BAB II STUDI PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II STUDI PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II STUDI PUSTAKA 2.1 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOMETRIK Kapasitas bandar udara adalah jumlah pergerakan pesawat yang bisa dilayani oleh suatu bandar udara dalam suatu rentang waktu tertentu dengan tundaan ratarata bagi pesawat yang akan berangkat yang masih dalam batas waktu yang diperbolehkan. Pesawat melakukan dua pergerakan utama yaitu mendarat dan tinggal landas. Jika terdapat suatu bandar udara dengan single runway dan single exit taxiway, dan diasumsikan bahwa hanya satu pesawat yang diperbolehkan menggunakan runway pada suatu waktu tertentu, maka kapasitas bandar udara akan ditentukan oleh waktu penggunaan runway oleh suatu pesawat. Runway akan beroperasi pada kapasitasnya pada saat waktu selang (interval) antara dua pergerakan yang berurutan sama dengan waktu penggunaan runway suatu pesawat. Pada prakteknya terdapat banyak variasi interval pada kedatangan keberangkatan, sehingga menimbulkan delay (keterlambatan) pada masingmasing kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut. Dengan meningkatnya pergerakan pesawat per jam, maka tundaan ratarata bagi pesawat yang akan berangkat meningkat. International Civil Aviation Organization; ICAO telah mengeluarkan sistem klasifikasi bandar udara, sistem ini dituangkan dalam Aerodrome Reference Code; ARC. Sistem ini menggunakan dua notasi, yaitu angka dan huruf. Kode angka didasarkan pada panjang ARFL (Aeroplane Refrence Field Length) sedangkan kode huruf untuk menggolongkan bandar udara berdasarkan lebar sayap pesawat dan jarak main gear terluar. Kode huruf dan angka yang dipilih untuk tujuan perencanaan, dihubungkan kepada karakteristik pesawat kritis yang dapat dilayani oleh bandar udara bersangkutan. Di bawah ini adalah Tabel ARC yang dikeluarkan oleh ICAO Maret Tabel 2. 1 Aerodrome Reference Code Element Code 1 Element Code 2 Number ARFL Letter Wing Span Outer Main Gear Code Code Width Wheel Span 1 less than 800 m A < 15 m < 4,5 m m < x 1200 m B 15 m24 m 4,5 m6 m M < x 1800 m C 24 m36 m 6 m9 m 4 more than 1800 m D 36 m52 m 9 m14 m E 52 m60 m 9 m14 m Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 Hanindita Diajeng Sunu

2 2.1.1 Perencanaan Runway Runway adalah permukaan berbentuk persegi yang disediakan untuk kegiatan mendarat dan tinggal landas pesawat. a. Sistem Pengoperasian Runway Menurut sistem pengoperasiannya, secara umum runway dapat dibagi menjadi dua jenis: 1. NonInstrument Runway Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara visual (pilot memperhitungkan pendaratan berdasarkan penglihatannya). 2. Instrumen Runway Operasi runway ini dimaksudkan untuk pesawat yang menggunakan prosedur pendaratan secara instrument (pilot memperhitungkan pendaratan menggunakan alat bantu, tidak berdasarkan penglihatannya). Instrument runway dibagi menjadi empat jenis: a. Nonprecision approach runway b. Precision approach runway kategori I c. Precision approach runway kategori II d. Precision approach runway kategori III b. Orientasi Arah Runway Runway harus ditentukan sedemikian rupa sehingga jalur runway tidak mengarah atau melewati daerah padat penduduk dan halangan dapat dihindari. Salah satu hal yang sangat berperan dalam penentuan orientasi runway adalah keadaan angin pada daerah lapangan terbang rencana. Salah satu komponen angin yang sangat berpengaruh di dalam perencanaan orientasi arah runway adalah cross wind. Crosswind atau angin sisi ialah angin yang bertiup tegak lurus pesawat. Pada saat takeoff maupun landing, pesawat hanya dapat melakukan manuver di atas runway sepanjang cross wind tidak berlebihan dan masih dapat ditahan oleh pesawat. Cross wind maximum adalah kecepatan angin maksimum dengan arah tegak lurus terhadap panjang pesawat yang masih dapat ditahan oleh badan pesawat. ICAO menetapkan batas cross wind maximum berdasarkan panjang runway seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.2. Hanindita Diajeng Sunu

3 Tabel 2. 2 Maximum Permissible Cross wind Code Letter Runway Length Max Permissible Cross wind A length 2100 m (7000 ft) 20 knots (23 mph) B 1500 m (5000 ft) length < 2100 m (7000 ft) 20 knots (23 mph) C 900 m (3000 ft) length < 1500 m (5000 ft) 13 knots (15 mph) D 750 m (2500 ft) length < 900 m (3000 ft) 10 knots (11,5 mph) E 600 m (2000 ft) length < 750 m (2500 ft) 10 knots (11,5 mph) Sumber: Airport Planning Manual, Part 1 Master Planning, ICAO 1977 Usability factor ialah persentase penggunaan sistem runway di bawah batas maksimum crosswind. ICAO menetapkan bahwa usability factor suatu runway tidak boleh kurang dari 95%. Hal ini dimaksudkan di dalam penggunaan suatu runway, runway tersebut akan dapat digunakan sekurangkurangnya selama 95% dari jangka waktu yang ada, jadi distribusi pergerakan angin di suatu tempat yang akan dijadikan runway harus minimal 95% bertiup ke satu arah. Arah inilah yang akan menjadi arah runway. Orientasi arah runway dapat ditentukan menggunakan wind rose. Wind rose adalah suatu Gambaran banyaknya persentase angin tahunan yang melalui suatu area yang ditetapkan sebagai suatu area runway. Untuk membuat wind rose, diperlukan data persentase angin di daerah rencana. Langkahlangkah membuat wind rose: a. Buat sejumlah lingkaran yang berpusat pada satu titik. Jumlah lingkaran yang dibuat tergantung pada jenis kecepatan angin yang dimiliki di daerah rencana. Jarijarinya harus mewakili skala kecepatan angin tersebut. b. Lingkaranlingkaran tersebut kemudian dibagi sama rata menjadi sejumlah arah angin yang diketahui kecepatannya di daerah rencana. Lingkaran terekcil yang berada di tengah dibiarkan utuh, tidak ikut terbagi. Nama mata angin kemudian ditulis pada lingkaran terluar yang sudah terbagi. Data persentase angin yang sudah diketahui kemudian dipindahkan ke bagian lingkaran yang sudah terbagi sama rata. Nilai persentase angin calm menempati lingkaran terkecil. c. Buat sebuah bidang berbentuk persegi panjang dengan ukuran: panjang : lebih besar daripada diameter lingkaran terbesar lebar : 2 kali nilai yang melewati batas cross wind maksimum Bidang persegi panjang tersebut kemudian diletakkan di atas lingkaran dengan titik pusatnya berimpit dengan titik pusat lingkaran. Lebar bidang ini dibagi dua oleh sebuah garis yang tepat berimpit dengan simetri lipatnya. Garis tengah ini merepresentasikan garis tengah runway (runway centre line). d. Bidang persegi panjang tersebut diputar porosnya dengan sudut tertentu untuk mendapatkan persentase total arah angin yang terbesar dengan nilai persentase lebih Hanindita Diajeng Sunu

4 besar dari 95%. Persentase ini diperoleh dengan mengalikan persentase luas juring yang diselimuti oleh bidang persegi panjang dengan nilai persentase angin yang tertulis pada juring tersebut. Persentase total didapatkan dengan menjumlahkan semua persentase dari luas lingkaran yang tertutup bidang tersebut. Persentase total untuk setiap putaran bidang dihitung kemudain dibandingkan. e. Bidang persegi panjang ditandai atau dilekatkan pada lingkaran ketika persentase total terbesar diperoleh. Arah bidang ini adalah arah runway yang dicari. Gambar 2. 1 Contoh Wind Rose c. Panjang Runway Panjang runway ditentukan menggunakan code dari ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. Chapter 3 dan 5. dan didukung dengan data manual penerbangan pesawat (aircraft flight manual). Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat rencana yang memiliki kebutuhan runway terpanjang, yaitu yang memiliki ARFL terpanjang di antara pesawat yang akan beroperasi di bandara rencana. Panjang ARFL dapat diketahui dari spesifikasi teknis yang dipublikasikan oleh masing masing pabrik pembuat pesawat tersebut. Panjang aktual landasan perencanaan didapat dari mengoreksi panjang ARFL pesawat desain kritis dengan beberapa faktor koreksi. Faktor koreksi yang ditetapkan oleh ICAO adalah: Koreksi terhadap elevasi (ketinggian) Semakin besar elevasi maka semakin kecil kerapatan udara yang akan mengurangi gaya angkat sayap pesawat sehingga dibutuhkan kecepatan pesawat yang tinggi. Untuk mengantisipasinya, maka ditetapkan bahwa panjang runway dasar harus ditingkatkan sebesar 7% setiap kenaikan elevasi 300 m dari permukaan air laut rata rata. Koreksi terhadap temperatur Temperatur yang tinggi akan membutuhkan landasan yang lebih panjang karena semakin tinggi temperatur kerapatan udara semakin rendah, sehingga dibutuhkan Hanindita Diajeng Sunu

5 daya dorong yang lebih besar. Standar temperatur dipilih temperatur di atas muka air laut sebesar 59 o F = 15 o C. Menurut ICAO landasan harus dikoreksi terhadap temperatur sebesar 1 % setiap kenaikan 1 o C. Koreksi terhadap slope (kemiringan) Kemiringan ke atas memerlukan landasan yang lebih panjang dibanding landasan yang datar atau yang menurun. Hal ini juga berkaitan dengan bertambahnya tenaga yang dibutuhkan untuk lepas landas. Landasan akan bertambah 10 % tiap kemiringan seragam sebesar 1 %. Landasan pacu untuk takeoff memerlukan koreksi terhadap seluruh faktor di atas sedangkan untuk landing hanya dikoreksi terhadap elevasi. Dari panjang landasan untuk takeoff dan landing terkoreksi dipilih yang terpanjang sebagai panjang landasan aktual. d. Lebar Runway Pada Tabel 2.3 dapat dilihat bahwa ICAO mengklasifikasikan lebar runway berdasarkan code letter dan code number yang diketahui dari klasifikasi bandara pada Tabel 2.1. Tabel 2. 3 Runway Width Classifications Berdasarkan Klasifikasi ICAO Code Code Letter Number A B C D E 1a 18 m 18 m 23 m 2a 23 m 23 m 30 m 3 30 m 30 m 30 m 45 m 4 45 m 45 m 45 m a. The width of a precision approach runway should be not less than 30 m where the code number is 1 or 2 Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 Ukuran pendekatan lebar runway diusahakan tidak kurang dari 30 m jika code number adalah 1 dan 2. e. Longitudinal Slope Longitudinal slope adalah kemiringan pada arah sumbu runway. ICAO mengklasifikasikan slope berdasarkan kode angka landasan bandara seperti yang disajikan pada Tabel 2.4. Tabel 2. 4 Longitudinal Slope Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Parameter Slope Kode Angka Landasan Max. Effective Slope (%) 1,0 1,0 1,0 1,0 Max. Longitudinal Slope (%) ,0 2,0 Max. Longitudinal Slope Change (%) ,0 2,0 Slope Change per 30 m (%) Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 Hanindita Diajeng Sunu

6 f. Transverse Slope Transverse slope adalah kemiringan permukaan runway pada arah tegak lurus terhadap sumbu runway. Besarnya transverse slope maksimum yang disyaratkan oleh ICAO adalah sebagai berikut: 1,5 % untuk code letter C, D dan E 2 % untuk code letter A dan B g. Runway Shoulder Runway shoulder merupakan area di sisi kirikanan runway yang dipersiapkan untuk mengantisipasi kecelakaan pada saat pesawat takeoff atau landing. Runway shoulder hanya disyaratkan untuk bandar udara dengan klasfifikasi D atau E dan lebar runway kurang dari 60 m. h. Runway Strip Runway strip adalah area termasuk runway dan stopway (jika ada) yang ditujukan untuk mengurangi kerusakan pesawat jika pesawat gagal berhenti dan sebagai batas dimana pesawat tidak boleh terbang melewati daerah tersebut. ICAO mensyaratkan ukuran runway strip minimum menurut klasifikasi bandar udara dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2. 5 Runway Strip Requirements Berdasarkan Klasifikasi ICAO Code Number Length Strip min (m) 30/ Width Strip for instrument runway min (m) Width Strip for noninstrument runway min (m) Longitudinal slope % Transverse slope % Sumber:Aerodrome Design Manual, Part 1 Runway, ICAO,1984 i. RESA RESA (Runway End Safety Area) adalah area persegi pada ujung runway (simetri terhadap sumbu runway) yang digunakan untuk mencegah kerusakan pesawat apabila mengalami overshooting atau overruning. Persyaratan penyediaan RESA berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. Panjang dibuat secukupnya, tetapi paling kurang 90 m. Lebar paling kurang 2 kali runway. Kemiringan sedemikian rupa di bawah approach surface atau takeoff climb surface. Kemiringan ke bawah tidak boleh lebih dari 5%, hindari kemiringan yang terlalu tajam dan tibatiba. Hanindita Diajeng Sunu

7 j. Clearway Daerah berbentuk empat persegi panjang di atas tanah atau air di bawah pengawasan otoritas bandar udara disediakan dan dipilih untuk keperluan initial climbing. Persyaratan penyediaan clearway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1. Panjang clearway tidak melebihi ½ panjang TORA. Slope on clearway adalah 1,30%. Dalam Aerodrome Design Manual dianjurkan lebih dari 1,25%. k. Stopway Stopway adalah area berbentuk segi empat pada ujung runway sebagai tempat untuk berhenti apabila pesawat mengalami gagal lepas landas. Persyaratan kemiringan Stopway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual Part 1 disesuaikan dengan persyaratan landasan kecuali: Pembatasan kemiringan 0.8% pada perempat awal dan akhir landasan tidak berlaku. Kemiringan stopway diukur dari ujung sebesar 0.3% tiap 30 m bagi landasan dengan kode 3 atau 4. l. Declared Distances Declared Distances adalah jarak yang diinformasikan pada pilot berkenaan dengan keterbatasan suatu landasan untuk melayani berbagai manuver dari pesawat yang takeoff dan landing pada landasan tersebut meliputi: TORA, TODA, ASDA dan LDA. TORA adalah panjang runway yang tersedia yang digunakan untuk takeoff TODA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang clearway jika ada. ASDA adalah panjang TORA ditambah dengan panjang stopway jika ada LDA adalah panjang runway yang bisa digunakan untuk pendaratan Perencanaan Taxiway Taxiway merupakan daerah yang digunakan pesawat untuk berpindah dari lokasi satu ke lokasi lainnya di sisi udara bandara. Taxiway diatur sedemikian rupa sehingga pesawat pesawat tidak saling mengganggu ketika melakukan pergerakan. Sistem taxiway harus mampu melayani pergerakan pesawt dengan maksimal, baik ketika tingkat penggunaan runway rendah, ataupun ketika penggunaan runway meningkat. Jenis jenis taxiway : a. Aircraft stand taxiway Bagian dari apron yang didesain sebagai taxiway dan dimaksudkan untuk menyediakan akses ke aircraft stands. b. Apron taxiway Dimaksudkan untuk menyediakan jalur taxi melintasi apron. Hanindita Diajeng Sunu

8 c. Parallel taxiway Yaitu taxiway yang letaknya memanjang sejajar dengan panjang runway. d. Exit taxiway Yaitu taxiway yang berhubungan langsung dengan runway dan dimaksudkan untuk jalur keluar masuk dari dan ke runway. e. Rapid exit taxiway Yaitu sebuah taxiway bersudut tajam yang terhubung dengan runway dengan sudut yang landai untuk memungkinkan pesawat yang mendarat untuk berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi sehingga mengurangi tingkat penggunaan runway. Perencanaan desain taxiway dilakukan berdasarkan code Annex 14 Aerodrome Design Manual, ICAO,1984. Code Letter yang dipakai sebagai patokan untuk menentukan perencanaan taxiway diperoleh dari pengklasifikasian bandara yang telah dilakukan pada Tabel 2.1. a. Lebar Taxiway Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka lebar taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2. 6 Taxiway Width Requirements Menurut Persyaratan Annex 14 Code Letter Taxiway Width A 7.5 m B 10.5 m C 15 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base less than 18 m 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with a wheel base equal to or greater than 18 m D 18 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane With an outer main gear wheel span of less than 9 m 23 m if the taxiway is intended to be used by aeroplane with an outer main gear span equal to or greater than 9 m E 23 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 b. Taxiway Slope Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka taxiway slope dibedakan atas longitudinal dan tranverse slope. Besarnya slope tersebut adalah sebagai berikut: 1,5 % untuk code letter C, D dan E 2 % untuk code letter A dan B c. Taxiway Shoulder Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, maka bandar udara code letter C, D dan E harus menyediakan bahu yang memanjang Hanindita Diajeng Sunu

9 simetris pada kedua sisi taxiway sehingga lebar keseluruhan dari taxiway dan bahunya tidak kurang dari angka yang ditunjukan pada Tabel 2.7. Tabel 2. 7 Taxiway Shoulder Width Menurut Persyaratan Annex 14 Reference Code Letter Shoulder Width on each side of the Taxiway A (not mandatory) 3 m B (not mandatory) 3 m C (mandatory when used by jet propelled aeroplanes) 3.5 m D 7.5 m E 10.5 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 d. Taxiway Strip Berdasarkan standar yang diterbitkan Annex 14 mengenai Aerodrome Design Manual, lebar dari taxiway strip adalah sebagai berikut: Tabel 2. 8 Taxiway Strip Width Requirements Menurut Annex 14 Reference Code Letter Taxiway Strip Width A 32.5 m B 43 m C 52 m D 81 m E 95 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 e. Taxiway Curve Taxiway curve diperlukan jika terjadi perubahan arah pesawat terhadap landasan. Radius belokan tersebut ditentukan oleh kecepatan tempuh pesawat pada taxiway. Persyaratan radius belokan taxiway dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2. 9 Taxiway Curve Radius Requirements Menurut Annex 14 Taxiway Design Speed Radius of Curve 20 km/h 24 m 30 km/h 54 m 40 km/h 96 m 50 km/h 150 m 60 km/h 216 m 70 km/h 294 m 80 km/h 384 m 90 km/h 486 m 100 km/h 600 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 Rapid exit didesain untuk memungkinkan pesawat yang mendarat untuk berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi. Pada Tabel 2.10 dapat dilihat persyaratan radius Hanindita Diajeng Sunu

10 belokan rapid exit taxiway berdasarkan ICAO Aerodrome Design Manual. Sudut putar antara runway terhadap rapid exit taxiway adalah antara 25º dan 45º, namun lebih disukai 30 0 (ICAO, 1983). Tabel Radius Curve of Exit Taxiway Requirements Menurut ICAO Code Radius of Curve Exit Speed 1, m 65 km/h 3, m 93 km/h Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 f. Minimum Separation Distance Persyaratan jarak minimum separation distance menurut ICAO Aerodrome Design Manual dapat dilihat pada Tabel Tabel Minimum Separation Distance Requirements Menurut ICAO To precision approach runway centre Code letter line Runway code number A B C D E m 82.5 m m 87 m 87 m 162 m 93 m 93 m 168 m 168 m 176 m 176 m m To precision approach runway centre Code letter line Runway code number A B C D E m 52.5 m 82.5 m 57 m 57 m 87 m 63 m 63 m 93 m 168 m 176 m 176 m m To noninstrument runway centre line Code letter Runway code number A B C D E m 47.5 m 52.5 m 42 m 52 m 57 m 48 m 58 m 63 m 93 m 101 m 101 m m To another taxiway centre line Code letter A B C D E m 33.5 m 66.5 m 80 m To object Code letter A B C D E m 21.5 m 40.5 m 47.5 m Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 Hanindita Diajeng Sunu

11 g. Jarak Minimum Taxiway Terhadap Apron Centre Line Ketentuan jarak minimum taxiway terhadap apron center line menurut ICAO Aerodrome Design Manual dapat dilihat pada Tabel Tabel Minumum Distance of Taxiway and Apron Center Line Menurut ICAO Between Formula A B C D E Taxiway centre wingspan (Y) line and taxiway center line (apron taxiway centre line and taxiway centerline) +2x maximum lateral deviation (X) +increment (Z) (S) Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 Dimensi taxiway dapat dihitung berdasarkan data karakteristik pesawat kritis, sebagai berikut: h. Lebar minimal taxiway Minimum taxiway width WT dapat dihitung dengan persamaan: 2 WT = TM + 2C...(Pers.2. 1) Keterangan: WT = lebar taxiway minimum TM C = main gear span = main gear to taxiway edge clearance i. Minimum Separation Distance antara Taxiway dan Object Merupakan jarak pisah minimum antara taxiway centre line terhadap objek. ( Ws ) + C z S = (Pers.2. 2) Keterangan: Ws = wingspan C = clearance antara outer main gear dan taxiway edge z = wingtip clearance j. Minimum Separation Distance antara Runway dan Taxiway Merupakan jarak pisah antara garis tengah runway terhadap garis tengah taxiway. S = 1 2 ( Sw + Ws)...(Pers.2. 3) Keterangan: Sw = taxiway strip width Ws = wingspan k. Aircraft Stand Taxiline ke Object Merupakan jarak pisah antara pesawat pada apron taxiline dengan object lain. ( Ws ) + d z S = (Pers.2. 4) Hanindita Diajeng Sunu

12 Keterangan: Ws = wingspan d = minimum deviation z = wing tip clearance Perencanaan Apron Apron merupakan tempat bagi pesawat yang melakukan ground service. Apron direncanakan untuk menampung lebih dari satu pesawat. Untuk mengakomodasi kebutuhan tiap pesawat agar dapat melakukan ground service maupun manuver dengan aman, maka apron diatur melalui pengaturan konfigurasi parkir. Hal ini tergantung pada luasan area dan banyaknya pesawat yang dilayani. Jenis apron berdasarkan fungsinya yaitu : a. Terminal apron Jenis apron ini dirancang untuk manuver dan parkir pesawat yang bersebelahan atau mudah dihubungkan dengan fasilitas terminal penumpang. Tempat ini digunakan oleh penumpang untuk naik ke pesawat dari terminal. Dalam fasilitas pergerakan penumpang, terminal apron digunakan untuk mengisi bahan bakar dan pemeliharaan pesawat dan untuk menaikkan barang barang serta kargo. b. Cargo apron Cargo apron digunakan untuk tempat berhenti dan menaikkan muatan pesawat yang hanya mengangkut barang barang, kargo, surat, dan sejenisnya tanpa penumpang. c. Parking apron Sebuah lapangan terbang dapat memiliki sebuah tempat parkir khusus, yang disebut parking apron, yang diperuntukkan bagi pesawat yang harus berada di lapangan terbang untuk jangka waktu yang panjang. Apron ini bisa digunakan untuk melakukan perawatan ringan pesawat. Penempatan parking apron ini seharusnya diletakkan sedekat mungkin dengan terminal apron. d. Service dan Hangar Apron Service apron adalah sebuah tempat terbuka untuk melakukan perawatan serta perbaikan terhadap pesawat yang lokasinya berdekatan dengan hanggar pemeliharaan. Sedangkan hangar apron adalah lokasi pemindahan pesawat dari dan menuju hangar. Dalam tugas akhir ini, yang akan dilakukan perencanaan desainnya adalah terminal apron, yang mempunyai fokus untuk melayani pergerakan penumpang ke pesawat. a. Persyaratan Clearance untuk Perencanaan Apron Sebuah pesawat yang berada dalam aircraft stand dengan bangunan/pesawat/objek lain mempunyai nilai clearence masing masing tergantung kepada jenis kode pesawat yang beroperasi. Hanindita Diajeng Sunu

13 Tabel Minimum Cleariance Distance antara Aircraft Requirements Code Letter A B C D E Wing Tip Clearance 3.0 m 3.0 m 4.5 m 7.5 m 7.5*m *10 m where the parking position is defined for free moving parking (AL 1/89) Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 Tabel Minimum Separation Distances antara Aircraft Parking Position Taxiline dan Object Code Letter A B C D E Separation 12.0 m 16.5 m 24.5 m 36.0 m 42.5 m * measured from centre line to object Sumber:Annex 14, Aerodrome Design Manual, ICAO, 1984 b. Persyaratan Kemiringan Apron Apron disyaratkan harus memiliki kemiringan yang cukup sehingga tidak terjadi penggenangan air di permukaan apron. Kemiringan maksimum yang disyaratkan adalah 1%. Di daerah pemuatan BBM pesawat, harus diusahakan kemiringan apron sekitar ½% transversal sumbu pesawat untuk menjamin ketelitian pengukuran minyak BBM. Kemiringan apron harus menjauhi bangunan terminal, terutama di daerah pengisian minyak. c. Konfigurasi Parkir Pesawat Terdapat beberapa konfigurasi parkir pesawat yang dapat dipertimbangkan dalam merencanakan suatu bandara. Konfigurasi konfigurasi tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan masing masing yang dapat dijadikan bahan pertimbangan. 1. Nose in dan angled nose in Kelebihan : a. Semburan jet tidak ke terminal sebab hidung pesawat yang menghadap ke terminal. b. Kebisingan saat mau parkir lebih kecil sebab yang menghadap terminal adalah bagian hidung pesawat, bukan bagian belakang. c. Pintu penumpang yang turun lebih dekat ke terminal. Kelemahan: a. Dibutuhkan banyak tenaga untuk berputar keluar sebab pada saat itu pesawat penuh dengan muatan (termasuk penumpang). b. Kebisingan yang besar langsung mengarah ke terminal saat pesawat mau keluar sebab saat itu pesawat dipenuhi muatan yang memperbesar kerja mesin pesawat. Hanindita Diajeng Sunu

14 2. Nose out dan angled nose out Kelebihan : a. Kebisingan yang berasal dari pesawat tidak mengarah langsung ke terminal. b. Pintu penumpang yang naik lebih dekat ke terminal. Kelemahan : Kelemahan yang paling utama dari konfigurasi parkir ini adalah semburan jet dari pesawat langsung mengarah ke terminal penumpang. 3. Parallel System Kelebihan : Jarak antara pintu masuk dan pintu keluar penumpang dengan terminal sama. Kelemahan : a. Membutuhkan ruang yang lebih banyak daripada konfigurasi lainnya. b. Semburan jet langsung mengarah ke terminal penumpang. c. Kebisingan tinggi yang berasal dari pesawat langsung mengarah ke terminal penumpang. d. Sistem Parkir Pesawat Perencanaan parkir pesawat dapat dilaksanakan dapat direncanakan dalam beberapa sistem, yaitu : 1. System linear Sistem ini cocok untuk bangunan terminal dengan pintu maksimum 4 pintu 2. System pier (finger) Jika dibutuhkan lebih atau sama dengan 9 pintu, konfigurasi ini cocok diberlakukan. 3. System satellite Dibuat untuk memungkinkan adanya ruang apron yang bebas dari gangguan, memungkinkan adanya pola parkir pesawat yang rapat. 4. Sistem apron terbuka Merupakan sistem parkir pesawat di mana pesawat diparkir di depan terminal dengan lebih dari dua barisan parkir. Keuntungannya jarak taxiing dari runway ke apron menjadi jauh lebih berkurang. e. Jumlah Pintu Gerbang Apron akan menampung sejumlah pesawat sesuai perhitungan jumlah pergerakan pesawat setiap jenis pada jam sibuk. Maka, Jumlah pintu pada apron harus sama dengan pesawat yang mampu ditampung oleh apron pada waktu jam puncak (jam sibuk). f. Perkiraan Luas Apron Perkiraan luas apron dapat dihitung sebagai berikut : L apron = Luas Area Luas Terminal Penumpang Hanindita Diajeng Sunu

15 2.2 DASAR TEORI PERENCANAAN PERKERASAN Struktur perkerasan dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu struktur perkerasan lentur dan struktur perkerasan kaku. Pengelompokan struktur perkerasan didasarkan pada bahan perkerasan yang digunakan. Struktur perkerasan lentur umumnya menggunakan lapisan beton aspal sebagai lapisan permukaan, terkadang juga digunakan pada lapisanlapisan di bawahnya. Sedangkan struktur perkerasan kaku menggunakan pelat beton semen sebagai komponen struktur utamanya. Teori dasar yang digunakan untuk mendesain struktur perkerasan lentur berbeda dengan struktur perkerasan kaku. Desain struktur perkerasan lentur didasarkan pada analisis sistem lapisan dimana beban kendaraan dipikul oleh semua lapisan perkerasan sebagai suatu kesatuan. Kontribusi setiap lapisan perkerasan dalam memikul beban kendaraan ditentukan oleh karakteristik bahan dan tebal dari masingmasing lapisan perkerasan tersebut. Bahan perkerasan dengan kualitas yang lebih baik pada umumnya digunakan sebagai lapisan perkerasan yang lebih atas. Lapisanlapisan dibawahnya menggunakan bahan perkerasan dengan kualitas yang lebih rendah namun harus tetap lebih baik dari kualitas tanah dasar pendukungnya. Sedangkan, proses desain struktur perkerasan kaku lebih didasarkan pada analisis struktural terhadap pelat beton yang dianggap memikul beban kendaraan melalui kelenturan (bending) yang tinggi dari pelat beton tersebut. Dalam pemakaiannya, struktur perkerasan lentur secara umum memberikan kenyamanan yang lebih baik. Di sisi lain, struktur perkerasan kaku akan lebih cocok untuk jalan yang sering memikul beban statis dan/atau beban horizontal. Gambar 2. 2 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Lentur Tipikal Gambar 2.2 memperlihatkan potongan dari struktur perkerasan lentur tipikal, yang terdiri dari lapisan permukaan, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Keseluruhan lapisan harus sudah membentuk kemiringan jalan sesuai dengan yang telah ditentukan. Lapisan permukaan, yang umumnya menggunakan bahan campuran aspal dan agregat, dapat dibedakan menjadi dua lapisan, yaitu lapisan penutup (wearing) dan lapisan utama (binder). Bahan lapisan utama seringkali dibuat sama dengan bahan lapisan penutup, kadangkadang lapisan utama menggunakan ukuran nominal agregat yang lebih besar. Lapisan pondasi dan lapisan pondasi bawah dapat menggunakan bahan agregat dengan atau tanpa bahan pengikat (aspal, semen, atau kapur). Perkerasan lentur pada bahu jalan terdiri lapisan Hanindita Diajeng Sunu

16 pondasi dan/atau lapisan pondasi bawah, sebaiknya diberi lapisan penutup tipis (surface treatment). Yang dikategorikan sebagai struktur perkerasan adalah lapisan permukaan, termasuk lapisan tambahan yang dibangun sesudahnya, lapisan pondasi, dan lapisan pondasi bawah. Tanah dasar tidak dikategorikan sebagai bagian dari struktur perkerasan tetapi sebagi lapisan pendukung struktur perkerasan. Pada kasuskasus tertentu, bagian atas dari tanah dasar dapat merupakan hasil dari proses perbaikan tanah (improved subgrade). Dalam kasus tersebut, tanah dasar hasil perbaikan tersebut dapat dikategorikan sebagai bagian dari struktur perkerasan. Struktur perkerasan lentur yang ketiga lapisannya terbuat dari bahan campuran aspal dikenal sebagai perkerasan full depth. Jika hanya lapisan permukaan dan lapisan pondasi saja yang terbuat dari bahan campuran aspal, maka struktur perkerasan lentur ini dikenal dengan istilah perkerasan deep strength. Gambar 2. 3 Potongan Melintang Struktur Perkerasan Kaku Tipikal Gambar 2.3 memperlihatkan potongan dari struktur perkerasan kaku tipikal, yang terdiri dari pelat beton semen dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Struktur perkerasan kaku dapat dibedakan ke dalam empat tipe, yaitu bersambung tanpa tulangan, bersambung dengan tulangan, menerus dengan tulangan, dan menerus dengan tulangan prategang. Pada struktur perkerasan kaku bersambung, pelat beton umumnya dibuat dengan panjang 5 m atau 6 m selebar lajur jalan. Di setiap sambungan yang teratur tersebut dibuat perkuatan yang berfungsi untuk menyalurkan tegangan dari satu pelat ke pelat beton di sebelahnya. Jika pelat beton bersambung ini diberi tulangan, maka fungsi tulangan tidak untuk memikul beban kendaraan tetapi hanya untuk mengikat retakan yang mungkin terjadi pada saat jalan ini dioperasikan, sekaligus untuk menyalurkan beban kendaraan pada bagian pelat beton yang retak tersebut. Struktur perkerasan kaku menerus harus selalu diberi tulangan yang fungsinya adalah untuk menyalurkan beban kendaraan pada bagian pelat beton yang retak. Struktur perkerasan kaku menerus memberikan kenyamanan yang lebih baik karena tidak terjadi kebisingan yang biasa terjadi saat kendaraan melintasi sambungan. Akan tetapi, keretakan melintang pada struktur perkerasan kaku menerus mungkin terjadi secara acak yang dapat merusak estetika jalan. Hanindita Diajeng Sunu

17 Struktur perkerasan kaku menerus dengan tulangan prategang dimaksudkan untuk menjadikan pelat beton agar selalu dalam kondisi tertekan agar dapat mengimbangi tegangan tarik yang ditimbulkan oleh beban kendaraan. Sifat dari bahan beton semen, seperti telah diketahui secara umum, adalah sangat baik dalam menerima beban tekan tetapi lemah dalam menerima beban tarik. Tidak seperti pada perkerasan lentur, dimana lapisan pondasi dan pondasi bawah ikut memperngaruhi daya dukung perkerasan, pada perkerasan kaku, lapisan pondasi bawah pada struktur perkerasan kaku bukan merupakan komponen utama untuk memikul beban kendaraan. Daya dukung perkerasan diperoleh dari pelat beton. Meskipun demikian, pemberian lapisan pondasi bawah akan dapat meningkatkan daya dukung tanah dasar, khususnya jika kondisi tanah dasar kurang baik. Fungsi utama dari lapisan pondasi bawah adalah untuk mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar, mencegah terjadinya intrusi tanah dasar pada sambungan, memberikan daya dukung yang baik dan seragam terhadap pelat beton, dan sebagai landasan kerja selama pekerjaan konstruksi. Lapisan pondasi bawah dapat menggunakan bahan agregat dengan atau tanpa bahan pengikat (aspal, semen, atau kapur). Pendekatan desain untuk struktur perkerasan pada prinsipnya dapat dikelompokkan ke dalam dua pendekatan, yaitu pertama, pendekatan yang didasarkan pada beban kendaraan desain yang akan menyebabkan tingkat kerusakan yang diijinkan; kedua, pendekatan yang didasarkan pada jumlah repetisi kendaraan standar yang akan menyebabkan tingkat kerusakan yang diijinkan Penentuan Repetisi Beban Ekivalen Volume pergerakan pesawat udara terdiri dari volume keberangkatan dan volume kedatangan. Akan tetapi, hanya volume keberangkatan tahunan saja yang digunakan dalam proses penentuan tebal perkerasan desain (ICAO, 1983). Dalam proses desain, data volume keberangkatan tahunan dianggap konstan selama masa layan rencana struktur perkerasan. Pada umumnya umur masa layan struktur perkerasan ditetapkan 20 tahun. Untuk pendekatan desain yang berdasarkan pesawat udara desain kritis (pesawat yang menyebabkan kerusakan paling dominan), struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan. Pengaruh dari jenis pesawat udara lainnya yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban yang diperlukan, yaitu: Hanindita Diajeng Sunu

18 a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) Meskipun beban sumbu roda yang bekerja adalah sama, pengaruh dari berbagai konfigurasi sumbu roda pesawat udara terhadap kerusakan struktur perkerasan dapat berbeda. Oleh karena itu, konfigurasi sumbu roda yang berbeda dengan konfigurasi sumbu roda pesawat udara desain kritis perlu dikonversikan dengan menggunakan nilai FES, seperti diperlihatkan pada Tabel 2.15 Tabel Faktor Ekivalen Sumbu Roda (FES) No. Konversi Konfigurasi Sumbu Roda Pesawat Faktor Ekivalen Dari Ke FES 1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) D 0.8 DT 0.5 DDT Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) S 1.3 DT 0.6 DDT Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) / S 2 Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) D 1.7 Sumber: ICAO,1983 b. Faktor ekivalen beban (FEB) Variasi beban roda pesawat udara memberikan derajat kerusakan pada struktur perkerasan yang juga bervariasi. Makin berat beban roda pesawat udara, maka akan makin besar pula derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan. Di lain pihak, derajat kerusakan struktur perkerasan berbanding lurus dengan jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara. Sehingga, dalam hal ini, persamaan di bawah dapat digunakan untuk mengkonversikan jumlah repetisi beban sumbu roda dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi (R2) ke dalam jumlah repetisi beban sumbu roda pesawat udara desain kritis (R1) berdasarkan akar perbandingan antara beban roda masingmasing jenis pesawat udara yang beroperasi tersebut (W2) dengan beban roda pesawat udara desain kritis (W1). (ICAO, 1983). log ( R ) ( R ) 2 = 2...(Pers.2. 5) W1 1 log W Kemudian, nilai FEB dapat dihitung dari persamaan: log ( R ) FEB =...(Pers.2. 6) W 2 W 2 W Beban roda pesawat udara (nilai W1 dan nilai W2) harus sudah dikalikan terlebih dahulu dengan nilai FES. Hanindita Diajeng Sunu

19 c. Faktor repetisi beban (LRF) Setiap lintasan sumbu roda dari jenis pesawat udara tertentu pada perkerasan biasanya tidak selalu berada pada jalur lintasan yang tetap. Untuk keperluan perhitungan nilai LRF, pergeseran lintasan sumbu roda pesawat udara dianggap terdistribusi secara normal yang menyebar di sekitar jalur lintasan sumbu roda ratarata yang dianggap terletak pada ½ jarak antara kaki roda dari sumbu perkerasan. Faktor repetisi beban (LRF) untuk jenis pesawat udara tertentu merupakan faktor koreksi terhadap derajat kerusakan yang ditimbulkan pada struktur perkerasan di jalur lintasan sumbu roda ratarata akibat terjadinya pergesaran lintasan sumbu roda tersebut. Tabel Faktor Repetisi Beban (LRF) No. Konfigurasi Sumbu Roda Pass to Coverage Ratio, Faktor Repetisi Beban, PCR LRF 1 Sumbu Tunggal Roda Tunggal (S) Sumbu Tunggal Roda Ganda (D) Sumbu Tandem Roda Ganda (DT) Sumbu Tandem Roda Ganda Dobel (DDT) Sumber: ICAO,1983 Jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis dapat diperoleh dengan mengalikan data keberangkatan tahunan dari setiap jenis pesawat udara yang beroperasi dengan faktor ekivalen repetisi beban, sebagai berikut: R1 desain = { ( R2 ) FESi FEBi } LRF i i...(pers.2. 7) Keterangan: i = jenis pesawat udara yang beroperasi dalam lalu lintas campuran (R2)i = keberangkatan tahunan FESi = faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda FEBi = faktor ekivalen beban LRF = faktor repetisi beban dari pesawat udara desain kritis R1 desain = jumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat udara desain kritis Perencanaan Perkerasan Lentur Struktur perkerasan pada runway dan taxiway direncanakan menggunakan perkerasan lentur. Metode desain struktur perkerasan lentur untuk runway dan taxiway dilakukan dengan menggunakan metode CBR. Metode CBR yang umum dikenal adalah metode U.S. Army Corps of Engineers (USACE). Prinsip dasar dari metode CBR adalah menyediakan tebal lapisan perkerasan yang sesuai dengan kualitas bahan yang digunakan untuk melindungi lapisan di bawahnya dari kerusakan alur (deformasi plastis) selama masa layan perkerasan yang umumnya ditetapkan 20 tahun. Hanindita Diajeng Sunu

20 Berdasarkan code ICAO, kekuatan tanah dasar untuk desain struktur perkerasan lentur dibagi dalam empat kategori yang dijelaskan dalam Tabel Tabel Kategori Perkerasan Lentur berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar Kode Kategori Nilai Wakil Rentang Nilai A High Strength CBR 15 CBR > 12.5 B Medium Strength CBR 10 8 < CBR < 12.5 C Low Strength CBR < CBR < 8 D Ultra Low Strength CBR 3 CBR < 4.5 Sumber : ICAO, 1983 Dalam metode CBR, digunakan anggapan bahwa, jika tebal lapisan perkerasan dan kualitas bahan yang digunakan cukup memadai maka kerusakan alur sebagian besar akan terjadi pada tanah dasar. Oleh karena itu, desain struktur perkerasan dapat dikontrol dengan membatasi tegangan yang terjadi pada tanah dasar agar akumulasi dalam alur yang terjadi selama masa layan akibat repetisi dari tegangan tersebut tidak melebihi nilai batas yang diijinkan. Hubungan antara ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban adalah sebagai berikut: t = 1 P 8.1 CBR 1 pπ...(pers.2. 8) Hubungan antara ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban yang telah dikoreksi terhadap repetisi lalu lintas, dapat dilihat dalam persamaan berikut: (2.31 log C ) t = P 8.1 CBR 1 pπ...(pers.2. 9) Ruas (23.1 log C ) dalam persamaan diatas merupakan persentase dari jumlah stress coverages yang terjadi selama masa layan. Kedua persamaan di atas dapat diaplikasikan untuk tanah dasar dengan nilai CBR kurang dari 10 sampai 12. Penelitian lebih lanjut terhadap ketebalan perkerasan lentur dengan beban roda dan tekanan ban untuk kendaraan dengan beban berat menghasilkan persamaan sebagai berikut: 2 3 CBR CBR CBR t = α i A log log log... (Pers.2. 10) pe pe pe Keterangan: t = ketebalan lapisan perkerasan (in) αi = load repetition factor = 23.1 log C C = beban sumbu standar kumulatif Hanindita Diajeng Sunu

21 A = luas bidang kontak lingkaran dari satu roda kendaraan pada sumbu standar (in 2 ) pe = tekanan beban (psi) pada bidang kontak A akibat ESWL (Equilvalent Single Wheel Load) yang memberikan respon struktural (tegangan, regangan, atau lendutan) yang sama pada tanah dasar atau struktur perkerasan CBR = kekuatan tanah dasar (%) Di luar perhitungan nilai ESWL yang relatif kompleks, solusi persamaan dapat diperoleh dengan memasukkan nilai C dan CBR tanah dasar ke dalam persamaan (Kosasih, 2006). Dari persamaan di atas, USACE menurunkan kurva desain untuk pesawat udara B ER. Kurva desain disajikan dalam Gambar 4.2. Data desain yang diperlukan untuk mendapatkan tebal perkerasan lentur dengan menggunakan kurva desain adalah data CBR tanah dasar, data beban sumbu utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat Perencanaan Perkerasan Kaku Gambar 2. 4 Kurva Desain Perkerasan Lentur (U.S. Army Corps of Engineers Method, 2002) Struktur perkerasan pada apron direncanakan menggunakan perkerasan kaku. Perkerasan kaku yang akan digunakan adalah perkerasan kaku bersambung tanpa tulangan. Hanindita Diajeng Sunu

22 Dalam perencanaan perkerasan kaku, kekuatan beton tidak dinyatakan dalam kuat tekan (compressive strength) tapi dalam kuat tarik (flexural strength), yaitu kuat lentur tarik yang diperlukan untuk mengatasi tegangan yang diakibatkan oleh beban roda dari lalu lintas rencana; bentuk keruntuhan pada perkerasan kaku umumnya berupa retakan yang diakibatkan oleh tegangan lentur tarik berlebih. Kuat lentur beton ditentukan dengan pengujian terhadap pembebanan di tiga titik sesuai dengan ASTM C87 terhadap benda uji berumur 28 hari. Kuat lentur tarik (Mr) pada umur 28 hari dianjurkan 40 Kg/cm 2. Kekuatan tanah dasar dalam perencanaan perkerasan kaku dinyatakan dalam modulus reaksi tanah dasar (subgrade strength), k. Harga k didapat dari pengujian plate bearing di lapangan, dalam keadaan terpaksa nilai k dapat ditentukan berdasarkan nilai CBR (Siswosubroto, 2006). Apabila kekuatan tanah dasar sangat buruk (k<2 Kg/cm 3 ), tanah tersebut perlu diperbaiki sampai diperoleh peningkatan nilai k. Pada setiap konstruksi perkerasan kaku, lapisan pondasi bawah harus selalu ada, minimum 10 cm. Kecuali jika tanah dasar mempunyai mutu yang sama dengan material sub base. Berdasarkan code ICAO, kekuatan tanah dasar untuk desain struktur perkerasan kaku dibagi dalam empat kategori sebagai berikut: Tabel Kategori Perkerasan Kaku berdasarkan Kekuatan Tanah Dasar Kode Kategori Nilai Wakil Rentang Nilai A High Strength k = 150 k > 120 B Medium Strength k = < k < 120 C Low Strength k = < k < 60 D Ultra Low Strength k = 20 k < 25 * k dalam satuan MN/m 3 Sumber : ICAO, 1983 Metode desain struktur perkerasan kaku landasan pesawat yang umum dikenal salah diantaranya adalah metoda FAA (Yoder, 1975). Metode FAA merupakan metode pendekatan desain berdasarkan pesawat desain kritis. Struktur perkerasan diperhitungkan hanya untuk memikul sejumlah repetisi beban sumbu roda ekivalen dari pesawat desain kritis tersebut selama masa layan rencana yang ditetapkan. Pengaruh dari jenis pesawat lainnya yang beroperasi terhadap kerusakan struktur perkerasan diperhitungkan dengan menggunakan faktor ekivalen repetisi beban. Untuk lalu lintas campuran, ada tiga faktor ekivalen repetisi beban, yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu: a. Faktor ekivalen konfigurasi sumbu roda (FES) b. Faktor ekivalen beban (FEB) c. Faktor repetisi beban (LRF) Gambar 2.5 menunjukkan kurva desain dari metode FAA untuk menentukan tebal perkerasan kaku dengan pesawat rencana B ER. Data desain yang diperlukan untuk Hanindita Diajeng Sunu

23 mendapatkan tebal perkerasan kaku dengan menggunakan kurva desain FAA adalah data subgrade strength, data tegangan lentur pelat beton yang akan digunakan, data beban sumbu utama pesawat, dan data keberangkatan tahunan pesawat. Gambar 2. 5 Kurva Desain Perkerasan Kaku (FAA Design Method, 2002) 2.3 DASAR TEORI PERENCANAAN GEOTEKNIK Perencanaan pada bidang geoteknik yang akan dilakukan meliputi: a. Interpretasi parameter tanah b. Perencanaan pengupasan (stripping) c. Perencanaan perataan (land grading) d. Perencanaan kompaksi Interpretasi Parameter Tanah Interpretasi terhadap nilai NSPT dilakukan untuk mendapatkan nilai berat jenis, γ, unconfined compression strength, qu, dan sudut geser, φ. Tabel 4.35 menunjukkan korelasi berat jenis, unconfined compression strength, dan sudut geser terhadap nilai NSPT tertentu untuk tanah kohesif dan non kohesif. Nilai pendekatan yang umum digunakan antara nilai kohesi, c, terhadap NSPT adalah: c (ton/m 2 ) = 2/3 NSPT...(Pers.2. 11) Hanindita Diajeng Sunu

24 Sementara menurut Stroud, korelasi antara kohesi dengan NSPT adalah: c(kn/m 2 ) = (3.56.5)NSPT...(Pers.2. 12) Dalam perencanaan ini digunakan pendekatan c(kn/m 2 ) = 5 NSPT...(Pers.2. 13) Tabel Korelasi NSPT terhadap Beberapa Parameter Tanah Cohesionless Soil N >50 Unit weight, γ, kn/m Angle of friction, φ >35 State Loose Medium Dense Very Dense Cohesive Soil N < >25 Unit weight, γ, kn/m >20 qu, kpa < >100 Consistency Very Soft Soft Medium Stiff Hard Perencanaan Pengupasan Lapisan teratas tanah di lokasi konstruksi seringkali berupa lapisan organik yang berasal dari pembusukan tumbuhan. Material ini tidak tepat untuk digunakan dalam konstruksi. Penanganan terhadap lapisan organik tersebut dapat dilakukan dengan cara pengupasan (stripping). Kedalaman pengupasan pada umumnya berkisar antara m Perencanaan Perataan Perataan (land grading) dilakukan dengan tujuan memberikan permukaan yang datar untuk mempermudah pekerjaan kompaksi di atasnya. Dalam pelaksanaan land grading, permukaan tanah akan diratakan ke elevasi yang menghasilkan volume cut sama dengan atau mendekati volume fill. Karena keterbatasan data profil tanah, land grading dilakukan hanya pada lokasi runway. Lokasi taxiway dan apron diasumsikan memiliki elevasi permukaaan yang seragam sesuai dengan elevasi bore hole terdekat Perencanaan Kompaksi Tanah pada lokasi konstruksi tidak selalu mampu menahan beban dari struktur yang akan dibangun diatasnya. Tanah dalam kategori very loose memiliki kemungkinan akan mengalami penurunan elastik yang besar. Selain itu, tanah kedalaman awal biasanya berupa lapisan soft saturated clay (Das, 1998). Tebal lapisan clay dan besar beban rencana struktur Hanindita Diajeng Sunu

25 akan mempengaruhi besar konsolidasi yang akan terjadi. Untuk kedua contoh kondisi di atas, diperlukan perlakuan khusus untuk membuat tanah lebih padat agar daya dukung tanah meningkat. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk meningkatkan daya dukung tanah adalah kompaksi. Kompaksi adalah proses menaikkan berat jenis tanah dengan cara mendesak tanah dengan energi mekanis agar partikel solid pada tanah lebih memadat dan menjadi kompak serta mengurangi partikel udara yang mengisi rongga pada massa tanah. Beberapa tujuan perlunya dilakukan kompaksi adalah: a. Mengurangi kompresibilitas b. Menaikkan kekuatan tanah c. Mengurangi potensi likuifaksi d. Mengontrol shrinkage dan swelling e. Mengurangi hydraulic compressibiliy/permeabilitas f. Menaikkan daya tahan terhadap erosi g. Mengontrol resilience properties Dalam pekerjaan kompaksi, dilakukan penambahan air ke dalam tanah dalam jumlah kecil dan kemudian dipadatkan. Perlakuan ini akan meningkatkan berat jenis tanah. Apabila kadar air ditingkatkan secara berkala dan kompaksi dilanjutkan dengan besar energi yang tetap, berat jenis kering tanah akan meningkat. Derajat pemadatan tanah diukur dari berat isi kering tanah (γd). Air yang ditambahkan ke massa tanah pada saat pemadatan akan berfungsi seperti pelumas yang akan mengerakkan partikel tanah ke posisi yang lebih padat. Pada saat kadar air, w = 0 maka, berat jenis (γ) akan sama dengan berat jenis kering (γd) atau γ = γd (w = 0) = γ1. Pada usaha pemadatan yang sama, penambahan kadar air akan menyebabkan penambahan berat jenis. Misalnya pada saat w = w1, maka γ = γ2. Sehingga, γd (w = w1) = γd (w = 0) + Δ γd Sampai suatu kadar air tertentu, pertambahan kadar air cenderung menurunkan berat jenis kering tanah. Hal ini disebabkan karena partikel air akan mengisi ruang yang ditempati partikel padat. Kadar air pada saat berat jenis kering mencapai maksimum (γdmax) disebut dengan kadar air optimum (wopt). Menurut Proctor, pemadatan tanah ditentukan oleh keempat hal berikut: a. Energi pemadatan b. Tipe tanah c. Kadar air (w) d. Berat jenis kering (γd) Spesifikasi pemadatan lapangan mensyaratkan agar berat jenis kering lapangan harus mencapai 90 95% berat jenis kering maksimum di laboratorium yang ditentukan melalui tes Hanindita Diajeng Sunu

26 Proctor Standar atau Proctor Modifikasi. Evaluasi terhadap berat jenis kering maksimum dan kadar air optimum dilakukan berdasarkan uji laboratorium Standard Proctor test (ASTM designation D698) dan Modified Proctor test (ASTM designation D1557). Spesifikasi teknis kedua pengujian tersebut disajikan dalam Tabel Tabel Spesifikasi Peralatan Tes Proctor Standar dan Proctor Modifikasi Tes Proctor Standar (ASTM D698) Tes Proctor Modifikasi (ASTM D1557) Berat Hammer 24.5 N (5.5 lb) 44.5 N (10 lb) Tinggi Jatuh Hammer 305 mm (12 in) 457 mm (18 in) Jumlah Layer 3 5 Jumlah Pukulan/Lapis Volume Mold m 3 (1/30 ft 3 ) Energi Kompaksi (CE) 595 kj/m 3 (12400 lb.ft/ft 3 ) 2698 kj/m 3 (56250 lb.ft/ft 3 ) Tanah () Saringan No.4 Tanah yang ditemukan di alam hampir selalu terdiri dari kombinasi berbagai jenis tanah. Setiap jenis tanah memiliki sifat yang berbeda bergantung pada kepadatan maksimum dan kadar air optimumnya. Oleh karena itu, masingmasing tanah mempunyai persyaratan dan kontrol kompaksi tersendiri di lapangan. Dalam sistem AASHTO (American Association of State Highway and Transportation Officials), tanah diklasifikasikan ke dalam 15 tipe. Berbagai tipe tanah tersebut disusun oleh kombinasi dari tiga kelompok mendasar tanah, yaitu tanah kohesif (cohesive soils), tanah berbutir (cohesionless solils), dan tanah organik. Secara umum tanah diklasifikasikan berdasarkan ukuran butir yang didapatkan dengan cara melewatkan tanah pada berbagai macam ukuran ayakan untuk memisahkan ukuran butiran yang berbeda. Yang termasuk dalam cohesive soils adalah lempung atau campuran antara beberapa macam partikel tanah dimana partikel lempungnya dominan. Tanah kohesif memiliki partikel terkecil. Lempung memiliki rentang ukuran partikel antara in. Lanau berkisar antara in. Kuat geser tanah lempung didapat dari ikatan antar partikel yang tidak tergantung dari gayagaya normal yang bekerja. Jenis tanah ini tetap mempunyai kuat geser walaupun dalam kondisi unconfined. Tanah ini mempunyai koefisien permeabilitas yang sangat kecil sehingga aliran air melalui poripori tanah akan lambat. Yang termasuk dalam cohesionless soils adalah gravels, sand, dan nonplastic silt. Ukuran partikel tanah berkisar antara in (pasir) dan in (batuan halus sampai menengah). Kuat geser dari jenis tanah ini didapat dari tahanan geser dan interlocking antar partikel yang tergantung pada gayagaya tekan (confining pressure) yang bekerja pada partikel tersebut. Jenis tanah ini mempunyai koefisien permeabilitas yang besar sehingga air dapat mengalir melalui poriporinya dengan cepat. Hanindita Diajeng Sunu

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara

BAB III LANDASAN TEORI. A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara 15 BAB III LANDASAN TEORI A. Petunjuk Pelaksanaan Perencanaan/ Perancangan Landasan pacu pada Bandar Udara Menurut Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara dengan nomor SKEP/161/IX/03 tanggal 3 September

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA, ANALISIS DAN DESAIN

BAB IV PENGOLAHAN DATA, ANALISIS DAN DESAIN BAB IV PENGOLAHAN DATA, ANALISIS DAN DESAIN 4.1 REKAPITULASI DATA 4.1.1 Data Perencanaan Geometrik Dalam perencanaan geometrik suatu bandara, diperlukan data perkiraan penumpang tahunan domestik, internasional

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Runway digunakan untuk kegiatan mendarat dan tinggal landas pesawat terbang. Panjang runway utama ditentukan oleh pesawat yang memiliki maximum take off weight terbesar

Lebih terperinci

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance

Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA Take Off Distance Pelabuhan Udara Gibraltar Airport Dr. Gito Sugiyanto, S.T., M.T. Desain Fasilitas Sisi Udara Sistem Bandar Udara ARFL dan ARC Runway Koreksi Panjang Runway Windrose Runway Strip RESA LDA, TORA, ASDA, TODA

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BANDARA INTERNASIONAL JAWA BARAT

TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BANDARA INTERNASIONAL JAWA BARAT TUGAS AKHIR PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY, DAN APRON BANDARA INTERNASIONAL JAWA BARAT Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana teknik S1 Program Studi Teknik Sipil Disusun Oleh: Hanindita

Lebih terperinci

Physical Characteristics of Aerodromes

Physical Characteristics of Aerodromes Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Physical Characteristics of Aerodromes Nursyamsu Hidayat, Ph.D. 2 Aerodrome Reference Code Digunakan oleh ICAO untuk membaca hubungan

Lebih terperinci

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1

PERENCANAAN BANDAR UDARA. Page 1 PERENCANAAN BANDAR UDARA Page 1 SISTEM PENERBANGAN Page 2 Sistem bandar udara terbagi menjadi dua yaitu land side dan air side. Sistem bandar udara dari sisi darat terdiri dari sistem jalan penghubung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sandhyavitri (2005), bandar udara dibagi menjadi dua bagian BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandar Udara Bandar udara adalah area yang dipergunakan untuk kegiatan take-off dan landing pesawat udara dengan bangunan tempat penumpang menunggu (Horonjeff R, 1975). Menurut

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konfigurasi Bandar Udara 2.1.1 Definisi Menurut peraturan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: SKEP/161/IX/2003, Bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan

Lebih terperinci

6.4. Runway End Safety Area (RESA)

6.4. Runway End Safety Area (RESA) b. Dalam jarak 60 m dari garis tengah precision approach runway kategori I, dengan nomor kode 3 atau 4; atau c. Dalam jarak 45 m dari garis tengah dari sebuah precision approach runway kategori I, dengan

Lebih terperinci

Gambar : Marka taxiway pavement-strength limit

Gambar : Marka taxiway pavement-strength limit Gambar 8.6-24: Marka taxiway pavement-strength limit Marka tepi taxiway utama atau apron terkait, atau marka runway side stripe, harus terpotong di sepanjang lebar jalan masuk taxiway berkekuatan rendah.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penumpang menunggu. Berikut adalah beberapa bagian penting bandar udara. 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi di bidang transportasi semakin berkembang. Hal ini dikarenakan banyaknya aktivitas masyarakat dalam melakukan hubun

PENDAHULUAN Perkembangan teknologi di bidang transportasi semakin berkembang. Hal ini dikarenakan banyaknya aktivitas masyarakat dalam melakukan hubun PERENCANAAN RUNWAY, TAXIWAY DAN APRON UNTUK PESAWAT TIPE B 737-900 ER PADA BANDARA SULTAN BABULLAH TERNATE 1 Herckia Pratama Daniel 2 Jennie Kusumaningrum, ST., MT. Email : 1 herckia_pratama.d@studentsite.gunadarma.ac.id

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Spesifikasi Bandara Radin Inten II Bandar Udara Radin Inten II adalah bandara berkelas umum yang penerbangannya hanya domestik. Bandara ini terletak di kecamatan Natar,

Lebih terperinci

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA

Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA Bagian 4 P ERENCANAAN P ANJANG L ANDAS P ACU DAN G EOMETRIK LANDING AREA Bab 4 Perencanaan Panjang Landas Pacu dan Geometrik Landing Area 4-2 Tujuan Perkuliahan Materi Bagian 4 Tujuan Instruksional Umum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Dalam diagram alir, proses perencanaan geometrik akan dilakukan seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1.

BAB III METODOLOGI. Dalam diagram alir, proses perencanaan geometrik akan dilakukan seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1. BAB III METODOLOGI 3.1 PERENCANAAN GEOMETRIK Urutan langkah pekerjaan dalam perencanaan geometrik adalah: 1. Penentuan arah orientasi runway, yaitu: a. Review arah dan kecepatan angin b. Pembuatan wind

Lebih terperinci

PERANCANGAN STRUKTURAL PERKERASAN BANDAR UDARA

PERANCANGAN STRUKTURAL PERKERASAN BANDAR UDARA PERANCANGAN STRUKTURAL PERKERASAN BANDAR UDARA PERKERASAN Struktur yang terdiri dari satu lapisan atau lebih dari bahan 2 yang diproses Perkerasan dibedakan menjadi : Perkerasan lentur Campuran beraspal

Lebih terperinci

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana:

Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari. persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan pesawat rencana: BAB V ANALISA DAN PEMBAHASAN 5.1. ANALISA PANJANG LANDASAN Perhitungan panjang landasan menurut petunjuk dari advisory circular AC: 150/ 5325-4A dated 1/ 29/ 90, persyaratan yang ditetapkan FAA, dengan

Lebih terperinci

Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya

Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya Perencanaan Sisi Udara Pengembangan Bandara Internasional Juanda Surabaya oleh : Yoanita Eka Rahayu 3112040611 LATAR BELAKANG Saat ini masyarakat cenderung menginginkan sarana transportasi yang cepat dan

Lebih terperinci

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang

( LAPANGAN TERBANG ) : Perencanaan Lapangan Terbang LESSON - 3 ( LAPANGAN TERBANG ) Materi : Perencanaan Lapangan Terbang Buku Referensi : Perencanaan dan Perancangan Bandar Udara, Jilid 1 dan 2, Horonjeff, R. & McKelvey, FX. Merancang, Merencana Lapangan

Lebih terperinci

Analisis Nilai ACN dan PCN untuk Struktur Perkerasan Kaku dengan menggunakan Program Airfield. Djunaedi Kosasih 1)

Analisis Nilai ACN dan PCN untuk Struktur Perkerasan Kaku dengan menggunakan Program Airfield. Djunaedi Kosasih 1) Analisis Nilai ACN dan PCN untuk Struktur Perkerasan Kaku dengan menggunakan Program Airfield Djunaedi Kosasih 1) Abstrak Metoda ACN dan PCN yang diusulkan oleh ICAO (1983) merupakan metoda evaluasi untuk

Lebih terperinci

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, FTSP-ITB, Bandung, dan Jurusan Teknik Sipil, FT-Untar, Jakarta.

1) Staf Pengajar Departemen Teknik Sipil, FTSP-ITB, Bandung, dan Jurusan Teknik Sipil, FT-Untar, Jakarta. Perbandingan antara Pendekatan Desain Struktur Perkerasan Kaku berdasarkan Lalu Lintas Pesawat Udara Campuran dan Pesawat Udara Desain Kritis Djunaedi Kosasih 1) Abstrak Metode desain struktur perkerasan

Lebih terperinci

BAB II FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERENCANAAN PERKERASAN PADA LAPANGAN TERBANG

BAB II FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERENCANAAN PERKERASAN PADA LAPANGAN TERBANG BAB II FAKTOR FAKTOR YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PERENCANAAN PERKERASAN PADA LAPANGAN TERBANG Horonjeff (1993:146) dalam buku perencanaan dan perancangan bandar udara perencanaan suatu bandar udara adalah

Lebih terperinci

Perencanaan Bandar Udara

Perencanaan Bandar Udara Perencanaan Bandar Udara Perkerasan Rigid Page 1 Perkerasan adalah struktur yang terdiri dari beberapa lapisan dengan kekerasan dan daya dukung yang berlainan. Perkerasan yang dibuat dari campuran aspal

Lebih terperinci

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA

BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 57 BAB V ANALISA KEBUTUHAN RUANG BANDARA PADA TAHUN RENCANA 5.1. TINJAUAN UMUM Pada bab sebelumnya telah dibahas evaluasi dan analisis kondisi eksisting Bandara Babullah sesuai dengan tipe pesawat yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Menurut Horonjeff dan McKelvey (1993), bandar udara adalah tempat pesawat terbang mendarat dan tinggal di landasan, dengan bangunan tempat penumpang menunggu.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu

PENDAHULUAN BAB I. berpopulasi tinggi. Melihat kondisi geografisnya, transportasi menjadi salah satu PENDAHULUAN BAB I I.1 Latar Belakang Transportasi adalah usaha untuk memindahkan suatu objek dari suatu tempat ke tempat lain dalam aktivitas sehari hari dengan menggunakan alat trasportasi. Indonesia

Lebih terperinci

4.1 Landasan pacu (runway)

4.1 Landasan pacu (runway) BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Landasan pacu (runway) Bandar Udara Internasional Kualanamu (IATA: KNO, ICAO: WIMM) adalah sebuah bandar udara internasional yang melayani kota Medan dan sekitarnya.

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERENCANAAN ULANG DAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TAXIWAY DI BANDARA ADI SUTJIPTO YOGYAKARTA

TUGAS AKHIR PERENCANAAN ULANG DAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TAXIWAY DI BANDARA ADI SUTJIPTO YOGYAKARTA TUGAS AKHIR PERENCANAAN ULANG DAN MANAJEMEN KONSTRUKSI TAXIWAY DI BANDARA ADI SUTJIPTO YOGYAKARTA PT. ANGKASA PURA I (PERSERO) Bandar Udara Internasional Adisutjipto Yogyakarta Disusun oleh : Nur Ayu Diana

Lebih terperinci

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN

PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN PERENCANAAN STRUKTUR PERKERASAN LANDAS PACU BANDAR UDARA SYAMSUDIN NOOR BANJARMASIN Yasruddin Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin ABSTRAK Bandar Udara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Bandar Udara Menurut PP RI No.70 Tahun 2001 tentang Kebandar udaraan, Pasal 1 Ayat 1, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PEMBAHASAN 4.1. Perhitungan Dengan Cara Manual Data yang diperlukan dalam perencanaan tebal perkerasan metode FAA cara manual adalah sebagai berikut: 1. Nilai CBR Subbase : 20% 2. Nilai CBR

Lebih terperinci

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan.

Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3. SIMBOL DAN SINGKATAN 3.1 AC Singkatan dari Advisory Circular, merupakan suatu standar dari federasi penerbangan Amerika (FAA) yang mengatur mengenai penerbangan. 3.2 ACN Singkatan dari Aircraft Classification

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III METODE PENELITIAN DAN ANALISIS 3.1 Lokasi Penelitian Bandar Udara Radin Inten II terletak di Jl. Alamsyah Ratu Prawiranegara Branti Raya, Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Tepatnya berada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia. Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Jalan 2.1.1 Istilah Istilah umum Jalan sesuai dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang JALAN, sebagai berikut : 1. Jalan adalah prasarana

Lebih terperinci

Dosen Pembimbing. Mahasiswa. Ir. Hera Widyastuti, MT. PhD. Sheellfia Juni Permana TUGAS AKHIR ( RC )

Dosen Pembimbing. Mahasiswa. Ir. Hera Widyastuti, MT. PhD. Sheellfia Juni Permana TUGAS AKHIR ( RC ) TUGAS AKHIR ( RC09 1380 ) Dosen Pembimbing Ir. Hera Widyastuti, MT. PhD Mahasiswa Sheellfia Juni Permana 3110 106 036 JURUSAN TEKNIK SIPIL Fakultas Teknik Sipil Dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh

Lebih terperinci

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI

ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI ANALISIS PENINGKATAN LANDASAN PACU (RUNWAY) BANDAR UDARA PINANG KAMPAI-DUMAI Irvan Ramadhan, ST Mahasiswa Program Studi Teknik Sipil Sekolah Tinggi Teknologi Dumai Muhammad Idham, ST, M.Sc Anton Budi Dharma,

Lebih terperinci

DAFTAR lsi. ii DAFTAR lsi. iv DAFTAR TABEL. vi DAFTAR GAMBAR. vii DAFTAR LAMPIRAN. viii ISTILAH - ISTILAH. ix NOTASI- NOTASI

DAFTAR lsi. ii DAFTAR lsi. iv DAFTAR TABEL. vi DAFTAR GAMBAR. vii DAFTAR LAMPIRAN. viii ISTILAH - ISTILAH. ix NOTASI- NOTASI DAFTAR lsi LEMBAR JUDUL LEMBAR PENGESAHAN INTISARI KATA PENGANTAR ii DAFTAR lsi iv DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN viii ISTILAH - ISTILAH ix NOTASI- NOTASI xi BAB I PENDAHULUAN 1 1.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam suatu bandar udara terdapat komponen komponen infrastruktur yang mendukung berjalannya transportasi udara diantaranya runway, taxiway, apron, hangar, terminal

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk kemudian diolah

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk kemudian diolah BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian Penelitian dimulai dengan mengumpulkan data-data yang diperlukan, yaitu segala jenis data yang diperlukan untuk menunjang proses penelitian, untuk

Lebih terperinci

2.3 Dasar - Dasar Perancangan Tebal Lapis Keras Lentur Kapasitas Lalulintas Udara 20

2.3 Dasar - Dasar Perancangan Tebal Lapis Keras Lentur Kapasitas Lalulintas Udara 20 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR NOTASI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN INTISARI i m v vii ^ x ^ BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Tujuan Analisis 5 1.3 Batasan Masalah 5

Lebih terperinci

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang... Bandar udara Menurut PP RI NO 70 Tahun 00 Tentang Kebandarudaraan Pasal Ayat, bandar udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan

Lebih terperinci

PA U PESAW PESA AT A T TER

PA U PESAW PESA AT A T TER PERENCANAAN PANJANG LANDAS PACU PESAWAT TERBANG Didalam merencanakan panjang landas pacu, dipakai suatu standar yang disebut Aeroplane Reference Field Length (ARFL) Menurut ICAO (International Civil Aviation

Lebih terperinci

Code Letter Minimum Clearance

Code Letter Minimum Clearance Gambar 6.2-2:Perkerasan yang dibutuhkan untuk melakukan perputaran 180 derajat penuh pesawat udara Code Letter "A" 6.2.4.3. Jika sebuah turn pad untuk pesawat udara tersedia di sembarang titik pada sebuah

Lebih terperinci

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK

Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A ABSTRAK Desain Bandara Binaka Nias Untuk Pesawat Airbus 300A Mart Peran Putra Zebua NRP : 0721038 Pembimbing: Tan Lie Ing, S.T., M.T. ABSTRAK Pulau Nias adalah salah satu daerah yang sekarang sedang berkembang,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR APRON Nama : Nur Kumala NIM : 0904105061 Jurusan : Teknik Sipil Mata Kuliah : Teknik Bandar Udara UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2010 Apron Pengertian Apron Apron adalah bagian dari lapangan gerak darat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Adapun beberapa tinjauan pustaka yang berkenaan dengan Analisis Desain Geometrik Bandar Udara Husein Sastranegara dengan menggunakan Perangkat

Lebih terperinci

Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Djunaedi Kosasih 1) Arie Fibryanto 2) Abstrak Desain struktur perkerasan kaku yang

Lebih terperinci

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II

ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II ANALISIS TEBAL DAN PERPANJANGAN LANDASAN PACU PADA BANDAR UDARA INTERNASIONAL SULTAN MAHMUD BADARUDDIN II Hastha Yuda Pratama Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sriwijaya (Jl. Raya Prabumulih KM 3 Indralaya,

Lebih terperinci

Cara uji CBR (California Bearing Ratio) lapangan

Cara uji CBR (California Bearing Ratio) lapangan Standar Nasional Indonesia Cara uji CBR (California Bearing Ratio) lapangan ICS 93.020 Badan Standardisasi Nasional BSN 2011 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang menyalin atau menggandakan sebagian

Lebih terperinci

Variabel-variabel Pesawat

Variabel-variabel Pesawat Civil Engineering Diploma Program Vocational School Gadjah Mada University Impact of Aircraft Characteristics on Airport Design Nursyamsu Hidayat, Ph.D. Variabel-variabel Pesawat Berat (weight) diperlukan

Lebih terperinci

Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Kosasih, Vol. 12 No. Fibryanto. 1 Januari 2005 urnal TEKNIK SIPIL Analisis Kerusakan Retak Lelah pada Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Djunaedi Kosasih

Lebih terperinci

Gambar III.1 Diagram Alir Program Penelitian

Gambar III.1 Diagram Alir Program Penelitian BAB III PROGRAM DAN METODOLOGI PENELITIAN III.1 Program Penelitian Program penelitian diawali dengan studi pustaka tentang teori dasar struktur perkerasan kaku berdasarkan metoda ICAO. Sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Perencanaan Bandara Udara Sistem bandar udara terdiri dari dua bagian yaitu sistem sisi udara (air side) dan sistem sisi darat (land side). Sistem air side suatu bandar udara

Lebih terperinci

Gambar : Typical apron markings

Gambar : Typical apron markings Gambar 8.7-28 : Typical apron markings 8.7.24 Self Manoeuvring Parking 8.7.24.1 Self-manoeuvring. Istilah ini digunakan untuk prosedur dimana pesawat udara masuk dan meninggalkan aircraft stand dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pendahuluan Perkerasan kaku (rigid pavement) atau perkerasan beton semen adalah perkerasan yang menggunakan semen sebagai bahan pengikatnya. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan

Lebih terperinci

BAB IV PRESENTASI DATA DAN ANALISIS

BAB IV PRESENTASI DATA DAN ANALISIS 33 BAB IV PRESENTASI DATA DAN ANALISIS IV.1 Presentasi Data Data yang dipresentasikan berikut ini merupakan data yang diperoleh dari Bandar Udara Juanda, Surabaya, selama tahun 2003. Data ini digunakan

Lebih terperinci

Bandar Udara. Eddi Wahyudi, ST,MM

Bandar Udara. Eddi Wahyudi, ST,MM Bandar Udara Eddi Wahyudi, ST,MM PENGERTIAN Bandar udara atau bandara merupakan sebuah fasilitas tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara yang paling sederhana minimal memiliki sebuah

Lebih terperinci

PENGARUH LINGKUNGAN LAPANGAN TERBANG PADA PERENCANAAN PANJANG LANDASAN DENGAN STANDAR A.R.F.L. Oleh : Dwi Sri Wiyanti. Abstract

PENGARUH LINGKUNGAN LAPANGAN TERBANG PADA PERENCANAAN PANJANG LANDASAN DENGAN STANDAR A.R.F.L. Oleh : Dwi Sri Wiyanti. Abstract PENGARUH LINGKUNGAN LAPANGAN TERBANG PADA PERENCANAAN PANJANG LANDASAN DENGAN STANDAR A.R.F.L. Oleh : Dwi Sri Wiyanti Abstract In planning a new airport or developing an airport to an internasional airport,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Bandar Udara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Bandar Udara 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Bandar Udara Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Tahun 2010 Tentang Tatanan Kebandarudaraan Nasional, Bandar Udara adalah kawasan di daratan atau perairan dengan

Lebih terperinci

Analisis Disain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield

Analisis Disain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Analisis Disain Struktur Perkerasan Kaku Landasan Pesawat Udara dengan menggunakan Program Airfield Djunaedi Kosasih 1 ABSTRAK Proses disain struktur perkerasan kaku landasan pesawat udara umumnya masih

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN

PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN PERTEMUAN KE - 1 PENGENALAN 1. Tujuan Perencanaan Sistem Bandara (Airport System), adalah : a. Untuk memenuhi kebutuhan penerbangan masa kini dan mendatang dalam mengembangkan pola pertumbuhan wilayah

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA (STUDI KASUS: BANDAR UDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN)

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA (STUDI KASUS: BANDAR UDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN) Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.4, Maret 2013 (270275) ISSN: 23376732 PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA (STUDI KASUS: BANDAR UDARA SEPINGGAN BALIKPAPAN) Felicia Geiby Dondokambey A. L. E. Rumayar, M.

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Tanah Bahan Timbunan 1. Berat Jenis Partikel Tanah (Gs) Pengujian Berat Jenis Partikel Tanah Gs (Spesific Gravity) dari tanah bahan timbunan hasilnya disajikan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ditentukan pada Bandar Udara Husein Sastranegara terletak Jalan Pajajaran No.156 Bandung, Propinsi Jawa Barat. Bandara ini berada di

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA RENDANI DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT

PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA RENDANI DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT PERENCANAAN PENGEMBANGAN BANDAR UDARA RENDANI DI KABUPATEN MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT Hanna Tumbelaka Freddy Jansen, Lintong Elisabeth Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado

Lebih terperinci

Jarak pendaratan yang tersedia 800 m hingga, 1200 m hingga, tetapi tidak mencapai 2400 m. Kurang dari 800 meter. Lokasi dan Dimensi.

Jarak pendaratan yang tersedia 800 m hingga, 1200 m hingga, tetapi tidak mencapai 2400 m. Kurang dari 800 meter. Lokasi dan Dimensi. 8.6.7 Marka runway aiming point 8.6.7.1 Marka aiming point harus disediakan pada setiap akhir pendekatan pada runway instrument yang diperkeras dengan code number 2, 3 atau 4. 8.6.7.2 Marka aiming point

Lebih terperinci

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) 1 LAPIISAN DAN MATERIIAL PERKERASAN JALAN (Sonya Sulistyono, ST., MT.) A. Jenis dan Fungsi Lapis Perkerasan 1. Kontruksi Perkerasan Lentur (Flexible Pavement) Kontruksi perkerasan lentur (flexible Pavement)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1.Tanah Lempung Tanah Lempung merupakan jenis tanah berbutir halus. Menurut Terzaghi (1987) tanah lempung merupakan tanah dengan ukuran mikrokopis sampai dengan sub mikrokopis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan infrastruktur dasar dan utama dalam menggerakan roda perekonomian nasional dan daerah, mengingat penting dan strategisnya fungsi jalan untuk mendorong

Lebih terperinci

BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN BAB III METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN 3.1 KEGIATAN PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan meliputi studi eksperimental laboratorium dan studi literatur terhadap beberapa penelitian yang berkaitan

Lebih terperinci

BAB II TANAH DASAR (SUB GRADE)

BAB II TANAH DASAR (SUB GRADE) BAB II TANAH DASAR (SUB GRADE) MAKSUD Yang dimaksud dengan lapis tanah dasar (sub grade) adalah bagian badna jalan yang terletak di bawah lapis pondasi (sub base) yang merupakan landasan atau dasar konstruksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Provinsi Jawa Barat (Jabar), dengan wilayah daratan seluas 3.709.528,44 Ha dan jumlah penduduk 35,72 juta jiwa (Sensus Penduduk 2000) memiliki potensi sumber daya alam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jalan Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bagian pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas yang berada

Lebih terperinci

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN

GAMBAR KONSTRUKSI JALAN 1. GAMBAR KONSTRUKSI JALAN a) Perkerasan lentur (flexible pavement), umumnya terdiri dari beberapa lapis perkerasan dan menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Gambar 6 Jenis Perkerasan Lentur Tanah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapis tanah dasar (subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalu lintas. Apapun jenis perkerasan

Lebih terperinci

ICAO (International Civil Aviation Organization)

ICAO (International Civil Aviation Organization) BAB II TINJAUAN PUSTAKA Untuk menganalisis daerah pendaratan pada bandar udara Adisucipto menggunakan peraturan yang telah ditetapkan oleh ICAO maupun FAA ICAO (International Civil Aviation Organization)

Lebih terperinci

Gambar : Konfigurasi lampu runway threshold pada runway lebar 30 m 9-74

Gambar : Konfigurasi lampu runway threshold pada runway lebar 30 m 9-74 ii. 5 lampu unidirectional yang berjarak sama dengan interval 2,4 m dimana lampu paling luar sejajar dengan baris lampu runway edge lainnya; b. 14 lampu unidirectional untuk runway dengan lebar 45 m, lihat

Lebih terperinci

BAB III DATA PERENCANAAN

BAB III DATA PERENCANAAN BAB III DATA PERENCANAAN 3.1 Umum Perencanaan pondasi tiang mencakup beberapa tahapan pekerjaan. Sebagai tahap awal adalah interpretasi data tanah dan data pembebanan gedung hasil dari analisa struktur

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Arus Lalu Lintas Menurut Hobbs (1995), ukuran dasar yang sering digunakan untuk mendefinisikan arus lalu lintas adalah konsentrasi aliran dan kecepatan. Aliran dan volume

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PERANCANGAN

BAB V ANALISIS DAN PERANCANGAN BAB V ANALISIS DAN PERANCANGAN 5.1. Kondisi Eksisting Bandar udara Domine Eduard Osok adalah bandar udara terbesar di daerah Semenanjung Kepala Burung Pulau Papua. Bandara ini dibangun pada tahun 2002

Lebih terperinci

Pemadatan Tanah (Compaction) dan CBR (California Bearing Ratio) DR. Ir. Imam Aschuri, MSc

Pemadatan Tanah (Compaction) dan CBR (California Bearing Ratio) DR. Ir. Imam Aschuri, MSc Pemadatan Tanah (Compaction) dan CBR (California Bearing Ratio) DR. Ir. Imam Aschuri, MSc 1 Definisi pemadatan (compaction) Proses menaikkan berat jenis tanah dengan energi mekanis agar partikel solid

Lebih terperinci

parameter, yaitu: tebal /(bidang kontak)^ dan CBR/tekanan roda, serta memisahkan

parameter, yaitu: tebal /(bidang kontak)^ dan CBR/tekanan roda, serta memisahkan BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Metode Perancangan CBR (California Bearing Ratio) Metode CBR pertama kali dikembangkan oleh California Division of Highways, 1928. metode CBR kemudian dipakai oleh Corp of Engineers,

Lebih terperinci

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB)

LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB) BAB V LAPIS PONDASI AGREGAT SEMEN (CEMENT TREATED BASE / CTB) 5.1. UMUM a. Lapis Pondasi Agregat Semen (Cement Treated Base / CTB) adalah Lapis Pondasi Agregat Kelas A atau Kelas B atau Kelas C yang diberi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization):

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang. Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara dan Sistem Lapangan Terbang 2.1.1. Bandar udara Menurut Annex 14 dari ICAO (International Civil Aviation Organization): Bandar udara adalah area tertentu di daratan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin

BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON. genangan air laut karena pasang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Hal ini mungkin BAB IV ANALISA KONSTRUKSI PERKERASAN JALAN BETON 4.1 Menentukan Kuat Dukung Perkerasan Lama Seperti yang telah disebutkan pada bab 1, di Jalan RE Martadinata sering terjadi genangan air laut karena pasang

Lebih terperinci

ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD

ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD ANALISIS PERKERASAN LANDAS PACU BANDARA SOEKARNO-HATTA MENGGUNAKAN PERANGKAT LUNAK FAARFIELD Lisa Jasmine NRP: 1421008 Pembimbing: Tan Lie Ing, S.T., M.T. ABSTRAK Bandara Soekarno-Hatta merupakan pintu

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kadar air menggunakan tanah terganggu (disturbed), dilakukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kadar air menggunakan tanah terganggu (disturbed), dilakukan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Sifat Fisik Tanah 1. Kadar Air Pengujian kadar air menggunakan tanah terganggu (disturbed), dilakukan sebanyak dua puluh sampel dengan jenis tanah yang sama

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA &ANALISIS. dengan menggunakan Program COMFAA 3.0 adalah sebagai berikut :

BAB IV PENGOLAHAN DATA &ANALISIS. dengan menggunakan Program COMFAA 3.0 adalah sebagai berikut : BAB IV PENGOLAHAN DATA &ANALISIS 4.1 Hasil Perencanaan Program COMFAA 3.0 Data sekunder yang merupakan hasil perhitungan tebal perkerasana kaku dengan menggunakan Program COMFAA 3.0 adalah sebagai berikut

Lebih terperinci

Aircraft stand number designation. Gambar :

Aircraft stand number designation. Gambar : Gambar8.7-11 : Aircraft stand number designation 8.7.11.4 Aircraft type limit designations mengindikasikan aircraft stand mana yang mampu mengakomodasi jenis pesawat udara tertentu. Nomor designation ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bandar Udara Bandara atau bandar udara yang juga populer disebut dengan istilah airport merupakan sebuah fasilitas di mana pesawat terbang seperti pesawat udara dan helikopter

Lebih terperinci

TUGAS Topik Khusus Transportasi BANDAR UDARA

TUGAS Topik Khusus Transportasi BANDAR UDARA BANDAR UDARA Pengertian Bandar Udara Adapun pengertian Bandar udara menurut beberapa sumber adalah sebagai berikut: Menurut International Civil Aviation Organization, bandar udara adalah area tertentu

Lebih terperinci

Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku Pada Apron Dengan Metode FAA, PCA dan LCN Dari Segi Daya Dukung: Studi Kasus Bandara Juanda

Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku Pada Apron Dengan Metode FAA, PCA dan LCN Dari Segi Daya Dukung: Studi Kasus Bandara Juanda Perbandingan Metode Perencanaan Perkerasan Kaku Pada Apron Dengan Metode FAA, PCA dan LCN Dari Segi Daya Dukung: Studi Kasus Bandara Juanda Redy Triwibowo, Ervina Ahyudanari dan Endah Wahyuni Jurusan Teknik

Lebih terperinci

Code Letter Minimum Clearance

Code Letter Minimum Clearance Gambar 6.2-2: Perkerasan yang dibutuhkan untuk melakukan perputaran 180 derajat penuh pesawat udara Kode huruf "A" (Pavement required to complete a 180-degree turn Code letter A aircraft) 6.2.4.3. Jika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Jalan adalah seluruh bagian Jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalulintas umum,yang berada pada permukaan tanah, diatas

Lebih terperinci

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud.

tanpa persetujuan khusus Ditjen Hubud. bandar udara Hubud. tanpa persetujuan khusus Ditjen 7.1.3.2. Peralatan dan instalasi yang dibutuhkan untuk tujuan navigasi penerbangan harus mempunyai massa dan ketinggian minimum yang dapat dipraktekkan,

Lebih terperinci

PENELITIAN PENDAHULUAN PENGGUNAAN BENDA UJI KUBUS BETON PADA PERKERASAN LENTUR TYPE CEMENT TREATED BASE (CTB)

PENELITIAN PENDAHULUAN PENGGUNAAN BENDA UJI KUBUS BETON PADA PERKERASAN LENTUR TYPE CEMENT TREATED BASE (CTB) Dimensi Teknik Sipil, Vol., No. 1, Maret 01, 2-29 ISSN 110- PENELITIAN PENDAHULUAN PENGGUNAAN BENDA UJI KUBUS BETON PADA PERKERASAN LENTUR TYPE CEMENT TREATED BASE (CTB) Harry Patmadjaja, Suhartono Irawan

Lebih terperinci

BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 Bab 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Studi Kasus Obyek studi kasus untuk penulisan Tugas Akhir ini adalah Perencanaan Jalan Tol Kertosono Mojokerto, Surabaya yang berada pada provinsi Jawa Timur

Lebih terperinci