dengan kecerdasan logis matematis tinggi cenderung menyenangi kegiatan menganalisis dan mempelajari sebab akibat terjadinya sesuatu. Ia menyenangi berpikir secara konseptual, misalnya menyusun hipotesis dan mengadakan kategorisasi dan klasifikasi terhadap apa yang dihadapinya. Peserta didik semacam ini cenderung menyukai aktivitas berhitung dan memiliki kecepatan tinggi dalam menyelesaikan problem matematika. Apabila kurang memahami, mereka akan cenderung berusaha untuk bertanya dan mencari jawaban atas hal yang kurang dipahaminya itu. Mereka juga sangat menyukai berbagai permainan yang banyak melibatkan kegiatan berpikir aktif, diantaranya bermain catur dan bermain teka-teki. Dengan demikian seseorang yang memiliki kecerdasar logis matematis yang tinggi akan terampil dalam melakukan hitungan atau kuantifikasi, mengemukakan proposisi dan hipotesis dan melakukan operasi matematis yang kompleks. Contoh contoh orang yang memiliki kecerdasan matematis logis adalah ilmuwan, matematikawan, akuntan, insinyur, dan pemrogram computer Kecerdasan Musikal Kecerdasan (IQ) sebagai istilah yang menggambarkan kecerdasan, kepintaran, atau kemampuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi. David Wechsler berpendapat bahwa kecerdasan adalah keseluruhan kemampuan individu untuk berfikir abstrak, bertindak secara terarah dan menyesuaikan diri dengan lingkungan secara efektif. Teori Multiple Intelligences atau kecerdasan majemuk dikembangkan pada 1983 oleh Dr. Howard Gardner, professor dibidang kependidikan di Harvard University Amerika Serikat. Multiple Intelligences adalah sebuah penilaian yang melihat secara deskriptif bagaimana individu menggunakan kecerdasannya untuk memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu. Pendekatan ini merupakan alat untuk melihat bagaimana pikiran manusia mengoperasikan dunia, baik itu benda-benda yang konkret maupun hal-hal yang abstrak. Kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan individu. Kecerdasan memiliki keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan lainnya.( kecerdasan ini meliputi kepekaan pada irama, pola titik nada pada melodi, dan warna nada atau warna suara suatu lagu. Menurut Handy Susanto, S.PS.i, ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh bila menerapkan Multiple Intelligences di dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Diantaranya: (1) Kita dapat menggunakan kerangka Multiple Intelligences dalam melaksanakan proses pengajaran secara luas. Aktivitas yang bisa 50

51 digunakan seperti menggambar, menciptakan lagu, mendengarkan musik, melihat suatu pertunjukkan. Aktivitas ini dapat menjadi pintu masuk yang vital kedalam proses belajar, (2) Dengan menggunakan Multiple Intelligences, anda menyediakan kesempatan bagi siswa untuk belajar sesuai dengan kebutuhan, minat dan talentanya, (3) Peran serta orang tua dan masyarakat akan semakin meningkat dalam mendukung proses belajar mengajar, (4) Siswa akan mampu menunjukkan dan berbagi tentang kelebihan yang dimilikinya, (5) Pada saat anda mengajar untuk memahami siswa akan mendapatkan pengalaman belajar yang positif dan meningkatkan kemampuan untuk mencari solusi dalam memecahkan persoalan yang dihadapinya(soepandi,2009:88-89). Kecerdasan musikal adalah kemampuan individu dalam menggubah lagu dan musik, bernyanyi dan bermain alat musik, dan dapat menghargai semua jenis musik, serta memiliki kepekaan yang kuat akan keserasian dan kesadaran universal tentang berbagai pola kehidupan. Gardner dan banyak ilmuwan lainnya meyakini bahwa kecerdasan musikal adalah pusat pengalaman manusia dan merupakan awal dari munculnya kecerdasan individu. Kecerdasan musikal memiliki keterkaitan erat dengan jenis kecerdasan lainnya. Kita sering merasakan musik dengan tubuh kita melalui gerakan-gerakan tubuh yang sesuai dengan irama musik (kecerdasan kinestetik), misalnya: menggeleng-gelengkan kepala, menghentakan kaki, menepuk-nepuk paha, menari, berjoget dan aneka gerak tubuh lainnya. Kita juga sering merasakan musik dengan emosi kita, misalnya menangis, merinding, gembira, atau ekspresi emosi lainnya ketika mendengar musik tertentu yang sesuai (kecerdasan emosional). Gardner menjelaskan pula bahwa Kemampuan bermusik berhubungan dengan memori suara. Sekian persen dari apa yang didengar seseorang akan masuk dalam alam bawah sadarnya dan menjadi bagian pokok dari daya ingatnya. If we can explain music, we may find the key for all human thought. Dengan kecerdasan musikal yang dimilikinya, seseorang dapat memperoleh berbagai manfaat, diantaranya: 1. Memiliki pengetahuan bagaimana cara meredusir stress yang sedang dialaminya. 2. Meningkatkan kemampuan kreativitas dirinya maupun orang lain. 3. Menggali berbagai kemampuan terpendam untuk kepentingan belajarnya dan mengingat berbagai informasi tentang sesuatu: orang, tempat, benda dan sebagainya. 4. Mengasah suasana hati untuk lebih mengoptimalkan keberadaan dirinya. 5. Memiliki pengetahuan untuk memperdalam hubungan personalnya dengan orang lain. Meski dalam ukuran dan bentuk yang berbeda, pada dasarnya setiap orang memiliki potensi kecerdasan musikal. Oleh karena itu, pendidikan seni musik menjadi penting. Melalui pendidikan musik yang tepat dan terarah akan membantu mengembangkan manusia menjadi lebih berbudaya, memiliki keseimbangan antara pikiran, perasaan dan perilakunya. Jika potensi kecerdasan ini tidak mendapatkan penyaluran yang tepat, melalui pendidikan yang tepat, maka yang dikhawatirkan adalah kebalikan dari hakikat musik itu sendiri. Bukannya menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya, tetapi malah justru menghasilkan manusia-manusia yang menanggalkan nilai-nilai budayanya sendiri, dengan menampilkan perilaku-perilaku eksentrik -nya yang kebablasan. Oleh karena itu, mari kita bermusik, jadikan hidup ini lebih indah. Kecerdasan Visual Spasial Kecerdasan spasial adalah kemampuan memahami, memproses, dan berpikir dalam bentuk visual. Anak dengan kecakapan ini mampu menerjemahkan bentuk gambaran dalam pikirannya ke dalam bentuk dua atau tiga dimensi. Kemampuan yang terkait dengan kecerdasan visual-spasial adalah: (1) Mengenal bentuk, misalnya bentuk-bentuk geometri atau bangun ruang, (2) Mengenal warna, (3) Membuat bentuk atau rancang bangun. Kecerdasan visual spasial memuat kemampuan seorang anak untuk memahami secara lebih mendalam mengenai hubungan antara objek dan ruang. Anak-anak ini memiliki kemampuan menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya, atau menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi. Setelah dewasa biasanya mereka akan menjadi pemahat, arsitek, pelukis, desainer, dan profesi lain yang berkaitan dengan seni visual. Menurut Howard Gardner, profesor pendidikan dari Harvard University, AS, dalam bukunya Multiple Intelligences, anak yang memiliki kepintaran visual akan dapat menyelesaikan masalah ruang (spasial). Anak mampu mengamati dunia spasial secara akurat, bahkan membayangkan bentuk-bentuk geometri dan tiga dimensi, serta kemampuan memvisualisasikan dengan grafik atau ide 51

52 tata ruang (spasial). Dari hasil penelitian yang dilakukan Gardner, orang-orang yang memiliki kepintaran visual spasial ini lebih banyak dipengaruhi otak kanan, yaitu bagian otak yang bertugas memproses ruang(file///e:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html). Memiliki anak yang cerdas adalah impian semua orang tua, bahkan banyak orang tua yang memberikan makanan terbaik dan susu terbaik agar buah hatinya bisa cerdas dibandingkan anak lainnya. Kecerdasan pada anak satu sama lain berbeda sehingga anda tidak bisa menyamakan anak anda dengan anak lainnya. Ada beberapa anak yang memang berbeda dari anak lainnya, anak yang berbeda tersebut mereka bisa menghafal beberapa jalan yang sering dilewati bersama orang tuanya. Selain itu mereka juga hafal dengan beberapa jalan menuju tempat wisata favorit bersama orang tuanya. Anak tersebut memang berbeda bahkan tidak banyak anak yang bisa menghafal tempat yang pernah mereka kunjungi. Anak yang mudah menghafal beberapa jalan baik kesekolahnya, jalan ketika akan ke tempat favoritnya maupun jalan-jalan lainnya mereka memiliki kecerdasan visual-spasial. Kecerdasan ini sangatlah baik bila dikembangkan terutama bila anda bisa memandunya agar mereka semakin terasah. Namun, disisi lain anda pun tetap memberikan kontrol terhadap kecerdasan yang mereka miliki tersebut. Kecerdasan visual adalah satu dari beberapa kecerdasan lainnya pada anak. Kecerdasan ini dikembangkan oleh seorang profesor bernama Gardner. Pengembangan tentang teori kecerdasan visual-spasial pada anak yang bisa menghafal beberapa jalan tersebut ini dikembangkan untuk mendongkrak beberapa pandangan yang dianggap klasik seputar kecerdasan tersebut. Memang 1 berbanding 10 anak yang memiliki kecerdasan visual tersebut namun sejak dini anak pun bisa diarahkan agar bisa memiliki kecerdasan tersebut. Kecerdasan yang dimiliki anak tidak hanya kecerdasan tentang beberapa teori yang bisa dipelajari seperti halnya matematika, fisika maupun ilmu lainnya. Kecerdasan yang dimiliki anak juga meliputi kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak atau tubuh, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan ilmu alam, maupun logika. Nah, yang paling sulit ditemua adalah kecerdasan visual-spasial yang ada pada diri anak-anak terutama mereka yang masih balita. Bila anak anda masih berusia dibawah lima tahun dan bisa menghafal beberapa jalan yang ada di sekitarnya bahkan beberapa jalan yang baru pertama kali mereka lewati, anak tersebut memang benar memiliki kecerdasan visual-spasial. Kecerdasan visual-spasial pada anak merupakan kemampuan untuk berpikir, memahami dan memproses suatu dalam berntuk visual. Apa yang mereka lihat akan dipikirkan dalam beberapa tahapan baik dalam bentuk dua dimensi maupun tiga dimensi. Mereka akan memahami beberapa tata letak, bentuk dan arah suatu jalan yang pernah mereka lewati. Yang menjadi hal mengejutkan lagi, sekali mereka melewati jalan mereka langsung bisa menunjukkan arah jalan tersebut ketika melewatinya untuk yang kedua kalinya. Didalam pikiran anak tersebut sudah banyak gambaran tentang tempat yang pernah mereka singgahi demikian juga dengan jalan yang mereka lewati. Mereka akan mengingat pula beberapa tempat yang dekat dengan jalan tersebut. Indikator kecerdasan visual-spasial Anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial, mereka anak lebih mudah mengenali tempat-tempat yang ada disekitar jalan yang sering mereka lewati. Anak tersebut minimal bisa mengenali beberapa bentuk bangunan atau tempat seperti halnya kotak, lonjong maupun bundar. Selain itu anak ang memiliki kecerdasan visual-spasial juga bisa mengenali warna dengan mudah dan bisa membedakan arah kanan maupun kiri. Banyak indikator yang bisa anda lihat dari anak yang memiliki kecerdasan visual tersebut. Berikut beberapa indikator anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial: Anak mampu menghafal arah dan nama jalan Hal yang sangat luar biasa bila di kecil mampu menghafal arah dan nama jalan yang sering mereka lewati. Anda tak sadar bahwa mereka memiliki kecerdasan yang berbeda dari teman sebaya. Beberapa orang tua mungkin menganggap hal ini hanya sepele padahal mereka memiliki kelebihan yang sangat istimewa yang harus anda dukung dan asah. Anak mampu menghafal denah rumah Sekalipun anak-anak sering menghabiskan waktunya dirumah, namun tidak sedikit diantara mereka yang mampu menghafal denah rumahnya sendiri. Hanya beberapa anak saja yang mampu menghafal denah rumahnya sendiri. Bila anak anda mampu menghafal letak kamarnya, letak dapur, kamar mandi 52

53 dan beberapa tempat yang ada di rumah, maka mereka bisa digolongkan memiliki kecerdasan visualspasial. Anak mampu menggambar dengan benar Anak yang cerdas, mereka akan bisa menggambar sesuatu yang mereka lihat dengan jelas. Bahkan anda anak terkagum ketika mereka bisa menggambar dalam bentuk dimensi lain. Seperti ketika anak menggambar kursi, mereka akan menggambar dalam bentuk dua dimensi atau justru menggambar dalam bentuk tiga dimensi. Anak anda mungkin belum pernah melihat kursi dari atas, namun tanpa anda sadari mereka bisa menggambar dalam bentuk tiga dimensi. Membuat beberapa bangunan dalam media yang berbeda Kemampuan anak yang bisa membuat beberapa benda yang ada di sekitarnya dalam bentuk media yang lain, seperti halnya lilin atau balok, mereka adalah anak yang memiliki kemampuan visual. Selain bisa menggambar anak yang memiliki kecerdasan visual juga bisa membuat beberapa bangunan atau benda dengan media lainnya. Anak senang bermain puzzle Kecerdasan visual-spasial pada anak akan semakin terasah tatkala mereka senang bermain puzzle. Dengan berimajinasi beberapa bentuk kepingan puzzle dan membentuknya menjadi benda yang berbeda, mereka akan semakin terasah untuk lebih berkreasi. Beberapa indikator tersebut bisa anda amati pada anak sejak usia mereka diatas 2 tahun. Apakah beberapa indikator tersebut ada pada diri anak anda? Bila anak anda memiliki beberapa indikator tersebut maka beruntunglah anda karena memiliki buah hati yang cerdas dan siap menjadi anak yang jenius. Anak yang memiliki kecerdasn visual-spasial lebih peka terhadap gejala alam dan akan mengamatinya secara detail hingga mereka paham. Kelak anak yang memiliki kemampuan tersebut sangat cocok menjadi seorang pilot, arsitek, pakar meteorologi, pelukis maupun sutradara. Untuk mengasah kemampuan anak yang memiliki kecerdasan visual-spasial tersebut, anda bisa menstimulasinya sejak dini. Berikut beberapa cara untuk menstimulasi kecerdasan visual-spasial pada buah hati: Kenalkan mereka pada beberapa nama bangunan dan warna Anak yang cerdas dan memiliki visual-spasial, mereka harus diasah kemampuannya dengan berbagai cara. Salah satu cara yang bisa anda lakukan adalah dengan mengenalkan beberapa warna dan bentuk bangunan yang sering mereka lihat. Anda bisa mengajak mereka jalan-jalan dan mengenalkan nama bangunan sekaligus warnanya. Secara perlahan anak akan mudah menghafal beberapa jenis bangunan sekaligus mampu membedakan warna satu dengan warna lainnya. Bantu anak merakit sesuatu Anak yang memiliki kcerdasan visual-spasial, mereka akan senang bila membangun atau merakit sesuatu. Anda bisa memberikan mereka mainan dan biarkan mereka merakit sendiri, ketika mereka benar-benar kesulitan dalam merakitnya barulah anda membantu dan mengarahkannya. Pengenalan arah pada anak Anah yang mudah menghafal jalan, lama kelamaan mereka akan mudah menghafal arah, kiri dan kanan, depan dan belakang. Kenalkan arah dengan cara mengajak anak jalan-jalan bersepeda. Lama kelamaan mereka akan mudah untuk menghafal mana sisi kanan, sisi kiri, depan dan belakang. Berikan permainan yang menantang Buat anak anda semakin terasah kecerdasan visual-spasialnya dengan cara memberikan permainan yang menantang seperti permainan harta karun. Jenis permainan ini cukup baik untuk stimulasi kemampuan mereka dengan cepat. Hasil Belajar Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya(slameto, 2010:2).Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, dan lain sebagainya. Juga belajar itu akan lebih baik, kalau si subjek belajar itu mengalami atau melakukannya. 53

54 Hasil belajar merupakan perwujudan kemampuan akibat perubahan perilaku yang dilakukan oleh usaha pendidikan. Kemampuan tersebut menyangkut domain kognitif, afektif dan psikomotorik(purwanto, 2009:49). Hasil belajar yang dimaksud yaitu hasil yang diperoleh siswa sebagai akibat proses belajar yang dilaksanakan oleh siswa. Makin tinggi proses yang dilakukan oleh siswa diharapkan semakin tinggi pula hasil belajar yang dicapai. Adapun hasil belajar itu meliputi : (a) Hal ikhwal keilmuan dan pengetahuan, konsep atau fakta (kognitif), (b) Hal ikhwal personal, kepribadian atau sikap (afektif), (c) Hal ikhwal kelakuan, keterampilan atau penampilan ( psikomotorik )(Purwanto,2009:29). Ketiga hasil belajar diatas dalam pengajaran merupakan tiga hal yang secara perencanan dan programatik terpisah, namun dalam kenyataannya pada diri siswa akan merupakan suatu kesatuan yang utuh dan bulat. Ketiganya itu dalam kegiatan belajar mengajar, masing-masing direncanakan sesuai dengan butir-butir bahan pelajaran. Sejalan dengan tujuan belajar untuk memperoleh hasil belajar yang pada prinsipnya ada perubahan antara keadaan sebelum dan sesudah belajar, yang semula tidak tahu menjadi tahu, yang semula tidak bisa menjadi bisa. 3. Metode Penelitian Model Desain Maket Matematika (MaMa) Model 4-D Model 4-D pada hakekatnya merupakan sebuah model desain pembelajaran yang sederahana, yang dapat diiplementasikan pada hampir semua jenjang dan satuan pendidikan. dengan diterapkannya model pembelajaran 4-D diharapkan guru nantinya akan memiliki kompetensi dalam pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran bahan ajar yang di desain pada program pembelajaran yang diharapkan. 4-D ini merupakan rujukan bagi pendidik dalam membelajarkan peserta didik dalam pembelajaran yang direncanakan dan disusun secara sistematis dengan mengintegrasikan teknologi dan media sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna bagi peserta didik. 4. Hasil dan Pembahasan Mendesain Maket Matematika pada Mata Kuliah Workshop Dalam rangka menciptakan model-model pembelajaran yang inovatif, pembelajaran menggunakan alat peraga merupakan hal yang mampu meningkatkan mutu pendidikanpadamahasiswa. Pekembangan ilmu saat ini sangatberkembang pesatdan dalam pembelajaran yang mampumeningkatkan kecerdasan matematika logika, kecerdasan visual-spasial dan kecerdasan musikal mahasiswa. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh anton sujarwo dengan judul proses berfikir siswa smk dengan kecerdasan linguistik, logika matematika dan visual spasial dalam memecahkan masalah. Dari penelitian ini pemakalah berfikir untuk melanjutkan pembahasannya tentang bagaimana menjembatani pemikiran pemecahan masalah tersebut pada mahasiswa di mata kuliah workshop untuk mendesain maket matematika yang dapat digunakan pada proses pembelajaran di sekolah. Hasil penelitian dari anton sujarwo tersebut menunjukkan bahwa proses berikir siswa SMK dengan kecerdasan linguistik, logika matematika, dan visual spasial dalam memecahkan masalah matematika adalah sebagai berikut: Subjek dengan kecerdasan linguistik ketika memahami masalah proses berpikirnya mula-mula membaca soal setidaknya dua kali. Melalui pembacaan yangdemikian subjek dapat mengungkapkan semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan. Pada waktu melaksanakan rencana, subjek ini menyatakan kembali semua informasi yang tersedia (yang diketahui) dan apa yang ingin didapatkan (ditanyakan) dari masalah yang dihadapi. Kemudian subjek mulai melaksanakan rencana sesuai dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang telah dibuatnya. Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Ia tidak melakukan aktivitas menulis atau coratcoret melainkan diam sambil memandang hasil pekerjaan yang telah dibuatnya. Pengecekan yang telah dilakukan tidak dapat membetulkan kesalahan yang ada. Sehingga solusi yang diperoleh tidak benar. Tetapi walaupun demikian, subjek ini yakin bahwa jawaban yang dibuatnya benar. Subjek dengan 54

55 kecerdasan logika matematika, ketika memahami masalah proses berpikirnya mula-mula membaca masalah tiga kali dan disertai membuat tabel. Hal ini dilakukan untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi dan menghidari ada informasi yang terlewat jika hanya dibacasekali. Ide rencana pemecahan masalah subjek ini berasal dari pengetahuan sebelumnya mengenai konsep tertentu atau strategi pemecahan masalah yang mirip dengan masalah yang sedang dihadapi. Selanjutnya ia mengintegrasikan konsep-konsep tertentu dan informasi relevan dari masalah tersebut untuk menghasilkan suatu rencana pemecahan masalah yaitu perbandingan berbalik nilai. Langkah berikutnya, subjek dengan kecerdasan logika matematika sebelum melaksanakan rencana yang telah dibuat, ia membuat tabel terlebih dahulu terkait dengan permasalahan yang dihadapi. Kemudian subjek menjalankan langkah-langkah pemecahan masalah sesuai rencana sampai diperoleh hasil yang benar. Setelah melaksanakan rencana pemecahan masalah, subjek melakukan pemeriksaan kembali pekerjaan yang telah dibuatnya. Pemeriksaan dilakukan dengan cara menelusuri setiap langkah penyelesaian mulai dari perhitungan, perbandingan, dan sampai pada hasilnya.selanjutnya untuk meyakinkan hasil yang telah diperolehnya, ia menggunakan cara lain. Hasil perhitungan dengan cara lain ia bandingkan dengan cara pertama dan ternyata sama. Pada waktu memeriksa hasil pekerjaanya, subjek ini melakukan manipulasi pengetahuan dalam struktur kognitifnya. Hal ini terlihat dari kemampuan subjek ini dalam mengubah permasalahan yang dihadapi menjadi persamaan yang menggunakan simbol-simbol sebagai representasi internal dalam struktur kognitifnya. Berdasarkan hasil penelitian anton sujarwo tersebut maka desain maket matematika dapat di rancang berdasarkan atau berbasis kecerdasan matematika logika, kecerdasaan musikal dan kecerdasan visualspasial. 5. Kesimpulan Berbagai jenis media dapat dimanfaatkan sesuai dengan kondisi, waktu, keuangan, maupun materi yang akan di sampaikan. Salah satu media pembelajaranyaitumaket matematikayang merupakan alat berupa benda tiruan yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna pesan yang disampaikan, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang lebih baik dan sempurna. Desain maket matematika merupakan upaya untuk memotivasi mahasiswa dalam pembelajaran terutama pada mata kuliah workshop. Model pengembangan maket matematika yang dilakukan menggunakan model 4-D. Terdapat beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses pengembangan dan perancangan tersebut yang berupa urutan langkah-langkah. pendefinisian, perancangan, pengembangan dan penyebaran. DaftarPustaka Indra Soepandi.(2009). Strategi Mengembangkan Potensi Kecerdasan Anak. Jakarta: Bee Media Indonesia. Prastowo Andi, (2012). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif. Purwanto,(2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sanjaya Wina, (2009). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Prenada Media Kencana. Slameto,(2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya.Jakarta: Rineka Cipta. Uno, Dkk.(2009). Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Yatim Riyanto, (2010). Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana. Diknas, Pedoman Umum Pemilihan dan Pemanfaatan Bahan Ajar (jakarta:ditjen dikdasmenum, 2004) musikal/ file///e:/kecerdasan%20spasial/kecerdasan-interpersonal-dan-visual.html 55

56 ANALISIS FAKTOR KESULITAN GURU PPL MENGELOLA KELAS DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SMA SE-KOTA LANGSA Budi Irwansyah Prodi Pendidikan Matematika, Jurusan Tarbiyah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Zawiyah Cot Kala Langsa 56 Abstrak. Pada makalah ini dibahas mengenai salah satu aplikasi teknik statistik multivariat, yaitu analisis faktor yang bertujuan untuk mengetahui faktor utama apa saja yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika di SMA se-kota Langsa. Sampel yang diambil sebanyak 28 mahasiswa PPL Program Studi Pendidikan Matematika (Prodi PMA) STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang tekniknya dilakukan dengan cara sensus (sampling jenuh). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat. Analisis multivariat adalah analisis satu variabel dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek. Dan analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor. Analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya digunakan dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa total persentase varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola kelas dalam pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor dominannya adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3) Guru PPL kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong prilaku temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa yang bermusuhan di dalam kelas. Kata Kunci : Analisis Faktor, Mengelola Kelas, Guru PPL, Pembelajaran Matematika 1. Pendahuluan Seorang guru tidak hanya dituntut dalam penguasaan materi, namun juga harus pandai dalam memilih metode, media, serta peka terhadap masalah-masalah dalam pembelajaran, misalnya masalah motivasi, perbedaan individu siswa; baik secara fisik maupun psikis terutama dalam kemampuan menangkap materi pelajaran serta masalah pengelolaan kelas. Menurut Surya dalam Kunandar (2007:1) bahwa guru yang profesional akan tercermin dalam pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai dengan keahlian baik dalam materi atau metode. Selain itu juga ditunjukkan melalui tanggung jawabnya dalam melaksanakan seluruh pengabdiannya. Tidak mudah untuk menjadi guru yang profesional. Ada banyak kendala-kendala dan kesulitan yang harus dihadapi. Kesulitan guru dalam proses pembelajaran tidak hanya dialami oleh guru yang sudah berpengalaman, tetapi juga dialami oleh guru yang sedang praktek pengalaman lapangan (PPL). Zulkarnaini, dkk (2012:49) mengatakan bahwa; Praktek pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masing-masing. Banyak kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru PPL selama proses pembelajaran. Kunandar (2007:1) menyatakan ; Bekal kecakapan yang diperoleh dari lembaga perguruan tinggi tidak memadai untuk dipergunakan secara mandiri, karena yang dipelajari di lembaga pendidikan sering kali hanya terpaku pada teori, sehingga peserta didik kurang inovatif dan kreatif. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh guru PPL yang di tugaskan di SMA/SMP ketika melakukan praktek di lapangan salah satunya adalah sulitnya pengelolaan kelas. Menurut Sudirman dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:172); pengelolaan kelas merupakan upaya dalam mendayagunakan potensi kelas. Tujuan pengelolaan kelas adalah mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan alat-alat belajar, menyediakan kondisikondisi yang memungkinkan siswa bekerja dan belajar, serta membantu siswa untuk memperoleh hasil yang diharapkan. Salah satu masalah yang harus diperbaiki oleh guru Praktek Pengalaman Lapangan adalah masalah kesulitan mengelola kelas. Karena hal ini banyak dikeluhkan guru PPL yang telah lebih dulu menjalankan tugasnya. Seperti sulitnya menertibkan kelas, mengatur kelas, dan perbedaan karakter

57 masing-masing siswa. Karena tugas guru adalah menciptakan, mempertahankan dan memelihara organisasi kelas. Salah satu masalah pengelolaan kelas menurut Rudolf Dreikurs dalam Ahmad Rohani (2004:125) adalah tingkah laku yang ingin menunjukkan kekuatan. Misalnya selalu berdebat atau kehilangan kendali emosional, marah-marah, menangis (aktif), atau selalu lupa dengan aturan-aturan penting di kelas (pasif). Berdasarkan pernyataan mahasiswa Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa yang telah melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) sebelumnya, guru PPL yang dipandang sebelah mata oleh peserta didik. Mereka tidak memperhatikan penjelasan guru ketika proses pembelajaran dan hanya asyik mengobrol dengan temannya sehingga membuat keributan yang mengganggu proses pembelajaran serta tidak menghargai keberadaan guru, hal ini yang menyulitkan guru dalam mengelola kelas ketika pembelajaran berlangsung. Dan mungkin hal ini juga disebabkan oleh kurangnya pengalaman mengajar guru PPL. Ini merupakan masalah yang harus dicari penyelesaiannya, sehingga pembelajaran yang berlangsung akan lebih efektif, efisien, dan menarik. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis melakukan penelitian untuk menganalisis faktor apa yang utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika. Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi mahasiswa Pendidikan Matematika tentang kesulitan-kesulitan mengelola kelas khususnya dalam pembelajaran matematika. 2. Pembelajaran Matematika di Sekolah Tujuan pembelajaran matematika secara khusus seperti yang diungkapkan Soejadi (2001:107) yaitu sebagai berikut; 1) Mempersiapkan siswa sanggup menghadapi perubahan keadaan dan pola pikir dalam kehidupan dan dunia selalu berkembang, 2) Mempersiapkan siswa menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Lebih lanjut Soejadi menyatakan bahwa Matematika di sekolah memiliki beberapa fungsi, yaitu; 1) Matematika sebagai alat guna memberikan siswa pengalaman untuk memahami atau menyampaikan suatu informasi, 2) Belajar matematika juga merupakan pembentukan pola pikir, 3) Matematika sebagai ilmu atau pengetahuan. Mata pelajaran matematika di Indonesia sesuai ketetapan pemerintah melalui Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP, 2011), bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah, 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. 3. Praktek Pengalaman Lapangan (PPL) Hamid Darmadi (2009:35) menyatakan; Guru sebagai komponen pendidikan dan pengajaran di sekolah menjalankan tugas dan fungsinya di dalam proses belajar dan mengajar atas dasar kemampuan mengajar yang dimiliki. Hal ini yang menuntut guru agar selalu memperhatikan sikap, tingkah laku, dan perbuatan anak didiknya, tidak hanya di sekolah, tetapi juga di luar ingkungan sekolah. Karena itu, benar lah di katakan bahwa guru adalah orang yang diguguh dan ditiru yang berarti bahwa guru merupakan sosok yang menjadi panutan bagi anak didiknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik sacara individual maupun klasikal, disekolah maupun diluar sekolah. Praktek pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai dengan jurusan masingmasing. PPL diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa dengan tujuan melatih dan mempersiapkan mahasiswa dalam melaksanakan profesinya berdasarkan apa yang ditekuninya selama studi pada jurusan dan program studi masing-masing. Hamzah B. Uno (2008:15) menyimpulkan bahwa guru adalah orang dewasa yang secara sadar bertanggung jawab dalam mendidik, mengajar dan membimbing peserta didik dan guru juga harus memiliki kemampuan dalam menata dan mengelola kelas. Selanjutnya, Zulkarnaini, dkk (2012:46) menyatakan Praktek pengalaman lapangan adalah praktek yang berkaitan dengan profesi sesuai jurusan masing-masing. Tugas guru PPL di dalam kelas sama dengan tugas guru tetap yang mengajardi kelas. Sebagai guru yang baik harus memenuhi syarat-syarat yang terkandung dalam Undang-Undang no. 12 tahun 1954 tentang dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia, pada pasal 15, Ngalim 57

58 Purwanto (2007:139) menyatakan bahwa syarat utama untuk menjadi guru, selain ijazah dan syaratsyarat yang mengenai kesehatan jasmani dan rohani ialah sifat-sifat yang perlu untuk dapat member pendidikan dan pengajaran seperti yang dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 undang-undang tersebut. Dari pasal-pasal tersebut, maka syarat-syarat untuk menjadi guru, Ngalim Purwanto (2007:140) menyimpulkan sebagai berikut; 1) Berijazah, 2) Sehat Jasmani dan Rohani, 3) Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Berkelakuan Baik, 4) Bertanggung Jawab, 5) Berjiwa Nasional, 6) Standar Profesional Guru di Indonesia. Guru yang memenuhi standar adalah guru yang memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dan memahami benar apa yang harus dilakukan, baik ketika didalam maupun diluar kelas. Lebih lanjut Syaiful Sagala (2011:17) juga menyatakan bahwa ada beberapa persoalan atau tugas prinsip yang semua guru harus mengetahui dan menguasai, yaitu: 1) Administrasi kurikulum dan Pengembangannya, guru harus benar-benar memahaminya, mampu mengembangkannya, dan menjadikannya sebagai pedoman proses belajar mengajar, 2) Pengelolaan peserta didik, karena peserta didik yang sangat heterogen maka guru harus bisa mengelola hal tersebut supaya dapat memberikan hasil pendidikan yang optimal, 3) Personal, yaitu guru memberikan layanan individual sehingga memperoleh hasil pendidikan yang optimal. Guru tidak memaksa peserta didik yang lambat, juga tidak menghambat peserta didik yang jenius, 4) Prasarana dan sarana, merupakan salah satu hal yang terpenting dalam proses pembelajaran. seperti ruang kelas yang memadai, ukuran yang cukup, ventilasi, dan peralatan pembelajaran lain seperti labolatorium yang lengkap, alat tulis yang memadai, dan lain-lain, 5) Keuangan, dana atau biaya pendidikan merupakan salah satu komponen penunjang yang mutlak harus dupenuhi, 6) Layanan khusus, seperti pengadaan dan pemberdayaan koperasi sekolah, penyediaan layanan kesehatan sekolah, pembinaan keterampilan berorganisasi peserta didik disekolah, kegiatan ekstrakulikuler, dan sebagainya, 7) Hubungan sekolah masyarakat, tidak hanya dilakukan oleh kepala sekolah tetapi juga guru sebagai tokoh kunci di sekolah. 4. Mengelola Kelas Mengelola kelas merupakan salah satu komponen ketreampilan dasar mengajar guru. Jika dengan pengelolaan kelas yang baik, kiranya guru dapat menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang sedemikian rupa sehingga anak didik dapat mencapai tjuan pengajaran secara efektif dan memungkinkan mereka dapat belajar. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain (2008:177) menyatakan bahwa; Pengelolaan kelas adalah kemampuan guru atau wali kelas dalam mendayagunakan potensi kelas berupa pemberian kesempatan seluas-luasnya pada setiap personal untuk melakukan kegiatankegiatan yang kreatif dan terarah sehingga waktu dan dana yang tersedia dapat dimanfaatkan secara efisien untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelas yang berkaitan dengan kurikulum dan perkembangan murid. Dengan demikian pengelolaan kelas merupakan salah satu tugas guru dan prasyarat mutlak bagi terjadinya proses belajar mengajar yang efektif yang harus dilakukan dengan baik supaya tercipta kondisi belajar yang optimal. Jika guru mampu mengatur anak didik dan memanfaatkan sarana pengajaran serta dapat mengendalikannya maka akan tercipta suasana yang menyenangkan untuk mencapai tujuan pengajaran. Tujuan pengelolaan kelas pada hakikatnya telah terkandung dalam tujuan pendidikan. Secara umum tujuan pengelolaan kelas adalah penyediaan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar siswa dalam lingkungan sosial, emosional, dan intelektual dalam kelas. Fasilitas yang disediakan itu memungkinkan siswa belajar dan bekerja, terciptanya suasana sosial yang memberikan kepuasan, Suasana disiplin, perkembangan intelektual, emosional dan sikap serta apresiasi pada siswa. Oleh karena itu, pengelolaan kelas yang dilakukan guru pasti ada tujuannya. Karena ada tujuan itulah guru harus berusaha mengelola kelas dengan baik walaupun terkadang ada merasakan lelah fisik maupun fikiran. Jika guru tidak mengelola kelas dengan baik, maka akan menghambat proses pembelajaran sehingga tidak tercapai tujuan pembelajaran. Menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:173), masalah-masalah pengelolaan kelas yang berhubungan dengan perilaku anak didik adalah: 1) Kurang kesatuan, misalnya dengan adanya kelompok-kelompok, klik-klik, dan pertentangan jenis kelamin, 2) Tidak ada standar prilaku dalam bekerja kelompok, misalnya ribut, bercakap-cakap, pergi kesana kemari, dan sebagainya, 3) Reaksi negatif terhadap anggota kelompok, misalnya ribut, bermusuhan, mengucilkan, dan merendahkan kelompok bodoh, 4) Kelas mentoleransi kekeliruan-kekeliruan temannya, menerima dan mendorong prilaku anak didik yang keliru, 5) Mudah mereaksi ke ha-hal negative/terganggu, misalnya bila didatangi monitor atau tamu-tamu, iklim yang berubah, dan sebagainya, 6) Moral rendah, permusuhan, agresif, misalnya pada lembaga yang alat-alat belajarnya kurang, kekurangan uang, dan lain-lain, 7) Tidak mampu menyesuaikan dengan lingkungan yang berubah, seperti tugas-tugas tambahan, anggota kelas yang baru, situasi baru, dan sebagainya. Variasi prilaku anak didik itu menurut Made Pidarta dalam Syaiful Bahri Djamarah (2005:173) bukan tanpa sebab. Faktor-faktor penyebab variasi prilaku tersebut adalah: 1) Pengelompokan (pandai, sedang, 58

59 bodoh), kelompok bodoh akan menjadi sumber negative, penolakan atau apatis, 2) Karakteristik individual, seperti kemampuan kurang, ketidakpuasan atau dari latar belakang ekonomi rendah yang menghalangi kemampuannya, 3) Kelompok pandai akan merasa terhalang dengan teman-temannya yang tidak mampu seperti dia. Kelompok ini sering menolak standar yang diberikan oleh guru, 4) Dalam latihan diharapkan semua siswa tenang dan bekerja sepanjang jam pelajaran, kalau ada interupsi atau interaksi mungkin mereka merasa tegang atau cemas. Karena itu prilaku-prilaku yang menyimpang seorang dua orang bisa ditoleransi asa tidak merusak kesatuan. Guru harus mengadalan situasi agar mereka bisa mengadakan interaksi, 5) Dari organisasi kurikulum tentang team teaching, misalnya anak didik pergi dari satu guru ke guru yang lain dan dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Tenaga mereka habis dipakai di jalanan dan harus menyesuaikan diri berkali-kali, tidak ada kestabilan. Pengembangan diri yang sesungguhnya bersumber dari hubungan sosial menjadi terhambat. 5. Metodologi Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di 11 (sebelas) SMA/sederajat di Kota Langsa. Yang dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014. Sampel yang diambil sebanyak 28 mahasiswa PPL Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, yang tekniknya dilakukan dengan menggunakan jenis sampling jenuh yaitu teknik pengambilan sampel apabila semua populasi digunakan sebagai sampel dan dikenal juga dengan istilah sensus, (Riduwan, 2010:64). Sampel jenuh ini dilakukan apabila populasinya kurang dari 30 orang. Jadi, yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi yang ada, berjumlah 28 orang. Untuk memperoleh data penelitian, penulis menggunakan instrumen angket yang dibuat berdasarkan teori masalah-masalah pengelolaan kelas. Angket dibuat menggunakan skala likers yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok tentang kejadian atau gejala social. (Riduwan, 2010:87). Angket berisikan 21 pernyataan dengan 5 alternatif jawaban yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik analisis data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah analisis multivariat atau metode multivariat. Analisis multivariat adalah analisis satu variabel dalam satu atau lebih hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek. Dan analisis multivariat yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis faktor. J. Supranto, (2010:114) menyatakan bahwa analisis faktor merupakan nama umum yang menunjukkan suatu kelas prosedur, utamanya digunakan dalam mereduksi data atau meringkas, dari variabel yang banyak diubah menjadi sedikit variabel, misalnya dari 15 variabel yang lama diubah menjadi 4 atau 5 variabel baru yang disebut vaktor dan masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original variable). Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh dalam analisis faktor antara lain sebagai berikut: 1) Merumuskan masalah, 2) Identifikasi kecukupan data yang terdiri dari; a) uji validitas menggunakan teknik analisis faktor (Construct Validity), yaitu untuk menguji apakah butir-butir pernyataan atau indikator yang digunakan dapat mengkonfirmasikan sebuah faktor atau konstruk atau variabel. Uji Kaiser-Mayer Olkin (KMO) bertujuan untuk mengetahui apakah semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan; b) uji reliabilitas yang dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang digunakan telah memenuhi syarat suatu data dapat dianalisis factor yang menggunakan uji Bartlett s yang bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat. Jika variabel X 1, X 2,, X P independent (bersifat saling bebas), maka matriks korelasi antar variabel sama dengan matriks identitas, 3) Menganalisis variabel-variabel dengan melihat nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA), dimana variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA) 0,5 yang dapat dianalisi lebih lanjut, dan variabel yang mempunyai nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA) < 0,5 dikeluarkan dari analisis. Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat dianaisi lebih lanjut, maka proses analisis faktor diulang kembali sehingga tidak ada lagi variabelvariabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5; 4) Menentukan metode analisis factor, dalam kajian ini Penulis menggunakan metode Principal Components Analysis (PCA) dimana yang mempertimbangkan jumlah varian dalam data atau diagonal matriks korelasi terdiri dari angka 1(satu) dan full variance dibawa ke dalam matriks faktor, 5) Menentuan banyak faktor dengan eigenvalue yaitu jumlah varian yang dijelaskan oleh setiap faktor. Satu eigenvalue menunjukkan besarnya sumbangan dari faktor terhadap varian seluruh variabel asli. hanya faktor yang varian lebih besar dari satu, yang dimasukkan ; 6) Melakukan rotasi factor yang bertujuan mengelompokkan variabel kedalam faktor yang telah terbentuk dan dapat diketahui melalui nilai loading factor, mewakii koefesien korelasi antara faktor dengan variable, 7) Membentuk interpretasi hasil rotasi yang dapat dilakukan dengan mengidentifikasi variabel yang mempunyai nilai loading yang besar pada faktor yang sama (Supranto, 2010: ). 59

60 6. Hasil Penelitian Pada bagian ini dijelaskan hasil penelitian yang telah diperoleh selama penelitian. Berdasarkan hasil penyebaran angket yang dilakukan pada guru PPL dari Prodi Pendidikan Matematika STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa pada tanggal 30 agustus 1 oktober 2013, diperoleh data faktor yang mempengaruhi kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika yang analisisnya menggunakan teknik analisis faktor konfirmatori, yaitu suatu teknik analisis faktor yang berdasarkan teori atau konsep yang telah diketahui sebelumnya. Proses analisis faktor ini menggunakan bantuan software SPSS versi 17. Berikut ini akan ditampilkan hasilnya menggunakan metode analisis faktor. a. Merumuskan Masalah Berdasarkan landasan teori variabel dalam analisis harus jelas, maka dalam langkah ini, Penulis merumuskan 21 variabel dalam analisis ini, yaitu : 60 Tabel 1. Indikator Kesulitan Mengelola Kelas No Aspek yang Diamati Indikator 1 X1 Saya dapat menyatukan kelompok-kelompok dalam kelas, seperti kelompok siswa yang berkemampuan rendah, sedang, dan tinggi dalam pembelajaran matematika 2 X2 Saya tidak membedakan antara siswa laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran matematika 3 X3 Saya dapat menyatukan persepsi antara siswa laki-laki dan perempuan dalam pembelajaran matematika 4 X4 Saya mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas. 5 X5 Saya mampu mengatasi siswa yang berbicara dalam kelas saat pembelajaran matematika 6 X6 Saya mampu mengatasi perbedaan pendapat yang terjadi dalam suatu kelompok di dalam kelas matematika 7 X7 Saya dapat mengurangi/mengatasi perselisihan antar kelompok di dalam kelas matematika 8 X8 Saya dapat menenangkan keributan/konflik yang terjadi dalam suatu kelompok ketika proses pembelajaran matematika Saya mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap 9 X9 kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah dalam matematika 10 X10 Saya dapat mengontrol siswa yang ingin mengacaukan keadaan kelas ketika pembelajaran matematika 11 X11 Saya mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong prilaku temannya untuk tidak mengikuti aturan dalam pembelajaran matematika 12 X12 Saya mampu mengatur siswa yang menerima (mendukung) siswa lain agar mengganggu ketertiban proses pembelajaran matematika 13 X13 Saya mampu mengatasi hal-hal yang mengganggu proses pembelajaran matematika 14 X14 Saya mampu mengembalikan fokus siswa terhadap matematika yang terganggu akibat perubahan cuaca yang dramatis 15 X15 Saya mampu mengendalikan siswa agar tidak terpengaruh dengan pelajaran lain di luar kelas matematika yang bersifat tidak lazim 16 X16 Saya mampu mengatasi siswa yang menampakkan sikap negatif akibat kurangnya alat belajar di dalam kelas matematika Saya mampu mengendalikan siswa yang cenderung agresif jika 17 X17 ditempatkan pada posisi yang kurang bagus dalam pembelajaran matematika 18 X18 Saya mampu meleraikan siswa yang bermusuhan di dalam kelas matematika

61 19 X19 20 X20 21 X21 Saya mampu mengatasi siswa yang mengeluh di dalam kelas apabila diberikan pekerjaan rumah (PR) matematika. Saya mampu mengatasi siswa yang tidak mau menyelesaikan pekerjaan rumah (PR) matematika Saya mampu menghadapi situasi-situasi baru di kelas matematika b. Identifikasi Kecukupan Data Untuk mengetahui data dapat dianalisis faktor atau kecukupan data dapat menggunakan uji statistik Kaiser-Mayer Olkin (KMO) mengukur sampling adequacy dimana nilai KMO 0,5. Sedangkan untuk mengetahui korelasi antar variabel (uji reliabilitas) menggunakan Barlett s test of sphericity yaitu suatu uji statistik yang dipergunakan untuk menguji apakah variabel saling berkorelasi atau tidak di dalam populasi. Kecukupan data atau sampel dapat diidentifikasi melalui nilai KMO dan Measure of Sampling Adequacy (MSA). Nilai tersebut diperoleh dengan menggunakan bantuan software SPSS dengan melihat nilai Barlett s Test Of Sphericity. Berikut ini hasil dari Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy (MSA) dan Barlett s Test. Tabel 2. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy.522 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square Df 210 Sig..000 Berdasarkan tabel 2 diketahui asumsi kecukupan data terpenuhi dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,522, ini berarti lebih dari 0,5, sedangkan Bartlett s Test of Sphericity dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000 kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan uji kecukupan data telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada pembelajaran matematika telah memenuhi asumsi korelasi (reliabel), dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut. c. Analisis Variabel Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices yang diperoleh dengan bantuan software SPSS. Dari tabel tersebut dapat dilihat hasil analisis awal yang menunjukan nilai MSA untuk variabel-variabel yang diteliti. Berdasarkan landasan teori variabel yang mempunyai nilai kurang dari 0,5 dikeluarkan dari pemilihan variabel. Dari hasil analisis, variabelvariabel yang dikeluarkan dari pemilihan varibel penelitian yaitu: X 1, X 2, X 6, X 7, X 8, X 12, X 14,X 15,X 19,X 21 dan variabel-variabel yang lain akan dianalisis lebih lanjut. Setelah melakukan analisis variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor. d. Analisis Variabel (Kedua) Setelah diperoleh variabel-variabel yang dapat dianalisis lebih lanjut, maka analisis diulang kembali dengan cara yang sama dengan variabel-variabel yang tersisa. Setelah beberapa variabel dikeluarkan dari analisis, maka dilakukan identifikasii kecukupan data dan korelasi antar variabel kembali seperti pada analisis tahap pertama. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett s Test analisis kedua. Tabel 3. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Kedua Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy..758 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square df 55 Sig..000 Berdasarkan tabel 3 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis kedua (analisis ulang) terpenuhi dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,758, ini berarti nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) mangalami kenaikan, sedangkan Bartlett s Test of Sphericity dengan Chi-Square 138,542 (df = 55) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis kedua telah terpenuhi dan variabel (faktor) kesulitan guru PPL mengelola kelas pada pembelajaran 61

62 matematika telah memenuhi asumsi korelasi, dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut. e. Analisis Variabel (Ketiga) Untuk mengetahui variabel-variabel yang mana saja yang dapat dianalisis lebih lanjut dapat diketahui melalui nilai MSA yang terdapat pada tabel anti-image matrices kedua. Dari tabel tersebut dapat dilihat hasil analisis kedua yang menunjukkan masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu pada variabel X 3, X 5, X 10, X 17 maka variabel tersebut dapat dikeluarkan dari pemilihan variabel. Setelah variabel X 3, X 5, X 10, X 17 dikeluarkan karena tidak memenuhi persyaratan maka variabel-variabel yang tersisa di analisis ulang kembali dengan cara yang sama. Setelah mengeluarkan variabel yang tidak memenuhi persyaratan maka kembali dilakukan identifikasi kecukupan data dan korelasi antar variabel seperti pada analisis sebelumnya. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO dan Barlett s Test analisis ketiga. Tabel 4. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Ketiga Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy..799 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square df 21 Sig..000 Berdasarkan tabel 4 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis ketiga terpenuhi dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) sebesar 0,799, sedangkan Bartlett s Test of Sphericity dengan Chi- Square 64,222 (df = 21) dan nilai sig = 0,000. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis ketiga telah terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut. f. Analisis Variabel (Keempat) Melalui nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti-image matrices ketiga, dapat diperoleh hasil bahwa masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5 yaitu pada variabel X 13, X 16, X 21 maka X 13, X 16, X 21 dikeluarkan dari pemilihan variabel dan analisis diulang kembali. Pada analisis ketiga, variabel yang dikeluarkan yaitu X 13, X 16, X 21, oleh karena itu analisis diulang kembali dengan cara yang sama. Pada analisis ketiga masih terdapat variabel yang mempunyai nilai MSA < 0,5; oleh karena itu analisis di ulang kembali. Berikut ini akan ditampilkan nilai KMO. Tabel 5. Hasil Uji KMO and Bartlett's Test Analisis Keempat Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy..767 Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square df 6 Sig..001 Berdasarkan tabel 5 diketahui asumsi kecukupan data pada analisis keempat terpenuhi setelah variabelvariabel yang tidak memenuhi persyaratan dikeluarkan dari analisis dengan nilai MSA sebesar 0,767, sedangkan Bartlett s Test of Sphericity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001. Sehingga dapat disimpulkan uji kecukupan data pada analisis keempat telah terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi dan korelasi antar variabel terpenuhi, dengan demikian kedua asumsi untuk analisis faktor terpenuhi dan dapat dianalisis lebih lanjut. g. Analisis Variabel (Kelima) Seperti pada analisis sebelumnya untuk melanjutkan analisis ketahap berikutnya, maka peneliti terlebih dahulu menganalisis variabel-variabel yang memenuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut melului nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) yang terdapat pada tabel anti image matrices. Tabel 6. Perbandingan Nilai MSA Variabel Nilai MSA I Nilai MSA II Nilai MSA III Nilai MSA IV X 4 0,665 0,722 0,762 0,788 X 9 0,625 0,569 0,603 0,750 62

63 X 11 0,578 0,514 0,601 0,825 X 18 0,676 0,685 0,662 0,734 Berdasarkan tabel 6 di atas dapat disimpulkan hanya variabel-variabel yang mempunyai nilai MSA > 0,5 dari analisis pertama sampai analisis keempat yang dapat dilanjutkan ke tahap analisis berikutnya. Menentukan Metode Analisis Faktor Setelah melakukan anilisis variabel maka peneliti menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor. Dalam penelitian ini digunakan metode Principal Components Analysis (PCA). Di dalam metode ini, jumlah varian dalam data dipertimbangkan. Berikut ini akan ditampilkan print out komputer sebagian hasil pengolahan data dengan menggunakan Principal Components Analysis (PCA). Tabel 7. Communalities Variabel Initial Extraction X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Berdasarkan tabel 7 dapat dilihat nilai communality yaitu jumlah varian yang disumbangkan oleh suatu variabel dengan seluruh variabel lainnya dalam analisis dengan menggunakan metode Principal Components Analysis (PCA). Untuk setiap variabel masing-masing mempunyai nilai communality sebesar 1 (satu). h. Penentuan Banyak Faktor Dengan eigenvalue Untuk menentukan banyaknya faktor yang terbentuk dari variabel-variabel yang tersisa dapat ditentukan dengan nilai eigenvalue. Berdasarkan landasan teori nilai eigenvalue yang lebih dari atau sama dengan 1(satu) yang dimasukan sebagai faktor. Dengan menggunakan bantuan software SPSS dapat diperoleh nilai eigenvalue seperti yang ditampilkan pada tabel dibawah ini. 63

64 Componen t 64 Initial Eigenvalues Tabel 8. Nilai Eigenvalue Extraction Sums of Squared Loadings Total % of Variance Cumulative % Total % of Variance Cumulative % Dari tabel 8 dapat dilihat bahwa ada 1 komponen yang mempunyai nilai eigenvalue lebih dari 1(satu) yaitu faktor 1 dengan eigenvalue 2,317 dan persentase yaitu sebesar 57,926%, maka dapat disimpulkan ada 1 faktor yang dapat terbentuk. i. Melakukan Rotasi Faktor Sebelum menginterpretasikan faktor maka dilakukan rotasi faktor terlebih dahulu yaitu untuk mengetahui korelasi antara faktor dengan variabel, dan hanya korelasi yang diwakili factor loading yang mempunyai nilai di atas 0,30 yang dianggap cukup kuat berkorelasi. Berikut ini akan ditampilkan korelasi faktor dengan variabel sebelum dirotasi faktor : Tabel 9. Component Matrix a (sebelum dirotasi) Variable Component 1 X4.756 X9.789 X X Dari tabel 9 di atas, diperoleh bahwa faktor 1 berkorelasi dengan variabel X 4, X 9, X 11, X 18. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap variabel hanya berkorelasi pada satu faktor saja sehingga mudah untuk diinterpretasikan. 7. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di SMA/sederajat yang ada di Kota Langsa yaitu yang ditujukan kepada guru PPL dari Prodi PMA STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa pada tahun akademik 2013/2014 sebanyak 28 orang mahasiswa. Hasil penelitian diperoleh melalui empat (4) kali analisis faktor; bahwa pada analisis pertama diperoleh nilai Kaiser-Mayer Olkin (KMO) sebesar 0,522 sedangkan Barlett s test of sphericity dengan Chi-Square 338,697 (df = 210) dan nilai sig = 0,000 kurang dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa data telah valid dan reliabel dan data dapat dianalisis lebih lanjut. Kemudian dari analisis variabel diperoleh variabel-variabel yang tidak memenuhi persyaratan untuk dianalisis faktor atau variabel-variabel yang dikeluarkan dari analisis yaitu X 1, X 2, X 6, X 7, X 8, X 12, X 14, X 15, X 19, X 21, Setelah variabel-variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis faktor dikeluarkan, maka analisis faktor diulang kembali sampai tidak ada lagi variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis faktor, pada analisis faktor kedua masih terdapat variabel yang tidak memenuhi persyaratan yaitu variabel X 3, X 5, X 10, X 17, dan pada analisis faktor yang ketiga diperoleh variabel yang tidak memenuhi persyaratan yaitu X 13, X 16, X 21, dan variabel yang tersisa sebanyak empat variabel yang kemudian dianalisis faktor keempat. Pada analisis keempat, diperoleh KMO sebesar 0,767 sedangkan Bartlett s Test of Spherycity dengan Chi-Square 23,103 (df = 6) dan nilai sig = 0,001, yang berarti data masih valid dan reliabel. Berdasarkan analisis variabel keempat, ternyata tidak terdapat variabel yang tidak memenuhi persyaratan analisis faktor, maka empat variabel tersebut dapat dianalisis lebih lanjut. Setelah menentukan metode yang digunakan dalam analisis faktor yaitu principal components analysis (PCA), langkah berikutnya yaitu menentukan banyaknya faktor yang terbentuk dari empat (4) variabel yang ada. Dengan melihat nilai eigenvalue yang lebih dari 1 maka diperoleh satu faktor yang terbentuk yang nilai eigenvalue-nya adalah 2,317. Setelah diketahui faktor yang terbentuk selanjutnya menentukan variabel pada setiap faktor dengan melakukan rotasi faktor. Setelah dilakukan rotasi faktor, diperoleh faktor 1 berkorelasi dengan variabel X 4, X 9, X 11, X 18. Artinya bahwa faktor utama yang menyebabkan kesulitan guru PPL mengelola kelas dalam pembelajaran matematika di SMA

65 se Kota Langsa adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam kelas. 8. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa total persentase varians dari keempat faktor yang menyebabkan guru PPL kesulitan mengelola kelas dalam pembelajaran matematika adalah sebesar 57,926%, dimana faktor dominannya adalah adanya toleransi kelas terhadap kekeliruan-kekeliruan yang muncul di dalam kelas, diantaranya; 1) Guru PPL kurang mampu mengatasi keributan yang ada di dalam kelas, 2) Guru PPL kurang mampu mengurangi reaksi negatif siswa terhadap kelompok lain, seperti merendahkan kelompok yang berkemampuan rendah, 3) Guru PPL kurang mampu mencegah/mengatasi siswa yang dengan sengaja mendorong perilaku temannya untuk tidak mengikuti aturan, 4) Guru PPL kurang mampu meleraikan siswa yang bermusuhan di dalam kelas. Daftar Pustaka Ahmad Rohani, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: Rineka Cipta. Hamid Darmadi Kemampuan Dasar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia. Hamzah B. Uno Profesi Kependidikan, Jakarta: Bumi Aksara. J. Supranto, Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. Jakarta : Rineka Cipta. Kunandar Guru Profesional Implementasi Kurikulum KTSP dan Su kses dalam Sertifikasi Guru. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ngalim Purwanto Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Riduwan Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta. Singgih Santoso Aplikasi SPSS pada Statistik Multivariat. Jakarta: Elex Media Komputindo. Soejadi Kiat-kiat Matematika di Indonesia. Jakarta: Depdiknas. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta. Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar.Jakarta :Rineka Cipta. Syaiful Sagala Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung: Alfabeta. Zulkarnaini, dkk, Panduan Akademik STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa Tahun Akademik. Langsa: STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa. 65

66 KESALAHAN SISWA MAN MODEL BANDA ACEH DALAM MENYELESAIKAN SOAL-SOAL FUNGSI Budiman, Rahmat Fitra, dan M. Hasbi Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh Mahasiswa S2 Pend. Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Dosen Prodi Pend. Matematika, FKIP Unsyiah, Banda Aceh Abstrak. Permasalahan pembelajaran matematika SMA/MAN saat ini adalah rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep. Hal ini ditandai dengan banyak kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan soal-soal matematika khususnya fungsi. Dengan demikian diperlukan penelitian yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal soal fungsi dan mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi. Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa kelas IX MAN Model Banda Aceh yang berjumlah 59 orang. Subjek wawancara adalah berjumlah 5 orang. Hasil penelitian diperoleh, kesalahan siswa dalam menyelesaikan soalssoal fungsi yaitu kesalahan konsep, operasi dan kesalahan verbal. Penyebab kesalahan adalah: belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif, surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganjil, belum mahir dalam perhitungan aljabar, belum mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi. Kata kunci: jenis kesalahan siswa, penyebab kesalahan, fungsi 1. Pendahuluan Matematika mempunyai peranan penting dalam menunjang keberhasilan siswa, karena matematika merupakan sarana untuk mempelajari mata pelajaran lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Karso (1993:80) Matematika diajarkan di sekolah karena matematika dapat membantu bidang studi lain seperti fisika, kimia, arsitektur, farmasi, geologi, ekonomi, statistik dan sebagainya. Sehubungan dengan peranan matematika yang sangat penting, matematika merupakan salah satu mata pelajaran diajarkan di setiap jenjang sekolah baik tingkat dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Tujuan pembelajaran matematika berdasarkan Badan Standar Nasioal Pendidikan (BSNP; 2006) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep dan algoritma secara akurat, efisien dan tetap dalam pemecahan masalah, 2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika, 3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh, 4. mengkomunikasi gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan 5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut menekankan pada pemahaman siswa terhadap konsep, penggunaan konsep dan hubungan antara konsep. Namun kenyataan menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep fungsi, hubungan antar konsep dan penggunaan konsep dalam menyelesaiakan masalah belum memadai. Masih banyak siswa yang tidak memahami arti fungsi dari himpunan A ke bimpunan B, arti nilai fungsi di suatu titik, dan menggunakan konsep fungsi dalam menyelesaikan masalah matematika. Rendahnya pemahaman siswa dalam memahami konsep fungsi ditandai dengan banyaknya kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaiakan soal-soal tentang fungsi, baik kesalahan konsep, prinsip, operasi dan menyelesaiakan soal dalam bentuk verbal. 66

67 Hal ini didukung hasil penelitian Purnami (1994) bahwa pemahaman siswa terhadap konsep fungsi bervariasi. Demikian juga pemahaman siswa terhadap penulisan notasi fungsi, rumus (aturan) fungsi, daerah asal, daerah kawan dan daerah hasil, fungsi komposisi dan fungsi invers juga bervariasi. Misalnya: 1. Ketika diminta memberikan contoh relasi yang merupakan fungsi dan contoh relasi yang bukan fungsi, variasi jawaban siswa antara lain adalah memberikan contoh dalam bentuk diagram panah yang benar, memberikan contoh dalam bentuk diagram panah, pasangan berurutan dan disertai dengan notasi fungsi, tetapi penulisan notasi fungsi salah. Mestinya ditulis {(0,0), (1,1), (2,4)}, tetapi siswa menulis (0,0), (1,1), (2,4). Mestinya f :A B, tetapi ditulis f(a) B. 2. Sebahagian siswa tidak dapat membedakan relasi yang merupakan fungsi atau bukan fungsi. 3. Sebahagian siswa menyatakan bahwa fungsi harus dengan rumus. Bahkan ada siswa yang mengatakan bahwa f(x) = 1 bukan fungsi karena tidak ada x dalam persamaannya. 4. Dari hasil wawancara terungkap bahwa sebahagian siswa tidak dapat menentukan range fungsi yang disajikan dengan grafik, yaitu dengan mengatakan bahwa titik- titik pada grafik merupakan daerah hasil (range). 5. Sebahagian siswa menganggap sama daerah kawan dan daerah hasil. 6. Tentang hubungan antara konsep fungsi dengan pokok bahasan lain, sebahagian siswa mengatakan tak merasa ada hubungan antara fungsi dengan pelajaran lain. 7. Sebahagian siswa mengatakan pernah mendengar fungsi kosinus tetapi tidak tahu pasti apakah f(x) = cos x adalah fungsi atau bukan. Permasalahan di atas juga ditemukan siswa MAN Model Banda Aceh. Oleh karena itu, diperlukan penelitian tentang permasalahan tersebut. Tujuan penelitian: (1) untuk mengidentifikasi jenis kesalahan yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi dan (2) mengidentifikasi penyebab terjadinya kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi. 2. Landasan Teori Karakteristik Matematika Setiap mata pelajaran memiliki karakteristik tertentu, baik ditinjau dari aspek kompetitif yang ingin dicapai maupun aspek materi yang dipelajari dalam rangka menunjang tercapainya kompetensi. Karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-18) adalah sebagai berikut: (a) Memiliki objek abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi dan prinsip abstrak, (b) Bertumpu pada kesepakatan, (c) Berpola pikir deduktif, (d) Memiliki simbol yang kosong dalam arti, (e) Memperhatikan semesta pembicaraan, dan (f) Konsisten dalam pembicaraan. Di samping itu matematika juga bersifat hirarkis yaitu suatu materi merupakan prasyarat untuk mempelajari materi selanjutnya. Menurut Gagne (Hudoyo: 2005), secara garis besar matematika memiliki objek kajian yang abstrak sebagai berikut: 1) Fakta. Fakta adalah pemufakatan atau konvensi dalam matematika yang biasanya diungkapkan lewat simbol tertentu. Cara mempelajari fakta bisa dengan cara hafalan, drill (latihan menerus), demonstrasi tertulis, dan lain-lain. Namun perlu dicamkan bahwa mengingat fakta adalah penting tetapi jauh lebih penting memahami konsep yang diwakilinya. Dengan demikian dalam memperkenalkan simbol atau fakta matematika kepada siswa, guru seharusnya melalui beberapa tahap yang memungkinkan siswa dapat menyerap makna dari simbol-simbol tersebut. Sebagai contoh dalam fungsi yaitu: fungsi f memetakan A ke B, secara singkat di tulis f : A B, invers fungsi f, secara singkat ditulis f -1. 2) Konsep. Bell (1981:102), konsep adalah suatu ide abstrak yang memungkinkan kita untuk mengelompokkan objek-objek atau kejadian-kejadian dan menentukan apakah objek/kejadian itu merupakan contoh atau bukan contoh dari ide abstrak tersebut. Konsep berhubungan erat dengan definisi, definisi adalah ungkapan yang membatasi suatu konsep, dengan adanya definisi orang dapat membuat ilustrasi atau lambang dari konsep yang dimaksud. Suatu konsep yang berada dalam lingkup ilmu matematika disebut konsep matematika. Contoh konsep dalam fungsi yaitu konsep pemetaan, ada pemetaan yang merupakan fungsi, ada juga pemetaan yang bukan fungsi. 3) Operasi. Begle (1975:7) menjelaskan operasi adalah suatu fungsi yang mengaitkan objek matematika yang satu dengan yang lain. Soedjadi (2000:5) mengungkapkan operasi yaitu aturan untuk memperoleh elemen tunggal dari satu atau lebih elemen yang diketahui. Elemen tunggal yang diperoleh disebut sebagai hasil operasi, sedangkan elemen yang diketahui disebut dengan elemen yang dioperasikan. Di dalam materi fungsi yang berhubungan dengan operasi yaitu pada aljabar fungsi yang menyangkut penjumlahan, pengurangan, pembagian dan perkalian dua buah fungsi. 67

68 4) Prinsip. Menurut Soedjadi (2000:15), prinsip adalah hubungan antara berbagai objek matematika. Prinsip dapat terdiri atas beberapa konsep yang dikaitkan oleh suatu relasi/operasi, dengan kata lain prinsip adalah hubungan antara berbagai objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa aksioma, teorema dan sifat. Contoh dari prinsip dalam fungsi misalnya prinsip f g(x) = f (g(x)), f (g(x)) g(f(x)). Jenis Kesalahan dan Faktor Penyebab Kesalahan Siswa Kesalahan adalah penyimpangan dari yang sebenarnya, atau hal yang telah disepakati sebelumnya. Sukirman (dalam Swida 2000: 36) mengklasifikasikan kesalahan yang diperbuat siswa pada setiap aspek penguasaan bahan pelajaran matematika adalah kesalahan konsep, kesalahan operasi, dan kesalahan prinsip. Clement (dalam Haryono, 1998:13) membedakan kesalahan yang dibuat siswa menjadi dua kategori yaitu: kesalahan sistematis dan kesalahan kealpaan (careless). Berdasarkan pendapat di atas, kesalahan siswa adalah suatu kejadian atau tingkah laku yang diamati dari hasil kerja siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi yang tidak sesuai dengan aturan-aturan atau kesepakatan-kesepakatan yang terdapat dalam matematika. Kesalahan meliputi, konsep, prinsip, operasi, verbal dan kecerobohan. Pada penelitian ini jawaban tes dikatakan salah bila: (1) Menyimpang atau tidak sesuai dengan jawaban yang telah ditetapkan; (2) Jawaban tidak lengkap dan tidak menjawab. Selanjutnya kesalahan yang mungkin terjadi pada penelitian ini antara lain: (1) Kesalahan dalam menjelaskan arti relasi, fungsi dan menghitung aljabar fungsi, (2) Kesalahan dalam menentukan jenisjenis fungsi dan sifat- sifat fungsi, (3) Kesalahan dalam menentukan komposisi dari dua fungsi, (4) Kesalahan dalam menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi. Selanjutnya, kemungkinankemungkinan kesalahan yang telah disebutkan di atas, akan dianalisis berdasarkan karakteristik matematika yang diklasifikasikan ke dalam kesalahan konsep, prinsip, operasi, dan kesalahan verbal. 3. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang mendeskripsikan tentang suatu hal secara mendalam. Penelitian ini terdiri dari 5 langkah yaitu: (1) mengidentifikasi masalah yang akan diteliti aktivitas siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (2) mengidentifikasi subjek penelitian 59 orang siswa kelas XI MAN Model Banda Aceh ; (3) pengumpulan data kegiatan observasi dan wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi jenis kesalahan dan faktor penyebab kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal fungsi; (4) analisis data- data akan dianalisis dengan cara mendeskripsikan semua aktivitas penelitian; dan (5) menarik kesimpulan. 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil tes dan wawancara siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi disajikan sebagai berikut. 1) Kesalahan Siswa dalam Memahami Pengertian Fungsi Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 1. Siswa yang diwawancarai ternyata masih menunjukkan kelemahan dalam memahami pengertian fungsi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut. Nama siswa MR Soal nomor 1 a) Jawaban tes : 68

69 b) Petikan wawancara P : Coba kamu perhatikan soal no 1, kamu paham maksud soal? S : Paham pak, diantara gambar a, b, c dan d disuruh tentukan mana yang merupakan fungsi dan mana yang bukan. P : Coba kamu perhatikan jawaban yang sudah kamu jawab ketika tes, apakah kamu masih setuju dengan jawaban tersebut? (sambil menunjukkan kertas jawaban tes) S : (Siswa memperhatikan jawaban). Masih pak, yang merupakan fungsi adalah gambar a dan d, sedangkan gambar b dan c bukan fungsi. P : Coba kamu jelaskan mengapa diagram a dan d itu fungsi dan diagram b dan c itu bukan fungsi? S : Kalau gambar a fungsi, karena relasi A ke B mendapatkan satu himpunan, tidak ada yang kosong dari fungsi B dan mendapat himpunan dari A. Kalau gambar b bukan fungsi, karena dari relasi B ada yang kosong. Karena kalau kosong bukan fungsi pak. Kalau gambar c juga bukan fungsi, karena masih sama dengan gambar b yaitu masih ada yang kosong. Kalau yang no d fungsi, karena B nya mendapat himpunan dari A, walaupun A nya ada yang kosong pak. P : Berdasarkan apa yang kamu pelajari, apa pengertian dari fungsi? S : (diam) Eumm fungsi itu misalkan ada relasi A ke B, B ini mendapatkan himpunan dari A, itu setahu saya pak. Dari hasil kerja siswa dan wawancara diperoleh MR belum memahami konsep relasi yang merupakan fungsi. Hal ini terlihat siswa tidak dapat membedakan dan memberikan alasan yang tepat mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan fungsi. Dari hasil wawancara juga juga ditemukan bahwa siswa belum menguasai konsep fungsi yaitu siswa tidak bisa menyebutkan definisi fungsi secara jelas. Berkaitan dengan kesalahan, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan karena siswa belum bisa membedakan mana relasi yang merupakan fungsi dan mana relasi yang bukan fungsi. Dengan demikian, MR melakukan kesalahan konsep yang disebabkan oleh tidak dapat membedakan relasi yang merupakan fungsi dan relasi yang bukan fungsi. 2) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Jenis - Jenis Fungsi dan Sifat - Sifat Fungsi. Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal-soal nomor 3 dan 4. Siswa yang diwawancarai ternyata masih belum dapat menentukan jenis jenis fungsi dan sifat sifat fungsi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut. Nama siswa FI Soal nomor 3 a) Jawaban Tes b) Petikan Wawancara P : Coba kamu perhatikan soal no 3, apa maksud dari soal tersebut? S : Disuruh periksa ke dua buah fungsi a dan b, apakah termasuk fungsi genap, ganjil atau bukan keduanya. P : Coba kamu jelaskan lembar jawaban kamu pada saat tes?(sambil menunjukkan kertas lembar jawaban). S : Emmm.saya tidak tahu juga prosesnya bagaimana, tapi saya buat yang nomor a itu termasuk fungsi ganjil karena pada fungsi tersebut terdapat angka 3 dan angka 3 itu termasuk angka ganjil, makanya saya buat yang nomor a adalah fungsi ganjil. Kalau fungsi yang b itu saya buat fungsi genap, karena ada angka 2 pada fungsi tersebut. 69

70 P S P S P S : Menurut anda, apa yang dimaksud dengan fungsi genap? : Kalau fungsi genap berarti pada fungsi itu harus ada angka genap. : Kalau pengertian fungsi ganjil, bagaimana? : fungsi ganjil berarti pada fungsi itu harus ada angka ganjil pak. : Kamu yakin dengan jawaban kamu? : Yakin pak. Dari hasil tes dan wawancara, FI mengalami kesalahan konsep, yaitu salah dalam menentukan fungsi genap dan fungsi ganjil karena FI cuma menuliskan jawaban tanpa membuat alas an. Kesalahan ini disebabkan oleh FI tidak menguasai konsep fungsi genap dan fungsi ganjil. Dengan demikian, FI melakukan kesalahan konsep. Penyebabnya belum memahami konsep fungsi genap dan fungsi ganjil. Nama siswa FR Soal nomor 4 a) Jawaban tes: b) Petikan wawancara P : Coba kamu perhatikan jawaban yang no 4, coba kamu jelaskan mengapa gambar (I) fungsi surjektif, gambar (II) fungsi bijektif dan gambar (III) fungsi injektif? S : Gambar (I) saya buat surjektif karena semua anggota dari himpunan A mempunyai relasi ke himpunan B yang berpasangan, jadi tidak saling silang. Gambar (II) itu saya buat fungsi bijektif, karena ada 2 anggota himpunan A yang berelasi ke satu anggota himpunan B, kalau bercabang- cabang itu disebut fungsi bijektif. Gambar (III) itu fungsi injektif, karena dari himpunan B ada yang tidak berelasi ke himpunan A. Jadi kalau ada yang kosong itu fungsi injektif pak. P : Jadi menurut kamu apa pengertian dari fungsi surjektif? S : Kalau pengertiannya saya tidak paham betul pak, karena sewaktu saya menjawab saya menganalisa soal, kalau surjektif itu menunjuk ke suatu subjek, jadi berpasang- pasangan. P : pengertian dari fungsi bijektif? S : Kalau bijektif itu ada kata- kata bi yang artinya dua, jadi ada dua yang bercabang. P : pengertian fungsi injektif? S : Kalau injektif itu karena surjektif dan bijektifnya sudah ada, maka yang tinggal injektif pak. Dari hasil tes dan wawancara diperoleh FR melakukan kesalahan konsep, yaitu tidak bisa membedakan antara ketiga diagram fungsi surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif. Hal ini disebabkan karena siswa tidak menguasai konsep fungsi surjektif, fungsi injektif, dan fungsi bijektif. Dengan demikian, FR mengalami kesalahan konsep. Penyebabnya siswa tidak menguasai konsep fungsi surjektif, fungsi injektif dan fungsi bijektif. 3) Kesalahan Siswa dalam Menentukan Rumus Fungsi Invers dan Invers Fungsi Komposisi. Soal yang berkaitan dengan kesalahan ini adalah soal nomor 7 dan 8. Siswa yang diwawancarai ternyata masih belum terampil menentukan rumus invers, dan juga belum dapat menentukan invers dari fungsi komposisi. Di bawah ini disajikan hasil tes, petikan wawancara serta analisis hasil data tersebut. 70

71 Nama siswa RA Soal nomor 7b a) Jawaban Tes b) Petikan Wawancara P : Mengapa kamu tidak menjawab soal no 7b? S : Tidak tau pak. P : Mengapa kamu tidak tahu, apakah kamu tidak memahami maksud soal? S : Saya tidak tahu cara mencarinya, karena soalnya f(x + 2) pak, bukan f(x) saja. P : Kamu tahu cara mencari rumus untuk fungsi invers? S : Tahu pak, misalkan dulu f(x) itu dengan y, kemudian nanti kalau sudah dapat hasil ditukar lagi nilai y dengan nilai x. P : Perhatikan soal no 7b, mana yang menjadi f(x) nya? S : Tidak ada pak, harus dicari dulu dari f(x + 2) itu. Tapi saya tidak bisa pak. Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa RA memahami prinsip menentukan fungsi invers, tetapi siswa tidak memahami operasi untuk mencari f(x) dari f(x + 2). Dengan demikian, RA mengalami kesalahan operasi disebabkan karena siswa belum memahami cara mencari mengoperasikan f(x + 2) untuk mendapatkan f(x) supaya bisa dicari inversnya. Nama siswa FR Soal nomor 8 a) Jawaban tes b) Petikan wawancara P : Coba kamu perhatikan jawaban no 8, apakah kamu masih setuju dengan jawaban kamu? S : Masih pak. P : Bagaimana cara kamu mencarinya sehingga kamu dapatkan hasil 2x+5 3 S : Untuk langkah pertama saya cari f invers dulu, kemudian saya cari g invers, lalu baru saya gabung, sehingga di dapat 2x+5. 3 P : Coba kamu buat penguraian rumus (g f) -1 (x)! S : Siswa menuliskan (g -1 f -1 )(x) = g -1 (f -1 (x)). P : Kamu yakin (g -1 f -1 )(x) = g -1 (f -1 (x)).? S : Yakin pak, sama. 71

72 Dari hasil wawancara diperoleh data bahwa siswa FR mengalami kesalahan prinsip, yaitu tidak memahami prinsip invers fungsi komposisi. Dengan demikian, FR mengalami kesalahan prinsip disebabkan karena siswa belum memahami prinsip invers fungsi komposisi. 5. Simpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal-soal fungsi adalah: (1) kesalahan konsep, yang meliputi: konsep fungsi, konsep jenis- jenis fungsi dan sifat- sifat fungsi, dan konsep daerah asal fungsi, (2) kesalahan prinsip, yang meliputi: prinsip rumus fungsi invers, dan prinsip rumus invers fungsi komposisi, (3) kesalahan operasi yang meliputi: : kesalahan dalam operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian dalam perhitungan fungsi; dan (4) kesalahan verbal, yaitu kesalahan karena kecorobohan siswa soal cerita tentang fungsi. Faktor penyebab kesalahan siswa adalah: (1) belum memahami definisi fungsi, definisi fungsi injektif, surjektif dan bijektif, fungsi genap, fungsi ganji, (2) belum mahir dalam perhitungan aljabar, (3) belum mahir dalam menggunakan prinsip fungsi invers dan langkah-langkah menentukan fungsi invers dan invers fungsi komposisi. Dari simpulan, diharapkan kepada guru matematika, dosen untuk selalu memperhatikan terhadap pemahaman siswa/mahasiswaa terhadap suatu materi fungsi dan materi lain dalam pelajaran matematika. Sehingga dapat diperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut dalam proses pembelajaran. Daftar Pustaka Ali, Mohammad. (1985). Penelitian Pendidikan Prosedur Srategi. Bandung: Angkara. Arikunto, Suharsimi. (1995). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Depdiknas, (2008). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. (KTSP) Sekolah Fitriana, Yulia. (2005). Kesulitan Siswa Kelas II SMP Negeri 6 Banda Aceh dalam Memahami Materi Fungsi Tahun Pelajaran 2005/2006. Banda Aceh : FKIP Unsyiah. Hamalik, Oemar. (1995). Kurikulum Pembelajaran. Jakarta: Bina Aksara. Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Karso, dkk. (1993). Dasar-Dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta : Depdikbud. Marzuki. (2009). Penguasan Materi Integral Siswa Kelas III IPA MAN Darussalam Banda Aceh Tahun pelajaran 2009/ Banda Aceh: FKIP Unsyiah. Miksalmina. (2010). Penguasaan Siswa Pada Materi Trigonometri Kelas XI IPA Man Darussalam Aceh Besar Tahun Pelajaran 2009/2010. Banda Aceh: FKIP Unsyiah. Nana, Sudjana. (1985). Komponen Dasar dalam Pembinaan Kurikulum. Jakarta : Gramedia. Nurkancana, Wayan dan Sumartana. (1981). Evaluasi Ilmu Pendidikan. Surabaya : Usaha Nasional. Rusfendi. (1977). Pengantar Matematika Modern. Bandung : Transito. Sagala, Viktor. (2001). Konsepsi Fungsi Siswa SMU Ciputra Surabaya. Makalah Konprehensif Pascasarjana IKIP Surabaya. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta., Rineka Cipta Sujana. (1988). Evaluasi Hasil Belajar dan Umpan Balik. Jakarta: Gramedia. 72

73 Tim Penyusun Kamus. (1991). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Winkel, W.S. (1986). Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Wirodikromo, S. (2007). Matematika untuk SMA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. 73

74 PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL (CTL) PADA MATERI SEGIEMPAT DI KELAS VII SMP NEGERI 1 BANDA ACEH Dhelsy Nahraisyah Azma 1, Erni Maidiyah 2, dan Usman 2 1 Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh dhelcyneezudiensprinces@yahoo.com 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Pendekatan kontekstual (CTL) merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Penelitian ini mengangkat masalah apakah dengan penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat hasil belajar siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf berhasil?. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui hasil belajar siswa melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-eksprerimental dengan desain the one shot case study. Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dan sampel diambil secara random satu kelas yaitu kelas VII-1 yang berjumlah 23 siswa. Materi yang diajarkan adalah segiempat. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan tes, observasi kemampuan guru mengelola pembelajaran, observasi aktivitas siswa dan respon siswa. Selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan uji-t. Berdasarkan perhitungan tes akhir diperoleh x = 84,32 dan s 2 2 = 10,75. Analisis data dengan menggunakan uji chi-kuadrat diperoleh < (1-α)(k- 3), yaitu 1,89 < 3,84, berarti sebaran data mengikuti distribusi normal. Dalam penelitian ini diambil μ 0 = 80 (berdasarkan standar KKM di SMP Negeri 1 Banda Aceh) dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = n-1 = 22 sehingga diperoleh t > t 1-α yaitu 1,92 > 1,71, hipotesis H 0 ditolak.. Berdasarkan hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil. (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran? (3) Bagaimana Respon siswa terhadap proses pembelajaran? Kata kunci: Pendekatan Kontekstual, Hasil Belajar, Segiempat 1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan secara eksplisit mulai dari tingkat taman kanak kanak hingga perguruan tinggi. Matematika yang diajarkan tersebut terdiri dari bagian matematika yang dipilih dalam usaha meningkatkan perkembangan IPTEK. Pembelajaran matematika akan melatih kemampuan berpikir kritis, logis, analitis dan sistematis, sehingga manusia dapat menemukan ide ide baru yang berguna bagi perkembangan teknologi untuk menuju kehidupan manusia yang lebih baik. Sehubungan dengan peranan matematika yang amat penting dalam perkembangan IPTEK, maka matematika merupakan salah satu bidang studi yang wajib dipelajari mulai dari taman kanak kanak hingga perguruan tinggi. Tujuan pelajaran matematika dalam KTSP (2006:417) antara lain 1. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau logaritma secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah. 2. menggunakan penalaran pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika. 3. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. mengkomunikasikan gagasan dan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. 74

75 5. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memilki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Berdasarkan uraian di atas tujuan matematika adalah menekankan pada kemampuan memahami pengetahuan dasar siswa untuk mencapai tujuan matematika yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dimana kurikulum menyarankan untuk setiap kesempatan pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contekstual problem) peserta didik. Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika dan membuat peserta didik lebih aktif dalam pembelajaran. Disamping itu, matematika dapat digunakan untuk menganalisa dan menyederhanakan berbagai masalah baik untuk ilmu pendidikan itu sendiri maupun masalah-masalah yang timbul di dalam masyarakat. Kenyataannya di lapangan menunjukkan bahwa kemampuan matematika siswa selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Itu bisa kita lihat di saat UTS dan akhir semester, siswa yang mendapat nilai diatas KKM kurang dari 70%. Seperti yang diketahui, banyak siswa menganggap matematika hanyalah mata pelajaran yang membosankan, tidak menyenangkan dan tidak ada keinginan untuk berperan secara aktif di saat pembelajaran berlangsung sehingga mengakibatkan hasil belajar siswa selama ini cenderung belum mencapai taraf berhasil. Materi segiempat adalah salah satu dari bagian geometri yang sulit di pahami, dimana objek yang dibicarakan adalah benda yang sifat-sifatnya abstrak, sehingga pada waktu membicarakan objek tersebut didalam kegiatan pembelajaran dalam kelas perlu ditunjukkan kepada siswa dalam bentuk benda yang nyata berupa model atau gambar dari benda yang dimaksud. Salah satu pendekatan yang dapat membuat peserta didik lebih aktif dan dapat menumbuhkan motivasi untuk mempelajari matematika yaitu dengan menggunakan pendekatan kontekstual (CTL). Nurhadi (2004:4) mengatakan Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hal ini senada dengan pendapat Johnson (2006 : 91) mengatakan bahwa ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah dengan pengalaman sendiri, mereka menemukan makna, dan makna memberi mereka alasan untuk belajar. Berdasarkan latar belakang diatas penulis mengangkat judul penelitian tentang Penerapan Pendekatan Kontekstual (CTL) Pada Materi Segiempat Di Kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat siswa di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh dapat mencapai taraf berhasil?, (2) Bagaimana aktivitas siswa selama pembelajaran?, (3) Bagaimana Respon siswa terhadap proses pembelajaran? 2. Tinjauan Pustaka Pendekatan kontekstual Pendekatan kontekstual merupakan suatu konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat (Nurhadi, 2004:4). Komponen pendekatan kontekstual (CTL) 1) Konstruktivisme Menurut Nurhadi (2004:33) Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berfikir (filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong konyong.pengetahuan 75

76 bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Selanjutnya Trianto (2009:120) Konstruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru dalam unsur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Esensi dari teori konstruktivisme adalah ide bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi yang lain, dan apabila dikehendaki informasi itu menjadi milik mereka sendiri. Dengan dasar ini pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. 2) Menemukan (Inkuiri) Menurut Nurhadi (2004:43) sebagaimana dikemukakan sebelumnya, menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Pengetahuan dan ketrampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta fakta, tetapi juga hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apa pun materi yang diajarkannya. 3) Bertanya (Questioning) Menurut Nurhadi (2004: 45) Questioning (Bertanya) adalah induk dari strategi pembelajaran kontekstual, awal dari pengetahuan, jantung dari pengetahuan, dan aspek penting dari pembelajaran. Orang bertanya karena ingin tahu, menguji, mengkonfirmasi, memapersepsi, mengarahkan/mengiring, mengaktifkan skemata, men-judge, mengklarifikasi, memfokuskan, dan menghindari kesalahpahaman. Menurut Nurhadi (2004: 45) Pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang bermula dari bertanya, karena bertanya merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis pendekatan CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing,dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran berbasis inkuiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang yang belum diketahuinya. 4) Masyarakat belajar (Learning Community) Menurut Nurhadi (2004:48) Konsep learning community menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain berupa sharing antar teman, antar kelompok dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Selanjutnya Menurut Nurhadi (2004:49) kalau setiap orang mau belajar dari orang lain, maka setiap orang lain bisa menjadi sumber belajar, dan ini berarti setiap orang akan sangat kaya dengan pengetahuan dan pengalaman. Metode pembelajaran dengan tekhnik learning community ini sangat membantu proses pembelajaran di kelas. 5) Pemodelan (Modeling) Menurut Nurhadi (2004: 49) pemodelan adalah sebuah pembelajaran ketrampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru.pemodelan pada dasarnya membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Selanjutnya menurut Nurhadi (2004: 50) Dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. 6) Refleksi Menurut Nurhadi (2004: 61) refleksi adalah cara berfikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang apa-apa saja yang sudah kita lakukan di masa yang lalu. Refleksi merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima. Siswa mngendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima. 7) Penilaian sebenarnya (Aunthenthic Assesment) Menurut Nurhadi (2004: 52) Aunthenthic Assesment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual, prinsip yang dipakai dalam penilaian serta ciri-ciri penilaian autentik adalah sebagai berikut: (1) Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja, dan produk, (2) Dilaksanakan 76

77 selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (3) Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (4) Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, (5) Penilaian harus menekankan kedalam pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya (kuantitas). Hasil belajar siswa Pada umumnya hasil belajar dapat dikelompokkan menjadi tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Menurut Arikunto (2010:117) mengatakan ada 3 ranah atau domain besar, yang terletak pada tingkatan ke-2 yang selanjutnya disebut taksonomi yaitu: (1) Ranah kognitif (cognitive domain), (2) Ranah afektif (affective domain), (3) Ranah psikomotor (psychomotor domain). Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, terlebih dahulu pembelajaran dilakukan dengan menerapkan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat. Pada akhir pertemuan, diadakan tes untuk uji kemampuan. Data tes hasil belajar diperoleh dengan cara memberikan tes berbentuk essay. Soal tersebut terdiri dari 5 butir soal denga skor maksimal 100, setiap soal skornya berbeda menurut tibgkat kesukaran soal, waktu yang digunakan untuk menyelesaikna soal tes adalah 2 x 45 menit. Aktivitas siswa Lembar observasi ini digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas siswa selama pembelajaran. Lembar observasi aktivitas siswa diberikan kepada pengamat ketika guru sedang melaksanakan pendekatan (CTL) untuk diisi setiap 5 menit dengan menuliskan kode atau nomor kategori aktivitas siswa yang sesuai. Respon siswa Angket respon siswa digunakan untuk mengetahui sikap, minat dan respon siswa terhadap pembelajaran pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat yang telah mereka ikuti. Angket ini diberikan setelah semua kegiatan pembelajaran dan evaluasi selesai dilakukan. Materi segiempat Segiempat merupakan salah satu materi yang diajarkan di kelas VII semester genap. Adapun materi segiempat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persegi panjang, persegi, jajargenjang, trapesium, belah ketupat dan layang - layang. Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat Ada tiga langkah penerapan pendekatan kontekstual pada materi segiempat, yaitu: Kegiatan awal Menyampaikan tujuan, memotivasi siswa. Guru mengajukan pertanyaan mengenai bentuk bentuk bangun segiempat yang ada dalam kehidupan sehari-hari siswa. Siswa memperhatikan benda benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru. (modelling) Guru menyampaikan manfaat dan tujuan pembelajaran. Kegiatan inti Eksplorasi Siswa mengamati benda benda yang berbentuk segiempat yang di perlihatkan oleh guru untuk menemukan sifat sifat, pengertian, keliling dan luas segiempat. (Inguiry). Siswa duduk dalam kelompok belajar yang telah diorganisasikan oleh guru yang terdiri dari 4-5 orang secara heterogen. (Learning Community) Elaborasi Masing masing kelompok mendapatkan LKS dari guru 77

78 Menjelaskan cara mengerjakan LKS dan bertanggung jawab dengan kelompok (modelling) Meminta siswa memahami LKS dan memberikan kesempatan siswa bertanya jika ada yang belum bisa memahami LKS. (Questioning) Siswa secara kelompok menyelesaikan permasalahan yang ada pada LKS untuk menggali informasi baru sehingga dapat menemukan konsep-konsep dalam mendefinisikan dan menghitung keliling serta luas segiempat. (Contructivisme dan Inquiry) Guru membimbing siswa dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam LKS dan meminta kepada siswa untuk saling bekerjasama Konfirmasi Guru meminta masing-masing kelompok menyiapkan hasil kerja diskusi. Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompok di depan kelas. (Reflection) Siswa dari kelompok lain diberikan kesempatan untuk bertanya atau memberikan tambahan jawaban. (Questioning) Guru mengevaluasi proses hasil belajar, merespon diskusi, meluruskan kesalahan pemahaman dan memberikan penguatan. (Authentic Assesment) Kegiatan akhir Siswa menyimpulkan materi yang dipelajari pada hari ini dengan dibimbing guru. Guru memberikan tugas dirumah sebagai latihan dan memberitahu materi yang akan dibahas untuk pertemuan selanjutnya. 3. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Sugiyono (2013: 14) mengatakan bahwa metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen dengan Pre-Eksperimental design. Dan bentuk Pre- Eksperimental design yang dimaksud adalah one shot case study (studi kasus satu tembakan). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh. Sampel penelitian ini diambil secara simple random sampling. Dan yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah kelas VII-I yang diambil secara random yang berjumlah 23 siswa dari delapan kelas yang tersedia. Setelah data diperoleh, tahap berikutnya adalah tahap pengolahan data.. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan uji-t. 1) Data hasil belajar siswa Untuk keperluan analisis terlebih dahulu ditentukan: Nilai rata-rata (x ) varians (s 2 ) dan simpangan baku (s). Selanjutnya di uji normalitas sebaran data dengan menggunakan uji chi-kuadrat. Adapun uji chi-kuadrat menurut Sudjana (2002:273) adalah: Keterangan : χ 2 = statistik chi-kuadrat O i = frekuensi pengamatan E i = frekuensi yang diharapkan k χ 2 = (O i E i ) 2 i=1 E i 78

79 Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan dengan taraf signifikan α=0,05. Pengujiannya adalah rata-rata µ 0, pasangan hipotesis nol dan tandingannya adalah: Ho : μ = 0 Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP N 1 Banda Aceh belum mencapai taraf berhasil. H a : μ > 0 Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segiempat di kelas VII SMP N 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil. Pengujian hipotesis digunakan statistik uji-t. Menurut Sudjana (2002:227) rumus uji-t tersebut adalah: t = x μ 0 s n Dengan keterangan: x = rata-rata sampel s = simpangan baku μ 0 = 80, didasarkan pada KKM mata pelajaran matematika di SMP Negeri 1Banda Aceh. 2) Data aktivitas siswa Data aktivitas siswa selama pembelajaran dianalisis dengan menggunakan rumus persentase. 3) Data respon siswa Menurut Mukhlis (2005:79), presentase dari setiap respon siswa diperoleh dengan membagi jumlah respon siswa tiap aspek yang muncul dengan jumlah seluruh siswa dikali searatus persen. Secara sistematis presentase dari setiap respon dapat ditulis: 4. Hasil dan Pembahasan 1) Deskripsi hasil belajar siswa Jumlah respon siswa setiap aspek yang muncul jumlah seluruh siswa 100 % Berdasarkan perhitungan sebelumnya, untuk nilai tes siswa dengan pendekatan kontekstual diperoleh x = 84,32 dan s = 10,75. Dalam hal lain yang menjadi hipotesis H o adalah sampel sebarannya mengikuti distribusi normal. Kriteria pengujian adalah: Tolak H 0 jika 2 2 (1-α)(k-3) dengan sebagai taraf 2 nyata untuk pengujian. Dalam hal lainnya, H 0 terima. Oleh karena < (1-α)(k-3) yaitu 1,89 < 3,84, maka H 0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data tes siswa SMP Negeri 1 Banda Aceh mengikuti distribusi normal. Dengan taraf signifikan = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (23-1) = 22 maka melalui daftar distribusi t diperoleh t (0,95)(23) = 1,71. Kriteria pengujian adalah tolak Ho jika t t 1-α dan terima Ho dalam hal lainnya. Oleh karena t > t 1-α yaitu 1,92 > 1,71, maka Ho ditolak, akibatnya H a diterima. Dengan demikian hipotesis yang berbunyi Penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil, diterima. 2) Deskripsi aktivitas siswa Secara keseluruhan, aktifitas siswa yang peneliti amati selama proses belajar mengajar dengan pendekatan kontekstual adalah aktif. Sudah mempunyai keinginan untuk bertanya, menanggapi dan lain sebagainya. Meskipun peneliti menemukan 3-4 siswa yang kurang aktif selama mengikuti pembelajaran. Disamping itu, peneliti juga menemukan bahwa ada siswa yang kurang memahami perbedaan tentang keliling dan luas segiempat, karena mereka masih terbalik pada saat menjawab soal LKS. Aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan sehingga bisa dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori efektif. 3) Deskripsi hasil respon siswa Minat siswa terhadap diskusi kelompok yang diadakan pada setiap pertemuan menunjukan angka 95,6% siswa merasa tidak takut ketika kelompoknya dipanggil untuk mempresentasikan hasil kerja mereka 2 79

80 didepan kelas. Hal ini mengindikasikan adanya respon positif siswa terhadap pembelajaran bidang datar segiempat melalui penerapan pendekatan kontekstual (CTL). 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: penerapan pendekatan kontekstual (CTL) pada materi segi empat di kelas VII SMP Negeri 1 Banda Aceh sudah mencapai taraf berhasil. Hal ini terlihat dari (1) aktifitas siswa selama proses pembelajaran berada pada efektifitas yang ditentukan sehingga bisa dikatakan aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran di kelas berada pada kategori efektif, (2) respon siswa positif, karena untuk setiap aspek yang direspon 95,6% siswa memberikan tanggapan positif. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi Dasar Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi) Jakarta:Bumi Aksara. Depdiknas Kurikulum Standar Kompetensi Mata Pelajaran Matematika Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. Jakarta : Balitbang. FKIP. Universitas Syiah Kuala Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh. UniversitasSyiah Kuala Johnson, Elaine Contekstual Teaching & Learning. Bandung : Kaifa Mukhlis Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas VII SMP Negeri 1 Pailangan. PPS3 UNESA. Nurhadi, dkk Kurikulum 2004 Pertanyaan dan Jawaban. Jakarta: Gramedia. Sudjana.2002.Metoda Satatistika. Bandung: Tarsito. Sugijono. dkk Matematika Untuk SMP kelas VII B. Jakarta : Erlangga Sugiyono Metode Penelitian pendidikan. Bandung: Alfabeta. Trianto Mendesain Model Pembelajaran Inovatif Progresif. 80

81 PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS X SMA NEGERI MODAL BANGSA Elsa Rahmah 1, Erni Maidiyah 2, dan Johan Yunus 2 1 Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh elsamath24@gmail.com 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. Proses belajar di sekolah merupakan proses yang sifatnya kompleks dan menyeluruh. Kebanyakan dalam proses belajar itu hanya berpusat pada kecerdasan akal atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan emotional quotient (EQ), seperti kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Dalam hal ini, berdasarkan hasil pengamatan di sekolah bahwa ada siswa memiliki IQ tinggi mendapat prestasi rendah dan sebaliknya IQ rendah mendapat prestasi tinggi. Banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar selain kecerdasan intelektual seperti kecerdasan emosional. Mengingat pernyataan tersebut, peneliti melakukan penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa.Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan (2) untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan sampel siswa kelas X SMA Negeri Modal Bangsa sebanyak 27 siswa. Instrumen pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dalam bentuk skala Likert dan dokumentasi. Uji validitas menunjukkan jumlah item yang valid untuk skala kecerdasan emosional berjumlah 36 item dan 14 yang tidak valid. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi product-moment dari Pearson dan hipotesis di uji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil perhitungan korelasi diperoleh r = 0,4152 dan hipotesis yang di uji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 27 2 = 25, diperoleh t hitung > t tabel yaitu 2,28 > 1,71. Dengan demikian H 0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Hasil perhitungan korelasi tersebut menunjukkan bahwa terdapat korelasi/ hubungan positif sedang antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Kata kunci: kecerdasan emosional, prestasi belajar 1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang menduduki peranan penting dalam pendidikan. Walaupun pendidikan bukan pengetahuan saja yang diprioritaskan namun sikap dan keterampilan juga merupakan hal yang penting. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal atau sering disebut dengan intelegence quotient (IQ) padahal yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Kurikulum 2013 yang sudah diterapkan di beberapa sekolah di Banda Aceh adalah salah satu hal yang penting dalam meningkatkan kemampuan emosional, kurikulum 2013 tidak serta merta pengetahuan saja yang dinilai melainkanpenilaian diri, penilaian teman sejawat, pengamatan/observasi dan lain-lain. Kurikulum 2013 tentunya bertujuan untuk menghadapi tantangan global, karena kurikulum berkaitan dengan standar isi. Ditambahkan, tujuan kurikulum 2013 adalah menghasilkan siswa yang selalu bertanya akan sesuatu hal atau meningkatkan jiwa kritis dalam diri siswa. Sementara dasar kurikum 2013 adalah attitude dan aktualisasi diri. 81

82 Kami dapatkan kondisi siswadi SMA Negeri Modal Bangsaketika dia berada dibangku SMP merupakan juara umum tetapi di sekolah ini biasa-biasa saja dan bahkan saat ulangan harian matematika nilai ketuntasannya tidak memenuhi. Akhirnya harus mengikuti remedial, hal ini membuat kami ingin mengetahui lebih lanjut mengenai kondisi yang dialami siswa tersebut. Banyak hal yang membuat siswa seperti pernyataan di atas, terkadang menyikapi kondisi lingkungan merasa belum siap. Apalagi siswayang masih bersosialisasi dengan keluarga baru di asrama SMA Negeri Modal Bangsa. Rasa kecewa, malu, amarah, dan perasaan-perasaan negatif lain bersumber pada ketidakmampuan anak mengenali dan mengelola emosi,serta memotivasi diri. Kecerdasan emosional siswa memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar siswa. Kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya, kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan ini yang mendukung seorang siswa dalam mencapai tujuan dan citacitanya. Perbedaan yang paling penting antara IQ dan EQ yaitu EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan para pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang besar untuk meraih prestasi. Walaupun otak emosi dan otak logika sering manjalankan fungsi-fungsi yang berbeda dalam menentukan perilaku kita, namun keduanya saling bergantung. Bagian otak pengatur emosi bereaksi lebih cepat dan lebih kuat. Emosi mempunyai peran khusus dalam perkembangan seorang anak untuk menjadi manusia dewasa yang bahagia dan berhasil. Kita juga tahu bahwa perkembangan emosi bisa kearah yang sangat buruk, yang membuatnya menderita akibat berbagai masalah baik pribadi maupun sosial. Mengajari anak memahami dan mengkomunikasikan emosinya akan mempengaruhi banyak aspek dalam perkembangan dan keberhasilan hidup mereka. Di sekolah, siswa SMA mengalami proses pembelajaran matematika,meskipun belajar matematika merupakan suatu proses pembentukankonstruksi kognitif yang dialami oleh masing masing siswa, tetapi dalamprosesnya siswa tidak lepas dari pengendalian dan pengelolaan emosidiri. Siswa berkomunikasi dengan teman, guru di dalam kelas dan kepeduliansatu sama lain merupakan bentuk emosi dalam kelas yang baik. Pengelolaan emosi yang selanjutnya dinamakan sebagai kecerdasan emosional yang tinggi akan berpengaruh terhadap cara cara siswa dalam belajar matematika. Sehingga diduga bahwa kecerdasan emosional yang tinggi merupakan salah satu faktor penentuan prestasi belajar matematika siswa. Berdasarkan uraian diatas, kami ingin mengadakan penelitian dengan judul Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa di Kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah kecerdasan emosional berpengaruh terhadap prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa dan bagaimana hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematikasiswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. 2. Tinjauan Pustaka Prestasi belajar Dalam dunia pendidikan dan pengajaran, prestasi belajar memegang peranan penting. Prestasi belajar pada dasarnya merupakan hasil yang telah dicapai oleh siswa melalui kegiatan belajar, yang dapat dilakukan secara individu dan secara kelompok. Prestasi belajar paling tidak memiliki dua ciri yaitu adanya suatu tindakan baik yang dilakukan secara individu atau secara kelompok dan adanya suatu hasil. 82

83 Kecerdasan emosional Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Konsep inilah yang menyebar luas dikalangan masyarakat kelas berpendidikan. Shapiro (2003:7) mengatakan, keterampilan EQ yang sama untuk membuat siswa yang bersemangat tinggi dalam belajar, atau untuk disukai oleh teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk ke dunia kerja atau ketika sudah berkeluarga. Kecerdasan emosional itu menyangkut keterampilan bersosialisasi. Manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan. Tak ada orang yang tidak membutuhkan petani yang menjual beras dan sebaliknya juga petani membutuhkan orang untuk membeli berasnya. Goleman (2002:512) mengatakan, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kecerdasan emosional adalah kemampuan siswa untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama) dengan orang lain. Komponen kecerdasan emosional Goleman (dalam Nggermanto, 2005:100) mengemukakan bahwa dalam kecerdasan emosi terdapat lima komponen penting dan kombinasi dari masing-masing komponen ini memiliki nilai yang lebih penting dari IQ. Elemen tersebut adalah: kesadaran diri, manajemen emosi, motivasi, empati, dan mengatur hubungan/relasi. Kelima komponen ini yang sama-sama harus ditingkatkan sehingga selaras dengan IQ kita sendiri. Goleman (2007:57) membagi kecerdasan emosional menjadi lima bagian yaitu tiga komponen berupa kompetensi emosional (pengenalan diri, pengendalian diri dan motivasi) dan dua komponen berupa kompetensi sosial (empati dan keterampilan sosial). Lima komponen kecerdasan emosional tersebut adalah sebagai berikut: Pengenalan Diri (Self Awareness) Pengenalan diri adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan dalam dirinya dan digunakan untuk membuat keputusan bagi diri sendiri, memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan memiliki kepercayaan diri yang kuat. Pengenalan diri dapat disebut juga dengan kesadaran diri. Mayer (dalam Goleman, 2007:64) mengatakan, Kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi. Unsur-unsur kesadaran diri, yaitu: a. Kesadaran emosi (emosional awareness), yaitu mengenali emosinya sendiri dan efeknya. b. Penilaian diri secara teliti (accurate self awareness), yaitu mengetahui kekuatan dan batas-batas diri sendiri. c. Percaya diri (self confidence), yaitu keyakinan tentang harga diri dan kemampuan sendiri. 1) Pengendalian Diri (Self Regulation) Pengendalian diri adalah kemampuan menangani emosi diri sehingga berdampak positif pada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati, sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, dan mampu segera pulih dari tekanan emosi. Emosi berlebihan yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2007:7). Unsur-unsur pengendalian diri, yaitu: 83

84 a. Kendali diri (self-control), yaitu mengelola emosi dan desakan hati yang merusak. b. Sifat dapat dipercaya (trustworthiness), yaitu memelihara norma kejujuran dan integritas. c. Kehati-hatian (conscientiousness), yaitu bertanggung jawab atas kinerja pribadi. d. Adaptabilitas (adaptability), yaitu keluwesan dalam menghadapi perubahan. e. Inovasi (innovation), yaitu mudah menerima dan terbuka terhadap gagasan, pendekatan, dan informasi-informasi baru. 2) Motivasi (Motivation) Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat agar setiap saat dapat membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih baik, serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif. Unsur-unsur motivasi, yaitu: a. Dorongan prestasi (achievement drive), yaitu dorongan untuk menjadi lebih baik atau memenuhi standar keberhasilan. b. Komitmen (commitmen), yaitu menyesuaikan diri dengan sasaran kelompok atau lembaga. c. Inisiatif (initiative), yaitu kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan. d. Optimisme (optimisme), yaitu kegigihan dalam memperjuangkan sasaran kendati ada halangan dan kegagalan. 3) Empati (Emphaty) Empati adalah kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Mampu memahami perspektif orang lain dan menimbulkan hubungan saling percaya, serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe individu. Goleman (2007:57) mengatakan, Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain. Unsur-unsur empati, yaitu: a. Memahami orang lain (understanding others), yaitu mengindra perasaan dan perspektif orang lain dan menunjukkan minat aktif terhadap kepentingan mereka. b. Mengembangkan orang lain (developing other), yaitu merasakan kebutuhan perkembangan orang lain dan berusaha menumbuhkan kemampuan orang lain. c. Orientasi pelayanan (service orientation), yaitu mengantisipasi, mengenali, dan berusaha memenuhi kebutuhan pelanggan. d. Memanfaatkan keragaman (leveraging diversity), yaitu menumbuhkan peluang melalui pergaulan dengan bermacam-macam orang. e. Kesadaran politis (political awareness), yaitu mampu membaca arus-arus emisi sebuah kelompok dan hubungannya dengan perasaan. 4) Keterampilan Sosial/ Membina Hubungan (Social Skills) Goleman (2007:59) mengatakan, Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Keterampilan sosial merupakan kemampuan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, bisa mempengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelasaikan perselisihan, dan bekerjasama dalam tim. Unsur-unsur keterampilan sosial, yaitu: a. Pengaruh (influence), yaitu memiliki taktik untuk melakukan persuasi. b. Komunikasi (communication), yaitu mengirim pesan yang jelas dan meyakinkan. c. Manajemen konflik (conflict management), yaitu negoisasi dan pemecahan silang pendapat. d. Kepemimpinan (leadership), yaitu membangitkan inspirasi dan memandu kelompok dan orang lain. e. Katalisator perubahan (change catalyst), yaitu memulai dan mengelola perusahaan. f. Membangun hubungan (building bond), yaitu menumbuhkan hubungan yang bermanfaat. 84

85 g. Kolaborasi dan kooperasi (collaboration and cooperation), yaitu kerjasama dengan orang lain demi tujuan bersama. h. Kemampuan tim (tim capabilities), yaitu menciptakan sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. Pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar Margasari dkk. (2009:23) mengemukakan bahwa dalam penelitiannya yang berjudul Pengaruh kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar mahasiswa dengan jenis kelamin dan level akademis sebagai variabel pemoderasi: studi empiris pada mahasiswa universitas negeri Yogyakarta yang hipotesis awalnya mengatakan bahwa kecerdasan emosional secara positif berpengaruh terhadap prestasi belajar mahasiswa. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa pengaruh positif dari kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar juga merupakan faktor penting yang tidak boleh ditinggalkan. Hal ini menunjukkan perkembangan kecerdasan emosional dapat diperhatikan juga selain faktor-faktor intelektualitas setiap siswa. Hubungan antara kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika Kecerdasan emosional yang tinggi memiliki kesadaran tentang kelemahan dan kekuatan diri serta berorientasi kearah perbaikan diri. Siswa yang demikian mampu mengelola emosinya artinya mampu menahan diri pada waktu emosinya bergejolak, dan sebaliknya mampu bersegera untuk menghilangkan emosi negatif. Membantu teman yang menemui kesulitan dalam belajar sebagai bentuk mengenali emosi temannya dan sekaligus membina hubungan dengan sesama teman. Usaha membantu teman dalam mengatasi kesulitan belajar secara tidak langsung merupakan pemantapan pengetahuan yang telah dimiliki. 3. Metode Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, hal ini sesuai dengan pendapat Margono (2009:105), Penelitian kuantitatif adalah suatu proses menemukan pengetahuan yang menggunakan data berupa angka sebagai alat menentukan keterangan mengenai apa yang ingin kita ketahui. Adapun hal ini sesuai dengan penelitian kami yaitu mencari data kecerdasan emosional yang akan diangkakan berdasarkan pernyataan angket yang sudah disesuaikan. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data subjek. Data subjek adalah jenis data penelitian yang berupa opini, sikap, pengalaman atau karakteristik dari seseorang atau sekelompok orang yang menjadi subjek penelitian atau responden (Indriantoro dan Supomo, 2000:46). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/ siswi SMA Negeri Modal Bangsa kelas X-1, X-2, dan X-3. Penelitian ini mengambil sampel siswa/ siswi kelas X dengan persentase 30% perkelas dari SMA Negeri Modal Bangsa. Alasan pemilihan sampel ini karena setiap kelas ada yang mewakili maksud dan tujuan tertentu. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan dokumentasi. No. Tabel 1Kisi-kisi Angket Kecerdasan Emosional Komponen Kecerdasan Emosional Pernyataan Jumlah Positif Negatif 1. Kemampuan untuk mengenali emosi diri 1, 2, 3, 5, 7 4, 6, 8, Kemampuan untuk mengelola emosi diri 10, 14, 16, 17, 18, 19, 20, Kemampuan untuk memotivasi diri 23, 24, 25, 26, sendiri 27, 29, 30, 31, 33, 34 11, 12, 13, 15, , 32, 12 85

86 4. Kemampuan untuk mengenali emosi 38, 40, 41 35, 36, 37, 39 7 orang lain 5. Kemampuan untuk membina hubungan 42, 47 43, 44, 45, 46, 9 48, 49, 50 JUMLAH Berdasarkan uraian di atas angket pada penelitian terdiri dari 50 pernyataan dengan kategori pernyataan positif dan pernyataan negatif. Untuk jawaban pernyataan positif Sangat Setuju (SS) bernilai 4, Setuju (S) bernilai 3, Tidak Setuju (TS) bernilai 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 1. Sedangkan untuk jawaban pernyataan negatif Sangat Tidak Setuju (STS) bernilai 4, Tidak Setuju (TS) bernilai 3, Setuju (S) bernilai 2, dan Sangat Setuju (SS) bernilai 1. Dalam hal penskoran, nilai berdasarkan kategori Likert tersebut akan menghasilkan nilai maksimum 200 sehingga dijadikan nilai tertinggi itu adalah 100 dengan cara nilai berdasarkan Likert dibagi 100 nilai keseluruhan kemudian dikalikan dengan banyaknya soal ( 50). 100 Suharso (2009:104) mengatakan, Dokumentasi adalah data yang disimpan dalam bentuk dokumen atau file (catatan konvensional maupun elektronik), buku, tulisan, laporan, notulen rapat, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya. Teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data prestasi belajar siswa pada mata pelajaran matematika, yaitu nilai matematika wajib di semester gasal yang berupa nilai mentah (belum diolah) di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang termasuk dalam sampel penelitian. Data dari hasil angket dan dokumentasi yang diperoleh diolah dengan menggunakan statistik. Data penelitian tersebut akan diolah sebagai berikut: 1) Mencari rata-rata (x ) Mencari rata-rata dari nilai kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa. Untuk data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005: 70), nilai rata-rata (x ) dihitung dengan menggunakan rumus: x = f ix i f i Keterangan: x = rata rata f i = banyak siswa dalam interval tertentu x i = nilai tengah atau tanda kelas interval 2) Menghitung varians (s 2 ) dan simpangan baku (s) Mencari standar deviasi (simpangan baku) dari nilai kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika siswa. Pangkat dua dari simpangan baku dinamakan varians (Sudjana, 2005: 93). Untuk mencari standar deviasi (simpangan baku) s dari varians s 2 menurut Sudjana (2005: 95) adalah: s 2 = n f ix i 2 ( f i x i ) 2 n(n 1) Keterangan: s 2 = varians n = banyak data 3) Uji validitas Uji validitas digunakan untuk mengukur sah atau valid tidaknya suatu angket. Suatu angket dikatakan valid jika pernyataan pada angket mampu mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh angket tersebut. Sukardi (2009:31), Validitas suatu instrumen evaluasi, tidak lain adalah derajat yang menunjukkan di mana suatu tes mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian yang akan diteliti pengukuran validitas dilakukan dengan melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk variabel. 86

87 4) Uji normalitas Menguji normalitas kedua variabel, yaitu variabel X dan Y dengan menggunakan uji Chi kuadrat, menurut Sudjana (2005:273) adalah: X 2 = (O i E i ) 2 E i Keterangan: X 2 = statistik chi kuadrat O i = frekuensi pengamatan E i = frekuensi yang diharapkan 5) Uji linieritas Mencari hubungan kedua variabel tersebut pada garis lurus, disebut juga regresi linear. Untuk mencari rumus regresi linear menurut Irianto (2010:156) adalah: ŷ = a + bx Dengan: a = ŷ bx b = n( X iy i ) ( X i )( Y i ) n X 2 i ( X i ) 2 Keterangan: y = prestasi belajar matematika siswa X = kecerdasan emosional a, b = bilangan konstanta yang akan dicari 6) Uji Korelasi Product Moment Mencari koefisien korelasi antara pengaruh kecerdasan emosional dan prestasi belajar matematika siswa. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson yang dikemukakan oleh Arikunto (2010:319) yaitu: N XY X. Y r xy = (N X 2 ( X) 2 )(N Y 2 ( Y) 2 ) Keterangan: r = harga koefisien korelasi antara X dan Y X = harga X (Kecerdasan emosional) Y = harga Y (prestasi belajar matematika siswa) N = jumlah sampel penelitian XY = jumlah product dari X dan Y Langkah selanjutnya yaitu menginterprestasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r. Ada dua cara menginterpretasikan nilai r yaitu dengan cara sederhana dan dengan cara mengkonsultasikan nilai r ke table t- Product moment. Interpretasi secara sederhana yaitu menggunakan pedoman atau ancar-ancar, menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2 Interpretasi Nilai r Nilai Koefisien + 0,70 ke atas Penjelasannya A very strong positive association (hubungan positif yang sangat kuat) + 0, ,69 A substantial positive association (hubungan positif yang kuat) + 0, ,49 A moderate positive association (hubungan positif yang sedang) + 0, ,29 A low positive association (hubungan positif yang tak berarti) 0,0 No association (tidak ada hubungan) -0, A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti) 87

88 -0, ,29 A low negative association (hubungan negatif yang rendah) -0, ,49 A moderate negative association (hubungan negatif yang) -0, ,59 A substansial negative association (hubungan negatif yang kuat) A vey strong negative association (hubungan negatif yang sangat - 0,70 - -ke bawah kuat) (Sumber: Bungin, 2011:194) 7) Uji Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sugiono (2010:259) rumus uji-t tersebut adalah: t = r n 2 1 r 2 Keterangan: t = hasil hitung distribusi koefisien korelasi n = jumlah sampel yang diteliti r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y 4. Hasil dan Pembahasan Dalam penelitian ini, kami menganalisis pengaruh kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Penelitian ini dilakukan sebanyak satu kali tahap pada setiap kelas X namun hanya beberapa orang yang menjadi sampel penelitian. Tahapan yang dimaksud adalah pengisian angket kecerdasan emosional untuk mengetahui seberapa besar kecerdasan emosional yang ada pada siswa. Hal penting lainnya seperti mengetahui prestasi belajar siswa diperoleh dari guru matematika terkait nilai mentah ujian matematika semester gasal di kelas X. Sehubungan dengan itu, dari nilai prestasi belajar siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa yang terpilih menjadi sampel penelitian sebanyak 27 siswa. Terdapat 19 diantaranya yang tuntas secara individu, sedangkan 8 Siswa lainnya belum tuntas secara individu. Kontribusi kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar masih rendah yaitu 20%, ini disebabkan oleh banyaknya faktor lain yang mempengaruhi prestasi belajar itu sendiri selain faktor kecerdasan emosional. Prestasi belajar menunjukkan taraf kemampuan siswa dalam mengikuti program belajar dalam waktu tertentu sesuai kurikulum 2013 yang telah diterapkan di SMA Negeri Modal Bangsa. Berdasarkan perhitungan dan analisa data dapat dilihat bahwa ada pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa, dengan demikian sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Richard hermstein dan Charles Murray dalam bukunya The Bell Curve, yang menaruh bobot penting pada IQ, menurut mereka setinggitingginya IQ menyumbang 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal: yang pertama sistem pendidikan yang diterapkan di SMA Negeri Modal Bangsa sudah berorientasi pada pengembangan kecerdasan emosional yang didukung oleh penerapan kurikulum 2013 dalam proses belajar mengajar. Pendidik menyadari bahwa proses belajar adalah proses kejiwaan yang sangat penuh nuansa emosi. Yang dibutuhkan sekarang ini adalah bagaimana agar anak didik tidak hanya pintar dalam intelektual, tetapi juga berkembang dalam hal emosinya. Dengan demikian anak akan lebih cepat bersosialisasi, mandiri dan kreatif. Kemudian penilaian yang dilakukan di sekolah untuk ketrampilan sosial sudah dilakukan penilaian. Selain itu banyak tenaga pendidik di SMA Negeri Modal Bangsa mengaplikasikan peranan emosi terhadap suatu mata pelajaran dalam lingkup pendidikan, sehingga mereka mampu menanggapi emosi 88

89 yang dialami siswa. Kemudian siswa sendiri memiliki jam untuk bimbingan konseling sehingga mereka memperoleh pendidikan pengenalan emosi di sekolah. Hal seperti ini sangat mempengaruhi secara nyata ketika materi pelajaran diberikan di kelas, sedangkan empati dan ketrampilan sosial sangat berpengaruh dalam mengerjakan tugas kelompok, baik di dalam maupun di luar kelas. Terlihat jelas bahwa berpengaruh kecerdasan emosional anak terhadap prestasi belajar sehingga dapat dimanfaatkan sebagai aspek penting penunjang keberhasilan dalam pembelajaran siswa. Selain itu dalam kerangka berpikir dipaparkan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi prestasi belajar. Salah satunya adalah tingkat kecerdasan emosional. Ternyata dalam penelitian ini ditemukan kecerdasan emosional berpengaruh signifikan terhadap prestasi belajar. Dalam hal lain, ada faktorfaktor lain yang mempengaruhinya seperti perhatian, minat, bakat, kematangan, kesiapan, dan lain-lain. Berdasarkan analisis data penelitian menunjukkan angka koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,4152. Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan tidaknya harga koefisien korelasi. Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Betapa pun kecilnya indeks korelasi. Jika bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variabel yang dikorelasikan, terdapat adanya korelasi (Arikunto, 2010:322). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat pengaruh atau korelasi antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Arikunto (2010:322) mengatakan, Arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan (minus). Tanda + menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda menunjukkan korelasi sejajar berlawanan arah. Berdasarkan nilai r yang diperoleh memperlihatkan bahw nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi positif (searah) antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa dan bermakna makin tinggi nilai kecerdasan emosional maka semakin tinggi nilai prestasi belajar matematika siswa. Selain itu pengujian hipotesis memperlihatkan bahwa kerja H a diterima, yakni terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasi secara kasar/sederhana ataupun dengan menggunakan tabel nilai r-product-moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dapat memperlihatkan besarnya nilai r yaitu 0,42, ternyata terletak antara +0, ,49. Berdasarkan interpretasi yang dikemukakan oleh Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa antara variabel X dan variabel Y adalah termasuk korelasi positif yang sedang. Berdasarkan hasil tersebut maka dinyatakan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. 5. Kesimpulan Terdapat pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai r = 0,4152, yang menyatakan bahwa ada hubungan yang positif sedang antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar matematika siswa di kelas X SMA Negeri Modal Bangsa. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan Metodelogi pendidikan kuantitatif: komunikasi, ekonomi, dan kebijakan public serta ilmu-ilmu social lainnya. Jakarta: Kencana. Gardner, Howard Multiple Intelligences (Kecerdasan Majemuk) Teori dalam Praktek. Batam: Interaksara. Goleman, Daniel Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 89

90 Goleman, Daniel Emotional Intelligence (Kecerdasan Emosional) Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Indriantoro, Nur dan Supomo, Bambang Metodologi Penelitian Bisnis: untuk Akuntansi dan Managemen. Yogyakarta: BPFE. Margasari dkk. (2009). Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa dengan Jenis Kelamin dan Level Akademis sebagai Variabel Pemoderasi: Studi Empiris pada Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Di akses [pada 14 Agustus 2013, dari alamat, ENGARUH%20EI%20TERHADAP%20PRESTASI%20BM.pdf. Margono Metodologi Penelitian Pendidikan Komponen MKDK. Jakarta: Rineka Cipta. Nggermanto.Agus, Quantum Quotient Kecerdasan Quantum Cara Praktis Melijitkan IQ, EQ, SQ yang Harmonis. Bandung: Nuansa. Ronnie M, Dani The Power of Emotional and Adversity Quotient for Teachers.Kebon Jeruk: PT Mizan Publika. Reber S., Arthur dan Emily S. Reber Kamus Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shapiro E., Lawrence Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Sugiono Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta. Suharsono, Puguh Metode Penelitian Kuantitatif untuk Bisnis: Pendekatan Filosofi dan Praktis. Jakarta: PT Indeks. 90

91 MENINGKATKAN PENALARAN GEOMETRI SPASIAL SISWA DALAM PEMBELAJARAN BANGUN RUANG DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Khairul Umam 1, Suryawati 1, M. Hasbi 1, dan Juanda BJ 1 1 Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh juandabj@fkip.unsyiah.ac.id Background of study The concept of spatial thinking is very interesting to discuss. Spatial thinking is an active process in which the elements about think and act in a space that tied (Claire H. Jarvis, 2011). Spatial thinking is a collection of cognitive skills, which consists : a combination of three elements, namely spatial concepts, tools of representation, and reasoning processes (National Academy of Science, 2006). To understand the detail of three-dimensional object properly, someone must have a spatial ability. But not everyone has the good spatial ability, even among them there is no way to recognize the longer form of the three-dimensional shape of the object if the same three-dimensional images drawn from different angle. Because of these problems, many students difficulty to grasp objects or geometry images. Spatial ability is a concept in spatial thinking. Linn and Petersen (the National Academy of Science, 2006) classify spatial capabilities into three categories: (1) spatial perception, (2) mental rotation, and (3) spatial visualization. Viewed in the context of mathematics especially geometry, it is very important for the spatial abilities improved, it is referring to the results of research conducted by the (National Academy of Science, 2006), in this study stated that every student should strive to develop skills and spatial sensing, it is very useful in the discussion of the relation and the properties of the geometry in solving mathematical problems and problems in everyday life. (Hannafin, et al, 2008) found that students with high spatial ability has a level significantly higher math skills. In a study conducted by (Nuran Guzel and Ersin Sener, 2009), this research was conducted to see "High school students spatial ability and creativity in geometry", the purpose of this study was to investigate the potential of high creativity and low spatial ability students in geometry. This study was conducted among 145, grade 10, 11, and 12 students during mathematics and geometry courses in high school and the application of research has three phases. This study took place at two high schools and two high schools Anatolia. 50 Biga Ataturk Anatolian High School (BAAL), 49 Biga Anatolian High School (BAL), 23, Mehmet Akif Ersoy High School (Mael), and 23 New Biga High School (YBL). The first part of this study consisted of three questions geometry in the range from easy to difficult. Students were given three different time periods to answer every question that are : easy, very easy, and difficult. Students are supposed to solve the question "very easy" within 5 minutes, the question of "easy" in 7 minutes, and the question of "difficult" in 8 minutes and they were supposed to produce a different way for each solution as many questions as they can. Each question in this application is governed in a way that students can imagine a different way of solution in their mind while solving the question. In the second phase of the study, a survey with 6 questions applied. This survey is proposed to examine students views about mathematics and mathematics questions, and the different paths they use to solve the questions. The students were asked to answer questions by selecting the appropriate option from the following options: 1: Strongly Agree, 2: Agree, 3: Disagree: 4: Strongly Disagree. The final stage of the study, the test consists of 20 questions that applied to students in order to measure the level of students' spatial abilities. Time range for this test is 20 minutes. This test is designed to see how well students are able to visualize the rotation of three-dimensional objects. There are the examples of questions in the begining of the test. In each question, first, the students should understand how the objects in the playing. Then, students must draw in their mind about how the objects in the second line 91

92 will look like when played in the same way as it is in the top row. Finally, students were asked to select an object that is given in the third row who looks like a rotated version of the object in the second row in the correct position based on the pattern in the first row. Each question is mutually exclusive and have 5 choices. On the results of the study, Tabel.1 shows the average number of different solution methods for geometry questions based on Spatial Ability. Geometry Question 1 Geometry Question 2 N Mean SD Mean SD Lower ability 54 3,0* 1,1 0,4 0,6 Higher ability 91 3,4* 1,1 0,5 0,6 *p<0,05 Students who got higher score on spatial abilities of 11 is encoded as high spatial ability students, whereas students with the ability score equal to or lower than 11 are coded as low spatial ability students. The high spatial ability students are more able to find a different method than the lower group. Table 2 One-way ANOVA on mathematics test scores, scores geometry, algebra scores, statistics and probability and arithmetic scores. Sum of Squares df Mean Square F Between 414, ,1 11,6* Within 1675, ,8 Total 2090,2 144 The findings were no significant differences between schools based on students' spatial ability. (F = 11.6; df = 3, 144, p = 0.0). Students in BAAL have higher spatial ability than any other school students. As a result, students in BAAL have found more one methods question compared with other school students. In a study (Aytaç Kurtulu and Canda Uygan, 2010) entitled "Effect of Google SketchUp in geometrybased activities and projects on students' spatial visualization skills of mathematics teachers", the study aimed to determine the effect on the SketchUp geometry-based activities and projects in students' spatial visualization skills math teacher, this is an experimental research model pretest-posttest design with a control group. Both of the two groups, including twenty-four each student math teacher. To obtain the data, Santa Barbara solid test designed by Cohen and Hagarty to measure the ability to identify crosssectional 2D slices of 3D objects used (Picture.1) Picture.1: sample from santa barbara solid test In the instruction of the experimental group, activity-based problems are solved by using dynamic tools and project studies done on SketchUp environment while the activities of traditional geometry applied to the control group using only paper and pencil. Before instruction, the researchers introduce the basic tools and demonstrate the use of software for the experimental group. After that, the students made a practice in software to gain experience on how to use the toolbar and build the base object. Next lesson 92

93 students solve the problem of solid objects by manipulating and analyzing simulation of 3D objects in a dynamic environment. SketchUp on this lesson gives students the same opportunity as the sketch, rotate and cut solid objects. On the other hand, the control group solved the same problem on paper without getting help from a computer or appliance if any dynamic material. In the research project, the first experimental group designed building has a different geometric shapes and complex in SketchUp, then measured their surface area and volume using software measurement tools and redrawing the surface of a particular point of view on their own paper. At the end of the lesson, the students in the experimental group made a virtual presentation of their products to researchers (Picture.2) Picture.2: The sample from students To reveal whether there are significant differences between the experimental group pretest scores and the control group, Mann Whitney U test applied to the data. Analyzing the results gathered in tabel.3 below. N S.D. Z P Experimental Group Control Group P > 0.05 Tabel.3: Results of Mann Whitney U test on pretest scores the experimental group and the control group According tabel.3, the average score of the control group rate was points higher than the control group and the standard deviation of the experimental and control groups, respectively and In addition, Z is calculated as degrees while the degree of significance p was found to be Due to the fact that the significance level p was higher than 0.05, it is seen that the difference between the mean value of the two groups were not significant. In order to determine if the difference between pretest and posttest score of the experimental group were significant, Wilcoxon test used and the findings presented at tabel.4 out below. X P < 0.05 Experimental Group N X S.D. Z P Pretest Posttest Tabel.4: Wilcoxon s test results on the value of the experimental group pretest and posttest In reference to tabel.4, it is clear that the average posttest score 5,468 points higher than the average pretest score. Also, the standard deviation of the pretest and posttest scores was found to be respectively and In addition to that title Z detected as and significance level p was found to be Seeing that a significant level of p less than 0.05, there is a significant difference between pretest and posttest scores in favor of posttest scores. 93

94 So, to see if there is a significant difference between pretest and posttest score of the control group, the Wilcoxon test is applied again. Tabel.5 below shows the test results. P > 0.05 X Control Group N S.D. Z P Pretest Posttest Tabel.5: Wilcoxon s test results on the value of the pretest and posttest control group Such as tabel.5, standard deviation scores pretest and posttest respectively and Also the title of Z is calculated as and significance of p is detected as 0116 degrees. Because p level significantly higher than 0.05, the difference in points between as the average posttest score and the average value was not significant pretest scores. In an attempt to see if there is a significant difference between the posttest score of the experimental group and the control group, Mann Whitney U test performed on the data. The finding seen in tabel.6 below. N S.D. Z P Experimental Group Control Group P < 0.05 Tabel.6: Results of Mann Whitney U test on the posttest score of the experimental group and the control group According tabel.6, the average value of the experimental group posttest score is 3,042 points higher than the control group. In addition, the standard deviation of the experimental group was found to be while the standard deviation of the control group was calculated as It is also clear that the degree and significance Z is degrees p is 0.025, lower than So it was determined that a significant difference between the posttest scores in favor of the experimental group. According to the findings, and project-based activities SketchUp affect spatial visualization skills. Confirmed positive student math skills. It can be concluded 2D slices of 3D objects. On the other hand, that the conventional applications where static tools examples of paper, board and used two-dimensional images do not provide a significant effect on students' spatial visualization abilities. Results in the context of SketchUp can be used as well as beneficial for improving students' spatial abilities. And, the results of using the software more effectively in a dynamic 3D spatial abilities than using conventional media. From this background the author wants to do research at Senior High School to find appropriate methods and media and is ideal for use in conducting learning. The Objective of the Study 1. Seeing the students understanding the spatial understanding/mastering geometry objects. 2. Improve spatial understanding of students in understanding the geometry with the help of Google SketchUp software media in learning. 3. Comparing the level of spatial s understanding and the ability of students to solve problems in the geometry of three-dimensional materials that use Google SketchUp software media with the use of conventional media. 4. Students' ability in understand the content, form, and rotation of geometrical objects. Methodology of the Research The following are the steps that will be used to conduct this research, 1. Randomly select two Senior high school level which is the object of research. 2. Perform pre-test to students in some classes in order to find two homogeneous classes of each school to be the object of research 94 X

95 3. From the two classes are the object of research will be considered each experimental class and the control class. 4. Experimental class will use the media software as a learning tool in doing. 5. Control class still use conventional media in doing the learning. 6. Assess and perform data processing of the sample assessment to get the results that students became the object of the study has good spatial geometry capabilities or not. 7. Furthermore find the best solution by using computer programming to create the most suitable media and is ideal for teachers or students in the learning process by increasing teacher performance and student learning outcomes in the classroom. References Aytaç Kurtulu and Canda Uygan (2010). The effects of Google Sketchup based geometry activities and projects on spatial visualization ability of student mathematics teachers. Claire H. Jarvis (2011). Spatial Literacy and the Postgraduate GIS Curriculum. Hannafin, et al, (2008). Effects of Spatial Ability and Instructional Program on Geometry Achievement. National Academy of Science (2006). Learning to Think Spatially, Washington DC : The National Academics Press. Nuran Guzel and Ersin Sener (2009). High school students spatial ability and creativity in geometry. 95

96 TINGKAT BERPIKIR DAN KESULITAN SISWA PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS XI SMA LABORATORIUM UNSYIAH BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Intan Sari 1 dan Suryawati 1 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh intnsmangt@yahoo.co.id Abstrak. Trigonometri merupakan materi yang diajarkan di kelas XI SMA yang sangat penting untuk dipelajari karena memiliki banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari dan berguna untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Fakta di lapangan menunjukkan hasil yang memprihatinkan dalam pembelajaran trigonometri. Banyak siswa yang belum mencapai nilai KKM dan hasil belajar siswa yang belum memuaskan. Penelitian ini berjudul Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa Pada Materi Trigonometri di Kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana tingkat berpikir siswa, mendeskripsikan kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir,dan mengidentifikasi penyebab kesulitan yang dialami siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini berbentuk deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Instrumen yang digunakan dalam penelitian berupa tes dan wawancaradengan mengambil subjek 30 siswa. Tes dilakukan untuk mengetahui penguasaan dan kesulitan siswa sedangkan wawancara digunakan untuk mengetahui penyebab kesulitan siswa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6 (evaluasi)mengalami kesulitan dalam penerapan prinsip. Dari hasil wawancara diperoleh informasi bahwa penyebab kesulitan yang dialami siswa antara lain 1) pemahaman konsep dasar trigonometri yang rendah; 2) kurangnya minat/kemauan; 3) kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri; 4) kesulitan menganalisis soal cerita; 5) materi yang sulit difahami; 6) persepsi yang salah tentang trigonometri; 7) jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh; dan 8) pembelajaran trigonometri yang agak monoton. Kata kunci: Tingkat Berpikir, Kesulitan Siswa, Trigonometri. 1. Pendahuluan Pendidikan merupakan salah satu komponen terpenting dalam menentukan kemajuan suatu bangsa. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang, baik sebagai makhluk individhu maupun kelompok. Hal ini dikarenakan pendidikan dapat membentuk kepribadian manusia sehingga memungkinkan manusia itu tumbuh menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif.pendidikan juga dapat didefenisikan sebagai proses untuk mendapatkan pengetahuan. Syah (2006:10) mengemukakan, Pendidikan dapat diartikan sebagai sebuah proses dengan metode-metode tertentu sehingga orang memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku yang sesuai dengan kebutuhan. Trigonometri adalah salah satu materi matematika yang diajarkan di kelas XI SMA. Materi ini sangat penting untuk dipelajari bukan hanya karena menjadi bahan ujian, tapi karena materi inimemiliki banyak kontribusi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang hal yang sederhana seperti perhitungan ketinggian pohon sampai hal yang kompleks seperti penentuan arah kiblat suatu tempat pada bidang astronomi. Terkait dengan kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri, Afdanun (2010:52) di SMA 6 Banda Aceh menyimpulkan, salah satu penyebab kesulitan yang mendominasi siswa dalam mempelajari materi trigonometri adalah kesulitan menggunakan konsep. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Adnin (2010:49) di SMA 13 Banda Aceh menyimpulkan, berdasarkan hasil penelitian maka siswa SMA 13 Banda Aceh pada umumnya mengalami kesulitan menggunakan prinsip pada pembelajaran 96

97 trigonometri. Berdasarkan beberapa temuan di atas, dapat disimpulkan bahwa siswa menengah ke atas pada umumnya mengalami kesulitan dalam mempelajari materi trigonometri. SMA Laboratorium Unsyiah adalah salah satu sekolah yang bergengsi di Banda Aceh karena dikenal dengan kualitas siswanya dan keprofesionalan tenaga pengajarnya. SMA ini juga merupakan salah satu sekolah yang telah menyandang gelar Sekolah Standar Nasional (SSN) dan telah dipercaya oleh dinas pendidikan untuk menerapkan kurikulum Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan selama PPL di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh, diperoleh informasi bahwa ternyata banyak siswa-siswa yang tidak menyukai trigonometri dan mengalami kesulitan dalam mempelajarinya. Hal ini terbukti dengan banyak siswa yang belum mencapai KKM dan hasil belajar siswa yang belum memuaskan. Tidak hanya itu, ketika guru menginformasikan bahwa trigonometri akan dipelajari pada semester ganjil, siswa-siswa langsung mengeluh. Salah satu yang menunjang keberhasilan pembelajaran adalah kemampuan intelektual siswa. Kemampuan ini menyangkut kemampuan untuk mengingat kembali, memahami, memanipulasinya, menggeneralisasi, dan masih banyak lagi. Slameto (2010:56) mengungkapkan, Inteligensi besar pengaruhnya terhadap kemajuan belajar. Dalam situasi yang sama, siswa mempunyai tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi rendah. Saat siswa mengalami kesulitan dalam pembelajaran, kebanyakan guru hanya fokus untuk meneliti kesulitan siswa tanpa mencari tahu tingkat berpikir siswa. Padahal, dengan mengetahui tingkat berpikir siswa, guru bisa memaksimalkan kemampuan berpikir siswa sampai pada taraf yang paling tinggi, sehingga ilmu atau fakta yang mereka dapatkan secara parsial atau terpisah dapat dijadikan bahan masukan dalam setiap pemecahan masalah yang mereka hadapi dalam kehidupan sehari-hari secara komprehensif dan terintegrasi. Oleh karena itu, selain harus mengetahui penyebab dan cara mengatasi kesulitan siswa, seorang guru juga harus mengetahui tingkat berpikir siswanya. Berdasarkan permasalahan di atas, penulis merasa penting untuk mengetahui tingkat berpikir dan kesulitan siswa siswa dalam menyelesaikan soal-soal trigonometri. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai Tingkat Berpikir dan Kesulitan Siswa pada Materi Trigonometridi Kelas XISMALaboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalahsejauh manakah tingkat berpikir siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014, kesulitan apakah yang dialami siswa disetiap tingkat berpikir pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 dan apa penyebab terjadinya kesulitan siswa pada materi trigonometri di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh tahun pelajaran 2013/ Tinjauan Pustaka Tingkat berpikir siswa Taksonomi Bloom adalah salah satu pendekatan psikologik yang dipopulerkan oleh Benjamin S Bloom untuk melihat tingkat berpikir siswa. Bloom membagi tujuan belajar menjadi 3 domain, yaitu cognitive domain, affective domain, dan psycho-motor domain. Dalam penelitian ini, kita hanya akan fokus untuk membahas pada aspek kognitif saja. Adapun Bloom (dalam Arikunto, 2010:117) menjelaskan perkembangan kognitif domain meliputi: a. Pengetahuan (Knowledge) Dalam pengetahuan, siswa diminta untuk memilih satu dari dua jawaban. Dalam mengingat kembali siswa diminta untuk mengingat kembali satu atau lebih fakta-fakta yang sederhana. Kategori ini merupakan kategori yang paling rendah tingkatannya karena tidak terlalu banyak meminta energi. b. Pemahaman (Comprehention) Dengan pemahaman, siswa diminta untuk membuktikan bahwa ia memahami hubungan yang sederhana dengan fakta-fakta atau konsep. c. Penerapan atau aplikasi (Application) Untuk penerapan atau aplikasi ini siswa dituntut memiliki kemampuan untuk menyeleksi atau memilih suatu abstraksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar. 97

98 98 d. Analisis (Analysis) Dalam tugas analisis ini siswa diminta untuk menganalisis suatu hubungan atau situasi yang kompleks atas konsep-konsep dasar. e. Sintesis (Syinthesis) Apabila penyusun soal tes bermaksud meminta siswa untuk melakukan sintesis, maka pertanyaan-pertanyaan disusun sedemikian rupa sehingga meminta siswa untuk menggabungkan atau menyusun kembali (recognize) hal-hal yang spesifik agar dapat mengembangkan suatu struktur yang baru. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dengan soal sintesis ini siswa diminta melakukan generalisasi. f. Evaluasi (Evaluation) Melakukan evaluasi dalam ranah kognitif ini menyangkut masalah benar/salah yang didasarkan atas dalil, hukum, prinsip pengetahuan. Pada tingkat evaluasi, peneliti bertujuan untuk mengetahui sejauh mana siswa mampu menerapkan pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki untuk menilai suatu kasus. Taksonomi Bloom adalah struktur hierarki yang mengidentifikasikan kemampuanmulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi.tentunya untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, level yang rendah harus dipenuhi lebih dulu. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya Sebelum kita mensintesis maka kita harus menganalisa Sebelum kita mengevaluasi, maka kita harus mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi. Selanjutnya dalam penelitian ini, tingkat berpikir siswa akan dianalisis berdasarkan tingkat berpikir kognitif Bloom yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. 1) C1 (Pengetahuan) Pada tingkat ini jenjang belajar siswa masih rendah, tapi siswa mampu mengingat fakta-fakta, mampu menghafal rumus dan defenisi. Misalnya siswa sudah mampu menjelaskan defenisi sinus, siswa mampu menghapal rumus cos (a + b), dan siswa mengingat konsep untuk menentukan sin a dengan menggunakan teorema pytagoras. 2) C2 (Pemahaman) Pada tingkat ini, siswa telah menguasai konsep-konsep, struktur matematika sehingga dapat mengaplikasikan ke situasi yang lain. Misalnya ketika siswa diminta untuk menyelesaikan berapa nilai cos 51 o cos 9 o sin 50 o sin 9 o tanpa kalkulator atau tabel, maka siswa akan menggunakan rumus cos(a + b) = cos a cos b sin a sin b yang telah dipelajari sebelumnya. Siswa telah memahami mengubah bentuk ruas kanan menjadi ruas kiri sehingga didapatkan cos (51 o + 9 o ) = cos 60 o 3) C3 (Aplikasi) Pada tingkat ini siswa mampu menggunakan rumus-rumus trigonometri ke mata pelajaran lain, misalnya pada mata pelajaran fisika (Hudojo (2001:21). Pada materi gelombang, kita menggunakan trigonometri untuk menyelesaikan berbagai persoalan. 4) C4 (Analisis) Analisis ini berkenaan dengan penguraian suatu situasi atau informasi ke dalam unsur-unsur atau komponen-komponen pembentuknya, hubungan-hubungan antar bagian dengan keseluruhan serta cara bagaimana mereka diorganisasikan Hudojo (2001:21). Misalnya siswa mampu menuliskan hubunganhubungan rumus trigonometri yang satu dengan yang lainnya. Ketika siswa diminta untuk membuktikan suatu identitas trigonometri, siswa mampu mengaitkan dengan rumus-rumus sebelumnya, contohnya dalam membuktikan 4 sin 2x cos 2x cos x = sin 5x + sin 3x, siswa mampu mengaitkan dengan rumus perkalian sinus dan kosinus yaitu 2 sin a cos b 5) C5 (Sintesis) Hudojo (2001:21) mengungkapkan, Sintesis berkenaan dengan pernyataan unsur-unsur atau komponen-komponen untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh sehingga polanya menjadi jelas.pada matematika nampak jelas kepada kemampuan penyusun konsep-konsep matematika untuk menciptakan

99 struktur matematika. Misalnya Ketika siswa diberikan suatu permasalahan trigonometri, siswa mampu menyelsaikan permasalahan tersebut dengan menggunakan dua cara yang berbeda bahkan lebih. 6) C6 (Evaluasi) Hudojo (2001:21) mengemukakan, evaluasi berkenaan dengan penilaian suatu ide dan metode-metode dengan menggunakan suatu kriteria.evaluasi merupakan tingkat kognitif yang tertinggi, karena jenis ini melibatkan pengetahuan, pengertian, aplikasi, analisis, dan sintesis agar tercapai tujuan evaluasi tersebut.misalnya saja siswa mampu memilih rumus trigonometri untuk menyelesaikan permasalahan yang menyangkut bangunan (arsitek). Contohnya pada desain suatu taman kota, siswa diminta untuk menentukan penempatan pipa air agar semburan air ke utara membentuk sebuah busur panah dengan jarak mendatar dan tinggi maksimum semburan air yang sudah diketahui. Kesulitan belajar matematika Kebanyakan orang menganggap bahwa matematika adalah bidang hitung-berhitung. Namun, ahli matematika mengatakan bahwa perhitungan hanyalah bahagian dalam matematika. Matematika yang sesungguhnya melibatkan pemecahan soal matematika dan pemahaman struktur dalam pola matematika. Abdurrahman (2003:255) menjelaskan bahwa sebenarnya kesulitan pembelajaran matematika bukan terletak pada keterampilan berhitung, tetapi terletak pada materi yang harus diajarkan dan pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran. Dalam mempelajari matematika, siswa memiliki berbagai kesulitan diantaranya kesulitan menggunakan konsep, kesulitan menggunakan prinsip, dan kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal. Seperti yang diungkapkan Soedjono (1984:4) 1. Kesulitan dalam menggunakan konsep a. Siswa lupa nama singkatan/nama teknik suatu objek b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya 2. Kesulitan belajar dalam menggunakan prinsip a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan baru b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut dan sebagainya 3. Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal a. Tidak mengerti apa yang dibaca, akibat kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah yang tidak diketahui b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya Kesulitan menggunakan konsep adalah keadaan dimana siswa lupa singkatan atau nama teknik suatu objek dan ketidakmampuan siswa untuk mengingat syarat cukup. Contohnya adalah pengertian sudut dan perbandingan trigonometri. Siswa yang mengalami kesulitan prinsip adalah siswa yang mengalami kesulitan untuk menerapkan konsep-konsep pada soal. Contoh prinsip adalah identitas trigonometri. Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan untuk menganalisis atau menerjemahkan soal digolongkan menjadi siswa yang mengalami kesulitan konsep. Kesulitan siswa Siswa yang memperoleh skor dibawah 65 dikatagorikan sebagai siswa yang mengalami kesulitan belajar, sedangkan jika telah memperoleh nilai sekurang-kurangnya 65 dari skor maksimum 100 dikategorikan telah memahami materi trigonometri. Sebagaimana dikemukakan Sri (dalam Afdanun, 2010:15) tentang kriteria pengusaan materi yaitu: secara individu penguasaan materi disebut dikuasai oleh siswa bila ia dapat menjawab dengan benar atau memperoleh skor sekurang-kurangnya 65% dari jumlah skor ideal setiap materi penguasaan. Sedangkan secara klasikal penguasaan sudah dikuasai oleh sekelompok siswa bila telah terdapat sekurang-kurangnya 85% siswa telah menguasai materi tersebut. Berdasarkan kategori yang telah ditetapkan, kita pun dengan mudah dapat mengetahui siswa-siswa yang mengalami kesulitan pada materi trigonometri dengan melihat pada hasil kerja siswa. 1) Kesulitan dalam menggunakan konsep 99

100 Abdurrahman (2003:254) mengemukakan, Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Siswa mengembangkan suatu konsep ketika mereka mampu mengklasifikasikan atau mengelompokkan benda-benda atau ketika mereka dapat mengasosiasikan suatu nama dengan dengan kelompok benda tertentu. Dengan kata lain, pemahaman konsep menuntut siswa untuk mampu mengelompokkan yang mana yang merupakan konsep dan yang mana bukan konsep. a. Siswa lupa nama singkatan/tehnik suatu objek Siswa tidak mampu menyebutkan defenisi dari sinus dan kosinus dengan bahasa sendiri. Ketika siswa menjumpai segitiga dengan bentuk yang berbeda (misalnya segitiga dengan posisi alasnya tidak horizontal), siswa menjadi bingung dan tidak dapat menentukan nilai sinus dan kosinus sudut tersebut. Terkait dengan teknik, misalnya saja siswa kebingungan untuk mengkorvensikan nilai suatu sudut ke dalam bentuk sudut istimewa. Contohnya siswa bingung mengkorversikan nilai cos 15 o menjadi cos (60 o - 45 o ). Karena terkadang siswa berpikir untuk membuat cos 15 o = cos (30 o - 15 o ). Hal tersebut benar, tapi tidak merujuk pada konsep yag diharapkan. b. Ketidakmampuan mengingat satu atau lebih syarat cukup dan sebagainya Siswa tidak bisa mengingat materi yang terkait (prasyarat) dengan pembelajaran trigonometri. Misalnya siswa tidak bisa menentukan nilai sinus dan kosinus dari suatu segitiga karena tidak memahami rumus pytagoras. 2) Kesulitan dalam menggunakan prinsip a. Siswa tidak mempunyai konsep yang dapat digunakan untuk mengembangkan prinsip sebagai butir pengetahuan baru Untuk menyelesaikan suatu persoalan, terkadang dibutuhkan konsep yang telah dipelajari sebelumnya, misalnya ketika siswa ingin membuktikan nilai cos 2a = cos 2 a sin 2 a dengan menggunakan cara cos(a + a) diperlukan cos a dan sin a. b. Siswa tidak dapat menggunakan prinsip karena kurang kejelasan tentang prinsip tersebut dan sebagainya Dalam hal ini, kurangnya pemahaman siswa tentang prinsip dasar trigonometri akan membuat siswa kesulitan untuk memahami prinsip lainnya. Siswa kesulitan dalam menjelaskan operasi hitung tertentu. Contohnya siswa masih bingung untuk mencari nilai sin 2 x, siswa bingung apakah x yang dikuadratkan atau sin yang harus dikuadratkan atau siswa bingung dengan sin x. sin x, hasilnya sama dengan sin 2 x atau 2 sin x. Siswa kesulitan dalam menentukan tanda positif negatif pada setiap kuadran dan siswa masih tidak memahami mengenai relasi setiap kuadran, contohnya nilai sin (90 o - a) = cos a dan sin (180 o - b) = sin b Ketidakmampuan siswa dalam memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan trigonometri. Contohnya siswa salah menerapkan identitas trigonometri saat menyelesaikan soal yang membutuhkan pembuktian Siswa tidak dapat memberikan alasan dalam penggunaan suatu prinsip. Contohnya siswa tidak bisa menjelaskan pytagoras digunakan untuk menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen pada segitiga siku-siku. 3) Kesulitan memecahkan soal dalam bentuk verbal Kesulitan verbal terjadi bila siswa tidak dapat menerjemahkan soal cerita dalam bahasa matematika berupa ilustrasi gambar, simbol, grafik dan tabel. a. Kesulitan untuk menerjemahkan soal. Siswa tidak mengerti apa yang ditanya, hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan siswa tentang konsep atau beberapa istilah dalam trigonometri. Misalnya saja ketika siswa ingin menyelesaikan soal trigonometri dalam bentuk cerita, siswa kebingungan untuk menerjemahkan soal tersebut menjadi bahasa matematika. Kebingungan tersebut terjadi karena siswa tidak mendapat ide pokok mengenai permasalahan yang ada dalam soal tersebut (siswa kesulitan dalam menganalisis soal). b. Tidak mampu menetapkan variabel untuk menyusun persamaan dan sebagainya Siswa mengalami kesulitan dalam menetapkan variabel sehingga persamaannya tidak bisa ditentukan. Contohnya siswa kesulitan dalam menyelesaikan persamaan pecahan dari sudut-sudut istimewa dalam persoalan trigonometri. 100

101 3. Metode Adapun jenis penelitian yang akan dilakukan adalah deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan, peristiwa, objek apakah orang atau segala sesuatu yang tekait dengan variabel-variabel yang bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-kata. Dengan kata lain, penelitian deskriptif menggambarkan tingkat berpikir dan kesulitan yang dialami oleh siswa dengan melakukan penelitian secara cermat dan teratur untuk mengetahui hasil yang efektif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif karena penelitian ini mengembangkan konsep atas data yang ada yang lebih mementingkan proses daripada hasil.moleong (2010:21) mendefenisikan bahwa salah satu karakteristik dari penelitian kualitatif adalah lebih mementingkan proses daripada hasil. Adapun teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu: 1) Tes Menurut Thoha (2003:43), Tes adalah alat pengukuran berupa pertanyaan, perintah, dan petunjuk yang diajukan kepada testee untuk mendapatkan respon sesuai petunjuk itu. Testee adalah responden yang sedang mengerjakan tes. Untuk memperoleh data tentang kesulitan siswa dalam menyelesaikan materi trigonometri, peneliti memberikan 6 soal essay. Soal-soal tes tersebut dibuat dengan bantuan dosen pembimbing dan juga diadopsi dari soal-soal latihan pada buku paket matematika SMA untuk kelas XI. Soal-soal tersebut hirarkies karena telah disusun berdasarkan tingkat berpikir Bloom. 2) Wawancara Wawancara dilakukan untuk menyaring data kualitatif sebanyak-banyaknya tentang tingkat berpikir dan penyebab kesulitan siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah dalam menyelesaikan soal trigonometri.peneliti akan memilih 7 siswa yang melakukan kesalahan terbanyak dalam tes, artinya satu soal akan diwakili oleh satu siswa. Setelah data terkumpul, selanjutnya akan dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat berpikir dan kesulitan siswa dalam mempelajari trigonometri. 1) Tingkat Berpikir Analisis data yang ada merupakan jawaban dari lembar jawaban siswa. Dalam proses penilaian terhadap tingkat berpikir siswa sesuai dengan teori berpikir Bloom yang terdiri dari enam tahap yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Semua siswa mendapatkan nilai yang mengacu pada tingkat Bloom adalah hierarkis, dimana seorang siswa tidak bisa berada pada tingkat n apabila belum melewati tingkat n-1.adapun untuk melihat ketuntasan siswa dalam menjawab soal, maka siswa harus memperoleh minimal 75% dari skor masing-masing soal. Widdiharto (2008:30) mengungkapkan bahwa untuk menyatakan bahwa siswa telah menguasai kompetensi dasar atau indikator yang telah ditentukan. Umumnya skor pencapaian adalah 75%. 2) Kesulitan Siswa Untuk menentukan kesulitan siswa, peneliti mencermati setiap jawaban yang diberikan siswa.setelah semua data terkumpul, peneliti akan melakukan pemeriksaan/analisis terhadap kesulitan yang dihadapi siswa berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep, prinsip, dan verbal. 3) Penyebab Kesulitan Siswa Untuk mengetahui penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri, penulis akan memilih beberapa siswa yang paling banyak melakukan kesalahan untuk diwawancarai. Subjek dipilih berdasarkan analisis hasil jawaban tes yang dikerjakan oleh siswa.dari sejumlah siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal trigonometri dipilih 7 orang siswa untuk mewakili masing-masing soal.siswa-siswa tersebut adalah siswa-siswa yang mendapatkan skor dibawah 65, paling banyak melakukan kesalahan, dan kesalahan unik untuk diteliti. 101

102 4. Hasil dan Pembahasan Tingkat berpikir siswa dalam mempelajari trigonometri Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: ada 3,3% siswa telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C5 (sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4 (analisis); 30% yang mencapai tingkat berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6% siswa yang belum bisa menjawab soal C1. Kesulitan siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri Dari tabel distribusi hasil tes setiap butir soal yang diperoleh siswa (lampiran) terlihat bahwa skor yang diperoleh siswa dapat dirincikan sebagai berikut: skor minimum 14, skor maksimum 77, dan skor ratarata 47,31 sedangkan skor ideal adalah 100. Bila dinyatakan dalam bentuk persentase diperoleh data sebagai berikut: skor minimum 14%, skor maksimum 77%, dan skor rata-rata 47,31%. Dari tabel tersebut tampak bahwa hanya 2 orang yang mencapai ketuntasan belajar pada materi trigonometri. Berdasarkan hasil analisis data terhadap 30 orang siswa diperoleh data sebagai berikut: 6,6% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan); 3,3% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C2 (pemahaman); 23,3% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi); 30% siswa mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis); 26,67% siswa mengalami kesulitan mengerjakan soal C5 (sintesis); dan 6,67% siswa mengalami kesulitan mengerjakan soal C6 (evaluasi). Setelah dilakukan pemeriksaan terhadap hasil tes siswa, ditemukan kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan permasalahan trigonometri.adapun kesulitan itu diklasifikasikan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu kesulitan menggunakan konsep, prinsip, dan verbal. Kesulitan menggunakan konsep a. Kesulitan menggunakan dalil pytagoras dalam menghitung sisi suatu segitiga b. Kesulitan menentukan sisi depan dan sisi samping sudut yang dicari c. Kesulitan menentukan nilai sinus, cosinus, dan tangen dari segitiga siku-siku d. Kesulitan untuk menentukan tanda positif atau negatif untuk nilai sinus, cosinus, dan tangen disetiap kuadran e. Kesulitan mengingat rumus sin 2a dan tan θ 2 f. Kesulitan mengingat identitas trigonometri cos 2 a + sin 2 a = 1 g. Kesulitan untuk membedakan nilai tan 2a dan 2 tan a h. Kesulitan untuk memilih rumus yang tepat untuk menyelesaikan persoalan trigonometri Kesulitan menggunakan prinsip a. Kesulitan menjabarkan sin 2a menjadi 2 sin a cos a dengan menggunakan sin(a + a) b. Kesulitan menjabarkan 2 sin 2 a menjadi 2 sin a sin a 2 sin a+sin 2a 2 sin a(1+cos a) c. Kesulitan menyusun persamaan dalam menyelesaikan identitas trigonometri d. Kesulitan mensubstitusikan persamaan yang telah diketahui e. Kesulitan mengoperasikan persamaan trigonometri Kesulitan verbal a. Kesulitan menggambar segitiga berdasarkan nilai yang diketahui dari soal b. Siswa tidak tahu apa yang harus dicari Penyebab kesulitan Dari 30 orang siswa yang diteliti 24,54% siswa yang mengalami kesulitan konsep; 40,91% siswa yang mengalami kesulitan prinsip; dan 8,18% siswa yang mengalami kesulitan berbentuk verbal.adapun jika dianalisis penyebab kesulitan siswa disetiap tingkat berpikir diperoleh informasi bahwa Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) paling banyak mengalami kesulitan konsep 102

103 Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan C2 (pemahaman) paling banyak mengalami kesulitan konsep Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) paling banyak mengalami kesulitan prinsip Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C4 (analisis) paling banyak mengalami kesulitan prinsip Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C5 (sintesis) paling banyak mengalami kesulitan prinsip Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C6 (evaluasi) paling banyak mengalami kesulitan prinsip. Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap beberapa orang siswa yang mengalami kesulitan untuk menyelesaikan soal trigonometri, diperoleh informasi bahwa kesulitan-kesulitan yang dialami siswa cenderung disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri 2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri 3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri 4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita 5) Materi yang sulit difahami 6) Persepsi yang salah tentang trigonometri 7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh 8) Pembelajaran trigonometri yang agak monoton 5. Kesimpulan Dari 30 orang siswa yang diteliti 3,3% siswa telah mencapai tingkat berpikir C6 (evaluasi); 6,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C5 (sintesis); 26,67% siswa yang mencapai tingkat berpikir C4 (analisis); 30% yang mencapai tingkat berpikir C3 (aplikasi); 23,3% yang masih mencapai tingkat berpikir C2 (pemahaman); 3,3% yang masih ditingkat berpikir C1 (pengetahuan); dan masih ada 6,6% siswa yang belum bisa menjawab soal C1. Siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman)terkendala dari segi penguasaan konsep. Sedangkan siswa yang mengalami kesulitan untuk mengerjakan soal C3 (aplikasi) sampai dengan soal C6 (evaluasi)mengalami kesulitan dalam penerapan prinsip. Penyebab kesulitan siswa dalam menyelesaikan persoalan trigonometri adalah sebagai berikut: 1) Pemahaman dasar yang rendah tentang materi trigonometri 2) Kurangnya minat/kemauan dalam mempelajari trigonometri 3) Kurangnya latihan untuk mengerjakan soal-soal trigonometri 4) Kesulitan menerjemahkan soal cerita 5) Materi yang sulit difahami 6) Persepsi yang buruk tentang trigonometri 7) Jarak pemberian tes dengan materi cukup jauh 8) Pembelajaran trigonometri yang kurang bermakna Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Adnin, Huliatul Kesulitan Siswa Kelas XII pada Materi Trigonometri di SMA Negeri 13 Banda Aceh Tahun Ajaran 2010/2011.Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Afdanun, Winda Analisis Kesulitan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal-soal Trigonometri Kelas XI SMA Negeri 6 Banda Aceh Tahun 2009/2010. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Arikunto, Suharsimi Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT BUMI AKSARA. 103

104 Hudojo, Herman Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Malang. Slameto Belajar dan Faktor-faktor yang mempengaruhi. Jakarta: Rineka Cipta. Soedjono Diagnosa Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial Matematika. Jakarta: Depdikbud. Sulistiyono, dkk Matematika SMA dan MA untuk Kelas XI Semester 1 Program IPA. Jakarta: ESIS. Syah, Muhibbin Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA. Thoha C., Muhammad Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Widdiharto, Rachmadi Diagnosis Kesulitan Belajar Matematika SMP dan Alternatif Proses Remedinya. Jogjakarta: Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. 104

105 KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI MELALUI METODE PENEMUAN PADA MATERI LUAS PERMUKAAN BANGUN RUANG SISI LENGKUNG SISWA KELAS IX SMP NEGERI 18 BANDA ACEH Laila Zuriatina 1, Bainuddin Yani 2, dan Tuti Zubaidah 3 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh l_zuriatina@yahoo.co.id 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Pembelajaran matematika di sekolah masih berpusat pada guru, matematika diajarkan secara informatif dengan rumus-rumus yang diberikan langsung oleh guru. Akibatnya, siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem solving, namun cukup baik dalam keterampilan prosedural (TIMSS). Ini membuktikan bahwa terhadap masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP Indonesia jauh di bawah rata-rata Internasional. Untuk itu, diperlukan suatu metode yang dapat memunculkan kemampuan berpikir tingkat tinggsi siswa. Penelitian ini berjudul kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMPN 18 Banda Aceh, bertujuan untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada materi bangun ruang sisi lengkung di SMPN 18 Banda Aceh. Subjek penelitian ini adalah 3 orang siswa berkemampuan tinggi, sedang dan rendah yang dipilih dari 22 orang siswa kelas IX-1 SMPN 18 Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan aktivitas siswa selama pembelajaran dan dengan melakukan tes hasil belajar siswa. Pengolahan data pengamatan dilakukan dengan checklist (untuk menunjukkan kemunculan indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi yang ditentukan), dan data hasil belajar diolah dengan rumus persentase. Dari hasil pengolahan data diperoleh siswa tidak tuntas secara klasikal, yaitu siswa yang tuntas sebanyak 73% dan yang tidak tuntas sebanyak 27%. Meski demikian, melalui penerapan metode penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung, kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa muncul dengan keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa. Kata kunci: kemampuan berpikir tingkat tinggi, penemuan, BRSL 1. Pendahuluan Third Matemathics and Science Study (TIMSS), lembaga yang mengukur hasil pendidikan di dunia melaporkan bahwa kemampuan matematika anak SMP di Indonesia berada di urutan 34 dari 38 negara. Salah satu penyebab rendahnya kualitas pemahaman siswa dalam matematika menurut hasil survey IMSTEP-JICA (2000) adalah bahwa dalam pembelajaran matematika guru terlalu berkonsentrasi pada hal-hal yang prosedural dan mekanistik pembelajaran berpusat pada guru. Konsep matematika disampaikan secara informatif dan siswa dilatih menyelesaikan banyak soal tanpa pemahaman yang mendalam. Akibatnya kemampuan penalaran dan kompetensi strategis siswa tidak berkembang sebagaimana mestinya. Bukti ini diperkuat lagi oleh hasil yang diperoleh The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) bahwa siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem solving namun cukup baik dalam keterampilan prosedural (Mullis, dkk: 2004). Hal ini membuktikan bahwa terhadap masalah matematika yang menuntut kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa SMP kelas dua Indonesia jauh di bawah rata-rata internasional, bahkan dengan beberapa negara tetangga sekalipun, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Melihat keadaan seperti ini, upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran terutama dalam pengembangan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa menjadi penting dan esensial. Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung di kelas IX SMP Negeri 18 Banda Aceh? 105

106 Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan berpikir tingkat tinggi melalui metode penemuan pada materi luas permukaan bangun ruang sisi lengkung siswa kelas IX SMP Negeri 18 Banda Aceh. 2. Tinjauan Pustaka Kemampuan berpikir dan berpikir tingkat tinggi Menurut Khodijah, 2006 (dikutip melalui online: secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Menurut Solso, Robert dkk (2008: 402) berpikir adalah proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, penabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan. Tingkatan berpikir Berpikir biasa adalah berpikir sederhana dan dapat dilakukan oleh kebanyakan orang. Berpikir tingkat tinggi adalah proses berpikir yang mendalam terhadap sesuatu. Gambar 1. Diagram Tingkatan Berpikir Sumber: Berpikir tingkat tinggi adalah operasi kognitif yang banyak dibutuhkan pada proses-kemampuan berpikir yang terjadi dalam short-term memory. Ibrahim dan Nur (2000) menjelaskan bahwa karakteristik berpikir tingkat tinggi adalah non-algoritmik yaitu alur tindakan yang tidak sepenuhnya dapat ditetapkan sebelumnya, cenderung kompleks, seringkali menghasilkan banyak solusi, melibatkan pertimbangan dan interpretasi, serta aktivitas mental yang tinggi. Secara umum, langkah-langkah berpikir tingkat tinggi mencakup semua tugas intelektual yang memerlukan lebih dari pengambilan informasi. Oleh karena itu, dalam arti luas, HOTS (High Order Thinking Skills/ keterampilan berpikir tingkat tinggi) dapat dianggap sebagai keterampilan yang dibutuhkan untuk melakukan tugas-tugas. Siswa diharapkan dapat meningkatkan keterampilan ini dan menggunakannya untuk membangun pengetahuan matematika mereka, dan karenanya terlibat dalam pembelajaran seumur hidup. NCTM (National Council of Teachers of Mathematics), memaparkan lima keterampilan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Keterampilan Pemecahan Masalah 106 Menurut Solso, Robert dkk (2008: 434) pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/ jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik. Kita menemukan banyak masalah yang spesifik. Kita menemukan banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga kita akan membuat suatu cara untuk menanggapi, memilih, menguji respons, yang kita dapat untuk memecahkan suatu masalah. Pemecahan masalah merupakan bagian integral dari semua pembelajaran matematika dan melibatkan identifikasi hambatan, kendala atau pola tak terduga, mencoba prosedur yang berbeda dan mengevaluasi atau membenarkan solusi. Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) menganggap pemecahan sebagai proses menerapkan pengetahuan yang diperoleh sebelumnya (atau tak terduga) situasi baru dan asing masalah. Untuk mengatasi masalah, siswa memanfaatkan pengetahuan mereka dan mengembangkan pemahaman matematika baru. Mereka juga harus mendapatkan cara berpikir, mengembangkan kepercayaan dan kebiasaan ketekunan dalam situasi yang asing melalui proses pemecahan masalah. Strategi pemecahan mencakup cara memahami masalah, menyusun rencana pemecahan masalah, melaksanakan rencana, memeriksa kewajaran hasil evaluasi dan membuat evaluasi. Dalam proses pemecahan masalah, siswa dapat membuat dugaan dan mencoba berbagai cara untuk mengatasi

107 masalah itu. Guru harus mencatat bahwa metode apapun, yang dapat digunakan baik untuk memecahkan masalah adalah metode yang sebenarnya. 2. Keterampilan Bertanya Bertanya melibatkan penemuan atau membangun pengetahuan melalui pertanyaan atau menguji hipotesis. Observasi, analisis, meringkas dan verifikasi adalah elemen penting dalam melaksanakan kegiatan bertanya. Kegiatan bertanya terutama melibatkan proses belajar mandiri, tetapi bimbingan yang sesuai dari guru kadang-kadang diperlukan tergantung pada kemampuan siswa dan kompleksitas kegiatan. Mengajukan pertanyaan merupakan salah satu sarana populer diadopsi untuk membimbing siswa untuk membuat eksplorasi. Bahkan, pertanyaan yang dirancang dengan baik yang berguna untuk merangsang siswa untuk menemukan kesamaan, perbedaan, pola dan tren. Siswa juga mungkin diminta untuk menguji dugaan matematika, yang memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam peran yang lebih aktif dalam proses pembelajaran. Kegiatan bertanya dirancang harus sesuai dengan kemampuan siswa sehingga mereka dapat menikmati hasil penemuan matematika. Selain itu, mungkin lebih efektif untuk mengatur siswa dalam kelompokkelompok kecil (bila memungkinkan) karena lebih mudah bagi mereka untuk mengemukakan gagasannya. 3. Keterampilan Berkomunikasi Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) (2000: 348) menyatakan bahwa komunikasi melibatkan menerima dan berbagi ide dan dapat dinyatakan dalam bentuk angka, simbol, diagram, grafik, diagram, model dan simulasi. Hal ini dipandang sebagai bagian integral dari pembelajaran matematika karena membantu menjelaskan konsep dan membangun makna untuk ide-ide. Melalui proses komunikasi, siswa belajar harus jelas dan meyakinkan dalam menyajikan ide-ide matematika, yang pasti membantu mengembangkan pemikiran logis mereka. Karena matematika sangat sering disampaikan dalam simbol-simbol, komunikasi lisan dan tertulis tentang ide-ide matematika sering diabaikan oleh guru. Namun, perlu dicatat bahwa bahasa baik lisan maupun tulisan yang diperlukan untuk menggambarkan, menjelaskan dan membenarkan ideide matematika. Kemampuan ini dapat membantu siswa mengklarifikasi pemikiran mereka dan mempertajam pemahaman mereka tentang konsep dan prosedur. Selain itu, selama proses berkomunikasi, siswa dapat membangun, memperbaiki dan mengkonsolidasikan pemahaman matematika mereka. 4. Keterampilan Penalaran Penalaran menarik kesimpulan dari bukti-bukti, alasan atau asumsi. Menurut Dewan Nasional Guru Matematika (NCTM) (2000: 342), siswa diharapkan mampu menjelaskan dan memberikan alasan atas kesimpulan yang mereka ambil. Ini melibatkan mengembangkan argumen logis untuk menyimpulkan atau menyimpulkan kesimpulan. Penalaran dapat diklasifikasikan ke dalam penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran induktif bekerja dari pengamatan khusus untuk generalisasi yang lebih luas dan teori sementara penalaran deduktif bergerak dari putaran cara lain, yaitu, dari lebih umum untuk lebih spesifik. Sifatnya, metode penalaran induktif lebih terbuka dan eksplorasi dan yang deduktif sempit di alam dan biasanya berkaitan dengan pengujian atau memverifikasi hipotesis dan teori. Oleh karena itu, menemukan istilah umum urutan seperti 1, 3, 5, 7, 9,..., melibatkan penalaran induktif saat melakukan bukti geometris dengan menerapkan teorema geometri (misalnya, sudut yang sesuai dua segitiga yang sama adalah sama) melibatkan penalaran deduktif. Karena penalaran merupakan aspek fundamental matematika, mampu mengerti alasan adalah penting untuk memahami konsep-konsep matematika. Dengan membuat penyelidikan dan dugaan, mengembangkan dan mengevaluasi argumen matematika, membenarkan hasil, dan lain-lain, siswa dapat memahami dan menghargai kekuatan penalaran dan menghasilkan bukti, yang memerlukan pemotongan logis dari kesimpulan dari teori dan hipotesis. Penalaran seperti HOTS lainnya, tidak dapat diajarkan dalam pelajaran tunggal. Sebaliknya, itu adalah kebiasaan pikiran dan harus menjadi bagian yang konsisten dari pengalaman matematika siswa. 5. Keterampilan Konseptualisasi 107

108 Solso, Robert dkk (2008: 434) menjelaskan bahwa pembentukan konsep berhubungan dengan pengasahan sifat-sifat yang sesuai dengan kelas objek atau ide. Konseptualisasi melibatkan pengorganisasian dan reorganisasi pengetahuan melalui mengamati dan berpikir tentang pengalaman tertentu untuk pola-pola abstrak dan ide-ide dan generalisasi dari pengalaman tertentu. Pembentukan konsep melibatkan penggolongan dan abstrak dari pengalaman sebelumnya. Masalah khusus matematika terletak pada bentuk abstrak dan keumumannya. Konsep-konsep abstrak tidak dapat dikomunikasikan kepada siswa menurut definisi tetapi hanya dengan mengarahkan kepada siswa untuk menemukan koleksi contoh-contoh yang sesuai. Oleh karena itu, konsep-konsep abstrak harus didukung oleh banyaknya contoh matematika dan dalam kehidupan sehari-hari. Metode penemuan Metode Penemuan adalah terjemahan dari discovery. Menurut Sund (dalam Roestiyah, 2001: 20) penemuan adalah proses mental, di mana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan, dan sebagainya. Suatu konsep misalnya: segitiga, panas, demokrasi, dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah: logam, apabila dipanaskan, mengembang. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi. Penemuan merupakan metode yang lebih menekankan pada pengalaman langsung. Pembelajaran dengan Metode Penemuan lebih mengutamakan proses daripada hasil belajar. Dalam metode ini tidak berarti sesuatu yang ditemukan oleh peserta didik (siswa) benar-benar baru sebab sudah diketahui oleh orang yang lain. Tabel 1. Sintaks Penemuan Terbimbing Tahap Tingkah Laku Guru Tingkah Laku Siswa Tahap 1 Observasi untuk merumuskan masalah Tahap 2 Merumuskan masalah Tahap 3 Mengajukan hipotesis Tahap 4 Merencanakan pemecahan masalah (melalui eksperimen atau cara lain) Tahap 5 Melaksanakan eksperimen (atau cara pemecahan masalah yang lain) Tahap 6 Melakukan pengamatan dan pengumpulan data Tahap 7 Analisis Data Guru menyajikan kejadian-kejadian atau fenomena yang memungkinkan siswa menemukan masalah Guru membimbing siswa merumuskan masalah penelitian berdasarkan kejadian dan fenomena yang disajikannya. Guru membimbing siswa mengajukan hipotesis terhadap masalah yang telah dirumuskannya Guru membimbing siswa merencanakan pemecahan masalah, membantu menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan dan menyusun prosedur kerja yang tepat. Selama siswa bekerja, guru membimbing dan memfasilitasi Guru membantu siswa melakukan pengamatan tentang hal-hal yang penting dan membantu mengumpulkan dan mengorganisasi data Guru membantu siswa menganalisis data supaya menemukan suatu konsep Siswa mengembangkan keterampilan berpikir melalui observasi spesifik membuat inferensi atau generalisasi. Siswa merumuskan masalah yang akan membawa siswa pada suatu persoalan yang mengandung tekateki. Siswa menetapkan jawaban sementara atau yang lebih dikenal dengan istilah hipotesis. Siswa amencari informasi, data, fakta yang diperlukan untuk menjawab permasalahan/ hipotesis Siswa menguji kebenaran jawaban sementara. Dugaan jawaban ini tentu didasarkan kepada data yang telah diperoleh Siswa mencari data atau keterangan yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah, misalnya dengan jalan membaca buku-buku, meneliti, bertanya, berdiskusi dan lain-lain. Siswa menganalisis data untuk menemukan suatu konsep 108

109 Tahap 8 Penarikan kesimpulan atau penemuan Guru membimbing siswa mengambil Secara bekelompok siswa kesimpulan berdasarkan data dan menarik kesimpulan, menemukan sendiri konsep yang ingin merumuskan kaidaah, prinsip, ide ditanamkan generalisasi atau konsep berdasarkan data yang diperoleh. Sumber: Menurut Richard Scuhman (Roestiyah, 2001: 22), langkah-langkah pembelajaran dengan Metode Penemuan adalah sebagai berikut. 1. Identifikasi kebutuhan siswa; 2. Seleksi pendahuluan terhadap prinsip-prinsip, pengertian, konsep dan generalisasi yang akan dipelajari; 3. Seleksi bahan, dan problema serta tugas-tugas; 4. Membantu memperjelas problema yang akan dipelajari dan peranan masing-masing siswa; 5. Mempersiapkan setting kelas dan alat-alat yang diperlukan; 6. Mencek pemahaman siswa terhadap masalah yang akan dipecahkan dan tugas-tugas siswa; 7. Memberi kesempatan kepada siswa untuk melakukan penemuan; 8. Membantu siswa dengan informasi, data, jika diperlukan oleh siswa; 9. Memimpin analisis sendiri dengan pertanyaan yang mengarahkan dan mengidentifikasi proses; 10. Merangsang terjadinya interaksi antar siswa dengan siswa; 11. Memuji dan membesarkan siswa yang bergiat dalam proses penemuan; 12. Membantu siswa merumuskan prinsip-prinsip dan generalisasi atas hasil penemuannya. Materi bangun ruang sisi lengkung Tabung Luas Permukaan Tabung Amati kembali Gambar 2.4. Jika tabung pada Gambar 2.4 direbahkan dengan cara memotong sepanjang ruas garis AC, keliling alas, dan keliling atasnya ditempatkan pada bidang datar maka diperoleh jaring-jaring tabung, seperti pada Gambar 2.5. Daerah yang tidak diarsir (selimut tabung) pada Gambar 2.5 berbentuk persegi panjang dengan ukuran sebagai berikut. Panjang = keliling alas tabung = 2πr Lebar = tinggi tabung = t sehingga luas selimut tabung = panjang lebar = 2πr t = 2πrt Luas permukaan tabung sama dengan luas jaring-jaringnya, yaitu: L = luas selimut tabung + 2 luas alas. Dengan demikian, luas permukaan tabung adalah 2πr( r + t) Kerucut Luas Permukaan Kerucut Gambar 2.8(a) menunjukkan kerucut dengan titik puncak T dan jari-jari bidang alasnya adalah r. Jika kerucut itu kamu potong sepanjang ruas garis TB dan seputar lingkaran alasnya, serta diletakan pada bidang datar maka diperoleh jaring-jaring kerucut, seperti pada Gambar 2.8(b). 109

110 Amati Gambar 2.8(b). Daerah yang diarsir merupakan alas kerucut (berbentuk lingkaran). Adapun daerah yang tidak diarsir merupakan selimut kerucut yang berbentuk juring lingkaran. Berapakah luas juring TB 1B 2? Untuk men-jawabnya, pelajarilah uraian berikut. Panjang busur B 1B 2 = keliling alas kerucut = 2πr. Keliling lingkaran yang berjari-jari s adalah 2πs. Luas lingkaran yang berjari-jari s adalah πs 2. Oleh karena luas juring TB 1B 2 luas lingkaran = panjang busur B 1B 2 keliling lingkaran maka luas juring TB 1B 2 = 2πr 2πs x πs2 = πrs Jadi, luas selimut kerucut adalah πrs. Dengan demikian, luas permukaan kerucut adalah: L = luas selimut kerucut + luas alas kerucut L = πrs + πr 2 = πr(s + r) Penerapan Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Lengkung Luas permukaan bangun ruang sisi lengkung diterapkan dalam kehidupan sehari-hari agar kita kamu dapat memahami dan menyelesaikan masalah nyata melalui konsep matematika. Benda-benda berikut ini disajikan contoh soalsoal penerapan bangun ruang sisi lengkung. Contoh. Gambar berikut memperlihatkan sebuah monumen yang dibentuk dari sebuah kerucut dan setengah bola. Monumen tersebut menempel pada tanah seluas 1 m 2. Jika monumen itu akan dicat dan setiap m 2 memerlukan biaya Rp ,00, berapa rupiah biaya pengecatan tugu tersebut? (ambil π = 3,14) Jawab: Perhatikan tugu di samping. Diketahui bahwa tutu terdiri dari bangun kerucut (selimut) kerucut yang dialasi dengan setengah bola. LP monumen = LP Kerucut tanpa alas + LP ½ Bola = πrs + ½.4.πr 2 = 3,14 x 6cm x 8cm + 2 x 3,14 x (6cm) 2 = 150,72 cm ,08 cm 2 = 376,8 cm 2 = 3,768 m 2 Jadi, biaya yang dibutuhkan untuk mengecat bangun tersebut adalah: Harga x luas permukaan bangun = Rp x 3,768 = Rp ,-, 3. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif, yang menggunakan pendekatan kualitatif. Menurut Moleong (2008:2), Penelitian kuantitatif mencakup setiap jenis penelitian yang didasarkan atas perhitungan persentase, rata-rata, chi kuadart, dan perhitungan statistik lainnya. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2008:3) menyatakan, Penelitian kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Moleong (2008:6) menyimpulkan bahwa: penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain serta holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah. Penelitian ini mendeskripsikan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan. Peneliti melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan metode penemuan dan diamati oleh 2 orang observer, seorang melakukan pengamatan terhadap peneliti selama pembelajaran berlangsung, dan 110

111 seorang lainnya mengamati aktivitas siswa selama pembelajaran dengan metode penemuan berlangsung di kelas. Selama pengamatan, pengamat mengisi lembar observasi yang berkaitan dengan kegiatan guru dan aktivitas siswa selama pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini data dikumpulkan berdasarkan observasi yang dilakukan oleh seorang observer dan analisis data hasil tes belajar siswa oleh peneliti. Hal ini mengingat pernyataan Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2008:5): dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya dimanfaatkan adalah wawancara, pengamatan dan pemanfaatan dokumen. 4. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kelas IX-1 SMP Negeri 18 Banda Aceh, berikut ini disajikan tabel hasil belajar siswa untuk melihat ketuntasan belajar siswa. Tabel 2. Nilai Hasil Belajar Siswa Kelas IX-1 SMP Negeri 18 Pada Materi Luas Permukaan Bangun Ruang Sisi Lengkung No. Nama LKS I LKS III Nilai Kelompok Nilai Akhir Ket. 1. Siswa A Tuntas 2. Siswa B Tuntas 3. Siswa C Tuntas 4. Siswa D T.T 5. Siswa E Tuntas 6. Siswa F Tuntas 7. Siswa G Tuntas 8. Siswa H T.T 9. Siswa I Tuntas 10. Siswa J T.T 11. Siswa K Tuntas 12. Siswa L Tuntas 13. Siswa M T.T 14. Siswa N T.T 15. Siswa O Tuntas 16. Siswa P Tuntas 17. Siswa Q Tuntas 18. Siswa R Tuntas 19. Siswa S Tuntas 20. Siswa T Tuntas 21. Siswa U Tuntas 22. Siswa V T.T Selanjutnya, setelah dianalisis ketuntasan belajar siswa, akan dilihat kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui pengamatan pada lembar observasi dan Lembar Kerja Siswa. Berikut ini beberapa lembar kerja siswa yang menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tingginya, meliputi keterampilan pemecahan masalah, keterampilan berkomunikasi, keterampilan penalaran, dan keterampilan koseptualisasi siswa. Lembar kerja siswa yang menunjukkan keterampilan pemecahan masalah antara lain. Adapun keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan selanjutnya dianalisis dengan memperhatikan dan berdasarkan hasil lembar kerja siswa masing-masing dengan kemampuan tinggi, sedang dan rendah. Tabel 3. Analisis Keterampilan Berpikir Tingkat Tinggi Siswa No. Indikator Kel. I Kel. II Kel. III 1 Membuat rancangan pemecahan masalah Memiliki alternative pemecahan masalah yang lain Memecahkan masalah berdasarkan konsep Mengungkapkan pertanyaan secara jelas dan singkat - 111

112 Bertanya dalam menyampaikan kritik secara lisan disertai alasan yang masuk akal Berani menjawab pertanyaan dari kelompok lain berdasarkan materi bangun ruang sisi lengkung 3 Menjawab dengan argumen yang tepat Menjawab berdasarkan ide-ide yang logis Berbagi ide dalam bentuk angka, simbol, diagram, grafik, model dan simulasi Memperhatikan pendengar mereka ketika menulis atau berbicara 4 Memahami dan mampu menyelesaikan masalah Mengembangkan jawaban atas bagian-bagian yang sesuai/ tepat Memberikan alasan terhadap kesimpulan yang diambil Mencari cara-cara baru untuk berpikir tentang masalah yang diberikan 5 Memahami konsep Memahami materi-materi prasyarat yang relevan/ terkait. Keterangan: = keterampilan berpikir tingkat tinggi muncul - = keterampilan berpikir tingkat tinggi tidak muncul Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa pada beberapa keterampilan lebih banyak muncul daripada tidak muncul. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan ketuntasan belajar siswa secara klasikal, yaitu termasuk dalam kategori belum tuntas secara klasikal. Hasil tes belajar siswa berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai rata-rata siswa pada dua kali pertemuan diperoleh 16 dari 22 orang siswa dinyatakan tuntas. Namun, jika dihitung persentasenya, diperoleh 73% siswa dalam satu kelas yang tuntas, sedangkan 27% siswa dalam kelas belum tuntas. Hal ini menunjukkan bahwa pada pembelajaran materi bangun ruang sisi lengkung melalui metode Penemuan, siswa dalam kelas tersebut belum mencapai ketuntasan belajar secara klasikal. 5. Kesimpulan Kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa melalui metode penemuan dinyatakan muncul dengan keterampilan yang berbeda-beda pada tiap-tiap siswa. Siswa berkemampuan tinggi berdasarkan nilai hasil tes cenderung memiliki seluruh keterampilan yang menjadi indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi, siswa berkemampuan sedang memiliki sebagian keterampilan, dan siswa berkemampuan rendah berdasarkan nilai hasil tes memiliki hanya sedikit keterampilan yang menjadi indikator kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini menunjukkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa berbanding lurus dengan pencapaian hasil belajar siswa. Daftar Pustaka IMSTEP-JICA. (1999). Monitoring Report on Current Practice on Mathematics and Science Teaching and Learning. Bandung: IMSTEP- JICA. Meolong, Lexy J. (2004). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mullis, I.V.S. dkk, (2004). International Mathematics Report. Boston: The International Study Center Boston College. NCTM. (2000). Principles and Standards for School Mathematics. United State of America: NCMR Inc. NCTM. (2012). Five High Order Thinking Skill. Diakses pada 31 Juli 2013, dari alamat Nur, Fatayati. (2012). Pengaruh Metode Pembelajaran Penemuan Terbimbing terhadap Prestasi Belajar dan Kemampuan Representasi Matematika Siswa SMK Negeri 1 Godean. S1 Thesis, 112

113 Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses pada 12 Oktober 2013, dari alamat Nur & Ibrahim. (2011). Berpikir Tingkat Tinggi. Diakses pada 1 Maret 2013, dari alamat wordpress.com/2011/08/10/berpikir-tingkat-tinggi-higher-order-thinking/ Roestiyah, NK. (2001). Srategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Sagala, S. (2102). Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Solso, Robert dkk. (2008). Psikologi Kognitif. Jakarta: Erlangga. 113

114 114 MOTIVASI SISWA DALAM PEMBELAJARAN UNSUR-UNSUR KUBUS MELALUI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DI KELAS VIII MTSN LAMBALEK KABUPATEN ACEH BARAT Listika Burais 1 1 Prodi Pasca Sarjana Pendidikan matematika, Universitas Syiah Kuala listikaburais2013@gmail.com Abstrak. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu ke waktu menunjukkan adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam sistem pendidikan di Indonesia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika. Salah satunya adalah kurangnya motivasi siswa dalam menerima materi pelajaran sehingga menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Dalam makalah ini, akan dibahas mengenai motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN lambalek. Kerangka rancangan model pembelajaran Quantum Teaching diistilahkan dengan kata TANDUR, yaitu: Tumbuhkan, Alami, Namai, Demonstrasikan, Ulangi, Rayakan. Azas utama Quantum Teaching bersandar pada konsep: Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka Diharapkan dengan adanya model pembelajaran ini dapat memotivasi siswa dalam pembelajaran sehingga memperoleh hasil belajar yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dari 15 siswa, 14 diantaranya mencapai nilai di atas KKM. Nilai KKM yang telah ditentukan adalah 70. Berdasarkan analisis angket yang dibagikan kepada siswa, menunjukkan bahwa siswa sangat termotivasi dalam pembelajaran menggunakan model pembelajaran Quantum Teaching. Kata Kunci: Quantum teaching, motivasi, hasil belajar, unsur kubus 1. Pendahuluan Latar belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus menerus dari waktu ke waktu menunjukkan adanya keinginan dari berbagai pihak untuk membuat perubahan yang lebih baik dalam sistem pendidikan di Indonesia, akan tetapi perubahan yang ditunjukkan belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Berdasarkan data dari kementerian pendidikan pada tahun 2013, menunjukkan bahwa nilai ujian nasional untuk pelajaran matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran yang lain. Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru, faktor siswa maupun proses belajar mengajar. Kurangnya motivasi siswa dalam menerima materi pelajaran sering menimbulkan berbagai masalah yang dihadapi guru ketika kegiatan pembelajaran berlangsung. Seringkali saat berlangsungnya pembelajaran siswa merasa acuh tak acuh, kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam belajar. Tugas seorang guru akan menjadi lebih berat ketika siswanya mengeluh dan tidak dapat menjawab soal latihan yang berujung pada hasil belajar yang tidak memuaskan. Berdasarkan akar masalah yang ditemukan, faktor utama yang harus segera dicarikan solusinya adalah : bagaimana meningkatkan motivasi siswa untuk belajar matematika sehingga siswa dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tau dan mencapai tingkat kepuasan dan hasil pembelajaran yang lebih baik. Menurut Lie (2005) Paradigma lama dimana guru memberikan pengetahuan kepada siswa yang pasif sudah tidak bisa dipertahankan lagi. Untuk itu selain penguasaan materi, seorang guru dituntut memiliki ketrampilan dalam menyampaikan materi yang diajarkan dan mampu menciptakan susana belajar alamiah yang menarik sehingga siswa termotivasi dan terus aktif melaksanakan pembelajaran. Konsep geometri merupakan salah satu konsep matematika yang harus dikuasai oleh siswa SMP atau MTs. Penguasaan konsep-konsep dalam geometri merupakan hal utama yang harus dipahami oleh setiap

115 siswa. Kubus merupakan salah satu bangun ruang yang merupakan bahagian dari geometri. Kompetensi dasar yang diharapkan dari pembelajaran bangun ruang khususnya geometri adalah mengenal unsurunsur kubus. Salah satu model pembelajaran yang dipandang sesuai untuk mengatasi permasalahan di atas yang berhubungan dengan materi unsur-unsur pada kubus adalah pembelajaran Quantum Teaching. Bedasarkan uraian di atas penulis mengambil judul: Motivasi siswa dalam pembelajaran unsurunsur kubus melalui penerapan model pembelajaran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN Lambalek Kabupaten Aceh Barat Tujuan penelitian Untuk mengetahui bagaimana motivasi siswa dalam pembelajaran unsur-unsur kubus melalui penerapan model pembelajran Quantum Teaching di kelas VIII MTsN Lambalek Kabupaten Aceh Barat Manfaat penelitian Diharapkan dengan adanya penelitian dapat mengembangkan kreatifitas guru dalam mempersiapkan pembelajaran secara maksimal sebagai persiapan diri sebelum melakukan proses belajar mengajar. 2. Tinjauan Pustaka Model pembelajaran Winataputra dalam Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pencanang pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Sugiyanto (2008) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri dari: 1) ModelPembelajaranKontekstual Model pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa. Pembelajaran ini juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan siswa diperoleh dari usaha siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru ketika siswa belajar. 2) Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif merupakan pendekatan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. 3) Model Pembelajaran Kuantum Model pembelajaran kuantum merupakan rakitan dari berbagai teori atau pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi yang jauh sebelumnya sudah ada. 4) Model Pembelajaran Terpadu Model pembelajaran terpadu merupakan pembelajaran yang memungkinkan siswa baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip secara holistik. Pembelajaran ini merupakan model yang mencoba memadukan beberapa pokok bahasan. 5) Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning PBL) Model pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning PBL) merupakan pembelajaran yang mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya. Fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa tetapi pada apa yang siswa pikirkan selama mereka mengerjakannya. Guru memfungsikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Motivasi Kata motif diartikan sebagai daya upaya mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut Sardiman (2001), motif dapat diartikan daya penggerak dari dalam dan didalam subyek untuk melakukan aktivitas demi tercapainya suatu tujuan. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. 115

116 Menurut Santrock, motivasi adalah proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku. Artinya, perilaku yang memiliki motivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan bertahan lama (Santrock, 2007).Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2001). Terdapat dua aspek dalam teori motivasi belajar yaitu: a. Motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan terhadap perilaku seseorang yang ada di luar perbuatan yang dilakukannya karena dorongan dari luar.(dimyati : 2002) Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi oleh insentif eksternal seperti imbalan dan hukuman. Misalnya, murid belajar keras dalam menghadapi ujian untuk mendapatkan nilai yang baik. b. Motivasi intrinsik, yaitu motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi sesuatu itu sendiri (tujuan itu sendiri) (Santrock :2007). Misalnya, murid belajar menghadapi ujian karena dia senang pada mata pelajaran yang diujikan itu. 3. Metode Penelitian Model pembelajaran Quantum Teaching merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa langsung mengalami permasalahan, menemukan sendiri jawaban atas permasalahan dan beraktivitas sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai saat ini. Deporter (2010) menjelaskan Quantum teaching adalah pengubahan belajar yang meriah dengan segala nuansa yang menyertakan segala kaitan, interaksi dan perbedaan yang memaksimalkan momen belajar. Model pembelajaran Quantum Teaching menganut pendekatan yang segar, mengalir, praktis dan mudah diterapkan, yang menawarkan suatu sintesis yang ingin dicapai. Azas utama model pembelajaran quantum teaching Quantum Teaching bersandar pada konsep: Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita dan Antarkan Dunia Kita ke Dunia Mereka. De Porter B (2005), menjelaskan bahwa seorang guru mampu menjembatani jurang antara dunia siswa dan dunia mereka untuk memasuki dunia siswa. Oleh karena itu, guru harus memasuki dunia murid, dengan cara mengaitkan apa yang diajarkan dengan sebuah peristiwa, pikiran, atau perasaan yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari. Setelah kaitan itu terbentuk, guru dapat membawa siswa ke dalam dunia guru dan memberi pemahaman yang dimiliki guru mengenai dunia itu, sehingga siswa dapat membawa apa yang telah mereka pelajari ke dalam dunia mereka dengan menerapkannya pada situasi baru dalam dunia mereka. Prinsip-prinsip pembelajaran quantum teaching Quantum teaching memiliki lima prinsip atau kebenaran tetap yang mempengaruh gaya belajar. Menurut Deporter. B (2005) prinsip-prinsip yang mempengaruhi gaya belajar tersebut adalah: a. Segalanya berbicara, artinya segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh guru, intonasi guru dan ruang kelas, semuanya menyampaikan pesan tentang belajar. b. Segalanya bertujuan, artinya semua yang dipraktekkan, disampaikan guru, serta yang terjadi dalam proses belajar mempunyai tujuan tersendiri dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas, tujuan yang sama bagi seluruh siswa adalah mengembangkan kecakapan dalam mata pelajaran, menjadi pelajar yang baik, serta mengembangkan ketrampilan yang dimiliki. c. Pengalaman sebelum pemberian nama, artinya proses belajar yang paling baik ketika siswa telah menjalani atau mengalami informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari dalam proses belajar mengajar di kelas. d. Akui setiap usaha, artinya belajar mengandung resiko. Belajar berarti melangkah keluar dari kenyamanan, maka setiap usaha yang ditempuh siswa sudah selayaknya mendapat pengakuan atas kepercayaan diri mereka dari guru. e. Jika layak dipelajari, maka layak pula dirayakan,artinya perayaan adalah sarapan para juara. Perayaan memberikan umpan balik mengenai kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi positif dan belajar. Kerangka rancangan model pembelajaran quantum teaching Kerangka Rancangan Belajar Quantum Teaching dikenal dengan istilah TANDUR, yaitu: (T) Tumbuhkan, (A) Alami, (N) Namai, (D) Demonstrasikan, (U) Ulangi, (R) Rayakan. Menurut Johar dkk 116

117 (2013) dalam Modul Strategi Belajar Mengajar Matematika, kerangka TANDUR dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Tumbuhkan. Guru menumbuhkan minat belajar siswa dengan memuaskan. Tumbuh kesadaran apa manfaat bagiku?, yaitu menyadari manfaat mempelajari suatu konsep bagi siswa. Untuk itu guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan manfaatnya bagi siswa. b. Alami Guru meminta siswa menyelasikan masalah nyata baik secara individu maupun berkelompok, dengan memanfaatkan berbagai sumber belajar/alat/bahan. Guru memberi bimbingan kepada siswa sekedarnya ketika siswa menyelesaikan maslah nyata dan memberi pengakuan atau penguatan. c. Namai Setelah siswa menjalani tahapan kedua yakni mengalami proses beajar sampai siswa menemukan suatu temuan baru, maka guru memberi nama temuan tersebut apakah konsep, simbol, definisi, rumus, dalil, atau teori baru. Nama tersebut benar-benar muncul melalui proses yang dikonstruksikan dari masalah yang telah diselesaikan siswa. d. Demonstrasikan Guru memberikan kesempatan kepada siswa memperlihatkan bahwa mereka bisa melakukan/menyelesaikan masalah-masalah baru yang ekuivalen atau sedikit lebih sulit dengan masalah yang telah dialaminya dalam kegiatan pembelajaran. e. Ulangi Guru bersama siswa merangkum materi yang telah dipelajari. Melalui tanya jawab guru menggiring siswa untuk dapat mengulangi materi yang telah dibahas. Melalui tahapan ulangi guru mendapat umpan balik tentang kemajuan yang didapatkan siswa. f. Rayakan Guru memberikan penghargaan berupa pujian atau hadiah bagi siswa yang berhasil menunjukkan prestasi gemilang dan ini tidak boleh terabaikan oleh guru. Pengakuan akan prestasi yang bagus akan memotivasi siswa untuk cenderung mempertahankan atau malah meningkatkan prestasinya. Penghargaan yang cepat dan tepat amat dibutuhkan siswa sebagai pengakuan atas kemampuannya. 4. Pembahasan dan Hasil Pembahasan Kesesuaian Materi Dengan Model Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah kubus dengan sub pokok pembahasan unsur-unsur pada kubus khususnya tentang diagonal bidang, diagonal ruang dan bidang diagonal pada kubus. Materi unsur-unsur kubus ini dapat disesuaikan dengan model Quantum Teaching yaitu siswa mencoba menemukan sendiri konsep dan rumus untuk menghitung panjang diagonal, panjang diagonal ruang dan luas bidang diagonal. Sehingga dapat terjadi aktivitas siswa mengalami, menamai, demonstrasi dan mengulanginya dengan menerapkan rumus dan menghitung panjang diagonal ruang, diagonal bidang dan bidang diagonal. Sehingga dengan aktivitas TANDUR siswa menjadi bersemangat, menambah minat dan motivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa. Komponen Model Pembelajaran Quantun Teaching (Sesuai Praktek di Kelas) 1. Sintaks (Fase) Adapun fase pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Quantun Teaching Sebagai berikut: Tahap pertama: Tumbuhkan Pada tahap ini guru mencoba menumbuhkan minat siswa dengan konsep Apa Manfaat Bagiku? mempelajari unsur-unsur kubus. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan pembelajaran, memberi apersepsi tentang diagonal dan memberikan motivasi dengan menjelaskan manfaat dari pembelajaran yang dilakukan. Motivasinya berupa gambar sebuah kado yang telah dihiasi dengan sehelai pita, siswa ditantang menghitung panjang pita yang diperlukan untuk menghiasi kado tersebut. Guru juga memotivasi siswa dengan mengaitkan materi dengan sikap spiritual dan sikap sosial yang berhubungan dengan kubus. Tahap Kedua : Alami 117

118 Diagonal bidang: Setiap kelompok menempelkan pita pada setiap bidang kubus secara diagonal. Siswa menghitung jumlah pita yang ditempelkan. Diagonal bidang: Setiap kelompok menancapkan lidi pada sangkar yang telah dibuat siswa dengan pelepah rumbia pada sudut-sut yang saling berhadapan di dalam kubus.. Siswa menghitung jumlah lidi yang ditancapkan seluruhnya. Bidang diagonal: Setiap kelompok memotong kue yang telah disediakan sehingga terlihat bidang potongnya. Siswa menghitung jumlah bidang potong kue yang tampak pada kue. Tahap ketiga: Namai Pada LKS, guru telah menamai setiap kegiatan misalnya; Panjang pita disebut diagonal bidang, panjang lidi disebut diagonal rung dan bidang potong kue disebut bidang diagonal. Tahap keempat: Demonstrasikan Berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya sesuai pembagian tugas yang telah diatur oleh guru yaitu setiap kelompok mempresentasikan masing-masing satu kegiatan. Tahap kelima: Ulangi Siswa diberikan beberapa soal latihan untuk mengulang apa yang telah mereka dapatkan saat bekerja dalam kelompok. Sehingga mereka dapat mengaplikasikan/menerapkan konsep yang telah mereka dapatkan. Tahap keenam: Rayakan Guru memberikan refleksi, memberi penguatan tentang kesimpulan materi yang telah dipelajari dan untuk merayakan pembelajaran yang telah dilakukan pada pertemuan ini, guru bersama siswa merayakan pembelajaran dengan mempersilakan siswa untuk mebuka kado yang digunakan sebagai bahan praktek. Dan isi didalamnya diminta untuk dibagikan kepada teman-teman sekelompoknya dengan adil. 2. Sistem Sosial Jumlah siswa di dalam kelas seluruhnya 17 orang, tetapi yang hadir pada hari ini berjumlah 15 orang. Siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 3-4 siswa. Siswa bebas berfikir serta berperilaku dalam proses pembelajaran. Model ini menuntut agar antara guru dan siswa terdapat hubungan yang kooperatif di mana guru menjalankan dwifungsi sebagai pemrakarsa dan pengontrol aktivitas siswa pada setiap tahap. Selain itu guru menjadi fasilitator bagi kegiatan siswa dalam proses belajar mengajar. 3. Prinsip Reaksi Prinsip reaksi bermakna sikap dan perilaku guru untuk menanggapi dan merespon bagaimana siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tugas penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa menerima informasi baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan.selama diskusi kelompok guru bertindak sebagai fasilitator. Guru berupaya agar kegiatan diskusi mengutakan nilai demokratis dan kemandirian setiap kelompok. 4. Suasana Dalam Kelas Suasana kelas pada saat proses belajar mengajar sudah sangat kondusif meskipun pada awal pembelajaran siswa masih merasa canggung dengan perbedaan yang ada di dalam kelasnya. Misalnya: ada yang merekam kegiatan pembelajaran, sehingga memberikan kesan kaku pada siswa. Tetapi, seiring berjalannya waktu, kondisi ini kembali normal. Berikut adalah kegiatan selama pembelajaran: 118

119 Gambar 1: Tumbuhkan Gambar 2: Alami Gambar 3: Namai Gambar 4: Demonstrasikan Gambar 5: Ulangi 119

120 Gambar 6 : Rayakan Hasil Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini dikategorikan berhasil, walaupun terdapat beberapa kendala yang menghambat misalnya: harus tersita waktu istirahat siswa, walaupun demikian siswa tidak mengeluh, karena mereka tampak sangat antusias dalam mengikuti pembelajaran. Walaupun pembelajaran telah berlangsung cukup lama, tapi siswa tidak merasakan waktu terus berjalan karena mereka sibuk dengan kegiatan selama pembelajaran, baik kegiatan pada LKS maupun kegiatan pada saat presentasi. Terlebih lagi saat yang ditunggu-tunggu adalah kegiatan merayakan pembelajaran, mereka sudah bersiap-siap untuk membuka kado-kado yang menjadi alat peraga. Berdasarkan hasil pengerjaan latihan yang dilakukan oleh 15 siswa, 14 orang siswa memperoleh nilai diatas batas KKM yang telah ditentukan untuk materi ini, yaitu 70, hanya 1 orang yang mendapat nilai di bawah KKM. Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihannya, siswa ini mengalami kendala dalam mengerjakan operasi aljabar dalam menyelesaikan soal latihan. Secara persentase, 93 % siswa mencapai nilai ketuntasan. Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 12 siswa dikategorikan sangat baik dan 3 siswa baik. Dari ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan, tetapi saat mempraktekkan kerja pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap tanggung jawab terdapat 12 siswa dikategorikan sangat baik dan 4 siswa dikategorikan baik. Untuk mengukur tingkat motivasi siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3 kategori, yaitu, perhatian, rasa percaya diri dan tingkat kepuasaan selama proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari 4 pernyataan yang berhubungan dengan kategori perhatian, 3 pernyataan tergolong sangat baik dan 1 pernyataan tergolong baik. 4 pernyataan tergolong sangat baik dalam kategori tingkat kepuasan siswa dalam proses belajar mengajar. Dan 2 pernyatan tergolong baik dalam kategori rasa percaya diri siswa. Berdasarkan rata-rata gabungan dari setiap pernyataan, dapat dinyatakan motivasi siswa tergolong sangat baik. 5. Kesimpulan Penerapan model pembelajaran Quantum Teaching pada materi unsur-unsur kubus disaat proses belajarmengajar berlangsung di MTsN Lambalek kelas VIII-A sangat memotivasi siswa untuk dapat menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hasil belajar yang dicapai oleh siswa juga sangat baik. Daftar Pustaka Deporter, Bobby, dkk. (2010). Quantum Teaching (Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang kelas). Bandung: Kaifa. De Porter, Bobby. (2005). Quantum Teaching Bandung: Kaifa. 120

121 Depdiknas. (2003). Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: UU 20 Tahun Dimyati. Mudjiono. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Johar, Rahmah. (2013). Modul: Strategi Belajar Mengajar Matematika. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH. Lie, Anita. (2005). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Gramedia. Nurjannah. (2006). Efektivitas Pembelajaran Quantum Teaching pada Materi Pokok Bahasan Bilangan Bulat di SMPN 6 Banda Aceh. Banda Aceh: FKIP UNSYIAH. Santrock, John.W. (2007). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sardiman. (2001). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyanto. (2008). Model Strategi Pembelajaran Inovatif. Surakarta: Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13. Tim Penyusun. (2005). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 121

122 PENERAPAN MODEL KOOPERATIF TIPE BERKIRIM SALAM DAN SOAL PADA MATERI TURUNAN FUNGSI DI KELAS XI SMA LABORATORIUM UNSYIAH BANDA ACEH Elianti 1, dan Marhami 2 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Salah satu unsur yang dapat mendorong terlaksananya proses pembelajaran dengan baik adalah model pembelajaran. Guru dituntut agar dapat mendesain model pembelajaran semenarik mungkin yang dapat menimbulkan minat serta motivasi siswa dalam belajar. Dalam pembelajaran matematika, guru perlu mencoba menerapkan berbagai model yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran, termasuk dalam penerapan model pembelajaran kooperatif. Model pembelajaran kooperatif yang dapat menarik minat siswa dalam belajar salah satunya adalah berkirim salam dan soal. Model ini melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melatih keterampilan dan kemampuan siswa, dan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan. Penelitian yang berjudul Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam dan Soal pada Materi Turunan Fungsi di Kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh ini bertujuan untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh. Populasinya adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang terdiri dari empat kelas. Adapun sampel pada penelitian ini diambil secara acak yaitu kelas XI IPA 3 yang berjumlah 32 orang. Penggumpulan data dilakukan melalui tes akhir yang diberikan kepada siswa setelah selesainya penerapan pembelajaran model berkirim salam dan soal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan uji-t pada taraf nyata α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = 31. Dari hasil pengoahan data diperoleh t hitung < t tabel (0,34 < 1,70), ini menunjukkan bahwa H 0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah belum mencapai ketuntasan. Kata kunci: hasil belajar, model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal, turunan fungsi 1. Pendahuluan Matematika merupakan salah satu pengetahuan yang melatih berpikir logis, kritis, dan kreatif. Kompetensi tersebut diperlukan agar peserta didik memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Sehingga peserta didik dapat menghadapi laju perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada di setiap jenjang pendidikan. Salah satu materi matematika yang diajarkan di SMA (Sekolah Menengah Atas) adalah turunan fungsi. Turunan fungsi merupakan salah satu dari tiga topik terpenting dalam kalkulus selain limit dan integral yang diajarkan di kelas XI semester genap SMA/MA. Beberapa materi prasyarat yang harus dikuasai peserta didik sebelum mempelajari materi turunan fungsi diantaranya fungsi, konsep limit fungsi, aljabar, dan trigonometri. Turunan fungsi banyak digunakan dalam bidang-bidang seperti fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistiyono (2007:148), Konsep turunan fungsi yang universal banyak sekali digunakan dalam bidang ekonomi untuk menghitung keuntungan marginal, biaya total (total cost) atau total penerimaan (total revenue), juga dalam bidang biologi untuk menghitung laju pertumbuhan organisme, dalam bidang fisika untuk menghitung kepadatan kawat, dalam bidang kimia untuk menghitung laju pemisahan, dan banyak disiplin ilmu lainnya. 122

123 Meskipun materi turunan fungsi merupakan salah satu penyumbang soal dalam Ujian Nasional (UN) dan tes SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri), namun pada kenyataannya di lapangan sangatlah memprihatinkan. Ternyata kebanyakan siswa di beberapa SMA/MA sederajat di Banda Aceh masih memiliki kendala dalam menyelesaikan permasalahan tentang turunan fungsi seperti pada menentukan turunan fungsi aljabar dan fungsi trigonometri. Keterangan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Bu Chaira Usrati, S. Pd, salah satu guru matematika di SMA Laboratorium Unsyiah dan beberapa siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian Rahmawati (2010:90) menyimpulkan bahwa masih banyak siswa yang memecahkan masalah differensial hanya dengan coba-coba dan penyelesaian masalah dilakukan selalu berorientasi pada tujuan yang dicapai tanpa suatu aturan khusus yang mengikuti aturan-aturan operasi matematika. Dari hasil tes tersebut menunjukkan bahwa banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah turunan dari bentuk perpangkatan dan turunan dari fungsi-fungsi trigonometri. Untuk mengatasi kesulitan siswa tersebut perlu dikembangkan suatu model pembelajaran yang tidak monoton hanya mentransfer pengetahuan kepada siswa tetapi juga dapat menarik minat siswa sehingga siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Salah satu model pembelajaran yang dimaksud adalah model pembelajaran kooperatif. Johar dkk (2006:31) mengatakan, Pembelajaran kooperatif adalah salah satu model dimana aktivitas pembelajaran dilakukan guru dengan menciptakan kondisi belajar yang memungkinkan terjadinya proses belajar sesama siswa. Proses interaksi akan memungkinkan apabila guru mengatur kegiatan pembelajaran dalam suatu setting siswa bekerja sama dalam suatu kelompok. Sementara itu, Roger (Huda, 2011:29) mengatakan, Pembelajaran kooperatif merupakan aktivitas pembelajaran kelompok yang diorganisir oleh satu prinsip bahwa pembelajaran harus didasarkan pada perubahan informasi secara sosial di antara kelompok-kelompok pembelajar yang di dalamnya setiap pembelajar bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri dan didorong untuk meningkatkan pembelajaran anggota-anggota yang lain. Salah satu model dalam pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran berkirim salam dan soal. Model ini dilakukan dengan membentuk kelompok yang terdiri dari 4 orang. Setiap kelompok nantinya akan mengutus salah satu orang anggotanya untuk mengirimkan soal kepada kelompok lain. Kelompok yang menerima soal tersebut harus menjawabnya yang kemudian dicocokkan dengan jawaban dari kelompok yang mengirim soal. Teknik ini dapat menjadi alternatif bagi guru untuk menerapkan model pembelajaran yang dapat memacu minat siswa sehingga membantu dalam memahami materi pelajaran. Sehubungan dengan ini, hasil penelitian Adistiani (2011:71) menyimpulkan bahwa peningkatan kemampuan pemahaman siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan model cooperative learning teknik berkirim salam dan soal pada pembelajaran TIK lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan menggunakan model konvensional. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi dapat mencapai ketuntasan hasil belajar siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh? Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat ketuntasan hasil belajar siswa yang diajarkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan dan membangkitkan motivasi agar memunculkan minat dalam belajar sehingga dapat dengan mudah memahami materi pelajaran. Serta sebagai alternatif untuk memilih model pembelajaran yang variatif dan inovatif sehingga siswa dapat termotivasi dalam belajar. 2. Tinjauan Pustaka Model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal Huda (2011:137) mengatakan bahwa teknik Berkirim Salam dan Soal memberi siswa kesempatan untuk melatih keterampilan dan kemampuan siswa. Siswa membuat pertanyaan sendiri, sehingga 123

124 siswa akan lebih terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat oleh teman-teman sekelasnya. Model ini dapat diterapkan untuk semua mata pelajaran dan tingkatan kelas. Menurut Huda (2011:137), langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Berkirim Salam dan Soal di antaranya sebagai berikut: 1. Guru membagi siswa dalam kelompok berempat dan setiap kelompok ditugaskan untuk menuliskan beberapa pertanyaan yang akan dikirim ke kelompok yang lain. Guru dapat mengawasi dan membantu memilih soal-soal yang tepat. 2. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan salah seorang anggotanya yang akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya kepada kelompok lain. (Salam bisa berupa yel-yel atau ungkapan-ungkapan unik yang menjadi ciri khas setiap kelompok). 3. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain. 4. Setelah selesai, jawaban tersebut dikirimkan kembali ke kelompok asal untuk dikoreksi dan diperbandingkan satu sama lain. Ada kalanya suasana kelas pada saat pembelajaran berlangsung menjadi jenuh dan membosankan. Lie (2010:51) mengatakan bahwa untuk menghidupkan semangat belajar siswa dan mempererat hubungan dalam kelompok, siswa bisa disuruh menciptakan sapaan dan sorak khas kelompok. Siswa bisa mengembangkan kreativitas mereka dengan menciptakan cara menyapa rekan-rekan dalam satu kelompok yang disesuaikan dengan identitas kelompok mereka. Demikian pula dengan sorak kelompok, siswa bisa membuat ungkapan sederhana namun meriah, misalnya Hebat...hebat..hebat...hebat Einsten!, Kami datang untuk belajar bersama-sama...ya...ya...ya!, Ole...ole...ole...terimalah kami /datang bertamu /untuk belaja /kepada Anda, Oke..oke..oke?!, Hai teman-teman /ayo...ayo...ayo/ kita belajar supaya pintar!, dan sebagainya. Pendidik dapat menyarankan agar siswa dapat membuat yel-yel atau nyanyian kelompok yang baik. Sehingga siswa merasa pembelajaran lebih menyenangkan karena diisi pula kegiatan yang bersifat non akademis. Lie (2010:58) menyebutkan beberapa dari kelebihan teknik berkirim salam dan soal diantaranya: 1. Melatih pengetahuan peserta didik 2. Melatih keterampian berpikir peserta didik. 3. Bisa digunakan untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik 4. Cocok untuk persiapan menjelang tes dan ujian. Sedangkan kekurangan dari teknik berkirim salam dan soal diantaranya: 1. Membutuhkan lebih banyak waktu 2. Membutuhkan sosialisasi yang lebih baik 3. Salam (yel-yel) dari kelompok akan mempengaruhi konsentrasi dari kelompok lain yang tidak bersangkutan. Implementasi pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi Langkah-langkah pembelajaran turunan fungsi dengan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal adalah sebagai berikut: a. Pendahuluan 1. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yaitu menentukan turunan perkalian fungsi. 2. Guru memberikan motivasi dan mengingatkan materi sebelumnya yang relevan dengan materi turunan yang akan dipelajari. 3. Guru menjelaskan langkah-langkah pembelajaran model kooperatif tipe berkirim salam dan soal. b. Kegiatan Inti 1. Guru menjelaskan inti-inti dari materi yang akan dipelajari serta memberikan contoh soal dan contoh cara membuat soal dari suatu informasi yang diberikan. 2. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti. 3. Guru membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok yang beranggotakan 4-5 orang. 4. Guru meminta setiap kelompok untuk membuat sebuah salam (yel-yel) yang nantinya akan dikirimkan kepada kelompok lain. 124

125 5. Guru membagikan LKS yang di dalamnya telah ada soal yang dibuat oleh guru dan siswa hanya diminta menjawab soal di tempat (lembaran LKS) yang disediakan dan juga informasi tertentu agar siswa dapat membuat soal lain yang akan dikirimkan/diberikan kepada kelompok lain. Berikut contoh soal yang dibuat oleh siswa. Informasi yang diberikan oleh guru: Diberikan suatu fungsi f(x) = 3x + 4, buatlah satu soal tentang turunan perkalian fungsi dari fungsi tersebut, kamu juga boleh menambahkan informasi yang lain, kemudian selesaikanlah! Soal yang dibuat oleh siswa: - Diketahui suatu fungsi f(x) = 3x + 4, g(x) = 2x 3, dan h(x) = f(x). g(x). Tentukan turunan dari h(x)dan berapa nilai h(x) untuk x = 1! - Diketahui suatu fungsi f(x) = (2x + 2) 2. (3x + 4). tentukan turunan pertama dari f(x)! 6. Guru meminta siswa membuat soal dari informasi yang diberikan beserta jawabannya bersama anggota kelompoknya. 7. Guru membimbing siswa berdiskusi dalam kelompok untuk memadukan ide-ide mereka dalam membuat dan menyelesaikan soal. 8. Kemudian, masing-masing kelompok mengirimkan satu atau dua orang utusan yang akan menyampaikan salam dan soal dari kelompoknya. 9. Setiap kelompok mengerjakan soal kiriman dari kelompok lain. 10. Setelah selesai, perwakilan masing-masing kelompok mengirimkan jawaban mereka kepada kelompok pembuat soal untuk dicocokkan dengan jawaban kelompok pembuat soal. 11. Jika jawaban benar, maka kelompok tersebut mendapat poin. Kelompok dengan poin tertinggi akan mendapat reward. 12. Guru meminta beberapa kelompok untuk menjawab soal yang guru berikan di LKS dan menuliskan soal yang mereka buat serta menjelaskan jawabannya di depan kelas. c. Penutup 1. Guru membimbing siswa dalam membuat kesimpulan. 2. Guru memberikan penghargaan kepada kelompok yang mendapat poin tertinggi. 3. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Arikunto (2010:27) menyatakan, Penelitian kuantitatif banyak dituntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsirannya terhadap data serta penampilan dari hasilnya. Dalam penelitian ini digunakan prosedur rancangan pra eksperimen. Dalam model rancangan ini peneliti hanya mempunyai kelompok eksperimen yang diteliti untuk melihat hasil belajar siswa dengan menggunakan model berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April 2013 di SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang berlokasi di Darussalam, Banda Aceh. Sedangkan waktu yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dua minggu. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan empat kali pertemuan. Pertemuan pertama sampai ketiga proses pembelajaran dan pertemuan keempat tes akhir. Penetapan subjek penelitian ini merupakan salah satu faktor yang perlu diperhatikan, karena penelitian ini bertujuan untuk mengambil kesimpulan yang objektif secara keseluruhan. Yang menjadi populasi adalah seluruh siswa kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh Tahun Ajaran 2012/2013. Sampel dalam penelitian ini adalah satu kelas yang diambil secara acak yaitu siswa kelas XI-IPA 3 SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh yang berjumlah 32 orang. Dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa tes akhir. Bentuk tes yang digunakan adalah tes tertulis dengan jenis soal uraian yang dikembangkan sesuai dengan indikator dan termuat dalam pedoman penskoran. Tes ini diberikan kepada siswa setelah berlangsung proses pembelajaran. Tes akhir ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan dan ketuntasan belajar siswa setelah menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi. Bila ketuntasan 125

126 belajar tercapai, penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dikatakan berhasil dalam membantu siswa memahami konsep matematika pada materi turunan fungsi. Dalam pembuatan instrumen, dilaksanakan tahapan-tahapan sebagai berikut (1) Merumuskan tujuan dari instrumen dan mengembangkan instrumen sesuai standar kompetensi, kompetensi dasar, dan indikator yang telah ditentukan; (2) Menuliskan butir soal; (3) Melengkapi instrumen dengan pedoman penskoran; (4) Berkonsultasi dengan para ahli; (5) Uji coba insrumen kepada 4 orang mahasiswa yang dipilih secara acak; (6) Dari hasil uji coba dapat disimpulkan bahwa soal-soal tersebut dapat dikerjakan dengan benar oleh mahasiswa dalam jangka waktu kurang dari 20 menit; (7) Revisi terhadap item-item yang dirasa kurang baik; (8) instrumen yang telah direvisi dikonsultasikan sekali lagi dengan para ahli Setelah data terkumpul secara keseluruhan, tahap selanjutnya adalah analisis data. Data hasil penelitian ini akan diolah dengan menggunakan analisis statistik untuk memperoleh jawaban tentang pembelajaran dengan penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi. Data yang telah dikumpulkan selanjutnya diolah dengan menggunakan statistk uji-t pada taraf signifikan α = 0,05 dengan derajat kebebasan dk = n 1. Pengolahan data diawali dengan mentabulasi data yang telah terkumpul kedalam daftar frekuensi, kemudian menghitung rata-rata dan varians dengan rumus: x = f ix i f i dan s 2 = nσf ix 2 i (Σf i x i ) 2 n(n 1) (1) Keterangan: x = rata-rata μ 0 = nilai standar yang menyatakan siswa telah menguasai materi pelajaran s = simpangan baku n = banyaknya data s 2 = varians x i = data ke-i Lalu menggunakan uji normalitas data untuk melihat apakah data yang diperoleh dalam penelitian berbentuk distribusi normal atau tidak. Bila data berbentuk distribusi normal, maka data tersebut dapat diolah dengan menggunakan statistik uji-t. Uji normalitas sebaran data dilakukan secara parametrik atau dikenal dengan uji kenormalan data yaitu chi-kuadrat χ 2. Adapun rumus χ 2 yang digunakan menurut Sudjana (2002 : 273) adalah χ 2 = k (O i E i ) 2 i=1 (2) E i Keterangan : O i = Frekuensi nyata hasil pengamatan E i = Frekuensi teoritik k = Banyaknya kelas interval Langkah terakhir adalah pengujian hipotesis. Hipotesis yang akan di uji adalah: H 0 : μ = 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh belum mencapai ketuntasan) H 1 : μ > 75 (Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh dapat mencapai ketuntasan) Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan, menurut Sudjana (2002:227) dapat dihitung dengan rumus: t = x μ 0 s n (3) Kriteria pengujiannya adalah terima H 0 jika t < t 1 α dan tolak H 0 jika t mempunyai harga-harga yang lain. Derajat kebebasan untuk daftar distribusi t ialah dk = n 1 dan peluang (1 α). 126

127 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Data yang diolah adalah data nilai tes akhir. Berdasarkan data nilai tes akhir, distribusi frekuensi untuk data siswa kelas XI IPA 3 sebagai berikut: Tabel 1. Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Akhir No Interval Frekuensi Titik Tengah (f i) (x i) 2 x i f i x i 2 f i x i Jumlah Dari tabel di atas didapat nilai chi-kuadrat hitung 2 = 4,72. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = k 3 = 4 3 = 1, maka dari tabel distribusi chi kuadrat 2 = 6,31. Oleh karena (0.95)(1) 2 hitung < 2 tabel, yaitu (4,72 < 6,31) maka H 0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa sebaran data mengikuti distribusi normal. Dari perhitungan diperoleh bahwa: n = 32 ; x = 76,125 ; s 2 = 357,081 ; s = 18,9 ; μ 0 = 75; dan t = 0,34 Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = (32-1) = 31 maka dari distribusi t dengan cara interpolasi diperoleh t 0,95(31) = 1,70. Karena t hitung < t tabel (0,34 < 1,70) maka H 0 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan. Berdasarkan hasil tes akhir diperoleh ada 20 siswa yang mendapat nilai mencapai taraf berhasil dan 12 siswa mendapat nilai masih di bawah taraf berhasil. Adapun kriteria siswa yang dikatakan tuntas mencapai taraf berhsil belajar apabila memperoleh nilai 75 yang sesuai KKM yang ditetapkan di sekolah SMA Laboratorium Unsyiah. Dari hasil analisis data diperoleh bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan. Penerapan model kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat membuat suasana belajar menjadi lebih menyenangkan dan membantu pemahaman siswa terhadap materi. Hal ini sesuai dengan pendapat Cahyaningtyas (2013) yang mengemukakan bahwa pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal suasana pembelajaran dibuat menarik dan menyenangkan dengan adanya salam yang berupa yel-yel. Kondisi ini menyebabkan suasana pembelajaran tidak terlalu kaku, sehingga siswa dapat merasakan pembelajaran yang menyenangkan dan tidak membosankan sehingga siswa lebih menikmati proses pembelajaran dan mudah dalam memahami materi, serta adanya kesadaran siswa untuk belajar tanpa ada rasa terpaksa. Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas (PTK) dari Parlina (2013:9) menyatakan bahwa penerapan pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat meningkatkan hasil belajar matematika siswa pada materi pokok Simetri lipat dan Pencerminan semester genap di kelas IV SDN 021 Tanjung Medan pada tahun ajaran 2011/2012. Hasil dari penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti yang menyatakan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal belum mencapai ketuntasan. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala dan kekurangan yang dilakukan peneliti (selaku guru) dan siswa dalam proses pembelajaran yang berlangsung selama 3 kali pertemuan yaitu sebagai berikut: 1. Peneliti masih dalam tahap pembelajaran untuk menjadi guru yang professional. 2. Pada saat mengerjakan LKS, tidak semua siswa aktif bekerja dan masih ada siswa yang bekerja secara sendiri-sendiri. 127

128 3. Waktu yang tersedia kurang efektif yaitu 2 kali pertemuan dilaksanakan pada siang hari sehingga siswa kurang konsentrasi terhadap pembelajaran. 4. Beberapa siswa kurang menyukai sistem belajar secara berkelompok (khusus terhadap pembelajaran matematika). 5. Pada saat melakukan teknik berkirim salam dan soal masih terdapat beberapa kelompok yang malumalu dan menyembunyikan salam kelompoknya. 6. Pengawasan atau bimbingan yang diberikan oleh guru kurang merata. 5. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal pada materi turunan fungsi di kelas XI SMA Laboratorium Unsyiah Banda Aceh belum dapat mencapai ketuntasan belajar. Adapun saran-saran yang dapat peneliti berikan adalah sebagai berikut: 1. Apabila ingin menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal, perlu diperhatikan penguasaan guru dalam pengelolaan kelas terutama manajemen waktu karena model pembelajaran tersebut membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dalam pelaksanaannya. Selain itu, seorang guru perlu senantiasa mengawasi kelas untuk memotivasi keaktifan kelas dan memberi bimbingan secara individu maupun kelompok. Sehingga dengan penerapan yang baik dan efektif, diharapkan siswa dapat mencapai ketuntasan belajar. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan salam dalam melihat ketuntasan belajar siswa pada tingkat kelas dan topik yang berbeda. 3. Untuk penelitian selanjutnya, peneliti menyarankan untuk mengadakan penelitian mengenai model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dalam ruang lingkup yang lebih luas. Seperti pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal terhadap peningkatan pemahaman siswa dan lain-lain. 4. Peneliti berharap agar penerapan model pembelajaran kooperatif tipe berkirim salam dan soal dapat dikembangkan, disosialisasikan, dan digunakan sebagai alternatif dalam pembelajaran matematika di sekolah Daftar Pustaka Adistiani, Dini. (2011). Penerapan Model Cooperatif Learning Teknik Berkirim Salam dan Soal Untuk Meningkatkan Pemahaman Siswa dalam Pembelajaran TIK. Diakses 23 Januari 2012, dari alamat Cahyaningtyas, Meidita. (2013). Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam dan Soal untuk Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Sosiologi Siswa Kelas X-1 SMA Negeri 5 Surakarta Tahun Pelajaran 2012/2013. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat Huda, Miftahul. (2011). Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Johar, Rahmah dkk. (2006). Bahan Ajar Strategi Belajar Mengajar. Banda Aceh: FKIP Unsyiah. Lie, Anita. (2010). Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo Parlina, Linda Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Teknik Berkirim Salam dan Soal untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 021 Tanjung Medan Kecamatan Pujud. Diakses 3 Maret 2013, dari alamat Rahmawati. (2010). Proses Berpikir Siswa Kelas XI SMA Negeri 4 Banda Aceh dalam Menyelesaikan Soal-soal Diferensial. Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Sudjana. (2002). Metoda Statistika. Bandung: Tarsito. Sulistiyono dkk. (2007). Matematika SMA dan MA Kelas XI Semester 2. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. 128

129 ANALISIS KEMAMPUAN REPRESENTASI MATEMATIS SISWA PADA MATERI PERTIDAKSAMAAN LINIER SATU VARIABEL DI KELAS VII SMP NEGERI 6 BANDA ACEH Mila Rahmadina 1, Johan Yunus 2, dan Rahmah Johar 3 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh rahmadina.mila@gmail.com 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Penelitan ini dilatarbelakangi oleh masih rendahnya kemampuan representasi matematis siswa. Padahal kemampuan representasi adalah kunci dari penyelesaian masalah matematika. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Negeri 6 Banda Aceh. Subjek penelitian terdiri dari enam siswa kelas VII-2. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan tes dan wawancara. Data dianalisis dengan memeriksa lembar jawaban siswa, kemudian diberi skor berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi matematis. Selanjutnya guna mengetahui kemampuan representasi matematis siswa lebih jauh, peneliti melakukan wawancara. Pemilihan siswa yang diwawancarai berdasarkan kriteria tertentu, yaitu siswa mengerjakan setiap soal dengan representasi yang unik dan siswa yang mewakili setiap variasi skor untuk setiap jenis representasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) kemampuan representasi visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real pada garis bilangan, 2) kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, 3) kemampuan representasi verbal siswa beragam, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga siswa lainnya mendapat skor 1, artinya siswa yang memperoleh skor 4 benar dalam membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan siswa yang memperoleh skor 1 artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, 4) hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan representasi siswa adalah miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami kepadatan bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan. Kata kunci: representasi matematis, representasi visual, representasi simbolik, representasi verbal, miskonsepsi 1. Pendahuluan Salah tujuan pendidikan matematika sesuai dengan Permendiknas no. 22 tahun 2006 adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah. Tujuan pembelajaran matematika tersebut sejalan dengan lima standar kemampuan matematis yang ditetapkan oleh National Council Teacher Mathematics (NCTM) yang harus dimiliki oleh siswa, yaitu kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan koneksi (connection), kemampuan penalaran (reasoning), dan kemampuan representasi (representation). Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan representasi adalah kemampuan yang penting untuk dimiliki dan dikembangkan oleh siswa. Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) menyatakan bahwa beberapa representasi bersifat lebih konkrit yang berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. Setiap siswa mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini memungkin siswa menggunakan berbagai representasi dalam memahami suatu konsep guna memudahkan dalam penyelesaian masalah. 129

130 Kartini (2009) menyatakan bahwa representasi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu (1) representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/kata-kata). Untuk mengkomunikasikan ide-ide matematika kita perlu merepresentasikannya dengan cara tertentu, seperti representasi ke dalam bentuk gambar, kata-kata, atau simbol matematis. Selama ini siswa jarang diberi kesempatan untuk membuat representasinya sendiri. Siswa cendrung meniru cara guru dalam menyelesaikan masalah. Laporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) (Pratiwi: 2013) menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam merepresentasikan ide atau konsep matematis dalam beberapa materi termasuk rendah. Hal serupa diungkapkan Hudiono (Afriani: 2014) dalam disertasinya bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab benar dalam menyelesaikan masalah matematika matematika yang berhubungan dengan kemampuan representasi, sedangkan sebagian lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang dimilikinya, khususnya representasi visual. Pertidaksamaan linier satu variabel adalah salah satu materi yang dipelajari siswa kelas VII SMP. Aplikasi dari materi ini dapat berupa masalah kehidupan sehari-hari, sehingga memerlukan kemampuan representasi yang baik guna menemukan solusinya. Beberapa penelitian menemukan cara siswa dan kesulitan siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Blanco dan Garrote (2007) menemukan bahwa banyak sekali siswa yang kesulitan dalam materi pertidaksamaan. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel di kelas VII SMP Negeri 6 Banda Aceh? 2. Tinjauan Pustaka Pembelajaran matematika Ismail, dkk (2004:1.4) menyatakan bahwa matematika dapat dipandang sebagai sebuah struktur dari hubungan-hubungan yang mengaitkan simbol-simbol. Pemahaman tentang keterkaitan simbol merupakan kemampuan abstraksi dasar seseorang yang berperan dalam memahami matematika. Hakikat matematika adalah berkaitan dengan ide-ide, struktur-struktur, dan hubungan-hubungan yang diatur menurut urutan yang logis. Jadi, matematika berhungan dengan konsep-konsep yang abstrak. Kurikulum 2013 telah menetapkan materi, fungsi, dan tujuan pembelajaran matematika di sekolah. Arah pembelajarannya berorientasi pada jangkauan belajar di bidang sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kemampuan berpikir siswa yang dikembangkan adalah kemampuan berpikir matematis, yang bermuara pada kemampuan menggunakan matematika sebagai bahasa atau alat dalam menyelesaikan masalahmasalah yang dihadapi dalam ilmu lain dan kehidupannya. Dengan proses pembelajaran matematika di sekolah yang berkualitas, diharapkan dapat mengembangkan kemampuan berfikir kritis, kreatif, logis, dan sistematis sehingga siswa mampu menghadapi tantangan global. Representasi matematis Goldin (Kartini: 2009) menyatakan bahwa representasi adalah suatu susunan yang dapat menggambarkan sesuatu yang lain dalam beberapa cara. Rosengrant (2005) yang menyatakan bahwa beberapa representasi bersifat lebih konkrit dan berfungsi sebagai acuan untuk konsep-konsep yang lebih abstrak dan sebagai alat bantu dalam pemecahan masalah. NCTM, 1989 (Ansari, 2009:12) menyatakan bahwa representasi adalah: (1) bentuk baru sebagai hasil translasi dari suatu masalah, atau ide, (2) translasi suatu diagram atau model fisik ke dalam simbol atau kata-kata. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa representasi adalah ungkapan pemikiran seseorang dalam menerjemahkan konsep atau masalah yang bersifat abstrak untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapinya dengan penyelesaian yang berbeda-beda. Dalam pembelajaran matematika, representasi matematis diartikan sebagai ungkapan dari ide-ide matematika yang digunakan untuk memperlihatkan hasil kerjanya dengan cara tertentu sebagai hasil 130

131 interpretasi dari pikirannya. Sedangkan kemampuan representasi matematis adalah kemampuan seseorang untuk menyajikan gagasan matematika yang meliputi penerjemahan masalah atau ide-ide matematis ke dalam interpretasi berupa gambar, persamaan matematis, maupun kata- kata. NCTM (2000:67) menyatakan bahwa representasi matematis adalah kunci untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Hal ini cukup berasalan karena untuk menyelesaikan masalah dan mengkomunikasikan ide-ide matematis seseorang perlu merepresentasikannya dalam berbagai bentuk representasi matematis. Representasi selalu digunakan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Tindakan dalam merepresentasikan sebuah konsep atau masalah matematis dapat menggunakan benda manipulatif, grafik atua diagram, kata-kata baik tertulis maupun secara lisan. Soedjadi (2000) mengemukakan bahwa objek kajian dalam matematika bersifat abstrak. Oleh karenanya untuk mempermudah dan memperjelas dalam penyelesaian masalah matematika, representasi sangat berperan yaitu untuk mengubah ide abstrak menjadi konsep yang nyata, misalkan dengan gambar, simbol, kata-kata, grafik, dan lain-lain. Dalam pembelajaran, lewat representasi eksternal siswa, guru dapat mengetahui apa sesungguhnya yang merupakan representasi internal dalam pikiran siswa, sehingga guru dapat melakukan evaluasi kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah. Suatu masalah yang rumit akan menjadi lebih sederhana, jika menggunakan representasi yang sesuai dengan permasalahan tersebut, sebaliknya representasi yang keliru membuat masalah menjadi sukar untuk dipecahkan, bahkan akan terjadi kesalahan dalam penyelesaian masalah tersebut. Representasi yang digunakan dalam menyelesaikan masalah tentulah sangat beragam tergantung dari cara berpikir siswa. Kartini (2009) menyatakan, pada dasarnya representasi dapat digolongkan menjadi (1) representasi visual (gambar, diagram grafik, atau tabel), (2) representasi simbolik (pernyataan matematik/notasi matematik, numerik/simbol aljabar) dan (3) representasi verbal (teks tertulis/katakata). Miskonsepsi Soedjadi (2000:14) menyatakan bahwa konsep adalah ide abstrak yang dinyatakan dalam suatu istilah atau rangkaian kata. Kemudian Michel (Bambico) menyatakan bahwa miskonsepsi adalah kesulitan konsep dan penalaran yang menghambat penguasaan siswa dalam berbagai ilmu. Selanjutnya, Suparno (Kiswanto: 2013) menyatakan bahwa miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada tidak sesuia antara suatu konsep dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Berdasarkan penelitian Muzangwa dan Chifamba (2012), umumnya miskonsepsi terlihat melalui kesalahan. Miskonsepsi bisa berupa salah perhitungan atau salah secara konsep. Berdasarkan uraian di atas, jika dikaitkan dengan pembelajaran matematika, miskonsepsi diartikan sebagai kesalahpahaman dalam memahami materi matematika atau salah dalam melakukan perhitungan. Kiswanto (2013) menyatakan bahwa adanya miskonsepsi menyebabkan siswa kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika. Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi masalah serius jika tidak segera diperbaiki, sebab kesalahan satu konsep dasar saja dapat menuntun seseorang pada kesalahan yang terus menerus, karena sebuah konsep dasar dalam matematika akan terus diaplikasikan ke materi selanjutnya. Menemukan letak miskonsepsi siswa di kelas merupakan cara yang bijak untuk memperbaiki miskonsepsi. 3. Metode Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di kelas VII-2 SMP Negeri 6 Banda Aceh, yang beralamat Jl. Tgk. Lam U No.1 Kota Baru Banda Aceh. Setelah semua siswa menjawab soal kemamapuan representasi matematis. secara tertulis, dan jawaban mereka diperiksa, subjek penelitian dipilih sebanyak 6 orang siswa berdasarkan berdasarkan keunikan representasi yang dibuat siswa dalam menyelesaikan masalah dan siswa yang mewakili setiap variasi skor untuk setiap jenis representasi. Teknik pengumpulan data a. Tes Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam merepresenatsikan masalah yang diberikan. Soal tes disusun berdasarkan kisi-kisi yang telah dibuat. Setelah subjek penelitian 131

132 mengikuti tes, peneliti menganalisis lembar jawaban siswa. Kemudian setiap jawaban diberi skor berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi yang telah dibuat. Dari skor tersebut dapat diketahui kemampuan representasi matematis siswa. Berikut tabel kisi-kisi soal pertidaksamaan linier satu variabel. Tabel 1. Kisi- Kisi Soal Pertidaksamaan Linier Satu Variabel Nomor Soal Kemampuan yang diukur 1 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk gambar berupa garis bilangan (representasi visual) b. Kemampuan siswa merepresentasi masalah ke dalam simbol matematika (representasi simbolik) 2 Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis (representasi simbolik) 3 a. Kemampuan siswa merepresentasikan masalah ke dalam simbol dan bahasa matematika (representasi simbolik) b. Kemampuan siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis (representasi simbolik) 4 Kemampuan siswa merepresentasikan simbol ke dalam bahasa/ kata-kata (kemampuan representasi verbal) b. Wawancara Wawancara dilakukan untuk mengetahui lebih jauh bagaimana siswa menerjemahkan setiap masalah ke dalam bahasa matematis dan mengetahui apakah setiap representasi yang dibuat siswa dalam penyelesaian masalah sesuai dengan konsep pertidaksamaan linier satu variabel atau tidak. Pemilihan siswa yang diwawancarai dilakukan berdasarkan kriterian tertentu, yaitu siswa yang mengerjakan setiap soal dengan represenatsi yang unik dan variasi skor yang diperoleh siswa untuk setiap jenis representasi. Teknik analisis data Untuk mengetahui kemampuan representasi matematis siswa pada materi pertidaksamaan linier satu variabel maka dilakukan analisis data sebagi berikut. 1. Memeriksa semua lembar jawaban siswa. Selanjutnya, setiap jawaban siswa diberi skor berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi matematis. 2. Mewawancarai siswa yang telah dipilih sebagai subjek penelitian. wawancara bertujuan untuk mengetahui penjelasan siswa lebih dalam mengenai representasi yang mereka buat dalam menyelesaikan masalah serta mengetahui representasi yang dibuat siswa sudah sesuai dengan konsep pertidaksamaan atau tidak. Membandingkan jawaban tertulis dengan hasil wawancara. Tabel 2 berikut adalah pedoman penilaian kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tertulis dan wawancara yang diadaptasi dari Holistic Scoring Rubrics menurut Cai, Lane, dan Jakabcsin (Pratiwi: 2013). Nomor soal 1a Tabel 2 Pedoman Penilaian Kemampuan Representasi Matematis Siswa Jenis Kemampuan Representasi Representasi Visual Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis bilangan disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan real pada garis bilangan dengan benar Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk garis bilangan namun gambar garis bilangan yang dibuat siswa belum lengkap Siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan real pada garis bilangan. Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis bilangan Skor

133 Nomor soal 1b Jenis Kemampuan Representasi Representasi simbolik Deskripsi Kemampuan Representasi Siswa Tidak ada jawaban 0 Siswa mampu merepresentasi masalah ke dalam bentuk simbol 4 dan mampu menentukan umur yang benar sesuai masalah yang diberikan Siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk symbol (>) 3 serta mampu menunjukkan umur yang benar. Siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam bentuk 2 simbol, namun mampu menentukan umur dengan benar sesuai dengan masalah yang diberikan atau siswa benar dalam menentukan simbol tapi belum mampu menentukan umur yang diminta dengan benar. Siswa salah dalam merepresentasikan masalah dan belum 1 mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan Tidak ada jawaban 0 Skor 2 Representasi Simbolik 3 Representasi simbolik 4 Representasi Verbal Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 4 persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 3 persamaan matematis, namun terdapat sedikit kesalahan dalam perhitungan matematisnya Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 2 persamaan matematis, namun terdapat banyak kesalahan dalam perhitungan matematisnya atau siswa benar dalam menyelesaikan langkah awal, tapi salah dalam menerapkan sifat pertidaksamaan Siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan 1 persamaan matematis, namun salah dalam menerapkan sifat pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah, langkah awal salah Tidak ada jawaban 0 Siswa mampu membuat model matematis dari masalah, mampu 4 melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar Siswa mampu mampu membuat model matematis dari masalah 3 dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun salah dalam menentukan solusi Siswa belum mampu membuat model matematis yang benar dari 2 masalah, namun mampu melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar Siswa mampu membuat model matematis dari masalah namun 1 terdapat banyak kesalahan dalam perhitungan Siswa salah dalam membuuat model matematis dan belum 0 mampu melakukan perhitungan dengan benar Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data 4 yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis Siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data 3 yang diberikan dengan benar, tersusun secara sistematis, tapi tidak tersusun secara logis Siswa mampu membuat situasi masalah menggunakan konteks 2 pertidaksamaan, tapi tidak sesuai dengan data yang diberikan. Siswa salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi 1 masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan atau masih menggunakan simbol dalam menuliskan masalah. Tidak ada jawaban 0 133

134 Selanjutnya, mendeskripsikan kemampuan representasi siswa berdasarkan jawaban tes dan hasil wawancara, kemudian skor yang diperoleh siswa untuk setiap soal dirangkum dalam bentuk tabel. Apabila jawaban tes tertulis dan penjelasan-penjelasan pada saat wawancara tidak sesuai maka kemampuan representasi siswa akan disimpulkan berdasarkan hasil wawancara, karena proses wawancara dikontrol tanpa adanya gangguan dari luar dan segala tindakan serta ucapan dapat diperhatikan. 4. Hasil dan Pembahasan Gambaran kemampuan representasi siswa Analisis kemampuan representasi visual siswa Soal nomor 1a Pada soal ini, siswa dituntut mampu menggambarkan garis bilangan yang mewakili masalah umur yang diizinkan untuk memiliki ktp. Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model garis bilangan yang dibuat siswa, seperti gambar berikut. Gambar 1 Jawaban siswa 1 Gambar 2 Jawaban siswa 6 Gambar 3 Jawaban siswa 3 Siswa 1 mengungkapkan bahwa umur penduduk yang diperbolehkan memiliki KTP adalah bilangan yang mereka bulatkan secara penuh pada garis bilangan, maksud bilangan yang lebih dari 17 adalah bilangan bulat, seperti 17, 18, 19, dan seterusnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2, 4, 5, dan 6 juga membatasi himpunan penyelesaian masalah hanya berupa bilangan bulat saja. Ini adalah salah satu bentuk miskonsepsi dalam menentukan solusi masalah. Penyebab miskonsepsi ini adalah siswa cendrung menganggap bilangan yang ada pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa mempertimbangkan bilangan lain yang berada di sepanjang garis bilangan. Sedangkan siswa 3 tidak memahami konsep garis bilangan karena siswa salah dalam menempatkan letak bilangan pada garis bilangan. Berdasarkan uraian di atas disimpulkan bahwa lima siswa merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real pada garis bilangan. Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, lima siswa memperoleh skor 2, yaitu siswa 1, 2, 4, 5, dan 6, sedangkan satu siswa yaitu siswa 3 mendapat skor 1, artinya siswa salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam garis bilangan. Analalisis kemampuan representasi simbolik Soal nomor 1b Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat tiga model matematika yang dibuat siswa, diantaranya dapat dilihat seperti gambar berikut ini. Gambar 4 Jawaban siswa Gambar 5 Jawaban siswa 5 Gambar 6 Jawaban siswa 1 Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 2 tidak memahami makna dari tanda pertidaksamaan yang dibuatnya ( ), siswa 2 menerjemahkan kata minimal menjadi, tetapi ia benar memahami bahwa umur yang diizinkan memiliki KTP adalah lebih dari atau sama dengan 17 tahun (masih membatasi solusi penyelesaian masalah dalam bentuk bilangan bulat saja). Gambar 5 adalah jawaban yang benar untuk masalah 1b yang dibuat oleh siswa 3, 4, 5, dan 6. Secara tertulis, mereka benar dalam menuliskan kalimat matematis berdasarkan masalah yang diberikan. Ketika peneliti mewawancarai siswa 3, 4, 5,

135 dan 6, terungkap bahwa mereka masih membatasi solusi dari penyelesaian masalah adalah berupa bilangan bulat. Sedangkan siswa 1 menganggap bahwa titik yang berada pada garis bilangan tersebut adalah simbol yang menandakan umur seseorang yang diperbolehkan memiliki KTP. Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa empat siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk simbol pertidaksamaan, tetapi tidak disertai dengan pemahaman tentang kepadatan bilangan real. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, keempat siswa memperoleh skor 2, yaitu siswa 3, 4, 5, dan 6. Sedangkan siswa 1 dan 2 salah dalam merepresentasikan masalah ke dalam simbol matematis dan belum mampu menentukan umur yang benar sesuai dengan masalah yang diberikan. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, siswa 1 dan 2 mendapat skor 1. Soal nomor 2 Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat lima cara menyelesaikan masalah yang dibuat siswa, yaitu: Gambar 7 Jawaban siswa 1 Gambar 8 Jawaban siswa 2 Gambar 9 Jawaban siswa 3 Gambar 10 Jawaban siswa 4 Gambar 11 Jawaban siswa 5 Siswa 1 mencoba-coba bilangan yang bisa diganti dengan nilai x. Hal ini diperkuat dengan hasil wawancara, siswa dengan percaya diri membaca tidak kurang dari. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 1 belum mampu membaca dan memahami makna dari tanda pertidaksamaan. Siswa 2 dan siswa 6 menyelesaikan masalah seperti Gambar 8. Berdasarkan gambar diketahui bahwa siswa mampu menuliskan langkah awal dengan benar, namun ketika kedua ruas sama-sama dibagi bilangan negatif, siswa tidak merubah tanda pertidaksamaannya. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi dalam menggunakan sifat-sifat pertidaksamaan dalam menyelesaikan masalah. Siswa 3 dan 4 belum mampu menuliskan langkah pertama dengan benar dalam menyelesaikan masalah. Dari hasil wawancara diketahui bahwa siswa 3 bingung dalam menentukan bilangan mana yang harus dihilangkan untuk mendapatkan nilai x, serta belum mampu menentukan bilangan mana saja yang bisa dijumlahkan. Sedangkan siswa 4 menyelesaikan masalah dengan konsepnya sendiri, siswa mengurangkan 10 dengan 3x dan memperoleh hasil 7x. Hal ini juga menunjukkan bahwa kedua siswa mengalami miskonsepsi mengenai bilangan yang dapat dioperasikan dengan operasi tambah atau kurang. Siswa 5 mampu menyelesaikan masalah dengan benar sesuai dengan perintah soal. Berdasarkan uraian di atas, satu siswa yang siswa mampu menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis dan melakukan perhitungan dengan benar, yaitu siswa 5. Dua siswa yaitu siswa 2 dan 6 benar dalam langkah awal, namun salah dalam menggunakan sifat pertidaksamaan. Tiga siswa menyelesaikan masalah dengan menggunakan persamaan matematis, namun salah dalam menerapkan sifat pertidaksamaan ditandai dengan salah pada langkah awal, yaitu siswa 1, 3, dan 4. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa mendapat skor 4, dua siswa memperoleh skor 2, tiga siswa memperoleh skor 1. Soal nomor 3 Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa, terdapat empat model matematis yang dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa. 135

136 Gambar 12 Jawaban siswa 1 Gambar 13 Jawaban siswa Gambar 14 Jawaban siswa 5 Gambar 15 Jawaban siswa 6 Berdasarkan jawaban siswa dan hasil wawancara diketahui bahwa siswa 1 dan siswa 3 belum mampu membuat model yang berdasarkan masalah dengan benar. Mereka menerjemahkan kata maksimal menjadi ", siswa 1 mencoba-coba mengganti nilai x dengan suatu bilangan yang mememenuhi model pertidaksamaan yang dibuatnya, serta membaca tanda pertidaksamaan ( ) yang dibuatnya sebagai tidak lebih dari. Hasil wawancara di atas menunjukkan bahwa siswa 1 memahami soal, tetapi belum mampu merepresentasikan masalah menjadi model matematis dengan benar serta siswa 1 mencoba-coba mengganti x dengan sebuah bilangan yang memenuhi model pertidaksamaan yang dibuatnya. Dari petikan wawancara diketahui bahwa siswa 3 membaca tanda " sebagai lebih besar dari serta menerjemahkan kata maksimal menjadi. Ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi dalam menerjemahkan masalah menjadi model matematis yang sesuai dengan pertidaksamaan linier satu variabel. Siswa 5 membuat tabel untuk memudahkannya dalam memahami soal. Siswa 2, 4, dan 5 mampu menerjemahkan masalah ke dalam model matematis dengan benar. Siswa 2 dan 5 juga mampu menyelesaikan masalah b dengan benar disertai alasan yang tepat. Sedangkan siswa 4 menemukan 38 kotak paling banyak yang dapat diangkut dengan cara mencoba-coba mensubstitusi nilai x yang memenuhi pertidaksamaan. Untuk soal nomor 3c, siswa 2 dan 4 menggunakan tanda sama dengan (=), sedangkan siswa 5 menggunakan tanda kurang dari atau sama dengan ( ). Secara tertulis siswa 2 dan menyatakan bahwa hanya 5 kali pengangkutan saja kotak itu akan habis. Sedangkan siswa 5 menyatakan bahwa kotak akan habis jika diangkut sebyak 1, 2, 3, 4, dan 5 kali pengakutan. Ketika wawancara ditemukan bahwa maksud siswa 2 sama dengan siswa 5 yaitu Pak Riki bisa mengangkut sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 kali agar 190 kotak bisa habis. Sedangkan siswa 4 menganggap bahwa hanya 5 kali pengangkutan saja 190 kotak akan habis diangkut oleh Pak Riki. Siswa 6 mampu membuat model dan menyelesaikan persamaan matematis dengan benar disertai dengan penjelasan yang tepat. Berdasarkan uraian di atas, hanya ada satu siswa yang mampu membuat model matematis dari masalah, mampu melakukan perhitungan dan menemukan solusi dengan benar yaitu siswa 6. Tiga siswa mampu membuat model matematis dari masalah dan mampu melakukan perhitungan dengan benar, namun salah dalam menentukan solusi, yaitu siswa 2, 4, dan 5. Dua siswa yaitu siswa 1 dan 3 salah dalam membuat model matematis dari masalah, perhitungan benar, serta salah dalam menentukan solusi yang diminta. Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, satu siswa mendapat skor 4, tiga siswa mendapat skor 3, dua siswa mendapat skor 1. Analisis kemampuan representasi verbal Soal nomor 4 Berdasarkan jawaban tertulis dari enam siswa yang diwawancarai, terdapat 6 soal cerita berbeda yang dibuat oleh siswa berdasarkan situasi yang diberikan, berikut hasil jawaban siswa.

137 Gambar 16 Jawaban siswa 4 Gambar 17 Jawaban siswa 5 Secara tertulis terdapat 6 soal cerita yang berbeda yang dibuat siswa, dua soal cerita seperti gambar di atas memiliki maksud yang berbeda. Siswa 1 dan 5 membuat soal cerita dengan cara mencoba-coba mengubah variabel y dengan sebuah bilangan yang nilainya sesuai dengan tanda pertidaksamaan yang diminta. Siswa 2, 4, dan 6 mampu membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan (Gambar 16). Siswa 3 dan 5 membuat soal cerita seperti Gambar 17, berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa siswa bingung dalam merubah nilai y ke dalam masalah sehari-hari. Berdasarkan uraian di atas, tiga siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis yaitu siswa 2, 4, dan 6. Tiga siswa lainnya salah dalam membuat situasi masalah yang meliputi masalah yang dibuat tidak sesuai simbol atau masalah yang dibuat tidak menggunakan konteks pertidaksamaan, yaitu siswa 1, 3, dan 5. Dengan demikian berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, tiga siswa memperoleh skor 4, tiga siswa memperoleh skor 1. Subjek Penelitian Tabel 3 Skor Kemampuan Representasi Matematis Siswa Setelah Wawancara Kemampuan Representasi Visual Skor Kemampuan Representasi Matematis siswa Kemampuan Representasi Simbolik Soal nomor 2 Soal nomor 1b Soal nomor 3 (a, b, dan c) Kemampuan Representasi Verbal Siswa Siswa Siswa Siswa Siswa Siswa Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa siswa membuat beragam representasi dalam meyelesaikan masalah. Berdasarkan pedoman penilaian kemampuan representasi, skor kemampuan representasi siswa umumnya termasuk kepada skor rendah yaitu skor 1 dan 2, hanya sebagian kecil siswa yang mendapat skor 3 dan 4. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Hudiono (Afriani, Siti:2014) dalam disertasinya menyatakan bahwa sebagian kecil siswa dapat menjawab benar dalam mengerjakan soal matematika yang berkaitan dengan kemampuan representasi, sedangkan sebagian lainnya lemah dalam memanfaatkan kemampuan representasi yang dimilikinya, khususnya representasi visual. Berikut akan dijelaskan masing-masing representasi yang dibuat siswa. 1. kemampuan representasi visual siswa yang masih rendah diketahui dari gambar garis bilangan yang dibuat siswa. Representasi yang dibuat siswa dalam menentukan penyelesaian masalah masih terbatas berupa bilangan bulat. Penyebabnya adalah siswa cendrung menganggap bilangan yang ada pada garis bilangan hanya bilangan bulat tanpa mempertimbangkan bilangan lain yang berada di sepanjang garis bilangan. Temuan ini menunjukkan bahwa siswa mengalami miskonsepsi ketika mempelajari materi bilangan khususnya kepadatan bilangan real pada garis bilangan sehingga mereka tetap menggunkan konsep yang mereka pahami sendiri dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan garis bilangan. Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian Blanco dan Garrote (2007) bahwa sedikit siswa yang menggunakan bilangan real dalam penyelesaian operasi hitung. Kebanyakan siswa mengambil batasan bilangan asli dalam pemahaman interval pada garis bilangan. Dengan demikian guru perlu meninjau dahulu pemahaman siswa mengenai kepadatan bilangan real pada garis bilangan sebelum melanjutkan pada topik yang lebih tinggi. 137

138 2. kemampuan representasi simbolik siswa dapat diketahui dari penyelesaian masalah pada soal nomor satu, dua, dan tiga. a. Pada soal nomor 1b dan 3a, siswa dituntut untuk menerjemahkan masalah ke dalam model matematis. Berdasarkan jawaban siswa dan wawancara kemampuan representasi simbolik siswa pada soal nomor 1b dan 3a dipengaruhi konteks masalah yang diberikan, misalnya kata-kata maksimal dan minimal. Siswa mengartikan maksimal dengan tanda dan minimal dengan tanda, jawaban siswa seperti Gambar Hal ini disebabkan karena siswa memodelkan masalah dengan spontan tanpa memahami maksud dari masalah yang diberikan dan siswa mengannggap bahwa maksimal itu berarti besar dan minimal itu berarti kecil sehingga kebanyakan siswa menerjemahkan kata maksimal menjadi dan minimal menjadi. b. Pada soal nomor 2 dan 3 (b dan c), siswa dituntut untuk menyelesaikan pertidaksamaan linier satu variabel. Dari jawaban siswa diketahui bahwa umumnya siswa belum mampu menggunakan sifat pertidaksamaan linier dalam menyelesaikan masalah. Hal ini diperjelas dengan penjelasan siswa ketika wawancara.berkenaan dengan masalah tersebut Rosengrant (2005) menyatakan bahwa pencapaian tertinggi dari representasi tidak hanya membantu siswa menyelesaikan masalah, namun juga dapat mengevaluasi pekerjaan mereka. Secara umum, jawaban dan penjelasan siswa menggambarkan ketidakpahaman siswa mengenai konsep pertidaksamaan. Ketidakpahaman konsep pertidaksamaan merupakan lanjutan ketidakpahaman siswa dalam pada materi sebelumnya. 3. kemampuan representasi verbal siswa dapat diketahui dari soal cerita yang dibuat siswa pada soal nomor empat. Pada soal nomor empat siswa dituntut mampu menuliskan situasi nyata berdasarkan pertidaksamaan yang diberikan. Dari jawaban siswa yang didukung dengan hasil wawancara ditemukan tiga orang siswa kesulitan dalam menerjemahkan variabel y ke dalam soal cerita yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari, seperti Gambar 17. Setelah diskusi dengan guru matematika yang mengajar di kelas tersebut diketahui penyebab kesulitan siswa ini adalah selama ini siswa tidak terbiasa membuat soal cerita berdasarkan model matematis yang diberikan. Tiga siswa lainnya mendapat skor 4 artinya siswa mampu membuat situasi masalah berdasarkan data-data yang diberikan dengan benar, tersusun secara logis dan sistematis. Mereka menganggap bahwa soal nomor 4 adalah soal yang mudah karena tiga siswa tersebut memperoleh nilai 3 dan 4 untuk soal sebelumnya yang menuntut siswa mampu menerjemahkan soal cerita ke dalam simbol matematik, kemudian siswa membalik situasi dari pertidaksamaan yang diberikan menjadi soal cerita seperti soal nomor Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut. 1. Kemampuan representasi visual siswa masih rendah, artinya siswa mampu merepresentasikan masalah ke dalam bentuk garis bilangan, tapi tidak disertai dengan pemahaman kepadatan bilangan real pada garis bilangan, 2. Kemampuan representasi simbolik siswa masih rendah, umumnya siswa memperoleh skor 1 dan Kemampuan representasi verbal siswa bervariasi, tiga siswa mendapat skor 4 dan tiga siswa lainnya mendapat skor 1. Siswa yang memperoleh skor 4 artinya siswa benar dalam membuat soal cerita yang sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan, sedangkan siswa yang memperoleh skor 1 artinya soal cerita yang dibuat siswa tidak sesuai dengan pertidaksamaan yang diberikan. 4. Hasil temuan lain yang terkait dengan kemampuan representasi siswa adalah miskonsepsi siswa dalam menyelesaikan masalah pertidaksamaan linier satu variabel yang meliputi: miskonsepsi dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematis, miskonsepsi dalam memahami kepadatan bilangan real, dan miskonsepsi dalam menggunakan sifat pertidaksamaan. Berdasarkan simpulan di atas disarankan diharapkan guru untuk dapat mengevaluasi terlebih dahulu pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki siswa sebelum melangkah ke materi selanjutnya, diharapkan guru menyediakan waktu untuk berdiskusi dengan siswa mengenai cara siswa dalam merepresentasikan masalah matematika, khusunya pada materi pertidaksamaan linier satu variabel, dan diharapkan adanya penelitian lanjutan untuk mengetahui metode yang tepat guna meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa. 138

139 Daftar Pustaka Afriani, Nur Fitri Siti Pengaruh Pembelajaran Matematika dengan Metode Improve terhadap Kemampuan Representasi Matematis Siswa SMP. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: UPI. Anonymous Principles and Standards for School Mathematics. USA: Library of Congress Cataloguing in Publication Data. Ansari, I. B Komunikasi Matematik Konsep dan Aplikasi. Banda Aceh: Yayasan PeNA Banda Aceh Divisi Penerbitan. Bambico, Tersita. Tanpa Tahun. Mathematical Strengths, Difficulties and Misconceptions of Teachers: Analysis of Their Performance in an Achievement Test. Diakses pada 27 Maret 2014 dari alamat Blanco, J Lorenzo dan Manuel Garrot Difficulties in Learning Inequalitiesin Students of the First Year of Pre-University Education in Spain. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education, 3(3), Diakses pada 24 Maret 2014 dari alamat Ismail, dkk Kapita Selekta Pembelajaran Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka. Kartini Peranan Representasi dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, Yogyakarta, 5 Desember. Diakses pada 13 Oktober 2013 dari alamat Kartini.pdf, Kiswanto, Aris Miskonsepsi Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Materi Lingkaran Kelas VIII Mts Taqwiyatul Wathon. Skripsi tidak diterbitkan. Semarang: IKIP PGRI Semarang. Muzangwa, Jonatan dan Peter Chifamba Analysis Of Errors And Misconceptions In The Learning Of Calculus By Undergraduate Students. Journal: Acta Didactika Napocensia, Volume 2, Number 5. Diakses pada 27 Maret 2014 dari alamat Pratiwi, Endah Dwi Penerapan Pendekatan Model Eliciting Activities (MEAs) untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi Siswa SMP. Skripsi tidak diterbitkan. Bandung: UPI. Rosengrant, D, et. al An Overview of Recent Research on Multiple Representations. Diakses pada 7 Januari 2014 dari alamat Downloads/Papers/DavidRosperc2006.pdf, Soedjadi, R Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Wiryanto Representasi Siswa Sekolah Dasar dalam Pemahaman Konsep Pecahan. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, FMIPA UNY, Yogyakarta, 10 November. Diakses pada 8 Januari 2014 dari alamat 139

140 PENGEMBANGAN PORTOFOLIO ASESSMENT PADA PEMBELAJARAN MATA KULIAH GEOMETRI PGSD: PEGANGAN GURU Murni 1, Burhanuddin AG 2 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh murniusm@gmail.com 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Abstrak. Dalam memahami kosep-konsep, geometri di PGSD dianggap mata kuliah yang paling sulit. Hal ini terjadi karena geometri dianggap mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi dan sulitnya penyesuaian mahasiswa PGSD dengan pembelajaran yang ada di dunia barunya yaitu universitas. Selain itu, penilaian dosen juga dianggap lebih menitikberatkan pada aspek kognitif saja. Oleh karena itu, perlu adanya penilaian yang dapat mengembangkan kesuluruhan aspek (kognitif, afektif, psikomotorik, dan emosional) yaitu authentic assessment dengan portofolio. Target khusus dalam penelitian ini adalah: (1) dapat menghasilkan instrumen Portopolio Asessment pada Pembelajaran Giometri yang dilengkapi dengan silabus dan kontrak perkuliahan; (2) Buku Panduan Mahasiswa; (3) Lembar Kerja Mahasiswa; (4) Buku Pegangan Guru SD dalam pembelajaran Giometri SD; (5) Jurnal Internasional; (6) Jurnal Nasional; (7) Workshop Guru SD Aceh Besar Penelitian ini dilakukan dengan sampelnya yaitu mahasiswa PGSD di Universitas Serambi Mekkah, karena diharapkan nantinya mereka dapat mempraktekannya langsung untuk siswa-siswinya di SD yang merupakan level awal khususnya dalam mempelajari geometri (Tujuan Jangka Panjang). Pengembangan penelitian ini dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan (Metode). Sehingga diharapkan mendapat suatu penilaian geometri yang menilai keseluruhan aspek. Kata Kunci: assessment, portofolio, geometri, PGSD, Pembelajaran Matematika 1. Pendahuluan Latar belakang Mata kuliah Geometri merupakan salah satu mata kuliah yang sangat penting dan fundamental dalam membentuk kemampuan matematika bagi mahasiswa S-1 PGSD. Penting, karena beberapa konsep dan prinsip yang ada di geometri teraplikasi secara sederhana dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam konteks pengembangan ilmu lainnya. Fundamental, karena hampir semua konsep yang diajarkan di mata kuliah lainnya (mata kuliah lanjut) menggunakan konsep-konsep yang ada di geometri. Dalam pembelajaran Mata Kuliah Geometri di S-1 PGSD, mahasiswa atau calon guru harus mampu memahami konsep-konsep geometri, mulai dari pengenalan geometri dari kurva, garis sejajar, segitiga, segiempat, dan lingkaran serta dapat membuktikannya dan akhirnya dapat mengaplikasikannya. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa secara umum mahasiswa merasa kesulitan dalam memahami konsep-konsep geometri. Hal ini terlihat dari nilai geometri yang rata-rata mahasiswa dengan nilai kurang memuaskan (tiap tahun, rata-rata IPK yang menempuh mata kuliah ini, kurang dari 3). Dugaan sementara, (1) konsep yang ada di geometri mempunyai tingkat kesulitan yang agak tinggi, (2) adanya kekagetan mahasiswa, terutama kaitannya dengan sistem belajar di SMA dan di PT, dan (3) cara penilaian dosen yang lebih menitikberatkan pada pemahaman konsep secara kognitif, dan kurang memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik. Khusus point (3), perlu adanya penerapkan suatu penilaian (assessment) yang lebih mengukur kemampuan mahasiswa secara komprehensif yang disebut dengan authentic assessment yang dalam pelaksanaannya menggunakan portofolio. Penggunaan authentic assessment ini bertujuan untuk mengembangkan keseluruhan aspek (kognitif, afektif, psikomotor, dan emosional mahasiswa). 140

141 Authentic assessment didesain untuk lebih menggiatkan para mahasiswa agar mampu menguasai dan mendemonstrasikan pengalaman belajar dan mengaplikasikannya di sekolah dasar. Ide penerapan model assessment ini adalah ingin meninggalkan assessment tradisional yang biasa digunakan pendidik, karena dipandang kurang relevan dengan kondisi riil peserta didik. Oleh karena itu, para pendidik ditantang untuk mampu mengidentifikasi bagaimana cara mahasiswa dalam mendemonstrasikan pengalaman belajarnya secara tepat, dan mereka harus mampu memilih standar penilaian yang cocok (adekuat) dalam mengakses performance mahasiswa (Savage and Amstrong, 1996), seperti yang diamanatkan oleh kurikulum tahun Dengan mengimplementasikan authentic assessment, diharapkan para peserta didik (Calon Guru Sekolah Dasa) dapat mendemonstrasikan beberapa kemampuan sesuai dengan pengalaman hidup yang lebih riil dan lebih komprehensif. Fokus yang diakses tidak hanya aspek kognitif tingkat tinggi saja tetapi juga aspek afektif dan keterampilan (Borich, 1994). Oleh sebab itu, authentic assessment tidak hanya berfungsi untuk mengakses kemampuan dalam menghafal informasi, bentuk-bentuk konsep, generalisasi dan problem solving saja, tetapi juga meliputi kebiasaan berfikir, bersikap dan keterampilan sosial. Misalnya aktivitas peserta didik dalam diskusi, groupwork, fieldwork, observasi di lapang, interaksi antar mahasiswa, dan pekerjaan mahasiswa. Semua itu akan dapat terdeteksi dengan mudah melalui performance assessment. Dalam penelitian ini, penilaian diarahkan pada penilaian portofolio. Penilaian portofolio merupakan penilaian secara berkesinambungan dengan metode pengumpulan informasi atau data secara sistematik atas hasil pekerjaan mahasiswa dalam waktu tertentu (Yasin, 2002:64). Penilaian portofolio juga dianggap sebagai salah satu jenis assessment authentic (Karim, 2004:3). Hal ini dikarenakan penilaian portofolio dapat menilai mahasiswa secara authentic. Artinya, tugas-tugas yang diberikan kepada mahasiswa (serta terkumpul dalam map) terkait dengan penilaian portofolio dapat bermakna dan sesuai dengan kedaan mahasiswa yang sebenarnya. Melalui portofolio, kemampuan berfikir mahasiswa dapat diketahui. Hal ini dapat dilakukan dosen dengan melihat map mahasiswa yang berisi hasil kerja mahasiswa, ide-ide yang ditulis, konsep yang diperoleh, atau hasil kerja mahasiswa ketika menyelesaikan masalah. Dengan demikian diharapkan dosen dapat menilai mahasiswa baik dari segi proses belajar maupun hasil belajar. Urgensi (keutamaan) penelitian Kebijakan penilaian (assessment) merupakan bagian dari reformasi Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, yang dalam pelaksanaannya diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Penilaian (assessment) adalah istilah umum yang mencakup semua metode yang biasa digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok peserta didik. Proses penilaian mencakup pengumpulan bukti yang menunjukkan pencapaian belajar peserta didik. Penilaian merupakan suatu pernyataan berdasarkan sejumlah fakta untuk menjelaskan karakteristik seseorang atau sesuatu (Angari, 2005). Penilaian juga diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran atau kegiatan untuk memperoleh informasi tentang pencapaian kemajuan belajar peserta didik. Portofolio adalah kumpulan dokumen dan karya-karya peserta didik dalam bidang tertentu yang diorganisasikan untuk mengetahui minat, perkembangan prestasi, dan kreativitas peserta didik. Bentuk ini cocok untuk mengetahui perkembangan unjuk kerja peserta didik dengan menilai bersama karyakarya atau tugas-tugas yang dikerjakannya. Peserta didik dan pendidik perlu melakukan diskusi untuk menentukan skor penilaian. Perkembangan kemampuan peserta didik dapat dilihat pada hasil penilaian portofolio. Sistem penilaian meliputi kegiatan perancangan dan pelaksanaan penilaian, analisis dan tindak lanjut hasil penilaian, serta pelaporan penilaian. Mekanisme penilaian hasil belajar peserta didik digambarkan pada bagan berikut: Perencanaan Penilain Pelaksanaan Penilaian Analisis Hasil Penilaian Pelaporan Hasil Penelitian Tindak Lanjut Hasil Penilaian Bagan 1. Mekanisme Penilaian 141

142 Inovasi yang ditargetkan dalam penelitian ini adalah: a) Bagi dosen, sebagai bahan pertimbangan dalam perkuliahan untuk pemilihan strategi dan portofilio assessment sehingga dapat menumbuhkan motivasi dan semangat belajar bagi mahasiswa PGSD untuk memperoleh hasil belajar yang lebih baik, b) Bagi guru SD, dapat dijadikan sebagai pegangan dalam mengajar materi Geometri, c) Bagi lembaga, sebagai bahan informasi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan dan dalam penerapan kurikulum 2013 di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP, d) Bagi mahasiswa PGSD, semakin mengetahui dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya unsur kognitif, melainkan juga aspek psikomotorik dan afektif. 2. Tinjauan Pustaka Assessment (1) Pengertian assessment. Pengertian assessment Shrock dan Coscarelli (dalam Karim, 2004:1) adalah Suatu proses pengumpulan informasi yang dilakukan secara sistematik tanpa memperhatikan pada suatu keputusn tentang nilai. Assessment juga diartikan sebagai proses pengumpulan data yang dapat memberikan gambaran tentang perkembangan belajar peserta didik (Depdiknas, 2005). Selain itu, Karim (2004:1) mengatakan bahwa, assessment merupakan kegiatan yang terintegrasi dengan pembelajaran. Maksudnya, penilaian yang dilakukan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang bertujuan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya proses pembelajaran yang telah dilakukan oleh pendidik. (2) Assessment dalam pembelajaran. Dalam kaitannya dengan pembelajaran, Hart (dalam Karim, 2004:1) menyatakan bahwa: Assessment merupakan suatu proses yang diketahui dan apa yang dapat dikerjakan peserta didik. Selanjutnya, Hart (dalam Karim, 2004:1) juga menegaskan bahwa dalam pengumpulan informasi tentang belajar dapat dilakukan dengan cara melakukan tes, mengobsevasi peserta didik ketika sedang belajar, serta mewawancarai atau memeriksa produk hasil kerja peserta didik. Dengan kata lain, assessment dalam pembelajaran harus berupa interaksi antara pengajar dan peserta didik. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa assessment merupakan suatu proses mengumpulkan informasi tentang belajar peserta didik dan memperoleh gambaran hasil belajar, berdasarkan informasi-informasi yang terkumpul. 142 Menurut Kahfi (2005:4), ada beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam assessment antara lain: (a) Assessment/penilaian harus mencakup tiga aspek, yaitu: pengetahuan, keterampilan, dan sikap; (b) menggunakan berbagai cara assessment pada waktu kegiatan pembelajaran sedang berlangsung, misalnya: mendengarkan, observasi, mengajukan pertanyaan, mengamati hasil kerja, dan memberikan tes; (c) pemilihan cara dan bentuk penilaian berdasarkan tuntutan kompetensi dasar; (d) mengacu kepada tujuan dan fungsi penilaian, misalnya pemberian umpan balik, pemberian informasi kepada mahasiswa tentang tingkat keberhasilan belajarnya, memberikan laporan kepada orang tua; (e) bersifat memilih-milih yang berhasil dan yang gagal dalam menerima pelajaran. Dalam pembelajaran, ada beberapa bentuk penilaian yang dapat di gunakan dosen untuk mengumpulkan informasi berhubungan dengan proses dan hasil belajar. Penilaian tersebut antara lain: penilaian tertulis, produk, unjuk kerja, proyek, dan portofolio (Kahfi, 2005:25). (3) Assessment authentic. Menurut Karim (2004:1), assessment authentic adalah penilaian dengan melibatkan dalam menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang mereka miliki. Karim (2004:1) menegaskan bahwa suatu penilaian dikatakan authentic apabila tugas-tugas yang diberikan sesuai, berarti dan bermakna bagi, istilah lain tentang assessment authentic merupakan penilaian yang mengukur kemampuan peserta didik yang mencakup aspekaspek yang luas. Aspek-aspek tersebut antara lain berupa aspek minat belajar, pemahaman konsep matematika, penyelesaian masalah melalui kerja kelompok, dan kreatifitas dalam mengembangkan kemampuan matematika. Dengan kata lain, Assessment authentic merupakan penilaian yang mengukur kemampuan mahasiswa dimana tugas-tugas yang diberikan menantang mahasiswa agar dapat mengembangkan kemampuan dan meningkatkan pengetahuan pada kondisi yang bermakna. Assessment authentic memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) mengukur semua aspek pembelajaran, yang terdiri dari

143 proses, kinerja, dan produk; (b) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (c) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber dalam proses penilaiannya; (d) tes hanya sebagai salah satu alat pengumpul data penilaian; (e) tugas-tugas yang diberikan kepada peserta didik harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan peserta didik sehari-hari, mereka harus dapat menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari; (f) penilaian harus menekankan pada kedalaman pengetahuan dan keahlian mahasiswa, bukan keluasannya (kuantitatif). Menurut Johnson (2002:166), terdapat empat jenis assessment authentic yang dapat digunakan dalam pembelajaran yaitu portofolio, assessment kinerja (performance assessment), proyek, dan evaluasi diri oleh mahasiswa. Perlu ditegaskan bahwa keenam tipe assessment tersebut tidak bersifat satu kesatuan, tetapi saling melengkapi satu dengan yang lain. Karena itu, dalam tulisan ini dari beberapa tipe assessment di atas, penulis lebih memfokuskan pada penggunaan assessment portofolio. Misalnya, pada penggunaan penilaian portofolio dalam penelitian pembelajaran giometri, dapat menyertakan laporan proyek, jurnal belajar, rangkuman materi yang sudah dijelaskan, pekerjaan rumah, latihan soal, keaktifan mahasiswa dalam pembelajaran, nilai kuis, dan nilai ulangan harian. (4) Pengertian portofolio. Secara etimologis, portofolio berdasar dari dua kata yaitu report yang berarti laporan dan folio berarti penuh atau lengkap. Jadi portofolio berarti laporan lengkap tentang segala aktifitas mahasiswa yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran yang diikutinya. Portofolio merupakan kumpulan karya (hasil kerja) seorang mahasiswa dalam satu priode tertentu. Kumpulan karya ini dapat berbentuk tugas-tugas yang dikerjakan mahasiswa, jawaban mahasiswa atas pertanyaan dosen, catatan hasil observasi dosen, catatan hasil wawancara dosen dengan mahasiswa, laporan kegiatan mahasiswa dan karangan atau jurnal yang dibuat mahasiswa. (5) Jenis-jenis portofolio. Menurut Pheeny (dalam Susilo & Zubaidah, 2004:1), ada tiga jenis portofolio yang dapat digunakan sebagai assessment/penilaian portofolio yaitu: (a) Portofolio Proses (Working): Portofolio proses berisi karya mahasiswa yang sedang dalam perkembangan, dapat berisi hasil usaha terbaik dan terjelek mahasiswa. Umumnya portofolio proses tidak langsung dievaluasi tetapi dapat digunakan untuk mengakses strategi pembelajaran yang akan datang dan mereview kemajuan mahasiswa dalam waktu tertentu; (b) Portofolio Hasil kerja (Show Case) : Portofolio Hasil kerja berisi hasil kerja akhir (makalah, laporan proyek, dan contoh-contoh dari upaya terbaik) yang merefleksikan upaya terbaik mahasiswa. Dalam memilih hasil akhir dalam portofolio, hasil kerja ini dapat ditentukan sepenuhnya oleh dosen tetapi seringkali mempertimbangkan masukan dari mahasiswa. (c) Portofolio Penilaian (Evaluative) : Portofolio penilaian berisi semua hasil catatan yang diperlukan oleh dosen untuk mengevaluasi mahasiswa dan berisi hasil karya terbaik mahasiswa. Pada akhir semester atau akhir waktu penyusunan portofolio, mahasiswa diminta untuk mengubah suatu portofolio proses menjadi portofolio hasil kerja (dengan memilih karya terbaik dan membuang karya yang kurang memuaskan), sehingga pada gilirannya portofolio tersebut dapat dijadikan portofolio penilaian dengan menambahkan kelengkapan lainnya termasuk hasil refleksi diri mahasiswa. Portofolio assessment Dalam penerapan pada pembelajaran, portofolio dapat digunakan untuk mendokumentasikan perkembangan belajar, melihat kemajuan belajar, sikap, keterampilan, dan ekspresinya mahasiswa terhadap sesuatu. Hal tersebut dilakukan karena menyadari proses belajar sangat penting untuk keberhasilan hidup (Rusoni, 2002:l1). Dengan demikian, assessment portofolio menurut (Yasin, 2002:64) merupakan penyempurnaan dan pengembangan dari portofolio dengan mempertimbangkan langkah-langkah yang dipakai dalam merencanakan, mengumpulkan dan menganalisis data yang terkumpul melalui portofolio. Pelaksanaan assessment portofolio mensyaratkan kejujuran mahasiswa dalam melaporkan rekaman belajarnya, dan kejujuran dosen dalam menilai kemampuan mahasiswa sesuai dengan kriteria yang telah disepakati. Dengan kata lain dosen harus mampu menunjukkan pentingnya laporan yang jujur dari mahasiswa. Beberapa karakteristik assessment portofolio (Yasin, 2002:64): (a) Komprehensif adalah dalam menilai hasil pekerjaan, assessment portofolio menggunakan teknik assessment formal dan informal; memfokuskan tidak hanya pada produk (hasil) tetapi juga proses pembelajaran, berusaha memahami 143

144 perkembangan bahasa pembelajaran dalam kebahasaan, kognitif, metakognitif, dan aspek afektif, terdiri dari masukan yang berasal dari dosen/guru, pembelajar dan tujuan belajar, dan menekankan pada pengembangan akademik disamping pengembangan formal; (b) Terencana dan sistematisadalah Assessment portofolio direncanakan dengan matang sebelum melaksanakannya; anggota tim portofolio menyusun aturan portofolio, isi portofolio, jadwal pengumpulan data dan kriteria kinerja pembelajaran, serta assessment portofolio haruslah mempunyai tujuan yang jelas; (c) Informatif adalah Informasi yang diperoleh dari penilaian portofolio harus bermakna bagi dosen, pembelajar, dan orang tua. Informasi tersebut berguna untuk penyesuaian pengajaran dan kurikulum terhadap kebutuhan pembelajaran, serta merupakan mekanisme umpan balik bagi dosen dan mahasiswa dalam mengevaluasi pembelajaran yang telah dilakukan (d) Terpola adalah Assessment portofolio terpola sesuai tujuan yang akan dicapai model assessment, tujuan pembelajaran, dan kebutuhan penilaian kegiatan pembelajaran; (e) Authentic Adalah Informasi yang terkumpul didasarkan pada tugas-tugas yang diberikan terkait dengan kegiatan mahasiswa, serta berarti bagi mahasiswa. Dalam menyelesaikan tugas yang diberikan dosen, mahasiswa berusaha meningkatkan kemampuannya dalam berbahasa yang lebih komunikatif dan fungsional dari pada kemampuan terpisah-pisah. Penerapan portofolio assessment dalam pembelajaran geometri Bentuk-bentuk assessment portofolio adalah berupa catatan anekdotal, yaitu berupa lembaran khususnya selama berlangsung proses pembelajaran. Lembaran ini memuat identitas yang diamati, waktu pengamatan, dan lembar rekaman kejadiannya, yang meliputi kognitif, afektif, dan psikomotor. Catatan anekdotal dalam assessment portofolio terdiri dari jurnal belajar harian, lembar kerja mahasiswa, rangkuman materi yang sudah dijelaskan, pekerjaan rumah, proyek, latihan soal, kuis, ulangan harian, dan refleksi akhir pembelajaran dan aktivitas mahasiswa. (1) Jurnal Belajar Harian. Jurnal belajar yang dibuat mahasiswa merupakan salah satu tugas yang harus dikerjakan mahasiswa pada waktu pembelajaran Geometri. Kegiatan ini dilaksanakan 10 atau 15 menit diakhir pembelajaran. Jurnal belajar harian mahasiswa berisi tentang: (a) pengalaman belajar pada waktu mengikuti perkuliahan, (b) uraian tertulis materi yang telah dipahami setelah mengikuti pembelajaran, dan (c) uraian tertulis materi yang belum dipahami serta bagaimana mahasiswa mengatasi kesulitan yang dialami; (2) Lembar Kerja Mahasiswa (LKM).Untuk menunjang aktifitas pembelajaran digunakan lembar kerja mahasiswa (LKM). LKM digunakan pada saat melakukan diskusi kelompok. LKM digunakan dosen untuk membimbing mahasiswa dalam menelusuri penyelesaian masalah dan mendalami konsep yang dipelajari; (3) Rangkuman Materi. Rangkuman materi merupakan catatan-catatan singkat yang ditulis mahasiswa dan berisi tentang materi yang sudah diajarkan. Tugas ini dikerjakan mahasiswa di luar jam perkuliahan. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mempelajari materi yang telah didiskusikan di kelas dengan menuliskan kembali materi dan contoh soal yang diperoleh dengan bahasa sendiri. Rangkuman materi yang telah dibuat juga bertujuan untuk penekanan inti pembelajaran serta refleksi dosen untuk mengetahui sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi Geometri. Di akhir waktu pada saat pengumpulan/pemeriksaan portofolio, rangkuman materi yang di miliki mahasiswa dikumpulkan sebagai bukti portofolio; (4) Pekerjaan Rumah (PR). Tugas pekerjaan rumah (PR) diberikan pada saat pembelajaran berakhir yang dikerjakan di rumah sebagai tugas individu. Tugas pekerjaan rumah (PR) dikumpulkan pada pertemuan berikutnya, dinilai, dan diberi komentar serta pembetulan oleh dosen. Setelah itu diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan dikumpulkan sebagai bukti portofoli; (5) Proyek. Proyek adalah suatu metode atau suatu cara mengajar yang memberikan kesempatan pada anak didik untuk menggunakan unit-unit kehidupan sehari-hari sebagai bahan pelajarannya. Proyek bertujuan agar anak didik tertarik untuk belajar. Proyek yang diberikan dosen digunakan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bervariatif. Dengan memberikan proyek, mahasiswa diharapkan dapat menerapkan materi dikehidupannya serta menyelesaikan masalah secara bertahap. Laporan proyek yang telah diselesaikan dikumpulkan sebagai bukti portofolio; (6) Latihan Soal. Latihan soal yang diberikan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan soal-soal yang bervariasi. Mahasiswa bebas menentukan soal yang akan diselesaikan, dengan syarat sesuai dengan materi yang dipelajari dan sesuai indikator yang harus dicapai. Latihan soal yang telah diselesaikan dikumpulkan sebagai bukti portofolio; 144

145 (7) Kuis. Kuis merupakan salah satu bentuk tes yang diberikan dosen kepada mahasiswa setelah pembelajaran dilaksanakan. Pemberian kuis dilaksanakan 20 atau 15 menit di akhir pembelajaran. Tujuan pemberian kuis adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa menguasai materi yang diajarkan pada pertemuan tersebut. Kemudian hasil kuis dikoreksi, dinilai oleh dosen. Pada pertemuan berikutnya hasil kuis diberikan kembali kepada mahasiswa untuk direfleksi dan dikumpulkan sebagai bukti portofolio; (8) Ulangan Harian. Untuk persiapan ulangan harian, dosen memerlukan beberapa soal. Soal dilengkapi dengan kunci jawaban dan pedoman penskoran. Kunci jawaban tertulis terpisah dari lembaran tes. Hudojo (2001:266) mengatakan bahwa dalam mempersiapkan tes, harus memperhatikan beberapa faktor penting, yaitu: (a) setiap soal harus dihubungkan dengan indikator yang telah dirumuskan, (b) setiap soal harus benar secara matematis, dan (c) setiap soal harus benar secara teknis. Soal tersebut harus dinyatakan dengan benar dan mempunyai jawaban tertentu. Selain faktor di atas, dalam menyusun tes harus mempertimbangkan alokasi waktu, bentuk soal, dan jumlah soal. Tujuan pemberian ulangan harian adalah untuk mengetahui sejauh mana mahasiswa menguasai materi yang didiskusikan pada pertemuan tersebut; (8) Refleksi Akhir Pembelajaran: Refleksi akhir pembelajaran merupakan salah satu tugas yang harus dibuat mahasiswa setelah mahasiswa menerima materi secara keseluruhan. Refleksi akhir pembelajaran berisi tentang: (a) uraian tertulis mengenai semua materi yang telah dipelajari; (b) uraian tertulis tentang hal terpenting yang telah dipelajari selama proses pembelajaran Geometri; (c) uraian tertulis tentang hal yang paling istimewa yang telah dipelajari selama proses pembelajaran, dan (d) uraian tertulis tentang hal yang ingin dipelajari di masa yang akan datang. 3. Metode Penelitian Pengembangan instrumen authentic assessment Pengembangan dilakukan mengikuti 5 (lima) tahapan pengembangan Plomp yang dimodifikasi dengan memadu tahapan pengembangan material (produk) oleh Nieveen dengan memperhatikan 3 aspek kualitas, yakni aspek kevalidan, aspek kepraktisan, dan aspek keefektifan. (1) Tahap Investigasi Awal Untuk tahap ini dilakukan identifikasi dan kajian terhadap materi Geometri, analisis kondisi mahasiswa, analisis konsep, analisis tugas dan penetapan kriteria kinerja yang akan dicapai melalui pembelajaran Geometri. Kelima kegiatan di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Analisis ujung depan; (2) Analisis mahasiswa; (3) Analisis materi; (4) Analisis tugas, dan (5) Spesifikasi kompetensi (2) Tahap Perancangan (Desain) Kegiatan yang dilakukan dalam perancangan instrumen ini adalah memilih format yang akan dipergunakan. Langkah selanjutnya adalah: (1) Penyusunan silabus dan kontrak perkuliahan Geometri.Dasar dari penyusunan rencana pembelajaran adalah komponen-komponen model (sintaks, sistem sosial, prinsip reaksi, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan dampak pengiring), analisis tugas dan analisis topik yang dijabarkan berdasarkan materi pembelajaran untuk mencapai sub-sub kompetensi yang ditetapkan; (2) Pemilihan media (LKM) dan (BPM) (3) Tahap Realisasi (Konstruksi) Tahapan ini sebagai lanjutan kegiatan pada tahap perancangan. Pada tahap ini dihasilkan prototipe 1 (awal) sebagai realisasi hasil perancangan sebelumnya. Hasil-hasil konstruksi diteliti kembali apakah kecukupan teori-teori pendukung model telah dipenuhi dan diterapkan dengan baik pada setiap komponen-komponen model sehingga siap diuji kevalidannya oleh para ahli dan praktisi dari sudut rasional teoritis dan kekonsistenan konstruksinya. (4) Tahap Tes dan Evaluasi, dan Revisi Kegiatan yang dilakukan pada waktu memvalidasi instrumen portofolio assessment untuk mata kuliah Geometri adalah sebagai berikut: 145

146 1. meminta pertimbangan ahli dan praktisi tentang kelayakan portofolio assessment untuk mata kuliah Geometri (pada prototipe 1) yang telah direalisasikan. Untuk kegiatan ini diperlukan instrumen berupa lembar validasi yang diserahkan kepada validator, 2. melakukan analisis terhadap hasil validasi dari validator. Jika hasil analisis menunjukkan: (a) valid tanpa revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah uji coba lapangan (pelaksanaan pembelajaran); (b) valid dengan sedikit revisi, maka kegiatan selanjutnya adalah merevisi terlebih dahulu, kemudian langsung uji coba lapangan; (c) tidak valid, maka dilakukan revisi sehingga diperoleh prototipe baru. Kemudian kembali pada kegiatan (1), yaitu meminta pertimbangan ahli dan praktisi. Di sini ada kemungkinan terjadi siklus (kegiatan validasi secara berulang) untuk mendapatkan model yang valid. Pelaksanaan pembelajaran geometri dengan menggunakan instrumen portofolio assessment Pelaksanaan pembelajaran ini dilakukan bertujuan untuk melihat sejauh mana kepraktisan dan keefektifan penggunaan instrumen dalam pembelajaran. Berdasarkan hasil ujicoba lapangan dan analisis data hasil ujicoba dilakukan revisi. Adapun kegiatan yang dilakukan adalah (1) melakukan analisis terhadap data hasil pelaksanaan pembelajaran, dan (2) melakukan perbaikan instrumen berdasarkan hasil analisis data hasil pelaksanaan. 4. Kesimpulan Berdasarkan temuan-temuan dan hasil analisis data, dari sini dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Berdasarkan data persepsi dan pengalaman pakar dapat disimpulkan bahwa pengembangan Portofolio Asessment pembelajaran Giometri yang dikembangkan dapat diterapkan secara praktis dan efektif dalam pelaksanaan pembelajaran di PGSD dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang disediakan. 2. Pada Tahun Pertama Luaran yang dihasilkan perangkat pembelajaran pendukung dalam pelaksanaan pembelajaran Portofolio Asessment kompetensi "Giometri" PGSD yang memenuhi kriteria kevalidan, kepraktisan, dan keefektifan. Perangkat pembelajaran terdiri dari (1) Silabus dan Kontrak Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Rancangan Naskah Buku Pegangan Guru SD dan (5) Jurnal Nasional (6 ) Naskah Jurnal Internasional. 3. Pada Tahun Kedua Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6 ) Proses Jurnal Internasional. 4. Pada Tahun Ketiga Target Luaran yang dihasilkan penyempurnaan (1) Silabus dan Kontrak Perkuliahan (2) Buku Panduan Mahasiswa (3) Lembar Kerja Mahasiswa (4) Naskah Buku Pegangan Guru SD (5) Jurnal Nasional (6) Jurnal Internasional. 5. Pelaksanaan pembelajaran Pengembangan Portofolio Asessment Pada Pembelajaran kompetensi "Giometri" dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa dan mahasiswa semakin mengetahui dan menyadari bahwa aspek penilaian tidak hanya unsur kognitif, melainkan juga aspek psikomotorik dan afektif. Daftar Pustaka Akker, d. v. J., Branch, M.R., Gustafson, K., Nieveen, N., and Plompt, T. (1999). Design Approaches and Tools in Education and Training. Dordrecht/Boston/London: Kluwer Academic Publishers. Angari, Angie Siti. (2005). Rubrik sebagai salah satu alat assessment. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Himpunan Matematika Indonesia Bekerjasama dengan SBI MADANIA Parung, Bogor, 9-11 April. Borich D, G. (1992). Effective Teaching Method. New Jersey: Prentice Hall Inc. 146

147 Borich, G.D. (1994). Observation Skills for Effective Teaching. New York: Macmillan Publishing Company. Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Perguruan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas. (2005). Pengembangan Sistem Assessment Berbasis Kompetensi, Buku I Pedoman Umum. Jakarta: Dirjen Dikti. Doolittle, P.E. & Camp, G.W. (1999). Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1, Fall Diakses pada 4 Januari 2006 dari alamat JVTE/v16n1/doolitle.pdf Grinnell, Jr, R.M. (1988). Social Work Research and Evaluation (Third Edition) Illionis: F.E. Peacock Publisher Inc. Grounlund, N.E. (1982). Constructing Achievement Test, (Third Edition). Englewood Cliff: Printice- Hall. Johnson, E.B. (2002). Contextual Teaching and Learning, what it is and why it s here stay. California: Corwin Press, Inc. Hudojo, Herman. (2001). Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jurusan Pendidikan Matematika: FMIPA UM Malang Kahfi, Muhammad, Shohibul. (2005). Panduan Belajar Mengembangkan Perangkat Pembelajaran Maetematika dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Malang. FMIPA UM. Karim, Muchtar Abdul. (2004). Assessment Authentic dalam Pembelajaran Matematika di Sekolah. Makalah Disajikan dalam Seminar Dan Worksop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM- MGMP kota Malang. Malang, Maret Linn, R.L & Gronlund, N.E. (1995). Measurement and Assessment in Teaching. New Jersey: Prentice Hall Regent. McCallum et.al. (1996). Teacher s Own Assessment: ed. Craft, A Primary Education Assessing and Planning Learning. Routledge. Plomp, T. (1997). Educational and Training System Design. Enschede, Netherlands: Twente University. Reigeluth, C.M. (1996). What is instructional Design Theory and How is It Changing?. In Reigeluth, C.M. (Ed). Instructional design Theories and Models : A New Paradigm of Instructional. Richey, R. and Nelson. (1996). Developmental Research. In Jonassen (Ed) Handbook of Research for Educational Communications and Technology. New York: Macmillan Simon & Schuster. Robinson. (1998). Student Portofolio in Mathematics. The Mathematic Theacher. Rusoni, Elin. (2002). Portofolio dan Pradikma Baru dalam Penilaian Matematika. Diakses pada 5 April 2008 dari alamat Savage V. TOM and Amstrong G. David. (1996). Effective Teaching in Elementary Social Studies. New Jersey: Prentice Hall, Inc. Setyono, B. (2004). Penilaian Authentic dalam KBK. Jurnal Pengembangan Pendidikan, Vol. 2, No. 4 tahun Slavin E, R. (1997). Educational Psychology Theory and Practice. A Viacom Company. 147

148 Surapranata, S.& Hatta, M. (2006). Penilaian Portofolio. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Susilo & Subaidah. (2004). Assessment Portofolio dalam Pembelajaran Matematika dan Sain. Makalah disajikan dalam Seminar dan Workshop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-MGMP Kota Malang, Malang, Maret Yasin, Anas. (2002). Penerapan Model Assessment Portofolio pada Pengajaran Bahasa Inggris. Gentengkali. Vol, 4, (3 dan 4) : hlm

149 KORELASI ANTARA NILAI MATEMATIKA DENGAN EKONOMI PADA SISWA KELAS X MAN MODEL BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Musafir Kumar 1, Bintang Zaura 2, dan Emilia Mailisa 3 1 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh emilia.mailisa92@gmail.com 2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Abstrak. Dalam upaya meningkatkan prestasi balajar ekonomi harus mampu memahami matematika. Mengingat penguasaan dasar matematika dalam pelajaran ekonomi sangat perlu dipahami oleh siswa sebagai tindak lanjut dalam memahami konsep matematika, maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang mempunyai nilai tinggi dalam pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran ekonomi atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka penulis memilih judul Korelasi Antara Nilai Matematika dengan Ekonomi pada Siswa Kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MAN Model Banda Aceh, yang terdiri dari 8 kelas. Sampel pada penelitian ini adalah 30 siswa kelas X-1 tahun pelajaran 2013/2014 yang dipilih secara acak dari 8 kelas X yang ada di MAN Model banda Aceh. Untuk mendapatkan data digunakan instrumen penelitian berupa tes matematika dan tes ekonomi. Tes ini berbentuk soal uraian (essai) yang masing-masing berjumlah 5 butir soal. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linear dan korelasi product moment dari Pearson dan hipotesis diuji dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil analisis didapat persamaan garis regresi Y = 21, ,704X. Pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan menunjukkan bahwa hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh berbentuk linear. Hasil perhitungan korelasi diperoleh r = 0,787 menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang sangat kuat antara nilai matematika dengan nilai ekonomi siswa kelas X MAN Model Banda Aceh. Hipotesis yang diuji dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 30 2 = 28, diperoleh t hitung > t tabel yaitu 6,75 > 1,70. Dengan demikian H a yang berbunyi ada korelasi yang signifikan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun Pelajaran 2013/2014 diterima. Kata kunci: korelasi, nilai matematika, nilai ekonomi 1. Pendahuluan Matematika sebagai salah satu cabang ilmu yang dinilai dapat memberikan kontribusi positif dalam memacu ilmu pengetahuan dan teknologi. Bantuan matematika sebagai alat untuk mempelajari ilmu lainnya sangat dominan seperti pada ilmu fisika, kimia, ekonomi, teknik dan sebagainya. Sehubungan dengan hal ini sriyono (2009:1) mengatakan, banyak model dan permasalahan ekonomi yang dapat dinyatakan dengan bahasa matematika dan dianalisis dengan teknik matematika. Hal ini disebabkan perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami kesukaran. Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari ekonomi. Lebih lanjut sriyono (2009:1) mengatakan, belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat yang digunakan untuk analisis. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa mampu memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih rendah dalam mengerjakan soal-soal ekonomi. Ekonomi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang memusat pada konsep-konsep kuantitatif, misalnya: harga, biaya, tingkat upah, investasi, penghasilan, dan laba, maka analisis ekonomi tidak dapat dilepaskan dari matematika. Lebih lanjut Rosyidi (2004:29) menyatakan, ilmu ekonomi adalah satu dari antara ilmu-ilmu sosial yang pertama sekali menggunakan metode kuantitatif di dalam analisis- 149

150 analisisnya, dan hingga sekarang ini merupakan ilmu yang paling banyak memakai teknik-teknik matematika dan statistika di kalangan ilmu sosial. maka timbul suatu masalah yaitu apakah siswa yang mempunyai nilai tinggi dalam pelajaran matematika juga akan memperoleh nilai tinggi pada mata pelajaran ekonomi atau sebaliknya. Sesuai dengan permasalahan tersebut maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah ada korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini adalah Terdapat korelasi antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/ Landasan Teoritis Karakteristik matematika dan ekonomi Karakteristik memiliki pengertian bahwa sesuatu objek memiliki ciri-ciri atau kekhasan yang membedakannya dengan objek yang lain. Adapun karakteristik matematika menurut Soedjadi (2000:13-18) adalah sebagai berikut: (1) Memiliki objek abstrak yang meliputi fakta, konsep, operasi, dan prinsip; (2) Bertumpu pada kesepakatan; (3) Berpola pikir deduktif; (4) memiliki simbol yang kosong dalam arti; (5) Memperhatikan semesta pembicaraan; dan (6) Konsisten dalam sistemnya. Pembelajaran ekonomi adalah salah satu mata pelajaran yang berangkat dari fakta atau gejala ekonomi yang nyata yang dapat mengembangkan kemampuan berfikir analitis induksi dan deduksi dalam menyelesaikan masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif dengan menggunakan matematika, untuk memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang tersedia. Hubungan mata pelajaran matematika dengan ekonomi Adapun beberapa materi matematika yang berhubungan dengan materi ekonomi menurut Desmizar (2003:61-301) adalah sebagai berikut: 1. Aplikasi materi fungsi pada materi fungsi permintaan, fungsi penawaran, keseimbangan pasar, pajak, subsidi dan sebagainya. 2. Aplikasi materi diferensial pada materi elastisitas permintaan, elastisitas penawaran, elastisitas pendapatan, biaya total, biaya rata-rata, biaya marginal, perpajakan dan sebagainya. 3. Aplikasi materi integral pada materi fungsi biaya, fungsi penerimaan, fungsi produksi, fungsi konsumsi, fungsi tabungan dan lain sebagainya. 4. Aplikasi materi aritmetika sosial pada materi untung, rugi, harga pembelian, harga penjualan, bruto, tara, netto, diskon, pajak, bunga dan lain sebagainya. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas ada hubungan antara pelajaran matematika dan ekonomi. Hal ini disebabkan perhitungan yang terdapat dalam ekonomi tanpa memahami matematika akan mengalami kesukaran. Oleh karena itu pengetahuan tentang matematika sangat dibutuhkan dalam mempelajari ekonomi. Lebih lanjut Sriyono (2009:1) mengatakan, Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat yang digunakan untuk analisis. Dalam kaitannya dengan bidang ekonomi, jika seseorang siswa mampu memahami konsep matematika, maka siswa tersebut cenderung mengalami hambatan lebih rendah dalam mengerjakan soal-soal ekonomi. Oleh karena itu jelas bahwa matematika sangat berperan penting dalam ilmu sosial lainnya seperti ekonomi. Peranan itu semakin bertambah luas dan dalam dengan diterbitkannya berbagai buku-buku tentang matematika ekonomi. Widodo (2005:1) mengatakan: Di dalam matematika ekonomi, matematika digunakan sebagai salah satu pendekatan (approach) untuk menerangkan atau menganalisis hubungan variabel-variabel ekonomi. Matematika berkaitan dengan sesuatu yang dapat dihitung atau sesuatu yang dinyatakan dalam bentuk kuantitas (jumlah). Banyak sekali variabel-variabel (konsep) ekonomi yang bisa dikuantifikasikan seperti harga barang, jumlah barang yang diminta, jumlah barang yang ditawarkan, jumlah uang beredar, suku bunga, pendapatan nasional, dan lain-lain. 150

151 Uraian materi matematika 1. Menyusun Persamaan Kuadrat Menyusun persamaan kuadrat yang akar-akarnya mempunyai hubungan dengan akar-akar persamaan kuadrat lainnya dapat disusun dengan cara menggunakan rumus jumlah (x 1 + x 2 = b a ) dan hasil kali (x 1 x 2 = c a) akar-akar persamaan kuadrat. Untuk menyusun persamaan kuadrat, kita menggunakan rumus x 2 (x 1 + x 2 )x + x 1 x 2 = 0. Dimana (x 1 + x 2 ) dan x 1 x 2 masing-masing adalah jumlah dan hasil kali akar-akar suatu persamaan kuadrat. 2. Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel Bentuk umum persamaan linear tiga variabel adalah: a 11 x + a 12 y + a 13 z = d 1 { a 21 x + a 22 y + a 23 z = d 2 a 31 x + a 32 y + a 33 z = d 3 Dengan a 11, a 12, a 13, a 21, a 22, a 23, a 31, a 32, a 33, d 1, d 2 dan d 3 adalah bilangan real. a 11, a 21, dan a 31 disebut koefisien dari peubah x; a 12, a 22, dan a 32 disebut koefisien dari peubah y; a 13, a 23, dan a 33 disebut koefisien dari peubah z. Jika d 1, d 2 dan d 3 masing-masing bernilai nol, dinamakan sistem persamaan linear homogen, sedangkan jika tidak semuanya bernilai nol, sistem persamaan linear di atas dinamakan sistem persamaan linear nonhomogen. Cara menyelesaikan sistem persamaan linear tiga variabel dapat dilakukan seperti cara menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel, di antaranya dengan metode substitusi dan gabungan antara metode eliminasi dan metode substitusi. 3. Perbandingan Trigonometri - Perbandingan Trigonometri Suatu Sudut Pada Segitiga Siku-Siku Secara umum, jika diberikan segitiga ABC siku-siku seperti gambar berikut: C b a A α c B Nilai-nilai perbandingan trigonometri untuk sudut α pada segitiga ABC sebagai berikut: a. Sin α = a b d. Cot α = c a b. Cos α = c b e. Sec α = b c c. Tan α = a c f. Cosec = b a Uraian materi ekonomi 1. Fungsi Permintaan Permintaan suatu barang adalah beberapa kemungkinan dari jumlah barang yang dapat diminta di berbagai tingkat harga. Hukum permintaan berbunyi: apabila harga suatu barang naik maka jumlah barang yang diminta akan turun dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah barang yang diminta akan naik. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah barang yang diminta maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang diminta merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(p). 2. Fungsi Penawaran Penawaran suatu barang adalah suatu kemungkinan dari jumlah barang yang dapat dijual diberbagai tingkat harga. Hukum penawaran berbunyi: apabila harga suatu barang naik maka jumlah barang yang ditawarkan akan naik dan sebaliknya, apabila harga barang turun maka jumlah barang yang 151

152 ditawarkan akan turun. Berdasarkan pengertian tersebut, jika P harga barang dan Q jumlah barang yang ditawarkan maka secara matematik dapat dikatakan bahwa jumlah barang yang ditawarkan merupakan fungsi dari harganya. Secara simbolis dapat ditulis: Q = f(p). 3. Keseimbangan Pasar (Market Equilibrium) Dalam transaksi jual beli biasanya didahului dengan adanya tawar menawar antara penjual dan pembeli. Hasil tawar menawar tersebut akan menghasilkan suatu titik kesepakatan atau suatu titik kesamaan. Harga kesepakatan inilah yang dinamakan dengan harga keseimbangan atau harga pasar atau disebut juga dengan market equilibrium. Apabila fungsi permintaan dan fungsi penawaran diketahui maka harga keseimbangan itu dapat ditentukan dengan jalan menyamakan dari kedua fungsi tersebut. Apabila kurva permintaan dan kurva penawaran sudah dapat digambarkan maka harga pasar itu dapat diketemukan oleh titik berpotongan antara kurva permintaan dan kurva penawaran yang disebut dengan titik E. Titik keseimbangan pasar hanya berlaku pada satu titik. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa keseimbangan pasar terjadi apabila Q D = Q S dan P D = P S. 3. Metode Penelitian Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif, sedangkan jenis penelitian ini adalah penelitian korelasional. Penelitian ini dilaksanakan pada Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Model Banda Aceh. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu tes matematika dan tes ekonomi. Pemberian tes matematika dilakukan pada tanggal 26 Maret 2014 sedangkan untuk tes ekonomi diberikan pada tanggal 29 Maret Pemberian tes bertempat di kelas X-1 MAN Model Banda Aceh. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 yang terdiri dari 8 kelas. Sedangkan sampelnya diambil secara acak sebanyak satu kelas, dan yang terpilih kelas X- 1 untuk tes matematika dan tes ekonomi. Untuk mendapatkan data yang dibutuhkan, digunakan instrumen penelitian yaitu berupa tes. Tes digunakan untuk mengumpulkan data tentang nilai hasil belajar matematika dan nilai hasil belajar ekonomi siswa pada kelas X semester genap Tahun Pelajaran 2013/2014 di MAN Model Banda Aceh. Teknik pengolahan data Analisis yang digunakan untuk mengolah data adalah analisis regresi dan korelasi. Sesuai dengan metode analisis yang akan dipakai untuk menguji hipotesis dalam penelitian tersebut, maka harus diperlukan pengujian terpenuhinya asumsi normalitas pada variabel-variabelnya. Secara rinci tahapan pengolahan data adalah sebagai berikut: 1. Mentabulasikan data ke dalam daftar distribusi frekuensi Untuk membuat tabel distribusi frekuensi dengan panjang kelas yang sama maka menurut Sudjana (2005:47) terlebih dahulu ditentukan: Rentang kelas, yaitu data terbesar data terkecil Banyak kelas (k) = 1 + 3,3 log n Rentang Panjang kelas interval (p) = Banyak kelas 2. Mencari nilai rata-rata ( x ), Varians (s 2 ) dan simpangan baku (s) Untuk data yang telah disusun dalam daftar frekuensi menurut Sudjana (2005:70), nilai rata-rata ( ) dihitung dengan menggunakan rumus: x x = f ix i f i (1) Keterangan: x = rata-rata f i = banyak siswa dalam interval tertentu x i = nilai tengah atau tanda kelas interval Untuk mencari standar deviasi (simpangan baku), menurut Sudjana (2005:93) pangkat dua dari simpangan baku dinamakan varians. varians (s 2 ) menurut Sudjana (2005:95) dapat diukur dengan rumus: 152

153 s 2 2 n f ( i xi f n ( n 1) Keterangan: n s 2 i x ) = banyaknya data = varians i 2 3. Uji Normalitas Sebaran Data Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data dalam penelitian ini berdistribusi normal atau tidak. Untuk menguji normalita33s data digunakan statistik chi-kuadrat seperti dikemukakan Sudjana (2005 : 273) sebagai berikut: k 2 2 i i ) i 1 Dengan : 2 ( O E E = statistik chi-kuadrat O i = frekuensi pengamatan E i = frekuensi yang diharapkan. i Kriteria pengujian untuk chi-kuadrat menurut Sudjana (2005:273) adalah tolak H 0 jika 2 tabel dengan = taraf nyata untuk menguji dan dk = k - 3, dalam hal lain H 0 diterima. (2) (3) 2 hitung 4. Mencari hubungan linear variable, yaitu hubungan X (nilai matematika) dengan Y (nilai ekonomi). Untuk mencari hubungan tersebut maka digunakan rumus regresi linear sederhana seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (2005:315) yaitu sebagai berikut: Y = a + bx (4) Nilai a dan b ditentukan dengan menggunakan persamaan rumus berikut: a = Y b X (5) b = n X iy i ( X i )( Y i ) n X 2 i ( X i ) 2 (6) Keterangan : X i = nilai matematika siswa Y i = nilai ekonomi siswa X = rata-rata nilai matematika siswa Y = rata-rata nilai ekonomi siswa X iy i = hasil perkalian antara nilai matematika dengan ekonomi n = jumlah sampel a = nilai konstan b = koefisien x (Sudjana, 2005:315) 5. Mencari koefisien korelasi antara dua variabel X (nilai matematika) dan Y (nilai ekonomi) dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Rumus korelasi menurut Sudjana (2005:369) adalah sebagai berikut: rxy n XY ( X )( Y { n X ( X ) }{ n Y ( Y) } (7) Keterangan: X = Variabel X (nilai matematika siswa) Y = Variabel Y (nilai ekonomi siswa) XY = Hasil perkalian antara X dan Y X 2 = Nilai matematika siswa dikuadratkan Y 2 = Nilai ekonomi siswa dikuadratkan n = Jumlah Sampel r = Korelasi product moment 153

154 Langkah selanjutnya yaitu menginterpretasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh atau nilai r. Menurut Bungin (2011:194) interpretasi tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 3.1 Interpretasi nilai r Nilai Koefisien + 0,70 ke atas + 0,50 + 0,69 + 0,30 + 0,49 + 0,10 + 0,29 0,0-0,01-0,09-0,10-0,29-0,30-0,49-0,50-0,59-0,70 - ke bawah (Sumber: Bungin, 2011:194) Penjelasannya A very strong positive association (hubungan positif yang sangat kuat) A substansial positive association (hubungan positif yang mantap) A moderate positive association (hubungan positif yang sedang) A low positive association (hubungan positif yang tak berarti) No association (tidak ada hubungan) A negligible negative association (hubungan negatif yang tak berarti) A low negative association (hubungan negatif yang rendah) A moderate negative association (hubungan negatif yang sedang) A substansial negative association (hubungan negatif yang mantap) A very strong negative association (hubungan negatif yang sangat kuat 6. Pengujian hipotesis a. Pengujian hipotesis tentang regresi, menurut Fleming and Nellis (1994:256) pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan uji-t dengan rumus: b β t =, dimana β = 0 (8) s b SEE dan standar error s b = (9) X 2 i nx dimana Standar Error Estimasi (SEE) = Y i 2 a Y i b X i Y i n 2 (10) Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat kebebasan dk = (n 2) adalah terima H 0 jika t hitung < t tabel dan H 0 ditolak jika t hitung > t tabel. Dimana: H 0 : β = 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN Model Banda Aceh tidak berbentuk linear). H a : β > 0 (Hubungan antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN Model Banda Aceh berbentuk linear). b. Pengujian hipotesis tentang korelasi, dalam penelitian ini menggunakan uji-t. Menurut Sudjana (2005:377) rumus uji-t tersebut adalah: r ( n 2) t = 1 r 2 (11) Keterangan: T = Hasil hitung distribusi koefisien korelasi n = Jumlah sampel yang diteliti r = koefisien korelasi antara variabel X dan Y Kriteria penerimaan dan penolakan hipotesis pada taraf signifikan 5% (α = 0,05) dengan derajat kebebasan dk = (n 2) adalah terima H 0 jika t hitung < t tabel dan H 0 ditolak jika t hitung > t tabel.

155 Dimana: H 0 : ρ = 0 (Tidak ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN Model Banda Aceh). H a : ρ > 0 (Ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan ekonomi pada siswa kelas X di MAN Model Banda Aceh). 4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis regresi linear yang telah dilakukan, penulis memperoleh persamaan garis regresi linear yaitu Y =21,465+0,704X. Dari persamaan garis regresi tersebut dapat dibuat suatu grafik regresi linear, dengan sumbu horizontal menunjukkan nilai matematika siswa (X) dan sumbu vertikal menunjukkan nilai ekonomi siswa (Y). Penulis memperoleh grafik dari persamaan regresi yang diketahui dengan menggunakan Microsoft Office Excel Grafik tersebut adalah sebagai berikut: Y =21,465+0,704X Dari grafik di atas dapat diketahui bahwa: a. Variabel-variabel tersebut mempunyai hubungan yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titiktitik pada grafik itu terletak saling berdekatan dengan garis yang bisa ditarik melalui titik tersebut. b. Variable-variabel tersebut mempunyai hubungan positif, karena titik-titik pada grafik menunjukkan gejala dari kiri ke kanan. c. Variable-variabel tersebut mempunyai korelasi yang linear karena titik-titik pada grafik menunjukkan gejala garis lurus. Berdasarkan pengujian hipotesis untuk linearitas hubungan, didapat t hitung= 6,122. Pada taraf nyata α =0,05 dengan dk=28 didapat t tabel=1,70. Jadi t hitung> t tabel atau 6,122 > 1,70. maka sebagai konsekuensinya menerima hipotesis alternatif yaitu H a, artinya hubungan antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014 berbentuk linear. Ini berarti semakin tinggi nilai matematika siswa maka nilai ekonominya juga semakin tinggi dan begitu juga sebaliknya. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh angka koefisien korelasi atau nilai r yaitu 0,787. Berdasarkan indeks korelasi yang diperoleh tersebut dapat diketahui adanya empat hal, yakni ada tidaknya korelasi, arah korelasi, interpretasi mengenai tinggi-rendahnya korelasi, dan signifikan tidaknya harga koefisien korelasi. Ada tidaknya korelasi, dinyatakan dalam angka pada indeks. Batapapun kecilnya indeks korelasi, jika bukan 0,0000, dapat diartikan bahwa antara kedua variable yang dikorelasikan, terdapat adanya korelasi (Arikunto, 2006:279). Merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa terdapat korelasi antara nilai matematika dengan nilai ekonomi. Arikunto (2006:279) menyatakan arah korelasi dinyatakan dalam tanda + (plus) dan (minus). Tanda + menunjukkan adanya korelasi sejajar searah, dan tanda menunjukkan korelasi sejajar berlawanan arah. Sedangkan Sudijono (2010:186) mengemukakan bahwa korelasi antara variabel X dan variabel Y disebut korelasi positif apabila angka indeks korelasinya bertanda plus (+); sebaliknya, apabila angka indeks korelasi antara variabel X dan variabel Y bertanda minus (-), maka korelasi yang 155

156 demikian itu disebut korelasi negatif. Selain itu Sudjana (2002:369) mengatakan, harga-harga r bergerak antara -1 dan +1 dengan tanda negatif menyatakan adanya korelasi tak langsung atau korelasi negatif dan tanda positif menyatakan korelasi langsung atau korelasi positif. Berdasarkan nilai r yang diperoleh memperlihatkan bahwa nilai r bertanda + (plus). Hal tersebut menunjukkan adanya korelasi positif (searah) antara nilai matematika dengan nilai ekonomi dan bermakna makin tinggi nilai matematika maka makin tinggi nilai ekonomi siswa atau dengan kata lain kenaikan nilai matematika siswa diikuti kenaikan nilai ekonomi siswa. Tinggi rendahnya korelasi dapat diinterpretasikan secara kasar/sederhana ataupun dengan menggunakan tabel nilai r product moment. Interpretasi secara kasar/sederhana dengan memperhatikan besarnya nilai r yaitu 0,787, ternyata terletak antara +0, ,8000. Berdasarkan interpretasi yang dikemukakan oleh Bungin (2011:194) kita dapat menyatakan bahwa korelasi positif antara nilai matematika siswa dengan nilai ekonomi siswa atau antara variabel X dengan variabel Y adalah termasuk korelasi positif yang sangat kuat. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis, diperoleh t hitung = 6,75 sedangkan t tabel pada taraf signifikan 0,05 adalah sebesar 1,70. Ini menunjukkan bahwa t hitung > t tabel, maka sebagai konsekuensinya menerima hipotesis alternatif yaitu H a, artinya ada korelasi antara nilai matematika dengan nilai ekonomi pada siswa kelas X MAN Model Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa hasil penelitian ini membuktikan bahwa nilai matematika memiliki hubungan yang positif terhadap nilai ekonomi. artinya semakin tinggi nilai matematika seseorang maka semakin tinggi pula nilai ekonominya. Hal ini ternyata sesuai dengan Sudjono (1988:8) menyatakan bahwa: Matematika telah memberikan peranan dan kemudahan kepada berbagai ilmu pengetahuan lain. Dengan kata lain kemampuan siswa dalam matematika akan dapat memberikan kemudahan dalam pelajaran ekonomi yang penjelasannya banyak membutuhkan konsepkonsep matematika. Dengan hal ini Sriyono (2009:1) mengatakan, Belajar ekonomi tanpa kemampuan berhitung, terlebih tanpa penguasaan matematika ekonomi, adalah sangat tidak wajar. Matematika adalah bagian dari alat yang digunakan untuk analisis. Untuk mempelajari ekonomi tingkat lanjut diperlukan pengetahuan matematika yang baik. Siswa atau mahasiswa yang bekal pengetahuan matematika yang cukup kuat akan dapat mempelajari ekonomi dengan penuh kepercayaan. Dari uraian di atas jelas terlihat keterkaitan materi mata pelajaran matematika dengan ekonomi, dimana materi mata pelajaran matematika menjadi dasar dalam memahami konsep ekonomi. 5. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa ada korelasi yang positif antara nilai matematika dengan nilai ekonomi kelas X MAN Model Banda Aceh Tahun Pelajaran 2013/2014. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan di atas, maka perlu kiranya penulis memberikan saransaran yang bermanfaat kepada guru dan lembaga yang terkait dalam rangka peningkatan mutu pendidikan matematika di MAN Model Banda Aceh. Adapun saran-saran sebagai berikut: 1) Diharapkan adanya kerjasama antara guru bidang studi matematika dengan guru bidang studi ekonomi dalam upaya peningkatan prestasi belajar siswa. Dengan adanya kerjasama tersebut dapat diketahui siswa-siswa yang mengalami masalah dalam matematika dan juga siswa-siswa yang mengalami masalah dalam ekonomi, sehingga guru sama-sama dapat memberi dorongan dan perhatian untuk perbaikan prestasi belajarnya, khususnya pelajaran matematika dan ekonomi. 2) Diharapkan pada siswa yang ingin mendalami ilmu perbankan, bisnis, maupun perdagangan, harus belajar matematika dan ekonomi dengan lebih giat. Karena antara matematika dan ekonomi memiliki hubungan (korelasi) yang cukup erat. 3) Bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan pendidikan agar memperhatikan perkembangan pendidikan baik dalam bidang sarana maupun prasarana sehingga kegiatan belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik, dan dapat dipertahankan sekaligus ditingkatkan untuk masa yang akan datang. 156

157 Daftar Pustaka Amin, Safwan. (2005). Pengantar Psikologi Pendidikan. Banda Aceh: Yayasan Pena. Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Bungin, Burhan. (2011). Metodologi Penelitian Kuantitatif. Edisi Kedua. Jakarta: Kencana. Depdiknas. (2006). Perangkat Pembelajaran Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas. Desmizar. (2003). Matematika untuk Ekonomi dan Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dimyati dan Mudjiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. (2012). Pedoman Penulisan Skripsi. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Fleming, Michael C dan Joseph G Nellis. (1994). Principles Of Applied Statistics. London: EC4P 4EE. Hamalik, Oemar. (2011). Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara. Hudoyo, Herman. (1979). Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Johar, Rahmah dkk. (2006). Strategi Belajar Mengajar. Darussalam: Unsyiah. Karso, dkk. (1993). Dasar-dasar Pendidikan MIPA UT. Jakarta: Depdikbud Ratumanan, Tanwey Gerson. (2004). Belajar dan Pembelajaran. Ambon: Unesa University Press. Rosyidi, Suherman. (2004). Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro dan Makro. Jakarta: PT Raja Grafindo. Siswanto. (2005). Matematika Motivatif. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Soedjadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sriyono, D. (2009). Matematika Ekonomi dan Keuangan. Yogyakarta: CV ANDI OFFSET. Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Sudijono, Anas. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. Sudjono. (1988). Pengajaran Matematika untuk Sekolah. Jakarta: Rajawali. Sukino dan Wilson Simangunsong. (2007). MATEMATIKA untuk SMP kelas VIII. Jakarta: Erlangga. Surya, Mohamad. (2004). Piskologi Pembelajaran dengan Pengajaran. Bandung: Tarsito. Widodo, Tri. (2005). Matematika Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. 157

158 MEMINIMALKAN KESULITAN BELAJAR MATERI PERSAMAAN GARIS LURUS PADA SISWA KELAS VIII3 SMP NEGERI 16 BANDA ACEH DENGAN PENDEKATAN KONSTRUKTIVIS Niwati 1 1 SMP Negeri 16 Banda Aceh 158 Abstrak. Matematika merupakan mata pelajaran yang sangat sulit untuk dipelajari, bahwa tidak menarik dibandingkan dengan mata pelajaran yang lain, hanya sedikit sekali siswa yang menyukainya, ini terbukti dengan hasil pembelajaran yang diperoleh siswa selalu rendah. Untuk mengubah pandangan tersebut diperlukan suatu cara yang bisa membuat siswa tertarik untuk mempelajari matematika. Belajar merupakan proses yang membuat seseorang mengalami perubahan tingkah laku baik dalam bentuk pengetahuan dan sikap sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya, dengan demikian orang yang belajar merupakan orang yang mengalami sendiri proses pembelajaran tersebut. Pembelajaran matematika harus dapat dikemas dalam bentuk yang menyenangkan dan melibatkan semua siswa secara aktif, sehingga siswa memperoleh sendiri pengetahuan yang harus dimilikinya. Penelitian ini bertujuan untuk meminimalkan kesulitan belajar siswa dalam bidang studi matematika, kegiatannya dilaksanakan dalam proses pembelajaran, dengan memaksimalkan keaktifan siswa, guru hanya sebagai fasilitator dan motifator. Dalam pembelajaran konstruktivis siswa belajar dengan mengalami sendiri dan membangun pengetahuan sendiri dari pengalaman yang dialaminya, dan pada akhirnya belajarnya bermakna, bila belajarnya bermakna maka kesulitan belajar siswa teratasi.penelitian ini dilaksanakan dalam 3 siklus, masing-masing siklus terdiri atas tahap Perencanaan, Tindakan, Pengamatan, Refleksi. Sedangkan pendekatan pembelajaran dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivis melalui Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang peneliti buat secara berstruktur sehingga siswa bisa membangun pengetahuannya sendiri dengan jalan menyelesaikan LKS secara berkelompok. Adapun data dalam penelitian ini diperoleh dengan nilai tes, observasi dan angket, dimana fungsi dari data yang telah diperoleh sebagai berikut: nilai tes untuk mengetahui keberhasilan belajar siswa dalam memahami materi yang diajarkan, observasi untuk mengetahui aktivitas siswa dalam pembelajaran, dan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis. Dari hasil penelitian diperoleh peningkatan dari siklus ke siklus dengan data terakhir pada siklus III adalah 85,71 % siswa.memiliki nilai diatas KKM Kata kunci : kesulitan belajar, pendekatan konstruktivis, persamaan garis lurus 1. Pendahuluan Sampai saat ini pelajaran matematika masih dianggap sebagai pelajaran yang amat sulit untuk dipelajari, sehingga hasil yang diperoleh siswa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Sementara itu matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diujikan secara nasional, maka seluruh kompetensi yang ada harus dikuasai siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa mencapai Standar Ketuntasan Lulusan (SKL) yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu harus diupayakan meminimalkan kesulitan-kesulitan belajar matematika yang dihadapi siswa. Penyebab kesulitan belajar yang dihadapi siswa sangatlah komplek, yang datang dari siswa sendiri misalkan kurangnya pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa, masalah sosial dan lain-lain. Adapun kesulitan belajar siswa disebabkan oleh guru misalnya, guru dalam proses pembelajaran tidak mengikut sertakan siswa dalam pembelajaran secara aktif, siswa hanya disuruh menghafal rumus-rumus, menerima konsep-konsep yang ada tidak melakukan sendiri. Sehingga hasilnya kurang bermakna dan tidak terekam dengan baik pada otak siswa. Peneliti mengambil materi persamaan garis lurus, karena kebanyakan siswa selama peneliti menyampaikan materi ini banyak mengalami kesulitan, dengan hasil yang kurang membanggakan. Padahal banyak soal-soal yang berhubungan dengan materi telah dibahas, setelah konsep-konsep yang berhubungan dengan materi penulis berikan.

159 Untuk mengantisipasi permasalahan di atas, perlu diupayakan suatu pembelajaran yang meminimalkan kesulitan belajar siswa. Kesulitan belajar siswa dapat diupayakan dengan cara menciptakan suasana belajar yang menyenangkan sehingga belajarnya bermakna. Bila belajarnya bermakna diharapkan kesulitan belajar siswa berkurang dan pada akhirnya ada peningkatan hasil belajarnya Adapun usaha yang akan dilakukan untuk mengupayakan belajar bermakna pada mata pelajaran matematika dengan Pembelajaran Konstruktivis. Pembelajaran Konstruktivis memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuaannya sendiri yang diperoleh dari pengalaman yang dialaminya dan dapat pula menghubungkan dengan pengalaman yang lalu (Pengetahuan Prasyarat) yang dimilikinya. Sesuai dengan uraian diatas maka peneliti mengadakan penelitian dengan judul Meminimalkan Kesulitan Belajar Materi Persamaan Garis Lurus pada Siswa Kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh dengan Pendekatan Konstruktivis Rumusan masalah Masalah yang diangkat dari penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan Pendekatan Konstruktivis dapat meminimalkan kesulitan belajar materi persamaan garis lurus pada siswa kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh? Tujuan penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan agar siswa kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh dapat meningkatkan hasil belajar matematikanya, yang ditunjukkan pada indikator : 1. Umum : Meningkatkan mutu pembelajaran matematika di SMP Negeri 16 Banda Aceh yang ditunjukkan dengan meningkatnya jumlah siswa yang memperoleh hasil belajar matematika yang optimal. 2. Khusus : - Meningkatnya respon siswa dalam aktivitas dan kreativitasnya dalam pembelajaran. - Sekurang-kurangnya 65 % perolehan hasil belajar matematika individu siswa kelas VIII 3 SMP Negeri 16 Banda Aceh di atas KKM telah ditentukan. Manfaat hasil penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi : 1. Siswa: mendapatkan pengalaman belajar yang bermakna yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. 2. Guru: menambah wawasan dan informasi untuk memilih bentuk-bentuk pendekatan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan bagi siswa sesuai dengan materi yang akan diajarkan, agar dalam pembelajaran mendapatkan hasil yang maksimal 2. Kajian Pustaka Pembelajaran matematika Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Matematika berasal dari bahasa latin MANTHANEIN atau MATHEMA yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut WISKUNDE atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran. Ciri utama matematika adalah penalaran deduktif yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga kaitan konsep atau pernyataan dalam matematika bersifat konsisten. Tujuan pembelajaran matematika menurut DepPenNas 2003 adalah: a) Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, misalnya melalui kegiatan penyelidikan, eksplorasi, eksperimen, menunjukkan kesamaan, perbedaan, konsisten dan inkonsistensi. 159

160 b) Mengembagkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba. c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah. Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan antara lain pembicaraan lisan, catatan, grafik, peta, diagram, dalam menjelaskan gagasan (DepPenNas, 2003). Elemen belajar konstruktivis Pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila mereka aktif dalam proses pembelajaranan membangun (mengkonstruksi) sendiri materi pembelajaran yang mereka perlukan. Menurut Zakorik (dalam CTL, 2003: 7) ada lima elemen yang harus diperhatikan dalam praktek pembelajaran konstruktivis. 1. Pengaktifan pengetahuan yang sudah ada (activating knowledge) 2. Memperoleh pengetahuan baru (acquiring knowledge) dengan cara mempelajari secara keseluruhan data, kemudian memperhatikan detailnya. 3. Pemahaman pengetahuan (understanding knowledge) yaitu dengan cara menyusun (a) konsep sementara (hipotesis), (b) melakukan sharing kepada orang lain agar mendapat tanggapan (validasi) dan atas dasar tanggapan itu, (c) konsep tersebut direvisi dan dikembangkan. 4. Mempraktikkan pengetahuan dan pengalaman tersebut (applying knowledge). 5. Melakukan refleksi (reflecting knowledge) terhadap strategi pengembangan pengetahuan tersebut. Pengaruh Konstruktivis dalam Pembelajaran Matematika Dalam pembelajaran matematika pengaruh konstruktivisme menurut Lambas, dkk, (2004: 14) meliputi: 1. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses pembelajaran siswa. Bagi konstruktivisme, belajar adalah kegiatan aktif siswa dalam membangun pengetahuan barunya, siswa mencari sendiri arti dari yang mereka pelajari dan bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya, mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkan apa yang telah diketahui dengan pengalaman dan situasi baru. 2. Pengaruh konstruktivisme terhadap proses mengajar guru. Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, tetapi merupakan kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersifat kritis dan mengadakan justifikasi. Teori pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis Kesulitan belajar siswa merupakan suatu hal yang harus segera dapat diatasi, dicari penyebab dan jalan keluarnya. Kegagalan siswa dalam pembelajaran adalah kegagalan guru dalam pendidikan. Karena pengetahuan bukannya seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah-kaidah yang siap diambil dan diingat sejalan dengan itu. Piaget (dalam Nurhadi, dkk., 2003: 36) berpendapat, manusia memiliki struktur pengetahuan dalam otaknya, seperti kotak-kotak yang masing-masing berisi informasi bermakna yang berbeda-beda. Pengalaman sama bagi beberapa orang akan dimaknai berbeda-beda oleh masing-masing individu dan disimpan dalam kotak yang berbeda. Setiap pengalaman baru dihubungkan dengan kotak-kotak (struktur pengalaman) dalam otak manusia tersebut. Sejalan dengan pendapat di atas, dalam pembelajaran agar siswa diberi kesempatan membangun pengetahuannya sendiri. Hal ini sesuai dengan pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL). Dalam buku CTL yang disusun oleh Departemen Pendidikan Nasional (2002: 11) siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak mampu memberikan semua pengetahuan kepada siswa, siswa harus mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri. 160

161 Pendapat di atas diperkuat oleh Nurhadi (2002: 26) menyatakan landasan filosofi CTL adalah konstruktivis, yaitu filosofi belajar yang menekankan bahan belajar tidak hanya sekedar menghafal, siswa harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Pengetahuan tidak dapat dipisahpisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan ketrampilan yang dapat diterapkan. Pengetahuan terus berkembang, penemuan-penemuan baru banyak yang ditemukan sehingga pembelajaran tidak pernah berakhir dan harus selalu diikuti perkembangannya. Nurhadi, Burhanudin Yasin, Agus Gerrad Senduk (2003 : 10) berpendapat teori konstruktivis memandang secara terusmenerus memeriksa informasi-informasi baru yang berlawanan dengan aturan-aturan lain dan memperbarui aturan-aturan tersebut jika tidak sesuai lagi. Teori konstruktivis menuntut siswa berperan aktif dalam pembelajaran mereka sendiri. Karena penekanannya pada siswa yang aktif maka strategi konstruktivis sering disebut pengajaran yang berpusat pada siswa (student-centered instruction). Di dalam kelas yang pengajarannya berpusat pada siswa, peran guru adalah membantu siswa menemukan fakta, konsep atau prinsip bagi diri mereka sendiri, bukan memberikan ceramah atau mengendalikan seluruh kegiatan di kelas. Dari pendapat-pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran dapat mengoptimalkan pengalaman belajar. Siswa menemukan konsep-konsep atau dalil matematika sendiri, maupun melalui diskusi kelompok dengan guru sebagai fasilitator, sehingga dapat meminimalkan kesulitan belajar siswa 3. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan dari penelitian ini adalah: a). Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis dapat meningkatkan keaktifan siswa dalam belajar kelompok. b). Terdapat peningkatan rata-rata hasil ulangan akhir siklus.adanya peningkatan respons siswa terhadap pembelajaran. c). Pembelajaran dengan pendekatan konstuktivis dapat meminimalkan kesulitan belajar siswa d). Secara klasikal, peningkatan hasil belajar matematika siswa sangat bergantung dari keterlibatan guru dalam malakukan analisis materi pelajaran dan bagaimana guru berperan dalam mendampingi siswa ketika proses pembelajaran berlangsung. Berdasarkan dari hasil yang penulis capai dalam penelitian ini maka dapat penulis sarankan: pada suatu proses pembelajaran hendaknya guru menggunakan metode/pendekatan yang sesuai dengan materi yang akan diajarkan dan melakukan analisis materi pelajaran yang akan disampaikan serta berperan dalam mendampingi siswa ketika proses pembelajaran berlangsung. Daftar Pustaka Arikunto S, Suhardjono, Supardi. (2003). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara. Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Garis-garis Besar Program Pengajaran. Jakarta: Depdikbud. Kurikulum Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). (1994). Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud. Kurikulum 2004 Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah. (2003). Standar Kompetensi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Lambas, dkk, (2004). Materi Pelatihan Terintegrasi Buku 3, Modul 25, Jakarta:Departemen Pendidikan Nasional, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. Nurhadi. (2002). Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL). Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. 161

162 Nurhadi, Yasin B, Senduk, A.G. (2003). Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning/CTL) dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Penerbit UM. Sungkowo. (2003). Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama. 162

163 PENGGUNAAN ALAT PERAGA BEKAS UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR PESERTA DIDIK KELAS VIII-1 SMP NEGERI 7 BANDA ACEH PADA MATERI LUAS PERMUKAAN PRISMA DAN LIMAS TEGAK Qadarusmi 1 1 SMP Negeri 7, Banda Aceh qadamimi@gmail.com Abstrak. Keberhasilan pelaksanaan pembelajaran matematika dipengaruhi oleh kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran di sekolah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma tegak dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK) yang terdiri dari dua siklus. Tiap siklus terdiri dari empat tahapan PTK, yaitu: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Subyek penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran 2013/2014. Hasil penelitian pada siklus I belum mencapai indikator keberhasilan penelitian. Persentase aktivitas peserta didik siklus I adalah 60,4%, rata-rata hasil belajar mencapai 64,5 dan persentase ketuntasan belajar klasikal 56,7%, pada siklus II mengalami peningkatan untuk aktivitas dan hasil peserta didik dibandingkan siklus I, di siklus II aktivitas peserta didik adalah 75,1%, dan rata-rata hasil belajar peserta didik 70,2, persentase ketuntasan belajar klasikal 76,7%. Dari hasil siklus II, menunjukkan bahwa persentase aktivitas, rata-rata hasil belajar, dan persentase ketuntasan belajar klasikal yang telah didapat pada siklus II sudah melebihi indikator penelitian yang ada. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan secara keseluruhan bahwa dengan menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh. Berdasarkan hasil penelitian disarankan bahwa alat peraga bekas layak dikembangkan sebagai alternatif media pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran matematika. Kata kunci: Aktivitas siswa, hasil belajar, alat peraga 1. Pendahuluan Pada proses pembelajaran matematika masih sering ditemui adanya kecenderungan guru masih mendominasi kelas karena guru memberitahukan langsung konsep kepada peserta didik, sedangkan peserta didik terlihat pasif hanya menerima konsep jadi yang diberikan tanpa pernah mencari asal usul konsep suatu materi yang diajarkan. Peserta didik tidak melakukan suatu aktivitas yang mendorong untuk menemukan konsep secara mandiri. Peserta didik hanya duduk, diam, memperhatikan penjelasan guru, dan berlatih akibatnya peserta didik menjadi cepat lupa dengan isi materi yang telah diterima. Pembelajaran yang semacam ini kurang bisa memecahkan masalah yang ada, karena disajikan rumus secara instan. Dalam hal ini penyajian rumus secara instan khususnya bagi materi luas permukaan prisma dan limas tegak tidak mengena pada kepahaman konsep materi yang diterima peserta didik, karena materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan banyak penemuan konsep awal secara mandiri untuk bisa mempermudah dalam mempelajari materi tersebut lebih lanjut. Disajikannya rumus secara instan, juga akan membuat peserta didik jenuh karena mereka sebagai obyek belajar bukan sebagai subyek belajar yang bisa melakukan kegiatan untuk menemukan konsep secara mandiri. Hal ini dikarenakan kurangnya aktivitas yang berarti, seperti peserta didik hanya menulis apa yang ditulis oleh guru dan menganggap apa yang telah ditulis oleh guru sudah benar, sebagian besar peserta didik hanya menerima dari guru berupa rumus-rumus yang sudah dikemas dengan contoh soal. Oleh sebab itu, ketika diberi latihan soal dengan model soal yang berbeda dengan contoh soal, peserta didik sudah kebingungan dan tidak mampu menyelesaikan latihan soal. Melihat karakteristik materi luas permukaan prisma dan limas tegak yang abstrak seharusnya dipelajari dengan pendekatan terhadap keadaan kongkret yang ada disekitar peserta didik. Peserta didik berperan aktif untuk membangun pengetahuannya sendiri, melalui pembelajaran yang dikaitkan terhadap 163

164 permasalahan realita yang ada, peserta didik mendapat pengalaman dalam belajar. Dengan adanya pengalaman belajar, peserta didik dapat menguasai konsep luas permukaan prisma dan limas tegak tersebut. Karena peserta didik yang mampu menguasai suatu konsep matematika, mampu menghadapi abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi. Alat peraga bekas bukanlah sekedar alat peraga yang menggunakan keterampilan motorik yang tidak melibatkan proses mental. Pada saat peserta didik sedang melakukan keterampilan proses, misalnya mengamati. Peserta didik sesungguhnya bukan hanya memperhatikan objek dengan inderanya tetapi juga menghubungkan apa yang sedang diamati dengan apa yang telah diketahuinya. Pada saat sedang mengamati kita mencoba mengaitkan apa yang kita amati dengan pengetahuan yang telah kita miliki. Misalnya, pada saat peserta didik dihadapkan dengan suatu benda yang berbentuk prisma tegak, mereka akan mencoba menguraikan benda tersebut menjadi bangun-bangun datar yang sudah dikenalnya. Oleh karena itu keterampilan proses bukan hanya sekedar keterampilan motorik tetapi juga melibatkan keterampilan berpikir. Dalam proses pembelajaran tersebut peserta didik akan mendapatkan pengalaman belajar. Dengan adanya pengalaman belajar kemampuan intelegensi peserta didik dapat berkembang dengan baik (Sumarto dan Hartono, 2002:143). Berdasarkan permasalahan diatas penulis ingin melakukan suatu perubahan dengan menggunakan media alat peraga bekas agar dapat meningkatkan hasil belajar dan aktivitas peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Media pembelajaran ini diharapkan dapat membantu dan memperbaiki proses belajar mengajar, bahkan dapat memberi kepuasan kepada guru karena dapat menyajikan pelajaran dengan cara yang baik atau lengkap. Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan informasi bahwa untuk meningkatkan aktifitas dan hasil belajar siswa pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat dilakukan dengan menggunakan alat peraga bekas. 2. Tinjauan Pustaka Pembelajaran matematika Pembelajaran menurut Hamalik (2001: 57) adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Kegiatan pembelajaran bertujuan, untuk membelajarkan peserta didik dengan melibatkan interaksi antara peserta didik dengan pendidik, peserta didik dengan peserta didik untuk mencapai suatu tujuan belajar dengan memanfaatkan beberapa komponen seperti sarana dan prasarana, strategi atau metode (Sanjaya, 2010: 51). Menurut Djamarah (2008: 30) bahwa peserta didik yang mampu menguasai suatu konsep matematika, yaitu peserta didik yang mampu menghadapi abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi. Dengan belajar matematika yang dihubungkan dalam keadaan riil dapat memberikan pengalaman belajar yang mampu mengkonstruk suatu konsep dasar matematika. Karena pembelajaran matematika dengan realita merupakan pembelajaran secara keseluruhan yang kemudian dipecah dalam bagianbagian tertentu. Aktivitas belajar Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar. Dengan demikian sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh peserta didik di sekolah. Aktivitas peserta didik tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di sekolah-sekolah. Dalam pembelajaran di sekolah peserta didik diharapkan dapat melakukan aktivitas belajar secara maksimal. Melalui aktivitas belajar yang tinggi diharapkan hasil belajar yang diperoleh peserta didik juga tinggi. Aktivitas dalam belajar sangat perlu sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat, berbuat untuk mengubah tingkah laku. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Dengan mengemukakan beberapa pandangan dari berbagai ahli di atas, jelas bahwa dalam pembelajaran, peserta didik harus aktif berbuat. Dengan kata lain bahwa dalam belajar diperlukan adanya aktivitas, tanpa aktivitas, belajar itu tidak mungkin berlangsung dengan baik (Sardiman, 2001:93-95). 164

165 Paul B. Dierich membuat suatu daftar yang berisi macam-macam kegiatan siswa digolongkan sebagai berikut: 1. Visual activities, yang termasuk di dalamnya misal, membaca, memperhatikan gambar demonstrasi, percobaan, pekerjaan orang lain. 2. Oral activities, seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, interupsi. 3. Listening activities, sebagai contoh mendengarkan uraian, percakapan, diskusi, musik, pidato. 4. Writing activities, misalnya: menulis cerita, karangan, laporan, angket, menyalin. 5. Drawing activities, misalnya: menggambar, membuat grafik, peta, diagram. 6. Motor activities, yang termasuk kegiatan ini antara lain melakukan percobaan, membuat konstruksi, model mereparasi, bermain, berkebun, beternak. 7. Mental activities, sebagai contoh misalnya: menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisa, melihat hubungan, mengambil keputusan. 8. Emotional activities, seperti misalnya, menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, berani, tenang, gugup. Jadi, aktivitas di sekolah itu sangat kompleks dan bervariasi, kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, tentu sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal. Hasil belajar Hasil belajar tidak lepas dari kegiatan atau pelaksanaan belajar itu sendiri. Proses dalam belajar mempunyai peranan penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dalam prosesnya pun banyak mengalami kendala. Hasil belajar menunjukkan tingkat sampai dimana pencapaian dalam pelaksanaan pembelajaran. Menurut Purwanto (2009: 45) Hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Hasil belajar pada hakikatnya merupakan kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berfikir dan bertindak. Menurut S. Bloom hasil belajar pengetahuan terdiri atas empat kategori yaitu: a) Pengetahuan tentang fakta. b) Pengetahuan tentang prosedural. c) Pengetahuan tentang konsep. d) Pengetahuan tentang prinsip.(jihad dan Haris, 2009: 12-13). Jadi hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melakukan proses pembelajaran dalam mencapai suatu tujuan pembelajaran. Dari pengertian tentang hasil belajar, dapat disimpulkan hasil belajar merupakan kemampuan yang dimiliki peserta didik setelah melalui proses belajar yang sesuai dengan tujuan pengajaran. Dalam mencapai hasil belajar yang maksimal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah ketepatan dalam memilih strategi, metode dan model pembelajaran yang tepat dalam menyampaikan materi agar materi dapat diterima oleh peserta didik dengan baik. Serta pengertian pembelajaran yang sesungguhnya yaitu adanya timbal balik serta komunikasi antara peserta didik dengan pendidik, dan peserta didik dengan peserta didik yang lain. Bukan hanya pendidik saja yang berbicara. Untuk mencapai hasil belajar dengan pembelajaran sesungguhnya maka diperlukan strategi pembelajaran peserta didik aktif, bukan hanya gurunya saja yang aktif, salah satunya yaitu dengan pembelajaran yang sesuai dengan keadaan peserta didik di sekolah tersebut. Alat peraga Alat peraga adalah alat bantu untuk mendidik atau mengajar supaya apa yang diajarkan mudah dimengerti anak didik. Menurut Anitah (2008: 4) bahwa Alat peraga dalam pembelajaran pada hakikatnya merupakan suatu media pembelajaran yang digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang riil sehingga memperjelas pengertian belajar. Sedangkan menurut Arsyad (2005: 15) bahwa dalam proses belajar mengajar dua unsur yang sangat penting adalah model mengajar dan media pembelajaran seperti alat peraga. Belajar yang efektif harus dimulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkrit dan menuju kepada pengalaman yang lebih abstrak. Proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran/media tertentu ke 165

166 penerima pesan. Dalam proses pembelajaran matematika, penggunaan media perlu untuk direalisasikan. Dengan penggunaan media, dalam hal ini alat peraga, maka peserta didik akan mampu memahami konsep dan mampu mengabstraksikan konsep-konsep mereka. Dalam mengajar matematika penggunaan media alat peraga akan membantu guru agar proses belajar peserta didik lebih efektif dan efisien. Ada beberapa keunggulan dari alat peraga matematika dalam proses pembelajaran, yaitu: 1) Mampu mengatasi keterbatasan perbedaan pengalaman pribadi peserta didik 2) Mampu mengatasi keterbatasan ruang kelas 3) Mampu mengatasi keterbatasan ukuran benda 4) Mampu mengatasi keterbatasan kecepatan gerak benda 5) Mampu mempengaruhi motivasi belajar peserta didik 6) Mampu mempengaruhi daya abstraksi peserta didik 7) Memungkinkan pembelajaran yang lebih bervariasi. Alat peraga bekas Luas permukaan prisma dan limas tegak merupakan materi yang abstrak artinya peserta didik sulit memahami materi tiga dimensi yang digambar pada dua dimensi. Untuk mempermudah dalam memahami dan mempelajari materi tersebut guru mencoba menggunakan inovasi dalam model pembelajaran yang mana bisa menggugah peserta didik untuk aktif dalam menemukan konsep atau sesuatu yang baru secara mandiri sehingga apa yang mereka dapat dari jerih payah sendiri tidak mudah lupa. Dengan materi yang bersifat abstrak bisa dikonkretkan melalui bantuan media khusus yaitu alat peraga bekas yang akan merubah dari hal abstrak menjadi konkret. Banyak terdapat barang bekas di sekeliling peserta didik yang berbentuk prisma tegak dan juga dapat dimanfaatkan untuk membuat model bentuk limas tegak, diantaranya bekas kemasan makanan yang sering dikonsumsi oleh peserta didik sendiri. Gambar 1. Kemasan bekas makanan Selain bersifat abstrak, dalam mempelajari materi luas permukaan prisma dan limas tegak memerlukan tingkat ketelitian yang tinggi karena dalam materi luas permukaan prisma dan limas tegak terdapat banyak sekali luas bangun datar yang membentuk prisma dan limas tegak tersebut, seperti luas bangun segitiga, luas bangun persegi, luas belah ketupat, dan teorema pytagoras yang digunakan untuk menghitung tinggi bidang tegak sebuah limas, dan lain sebagainya. Dengan banyaknya luas bangun datar yang berkaitan dengan luas permukaan prisma dan limas tegak peserta didik harus belajar lebih mendalami lagi untuk mengingat macam-macam luas bangun datar serta luas permukaan prisma, tanpa mengetahui macam-macam luas bangun datar dan teorema pytagoras peserta didik akan kesulitan dalam mempelajari luas permukaan prisma dan limas tegak. Gambar 2. Jaring-jaring prisma tegak segitiga dari kemasan bekas makanan 166

167 Gambar 3. Bentuk bangun datar yang merupakan pembentuk prisma segitiga Tinjauan materi prisma dan limas tegak 1) Prisma Menurut Asyono (2005:58) Prisma adalah bangun ruang yang dibatasi oleh dua bidang alas dan bidang atas berhadap-hadapan yang kongruen dan sejajar serta bidang-bidang tegak yang berpotongan menurut rusuk-rusuk yang sejajar. Sedangkan pengertian prisma beraturan adalah prisma tegak yang bidang alas dan bidang atasnya berbentuk segi banyak beraturan, sedangkan panjang rusuk tegaknya disebut tinggi prisma tegak tersebut. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 4 adalah prisma tegak segilima ABCDE. FGHIJ, dan BG merupakan salah satu rusuk tegak prisma tersebut dan sebagai tinggi prisma tegak tersebut. 2) Luas Permukaan Prisma Tegak Gambar 4. Prisma Tegak Segilima ABCDE.FGHIJ Luas daerah permukaan (surface) bangun ruang adalah jumlah luas daerah seluruh permukaannya yaitu luas daerah bidang-bidang sisinya. Jadi, luas daerah permukaan prisma adalah jumlah seluruh bidang-bidang prisma. Untuk menemtukan rumus luas permukaan prisma tegak, perhatikan gambar prisma tegak trapesium sama kaki ABCD. EFGH (gambar 5) dan jaring-jaringnya. 167

168 Gambar 5. Prisma Tegak Trapesium Sama Kaki ABCD. EFGH dan Jaring-jaringnya Dari jaring-jaring prisma tegak trapesium sama kaki ABCD.EFGH, terlihat bahwa prisma memiliki enam buah bidang yang terdiri dari bidang tegaknya berbentuk persegi panjang dan bidang atas serta bidang alas berbentuk trapesium. Jadi, luas permukaan prisma tegak trapesium sama dengan jumlah dari keenam sisi tersebut. Karena sisi atas dan alas suatu prisma adalah sama dan jumlah semua luas keempat sisi tegaknya bisa dilambangkan dengan L s maka: Luas permukaan prisma = 2 L a + L s Dimana: L a = Luas alas L s = jumlah luas semua sisi tegak dari prisma tegak. 3) Limas Limas adalah bangun ruang yang dibatasi oleh sebuah segi banyak (sebagai alas) dan beberapa sisi segitiga yang bertemu pada satu titik puncak. Sedangkan pengertian limas beraturan adalah limas yang alasnya berbentuk segi banyak beraturan, dan sisi tegaknya berbentuk segitiga-segitiga yang kongruen. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 6 adalah limas tegak segitiga sama sisi T. ABC. dan limas segienam T.ABCDEF. Gambar 6. Limas Tegak Segitiga Sama Sisi T.ABC dan Limas Segienam T.ABCDEF 4) Luas Permukaan Limas Perhatikan gambar limas tegak segitiga T.ABC (Gambar 6) dan jaring-jaringnya. Gambar 7. Limas Tegak Segitiga T.ABC dan Jaring-jaringnya Dari jaring-jaring limas tegak segitiga T. ABC terlihat bahwa limas memiliki empat buah bidang yang terdiri dari bidang tegak dan bidang alasnya berbentuk segitiga. Maka, luas permukaan limas tegak segitiga sama dengan jumlah dari keempat sisi terebut. Jumlah seluruh luas keempat sisi tegak limas segitiga bisa dilambangkan dengan maka Luas sisi/permukaan limas = Luas alas + jumlah seluruh luas segitiga pada bidang tegak = 168

169 Dimana : = Luas alas = Jumlah luas semua sisi tegak dari limas tegak 3. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 7 Banda Aceh Jl. Krueng Tripa Geuceu Komplek pada kelas VIII-1dengan jumlah peserta didiknya sebanyak 30 orang terdiri dari 16 orang peserta didik perempuan dan 14 orang peserta didik laki-laki. Data yang diperoleh berasal dari peserta didik dan guru/teman sejawat yang merupakan guru kolaborasi dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini. Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan yaitu pada awal April sampai dengan Mei 2014 semester genap tahun pelajaran 2013/2014. Dilakukan pada waktu tersebut karena materi luas permukaan prisma dan limas tegak merupakan pelajaran yang diajarkan pada semester genap. PTK ini dilaksanakan melalui dua siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar peserta didik pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak menggunakan alat peraga bekas. Adapun siklus yang akan dilaksanakan adalah pra siklus, siklus I dan siklus II yang akan dijabarkan sebagai berikut: 1. Pra Siklus Pra siklus merupakan pembelajaran sebelum dilakukan tindakan. Sebagai study pendahuluan yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan sebelum penelitian diperlukan dokumen dan informasi pada pembelajaran sebelumnya, yang terdiri atas tiga hal yaitu paper atau dokumen, person, dan place. Untuk memperoleh data tersebut peneliti membuat pre test sebagai informasi awal kondisi peserta didik. Setelah mendapatkan informasi mengenai permasalahan yang ada dalam pembelajaran matematika peneliti menganalisis dan melakukan tindakan penelitian mengenai pembelajaran tersebut. 2. Siklus I Pada siklus I yang dilaksanakan dalam penelitian tindakan kelas ini dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi yang akan dijelaskan sebagai berikut: a. Perencanaan 1) Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi luas permukaan prisma tegak. 2) Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain. 3) Merancang pembelajaran dengan menggunakan model ROPES 4) Menyiapkan LKS dan soal latihan, PR serta tes akhir siklus I, beserta jawaban dan penilaiannya. 5) Menyiapkan alat peraga untuk materi luas permukaan prisma tegak dari bekas kemasan. 6) Menyusun lembar penilaian tugas dan nilai tes akhir siklus, serta lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru. Observasi dilaksanakan sampai pertemuan kedua saja, karena pertemuan ketiga hanya memberikan tes akhir siklus I. 7) Menyiapkan pembagian anggota kelompok dalam diskusi. b. Pelaksanaan Dalam proses pelaksanaan pembelajaran dilakukan sesuai dengan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun. Adapun langkah-langkah pembelajaran pada siklus 1 dilaksanakan sebagai berikut: 1) Guru dan peserta didik menyiapkan sarana pembelajaran. 2) Guru membuka pembelajaran dengan salam. 3) Guru mengadakan presensi terhadap peserta didik. 4) Guru memberikan informasi awal tentang jalannya pembelajaran, dan tugas yang harus dilakukan peserta didk secara singkat dan jelas. 5) Guru memberikan apersepsi mengenai materi luas permukaan prisma tegak secara singkat. 6) Guru memberitahu peserta didik mengenai kelompok. Masing-masing kelompok beranggotakan 5 orang. 169

170 170 7) Guru memberikan fotokopian Lembar Kerja Siswa (LKS), dan alat peraga prisma tegak berupa kotak bekas yang disediakan oleh siswa. Melalui LKS dan menggunakan, mengamati, menyusun dan menganalisis pernyataan-pernyataan. 8) Peserta didik mempresentasikan hasil diskusi kelompok. 9) Guru memberikan latihan kepada peserta didik. 10) Guru bersama peserta didik menyimpulkan apa yang telah dipelajari. 11) Guru memberikan tugas rumah berupa PR, untuk dikumpulkan. 12) Guru memberikan tes evaluasi siklus I sebagai tes akhir siklus I dan juga sebagai evaluasi tahapan pertama. alat peraga peserta didik 3. Siklus II Untuk pelaksanaan yang dilaksanakan pada siklus II secara teknis sama dengan siklus I. Langkahlangkah dalam siklus II ini yang perlu ditekankan dari perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi adalah sebagai berikut: a. Perencanaan Perencanaan yang dilakukan pada siklus II ini pada dasarnya sama yang dilakukan pada siklus I. Berdasarkan hasil refleksi siklus I baik yang berkaitan dengan guru, peserta didik, ataupun perangkat diadakan perencanaan ulang yang didasarkan pada refleksi di siklus II. b. Pelaksanaan Pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan RPP yang telah disiapkan dan direvisi berdasarkan evaluasi pada siklus I. Adapun langkah-langkah pembelajaran sama dengan langkah-langkah pelaksanaan pada siklus I. Adapun sub materi yang akan dipelajari pada siklus II adalah luas permukaan limas tegak c. Pengamatan Selama kegiatan pembelajaran berlangsung observer dibantu peneliti mengamati dan mencatat hasil dalam lembar observasi yang digunakan sebagai dasar refleksi siklus II dipadukan dengan hasil evaluasi. d. Refleksi Refleksi pada siklus II ini dilakukan untuk penyempurnaan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar yang menumbuhkan sikap positif terhadap mata pelajaran matematika. Data dan cara pengumpulan data 1) Lembar Observasi aktivitas guru dan peserta didik Lembar observasi aktivitas guru digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas guru dalam mengelola pembelajaran dengan penggunaan media bekas pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Lembar observasi peserta didik digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas peserta didik selama pembelajaran berlangsung. 2) Lembar evaluasi berupa soal pretest dan ulangan harian Soal pretest yang diberikan sebelum materi diajarkan guna mengetahui kemampuan awal peserta didik, dan soal ulangan harian diberikan pada akhir siklus guna mengetahui peningkatan hasil belajar pada tiap siklus. Teknik pengolahan data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif tentang aktivitas peserta didik dan guru dalam mengelola pembelajaran dengan yang diperoleh dari pengamatan dengan menggunakan lembar pengamatan dalam bentuk ceklist, sedangkan data kuantitatif diperoleh dari pemberian tes (evaluasi) dalam bentuk pilihan ganda dan essay yang terdiri dari soal pretest dan soal tes evaluasi yang diberikan pada tiap akhir siklus yang disesuaikan dengan indikator pada setiap RPP. Teknik analisis data Apabila datanya telah terkumpul, maka diklasifikasikan menjadi dua kelompok data, yaitu data kuantitatif yang berbentuk angka-angka dan data kualitatif yang dinyatakan dalam kata-kata atau

171 simbol. Data kualitatif yang berbentuk amgka-angka disisihkan untuk sementara karena sangat berguna untuk menyertai dan melengkapi gambaran yang diperoleh dari analisis data kuantitatif. Dari data pengamatan dan hasil akhir siklus diolah dengan analisis deskriptif untuk menggambarkan keadaan peningkatan pencapaian indikator keberhasilan setiap siklus dan menggambarkan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar. Untuk mengetahui aktivitas peserta didik diguankan lembar observasi selama pembelajaran. Sedangkan data mengenai hasil belajar diambil dari kemampuan kognitif peserta didik dalam memecahkan masalah dianalisis dengan menggunakan rata-rata nilai ketuntasan belajar. Indikator keberhasilan 1. Persentase aktivitas peserta didik >= 75%. 2. Rata-rata nilai hasil belajar peserta didik >= Ketuntasan belajar klasikal >= 75%. 4. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian 1. Deskripsi Pra Siklus Evaluasi awal (pretest) yang dilakukan pada tanggal 1 April 2014 dari 30 peserta didik yang memperoleh nilai diatas KKM hanya 8 orang atau sebesar 26,7 % saja yang nilainya tuntas, sedangkan yang belum tuntas sebesar 73,3% atau sebanyak 22 orang yang nilainya masih dibawah 65. Hal ini berarti masih banyak peserta didik yang belum tuntas belajar baik secara individu maupun klasikal. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa pemahaman tentang luas permukaan prisma tegak oleh peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh masih rendah. Berdasarkan gambaran diatas, guru (peneliti) melakukan tindakan sebanyak 2 (dua) siklus melalui pembelajaran menggunakan alat peraga bekas dalam memberi pemahaman materi luas permukaan prisma dan limas tegak kepada peserta didik yang, dan diharapkan dengan pembelajaran ini hasil belajar dan aktivitas peserta didik dapat meningkat. 2. Deskripsi Siklus I Penelitian Tindakan Kelas (PTK) terdiri dari empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian yang telah dilakukan akhirnya diperoleh hasil yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Perencanaan Siklus 1 1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan prisma tegak. 2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika lain sebagai observer. 3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP. 4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, dan tes evaluasi. 5. Menyiapkan alat peraga luas permukaan prisma tegak yang berbentuk prisma tegak segitiga dan segienam. 6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru. Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan pertemuan kedua yang dilakukan oleh observer, sedangkan pertemuan ketiga tidak dilakukan observasi aktivitas guru dan peserta didik karena pertemuan ketiga pemberian soal tes siklus I. 7. Menentukan anggota kelompok diskusi. b. Pelaksanaan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus I terlaksana tiga kali pertemuan. Pertemuan 1 dilaksanakan pada tanggal 8 April 2014 dengan mempelajari luas permukaan prisma tegak menggunakan bantuan alat peraga bekas berbentuk prisma tegak segitiga dan segienam. Permasalahan yang harus dipecahkan peserta didik yaitu bagaimana menemukan luas permukaan prisma tegak. Kemudian mengadakan diskusi kelompok mengenai asal usul luas permukaan prisma tegak dan hasil kerja kelompok tersebut dipresentasikan ke depan kelas. Sementara itu pada pertemuan ke-2 tanggal 10 April 2014 diberikan pendalaman materi melalui soal-soal latihan dan pada pertemuan 3 tanggal 12 April 2014 diberikan tes akhir siklus I. 171

172 Dari analisis terhadap hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik diperoleh data bahwa peserta didik yang memperoleh nilai 65 keatas (diatas KKM 65) berjumlah 17 orang dari keseluruhan jumlah peserta didik 30 orang, maka jumlah peserta didik yang mengalami ketuntasan belajar baru sebesar 56,7 %. Hasil belajar peserta didik secara garis besar dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus I Siklus I Tuntas Tidak Tuntas Jlh (org) % Jlh (org) % 17 56, ,3 Rata-rata kelas 64,5 c. Observasi Observasi yang dilakukan pada siklus I ini antara lain adalah aktivitas peserta didik saat PBM berlangsung dan pelaksanaan PBM yang diselenggarakan oleh guru. Hasil observasi guru terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung dengan menggunakan lembar observasi aktivitas peserta didik, yaitu persentase aktivitas sebesar 60,4 %. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik tergolong kategori cukup namun masih kurang dari yang diharapkan oleh peneliti. Perbaikan harus dilakukan pada siklus berikutnya dengan cara lebih memotivasi dan membimbing peserta didik pada saat diskusi kelas maupun diskusi kelompok agar mereka lebih memperhatikan dan aktif dalam belajar. Dari data yang diperoleh rata-rata persentase kemampuan guru dalam melakukan PBM adalah 62,5 % termasuk kategori cukup. Dari hasil diskusi dengan guru kolaborasi perlu perbaikan dalam PBM, yaitu pada saat menyampaikan tujuan pembelajaran, memberikan motivasi, membimbing peserta didik dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas serta membimbing peserta didik dalam membuat kesimpulan diakhir pembelajaran karena dianggap belum maksimal. Hal ini dapat disebabkan karena PBM yang diselelenggarakan dalam memberikan penjelasan terlalu banyak ceramah oleh guru. Pelaksanaan pembelajaran yang dilakukan di siklus I belum optimal, hal ini terbukti dengan adanya beberapa langkah penerapan pembelajaran yang belum terlaksana secara optimal. Oleh karena itu, dilanjut ke siklus II dengan harapan menggunakan alat peraga pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak pada siklus II mengalami peningkatan. d. Refleksi Setelah siklus I selesai dilaksanakan beserta penilaian terhadap hasil belajar peserta didik, aktivitas peserta didik dan tanggapan peserta didik dalam melaksanakan PBM, guru peneliti bersama dengan guru kolaborasi membuat pertemuan untuk membahas tentang tindakan yang harus diperbaiki pada proses belajar mengajar di siklus II. Tindakan tersebut antara lain : 1. Menyampaikan tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan lebih jelas kepada peserta didik. 2. Memotivasi peserta didik yang tidak aktif dalam kelompoknya, membimbing peserta didik dalam diskusi kelompok dengan cara mendekati tempat duduk peserta didik untuk melihat aktivitas peserta didik lebih dekat serta membimbing peserta didik dalam kegiatan diskusi kelas. 3. Pengelolaan waktu lebih efektif. 4. Menggunakan bantuan media IT. 3. Deskripsi Siklus II Pada siklus II ini juga melalui empat tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan refleksi. Penelitian yang telah dilakukan pada siklus II akhirnya diperoleh hasil yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Perencanaan 1. Menyiapkan rencana pembelajaran dengan materi pokok luas permukaan limas tegak. 2. Menentukan kolaborasi dengan guru matematika kelas lain. 3. Merancang pembelajaran atau menyusun RPP. 4. Menyiapkan LKS, soal latihan individu, soal tugas PR, dan soal tes evaluasi. 5. Menyiapkan alat peraga luas permukan limas tegak. 172

173 6. Menyusun lembar observasi aktivitas baik untuk peserta didik maupun untuk guru. Observasi akan dilaksanakan pada pertemuan pertama dan kedua yang dilakukan oleh observer sedangkan pertemuan ketiga tidak diobservasi untuk aktivitas guru dan peserta didik karena hanya diberikan soal tes evaluasi siklus II. b. Pelaksanaan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) pada siklus II terlaksana tiga kali pertemuan. Pertemuan 1 pada tanggal 15 April 2014 dimana peserta didik mempelajari luas permukaan limas tegak menggunakan bantuan alat peraga yang dirancang sendiri dari kotak bekas. Dilanjutkan pertemuan selanjutnya pada tanggal 17 April 2014 dengan mendalami materi tersebut melalui pembahasan soal-soal latihan. Pelaksanaan evaluasi hasil pembelajaran pada siklus II dilaksanakan pada tanggal 19 April 2014 dengan alokasi waktu 2 jam pelajaran. Dari pembelajaran yang dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: Tabel 2. Hasil Belajar Peserta Didik Siklus II Siklus II Tuntas Tidak Tuntas Jlh (org) % Jlh (org) % 23 76,7 7 23,3 Rata-rata kelas 70,2 c. Observasi Hasil observasi yang dilakukan pada siklus II terhadap aktivitas peserta didik pada saat proses belajar mengajar berlangsung diperoleh persentase sebesar 75,1 %. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas peserta didik sudah baik. Peserta didik sudah siap dalam memperhatikan penjelasan guru dan sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman dalam siklus I, sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya proses belajar mengajar. Peserta didik lebih tenang dan tidak bingung lagi dengan apa yang harus dikerjakan dan sudah berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru tanpa rasa malu atau enggan. Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga yang ada berbeda dengan alat peraga siklus I. Peserta didik tidak canggung untuk berdiskusi dengan teman kelompoknya untuk menemukan konsep luas permukaan limas tegak dan mereka antusias dalam mempresentasikan hasil temuan diskusi. Selanjutnya hasil observasi terhadap aktivitas guru dalam pelaksanaan proses belajar mengajar diperoleh rata-rata persentase sebesar 82,5 % termasuk kategori sangat baik. Guru sudah berusaha maksimal dalam mengadakan proses belajar mengajar yang menggunakan tambahan bantuan media IT karena sudah berpengalaman pada siklus I. Guru dapat mengondisikan peserta didik dan mengatur waktu dengan baik dalam memberikan penjelasan dengan jelas dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik dalam kelompok secara menyeluruh. d. Refleksi Berdasarkan hasil pelaksanaan dan pengamatan yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa pada siklus II pembelajaran sudah cukup baik dari pada siklus sebelumnya. Meningkatnya hasil belajar peserta didik yang ditandai dengan rata-rata hasil belajar peserta didik dan ketuntasan belajar dan persentase aktivitas peserta didik sudah mencapai indikator keberhasilan yang dicapai. Sehingga peneliti dan observer, memutuskan tidak perlu diadakan siklus berikutnya. Pembahasan Setelah melalui 4 tahap dalam penelitian tindakan kelas siklus I dan siklus II, guru memberikan penilaian terhadap peserta didik. Penilaian yang diambil guru yaitu aktivitas dan hasil belajar peserta didik. Aktivitas dilihat dari Lembar Observasi selama pelaksanaan pembelajaran, sedangkan hasil belajar melalui gabungan beberapa nilai, yaitu antara nilai kerja kelompok, nilai latihan dan nilai tes akhir siklus. Aktivitas guru dan peserta didik diamati dari pertemuan pertama hinggá pertemuan kedua. Pencapaian aktivitas peserta didik pada siklus I adalah 60,4 %, sedangkan pada siklus II persentase aktivitas peserta didik mencapai 75,1 %. Hasil ini sudah lebih memperlihatkan kenaikan yang cukup 173

174 dalam persen tinggi dan sudah mencapai indikator keberhasilan. Oleh karena itu, penggunaan alat peraga bekas sudah berhasil dan sudah menunjukkan peningkatan dari siklus I sebesar 14,7%. Grafik perbandingan aktivitas peserta didik antar siklus dapat dilihat pada gambar berikut. GRAFIK AKTIVITAS PESERTA DIDIK SI K L U S TINDAKAN SI K L U S AKTIF 60,4 75,1 Gambar. 8. Grafik Perbandingan Aktivitas Peserta Didik pada Siklus I dan Siklus II Berdasarkan grafik di atas, dapat dijelaskan bahwa hasil pengamatan yang didapatkan di siklus II, adalah peserta didik sudah sigap dalam membentuk kelompok dikarenakan sudah berpengalaman dalam siklus I. Ketika guru memerintah untuk membentuk kelompok mereka segera bergabung dengan kelompoknya masing-masing. Sehingga pembelajaran segera dimulai dan memperlancar jalannya proses belajar mengajar. Peserta didik sudah berani bertanya dan menjawab pertanyaan yang diberikan guru tanpa rasa malu atau enggan. Peserta didik sudah terampil dalam menggunakan alat peraga meskipun alat peraga yang ada berbeda dengan siklus I. Peserta didik senang dan tertarik ketika belajar limas tegak menggunakan alat peraga, dan peserta didik juga tidak mendapat kesukaran ketika belajar materi yang bersifat abstrak karena dikonkretkan dengan alat peraga. Sedangkan aktivitas guru mengalami peningkatan dari 62,5 % pada siklus I menjadi 82,5% pada siklus II. Hal ini terjadi karena selama berlangsungnya siklus kegiatan di siklus II kekurangan-kekurangan yang ada di siklus I sudah bisa teratasi. Baik peserta didik maupun guru telah menunjukkan peningkatan. Hal ini juga dikarenakan sudah mempunyai pengalaman di siklus I. Penilaian hasil belajar yang dilakukan pada setiap akhir siklus melalui ulangan harian digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif peserta didik. Pada siklus I hasil belajar belum mencapai indikator keberhasilan. Hal ini terlihat dengan hasil rata-rata kelas yang dicapai adalah 64,5 dan persentase ketuntasan belajar secara klasikal sebesar 56,7%. Sedangkan persentase ketuntasan belajar klasikal yang dicapai peserta didik pada siklus II sudah meningkat menjadi 76,7 % dengan rata-rata hasil belajar seluruh peserta didik 70,2. Karena ketuntasan belajar klasikal dan rata-rata hasil belajar yang dicapai oleh peserta didik pada siklus II sudah mencapai indikator keberhasilan yang ditentukan, maka pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas pada siklus II sudah berhasil. Oleh karena itu, pembelajaran dicukupkan pada siklus II ini. 174

175 PRA SIKLU S SIKLU S I SIKLU S II AKTIVITAS 55 60,4 75,1 RATA-RATA KELAS 60,5 64,5 70,2 KETUNTASAN 26,7 56,7 76,7 TINDAKAN AKTIVITAS RATA-RATA KELAS KETUNTASAN Gambar. 9.Grafik Perbandingan Hasil Belajar Peserta Didik pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II Dari grafik di atas terlihat jelas bahwa setiap siklus dari pra siklus sampai siklus II mengalami peningkatan baik peningkatan pada aktivitas peserta didik, rata-rata hasil belajar dan ketuntasan belajar klasikal. Ini menunjukkan penggunaan alat peraga bekas tepat digunakan pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak pada peserta didik kelas VIII-1 SMP Negeri 7 Banda Aceh tahun pelajaran 2013/ Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan pada penelitian tindakan kelas ini diperoleh simpulan berikut: 1. Pembelajaran di kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh dengan menggunakan alat peraga bekas pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak dapat meningkatkan hasil belajar. Ini terbukti hasil belajar yang selalu mengalami kenaikan dari setiap siklus. 2. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan aktivitas peserta didik kelas VIII-I SMP Negeri 7 Banda Aceh pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak. Ini terbukti aktivitas peserta didik dari setiap siklus mengalami peningkatan. Dalam penelitian tindakan kelas dalam pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas memang sudah berhasil, akan tetapi masih perlu adanya suatu perbaikan agar hasil belajar peserta didik lebih baik lagi, dan pembelajaran ini bisa lebih bermanfaat. Adapun saran dalam penelitian ini adalah: 1. Dalam pembelajaran matematika guru harus pandai memilih media dan model pembelajaran yang sesuai dengan materi yang akan disampaikan kepada peserta didik agar peserta didik tidak jenuh dengan model pembelajaran yang ada dan menjadi inovasi dalam mengadakan pembelajaran. 2. Pada pembelajaran matematika materi yang bersifat abstrak, guru sebaiknya menggunakan alat peraga agar peserta didik lebih mudah dalam belajar dan tertarik terhadap materi yang akan dipelajari. 3. Pembelajaran dengan menggunakan alat peraga bekas dapat meningkatkan hasil belajar, maka dalam kegiatan pembelajaran pada materi luas permukaan prisma dan limas tegak disarankan menggunakan media alat peraga. Daftar Pustaka 175

176 Anitah, Sri. (2008). Media Pembelajaran. Solo: UNS Press. Arsyad, Azhar. (2005). Media Pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Djamarah, Syaiful Bahri. (2008). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Hamalik, Oemar. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Jihad, Asep dan Haris, Abdul. (2009). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo. Purwanto. (2009). Evaluasi Hasil Belajar. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Sumarto dan Hartono, Agung. (2002). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta. 176

177 PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN PERMUTASI DI KELAS X MAN ULIM KABUPATEN PIDIE JAYA Rahmawati Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Prodi Matematika, Universitas Syiah Kuala rahma.ayya@gmail.com Abtrak. Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan pemahaman konsep siswa dalam pembelajaran matematika pada penerapan model discovery learning di kelas X MAN Ulim Kabupaten Pidie Jaya. Metode yang digunakan yaitu discovery learning. Data yang diperoleh dari penelitian ini adalah hasil dari LKS dan pekerjaan rumah yang diberikan kepada siswa dan berdasarkan angket pengamatan yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari 3 kategori 4 siswa tergolong sangat baik, 3 siswa tergolong cukup dan 18 siswa tergolong baik. Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep siswa baik. Penerapan model pembelajaran Discovery Learning ini sangat memotivasi siswa untuk dapat menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep. Perlu adanya penelitian lebih lanjut sebagai pengembangan dari penelitian ini. Kata kunci: discovery learning, pemahaman konsep, permutasi 1. Pendahuluan Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,khususnya pendidikan dasar dan menengah (Manur Muslich, 2009: 11). Sebagian besar dari peserta didik tidak mampu menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan dipergunakan atau dimanfaatkan. Peserta didik memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode ceramah. Padahal peserta didik sangat butuh untuk dapat memahami konsep-konsep yang berhubungan dengan tempat kerja dan masyarakat pada umumnya di mana mereka akan hidup dan bekerja. Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika dapat dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan materi serta hasil belajar siswa. Hal ini dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi pemahaman dan penguasaan materi serta hasil belajar, maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran. Namun dalam kenyataannya dapat dilihat bahwa hasil belajar matematika yang dicapai siswa masih rendah. Masalah tersebut, dikarenakan kurangnya pemahaman konsep siswa tentang materi yang dipelajari. Sulitnya matematika bagi siswa adalah karena pembelajaran matematika kurang bermakna. Guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki siswa dan siswa kurang diberi kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkontruksi sendiri ide-ide matematika. Untuk itu diperlukan suatu metode yang dapat mengaitkan pengalaman hidup nyata siswa dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran dikelas agar pembelajaran lebih bermakna. Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu alternatif yang diharapkan mampu mengaktifkan anak, menemukan sesuatu dan mengembangkan kreatifitas. Bruner (dalam Dahar, 1996) menganggap bahwa belajar dengan 5 metode penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna bagi siswa. Penemuan yang dimaksud yaitu siswa menemukan konsep melalui bimbingan dan arahan dari guru karena pada umumnya sebagian besar siswa masih membutuhkan konsep dasar untuk dapat menemukan sesuatu. 177

178 Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk menulis dengan judul: Penerapan model Discovery Learning untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa pada pokok bahasan permutasi di kelas X MAN Ulim Kabupaten Pidie Jaya. 2. Tinjauan Pustaka Model-model pembelajaran Dalam pembelajaran, berbagai masalah sering dialami oleh guru. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam pembelajaran, maka perlu adanya model-model pembelajaran yang dipandang dapat membantu guru dalam proses belajar mengajar. Model dirancang untuk mewakili realitas sesungguhnya, walaupun model itu sendiri bukanlah realitas dari dunia sebenarnya. Model pembelajaran adalah pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelompok maupun tutorial (Rusman, 2012: 132). Jawane (2006) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual dalam melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran. Dengan demikian aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis. Joice dan Well dalam Rusman (2012) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran dikelas atau yang lain. Berdasarkan pemaparan tersebut dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran adalah serangkaian kegiatan pembelajaran yang disajikan secara khas oleh guru guna menciptakan proses pembelajaran yang lebih kondusif dalam mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Rusman (2012) mengemukakan bahwa ada banyak model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dalam usaha mengoptimalkan hasil belajar siswa. Model pembelajaran tersebut antara lain terdiri dari: 1. Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) 2. Model Pembelajaran Kooperatif 3. Model Pembelajaran Discovery Learning 4. Model Pembelajaran Berbasis Komputer (CBI) 5. Model Pembelajaran PAKEM ( Partisipatif, Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan) 6. Model Pembelajaran Berbasis Web (E-Learning) / Web Based Eduacation (WBE) 7. Model Pembelajaran Mandiri Metode discovery learning Discovery learning adalah teori belajar yang didefinisikan sebagai proses pembelajaran yang terjadi bila pelajar tidak disajikan dengan pelajaran dalam bentuk finalnya, tetapi diharapkan siswa mengorganisasikan sendiri. Sebagai strategi belajar, Discovery Learning mempunyai prinsip yang sama dengan inkuiri (inquiry) dan Problem Solving. Tidak ada perbedaan yang prinsipil pada ketiga istilah ini, pada Discovery Learning lebih menekankan pada ditemukannya konsep atau prinsip yang sebelumnya tidak diketahui. Perbedaannya dengan discovery ialah bahwa pada discovery masalah yang diperhadapkan kepada siswa semacam masalah yang direkayasa oleh guru. Metode Discovery Learning adalah suatu metode pembelajaran yang membimbing siswa untuk menemukan hal-hal yang baru bagi siswa berupa konsep, rumus, pola, dan sejenisnya. Sehingga, dengan penerapan metode ini dapat merangsang siswa untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran (TIM MKPBM: ). Menurut Husain (2013:3) kata penemuan sebagai metode mengajar merupakan penemuan yang dilakukan oleh siswa. Siswa menemukan sendiri sesuatu yang baru, ini tidak berarti yang ditemukannya 178

179 benar-benar baru, sebab sudah diketahui oleh orang lain. Metode penemuan merupakan komponen dari suatu bagian praktik pendidikan yang seringkali diterjemahkan sebagai mengajar heuristik, yakni suatu jenis mengajar yang meliputi metode-metode yang dirancang untuk meningkatkan rentangan keaktifan siswa yang lebih besar, berorientasi kepada proses, mengarahkan pada diri sendiri, mencari sendiri, dan refleksi yang sering muncul sebagai kegiatan belajar. Metode penemuan adalah poses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Proses mental yang dimaksud adalah mengamati, mencerna, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur dan membuat kesimpulan. Rohani (2010) mengemukakan bahwa metode discovery learning adalah metode yang berangkat dari suatu pandangan bahwa peserta didik sebagai subyek di samping sebagai obyek pembelajaran. Mereka memiliki kemampuan dasar untuk berkembang secara optimal sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Proses pembelajaran harus dipandang sebagai suatu stimulus atau rangsangan yang dapat menantang peserta didik untuk merasa terlibat atau berpartisipasi dalam aktivitas pembelajaran. Peranan guru hanyalah sebagai fasilitator dan pembimbing atau pemimpin pengajaran yang demokratis, sehingga diharapkan peserta didik lebih banyak melakukan kegiatan sendiri atau dalam bentuk kelompok memecahkan masalah atas bimbingan guru. Menurut Suryobroto (2010) Metode discovery learning diartikan sebagai suatu prosedur mengajar yang mementingkan pengajaran perseorangan, manipulasi obyek dan lain-lain, sebelum sampai kepada generalisasi. Metode discovery learning merupakan komponen dari praktek pendidikan yang meliputi metode mengajar yang memajukan cara belajar aktif, beroreientasi pada proses, mengarahkan sendiri, mencari sendiri dan reflektif. Encyclopedia of Educational Research, penemuan merupakan suatu strategi yang unik dapat diberi bentuk oleh guru dalam berbagai cara, termasuk mengajarkan ketrampilan menyelidiki dan memecahkan masalah sebagai alat bagi siswa untuk mencapai tujuan pendidikannya. Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar dapat dikatakan bahwa metode discovery learning ini: (a) Merupakan suatu cara untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif, (b) Dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa, (c) Pengertian yang ditemukan sendiri merupakan pengertian yang betul-betul dikuasai dan mudah digunakan atau ditransfer dalam situasi lain, (d) Dengan menggunakan strategi penemuan, anak belajar menguasai salah satu metode ilmiah yang akan dapat dikembangkannya sendiri, (e) dengan metode penemuan ini juga, anak belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan probela yang dihadapi sendiri, kebiasaan ini akan ditransfer dalam kehidupan bermasyarakat. Langkah-langkah pembelajaran discovery learning Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2013), model discovery learning memiliki langkah persiapan sebagai berikut: a. Menentukan tujuan pembelajaran b. Melakukan identifikasi karakteristik siswa (kemampuan awal, minat, gayabelajar, dan sebagainya) c. Memilih materi pelajaran. d. Menentukan topik-topik yang harus dipelajari siswa secara induktif (dari contoh-contoh generalisasi e. Mengembangkan bahan-bahan belajar yang berupa contoh- contoh, ilustrasi tugas dan sebagainya untuk dipelajari siswa f. Mengatur topik-topik pelajaran dari yang sederhana ke kompleks, dari yang konkret ke abstrak, atau dari tahap enaktif, ikonik sampai ke simbolik g. Melakukan penilaian proses dan hasil belajar siswa. Adapun langkah pelaksanaan model discovery learning menurut Muhibbin Syah dalam Qorri ah (2011) yaitu: a. Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan), kegiatan belajar dimulai dengan memberikan pertanyaan yang meransang berpikir siswa, mengajukan dan mendorongnya untuk mebaca buku dan aktifitas belajar lain yang mengarah kepada persiapan pemecahan masalah. b. Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah), memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasikan sebanyak mungkin masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, 179

180 kemudian memilih dan merumuskannya dalam bentuk hipotesis (jawaban sementara dari masalah tersebut). c. Data collection (Pengumpulan Data), memberikan kesempatan kepada siswa mengumpulkan informasi yang relevan sebanyak-banyaknya untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis tersebut. d. Data Processing (Pengolahan Data), mengolah data yang telah diperoleh siswa melalui kegiatan wawancara, observasi dan lain-lain. Data tersebut kemudian ditafsirkan. e. Verification (Pembuktian), mengadakan pemeriksaan secara cermat untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis yang ditetapkan dan dihubungkan dengan hasil dan pengolahan data. f. Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi), mengadakan penarikan kesimpulan untuk dijadikan umum yang berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama dengan memperhatikan hasil verifikasi. Kemampuan pemahaman konsep Menurut Sadirman dalam Qorri ah (2011), pemahaman (comprehension) dapat diartikan menguasai sesuatu dengan pikiran, memahami maksudnya dan menagkap maknanya. Pemahaman memilki arti sangat mendasar yang meletakkan bagian-bagian belajar pada proporsinya, oleh sebab itu pemahaman tidak sekedar tahu, tetapi juga menghendaki agar subjek belajar dapat memanfaatkan bahan-bahan yang telah dipahaminya. Fenomena ini menunjukkan bahwa pemahaman merupakan unsur psikologis yang penting dalam proses belajar-mengajar. Seseorang dikatakan memahami sesuatu jika telah dapat mengorganisasikan dan mengatakan kembali apa yang dipelajarinya dengan menggunakan kalimatnya sendiri. Siswa tidak lagi mengingat dan menghafal informasi yang diperolehnya, melainkan harus dapat memilih dan mengorganisasikan informasi tersebut. Termasuk di dalamnya menafsirkan suatu bagan, grafik, gambar untuk menjelaskan dengan kalimatnya sendiri (Sri Anitah:2011). Sedangkan konsep menurut kamus bahasa Indonesia adalah ide atau pengertian yang diabtrakskan dari peristiwa kongkret. Dan menurut kamus matematika, konsep adalah gambaran ide tentang sesuatu benda yang dilihat dari segi ciri-cirinya seperti kuantitas, sifat, atau kualitas. Pada dasarnya konsep adalah sesuatu kelas stimuli yang mewakili sifat-sifat umum, misalnya konsep demokrasi, konsep kuda, konsep bangunan, mobil dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan metode pelajaran dapat dikatakan bahwa untuk mengajarkan konsep konkret akan lebih baik jika digunakan metode penemuan (discovery). Konsep-konsep dalam matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis dan sistematis mulai dari konsep yang paling sederhana samapai pada konsep yang kompleks. Dalam matematika terdapat topik atau konsep prasyarat sebagai dasar untuk memahami topik atau konsep selanjutnya. Dapat dikatakan bahwa dalam mempelajari matematika dibutuhkan kemampuan mengkaji dan berfikir (bernalar) secara logis, kritis dan sistematis. 3. Hasil Penelitian Kegiatan yang dilakukan Kegiatan pembelajaran dengan model pembelajaran Discovery Learning dilaksanakan pada tanggal 29 April 2014 dengan permutasi. Adapun kegiatan pembelajaran yang dilakukan di kelas sesuai dengan kerangka rancangan model pembelajaran Discovery Learning. Berikut adalah kegiatan selama pembelajaran: Tahap Pertama: Stimulation (pemberian rangsangan) 180

181 Gambar 1. Guru Menumbuhkan Minat Siswa dengan Memotivasi tentang Materi yang Akan Dipelajari Tahap Dua: Problem statement (Pertanyaan/Identifikasi masalah) Gambar 2: Siswa Mengajukan Pertanyaan tentang Apa yang Belum Siswa Pahami Tahap Tiga: Data collection (Pengumpulan data) Gambar 3. Guru Membimbing Siswa dalam Kelompok untuk Mendiskusikan Masalah yang Ada pada LKS Tahap Empat: Data processing (pengolahan data) 181

182 Gambar 4. Siswa Mendiskusikan Penyelesaian Permutasi dengan Cara Mereka Sendiri dengan Bimbingan Guru Tahap lima: Verification (pembuktian) Gambar 5. Dengan Bimbingan Guru Siswa Mencoba Menemukan Rumus Permutasi Tahap enam: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Gambar 6. Siswa Menarik Kesimpulan Tentang Apa yang Telah Ditemukan dan Mempresentasikannya 182

183 Berdasarkan hasil penyelesaian LKS yang dilakukan oleh 5 kelompok, rata-rata semua kelompok bisa menyelesaikannya walaupun dengan bimbingan guru namun siswa cepat mengerti di saat bimbingan. Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan LKS, siswa ini mengalami kendala dalam mengerjakan operasi aljabar yaitu pada saat pembuktian rumus. Penilaian pemahaman dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 3 siswa dikategorikan sangat baik dan 3 siswa kurang baik dan lainnya Baik dari 25 siswa yang hadir dan 4 siswa yang tidak hadir. Dari ketiga siswa ini menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS yang berhubungan dengan perhitungan, tetapi saat mempraktekkan kerja pada alat peraga, mereka sangat bersemangat. Untuk penilaian sikap tanggung jawab terdapat 22 siswa dikategorikan sangat baik dan 3 siswa dikategorikan baik. Untuk mengukur tingkat pemahaman konsep siswa, pernyataan dalam angket dikategorikan dalam 3 kategori, yaitu pemahaman masalah terhadap permutasi, kebenaran jawaban akhir soal, dan proses penurunan rumus permutasi. Berdasarkan angket yang telah diisi oleh siswa, dapat terlihat bahwa dari 3 kategori 4 siswa tergolong sangat baik, 3 siswa tergolong cukup dan 18 siswa tergolong baik. Dari hasil kategori terlihat bahwa pemahaman konsep siswa baik karena siswa baru pertama kali membuktikan rumus selama mereka belajar. 4. Kesimpulan Penerapan model pembelajaran Discovery Learning pada materi permutasi disaat proses belajar-mengajar berlangsung di MAN Ulim kelas X3 sangat memotivasi siswa untuk dapat menemukan, memahami dan mengaplikasikan konsep yang berhubungan dengan materi ini. Hal ini disebabkan karena penerapan Model Pembelajaran Discovery learning guru berperan sebagai pembimbing dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara aktif, sebagaimana pendapat guru harus dapat membimbing dan mengarahkan kegiatan belajar siswa sesuai dengan tujuan. Kondisi seperti ini ingin merubah kegiatan belajar mengajar yang teacher oriented menjadi student oriented. Daftar Pustaka Effendi, Leo Adhar. (2012). Pembelajaran Matematika dengan Metode Penemuan Terbimbing untuk Meningkatkan Kemampuan Representasi dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa SMP. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat Husain, Rahmin T. (2013), Penerapan Metode Discovery Learning Dalam Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Mata Pelajaran Matematika Di Mts Kiayi Modjo Kecamatan Limboto Barat. Diakses pada 22 Mei 2014, dari alamat Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning). Diakses pada 20 Mei 2014 dari alamat Muslich, Manur. (2009). KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Konstekstual. Jakarta: Bumi Aksara. Qorri ah, (2011), Penggunaan Metode Guided Discovery Learning Untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Siswa pada Pokok Bahasan Bagun Ruang Sisi Lengkung, Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat Rohani, (2010). Penerapan Metode Discovery learning. Diakses pada 22 Mei 2014 dari alamat com/ search.pdf Rusman, (2012). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Rajawali Pers. 183

184 Sri Anitah, (2011), Strategi Belajar Mengajar.Jakarta: Universitas Terbuka. Suryobroto, (2010), Macam-Macam Metode Pembelajaran. Diakses pada 23 Mei 2014 dari alamat live. com/pdf/cns!669e85c7cbd2f075!946.entry Sutrisno Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa. Diakses pada 25 Mei 2014 dari alamat TIM MKPBM Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI, JICA. 184

185 PENERAPAN MODEL DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA DI KELAS X-3 MA DARUL ULUM BANDA ACEH Rahmazatullaili Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. Pendidikan pada zaman yang serba canggih seperti sekarang menuntut siswa mampu menguasai berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu matematika. Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar matematika di Indonesia, khususnya di Aceh sampai saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Kurikulum 2013 mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa membentuk manusia yang mampu berpikir tingkat tinggi. Salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai SD hingga SMA adalah bangun ruang yang di dalamnya mencakup definisi bangun ruang, bagianbagiannya, jarak serta sudut dalam bangun ruang. Cara mengajar guru dikelas yang menoton dan mendominasi proses pembelajaran serta kurangnya pemotivasian yang menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa pasif, kurang peduli, kurang bergairah dan tidak adanya rasa ingin tahu pada diri siswa, yang pada akhirnya berimbas pada hasil pembelajaran matematika yang tidak memuaskan serta berasumsi bahwa belajar matematika sangat sulit yang menyebabkan siswa kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika. Untuk itu sangatlah penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan konsep dan rumus-rumus sendiri sehingga lebih bermakna. Model Discovery Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menitikberatkan pada aktifitas siswa sehingga siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri. Tujuan penulisan makalah adalah untuk melihat bagaimana pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda Aceh melalui penerapan model Discovery Learning. Hasil uji coba di kelas: Adanya perubahan sikap belajar siswa diantaranya siswa merasa puas, mandiri, percaya diri, termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu dan siswa memahami konsep yang berhubungan dengan materi ini, walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang diharapkan, masih ada siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil latihan. Kata kunci: Discovery Learning, Dimensi tiga, sudut Pendahuluan Pendidikan merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik. Pendidikan tidak terlepas dari kegiatan belajar mengajar, sebab tanpa belajar maka pendidikan tidak pernah ada dan tanpa belajar manusia mungkin tidak dapat mengembangkan bakat, minat dan kepribadiannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Pendidikan pada zaman yang serba canggih seperti sekarang menuntut siswa mampu menguasai berbagai bidang ilmu secara kompleks, khususnya ilmu matematika. Kualitas pembelajaran dan prestasi belajar matematika di indonesia, khususnya di aceh sampai saat ini masih belum mengalami perubahan yang menggembirakan. Pengumuman hasil ujian nasional tahun 2014 menunjukkan bahwa nilai ujian nasional untuk pelajaran matematika siswa masih tergolong rendah dibandingkan pelajaran yang lain. di sisi lain, Kurikulum 2013 mengharapkan dapat menghasilkan manusia indonesia yang memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu 185

186 berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia, serta bisa membentuk manusia yang mampu berpikir tingkat tinggi. Banyak faktor yang dapat menyebabkan rendahnya hasil belajar matematika, diantaranya faktor guru, faktor siswa maupun proses belajar mengajar. kebanyakan pembelajaran di sekolah masih berpusat pada guru. Banyak guru, terutama yang kurang pemahaman tentang materi matematika hanya mentransfer materi yang ada dalam buku teks kepada siswa sehingga pengetahuan matematika yang disampaikan guru kepada siswa menjadi tidak tepat, siswa sulit memahami konsep matematika yang merupakan akibat dari pengajaran yang abstrak, diajarkan melalui metode ceramah dan hampir sepenuhnya bergantung kepada buku teks (Zubainur, 2013). Cara mengajar yang menoton dan guru yang mendominasi proses pembelajaran menyebabkan kurangnya keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran. Hal ini mengakibatkan siswa pasif dalam pembelajaran, sulit memahami dan membangun konsep matematika dan siswa hanya menghafal konsep matematika tanpa mengerti. padahal aktivitas dalam pembelajaran matematika akan bermakna bagi siswa apabila dilakukan melalui interaksi dengan guru dan dengan siswa lainnya. Kurangnya pemotivasian siswa untuk ikut aktif dalam proses pembelajaran merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan rendahnya hasil belajar matematika siswa. Seringkali saat berlangsungnya pembelajaran siswa kurang peduli, merasa kurang percaya diri, dan kurang bergairah dalam belajar. Oleh karenanya kita harus mencarikan solusi agar meningkatnya motivasi siswa untuk belajar matematika sehingga siswa dapat memusatkan perhatian, menumbuhkan rasa ingin tahu dan memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik serta tidak berasumsi bahwa belajar matematika sangat sulit yang menyebabkan siswa kehilangan minat dan akhirnya menyerah untuk belajar matematika. Berdasarkan hal tersebut perlu adanya pembelajaran yang menekankan pada kreativitas dan inovatif siswa sehingga tujuan tersebut dapat tercapai, apalagi Kurikulum 2013 yang mulai diterapkan juga menekankan pada aspek kontekstual dan scientific learning yang mengharuskan guru mengupayakan pembelajaran yang berkaitan erat dengan kehidupan keseharian siswa, untuk itu sangatlah penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dalam menemukan konsep dan rumus- rumus matematikanya sendiri sehingga lebih bermakna. Ebbutt dan Strakker dalam Depdiknas (2006) berpandangannya bahwa agar potensi siswa dapat berkembang dan mempelajari matematika secara optimal, asumsi tentang karakteristik subjek didik diberikan antara lain: 1) siswa akan mempelajari matematika jika mereka mempunyai motivasi, 2) siswa mempelajari dengan caranya sendiri, dan 3) siswa mempelajari matematika baik secara mandiri maupun melalui kerjasama dengan temannya. Menurut Yeping Li (2010) terdapat empat konsep kategori untuk menggambarkan pembelajaran matematika yang baik, yaitu: (1) siswa dan pembelajaran, (2) guru dan pengajaran, (3) kurikulum dan isi, dan (4) lingkungan kelas dan interaksi. Bangun ruang merupakan salah satu materi penting yang diajarkan pada siswa mulai Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Materi bangun ruang ini mencakup definisi bangun ruang, deskripsi yang mencakup bagian- bagian dari bangun ruang, volume dan luas permukaan bangun ruang, jarak antara titik garis dan bidang, juga membahas sudut antara dua garis, garis dengan bidang dan antara dua bidang. Berdasarkan hasil pengamatan penulis selama mengajar di Madrasah Aliyah Darul Ulum Banda Aceh dan konsultasi dengan guru matematika yang juga mengajar di sekolah tersebut memperlihatkan bahwa, siswa kurang berminat dan sering kali acuh tak acuh untuk belajar matematika dan hasil belajar matematika mareka rata-rata rendah dibandingkan dengan pelajaran lain. Hal ini mungkin disebabkan karena selama ini siswa jarang di ajak untuk mengenal lebih dalam akan materi yang dipelajarinya, sehingga terkesan matematika yang diperolehnya tidak bermakna dan tidak berguna untuk kehidupannya, selain itu mungkin mereka kurang adanya waktu yang efesien untuk mengulang materi yang telah dipelajari disekolah, karena mereka harus belajar pelajaran dayah di luar jam sekolah. Oleh karenanya sangatlah penting membuat pembelajaran yang menuntut kreatifitas siswa dan melibatkan siswa dalam proses pembelajaran sehingga siswa dapat menemukan konsep dan rumus-rumus sendiri serta akan adanya rasa puas dan belejar akan lebih bermakna. Model pembelajaran discovery learning merupakan salah satu model pembelajaran yang menuntut siswa untuk belajar secara aktif, melakukan berbagai kegiatan menghimpun informasi, membandingkan, mengintegrasikan, mengorganisasikan bahan, membuat kesimpulan-kesimpulan serta menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada dan membiasakan untuk senantiasa 186

187 berpikir kreatif, sehingga konsep-konsep yang didapat oleh siswa dari hasil penemuannya sendiri akan lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut akan lebih baik. Berdasarkan uraian di atas, yang menjadi permasalahan dalam makalah ini adalah bagaimana pemahaman dan motivasi belajar matematika siswa di kelas X-3 MA Darul Ulum Banda Aceh melalui penerapan model Discovery Learning Tinjauan Pustaka Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara guru dan siswa untuk mencapai tujuan pendidikan, dalam kegiatan pembelajaran di kelas terdapat beberapa istilah tentang cara mengajar seperti model, strategi, pendekatan dan metode pembelajaran. Winataputra (1997) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para pencanang pembelajaran dan para pengajar dalam mencanangkan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Joyce dan Weil dalam Johar (2013) mengemukakan bahwa ada lima unsur penting yang menggambarkan suatu model pembelajaran yaitu 1) sintakmatik, 2) sistem sosial, 3) prinsip reaksi, 4) sistem pendukung, dan 5) dampak intruksional dan dampak pengiring. Dalam permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses, Kegiatan inti menggunakan model pembelajaran, metode pembelajaran, media pembelajaran, dan sumber belajar yang disesuaikan dengan karakteristik peserta didik dan mata pelajaran. Pemilihan pendekatan tematik dan/atau tematik terpadu dan/atau saintifik dan/atau inkuiri dan penyingkapan (discovery) dan/atau pembelajaran yang menghasilkan karya berbasis pemecahan masalah (project based learning) disesuaikan dengan karakteristik kompetensi dan jenjang pendidikan. Dalam implementasinya, guru dapat manerapkan berbagai model pembelajaran, selain model yang telah dijelaskan sebelumya, guru dapat juga menerapkanmodel lain diantaranya discovery learning, project based learning dan problem based learning. Menurut Budiningsih (2005) Model pembelajaran discovery learning mengarahkan siswa untuk memahami konsep, arti dan hubungan melalui proses intuitif untuk akhirnya sampai kepada suatu kesimpulan. Model pembelajaran discovery learning mendorong siswa untuk mengidentifikasi apa yang ingin diketahui kemudian dilanjutkan dengan mencari informasi lalu mengorganisasi atau membentuk apa yang diketahui dan dipahami dalam suatu bentuk akhir. Hal ini akan terjadi apabila dalam pembelajaran siswa terlibat dan dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip melalui proses mentalnya sendiri, suatu konsep tidak disajikan dalam bentuk akhir sehingga pembelajaran akan bermakna. Tiga ciri utama belajar menemukan yaitu: (1) mengeksplorasi dan memecahkan masalah untuk menciptakan, menggabungkan dan menggeneralisasi pengetahuan; (2) berpusat pada siswa; (3) kegiatan untuk menggabungkan pengetahuan baru dan pengetahuan yang sudah ada. Adapun menurut Syah (2004) dalam mengaplikasikan model Discovery Learning di kelas tahapan atau prosedur yang harus dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar secara umum adalah sebagai berikut: a) Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan). Tahapan ini siswa dihadapkan pada sesuatu yang menimbulkan perhatiannya, kemudian dilanjutkan untuk tidak memberi generalisasi, agar timbul keinginan untuk menyelidiki sendiri. Guru dapat memulai kegiatan belajar dengan meminta siswa membaca buku, mengajukan pertanyaan yang mengarah pada persiapan pemecahan masalah. Stimulation pada tahap ini berfungsi untuk menyediakan kondisi interaksi belajar yang dapat mengembangkan dan membantu siswa dalam mengeksplorasi bahan. b) Problem statement (pernyataan/ identifikasi masalah). Setelah dilakukan stimulation langkah selanjutya adalah guru memberi kesempatan kepada siswa untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin agenda-agenda masalah yang relevan dengan bahan pelajaran, kemudian salah satunya dipilih dan dirumuskan dalam bentuk hipotesis yaitu jawaban sementara atas pertanyaan masalah (Syah 2004). c) Data collection (pengumpulan data). Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang relevan untuk membuktikan benar atau tidaknya hipotesis (Syah, 2004) yang bertujuan agar siswa belajar secara aktif 187

188 untuk menemukan sesuatu yang berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi, sehingga secara alamiah siswa menghubungkan masalah dengan pengetahuan yang telah dimiliki. d) Data processing (pengolahan data). Menurut Syah (2004) data processing merupakan kegiatan mengolah data dan informasi yang telah diperoleh para siswa baik melalui wawancara, observasi, dan sebagainya, lalu ditafsirkan. Data processing disebut juga dengan pengkodean coding/ kategorisasi yang berfungsi sebagai pembentukan konsep dan generalisasi. Dari generalisasi tersebut siswa akan mendapatkan penegetahuan baru tentang alternatif jawaban/ penyelesaian yang perlu mendapat pembuktian secara logis. e) Verification (pentahkikan/pembuktian). Verification menurut Bruner, bertujuan agar proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya (Budiningsih, 2005). f) Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Tahap generalitation/menarik kesimpulan adalah proses menarik sebuah kesimpulan yang dapat dijadikan prinsip umum dan berlaku untuk semua kejadian atau masalah yang sama, dengan memperhatikan hasil verifikasi (Syah, 2004). Pemahaman konsep adalah kemampuan menangkap pengertian-pengertian seperti mampu memahami atau mengerti apa yang diajarkan, mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan, memberikan penjelasan atau memberi uraian yang lebih rinci dengan menggunakan kata-kata sendiri, mampu menyatakan ulang suatu konsep, mampu mengklasifikasikan suatu objek dan mampu mengungkapkan suatu materi yang disajikan kedalam bentuk yang lebih dipahami. Menurut Morgan dalam Winataputra (1997), Motivasi dapat didefinisikan sebagai tenaga pendorong yang menyebabkan adanya tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu, adanya motivasi dapat disimpulkan dari observasi tingkah laku. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar, sehingga tujuan yang dikehendaki oleh subjek belajar itu dapat tercapai (Sardiman, 2000). Hasil dan Pembahasan Penerapan Model Discovery Learning pada materi menentukan sudut dalam bangun ruang Materi yang diambil dalam uji coba ini adalah Geometri dengan sub pokok pembahasan menentukan sudut dalam ruang khususnya tentang sudut antara garis dengan garis dan sudut antara garis dan bidang. Materi ini dapat disesuaikan dengan model Discovery Learning yaitu siswa mencoba menemukan sendiri konsep tentang sudut antara dua garis dan sudut antara garis dan bidang, sehingga siswa dapat terlibat dalam proses pembelajaran dan siswa menjadi bersemangat, menambah minat dan motivasi dalam belajar dan meningkatkan hasil belajar siswa. Komponen Model Pembelajaran Discovery (yang dilakukan di kelas) a. Sintaks (Fase) Tahap1: Stimulation (stimulasi/pemberian rangsangan) Pada tahap ini guru mencoba mengaitkan materi yang sebelumnya dengan materi yang akan dipelajari, menumbuhkan minat siswa. Dengan menampilkan slide power point guru menjelaskan tujuan pembelajaran dan pengalaman belajar yang dapat diperoleh siswa serta memberikan motivasi dengan menjelaskan manfaat dari pembelajaran yang dilakukan. (a) (b) 188

189 Gambar 1. Sejarah singkat geometri (a), contoh penggunaan sudut dalam kehidupan (b) Tahap 2: Problem statemen (pertanyaan/identifikasi masalah) Pada tahap ini siswa mengamati gambar pada slide power point, benda yang ada disekitar mereka dan contoh-contoh lain dalam kehidupan yang berkaitan dengan sudut kemudian mengajukan pertanyaan dari hasil pengamatannya. (a) (b) Gambar 1. Sudut dari tali pengikat tiang bendera pramuka dan sudut dari benda gengan bayangannya (a), contoh lain penggunaan sudut (b) Tahap 3: Data collection (pengumpulan data) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok yang beranggotakan 4-5 orang, siswa mengerjakan LKS secara berkelompok, siswa mengamati masalah yang diberikan dan mempelajari alat peraga yang akan digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam LKS Tahap 4: Data processing (pengolahan data) Siswa menganalisis dan membuat kategori dari unsur-unsur yang membentuk sudut dalam bangun ruang dengan menggunakan alat peraga, kemudian menghubungkan unsur-unsur yang sudah dikategorikan yaitu sudut antara dua garis dan sudut antara garis dengan bidang, serta menentukan ukuran sudut yang di Tanya, lalu menyiapkan hasil diskusi. (a) (b) Gambar 1. Menggunakan alat peraga (a), menyiapkan hasil diskusi (b) Tahap 5: Verification (pembuktian) Sebelum mempresentasikan hasil kerja kelompok, siswa memeriksa kembali hasil diskusi dengan menggunakan alat peraga dan menanyakan pada guru jika ada keraguan tentang hasil diskusi. Tahap 6: Generalization (menarik kesimpulan/generalisasi) Siswa mengambil kesimpulan secara umum mengenai sudut dalam bangun ruang, dan berdasarkan hasil yang telah dilakukan pada kegiatan yang diuraikan di LKS, maka setiap kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Setelah selesai mempresentasikan hasil kerjanya, Siswa diberikan beberapa soal latihan. 189

190 (a) (b) (c) Gambar 1. Menggunakan alat peraga untuk memeriksa kembali (a), pengambilan kesimpulan (b), mempresentasikan hasil diskusi (c). b. Sistem Sosial Jumlah siswa di dalam kelas X-3 MA Darul ulum seluruhnya 31 orang, tetapi yang hadir pada hari ini berjumlah 23, kerena yang tidak hadir sedang mengikuti kegiatan pramuka. Siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 4-5 siswa. Siswa bebas berfikir, mengemukakan pendapat serta berperilaku dalam proses pembelajaran, guru hanya bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, dalil, prosedur, algoritma dan semacamnya serta pengontrol aktivitas dalam proses belajar mengajar. c. Prinsip reaksi: fasilitator Prinsip reaksi merupakan kegiatan yang menggambarkan sikap dan perilaku guru untuk menanggapi dan merespon bagaimana siswa memproses informasi, menggunakannya sesuai pertanyaan yang diajukan oleh guru. Tugas penting yang diemban guru pada tahap ini adalah menangkap kesiapan siswa menerima informasi baru dan aktivitas mental baru untuk dipahami dan diterapkan selama diskusi kelompok, dan guru bertindak sebagai fasilitator serta pengontrol yang berupaya agar kegiatan diskusi mengutamakan nilai demokratis dan kemandirian setiap kelompok. d. Sistem Pendukung Ada beberapa sistem pendukung pada saat pembelajaran berlangsung, yaitu: Slide Power point, LKS, Alat peraga (kerangka kubus) dan lembar pengamatan. e. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring Dampak instruksional model pembelajaran Discovery bagi siswa: (a) Siswa lebih antusias dan bersemangat mengikuti pelajaran; (b) Siswa dapat menemukan sendiri konsep sesuai arahan yang telah disusun guru dalam kegiatan pada LKS sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakna; (c) Siswa memperoleh nilai baik, rata-rata mencapai KKM yang telah ditetapkan di sekolah. Dampak pengiring model pembelajaran Discovery: (a) Siswa dapat lebih mandiri dan tumbuhnya rasa solidaritas antar siswa; (b) Menimbulkan rasa percaya diri; (c) Dapat menunjukkan sikap demokratis antar siswa. Setiap kegiatan pembelajaran, diharapkan selalu berhasil sebaik mungkin, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa kekurangan dan kelemahan itu akan selalu muncul sehingga dapat melakukan perbaikan ke depan. beberapa kendala yang dihadapi siswa selama proses pembelajaran berlangsung yaitu (a) Siswa tidak terbiasa mengerjakan LKS yang menuntut siswa untuk bekerja mandiri. Sehingga guru sedikit kewalahan dalam menjelaskan kepada setiap kelompok hal yang mereka kurang pahami; (b) Banyak menyita waktu, sehingga tidak semua masalah di LKS dapat diselesaikan dalam sekali pertemuan, oleh karenanya, masalah yang tersisa dijadikan sebagai tugas rumah; (c) Mereka masih merasa kurang percaya diri tampil di depan kelas saat mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Komentar Siswa Siswa sangat bersemangat mengikuti pembelajaran hari ini. Hal ini terlihat dari antusias siswa mulai dari awal pembelajaran, dan respon yang mereka berikan dari angket yang dibagikan, mereka juga rela waktu istirahatnya tersita untuk pembelajaran. Siswa juga senang dan merasa puas dengan hasil yang mereka perolah dari latihan yang diberikan. Setelah pembelajaran, guru meminta siswa untuk mengisi angket yang berisikan respon, kesan dan pesan selama pembelajaran berlangsung. Umumnya siswa senang dan menyukai pembelajaran seperti ini, maunya sering-sering diterapkan pembelajaran seperti, disamping menerapkan model-model lain serta memperbanyak contoh-contoh soal. Tapi ada juga yang tidak mereka sukai yaitu ada kawannya yang sekelompok tidak sepenuhnya bekerja sama dan merasa waktu kurang untuk pembelajaran tersebut. Ketercapaian Tujuan Pembelajaran 190

191 Jika dipandang dari segi ketercapaian tujuan pembelajaran, pembelajaran ini bisa dikategorikan berhasil, walaupun terdapat beberapa kendala yaitu banyak menghabiskan waktu, sampai-sampai jam istirahat juga terpakai walaupun siswa tidak ada yang keberatan. Kendala lain yaitu saat siswa mengambil kesimpulan dari hasil yang didiskusikan, ada satu kelompok saat mengambil kesimpulan terjadi kesalahan pemahaman terhadap konsep sudut, dan ada juga yang salah menentukan ukuran sudut, walaupun kesalahan tersebut dapat tertutupi oleh kelompok lain. Selama kegiatan pembelajaran siswa sangat antusias dan sangat aktif. Berdasarkan hasil latihan yang dikerjakan oleh 23 siswa, 21 orang siswa memperoleh nilai diatas batas KKM yang telah ditentukan yaitu 75, 2 orang mendapat nilai di bawah KKM yaitu nilainya 40. Berdasarkan pengamatan hasil pengerjaan latihan, siswa ini mengalami kendala dalam menentukan ukuran sudut dari segitiga yang bukan segitiga siku-siku (segitiga tersebut merupakan gambar yang didapat dari hubungan garis dengan garis atau garis dengan bidang pada bangun ruang). Penilaian sikap rasa ingin tahu dan tanggung jawab siswa yang dilakukan guru selama proses pembelajaran dapat terlihat bahwa, pada sikap rasa ingin tahu terdapat 15 siswa dikategorikan sangat baik, 4 siswa baik dan 4 siswa cukup. Siswa yang dikategorikan cukup menunjukkan bahwa mereka kurang ikut serta saat teman-teman sekelompoknya mengerjakan kegiatan di LKS, hal ini terlihat bahwa kurangnya dia mengemukakan pikiran, tidak berani bertanya pada guru tapi kadangkadang ada juga bertanya pada kawannya serta kurang berupaya mencari informasi tentang masalah yang dipelajari, Tetapi mereka sudah menunjukkan perhatian pada saat pembelajaran walupun belum focus. Untuk penilaian sikap tanggung jawab terdapat 18 siswa dikategorikan sangat baik dan 5 siswa dikategorikan baik. Pemahaman dan Motivasi Pemahaman siswa dilihat dari hasil latihan yang diberikan setelah proses pembelajaran, rata-rata siswa memperoleh hasil yang memuaskan yaitu melebihi nilai KKM. Nilai KKM untuk materi ini adalah 75. hanya dua orang siswa yang tidak mencapai nilai KKM yaitu memperoleh nilai 40. Pemahaman siswa juga terlihat saat pembelajaran, banyak siswa yang paham akan materinya walaupun ada juga yang masih butuh bimbingan dari guru, siswa juga sudah mampu untuk mengambil kesimpulan dari hasil yang telah didiskusikan. Tapi ada satu kelompok yang saat mengambil kesimpulan terjadi kesalahan pemahaman terhadap konsep sudut. Untuk melihat motivasi siswa, guru melakukan pengamatan saat proses pembelajaran untuk melihat rasa ingin tahu siswa dan membagikan angket kepada siswa yang berisikan respon, kesan dan pesan terhadap pembelajaran. Penilaian sikap rasa ingin tahu memperlihatkan bahwa terdapat 15 siswa dikategorikan sangat baik, 4 siswa baik dan 4 siswa cukup, hal ini bisa dikategorikan bahwa siswa termotivasi dengan adanya rasa ingin tahu mereka terhadap pembelajaran. 6. Kesimpulan Penerapan model pembelajaran discovery learning pada materi menentukan sudut dalam ruang disaat proses belajar-mengajar berlangsung di ma darul ulum kelas x-3 dapat menumbuhkan motivasi siswa dengan adanya rasa ingin tahu dari siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep yang berhubungan dengan materi ini. walaupun tidak semua siswa bagus seperti yang diharapkan, masih ada siswa yang masih kurang dalam pengambilan kesimpulan dan hasil latihan. Daftar Pustaka Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Budayanya. Jakarta: Rineka Cipta Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Pertama. Jakarta: Depdiknas Menengah Depdiknas. (2013). permendikbud no.65 Tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdiknas Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali pers 191

192 Johar, Rahmah (2013). Strategi Belajar Mengajar Matematika. Bahan ajar. Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala Kementrian pendidikan dan kebudayaan, (2013), Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning), (Online: diakses 20 Mei 2014). Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda Sutrisno Efektifitas Pembelajran dengan Metode Penemuan Terbimbing terhadap Pemahaman Konsep Matematika Siswa. (Online). diakses 25 Mei Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung. Winataputra, Udin S dan Soekamto, Toeti,(1997). Teori Belajar dan Model-Mode Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas Yeping li Elementary Teachers Thinking About A Good Mathematics Lesson. International Journal of Science and Mathematics Education, (2011) 9: Zubainur, Cut Morina, Veloo, Arsaythamby (2013). Interaksi dalam Pembelajaran Matematika dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia di Sekolah Rendah. Makalah SIMANTAP Universitas Syiah Kuala 192

193 PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN GENERATIF LEARNING PADA MATERI TRIGONOMETRI DI KELAS X SMAN 4 BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2012/2013 Elianti 1, Rahmi Maulina 2, dan Mailizar 3 1,2,3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran penting yang di ajarkan dari TK sampai perguruaan tinggi. Pengetahuan matematika selama proses pembelajaran haruslah merupakan hasil pembentukan oleh siswa itu sendiri, agar mudah dipahami. Perlulah diterapkannya model pembelajaran yang berpusat kepada siswa agar siswa lebih aktif dalam membangun pengetahuannya. Salah satunya adalah model pembelajaran generatif. Model pembelajaran generatif merupakan model pembelajaran yang menekankan pada pembentukan secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki. Dengan menerapkan model pembelajarn generatif diharapkan hasil belajar siswa pada pelajaran matematika mengalami peningkatan khususnya pada materi trigonometri. Adapun tujuan dari Penelitian ini adalah untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada materi trigonometri. Penelitian ini menggunakan pre-eksperimental design jenis one shot case study dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4, sedangkan sampel diambil satu kelas secara purposive sampling yaitu kelas X-1 yang diterapkan model pembelajaran generatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan tes akhir hasil belajar siswa setelah diterapkannya model pembelajaran generatif. Pengolahan data tes dilakukan dengan pengujian statistik uji-t satu pihak (uji pihak kanan) dan taraf signifikan 0,05. Berdasarkan analisis data di peroleh t hitung = 3,48 dan t tabel = 1,70, karena t hitung > t tabel yaitu 3,48 > 1,70 maka tolak hipotesis H 0. Dengan demikian hipotesis H 1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh sudah mencapai nilai ketuntasan. Kata Kunci : Model Pembelajaran Generatif, hasil belajar materi trigonometri Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting di dalam kurikulum, dapat dilihat dari mata pelajaran matematika yang di ajarkan setiap jenjang pendidikan serta jam pelajaran matematika di sekolah yang lebih banyak dibandingkan dengan pelajaran lain. Hudojo (1998:2) menyatakan bahwa dalam perkembangan peradaban modern, matematika memegang peranan penting karena dengan bantuan matematika semua ilmu pengetahuan menjadi sempurna. Namun kenyataannya menunjukkan bahwa hasil belajar siswa selama ini belum menunjukkan hasi yang memuaskan. Hal ini berdasarkan pengalaman peneliti dari hasil ulangan maupun tes matematika siswa SMAN 4 Banda Aceh masih rendah. Salah satu materi pelajaran yang masih mengalami rendahnya hasil belajar siswa adalah materi trigonometri. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil ujian siswa mengenai materi tersebut sekitar 25 dari 32 siswa tidak tuntas pada materi tersebut sesuai kkm yang ditetapkan yaitu 65. Data ini diperoleh dari hasil ujian siswa SMAN 4 banda aceh tahun pelajaran 2011/2012. Rendahnya pemahaman siswa pada materi trigonometri berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru matematika di sman 4 yaitu, mungkin terjadi karena siswa lebih menghafal dari pada memahami rumus-rumus yang disajikan dalam pembelajaran. Hal ini menyebabkan adanya anggapan dilapangan mata pelajaran matematika, khususnya trigonometri masih merupakan pelajaran yang kurang menarik dan sukar bagi siswa sehingga hasil belajar siswa pada materi trigonometri masih rendah. Untuk mengatasi permasalahan hasil belajar siswa yang belum mencapai nilai ketuntasan dan pembelajaran yang membosankan dalam mengajarkan materi trigonometri penulis melaksanakan 193

194 penelitian dengan menerapkan model yang berlandaskan paham konstruktivisme. Salah satunya dengan menerapkan model pembelajaran generative agar siswa lebih antusias dalam pembelajaran matematika khususnya pada materi trigonometri. Model pembelajaaran generatif merupakan satu model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivisme. Menurut Astuti (Lusiana,2009:3) model pembelajaran yang berdasarkan konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki siswa sebelumnya, sehingga pengetahuan baru itu benar-benar dipahami siswa dan akan disimpan dalam memori jangka panjang. Siswa juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan ide dan alasan terhadap permasalahan yang diberikan sehingga siswa akan lebih memahami pengetahuan yang dibentuknya sendiri dan pembelajaran tidak lagi membosankan. Dengan kata lain model pembelajaran generatif dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini didukung dengan hasil penelitian terdahu oleh Ayu (2003) menyimpulkan bahwa pembelajaran generatif dengan metode PQ4R pada siswa kelas II-b SLTP laboratorium IKIP Negeri Singaraja dapat mereduksi miskonsepsi dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas II-b SLTP laboratorium IKIP Negeri Singaraja. Selanjutnya, Lusiana (2009) menyimpulkan bahwa keefektifan penerapan model pembelajaran generatif untuk pelajaran matematika dikelas X SMA Negeri 8 Palembang yang ditinjau dari ketuntasan belajar terhadap penerapan MPG mencapai 76.32% dengan kategori efektif. Berdasarkan hal di atas, untuk mengatasi rendahnya hasil belajar siswa khususnya pada materi trigonometri adalah dengan diterapkannya model pembelajaran yang berlandaskan paham konstruktivisme salah satunya adalah model pembelajaran generatif. Sehingga, hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada materi perbandingan trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah apakah hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada materi trigonometri di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh dapat mencapai nilai ketuntasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa melalui model pembelajaran generatif pada materi di Kelas X SMAN 4 Banda Aceh. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi guru-guru matematika dalam meningkatkan hasil belajar siswa melalui penerapan model pembelajaran generatif. Selain itu dapat memberikan suasana baru bagi siswa yang tidak monoton sehingga dapat mendorong siswa lebih aktif untuk menyampaikan gagasan sesuai pemikiran mereka. Implementasi Model Pembalajaran generatif dalam Pembelajaran Matematika Model pembelajaran generatif merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika yang terdiri atas empat fase (lusiana2009:2). Menurut Wena (2009:177) pembelajaran Generatif terdiri dari empat tahap, yaitu: a. Exsplorasi Pada tahapan ini guru menyampaikan topik pembelajaran yaitu mengenai perbandingan trigonometri. Yang diperlukan adalah membuat siswa berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan untuk mengungkapkan pemahaman dan pengalaman mereka dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan perbandingan trigonometri. Apabila konsepsi siswa ada yang salah, guru tidak memberikan makna menyalahkan atau membenarkan konsep tersebut. Menurut Sutarman & Swasono (wena,2009:178) pengaruh hipotesis siswa akan dilakukan pada kegiatan eksperimen (tahap pemfokusan) pada siswa itu sendiri. b. Pemfokusan Guru mengarahkan siswa untuk mengkonstruksi pemahaman materi perbandingan trigonometri pada segitiga melalui pertanyaan-pertanyaan yang ada pada LKS yang bersifat menggali informasi dengan mengaitkan informasi awal dengan informasi baru berupa perbandingan trigonometri. Selanjutnya siswa akan menggunakan informasi baru tersebut untuk memecahkan masalah pada LKS. 194

195 Jadi tahap pemfokusan merupakan tahap dimana siswa bekerja sama dalam internal kelompok masingmasing untuk menyelesaikan LKSnya, sehingga mereka memperoleh hasil kerja berdasarkan kemampuan mereka sendiri dan hasil inilah yang nanti akan didiskusikan antar kelompok pada tahapan tantangan. c. Tantangan Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan sharing idea. Sharing idea berdasarkan argumen-argumen dari berbagai sudut pandang dan bukti-bukti yang dapat dipertanggung jawabkan. Sharing idea selain dilakukan antar siswa dan guru juga dilakukan antar kelompok dengan mempresentasikan hasil kerjanya ke depan kelas. Pada tahap ini hendaknya guru memberikan arahan dan bimbingan positif mengenai materi jika terjadi kesalahan konsep (misskonsepsi), karena pada akhir diskusi siswa diharapkan dapat memperoleh kesimpulan dan pemantapan konsep yang benar. d. Aplikasi Untuk melaksanakan tahap ini guru menyiapkan lembar tugas sekaligus diperuntukkan sebagai evaluasi dari proses pembelajaran yang telah dilakukan. siswa mengaplikasikan konsep baru yang telah dibangun sejalan dengan proses yang dilakukan secara sendiri-sendiri. Pada tahap ini guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menggunakan pemahamaan konseptual yang baru diperolehnya kedalam konteks lain. Pada tahap ini juga siswa mengaplikasikan dan modifikasi kembali bila diperlukan. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan di SMAN 4 Banda Aceh. Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan. 3 kali pertemuan dengan menerapkan model pembelajaran generatif dan pertemuan ke 4 untuk melakukan tes hasil pelajaran. Penelitian ini berlangsung pada bulan februari Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Adapun desain dalam penelitian ini adalah pre-eksperimental dengan jenis one shot case study. Arikunto (2010:10), menyatakan bahwa one-shot case merupakan eksperimen satu kali tembak. Eksperimen yang dilaksanakan tanpa adanya kelompok pembanding dan juga tanpa tes awal. Menurut Arikunto (2010:124) One-shot case study mempunyai pola yang digambarkan seperti digram berikut : Keterangan : X X : yang mengalami perlakuan O : hasil observasi sesudah penelitian (Arikunto, 2005:212). Desain one shoot case study memiliki kelemahan utama yakni peneliti tidak memiliki kelompok atau grup pembanding (reference group atau control group) dan kedua peneliti tidak melakukan pengukuran sebelum perlakuan/intervensi diberikan (Subali,2010:25). Sehingga kelompok eksperimen diberi perlakuan kemudian sesudahnya diobservasi. Dengan demikian, tidak diketahui keadaan sebelum dilakukannya eksperimen. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMAN 4 Banda Aceh yang terdiri dari delapan kelas. Sampel diambil dengan teknik purposive sampling. Sehingga yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas X-1 SMA Negeri 4 Banda Aceh sebanyak satu kelas yang berjumlah 30 orang siswa, dimana pada kelas tersebut akan diterapkan model pembelajaran generatif. Peneliti akan menerapkan model pembelajaran generatif selama tiga kali pertemuan, dan pada pertemuan keempat melakukan kegiatan evaluasi terhadap siswa dengan memberikan tes. Hasil tes siswa inilah yang peneliti jadikan data untuk diolah. Instrumen tes ini di buat oleh peneliti untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa tehadap materi trigonometri. Mencari nilai rata-rata ( x ) dapat dihitumg dengan rumus: x = f ix i f i Ket: f i = frekuensi kelas interval x i = nilai tengah kelas interval O 195

196 Menentukan simpangan baku (s) Menurut Sudjana (2005:95), simpangan baku ( s ) dapat dihitung dengan rumus: s = n f ix i 2 ( f i x i ) 2 n (n 1) Ket: x i = nilai tengah kelas interval f i = frekuensi kelas interval n = banyaknya data Menguji kenormalan sampel dari tes akhir, menurut Sudjana (2005:273) digunakan rumus : Ket : χ 2 = chi-kuadrat O i = frekuensi pengamatan E i = frekuensi yang diharapkan k χ 2 = (O i E i ) 2 i=1 Setelah diperoleh nilai rata-rata (x ) dan simpangan baku (s), tahap selanjutnya adalah menentukan nilai t hitung dari data tersebut. Nilai t hitung diperoleh dengan rumus Sudjana (2005:227) yaitu sebagai berikut. Ket: x = nilai rata-rata n = jumlah data s = simpangan baku μ 0 = 65 t = x 1 μ 0 s n Kriteria pengujiannya adalah tolak H 0 apabila t hitung > t tabel dengan dk= n 1 + n 2 2 dengan peluang (1 - α). E i Hasil Penelitian dan Pembahasan Dari nilai tes setelah model pembelajaran generatif learning diterapkan pada materi trigonometri di kelas X-1, diperoleh 8 dari 30 orang siswa masih belum mencapai nilai ketuntasan yang ditetapkan. Nilai terendah dari data tersebut adalah 42. Sedangkan selebihnya mencapai ketuntasan dengan nilai 65 dengan nilai tertinggi mencapai nilai sempurna yaitu 100. Adapun persentase nilai yang diperoleh pada tes akhir tersebut digambarkan pada diagram yang menunjukkan seperti: Tuntas Tidak Tuntas 27% 73% Gambar : persentase hasil belajar siswa Setelah data hasil belajar siswa terkumpulkan, sebelum data dianalisis dengan menggunakan rumus statistik uji-t, terlebih dahulu dicari nilai rata-rata (x ), varians (s 2 ), simpangan baku (s), dan uji kenormalan sebaran data. 196

197 Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Nilai Tes siswa SMAN 4 Banda Aceh Nilai Tes Frekuensi (fi) Titik tengah (xi) xi 2 fi xi fi xi ,5 2070, , ,5 3080,25 166,5 9240, ,6 4290,25 458, , ,5 5700,25 528, , ,5 7310, ,5 9120,25 286, ,8 jumlah Dari tabel 4.2 diatas, diperoleh nilai rata-rata sebagai berikut : x = f i x i f i = = 73,83 Dari tabel di atas didapatkan varians (S 2 ) = 193,68 dan simpangan baku (S) = 13,9 Selanjutnya data di uji kenormalannya yang bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Data yang di uji diambil dari nilai tes akhir kelas yang diterapkan model pembelajaran generatif learning. Dari hasil uji normalitas dapat disimpulkan bahwa nilai siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Generatif Learning sebarannya mengikuti distribusi normal. Adapun hipotesis yang akan di uji adalah : H 0 : µ 1 = µ 2 H 1 : µ 1 > µ 2 : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh belum mencapai nilai ketuntasan. : Hasil belajar siswa dengan penerapan model pembelajar Generatif Learning pada materi Trigonometri di kelas X SMA Negeri 4 Banda Aceh sudah mencapai nilai ketuntasan. Dalam penelitian ini di ambil µ 0 = 65, yang merupakan nilai standar minimal yang telah di tetapkan oleh SMAN 4 Banda Aceh untuk menyatakan bahwa siswa harus menguasai 65% dari materi yang diajarkan. Kriteria pengujiannya adalah : Tolak hipotesis H o jika t hitung t 1 α dan terima H o jika t hitung < t 1 α Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n 1) = (30 1) = 29. Dari tabel distribusi t diperoleh nilai dk = 29. Dari nilai tersebut di peroleh t (0,95)(29) = 1,70. karena t hitung = 3,48 dan t tabel = 1,70, sehingga diperoleh t hitung > t tabel yaitu 3,48 > 1,70 maka tolak hipotesis H 0. Dengan demikian hipotesis H 1 diterima. Hal ini menunjukkan bahwa model pembelajaran generative learning efektif diterapkan pada materi trigonometri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa model generative learning dapat mencapai nilai ketuntasan pada materi trigonometri di kelas X-1 SMAN4 Banda Aceh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, peneliti mencoba menganalisis pengaruh penerapan model pembelajaran generative learning terhadap hasil belajar siswa pada materi Trigonometri di kelas X-1 SMA Negeri 4 Banda Aceh. Pada penelitian ini Model generatif Learning dapat membantu siswa dalam menguasai materi. Pada tahap eksplorasi, pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya. Selain dapat meningkatkan 197

198 keberaniaan siswa memberikan pendapat, jawaban siswa tersebut dapat dijadikan sebagai titik tolak sejauh mana pengetahuan awal siswa memahami materi tersebut. Pada model generatif learning pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS) selain sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interaksi saling membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya. Sehingga apabila ada siswa yang malu untuk bertanya kepada guru dapat menanyakan kepada siswa kelompoknya yang lebih mengerti. Selain itu siswa juga diajarkan untuk bertanggung jawab atas apa yang telah mereka kerjakan dengan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya. Presentasi dilakukan oleh perwakilan kelompok siswa yang langsung ditunjuk oleh peneliti. Tugas guru/peneliti disini adalah untuk menciptakan suasana senyaman mungkin dan tetap saling menghargai dan menghormati antar kelompok. Namun demikian, setiap model pembelajaran mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dari hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, kendala-kendala yang dialami peneliti saat menerapkan model pembelajaran generatif yaitu, kurangnya waktu yang tersedia, kretifitas peneliti dalam memberikan motivasi sangat menentukan keaktifan siswa mengungkapkan ide/pendapat, banyaknya siswa yang meminta bimbingan membuat peneliti sulit untuk membimbing secara merata, serta peneliti tidak dapat mengontrol siswa secara keseluruhan jika ada siswa yang kurang memiliki keinginan belajar, sehingga siswa itu cenderung pasif saat pembelajaran. Selain itu terdapat pula hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana yang peneliti inginkan pada saat menerapkan model pembelajaran generatif. Salah satunya yaitu, peneliti menginginkan semua siswa dapat aktif disaat pembelajaran berlangsung, tetapi hasil yang didapatkan masih ada beberapa siswa yang kurang aktif serta acuh tak acuh pada saat pembelajaran. Peneliti merumuskan hal ini mungkin terjadi karena kurang tegasnya peneliti sebagai guru menerapkan model pembelajaran, sehingga ada beberapa siswa yang kurang menghargai peneliti di kelas. Selain itu pada pertemuan pertama siswa kurang aktif pada tahap eksplorasi, hal ini karena materi trigonometri merupakan materi yang baru dikenal oleh siswa. Seharusnya peneliti meminta siswa membaca terlebih dahulu mengenai materi trigonometri dirumah. Kesimpulan Penguasaan materi pada siswa perlu diperhatikan karena berdampak pada hasil belajarnya. Sehingga guru diharapkan dapat berkreasi dengan model-model pembelajaran yang berpusat pada siswa, agar siswa tidak mendapatkan pembelajaran yang membosankan. Model generatif Learning merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mencapai ketuntasan belajar. Siswa dapat menguasai materi karena siswa lebih aktif mengkonstruksi pengetahuan dibenaknya sendiri sehingga pembelajaran menjadi lebih bermakan dan dapat tersimpan kedalam memory jangka panjangnya. Siswa juga lebih komunikatif dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah ke materi sangat diperlukan sehingga dapat memotivasi siswa untuk memberikan ide/pendapat yang diketahuinya. Dengan disertai adanya pembagian kelompok dan pemberian Lembar Kegitan Siswa (LKS) selain sebagai sarana untuk membangun pengetahuan siswa, bertujuan juga untuk menciptakan interkasi saling membantu, menghargai dan memberikan dukungan antar sesama teman kelompoknya. Saran 198 a) Diharapkan kepada guru untuk dapat menjadikan model pembelajaran generatif sebagai salah satu alternatif yang digunakan untuk mengatasi masalah keaktifan dan ketuntasan belajar siswapada materi trigonometri, maupun pada materi lain yang sesuai dengan model pembelajaran ini. b) Diharapkan kepada guru yang ingin menerapkan model pembelajaran generatif ini agar menciptakan suasana belajar yang baik agar waktu yang digunakan lebih efisien.

199 c) Bagi guru yang ingin menerapkan pembelajaran generatif menyiapkan materi sebaik mungkin serta menguasai model langkah-langkahnya. d) Hasil penelitian ini hendaknya dapat dijadikan sebagai salah satu informasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan prestasi belajar siswa khususnya pada pelajaran matematika. Daftar Pustaka Arikunto, Suharsimi. (2010). Evaluasi Pendidikan. Bandung: Rineka cipta. Fahinu. (2013). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Keritis dan Memandirikan Belajar Matematika pada Mahasiswa melalui Pembelajaran Generatif. Disertasi : Universitas Pendidikan Indonesia Hudujo, Herman.(1988). Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang: Penerbit IKIP Malang. Lusiana. (2009). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di Kelas X SMA Negeri 8 Palembang. JURNAL PENDIDIKAN MATEMATIKA VOLUME 3. NO. 2 DESEMBER 2009 Mahayukti, Gst Ayu. (2003). Penerapan Model Pembelajaran Generatif (MPG) untuk Pelajaran Matematika di Kelas X SMA Negeri 8 Palembang. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 2 TH. XXXVI April 2003 Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito Bandung. Wena, Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer (Suatu Tinjauan Konseptual Operasional). Jakarta: Bumi Aksa. 199

200 ASPEK SIKAP MAHASISWA PENDIDIKAN MATEMATIKA TERHADAP PELAKSANAAN PERKULIAHAN SEJARAH MATEMATIKA RM Bambang 1, Usman 2, Rahmat Fitra 3 1,2 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala 3 Prodi Magister Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. Sikap mahasiswa terhadap perkuliahan merupakan salah satu komponen penting yang harus diperhatikan dosen/guru dalam pembelajaran. Karena sikap menunjukkan perilaku pemahaman, perasaan, dan berbuat seorang mahasiswa terhadap suatu matakuliah/pelajaran. Dengan demikian diperlukan menyelidiki terhadap sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Teknik pengambilan data dengan menggunakan angket. Hasil analisis data diperoleh sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika. Kata kunci: Sikap, Sejarah Matematika Pendahuluan Sejarah matematika merupakan salah satu mata kuliah wajib bagi mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Mata kuliah ini mendeskripsikan tentang filsafat pendidikan matematika: matematika dan warisan budaya, perkembangan matematika, berpikir matematika, sifat kebenaran matematika, pondasi dan landasan matematika, matematika sebagai seni dan model, serta tokoh-tokoh matematika. Tujuan mata kuliah ini diharapkan mahasiswa memiliki wawasan tentang hakekat matematika, filsafat matematika, dan perkembangan matematika. Oleh karena itu, mahasiswa sebagai calon guru matematika harus menguasai sejarah matematika sebagai salah satu media dalam melaksanakan pembelajaran di sekolah Sikap merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika di perguruan tinggi. Sikap mahasiswa terhadap matakuliah sejarah matematika dapat dipandang sebgai cerminan proses pembelajaran yang terjadi di kelas. Proses pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk aktif melakukan aktifitas matematika dan diberi kesempatan untuk berinteraksi serta bernegosiasi baik dengan teman sesama kelompok maupun teman pada kelompok yang lain atau terhadap dosennya akan memungkinkan mahasiswa merasa tidak tertekan, tidak cemas, rasa percaya diri muncul dan termotivasi untuk belajar. Bila hal tersebut dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran maka sikap positif mahasiswa terhadap sejarah matematika akan tumbuh. Hal ini sesuai pendapat Ma, X (1997) mengingat adanya korelasi positif antara sikap terhadap matematika dengan hasil belajar. Demikian juga pendapat Saiful (2006), sikap siswa yang positif terutama kepada guru/dosen dan materi mata pelajaran/matakuliah yang disajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa/mahasiswa terhadap guru/dosen dan materi pelajaran/matakuliah, apabila jika diiringi kebencian kepada guru/dosen maka materi yang disajikan dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa/mahasiswa. Namun pengalaman tim pengasuh matakuliah sejarah matematika selama ini, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika belum tumbuh optimal. Sikap mereka dalam perkuliahan seperi kurang termotivasi dalam belajar sejarah matematika. Hal ini ditandai dengan rendahnya minat mahasiswa membaca, bertanya atau menjawab pertanyaan dosen. Selain itu, suasana kegiatan perkuliahan bersifat pasif. Minat mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan sejarah merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan perkuliahan. Dosen perlu memberikan dan mendorong mahasiswa untuk Hal ini ditandai dengan memperlihatkan minat dan perhatian yang serius terhadap apa yang dipelajari. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika. 200

201 Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah. Landasan Teori Pembelajaran di Perguruan Tinggi Menurut Hamalik (2010:57) pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Suherman (2003:8) menjelaskan pembelajaran ditinjau dari konsep komunikasi adalah proses komunikasi fungsional antara mahasiswa dengan dosen dan mahasiswa dengan mahasiswa dalam rangka perubahan sikap dan pola pikir yang akan menjadi kebiasaan bagi mahasiswa yang bersangkutan. Dosen berperan sebagai komunikator, mahasiswa sebagai komunikan dan materi yang dikomunikan berisi pesan berupa ilmu pengetahuan. Dalam komunikasi banyak arah dalam pembelajaran, peran-peran tersebut bisa berubah yaitu antara dosen dengan mahasiwa dan sebaliknya, serta antara mahasiswa dengan mahasiswa. Ratumanan (2004) menjelaskan pembelajaran menurut pandangan terori konstruktivis adalah suatu kondisi dimana dosen membantu mahasiswa untuk membangun konsep pengetahuan dengan kemampuannnya sendiri melalui konsep internalisasi sehingga pengetahuan dapat terkonstruksi kembali. Fungsi pembelajaran adalah membagun pemahaman terhadap informasi (pengetahuan). Proses membangun pemahaman inilah yang lebih penting dari pada hasil belajar sebab pemahaman materi yang dipelajari akan bermakna. Tekanan belajar tidak mengutamakan perolehan pengetahuan yang banyak tetapi yang lebih utama adalah memberi interpretasi melalui skemata yang dimiliki siswa. Sikap Mahasiswa Terhadap Perkuliahan Afektif merupakan salah satu komponen penting dalam pembelajaran matematika. Maker menyatakan bahwa terdapat suatu komponen kognitif pada setiap komponen tujuan afektif dan sebaliknya juga terdapat komponen afektif pada setiap tujuan kognitif sehingga tidak mungkin untuk memisahkan domian kognitif dengan domain afektif dalam pembelajaran matematika. Sikap merupakan salah satu komponen dari ranah afektif. Aiken (Ma, X, 1997) menjelaskan sikap sebagai kecenderungan seseorang untuk merespon secara positif atau negatif suatu objek, situasi, konsep, atau orang lain. Neale (Ma X, 1997) menjelaskan sikap sebagai kurang suka atau tidak suka seseorang tentang matematika, yaitu kecenderungan seseorang untuk terlibat atau mengindarkan dari kegiatan matematika. Menurut Bahri (2006:130), sikap adalah gejala internal yang berdimensi efektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sudjana (2010) menjelaskan sikap adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang. Sikap juga dapat diartikan reaksi seseorang terhadap suatu stimulus yang datang kepada dirinya. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan, ada tiga komponen sikap, yaitu: kognisi, afeksi, dan konasi. Kognisi berkenaan dengan pengetahuan seseorang tentang objek atau stimulus yang dihadapnya, afeksi berkenaan dengan perasaan dalam menanggapi objek tersebut, dan konasi berkenaan dengan kecenderungan berbuat, berkenaan dengan objek. Oleh sebab itu, sikap mahasiswa selalu bermakna bila dihadapkan kepada objek tertentu, misalnya sikap mahasiswa terhadap matakuliah pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika. Hudoyo (1990:99) menjelaskan sikap adalah macam motivasi yang biasanya digunakan untuk mengacu kepada gagasan yang berkaitan dengan emosi. Sikap ini terarah atau terpusat kepada sesuatu. Misalnya seseorang peserta didik menyukai matematika.tentu sikapnya itu mempengaruhi tingkah lakunya terhadap matematika. Karena itu, sikap juga merupakan motivasi. Lebih lanjut Hudoyo menjelaskan, sikap seringkali membuat topik baru (konsep atau teorema) dapat dipengaruhi lebih mudah atau lebih sukar. Sikap tidak menyukai matematika merupakan salah satu hambatan untuk belajar matematika yang efektif. Russefendi (1988: 234) menjelaskan sikap seseorang terhadap sesuatu itu erat sekali kaitannya dengan minat; sebagian bisa tumpang tindih, sebagai dari sikap itu merupakan akibat dari minat. Misalnya, karena siswa berminat terhadap matematika ia suka mengerjakan pekerjaan rumah. Itu suatu pertanda bahwa siswa itu bersikap positif terhadap matematika. Lebih lanjut Russefensi menjelaskan sikap itu paling tidak dapat dikelompokkan ke dalam tiga macam: sikap positif, sikap netral, dan sikap negatif. 201

202 Pengelompokkan yang lebih rinci, misalnya: positif sekali, positif netral, netral dan negatif, dan negatif sekali. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, sikap adalah kecenderungan berperilaku pada seseorang yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi. Berkaitan dengan pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika adalah kecenderungan perilaku mahasiswa yang meliputi kognisi, afeksi, dan konasi terhadap pelaksaaan perkuliahan sejarah matematika. Misalnya seseorang mahasiswa menyukai matakuliah sejarah matematika, tentu sikapnya juga mempengaruhi tingkah laku terhadap matakuliah sejarah matematika. Oleh karena itu, sikap juga merupakan motivasi. Jika seorang mahasiswa sikap positif terhadap perkuliahan sejarah matematika misalnya dosen, materi dan strategi pembelajaran maka sikap ini menujukkan pertanda yang baik bagi proses belajar mahasiswa. Sebaliknya, sikap seorang mahasiswa tidak menyukai perkuliahan sejarah matematika maka mahasiswa akan menimbulkan kesulitan belajar sejarah matematikat. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahun yang bersifdat conservih seperti yang diuraikan sebelumnya, walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun yang dicapai hasil belajar yang icapai mahasiswa kurang memuaskan. Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti di atas, dosen dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terdadap dirinya dan terhadap mata kuliah yang diasuh. Dalam hal bersikap positif terhadap mata kuliah yang diasuh, seorang dosen sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Dosen yang demikian tidak hanya menguasai materimateri yang terdapat dalam mata kuliah yang diasuh, tetapi juga mampu meyakinkan mahasiswa akan manfaat materi matakuliah dalam kehidupan sehari-hari mereka kelak menjadi guru. Dengan meyakini manfaat mata kuliah tertentu, mahasiswa akan merasa membutuhkannya dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap mata kuliah sekaligus terhadap dosen yang mengajarkannya. Menurut Russefendi (1991), sikap seseorang terhadap sesuatu (misalnya terhadap sejarah matematika) erat kaitan dengan minat seseorang terhadap sesuatu itu. Agar mahasiswa pendidikan matematika berminat atau tertarik terhadap sejarah matematika paling tidak mahasiswa harus dapat melihat kegunaannya, melihat keindahannya atau karena sejarah matematika sebagai materi yang menentang. Mungkin juga mahasiswa tertarik kepada sejarah matematika karena tokoh-tokoh matematika dan karyanya, atau tokoh-tokoh matematika ini dapat menyelesaikan soal-soal matematika yang menentang. Untuk mengetahui sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika maka diperlukan alat ukur. Menurut Sudjana (2010), skala sikap digunakan untuk mengukur sikap seseorang terhadap objek tertentu. Hasilnya berupa kategori sikap, yakni mendukung (positif), menolak (negatif) dan netral. Lebih lanjut Sudjana menjelaskan skala sikap dinyatakan dalam bentuk pernyataan untuk dinilai oleh responden, apakah pernyataan itu diukung atau ditolaknya melalui rentangan nilai tertentu. Salah satu skala yang sering digunakan adalah skala Likert. Dalam skala Likert, pernyataan-pernyataan yang diajukan, baik pernyataan positif maupun negatif, dinilai oleh subjek dengan sangat setuju, setuju, tidak punya pendapat, tidak setujua dan sangat tidak setuju. Berkaiatan penelitian ini, sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika dibagi menjadi empat variabel yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika. Karakteritik Sejarah Matematika Menurut Sukardjono (2003:1) menjelaskan mata kuliah filsafat dan sejarah matematika memberi fasilitas kepada mahasiswa untuk membangun (konstruksi) pengertian, sikap dan nilai mahasiswa tentang apa dan siapa matematika ditinjau dari filsafat dan sejarahnya sehingga terbuka kemungkinan pembelajaran matematika di SMP atau SMA akan makin efektif. Menurut Williams (Sukardjono, 2003: 1) menyatakan tidak sesorang guru pun dapat melakukan tuganya dengan efektif dan kreatif tanpa pemahaman yang cukup terhadap perkembangan bidang syudi yang diasuhnya. Karena itu, mata kuliah sejarah matematika sangat penting bagi mahasiswa calon guru matematika SMP atau SMA yang tentunya setiap saat, selalu bersedia untuk meningkatkan mutu pembelajarannya. Dengan mempelajari mata kuliah sejarah matematika, mahasiswa akan lebih mantap dan percaya diri dalam melakukan pembelajaran matematika di kelas. Dengan kata lain, sebagai guru matematika akan makin profesional. 202

203 Tambunan (1987) menjelaskan beberapa kegunaan dan nilai sejarah matematika untuk pembelajaran matematika dan pengembangan matematika selanjutnya antara lain: (1) matematika disajikan sebagai suatu subjek yang dinamis dan progresif, (2) tidak hanya mengingatkan kita tentang masa silam, tetapi mengajar kita memperluas perbendaharaan pengetahuan kita, (3) banyak topik dalam matematika yang dapat diajarkan kepada siswa untuk tidak mengambil kesimpulan yang tergesa-gesa, (4) banyak topik dalam matematika yang dapat diajarkan melalui diskusi sejarahnya, (5) menghemat waktu siswa untuk menyelesaikan soal, dengan menghindari metode yang gagal dipakai oleh ahli matematika terdahulu, (6) siswa akan mengetahui bahwa matematika itu dikembangkan dasarnya adalah manusia, (7) semua istilah, konsep dan kesepakatam dapat dipahami dengan baik hanya dengan referensi latar belakang sejarah, (8) mempertimbangkan bahwa matematika adalah buatan manusia, sehingga siswa merasakan bahwa mereka juga dapat dikonstribusikan terhadap pengembangannya, (9) mengungkapkan bawah semua cabang matematika dikembangkan berhubungan satu dengan lainnya sehingga dapat mencegah siswa dari partisi matematika yang saling asing, (10) mengungkapkan bagaimana para ahli matematika berjuang mati-matian untuk mengembangkan matematika sehingga membangkitkan minat siswa untuk melakukan eksperimen. Metode Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang dikemukakan sebelumnya, penelitian termasuk jenis penelitian survey dengan pendekatan penelitian deskriptif. Populasi penelitian ini adalah mahasiswa program studi pendidikan matematika FKIP Unsyiah tahun akademik 2012/2013. Sedangkan sampel adalah mahasiswa yang diambil secara acak dari 123 orang sebanyak 30 orang mahasiswa. Data yang menyatakan sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika dikumpulkan dengan menggunakan angket. Teknik penyusunan angket mengacu pada skala Likert. Setiap butir skala sikap tersebut terdiri dari penyataan positif dan pernyataan negatif. Banyak butir pernyataan adalah 15 butir dan setiap pernyataan dilengkapi lima pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu atau tidak tahu (RR), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan statitik deskriptif. Analisis data dilakukan dengan menghitung prosentase responden memilih setiap butir pernyataan tentang sikap mahasiswa. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian terhadap 30 mahasiswa yang mengisi angket sikap mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan sejarah matematika dibagi menjadi 4 sikap yaitu: sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika. Sikap Mahasiswa terhadap Tujuan dan Isi Matakuliah Sejarah Matematika Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah saya tidak perlu memahami tujuan perkuliahan sejarah matematika mahasiswa menjawab: 6,67 tidak setuju dan 93,3% menjawab sangat tidak setuju. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap menolak (negatif). Respon mahasiswa terhadap isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari diperoleh 83,3% mahasiswa tidak setuju dan 16,7% mahasiswa sangat tidak setuju. Sikap ini termasuk sikap menolak (negatif). Respon mahasiswa terhadap materi sejarah matematika diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika sekolah diperoleh 30 % mahasiswa sangat setuju dan 70% mahasiswa setuju. Respon ini termasuk dalam kategori respon mendukung (positip). Sikap terakhir pada bagian ini adalah 30% mahasiswa sangat setuju dan 70% setuju bahwa mahasiswa merasa banyak matakuliah lain yang memerlukan materi sejarah matematika. Sikap ini termasuk dalam kategori sikap mendukung (positif). Sikap Mahasiswa terhadap Cara Mempelajari Materi Sejarah Matematika Hasil jawaban mahasiswa terhadap butir pernyataan adalah matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa menjawab: 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca buku-buku diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap ini termasuk kategori sikap 203

204 mendukung (positif). Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar sejarah matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari diperoleh 10 % sangat setuju dan 90 % setujua. Sikap mahasiswa terhadap bahwa paham terhadap materi yang disajikan dalam mata kuliah sejarah matematika belum menjamin senang terhadap mata kuliah sejarah matematika diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap mendukung (positif). Sikap Mahasiswa terhadap Dosen yang Mengajar Sejarah Matematika Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa menjawab diperoleh 6,67 % sangat setuju dan 93,3 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap materi sejarah matematika perlu dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Sikap mahasiswa terhadap mahasiswa senang bila dosen sejarah matematika memberi pekerjaan rumah diperoleh 26,67% sangat setuju, 66,76% setuju dan 6,67 % ragu-ragu. Ketiga sikap mahasiswa tersebut termasuk kategori sikap mendukung (positif). Sikap Mahasiswa terhadap Upaya Memperdalam Materi Sejarah Matematika. Hasil jawaban mahasiswa diperoleh: mahasiswa berpendapat soal-soal sejarah matematika tidak sulit apabila diselesaikan dengan sungguh-sungguh diperoleh 6,67% sangat setuju dan 93,3% setuju. Sikap mahasiswa terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan berbagai buku, modul, dan bahan ajar diperoleh 10% sangat setuju dan 90 % setuju. Kedua sikap ini termasuk kategori sikap mendukung (positif). Berdasarkan hasil analisis diperoleh sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika yaitu sikap menolak terhadap tidak perlu memahami tujuan perkuliahan sejarah matematika mahasiswa dan sikap menolak terhadap isi mata kuliah sejarah matematika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Sedangkan sikap mendukung terhadap materi sejarah matematika diterapkan dalam menyelesaikan soal-soal matematika sekolah dan banyak matakuliah lain yang memerlukan materi sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika yaitu: sikap mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa dan mahasiswa merasa untuk mempelajari mata kuliah sejarah matematika perlu banyak membaca bukubuku, sikap menerima terhadap mahasiswa semakin banyak buku, modul, bahan ajar sejarah matematika yang saya pelajari semakin jelas materi yang dipelajari, dan sikap menerima terhadap memahami terhadap materi yang disajikan dalam mata kuliah sejarah matematika belum menjamin senang terhadap mata kuliah sejarah matematika. Sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa mendukung terhadap matakuliah sejarah matematika harus menarik minat mahasiswa menjawab dan mendukung terhadap materi sejarah matematika perlu dipelajari dengan menggunakan media pembelajaran, dan sikap senang bila dosen sejarah matematika memberi pekerjaan rumah. Sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika, yaitu sikap mendukung terhadap soal-soal sejarah matematika tidak sulit apabila diselesaikan dengan sungguh-sungguh dan mendukung terhadap mempelajari materi sejarah matematika memerlukan berbagai buku, modul, dan bahan ajar. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa sikap mahasiswa terhadap mata kuliah sejarah matematika yaitu sikap mahasiswa terhadap tujuan dan isi matakuliah sejarah matematika, sikap mahasiswa terhadap cara mempelajari materi sejarah matematika,sikap mahasiswa terhadap dosen yang mengajar sejarah matematika, dan sikap mahasiswa terhadap upaya memperdalam materi sejarah matematika. Dengan demikian kepada dosen khususnya matakuliah sejarah matematika dan matakuliah lainnya untuk meningkatkan sikap baik mahasiswa terhadap pelaksanaan perkuliahan. Daftar Pustaka Bahri, Saiful, dkk. (2008). Psikologi Pendidikan. Darusalam: FKIP Unsyiah Herman, Hudoyo. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang 204

205 Ma, X. (1997). Assessing the Relationship Between Attitude Toward Mathematics and Achievement in mathematics: A Meta-Analisis. Juornal for Research in Mathematics Education, 28 (1) Russefendi. E.T.(1991). Pengantar Kepada Membantu Guru mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Perkembangan Kompetensi Guru. Bandung: Tarsito Sudjana, Nana. (2010). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya Sudjana, Nana dan Ibrahim. (2001). Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Jakarta: Sinar Baru Algensindo Sukardjono. (2003). Filsafat dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka Tambunan, G. (1987). Materi Pokok 2 Hakikat Pengajaran dan Sejarah Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka 205

206 PENERAPAN MODEL KOLB S LEARNING STYLE (KLS) DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MATERI LINGKARAN KELAS VIII SEMESTER II DI SMP NEGERI 16 BANDA ACEH TAHUN PELAJARAN 2009/2010 Siti Nurbaya Guru SMP Negeri 16 Banda Aceh Abstrak. Rumusan masalah dalam penelitian tindakan kelas ini adalah Apakah Model Pembelajaran Kolb s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Tujuan dari penelitian tindakan kelas ini Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb s Learning Style yang diajarkan dikelas. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Dalam penelitian ini dipilih satu kelas yaitu kelas VIII berjumlah 26 orang. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data pada penelitian ini adalah Tes dan Observasi. Peningkatan hasil penguasaan materi lingkaran dapat dilihat juga dari hasil evaluasi siswa. Hasil penelitian sebelum diberi tindakan, tingkat ketuntasan belajar siswa secara klasikal hanya sebesar 34,6%, setelah pemberian tindakan melalui pembelajaran dengan model Kolb Learning Style pada siklus I tingkat ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 65,3%, ini berarti terjadi peningkatan sebesar 30,7% dari tes sebelumnya. Kemudian setelah pemberian tindakan pada siklus II melalui pembelajaran model Kolb Learning Style diperoleh tingkat ketuntasan belajar siswa secara klasikal sebesar 84,6%, ini berarti mengalami peningkatan sebesar 21,3%. Dengan melakukan tindakan melalui model Kolb Learning Style dikelas VIII SMP 16 Banda Aceh dapat meningkatkan hasil belajar siswa, karena siswa lebih laluasa untuk menyelesaikan soal secara induvidual materi lingkaran. Kata kunci: penerapan model kolb s (KLS), meningkatkan hasil belajar matematika, lingkaran. Pendahuluan Kurikulum matematika disempurnakan untuk meningkatkan mutu pendidikan matematika. Pendidikan matematika merupakan salah satu wahana untuk meningkatkan kualitas manusia, terutama ditengah kemajuan IPTEK seperti sekarang ini. Dengan demikian, tuntutan untuk terus menerus memuktahirkan pengetahuan matematika menjadi suatu keharusan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran matematika dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Memperhatikan bahwa matematika menempati posisi penting dalam sistem pendidikan maka seharusnya pembelajaran matematika. Dari uraian diatas dapat diasumsikan bahwa mata pelajaran matematika mempunyai nilai yang strategis dan penting dalam mempersiapkan siswa yang unggul dan pintar. Hal yang menjadi hambatan selama ini dalam pembelajaran matematika kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh adalah disebabkan kurang dikemasnya pembelajaran matematika dengan model atau metode pembelajaran yang menarik, menantang dan menyenangkan. Rendahnya kreatifitas siswa dalam proses belajar mengajar dapat mengakibatkan proses belajar menjadi kurang optimal sehingga materi yang disajikan menjadi tidak tuntas. Melihat situasi dan kondisi kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Acehyang berjumlah 26 siswa, dalam segi kreatifitas dari 26 siswa yang mampu mengembangkan imajinasinya hanya 5 siswa maka persentasenya sebesar 19,2%. Dan kemampuan untuk menjawab pertanyaan dari 26 siswa hanya 15 siswa saja yang mampu maka persentasenya sebesar 57,69 %. 206

207 Untuk melibatkan siswa secara fisik dan menumbuhkan kreatifitas pola berfikir, penggunaan model pembelajaran harus dilakukan. Sementara itu menumbuhkan kreatifitas belajar siswa terhadap pelajaran matematika dalam proses pembelajaranya dapat menggunakan model kolb s learning style (KLS). Dalam proses belajar menurut KLS terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang konkrit pada satu pihak dan konseptualisasi abstrak pada pihak lain. Menyadari hal ini sudah sepatutnya diusahakan perbaikan pembelajaran yang salah satunya dengan lebih memfokuskan pada pembelajaran yang mengaktifkan siswa. Berdasarkan data-data diatas maka peneliti terdorong untuk melakukan penelitian dengan judul : Penerapan Model Kolb s Learning Style (KLS) dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Materi Lingkaran Kelas VIII Semester II di SMP Negeri 16 Banda Aceh Tahun Pelajaran 2009/2010. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalahnya dalam penelitian ini adalah : Apakah Model Pembelajaran Kolb s Learning Style dapat meningkatkan hasil belajar siswa SMP Negeri 16 Banda Aceh? Bagaimana aktifitas siswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Kolb s Learning Styel. Tujuan Penelitian Berpedoman pada rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagi berikut: Untuk meningkatkan hasil belajar siswa melalui Model Pembelajaran Kolb s Learning Style yang diajarkan dikelas. Untuk mengetahui aktifitas hasil belajar siswa selama mengikuti pembelajaran dengan menggunakan model Kolb s Learning style. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi : Guru, yaitu sebagai informasi untuk memberikan gambaran tentang hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran Kolb s Learning Style. Sekolah, yaitu sebagai sumbangan pemikiran dalam rangka perbaikan pengajaran. Peneliti, yaitu untuk menambah wawasan penulis menjalankan tugas sebagai pengajar masa yang akan datang. Landasan Teoritis Pengertian Belajar Matematika Pengertian belajar adalah suatu proses perubahan yang terjadi pada diri seseorang. Perubahan itu dapat terjadi dalam bidang keterampilan, kebiasaan, sikap, pengertian, pengetahuan, atau aprsiasi. Beberapa pandapat Menurut Para ahli tentang pengertian pembelajaran : Menurut G.A. Kimble dan Lisnawati (2002: 38) menyatakan bahwa Belajar adalah perubahan yang relative menetap dalam potensi tingkah laku yang terjadi sebagai hasil latihan. Menurut Edward walker (1973: 66) menyatakan bahwa Belajar adalah suatu perubahan dalam pelaksanaan tugas yang terjadi sebagai hasil pengalaman dan tidak ada sangkutpautnya dengan kematangan rohani. Manurut Slameto (2003: 2) pengertian belajar dapat diartikan sebagai berikut : Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Sudirman AM (1992: 23) menyatakan bahwa Belajar adalah perubahan tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan, misalnya membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan sebagainya 207

208 Dari pendapat para ahli diatas, belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku ynag kegiatannya terproses dan disertai dengan usaha-usaha serta merupakan unsur yang sangat mendasar dalam penyelesaian setiap jenis dan jenjang pendidikan dan tidak terlepas dari pengaruh lingkungan Selanjutnya Hudoyo (1988: 3) mengatakan Mempelajari matematika haruslah bertahap dan berurutan serta berdasarkan kepada pengalaman belajar yang lalu. Hal ini dikarenakan matematika itu memiliki objek dasar itu berkembang menjadi objek lain, misalnya pola-pola dan struktur dalam matematika. Oleh sebab itu Hudoyo (1988: 4) melanjutkan bahwa Belajar matematika yang terputus-putus akan mengganggu terjadinya proses belajar. Pengertian Hasil Belajar Keberhasilan belajar diartikan bahwa suatu proses belajar mengajar tentang suatu bahan pengajaran dinyatakan berhasil apabila satuan pengajarannya telah tercapai. Hasil belajar adalah kapasitas orang memungkinkan beragam penampilan. Hal ini sesuai dengan beberapa pendapat, diantaranya hasil belajar adalah suatu perubahan yang terjadi pada individu yang belajar, bukan saja perubahan yang mengenai pengetahuan tetapi juga perubahan membentuk kecakapan, kebiasaan, sikap pengertian dan penguasaan dalam diri individu yang belajar. Jika menginginkan hasil belajar yang baik dan memuaskan, maka siswa tersebut harus belajar dibarengi dengan sikap ketekunan, ketahanan, dan keuletan serta keinginan yang kuat untuk belajar. Namun untuk memperoleh hasil ynag baik juga tidak terlepas dari cara atau metode yang digunakan guru dalam menyajikan pelajaran. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar yaitu : a. Kematangan kecerdasan b. Latihan dan Ulangan c. Sifat-sifat pribadi seorang anak didik. d. Keadaan keluarga dan lingkungan e. Guru dan cara mengajar f. Alat-alat pengajaran. Pengertian Model Pembelajaran Matematiaka Menurut Briggs (dalam wina sanjana, 2006: 23) bahwa model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu proses, seperti penilaian kebutuhan, pemilihan media dan evaluasi. Sedangkan menurut harjanto (2008: 34) bahwa model adalah kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan kegiatan. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang menyajikan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Model pada pembelajaran matematika memiliki peranan yang sangat penting dalam pembelajaran karena model-model matematika akan membawa setiap siswa untuk menjadi lebih efektif dalam belajar. Tentunya seorang guru dituntut untuk mampu mengembangkan serta menerapkannya dalam proses pembelajaran. Sehingga dengan demikian efektifitas pembelajaran matematika akan berjalan dengan baik dan berkualitas. Tentunya model yang diterapkan harus juga dilihat berdasarkan kepada tingkat psikologi dari setiap pembelajaran sehingga siawa pun dapat mengaplikasikan dan menerapkannya sesuai dengan kemampuan daya berfikir mereka. Pengertian Gaya Belajar Ada beberapa defenisi tentang gaya belajar yang dikemukakan oleh para ahli : Ardhana dan willis dalam yosep gobai menyatakan bahwa gaya belajar atau learning style adalah suatu karakteristik kognitif, efektif dan perilaku psikomotoris sebagai indicator yang bertindak relatife stabil untuk belajar merasa saling berhubungan dengan bereaksi terhadap lingkungan belajar. Menurut Gunawan menyatakan bahwa gaya belajar adalah cara yang lebih kita sukai dalam melakukan kegiatan berfikir, memproses dan mengerti suatu informasi. Gordon Driden (2005: 94) mendefenisikan 208

209 gaya belajar adalah gaya belajar adalah pola siswa yang konsisten dari tingkah laku dan penampilan dalam pendekatan secara indivudu terhadap pengalaman kerja. Dari ketiga defenisi tersebut diatas dapat dijelaskan bahwa gaya belajar dimiliki seseorang secara individual. Oleh karena itu gaya belajar adalah cara yang konsisten yang dilakukan oleh seorang murid dalam menangkap stimulus atau informasi, cara mengingat, berfikir dan memecahkan soal. Ciri-ciri atau karakteristik perilaku siswa yang gaya belajar berdasarkan modalitasnya menurut Gorden Driden (2005: ) : a. Gaya Belajar Visual ( gaya belajar dengan cara melihat ) rapi dan teratur. berbicara dengan tepat. mengingat apa yang dilihat, dari pada yang didengan. lebih suka membaca dari pada yang dibacakan. lebih suka seni dari pada musik. b. Gaya Belajar Auditorial ( gaya belajar dengan cara mendengar ) mudah terganggu oleh keributan. mengerakan bibir dan bersuara saat membaca senang membaca dengan keras dan mendengarkan suka berbicara, suka berdiskusi, dan menjelaskan sesuatu panjang lebar. lebih suka musik dari pada seni. c. Gaya Belajar Kinestetik ( gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja, dan menyentuh). menganggapi perhatian fisik mengingat sambil berjalan dan melihat. menggunakan jari sebagai penunjuk ketika membaca. banyak menggunakan isyarat lebih. Pengertian Pembelajaran Kolb s Learning Style (KLS). Gaya belajar model Kolb terimplisit dalam resource based learning (belajar berdasarkan sumber) yang mengajak siswa melakukan observasi untuk memecahkan masalah. Menurut David Kolb (Nasution 2005: 111), gaya belajar model kolb ialah gaya belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk memecahkan masalah. Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa baik secara kelompok maupun individu. Menurut model ini belajar berlangsung melalui 4 fase atau tahap yaitu : a. Individu memperoleh pengalaman langsung yang konkrit. b. Kemudian ia mengembangkan observasinya dan memikirkan atau merefleksikannya. c. Dari itu dibentuknya generalisasi dan abstraksi. d. Implikasi yang diambilnya dari konsep-konsep itu dijadikanya sebagai pegangannya dalam menghadapi pengalaman pengalaman baru. Jadi agar siswa yang efektif harus mempunyai empat macam kemampuan, dapat dilihat dari tabel: Tabel Kemampuan Uraian Pengutamaan 1. Concrete Experience (CE) Siswa melibatkan diri sepenuhnya dalam pengalaman baru. Feeling (perasaan) 2.Reflection Observation ( RO ) siswa mengobservasi dan merefleksikan atau memikirkan pengalamanya dari berbagai segi. Watching (mengamati) 209

210 3. Abstract Conceptualization (AC) siswa menciptakan konsepkonsep yang mengintegrasikan obsevsinya menjadi teori yang sehat Thuinking (berfikir) 4.Active Experimentation(AE) Siswa menggunakan teori itu untuk memecahkan masalahmasalah dan mengambil keputusan. Doing (berbuat) Dalam proses belajar menurut kolb terdapat dua aspek atau dimensi yakni pengalaman langsung yang konkrit (CE) pada suatu pihak dan konseptualisasi abstrak (AC) pada pihak laen. Dimensi kedua ialah : eksperientasi aktif (AE) pada suatu dan observasi reflektif (RO) pada pihak lain. Individu selalu mencari kemampuan belajar tertentu dalam situasi tertentu. Jadi individu itu dapat beralih dari pelaku (AE) menjadi pengamat (RO) dan dari keterlibatan langsung (CE) menjadi analisis abstrak (AC). Untuk menentukan gaya belajar orang, Kolb menciptakan suatu Laerning Style Inventory (LSI) dan membedakan 4 tipe gaya siswa, yaitu: 1. Converger Siswa ini lebih suka belajar bila dihadapinya soal yang mempunyai jawaban tertentu. Bila mereka menghadapi tugas atau masalah, mereka berusaha menemukan jawaban yang tepat. Kemampuan utama mereka adalah AC dan AE. Biasanya minat mereka terbatas dan cenderung untuk mengkhususkan diri dalam ilmu pengetahuan alam. 2. Diverger Siswa ini lebih mengutamakan CE dan RO, kebalikan dari converger. Kekuatan mereka terletak pada kemampuan imajinasi mereka. Bidang pekerjaan yang sesuai dengan tipe ini antara lain, counseling, urusan personalia, dan pengembangan organisasi. 3. Assimilator Cara belajar kelompok ini terutama bersifat AC dan RO. Mereka menunjukan kemampuan yang tinggi dalam menciptakan model teori. Bidang studi yang mereka sukai ialah science dan matematika dan pekerjaan yang sesuai bagi mereka ialah perencanaan dan penelitian. 4. Accomodator Accommodator ini bertentangan minatnya dengan assimilator. Mereka ini justru tertarik pada pengalamn yang konkrit (CE) dan eksperimentasi aktif(ae). Mereka suka akan pengalaman baru dan melakukan sesuatu. Bidang study yang serasi bagi mereka ialah lapangan usaha dan tehnik dan menyukai pekerjaan dalam penjualan dan pemasaran. Sehingga menurut Kolb belajar itu merupakan perkembangan. Proses perkembangan itu melalui 3 fase, yakni : 1. fase acquisition dimana seorang mengumpulkan pengetahuan, 2. fase spesialisasi dimana ia memusatkan perhatianya kepada bidang tertentu, 3. fase integrasi damana ia menaruh minat untuk gaya belajar yang selama ini kurang digunakannya, dan dengan demikian memperoleh minat dan tujuan hidup baru. Penerapan Gaya Belajar Model Kolb dalam pembelajaran matematika Gaya belajar model kolb dapat dilakukan siswa, baik secara kelompok maupun individu. Secara kelompok yang berpedoman pada petunjuk winarno (2003: 23) langkah-langkah penerapan gaya belajar model kolb pada mata pelajaran matematika yaitu : Kegiatan Awal : 1. Guru membagi siswa dalam kelas menjadi beberapa kelompok. 2. Tiap kelompok terdiri dari 3 siswa. Kegiatan Inti : 1. Pelibatan siswa. 210

211 - Guru memotifasi siswa. - Guru menjelaskan materi pelajaran. - Guru memberikan appersepsi kepada siswa dengan berbagai pertanyaan untuk menarik minat siswa dalam belajar. 2. Observasi. - Setiap kelompok diberikan sebuah kaleng kosong. - Siswa mengamati bentuk lingkaran pada permukaan kaleng. - Dengan memanfaatkan kertas kosong (kertas karton ) siswa disuruh menjiplak lingkaran permukaan kertas kaleng. - Dengan menggunakan gunting, siswa menggunting sekeliling lingkaran yang telah diberi garis (menjiplak) - Hasil guntingan dilipat sehingga saling menutupi dengan tepat, maka bekas lipatan tersebut merupakan garis tengah/ diameter lingkaran. - Guru berkeliling membantu siswa yang kesulitan dalam mengerjakan. 3. Menciptakan konsep. - Siswa menentukan nilai pi sebuah lingkaran yang berpedoman pada rumus :. dengan pembulatan sampai dua desimal maka akan didapatkan hasil yang mendekati 3,14 atau disimbolkan π. diameterngkarankelilingli - Siswa diajak berfikir untuk menemukan konsep rumus mencari lingkaran: πd. - Tiap kelompok mempresentasikan hasil proses dan hasil pengamatan tersebut kedepan kelas. 4. Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan. - Setelah siswa dapat melakukan kegiatan tersebut maka untuk memantapkan pengertian siswa tentang mencari keliling lingkaran, guru memberikan tugas untuk dikerjakan siswa secara perorangan. - Guru berkeliling membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas. Kegiatan Penutup: Guru bersama siswa membuat rangkuman pelajaran tentang konsep geometri dan pengukuran khususnya pada pokok bahasan keliling dan luas lingkaran. Kerangka Konseptual Salah satu faktor yang menyebabkan kurang berkembangnya aktifitas siswa dalam belajar adalah dalam penggunaan metode mengajar yang monoton dan pembelajaran yang masih didominasi oleh guru. Gaya belajar adalah salah satu yang memegang peranan penting dalam menentukan cara individu mengamati dan menangggapi lingkungan belajar yang banyak melibatkan siswa. Siswa dipandang sebagai subjek pembelajaran yang harus berperan dalam aktifitas pembelajaran. Model gaya belajar kolb merupakan alternative untuk lebih mengaktifkan siswa dalam pembelajaran, dengan model ini siswa dapat mendengar dengan aktif, menjelaskan pada teman, bertanya pada guru, berdiskusi pada siswa lain menenggapi pertanyaan dan berargumentasi. Semakin banyak aktifitas pembelajaran yang dilakukan pemahaman siwa semakin bertambah. Jika pemahaman bertambah maka hasil belajar siswa akan meningkat. Simpulan dan Saran Simpulan Penggunaan Model Kolb Learning Style ternyata dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada pokok bahasan lingkaran. Penguasaan siswa terhadap materi pembelajaran meningkat. Hal ini dapat ditunjukan dengan ketuntasan hasil tes siswa. Berdasarkan hasil observasi terhadap aktifitas guru dalam proses pembelajaran pada siklus I mencapai 69,16 % kemudian pada siklus II meningkat menjadi 76,5%. Selama proses belajar mengajar berlangsung terlihat antusias siswa giat lagi belajar matematika. Secara klasikal sebelum menggunakan Model Kolb Learning Style mencapai 34,5 % meningkat menjadi 65,3 % pada siklus I kemudian pada siklus II meningkat menjadi 84,6%. Berarti terjadi peningkatan sebanyak 30,8 % pada tes awal kesiklus I dan 19,3 % dari siklus I ke siklus II. Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran pada siklus I mencapai 67,6 % dan pada siklus II meningkat menjadi 77,0 %. 211

212 Saran Saran yang bisa diberikan untuk seorang guru: dalam mengajar perlu memperhatikan metode atau model baru sehingga dalam mengajar tidak monoton sehingga siswa tidak merasa bosan dan menganggap matematika sebagai pelajaran yang menyenangkan.selanjutnya guru memotivasi siswa untuk berani bertanya atau mengemukakan pendapat. Dan selain itu dalam mengajar seorang guru perlu menjadikan siswa sebagai jiwa dengan potensi yang lebih, sehingga guru cukup sebagai fasilitator agar siswa dapat mengembangkan kemampuannya dengan sebaik-baiknya. Selain itu saran yang bisa diberi untuk seorang Siswa yaitu : dalam menyelesaikan soal harus teliti dan siswa dalam menyelesaikan soal matematika harus paham terlebih dahulu apa pertanyaan yang diminta oleh soal tersebut. Dan terakhir saran untuk Sekolah: sebaiknya mengupayakan bermacam-macam model dalam mengajar dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan DAFTAR PUSTAKA Arends, Richardl. (1997). Classroom Instructional Management, New York: The Mc Graw Hill Company. Djumanta, Wahyudin. (2008). Buku Matematika untuk Kelas VIII SMP / MTs, Bandung: Grafindo. Ismail. (2003). Model-model Pembelajaran, Jakarta: Dit. Pendidikan Lanjutan Pertama. Nur, M., Wikandri, P.R. dan Sugiarto, B. (1998). Teori Pembelajaran Sosial dan Teori Pembelajaran Perilaku, Surabaya: Program Pascasarjana, IKIP, Surabaya. Nur, M. (1998). Psikologi Pendidikan: Fondasi Untuk Pengajaran, Surabaya, IKIP Surabaya. Nurkencana, Wayan. (1986). Evaluasi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional. Slameto. (2003). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rieneka Cipta. Soegito, E. dan Nuraini, E. (2003). Kemampuan Proses Belajar, Jakarta: Universitas Terbuka. Sudjana. (2002). Metode Statistik. Bandung: Tarsito. Suyatno. (2009). Menjelajah Pembelajaran Inovatif. Surabaya: Masmedia Buana Pustaka. Riyadi, Slamet. (2008). Buku Matematika Be Smart Kumpulan Soal untuk Kelas VIII SMP / MTs, Bandung: Grafindo. 212

213 PENDEKATAN PEMBELAJARAN INDUKTIF PADA MATERI BANGUN RUANG PRISMA DAN LIMAS DI MTSN RUKOH TAHUN PELAJARAN 2013/2014 Sri Wahyuni 1, R.M. Bambang S 2, dan Musafir Kumar 3 1 Departemen Matematika, Universitas Syiah Kuala, Aceh 2,3 Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala sriwahyuni16gayo@yahoo.com Abstrak. Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau materi dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret ke abstrak atau dari yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke umumpembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pemahaman konsep dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka penulis melakukan penelitian terhadap siswa kelas VIII MTsN Rukoh dengan tujuan untuk mengetahui ketuntasan hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan pembelajaran induktif pada materi bangun ruang prisma dan limas. Hipotesis dalam penelitian ini adalah Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN Rukoh. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan tes hasil belajar siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII MTsN Rukoh tahun ajaran 2013/2014. Sedangkan sampelnya adalah siswa kelas VIII MTsN Rukoh yang terdiri dari 6. Data diolah dan dianalisis menggunakan uji-t dua pihak yaitu pihak kanan. Dari hasil pengolahan data didapat t hitung = 3,13, pada taraf signifikan α = 0,05 nilai t tabel = 1,70. Dengan demikian nilai t hitung > t tabel, maka hipotesis dalam penelitian ini diterima. Dengan demikian disimpulkan bahwa Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh. Kata kunci: pendekatan induktif, ketuntasan hasil belajar. PENDAHULUAN Belajar adalah suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Kegiatan belajar dapat mengembangkan potensi-potensi yang dibawa sejak lahir. Menurut trianto (2009:9) belajar adalah adanya perubahan tingkah laku karena adanya suatu pengalaman. Perubahan tingkah laku tersebut dapat berupa perubahan keterampilan, kebiasaan, sikap, pengetahuan. Adapun pengalaman dalam proses belajar merupakan interaksi antara individu dengan lingkungannya. Komponen-komponen yang ada dalam kegiatan pembelajaran adalah guru dan siswa. Seorang guru dituntut mempunyai pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional dalam memberikan pembelajaran terhadap siswa-siswanya. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang profesional seorang guru berkaitan dengan kemampuan guru untuk mengelolah program pembelajaran yang didalamnya mencakup kemampuan untuk mengolaborasikan kemampuan peserta didik, merencanakan program pembelajaran, melaksanakan program pembelajaran dan mengevaluasi program pembelajaran. Selain guru, dalam kegiatan belajar mengajar siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah perolehan belajar. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajaranya secara efektif siswa dituntut secara fisik, intelektual dan emosional menurut ramly (2007:31) pembelajaran hanya 213

214 berlansung manakala usaha tertentu telah dibuat untuk mengubah suatu keadaan sedemikian rupa sehingga suatu hasil belajar tertentu dapat dicapai. Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan saat ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik. Hal ini tampak dari rata-rata hasil belajar peserta didik yang masih memprihatinkan. Prestasi ini tentunya merupakan hasil kondisi pembelajaran yang masih bersifat konvensional dimana guru masih mendominasi proses belajar mengajar sehingga siswa kurang berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya. Masalah ini juga terjadi pada pembelajaranan matematika, matematika yang bersifat abstrak membuat sulit dimengerti oleh sebagian besar siswa. Dalam mempelajari matematika membutuhkan penalaran, pengertian, pemahaman dan aplikasi yang tinggi, sehingga matematika perlu disajikan dengan tepat. Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang dilakukan dengan suatu cara untuk menarik kesimpulan. Kesimpulan yang bersifat umum dapat ditarik dari hal-hal yang bersifat khusus atau disebut penalaran induktif, tetapi dapat juga sebaliknya dari hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus atau penalaran deduktif. Kenyataan yang terjadi dilapangan masih banyak guru yang menggunakan pendekatan deduktif dalam mengajar matematika, pendekatan deduktif sering digunakan karena pendekatan ini lebih mudah untuk pembelajaran matematika yang bersifat abstrak, pemberian hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus memudahkan siswa dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan dalam pembelajaran matematika. Menurut pendapat para ahli, pendekatan yang lebih baik bagi anak anak dalam belajar matematika adalah pendekatan induktif dari pada pendekatan deduktif, dalam pembelajaran matematika khususnya geometri. Copeland ( dalam Rocmad, 2008:3) menyatakan Pendekatan yang lebih baik (induktif) dalam mengajar siswa dengan menunjukkan beberapa segitiga kepada mereka dan menanyakan apakah kesamaan dari bangun-bangun tersebut dan kemudian dari pengalaman tersebut membangun suatu definisi atau generalisasi. Christou dan Papageorgiou (dalam Rochmad, 2008:3) menyatakan Memandang penting penalaran induktif dalam matematika dan perlu kerangka proses kognitif yang dapat digunakan untuk mendorong kecakapan penalaran induktif siswa dalam belajar matematika. Proses induktif dari kesamaan (similarity), ketidaksamaan (disimilarity), dan integrasi (integration). Pembelajaran dengan melibatkan pola pikir induktif efektif untuk mengajarkan suatu konsep matematika, dan memberi peluang kepada siswa untuk memahami konsep atau memperoleh generalisasi dengan cara yang lebih bermakna. Pengalaman ketika melakukan pengamatan secara cermat pada kasus-kasus khusus yang diberikan guru. Marpaung (dalam Rochmad, 2008: 6) menyatakan Dalam mengkonstruksikan matematika ini siswa terlibat dengan proses adaptasi dan organisasi, sehingga mempelajari konsep matematika dengan cara seperti ini dipandang lebih bermakna dari sekedar menghapalkannya. Apabila siswa hanya menghapal maka siswa hanya akan mengikuti serangkaian prosedur dan siswa hanya meniru contoh-contoh tanpa mengetahui maknanya. Dari permasalahan yang telah diuraikan diatas Penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Pendekatan Pembelajaran Induktif pada Materi Bangun Ruang Prisma dan Limas di MTsN Rukoh Tahun Pelajaran 2013/2014. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apakah melalui pendekatan pembelajaran induktif siswa dapat mencapai ketuntasan belajar materi bangun ruang pada prisma dan limas di kelas VIII MTsN Rukoh Tahun pelajaran 2013/2014? Tinjauan Pustaka Pendekatan Induktif Pendekatan merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum. oleh karenanya strategi dan model pembelajaran yang digunakan dapat bersumber atau tegantung dari pendekatan tertentu. 214

215 Pendekatan pembelajaran merupakan merupakan penjelas untuk mempermudah bagi guru dalam menyampaikan materi, seperti yang dikemukakan Sagala (2013:68) Pendekatan pembelajaran dilakukan oleh guru untuk menjelaskan materi pelajaran dari bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya berorientasi pada pengalaman-pengalaman yang dimiliki siswa untuk mempelalajari konsep, prinsip atau teori yang baru tentang suatu bidang ilmu program ilmu. Menurut Suyono (2012:18) Pendekatan pembelajaran merupakan latar pedagogis dan psikologis yang dilandasi psikologis pendidikan tertentu yang dipilih agar tujuan pembelajaran dapat tercapai atau dapat didekati secara optimal. Selanjutnya Suyono (2012:18-19) menyebutkan contoh-contoh pendekatan pembelajaran contoh pendekatan pembelajaran adalah : pendekatan lingkungan, pendekatan exspositori dan pendekatan heuristik, pendekatan konstektual, pendekatan konsep, pendekatan keterampilan proses, pendekatan deduktif, pendekatan induktif, pendekatan sains lingkungan teknologi masyarakat, STM ( sciene, technology and, society, STS), pendekatan kompetensi, pendekatan holistik dan lainnya. Roy killen (dalam sanjaya, 2006:127) Ada dua pendekatan dalam pembelajaran yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher - centred approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student - centred approaches) pendekatan yang berpusat pada guru menurunkan strategi pembelajaran langsung(direct instruction). Sehubungan dengan proses belajar mengajar yang berpusat pada guru, maka menurut Sanjaya (2013:209 ada tiga peran utama yang harus dilakukan guru, yaitu guru sebagai perencana, sebagai penyampai imformasi, dan guru sebagai evaluator. pendekatan yang berpusat pada siswa menurut Sanjaya ( 2013:214) siswa tidak dianggap sebagai objek belajar yang dapat diatur dan dibatasi oleh kemauan guru, melainkan siswa ditempatkan sebagai subjek yang belajar sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuan yang dimiliki. Pendekatan yang berpusat pada guru yaitu pendekatan deduktif dan pendekatan yang berpusat pada siswa yaitu pendekatan induktif. Pendekatan deduktif menurut menurut Sagala (2013:76) pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan umum ke keadaan khusus sebagai pendekatan pembelajaran yang bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh-contoh khusus atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Selanjutnya menurut noviani (dalam Wati, 2010:16) Pendekatan induktif menekanan pada pengamatan dahulu, lalu menarik kesimpulan berdasarkan pengamatan tersebut. Metode ini sering disebut sebagai sebuah pendekatan pengambilan kesimpulan dari khusus menjadi umum. Pendekatan induktif merupakan proses penalaran yang bermula dari keadaan khusus menuju keadaan umum. Pendekatan induktif pada awalnya dikembangkan oleh filosofih inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan didasrkan atas fakta-fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem ini dipandang sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan. Pendekatan induktif dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif seperti yang dikemukakan Anitah (2007:9.5) Pendekatan induktif adalah suatu cara mengajar yang penyajian topik atau materi dikembangkan berdasarkan pemikiran induktif, yaitu berjalan dari yang konkret ke abstrak atau dari yang khusus ke umum dan dari contoh-contoh menuju ke umum. pendekatan ini adalah pendekatan yang digunakan untuk menyusun rumus umum dengan bantuan contoh-contoh kongkrit yang cukup banyak untuk menurunkan/menduga rumus umum tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tahap perkembangan intelektual siswa. Dengan pendekatan ini konsep-konsep matematika yang abstrak dapat dimengerti siswa melalui benda-benda konkrit. Menurut Sagala ( 2013:77 ) berpikir induktif adalah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju ke yang umum orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari berbagai fonomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada semua jenis fenomena. 215

216 Logika induktif menurut Linda ( 2006:48 ) Logika induktif meliputi pertimbangan dari kenyataan fakta-fakta khusus kepada kesimpulan umum. Karso (dalam Maulina, 2012:15) Dalam pelaksanaanya, mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif akan lebih banyak memerlukan waktu daripada mengajar dengan pendekatan deduktif. Tetapi bagi kelas rendah atau kelas yang lemah pendekatan induktif akan lebih memudahkan murid menangkap konsep yang diajarkan selanjutnya Karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif, antara lain sebagai berikut: Kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif Menurut karso (dalam Maulina, 2012:15) mengemukakan kekuatan dan kelemahan pendekatan induktif, antara lain sebagai berikut: Kekuatan pendekatan pembelajaran induktif 1. Murid berkesempatan turut aktif dalam menemukan sifat atau rumus dengan jalan mengamati, melakukan percobaan berpikir. 2. Murid memahami sifat atau rumus melalui serangkaai contohjika terjadi keraguan mengenai pengertian daoat segera diatasi sejak masih awal. Kelemahan pendekatan pembelajaran induktif 1. Memerlukan banyak waktu, sifat dan rumus yang diperolehnya masih memerlukan latihan atau memahaminya. 2. Secara matematika(formal) sifat atau rumus yang diperolehnya dengan pendekatan induktif masih belum menjamin berlaku umum. Langkah-langkah Pendekatan Pembelajaran Induktif Menurut Sulistyani (2010:3-4) langkah-langkah pendekatan induktif ada 4 fase (1) fase kegiatan pembukaan; (2) fase kegiatan induktif; (3) fase kegiatan diskusi kelas; dan (4) fase kegiatan penutupan 1. Fase Kegiatan Pembukaan Guru memulai fase kegiatan pembukaan dengan membuka pembelajaran. Kegiatan dilanjutkan dengan menyampaikan tujuan pembelajaran dan motivasi siswa. 2. Fase Kegiatan Induktif Pada fase kegiatan induktif, guru menyampaikan hal-hal khusus berkaitan dengan materi pokok yang akan disampaikan. Selanjutnya, guru mengarahkan siswa melakukan kegiatan belajar dengan menggunakan pola pikir induktif. 3. Fase Diskusi Kelas Pada fase ini, setiap siswa diberi kesempatan untuk bertukar pemikiran dan pengalaman dengan teman-teman lainnya dalam rangka mengkonstruksi pengetahuan secara individu. Bagi guru, kegiatan tersebut dapat digunakan sebagai sarana untuk mengecek dan menguatkan pemahaman siswa tentang konsep dan asas yang telah mereka peroleh sebelumnya. 4. Fase Kegiatan Penutup Kegiatan pembelajaran pada fase kegiatan penutup ini mencakup: memberi kuis (tes singkat) secara individu. Tujuan diadakan kuis adalah untuk mengukur seberapa jauh siswa telah menguasai pengetahuan ditinjau dari aspek pemahaman konsep, penalaran dan komunikasi, atau pemecahan masalah. Metode Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, disebut kuantitatif karena penelitian ini banyak menggunakan angka baik dalam pengumpulan data, penafsiran terhadap data serta penampilan terhadap hasilnya. Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian exsperimen. Menurut Riyanto (dalam Zuriah, 2005:57-58) Penelitian eksperimen merupakan metode penelitian yang sistematis, logis, dan teliti di dalam melaksanakan kontrol terhadap kondisi. Dalam melakukan eksperimen peneliti memanipulasi suatu stimulis, treatment atau kondisi-kondisi eksprimental, kemudian mengobservasi pengaruh yang diakibatkan oleh adanya perlakuan atau manipulasi tersebut. Perlakuaan pada penelitian ini yaitu penerapan pendekatan pembelajaran induktif pada siswa kelas VIII MTsN Rukoh. 216

217 Populasi dan Sampel Pada penelitian ini yang menjadi populasi yaitu seluruh siswa kelas VIII MTsN Rukoh sebanyak 6 kelas, sedangkan sampel dari penelitian dipilih secara acak yaitu siswa kelas VIII-1 MTsN Rukoh yang berjumlah 30 orang. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini menggunakan data tes hasil belajar dan observasi. Tes hasil belajar dilakukan setelah proses pembelajaran berlangsung. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tes hanya dengan tes akhir (post-test) saja. Tes akhir digunakan untuk menguji taraf penguasaan atas materi yang telah diajarkan. Setelah data-data penelitiannya terkumpul, kemudian data tersebut diolah dengan statistik yang sesuai. Untuk data yang telah disusun dalam tabel frekuensi, maka nilai rata-rata ( x ) dan varians ( ) dihitung dengan rumus: dengan: x : nilai rata-rata f i x i n fi xi x (1) f : frekuensi kelas interval data : nilai tengah : banyak data s i 2 2 n f x i i n n 1 Selanjutnya untuk menguji normalitas data, digunakan rumus Chi-kuadrat sebagai berikut: k 2 2 oi Ei E i 1 i f x i 1 2 s 2 dengan O i E i : frekuensi nyata hasil pengamatan : frekuensi teoritis Dengan dk ( k 3) dan 0, 05 kriteria pengujiannya adalah terima 2 hitung 2 tabel. H o jika Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H 0: μ μ 0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif belum mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh) Ha : μ > μ 0 (Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh) Jika data berdistribusi normal maka pengujiannya menggunakann uji-t, menurut sudjana (2005:227) untuk uji t. t = x μ 0 s/ n Keterangan: t = Hasil hitung distribusi korelasi x = Rata-rata sampel S = Simpangan baku 217

218 n μ 0 = Banyaknya data = 70, merupakan nilai standar yang menyatakan siswa mencapai taraf ketuntasan. dengan kriteria pengujian tolak H 0 jika t > t 1-α, terima H 0 jika t berharga lainnya dengan derajat kebebasan (dk) = (n 1). Pembahasan Data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah nilai tes akhir (post-test) yang berbentuk essay yang diberikan kepada siswa kelas VIII MTsN Rukoh. Soal essay terdiri dari 5 soal 1. soal tentang unsur-unsur prisma dan limas 2. soal tentang luas prisma 3. soal tentang volume prisma 4. soal tentang luas limas 5. soal tentang volume prisma dari tes diatas didapat data dari hasil belajar siswa dengan menggunakan pendekatan induktif pada materi prisma dan limas. Adapun nilai yang diperoleh dari tes akhir (post-test) siswa adalah sebagai berikut: 218 NO tabel 1 nilai hasil belajar siswa NIS siswa Nilai hasil belajar siswa

219 Dari data diatas maka nilai tertinggi adalah 100 dan nilai terendah adalah 45. Selanjutnya dari data nilai hasil belajar siswa diperoleh rata-rata (x ) = 77,67simpangan baku (s) = 13,43, Pada taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (k 3) = 3, maka diperoleh dari tabel chi-kuadrat χ 2 (0,95)(3) = 7,81, karena χ 2 hitung < χ2 yaitu 7,29 < 7,81 maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa tabel Sebaran data tes hasil belajar siswa/siswi MTsN Rukoh mengikuti distribusi normal. Oleh karena data hasil belajar matematika dengan menggunakan pendekatan pembelajaran induktif berdistribusi normal maka pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan rumus uji t. Dari hasil analisa data secara statistik yaitu dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan = 29 diperoleh t hitung = 3,13 dan t tabel = 1,70 sehingga t hitung t tabel yaitu 3,13 1,70. Ini berarti t berada pada daerah tolak H 0 dan terima H 1. Dengan demikian Penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menganalisis ketuntasan hasil belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas di kelas VIII MTsN Rukoh. Pada proses pembelajaran guru menggunakan pendekatan induktif, pendekatan pembelajaran induktif ini dimulai dengan memberikan contoh-contoh soal kepada siswa kemudian siswa menyimpulakan rumus dari contoh-contoh tersebut, proses belajar mengajar dengan menggunakan pendekatan induktif ini berlangsung selama 3 kali pertemuan dan 1 kali post tes, pertemuan pertama peneliti menerapkan pendekatan induktif untuk mengajarkan unsur-unsur prisma dan limas. Pertemuan kedua peneliti mengajarkan luas dan volume prisma dan pertemuan ketiga guru mengajarkan luas dan volume limas. Dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif peneliti menggunakan alat peraga sebagai media pembelajaran, peneliti memberikan pengertian prisma dan limas kemudian siswa menemukan jaring-jaring prisma dan limas. Pertemuan kedua dan ketiga peneliti memberikan contoh-contoh lalu siswa menemukan rumus dari contoh-contoh yang telah diberikan, dalam pembelajaran ini siswa dibentuk menjadi beberapa kelompok, setiap pembelajaran siswa diberi LKS untuk diselesaikan dan dipersentasikan, hal ini bertujuan agar siswa lebih memahami dan mengemukan pendapat mereka dalam menemukan rumusrumus dari contoh yang telah diberikan. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan induktif pada materi prisma dan limas membuat siswa memahami konsep dasar sehingga mereka bisa menemukan rumus-rumus luas serta volume prisma dan limas dengan alas yang berbeda-beda. Simpulan Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan diperoleh kesimpulan bahwa penerapan pendekatan pembelajaran induktif mencapai tingkat ketuntasan belajar siswa pada materi bangun ruang prisma dan limas kelas VIII MTsN Rukoh Daftar Pustaka Anitah, Sri Dkk. (2007). Strategi Pembelajaran Matematika:Universttas Terbuka: Jakarta. Maha, Ramly. (2007). Rancangan Pembelajaran Desain Instruksional. Banda Aceh: Yayasan Pena Ar-Raniry Press. 219

220 Maulina Sri, (2011). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Deduktif Pada Materi Persamaan Kuadrat Di Kelas X SMA Negeri Lubuk Ingin Aceh Besar Tahun Ajaran 2010/2011. Banda Aceh: FKIP Unsyiah. Noviani. (2013). Hasil Belajar Siswa Dengan Menggunakan Pendekatan Induktif Dan Pendekatan Deduktif Pada Materi Kubus Dan Balok Kelas VIII SMP Negeri 16 Banda Aceh. Banda Aceh: Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala. Rochmad. (2008). Proses Berpikir Induktif dan Deduktif dalam Mempelajari Matematika (online) US:official.pdf, diakses 3 Februari Sagala, syaiful. (2013). Konsep dan makna pembelajaran. Bandung: Alpabeta. Sanjaya, Wina. (2006). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media Grup. Sulistyani. (2010). Pendekatan Induktif dalam Pembelajaran Kimia Beracuan Konstruktivisme untuk Membentuk Pemikiran Kritis, Kreatif, dan Berkarakter. Jurdik kimia UNY: Jogyakarta. Sudjana. (2005). Metode Statistika. Bandung: Tarsito Zuriah, Nurul. (2005). Metedologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. 220

221 IMPLEMENTASI MODEL POLYA PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI PRODI PKK FKIP UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH Suhartati Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala Abstrak. Hasil observasi menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa Program Studi PKK FKIP Unsyiah Banda Aceh dalam meyelesaikan masalah matematika masih belum memadai. Oleh karena itu proses pembelajaran matematika harus dibenahi. Melalui penelitian ini dicoba menerapkan Model Polya pada pembelajaran matematika. Masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa selama pembelajaran matematika dengan model Polya?, (2) Bagaimana respon mahasiswa?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa?, (4) Apakah melalui pembelajaran matematika dengan model Polya mahasiswa dapat mencapai ketuntasan belajar? Masalah-masalah tersebut didasarkan pada Pembelajaran Matematika yang dilaksanakan sesuai dengan tahapan pemecahan masalah model Polya. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh jawaban atas masalah-masalah di atas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Dosen dan mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. (2) Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran matematika berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya. (3) Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang. (4) Pembelajaran Matematika mencapai ketuntasan belajar. Kata kunci: Masalah Matematika, Model Polya Pendahuluan Program Studi (Prodi) PKK adalah salah satu program studi yang ada di FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Mata kuliah Matematika merupakan mata kuliah umum yang wajib dijalani oleh setiap mahasiswanya, dengan bobot 2 SKS. Mata kuliah ini diasuh oleh Tim Pengajar dari yang berasal dari Prodi Matematika. Tujuan perkuliahan (pembelajaran) matematika di Prodi PKK adalah untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ditemuinya dengan menggunakan prinsipprinsip matematika. Tentu saja masalah-masalah yang dimaksud adalah masalah-masalah yang relevan dengan matematika. Dengan demikian pembahasan materi matematika di Prodi PKK lebih ditekankan pada penerapan matematika atau biasa disebut matematika terapan. Matematika terapan ini disajikan dalam bentuk kalimat verbal yaitu soal cerita yang biasanya dikenal sebagai masalah matematika. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan terhadap mahasiswa Prodi PKK yang menempuh mata kuliah Matematika semester ganjil tahun 2012/2013 menunjukkan bahwa kemampuan mahasiswa masih belum memadai. Mahasiswa cenderung tidak tertarik dengan kuliah matematika. Masalahmasalah matematika yang dibahas selama pembelajaran banyak yang tidak dipahami oleh mahasiswa sehingga mereka gagal menyelesaikannya. Sedangkan masalah matematika tersebut adalah masalahmasalah yang berkaitan dengan bidang keahlian Prodi PKK. Misalnya menentukan komposisi resep untuk membuat sejenis makanan yang merupakan bidang keahlian Tata Boga, atau tentang harga beli kain dan harga jualnya setelah menjadi pakaian yang merupakan masalah yang biasa ditemui bidang keahlian Tata Busana. Gejala yang terungkap di atas menunjukkan bahwa proses pembelajaran matematika di Prodi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh perlu dibenahi. Salah satu cara yang mungkin dapat dilakukan adalah memperbaiki model pembelajaran sehingga dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Menurut Hudojo (1998:2) strategi pembelajaran yang jitu adalah dengan melibatkan intelektual pelajar yaitu mahasiswa secara maksimal. 221

222 Salah satu alternatif yang mungkin dilaksanakan adalah menerapkan pembelajaran dengan mengikuti langkah-langkah Polya dalam menyelesaikan masalah. Menurut Polya (1973:5-6) terdapat empat tahap dalam menyelesaikan masalah matematika yaitu (1) memahami masalah, (2) membuat rencana, (3) melaksanakan rencana, dan (4) melihat kembali. Dengan menggunakan tahapan ini, mahasiswa dilibatkan secara maksimal dalam kegiatan pada masing-masing tahap. Penggunaan alternatif ini mengingat materi matematika di Jurusan PKK diberikan agar mahasiswa dapat menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan matematika, yang penyajiannya balam bentuk kalimat verbal. Di samping itu, hasil penelitian Dewi (2003:8) menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dengan model Polya akan memberi prosedur yang jelas dan runtut, sehingga mahasiswa dapat memahami masalah dengan mudah. Mengingat pentingnya perbaikan kualitas pembelajaran Matematika pada Prodi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh maka diadakan suatu penelitian tentang implementasi model polya dalam menyelesaikan masalah matematika. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana aktifitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya?, (2) Bagaimana respon mahasiswa terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya?, (3) Bagaimana tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang pembelajarannya dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya? Dan (4) Apakah pembelajaran Masalah Matematika yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya dapat mewujudkan ketuntasan belajar? Sesuai dengan permasalahan yang dijelaskan terdahulu, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan hal-hal berikut: (1) Aktifitas dosen dan mahasiswa dalam pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya, (2) Respon mahasiswa terhadap kegiatan dengan pembelajaran yang dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya. (3) Tingkat pencapaian hasil belajar matematika mahasiswa yang pembelajarannya dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya. (4) Tingkat ketuntasan belajar matematika mahasiswa dicapai dengan pembelajaran dilaksanakan dengan tahapan pemecahan masalah model Polya Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan informasi bagi dosen yang mengajar matematika terapan lainnya dalam menentukan strategi dan model pembelajaran matematika, menjadi acuan dalam pengembangan sarana penunjang proses belajar matematika pada materi pokok yang lain dan menjadi masukan bagi guru/dosen dalam upaya peningkatan penalaran dan kegiatan berpikir pelajar yang pada akhirnya dapat meningkatkan hasil belajar. Landasan Teoritis Pengertian Masalah Matematika Menurut Grouws (1992:337) masalah matematika adalah sesuatu yang menghendaki untuk dikerjakan atau pertanyaan yang tidak dapat langsung dijawab karena sukar. Hudojo dan Sutawidjawa (1996/1997:189) menegaskan bahwa masalah matematika tidak dapat dijawab langsung sebab masih harus menyeleksi informasi (data) yang diberikan. Jawaban terhadap masalah tersebut tidak merupakan jawaban rutin dan mekanistik, namun merupakan strategi dengan menggunakan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Suatu pertanyaan mungkin merupakan masalah bagi seseorang tetapi bukan merupakan masalah bagi orang lain. Dengan demikian jika dalam pembelajaran diharapkan pelajar dapat belajar dengan menyelesaikan masalah, maka masalah yang dihadapkan haruslah masalah yang akrab dengan pelajar sehingga pelajar dapat merasakan manfaatnya dan merasa terlibat langsung dalam masalah tersebut. Sehingga belajar melalui pemecahan masalah dapat dilakukan jika (1) pertanyaan yang dihadapkan harus sesuai dengan lingkungan atau pengalaman pelajar sehingga dapat dimengerti oleh pelajar, dan (2) tidak dapat dijawab langsung melalui prosedur rutin yang telah diketahui siswa. Penyelesaian masalah layaknya topik-topik lain yang diajarkan kepada pelajar matematika dan dipraktekkan secara berkala. Sering disertai dengan pengerjaan beberapa operasi dalam suatu masalah yang harus diselesaikan. Strategi utama untuk penyelesaian masalah matematika adalah memahami 222

223 kata-kata kunci yang terdapat dalam masalah. Kata-kata kunci tersebut akan memberikan petunjuk konsep-konsep dan prosedur-prosedur yang harus digunakan untuk menyelesaikan masalah yang dimaksud. Misalnya selisih, perbedaan atau sisa yang biasanya menunjukkan operasi pengurangan; dikumpulkan atau jumlah yang biasanya menunjukkan operasi penjumlahan. Penilaian tentang keterampilan menyelesaikan masalah dapat ditinjau berdasarkan pola penyelesaian yang dikerjakan pelajar. Menyelesaikan Masalah Matematika dengan Tahapan Polya Menurut Gagne (1984:79) belajar penyelesaian masalah merupakan tipe belajar paling tinggi di antara tipe belajar yang dikemukakannya. Tipe belajar ini di samping menuntut dikuasainya konsep dan prinsip yang memadai, juga menuntut adanya kemampuan memilih konsep dan prinsip untuk diselesaikan sesuai dengan kebutuhan. Sehingga tak jarang penyelesaian masalah menjadi topik yang tidak mudah untuk dimengerti, karena merupakan proses yang akan menyerap program (berupa memori dalam benak) secara keseluruhan dan menyediakan kondisi yang memungkinkan konsep dan keterampilan dapat dipelajari. Diharapkan melalui pengajaran penyelesaian masalah para pelajar mempunyai bekal berupa pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi masalah matematika dan masalah-masalah yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari yang melibatkan matematika. Penyelesaian masalah matematika melibatkan proses dan kegiatan yang kreatif dari pikiran pelajar untuk menemukan cara-cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Ini merupakan proses tentang bagaimana pengetahuan diorganisasi, dipresentasikan secara simbolik di dalam ingatan jangka panjang dan dikaitkan secara efisien pada waktu menyelesaikan masalah. Ini artinya seseorang akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah matematika jika tidak mempunyai konsep dan kaidah yang dapat digunakan untuk menemukan jawaban. Ruseffendi (1988) mengemukakan di Amerika dan Inggris langkah-langkah yang pelajar lakukan dalam menyelesaikan masalah matematika adalah seperti yang dianjurkan Polya. Menurut Polya (1973:5-6) langkah-langkah untuk menyelesaikan masalah matematika adalah sebagai berikut: a. Memahami masalah (to understand the problem) Pada tahap ini yang terjadi adalah proses memahami masalah. pelajar harus menyimpulkan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dalam masalah yang diberikan. b. Membuat rencana (to make a plan) Pada tahap ini diperlukan kemampuan mengabstraksi masalah untuk membuat rencana menyelesaikan masalah. Umumnya dinyatakan dalam bentuk model matematika atau kalimat matematika. c. Melaksanakan rencana (carry out a plan) Pada tahap ini dilakukan proses komputasi, sehingga dituntut kemampuan memahami konsep yang terkait dengan model matematika dan kemampuan melakukan komputasi. d. Melihat kembali (look back) Pada tahap ini penyelesaian yang telah dilaksanakan dilihat dan diperiksa kembali. Dapat juga dilakukan dengan menguji selesaian melalui cara yang berbeda dari yang telah dilaksanakan. Terdapat kelebihan dari pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya. Menurut Meiring (1980:21) kelebihan pemecahan masalah dengan menggunaan tahapan Polya adalah : 1. membuat siswa berhati-hati mengenai langkah-langkah dalam proses pemecahan masalah. 2. menyediakan kerangka kerja yang tersususn rapi untuk menyelesaikan masalah yang komplek dan panjang, 3. membantu pelajar mengorganisasikan usahanya dalam pemecahan masalah. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kampus FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. Subjek penelitian adalah 15 orang mahasiswa Program Studi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh yang menempuh mata kuliah matematika pada semester ganjil tahun 2013/2014. Mengadaptasi tahapan Polya tersebut maka pembelajaran matematika pada Prodi PKK FKIP Universitas Syiah Kuala Banda Aceh direncanakan akan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1. Memberikan masalah matematika (oleh dosen) 2. Mahasiswa mengidentifikasi komponen-komponen yang diberikan dalam masalah baik berupa pernyataan ataupun pertanyaan. 223

224 3. Mahasiswa menyusun rancangan penyelesaian masalah dalam bentuk model matematika. Pada tahap ini, jika diperlukan akan dilakukan diskusi (Tanya jawab) tentang konsep-konsep yang diperlukan untuk pelaksanaan rencangan penyelesaian masalah. 4. Mahasiswa melaksanakan rancangan penyelesaian masalah yang telah disusun 5. Memeriksa kembali langkah-langkah yang telah dilakukan secara teliti. Pembelajaran dilakukan dalam kelompok koperatif. Setiap kelompok terdiri dari 5 sampai 6 mahasiswa. Masing-masing tahapan (tahap 2 sampai tahap 5) selalu diakhiri dengan diskusi kelas untuk menghasilkan rumusan yang benar. Setiap kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan atau pun ide-idenya tentang apa yang sedang dipelajari. Dalam hal ini dosen berperan sebagai fasilitator dan mediator. Ada tiga jenis data yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu aktifitas dosen dan mahasiswa selama kegiatan pembelajaran, respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran, hasil belajar mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran. Untuk memperoleh data aktivitas dosen dan mahasiswa, dilakukan pengamatan selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan lembar observasi. Untuk memperoleh data respon mahasiswa, kepada siswa diminta tanggapannya terhadap kegiatan perkuliahan dengan menggunakan angket. Untuk memperoleh data hasil belajar kepada mahasiswa diberikan tes setelah kegiatan perkuliahan berlangsung. Analisis data penelitian menggunakan statistik deskriptif. Untuk menjawab pertanyaan penelitian dilakukan analisis data sebagai berikut: 1. Data hasil observasi dianalisis untuk mendeskripsikan kegiatan dosen dan mahasiswa selama kegiatan pembelajaran berlangsung, analisis hasil observasi dilakukan dengan menggunakan persentase. Kategori pengamatan merupakan hasil adaptasi bentuk yang dikembangkan oleh Mukhlis (2005:72) 2. Data hasil angket dianalisis dengan mencari persentase jawaban mahasiswa untuk setiap butir yang ditanyakan dalam angket. Respon siswa dikatakan positif jika jawaban siswa terhadap pernyataan positif untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran diperoleh persentase % (Mukhlis, 2005:73). 3. Tingkat penguasaan siswa ditentukan dengan menggunakan kriteria rata-rata tingkat penguasaan mahasiswa yang dikemukakan oleh Suherman (dalam Dewi & Hamid, 2009,16) yaitu tingkat penguasaan % (sangat tinggi), 80 89% (tinggi), 65-79% (sedang), 55-64% (rendah), dan 0-55% (sangat rendah), 4. Untuk Kriteria ketuntasan belajar yaitu seorang mahasiswa dikatakan telah tuntas belajar apabila telah memiliki daya serap 65% ke atas, dan ketuntasan klasikal tercapai jika paling sedikit 85% mahasiswa di kelas tersebut telah tuntas belajar (Mulyasa, 2003:99). Hasil Penelitian Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran Tabel 1. Aktivitas Dosen Selama Kegiatan Perbelajaran. No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas Dalam Pembelajaran (%) 1 Menampilkan masalah yang relevan dengan bidang keahlian PKK dan meminta mahasiswa mencoba menyelesaikan masalah 12,5 2 Menjelaskan tahapan menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya 16,67 3 Memberi kesempatan mahasiswa menyampaikan pertanyaan atau pendapat 12,5 4 Membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan 29,17 polya 5 Membimbing mahasiswa mengkomunikasikan hasil kerja kelompok 18,75 6 Membimbing mahasiswa merangkum hasil belajar 10,42 7 perilaku yang tidak relevan dengan KBM.. 0

225 Tabel 2. Aktivitas Mahasiswa Selama Kegiatan Pembelajaran. No Kategori Pengamatan Rata-rata Persentase Aktivitas Dalam Pembelajaran (%) 1 Mencoba menyelesaikan masalah 12,92 2 Mendengarkan/memperhatikan /mencatat penjelasan dosen/teman 16,11 3 Menyampaikan pertanyaan atau pendapat 11,11 4 Secara berkelompok menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya 30,14 5 Mengkomunikasikan hasil kelompok 18,89 6 Merangkum hasil belajar 10,27 7 Perilaku yang tidak relevan dengan KBM 0,07 Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai. Hasil angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran No Aspek yang Dinilai Respon Siswa (%) 1. Pendapat mahasiswa terhadap komponen kegiatan pembelajaranmu mengenai: Senang Baru 1. Materi Pelajaran ,67 2. LKS (aktivitas) 86,67 93,33 3. Cara Belajar 93,33 100,00 4. Cara Guru Mengajar 93,33 100,00 Rata-rata (%) 93, Mahasiswa yang berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran berikutnya seperti yang telah diikuti pada saat penelitian

226 Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran Tabel 4. Hasil Tes Akhir Mahasiswa Mahasiswa Nilai (angka) Nilai (huruf) Ketuntasan A1 77 B Tuntas A2 87 A Tuntas A3 80 B Tuntas A4 68 C Tuntas A5 75 B Tuntas B1 90 A Tuntas B2 75 B Tuntas B3 80 B Tuntas B4 75 B Tuntas B5 68 C Tuntas C1 66 C Tuntas C2 58 D Belum Tuntas C3 77 B Tuntas C4 87 A Tuntas C5 82 B Tuntas 14 dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar, sedangkan nilai rata-rata yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8, yaitu berada pada kategori sedang.. Pembahasan Aktivitas Dosen dan Mahasiswa selama Kegiatan Pembelajaran Data aktivitas dosen dan mahasiswa selama kegiatan pembelajaran dikumpulkan selama tiga kali tatap muka perkuliahan. Materi perkuliahan yang dibahas selama pengumpulan data terdiri dari Perbandingan Senilai, Perbandingan Berbalik Nilai, Penggunaan KPK dan FPB, dan Aritmetika Sosial. Observasi dilakukan hanya pada kegiatan inti perkuliahan yang melibatkan penyelesaian masalah melalui tahapan polya yaitu 15 menit setelah perkuliahan dimulai dan 5 menit sebelum perkuliahan berakhir. 15 menit pertama dilakukan untuk mengingat kembali konsep-konsep yang akan digunakan dalam penyelesaian masalah, sedangkan 5 menit terakhir digunakan untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap perlu berkenaan dengan masalah perkuliahan. Dengan demikian observasi berlangsung selama 80 menit pada masing-masing perkuliahan. Hasil pengamatan terhadap aktivitas dosen dan mahasiswa menunjukkan adanya kesesuaian persentase aktivitas yang dilakukan pada masing-masing komponen. Persentase aktivitas dosen terbesar yang dilakukan pada kegiatan membimbing dan memotivasi mahasiswa dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya. Kegiatan bimbingan ini meliputi tahap memahami masalah, membuat rencana, melaksanakan rencana menyelesaikan masalah dan melihat kembali hasil yang diperoleh. Terlihat umumnya mahasiswa tidak menemukan kesulitan dalam menentukan unsur-unsur yang diketahui dan yang ditanyakan dalam masalah (memahami masalah) Namun mahasiswa memerlukan bimbingan lebih banyak dibandingkan langkah yang lainnya pada tahap membuat rencana dan melaksanakan rencana menyelesaikan masalah. Bimbingan dilakukan dengan memberikan petunjuk penentuan variabel-variabel yang terdapat dalam masalah yang akan diselesaikan, sehingga variabel-variabel tersebut membentuk suatu model matematika yang harus diselesaikan. Pada tahap melaksanakan rencana menyelesaikan masalah, dosen memberi bimbingan dengan mengingatkan kembali prinsip-prinsip pelaksanaan operasi yang terlibat dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal ini terlihat peran dosen sebagai fasilitator yang memfasilitasi mahasiswa untuk belajar. Proses ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2002:428) bahwa dalam pembelajaran matematika pengajar berfungsi sebagai fasilitator yang berupaya mengarahkan begaimana pelajar memikirkan langkah-langkah dalam penyelesaian masalah. Sementara itu persentase aktivitas mahasiswa terbesar terjadi pada saat menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya yang dikerjakan secara berkelompok. Sesuai dengan aktivitas dosen, waktu yang digunakan dalam kegiatan ini lebih banyak digunakan untuk membuat rencana dan 226

227 melaksanakan rencana menyelesaikan masalah Pada tahap ini mahasiswa dituntut mempunyai konsep yang terkait dengan permasalahan. Mahasiswa harus mampu mengaitkan konsep-konsep yang relevan dengan masalah yang akan diselesaikan. Suydan & Weaver (dalam Orton, 1991) menyatakan bahwa pemecah masalah yang baik harus mempunyai kemampuan dalam mengaitkan konsep-konsep dan istilah-istilah matematika yang relevan dengan masalah. Hal ini diduga yang menjadi penyebab mahasiswa banyak menghabiskan waktu pada aktivitas menyelesaikan masalah dengan menggunakan tahapan polya. Respon Mahasiswa terhadap Kegiatan Pembelajaran Angket respon mahasiswa terhadap kegiatan pembelajaran dan perangkat pembelajaran yang diterapkan diisi oleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran selesai Respon mahasiswa di akhir kegiatan pembelajaran menunjukkan mereka masih berpendapat bahwa matematika merupakan materi sulit untuk dipahami. Namun demikiant hasil angket juga menunjukkan respon positif dari mahasiswa untuk mengikuti kembali kegiatan pembelajaran dengan menggunakan strategi yang diterapkan selama penelitian. hal ini menunjukkan bahwa strategi pembelajaran dengan menggunakan tahapan polya dalam menyelesaikan masalah matematika dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mempelajari matematika. Penggunaan masalah yang relevan dengan konteks keilmuan yang mereka pelajari memotivasi mahasiswa untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik. Mereka merasa masalahmasalah yang diberikan selama kegiatan perkuliahan adalah masalah-masalah yang lazim mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat Hudojo (2002:9) bahwa untuk menciptakan kecintaan pada matematika pemahaman harus didekatkan dengan kasus-kasus yang nyata yang dekat dengan realitas kehidupan sehari-hari pelajar. Sementara itu tahapan polya yang dilalui selama proses penyelesaian masalah memberikan fasilitas bagi mahasiswa untuk dapat mengkaji masalah secara terstruktur sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan baik pula. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tahapan polya merupakan strategi yang tepat dalam pembelajaran matematika PKK sehingga dapat memotivasi mahasiswa untuk tertarik mengikuti perkuliahan matematika. Hasil Tes Akhir setelah Kegiatan Pembelajaran Tabel 4. menunjukkan bahwa nilai terendah yang diperoleh mahasiswa setelah kegiatan pembelajaran adalah 58. Dan ini adalah satu-satunya mahasiswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar. Adapun nilai rata-rata yang diperoleh mahasiswa adalah 76,8. Dengan demikian penguasaan siswa terhadap materi berada pada tingkat sedang. Di samping itu siswa juga mencapai tingkat ketuntasan belajar secara klasikal, karena 14 mahasiswa dari 15 mahasiswa (93,33%) telah mencapai ketuntasan belajar secara individual. Ketercapaian ini diduga akibat pengaruh penggunaan strategi yang tepat selama pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjadi (1992:11) bahwa untuk mencapai sesuatu tujuan sangat diperlukan siasat, prosedur atau cara serta teknik yang akan digunakan. Untuk pencapai tujuan pembelajaran diperlukan strategi, pendekatan atau metode serta teknik tertentu. Dengan kata lain keberhasilan proses pembelajaran juga bergantung pada bagaimana suatu bahan ajar disampaikan. Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Dosen dan mahasiswa menunjukkan aktivitas yang relevan dengan kegiatan pembelajaran. 2. Mahasiswa memberikan respon positif dan berminat untuk mengikuti pembelajaran matematika berikutnya dengan menggunakan tahapan pemecahan masalah model Polya. 3. Hasil belajar matematika mahasiswa mencapai tingkat sedang. 4. Pembelajaran Matematika mencapai ketuntasan belajar. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi Dosen yang mengajarkan matematika pada Program Studi PKK disarankan untuk menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika. 227

228 2. Bagi dosen yang mengajar pada program studi yang Silabus Matematikanya lebih menekankan pada matematika terapan, agar menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika. 3. Sebelum menggunakan tahapan Polya dalam pembelajaran Penyelesaian Masalah Matematika, agar mempersiapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip matematika yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah. 4. Bagi peneliti lain yang berminat, dapat mencoba tahapan Polya ini pada materi matematika terapan yang lain. Daftar Pustaka Dewi, M Penerapan Pembelajaran Pemecahan masalah matematika Terapan dengan Model Polya. Jurnal BISTEK, Politeknik Universitas Brawijaya Malang, Volume 11, No 2, Agustus Dewi, R & Hamid, Y.H Efektifitas Model Pembelajaran Koperatif Sistem Sanwich dalam Upaya Meningkatkan Motifasi dan prestasi Belajar Keterampilan Siswa Di MTsN Tungkob. Jurnal MON MATA. Volume 11, No 1, Maret Gagne, R.M The Conditions of Learning and Theory Instructional. New York: Holt, Rinchar t Winston. Grouws, D.A Handbook of Research on Mathematics Teaching and Learning. New York: NCTM. Hudojo, H. (2002) Representasi Belajar Berbasis Masalah. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XI Bagian I. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Universitas Negeri MalangbTahun VIII. Edisi Khusus. Malang Juli. Hudojo, H dan Sutawidjaya, A. 1996/1997. Matematika. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru, Bagian Proyek Pengembangan Guru Sekolah Dasar. Mukhlis Pembelajaran Matematika Realistik Untuk Materi Pokok Perbandingan di Kelas VII SMP Negeri 1 Palangga. Tesis PPs Unesa.Surabaya. Mulyasa, E Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep, Karakteristik dan Implementasi). Bandung: Remaja Rosdakarya. Orton, A Learning Mathematics: Issues, Theory and Classroom Practice. (2 nd Ed). London: Cassel. Polya, G How to Solve it. New Jersey: Princeton University Press. Ruseffendi, E.T Pengajaran Matematika Modern untuk Otang Tua Murid dan Guru, dan SPG. Bandung: Tarsito. 228

229 PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING PADA MATERI ATURAN PENJUMLAHAN REEMAN DI SMAN 11 BANDA ACEH Tien Fitrina SMA Negeri 11 Banda Aceh Pendahuluan Mata pelajaran Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik dimulai dari Sekolah Dasar untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis dan kreatif serta kemampuan bekerja sama. Dalam membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih menggunakan paradigma pembelajaran lama dalam arti komunikasi dalam pembelajaran matematika cenderung berlangsung satu arah umumnya dari guru ke siswa, guru lebih mendominasi pembelajaran maka pembelajaran cenderung monoton sehingga mengakibatkan peserta didik (siswa) merasa jenuh dan tersiksa. Oleh karena itu dalam membelajarkan matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan pembelajaran yang direncanakan akan tercapai. Perlu diketahui bahwa baik atau tidaknya suatu pemilihan model pembelajaran akan tergantung tujuan pembelajarannya, kesesuaian dengan materi pembelajaran, tingkat perkembangan peserta didik (siswa), kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran serta mengoptimalkan sumber-sumber belajar yang ada. Perubahan kurikulum yang diberlakukan sejak 2013 memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa untuk aktif. Pada kurikulum baru, siswa bukan lagi menjadi obyek tapi justru menjadi subyek dengan ikut mengembangkan tema yang ada. Dengan adanya perubahan ini, tentunya berbagai standar dalam komponen pendidikan akan berubah. Baik dari standar isi, standar proses maupun standar kompetensi lulusan. Lalu bagaimana dengan standar penilaian? Apa yang akan dinilai oleh para guru dengan sistem pengajaran yang berbeda ini? Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, mengatakan bahwa standar penilaian pada kurikulum baru tentu berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Mengingat tujuannya untuk mendorong siswa aktif dalam tiap materi pembelajaran, maka salah satu komponen nilai siswa adalah jika si anak banyak bertanya. Jadi nanti didasarkan pada keaktifan anak bertanya saat sedang belajar. Biasanya kan anak-anak malas bertanya, ini tidak bisa lagi, ujar Nuh di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (21/12/2012). Selain keaktifan bertanya, komponen lain yang akan masuk dalam standar penilaian adalah proses dan hasil observasi siswa terhadap suatu masalah yang diajukan guru. Kemudian, kemampuan siswa menalar suatu masalah juga menjadi komponen penilaian sehingga anak terus diajak untuk berpikir logis. Kemampuan nalar ini juga yang penting. Di kurikulum baru, ini akan masuk standar penilaian untuk anak, jelas Nuh. Model pembelajaran discovery merupakan suatu cara untuk mengembangkan belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang akan diperoleh akan tahan lama dalam ingatan, tidak mudah dilupakan siswa. Dalam model pembelajaran ini siswa menemukan dan mengkonstruksi sendiri sehingga akan mendorong siswa berkreativitas menemukan konsep-konsep atau ide-ide baru dalam matematika yang belum pernah diketahui sebelumnya. Menurut Bruner dalam Prince & Felder (2006: 132), belajar dengan penemuan adalah pendekatan yang berbasis pemeriksaan di mana para siswa diberi suatu pertanyaan untuk menjawab, suatu masalah untuk dipecahkan, atau pengamatanpengamatan untuk menjelaskan, dan mengarahkan dirinya sendiri untuk melengkapi tugas-tugas mereka yang ditugaskan dan menarik kesimpulan-kesimpulan yang sesuai dari hasil-hasil, dan "menemukan" pengetahuan konseptual berdasarkan fakta yang diinginkan di dalam proses. Selain itu, siswa diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat menggunakan kemampuan bernalarnya dan membiasakan untuk senantiasa berpikir kreatif. Konsep-konsep yang didapat oleh siswa dari hasil penemuannya sendiri akan lebih bermakna dan pemahaman siswa terhadap konsep tersebut akan meningkat. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah Bagaimana penerapan model Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman di kelas XI-IA 2 SMAN 11 Banda Aceh. 229

230 Pembahasan Model-model Pembelajaran Model pembelajaran merupakan cara/teknik penyajian yang digunakan guru dalam proses pembelajaran agar tercapai tujuan pembelajaran. Ada beberapa model-model pembelajaran seperti ceramah, diskusi, demonstrasi, studi kasus, bermain peran (role play) dan lain sebagainya. Yang tentu saja masing-masing memiliki kelemahan dan kelebihan. Metode/model sangat penting peranannya dalam pembelajaran, karena melalui pemilihan model/metode yang tepat dapat mengarahkan guru pada kualitas pembelajaran efektif. Pengertian Model Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara, contoh maupun pola, yang mempunyai tujuan meyajikan pesan kepada siswa yang harus diketahui, dimengerti, dan dipahami yaitu dengan cara membuat suatu pola atau contoh dengan bahan-bahan yang dipilih oleh para pendidik/guru sesuai dengan materi yang diberikan dan kondisi di dalam kelas. Suatu model akan mempunyai ciri-ciri tertentu dilihat dari faktor-faktor yang melengkapinya. Toeti Soekamto dan Winataputra (1995:78) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar bagi para siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Lebih lanjut lagi, Joyce dan Weil (1986: 14-15) mengemukakan bahwa setiap model belajar mengajar atau model pembelajaran harus memiliki empat unsur berikut: 1. Sintak (syntax) yang merupakan fase-fase (phasing) dari model yang menjelaskan model tersebut dalam pelaksanaannya secara nyata. 2. Sistem sosial (the social system) yang menunjukkan peran dan hubungan guru dan siswa selama proses pembelajaran. 3. Prinsip reaksi (principles of reaction) yang menunjukkan bagaimana guru memperlakukan siswa dan bagaimana pula ia merespon terhadap apa yang dilakukan siswanya. 4. Sistem pendukung (support system) yang menunjukkan segala sarana, bahan, dan alat yang dapat digunakan untuk mendukung model tersebut. Model Discovery learning Penemuan (discovery) merupakan suatu model pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan pandangan konstruktivisme. Model ini menekankan pentingnya pemahaman struktur atau ide-ide penting terhadap suatu disiplin ilmu, melalui keterlibatan siswa ssecara aktif dalam proses pembelajaran. Menurut Wilcox (Slavin, 1977), dalam pembelajaran dengan penemuan siswa didorong untuk belajar sebagian besar melalui keterlibatan aktif mereka sendiri dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip, dan guru mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pengertian discovery learning menurut Jerome Bruner adalah metode belajar yang mendorong siswa untuk mengajukan pertanyaan dan menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip umum praktis contoh pengalaman. Dan yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif didalam belajar di kelas. Untuk itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasikan bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Menurut Bell (1978) belajar penemuan adalah belajar yang terjadi sebagai hasil dari siswa memanipulasi, membuat struktur dan mentransformasikan informasi sedemikian sehingga ie menemukan informasi baru. Dalam belajar penemuan, siswa dapat membuat perkiraan (conjucture), merumuskan suatu hipotesis dan menemukan kebenaran dengan menggunakan prose induktif atau proses dedukatif, melakukan observasi dan membuat ekstrapolasi. Pembelajaran penemuan merupakan salah satu model pembelajaran yang digunakan dalam pendekatan konstruktivis modern. Pada pembelajaran penemuan, siswa didorong untuk terutama belajar sendiri melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep dan prinsip-prinsip. Guru mendorong siswa agar mempunyai pengalaman dan melakukan eksperimen dengan memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip atau konsep-konsep bagi diri mereka sendiri. 230

231 Pembelajaran Discovery learning adalah model pembelajaran yang mengatur sedemikian rupa sehingga anak memperoleh pengetahuan yang belum diketahuinya itu tidak melalui pemberitahuan, sebagian atau seluruhnya ditemukan sendiri. Dalam pembelajaran discovery learning, mulai dari strategi sampai dengan jalan dan hasil penemuan ditentukan oleh siswa sendiri. Hal ini sejalan dengan pendapat Maier (Winddiharto:2004) yang menyatakan bahwa, apa yang ditemukan, jalan, atau proses semata mata ditemukan oleh siswa sendiri. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran discovery learning adalah suatu model untuk mengembangkan cara belajar siswa aktif dengan menemukan sendiri, menyelidiki sendiri, maka hasil yang diperoleh akan setia dan tahan lama dalam ingatan, tidak akan mudah dilupakan siswa. Dengan belajar penemuan, anak juga bisa belajar berfikir analisis dan mencoba memecahkan sendiri problem yang dihadapi. Kebiasaan ini akan di transfer dalam kehidupan bermasyarakat. Media Pembelajaran Media pembelajaran secara umum adalah alat bantu proses belajar mengajar. Segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan atau ketrampilan pebelajar sehingga dapat mendorong terjadinya proses belajar. Batasan ini cukup luas dan mendalam mencakup pengertian sumber, lingkungan, manusia dan metode yang dimanfaatkan untuk tujuan pembelajaran / pelatihan. Menurut Briggs (1977) media pembelajaran adalah sarana fisik untuk menyampaikan isi/materi pembelajaran seperti : buku, film, video dan sebagainya. Kemudian menurut National Education Associaton(1969) mengungkapkan bahwa media pembelajaran adalah sarana komunikasi dalam bentuk cetak maupun pandang-dengar, termasuk teknologi perangkat keras. Ada beberapa jenis media pembelajaran, diantaranya : a) Media Visual : grafik, diagram, chart, bagan, poster, kartun, komik b) Media Audial : radio, tape recorder, laboratorium bahasa, dan sejenisnya c) Projected still media : slide; over head projektor (OHP), in focus dan sejenisnya d) Projected motion media : film, televisi, video (VCD, DVD, VTR), komputer dan sejenisnya. Pada hakikatnya bukan media pembelajaran itu sendiri yang menentukan hasil belajar. Ternyata keberhasilan menggunakan media pembelajaran dalam proses pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar tergantung pada (1) isi pesan, (2) cara menjelaskan pesan, dan (3) karakteristik penerima pesan. Dengan demikian dalam memilih dan menggunakan media, perlu diperhatikan ketiga faktor tersebut. Apabila ketiga faktor tersebut mampu disampaikan dalam media pembelajaran tentunya akan memberikan hasil yang maksimal. Tujuan menggunakan media pembelajaran : Ada beberapa tujuan menggunakan media pembelajaran, diantaranya yaitu : a) mempermudah proses belajar-mengajar b) meningkatkan efisiensi belajar-mengajar c) menjaga relevansi dengan tujuan belajar d) membantu konsentrasi mahasiswa e) Menurut Gagne : Komponen sumber belajar yang dapat merangsang siswa untuk belajar f) Menurut Briggs : Wahana fisik yang mengandung materi instruksional g) Menurut Schramm : Teknologi pembawa informasi atau pesan instruksional h) Menurut Y. Miarso : Segala sesuatu yang dapat merangsang proses belajar siswa Tidak diragukan lagi bahwa semua media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media pembelajaran, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa untuk menentukan media pembelajaran tersebut. Strategi dalam Pembelajaran Discovery Learning Dalam pembelajaran dengan penemuan dapat digunakan beberapa strategi, strategi-strategi yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Strategi Induktif 231

232 Strategi ini terdiri dari dua bagian, yakni bagian data atau contoh khusus dan bagian generalisasi (kesimpulan). Data atau contoh khusus tidak dapat digunakan sebagai bukti, hanya merupakan jalan menuju kesimpulan. Mengambil kesimpulan (penemuan) dengan menggunakan strategi induktif ini selalu mengandung resiko, apakah kesimpulan itu benar ataukah tidak. Karenanya kesimpulan yang ditemukan dengan strategi induktif sebaiknya selalu mengguankan perkataan barangkali atau mungkin. 2) Strategi deduktif Dalam matematika metode deduktif memegang peranan penting dalam hal pembuktian. Karena matematika berisi argumentasi deduktif yang saling berkaitan, maka metode deduktif memegang peranan penting dalam pengajaran matematika. Dari konsep matematika yang bersifat umum yang sudah diketahui siswa sebelumnya, siswa dapat diarahkan untuk menemukan konsep-konsep lain yang belum ia ketahui sebelumnya. Penerapan Model Discovery Learning pada materi Aturan Penjumlahan Reeman a. Kesesuaian Materi dengan Model Model Discovery sangat sesuai penggunaanya pada materi ini, apalagi materi ini merupakan materi pertama yang belum pernah mereka terima sebelumnya. Dengan berbagai uji coba dalam bentuk soal, mereka akan menemukan bahwa dalam semakin banyak poligon, maka penjumlahan poligon-poligon tersebut akan semakin mendekati nilai yang sebenarnya. b. Komponen Model Pembelajaran Hamzah (2014:219) menjelaskan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh guru dalam menerapkan penggunaan model penemuan (discovery learning) adalah sebagai berikut: Tahap Tahap 1: Orientasi siswa pada masalah Tahap 2: Mengorganisasi siswa untuk belajar Tahap 3: Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok Tahap 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap 5: Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Kegiatan Guru Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan bahan yang diperlukan, dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasi tugas belajar yang berhubungan dengan masalah yang akan dipecahkan. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan hasil praktikum, dan membantu mereka untuk membagi tugas dengan temannya. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang mereka gunakan. Pada awal proses pembelajaran, guru memaparkan tujuan pembelajaran pada siswa. Guru memberikan siswa gambar-gambar kontekstual dan merespon secara positif setiap jawaban siswa serta memberi siswa kesempatan mengapresiasikan jawaban-jawaban mereka. Gambar-gambar tersebut adalah gambar-gambar yang mengarahkan siswa terhadap penggunaan aturan penjumlahan Reeman. Ditahap selanjutnya, melalui pembahansan materi, guru menggiring siswa memahami aturan penjumlahan Reeman melalui kurva dengan beberapa poligon, hingga siswa terarah pada definisi aturan penjumlahan Reeman tersebut. Melalui LKS, siswa pada masing-masing kelompok membahas topik tentang konsep integral tentu dalam aturan penjumlahan Reeman dan menyelesaikan kegiatan yang terdapat pada LKS. Guru mengklarifikasi jika terjadi beberapa kesalahan sewaktu wakil kelompok mempresentasikan hasil pengamatan, pemecahan masalah, dan diskusi tentang konsep aturan penjumlahan Reeman ke depan kelas, sedangkan kelompok lain memberikan tanggapan. Tahap terakhir, guru membimbing siswa membuat kesimpulan tentang konsep integral tentu, menjawab beberapa pertanyaan refleksi yang diberikan guru. 232

233 c. Sistem Sosial Guru sebagai fasilitator dan motivator dalam membantu proses belajar siswa. Siswa harus aktif dalam memberikan ide-idenya dan mengembangkan pengetahuannya, keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Siswa juga mampu mencari atau memproses keterkaitan atau keterhubungan antara halhal yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dan siswa mampu mengemukakan hasil belajar didepan kelas. Sehingga peran guru adalah membantu siswa mampu menemukan keterkaitan antara pengalaman baru dengan pengalaman sebelumnya. Guru juga berperan dalam mendorong siswa dalam memperbaiki hasil mereka sendiri maupun hasil kerja kelompoknya. Pada pembelajaran ini siswa dibagi menjadi 5 kelompok ygng beranggotakan 5-6 orang. d. Prinsip Reaksi Berdasarkan gambar, guru membuat masalah yang realistis. Menyiapkan sumber belajar atau alat peraga yang dapat merangsang anak berpikir dan tidak sekedar menghafal. Pada saat pemberian latihan, siswa dituntun untuk tidak cepat menyerah dan berusaha memahami. Dalam setiap langkah siswa dapat munculkan pertanyaan mengapa atau bagaimana bahkan selanjutnya, guru harus mampu menjadi fasilitator sehingga anak dapat memahami materi dengan tepat. e. Sistem Pendukung Sarana dan prasarana yang digunakan dalam model pembelajaran Discovery adalah buku Matematika SMA kelas XII penerbit Erlangga dan Tiga Serangkai, LKS, Power Point, dan bahan yang ditampilkan langsung dari internet dengan alamat DU.KU/edukasi.net/Matematika/Integral/Integral%20sebagai%20limit%20jumlah.htm f. Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring Dampak Instruksional - Siswa dapat dengan mudah memahami materi dengan adanya ide-ide, gagasan-gagasan yang diciptakan karena siswa dituntut dari keadaaan yang sangat konkret. - Siswa dapat menggali potensi dirinya dalam mengerjakan soal. - Belajar untuk tidak menghafal, tetapi harus memahami masalah. Dampak Pengiring : - Siswa dapat lebih aktif dan kreatif dalam menyampaikan idenya. - Pengetahuan baru yang dibangun siswa berasal dari seperangkat ragam pengalaman sehari-hari. - Siswa menjadi lebih dapat menghargai perbedaan pendapat atau ide. Hasil Uji coba di Kelas Kegiatan yang dilakukan Proses pembelajaran ini dilaksanakan pada tanggal 6 Mei 2014 kelas XI-IA 3 SMAN 11 Banda Aceh dengan materi Aturan Penjumlahan Reeman. Materi prasyarat sebelum mempelajari materi ini adalah Luas Bangun Datar, Notasi Sigma, Menentukan titik tengah (terdapat dalam statistik), Limit, dan Differensial. Materi ini merupakan materi baru yang seharusnya mereka dapatkan di kelas XII nantinya. Gambargambar yang akan memotivasi siswa dan materi ajar ditampilkan dalam power point, disini siswa memahami bahwa tidak semua bangun datar berbentuk persegi, segi tiga atau bentuk-bentuk lain yang biasa mereka pelajari, tetapi ada bangun datar yang berbentuk kurva dan mereka akan mempelajari bagaimana menghitung luas daerah dibawah kurva tersebut. Guru membagikan LKS yang sudah dipersiapkan kepada masing-masing kelompok. Siswa bekerja sama dengan kelompoknya masing-masing untuk menyelesaikan LKS yang telah dipersiapkan oleh guru, sedangkan guru memantau siswa dalam kelompok untuk membimbing siswa. Setelah diskusi selesai semua maka perwakilan kelompok mempresentasikan hasil yang mereka dapatkan dan siswa lain menanggapi presentasi temannya. Akhirnya tujuan pembelajaran tercapai, siswa mampu menyelesaikan masalah yang diharapkan dapat bermanfaat dalam kehidupannya. Suasana di Kelas Suasana kelas sangat tertib saat mereka mengerjakan LKS dan mereka berusaha untuk mempelajari pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam LKS tersebut, bahkan mereka ingin menyelesaikan soal tersebut 233

234 dengan rapi, benar, dan tepat. Siswa juga sangat bersemangat di dalam kelas, mereka bertanya tentang hal yang mereka belum mengerti. Komentar Siswa Di akhir pertemuan, guru meminta siswa menjawab angket yang diberikan berupa 10 pernyataan yang harus dipilih siswa. Pernyataan-pernyataan ini memiliki pilihan jawaban: sangat setuju, setuju, raguragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Ketercapaian Tujuan Pembelajaran Sesuai dengan tujuan pembelajaran pada silabus, 100% siswa mampu menjawab soal-soal yang diberikan, namun 80% mereka lupa menggambar poligon. Mereka hanya berpedoman dengan soal dan proses pengerjaan dan mengabaikan gambar poligon dalam kurva yang menjadi pendukung pengerjaan soal. Ketika diselidiki, ternyata mereka menganggap bisa menyelesaikan soal tanpa menggambar terlebih dahulu. Hal ini tentu saja mengurangi nilai karena gambar merupakan bagian dari LKS. Namun dari jawaban yang mereka peroleh pada lembar kerja, tujuan pembelajaran tercapai mengingat ini adalah materi baru dan metode baru buat mereka. Komunikasi/strategi/kreativitas/karakter Pada saat PBM berlangsung, tidak semua siswa aktif bertanya. Sebagian siswa hanya melihat, mendengar, dan mengerjakan. Namun situasi ini dapat diatasi apabila guru menguasai kelas, dengan arti dapat mengkondisikan kelas agar terlihat aktif. Karakteristik perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif terjadi terutama saat mereka di dalam kelompok belajar. Simpulan dan Saran Simpulan Model discovery learning adalah pembelajaran yang menuntut siswa untuk berpatisipasi aktif dalam proses belajar mengajar dengan kemampuan yang sudah dimiliki, agar mereka mendapatkan pengalaman untuk melakukan percobaan. Dari percobaan tersebut maka mereka akan menemukan jawaban atas pertanyaan dari proses pembelajaran tersebut. Dari respon yang diberikan dalam proses pembelajaran, siswa menyatakan senang belajar dengan model pembelajaran discovery learning, dengan alasan melalui pembelajaran dengan model pembelajaran ini menjadikan mereka lebih semangat dalam belajar matematika, lebih berani untuk bertanya dan berani untuk mengemukakan pendapat serta dengan penerapan model discovery learning dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis siswa. Saran Diharapkan kreatifitas guru dalam pembelajaran lebih ditingkatkan untuk menunjang minat siswa dalam belajar. Khususnya kepada berbagai pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pembelajaran matematika hendaknya senantiasa memperhatikan dan mengevaluasi proses pembelajaran yang berlangsung dan diharapkan mampu mengembangkan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang inovatif dengan tetap memperhatikan karakteristik siswa, salah satunya adalah kemampuan komunikasi matematis siswa. Daftar Pustaka Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono. (2004). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta. Budiningsih, Asri. (2005). Pembelajaran Moral Berpijak pada Karakteristik Siswa dan Jakarta: Rineka Cipta Budayanya. Depdiknas. (2006). Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas Djamarah dan Aswan Zain. (2002). Strategi Belajar Mengajar,Jakarta: PT RinekaCipta 234

235 Hamzah, Ali. (2014). Perencanaan dan Strategi Pembelajaran matematika. Jakarta: Rajawali pers Joyce, B.Weil, M.; Showers, B. (1986). Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon Mulyasa. (2008). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT. Rusdakarya Prince, M. J. & Felder, R. M. (2006). Inductive Teaching and Learning Methods: Definitions, Comparisons, and Research Bases. Journal of Engineering Education, 95 (2) Shadiq, F. (2009). Model-model Pembelajaran Matematika SMP. Sleman: Depdiknas Sutarto Hadi. (2005). Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip. Suyitno. (2006). Pemahaman Mahasiswa UPI Terhadap Hakikat Manusia dan Pendidikan dalam Rangka Menjadi Guru. Sekolah pasca Sarjana UPI. Bandung. Syah, Muhibbin. (2004). Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Jakarta: Rosda Toeti Soekamto & Udin S. Winataputra. (1995). Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Ditjen Dikti, Depdiknas DOKUMENTASI Guru memberikan contoh berupa gambar-gambar berbentuk kurva Guru menerangkan bagaimana cara menghitung luas sebuah kurva 235

236 Membentuk kelompok dan membagikan LKS Guru menjelaskan soal yang terdapat pada LKS Guru membimbing siswa dan merespon setiap pertanyaan Siswa mengerjakan LKS 236

237 Karakteristik yang terjadi dalam kelompok Perwakilan kelompok mempresentasikan hasil kerja kelompoknya Siswa dari kelompok lain menanggapi hasil kerja dari kelompok yang sedang presentase Guru memberikan sebuah simulasi yang ditampilkan secara online kepada siswa 237

238 Guru menuntun siswa melakukan refleksi terhadap materi yg baru dipelajari, mengomunikasikan materi untuk pertamuan selanjutnya dan memberikan PR Siswa menjawab angket yang diberikan oleh guru 238

239 PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN HYPNO-TEACHING DI KELAS VIII SMP PLUS AL-ATHIYAH ACEH BESAR Yuhasriati 1) dan Agam Mustafa 2) 1)2) Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala 1) 2) Abstrak. Matematika merupakan salah satu materi pelajaran yang harus dikuasai siswa, sementara Matematika memiliki objek yang abstrak. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan sedemikian hingga pembelajaran yang terjadi tidak membuat siswa bosan, tertekan, apalagi stress. Seorang guru harus mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah melaksanakan pembelajaran dengan hypno-teaching. Hypno-Teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan senantiasa guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan sugesti belajar; menggunakan ice breaking; memperhatikan modalitas belajar siswa; dan memberikan pujian. Tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypnoteaching, 2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Populasi penelitian ini adalah siswa kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dan sampel diambil secara random satu kelas dan terpilih kelas VIIIA dengan banyak siswa 26 siswa. Pengumpulan data dilakukan setelah materi diajarkan dengan pendekatan Hypno-Teaching yaitu melalui tes dan angket respon siswa. Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai dari hasil tes dan respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan menggunakan statistik uji-t pihak kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa respon siswa dianalisis dengan persentase. Hasil analisis data menunjukkan bahwa 1) siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan Hypno-Teaching dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai ketuntasan belajar matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar. Kata kunci: Hypno-teaching, Matematika Pendahuluan Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang ada disetiap jenjang pendidikan, baik di jenjang pendidikan dasar, menengah maupun perguruan tinggi. Peranan matematika sangat penting dalam menunjang pembangunan baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, maupun politik. Bagi siswa penguasaan matematika akan menjadi sarana yang ampuh untuk menpelajari mata pelajaran lain, karena matematika mengajarkan cara berfikir yang logis (rasional), kritis dan objektif. Matematika merupakan suatu ilmu yang didasarkan atas akal (rasio) yang berhubungan dengan benda-benda dalam pikiran yang abstrak. Menurut Soejadi (2000:13), karakteristik dari matematika adalah 1) memiliki objek kajian yang abstrak, 2) Bertumpu pada kesepakatan, 3) berpola pikir deduktif, 4) memiliki simbul yang kosong dari arti, 5) memperhatikan semesta pembicaraan, dan 6) konsisten dalam sistemnya. Salah satu karakteristik dari matematika adalah memiliki objek yang abstrak. Keseriusan dari guru sangat dibutuhkan dalam membelajarkan objek yang abstrak pada siswa. Guru harus menciptakan pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa, seperti amanah Undang-undang No. 20 pasal 40 ayat 2 yaitu guru dan tenaga kependidikan berkewajiban menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis Banyak masalah pembelajaran matematika yang harus dihadapi. Sebagaimana hasil wawancara dengan guru yang ada di SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar, menyatakan bahwa dalam pelaksanaan belajar mengajar guru menerapkan beberapa metode diantaranya metode ceramah, tanya jawab, dan pemberian tugas. Akibat dari pembelajaran tersebut adalah 1. Siswa tidak antusias dalam mengikuti pembelajaran, 2. Siswa kurangnya percaya diri 3. Siswa hanya diposisikan sebagai pendengar, sehingga membosankan 239

240 4. Proses pembelajaran yang monoton dan kurang menarik, dan 5. Rendahnya penguasaan siswa terhadap materi pelajaran matematika Kenyataan di atas merupakan masalah yang sangat urgen dan sangat mengkhawatirkan kualitas pendidikan matematika. Guru harus berani memilih/menetapkan cara membelajarkan siswa dengan menetapkan pola pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik matematika dan karakteristik siswa di sekolahnya masing-masing. Artinya, guru sebagai orang yang pertama dan yang utama bertindak sebagai pengembang kegiatan pembelajaran yang mengenal karakteristik siswa dengan baik yang dapat mengupayakan pembelajaran yang menyenangkan sehingga dapat meningkatkan kualitas pendidikan matematika di setiap sekolah tempat guru melaksanakan tugas profesionalitasnya. Pembelajaran yang menyenangkan menurut Rusman (2011:326) menyatakan bahwa, pembelajaran yang menyenangkan adalah adanya pola hubungan yang baik antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran Salah satu alternatif pembelajaran yang menyenangkan dapat dilakukan melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Hypno-teaching merupakan pembelajaran dalam suasana rileks, dengan senantiasa guru mengupayakan untuk mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. menciptakan kondisi pembelajaran yang sugestible. Bagaikan dokter ketika melakukan operasi pasiennya, supaya pssien tidak merasa sakit maka dokter perlu membiusnya terlebih dahulu. Demikian juga guru diharapkan mampu berkomunikasi dan dapat mempengaruhi pikiran siswa sehingga tercipta kondisi pembelajaran menjadi terfokus pada materi pelajaran. Hal ini dapat dipelajari melalui hypno-teaching. Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraian pada pendahuluan maka peneliti mencoba melakukan penelitian dengan judul Pembelajaran Matematika dengan Hypno-Teaching di Kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) Bagaimana respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching, 2) Bagaimana ketuntasan belajar matematika siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Sejalan dengan rumusan masalah maka tujuan dari penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching, 2) untuk mengetahui pencapaian ketuntasan belajar matematika siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching. Landasan Teoritis Pembelajaran Matematika Matematika adalah bahasa universal untuk menyajikan gagasan atau pengetahuan secara formal dan presisi sehingga tidak memungkinkan terjadinya multi tafsir. Matematika berperan sebagai alat komunikasi formal paling efisien. Penyampaiannya adalah dengan membawa gagasan dan pengetahuan konkret ke bentuk abstrak melalui pendefinisian variabel dan parameter sesuai dengan yang ingin disajikan. Penyajian dalam bentuk abstrak melalui matematika akan mempermudah analisis dan evaluasi selanjutnya. Pembelajaran matematika SMP mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan fungsinya sebagaimana sudah disebutkan di atas. Sebagaimana dicantumkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (2013:6), tujuan dari pembelajaran matematika agar siswa memiliki Kompetensi Inti (KI) sebagai berikut. KI 1 : Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang dianutnya. KI.2 : Menghayati dan mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro-aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa dalam pergaulan dunia. KI 3 : Memahami, menerapkan, dan menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dan metakognitif berdasarkan rasa ingin tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait penyebab fenomena dan kejadian, serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan masalah. 240

241 KI 4 : Mengolah, menalar, dan menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak terkait dengan pengembangan dari yang dipelajarinya di sekolah secara mandiri, bertindak secara efektif dan kreatif, serta mampu menggunakan metoda sesuai kaidah keilmuan. Berdasarkan KI dari Kurikulum 2013 menunjukkan bahwa pembelajaran menekankan pada pentingnya keseimbangan kompetensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Kemampuan matematika yang dituntut dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan: dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang metode-metode matematika, dilanjutkan dengan keterampilan menyajikan suatu permasalahan secara matematis dan menyelesaikannya, dan bermuara pada pembentukan sikap jujur, kritis, kreatif, teliti, dan taat aturan. Pembelajaran matematika yang dianjurkan oleh Kurikulum sebagaimana tercantum Kemdikbud (2013:x) dilakukan dalam 5 tahapan pembelajaran, yaitu: a. Apersepsi b. Interaksi sosial di antara siswa, guru, dan masalah c. Mempresentasikan dan mengembangkan hasil kerja d. Temuan objek matematika dan penguatan skemata baru e. Menganalisis dan mengevaluasi proses dan hasil penyelesaian masalah. Lima tahapan pembelajaran tersebut belum menjamin dapat memberi kemudahan bagi siswa untuk menguasai materi matematika yang disajikan guru. Percaya atau tidak, kondisi ruang kelas juga sangat mempengaruhi diri siswa. banyaknya siswa dalam ruangan, suhu ruangan, sikap dan ekspresi guru terhadap siswa dan masih banyak faktor lain ternyata mempunyai pengaruh terhadap kemampuan berpikir siswa. Terutama faktor guru yang merupakan pengaruh yang kuat terhadap kemampuan berpikir siswa. Guru yang masuk ruang kelas dengan tubuh lemas, letih, lesu, lunglai, dan lusuh, tentu akan mendapat respon yang sama dari siswanya. Bahasa tubuh atau komunikasi nonverbal yang dipancarkan oleh guru akan diterima oleh pikiran bawah sadar siswa. Guru bisa saja berusaha untuk menyajikan materi semenarik mungkin seperti tahapan yang tersebut di atas, namun apa yang ada di pikiran bawah sadarnya akan tertangkap oleh siswa. Siswa tahu jika guru mereka sebenarnya tidak semangat dan akibatnya siswa juga tidak bersemangat dalam belajar. Kondisi siswa yang tidak bersemangat tersebut merupakan efek dari hipnosis dari guru. Namun guru dapat melakukan hipnosis yang efeknya menumbuhkan semangat belajar siswa. Misalnya, guru matematika anda sangat ramah, perhatian, mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan materi matematika, anda belajar matematika dalam kondisi rileks dan nyaman, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda. Pembelajaran matematika yang bersemangat dapat dilakukan dengan 5 tahapan tersebut, tetapi harus dilakukan oleh guru dapat mengaktifkan 4 kompetensi yang diwajibkan kepadanya, sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 18 ayat 3, Kompetensi guru sebagai agen pembelajaran pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau pendidikan menengah adalah 1) kompetensi pedagogik, 2) kompetensi kepribadian, 3) kompetensi profesional, dan 4) kompetensi sosial. Terutama kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. Kompetensi kepribadian maksudnya kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial maksudnya kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitas, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Berdasarkan penjelasan di atas, indikator seorang guru mempunyai kompetensi kepribadian salah satunya adalah memiliki perilaku yang berpengaruh positif terhadap peserta didik dan indikator memiliki kompetensi soasial salah satunya adalah mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik. Proses pembelajaran harus memuat komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik. Menyangkut komunikasi, Setiawan (2010:9) menyatakan setiap komunikasi yang 241

242 berhasil adalah hipnosis. Oleh karena Kemampuan komunikasi dapat diaktifkan dengan mempertimbangkan pembelajaran dengan menggunakan hipnosis yang disebut hypno-teaching. Hypno-teaching Hypno-Teaching merupakan perpaduan dua kata hypnosis dan teaching. Teaching sudah kita tahu semua yaitu mengajar. Hipnosis didefinisikan oleh Almatin (2010: 73) sebagai suatu kondisi pikiran saat fungsi analitis logis pikiran direduksi sehingga memungkinkan individu masuk ke dalam kondisi bawah sadar (sub-conscius) sehingga tersimpan beragam potensi internal yang dapat dimanfaatkan untuk lebih meningkatkan kualitas hidup. Selanjutnya ada beberapa definisi yang sudah di rangkum oleh Gunawan (2012:3) untuk kata hipnosis, yaitu 1) hipnosis adalah suatru kondisi di mana perhatian menjadi sangat terpusat sehingga tingkat sugestibilitas meningkat sangat tinggi, 2) hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak, 3) hipnosis adalah seni eksplorasi alam bawah sadar, 4) hipnosis adalah kondisi kesadaran yang meningkat, 5) hipnosis adalah suatu kondisi pikiran yang dihasilkan oleh sugesti. Gunawan (2012:146) menyatakan bahwa, Proses pembelajaran yang terjadi di sekolah tidak terlepas dari proses hipnosis. Misalnya, anda pernah merasa sangat senang belajar matematika, karena guru anda guru matematika anda sangat ramah, perhatian, mengerti anda, dan bersemangat menjelaskan materi matematika, akibatnya matematika menjadi pelajaran favorit anda. Namun saat anda naik kelas, mata pelajaran matematika diajarkan oleh guru lain, yang anda rasakan tidak tertarik, tidak semangat, mudah bosan, atau bahkan mulai membenci matematika. Mata pelajaran yang sama diasuh oleh guru yang berbeda memberikan pengaruh yang tidak sama. Itu semua efek dari hipnosis yang tidak direncanakan oleh guru. Salah satu definisi hipnosis adalah seni komunikasi untuk mempengaruhi seseorang sehingga mengubah tingkat kesadarannya yang dicapai dengan cara menurunkan gelombang otak. Hipnosis adalah kemampuan berkomunikasi, baik dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain. Hypno-teaching menurut Triwidia (2010:4) adalah pembelajaran yang melibatkan pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Sejalan dengan itu hypno-teaching didefinisikan oleh Navis (2013:128) adalah pembelajaran melibatkan kemampuan guru untuk siswa ke kondisi kesadaran yang sangat mudah untuk menerima berbagai saran/sugesti. Jadi Hypno-teaching adalah pembelajaran dengan hipnosis, merupakan seni mengajar dengan mensugesti (mempengaruhi) pikiran siswa melalui komunikasi sehingga perhatian siswa menjadi sangat terpusat. Terpusatnya perhatian siswa dalam pembelajaran mengakibatkan tingkat sugestibilitas (daya terima informasi) meningkat sangat tinggi. Komunikasi dalam hipnosis ada kesan dimanipulasi, sedemikian hingga mendapatkan hasil yang baik atau efektif. Komunikasi dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Guru juga diharuskan mampu berkomunikasi secara efektif dengan peserta didik,maka komunikasi yang digunakanguru harus dimanipulasi dengan menggunakan pola kalimat berkekuatan hipnosis. Setiawan (2010:74-Ada beberapa pola kalimat yang berkekuatan hipnosis yaitu; 1. Pola take and give, digunakan guru untuk menjalin keakraban (building raport) dengan siswa. 2. Pola karena, digunakan agar memudahkan siswa untuk mengizinkan guru memberi saran atau melakukan sesuatu 3. Pola semakin... semakin..., digunakan untuk memperkuat apa yang sedang dilakukan dan mengarahkan siswa untuk melakukan sesuai dengan dengan yang guru inginkan. 242

243 4. Pola Double Binding digunakan agar siswa memilih salah satu pilihan yang telah guru arahkan untuk dipilih dari dua pilihan yang mengikat. 5. Polo Nominalisasi, Mengubah kata kerja menjadi kata benda untuk menyederhanakan proses dalam pikiran, karena pada prinsipnya otak kita menyukai yang sederhana, demikian juga otak siswa. 6. Pacing dan leading, Pacing adalah segala sesuatu yang merupakan kebenaran yang tidak terbantahkan. Leading adalah saran-saran atau perintah agar dijalankan siswa. Jadi pacing dan leading adalah teknik komunikasi untuk mendapatkan hati siswa (pacing), kemudian mengarahkan seperti keingingan guru. (lading) Pembelajaran dengan hipnosis (hypno-teaching) merupakan pembelajaran yang mengakomudir halhal yang dapat mengaktifkan pikiran bawah sadar siswa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru antara lain: 1. Menyapa siswa dengan ramah, antusias, dan bersemangat Menciptakan awal yang berkesan adalah penting karena akan mempengaruhi proses selanjutnya. Jika awalnya baik, menarik, dan memikat, maka proses pembelajaran akan lebih hidup dan menggairahkan. Oleh karena itu selalu awali kegiatan pembelajaran dengan memberikan sapaan hangat kepada siswa, misalnya anak-anak senang bertemu kalian hari ini, kalian adalah anak-anak bapak atau/ibu yang hebat. Sapaan antusias, hangat dan raut wajah cerah memantulkan energi positif yang dapat mempengaruhi semangat para siswa. Kita dapat bayangkan jika seorang guru ketika memulai pembelajaran dengan raut muka ruwet, tidak senyum, penampilan kusut, tentu saja suasana kelas menjadi menegangkan dan menakutkan. 2. Menciptakan suasana rileks Ciptakanlah lingkungan yang rileks, yaitu dengan menciptakan lingkungan yang nyaman. Oleh karena itu aturlah posisi tempat duduk secara berkala sesuai keinginan siswa. Bisa memakai format U, lingkaran, dan lain-lain. Selain itu, ciptakanlah suasana kelas dimana siswa tidak takut melakukan kesalahan. Untuk menanamkan keberanian kepada siswa dalam mengemukakan pendapat atau menjawab pertanyaan, katakan kepada siswa jika jawabannya salah katakan KAN LAGI BELAJAR. Karena sedang belajar, maka kesalahan adalah suatu yang lumrah dan tidak berdosa. 3. Memberikan sugesti belajar Memberikan sugesti supaya lebih efektif perlu terlebih dahulu mengaktifkan pikiran bawah sadar, caranya dengan menempatkan imajinasi dalam proses benar-benar berimajinasi. Imajinasi adalah penciptaan gambar dalam pikiran. Sugesti adalah suatu rangkaian kata-kata atau kalimat yang disampaikan dengan cara dan dalam situasi tertentu sehingga dapat memberi pengaruh bagi yang mendengar. 4. Menggunakan ice breaking Ice breaking berguna untuk menaikkan kembali derajat perhatian siswa. Hal ini perlu dilakukan oleh guru karena berdasarkan hasil penelitian, rata-rata setiap orang untuk dapat berkonsentrasi pada satu focus tertentu hanyalah sekitar menit. Setelah itu konsentrasi seseorang sudah tidak lagi dapat memusatkan perhatian (fokus). Seorang guru harus peka ketika melihat gejala yang menunjukkan bahwa siswa sudah tidak dapat konsentrasi lagi dengan melakukan ice breaking agar siswa menjadi segar dan konsentrasi kembali. Ice breaking bisa berupa yel-yel, tepuk tangan, menyanyi, gerak dan lagu, gerak anggota badan, senam otak, atau games. 5. Memperhatikan modalitas belajar siswa Modalitas belajar adalah cara termudah seseorang menyerap informasi. Setiap individu mempunyai modalitas belajar yang berbeda-beda. Depoter dan Hernachi (2010:112) dalam bukunya ada tiga modalitas belajar seseorang yaitu Auditory, Visual, dan Kinesthetic. Guru perlu menyadari bahwa siswa dalam satu kelas memiliki modalitas belajar yang berbeda-beda. Oleh karena itu, untuk mengakomodir semua siswa belajar dengan latar belakang yang berbeda tersebut guru dapat menggunakan metode yang bervariasi. 243

244 6. Berikan pujian Pujian dibutuhkan untuk peningkatan harga diri seseorang. Pujian merupakan salah satu cara untuk membentuk konsep diri seseorang. Maka berikanlah pujian dengan tulus pada siswa Anda. Khususnya ketika ia berhasil melakukan atau mencapai prestasi. Sekecil apapun bentuk prestasinya, tetap berikan pujian. Termasuk ketika ia berhasil melakukan perubahan positif pada dirinya sendiri, meski mungkin masih berada di bawah standart teman-temannya, tetaplah berikan pujian. Dengan pujian, seseorang akan terdorong untuk melakukan yang lebih dari sebelumnya. Guru yang melaksanakan pembelajaran matematika yang dengan hypno-teaching.seperti yang dilakukan oleh gurunya manusia. Menurut Chatib (2013:xviii), Gurunya manusia adalah guru yang fokus kepada kondisi siswa, yang senantiasa memandang setiap siswa adalah juara, mengajar dengan hati, mengartikan kemampuan siswa dalam arti yang luas, dan menjadi sosok yang menyenangkan bagi siswanya. Metode Penelitian Penelitian ini tergolong jenis penelitian eksperimen, karena peneliti memberikan suatu perlakuan berupa pembelajaran dengan hypno-teaching terhadap satu kelas objek yaitu siswa kelas VIII A SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar. Dalam hal ini Riyanto (2011:31) mengemukakan bahwa: penelitian eksperimen merupakan penelitian sistematis, logis dan teliti didalam melakukan control terhadap kondisi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang didasarkan atas perhitungan angka dimulai dari pengumpulan data, penafsir terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya (Arikunto,2006:12) Jadi penelitian ini menggunakan penelitian eksperimen dengan pendekatan kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar yang berjumlah 2 kelas, sedangkan yang menjadi sampel hanya satu kelas, yaitu Kelas VIII A SMP Plus Al- Athiyah Aceh Besar dengan banyak siswa 26 siswa Pengambilan sampel ini dilakukan secara purposiv sampling, yaitu keadaan kelas dan siswa yang dapat diterapkan pembelajaran dengan Hypno-Teaching. Materi matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah materi lingkaran. Pengumpulan data dilakukan setelah materi diajarkan dengan hypno-teaching yaitu melalui tes dan angket respon siswa. Soal tes berbentuk essay sebanyak 5 butir soal. Data dari penelitian ini berupa nilai dari hasil tes dan respon siswa melalui angket. Data yang berupa nilai dianalisis dengan menggunakan statistik uji-t pihak kanan dengan taraf signifikasi 5% dan data yang berupa respon siswa dianalisis dengan persentase. Hipotesis yang diajukan adalah : H 0 : µ = µ 0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar belum mencapai ketuntasan. H 0 : µ > µ 0 Rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai ketuntasan belajar. Nilai µ 0= 65 sesuai dengan KKM di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar merupakan nilai standar yang berarti bahwa siswa telah menguasai 65% materi pelajaran yang diberikan. Hasil Penelitian Data yang berupa respon siswa yang dikumpulkan melalui angket yang diisi oleh 26 orang siswa Kelas VIII A SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar setelah mengikuti pembelajaran dengan hypno-teaching dianalisis dengan presentasi. Hasil analisis terlihat bahwa banyak komponen yang diamati direspon positif yaitu persentasenya 80%. Komponen-komponen tersebut adalah siswa merasa senang terhadap cara suasana pembelajaran di kelas dengan persentase 82,14% dan siswa senang terhadap cara guru mengajar dengan persentase mencapai 100%, komponen lain yang direspon positif oleh siswa adalah siswa merasa baru terhadap suasana pembelajaran di kelas, dan cara guru mengajar serta siswa berkeinginan untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan dengan hipno-teaching sebesar 92,86%. Sedangkan ada aspek yang lainnya yaitu menyangkut materi pelajaran yang tidak merasa baru bagi siswa, sehingga berada pada kategori tidak positif, karena respon yang diperoleh menunjukkan hasil dibawah 80%. Respon siswa dikatakan efektif jika jawaban siswa terhadap pernyataan positif untuk setiap aspek yang direspon pada setiap komponen pembelajaran dan diperoleh persentase 244

245 sekurang-kurangnya 80%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa respon siswa terhadap pembelajaran dengan hipno-teaching adalah positif. Data yang dikumpulkan adalah nilai hasil belajar siswa yang dilakukan secara tertulis dan dilaksanakan setelah materi Linggkaran selesai diajarkan. Pengumpulan data hasil belajar dilakukan satu kali yaitu tes akhir. Data nilai hasil belajar siswa diperoleh rata-rata x = 69,96 dengan simpangan baku s = 12,07 Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α=0,05 Namun sebelumnya dilakukan uji normalitas sebaran data sebagai syarat dari uji t. Berdasarkan uji normalitas sebaran data pada taraf signifikansi α = 0,05 disimpulkan bahwa data dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Hasil dari pengujian hipotesis tentu saja berkaitan dengan perlakuan yang diberikan. Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α = 0,05. Nilai statistik hitung diperoleh thitung = 2,09. Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan dk = (n-1) = (26-1) = 25, diperoleh diperoleh t (0,95)(25) = ttabel = 1,71. Ternyata 2,09 > 1,71, atau t hitung > t tabel artinya t hitung berada dalam daerah kritis (daerah tolak H o). Karena itu keputusannya hiptotesis Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, rata-rata hasil belajar siswa melalui pembelajaran dengan hypno-teaching pada materi Lingkaran di kelas VIII SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar dapat mencapai ketuntasan belajar. Kesimpulan Berdasarkan analisis data maka dapat disimpulkan: 1) siswa memberikan respon yang positif terhadap pembelajaran dengan hypno-teaching dan 2) pembelajaran dengan Hypno-Teaching dapat mencapai ketuntasan belajar matematika siswa khususnya pada materi Lingkaran di SMP Plus Al-Athiyah Aceh Besar. Berdasarkan simpulan di atas, saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut: 1) Guru dapat menerapkan pembelajaran matematika dengan hypno-teaching sebagai salah satu alternatif pembelajaran yang dapat mencapai ketuntasan belajar siswa. 2) Menyangkut hipno-teaching khusus untuk pembelajaran matematika, guru dapat melakukan pembelajaran dengan Mathemagics, yaitu mengajarkan matematika dengan terlebih dahulu membongkar mental block yang menghambat diri anak. Daftar Pustaka Aminulloh, Yusron. (2013). Ubah Mindset Pembelajaran: 10 Langkah Mendidik Siswa Secara Kreatif dan Humanis. Yogyakarta: Aswaja Presindo Annonim, (2003). Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Annonim, (2005). Peraturan Pemerintah Nomar 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Annonim,. (2013). Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah pertama/madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Mendikbud. Almatin, Isma. (2010). Dahsyatnya Hypnosis Learning untuk Guru dan Orangtua. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Chatib, Munif. (2013). Gurunya Manusia: Menjadikan Semua Anak Istimewa dan Semua Anak Juara. Bandung: Kaifa DePorter, Bobbi dan Hernachi, Mike. (2010). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menenangkan. Terjemahan Abdurrahman, Alwiyah. Bandung: Kaifa. 245

246 DePorter, Bobbi dkk. (2011). Quantum Teaching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Terjemahan Nilandari, Ari. Bandung: Kaifa. Gunawan, Andi Wira (2003). Genius Learning Strategy. Jakarta: Gramedia Gunawan, Andi Wira (2012). Hipnosis-The Art of Subconcious Communication: Meraih Sukses dengan Kekuatan Pikiran. Jakarta: Gramedia. Navis, Ali Akbar. (2013). Hipnoteaching: Revolusi Gaya Mengajar untuk Melejitkan Prestasi Siswa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Rusman. (2011). Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru Jakarta: Raja Grafindo. Setiawan, Andrie. (2010). Kominikasi Dahsyat dengan Hipnosis. Jakarta:Visi Media Soejadi, R. (2000). Kiat Pendidikan Matematika di Indonesia. Jakarta: Dirjen Dikti Depdiknas. Sulistiani, Enny. (2012). Mendidik Tidak Mendadak: NLP Based dan EFT. Bandung: Khasanah Intelektual. Triwidia Jaya, Novian. (2010). Hypno-teaching: Bukan Sekedar Mengajar. Bekasi: D-Brain. Yuhasriati, (2012). Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan melalui Hypno-Teaching. Makalah Dipresentasikan pada Seminar Nasional Pendidikan Matematika, Tanggal 14 Desember 2012 di Auditorium FKIP Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh. 246

247 PEMBUATAN APLIKASI KARTU ALJABAR DIGITAL Zul Firdaus Mustafa 1, Juwita 2 1 SMP Negeri 2, Banda Aceh 2 Prodi Manajemen Informatika,Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh zulfirdaus@gmail.com Abstrak. Dalam dunia pendidikan penggunaan perangkat lunak komputer seperti adobe flash, i-spring atau powerpoint dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran yang interaktif, quis interaktif, dan juga alat peraga digital. Penelitian ini bertujuan untuk membuat alat peraga digital yang diberi nama aplikasi kartu aljabar digital. Ada empat tahap yang dilalui untuk melakukan pengembangan kartu aljabar digital tersebut, yaitu : perancangan antar muka pengguna, pengkodean, evaluasi dan publish. Penelitian ini telah berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu : halaman intro, halaman kesepakatan dan halaman latihan. Halaman kesepakatan menguraikan beberapa butir penting yang harus diingat oleh pengguna dalam menyelesaikan permasalah bentuk aljabar yang diberikan. Kesepakatan tersebut antara lain : warna merah untuk menyatakan nilai positif, warna biru untuk menyatakan nilai negatif. Variabel x 2 diwakili oleh persegi besar, variabel x diwakili oleh persegi panjang, dan satuan diwakili oleh persegi kecil. Persegi-persegi ini selanjutnya dikenal dengan nama kartu. Pada halaman latihan, pengguna terlebih dahulu menyusun kartu-kartu agar menutupi bidang putih yang juga terdapat pada halaman latihan yang sama. Bila diperlukan pengguna dapat memutar beberapa kartu persegi panjang merah atau persegi panjang biru. Setelah kartu tersusun maka pengguna dapat mengisi faktor faktor dari bentuk aljabar pada kolom pengisian sesuai dengan urutan kartu yang telah disusun. Pengguna dapat memeriksa kebenaran jawabannya dengan menekan tombol periksa. Untuk setiap jawaban benar pengguna memperoleh nilai 100. Kata kunci: Materi bentuk aljabar, Macromedia flash, kartu aljabar digital. Pendahuluan Pemanfaatan komputer dan perangkat lunak dalam aktivitas manusia sehari-hari selalu saja dapat dijumpai. Dalam dunia pendidikan misalnya, komputer dengan bantuan perangkat lunak khusus seperti adobe flash, i-spring dapat digunakan untuk membuat media pembelajaran interaktif, quis interaktif, dan juga alat peraga digital. Alat peraga adalah suatu alat yang dapat diserap oleh mata dan telinga dengan tujuan membatu guru agar proses belajar mengajar lebih efektif dan efisien (Sudjana, 2002). Penggunaan alat peraga dalam matematika salah satunya bertujuan untuk memetakan konsep-konsep abstrak kedalam bentuk konkret. Sebagai contoh, alat peraga kartu digunakan untuk materi aljabar. Penggunaan kartu dimaksudkan untuk menggantikan variabel yang menurut siswa sangat abstrak, misalnya untuk bentuk aljabar x 2 + x + 1. Pada umumnya siswa belum dapat membayangkan bentuk x, maka diperlukan kartu aljabar untuk mewakili bentuk x tersebut. Materi aljabar yang diajarkan pada kelas VIII semester pertama di jenjang SMP tergolong materi yang sulit dipahami oleh siswa, hal ini terbukti dari rendahnya nilai ulangan yang diperoleh siswa. Rata-rata siswa yang memenuhi nilai kriteria ketuntasan minimal (KKM) hanya lima orang saja dari 28 siswa. Data ini diperoleh dari hasil ulangan yang penulis lakukan di SMP Negeri 2 Banda Aceh pada tahun ajaran 2013/2014. Realitas ini memacu penulis berupaya lebih giat lagi, untuk membuat pembelajaran materi aljabar agar menjadi lebih menarik dan mudah dipahami oleh siswa. Penulis berasumsi bahwa kesulitan memahami permasalahan dalam aljabar menyebabkan turunnya motivasi belajar siswa. Sehingga penulis merasa penting untuk mengembangkan sebuah aplikasi kartu aljabar digital yang akan berfungsi sebagai alat peraga yang atraktif dan interaktif. Pada kartu aljabar digital ini siswa lebih ditekankan untuk menyusun kartu yang telah tersedia, sehingga memperoleh solusi faktorisasi yang benar untuk setiap permasalahan bentuk aljabar yang diberikan. 247

248 Tinjauan Pustaka Aljabar Aljabar adalah suatu cabang penting dalam matematika. Kata aljabar berasal dari kata al-jabr yang diambil dari buku karangan Muhammad ibn Musa Al-Khowarizmi ( M), yaitu kitab al-jabr wa al-muqabalah yang membahas tentang cara menyelesaikan persamaan-persamaan aljabar. Bentuk-bentuk seperti 4a, -5a 2 b, 2p + 5, 7p 2 pq disebut bentuk aljabar. Bentuk aljabar sepeerti 4a dan -5a 2 b disebut bentuk aljabar suku satu atau suku tunggal. Bentuk aljabar seperti 2p + 5 dan 7p 2 pq disebut bentuk aljabar suku dua atau binom. Untuk menentukan hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan pada bentuk aljabar, perlu diperhatikan hal-hal berikut : a. suku-suku yang sejenis b. sifat distributif perkalian terhadap penjumlahan pengurangan, yaitu : i) ab + ac = a (b+c) atau a(b+c)= ab + ac ii) ab-ac = a(b-c) atau a(b-c) = ab ac c. hasil perkalian dua bilangan bulat, yaitu : i) hasil perkalian dua bilangan bulat positif adalah bilangan bulat positif, ii) hasil perkalian dua bilangan bulat negative adalah bilangan bulat positif, iii) hasil perkalian bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negative adalah bilangan bulat negatif. Dengan menggunakan ketentuan-ketentuan diatas, maka hasil penjumlahan maupun hasil pengurangan pada bentuk aljabar dapat dinyatakan dalam bentuk yang lebih sederhana dengan memperhatikan sukusuku yang sejenis. Fokus pembahasan pada kartu aljabar digital adalah faktorisasi. Faktorisasi adalah menyatakan bentuk penjumlahan menjadi bentuk perkalian faktor-faktor. Bentuk penjumlahan suku-suku yang memiliki faktor yang sama dapat difaktorkan dengan menggunakan hukum distributif. Contoh : Faktorkanlah bentuk aljabar : x x + 16 Karena hasil kalinya bilangan positif, yaitu 16 dan hasil jumlahnya juga bilangan positif, yaitu 10, maka pasangan bilangan bertanda positif. Jadi, x x + 16 = (x + 2 )( x + 8). (Adinawan, 2006) Macromedia Flash 8 Pengembangan aplikasi kartu aljabar digital menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash 8. Macromedia Flash 8 adalah aplikasi standar authoring tool professional yang digunakan untuk membuat animasi untuk berbagai keperluan. Macromedia Flash 8 digunakan untuk mengolah gambar, animasi, suara, video. Sehingga Macromedia Flash cocok digunakan untuk membuat multimedia pembelajaran. Multimedia pembelajaran interaktif dapat digunakan untuk menjelaskan pokok bahasan pelajaran tertentu, atau dapat juga digunakan untuk mengembangkan latihan-latihan pendalaman dari pokok bahasan pelajaran tertentu (Juwita, 2013). Ada beberapa keuntungan menggunakan Macromedia Flash 8 antara lain : 1. ukuran movie file yang cukup kecil, sehingga waktu loading file cepat, 2. mempunyai kemudahan dalam melakukan import file dalam banyak pilihan sehingga lebih hidup, 3. file disimpan dalam tipe file.exe tanpa harus menginstal flash. 4. gambar tidak akan pecah ketika di zoom, 5. font tidak akan berubah meski tidak ada font dalam komputer, 6. dapat membuat tombol interaktif. 7. dapat dikonversi dan di-publish ke dalam beberapa tipe ekstensi seperti.swf,.html,.gif,.jpg,.png,.exe,.mov. (Nurtantio, 2013) 248

249 Metode Penulis menggunakan tahap-tahap pengembangan aplikasi seperti berikut : 1. Perancangan Antar Muka Pengguna Antar muka pengguna yang dibuat terdiri dari : halaman intro yang menampilkan judul aplikasi dan nama pembuat, halaman kesepakatan yang berisi aturan-aturan yang harus diingat selama proses latihan faktorisasi dan halaman latihan yang berisi permasalahan bentuk aljabar yang harus diselesaikan. Selain itu pada tahap perancangan ini, dirancang pula tombol-tombol navigasi. Kegiatan pada tahap ini juga menentukan sound yang akan digunakan untuk halaman intro. Pengaturan alur antar muka pengguna kartu aljabar digital adalah seperti gambar 1. berikut : Halaman intro Halaman Kesepakatan Halaman Latihan 2. Pengkodean Gambar 1. Alur halaman antar muka Setelah halaman selesai dirancang, penulisan kode-kode action script dilakukan, diantaranya adalah action script untuk tombol rotasi yang akan memutar kartu-kartu, action script untuk tombol navigasi, serta action script untuk movie clip. 3. Evaluasi Proses yang dilakukan pada tahap evaluasi ini adalah memastikan bahwa tombol-tombol pada aplikasi telah memberikan output yang sesuai. Misalnya pada tombol navigasi next harus menampilkan halaman selanjutnya. Pada tahap ini juga di periksa apakah sound telah berjalan sesuai dengan rencana. 4. Publish Tahap terakhir dari tahap pengembangan aplikasi kartu aljabar digital adalah tahap publish, format yang dipilih dalam tahap ini adalah window projection (exe). Publish dengan format lain juga dapat dilakukan sesuai kebutuhan. Hasil dan Pembahasan Faktorisasi bentuk aljabar merupakan salah satu materi matematika yang diajarkan untuk siswa kelas VIII SMP/MTs. Penelitian ini telah berhasil mengembangkan kartu aljabar digital yang dapat digunakan sebagai alat peraga untuk materi faktorisasi bentuk aljabar. Kartu aljabar digital yang dikembangkan terdiri dari tiga bagian utama, bagian pertama adalah halaman intro, pada halaman ini dituliskan judul dari aplikasi beserta nama pembuat dan instansi. Halaman intro menggunakan action script movieclip1._rotation +=10, untuk merotasikan movie clip bintang. Halaman intro disajikan pada gambar 2. Gambar 2. Halaman Intro Bagian kedua dari kartu aljabar digital adalah halaman kesepakatan, halaman ini menjelaskan beberapa kesepakatan yang harus diingat untuk memecahkan permasalahan bentuk aljabar. Guru terlebih dahulu menjelaskan bahwa kesepakatan tersebut hanya berlaku khusus untuk permasalahan bentuk aljabar 249

250 pada latihan dalam aplikasi kartu aljabar. Kesepakatan diperlukan untuk memudahkan siswa dalam memahami dan menyelesaikan permasalahan bentuk aljabar pada bagian latihan selanjutnya. Gambar 3. merupakan tampilan halaman kesepakatan. Gambar 3. Halaman Kesepakatan Pada gambar 3 terlihat bahwa perbedaan warna persegi menunjukkan perbedaan nilai, warna merah mewakili nilai positif dan warna biru mewakili nilai negatif. Variabel x 2 positif akan diwakili oleh persegi besar merah sedangkan persegi besar biru mewakili variabel x 2 negatif. Bagian ketiga dari kartu aljabar digital ini adalah halaman latihan seperti terlihat pada gambar 4. Gambar 3. Halaman Latihan Pengguna dapat langsung menyeret kartu-kartu, dan menyusunnya sesuai dengan permasalahan bentuk aljabar yang diberikan. Dalam menyusun kartu pengguna dapat memutar kartu ke kiri atau ke kanan agar menutupi semua daerah putih dibagian kanan. Bila kartu sudah tersusun dan menutupi daerah putih, maka pengguna melanjutkan mengisi kolom faktor-faktor bentuk aljabar (area dalam kurung). Bila pengguna telah yakin dengan jawabannya pengguna dapat menekan tombol periksa. 250 Gambar 4. Halaman Jawaban Benar. Untuk setiap permasalahan yang berhasil diselesaikan dengan benar pengguna memperoleh nilai 100. Bila pengguna ingin memperbaiki jawabannya, pengguna dapat menekan tombol reset seperti terlihat pada gambar 4. Kesimpulan Hasil dari penelitian ini berupa aplikasi kartu aljabar digital yang dikembangkan sebagai alat peraga untuk materi faktorisasi bentuk aljabar, target pengguna kartu aljabar digital ini adalah siswa SMP/MTs yang masih kesulitan untuk membayangkan bentuk konkret variabel yang digunakan dalam bentuk aljabar. Kartu aljabar digital terdiri dari tiga bagian, bagian pertama adalah bagian intro, bagian kedua bagian kesepakatan yang menguraikan butir-butir kesepakatan yang harus diingat dalam menyelesaikan bagian ketiga, yaitu halaman latihan. Halaman latihan berisi permasalahan bentuk aljabar, kartu-kartu yang harus disusun agar menutupi bidang putih pada halaman, serta kolom pengisian jawaban yang

Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis dan Karakter Siswa

Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis dan Karakter Siswa Model-Model Pembelajaran Berdasarkan Kurikulum 2013 untuk Mengembangkan Kompetensi Matematis dan Karakter Siswa Rahmah Johar Prodi Pendidikan Matematika, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh Email: rahmahjohar@fkip.unsyiah.ac.id

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Panji Faisal Muhamad, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sesuatu yang selalu menemani perjalanan kehidupan. Dengan pendidikan, manusia dapat mengembangkan potensinya. Seperti yang dijelaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran II. TINJAUAN PUSTAKA A. Masalah Matematis Guna memahami apa itu kemampuan pemecahan masalah matematis dan pembelajaran berbasis masalah, sebelumnya harus dipahami dahulu kata masalah. Menurut Woolfolk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam

BAB I PENDAHULUAN. daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, berkarakter dan mampu berkompetensi dalam perkembangan ilmu

Lebih terperinci

PROSIDING SEMINAR NASIONAL

PROSIDING SEMINAR NASIONAL Seminar Nasional Pendidikan Matematika Tema : Peningkatan Profesionalisme Guru Melalui Sutainable Pedagogy in Mathematics Education PROSIDING SEMINAR NASIONAL TEMA: PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU MELALUI

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu

BAB II LANDASAN TEORI. berasal dari kata courier yang berarti berlari (to run). Kurikulum berarti suatu 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Kurikulum Secara etimologis, istilah kurikulum (curriculum) berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang artinya tempat berpacu. Istilah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Pendidikan adalah upaya sadar untuk meningkatkan kualitas dan mengembangkan potensi individu yang dilakukan secara

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN OSCAR

PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN OSCAR PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR DENGAN MODEL PEMBELAJARAN OSCAR Iis Holisin 1), Chusnal Ainy 2), Febriana Kristanti 3) 1)2)3) Program Studi Pendidikan Matematika, Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proyek Kelompok Menurut Thomas (dalam Bell, 1978), pembelajaran metode proyek merupakan model pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada guru untuk mengelola pembelajaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia saat ini tidak bisa terlepas dari pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang sangat fundamental bagi kemajuan suatu bangsa sehingga menjadi kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan mutlak yang harus terpenuhi dari setiap individu, karena dengan pendidikan potensi-potensi individu tersebut dapat dikembangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus diarahkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap II. TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Dasar 1. Belief Siswa terhadap Matematika Secara umum belief diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan diri terhadap sesuatu. Belief siswa terhadap matematika adalah keyakinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Menengah Pertama adalah agar peserta didik memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maju dan berkembangnya suatu Negara dipengaruhi oleh pendidikan. Bagaimana jika pendidikan di suatu Negara itu makin terpuruk? Maka Negara tersebut akan makin

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Komunikasi Matematis Secara umum komunikasi dapat diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dimana individu atau beberapa orang atau kelompok menciptakan dan menggunakan

Lebih terperinci

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION

2014 EFEKTIVITAS PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN READING COMPREHENSION BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini disampaikan pendahuluan penelitian yang meliputi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model

II. TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Berbasis Masalah Model pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning), adalah model pembelajaran yang menjadikan masalah sebagai dasar atau basis bagi siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia akan mampu mengembangkan potensi diri sehingga akan mampu mempertahankan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan,

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan ide-ide melalui lisan, tulisan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembelajaran matematika di sekolah diantaranya adalah melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan, mengembangkan kemampuan memecahkan masalah,

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA Prabawati, M. N. p-issn: 2086-4280; e-issn: 2527-8827 ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI MATEMATIK MAHASISWA CALON GURU MATEMATIKA THE ANALYSIS OF MATHEMATICS PROSPECTIVE TEACHERS MATHEMATICAL LITERACY SKILL

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Teori Belajar yang Melandasi Problem Based Learning Teori yang melandasi Problem Based Learning adalah teori Vygotsky, Bruner dan Dewey. Teori Vgostky menjelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) merupakan salah satu lembaga pendidikan formal di Indonesia yang sederajat dengan Sekolah Menengah Atas (SMA). Perbedaan yang

Lebih terperinci

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS

PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS PENDEKATAN PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIS Yeni Yuniarti*) Abstrak Pembelajaran matematika yang berpusat pada guru, kurang memberikan kesempatan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama dalam proses pendidikan di sekolah. Pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat sangat membantu mempermudah kegiatan dan keperluan kehidupan manusia. Namun manusia tidak bisa menipu diri

Lebih terperinci

Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Mahasiswa pada Mata Kuliah Kalkulus III

Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Mahasiswa pada Mata Kuliah Kalkulus III Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika Vol. 1 No. 1, hal. 49-54, September 2015 Pengaruh Penggunaan Model Problem Based Learning terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Mahasiswa pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia merupakan faktor penting dalam membangun suatu bangsa. Penduduk yang banyak tidak akan menjadi beban suatu negara apabila berkualitas, terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sri Asnawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Matematika adalah salah satu mata pelajaran yang dipelajari oleh siswa dari siswa tingkat sekolah dasar, menengah hingga mahasiswa perguruan tinggi. Pada tiap tahapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada kurikulum berbasis kompetensi yang tertuang dalam lampiran Permen 23 Tahun 2006 (Wardhani, 2008:2) disebutkan bahwa tujuan pembelajaran matematika adalah:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai ilmu dasar segala bidang ilmu pengetahuan adalah hal yang sangat penting untuk diketahui. Matematika memiliki peranan penting dalam ilmu

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur

BAB II KAJIAN TEORI. hakekatnya adalah belajar yang berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur 9 BAB II KAJIAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Pembelajaran sebagai proses belajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, serta

Lebih terperinci

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA. Zuhrotunnisa ABSTRAK

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA. Zuhrotunnisa ABSTRAK DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA Zuhrotunnisa Guru Matematika MTs. Negeri Rakit 1 Banjarnegara cipits@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada pada manusia

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengembangkan diri sesuai dengan potensi yang ada pada manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting, sebab pendidikan merupakan salah satu sarana untuk dapat membentuk karakter manusia. Pendidikan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. atau menangkap segala perisitiwa disekitarnya. Dalam kamus bahasa Indonesia. kesanggupan kecakapan, atau kekuatan berusaha. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Kemampuan Komunikasi Matematika 2.1.1.1 Kemampuan Kemampuan secara umum diasumsikan sebagai kesanggupan untuk melakukan atau menggerakkan segala potensi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah penting untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi

BAB I PENDAHULUAN. memunculkan persaingan yang cukup tajam, dan sekaligus menjadi ajang seleksi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan masyarakat yang cenderung bersifat terbuka memberi kemungkinan munculnya berbagai pilihan bagi seseorang dalam menata dan merancang kehidupan masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maya Siti Rohmah, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi dewasa ini sangatlah pesat. Segala aspek kehidupan menjadi mudah dengan adanya teknologi. Arus informasi antar negara di dunia pun berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan matematika sangat berperan penting dalam upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Matematika bukan pelajaran yang hanya memberikan

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar

PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN MENGGUNAKAN MODEL Jozua Sabandar PENDAHULUAN Pembelajaran matematika di sekolah akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan akan pendekatan pembelajaran yang bernuansa konstruktifisme.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya pendidikan matematika dituntut harus mampu mengembangkan kemampuan berfikir yang dilandaskan pada kaidah-kaidah komunikasi, baik secara lisan maupun tulisan

Lebih terperinci

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) dalam Implementasi Kurikulum 2013

Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) dalam Implementasi Kurikulum 2013 Model Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning) dalam Implementasi Kurikulum 2013 Ada tiga model pembelajaran yang dianjurkan dalam penerapan Kurikulum 2013 antara lain: Discovery Learning (DL), Problem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pada masa global ini, menuntut sumber daya manusia yang berkualitas serta bersikap kreatif

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Teoretis

BAB II. Kajian Teoretis BAB II Kajian Teoretis A. Kajian Teori 1. Model Pembelajaran Missouri Mathematics Project (MMP) Menurut Slavin (Rahayu 2011, hlm. 9), Missouri Mathematics Project (MMP) adalah suatu program yang dirancang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran matematika merupakan salah satu unsur penting dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Matematika mempunyai andil dalam mengembangkan bidang

Lebih terperinci

Pendekatan PMRI sebagai Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Matematika

Pendekatan PMRI sebagai Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Matematika PRISMA 1 (2018) PRISMA, Prosiding Seminar Nasional Matematika https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/ Pendekatan PMRI sebagai Gerakan Literasi Sekolah dalam Pembelajaran Matematika Wulida Arina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dan kreativitasnya melalui kegiatan belajar. Oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Interaksi belajar mengajar yang baik adalah guru sebagai pengajar tidak mendominasi kegiatan, tetapi membantu menciptakan kondisi yang kondusif serta memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat sangat membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya yaitu aspek pendidikan.

Lebih terperinci

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP

PENERAPAN MODEL ADVANCE ORGANIZER UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN ANALOGI MATEMATIS SISWA SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika memiliki peran yang sangat luas dalam kehidupan. Salah satu contoh sederhana yang dapat dilihat adalah kegiatan membilang yang merupakan kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh oleh rakyatnya. Maju atau tidaknya suatu bangsa juga dapat dilihat dari maju atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dalam pengertian individu memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang dengan adanya pendidikan sebagai suatu kekuatan dinamis serta mempercepat perkembangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu pengetahuan universal yang mendasari perkembangan teknologi modern dan memiliki peranan penting yang dapat diterapkan dalam berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Memasuki abad ke-21, sistem pendidikan nasional menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam menyiapkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di dalam dunia yang terus berubah dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat, manusia dituntut memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis,

Lebih terperinci

ISBN :

ISBN : PENINGKATAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN MOTIVASI BELAJAR SISWA MELALUI PENDEKATAN SAINTIFIK TERINTEGRASI PADA MODEL PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING Tukaryanto 1, Sri Sutarni 2 1 Mahasiswa Pendidikan Matematika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sehari-hari. Beberapa diantaranya sebagai berikut: 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Matematika adalah bagian yang sangat dekat dengan kehidupan seharihari. Berbagai bentuk simbol digunakan manusia sebagai alat bantu dalam perhitungan, penilaian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba.

BAB I PENDAHULUAN. kesamaan, perbedaan, konsistensi dan inkonsistensi. tahu, membuat prediksi dan dugaan, serta mencoba-coba. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika mempunyai peranan sangat penting dalam perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Matematika juga dapat menjadikan siswa menjadi manusia

Lebih terperinci

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika

Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika Komunikasi dalam Pembelajaran Matematika Makalah Termuat pada Jurnal MIPMIPA UNHALU Volume 8, Nomor 1, Februari 2009, ISSN 1412-2318) Oleh Ali Mahmudi JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING

PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA MATA PELAJARAN BIOLOGI KELAS X SMA NEGERI 2 SURAKARTA TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : LAKSMI PUSPITASARI K4308019

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Pembelajaran Matematika Matematika (dari bahasa Yunani: mathēmatiká) adalah studi besaran, struktur, ruang, dan perubahan. Para matematikawan mencari berbagai pola, merumuskan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Belajar 1. Pengertian Belajar Belajar merupakan proses memperoleh ilmu pengetahuan, baik diperoleh sendiri maupun dengan bantuan orang lain. Belajar dapat dilakukan berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) secara global semakin menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dapat dirasakan melalui inovasi-inovasi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA EFEKTIVITAS MODEL PROBLEM BASED LEARNING DITINJAU DARI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA Hani Ervina Pansa 1, Haninda Bharata 2, M.Coesamin 2 hani.pansa@gmail.com 1 Mahasiswa Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

B A B I P E N D A H U L U A N

B A B I P E N D A H U L U A N 1 B A B I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika sebagai bagian dari kurikulum sekolah tentunya diarahkan untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan tersebut. Menurut Sumarmo (2005)

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DAYA MATEMATIS UNTUK SISWA SMP. Fitriana Eka Chandra 1

PENGEMBANGAN INSTRUMEN DAYA MATEMATIS UNTUK SISWA SMP. Fitriana Eka Chandra 1 195 Educazione, Vol. 3 No. 2, Nopember 2015 PENGEMBANGAN INSTRUMEN DAYA MATEMATIS UNTUK SISWA SMP Fitriana Eka Chandra 1 Email: chanfi_57z@ymail.com Abstract This study aims at developing the instruments

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG MASALAH

LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tuntutan kualitas sumber daya manusia era globalisasi abad 21 sangat tinggi dan kompleks. Kerangka kompetensi abad 21 dari 21 st Century Skills, Education,

Lebih terperinci

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA

DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA ZUHROTUNNISA AlphaMath DESKRIPSI KEMAMPUAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA MTs. NEGERI BOJONG PADA MATERI STATISTIKA Oleh: Zuhrotunnisa Guru Matematika MTs. Negeri Rakit 1 Banjarnegara cipits@gmail.com ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Nadia Dezira Hasan, 2015 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Slameto (Djamarah, 1996), belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembelajaran matematika, idealnya siswa dibiasakan memperoleh pemahaman melalui pengalaman dan pengetahuan yang dikembangkan oleh siswa sesuai perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri karena persaingan dalam dunia pendidikan semakin ketat. Salah satu upaya yang dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sangat berperan penting dalam kemajuan teknologi dan informasi di era globalisasi ini. Setiap negara berlomba-lomba dalam kemajuan teknologi

Lebih terperinci

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang berperan penting dalam kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), sehingga perkembangan matematika menjadi sesuatu yang

Lebih terperinci

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu yang terstruktur dan terorganisir yang memiliki keterkaitan antara satu konsep dengan konsep yang lainnya. Matematika diberikan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi ini, perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dapat kita rasakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORETIS

BAB II KAJIAN TEORETIS BAB II KAJIAN TEORETIS A. Model Pembelajaran Reciprocal Teaching, Pembelajaran Konvensional, Kemampuan Komunikasi Matematis dan Skala Sikap 1. Model Pembelajaran Reciprocal Teaching Reciprocal Teaching

Lebih terperinci

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*)

PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*) PEMBELAJARAN MATEMATIKA MEMBANGUN KONSERVASI MATERI PELAJARAN Dudung Priatna*) Abstrak Ketercapaian suatu pembelajaran matematika ditentukan oleh guru dalam menggunakan strategi pembelajaran matematika

Lebih terperinci

KAJIAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA (HASIL TAHAPAN PLAN SUATU KEGIATAN LESSON STUDY MGMP SMA)

KAJIAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA (HASIL TAHAPAN PLAN SUATU KEGIATAN LESSON STUDY MGMP SMA) KAJIAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA (HASIL TAHAPAN PLAN SUATU KEGIATAN LESSON STUDY MGMP SMA) Tri Hapsari Utami Abstract: This article discusses a design of mathematics learning at what

Lebih terperinci

LITERASI MATEMATIS SISWA PADA KONTEN QUANTITY DI SMP NEGERI 02 PONTIANAK

LITERASI MATEMATIS SISWA PADA KONTEN QUANTITY DI SMP NEGERI 02 PONTIANAK LITERASI MATEMATIS SISWA PADA KONTEN QUANTITY DI SMP NEGERI 02 PONTIANAK Nining Arum Sari, Agung Hartoyo, Hamdani Program Studi Pendidikan Matematika FKIP Untan Email: niningarum29@yahoo.co.id Abstrak:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar kelak mampu bersaing dan berperan dalam menghadapi setiap perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Permendiknas No. 22 (Departemen Pendidikan Nasional RI,

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam Permendiknas No. 22 (Departemen Pendidikan Nasional RI, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam Permendiknas No. 22 (Departemen Pendidikan Nasional RI, 2006) secara eksplisit dicantumkan beberapa kemampuan dan sikap siswa yang harus dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat diperlukan oleh semua orang terutama pendidikan yang bersifat formal. Pelaksanaan pendidikan formal pada dasarnya untuk mencapai tujuan pendidikan

Lebih terperinci

Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mendukung Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII

Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mendukung Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII SEMINAR MATEMATIKA DAN PENDIDIKAN MATEMATIKA UNY 2017 Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Mendukung Kemampuan Literasi Matematika Siswa Kelas VIII Rizqi Annisavitri Program Magister Pendidikan

Lebih terperinci

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK

2016 KEMAMPUAN PENALARAN MATEMATIS SISWA SMP MELALUI MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH DENGAN PENDEKATAN SAINTIFIK BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan yang timbul akibat adanya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Sains (IPTEKS) dimana semakin pesat yaitu bagaimana kita bisa memunculkan Sumber Daya

Lebih terperinci

Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa. Melalui Pembelajaran Matematika

Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa. Melalui Pembelajaran Matematika Pengembangan Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa Melalui Pembelajaran Matematika Ali Mahmudi Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY) Email: ali_uny73@yahoo.com & alimahmudi@uny.ac.id Pendahuluan Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan sarat perkembangan. Oleh karena itu, perubahan atau perkembangan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam kehidupan sehari-hari tentu tidak terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhinya. Keputusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pendidikan dapat diartikan sebagai suatu proses, dimana pendidikan merupakan usaha sadar dan penuh tanggung jawab dari orang dewasa dalam membimbing, memimpin, dan

Lebih terperinci

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP

PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP PEMAHAMAN KONSEP DAN KOMUNIKASI MATEMATIK DENGAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF CO-OP CO-OP Mardiana Abstraksi Pembelajaran kooperatif Co-op Co-op. Model pembelajaran ini pada dasarnya menekankan pentingnya siswa

Lebih terperinci

Bagaimana Cara Guru SD Memfasilitasi Siswanya Agar Dapat Menjadi Siswa yang Mandiri Mempelajari Matematika?

Bagaimana Cara Guru SD Memfasilitasi Siswanya Agar Dapat Menjadi Siswa yang Mandiri Mempelajari Matematika? Bagaimana Cara Guru SD Memfasilitasi Siswanya Agar Dapat Menjadi Siswa yang Mandiri Mempelajari Matematika? Fadjar Shadiq, M.App.Sc (fadjar_p3g@yahoo.com & www.fadjarp3g.wordpress.com) Pakar Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era globalisasi terjadi persaingan antar bangsa di dunia. Bangsa yang mampu menguasai sejumlah pengetahuan, teknologi, dan keterampilan akan menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Kemampuan Penalaran Matematis Istilah penalaran matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical reasoning. Brodie (2010:7) menyatakan bahwa, Mathematical

Lebih terperinci

PENGUNAAN RECIPROCAL TEACHING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI MATEMATIS

PENGUNAAN RECIPROCAL TEACHING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI MATEMATIS Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009 PENGUNAAN RECIPROCAL TEACHING UNTUK MENGEMBANGKAN KOMUNIKASI MATEMATIS Drs.

Lebih terperinci

PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR

PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR Rini Setianingsih Jurusan Matematika, FMIPA, Unesa ABSTRAK. Salah satu pendekatan

Lebih terperinci

DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING

DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING DIAGNOSIS KESULITAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATERI SISTEM PERSAMAAN LINEAR DUA VARIABEL SERTA UPAYA MENGATASINYA MENGGUNAKAN SCAFFOLDING Budi Santoso, Toto Nusantara, dan Subanji E-mail:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2): BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan salah satu bidang studi yang menduduki peranan penting dalam berbagai disiplin ilmu. Karena itu matematika sangat diperlukan, baik untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi

BAB I PENDAHULUAN. Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembaharuan di bidang pendidikan yang mengacu pada visi dan misi pembangunan pendidikan nasional kini telah tertuang dalam undang-undang tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan kehidupan suatu bangsa sangat ditentukan oleh pendidikan. Pendidikan yang tertata dengan baik dapat menciptakan generasi yang berkualitas, cerdas, adaptif,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika berkedudukan sebagai ilmu

Lebih terperinci