Bab 1. PENDAHULUAN. Tesis ini akan mengkaji isu representasi politik perempuan dan upaya-upaya
|
|
- Hendra Agusalim
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Bab 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tesis ini akan mengkaji isu representasi politik perempuan dan upaya-upaya politik yang dilakukan oleh perempuan dalam proses politik. Kajian ini akan memfokuskan pada dua level konstituen yaitu perempuan yang memperoleh advokasi politik oleh organisasi masyarakat sipil dan yang tidak. Setelah keruntuhan Orde Baru tahun 1998, Indonesia memasuki era demokrasi. Proses demokratisasi telah banyak melahirkan perubahan, teristimewa menyangkut aspek-aspek hak dan kebebasan sipil dan politik, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan penciptaan pemerintahan yang bersih. 1 Pada aspek hak-hak sosial, ekonomi dan budaya, proses demokratisasi cenderung tidak membawa perubahan yang cukup berarti. Salah satu persoalan penting yang tidak kunjung teratasi pasca-reformasi adalah buruknya kondisi kesetaraan gender. Hasil survei Demos pada tahun 2009 memperlihatkan stagnasi kondisi kesetaraan gender jika dibandingkan dengan hasil survey pada 2003/ Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi-kondisi yang tidak 1 Sebuah survey demokrasi yang dilakukan Demos lembaga kajian HAM dan demokrasi memperlihatkan bahwa dalam rentang perubahan positif terutama terjadi pada aspek-aspek kebebasan sipil dan politik, serta aspek-aspek yang berkaitan dengan pemerintahan yang bersih dan transparan. Perbaikan sangat sedikit terjadi di bidang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, bahkan cenderung menurun atau setidaknya stagnan. Untuk mendapatkan gambaran situasi demokrasi Indonesia berdasarkan hasil lengkap survey tersebut, lihat Samadhi dan Warouw (eds.) (2009). 2 Menurut survey tersebut, kondisi kesetaraan gender memperoleh skor indeks 46, atau turun dari skor 47 berdasarkan survey tahun 2003/2004. Ibid. Survei Demos memang tidak memberikan data yang pasti mengenai indikasi-indikasi buruknya kesetaraan gender, namun data-data dari beberapa sumber lain bisa memperlihatkan kondisi itu. Misalnya, data Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada 2002 mengungkap setidaknya terdapat perempuan atau meningkat 63 persen dibanding data tahun 2001 yang mengalami berbagai bentuk kekerasan. Selain itu, undang-undang yang mengatur perkara kekerasan terhadap perempuan juga sangat minim, yaitu UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) No 23/2004. Tingkat buta huruf di kalangan perempuan (13,85 persen) juga dua kali lebih besar dibanding laki-laki (6,26 persen). Lihat Mulia dan Farida (2005), hal
2 menguntungkan perempuan sebagaimana terjadi pada era pra-demokratisasi terus berlanjut. 3 Kenyataan bahwa kondisi kesetaraan gender masih belum membaik sesungguhnya agak mencengangkan, mengingati isu pemberdayaan perempuan adalah salah satu isu paling menonjol dalam era reformasi. Misalnya, Unit Pengarus-utamaan Gender di era pemerintahan Abdurrahman Wahid diterapkan pada semua jajaran instansi baik di tingkat pusat maupun daerah. Demikian pula dengan advokasi pemberdayaan perempuan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil. Salah satu isu paling penting dalam advokasi perempuan adalah memperjuangkan kesadaran politik dan keterwakilan politik perempuan. Gagasan ini didorong oleh kenyataan bahwa jumlah perempuan anggota parlemen masih sangat minim. Kecilnya jumlah perempuan di parlemen dipercaya sebagai penyebab utama lemahnya posisi dan peran perempuan. 4 Karena itu, untuk memperbaikinya, posisi dan peran perempuan secara politik harus ditingkatkan. Diasumsikan, dengan meningkatnya posisi dan peran politik perempuan, kebijakan-kebijakan politik bisa diharapkan akan lebih memihak kepentingan perempuan. Center for Electoral Reform (CETRO) dan Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia (KPPI) mengusulkan beberapa hal yang sangat penting dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan. Perempuan semestinya memperoleh kesempatan yang sama untuk berperan aktif dalam kepengurusan partai, melalui proses yang demokratis, adil, dan transparan. Mempromosikan program-program yang dapat menarik pemilih perempuan untuk merekrut serta meningkatkan kemampuan berpolitik bagi kader-kader 3 Lihat Mulia dan Farida (2005), hal Pada periode jumlah perempuan anggota DPR hanya 45 orang atau sekitar 9 persen. Di lingkungan lembaga hukum, jumlah hakim perempuan pada 1996 hanya sekitar 16 persen sedangkan jumlah hakim agung pada 2000 hanya 8 orang (1,7 persen). Lihat Mulia dan Farida (2005) dan BPS (2000). 2
3 perempuan partai, mendorong kader perempuan partai untuk posisi-posisi kepemimpinan dalam partai, dan menominasikan calon legislatif (caleg) perempuan partai untuk ikut dalam pemilu. Lebih lanjut, CETRO dan KPPI merumuskan rancangan program-program yang berpihak kepada kepentingan perempuan dan turut memperjuangkan isu-isu perempuan, mendorong tindakan afirmatif (affirmative action) untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam politik dan mendongkrak kontribusi perempuan dalam politik formal; dan penerapan tindakan afirmatif tersebut dapat mereka lakukan melalui UU Partai Politik yang memuat penegakan demokrasi internal partai dalam penyeleksian kepemimpinan dan kader dalam organisasi partai, baik melalui kepengurusan partai, mekanisme pemilihan pengurus partai, dan kriteria yang dibuat tentang kandidat pengurus partai. 5 Dari cara berpikir seperti itulah muncul gagasan untuk memperjuangkan kuota minimum jumlah perempuan di dalam parlemen. Perjuangan ini relatif berhasil yaitu dengan ditetapkannya kuota 30 persen bagi perempuan di dalam daftar caleg yang diajukan setiap partai. Pengaturan itu dilakukan melalui UU No 31/2002 tentang Partai Politik dan UU No 12/2003. Pada praktiknya, pengaturan kuota tersebut lebih merupakan formalitas belaka. 6 Pengaturan kuota minimum hanya diberlakukan pada tahap pencalonan, bukan terhadap 5 Dikutip dalam Asyari-Afwan (2007). 6 Tindakan afirmasi berupa kuota perempuan di parlemen merupakan salah satu cara yang dilakukan juga di beberapa Negara lain untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Di Mozambique, Uganda dan Afrika Selatan kebijakan kuota terbilang efektif. Namun peningkatan proporsi perempuan di parlemen tidak selalu efektif meningkatkan keterwakilan kepentingan perempuan. Di Bangladesh, kuota memang berhasil meningkatkan jumlah perempuan di parlemen namun tidak menjamin keterwakilan perempuan di dalam proses pembuatan kebijakan karena kendala kultural dan tingkat buta huruf yang masih tinggi (Panday, 2008:508). Dalam kasus Indonesia, fenomena serupa setidaknya terjadi di kalangan konstituten PKS. Partisipasi politik perempuan yang relatif tinggi di PKS, tidak diikuti representasi politik yang sepadan. Kuatnya pengaruh paham Islamic exceptionalism bahwa tempat yang layak bagi mar ah al-shalihah (perempuan salehah) adalah rumah, segregasi seksual dalam ruang publik seperti tergambarkan dalam pembentukan Departemen Kewanitaan di 3
4 jumlah pasti keanggotaan di dalam parlemen. Misalnya, caleg perempuan yang diajukan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Pemilu 2004 persentasenya mencapai 40,3%, jauh melebihi kuota 30%. Namun hanya 10,41% caleg perempuannya yang melenggang ke Senayan. 7 Proporsi keanggotaan perempuan di parlemen setelah kedua UU yang mengatur kuota tersebut diberlakukan memang memperlihatkan kenaikan dari pemilu ke pemilu, akan tetapi persentasenya masih jauh di bawah angka 30 persen. Lihat Tabel 1.1. Tabel 1.1. Proporsi Perempuan dalam Keanggotaan DPR RI * Pemilu Jumlah anggota parlemen Jumlah perempuan Persentase 9,00 11,09 17,49 *Data 1999 dan 2004 diperoleh dari Puskapol FISIP UI dan The Asia Foundation (2009), data 2009 diperoleh dari Selain karena faktor lemahnya peraturan, penyebab lainnya adalah masih sangat sedikitnya jumlah perempuan yang menjadi kader di dalam partai-partai politik. Hal itu menyulitkan partai untuk menyodorkan nama-nama calon perempuan untuk dipilih di dalam pemilu. Di samping itu, para pemimpin partai politik umumnya mengaku sulit mengajak perempuan membicarakan persoalan politik, apalagi mengajak mereka terlibat di dalam politik praktis. Catatan Almanak Parpol Indonesia (1999) mengungkapkan juga gagasan kuota sebenarnya sempat ditolak oleh mayoritas partai politik (Suseno, 2002). 8 Lihat Tabel 1.2. DPP/DPW/DPC PKS, dan afirmasi positif para konstituen PKS atas agenda-agenda Islamis, diyakini sebagai penyebab rendahnya representasi politik perempuan di partai dakwah ini (Burhanudin, 2006). 7 Burhanudin (2006). 8 Gagasan kuota juga ditentang oleh Presiden (ketika itu) Megawati Soekarnoputri. Dalam pidato peringatan Hari Ibu tanggal 27 Desember 2001, Megawati menyatakan bahwa kuota sebenarnya akan menurunkan 4
5 Tabel 1.2 Sikap Partai Politik mengenai Kuota bagi Perempuan Sikap Jumlah % Setuju 3 6,3 Tidak setuju Tidak menjawab 9 18,8 Total Sumber: Dikutip dari Suseno, dkk (2002) Masalah kesetaraan gender dan perlindungan atas hak-hak perempuan sesungguhnya telah semakin banyak disuarakan oleh pusat-pusat kajian perempuan, baik di lembaga pendidikan maupun institusi-institusi swasta. Di banyak universitas telah berdiri pusat-pusat kajian wanita atau gender. Organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga semakin banyak yang melakukan advokasi bagi pemberdayaan perempuan. Kondisi ini setidaknya telah membuka peluang bagi meningkatnya kuantitas perempuan di dalam jabatan-jabatan politik. Akan tetapi, seluruh upaya itu tetap saja tidak mampu menghapus marginalisasi perempuan di dalam proses-proses politik. Persoalannya, antara lain, titik berat para pemerhati masalah perempuan umumnya lebih ditujukan bagi ini upaya-upaya pemberdayaan perempuan, perlindungan hukum, dan kesetaraan gender. 9 Upaya-upaya advokasi dan kajian yang diarahkan pada hubungan antara kandungan (content) isu-isu yang diperjuangkan oleh gerakan-gerakan perempuan dan kadar keterwakilan isu-isu tersebut di dalam proses politik tergolong masih jarang dilakukan. Sehubungan dengan hal itu, kemandegan dalam pemberdayaan hak-hak politik perempuan mungkin bukan semata-mata disebabkan oleh terlalu sedikitnya jumlah perempuan yang terlibat di dalam kedudukan wanita, dan memberikan beban yang berlebih baik bagi perempuan itu sendiri maupun bagi institusi-institusi yang akan mereka tempati. 9 Lihat misalnya tulisan Otto Adi Yulianto (2003) mengenai isu dan strategi gerakan perempuan berdasarkan pengalaman empat organisasi perempuan: Kalyanamitra, LBH APIK, Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP), dan Rifka Annisa. 5
6 proses politik atau pembuatan kebijakan publik. Secara hipotetis penyebab lain yang tidak kalah penting adalah ketidaksesuaian antara kepentingan yang dipikirkan oleh perempuan dan isu-isu yang dibahas di dalam proses politik formal. Dalam hal ini, penulis melihat persoalan ini dari sudut pandang yang lain, yaitu representasi. Studi ini, karena itu, meletakkan persoalan kesetaraan gender dan hak-hak perempuan sebagai sebuah aspek dalam kajian politik representasi. Asumsi yang mendorong penulis meletakkan fokus seperti itu adalah keterwakilan perempuan seharusnya dilihat dari keterwakilan kepentingan dan kebutuhan perempuan di dalam proses politik. Hal ini penting karena keterwakilan perempuan akan membaik apabila isuisu yang dibahas di dalam proses-proses politik mencerminkan kepentingan dan kebutuhan yang dipikirkan dan dipedulikan oleh para perempuan. Pemikiran seperti ini bukan mengabaikan pentingnya faktor kuantitas keberadaan dan keterlibatan perempuan di dalam proses politik, seperti misalnya kuota 30 persen keanggotaan di dalam parlemen. Bagaimanapun, jumlah perempuan di dalam keanggotaan parlemen tetap saja merupakan hal yang penting. Karena itu, upaya untuk mendorong pemberlakuan kuota minimum jumlah anggota perempuan di parlemen tetap harus dilakukan. Akan tetapi, upaya semacam itu harus dibarengi dengan upaya memadupadankan isu-isu dan kepentingan perempuan pada umumnya dengan isu-isu yang dibahas di dalam parlemen. Selama proses politik di parlemen tidak mencerminkan atau mewakili kepentingan perempuan, sulit untuk diharapkan adanya pertumbuhan kepedulian dan kesadaran perempuan terhadap pentingnya proses-proses politik. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, affirmative action untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam parlemen penting dikritisi untuk memahami representasi 6
7 perempuan dalam proses-proses politik, apakah hal tersebut telah memenuhi keterwakilan dalam hal kepentingan dan kebutuhan perempuan Pertanyaan Studi Pemaparan pada bagian terdahulu telah cukup menggambarkan bahwa persoalan yang dihadapi oleh upaya-upaya mewakili kepentingan perempuan adalah bagaimana memperkuat representasi politik perempuan. Studi ini secara khusus mengangkat pertanyaan pokok: Apakah upaya-upaya untuk keterwakilan perempuan dalam proses politik telah sesuai dengan kepentingan dan kebutuhan perempuan? Dalam rangka menjawab pertanyaan pokok tersebut, studi ini akan mencoba mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan berikut untuk menemukan rekomendasi yang bermakna bagi keterwakilan perempuan dalam politik: 1. Bagaimana perempuan mengaitkan diri ke dalam politik agar kepentingan dan kebutuhan mereka terwakili? 2. Adakah alternatif praktek politik untuk menarik minat perempuan terhadap politik sehingga bisa memperkuat representasi perempuan? 1.3. Tujuan Studi Demokratisasi adalah proses terus-menerus yang mengarah pada terbukanya kontrol publik terhadap urusan-urusan publik. Perempuan merupakan sebuah kelompok yang tidak terpisahkan dari publik, dan karena itu harus memiliki kapasitas dan akses yang memadai untuk melakukan kontrol terhadap urusan-urusan publik. Ketertinggalan dan keterpinggiran perempuan di dalam proses-proses politik demokratis merupakan 7
8 indikasi demokratisasi belum berjalan dengan baik. Oleh karena itu, proses demokratisasi tidak bisa melepaskan diri dari berbagai upaya yang terarah pada peningkatan kapasitas keterlibatan (engagement capacity) serta akses perempuan untuk melakukan kontrol dan memberi pengaruh di dalam proses pembuatan kebijakan publik, baik secara langsung maupun melalui jalur-jalur representasi yang demokratis. Secara khusus, studi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai: 1. Apa yang dibayangkan perempuan mengenai kepentingan-kepentingan yang mereka miliki. 2. Upaya-upaya yang telah dan sedang mereka dilakukan oleh konstituen, anggota parlemen, dan masyarakat sipil untuk meningkatkan keterwakilan kepentingan perempuan di dalam proses-proses politik. 3. Kesesuaian antara isu-isu dan kepentingan yang disuarakan oleh konstituen, anggota parlemen, dan masyarakat sipil di dalam proses-proses politik, di satu pihak, dan kepentingan perempuan pada umumnya, di pihak lain Kerangka Pemikiran Perempuan dan politik Istilah politik, termasuk urusan-urusan kenegaraan, sudah sejak lama diasosiasikan dengan kekuasaan atau kekerasan, dan karena itu kerap lebih diidentikkan dengan urusan kaum laki-laki. Hampir semua filsuf tentang Negara dan politik seolaholah berpikir bahwa politik dan urusan Negara berjenis kelamin laki-laki. Sejarah awal pemikiran politik (Barat) bahkan mencatat bahwa Plato menempatkan perempuan sebagai 8
9 milik Negara, sama kedudukannya dengan anak-anak dan harta yang tidak boleh dimiliki secara pribadi. Gagasan politik Machiavelli tertuang dalam Sang Pangeran, sementara Thomas Hobbes mengandaikan Negara sebagai monster Leviathan. 10 Pada perkembangannya, memang, politik lebih terbuka terhadap keterlibatan perempuan. Hal itu seiring dengan mulai meluasnya gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, termasuk dalam pemenuhan hak-hak politik. Akan tetapi perjuangan gerakan perempuan untuk untuk berpartisipasi dalam urusan politik merupakan perjalanan panjang yang tidak serta-merta membuka kesempatan dan kesetaraan akses perempuan. Gerakan perjuangan hak perempuan untuk ikut dalam pemilihan umum baru dimulai sekitar 150 tahun yang lalu (Reingold, 2000:13) atau menjelang abad ke-20, sebagai bagian dari gelombang pertama feminisme (Ritzer and Goodman, 2004:491). 11 Di Amerika Serikat dan Inggris, perempuan baru memiliki hak pilih penuh masing-masing pada 1920 dan 1928, dan kursi parlemen bagi perempuan di Inggris baru terisi pada 1929 (Ritzer and Goodman, 2004:491; Lovenduski, 2005:13). 12 Strategi yang lebih efektif untuk mengintegrasikan perempuan ke dalam politik, yaitu dengan strategi pengarusutamaan gender (gender mainstreaming), baru mulai digencarkan pada dekade 1990-an berdasarkan Platform for Action yang dihasilkan di Beijing (Lovenduski and Campbell, 2002:42). 10 Lihat, misalnya, Suhelmi (2007). Penilaian serupa dinyatakan Arivia (2003:5-9) yang menyebutkan bahwa karya-karya filsafat filsuf laki-laki sering memberikan pernyataan yang bersifat misogini alias kebencian terhadap perempuan. 11 Lihat juga Crawford (1999) untuk referensi sejarah gerakan hak pilih perempuan. 12 Akan tetapi, bahkan pada 2002 masih terjadi insiden di dalam parlemen Inggris ketika seorang anggota parlemen, Ken Brennan, diperintahkan keluar ruangan hanya karena tidak mengenakan dasi. Selain kewajiban mengenakan dasi, sampai 1998, baik laki-laki maupun perempuan anggota parlemen Inggris dituntut menggunakan topi ketika bersidang. Lihat Lovenduski (2008:56-57). 9
10 Catatan-catatan itu memperlihatkan bahwa upaya gerakan perempuan untuk terlibat di dalam politik pada umumnya mengarah pada keterlibatan perempuan di dalam aktivitas politik formal. Kecenderungan itu didasarkan atas keyakinan bahwa kehadiran perempuan di dalam proses-proses politik, yaitu proses pengambilan keputusan publik, akan membawa perubahan. Women in politics make a difference. Tune in to any discussion about the increasing number of women in politics, write journalist Linda Witt, political scientist Karen Paget, and historian Glenna Matthews (1994:265), and you will hear that women s presence makes a difference. (Kutipan dari Reingold (2000:13)). Namun pada kenyataannya, kehadiran perempuan di dunia politik bukanlah solusi tunggal persoalan keterpinggiran perempuan. Lebih dari sekadar kehadiran perempuan secara fisik di dalam dunia politik, persoalan keterwakilan perempuan di dalam politik memiliki dimensi lainnya yaitu keterwakilan kepentingan. Hal ini mengemuka karena sebuah fakta bahwa perempuan bukanlah sekelompok yang homogen. Dengan kata lain, kehadiran perempuan di dalam proses politik tidak serta-merta menjamin terwakilinya kepentingan-kepentingan perempuan yang beraneka ragam. Terdapat begitu banyak kepentingan dan kebutuhan perempuan yang belum tentu bisa disalurkan dan tersalurkan melalui proses-proses politik formal seperti halnya di dalam parlemen atau partai politik. Oleh sebab itu, istilah politik seharusnya juga tidak dimaknai melulu sebagai proses pengambilan keputusan di lembaga-lembaga politik formal. Politik bisa kita petakan ke dalam dua wilayah (lembaga), yaitu formal dan informal. Politik formal merujuk pada legislatif, eksekutif, partai politik, pemerintahan, distribusi sumber daya dan proses pembuatan serta penerapan kebijakan publik. 10
11 Sedangkan politik informal merujuk pada apa yang berlangsung dalam wilayah masyarakat luas, komunitas, lingkungan sekitar dan organisasi, termasuk di dalam keluarga. Oleh karena itu, semua hal yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat (dan kehidupan perempuan) sesungguhnya bersifat politis, mulai dari ruang lingkup rumah tangga sampai ruang lingkup pemerintahan dan negara. Setiap kegiatan yang memiliki hubungan kekuasaan dan ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dapat dimaknai sebagai aktivitas politik. 13 Melalui peta semacam inilah kita lebih mungkin untuk melihat bagaimana perempuan berpartisipasi di dalam proses politik Representasi Representasi merupakan sebuah konsep yang kompleks dan beragam artinya. Kendati begitu, para teroretisi demokrasi pada umumnya sepakat bahwa merupakan salah satu unsur terpenting dalam proses demokratisasi. Indikasi keberhasilan atau kegagalan demokrasi dapat dilihat dari seberapa bekerjanya dan seberapa efektifnya lembagalembaga perwakilan atau institusi representasi. Karena itu, dalam studi-studi demokrasi, ada cukup banyak dan ragam kajian yang mengulas persoalan representasi. Salah satu karya penting dalam kajian representasi adalah yang disampaikan oleh Pitkin (1967). Menurut Pitkin, representasi mengasumsikan adanya wakil, orang-orang yang diwakili, sesuatu yang diwakili, dan konteks politik tertentu yang melingkupinya. Dinamika representasi terutama menyangkut penggunaan kewenangan serta akuntabilitas, yang mengasumsikan adanya transparansi dan daya tanggap. 13 Mulia dan Farida (2005), hal
12 Lebih lanjut, Pitkin (1967:60-143) menggolongkan representasi berdasarkan sifatnya, yaitu substantif, deskriptif atau simbolik. Representasi substantif adalah ketika sang wakil bertindak untuk (acting for) mereka yang diwakili, seperti misalnya seorang pemimpin (wakil) memperjuangkan kepentingan buruh (yang diwakili). Representasi deskriptif adalah ketika wakil berdiri untuk (standing for) orang-orang yang memiliki kesamaan secara objektif. Misalnya, seorang perempuan mewakili kaum perempuan atau seorang penduduk desa mewakili keseluruhan penduduk desanya. Mirip dengan representasi deskriptif, sifat yang ketiga adalah representasi simbolik yaitu ketika seorang aktor dianggap oleh mereka yang diwakili, juga, berdiri untuk (standing for) mereka, tetapi kali ini dalam pengertian kesamaan kebudayaan dan identitas. Misalnya, raja sebuah negeri atau seorang kepala suku yang secara simbolik mewakili rakyatnya, bisa pula seorang jenderal yang mewakili institusi kemiliterannya. Berbeda dengan Pitkin, Birch (1978:124) membedakan representasi ke dalam empat bentuk: representasi simbolik, representasi delegatif, representasi mikrokosmik, dan representasi pemilihan. Akan tetapi Birch mengakui istilah perwakilan (representative) biasa digunakan dalam tiga pengertian yang relatif serupa dengan pola kategorisasi Pitkin yaitu: 1. To denote an agent or spokesman who acts on behalf of his principal 2. To indicate that a person shares some of the characteristics of a class of persons 3. To indicate that a person symbolizes the identity or qualities of a class of persons. (Birch, 1978: 15). Birch memang tidak memberi label dalam kategorisasi yang dibuatnya, terutama menyangkut tipe pertama dan kedua. Namun ketika menerangkan pengertian yang ketiga, 12
13 ia kerap menyebutnya sebagai symbolic representation dan memberikan sorotan khusus: This usage is neither as common nor as important as the other two kinds of usage, but it most not be ignored because symbolic representation and the demand for symbolic representation plays a significant part in political activity. (Birch, 1978: 18) Itu sebabnya representasi simbolik dapat pula dipahami secara lebih luas, sebagaimana ditulis Bourdieu [lihat misalnya Wacquant (2005) dan Stokke (2002; 2009)]. 14 Representasi simbolik bisa diartikan sebagai sesuatu yang mengonstruksi demos, kelompok-kelompok dan berbagai kepentingan yang diwakili dan menyatakan diri sebagai otoritas yang absah sebagai seorang wakil. Dengan mengatakan itu, Bourdieu ingin mengingatkan bahwa representasi simbolik bisa pula terjadi dalam bentuk klaim wakil atas orang-orang yang diwakilinya. Karena itu, persoalan otorisasi atau proses pendelegasian kewenangan dan mekanisme akuntabilitas adalah juga persoalan penting untuk dicermati saat menganalisis representasi. Berdasarkan fungsi representasi, Birch (1978: ) menyatakan ada tiga fungsi umum representasi, yang masing-masing memiliki beberapa fungsi spesifik: 1. Kontrol popular (Popular control), dengan fungsi spesifik (a) Responsiveness, (b) Accountability, dan (c) Peaceful change. 2. Kepemimpinan (Leadership), dengan fungsi spesifik: (a) Rekrutmen dan mobilisasi, dan (b) Pertanggungjawaban (responsibility). 3. Pemeliharaan system (System maintenance), dengan fungsi spesifik: (a) Legitimasi, (b) Kepatuhan (consent), dan (c) Peredam ketegangan (relief of pressure). 14 Lihat Törnquist and Warouw (2009) dalam Samadhi and Warouw (2009:29). 13
14 Sumbangan Pitkin dan Birch mengenai tipologi representasi sangat berguna untuk menganalisis fenomena keterwakilan perempuan di dalam proses politik demokratis. Tiga tipologi representasi yang dipaparkan Pitkin dapat membantu kita melakukan pemetaan mengenai situasi keterwakilan perempuan, apakah sifatnya simbolik (klaim) ataukah deskriptif belaka ataukah mengarah pada terbangunnya representasi substantif. Pemetaan semacam itu bisa juga menjadi dasar bagi penyusunan rekomendasi strategi advokasi untuk meningkatkan kualitas keterwakilan perempuan. Secara ideal, dapat dikatakan di sini bahwa penguatan representasi perempuan seharusnya dilakukan dengan langkahlangkah yang terarah pada terbangunnya representasi substantif. Akan tetapi, Laclau (2005:158) mengingatkan representasi bukanlah sesuatu yang statis, melainkan hal yang dinamis. Representasi bukan hasil, melainkan proses. Ada dua dimensi proses dalam representasi, yaitu proses yang bergerak dari para terwakil kepada wakil, dan proses sebaliknya yang bergerak dari wakil kepada orang-orang yang diwakilinya. Karena itu, representasi sesungguhnya menjadi garis yang memisahkan antara wakil dan orang-orang yang diwakili. Dalam konteks seperti itu, sangat mungkin terjadi hegemoni mengingat masyarakat terwakil tidaklah homogen. Ada pengelompokan sektoral yang memicu fragmentasi di kalangan masyarakat. Itu sebabnya Laclau menilai representasi yang sempurna sebagai bagian dari proses demokrasi mengandung ketidakmungkinan logis (logical impossibility), kendati bukannya tidak mungkin sama sekali (Laclau, 2007:98-99) Untuk keluar dari kondisi seperti itu, perlu ada rantai ekuivalensi (chain of equivalent) yang mempersatukan kepentingan dan kebutuhan dari beragam kelompok hingga terbentuk sebuah titik temu (nodal point) (Laclau, 2005: ; juga lihat Laclau dan Mouffe (2008)). Arti penting gagasan Laclau bagi studi ini 14
15 adalah bahwa keterwakilan politik perempuan seharusnya dibaca sebagai keterwakilan gagasan, bukan semata-mata keterwakilan tubuh perempuan di dalam institusi representasi politik Metode Penelitian Sifat Studi Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan mengambil studi kasus yang memfokuskan pada proses-proses politik bagaimana perempuan membangun keterkaitan dirinya secara politik agar kepentingan dan kebutuhan mereka dapat teraspirasikan. Dalam hal ini studi kasus akan meliputi: 1. Studi kasus mengenai keterlibatan perempuan dalam proses politik di tingkat desa dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka. Studi ini akan memfokuskan pada level komunitas perempuan yang menjadi dampingan dari CSO yang melakukan advokasi agar perempuan menjadi lebih berdaya untuk menyampaikan kepentingan dan kebutuhan mereka. 2. Studi kasus pada kelompok perempuan yang tidak memperoleh dampingan CSO. Fokus dari studi ini akan melihat bagaimana perempuan dalam kelompok ini terlibat dalam proses politik di tingkat desa dan untuk mengkaji pemahaman mereka tentang politik dan upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan mereka melalui proses-proses politik. 15
16 3. Studi kasus pada upaya-upaya yang dilakukan oleh anggota legislatif (DPRD) dan organisasi masyarakat sipil dalam mewakili kaum perempuan sebagai konstituen mereka dan kelompok dampingan mereka. Studi kasus tersebut memaparkan kasus-kasus dalam proses politik pada ketiga kelompok masyarakat tersebut di atas. Tujuannya adalah agar kita dapat memahami isuisu politik apa yang menarik minat perempuan untuk terlibat dalam politik; dan bagaimana mereka memperkuat keterwakilannya dalam mengaspirasikan kepentingan dan kebutuhan mereka. Selain itu juga untuk melihat bagaimana perempuan merepresentasikan dirinya secara lebih substantif Lokasi Studi Studi kasus dilakukan di wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Wilayah ini penting untuk studi karena secara geo-budaya berada di wilayah perbatasan dari dua kekuatan budaya feodal, yaitu Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Lebih dari itu juga secara historis kepentingan ekonomi politik kraton pernah hadir di wilayah Klaten melalui usaha-usaha perkebunan. Aspek ini penting untuk dipertimbangkan karena relasi kuasa antara kekuatan Keraton dan desa ada dalam situasi yang asimetris. Demikian pula relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan yang dalam beberapa hal ada dalam konteks budaya feodal. Meskipun demikian Klaten merupakan wilayah pinggiran dari dua kekuatan budaya tersebut sehingga ada elemen-elemen yang relatif egaliter dalam relasi kuasa laki-laki dan perempuan pada kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi tersebut secara politis merupakan faktor penting untuk memaknai seberapa jauh minat perempuan untuk terlibat di dalam proses-proses politik, khususnya pasca-reformasi. 16
17 Secara historis pada era Orde Lama, Klaten merupakan basis massa yang cukup signifikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan pada tahun 1950-an wilayah tersebut pernah menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Hal ini menunjukkan bahwa secara historis kaum perempuan di wilayah ini pernah memiliki kemampuan politik yang kuat. Dalam konteks politik masa kini, seperti halnya yang terjadi di wilayah lain, situasi kepartaian di Klaten pasca-1998 juga sangat beragam. Namun demikian, hasil Pemilu memperlihatkan ada tiga partai politik yang mempunyai konstituen yang secara signifikan berpengaruh dalam situasi sosial politik, yaitu Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Secara demografis jumlah perempuan lebih banyak dibanding laki-laki (51% berbanding 49%). Secara ekonomi-politik, wilayah Klaten merupakan basis ekonomi yang beragam yaitu sektor pertanian, perdagangan dan industri. Kaum perempuan terlibat secara penuh di dalam ruang-ruang ekonomi yang beragam tersebut sehingga secara sosiologis situasi sosial dan politik juga menjadi sangat beragam. Demikian pula dengan kepentingan ekonomi, politik dan kebutuhan sosial mereka Teknik Pengumpulan Data Untuk mencari data-data yang dibutuhkan guna menjawab pertanyaan penelitian, penulis mengombinasikan kegiatan wawancara mendalam termasuk menggali life history dari tokoh yang ada di dalam setiap kasus, dan diskusi kelompok terfokus. Wawancara mendalam dilakukan terhadap perempuan informan yang dianggap memiliki pengetahuan 17
18 memadai mengenai persoalan perempuan dan politik. Pengertian dari pengetahuan memadai adalah bahwa para informan itu sudah tercerahkan melalui berbagai kegiatan advokasi perempuan yang disengaja. Sedangkan diskusi kelompok terfokus melibatkan lima peserta perempuan dengan beragam latar belakang. Mereka adalah perempuan biasa yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan kegiatan advokasi perempuan yang dilakukan secara sengaja. Baik untuk wawancara mendalam maupun diskusi kelompok terfokus, penulis menggunakan pertanyaan semi-berstruktur dengan pertanyaan-pertanyaan kunci sebagai berikut: o Bagaimana informan mengartikan politik? o Apakah informan merasa kebutuhannya harus dipenuhi melalui proses politik? o Apakah informan merasa ada proses politik yang bersentuhan langsung maupun tidak langsung dengan kebutuhan/kepentingannya? o Apakah informan mengetahui gerakan perempuan? o Apakah informan mengetahui apa yang dikerjakan gerakan perempuan? o Bagaimana penilaian terhadap kuota? o Affirmative action: apakah yang dibayangkan informan tentang hal tersebut? Bagaimana informan menilainya? Selain itu, penulis melakukan wawancara mendalam terhadap aktivis gerakan advokasi perempuan yang melakukan aktivitasnya di lokasi yang sama, serta dengan perempuan anggota DPRD. Wawancara mendalam terhadap aktivis dibutuhkan untuk memperoleh deskripsi atau gambaran mengenai sejarah gerakan advokasi perempuan di Klaten. Sedangkan terhadap anggota DPRD wawancara mendalam dilakukan untuk 18
19 mengetahui lebih jauh apakah sebagai anggota parlemen mereka merasa mewakili kepentingan perempuan ataukah tidak. Untuk melengkapi data-data primer tersebut, penulis juga mengumpulkan dan menggunakan data-data sekunder berupa buku, laporan penelitian, internet, serta bahanbahan literatur lain yang secara substantif memiliki relevansi dengan tema studi ini Sistematika Penulisan Bab 1 Pendahuluan memaparkan mengapa isu representasi politik perempuan penting untuk dikaji. Pada bab ini diterangkan pula tujuan studi serta pertanyaanpertanyaan yang dijawab melalui studi ini. Kajian literatur mengenai perempuan dan politik serta representasi politik yang ditulis di dalam bab ini merupakan kerangka yang mengarahkan studi ini dan berguna dalam pembahasan yang dilakukan pada babbab selanjutnya. Bab 2 menggambarkan tentang wilayah penelitian di Kabupaten Klaten. Di dalam bab ini akan diungkap beberapa aspek penting mengenai sejarah sosial-politik wilayah tersebut, mulai dari periode , era Orde Baru ketika wilayah itu mengalami diferensiasi sosio-ekonomi, dan era pasca-reformasi Uraian ini dimaksudkan untuk memperjelas konteks situasi dan problematika di wilayah studi. Bab 3 mendeskripsikan temuan-temuan studi kasus, yaitu tentang bagaimana perempuan di Klaten terlibat dan melibatkan diri di dalam proses politik. Deskripsi didasarkan atas hasil-hasil kegiatan studi lapangan yang penulis lakukan, yaitu pengamatan dan wawancara terhadap dua kelompok perempuan. Kelompok yang pertama adalah perempuan biasa yang belum pernah mengalami advokasi, sedangkan kelompok 19
20 yang kedua adalah perempuan yang sudah pernah mengalami advokasi. Selain itu, di sini akan dipaparkan pula bagaimana gerakan advokasi perempuan serta wakil perempuan di DPRD Klaten menjalankan program-program yang mewakili kepentingan perempuan di kabupaten itu. Temuan-temuan kegiatan lapangan akan dianalisis di dalam Bab 4. Analisis terutama diarahkan pada upaya menjawab pertanyaan studi yang dirumuskan di dalam Bab 1. Pada bab ini penulis menguraikan persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan mereka, apa saja dan bagaimana upaya mengubah keterwakilan perempuan dari keterwakilan simbolik menjadi substantif, serta bagaimana perempuan di wilayah studi melibatkan diri mereka ke dalam proses politik. Melalui bab terakhir, Bab 5, penulis menyampaikan kesimpulan dari studi kasus tentang keterwakilan perempuan di Klaten, serta serangkaian rekomendasi aksi dan strategi yang mungkin dan perlu dilakukan sebagai kegiatan-kegiatan advokasi bagi kelompok perempuan. *** 20
Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1
S T U D I K A S U S Sistem Rekrutmen Anggota Legislatif dan Pemilihan di Indonesia 1 F R A N C I S I A S S E S E D A TIDAK ADA RINTANGAN HUKUM FORMAL YANG MENGHALANGI PEREMPUAN untuk ambil bagian dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan adalah dimensi penting dari usaha United Nations Development Programme (UNDP) untuk mengurangi separuh kemiskinan dunia
Lebih terperinciBAB 5 KESIMPULAN. kebutuhan untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih spesifik bagi para aktor
BAB 5 KESIMPULAN Sebagaimana dirumuskan pada Bab 1, tesis ini bertugas untuk memberikan jawaban atas dua pertanyaan pokok. Pertanyaan pertama mengenai kemungkinan adanya variasi karakter kapasitas politik
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama dalam posisi-posisi pengambilan
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Demokrasi mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran serta penuh bagi laki-laki, maupun perempuan atas dasar perinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah
Lebih terperinciBab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Bab 5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Women can be very effective in navigating political processes. But there is always a fear that they can become pawns and symbols, especially if quotas are used. (Sawer,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih mulia yaitu kesejahteraan rakyat.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, upaya membangun demokrasi yang berkeadilan dan berkesetaraan bukan masalah sederhana. Esensi demokrasi adalah membangun sistem
Lebih terperinciOleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa) Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB 1
Disampaikan pada Seminar Menghadirkan Kepentingan Perempuan: Peta Jalan Representasi Politik Perempuan Pasca 2014 Hotel Haris, 10 Maret 2016 Oleh Dra. Hj. Siti Masrifah, MA (Ketua Umum DPP Perempuan Bangsa)
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN
BAB IV ANALISIS TERHADAP FAKTOR PENYEBAB TIDAK TERPILIHNYA 11 ORANG CALEG PEREMPUAN A. CALEG PEREMPUAN DI KELURAHAN TEWAH MENGALAMI REKRUTMEN POLITIK MENDADAK Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu
Lebih terperinciMenuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara. Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015
Menuju Pemilu Demokratis yang Partisipatif, Adil, dan Setara Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia Jakarta, 16 Desember 2015 1 Konteks Regulasi terkait politik elektoral 2014 UU Pilkada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era reformasi telah menghasilkan sejumlah perubahan yang signifikan dalam masyarakat politik. Masyarakat yang semakin waktu mengalami peningkatan kualitas tentu
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pendidikan, pekerjaan, dan politik. Di bidang politik, kebijakan affirmative
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebijakan affirmative action merupakan kebijakan yang berusaha untuk menghilangkan tindakan diskriminasi yang telah terjadi sejak lama melalui tindakan aktif
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. putra-putri terbaik untuk menduduki jabatan-jabatan politik dan pejabatpejabat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Partai politik di era reformasi ini memiliki kekuasaan yang sangat besar, sesuatu yang wajar di negara demokrasi. Dengan kewenanangannya yang demikian besar itu, seharusnnya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterlibatan perempuan di panggung politik merupakan isu yang sering kali diperdebatkan. Sejak tahun 2002, mayoritas para aktivis politik, tokoh perempuan dalam partai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di kebanyakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur, dari demokrasi itu (Budiardjo, 2009:461). Pemilihan umum dilakukan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demokrasi di Indonesia merupakan salah satu dari nilai yang terdapat dalam Pancasila sebagai dasar negara yakni dalam sila ke empat bahwa kerakyatan dipimpin oleh hikmat
Lebih terperinciA. Kesimpulan BAB V PENUTUP
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini yang fokus terhadap Partai Golkar sebagai objek penelitian, menunjukkan bahwa pola rekrutmen perempuan di internal partai Golkar tidak jauh berbeda dengan partai
Lebih terperinciPerempuan dan Pembangunan Berkelanjutan
SEMINAR KOALISI PEREMPUAN INDONESIA (KPI) Perempuan dan Pembangunan Berkelanjutan 20 Januari 2016 Hotel Ambhara 1 INDONESIA SAAT INI Jumlah Penduduk Indonesia per 201 mencapai 253,60 juta jiwa, dimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Politik merupakan upaya atau cara untuk memperoleh sesuatu yang dikehendaki. Namun banyak pula yang beranggapan bahwa politik tidak hanya berkisar di lingkungan kekuasaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan disuatu negara menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dengan seluruh rakyatnya, baik itu laki-laki maupun perempuan. Seluruh rakyat berperan
Lebih terperinciPenguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik
Penguatan Partisipasi dan Perbaikan Keterwakilan Politik Melalui Pembentukan Blok Politik Demokratik Pendahuluan Pokok Pokok Temuan Survei Nasional Demos (2007 2008) : Demokrasi masih goyah: kemerosotan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pandangan tentang perempuan di masyarakat tidak jarang menimbulkan pro dan kontra padahal banyak kemampuan kaum perempuan yang tidak dimiliki oleh laki - laki.
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. melalui penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya dapat menghargai hak asasi setiap manusia secara adil dan merata tanpa memarginalkan kelompok
Lebih terperinciHambatan terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia
S T U D I K A S U S INDONESIA - HAMBATAN Hambatan terhadap Partisipasi Politik KHOFIFAH INDAR PARAWANSA SEJARAH TENTANG REPRESENTASI PEREMPUAN DI PARLEMEN INDONESIA merupakan sebuah proses panjang, tentang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% Daerah Kota Kendari tahun anggaran
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tulisan ini berupaya mengkaji tentang adanya kebijakan kuota 30% perempuan dan kaitannya dalam penyusunan anggaran responsif gender. Yang menjadi fokus dalam penelitian
Lebih terperinciPeningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin
Peningkatan Keterwakilan Perempuan dalam Politik pada Pemilu Legislatif Nurul Arifin Jakarta, 14 Desember 2010 Mengapa Keterwakilan Perempuan di bidang politik harus ditingkatkan? 1. Perempuan perlu ikut
Lebih terperinciBAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH
BAB II ASPEK HISTORIS KELUARNYA KETETAPAN KUOTA 30% BAGI PEREMPUAN DAN KELUARNYA KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.22&24/PUU-VI/2008 TENTANG SUARA TERBANYAK II.A. Sekilas Tentang Gerakan Perempuan dan Usulan
Lebih terperinciPENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI. Murbanto Sinaga
Karya Tulis PENGARUSUTAMAAN GENDER SEBAGAI UPAYA STRATEGIS UNTUK MEWUJUDKAN DEMOKRATISASI DALAM BIDANG EKONOMI Murbanto Sinaga DEPARTEMEN EKONOMI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lebih terperinciLaporan Penyelenggaraan Seminar Publik Representasi Politik Perempuan: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender 16 Januari 2014 Grand Kemang Hotel
Laporan Penyelenggaraan Seminar Publik Representasi Politik Perempuan: RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender 16 Januari 2014 Grand Kemang Hotel Latar Belakang Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI)
Lebih terperinciFORMAPPI JAKARTA, 3 APRIL 2014
FORMAPPI JAKARTA, 3 APRIL 2014 DPR hasil Pemilu 2009, akan segera berakhir Kinerja para anggotanya perlu dinilai agar dapat diketahui masyarakat terutama konstituen yang telah memilihnya. Hasil penilaian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Masalah Begitu banyak permasalahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia khususnya yang menimpa kaum perempuan seperti kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan
Lebih terperinciSINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN
SINERGI ANGGOTA PARLEMEN, MEDIA DAN OMS UNTUK MENDORONG KEBIJAKAN YANG BERFIHAK PADA PEREMPUAN MISKIN LENA MARYANA MUKTI Anggota DPR/MPR RI 2004-2009 Jakarta, 21 Mei 2015 1 PEREMPUAN DI LEMBAGA PEMBUAT
Lebih terperinci2015 MODEL REKRUTMEN DALAM PENETUAN CALON ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (DPRD) PROVINSI JAWA BARAT
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah negara demokrasi. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah adanya pemilihan umum. Sebagaimana diungkapkan oleh Rudy (2007 : 87)
Lebih terperinciADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU
ADVOKASI UNTUK PEMBAHASAN RUU PEMILU 1. Sistem Pemilu Rumusan naskah RUU: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon
Lebih terperinciPEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK. MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan
PEMILU & PARTISIPASI PEREMPUAN DALAM POLITIK MY ESTI WIJAYATI A-187 DPR RI KOMISI X Fraksi PDI Perjuangan Tujuan Indonesia Merdeka 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia 2. Memajukan
Lebih terperinciPenyelenggara Pemilu Harus Independen
Penyelenggara Pemilu Harus Independen SALAH satu hasil studi banding Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR ke Meksiko dan Jerman ialah keinginan sejumlah anggota untuk menempatkan anggota partai sebagai
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk. undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan
119 BAB V PENUTUP A. Simpulan Calon legislatif merupakan lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang
Lebih terperinciPANDUAN AKUNTABILITAS POLITIK
PANDUAN AKUNTABILITAS POLITIK I. PENGANTAR Pemilihan Umum adalah mekanisme demokratis untuk memilih anggota legislatif (DPR, DPD, DPRD), dan Eksekutif (Presiden-Wakil Presiden, serta kepala daerah). Pemilu
Lebih terperinciSTRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN
STRATEGI MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN Oleh: Ignatius Mulyono 1 I. Latar Belakang Keterlibatan perempuan dalam politik dari waktu ke waktu terus mengalami peningkatan. Salah satu indikatornya adalah
Lebih terperinciGENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN
G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities
Lebih terperinciKeterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif
Keterwakilan Perempuan Di Lembaga Legislatif Gender menjadi aspek dominan dalam politik, dalam relasi kelas, golongan usia maupun etnisitas, gender juga terlibat di dalamnya. Hubungan gender dengan politik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu) berupa Undang-Undang mengalami perubahan besar meskipun terjadi kesinambungan dibandingkan dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan. minoritas seperti pemuda, petani, perempuan, dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Disertasi ini mengkaji tentang relasi gender dalam keterlibatan perempuan di radio komunitas. Karakteristik radio komunitas yang didirikan oleh komunitas, untuk komunitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) adalah salah satu cara dalam sistem demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan menduduki lembaga perwakilan rakyat, serta salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ranah pemerintah daerah seperti Desa Pakraman kebijakan tentang hak-hak
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, hak-hak perempuan mulai dipertimbangkan dalam merumuskan kebijakan publik. Kebijakan tentang perempuan sekarang ini sudah
Lebih terperinciRENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK
RENCANA AKSI GLOBAL MENANG DENGAN PEREMPUAN: MEMPERKUAT PARTAI PARTAI POLITIK Sebagai para pemimpin partai politik, kami memiliki komitmen atas perkembangan demokratik yang bersemangat dan atas partai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain pemerintah
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Akuntabilitas (accountability) merupakan salah satu prinsip atau asas dari paradigma Good Governance, dimana keterlibatan pihak-pihak selain
Lebih terperinciAnalisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN
Pusat Kajian Politik Departemen Ilmu Politik - FISIP Universitas Indonesia (PUSKAPOL FISIP UI) Analisis Perolehan Suara dalam Pemilu 2014: OLIGARKI POLITIK DIBALIK KETERPILIHAN CALEG PEREMPUAN Komisi Pemilihan
Lebih terperinciP E N G A N T A R. Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N
10 BAB 1 BAB 1 P E N G A N T A R Pengantar J U L I E B A L L I N G T O N Partisipasi sejajar perempuan dalam pengambilan keputusan bukanlah semata-mata sebuah tuntutan akan keadilan demokrasi, namun juga
Lebih terperinciTujuan, Metodologi, dan Rekan Survei
Sejak reformasi dan era pemilihan langsung di Indonesia, aturan tentang pemilu telah beberapa kali mengalami penyesuaian. Saat ini, empat UU Pemilu yang berlaku di Indonesia kembali dirasa perlu untuk
Lebih terperinciAsesmen Gender Indonesia
Asesmen Gender Indonesia (Indonesia Country Gender Assessment) Southeast Asia Regional Department Regional and Sustainable Development Department Asian Development Bank Manila, Philippines July 2006 2
Lebih terperinciMEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015
MEMAKNAI ULANG PARTISIPASI POLITIK WARGA: TAHU, MAMPU, AWASI PUSAT KAJIAN POLITIK FISIP UNIVERSITAS INDONESIA 28 JANUARI 2015 DEFINISI UMUM Partisipasi politik dipahami sebagai berbagai aktivitas warga
Lebih terperinciPERAN PARTAI POLITIK DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG SANTUN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Oleh I Gde Made Metera 1
PERAN PARTAI POLITIK DALAM MEWUJUDKAN DEMOKRASI YANG SANTUN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT Oleh I Gde Made Metera 1 Abstrak: Partai Politik (Parpol) adalah salah satu kelengkapan utama negara demokrasi. Parpol
Lebih terperinciDAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN. PG Tetap PDIP PPP PD PAN PKB PKS BPD PBR PDS
DAFTAR INVENTARIS MASALAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG PARTAI POLITIK DAN MASALAH KETERWAKILAN PEREMPUAN POIN NO.DIM RUU FRAKSI USULAN PERUBAHAN FUNGSI PARTAI POLITIK 70 Pasal 8: Partai politik berfungsi sebagai
Lebih terperinciPerempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik
Perempuan di Ranah Politik Pengambilan Kebijakan Publik Sri Budi Eko Wardani PUSKAPOL - Departemen Ilmu Politik FISIP UI Lembaga Administrasi Negara, 21 Desember 2016 2 Partisipasi Perempuan di Ranah Politik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dilaksanakan menurut UUD. Dalam perubahan tersebut bermakna bahwa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu ciri negara demokrasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum (pemilu) yang terjadwal dan berkala. Amandemen UUD 1945 yakni Pasal 1 ayat (2), menyatakan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
172 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dipaparkan dalam bab ini merujuk pada jawaban atas permasalahan penelitian yang telah dikaji oleh penulis di dalam skripsi yang berjudul Peta
Lebih terperinciPemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan
Pemilu 2009, Menjanjikan tetapi Mencemaskan RZF / Kompas Images Selasa, 6 Januari 2009 03:00 WIB J KRISTIADI Pemilu 2009 sejak semula dirancang untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Pertama, menciptakan
Lebih terperinciPANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK
PANDANGAN AKHIR FRAKSI PARTAI DAMAI SEJAHTERA DPR-RI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK Disampaikan oleh : Ir. Apri Hananto Sukandar, M.Div Nomor Anggota : A- 419 Yang terhormat Pimpinan
Lebih terperinciPartisipasi LSM..., Firsty Husbani, FISIP UI, 2009 Universitas Indonesia. Mundurnya Demokrasi di Indonesia. Demos.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebuah hasil penelitian menyebutkan bahwa setelah jatuhnya rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, Indonesia kemudian menjadi
Lebih terperinciV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan
56 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Identitas Responden Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat Kabupaten Way Kanan yang berjumlah 100 responden. Identitas responden selanjutnya didistribusikan
Lebih terperinciProsiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Al Rafni
Prosiding SNaPP2015 Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN 2089-3590 EISSN 2303-2472 PEMBINAAN PEREMPUAN KADER PARTAI OLEH PARTAI POLITIK DALAM PERSPSEKTIF PEMBANGUNAN POLITIK DI INDONESIA Al Rafni Fakultas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai politik merupakan fenomena modern bagi negara-negara di dunia. Istilah tersebut baru muncul pada abad 19 Masehi, seiring dengan berkembangnya lembaga-lembaga
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Persoalan perempuan sampai saat ini masih menjadi wacana serius untuk didiskusikan, selain karena terus mengalami perkembangan, juga banyak permasalahan perempuan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini merupakan kesimpulan yang menjabarkan pernyataan singkat hasil temuan penelitian yang menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian. Kesimpulan penelitian akan dimulai
Lebih terperinciBAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH
BAB 14 PERWUJUDAN LEMBAGA DEMOKRASI YANG MAKIN KUKUH A. KONDISI UMUM Keberhasilan menempatkan proses pembangunan kelembagaan politik demokrasi pada jalur dan arah yang benar selama tahun 2004 dan 2005
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
Lebih terperinciBAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN
BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PERLINDUNGAN ANAK Permasalahan mendasar dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak yang terjadi selama ini adalah
Lebih terperinciDISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK)
DISAMPAIKAN OLEH : YUDA IRLANG, KORDINATOR ANSIPOL, ( ALIANSI MASYARAKAT SIPIL UNTUK PEREMPUAN POLITIK) JAKARTA, 3 APRIL 2014 UUD 1945 KEWAJIBAN NEGARA : Memenuhi, Menghormati dan Melindungi hak asasi
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Korupsi masih menjadi masalah mendasar di dalam berjalannya demokrasi di Indonesia. Adanya korupsi di berbagai bidang menjadikan cita-cita demokrasi menjadi terhambat.
Lebih terperinciBAB 2 DATA DAN ANALISA. Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput.
BAB 2 DATA DAN ANALISA 2.1 Sumber Data Metode yang digunakan untuk mendapatkan data antara lain: - Tinjauan Pustaka : Buku Mengapa Kami Memilih Golput. - Media Elektronik : Internet, tv, dan radio. - Survei
Lebih terperinciDemokrasi Berbasis HAM
Demokrasi Berbasis HAM Antonio Pradjasto Jika menelusuri sejarah demokrasi, maka antara hak asasi dan demokrasi memiliki korelasi yang erat sejak diperkenalkannya konsep civil liberties pada abad XIX.
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN. standar Internasional mengenai hak-hak perempuan dan diskriminasi peremupuan
BAB V KESIMPULAN Konstitusi yang berlaku dari era sebelum dan setelah Revolusi 2011 untuk dapat menjamin kesetaraan gender dan penolakan diskriminasi bagi perempuan dan lakilaki tampaknya hanya hitam diatas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Setelah Orde Baru jatuh dikarenakan reformasi maka istilah Good Governance begitu popular. Hampir di setiap peristiwa penting yang menyangkut masalah pemerintahan,
Lebih terperinciBAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan. 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas Tentang Aksesibilitas Pemilu
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Persepsi Mahasiswa Penyandang Disabilitas
Lebih terperinciDemokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia
Demokrasi Sebagai Kerangka Kerja Hak Asasi Manusia Antonio Pradjasto Tanpa hak asasi berbagai lembaga demokrasi kehilangan substansi. Demokrasi menjadi sekedar prosedural. Jika kita melihat dengan sudut
Lebih terperinciAgen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan
Agen-Agen Perubahan dan Aksi Tanpa Kekerasan Oleh Hardy Merriman Aksi tanpa kekerasan menjadi salah satu cara bagi masyarakat pada umumnya, untuk memperjuangkan hak, kebebasan, dan keadilan. Pilihan tanpa
Lebih terperinciKETERWAKILAN POLITIK KAUM PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF PERIODE DI KOTA PONTIANAK. Oleh: David Heriyanto Simamora NIM. E.
KETERWAKILAN POLITIK KAUM PEREMPUAN PADA PEMILU LEGISLATIF PERIODE 2014-2019 DI KOTA PONTIANAK Oleh: David Heriyanto Simamora NIM. E.02110032 Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi aktif untuk menentukan jalannya
1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Situasi perkembangan politik yang berkembang di Indonesia dewasa ini telah membawa perubahan sistem yang mengakomodasi semakin luasnya keterlibatan masyarakat dalam
Lebih terperinciKesimpulan K E S I M P U L A N. DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota
K E S I M P U L A N Kesimpulan CECILIA BYLESJÖ DAN SAKUNTALA KADIRGAMAR-RAJASINGHAM DALAM TAHUN 1965, JUMLAH TOTAL PEREMPUAN YANG MENJABAT sebagai anggota parlemen mencapai 8,1 persen. Pada tahun 2002
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ditetapkannya kuota 30 persen untuk keterlibatan perempuan dalam proses politik yang secara legal masuk dalam Undang-undang partai politik merupakan terobosan besar
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Reformasi politik yang sudah berlangsung sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar
Lebih terperinciBAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN
BAB 11 PENGHORMATAN, PENGAKUAN, DAN PENEGAKAN ATAS HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak asasi manusia merupakan suatu keharusan agar warga negara
Lebih terperinciPERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS
PERANAN KPU DAERAH DALAM MENCIPTAKAN PEMILU YANG DEMOKRATIS R. Siti Zuhro, PhD (Peneliti Utama LIPI) Materi ini disampaikan dalam acara diskusi Penguatan Organisasi Penyelenggara Pemilu, yang dilaksanakan
Lebih terperinciPembaruan Parpol Lewat UU
Pembaruan Parpol Lewat UU Persepsi berbagai unsur masyarakat terhadap partai politik adalah lebih banyak tampil sebagai sumber masalah daripada solusi atas permasalahan bangsa. Salah satu permasalahan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. secara langsung. Oleh karena itu, dalam pengertian modern, demokrasi dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang wilayahnya luas dan rakyatnya banyak. Sehingga, demokrasi tidak mungkin dilaksanakan secara langsung. Oleh karena
Lebih terperinciAkuntabilitas. Belum Banyak Disentuh. Erna Witoelar: Wawancara
Wawancara Erna Witoelar: Akuntabilitas Internal Governance LSM Belum Banyak Disentuh K endati sejak 1990-an tuntutan publik terhadap akuntabilitas LSM sudah mengemuka, hingga kini masih banyak LSM belum
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Umum (Pemilu) di Negara Indonesia merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat, hal tersebut sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun
Lebih terperinciTUGAS MATA KULIAH POLITIK GENDER DAN DEMOKRASI DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA
TUGAS MATA KULIAH POLITIK GENDER DAN DEMOKRASI DINAMIKA KESETARAAN GENDER DALAM KEHIDUPAN POLITIK DI INDONESIA DISUSUN OLEH NAMA : DANU RAMDHANA NIM : 071013089 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU
Lebih terperinciDemokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka
Demokrasi Sudah Digagas Jauh Sebelum Merdeka Desain Negara Indonesia Merdeka terbentuk sebagai Negara modern, dengan kerelaan berbagai komponen pembentuk bangsa atas ciri dan kepentingan primordialismenya,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diwujudkan dengan adanya pemilihan umum yang telah diselenggarakan pada
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 pada Bab 1 pasal 1 dijelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum dan negara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini kehidupan politik di Indonesia sangat dinamis. Ini dapat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa ini kehidupan politik di Indonesia sangat dinamis. Ini dapat ditunjukkan oleh partisipasi masyarakat yang menyalurkan aspirasinya dengan cara masuk menjadi
Lebih terperinciPROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at
PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya
Lebih terperinciPeningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender
XVII Peningkatan Kualitas dan Peran Perempuan, serta Kesetaraan Gender Salah satu strategi pokok pembangunan Propinsi Jawa Timur 2009-2014 adalah pengarusutamaan gender. Itu artinya, seluruh proses perencanaan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan dalam segala bidang, tidak terkecuali dalam bidang politik. Keputusan
BAB I PENDAHULUAN 1. Latarbelakang Permasalahan Peristiwa penting dalam kehidupan politik 1 di Indonesia terjadi pada tanggal 21 Mei 1998 2. Pergantian kepemimpinan nasional dalam era reformasi mengagendakan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merupakan salah satu partai politik dengan basis agama Islam di Indonesia Perolehan suara PKS pada pemilu tahun 2004 mengalami
Lebih terperinci2015 PERANAN PEREMPUAN DALAM POLITIK NASIONAL JEPANG TAHUN
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Jepang merupakan negara maju yang terkenal dengan masyarakatnya yang giat bekerja dan juga dikenal sebagai negara yang penduduknya masih menjunjung tinggi
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perjalanan politik di Indonesia selama ini telah menorehkan sejarah panjang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perjalanan politik di Indonesia selama ini telah menorehkan sejarah panjang di tanah air. Setiap perubahan regulasi yang menyangkut kebijakan tentang partai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan umum adalah suatu sarana demokrasi yang digunakan untuk memilih wakil wakil rakyat untuk duduk sebagai anggota legislatif di MPR, DPR, DPD dan DPRD. Wakil rakyat
Lebih terperinciUNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK
www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PARTAI POLITIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Lebih terperinci