KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN KEJADIAN SINUSITIS MAKSILA KRONIS DI BAGIAN THT FK USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2001 ZALFINA CORA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN KEJADIAN SINUSITIS MAKSILA KRONIS DI BAGIAN THT FK USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2001 ZALFINA CORA"

Transkripsi

1 KOLERASI TES KULIT CUKIT DENGAN KEJADIAN SINUSITIS MAKSILA KRONIS DI BAGIAN THT FK USU/RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2001 ZALFINA CORA Program Pendidikan Dokter Spesialis Bidang Studi Ilmu Penyakit THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sinusitis maksila kronis adalah peradangan mukosa sinus maksila dengan keluhan lebih dari 3 bulan. 1. Sinus paranasal adalah rongga rongga didalam tulang kepala yang terletak disekitar rongga hidung dan mempunyai hubungan dengan melalui muaranya. 2 Sampai saat ini sinusitis maksila kronis masih merupakan masalah dan merupakan subjek yang selalu diperdebatkan, baik mengenai etiologi, keluhan, diagnosis maupun tindakan selanjutnya. 3 Berbeda dengan sinusitis akut, sinusitis kronis biasanya sukar disembuhkan dan hasil pengobatan sering mengecewakan, baik untuk dokter dan terutama untuk penderita. 4 Penderita biasanya mempunyai keluhan hidung tersumbat, sakit kepala, cairan mengalir dibelakang hidung, hidung berbau dan penciuman berkurang. 1,5,6 Berbagai etiologi dan faktor predisposisi berperan dalam timbulnya penyakit ini, seperti deviasi septum, polip kavum nasi, tumor hidung dan nasofaring serta alergi. 7,8 Menurut Lucas seperti yang dikutip Moh. Zaman, etiologi sinusitis adalah sangat kompleks. Hanya 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan ketidakseimbangan pada sistim saraf otonom yang menimbulkan perubahan-perubahan pada mukosa sinus. 3 Alergi adalah salah satu faktor prediposisi dalam patogenesis sinusitis maksila kronis, yang mengakibatkan edema mukosa dan hipersekresi, keadaan ini akan menimbulkan penyumbatan muara sinus mengakibatkan stasis sekret. Hal ini sebagai medium infeksi yang akhirnya menyebabkan sinusitis kronis. 1,7,8 Penyakit alergi adalah suatu penyimpangan reaksi tubuh terhadap paparan bahan asing yang menimbulkan gejala pada orang yang berbakat atopi sedangkan pada kebanyakan orang tidak menimbulkan reaksi apapun. 9,10 Gangguan alergi pada hidung ternyata lebih sering dari perkiraan dokter maupun orang awam, yaitu menyerang sekitar 10 % dari populasi umum. 8 Prevalensi rinitis alergi telah diketahui bervariasi antara 5 10 % panduduk diberbagai kota di dunia. 11 Insiden rinitis di Bandung 1,5 %, di Sub Bagian Alergi- Imunologi Bagian THT FKUI/RSCM selama setahun 1992 adalah 1,14 %. 12 dan di RSUP H. Adam Malik Medan tahun sebesar 16,44%. 12 Sinusitis dibagi menjadi 1) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu, 2) sinusitis sub akut, beberapa minggu sampai beberapa bulan, 3) sinusitis kronis, beberapa bulan sampai beberapa tahun. 1,14,15 Menurut Cauwenberge (1983), disebut sinusitis kronis bila infeksi sudah lebih dari 3 bulan. 14 Sinus maksila merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, karena merupakan sinus paranasal yang terbesar, letak muaranya lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga aliran sekret (dreanase) dari sinus maksila sangat tergantung dari 2003 Digitized by USU digital library 1

2 gerakan silia. Dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus) sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila. Muara sinus maksila terletak di meatus medius, disekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat. 14 Diagnosis sinusitis maksila kronis berdasarkan anamnenis yang cermat, pemeriksaan rinoskopi anterior dan posterior, adanya sekret kental perulen, pemeriksaan penunjang seperti transiluminasi, pemeriksaan radiolog, fungsi sinus maksila dan sinoskopi. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi, nasoendoskopi serta CT scan. 1 Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam dan hidung tersumbat, maka dinyatakan positif. Hampir 50 % diagnosis rinitis alergi dapat ditegakkan dari anamnesis saja. 16 Oleh karena faktor alergi merupakan salah satu penyebab timbulnya sinusitis maksila kronis, maka perlu dilakukan tes kulit epidermal berupa tes kulit cukit (Prick tes, tes tusuk). Tes ini cepat, simple, tidak menyakitkan, relatif aman dan jarang menimbulkan reaksi anafilaktik. 10,17,18,19 Untuk menjamin akurasinya, tes cukit harus dilaksanakan setelah terlampaui masa wash out obat anti alergi yang terakhir dikonsumsinya. Sebagai contoh, antihistamin sedatif 1 minggu, antihistamin non sedatif 2-4 hari, kortikosteroid 6-8 minggu. 11 Uji cukit merupakan pemeriksaan yang paling peka untuk reaksi-reaksi yang diperantai oleh IgE dan dengan pemeriksaan ini alergen peyebab akan dapat diketahui. 16,20 Dalam penelitian ini diagnosis sinusitis maksila kronis yang disebabkan oleh alergi, ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT rutin, pemeriksaan foto polos sinus paranasal dan tes kulit cukit. 2. Masalah penelitian Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli bahwa salah satu faktor predisposisi sinusitis maksila kronis adalah alergi, timbul keinginan peneliti untuk mengetahui seberapa besar perkiraan alergi sebagai salah satu faktor predisposisi timbulnya sinusitis maksila kronis di Bagian THT/FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Dipilihnya sinus maksila sebagai objek yang diteliti mengingat sinus maksila lebih sering mengalami peradangan dibandingkan dengan sinus paranasal yang lain. Diharapkan setelah penelitian ini pemeriksaan alergi pada kasus sinusitis maksila kronis dapat dikerjakan secara rutin sehingga pengobatan sinusitis maksila kronis lebih akurat. 3. Hipotesis Alergi merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada kejadian sinusitis maksila kronis. 4. Tujuan penelitian 4.1. Umum Menentukan seberapa besar peranan alergi sebagai faktor presdisposisi sinusitis maksila kronis Khusus Mengetahui seberapa besar hasil tes kulit cukit (positip) pada penderita sinusitis maksila kronis Digitized by USU digital library 2

3 5. Manfaat penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh nilai, berapa besar peranan alergi yang dianggap sebagai faktor predisposisi sinusitis maksila kronis, sehingga pengobatan lebih akurat. BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN Suatu peradangan mukosa sinus paranasal disebut sinusitis. Penyakit ini sering dijumpai di Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan. Bila mengenai sel beberapa sinus disebut multisinusitis sedang bila mengenai seluruh sinus paranasal, disebut pansinusitis. Sinus maksila sering terkena, kemudian berturut-turut sinus etmoid, sinus frontal dan sinus sphenoid. 14,21 Penyakit ini berasal dari perluasan infeksi hidung, gigi, faring, tonsil atau adenoid. Tetapi dapat juga terjadi akibat trauma langsung, barotraumas, berenang atau menyelam. Ikut berperan pula beberapa faktor predisposisi yang menyebabkan obstruksi muara sinus maksila, sehingga mempermudah terjadinya sinusitis seperti deviasi septum, hipertropi konka, massa di dalam rongga hidung dan alergi.7,8 Istilah alergi dikemukakan pertama kali oleh Von Pirquet pada tahun 1906 yang pada dasarnya mencakup baik respon imun berlebihan yang menguntungkan seperti pada vaksinasi, maupun mekanisme yang merugikan dan menimbulkan penyakit. Secara umum penyakit alergi di bagi dalam 4 golongan yaitu alergi atopi, alergi obat, penyakit serum dan dermatitis kontak. Manifestasi klinik alergi paling sering tampak melalui 3 organ sasaran, yaitu saluran napas, saluran cerna, dan kulit. Alergi atopi adalah reaksi hipersensitivitas tipe I pada individu secara genetik menunjukkan kepekaan terhadap alergen. 7,8,22 Banyak penderita yang menunjukkan reaksi alergi terhadap alergen ekstrinsik seperti debu, tungau, bulu binatang, tepung sari, berbagai jenis makanan dan zat lain Dari tes kulit, alergen-alergen yang memberikan hasil positip bermakna berturut terbanyak adalah tungau debu rumah (91,16 %), debu rumah (73,47%) dan serpihan epitel/bulu binatang (63,95 %). 13 Pemaparan terhadap alergen tersebut menyebabkan berbagai gejala seperti rinitis, asma, urtikaria, diare, muntah-muntah dan lain-lain. Perlu diwaspadai bahwa gejala yang sama dapat pula disebabkan oleh faktor-faktor non imunologik 10,13,22 I. SINUS MAKSILA 1. Embriologi dan perkembangan Pada bulan ketiga kehidupan embrio, sinus maksila terbentuk, dimulai dari suatu invaginasi mukosa meatus media ke arah lateral dan ke arah korpus maksila os maksila. 7 Perubahan-perubahan progresif pada dinding hidung lateral dengan pembentukan sinus paranasal terjadi secara simultan dengan perkembangan palatum. Pada hari ke 40 dari fetus sewaktu perkembangan rongga hidung, maka lekukan horizontal (horizontal groove) nampak pada dinding leteral, yang kemudian akan membentuk meatus medius dan inferior. Profilerasi mesenchym maxillo turbinate, menonjol kedalam lumen dan kemudian menjadi konka inferior. Konka yang lebih atas berkembang dari lipatan etmoid turbinate yang tampak kemudian. Perkembangan sinus terjadi ketika lipatan konka terbentuk. Ini merupakan proses 2003 Digitized by USU digital library 3

4 lambat, yang berlanjut sampai terhentinya pertumbuhan tulang pada awal kehidupan dewasa. Dari keempat sinus paranasal, hanya sinus maksila dan etmoid yang ada waktu lahir. Sinus maksila tampak pertama kali seperti suatu depresi ektodermal tepat diatas prosesus unsinatus pada konka inferior. 23,24 Pada saat lahir rongga sinus maksila berbentuk tabung dengan ukuan 7 x 4 x 4 mm, ukuran posterior lebih panjang daripada anterior, sedangkan ukuran tinggi dan lebar hampir sama panjang. Dengan kecepatan pertumbuhan setiap tahunnya sebesar 2-3 mm ke arah vertikal dan kearah posterior, maka pada usia 8 tahun rongga sinus maksila telah mencapai meatus inferior. 7,15,25 Pada usia tahun dasar sinus maksila telah mencapai tinggi yang sama dengan dasar kavum nasi. 7 Di atas umur 12 tahun pertumbuhan sinus maksila ke arah inferior, berhubungan erat dengan erupsi gigi permanen, sehingga ruang yang semula ditempati oleh tugas-tugas gigi permanen akan mengalami pneumatisasi yang mengakibatkan volume sinus maksila bertambah besar ke arah inferior. 15,25 Pada umur tahun erupsi gigi permanen telah lengkap dan di perkirakan pertumbuhan sinus maksila telah selesai. 2. Anatomi Sinus maksila atau antrum Highmore adalah suatu rongga pneumatik berbentuk piramid yang tak teratur dengan dasarnya menghadap ke fosanasalis dan puncaknya ke arah apeks prosesus zigomatikus os maksila. Sinus ini merupakan sinus yang terbesar diantara sinus paranasal. Pengukuran volume sinus maksila dapat di lakukan dengan dua cara, yaitu rontgenologik dan manometrik. Pada saat lahir volume sinus maksila dan sekitarnya berukuran 6 8 ml dan penuh dengan cairan, sedangkan volume sinus maksila orang dewasa kira-kira 15 ml. Tidak ada perbedaan kapasitas antara laki-laki dan perempuan. Ukuran kedua sinus maksila kanan dan kiri tidak selalu sama, tetapi diantara sinus paranasal yang lain, sinus maksila yang paling simetris antara kanan dan kiri serta paling sedikit mengalami variasi dalam perkembangan. Besar kecilnya rongga sinus maksila terutama tergantung pada tebal tipisnya dinding sinus. 25,26,27 Ukuran rata-rata pada bayi baru lahir 7-8 x 4 6 mm dan untuk 15 tahun x x mm serta pada orang dewasa diperoleh ukuran sumbu anteroposteror 34 mm, tinggi 33 mm dan lebar 23 mm. 15,26,31 Sinus mempunyai beberapa dinding, dinding anterior dibentuk oleh permukaan maksila os maksila, yang disebut fosa kanina. Dinding posterior dibentuk oleh permukaan infratemporal maksila. Dinding medial dibentuk oleh dinding lateral rongga hidung. Dinding superior dibentuk oleh dasar orbita dan dinding inferior oleh prosesus alveolaris dan palatum. Dasar sinus maksila berdekatan dengan tempat tumbuhnya gigi premolar ke dua, gigi molar ke satu dan ke dua, bahkan kadang-kadang gigi tumbuh ke dalam rongga sinus dan hanya tertutup oleh mukosa. Proses supuratif yang terjadi sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga sinus melalui fistel oroantral yang akan mengakibatkan sinusitis. Didalam sinus kadangkadang ada sekat-sekat yang membentuk ruang-ruang dibagian posterior, sehingga dapat menjadi sumber infeksi terus-menerus Pendarahan Mukosa sinus maksila mendapat pendarahan dari a. karotis eksterna melalui cabang-cabangnya, yaitu a. maksilaris interna, a. palatina desenden yang merupakan cabang a. maksilaris interna a. alveolaris superior posterior dan anterior 2003 Digitized by USU digital library 4

5 yang merupakan cabang a. infra orbitalis dan a. nasalis posterior lateral yang merupakan cabang langsung a. maksilaris interna. 7,25,27 Darah dari sinus maksila dialirkan ke v. infraobitalis, v.supraobitalis dan pleksus venosus lakrimalis. Selain itu berhubungan dengan pleksus venosus pterigoideus, vena sinus sphenoid. Aliran darah rata-rata pada mukosa sinus maksila sebesar 125 ml/100 gr jaringan/menit yang lebih besar dari aliran darah pada organ otot, otak dan ginjal. 7,25,27 Sistem pembuluh limfe pada sinus maksila menuju ke muara sinus sampai ke meatus medius, kemudian menuju kearah pleksus limfatius disekitar muara tuba Eustachius, selanjutnya bermuara pada kelenjar limfe retrofaring lateral.25,26,27 4. Persarafan Persarafan sensorik sinus maksila oleh nn.alveolaris superior yang merupakan cabang ke dua dari n.trigeminus. Persarafan simpatik berasal dari pleksus nervosus karotikus melalui ganglion sfenopaltina dan berakhir pada tunika propria sebagai jalinan serabut-serabut saraf yang banyak. 7,25,27 5.Ostium/muara Membran muara sinus maksila dibentuk oleh gabungan mukosa sinus maksila dan mukosa yang melapisi infundibulum hidung. Muara ini secara normal tersembunyi dari pandangan oleh prosesus unsinatus. Biasanya ditemukan pada pertemuan bagian antero superior dan postero inferior infundibulum. Berdasarkan studi dari 163 sinus, Van Alyea menemukan kebanyakan tempat muara sinus maksila pada 1/3 posterior celah infundibulum (72%), di 1/3 anterior hanya pada 6 % spesimen dan pada 12% spesimen muara terletak pada puncak posterior infudibulum. 6 Dari segi klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi muara sinus maksila adalah letaknya lebih tinggi dari dasar sinus maksila, sehingga aliran (drainase) sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia. Juga karena lokasinya di meatus medius, dan pada hiatus semilunaris yang sempit, sehingga akibat berbagai keadaan akan mudah tersumbat Sistem mukosiliar Transport benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke arah faring di sebelah posterior akan ditelan atau dikeluarkan. Hal tersebut merupakan kerja dari silia yang menggerakkan perut lendir (mucous blanket) dengan partikel yang terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang luas antara dua inspirasi dengan hidung dan parut lendirnya. Parut lendir berupa selebung sekret kontinyu yang sangat kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustachius faring dan seluruh cabang bronkus. 26,27,30 Lapisan atas dari parut lendir ini amat tipis, kaya akan glicoprotein, lebih kental, dengan kekauatan tegangan yang memungkinkan gerakan kaku silia ke depan untuk mempertahankan gerakan lapisan ke arah posterior dalam aliran yang tetap. Lapisan bawah lebih encer dan menimbulkan sedikit hambatan terhadap gerak pemulihan silia (yang lentur). Palut lendir diganti oleh kelanjar submukosa 2 dan 3 kali dalam satu jam. 26 Transportasi mukus pada sinus maksila dimulai dari dasar sinus dengan gerakan yang menyerupai bintang. Mukus kemudian dialirkan sepanjang dinding depan medial, posterior, lateral, dan atap sinus dan semuanya bertemu di muara sinus maksila. Aliran mukus selalu melalui muara sinus maksila, meskipun terdapat muara tambahan atau lubang pasca pungsi dan antrostomi di meatus inferior Digitized by USU digital library 5

6 Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung dengan sekret dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat infundibulum etmoid. Kemudian melalui anteroinferior orifisium tuba Eustachius mengalir ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan sphenoid akan bergabung di resesus sfenoetmoid, kemudian melaui posterosuperior orifisium tuba Eustachius menuju ke nasofaring. Dari nasofaring mukus turun ke bawah, karena gerakan menelan atau daya berat. Gangguan sistem mukosiliar dapat berupa berkurangnya kelembaban udara permukaan mukosa, menurunnya produksi mukus sehingga mukus akan menjadi kental yang akan mengganggu gerakan silia, kerusakan permukaan mukosa dan kelanjar, karena infeksi bakteri atau virus dan disfungsi atau malfungsi silia serta mukosa seperti pada rinitis alergi, fibrosis kistis dan immotile cilia syndrome. 4,29 7. Histologi Mukosa sinus maksila merupakan lanjutan mukosa saluran napas bagian atas, Mempunyai epitel torak bertingkat bersilia dengan sel-sel goblet diantaranya. Dibandingkan dengan mukosa rongga hidung, mukosa sinus maksila lebih tipis, epitelnya lebih kuboid, sel goblet dan pembuluh darah lebih sedikit, sehingga secara mikroskopis warnanya tampak pucat. Silia tampak semakin banyak ke arah muara. 29 Di bawah lapisan epitel terdapat stroma yang terdiri dari tiga lapisan yaitu : 1. Membran basalis yang sangat tipis, Jika terjadi penebalan akan tampak adanya lapisan hialin yang berwarna kuning. Kadang kadang di bawahnya terdapat lapisan tipis serabut elastin. 2. Tunika propria merupakan lapisan tipis yang terdiri dari jaringan ikat longgar, bentuknya seperti spons dan berisi cairan, sehingga mudah membengkak bila mendapat rangsangan. Jaringan ini berfungsi sebagai jaringan penunjang, alat nutrsi epitel diatasnya dan fagosit jika terjadi infeksi. Dinding medial sinus maksila mempunyai lamina propria yang paling tebal diantaranya dinding mukosa sinus maksila. Lapisan ini mengandung serabut kolagen dan fibril yang tipis dan mudah mengalami ruptur, sehingga mudah terbentuk kista. Ditemukan pula infiltrasi sel fibroblas dan histiosit yang bila terjadi peradangan akan berubah menjadi makrofag. Kelenjar seromusinogen dan sel goblet yang memproduksi mukus pada lapisan ini sangat jarang dan sedikit jumlahnya, serta hampir semuanya terdapat di daerah muara sinus maksila. 3. Lapisan periosteum tulang terdiri dari serat kolagen yang tebal dan serat elastin, sehingga tahan terhadap infeksi. 4,29 8.Fisiologi Sampai saat ini belum diketahui dengan pasti fungsi sinus paranasal dan beberapa teori mengemukakan sebagai pengatur suhu dan kelembaban udara pernafasan (air conditioning) seperti pada rongga hidung, Ternyata volume pertukaran yang terjadi di dalam sinus kurang lebih seperseribu dari volume sinus pada setiap siklus pernapasan, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk pertukaran udara total dalam sinus. Selain itu, sinus paranasal hanya mampu melembabkan 1,5 % dari seluruh udara pernapasan yang dilembabkan oleh saluran napas bagian atas. Karena mukosa sinus yang tipis dan tidak mempunyai pembuluh darah sebanyak yang terdapat di mukosa hidung. Fungsi sebagai resonansi suara, tidak banyak mendapat dukungan, karena posisi sinus dan ostium tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator suara yang efektif. Selain itu tidak ditemukan korelasi antara ukuran sinus dengan resonansi suara pada binatang tingkat rendah. Sesuai dengan letaknya, sinus paranasal dapat dianggap sebagai pelindung pengaruh panas udara rongga hidung terhadap organ-organ disekitar sinus (thermal insilator), seperti mata dan otak. Akan tetapi kenyataannya sinus 2003 Digitized by USU digital library 6

7 maksila sebagai sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ yang dilindunginya. Fungsi membantu keseimbangan kepala, dimungkinkan karena terbentuknya sinus akan mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara sinus di ganti dengan tulang, pertambahan berat hanya 4 % dari berat kepala, sehingga mungkin tidak banyak pengaruhnya terhadap keseimbangan kepala. Sebagai pembantu alat penghirup, dilakukan oleh sinus paranasal dengan cara membagi rata udara inspirasi ke regio olfaktorius. Fungsi lain sebagai pengatur keseimbangan tekanan udara, peredam kejutan ( shock absorbent), protector suara antara organ vokal dengan telinga, sebagai tambahan ruang rugi (dead space) dan penyesuaian proporsi pertumbuhan kranium dan wajah. 15,26,29 II. MEKANISME IMUNITAS Sel-sel induk Sumsum tulang Timus = = Organ Limfoid pusat Bursa Fabrisius?(GALT)?(BALT)?(BM) Limfosit T Lien,kel,limfe Tonsil (organ lymphoid antigen perifer) imunoblas antigen Limfosit B Limfosit T. ter sensitisasi Imunitas seluler Gambar 1 : Mekanisme imunitas. Dikutip dari kepustakaan 7 Sel Memori Imunitas humoral Sel plasma (pembentukan antibody) Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem kekebalan spesifik yaitu kekebalan seluler yang berperan ialah sel limfosit T (sel T) dan kekebalan humoral, yang berperan ialah sel limfosit B (sel B). Sel T dan sel B berasal dari sel pokok (stem cell) yang sama pada sum-sum tulang, tetapi berbeda dalam proses maturasinya. Sel T di pengaruhi oleh kelanjar timus, sedangakan sel B oleh GALT (gut associated lympoid tissue) yang identik dengan bursa fabrisius pada golongan burung. 16 Kedua jenis sel (sel B dan sel T ) setelah keluar dari jaringan limfoid primer, maka sel-sel itu akan beredar ke sirkulasi darah atau menetap di jaringan limfoid sekunder. Bila suatu benda asing masuk ke dalam tubuh, sel-sel limfosit tersebut akan segera mengalami diferensiasi lebih lanjut menjadi sel limfosit yang sanggup menunjukkan aktivitas imunologik. 16, Digitized by USU digital library 7

8 Sel B akan berkembang menjadi sel limfosit matang yang sanggup menghasilkan suatu antibodi, sedangkan sel T akan berkembang menjadi sel limfosit yang sensitive yang sanggup melepaskan mediator limfokin dengan segala manifestasinya. Antara kedua jenis sel ini kadang-kadang terjadi suatu efek potensiasi dan meningkatan sifat keantigenan suatu antigen serta menetukan pula reaksi imunitas yang akan memegang peranan sebagai daya pertahanan tubuh. 32 Jenis reaksi kekebalan humoral merupakan dasar dari reaksi hipersensitivitas jenis cepat, sedangkan jenis reaksi kekebalan seluler merupakan dasar dari reaksi hipersensitivitas jenis lambat. 16 III. IMUNOLOGI DASAR. Komponen-komponen yang berperan dalam imunologi dasar ialah antibodi, reaksi Hipersensitivitas, antigen, dan sistem imun. 22,23,32 1.Imunoglobin dan zat anti. Sruktur dasar imunoglobin mempunyai 4 rangkai polipeptida yang terdiri dari atas 2 rangkai ringan (light chain) yang identik dan dihubungkan satu dengan lainnya oleh ikatan disulfida. Terdapat 2 jenis rangkai ringan yaitu rantai kappa dan rantai lambeda yang terdiri dari 230 asam amino serta 5 jenis rantai berat yang tergantung pada kelima jenis imunoglobin, yaitu Ig G, Ig M, Ig D, Ig A dan Ig E. Rantai berat terdiri dari asam amino, sehingga berat dan panjang rantai berat tersebut adalah dua kali rantai ringan. 22,32 Dua fragmen imunoglobin yang identik disebut Fab (fragmen antigen binding) yang merupakan bagian imunoglobin yang mengikat dan menetralkan antigen. Fragmen ke 3 yang dapat di kristalkan dari larutan dan disebut Fc (fragmen crystallisable) dan tidak dapat mengikat antigen. Fc menunjukkan fungsi biologis sesudah antigen diikat oleh Fab. 32,33 Dewasa ini dikenal 5 kelas imunoglobin, yaitu : 1) imunoglobin G (IgG), 2) imunoglobin A (IgA), 3) imunoglobin M (IgM), 4) imunoglobin D (IgD) dan 5) imunoglobin E (IgE). 22,32,33 Imunoglobin G (IgG) merupakan komponen utama imunoglobin serum, dengan berat molekul Kadarnya dalam serum sekitar 13 ug/ml dan merupakan 75 % dari semua imunoglobin. Ig G ditemukan dalam berbagai cairan, antara lain cairan saraf serebral (CSF) dan urin. Ig G dapat menembus plasenta dan masuk fetus dan berperan pada imunitas bayi sampai umur 6-9 bulan. Pada proses desentisasi penderita alergi, yang dirangsang adalah IgG yang bersifat sebagai antibodi penghambat (blocking antibody), sehingga pada desentisasi sifat alergenisitas dari alergen terhadap IgE menurun. 33 Imunoglobin A (IgA) ditemukan dalam jumlah sedikit dalam serum, tetapi kadarnya dalam cairan sekresi saluran nafas, saluran cerna, saluan kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu lebih tinggi dalam bentuk IgA sekretori (s IgA). Baik IgA dalam serum maupun dalam sekresi dapat menetralisasi toksin atau virus dan dapat mencegah kontak antara toksin atau virus dengan sel organ sasaran. Imunoglobin M (IgM) mempunyai rumus bangun pantamer dan merupakan imunoglobin terbesar. Molekulnya dikat oleh rantai Y pada fraksi Fc. Kebanyakan sel B mempunyai IgM pada permukaannya sebagai reseptor antigen. IgM dibentuk paling dahulu pada respon imun primer, tetapi tidak berlangsung lama, sehingga kadar IgM yang tinggi merupakan tanda infeksi dini. Bayi yang baru dilahirkan hanya mempunyai IgM 10% dari kadar IgM dewasa, karena IgM ibu tidak menembus plasenta. Fetus umur 12 minggu sudah dapat membentuk IgM bila sel B nya dirangsang oleh infeksi intrauterine seperti sifilis, rubella, toksoplasmosis dan virus sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia 1 tahun Digitized by USU digital library 8

9 Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah AB dan antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat menghambat gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan aglutinator kuat terhadap butir antigen. IgM juga merupakan antibodi yang dapat mengikat komplemen dengan kuat. 22,32,33 Imunoglobin D ditemukan dengan kadar yng sangat rendah dalam darah. IgD tidak mengikat komplemen, mempunyai aktivitas antibodi terhadap antigen berbagai makanan dan autoantigen seperti komponen sel B sebagai reseptor antigen. Imunoglobin E ditemukan dalam serum dalam jumlah yang sangat sedikit. IgE mudah diikat dan leukosit basofil yang pada permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. IgE dibentuk setempat oleh sel plasma dalam selaput lendir saluran nafas dan cerna. Kadar IgE yang tinggi ditemukan pada alergi, infeksi cacing, skistosomiasis diduga berperan pada imunitas parasit. IgE pada alergi dikenal sebagai antibodi reagen. 22,23 2. Reaksi hipersensitivitas Hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan dan yang tidak diinginkan karena dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi tersebut oleh Gell dan Coombs dibagi dalam 4 tipe reaksi menurut kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi. Reaksi itu dapat terjadi sendiri-sendiri, tetapi dalam klinik, dua atau lebih jenis reaksi tersebut sering terjadi bersamaan. Empat tipe reaksi hipersensivitas terdiri dari : Reaksi tipe I (reaksi anafiklasis / immediate hypersensitivity), dikenal sebagai reaksi yang segera timbul sesudah alergen masuk ke dalam tubuh. Istilah reaksi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1906 diartikan sebagai reaksi panjamu yang berubah bila terpapar dengan bahan yang sama untuk kedua kali atau lebih. Alergen yang masuk tubuh akan menimbulkan respons imun dengan dibentuknya IgE yang kemudian diikat oleh reseptor Fc pada permukaaan sel mastosit, basofil. Bila tubuh yang sudah tersensitisasi ini terpapar oleh alergen yang sama, alergen tersebut akan diikat IgE spesifik dan akan menimbulkan degranulasi sel mastosit atau basofil. Degranulasi akan mengeluarkan mediator, anatara lain histamin, slow reacting substance of anaphylactic (SRS-A) atau leukotrin, prostaglandin, serotonin, bradikinin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), arginin esterase dan heparin yang terdapat dalam granul-granul sel. Mediator-mediator ini akan menimbulkan gejala reaksi hipersensivititas tipe I. yang dapat berupa penyakit-penyakit rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria dan dermatisis atopik. Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik/sitolitik), terjadi karena dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Anti bodi tersebut dapat mensentisasikan sel K sebagai efektor anti body dependent cel citotoxycity (ADCC) atau mengaktifkan komplemen dan menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ialah destruksi sel darah merah akibat reaksi tranfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat seperti penisilin, kinin dan sulfonamid serta kerusakan jaringan pada penyakit autoimun seperti miastenia gravis. Reaksi tipe III (reaksi kompleks imun), terjadi karena penimbunan kompleks anti gen anti bodi dalam jaringan atau sirkulasi / dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Anti bodi yang berperan disini biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan macrophage chemotactic factor. Makrofag yang dikerahkan ketempat tersebut melepaskan enzim yang dapat merusak jaringan sekitarnya. Antigen dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahkan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis ekstrinsik alergi) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi 2003 Digitized by USU digital library 9

10 dapat disertai dengan antigen dalam jumlah yang berlebihan tetapi tidak disertai dengan respons antibodi yang efektif. Reaksi tipe IV (reaksi tuberculin/delayed hypersensitivity), yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpapar oleh antigen tertentu. Dalam hal ini tidak ada peranan antibodi. Akibat sensitisasi tersebut, sel T melepaskan limfokin, anatra lain macrophage inhibition factor (MIF) dan macrophage activation factor (MAF). Makrofag yang diaktifkan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat beruapa jaringan asing (reaksi alograft), mikroorganisme intraseluler (virus mycobactery), protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Bila ada antigen menetap untuk jangka waktu yang lama, maka makrofag yang diaktifkan terus menerus dapat membentuk jaringan granulomata. Ada 4 jenis reaksi hipersensifitas tipe IV, yaitu rekasi Jones Mote, kontak,tipe tuberkulin dan reaksigranulomata. Manifestasi klinis keruasakan jaringan yang banyak di jumpai di bidang THT adalah reaksi tipe I, yaitu rinitis alergi. 3.Antigen 22 Antigen atau imunogen adalah setiap bahan yang dapat menimbulkan respons imun spesifik pada manusia dan hewan. Komponen antigen yang disebut determinan antigen atau epitop adalah bagian antigen yang dapat mengikat antibodi. Bahan ini biasanya terdiri dari protein dan karbohidrat dengan berat molekul yang tinggi. Alergen yang masuk kedalam tubuh dan menyebabkan terjadinya reaksi alergi. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui berbagi jalan, yaitu saluran napas, saluran cerna, suntikan dan diserap melalui kulit. Alergen yang masuk dengan jalan dihirup dinamakan alergen hirupan atau alergen inhalan, alergen ini biasanya berbentuk butir-butir kecil misalnya debu rumah, tungau, jamur, serpihan kulit manusia dan binatang. Bulu binatang, kapuk, tepung sari dan lain lain. Bahan ini sering sebagi alergen spesifik penyebab penyakit alergi THT, seperti rinitis alergi. Alergen yang masuk melalui cerna dinamakan alergen ingestan misalnya bahan makanan, bahan pemberi aroma, obat, mineral dan zat-zat organik yang terdapat didalam air minum dan lain-lain. Alergen yang masuk akibat kontak langsung dengan permukaan kulit dinamakan alergen kontaktan, misalnya ulat bulu, obat-obatan, kosmetik, minyak, tanaman dan lain-lain. Selain itu, alergen yang masuk akibat suntikan (serum, vaksin), gigitan atau sengatan serangga dinamakan alergen injektan. 4.Sistem imun 22,32,33 Keutuhan tubuh dipertahankan oleh sistem pertahanan yang terdiri dari sistem imun non-spesifik dan spesifik. Sistem imun non-spesifik merupakan pertahanan badan terdepan dalam menghadapi berbagai serangan mikroorganisme dan dapat memberikan respons langsung terhadap antigen. Komponen-komponen sistem imun non-spesifik terdiri atas : 1) pertahanan fisik dan mekanis, 2) pertahanan biokimia 3) pertahanan humoral dan 4) pertahanan seluler Digitized by USU digital library 10

11 Pertahanan fisik dan mekanis, yaitu kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin yang dapat mencegah berbagai kuman patogen masuk kedalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya luka bakar dan selaput lendir yang rusak karena asap rokok akan meningkatkan risiko infeksi. Pertahanan biokimia yaitu bahan yang disekresi mukosa saluran napas, kelenjar sebasea kulit, kelenjar kulit telinga dan spermin dalam semen merupakan bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh. Asam hidroklorida dalam lambung, lisozim dalam keringat,ludah air mata dan air susu dapat melindungi tubuh terhadap kuman gram positif dengan jalan menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu mengandung pula laktoferin dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibakteri terhadap Escherichia coli dan staphylococcus. Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dengan bantuan komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseudomonas. Pertahanan humoral ialah berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan humoral, yaitu a) komplemen, b) interferon, c) C Reaktif Protein (CRP). Komplemen dapat mengaktifkan fagosit dan membantu destruksi bakteri dan parasit dengan jalan obsonisasi. Kejadian ini merupakan pengaruh fungsi imun non spesifik, tetapi dapat pula terjadi atas pengaruh respon imun spesifik, Interferon adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh manusia yang mengandung nucleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon mempunyai sifat anti virus dengan jalan menginduksi sel di sekitar sel yang telah terserang infeksi virus, sehingga menjadi resisten terhadap virus. Selain itu interferon dapat mengaktifkan natural killer cel (Cel NK). C reaktif protein (CRP), dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan komplemen. Pertahanan seluler terdiri dari : a) Fagosit atau makrofag, b) Sel NK yang berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Fagosit merupakan sel dalam tubuh yang dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan pada pertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfoknulear seperti neutrofil. Kedua golongan sel tersebut berasal dari sel hemopoetik. Fagositosis dini yang efektif pada invasi kuman akan dapat mencegah timbulnya penyakit. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat yaitu kemotaksis (menangkap), fagositosis (memakan), membunuh dan mencerna. Natural killer Cel (sel NK) adalah sel limfoid tanpa ciri-ciri sel limfoid sistem imun spesifik yang ditemukan dalam sirkulasi sehingga disebut juga non B non-t atau sel populasi ke tiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma,sedangkan interferon mempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efek sitolotik sel NK. Sistem imun spesifik berbeda dengan sistem imun non spesifik. Sistem ini mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing. Benda asing yang pertama kali masuk ke dalam tubuh segera di kenal oleh sistem imun spesifik, sehingga terjadi sensitisasi sel-sel imun tersebut. Bila sel sistem imun terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing ini akan dikenal lebih cepat dan dihancurkan. Oleh karena itu sistem tersebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi badan, tetapi pada umumnya terjalin kerja sama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit imun yang terjadi sering disertai dengan inflamasi. Secara garis besar tubuh mempunyai dua sistem imun spesifik, sebagai berikut : 1) sistem imun spesifik humoral dan 2) sistem imun spesifik seluler. Sistem imun spesifik humoral: dalam sistem ini yang berperan adalah limfosit B atau sel B. Sel B berasal dari sel asal multipoten. Pada unggas, sel asal tersebut berdiferensiasi menjadi sel B, di dalam organ yang disebut bursa fabrisius yang 2003 Digitized by USU digital library 11

12 letaknya dekat kloaka. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang manjadi sel plasma yang dapat membentuk antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan di dalam serum. Fungsi utama antibodi ialah mempertahankan tubuh terhadap infeksi bakteri, virus dan menetralisasi toksin. Sistem imun spesifik seluler: yang berperan dalam sistem ini adalah limfosit T atau sel T. Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk didalam sumsum tulang, tetapi profilerasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus. Fungsi umum sel T ialah membantu sel B dalam memproduksi antibodi, mengenal dan menghancurkan sel yang terinfeksi virus, mengaktifkan makrofag dalam fagositosis dan mengontrol ambang serta kualitas sistem imun. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas 4 sel subset, yaitu: 1) sel Th (T helper), sel ini menolong sel B dalam memproduksi antibodi. Untuk membentuk antibodi, kebanyakan antigen (T dependent antigen) harus dikenal lebih dahulu baik oleh sel T maupun sel B. Sel Th berpengaruh atas sel Tc dalam mengenal sel yang terkena infeksi virus dan jaringan cangkok alogenik. Istilah sel T inducer dipakai untuk menunjukkan aktivitas sel Th yang mengaktifkan makrofag dan sel-sel lain, 2) sel Ts (T supresor), sel ini menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Menurut fungsinya, sel Ts dapat terdiri Ts spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik, 3) sel Tdh atau Td (delayed hypersensitivity) adalah sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ke tempat terjadinya reaksi lambat. Sebenarnya fungsi sel Tdh menyerupai sel Th, 4) sel Tc (T cytotoxic) mempunyai kemampuan untuk menghancurkan sel alogenik dan sel sasaran yang mengandung virus. Sel Th dan sel Ts disebut juga sel regulator sedang sel Tdh dan sel Tc disebut sel efektor. IV.SINUSITIS MAKSILA KRONIS 1. Defenisi Sinusitis maksila kronis adalah peradangan kronis pada sebagian atau seluruh mukosa sinus maksila. Adams (1978) menyebutkan batas waktu sinusitis kronis beberapa bulan sampai beberapa tahun Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila lebih dari tiga bulan. 14 Sebenarnya klasifikasi yang tepat berdasarkan pada pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan. Gambaran patologik sinusitis maksila kronis cukup kompleks dan ireversibel. Mukosa umumya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau pseudopolip. Epitel permukaan mengalami deskuamasi, regenerasi, metaplasia, atau epitel normal dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologi yang sama. Pembentukan mikroabses dalam jaringan granulasi dapat terjadi bersama sama dengan pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar dan polimorfonuklear dalam lapisan submukosa. 26,34,35 2. Kekerapan Secara umum sulit untuk menentukan kekerapan sinusitis maksila yang disebabkan oleh faktor alergi saja. Oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala sinusitis maksila. Rinitis alergi cenderung mulai timbul pada masa kanak-kanak menetap sampai dewasa, kemudian menurun pada usia lanjut dengan prevalensi sebanyak 7,9 % pada kelompok umur lebih dari 70 tahun. 15, Digitized by USU digital library 12

13 Suwasono (1986) dalam penelitiannya pada 44 penderita sinusitis maksila kronis mendapatkan 8 di antaranya (18,18%) memberikan tes kulit positip dan kadar IgE total yang meninggi. Terbanyak pada kelompok umur tahun dengan frekuensi antara laik-laki dan perempuan seimbang. Hasil positip pada tes kulit yang terbanyak adalah debu rumah (87,75%). tungau (62,50%) dan serpihan kulit manusia (50 %).36 3.Patogenesis Pada paparan primer dengan alergen, dalam tubuh penderita akan terjadi interaksi antara makrofag dan limfosit T untuk menghasilkan suatu mediator (interleukin -4/IL-4) yang memacu limfosit B memproduksi IgE spesifik. Bagian Fc Ig E akan menempel pada reseptor khusus permukaan sel mediator yang telah terikat dengan IgE disebut sel mediator yang tersensitisasi. Selanjutnya bila terjadi paparan ulang dengan alergen yang sejenis, maka alergen akan berikatan dengan bagian Fab Ig E yang ada pada permukan sel mastosit atau basofil. Reaksi itu terjadi dalam waktu 1-5 menit sampai 30 menit, dengan puncak reaksi antara menit dan disebut reaksi akut atau reaksi akut dini. Ikatan tersebut akan memberikan tanda ke dalam sel yang akan mengaktifkan sistem nukleotida, siklik guanosin monofosfat (cgmp), siklik adenosin monofosfat (c AMP) dan meningkatkan perbandingan siklik guanosin monofosfat terhadap siklik adenosin monofosfat serta aktivasi proesterase. Ikatan antigen IgE juga meningkatan influks Ca++ dari ruang ekstraseluler, sehingga menaikkan kadar Ca++ di dalam sel. Kadar Ca++ yang meningkat ini menyebabkan terjadinya degranulasi dan penglepasan mediator preformed seperti histamin yang melalui sistem saraf otonom menimbulkan gejala bersin, vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan rinore dan edema serta kontraksi otot polos pada bronkus yang menimbulkan sesak napas, Kinin menyebabkan vasodilatasi, sehingga menimbulkan edema. Triptase menyebabkan proteolisis dan aktivasi C3a. Neutrophil chemotactic factor (NCF) menyebabkan pengarahan netrofil ke organ target serta eosinophil chemotactic factor (ECF) menyebabkan pengarahan eosinofil ke organ target. Bila penderita rinitis alergi terpapar dengan alergen spesifik akan terjadi juga realsi lambat dalam waktu 4-12 jam sesudah reaksi akut dan dapat berlangsung sampai 24 jam. Reaksi akut yang disusul oleh reaksi lambat disebut bifasis. Reaksi lambat ini pada saat yang sama dengan proses degranulasi di dalam sel, yaitu dimulai dari timbulnya aktivasi enzim fosfolipase yang memecah fosfolipid membran sel menjadi asam arakidonat. Sel-sel yang melepas asam arakidonat adalah sel mastosit, eosinofil, makrofag, trombosit dan endotel vaskuler. Selanjutnya asam arakidonat dipecah menjadi prostaglandin, tromboksan, leukotrin dan platelet activating factor (PAF). Oleh karena mediator-mediator tersebut dilepas setelah histamin, maka disebut newly generated. Pada reaksi lambat ini terjadi reaksi inflamasi yang menyebabkan sumbatan hidung akan berlangsung lama. 22,36,37,38 Menurut Stammberger yang dikutip oleh Rifki 4, lebih dari 90% penyebab kasus sinutis maksila dan frontal terletak di kompleks ostiomeatal yang terdiri dari infundibulum etmoid, resesus frontal, sel-sel etmoid anterior beserta ostiumnya dan ostium sinus maksila. Pada rinitis alergi akan terjadi inflamasi, sehingga mukosa infundibulum etmoid dan resesus frontal yang berhadapan akan saling berdekatan, sehingga ventilasi terganggu. PH dalam sinus akan menurun dan akan menyebabkan gerakan silia dalam sinus berkurang serta mukus tidak dapat dialirkan. Bila sumbatan terus berlanjut akan terjadi hipoksia dan retensi mukus, yang merupakan kondisi yang ideal untuk tumbuhnya kuman-kuman patogen. Infeksi dan toksin selanjutnya dapat mengganggu fungsi mukosa dan menyebabkan terjadinya lingkaran setan (vicious cycle). Kontak mukosa dapat juga terjadi pada celah antara prosesus unsinatus 2003 Digitized by USU digital library 13

14 dengan konka media, bula etmoid dengan konka media dan sinus lateral yang terletak di atas dan belakang bula etmoid. 4,7,26. Bukti lain juga menyokong bahwa kompleks ostiomeatal adalah tempat primer terjadinya infeksi di sinus paranasal yaitu ujung depan konka media dan meatus medius disebabkan daerah tersebut adalah tempat yang paling banyak terkena udara inspirasi. Udara dengan kecepatan tinggi setelah melewati katup hidung (nasal valve) harus berubah arah manjadi horizontal sehingga partikel-partikel udara menempel di daerah tersebut. Oleh karena itu tempat ini merupakan tempat primer deposit bakteri dan partikel-partikel alergen yang timbulnya adenokarsinoma dan karsinoma sel skuamosa. 4 4.Etiologi Alergi dapat juga merupakan salah satu faktor predisposisi infeksi disebabkan edema mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang udem yang dapat menyumbat muara sinus dan mengganggu drenase sehingga menyebabkan timbulnya infeksi, selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya berulang yang mengarah pada sinusitis kronis. 14,21,26,39,40 Pada keadaan kronis terdapat polip nasi dan polip antrokoanal yang timbul pada rinitis alergi, memenuhi rongga hidung dan menyumbat ostium sinus. 27 Selain faktor alergi, faktor predisposisi lain dapat juga berupa lingkungan. Faktor cuaca seperti udara dingin menyebabkan aktivitas silia mukosa hidung dan sinus berkurang, sedangkan udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya perubahan mukosa, sehingga timbul sinusitis. Faktor lainnya adalah obstruksi hidung yang dapat disebabkan kelainan anatomis, misalnya deviasi septum, hipertropi konka, bula etmoid dan infeksi serta tumor. Biasanya tumor ganas hidung dan nasofaring sering disertai dengan penyumbatan muara sinus. 39,40 Etiologi infeksi sinus paranasal pada umumnya sama seperti etiologi rinitis, yaitu virus dan bakteri. Virus penyebab sinusitis antara lain rinovirus, para influenza tipe 1 dan 2 serta respiratory syncitial virus. Kebanyakan infeksi sinus disebabkan oleh virus, tetapi kemudian akan diikuti oleh infeksi bakteri sekunder. Karena pada infeksi virus dapat terjadi edema dan hilangnya fungsi silia yang normal, maka akan terjadi suatu lingkungan ideal untuk perkembangan infeksi bakteri. Infeksi ini sering kali melibatkan lebih dari satu bakteri. Organisme penyebab sinusitis akut mungkin sama dengan penyebab otitis media. Yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun ialah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus Influenzae, bakteri anaerob, Branhamella kataralis, Streptococcus alfa, Staphylococcus aureus dan Streptococcus pyogenes. Selama suatu fase akut, sinusitis kronis disebabkan oleh bakteri yang sama yang menyebabkan sinusitis akut. Namun, karena sinusitis kronis biasanya berkaitan dengan drenase yang tidak adekuat maupun fungsi mukosiliar yang terganggu, maka agen infeksi yang terlibat cenderung oportunistik, dimana proporsi terbesar bakteri anaerob. Akibatnya, biakan rutin tidak memadai dan diperlukan pengambilan sampel secara hati-hati untuk bakteri anaerob. Bakteri aerob yang sering ditemukan dalam frekuensi yang makin menurun, antara lain Staphylococcus aureus, Streptococcus viridans, Haebomophilis influenza, Neisseria flavus, Staphylococcus epidermis, Streptcoccus pneumoniae dan Escherichia coli, Bakteri anaerob termasuk Peptostreptococcus, Corynebacterium, Bakteriodaes dan Vellonella. Infeksi campuran antara organisme aerob dan anaerob sering kali terjadi. 26,39,40 Sumber infeksi yang mungkin dapat menyebabkan peradangan pada sinus paranasal, antara lain infeksi hidung yang umumnya menyebar kearah sinus melalui muaranya. Infeksi hidung bisa disebabkan oleh mikroorganisme patogen atau dapat pula oleh benda asing seperti yang sering terjadi pada anak-anak. Infeksi gigi, paling 2003 Digitized by USU digital library 14

15 sering sebagai penyebab infeksi sinus maksila terutama infeksi dari rahang atas gigi molar 1,2,3 serta premolar 1 dan 2. Penyebaran infeksi dari gigi ke antrum melalui dua cara, yaitu melalui infeksi gigi kronis, yang mengakibatkan terbentuknya daerah granulasi pada mukosa sinus yang menutupi daerah alveolaris, sehingga fungsi mukosa didaerah tersebut berubah dan aktifitas silia terganggu. Dapat juga perkontinuitatum, bakteri langsung menyebar dari granuloma kapital atau kantong periodontal ke sinus maksila. Trauma muka dapat menimbulkan peradangan dengan beberapa cara yaitu melaui fraktur terbuka, menyebabkan hubungan sinus dengan dunia luar maupun rongga hidung kerusakan mukosa yang terjadi serta adanya bekuan darah memudahkan timbulnya infeksi. Dapat pula melalui kontusio sinus, dimana akibat pukulan yang keras pada pipi akan mengakibatkan kontusio mukosa sinus yang kadang-kadang disertai ekstravasasi darah ke dalam antum. Keadaan ini memudahkan terjadi infeksi yang berasal dari hidung. Suatu benda asing di dalam sinus maupun hidung dapat meyebabkan sinusitis, misalnya pecahan tulang, gigi peluru dan tampon hidung. Barotrauma dapat juga sebagai penyebab dan sering terjadi pada penderita sumbatan hidung misalnya, deviasi septum, rinitis alergi selama dalam penerbangan. Infeksi dari air sewaktu berenang dan menyelam dapat merupakan faktor penyebab terjadinya sinusitis, sedangkan penyakit umum seperti influenza, morbili dan pertusis dapat menyebabkan sinusitis pula. Peneumonia yang disebabkan oleh Pneumococcus sering disertai oleh sinusitis dengan penyebab oleh kuman yang sama. 26,40 Hubungan sinusitis dengan penyakit atau kelainan paru, dikenal sebagai sindrom sinobronkial dan kelainan paru yang bersamaan dengan sinusitis ialah bronchitis kronis, asma bronkial dan bronkiektasis Gejala klinis. Gejala klinis sinusitis maksila kronis sangat bervariasi, dari ringan sampai berat, dari : 1) Gejala hidung, a) Obstruksi hidung, keluhan ini sering dirasakan oleh penderita sebelum terjadi sinusitis, karena adanya rinitis alergi dan polip yang timbul sebelumnya, b) Sekret hidung. Pada sinusitis alergi maka cairan yang keluar bersifat serous kadang-kadang mukoid yang berlebihan. Bila sekret berubah menjadi mukupurulen, biasanya sudah terjadi proses paradangan dan bila sekret bercampur darah, terutama unilateral dicurigai adanya keganasan, c) Post nasap drip (ingus belakang hidung), merupakan gejala yang paling sering ditemukan dan dirasakan sebagai perasaan kering dari tenggorok, rasa panas di belakang hidung serta rasa tidak nyaman di mulut, d) Epistaksis, disebabkan karena peradangan dan vasodilatasi pembuluh darah pada mukosa hidung, e) gangguan penghidu, ada keluhan kakosmia, penderita merasakan bau busuk, bahkan bau dapat tercium oleh orang lain, biasanya karena kelainan anatomi hidung. Pada sinusitis kronis dengan dasar rinitis alergi biasanya keluhannya hiposmia sampai anosmia dan kadang-kadang parosmia, f) Ekskoriasi sekitar lubang hidung, seringkali ditemukan pada anak-anak dan dianggap sebagai tanda sinusitis kronis, g) Allergic salute, yaitu gerakan punggung tangan menggosok hidung karena gatal, keadaan ini sering tampak pada anak-anak dan menimbulkan garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease (linea nasalis). 2) Gejala faring. Rasa kering tenggorok yang disebabkan oleh faringitis dan tonsillitis Digitized by USU digital library 15

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri.

Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Anatomi Sinus Paranasal Ada empat pasang sinus paranasal yaitu sinus maksila, sinus frontal, sinus etmoid dan sinus sfenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. (simptoms kurang dari 3 minggu), subakut (simptoms 3 minggu sampai 8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sinusitis Sinusitis adalah proses peradangan atau infeksi dari satu atau lebih pada membran mukosa sinus paranasal dan terjadi obstruksi dari mekanisme drainase normal. 9,15

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas

Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan. Sistem Imunitas Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh adalah suatu sistem dalam tubuh yang terdiri dari sel-sel serta

Lebih terperinci

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)

SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan

Lebih terperinci

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

IMUNOLOGI DASAR. Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired IMUNOLOGI DASAR Sistem Imun Antigen (Ag) Antibodi (Ab) Reaksi Hipersensitivitas Sistem pertahanan tubuh terbagi atas : Sistem imun nonspesifik ( natural / innate ) Sistem imun spesifik ( adaptive / acquired

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS

SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS SISTEM IMUN. ORGAN LIMFATIK PRIMER. ORGAN LIMFATIK SEKUNDER. LIMPA NODUS LIMFA TONSIL. SUMSUM TULANG BELAKANG KELENJAR TIMUS Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal.

Kaviti hidung membuka di anterior melalui lubang hidung. Posterior, kaviti ini berhubung dengan farinks melalui pembukaan hidung internal. HIDUNG Hidung adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Kita mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan yang masih segar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN

TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN TEORI SISTEM IMUN - SMA KELAS XI SISTEM IMUN PENDAHULUAN Sistem Imun merupakan semua mekanisme pertahanan yang dapat dimobilisasi oleh tubuh untuk memerangi berbagai ancaman invasi asing. Kulit merupakan

Lebih terperinci

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus

Sistem Imun. Organ limfatik primer. Organ limfatik sekunder. Limpa Nodus limfa Tonsil. Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Sistem Imun Organ limfatik primer Sumsum tulang belakang Kelenjar timus Organ limfatik sekunder Limpa Nodus limfa Tonsil SISTEM PERTAHANAN TUBUH MANUSIA Fungsi Sistem Imun penangkal benda asing yang masuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed

FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran

Lebih terperinci

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI

DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI DASAR-DASAR IMUNOBIOLOGI OLEH: TUTI NURAINI, SKp, M.Biomed. DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR PENDAHULUAN Asal kata bahasa latin: immunis: bebas dari beban kerja/ pajak, logos: ilmu Tahap perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya

BAB I PENDAHULUAN. Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rinitis alergi (RA) adalah penyakit yang sering dijumpai. Gejala utamanya adalah bersin, hidung beringus (rhinorrhea), dan hidung tersumbat. 1 Dapat juga disertai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

Gambar: Struktur Antibodi

Gambar: Struktur Antibodi PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan

Lebih terperinci

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr

Sistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak

Lebih terperinci

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh

Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Mekanisme Pembentukan Kekebalan Tubuh Apabila tubuh mendapatkan serangan dari benda asing maupun infeksi mikroorganisme (kuman penyakit, bakteri, jamur, atau virus) maka sistem kekebalan tubuh akan berperan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI

DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI DAYA TAHAN TUBUH & IMMUNOLOGI Daya Tahan tubuh Adalah Kemampuan tubuh untuk melawan bibit penyakit agar terhindar dari penyakit 2 Jenis Daya Tahan Tubuh : 1. Daya tahan tubuh spesifik atau Immunitas 2.

Lebih terperinci

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal

Sistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B

Famili : Picornaviridae Genus : Rhinovirus Spesies: Human Rhinovirus A Human Rhinovirus B RHINOVIRUS: Bila Anda sedang pilek, boleh jadi Rhinovirus penyebabnya. Rhinovirus (RV) menjadi penyebab utama dari terjadinya kasus-kasus flu (common cold) dengan presentase 30-40%. Rhinovirus merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sinus Paranasalis (SPN) terdiri dari empat sinus yaitu sinus maxillaris, sinus frontalis, sinus sphenoidalis dan sinus ethmoidalis. Setiap rongga sinus ini

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006

SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari

Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari Selama berabad-abad orang mengetahui bahwa penyakit-penyakit tertentu tidak pernah menyerang orang yang sama dua kali. Orang yang sembuh dari serangan epidemi cacar dapat menangani para penderita dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit.

menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda asing berupa antigen dan bibit penyakit. Bab 10 Sumber: Biology: www. Realm nanopicoftheday.org of Life, 2006 Limfosit T termasuk ke dalam sistem pertahanan tubuh spesifik. Pertahanan Tubuh Hasil yang harus Anda capai: menjelaskan struktur dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Universitas Indonusa Esa Unggul FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Jurusan Perekam Medis dan Informasi Kesehatan Conducted by: Jusuf R. Sofjan,dr,MARS 2/17/2016 1 Tubuh manusia mempunyai kemampuan untuk melawan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN

BAB 3 KERANGKA PENELITIAN BAB 3 KERANGKA PENELITIAN 3.1 Kerangka Konseptual Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori tersebut serta masalah penelitian yang telah dirumuskan tersebut, maka dikembangkan suatu kerangka

Lebih terperinci

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN

RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN BAB 10 RESPON PERTAHANAN TERHADAP MIKROBIA PATOGEN 10.1. PENDAHULUAN Virus, bakteri, parasit, dan fungi, masing-masing menggunakan strategi yang berbeda untuk mengembangkan dirinya dalam hospes dan akibatnya

Lebih terperinci

SISTEM PERTAHANAN TUBUH

SISTEM PERTAHANAN TUBUH SISTEM PERTAHANAN TUBUH Sistem Pertahanan Tubuh Sistem Pertahanan Tubuh Non spesifik Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik Jenis Kekebalan Tubuh Disfungsi sitem kekebalan tubuh Eksternal Internal Struktur Sistem

Lebih terperinci

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM

FIRST LINE DEFENCE MECHANISM Pengertian Sistem Pertahanan Tubuh Pertahanan tubuh adalah seluruh sistem/ mekanisme untuk mencegah dan melawan gangguan tubuh (fisik, kimia, mikroorg) Imunitas Daya tahan tubuh terhadap penyakit dan infeksi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A)

REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI. Oleh : Rini Rinelly, (B8A) REAKSI ANTIGEN-ANTIBODI DAN KAITANNYA DENGAN PRINSIP DASAR IMUNISASI Oleh : Rini Rinelly, 1306377940 (B8A) REAKSI ANTIGEN DAN ANTIBODI Pada sel B dan T terdapat reseptor di permukaannya yang berguna untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. Sistematika tanaman mahkota dewa adalah sebagai berikut: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Mahkota Dewa Berikut adalah sistematika tanaman, daerah, deskripsi tanaman, bagian yang digunakan dan manfaat tanaman mahkota dewa. 2.1.1 Sistematika Tanaman Sistematika

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Eritrosit Fungsi

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan.

BAB PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Imunologi imunitas alami dan imunitas perolehan. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Kedudukan dan Reran Imunologi dalam Ilmu Kefarmasian Untuk mengerti bagaimana kedudukan dan peran imunologi dalam ilmu kefarmasian, kita terlebih dahulu harus mengetahui apakah yang

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan

BAB I PENDAHULUAN. hormon insulin baik secara relatif maupun secara absolut. Jika hal ini dibiarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal dan gangguan metabolisme karbohidrat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan masalah yang sering terjadi pada anak anak, misal otitis media akut (OMA) merupakan penyakit kedua tersering pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt.

SISTEM IMUN SPESIFIK. Lisa Andina, S.Farm, Apt. SISTEM IMUN SPESIFIK Lisa Andina, S.Farm, Apt. PENDAHULUAN Sistem imun spesifik adalah suatu sistem yang dapat mengenali suatu substansi asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat memacu perkembangan respon

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

BAB 1 PENDAHULUAN. pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketika tubuh terpajan oleh suatu antigen atau benda asing, secara otomatis tubuh akan memberi tanggapan berupa respon imun. Respon imun dibagi menjadi imunitas

Lebih terperinci

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung)

INDERA PENCIUMAN. a. Concha superior b. Concha medialis c. Concha inferior d. Septum nasi (sekat hidung) INDERA PENCIUMAN Indera penciuman adalah indera yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan sekitar melalui aroma yang dihasilkan. Seseorang mampu dengan mudah mengenali makanan yang sudah busuk dengan

Lebih terperinci

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo

Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Dasar-dasar Imunologi Agung Dwi Wahyu Widodo Departemen Mikrobiologi Kedokteran Fakultas Kedokteran Unair Pokok Bahasan Sejarah Imunologi Pendahuluan Imunologi Komponen Imunologi Respons Imun Imunogenetika

Lebih terperinci

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit

Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Darah 8 % bb Komposisi darah : cairan plasma ± 60 % Padatan 40-45% sel darah merah (eritrosit), sel darah putih, trombosit Plasma (40%-50%) Lekosit Eritrosit sebelum sesudah sentrifusi Fungsi utama eritrosit:

Lebih terperinci

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR

ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab

Lebih terperinci

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI

BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI 1 BAHAYA AKIBAT LEUKOSIT TINGGI TUGAS I Disusun untuk memenuhi tugas praktikum brosing artikel dari internet HaloSehat.com Editor SHOBIBA TURROHMAH NIM: G0C015075 PROGRAM DIPLOMA III ANALIS KESEHATAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus

Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara

BAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Hidung terdiri dari bagian internal dan eksternal. Bagian eksternal menonjol dari wajah dan disangga oleh tulang hidung dan kartilago. Lubang hidung merupakan ostium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM

TRAUMA MUKA DAN DEPT. THT FK USU / RSHAM TRAUMA MUKA DAN HIDUNG DEPT. THT FK USU / RSHAM PENDAHULUAN Hidung sering fraktur Fraktur tulang rawan septum sering tidak diketahui / diagnosis hematom septum Pemeriksaan dapat dilakukan dengan palpasi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Menurut Herbarium Medanense (2016), mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia

TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2. Sistem Respirasi Manusia TUTORIAL 2 SISTEM TUBUH 2 Sistem Respirasi Manusia Sistem Respirasi Manusia Isilah bernapas, seringkali diarikan dengan respirasi, walaupun secara hariah sebenarnya kedua isilah tersebut berbeda. Pernapasan

Lebih terperinci

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi

Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta

Lebih terperinci

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER

IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi

BAB I PENDAHULUAN. Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mukosa rongga mulut merupakan lapisan epitel yang meliputi dan melindungi rongga mulut. Lapisan ini terdiri dari epitel gepeng berlapis baik yang berkeratin maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan

BAB I PENDAHULUAN. umumnya. Seseorang bisa kehilangan nyawanya hanya karena serangan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Saat ini asma semakin berkembang menjadi penyakit pembunuh bagi masyarakat di dunia, selain penyakit jantung. Serangan yang terjadi akibat asma menjadi momok

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Pada Tikus Putih Leukosit atau disebut dengan sel darah putih merupakan sel darah yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh dan merespon kekebalan tubuh

Lebih terperinci

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan

Bronkitis pada Anak Pengertian Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Bronkitis pada Anak 1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan

Lebih terperinci

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN

BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN BAB II PEMBAHASAN A. MEKANISME SISTEM IMUN Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru

Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia. Hidung. Faring. Laring. Trakea. Bronkus. Bronkiolus. Alveolus. Paru-paru Exit Hidung Faring Organ yang Berperan dalam Sistem Pernapasan Manusia Laring Trakea Bronkus Bronkiolus Alveolus Paru-paru Hidung Hidung berfungsi sebagai alat pernapasan dan indra pembau. Pada hidung

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala. 7 Sinus BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus atau lebih dikenal dengan sinus paranasal merupakan rongga di dalam tulang kepala yang terbentuk dari hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. organisme berbahaya dan bahan-bahan berbahaya lainnya yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara Fisiologis hidung berfungsi sebagai alat respirasi untuk mengatur kondisi udara dengan mempersiapkan udara inspirasi agar sesuai dengan permukaan paru-paru, pengatur

Lebih terperinci

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS

Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Laporan Kasus SINUSITIS MAKSILARIS Pembimbing: drg. Ernani Indrawati. Sp.Ort Disusun Oleh : Oktiyasari Puji Nurwati 206.12.10005 LABORATORIUM GIGI DAN MULUT RSUD KANJURUHAN KEPANJEN FAKULTAS KEDOKTERAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra

CREATIVE THINKING. MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra CREATIVE THINKING MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN Panca Indra HIDUNG Hidung merupakan panca indera manusia yang sangat penting untuk mengenali bau dan juga untuk bernafas. Bagian-Bagian Hidung Dan Fungsinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN 21 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian intervensi atau uji klinis dengan randomized controlled trial pre- & posttest design. Studi ini mempelajari

Lebih terperinci

Ilmu Pengetahuan Alam

Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah SEKOLAH DASAR TETUM BUNAYA Kelas Yupiter Nama Pengajar: Kak Winni Ilmu Pengetahuan Alam Sistem Peredaran Darah A. Bagian-Bagian Darah Terdiri atas apakah darah

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

Respon imun adaptif : Respon humoral

Respon imun adaptif : Respon humoral Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi Sinus Paranasal Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat pasang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tumbuhan Mahkota Dewa (Phaleria macrocarpa) 2.1.1 Klasifikasi tumbuhan Dalam taksonomi tumbuhan, tanaman mahkota dewa diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisi Subdivisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Parasitemia Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rute inokulasi baik melalui membran korioalantois maupun kantung alantois dapat menginfeksi semua telur tertunas (TET). Namun terdapat

Lebih terperinci

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas.

Di seluruh dunia dan Amerika, dihasilkan per kapita peningkatan konsumsi fruktosa bersamaan dengan kenaikan dramatis dalam prevalensi obesitas. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini studi tentang hubungan antara makanan dan kesehatan memerlukan metode yang mampu memperkirakan asupan makanan biasa. Pada penelitian terdahulu, berbagai upaya

Lebih terperinci