BAB II KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI. Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang No.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI. Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang No."

Transkripsi

1 BAB II KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PENYELESAIAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Ruang lingkup tugas dan fungsi lembaga Kejaksaan diatur Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 dan KUHAP. Pada asasnya lembaga kejaksaan dipimpin oleh seorang Jaksa Agung Republik Indonesia dimana dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi diinstruksikan untuk mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara, mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam rangka penegakan hukum, dan meningkatkan kerja sama dengan Instansi atau lembaga lain. Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari situs resmi Kejaksaan RI, lembaga Kejaksaan mempunyai fungsi, yaitu 13 : 1. Perumusan kebijaksanaan teknis kegiatan yustisial pidana khusus berupa pemberian bimbingan dan pembinaan dalam bidang tugasnya. 2. Perencanaan, pelaksanaan, pemeriksaan tambahan penuntutan, eksekusi atau melaksanakan penetapan hukum, dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tidak hukum lain serta pengadministrasiannya. 3. Pembinaan kerja sama, pelaksanaan koordinasi dan pemberian bimbingan serta petunjuk teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus dengan instansi 13 Diperoleh dari situs resmi Kejaksaan RI :

2 dan lembaga terkait mengenai penyelidikan dan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh jaksa agung. 4. Pemberian saran, konsepsi tentang pendapat dan/atau pertimbangan hukum Jaksa Agung mengenai perkara tindak pidana khusus dan masalah hukum lainnya dalam kebijaksanaan penegakan hukum. 5. Pembinaan dan peningkatan kemampuan, keterampilan, dan integritas kepribadian aparat tindak pidana khusus di lingkungan kejaksaan. 6. Pengamanan teknis atau pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan dibidang tindak pidana khusus berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. ` Berdasarkan Pasal 30 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan memiliki 3 kewenangan dalam penyelesaian tindak pidana korupsi, yaitu : A. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi B. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi C. Kewenangan Kejaksaan Dalam Pelaksanaan Putusan Pengadilan

3 A. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Pada dasarnya, melalui KUHAP dibedakan secara limitatif antara istilah Penyidik atau Opsporing/Interrogation dan Penyelidik. Ketentua Umum Pasal 1 angka 1 jo Pasal 6 ayat (1) KUHAP, Bab I Pasal 1 angka 10 dan 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Konkretnya dapat dikatakan dengan tegas bahwa fungsi dan ruang lingkup penyidik adalah untuk melakukan penyidikan. Apabila kita bertitik tolak melalui istilah penyidikan itu sendiri, ternyata istilah tersebut telah dikenal sejak dahulu yakni ketika adanya undang-undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Polisi Negara (Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961). Sedangkan mengenai pengertian penyidikan menurut pandangan doktrina ilmu pengetahuan hukum pidana seperti de Pinto dikatakan bahwa menyidik (opsporing) diartikan sebagai pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu ditujukan oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum.sedangkan apabila kita mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP disebutkan bahwa, penyidikan itu adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut acara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya Lilik Mulyadi,S.H,M.H, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahnnya,Jakarta, 2006, halaman 54

4 Sebelum suatu penyidikan dimulai dengan konsekuensi penggunaan upaya paksa, terlebih dahulu perlu ditentukan secara cermat berdasarkan segala data dan fakta yang diperoleh dari hasil penyilidikan bahwa suatu peristiwa yang semula diduga sebagai suatu tindak pidana adalah benar-benar merupakan suatu tindak pidana. Terhadap tindak pidana yang telah terjadi itu dapat dilakukan penyidikan. Dengan demikian penyidikan merupakan tindak lanjut dari suatu penyelidikan. Pelaksanaan tugas-tugas penyidikan ditangani oleh pejabat penyidik atau penyidik pembantu, sesuai dengan kewenangannya masing-masing sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dan Pasal 11 KUHAP. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat polisi negara atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Adapun beberapa dari tugas dan wewenang penyidik berdasarkan ketentuan Pasal 7 KUHAP, dapat berupa : 1. Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai tugas dan wewenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

5 f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. Mengadakan penghentian penyidikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil/PPNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang mempunyai tugas dan wewenang, berupa: Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) KUHAP, mempunyai tugas dan wewanang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP. Pada Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan bahwa Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini. Adapun pengertian Jaksa itu sendiri menurut Ketentuan Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 KUHAP, Bab I Bagian Pertama Pasal 1 angka 1 dan 2 Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 menegaskan bahwa Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

6 Bertitik tolak dari aspek jabatan atau pejabat fungsional tersebut, pada hakikatnya tugas dan wewenang jaksa dalam proses pidana dapat meliputi hal-hal sebagai berikut 15 : 1. Melakukan permintaan pemeriksaan kembali perkara pidana karena surat catatan pemeriksaan perkara tersebut hilang. 2. Wajib mengundurkan diri apabila masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga. 3. Melaksanakan penetapan dan putusan hakim dalam perkara pidana. 4. Meminta kepada Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan kemudian menetapkan dapat atau tidaknya seseorang diekstradisikan dan Jaksa menghadiri sidang tersebut dan memberikan pendapatnya. 5. Menerima hasil dari Aparatur Imigrasi tentang keterangan-keterangan kedatangan tentang orang asing terutama tentang maksud dan tujuan serta tempat yang akan dikunjunginya. 6. Melakukan penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP atau melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang sebagaimana ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun Melakukan upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas / vrisjpraak berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran. 8. Melakukan pemeriksaan apabila terdapat indikasi kuat telah terjadi penyelewengan dan penyimpangan atau penyalahgunaan yang dilakukan oleh 15 Lilik Mulyadi,S.H,M.H, Hukum Acara Pidana Normatif,Teoritis,Praktik dan Permasalahnnya,Jakarta, 2006, halaman 63-65

7 Pejabat / Pegawai / Kepala Desa dan perangkatnya dalam jajaran Departemen Dalam Negeri yang diduga sebagai tindak pidana khusus seperti korupsi. 9. Melakukan Penyelidikan dan / atau penyidikan atas hasil temuan BPKP dalam melaksanakan tugas pengawasannya menemukan kasus berindikasi korupsi. Menurut Andi Hamzah, bagian-bagian hukum acara pidana yang berkaitan dengan penyidikan adalah : 1. Ketentuan tentang alat-alat penyidik. 2. Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik. 3. Pemeriksaan di tempat kejadian. 4. Pemanggilan tersangka atau terdakwa. 5. Penahanan sementara. 6. Penggeledahan 7. Pemeriksaan atau interogasi. 8. Berita acara ( penggeledahan, interogasi dan pemeriksaan di tempat ). 9. Penyitaan. 10. Penyampingan perkara. 11. Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan. 16 Pada tingkat Penyidik, kewenangan Kejaksaan pada awal pemeriksaan sebelum dilakukan penuntutan, yaitu : 1. Penangkapan Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa mengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. hal 118-hal Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Penerbit Sinar Grafika, Indonesia, Jakarta 1996

8 Alasan penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17, dapatdilakukan untuk paling lama satu hari (Pasal 19 ayat (1) KUHAP). 2. Penahanan Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Tujuan penahanan berdasarkan pasal 20 KUHAP, penahanan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umumn dan hakim bertujuan untuk kepentingan penyidikan, untuk kepentingan penuntutan, dan untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Dasar penahanan yang dilakukan penyidik adalah dasar keadaan atau keperluan dan dasar yuridis.dasar keadaan tersebut yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1) KUHAP).Sedangkan dasar yuridisnya berdasarkan salah satu contohnya pada tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. 3. Penggeledahan Penggeledahan adalah adanya seseorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang. Dan kemudian memeriksa segala sudut rumah ataupun memeriksa sekujur tubuh orang yang digeledah. 4. Penyitaan Berdasarkan Pasal 1 KUHAP, Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan.

9 Tujuan penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka sidang pengadilan. Kemungkinan besar tanpa adanya barang bukti, perkaranya tidak dapat diajukan ke muka sidang pengadilan. Oleh karena itu, agar perkaranya tadi lengkap dengan barang bukti, penyidik melakukan tindakan penyitaan guna dipergunakan sebagai bukti dalam penyidikan, dalam tingkat penuntutan dan tingkat pemeriksaan persidangan pengadilan. 5. Pemeriksaan Surat. Pasal-pasal dalam KUHAP yang mengatur tentang pemeriksaan surat adalah Pasal 41,47,48,49, serta Pasal 131 dan 132. Tata cara pemeriksaan surat berupa penyitaan surat yang tertangkap tangan harus diberikan tanda penerimaan, membuka, memeriksa, dan menyita surat dengan izin khusus ketua pengadilan negeri, serta pemeriksaan surat dicatat dalam berita acara. Mengenai pemberian bantuan hukum ini diatur dalam Bab VII Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP, Bab VII Pasal 37 sampai 40 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan Bab VI Pasal 22 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 adanya kewajiban bagi Advokat memberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Pemberian bantuan hukum merupakan hak dari tersangka/terdakwa yang bersifat fundamental. Hal ini ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana dengan menyebutkan bahwa pemberian bantuan hukum dalam proses pidana adalah suatu prinsip negara hukum yang dalam taraf pemeriksaan pendahuluan diwujudkan dengan menentukan bahwa untuk keperluan menyiapkan pembelaan, tersangka terutama sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan

10 berhak untuk menunjuk dan menghubungi serta meminta bantuan Penasihat Hukum. Adalah hak dari seseorang yang tersangkut suatu perkara pidana untuk dapat mengadakan persiapan bagi pembelaannya maupun untuk mendapat penyuluhan tentang jalan yang dapat ditempuhnya dalam menegakkan hak-haknya sebagai tersangka atau terdakwa. Untuk itu, tersangka/terdakwa diberi kesempatan mengadakan hubungan dengan orang yang dapat memberikan bantuan hukum sejak saat ia ditangkap atau ditahan pada semua tingkat pemeriksaan. Pemberian bantuan hukum itu sejak berakhirnya masa peralihan KUHAP pada tanggal 31 Desember 1983 dijalankan oleh seorang Penasihat Hukum. Berdasarkan ketentuan Pasal 56 KUHAP, Penasihat Hukum sangat diperlukan karena pasal tersebut menyebutkan adanya kewajiban bagi Pejabat untuk menunjuk Penasihat Hukum bagi terdakwa yang diancam pidana mati atau ancaman pidana lima tahun atau lebih, juga bagi mereka yang tidak mampu. Apabila dalam suatu Pengadilan Negeri tidak terdapat seorang Penasihat Hukum yang berkedudukan ditempat itu, dapat ditunjuk orang lain yang ahli hukum asal bukan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 250 ayat (5) HIR. Dalam praktik peradilan khususnya untuk perkara Tindak Pidana Korupsi, ketentuan Pasal 56 KUHAP sifatnya imperatif dalam artian bahwa tersangka pelaku Tindak Pidana Korupsi dengan tegas harus didampingi Penasihat Hukum pada semua tingkat pemeriksaan, baik tingkat penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Hal ini selaras pula dengan Surat Edaran Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) No. B-570/F/Fpk.1/9/1994 tanggal 30 September 1994 mengenai Surat Edaran tentang jaksa sebagai penyidik Tindak Pidana Khusus wajib menunjuk Penasihat Hukum (Pasal 56 KUHAP). Ketentuan ini dimaksudkan sebagai implementasi dijunjung tingginya hak asasi manusia/terdakwa sebagaimana dasar dikeluarkannya KUHAP, sehingga tidak diharapkan adanya

11 kesewenang-wenangan dalam hal pemeriksaan tersangka. Apabila hal ini tidak dipenuhi, merupakan suatu kelalaian terhadap penerpan hukum acara sebagaimana ditentukan Pasal 240 ayat (1) KUHAP. Penyidikan dilakukan segera setelah laporan atau pengaduan adanya tindak pidana. Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidanawajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan (Pasal 106 KUHAP). Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Dalam hal penghentian tersebut dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil tertentu, pemberitahuan mengenai hal itu segera disampaikan kepada penyidik dan penuntut umum (Pasal 109 (1) s.d. (3) KUHAP).Penyidikan dihentikan demi hukum, pada pokoknya sesuai dengan alasan-alasan hapusnya hak menuntut dan hilangnya hak menjalankan pidana yang diatur dalam Pasal 76 KUHAP (Nebis in Idem), Pasal 77 KUHAP (tersangka meninggal dunia), Pasal 78 KUHAP (karena daluwarsa). Dalam hal keberatan penghentian penyidikan diatur juga pada Pasal 80 KUHAP yang berbunyi : permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

12 Apabila ditinjau dari makna leksikon, kata pemberkasan berasal dari kata dasar berkas. Lalu, Laden Marpaung 17 dengan bertitik tolak pada Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dikeluarkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebut kata berkas sebagai Kumpulan, Ikatan dan Bendel (Surat-surat). Dalam bahasa Inggris disebut sheal, bundle, tetapi bundle diterjemahkan juga dengan bungkusan. Pemberkasan dimaksud dikumpulkan/diikat dalam satu kesatuan. Semua yang berkenaan dengan perkara tersebut dijadikan satu kesatuan. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (1) jo Pasal 75 KUHAP, segala tindakan yang dilakukan sehubungan dengan perkara yang dibuat Berita Acara dengan kekuatan sumpah Jabatan kemudian ditandatangani oleh Pejabat Pembuat serta oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Pada dasarnya, dalam perkara Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan penyidikannya oleh Kepolisian, Kejaksaan, Tim Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan itu sedikit berbeda selain karena bentuk formulir yang dipergunakan Kepolisian dan Kejaksaan berbeda juga dipengaruhi faktor teknik dan taktik penyidikan sera variatif modus operandi Tindak Pidana korupsi. Walaupun demikian, dalam praktik hal tersebut secara esensial tidak mempengaruhi penanganan pelaku Tindak Pidana Korupsi. Apabila dijabarkan pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan Kepolisian pada umumya berisikan hal-hal dengan urutan-urutan sebagai berikut : 1. Sambul Berkas Perkara; 2. Daftar Isi; 3. Resume; 4. Laporan Polisi; 5. Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan; 17 Laden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, Penyelidikan dan Penyidikan, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, hln. 130.

13 6. Berita Acara Pemeriksaan: a. Saksi-saksi b. Saksi Ahli / Keterangan Ahli c. Tersangka 7. Berita Acara Terhadap: a. Penyitaan Barang Bukti b. Penyegelan Barang Bukti c. Pinjam Pakai Barang Bukti 8. Surat Panggilan; 9. Sprint Penyitaan; 10. Laporan dan Permohonan Persetujuan Barang Bukti; 11. Penetapan Penyitaan; 12. Daftar Isi ; 13. Daftar Tersangka; 14. Daftar Barang Bukti. Sedangkan pemberkasan Berita Acara hasil penyidikan Kejaksaan pada dasarnya berisikan hal-hal dengan urutan-urutan sebagai berikut : 1. Sampul Berkas Pekara; 2. Foto Tersangka; 3. Maksud Perkara; 4. Daftar Isi Berkas; 5. Penerimaan Laporan; 6. Surat Perintah Penyidikan; 7. Berita Acara Pendapat; 8. Daftar Para Nama Saksi dan Tersangka; 9. Berita Acara Pemeriksaan Saksi dan Tersangka; 10. Surat Perintah Penangkapan; 11. Surat Perintah Penahanan, Perpanjangan Penahanan dan Berita Acara Pelaksanaan Perpanjangan Penahanan; 12. Surat Perintah Penggeledahan/Penyegelan/Penyitaan/Penitipan; 13. Berita Acara Penyitaan Surat-surat, Uang, Rumah, Mobil dan lainnya; 14. Berita Acara Pemeriksaan Keadaan Keuangan Tersangka; 15. Surat Permintaan Izin Penggeledahan/Penyitaan dan Surat Izin Penetapan Penggeledahan/Penyitaan; 16. Daftar Barang Bukti. Dalam penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum seperti telah Penulis jelaskan pada asasnya penyidikan perkara Tindak Pidana Korupsi

14 dapat dilakukan oleh pihak Kepolisian, Kejaksaan, Tim Tastipikor dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Untuk itu, Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada Penuntut Umum di sini dimaksudkan adalah hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak Kepolisian, Penyidikan Kejaksaan dan Tim Tastipikor sedangkan terhadap penyelidikan, penyidikan, penuntutan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan korupsi diserah-serahkan kepada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2), ayat (3) butir a dan b jo Pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyerahan berkas perkara oleh Kepolisian, Penyidik Kejaksaan dan Tim Tispikor kepada Penuntut Umum dari Kejaksaan dilakukan dengan cara : 1. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;dan 2. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum. Ketentuan KUHAP menentukan penyerahan berkas dalam 2 (dua) tahap merupakan perubahan besar dan berbeda dengan ketentuan dalam HIR (Stb ) dan menurut Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dilakukan hal tersebut dengan dasar pertimbangan sebagai berikut : 1. Karena penyidikan hanya dipertanggungjawabkan kepada penyidik, dalam hal Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan itu belum lengkap, segera mengembalikannya kepada penyidik dengan disertai petunjuk-petunjuknya, yang wajib dilengkapi oleh penyidik. Sedangkan tersangka dan barang bukti tetap di tempat semula ditahan atau disimpan. 2. Penyerahan tahap kedua hanya penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti, dimaksudkan mencegah kemungkinan larinya tahanan dan

15 hilangnya barang bukti. Hal ini juga dipahami adanya rumah tahanan negara dan rumah penyimpanan benda sitaan negara, yang akan didirikan pada setiap kabupaten, yang pengelolaanya dipertanggungjawabkan hanya pada satu instansi, tetapi penggunaanya bersama. 3. Mencegah keluarga yang akan mengunjungi tersangka diombang- ambingkan kesana kemari. 4. Pertanggungjawaban lebih jelas sehingga akan ada kepastian hukum. Di atas telah dimukakan bahwa penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan dianggap selesai. Penyidikan baru dianggap selesai apabila dalam batas waktu 14 hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara, atau sebelum berakhirnya batas waktu tersebut tidak ada pemberitahuan dari penuntut umum kepada penyidik bahwa hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Jadi tegasnya penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti, baru akan dilaksanakan oleh penyidik setelah penyidikan selesai atau dianggap selesai. Dalam hubungan dengan pengertian selesai penyidikan, kiranya agar dapat dibedakan dengan berakhirnya penyidikan perlu kita pahami pengertian-pengertian sebagai mana diuraikan dibawah ini. Menurut sistem HIR penyidikan itu berakhir sejak perkara yang bersangkutan dilimpahkan oleh jaksa ke pengadilan, atau apabila menurut pendapat jaksa pengusutan perkara tersebut perlu dihentikan, sesuai dengan ketentuan Pasal 83 m HIR yaitu : - apabila tidak cukup bukti untuk meyakinkan bahwa terdakwa telah melakukan suatu perbuatan yang dipersangkakan

16 -apabila bukti-bukti cukup, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan yang diancam dengan pidana. KUHAP tidak menentukan secara tegas bilakah suatu penyidikan berakhir, tetapi meskipun demikian bila kita amati dengan seksama ketentuan-ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 110 dan Pasal 138 KUHAP, maka dapat disimpulkan bahwa penyidikan berakhir dalam hal : 1. Apabila telah dilaksanakan serah terima tanggung jawab yuridis atas tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti itu sendiri dilaksanakan oleh penyidik dalam hal penyidikan dianggap selesai (Pasal 110 ayat (4) jo Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP), atau setelah penyidik menerima pemberitahuan dari penuntut umum bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. 2. Penyidikan perkara yang bersangkutan dihentikan karena : a. Tidak terdapat cukup bukti b. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana c. Penyidikan dihentikan demi hukum. B. Kewenangan Kejaksaan Dalam Penuntutan Tindak Pidana Korupsi Pada Pasal 26 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikatakan bahwa Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

17 Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP, menyatakan bahwa Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Dari perumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa, tetapi sebaliknya jaksa belum tentu berarti penuntut umum. Atau dengan kata lain tidak semua jaksa adalah penuntut umum, tetapi semua penuntut umum adalah Jaksa. Karena menurut ketentuan tersebut hanya jaksalah yang dapat bertindak sebagai penuntut umum. Seorang jaksa baru memperoleh kapasitasnya sebagai penuntut umum apabila ia menangani tugas penuntutan. Pasal 1 angka 7 KUHAP merumuskan bahwa yang dimaksud dengan Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus ileh hakim di sidang pengadilan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004, Penuntut Umum mempunyai tugas dan kewenangan dalam proses pidana sebagai berikut : 1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; Menurut sistem penyerahan berkas perkara yang diatur dalam KUHAP sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 8 ayat (2) dan (3), Pasal 110 dan Pasal 138, mengenal sistem penyerahan berkas perkara dalam dua tahap.

18 Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan : a. Pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara; b. Dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. 2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; Menurut Pasal 110 KUHAP, (1) dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum; (2) dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih belum lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi; (3) dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum; (4) penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik. Pasal 138 mengatakan, (1) penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan meneliti dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang

19 harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum. Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan (Pasal 139 KUHAP). 3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan ke pengadilan; Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 25 KUHAP, (1) perintah penahanan yang diberikan oleh penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. (2) Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk paling lama tiga puluh hari. (3) Ketentuan sebagaimana tersebut pada ayat (1) dan (2) tidak menutup kemungkinan dikeluarkannya tersangka dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi. (4) Setelah waktu lima puluh hari tersebut, penuntut umum harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum. Perpanjangan penahanan paling lama tiga puluh hari dan dalam hal penahanan tersebut masih diperlukan, dapat diperpanjang lagi untuk paling lama tiga puluh hari. Perpanjangan penahanan tersebut atas dasar permintaan dan laporan pemeriksaan dalam

20 tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri (Pasal 29 KUHAP). Berdasarkan Pasal 25 dan 29 KUHAP tersebut diatas, maka penuntut umum mempunyai batas waktu penahanan paling lama 110 (seratus sepuluh) hari. 4. Membuat surat dakwaan; Surat Dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan dimuka sidang pengadilan 18. Pasal 140 ayat (1) KUHAP berbunyi : dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Pasal 143 ayat (1) menentukan, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. Adapun persiapan pembuatan Surat Dakwaan yaitu : a. Penelitian Berkas Perkara Fokus penelitian diarahkan pada terpenuhinya kelengkapan formal dan materil guna mengetahui sejauh mana fakta-fakta hasil penyidikan dapat mendukung perumusan Surat Dakwaan beserta upaya pembuktiannya. b. Teknis Redaksional Hal ini berkenaan dengan cara merumuskan fakta-fakta dan perbuatan terdakwa yang dipadukan dengan unsur-unsur tindak pidana sesuai perumusan ketentuan 18 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Penerbit:Pustaka Kartini, Jakarta, 1985,hlm

21 pidana yang dilanggar, sehingga tampak dengan jelas bahwa fakta-fakta perbuatan terdakwa memenuhi segenap unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan yang bersangkutan. c. Pemilihan Bentuk Surat Dakwaan Setelah diidentifikasi jenis, sifat tindak pidana dan ketentuan pidana yang dilanggar lalu dilakukan pemilihan bentuk surat dakwaan yang paling tepat. d. Matrik Surat Dakwaan Dalam perkara-perkara yang sulit pembuktiannya atau perkara-perkara penting, sebelum merumuskan konsep surat dakwaan hendaknya disusun matrik surat dakwaan yang menggambarkan suatu bagan mulai dari kualifikasi tindak pidana, fakta-fakta perbuatan terdakwa, alat-alat bukti pendukung dan barang bukti yang dapat mendukung upaya pembuktian. e. Konsep Surat Dakwaan Matrik surat dakwaan yang telah tersusun merupakan esensi dakwaan yang berfungsi sebagai kendali dalam merumuskan konsep surat dakwaan. Syarat surat dakwaan pada Pasal 143 (2) KUHAP, penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi : a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka; b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan; c. Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum;

22 d. Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan. Menurut pandangan para doktrina dan kelaziman dalam praktik peradilan, ketentuan Pasal 143 ayat (2) KUHAP menyebutkan adanya 2 (dua) syarat esensial yang harus diperhatikan dalam pembuatan surat dakwaan, yaitu : 1. Syarat Formal (Pasaal 143 ayat (2) huruf a KUHAP) Pada dasarnya, surat dakwaan dibuat oleh penuntut umum kemudian diberi tanggal dan ditandangani serta berisikan identitas yang lengkap. Akan tetapi berdasarkan kelaziman dalam praktik sesuai Keputusan Jaksa Agung RI No. KEP-518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana disamping identitas terdakwa tersebut juga dilengkapi dengan pendidikan, yaitu untuk Acara Biasa dengan bentuk P-29 dan Acara singkat dengan P-30. Konkretnya, dicantumkannya tanggal dan tanda tangan diperlukan untuk memenuhi syarat sebagai suatu akta untuk menghindari Error in Persona. Tidak terpenuhinya syarat formal tidaklah menyebabkan surat dakwaan batal demi hukum, tetapi surat dakwaan tersebut dapat dibatalkan atau dinyatakan batal sebagaimana Putusan Mahkamah Agung RI No. 41 K/Kr/1973 tanggal 25 januari Syarat Materiel (Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP) Ketentuan syarat materiel menentukan bahwa hendaknya surat dakwaan berisikan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.

23 Tidak dipenuhinya syarat ini menyebabkan dakwan diancam batal demi hukum. Menurut Surat Edaran Jaksa Agung RI No. SE-004/J.A/11/1993 tanggal 16 November 1993 yang dijabarkan dengan Surat Edaran JAM Pidum No. B- 607/E/11/1993 tanggal 22 November 1994 merumuskan bahwa surat dakwaan agar : a. Cermat didasarkan kepada ketentuan pidana terkait, tanpa adanya kekurangan/kekeliruan yang menyebabkan ssurat dakwaan batal demi hukum atau dapat dibatalkan atau dinyatakan tidak dapat diterima. b. Jelas, didasarkan kepada uraian yang jelas dan mudah dimengerti dengan cara menyusun redaksi yang mempertumakan fakta-fakta perbuatan terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, sehingga terdakwa yang mendengar atau membacanya akan mengerti dan mendapatkan gambaran tentang; siapa yangg melakukan tindak pidana, tindak pidana yang dilakukan, kapan dan di mana tindak pidana itu dilakukan, apa akibat yang ditimbulkan dan mengapa terdakwa melakukan tindak pidana itu. Uraian komponen-komponen tersebut disusun secara sistematik dan kronologis dengan bahasa yang sederhana. c. Lengkap, didasarkan uraian yang bulat dan utuh yang mampu menggambarkan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan beserta waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. Sedangkan Surat Dakwaan yang tidak memenuhi syarat, yaitu : 1. Surat Dakwaan Tidak Terang

24 Surat dakwaan harus memuat dengan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Kalau unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan tidak dijelaskan secara keseluruhan berarti terdapat kekaburan dalam surat dakwaan. 2. Surat Dakwaan yang Berisi Pertentangan Antara Satu dengan yang Lain. Pertentangan isi dalam surat dakwaan akan menimbulkan keraguan bagi terdakwa tentang perbuatan atau tindakan mana yang didakwakan kepadanya. Berdasarkan Pasal 144 KUHAP,perubahan surat dakwaan berupa : 1. Penuntut Umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. 2. Pengubahan surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali selambatlambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai. 3. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan turunannya kepada tersangka atau penasihat hukum dan penyidik. Dalam peradilan militer, oditur dapat mengubah surat dakwaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pengadilan pada tigkat pertama/pengadilan tingkat pertama dan terakhir dimulai dengan tujuan untuk menyempurnakan dan hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali. Salinan perubahan surat dakwaan disampaikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya dan perwira penyerah perkara (Pasal 131 ayat (1) dan (2) UU No. 31 / 1997). Surat dakwaan dapat diubah baik atas inisatif penuntut umum sendiri maupun erupakan saran hakim. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (Undang- Undang Nomor 15 tahun 1961), ditentukan bahwa dalam hal surat tuduhan kurang

25 memenuhi syarat-syarat, jaksa wajib memperhatikan saran-saran yang diberikan oleh hakim sebelum pemeriksaan persidangan pengadilan dimulai. Jadi, perubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan dimulai. Berhubung dengan tiadanya batas-batas yang ditentukan dalam Pasal 144 KUHAP tentang perubahan surat dakwaan, maka timbul pertanyaan sampai seberpa jauh dapat penuntut umum mengubah surat dakwaan itu. Menurut peraturan lama (HIR, Yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal atauu doktrin), dapat diterima perubahan itu meliputi berikut ini: 1. Kesalahan mencantumkan waktu dan tempat terjadinya delik dalam surat dakwaan. 2. Perbaikan kata-kata atau redaksi surat dakwaan sehingga mudah dimengerti dan disesuaikan dengan perumusan delik dalam undang-undang pidana. 3. Perubahan dakwaan yang tunggal menjadi dakwaan alternatif asal mengenai perbuatan yang sama. Begitu pula perubahan kata-kata atau redaksi diperbolehkan asal tidak mengubah macam perbuatan yang didakwakan. Begitu pula perubahan surat dakwaan dari yang tuggal menjadi alternatif diperbolehkan asal mengenai perbuatan yang sama, yang biasa disebut delik berkualifikasi dalam hukum pidana. Delik berkualifikasi misalnya delik pembunuhan menjadi pembunuhan berencana; pegawan negeri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya nejadi pegawai negeri menerima suap yang berhubungan dengan jabatannya dengan kewajibannya. Dalam hal perubahan dakwaan yang tuggal menjadi alternatif tersebut seperti Pasal 338 KUHP menjadi primair Pasal 340 KUHP subsidair Pasal 338 KUHP

26 diperbolehkan, menurut Andi Hamzah, rasionya ialah menurut Pasal 228 ayat (1) HIR dahulu, dakwaan dapat diubah kita ternyata ada keadaan yang memperberat pidana. Hanya perlu diperhatikan sekali lagi bahwa KUHAP berbeda dengan HIR atau Ned. Sv., ditentukan jangka waktu perubahan surat dakwaan, yaitu 7 hari sebelum hari sidang dan tidak mungkin dilakukan perubahan pada waktu sidang. Jadi, kalau waktu sidang ditemukan hal-hal yang keliru dalam surat dakwaan, misalnya kekeliruan mengenai waktu dan tempat, maka menurut Pasal 143 KUHAP dakwaan tersebut batal demi hukum. Oleh karena itu, sejalan dengan ketentuan Pasal 143 dan 144 KUHAP, penuntut umum dalam menyusun dakwaan harus cermat dan teliti sekali. Andaikata di persidangan terdakwa memberi keterangan yang berbeda dengan di pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh polisi, sedangkan surat dakwaan yang disusun penuntut uum didasarkan pada pemeriksaan pendahuluan tersebut, maka terdakwa dapat bebas dari pemidanaan. Dalam undang-undang tidak ditentukan pengaturan terhadap bentuk surat dakwaan yang harus dibuat oleh Penuntut Umum.Mengenal bentuk dari surat dakwaan ini lhari dan berkembang dari doktrina ilmu pengetahuan hukum dan kebiasaan praktik peradilan. Pada perkembangan yurisprudensi dan doktrina dikenal eksistensi beberapa bentuk surat dakwaan terhadap Tindak Pidana Korupsi, yaitu : 1. Dakwaan Tunggal Pada praktik dan doktrina bentuk dakwaan tunggal juga seirng disebut dengan istilah dakwaan biasa. Diperbandingkan dengan dakwaan lainnya, ditinjau dari aspek pembuatannya dakwaan tunggal merupakan dakwaan yang sifatnya sederhana, mudah

27 dibuat karena di dalamnya dirumuskan satu tindak pidana saja, tidak terdapat dakwaan lain, baik sebagai alternatif maupun sebagai pengganti. Lazim terjadi dalam praktik apabila Jaksa/Penuntut Umum mempergunakan bentuk dakwaan tunggal, Jaksa/Penuntut Umum telah yakin bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana yang didakwakan atau setidaknya terdakwa tidak lepas dari tindak pidana yang didakwakan. Apabila terdakwa didakwa dengan bentuk seperti ini, sebenarnya mengandung resiko besar karena kalau Jaksa/Penuntut Umum gagal membuktikan dakwaannya di persidangan, terdakwa oleh Majelis Hakim jelas akan dibebaskan. 2. Dakwaan Kumulatif Pada dasarnya, dalam praktik peradilan terminologi bentuk dakwaan kumulatif lazim disebut sebagai dakwaan berangkat atau Cumulatieve ten laste Legging dan sebagainya. Dengan titik tolak teoritis, sebenarnya hakikat dakwaan kumulatif diatur dalam ketentuan Pasal 141 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang ditentukan bahwa Penuntut Umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal : a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungannya; b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain; c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, tetapi yang satu dengan yang lain ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.

28 Pengaturan dakwaan kumulatif ini selain terdapat dalam Hukum Pidana Formal, juga diatur pada Hukum Pidana Materil sebagaimana tersurat ketentuan Bab VI KUHP tentang Gabungan Tindak Pidana/Pembarengan Tindak Pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 63, 64, 65, 66 dan 70 KUHP. Pada dasarnya, secara konkret bentuk dakwaan kumulatif dibuat Penuntut Umum apabila dalam satu surat dakwaan ada beberapa tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak berhubungan antara tindak pidana satu dengan lainnya, tetapi didakwakan secara sekaligus. Yang penting dalam hal ini bahwa subyek pelaku Tindak Pidana Korupsi adalah terdakwa yang sama. Dengan bentuk dakwaan seperti ini, konsekuensi pembuktiannya bahwa masing-masing dakwaan harus dibuktikan dan bila terbukti, tuntutan pidananya sesuai dengan ketentuan Pasal 65 dan 66 KUHP dan mengenai pidananya hakim bertitk tolak kepada ketentuan Pasal 63 sampai ketentuan Pasal 71 KUHP, yakni dijatuhi hukuman dengan ancaman terberat ditambah sepertiga. Adapun ciri utama dakwaan kumulatif adalah dengan mempergunakan istilah dakwaan Kesatu, Kedua, Ketiga, dan seterusnya. 3. Dakwaan Subsidairitas/Bersusun-Lapis Terminologi dakwaan subsidairitas dalam praktik peradilan disebut sebagai dakwaan pengganti, dakwaan subsidair ten laste Legging, dan sebagainya. Menurut M.Yahya Harahap selaku Tuadu Pidum menentukan bahwa dakwaan subsidairitas dapat didefenisikan sebagai : Surat dakwaan Penuntut Umum yang memuat beberapa dakwaan yang disusun berurutan mulai dari dakwaan tindak pidana yang terberat ancaman pidananya sampai kepada dakwaan tindak pidana yang lebih ringan atau biasa juga diartikan, dakwaan berikutnya sebagai cadangan dari dakwaan teratas dan membuktikan dakwaan yang

29 lebih serius maka pemeriksaan dialihkan terhadap dakwaan yang lebih ringan apabila untuk itu cukup alat buktinya 19. Pada dasarnya ciri utama bentuk dakwaan ini disusun secara berlapis-lapis dimulai dari dakwaan terberat sampai teringan dengan susunan Primair, Subsidair, Lebih Subsidair, Lebih-lebih Subsidair dan seterusnya atau dapat pula disusun dengan sitilah Terutama, Penggantinya, Penggantinya lagi dan seterusnya. Jadi, pada hakikatnya dalam bentuk surat dakwaan subsidairitas ini hanya satu tindak pidana saja yang sebenarnya akan didakwakan kepada terdakwa. Dapat disebutkan lebih detail bahwa bentuk dakwaan subsidairitas disusun dengan maksud agar jangan sampai terdakwa terlepas dari pemidanaan. Sedangkan konsekuensi pembuktiannya maka yang diperiksa terlebih dahulu adalah dakwaan Primair dan bila tidak terbukti, baru beralih kepada dakwaan Subsidair dan demikian seterusnya. Akan tetapi, sebaliknya bila dakwaan Primair telah terbukti, dakwaan Subsidairnnya dan seterusnya tidak perlu dibuktikan lagi. 4. Dakwaan Campuran/Gabungan Bentuk dakwaan ini lahir, tumbuh dan berkembang dalam praktik peradilan yang pada asasnya merupakan bentuk dakwaan subsidairitas dan kumulatif. Sedangkan pembuktian terhadap dakwaan Campuran/Gabungan harus dilakukan terhadap setiap lapis dakwaan. Pembuktian masing-masing lapisan tersebut disesuaikan bentuk lapisannya. Apabila lapisannya bersifat subsidair, pembuktiannya harus dilakukan secara berurutan, mulai lapisan teratas sampai kepada lapisan yang dianggap terbukti. Akan tetapi, apabila lapisannya terdiri dari sifat alternatif, pembuktiannya dapat langsung terhadap dakwaan yang dianggap paling terbukti. 19 M. Yahya Harahap, Tinjauan Berbagai Permasalahan Teknis Bidang Pidana Diktat, Jakarta, 1998,hlm.4

30 Sebenarnya, menurut doktrina ada satu lagi bentuk surat dakwaan, yaitu dakwaan alternatif. Akan tetapi, sepanjang pengetahuan, penelitian dan pengamatan Penulis untuk Tindak Pidana Korupsi jarang ditemukan bentuk dakwaan alternatif dalam artian yang sebenarnya. 5. Melimpahkan Perkara Ke Pengadilan Pasal 143 (1) KUHAP menentukan, penuntut umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan. 6. Panggilan Kepada Pihak-Pihak yang Berperkara Secara tegas pemberitahuan dan pemanggilan sidang dalam pasal 145 KUHAP yang berbunyi, (1) pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah, apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui, disampaikan di tempat kediaman terakhir, (2) Apabila terdakwa tidak ada di tempat tinggalnya atau ditempat kediaman terakhir, surat panggilan disampaikan melalui kepala desa yang berdaerah hukum tempat tinggal terdakwa atau tempat kediaman terakhir, (3) Dalam hal terdakwa ada dalam tahanan, surat panggilan disampaikan kepadanya melalui pejabat rumah tahanan negara, (4) Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa sendiri ataupun oleh orang lain atau melalui orang lain dilakukan dengan tanda penerimaan, (5) Apabila tempat tinggal maupun tempat kediaman terakhir tidak dikenal, surat panggilan ditempelkan pada pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkaranya.

31 Pasal 146 menentukan, (1) Penuntut Umum menyampaikan surat panggilan kepada terdakwa yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang, dan untuk perkara apa ia dipanggil yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai, (2) Penuntut Umum menyampaikan surat panggilan kepada saksi yang memuat tanggal, hari, serta jam sidang dan untuk siapapun yang dipanggil, yang harus sudah diterima oleh yang bersangkutan selambat-lambatnya tiga hari sebelum sidang dimulai. 7. Melakukan Penuntutan Penuntut Umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137 KUHAP). 8. Menutup Perkara Demi Kepentingan Hukum Pasal 140 ayat (2) KUHAP menentukan sebagai berikut : a. Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan penuntutan karena tidak tedapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan. b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib segera dibebaskan. c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat ruumah tahanan negara, penyidik dan hakim. d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap tersangka.

32 9. Mengadakan Tindakan Lain Dalam Lingkup Tugas dan Tanggung Jawab Sebagai Penuntut Umum Penjelasan Pasal 14 butir, yang dinaksud dengan tindakan lain ialah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. Dengan demikian, hal ini menyangkut kewenangan atau kompetensi yang dimiliki oleh penyidik, penuntut umum dan pengadilan, apakah kompetensi relatif atau kompetensi absolut. Penuntut Umum harus memperhatikan apakah tersangka yang diserahkan oleh penyidik merupakan seorang tersangka biasa atau tersangka karena jabatan militer. Jika tersangkanya seorang militer, maka kewenangan mengadili diberika kepada pengadilan militer. Juga apakah terdakwanya bertempat tinggal di wilayah penyidik yang menyerahkan berkas perkara. Jika tersangkanya bertempat tinggal diluar wilayah hukum penyidik, maka kewenangan relatif diberikan kepada wilayah hukum penyidik yang lain. 10. Melaksanakan Penetapan Hakim Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya (Pasal 270 KUHAP). Dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Penyidik dan Penuntut Umum diatur pada Bab IV, khususnya Bagian Kesatu untuk Penyelidik dan Penyidik sedangkan Penuntut Umum pada Bagian Ketiga. Kemudian, mengenai penyelidikan diatur dalam Bab XIV Pasal 102 sampai dengan Pasal 136 KUHAP serta Penuntutan diatur dalam Bab XV Pasal 137 sampai dengan Pasal 144

33 KUHAP. Apabila diperhatikan secara lebih seksama format Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tampak pembentuk Undang-Undang memformulasikan tahap dan wewenang tempat Penyelidikan dilakukan oleh Kepolisian dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang, kemudian tahap Penuntutan oleh Kejaksaan dan tahap mengadili pekara oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI serta pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap oleh jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan dengan pengawasan dan pengamatan Ketua Pengadilan Negeri dengan sistematis, satu kesatuan sehingga tampak dalam penyelesaian perkara saling berhubungan antara satu tahap dengan tahap lainnya dan lazim disebut dengan Integrated Criminal Justice Sysstem dengan pengertian yaitu suatu usaha untuk mengintegrasikan semua komponen tersebut diatas sehingga peradilan dapat berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan 20. Karena merupakan satu kesatuan yang utuh dengan bertitik tolak kepada pengertian penyidikan (Pasal 1 angka 2 KUHAP) dan penuntutan (Pasal 1 angka 7 KUHAP), titik taut tersebut tampak dalam hal hasil penyidikan oleh penyidik diserahkan berkas tersebut kepada Penuntut Umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP) dan bila lengkap (P-21), Penuntut Umum segera menentukan apakah berkas penyidikan tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139 KUHAP) dan dalam hal Penuntut Umum berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat diilakukan penuntutan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1) KUHAP) dan berkas tersebut oleh Penuntut Umum 20 Sukarton Marmosudjono, Penegakan Hukum di Negara Pancasila, Penerbit: Pustaka Kartini, jakarta, 1989, hlm.30.

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 2/April/2015. KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 KAJIAN YURIDIS DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Yessy Paramita Samadi 2 ABSTRAK Tujuan dilakuakn penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan dakwaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penahanan Tersangka Penahanan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara

1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara 1. HUKUM ACARA PIDANA ADALAH hukum yang mempertahankan bagaimana hukum pidana materil dijalankan KUHAP = UU No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana 2. PRAPERADILAN ADALAH (Ps 1 (10)) wewenang pengadilan

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DI KPPU KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan transparansi dan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Kejaksaan a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN

JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN I. PENDAHULUAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE-004/J.A/11/1993 TENTANG PEMBUATAN SURAT DAKWAAN Menurut hasil eksaminasi perkara terutama perkara-perkara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana 1. Hakim dan Kewajibannya Hakim dapat diartikan sebagai orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau mahkamah.

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN

TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN L II.3 TATA CARA PEMERIKSAAN ADMINISTRASI PERSIDANGAN I. PERKARA PERDATA Untuk memeriksa administrasi persidangan, minta beberapa berkas perkara secara sampling

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, BAB II TINJAUN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hukum Acara Pidana Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering, menurut Simons hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana negara melalui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto * Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum Cakra Nur Budi Hartanto * * Jaksa Kejaksaan Negeri Salatiga, mahasiswa Magister (S-2) Ilmu Hukum UNISSULA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999

TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TATA CARA PENYAMPAIAN LAPORAN DAN PENANGANAN DUGAAN PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 (Keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha No. 05/KPPU/Kep/IX/2000 tanggal 8 September 2000) KOMISI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.98, 2003 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA 3.1 Dasar Filosofis Asas Ne Bis In Idem Hak penuntut umum untuk melakukan penuntuttan terhadap setiap orang yang dituduh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bahwa wewenang penghentian penuntutan ditujukan kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 2004 DENGAN PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D 101 10 523 Abstrak Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Penahanan sementara merupakan suatu hal yang dipandang

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 4/2004, KEKUASAAN KEHAKIMAN *14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA

SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA SURAT TUNTUTAN (REQUISITOIR) DALAM PROSES PERKARA PIDANA Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta Disusun Oleh

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

BERITA NEGARA. No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.711, 2013 MAHKAMAH AGUNG. Penyelesaian. Harta. Kekayaan. Tindak Pidana. Pencucian Uang. Lainnya PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 01 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA Hukum formal atau hukum acara adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 73, 1985 (ADMINISTRASI. KEHAKIMAN. LEMBAGA NEGARA. Mahkamah Agung. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1492, 2014 KEJAKSAAN AGUNG. Pidana. Penanganan. Korporasi. Subjek Hukum. Pedoman. PERATURAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER-028/A/JA/10/2014 TENTANG PEDOMAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Globalisasi menyebabkan ilmu pengetahuan kian berkembang pesat termasuk bidang ilmu hukum, khususnya dikalangan hukum pidana. Banyak perbuatan-perbuatan baru yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

Pemeriksaan Sebelum Persidangan Pemeriksaan Sebelum Persidangan Proses dalam hukum acara pidana: 1. Opsporing (penyidikan) 2. Vervolging (penuntutan) 3. Rechtspraak (pemeriksaan pengadilan) 4. Executie (pelaksanaan putusan) 5. Pengawasan

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia \ Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 01 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA PELAKSANAAN KEMITRAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1979 TENTANG EKSTRADISI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Koninklijk Besluit van 8 Mei 1883 No. 26 (Staatsblad

Lebih terperinci

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA

KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA JAKARTA Nomor : B-69/E/02/1997 Sifat : Biasa Lampiran : - Perihal : Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana -------------------------------- Jakarta, 19 Pebruari 1997 KEPADA

Lebih terperinci

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017 KAJIAN YURIDIS TINDAK PIDANA DI BIDANG PAJAK BERDASARKAN KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN PERPAJAKAN 1 Oleh: Seshylia Howan 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian

BAB I PENDAHULUAN. penganiayaan adalah: perlakuan yang sewenang-wenang. Pengertian. pidana adalah menyangkut tubuh manusia. Meskipun pengertian BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penganiayaan adalah istilah yang digunakan KUHP untuk tindak pidana terhadap tubuh. Namun KUHP sendiri tidak memuat arti penganiayaan tersebut. Dalam kamus besar Bahasa

Lebih terperinci

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra 90 V. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan maka dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 yang disebut dengan Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menjelaskan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penyidikan dan Penuntutan 1. Penyidikan Pengertian penyidikan secara umum dalam KUHAP dijelaskan dalam Bab I Pasal 1 angka 2 yang berbunyi: Penyidikan adalah serangkaian tindakan

Lebih terperinci

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP Oleh : LBH Jakarta 1. PENGANTAR Selama lebih dari tigapuluh tahun, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP diundangkan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci