Kementerian PPN / Bappenas

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Kementerian PPN / Bappenas"

Transkripsi

1 Kementerian PPN / Bappenas

2

3 KUMPULAN RINGKASAN KAJIAN DAN EVALUASI SEKTORAL Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2014

4 Pengarah: Edi Effendi Tedjakusuma Penanggung Jawab: Yohandarwati Arifiyatno Tim Penyusun: Bambang Triyono Haryo Raharjo Faiq Meitha Ika Pratiwi Novi Mulia Ayu Anna Nur Rahmawaty Tini Partini Nuryawani Informasi selanjutnya, hubungi : Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral, Bappenas Telp : Fax :

5 KATA PENGANTAR Siklus perencanaan pembangunan, seperti telah diketahui secara luas, merupakan representasi tahapan utama pembangunan yaitu: perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan monitoring-evaluasi. Bappenas terlibat dalam empat tahapan tersebut dengan porsi keterlibatan yang berbeda-beda. Sesuai dengan tupoksi, porsi terbesar adalah perencanaan, diikuti dengan penganggaran, dan Monev. Dalam konteks pelaksanaan porsi Bappenas lebih diwarnai dengan fungsinya sebagai koordinator. Sepanjang tahun porsi evaluasi pembangunan dillaksanakan secara terbatas, karena merupakan wahana yang dikerjakan unit kerja baru dengan berbagai keterbatasan. Evaluasi lebih diarahkan kepada upaya menunjukkan kinerja dan hasil pembangunan dalam level output hingga outcome atau impact namun dalam format sederhana. Artinya, data dan analisis yang digunakan dan dilakukan belum merupakan suatu penelitian dampak yang menggunakan hasil survey, ataupun case study. Namun demikian, telah dapat dihasilkan berbagai kajian dan evaluasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, seperti disajikan dalam ringkasan ini. Gambaran hasil evaluasi lebih merupakan cermin alur pembangunan dalam tahap input output outcome impact. Untuk menggambarkan capaian impact kebijakan tertentu, misalnya, diupayakan untuk menunjukkan alur ketercapaiannya yang diperoleh melalui kontribusi program (outcome) dan kegiatan penting (output) yang kesemuanya secara langsung maupun tidak langsung dibiayai oleh anggaran pembangunan tertentu. Ke depan, diperlukan evaluasi dampak yang lebih mendalam dengan menggunakan pendekatan study dampak, berupa survey ataupun case study. Semoga hasil ringkasan ini dapat berguna dalam menyusun kebijakan dan program pembangunan di masa mendatang. Untuk penyempurnaan, saran dan kritik membangun diharapkan untuk kegiatan evaluasi selanjutnya. Jakarta, Oktober 2014 Deputi Meneg. PPN/Kepala Bappenas Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Edi Effendi Tedjakusuma

6

7 DAFTAR ISI 1. Kebijakan Pembangunan Pendidikan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak Peran Sektor Informal Sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan Revitalisasi Pertanian dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor- Faktor yang Mempengaruhinya: Analisis Panel Data Pembangunan Perdesaan dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Peranan Usaha Kecil Menengah dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu Kinerja Investasi dan Ekspor Kebijakan Pembangunan Transportasi Perkeretaapian dan Laut Pogram Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM MANDIRI) Kebijakan Reformasi Birokrasi Pembangunan Bidang Transportasi: Darat dan Udara Perintis Daya Saing Industri

8

9 1 EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN * Abstrak Evaluasi kebijakan pembangunan pendidikan difokuskan pada kegiatan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun yang merupakan cermin dari pelaksanaan kebijakan pembanvgunan pendidikan di Indonesia. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajardikdas) 9 Tahun merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia. Program ini telah dimulai sejak tahun 1994 dan diharapkan dapat dituntaskan pada tahun 2003/2004 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Tujuannya adalah agar seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus dapat berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun pada pelaksanaannya, krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target penuntasan Wajardikdas 9 Tahun harus disesuaikan. Sehubungan dengan akan berakhirnya pelaksanaan RPJMN , maka telah banyak capaian yang dihasilkan dalam pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan pembangunan pendidikan di masa mendatang. Capaian output peningkatan partisipasi pendidikan dimungkinkan dengan penambahan daya tampung melalui pembangunan berbagai sarana prasarana pendidikan maupun rehabilitasi bangunan sekolah yang rusak untuk mempertahankan kapasitas bangunan. Selain itu, kualitas tenaga pendidik/guru telah pula menunjukkan peningkatan yang signifikan dibanding dengan tahun Pada tahun 2013, persentase guru untuk jenjang SD yang berpendidikan S1/D4 mencapai 63,8 persen, untuk jenjang SMP mencapai 88,0 persen, dan untuk jenjang SMA/SMK mencapai 94,1 persen. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang berturut-turut baru mencapai 9,0 persen, 54,9 persen, dan 69,2 persen. Untuk menjaga kualitas tenaga pengajar, telah pula dilakukan sertifikasi terhadap guru yang dari tahun ke tahun jumlahnya semakin meningkat. Capaian outcome pembangunan pendidikan yang antara lain dilakukan melalui program Wajardikdas, selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2014 telah berhasil memperbaiki taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas menjadi 8,1 tahun pada tahun Sementara itu, penduduk usia 15 tahun keatas yang berpendidikan SMP/MTs/sederajat atau lebih baru mencapai 43,8 persen pada tahun 2004, menjadi 52,2 persen tahun Sedangkan angka partisipasi pendidikan dari tahun menunjukkan peningkatan untuk semua jenjang pendidikan. Berbagai capaian ini telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Meskipun berbagai capaian pembangunan pendidikan khususnya yang dilakukan melalui program Wajardikdas telah menunjukkan peningkatan yang cukup baik, namun masih terdapat beberapa hal yang menjadi rekomendasi dalam evaluasi ini, seperti perlunya pendekatan lain untuk peningkatan angka partisipasi sekolah ataupun peningkatan fokus pembangunan pendidikan pada daerah terpencil dan tertinggal. * Diringkas dari hasil Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (2008), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Pendidikan merupakan salah satu aspek terpenting bagi pembangunan bangsa. Pembangunan akan berhasil bila didukung oleh tersedianya penduduk yang terdidik dalam jumlah yang memadai. Karena itu, Indonesia menempatkan pembangunan pendidikan sebagai prioritas utama dalam program pembangunan nasional. Sumber Daya Manusia yang bermutu, yang merupakan produk pendidikan, merupakan kunci keberhasilan pembangunan suatu negara. Pendidikan merupakan salah satu pilar terpenting dalam pembangunan manusia, bahkan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK) jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan nasional di Indonesia dalam kurun waktu telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan 1

10 kemiskinan, peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, telah memberikan jaminan hak atas pendidikan dasar bagi warga negara berusia 7-15 tahun. Salah satu upaya untuk meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia adalah melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Program ini dimulai pada tahun 1994 dengan mentargetkan semua warga negara Indonesia memiliki pendidikan minimal setara Sekolah Menengah Pertama dengan mutu yang baik. Melalui program ini diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut sehingga akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika dicanangkan pada tahun 1994, Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun diharapkan dapat tuntas pada tahun 2003/2004. Namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 menyebabkan target tersebut tidak dapat tercapai. Sejalan dengan Anggaran Berbasis Kinerja, yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan, maka evaluasi pelaksanaan program Wajardikdas 9 tahun sangat penting dilakukan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi faktor input dan output yang mempengaruhi outcomes program Wajardikdas 9 tahun (APM SD/MI dan APK SMP/MTs); (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program Wajardikdas, yang berkaitan dengan faktor input dan faktor output program Wajardikdas; dan (3) Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan Wajardikdas. 2. Hasil Evaluasi Program Wajardikdas 9 Tahun 2.1. Kerangka Evaluasi Kerangka Evaluasi Program Wajardikdas 9 Tahun menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas pembangunan, program, dan kegiatan), penyediaan anggaran, serta kegiatan-kegiatan yang terkait dengan penjaminan pendidikan dasar, penyediaan tenaga pengajar, dan input lainnya; secara bersamasama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah jumlah sarana dan prasarana pendidikan dan jumlah tenaga pendidik. Dalam pencapaian outcome (Rata-rata lama sekolah, angka melek aksara, dan angka partisipasi pendidikan) tidak terlepas dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang dicerminkan oleh Indeks Pembangunan Manusia. Gambar 1 Kerangka Evaluasi Wajardikdas 9 Tahun INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT - Penjaminan Kepastian Layanan Pendidikan SD - Penyediaan subsidi Pendidikan SD/SDLB berkualitas - Penjaminan Kepastian Pendidikan SMP - Penyediaan subsidi Pendidikan SMP/SMPLB berkualitas - Penyediaan Guru untuk Seluruh Jenjang Pendidikan - Pendidikan dan Pelatihan Pendidik dan Tenaga Kependidikan - Peningkatan Penjaminan Mutu Pendidikan - Pembiayaan Pendidikan Dasar Jumlah sekolah: - Unit sekolah baru - Ruang kelas baru Jumlah guru - Jumlah guru yang sesuai pendidikannya - Jumlah guru yang memperoleh sertifikasi - Rata-rata lama sekolah - Angka melek aksara - Angka partisipasi pendidikan Indeks Pembangunan Manusia 2

11 2.2. Kebijakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun merupakan salah satu kebijakan pemerintah dalam upaya meningkatkan taraf pendidikan penduduk Indonesia, yaitu melalui peningkatan secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan pendidikan SMP/MTs. Kebijakan program ini dimulai pada tahun 1994, yang dilanjutkan pada periode RPJMN dan RPJMN , yaitu yaitu perluasan dan pemerataan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang bermutu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam memenuhi hak dasar warga Negara. Sehingga diharapkan seluruh warga negara Indonesia dapat mengembangkan dirinya lebih lanjut yang akhirnya mampu memilih dan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan potensi yang dimiliki, sekaligus berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kebijakan ini dilengkapi dengan perluasan dan peningkatan mutu dan relevansi pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, pendidikan non-formal, pendidikan anak usia dini dan didukung oleh penguatan tata kelola pendidikan. Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun merupakan salah satu program yang sangat krusial dalam pembangunan nasional. Selain sebagai pemenuhan hak dasar masyarakat Indonesia, program ini diharapkan pula mempunyai dampak terhadap daya saing tenaga kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Alokasi anggaran pendidikan dasar selama kurun waktu mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Anggaran yang disediakan pada tahun 2010 berkisar Rp ,7 milyar meningkat tajam menjadi Rp ,8 milyar pada tahun Peningkatan Angka Partisipasi Murni SD/MI dan Angka Partisipasi Kasar SMP/MTs, tidak hanya memerlukan peran dari faktor output (jumlah guru dan jumlah sekolah), tapi juga memerlukan peran dari karakteristik sosial ekonomi populasi. Hal ini didasari adanya rumah tangga di daerah miskin yang tidak dapat menyelokahkan anak-anaknya, walaupun mereka memiliki akses terhadap pendidikan, karena anak-anak mereka harus membantu orang tuanya mencari nafkah (opportunity cost untuk bersekolah sangat tinggi). Sementara itu, penetapan besarnya anggaran program pendidikan di tingkat pemerintahan daerah sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah daerah, sehingga besaran dan komposisi alokasi anggaran pendidikan termasuk pendidikan dasar juga bervariasi Capaian Output Wajardikdas 9 Tahun Keberhasilan pelaksanaan program Wajardikdas antara lain dipengaruhi oleh sarana prasarana pendidikan seperti jumlah ruang kelas ataupiun kualitas tenaga pendidikan. Keberhasilan pelaksanaan program Wajardikdas tentunya berpengaruh pula pada jenjang pendidikan pendidikan di atasnya, yaitu jenjang pendidikan menengah. Capaian ouput peningkatan partisipasi pendidikan juga dimungkinkan dengan penambahan daya tampung melalui pembangunan berbagai sarana prasarana pendidikan seperti unit sekolah baru (USB) dan penambahan ruang kelas baru (RKB) yang jumlah kumulatifnya dapat dilihat dalam Gambar berikut. Pembangunan USB untuk jenjang SMP termasuk sekolah SD-SMP satu atap (SATAP) merupakan program yang baru diperkenalkan pada tahun 2005 untuk meningkatkan partisipasi Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun di daerah tertinggal atau terpencil. Keberadaan SATAP terbukti mampu meningkatkan angka melanjutkan lulusan SD/MI untuk mengikuti pendidikan pada jenjang SMP/MTs. 3

12 Gambar 2 Jumlah Kumulatif Pembangunan Unit Sekolah Baru SMP, SMA, dan SMK Tahun SMP SMA SMK Sumber: Kemdikbud, Gambar 3 Jumlah Kumulatif Pembangunan Ruang Kelas Baru di SMP, SMA, dan SMK Tahun SMP SMA SMK Sumber: Kemdikbud, 2013 Selain itu, upaya tersebut didukung pula dengan rehabilitasi sekolah/madrasah yang rusak untuk mempertahankan kapasitas terpasang sekolah/madrasah. Sejak tahun 2005 sampai dengan tahun 2013 telah dilakukan rehabilitasi di SD, SMP, SMA, dan SMK. Sementara itu, ruang kelas MI, ruang kelas MTs, dan ruang kelas MA telah direhabilitasi sejak tahun 2008 sampai dengan tahun Dengan ditetapkannya UU No.14/2005 Tentang Guru dan Dosen, seluruh guru dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan menengah harus berpendidikan minimal S1/D4. Dalam kaitan ini, pada tahun 2013 untuk sekolah dibawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan persentase guru yang sudah berpendidikan S1/D4 sudah mencapai 63,8 persen untuk jenjang SD, 88,0 persen untuk jenjang SMP, dan 94,1 persen untuk jenjang SMA/SMK. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan tahun 2004 yang berturut-turut baru mencapai 9,0 persen, 54,9 persen, dan 69,2 persen. 4

13 Gambar 4 Perkembangan Persentase Guru yang Berkualifikasi Akademik S1/D4 Menurut Jenjang Pendidikan Tahun ,9 93,3 94,1 78,1 79,6 79,8 81,4 82,4 84,5 88,0 69,2 84,5 80,5 63,8 71,7 74,5 76,3 53,0 63,6 60,6 60,3 54,9 35,5 25,7 26,8 22,2 18,6 15,2 15,3 9, SD SMP SMA/SMK Ketetapan syarat guru untuk memperoleh sertifikasi pendidik sesuai amanat UU No. 14/2005 juga telah dilaksanakan. Dalam kurun waktu 2006 sampai 2009, persentase guru yang bersertifikasi meningkat dari 3,0 persen menjadi 21,1 persen. Pada tahun 2013 persentasenya meningkat lagi menjadi 49,4 persen. Guru TK dan guru SD memiliki persentase yang paling rendah, yaitu berturut-turut sebesar 33,3 persen dan 47,2 persen. Sementara itu persentase guru SMA yang sudah bersertifikasi sudah mencapai 62,9 persen. Untuk jenjang pendidikan tinggi, sertifikasi baru dilakukan mulai tahun 2008, dan pada tahun 2013 persentase dosen yang sudah bersertifikasi pendidik mencapai 42,3 persen. Selain dilakukan melalui peningkatan kualifikasi akademik, sertifikasi, dan peningkatan kesejahteraan guru, peningkatan profesionalisme guru didukung pula oleh perbaikan sistem pembinaan guru. Upaya peningkatan kompetensi guru terhadap konten dan pendekatan pedagogi dilakukan melalui Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk jenjang SD/MI dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk jenjang SMP/MTs, dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS). Program induksi untuk guru PNS baru juga dikembangkan untuk menjamin guru baru dapat melaksanakan pembelajaran secara baik. Untuk mendukung program ini, di beberapa kabupaten/kota juga telah mulai dilakukan redistribusi guru untuk menyeimbangkan ketersediaan guru antarsekolah Capaian Outcome Wajardikdas 9 Tahun Pembangunan pendidikan yang antara lain dilakukan melalui program Wajardikdas, selama kurun waktu 2004 sampai dengan 2013 telah berhasil memperbaiki taraf pendidikan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas dari 7,2 tahun pada tahun 2004 menjadi 7,7 tahun pada tahun 2009 dan 8,1 tahun pada tahun Selain itu, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun keatas juga meningkat signifikan dari 90,4 persen pada tahun 2004 menjadi 92,6 persen pada tahun 2009, dan terus meningkat menjadi 94,1 persen pada tahun Jika dibedakan menurut kelompok usia, tampak bahwa yang masih bermasalah adalah keberaksaraan penduduk usia 45 tahun keatas yang pada tahun 2013 baru mencapai 84,8 persen, meskipun angka ini juga sudah mengalami peningkatan dari 75,1 persen. Untuk kelompok usia tahun, angka melek aksara-nya sudah sangat tinggi, yaitu 98,4 persen pada tahun 2013 yang meningkat dari 96,7 persen pada tahun

14 Gambar 5 Perkembangan Angka Melek Aksara (%) Menurut Kelompok Usia Tahun ,0 95,0 90,0 85,0 80,0 75,0 70,0 65,0 60,0 96,7 96,9 97,1 97,0 98,1 98,2 98,3 97,7 98,0 98,4 90,4 90,9 91,5 91,9 92,2 92,6 92,9 92,8 93,3 94,1 84,8 81,1 78,9 80,4 81,3 81,8 82,1 82,8 77,2 75, th 45 th + 15 th Sumber: BPS, 2014 Sejak tahun 2004 taraf pendidikan penduduk Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2004 penduduk usia 15 tahun keatas yang berpendidikan SMP/MTs/sederajat atau lebih baru mencapai 43,8 persen, dan pada tahun 2013 menjadi 52,2 persen. Sementara itu penduduk dari kelompok usia yang sama yang tidak pernah sekolah turun dari 9,0 persen menjadi 5,6 persen. Perubahan situasi ini terutama merupakan keberhasilan Program Wajib Belajar Pendidikan Sembilan Tahun yang dimulai sejak tahun Peningkatan taraf pendidikan penduduk tersebut sangat ditentukan oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan. Dalam kurun waktu , angka partisipasi pendidikan untuk semua jenjang meningkat sebagaimana terlihat dalam Gambar 6. Angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/sederajat meningkat dari 81,2 persen pada tahun 2004 menjadi 98,1 persen pada tahun 2009 dan meningkat lagi menjadi 103,9 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 12,2 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 12,7 juta siswa pada tahun Sementara itu APK SMA/MA/SMK/sederajat meningkat dari 48,3 persen pada tahun 2004, menjadi 69,6 persen pada tahun 2009, dan 78,7 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 8,5 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 9,8 juta siswa pada tahun Dalam periode yang sama APK jenjang pendidikan tinggi juga meningkat hampir dua kali lipat dari 14,6 persen pada tahun 2004 menjadi 28,6 persen pada tahun 2012 atau sebanyak 6,0 juta mahasiswa. 100% Gambar 6 Perkembangan Persentase Penduduk Usia 15 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun % 80% 23,7 24,4 25,8 26,7 27,5 28,5 29,7 29,4 31,1 31,4 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 20,1 19,5 19,9 19,8 20,2 19,8 20,6 20,7 21,0 20,8 31,9 32,1 31,0 30,4 29,1 29,3 29,7 28,7 28,1 28,5 15,3 15,2 15,0 14,4 15,0 14,9 12,7 14,7 13,9 13,8 9,0 8,8 8,3 8,6 8,2 7,5 7,3 6,4 5,9 5, SM +/sederajat SMP/sederajat SD/sederajat Tidak tamat SD Tidak/belum sekolah Sumber: BPS, 2014 Peningkatan taraf pendidikan penduduk tersebut sangat ditentukan oleh meningkatnya angka partisipasi pendidikan. Dalam kurun waktu , angka partisipasi pendidikan untuk semua jenjang meningkat 6

15 sebagaimana terlihat dalam Gambar 6. Angka partisipasi kasar (APK) SMP/MTs/sederajat meningkat dari 81,2 persen pada tahun 2004 menjadi 98,1 persen pada tahun 2009 dan meningkat lagi menjadi 103,9 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 12,2 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 12,7 juta siswa pada tahun Sementara itu APK SMA/MA/SMK/sederajat meningkat dari 48,3 persen pada tahun 2004, menjadi 69,6 persen pada tahun 2009, dan 78,7 persen pada tahun 2012 atau ekuivalen dengan peningkatan dari 8,5 juta siswa pada tahun 2009 menjadi 9,8 juta siswa pada tahun Dalam periode yang sama APK jenjang pendidikan tinggi juga meningkat hampir dua kali lipat dari 14,6 persen pada tahun 2004 menjadi 28,6 persen pada tahun 2012 atau sebanyak 6,0 juta mahasiswa. Gambar 7 Perkembangan APM dan APK Menurut Jenjang Pendidikan Tahun ,0 112,5 116,2 98,1 103,9 94,1 95,8 95,2 74,2 78,8 81,2 78,7 65,2 69,6 48,3 18,4 27,9 14, APM SD/sederajat APK SD/sederajat APM SMP/sederajat APK SMP/sederajat APK SMA/sederajat APK PT Sumber: Kemdikbud, Capaian Impact Program Wajardikdas 9 tahun Pelaksanaan program Wajardikdas yang selama ini dilakukan tentunya mempengaruhi capaian pembangunan bidang pendidikan yang pada akhirnya akan memberikan kontribusi pada peningkatan kualitas SDM Indonesia yang tercermin dari meningkatnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam delapan tahun terakhir kualitas sumber daya manusia (SDM) mengalami peningkatan, tercermin dari makin tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diwakili oleh tingkat pendidikan, kesehatan, dan pendapatan. IPM Indonesia pada tahun 2013 mencapai 73,8, meningkat dari 68,7 pada tahun Indeks ini menggambarkan rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas selama 8,14 tahun dan angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 94,1 persen. 3. Rekomendasi Keberhasilan Program Wajardikdas 9 Tahun ditunjukkan dengan pencapaian APK tingkat SD/setara dan tingkat SMP/setara. Terdapat beberapa hal yang dapat menggambarkan kondisi dan tingkat pencapaian pembangunan pendidikan dasar berkaitan dengan aspek perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu pendidikan, relevansi, efesiensi dan efektivitas pengelolaan, antara lain: 1. Angka Partisipasi, dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). Jika APK lebih besar dari APM, maka hal ini menunjukkan adanya siswa diluar kelompok usia 7-12 tahun yang bersekolah di SD/setara. Sesuai dengan prioritas program Wajardikdas 9 tahun, adanya siswa berumur kurang dari 7 tahun di jenjang SD/setara terjadi karena sekolah tersebut masih dapat menampung mereka. Di sisi lain, adanya anak-anak usia di atas 12 tahun yang masih di SD/setara disebabkan oleh dua kemungkinan, pertama, anak masuk SD diatas usia 7 7

16 tahun; kedua, adanya anak yang mengulang kelas, sehingga baru dapat menyelesaikan jenjang Sekolah Dasar (SD) pada usia di atas 12 tahun. 2. Angka Putus Sekolah. Masih adanya anak yang putus sekolah pada umumnya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya faktor sosial ekonomi dengan membantu ekonomi orang tuanya mencari nafkah. Angka putus sekolah SD/setara dan SMP/setara yang cukup tinggi tersebut perlu ditangani secara lebih serius, dengan mengefektifkan sejumlah lembaga pendidikan alternatif, sehingga masalah putus sekolah ini tidak berdampak pada berkurangnya akses usia 7-15 tahun terhadap lembaga-lembaga pendidikan dasar. 3. Angka melanjutkan lulusan SD/setara ke jenjang SMP/setara. Semakin tinggi nilainya menunjukkan semakin besar para lulusan SD/setara dapat melanjutkan ke SMP sesuai dengan program Wajardikdas 9 Tahun yang dicanangkan Pemerintah. 4. Indikator Rasio-Rasio: (a) Rasio siswa per sekolah pada jenjang SD/setara dan SMP/setara; (c) Rasio kelas per ruang kelas; (d) Tingkat kelayakan guru; (e) Tingkat Pelayanan Sekolah; serta (f) Tingkat kesulitan sekolah. Berdasarkan beberapa hal tersebut, berikut adalah beberapa rekomendasi yang diharapkan dapat digunakan dalam merumuskan kebijakan dalam perencanaan pembangunan bidang pendidikan ke depan: 1. Diperlukan pendekatan lain untuk meningkatkan angka partisipasi sekolah di Indonesia, tidak hanya melalui peningkatan faktor input dan output sektor pendidikan, yang selama ini dilakukan. 2. Pengambil kebijakan harus menfokuskan pula pada pembangunan daerah-daerah terpencil atau tertinggal agar PDRB di daerah tersebut naik, angka kemiskinan turun dan terjadinya perbaikan akses fasilitas umum, sehingga angka partisipasi murni APM SD/MI dan APK SMP/MTs meningkat. 3. Diperlukan mekanisme kompensasi bagi rumah tangga di daerah-daerah miskin, sehingga mereka tidak kehilangan pendapatan akibat anak-anak mereka sekolah sehingga tidak dapat membantu mencari nafkah. 4. Diperlukan pembinaan dan pemberdayaan penduduk di luar usia sekolah dan di luar sistem pendidikan, sehingga terjadi penurunan angka buta huruf, yang pada akhirnya meningkatkan APK SMP/MTs dan APM SD/MI. 5. Diperlukan adanya komitmen bersama antar pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bahkan hingga pada tingkat penerima alokasi anggaran untuk penyelenggaran pendidikan dasar. Diharapkan hal ini dapat menurunkan kesenjangan pembiayaan sektor pendidikan antar daerah. 6. Peran provinsi dalam rangkaian pelaksanaan program Wajardikdas perlu ditingkatkan. Peran provinsi cukup krusial utamanya dalam hal pemerataan infrastruktur pendidikan baik yang bersifat fisik seperti sekolah dan ruang kelas maupun yang bersifat non fisik seperti ketersediaan guru dan kualitas guru. 8

17 2 EVALUASI PEMBANGUNAN KESEHATAN: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANGSUNGAN HIDUP ANAK * Abstrak Pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang harus terus menerus diupayakan oleh pemerintah. Derajat kesehatan suatu negara dapat dilihat dari indikator utama kesehatan, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR). Angka kematian bayi merefleksikan kelangsungan hidup anak yang berarti masih tingginya AKB Indonesia menunjukkan kelangsungan hidup anak di Indonesia masih rendah. Studi empiris di negara sedang berkembang lain, seperti India dan Kenya mengenai kelangsungan hidup anak menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor sektor kesehatan seperti jumlah puskesmas, bidan, infrastruktur, tetapi juga faktor diluar sektor kesehatan seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga. Hasil regresi nasional, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization; serta faktor sisi permintaan, yaitu rata-rata lama sekolah. Jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu dan rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak atau akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu faktor landlock juga menunjukkan pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan kemudahan suatu lokasi kabupaten/kota untuk dicapai, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu, semakin terpencil suatu lokasi kabupaten/kota menunjukkan kelangsungan hidup anak akan semakin rendah. Faktor budaya dan political fractionalization menunjukkan terdapat pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak, yang berarti setiap peningkatan faktor budaya dan political fractionalization, akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak. Tingkat kematian anak dan nutrisi anak dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Hasil analsis menunjukan faktor-faktor di sisi penawaran sangat berperan dalam menentukan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia dibandingkan faktor-faktor di sisi permintaan. Faktor-faktor sisi penawaran tersebut adalah jumlah dokter umum, persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization. Menyikapi temuan dari kajian ini, maka dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: [1] Pembangunan nasional hendaknya lebih menitikberatkan perhatiannya pada pembangunan sektor sosial dibandingkan pembangunan sektor ekonomi; [2] Dibutuhkan usaha besar pemerintah untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat (sisi permintaan) terhadap peningkatan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia; [3] Pemerintah daerah hendaknya dapat melakukan terobosan-terobosan kebijakan di sektor kesehatan yang lebih mampu memberi warna spesifik kedaerahan yang sesuai, dibandingkan hanya dengan melakukan replikasi atau melanjutkan program-program pemerintah pusat saja. * Diringkas dari hasil Kajian Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak (2009), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Sesuai amanat UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Program Kesehatan Anak disusun berdasarkan Upaya Pemenuhan Hak Anak yang Komprehensif dan Terpadu (Right Based Approach) dengan empat prinsip hak-hak anak yaitu (i) non diskriminasi, (ii) demi kepentingan terbaik bagi anak, (iii) hak anak untuk hidup dan berkembang, dan (iv) menghargai pendapat anak. Sementara itu, beberapa studi menunjukkan bahwa child survival (kelangsungan hidup anak) tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor sektor kesehatan seperti jumlah puskesmas, bidan, infrastruktur, tetapi juga faktor diluar sektor kesehatan seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga. Tingginya kematian anak di Indonesia pada usia nol hingga satu tahun, menunjukkan (i) masih rendahnya status kesehatan ibu dan bayi baru lahir, (ii) rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak, (iii) rendahnya perilaku ibu hamil dan keluarga, serta (iv) masyarakat yang belum mendukung perilaku hidup bersih dan sehat. Selama ini upaya meningkatkan kelangsungan hidup anak merupakan salah satu prioritas dalam pembangunan kesehatan. Menurut definisi, kelangsungan hidup anak adalah salah satu area dari ilmu kesehatan masyarakat yang direfleksikan dengan penurunan kematian anak. Intervensi kelangsungan hidup anak didesain untuk menurunkan tingkat resiko penyebab kematian anak seperti diare, malaria dan kondisi neonatal. 9

18 Sejalan dengan itu, pembangunan kesehatan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang harus terus diupayakan untuk ditingkatkan oleh pemerintah. Namun demikian, pembangunan kesehatan Indonesia cukup tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang kondisi sosial ekonominya tidak jauh berbeda, seperti Malaysia, Thailand, Srilanka dan RRC. Derajat kesehatan masing-masing negara ini dapat dilihat dari indikator utama kesehatan, seperti Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR). Perbandingan AKB Indonesia dengan keempat negara tersebut menunjukkan hasil yang kurang baik. AKB Indonesia berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2007 adalah 34 per kelahiran hidup. Sementara itu berdasarkan sumber CIA World Factbook (2009) yang dikutip dalam portal indexmundi, didapatkan bahwa AKB Malaysia cukup rendah yaitu sekitar 15,87 per kelahiran hidup, kemudian diikuti Thailand yaitu 17,63 per kelahiran hidup. AKB Srilanka dan RRC masih berada di atas Malaysia dan Thailand yaitu sebesar 18,57 per kelahiran hidup dan 20,25 per kelahiran hidup. Apabila dibandingkan, maka AKB Indonesia hampir dua kali lipat besarnya dari rata-rata AKB di empat negara tersebut. Kondisi di atas mencerminkan bahwa kelangsungan hidup anak di Indonesia diperkirakan cukup tertinggal dibandingkan dengan ke empat negara tersebut. Selain faktor terkait dengan kesehatan seperti rendahnya pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, faktor sosial ekonomi juga sangat mempengaruhi terhadap kelangsungan hidup anak. Keluarga dengan tingkat pendidikan dan sosial ekonomi rendah kurang dapat menjaga kelangsungan hidup anaknya yang dicerminkan dengan tingginya angka kematian bayi dan balita. Angka kematian bayi pada penduduk yang tidak berpendidikan masih tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan yang berpendidikan tinggi, begitu pula dengan AKB pada tingkat sosial ekonomi rendah masih lebih besar dibandingkan dengan tingkat ekonomi tinggi. Hal yang sama juga terjadi antar perkotaan dan perdesaan, yaitu AKB di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Kesenjangan tersebut juga dapat dilihat dari antar provinsi. Mengingat kelangsungan hidup anak sangat menentukan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang, maka faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi kelangsungan hidupa anak harus dikenali dan ditanggulangi permasalahan-permasalahannya. Selanjutnya, diperlukan intervensi yang tepat untuk menjaga kelangsungan hidup anak seperti mengurangi angka kematian bayi dan balita. Studi empiris di negara sedang berkembang lain, seperti India dan Kenya, mengenai kelangsungan hidup anak, menunjukkan bahwa tidak hanya faktor di dalam sektor kesehatan, seperti jumlah puskesmas, bidan, dan infrastruktur kesehatan yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak, tetapi juga faktor di luar sektor kesehatan, seperti tingkat pendidikan orang tua dan tingkat pendapatan rumah tangga. Terkait dengan hal tersebut, untuk memperoleh masukan terhadap kebijakan yang diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup anak, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak di Indonesia. Adapun metode yang digunakan untuk dapat mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak adalah metode Panel Data Analysis. Sebagaimana metode ekonometrika lainnya, metode analisis data panel ini dapat digunakan untuk menguji atau memperkirakan dampak dari perubahan satu faktor terhadap outcomes yang diharapkan (dalam hal ini angka kematian bayi sebagai indikator dari kelangsungan hidup anak). Adapun model dasar yang digunakan dalam evaluasi ini adalah model data panel yang didasarkan pada teori Mosley & Chen (1984) dan Filmer (2003) mengenai kelangsungan hidup anak. Model ini mengangkat masalah kelangsungan hidup anak di negara sedang berkembang dengan memasukkan faktor karakteristik sosial ekonomi di suatu negara atau daerah. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder yang digunakan dalam studi ini bersumber dari publikasi UNDP, BPS, dan Bappenas. Selain itu juga untuk mendukung analisis dengan data sekunder, digunakan data dan informasi yang bersifat primer yang diperoleh di tingkat daerah. Data dan informasi yang bersifat primer ini dikumpulkan melalui indepth interview dan FGD yang dilakukan di tingkat daerah. Tujuan Evaluasi Pembangunan Kesehatan: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor sisi permintaan dan penawaran dari sektor kesehatan yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak; (2) Memperoleh gambaran pelaksanaan program sektor 10

19 kesehatan, yang berkaitan dengan kelangsungan hidup anak; dan (3) Menyusun rekomendasi kebijakan terkait pelaksanaan program sektor kesehatan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup anak. 2. Hasil Evaluasi 2.1. Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Pembangunan Kesehatan: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Anak pada Gambar 1. menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Input dari pembangunan kesehatan ibu dan anak merupakan kegiatan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak dan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi, berikut dengan pembiayaan, sumber daya kesehatan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan, adalah perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan dan ketersedian tenaga medis. Kemudian, dalam pencapaian outcome (AKI dan AKB) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kualitas SDM, yang dapat diukur oleh IPM. Gambar 1 Kerangka Evaluasi Kelangsungan Hidup Anak INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Prioritas Nasional 2. Kesehatan dalam RPJMN , Kegiatan Prioritas: Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi Perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan Ketersedian tenaga medis terlatih Selama periode , fasilitas kesehatan dasar dan rujukan, yaitu jumlah: puskesmas perawatan; puskesmas non-perawatan; puskesmas PONED; rumah sakit; rumah sakit PONEK; tempat tidur RS; posyandu; pustu; dan poskesdes menunjukan trend peningkatan tiap tahunnya. Peningkatan kelangsungan hidup anak: Penurunan angka kematian anak. o Selama periode , berdasarkan data SDKI, AKB; AKBA dan angka kematian neonatal menunjukan penurunan yang signifikan. Indikator IPM yang menunjukan tingkat kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Selama periode , IPM Indonesia menunjukan peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2012, IPM Indonesia berada pada peringkat 121 (dari 186 negara) Kebijakan Kesehatan RPJMN menyebutkan beberapa permasalahan kesehatan yang dihadapi oleh pemerintah saat ini yaitu (i) disparitas status kesehatan; (ii) beban ganda penyakit; (iii) kinerja pelayanan kesehatan yang rendah; (iv) perilaku masyarakat yang kurang mendukung pola hidup bersih dan sehat; (v) rendahnya kondisi kesehatan lingkungan; (vi) rendahnya kualitas, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan; (vii) terbatasnya tenaga kesehatan dan distribusi tidak merata; dan (viii) rendahnya status kesehatan penduduk miskin. Dalam RPJMN , pembangunan kesehatan merupakan prioritas nasional dengan dengan kegiatan prioritas: Pembinaan Pelayanan Kesehatan Anak; dan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi. Prioritas ini ditujukan untuk mencapai target Substansi Inti Program Aksi Bidang Kesehatan RPJMN , yaitu penurunan tingkat kematian ibu saat melahirkan dari 307 per kelahiran 11

20 pada 2008 menjadi 118 pada 2014, serta tingkat kematian bayi dari 34 per kelahiran pada 2008 menjadi 24 pada Selanjutnya, dalam Bidang Sosial Budaya dan Kehidupan Beragama, peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan merupakan prioritas bidang dengan fokus prioritas peningkatan kesehatan ibu, bayi, dan balita sebagai salah satu fokus prioritas bidang Capaian Output Perkembangan infrastruktur fasilitas kesehatan dan ketersedian tenaga medis terlatih merupakan ukuran output kebijakan kesehatan ibu dan anak. Selama periode , fasilitias kesehatan dasar dan rujukan, yaitu: puskesmas; puskesmas perawatan; puskesmas non-perawatan; puskesmas PONED; rumah sakit; rumah sakit PONEK; tempat tidur RS; posyandu; pustu; dan poskesdes menunjukan trend peningkatan tiap tahunnya. Ketersediaan dokter dan dokter gigi PTT menunjukan peningkatan selama periode Namun, perkembangannya berfluktuasi tiap tahun. Tabel 1 Perkembangan Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Periode Sumber: Pencapaian KIB I dan KIB II Gambar 2 Perkembangan Dokter dan Dokter Gigi Sebagai PTT Periode Sumber: KIB I dan KIB II 12

21 2.4. Capaian Outcome Terkait dengan kelangsungan hidup anak, ukuran capaian outcome direfleksikan dengan angka kematian anak. Selama periode , berdasarkan data SDKI, angka kematian bayi; angka kematian balita dan angka kematian neonatal menunjukan penurunan yang signifikan. Gambar 3 Angka Kematian Anak (per kelahiran hidup), Periode Sumber: SDKI, berbagai tahun Kelangsungan hidup anak dipengaruhi oleh sisi permintaan dan penawaran. Sisi permintaan adalah perilaku atau karakteristik rumah tangga dan individual seperti sanitasi, tindakan pencegahan penyakit dalam keluarga, pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua. Semakin baik sanitasi, tindakan pencegahan penyakit dalam keluarga, pendapatan, pendidikan dan pengetahuan orang tua, maka semakin rendah kematian anak dan semakin baik nutrisi anak dalam menjaga kelangsungan hidup anak. Tingkat pendidikan ibu memiliki korelasi yang kuat dengan tingkat kematian anak. Selain itu, akses dan penggunaan air bersih, sanitasi, kebiasaan mencuci tangan pada keluarga dan individu memiliki efek langsung terhadap status kesehatan. Sedangkan dari sisi penawaran, kelangsungan hidup anak yang yang menjadi faktor penyebab kematian anak dan penentu tingkat nutrisi anak adalah kebijakan pemerintah baik kebijakan di tingkat mikro maupun makro sekaligus implementasi kebijakannya, kapabilitas dari pemerintah daerah, dan infrastruktur serta akses dan kualitas layanan kesehatan. Pelayanan kesehatan di sini sangat penting dalam mempengaruhi outcomes kesehatan (kematian anak dan tingkat nutrisi anak). Berdasarkan hasil pengolahan data dengan model panel data dari 456 kabupaten/kota di Indonesia dari tahun , maka analisis persamaan regresi dilakukan berdasarkan tingkat nasional dan regional (pulau). Regresi tingkat nasional dilakukan untuk menelaah faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak secara keseluruhan (umum), sementara regresi regional (pulau) dilakukan dengan tujuan untuk membandingkan kinerja antar daerah yang berkaitan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup anak. Hal ini tentunya juga akan mengkonfirmasi temuan lapang yang telah dilakukan Analisis Nasional Hasil regresi nasional, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak yang direfleksikan oleh angka kematian bayi dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization; serta faktor sisi permintaan, yaitu rata-rata lama sekolah. Jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu dan ratarata lama sekolah memiliki pengaruh negatif terhadap angka kematian bayi, artinya terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Setiap peningkatan jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, lama rata-rata lama sekolah, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Selain itu faktor landlock juga menunjukkan pengaruh positif 13

22 terhadap kelangsungan hidup anak. Artinya, setiap peningkatan kemudahan suatu lokasi kabupaten/kota untuk dicapai, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak. Dan semakin terpencil suatu lokasi kabupaten/kota yang menunjukkan maka kelangsungan hidup anak akan semakin rendah. Faktor budaya dan political fractionalization memiliki pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak. Hal ini berarti setiap peningkatan faktor budaya dan political fractionalization, akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak Analisis Regional A. Pulau Sumatera Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah, produk domestik regional bruto, budaya dan political fractionalization. Kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor di sektor kesehatan, tapi juga dipengaruhi oleh karakteristik sosial ekonomi. Jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah dan produk domestik regional bruto memiliki pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Hal ini berarti setiap peningkatan jumlah dokter umum, jumlah rumah sakit dan kesejahteraan masyarakat di Pulau Sumatera yang direfleksikan dengan rata-rata lama sekolah dan produk domestik regional bruto akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera. Lebih lanjut, faktor budaya dan political Fractionalization juga memiliki pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak di Pulau Sumatera. Artinya setiap peningkatan faktor budaya dan political Fractionalization akan berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak. B. Pulau Jawa Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa dipengaruhi oleh faktor sisi penawaran, yaitu pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, ratarata lama sekolah, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan dan panjang jalan distrik. Faktor-faktor sisi penawaran ini lebih banyak mempengaruhi kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa dibandingkan dengan faktor sisi permintaan (rata-rata lama sekolah). Panjang jalan distrik, pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, rata-rata lama sekolah, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan dan memiliki pengaruh negatif terhadap angka kematian bayi yang menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa. Hal ini berarti setiap peningkatan panjang jalan distrik, rata-rata lama sekolah, pemberian vaksinasi DPT, jumlah dokter umum, jumlah bidan, jumlah rumah sakit, dan jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Jawa. C. Pulau Bali, NTB dan NTT Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Bali, NTB dan NTT dipengaruhi oleh produk domestik regional bruto, jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, dan jumlah posyandu. Keempat variabel tersebut menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Artinya setiap peningkatan produk domestik regional bruto, jumlah dokter umum, jumlah persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, dan jumlah posyandu akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Bali, NTB dan NTT. 14

23 D. Pulau Kalimantan Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Kalimantan dipengaruhi oleh jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah. Variabel jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah menunjukkan pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan jumlah dokter umum dan rata-rata lama sekolah, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Kalimantan. E. Pulau Sulawesi Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Sulawesi dipengaruhi oleh jumlah rumah sakit dan pemberian vaksinasi DPT. Kedua variabel tersebut menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak, artinya setiap peningkatan jumlah rumah sakit dan pemberian vaksinasi DPT, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Sulawesi. F. Pulau Papua dan Maluku Hasil regresi menunjukkan bahwa kelangsungan hidup anak di Pulau Papua dan Maluku dipengaruhi oleh rata-rata lama sekolah, political fractionalization dan pemberian vaksinasi BCG. Rata-rata lama sekolah dan pemberian vaksinasi BCG menunjukkan terdapat pengaruh positif terhadap kelangsungan hidup anak. Artinya, setiap peningkatan rata-rata lama sekolah dan pemberian vaksinasi BCG, akan berdampak pada peningkatan kelangsungan hidup anak di Pulau Papua dan Maluku. Sementara itu political fractionalization menunjukkan terdapat pengaruh negatif terhadap kelangsungan hidup anak sehingga setiap peningkatan rata-rata political fractionalization maka berdampak pada penurunan kelangsungan hidup anak. Hal ini menunjukkan bahwa situasi politik dan tingkat pendidikan terutama orang tua di Papua dan Maluku berperan sangat penting dalam meningkatkan kelangsungan hidup anak Capaian Impact Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan pembangunan kesejahteraan rakyat adalah Indeks Pembangunan Masyarakat (IPM). Peningkatan kelangsungan hidup anak yang selama ini telah dilakukan tentunya mempengaruhi capaian pembangunan kesehatan yang pada akhirnya memberi kontribusi kepada peningkatan IPM. Selama periode , IPM Indonesia menunjukan peningkatan tiap tahunnya. Pada tahun 2012, IPM Indonesia berada pada peringkat 121 (dari 186 negara). Pada tingkat daerah, IPM Provinsi DKI Jakarta selalu berada pada peringkat 1 (tertinggi), selama periode Sedangkan, pada periode yang sama, Provinsi Papua menempati peringkat 33 (terakhir) berdasarkan IPM (Tabel 2). 3. Kesimpulan dan Rekomendasi Dari hasil analsis dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor di sisi penawaran sangat berperan dalam menentukan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia dibandingkan faktor-faktor di sisi permintaan. Faktor-faktor sisi penawaran tersebut adalah jumlah dokter umum, persalinan yang dibantu oleh tenaga kesehatan, jumlah posyandu, budaya, landlock dan political fractionalization. Hal ini membawa konsekuensi logis pada pentingnya usaha-usaha capacity building bagi tenaga kesehatan yang merupakan tugas wajib pemerintah pusat dan daerah. Menyikapi hasil ini, dapat dirumuskan beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain: [1] Pembangunan nasional hendaknya lebih menitikberatkan perhatiann kepada pembangunan sektor sosial dibandingkan pembangunan sektor ekonomi; [2] Dibutuhkan usaha besar untuk semakin meningkatkan kesadaran masyarakat (sisi permintaan) terhadap peningkatan angka harapan hidup bayi umur 0-1 tahun di Indonesia; [3] Pemerintah daerah hendaknya dapat melakukan terobosan-terobosan kebijakan di sektor kesehatan yang lebih mampu memberi warna spesifik kedaerahan yang sesuai, dibandingkan hanya melakukan replikasi atau melanjutkan program-program pemerintah pusat saja. 15

24 Tabel 2 Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Periode Provinsi KIB I KIB II Wilayah Sumatera 1. Aceh 68,73 69,05 69,41 70,35 70,76 71,31 71,70 72,16 2. Sumatera Utara 71,42 72,03 72,46 72,78 73,29 73,80 74,19 74,65 3. Sumatera Barat 70,52 71,19 71,65 72,23 72,96 73,44 73,78 74,28 4. Riau 72,18 73,63 73,81 74,63 75,09 75,60 76,07 76,53 5. Jambi 70,08 70,95 71,29 71,46 71,99 72,45 72,74 73,30 6. Sumatera Selatan 69,59 70,23 71,09 71,40 72,05 72,61 72,95 73,42 7. Bengkulu 69,95 71,09 71,28 71,57 72,14 72,55 72,92 73,40 8. Lampung 68,38 68,85 69,38 69,78 70,30 70,93 71,42 71,94 9. Bangka Belitung 69,60 70,68 71,18 71,62 72,19 72,55 72,86 73, Kepulauan Riau 70,81 72,23 72,79 73,68 74,18 74,54 75,07 75,78 Wilayah Jawa-Bali 11. DKI Jakarta 75,76 76,07 76,33 76,59 77,03 77,4 77,6 78,0 12. Jawa Barat 69,13 69,93 70,32 70,71 71,12 71,6 72,3 72,7 13. Jawa Tengah 68,88 69,78 70,25 70,92 71,60 72,1 72,5 72,9 14. DI Yogyakarta 72,91 73,50 73,70 74,15 74,88 75,2 75,8 76,3 15. Jawa Timur 66,85 68,42 69,18 69,78 70,38 71,1 71,6 72,2 16. Banten 67,89 68,80 69,11 69,29 69,70 70,1 70,5 71,0 17. Bali 69,13 69,78 70,07 70,53 70,98 71,5 72,3 72,8 Wilayah Nusa Tenggara 18. NTB 60,60 62,40 63,0 63,71 64,12 64,66 65,2 66, NTT 62,70 63,60 64,80 65,36 66,15 66,60 67,26 67,75 Wilayah Kalimantan 20. Kalimantan Barat 65,42 66,20 67,08 67,53 68,17 68,79 69,15 69, Kalimantan Tengah 71,71 73,22 73,40 73,49 73,88 74,36 74,64 75, Kalimantan Selatan 66,74 67,44 67,75 68,01 68,72 69,30 69,92 70, Kalimantan Timur 72,24 72,94 73,26 73,77 74,52 75,11 75,56 76,22 Wilayah Sulawesi 24. Sulawesi Utara 73,4 74,2 74,4 74,7 75,2 75,7 76,1 76,5 25. Sulawesi Tengah 67,3 68,5 68,9 69,3 70,1 70,7 71,1 71,6 26. Sulawesi Selatan 67,8 68,1 68,9 69,7 70,2 70,9 71,6 72,1 27. Sulawesi Tengggara 66,7 67,5 67,8 68,3 69,0 69,5 70,0 70,6 28. Gorontalo 65,4 67,5 68,0 68,8 69,3 69,8 70,3 70,8 29. Sulawesi Barat 64,4 65,7 67,1 67,7 68,6 69,2 69,6 70,1 Wilayah Maluku 30. Maluku 69,0 69,2 69,7 69,96 70,38 70,96 71,42 71, Maluku Utara 66,4 67,0 67,5 67,82 68,18 68,63 69,03 69,47 Wilayah Papua 32. Papua Barat 63,7 64,8 66,1 67,28 67,95 68,58 69,15 69, Papua 60,9 62,1 62,8 63,41 64,00 64,53 64,94 65,36 Indonesia 68,69 69,57 70,08 70,59 71,17 71,76 72,27 72,77 Sumber: KIB I dan KIB II 16

25 3 PERAN SEKTOR INFORMAL SEBAGAI KATUP PENGAMAN MASALAH KETENAGAKERJAAN * Abstrak Penciptaan lapangan kerja menjadi isu yang sangat penting dalam pembangunan sektor ketenagakerjaan dengan semakin meningkatnya jumlah tenaga kerja di Indonesia. Upaya penciptaan lapangan kerja telah dilakukan namun masih belum mencukupi. Kondisi pasar kerja Indonesia menunjukkan sebagian besar dari angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah. Berkaitan dengan hal tersebut, sektor informal terlihat cukup berperan dalam penanganan masalah ketenagakerjaan di Indonesia. Tujuan dari kajian ini adalah untuk memahami bagaimana terbentuknya sektor informal, meninjau apakah terjadi proses formalisasi sektor informal, dan merumuskan formulasi kebijakan dalam penanganan sektor informal. Dengan menggunakan teori-teori dualisme, teori pembangunan dualistik, analisis dilakukan menggunakan data makro dengan pengujian model data cross section meliputi seluruh provinsi di Indonesia. Berdasar hasil analisis, disimpulkan bahwa penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa Indonesia yang sangat lama telah membuat struktur dualistis dalam berbagai aspek, termasuk dalam struktur perekonomian. Kondisi dualisme sosial-ekonomi tersebut semakin diperburuk dengan adanya arah dan strategi industrialisasi yang bias ke perkotaan dan bersifat substitusi impor dengan teknologi modern dan padat modal. Pembangunan yang bias perkotaan ini menjadi penyebab utama perpindahan besar-besaran penduduk dari desa ke kota, dan karena kurangnya daya serap sektor formal mereka masuk ke sektor informal. Secara umum formalisasi sektor informal tidak terwujud. Kesempatan kerja di sektor informal kota merupakan daya tarik yang kuat bagi seseorang untuk bermigrasi ke kota. Penduduk desa bermigrasi ke kota adalah untuk mencari pekerjaan di sektor informal, bukan pada sektor formal. Terbukti juga bahwa tingkat upah sektor informal di desa merupakan pendorong terjadinya migrasi ke kota. Arus migrasi ke kota dapat dikurangi dengan meningkatkan upah riil di sektor informal desa, peningkatan upah riil di sektor informal desa akan menahan penduduk tetap tinggal di desa, dan sebaliknya penurunan upah riil akan mendorong penduduk desa untuk berpindah ke kota. Disamping itu, penciptaan lapangan kerja di kota harus diimbangi dengan perbaikan kebijakan di desa agar menjadi kebijakan yang produktif dalam upaya untuk memecahkan masalah perkotaan. * Diringkas dari hasil Kajian Peran Sektor Informal sebagai Katup Pengaman Masalah Ketenagakerjaan (2009), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Masalah utama yang dihadapi kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia hingga saat ini adalah bagaimana pemanfaatan sumber daya manusia yang melimpah dan kebanyakan tidak terlatih (unskilled) bagi pembangunannya, sehingga penduduk yang besar bukan merupakan beban pembangunan, melainkan sebagai modal pembangunan. Dalam hal ini, sektor informal menjadi penting karena kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar dan tidak menuntut tingkat keterampilan yang tinggi. Bahkan sektor informal ini bisa menjadi wadah pengembangan sumberdaya manusia, dimana tenaga kerja yang tidak terlatih (unskilled) tersebut dapat meningkatkan keterampilannya dengan memasuki sektor informal terlebih dahulu sebelum masuk ke sektor formal. Di negara-negara berkembang, sekitar persen populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sektor informal. Kebanyakan pekerja di sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau daerah lain. Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan yang cukup untuk sekedar mempertahankan hidup (survival). Sejak dekade 70-an Indonesia mengalami era pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dibarengi dengan pergeseran struktur yang cepat dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Oleh karena pertanian pada umumnya terdapat di desa sedangkan industri terdapat di kota, maka migrasi desa ke kota merupakan arah perpindahan tenaga kerja yang pada umumnya terjadi dalam proses industrialisasi. Tenaga kerja yang berlebih (terutama yang tidak mempunyai tanah) terdorong dan tertarik untuk mencari pekerjaan di kota. Berbagai faktor pendorong (push factor) di desa dan berbagai faktor penarik (pull factor) di kota mempengaruhi penduduk desa untuk pindah atau (bermigrasi) ke kota. 17

26 Saat ini, sektor informal bukan menjadi sektor transisi, tetapi justru menjadi sektor yang dituju oleh pencari kerja dari sektor tradisional (pertanian). Selain itu juga menjadi sektor yang dituju oleh pencari kerja pertama (first-job seekers) yang tidak tertampung di sektor formal maupun pekerja sektor formal yang tidak memperoleh penghasilan yang cukup, sehingga secara sambilan ataupun serius merangkap berusaha dan bekerja di sektor informal. Dari kedua hal tersebut maka menarik untuk mengkaji bagaimana kecenderungan sektor informal di Indonesia, apakah bersifat permanen ataukah temporer dan bagaimana proses formalisasi sektor informal. Masalah formalisasi sektor informal ini erat kaitannya dengan perencanaan ketenagakerjaan di Indonesia. Tujuan dari kajian ini antara lain: (1) Memahami bagaimana terbentuknya sektor informal di Indonesia, hal ini dilakukan dengan penelaahan aspek historis dari perekonomian Indonesia, sehingga dapat dipahami mengapa dan bagaimana sektor informal muncul dalam perekonomian di Indonesia; (2) Meninjau apakah terjadi proses formalisasi sektor informal di Indonesia; (3) Merumuskan formulasi kebijakan dalam penanganan sektor informal guna membantu memecahkan masalah ketenagakerjaan secara umum. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka evaluasi yang dibangun dalam evaluasi ini sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1. Pada level input, upaya peningkatan peran sektor informal dalam masalah ketenagakerjaan dilakukan melalui Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Beberapa kegiatan didalam program tersebut yaitu: 1) Pembentukan Forum Koordinasi Pemberdayaan Koperasi dan UMKM; 2) Perluasan pelayanan kredit/ pembiayaan bank bagi koperasi dan UMKM, yang didukung pengembangan sinergi dan kerja sama dengan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya; 3) Peningkatan peran lembaga keuangan bukan bank dalam mendukung pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, disertai dengan pengembangan jaringan informasinya; 4) Pengembangan dan penguatan sentra-sentra produksi/ klaster usaha skala mikro dan kecil, dan 5) Dukungan pengembangan kemitraan yang melibatkan koperasi dan UMKM dalam pengembangan produk-produk unggulan yang berbasis rantai nilai, subkontrak, alih teknologi, pemasaran/ ekspor, atau investasi. Pelaksanaan kegiatan tersebut secara umum berdampak terhadap pencapaian output, outcome, dan impact. Dalam kaitan ini, capaian output dicerminkan oleh indikator jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja menurut status pekerjaan utama. Capaian outcome dicerminkan oleh indikator rasio jumlah kesempatan kerja terhadap angkatan kerja, dan capaian impact dicerminkan oleh indikator pengangguran terbuka INPUT (Program/Kegiatan) Gambar 1. Kerangka Evaluasi OUTPUT OUTCOMES IMPACT Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM: 1. Pembentukan Forum Koordinasi Pemberdayaan Koperasi dan UMKM; 2. Perluasan pelayanan kredit/ pembiayaan bank bagi koperasi dan UMKM, yang didukung pengembangan sinergi dan kerja sama dengan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya. 3. Peningkatan peran lembaga keuangan bukan bank dalam mendukung pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, disertai dengan pengembangan jaringan informasinya. 4. Pengembangan dan penguatan sentra-sentra produksi/ klaster usaha skala mikro dan kecil. 5. Dukungan pengembangan kemitraan yang melibatkan koperasi dan UMKM dalam pengembangan produk-produk unggulan yang berbasis rantai nilai, subkontrak, alih teknologi, pemasaran/ ekspor, atau investasi. Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Status Pekerjaan Utama Rasio Kesempatan Kerja terhadap Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka 18

27 Perlu disadari bersama, bahwa permasalahan penangguran merupakan salah satu permasalahan pembangunan yang bersifat lintas sektor. Ketercapaian indikator pada level output, outcome, hingga impact ditentukan oleh pelaksanaan program dan kegiatan lintas sektor lainnya (selain Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM). 2.2 Kebijakan Dengan kondisi pasar kerja Indonesia yang bersifat dualistik, yaitu sebagian besar (70 persen) dari angkatan kerja bekerja pada lapangan kerja informal; sebagian besar memiliki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah (55 persen adalah lulusan sekolah dasar kebawah); serta sebagian besar berusia muda, kebijakan ketenagakerjaan diarahkan pada: 1. Menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluas-luasnya. Keadaan angkatan kerja yang sebagian besar berpendidikan sekolah dasar ke bawah serta berusia muda ini diperkirakan belum akan berubah secara berarti sampai 20 tahun mendatang. Dengan demikian lapangan kerja yang akan diciptakan sebaiknya mempertimbangkan tingkat keterampilan pekerja yang tersedia. Dengan kualifikasi angkatan kerja yang tersedia, maka lapangan kerja formal yang diciptakan didorong kearah industri padat pekerja, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. 2. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan dengan produktivitas lebih tinggi. Dukungan ini sangat diperlukan agar pekerja informal secara bertahap dapat berpindah ke lapangan kerja formal. Upaya-upaya pelatihan tenaga kerja harus terus ditingkatkan dan disempurnakan agar perpindahan tersebut dapat terjadi. Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja dilaksanakan dengan: 1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, pemutusan hubungan kerja, dan memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang lebih aman. 2. Menciptakan kesempatan kerja melalui investasi. Dalam hal ini Pemerintah harus menciptakan iklim usaha yang kondusif dengan peningkatan investasi. Iklim usaha yang kondusif memerlukan stabilitas ekonomi, politik dan keamanan, biaya produksi yang rendah, kepastian hukum dan peningkatan ketersediaan infrastruktur. 3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dilakukan antara lain dengan memperbaiki pelayanan pendidikan, pelatihan dan pelayanan kesehatan. 4. Memperbarui program-program perluasan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah, antara lain program pekerjaan umum, kredit mikro, pengembangan usaha kecil menengah, dan program pengentasan kemiskinan. 5. Memperbaiki berbagai kebijakan yang berkaitan dengan migrasi tenaga kerja, baik itu migrasi internal maupun eksternal. 6. Menyempurnakan kebijakan program pendukung pasar kerja dengan mendorong terbentuknya informasi pasar kerja serta membentuk bursa kerja. Selama ini memang belum ada kebijakan atau program khusus dari pemerintah yang berdampak langsung pada pengurangan pengangguran (kebijakan untuk mengurangi pengangguran biasanya dilakukan dengan kebijakan yang sifatnya tidak langsung, misalnya melalui kebijakan fiskal) sebagaimana yang telah dilakukan oleh negara lain. Sedangkan kebijakan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja adalah melalui sektor pendidikan. Beberapa kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung, untuk membantu pengembangan masyarakat melalui pembinaan kegiatan usaha pekerja di sektor informal memang sudah dilakukan. Namun terdapat kecenderungan kegiatan ekonomi di sektor informal dan nasib pekerja sektor informal belum banyak 19

28 mengalami perubahan. Prioritas sebaiknya diberikan pada sektor informal yang lebih memihak pada kepentingan masyarakat. Dalam rangka mengatasi masalah perkotaan, terutama masalah pengangguran dan setengah pengangguran, kebijakan pembangunan kota dan perluasan kesempatan kerja sektor formal kota merupakan cara yang lebih sering dipilih. Tujuannya agar dapat menampung pekerja sektor informal dan para penganggur di kota. Namun seringkali penciptaan lapangan kerja sektor formal di kota justru akan menarik pencari kerja baru ke kota, sehingga jumlah penganggur dan jumlah pekerja sektor informal di kota tidak akan berkurang. Selain perluasan kesempatan kerja sektor formal di kota, kebijakan lain yang sering ditempuh adalah pembangunan perkotaan. Pada umumnya, pembangunan perkotaan lebih cepat daripada pembangunan perdesaan, sehingga timbullah primacy yaitu keunggulan dari beberapa kota tertentu dibandingkan kota-kota lainnya maupun desa. Pembangunan kota dan primacy akan semakin menambah daya tarik kota bagi penduduk desa karena menjanjikan berbagai kesempatan dan peluang untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Dari hasil regresi juga terbukti bahwa tingkat urbanisasi mempunyai pengaruh positif yang signifikan terhadap proporsi penduduk yang bermigrasi ke kota provinsi lain. Selain itu, pembangunan kota membuat biaya bermigrasi ke kota menjadi semakin kecil. Dengan demikian, jumlah penduduk yang bermigrasi ke kota akan semakin meningkat. Dari hasil regresi juga terbukti bahwa biaya bermigrasi yang diwakili dengan jarak secara signifikan memiliki pengaruh negatif dengan proporsi penduduk yang bermigrasi ke kota. Jadi, secara umum kebijakan-kebijakan yang bersifat urban solution bukanlah cara yang tepat untuk mengatasi masalah pengangguran di kota. Kebijakan yang bersifat non-urban solution dibutuhkan. Salah satunya dengan menitikberatkan pada variabel tingkat upah informal desa. Berdasarkan hasil regresi, variabel ini terbukti signifikan sebagai push factor migrasi ke kota, sehingga peningkatan upah desa akan menyebabkan penduduk desa tidak terdorong untuk melakukan migrasi ke kota. Selama ini upah riil sektor informal terus mengalami penurunan dan perlu menjadi perhatian untuk dicarikan jalan keluarnya. Masyarakat desa yang berada di sektor informal perlu menjadi kelompok sasaran bagi program-program pembangunan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. Hal tersebut akan mengurangi kesenjangan desa-kota sekaligus mengurangi arus migrasi desa-kota. Kebijakan seringkali bersifat skeptis terhadap pengembangan sektor informal, terutama sektor informal di desa. Pembangunan sektor formal selalu diprioritaskan melalui berbagai kebijakan, sedangkan kebijakan untuk sektor informal seringkali masih sekedar lip-service. Saat ini, pembangunan desa masih kurang memberi stimulus bagi proses pendewasaan diri masyarakat desa dan aparat agar lebih mandiri dan berinisiatif dalam pembangunan. Pembangunan desa di masa lalu umumnya bersifat sentralistik, birokratik dan paternalistik. Pola seperti ini merupakan warisan masa kolonial, yaitu politik etis pada masa Belanda, dimana negara merupakan perencana, penyedia dana dan pelaksana pembangunan di desa. Program-program dan proyek-proyek pembangunan di masa sebelumnya seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat, sehingga mereka cenderung pasif dan tidak berinisiatif dalam menerima dan melaksanakannya. Pembangunan desa seharusnya tidak hanya berupa peningkatan dan pemasaran produksi, peningkatan pendapatan masyarakat (production centered development), tetapi juga berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia (people centered development) di desa. Dengan demikian mereka dapat mengekspresikan keinginan dan mengidentifikasi permasalahan sekaligus mencari alternatif jalan keluarnya. Salah satu bentuk pembangunan desa yang mandiri dan berswadaya adalah dengan pengembangan sektor informal di desa, terutama non-pertanian. Prioritas pembangunan desa pada masa sebelumnya lebih ditekankan pada pertanian, terutama tanaman padi, untuk mencapai swasembada pangan, sehingga hanya menguntungkan sebagian kecil warga desa yang mempunyai lahan pertanian yang cukup luas. Pengembangan sektor informal di desa juga menumbuhkembangkan kewirausahaan. 20

29 2.3 Capaian Output Munculnya sektor informal diukur melalui proporsi penduduk suatu provinsi yang bermigrasi ke provinsi lain. Faktor-faktor yang mempengaruhinya adalah jumlah pekerja pada sektor informal di kota provinsi tujuan, jumlah pekerja pada sektor formal di kota provinsi tujuan, tingkat upah rata-rata riil sektor formal di kota provinsi tujuan, tingkat upah riil rata-rata sektor informal desa dan sektor formal kota di provinsi asal, jarak antara provinsi asal dan provinsi tujuan, serta tingkat urbanisasi di provinsi tujuan. Kontribusi utama dari regresi dan analisis ekonometrika terhadap model migrasi yang dilakukan adalah membuktikan bahwa sektor informal di kota merupakan faktor penarik migrasi ke kota antar provinsi di Indonesia. Dengan terbuktinya pengaruh yang signifikan dari sektor informal terhadap migrasi ke kota, maka hal ini sekaligus menjadi alasan untuk menerima hipotesis bahwa tidak terjadi formalisasi sektor informal di kota. Migran dari desa justru tertarik ingin bekerja dan berusaha di sektor informal, tidak ada niat untuk mencari kerja di sektor formal atau mengalihkan usahanya ke sektor formal, atau dengan kata lain tidak ada niat untuk melakukan formalisasi. Beberapa hal yang memungkinkan mengapa mereka tidak berniat melakukan proses formalisasi adalah adanya berbagai kendala yang dihadapi pekerja maupun pengusaha sektor informal di kota dalam usahanya beralih kerja ataupun mengembangkan usahanya menjadi formal. Tabel 1 Penduduk Usia 15 Tahun ke Atas yang Bekerja menurut Status Pekerjaan Utama, Agustus Agustus 2013 ( juta orang) Status Pekerjaan Utama Berusaha Sendiri 19,50 20,32 20,92 21,05 21,03 19,41 18,90 19,21 Berusaha dibantu Buruh tidak Tetap Berusaha dibantu Buruh Tetap 19,95 21,02 21,77 21,93 21,68 19,66 19,46 19,34 2,85 2,88 3,02 3,03 3,26 3,72 3,99 3,86 Buruh/Karyawan 26,82 28,04 28,18 29,11 32,52 37,77 40,85 41,12 Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas di Non Pertanian 5,54 5,92 5,99 5,88 5,82 5,48 5,48 5,20 4,62 4,46 5,29 5,67 5,13 5,64 6,24 6,06 Pekerja Keluarga 16,17 17,28 17,38 18,19 18,77 17,99 18,12 17,97 Total 95,46 99,93 102,55 104,87 108,21 109,67 113,01 112,76 Sumber: Berita Resmi Statistik, BPS: Keadaan Ketenagakerjaan Indonesia Tabel 1 di atas menampilkan pekerja Indonesia menurut status pekerjaan utama. Empat macam status pekerjaan yaitu (1) berusaha sendiri; (2) pekerja bebas di pertanian; (3) pekerja bebas di non-pertanian; dan (4) pekerja keluarga, sering dipakai sebagai proksi pekerja sektor informal. Sedangkan tiga status pekerjaan lainnya, yaitu (1) buruh /karyawan, (2) berusaha dibantu buruh tetap, dan (3) berusaha dibantu buruh tidak tetap, dianggap sebagai proksi pekerja sektor formal. Terlihat bahwa sekitar 42,96 persen atau 48,44 juta penduduk usia 15 tahun ke atas (Agustus 2013) bekerja di sektor informal, sementara sisanya yaitu 64,32 juta penduduk usia 15 tahun ke atas (57,04 persen) bekerja di sektor formal. Jika melihat kondisi year to year, angka tersebut menunjukkan adanya penurunan daya serap tenaga kerja di sektor formal, dimana data statistik Agustus 2012 menunjukkan persentase tenaga kerja sektor informal adalah sebesar 43,12 persen sedangkan tenaga kerja sektor formal mencapai 56,88 persen. 21

30 2.4 Capaian Outcome Lapangan kerja yang tercipta terhadap angkatan kerja di kota dan desa sudah semakin merata dalam periode Rasio ini menurun di perdesaan antara dan di perdesaan pada Tahun 2013, rasionya hampir 96,0 persen di desa, dan di kota mencapai 92,0 persen. Gambar 1 Rasio Kesempatan Kerja terhadap Angkatan Kerja Sumber: BPS 2.5 Capaian Impact Lapangan kerja formal telah meningkat dalam sembilan tahun terakhir, sehingga kualitas pekerjaan semakin baik. Selama periode , lapangan kerja formal berjumlah 8,95 juta pekerja. Dengan demikian selama terdapat 12,30 juta lapangan kerja baru di sektor formal, sehingga jumlahnya mencapai 44,76 juta pada Agustus tahun Gambar 2 Tingkat Pengangguran Terbuka 3. Rekomendasi Sumber: BPS Berdasarkan hasil analisis terdapat rekomendasi antara lain: (1) Peningkatan upah riil di sektor informal desa akan menahan penduduk tetap tinggal di desa, dan sebaliknya penurunan upah riil akan mendorong penduduk desa untuk berpindah ke kota. Hal ini berarti bahwa arus migrasi ke kota dapat dikurangi dengan meningkatkan upah riil di sektor informal desa; (2) Peningkatan jumlah pekerja sektor informal dan formal di kota tujuan telah menarik penduduk untuk pindah ke kota, sehingga akan meningkatkan jumlah pengangguran dan setengah pengangguran di kota. Penciptaan lapangan kerja di kota harus diimbangi dengan perbaikan kebijakan di desa agar menjadi kebijakan yang produktif dalam upaya untuk memecahkan masalah perkotaan. 22

31 4 EVALUASI REVITALISASI PERTANIAN DALAM RANGKA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI * Abstrak Evaluasi terhadap pembangunan pertanian dengan fokus pada peningkatan kesejahteraan petani dilandasi oleh pemikiran bahwa peran petani tidak pernah lepas dari pembangunan pertanian. Tujuan evaluasi ini adalah untuk memperoleh gambaran pelaksanaan dan capaiancapain kebijakan revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejateraan petani; dan menyusun rekomendasi kebijakan terkait revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. Berbagai program dan kegiatan dalam kerangka Revitalisasi Pertanian telah direalisasikan untuk meningkatkan produksi komoditas pertanian dan produktivitas pertanian, serta pada akhirnya meningkatkan kesejahteraan petani. Produksi komoditas pertanian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Produksi padi meningkat dari 54,1 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) tahun 2004 menjadi 69,1 juta ton GKG pada tahun 2012 dan 70,9 juta ton GKG pada tahun 2013 (ARAM-II). Surplus beras nasional meningkat tajam dari 3,6 juta ton (2004), kemudian 7,6 juta ton (2009), dan meningkat lagi menjadi 8,9 juta ton (2013). Sementara itu, produktivitas tenaga kerja sektor pertanian secara umum juga meningkat. Rata-rata pencapaian produktivitas petani adalah 30 persen diatas target. Sebagai realisasinya, produktivitas petani mengalami peningkatan dari Rp.6,7 juta per orang (2005) menjadi Rp.6,89 juta per orang (2009) dan Rp.7,9 juta per orang (2012). Kebijakan Revitalisasi Pertanian telah memberikan dampak yang nyata pada peningkatan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai indikator tingkat kesejahteraan petani, meskipun berbagai kendala masih banyak ditemui. Selama tahun , NTP berada di atas nilai 100 yang menunjukkan bahwa yang dibelanjakan petani masih lebih besar dari yang didapatkan. Berdasarkan capaian dan permasalahan yang telah dihadapi serta arah pembangunan yang akan datang, revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani menghadapi beberapa tantangan yang fundamental, antara lain: optimalisasi lahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup; ketersediaan infrastruktur, pupuk dan bibit sebagai input pertanian; penanganan dan antisipasi perubahan iklim dan bencana; akses permodalan, dan tata niaga pertanian. Evaluasi ini menghasilkan beberapa butir rekomendasi yang diharapkan dapat menjadi rujukan bagi perencanaan dan pelaksanaan kebijakan revitalisasi pertanian yang akan datang, antara lain: (1) Revitalisasi lahan pertanian; (2) Rehabilitasi dan peningkatan kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup; (3) Pengembangan strategi mitigasi bencana dan perubahan iklim dalam sektor pertanian; (4) Peningkatan ketersediaan pupuk dan alternatifnya; (5) Peningkatan ketersediaan infrastruktur; (6) Peningkatan akses permodalan; (7) Penguatan sistem usaha perbenihan dan pembibitan; (8) Pembenahan tata niaga pertanian; (9) Penguatan kelembagaan petani, pertanian dan pedesaan; dan (10) Penguatan dan peningkatan peran pemerintah daerah. * Diringkas dari hasil Evaluasi Revitalisasi Pertanian dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani (2010), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Hingga saat ini sebagian besar masyarakat Indonesia masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian dengan tingkat produktivitas dan pendapatan usaha yang relatif rendah. Dengan sebagian besar masyarakat hidup di perdesaan maka kemiskinan, pengangguran dan rawan pangan banyak terdapat di perdesaan. Kondisi ini mengindikasikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan, pengangguran, dan rawan pangan harus dilakukan dengan membangun pertanian dan perdesaan. Sebagai salah satu prioritas kebijakan untuk mewujudkan misi Indonesia yang sejahtera, revitalisasi pertanian diharapkan mampu meningkatkan: ketahanan pangan; kapasitas dan kapabilitas petani dan keluarganya; akses petani terhadap sumberdaya dan informasi; serta peningkatan daya saing, mutu dan nilai tambah komoditas pertanian bagi kesejahteraan bangsa Indonesia. Revitalisasi pertanian ini akan menyumbang pada percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, serta penciptaan lapangan kerja baru. Perilaku petani yang masih berusaha tani secara individual, langkanya dokumen kepemilikan lahan, serta kesulitan di dalam mengakses dana perbankan masih mendominasi lambannya upaya pencapaian sasaran revitalisasi pertanian. Demikian pula halnya dengan perhatian Kepala Daerah terhadap pembangunan pertanian di wilayahnya masing-masing sangat bervariasi. 23

32 Persoalan-persoalan tersebut di atas sangat mempengaruhi posisi tawar petani terhadap pelaku pasar lainnya, sehingga harga yang diterima petani belum sesuai dengan korbanan yang mereka keluarkan. Fenomena dimana pada saat panen raya harga jual komoditas pertanian sangat rendah dan sebaliknya meningkat pada saat petani sudah tidak memiliki produk, di beberapa lokasi masih menjadi masalah. Selain itu, persoalan mendasar yang dihadapi sektor pertanian pada saat ini dan di masa yang akan datang adalah meningkatnya kerusakan lingkungan dan perubahan iklim global; terbatasnya ketersediaan infrastruktur, sarana prasarana, lahan dan air; sedikitnya status dan kecilnya luas kepemilikan lahan; lemahnya sistem perbenihan dan perbibitan nasional; keterbatasan akses petani terhadap permodalan dan masih tingginya suku bunga usahatani; lemahnya kapasitas dan kelembagaan petani dan penyuluh; masih rawannya ketahanan pangan dan ketahanan energi; belum berjalannya diversifikasi pangan dengan baik; rendahnya NTP, dan belum padunya antar sektor dalam menunjang pembangunan pertanian. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk; (1) Memperoleh gambaran pelaksanaan dan capaian-capaian kebijakan revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejateraan petani; dan (2) Menyusun rekomendasi kebijakan terkait revitalisasi pertanian dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Revitalisasi Pertanian Dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani pada Gambar 1 menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas, program, dan kegiatan), pembiayaan, sumber daya petani, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah pertumbuhan PDB pertanian dan produksi komoditas pangan. Kemudian, dalam pencapaian outcome (peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan petani yang dicerminkan oleh NTP. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact. Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Prioritas Pembangunan Nasional Revitalisasi Pertanian: UU No.17/2007 tentang RPJPN , UU No18/2012 tentang Pangan, dan UU No.19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Program Pembangunan Pertanian program; Program Pembangunan pertanian Program, Dari sisi pembiayaan pertanian pada periode , alokasi anggaran bidang pertanian meningkat dari Rp.7,33 triliun (2005) menjadi Rp.16,16 triliun (2009). Rata-rata pertumbuhan sektor pertanian: 3,7 persen ( ) dan 3,4 persen ( ) Produksi pangan meningkat: o Padi 54,1 juta ton GKG (2004) menjadi 69,1 juta ton GKG (2012) dan 70,9 juta ton GKG (2013) o Jagung 11,2 juta ton pipilan kering (2004) menjadi 19,4 juta ton pipilan kering (2012). o Kedelai 723,0 ribu ton (2004) menjadi 807,6 ribu ton (2013) Peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian o Perkembangan: Rp.6,7 juta/orang (2005) menjadi Rp.6,89 juta/orang (2009) dan Rp.7,9 juta per orang (2012). o Rata-rata pencapaian produktivitas petani 30 persen diatas sasaran. Peningkatan kesejahteraan petani yang dicerminkan oleh Nilai Tukar Petani (NTP) o Selama tahun , NTP berada di atas nilai 100 yang menunjukkan bahwa yang dibelanjakan petani masih lebih besar dari yang didapatkan. 24

33 2.2 Kebijakan Pembangunan Pertanian Prioritas Pembangunan Nasional Revitalisasi Pertanian merupakan salah satu prioritas pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan sebagian besar rakyat dan meletakkan landasan yang kokoh bagi pembangunan ekonomi. Hal ini sesuai dengan arahan UU No. 17/2007 tentang RPJPN , UU No. 18/2012 tentang Pangan, dan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Revitalisasi pertanian merupakan komitmen politik yang harus didukung dan dijabarkan lebih lanjut operasionalnya oleh semua instansi yang terkait dengan pertanian. Diharapkan akan tercapai peningkatan pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 3,7 persen per tahun dan Indeks Nilai Tukar Petani sebesar pada Pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga program, yaitu: (1) Program Peningkatan Ketahanan Pangan, (2) Program Pengembangan Agribisnis, dan (3) Program Peningkatan Kesejahteraan Petani. Sementara itu, pada periode , pembangunan pertanian dilaksanakan melalui program: (1) Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan; (2) Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Produk Tanaman Hortikultura Berkelanjutan, (3) Program Peningkatan Produksi, Produktivitas, dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan; (4) Program Pencapaian Swasembada Daging Sapi dan Peningkatan Penyediaan Pangan Hewani yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal; (5) Program Peningkatan Nilai Tambah Daya Saing, Industri Hilir, Pemasaran, dan Ekspor Hasil Pertanian; (6) Program Penyediaan dan Pengembangan Prasarana dan Sarana Pertanian; (7) Program Penciptaan Teknologi dan Varietas Unggul Berdaya Saing; (8) Program Pengembangan SDM Pertanian dan Kelembagaan Petani; (9) Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat; dan (10) Program Peningkatan Kualitas Pengkarantinaan Pertanian dan Pengawasan Keamanan Hayati. Adapun program dan kegiatan yang diperkirakan paling berperan dalam pencapaian produksi pangan (output) adalah Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan melalui empat kegiatan, yaitu (1) Pengelolaan produksi tanaman serealia; (2) Pengelolaan produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian; (3) Penyaluran subsidi benih tanaman pangan; dan (4) Penyaluran pupuk bersubsidi. Dari sisi pembiayaan pertanian pada periode , alokasi anggaran bidang pertanian meningkat dari Rp.7,33 triliun (2005) menjadi Rp.16,16 triliun (2009). Sementara itu, alokasi anggaran subbidang pertanian mengalami peningkatan signifikan dari Rp.4,02 triliun (2005) menjadi Rp.8,42 triliun (2009). Capaian pembiayaan subbidang pertanian sepanjang cukup baik dengan rata-rata 79,64 persen. Masalah yang muncul pada capaian pembiayaan pertanian adalah struktur pemerintah di daerah, satuan kerja (satker) yang besar menyebabkan sulitnya melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan. Selanjutnya, pembiayaan pertanian lainnya bersumber pada alokasi belanja subsidi. Berdasarkan data realisasi anggaran subsidi , subsidi pertanian mengalami peningkatan yang cukup besar utamanya sejak tahun Sepanjang subsidi pangan, subsidi pupuk dan subsidi benih mengalami peningkatan rata-rata masing-masing sebesar 24,6 persen, 71,6 persen dan 105,5 persen. Pembiayaan pembangunan pertanian juga bersumber pada Dana Alokasi Khusus (DAK). Pada periode , alokasi DAK pertanian mengalami peningkatan paling tidak hingga tahun 2006, kemudian hingga tahun 2009 besaran DAK sama tiap tahunnya. Sementara itu, pada periode , khusus untuk Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Pangan untuk Mencapai Swasembada dan Swasembada Berkelanjutan, alokasi total selama 5 tahun sebesar Rp.6,656 triliun. Alokasi anggaran tiap tahunnya meningkat dari Rp.892,4 miliar (2010) menjadi Rp.1,838 trilun (2014. Sebagai perbandingan, anggaran total Kementerian Pertanian selama lima tahun adalah Rp.67,248 triliun. 2.3 Capaian Output Pembangunan Pertanian: Produksi Pertanian Capaian output pembangunan pertanian meliputi Produk Domestik Bruto (PDB) pertanian dan produksi pangan. Secara umum, rata-rata pertumbuhan sektor pertanian pada periode mencapai 3,7 persen per tahun, sementara pada periode mencapai 3,4 persen per tahun (Tabel 1). 25

34 Tabel 1. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian (Persen) No Indikator Kinerja Satuan *) 2012**) 2013***) 1. Tanaman Bahan Makanan % 2,9 2,6 3,0 3,4 6,1 5,0 1,6 1,8 3,0 1,8 2. Perkebunan % 0,4 2,5 3,8 4,6 3,7 1,7 3,5 4,5 5,1 4,7 3. Peternakan dan hasilnya % 3,4 2,1 3,4 2,4 3,5 3,5 4,3 4,8 4,8 4,3 4. Kehutanan % 1,3-1,5-2,9-0,8 0,0 1,8 2,4 0,9 0,2 0,8 5. Perikanan % 5,6 5,9 6,9 5,4 5,1 4,2 6,0 7,0 6,5 6,4 6. Pertanian % 2,8 2,7 3,4 3,5 4,8 4,0 3,0 3,4 4,0 3,3 Sumber : BPS *) Angka sementara **) Angka sangat sementara ***) Angka sangat sangat sementara Gambar 2. Produksi Komoditas Tanaman Pangan Sumber: BPS dan Kementan Keterangan: Produksi padi tahun ATAP, tahun 2013 ARAM II 2013 Selanjutnya, produksi komoditas pertanian menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Produksi padi meningkat dari 54,1 juta ton Gabah Kering Giling (GKG) tahun 2004 menjadi 69,1 juta ton GKG pada tahun 2012 dan 70,9 juta ton GKG pada tahun 2013 (ARAM-II). Produksi padi (ekuivalen beras) lebih besar dibandingkan kebutuhan konsumsi rata-rata nasional, sehingga neraca penyediaan beras nasional bernilai positif atau mengalami surplus. Surplus beras nasional meningkat tajam dari 3,6 juta ton (2004) menjadi 7,6 juta ton (2009), dan meningkat lagi menjadi 8,9 juta ton (2013). Peningkatan produksi jagung juga cukup pesat selama , mencapai rata-rata 6,1 persen per tahun. Produksi jagung meningkat dari 11,2 juta ton pipilan kering tahun 2004 menjadi 19,4 juta ton pipilan kering tahun Produksi kedelai juga mengalami peningkatan, yaitu dari 723,0 ribu ton pada tahun 2004 menjadi 807,6 ribu ton pada tahun 2013 (ARAM II-2013) atau rata-rata meningkat 2,4 persen. 2.4 Capaian Outcome Pembangunan Pertanian: Produktivitas Pertanian Capaian outcome berkaitan dengan output di masing-masing periode dengan indikator utama adalah peningkatan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian yang kemudian diharapkan berdampak pada pengentasan kemiskinan pedesaan. Sasaran antara ini dalam jangka menengah diharapkan pula akan 26

35 berdampak pada impact yang peningkatan kesejahteraan petani dengan indikator utamanya adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Ukuran selanjutnya adalah banyaknya tenaga kerja pada sektor pertanian. Secara umum, jumlah tenaga kerja pertanian (pertanian, perikanan dan kehutanan) berada pada kisaran 40 persen dari angkatan kerja nasional. Tingginya jumlah penduduk yang sebagian besar berada di pedesaan dan memiliki kultur budaya kerja keras, sebenarnya merupakan potensi tenaga kerja untuk mendukung pengembangan pertanian. Hingga saat ini terdapat lebih dari 43 juta tenaga kerja masih menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Akan tetapi besarnya jumlah penduduk tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk mendukung pengembangan pertanian yang berdaya saing. Gambar 3. Perkembangan Tenaga Kerja dan Produktivitas Sektor Pertanian Sumber BPS Produktivitas petani ditargetkan mengalami peningkatan mulai dari Rp.4,8 juta per orang pada tahun 2005 menjadi Rp.5,6 juta tahun Sebagai realisasinya, produktivitas petani mengalami peningkatan dari Rp.6,7 juta per orang (2005) menjadi Rp.6,89 juta per orang (2009) dan Rp.7,9 juta per orang (2012). Dengan ini rata-rata pencapaian produktivitas petani adalah 30 persen diatas sasarannya. Hal ini berarti bahwa berbagai berbagai kebijakan dan program kegiatan yang telah dilaksanakan, telah berhasil meningkatkan produktivitas tenaga kerja sektor pertanian secara umum. 2.5 Capaian Impact Pembangunan Pertanian: Kesejahteraan Petani Kemajuan pembangunan pertanian juga tercermin dari Nilai Tukar Petani (NTP) yang merupakan variabel yang sering digunakan sebagai indikator untuk mengukur kesejahteraan petani. Pada tahun 2005, NTP mengalami tekanan yang cukup mendalam, yaitu NTP sebesar 98,27 (2007=100) dengan rata-rata mengalami penurunan sebesar 0,15 persen dibandingkan tahun Tekanan ini bersumber pada kenaikan harga BBM. Kemudian, periode , NTP mengalami trend meningkat. Berdasarkan capaian NTP subsektoral, NTP Sub Sektor Perkebunan Rakyat (NTPR) menunjukkan perkembangan jauh di atas sub sektor lainnya. Selama tahun , NTP berada di atas nilai 100 yang menunjukkan bahwa yang dibelanjakan petani masih lebih besar dari yang didapatkan. 27

36 Gambar 4. Perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP) Tahun (Persen) , ,6 105,2 104, , , ,1 100,1 99, *) Sumber : BPS Aspek yang sangat krusial dalam hal peningkatan kesejahteraan petani adalah masalah kemiskinan. Hal itu dikarenakan masyarakat miskin di daerah perdesaan sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan di daerah perdesaan sangat ditentukan perkembangan di sektor pertanian. Untuk memetakan hubungan antara NTP dengan tingkat kemiskinan digunakan analisis kuadran. Analisis kuadran berikut memetakan provinsi-provinsi yang ada di Indonesia dalam 4 kondisi. Kuadran pertama adalah daerah ideal atau Agricultural-Based dimana nilai tukar petani yang relatif lebih tinggi diikuti pula dengan persentase penduduk miskin perdesaan yang relatif lebih rendah. Terdapat beberapa provinsi di kuadran ini yaitu: Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, Bali, Kalimantan Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, dan Sumatera Selatan. Kemudian kuadran kedua adalah daerah Non Agricultural-Based dimana nilai tukar petani yang relatif lebih rendah namun memiliki keunggulan-keunggulan lain sehingga penduduk miskin perdesaan relatif lebih rendah dari rata-rata nasional. Provinsi-provinsi di kuadran ini diantaranya: Kalimantan Tengah, Jambi, Banten, Riau, Bangka Belitung, Jawa Barat dan Maluku Utara. Kuadran ketiga adalah daerah normatif dimana nilai tukar petani yang relatif lebih rendah diikuti pula dengan persentase penduduk miskin perdesaan yang relatif lebih tinggi. Dalam kuadran ini terdapat provinsi-provinsi seperti: Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Kemudian terakhir adalah kuadran keempat sebagai daerah Transisi dimana Nilai Tukar Petani yang relatif lebih tinggi namun dengan persentase penduduk miskin perdesaan yang relatif lebih tinggi pula. Di kuadran empat ini termasuk provinsi-provinsi seperti: Papua Barat, Papua, Maluku, NAD, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Tenggara dan Lampung. 28

37 Gambar 5. Analisis Kuadran NTP dan Penduduk Miskin Perdesaan Menurut Provinsi Tahun 2009 Penduduk Miskin Desa (%) 50,00 Kuadran III Papua 45,00 Papua Barat Kuadran IV 40,00 35,00 Gorontalo Maluku 30,00 NTT 25,00 DIY Sutra Sulteng Jatim NAD 20,00 NTB Bengkulu Lampung Jateng Sulsel Maluku Utara 15,00 Jabar Sumsel Sulbar Kaltim Riau Sumut 10,00 Babel Banten Kalbar Sumbar Jambi Kalteng 5,00 Bali Kalsel - Kuadran II Kuadran I 90,0 95,0 100,0 105,0 110,0 115,0 Nilai Tukar Petani Keterangan: Garis potong sumbu X dan Y adalah nilai nasional. Sumber: Berita Resmi Statistik dan Boklet Indikator Sosial-Ekonomi Indonesia, BPS, diolah. Satu hal yang sangat penting dari analisis kuadran tersebut adalah bahwa pembangunan sektor pertanian di daerah-daerah yang berada dalam kuadran ketiga dan keempat --utamanya dalam rangka peningkatan kesejahteraan petani-- perlu lebih ditingkatkan lagi. Baik melalui optimalisasi pembangunan sektor pertanian maupun sektor-sektor lain yang sedikit banyak turut mempengaruhi upaya peningkatan kesejahteraan petani dan pengentasan kemiskinan perdesaan. Beberapa hal yang turut berpengaruh terhadap kondisi di atas adalah: kurang optimalnya upaya-upaya peningkatan kesejahteraan petani; masalah distribusi barang dan jasa; masalah tata niaga dan biaya-biaya baik produk pertanian maupun barang konsumsi rumah tangga. 3. Rekomendasi Peningkatan kesejahteraan petani memiliki beberapa dimensi baik dari sisi produktivitas usaha tani maupun dari sisi kerjasama lintas sektoral dan daerah. Kebijakan pemerintah ke depan terkait dengan pembangunan pertanian secara umum dan peningkatan kesejahteraan petani secara khusus menghadapi beberapa tantangan yang fundamental mulai dari optimalisasi lahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup; ketersediaan infrastruktur, pupuk dan bibit sebagai input pertanian; penanganan dan antisipasi perubahan iklim dan bencana; akses permodalan hingga tata niaga pertanian yang lebih baik dan berpihak pada pertanian dan petani. Berikut ini adalah rekomendasi yang dapat diberikan terkait tantangantantangan tersebut, yang diharapkan dapat menjadi rujukan bagi perencanaan dan pelaksanaan kebijakan revitalisasi pertanian yang akan datang: 1. Revitalisasi lahan pertanian melalui optimalisasi lahan pertanian, peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk. 2. Rehabilitasi dan peningkatan kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup melalui upayaupaya rehabilitasi dan konservasi lahan secara teknis dan biologis (vegetatif) dengan penerapan teknologi budidaya pertanian yang ramah lingkungan serta pengaturan dan pengendalian tata ruang kawasan. 3. Pengembangan strategi mitigasi bencana dan perubahan iklim dalam sektor pertanian melalui peningkatan akses informasi bagi petani tentang kondisi cuaca, kecenderungan iklim ekstrim seperti kemarau panjang dan hujan berlebihan, sehingga diharapkan kelangsungan pendapatan petani dapat dipertahankan dan kesejahteraan petani dapat terus ditingkatkan. 29

38 4. Peningkatan ketersediaan pupuk dan alternatifnya melalui peningkatan efektifitas pupuk bersubsidi dalam hal pembenahan jalur dan mekanisme distribusi, mekanisme penentuan harga dan hal lainnya sehingga pemberian pupuk bersubsidi dapat lebih tepat waktu, tepat guna dan akhirnya tepat sasaran. Selain itu juga melalui upaya-upaya penerapan teknologi pertanian organik, penggunaan pupuk organik yang diproduksi sendiri oleh petani serta penerapan sistem pengendalian hama terpadu. 5. Peningkatan ketersediaan infrastruktur melalui penyediaan semua prasarana yang dibutuhkan petani dalam jumlah yang cukup, berada dekat dengan sentra produksi, dan dengan biaya pelayanan yang terjangkau. Prasarana usahatani lain yang sangat dibutuhkan masyarakat dan pedagang komoditas pertanian namun keberadaannya masih terbatas adalah misalnya seperti pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan berpendingin udara, laboratorium dan kebun percobaan bagi penelitian, laboratorium pelayanan uji standar dan mutu, pos dan laboratorium perkarantinaan, kebun dan kandang untuk penangkaran benih dan bibit, klinik konsultasi kesehatan tanaman dan hewan, balai informasi dan promosi pertanian, balai-balai penyuluhan serta pasar-pasar spesifik bagi produk pertanian. 6. Peningkatan akses permodalan melalui: (a) penguatan skema-skema pembiayaan yang telah ada seperti Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati (KPEN-RP) dan Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dibarengi dengan pengembangan skema-skema baru yang sejenis; (b) pengembangan lembaga keuangan mikro di pedesaan bagi peningkatan akses permodalan usaha tani; (c) revitalisasi koperasi khususnya di bidang pertanian sebagai pengelola sumber pembiayaan bagi usaha tani tetapi juga peningkatan nilai tambah produk-produk pertanian; dan (d) upaya-upaya pendampingan dan pelatihan bagi petani agar dapat memanfaatkan skemaskema kredit umum yang sebenarnya lebih banyak ditawarkan oleh perbankan. 7. Penguatan sistem usaha perbenihan dan pembibitan melalui penguatan subsistem yang terdiri dari: subsistem pengembangan varietas untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan selera masyarakat; subsistem produksi dan distribusi benih; subsistem perbaikan mutu melalui sertifikasi dan pelabelan; dan subsistem kelembagaan dan peningkatan SDM. 8. Pembenahan tata niaga pertanian melalui penciptaan formula kebijakan harga eceran tertinggi (ceiling price) terhadap sarana produksi serta harga pembelian terendah (floor price) terhadap hasil panen di tingkat usaha tani yang penerapannya disesuaikan dengan gejolak fluktuasi harga yang terjadi di lapangan, terutama pada saat menjelang masa tanam dan saat panen raya di sentra-sentra produksi utama; dan penciptaan jalur tata niaga produk-produk pertanian yang efisien dan lebih berpihak kepada petani sekaligus meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian baik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri. 9. Penguatan kelembagaan petani, pertanian dan pedesaan melalui revitalisasi berbagai kelembagaan petani yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Perhimpunan Petani Pemakai Air dan Subak agar tidak hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial tetapi menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan. 10. Penguatan dan peningkatan peran pemerintah daerah, daerah-daerah dengan basis pertanian (agricultural-based) diharapkan dapat mengoptimalkan sumber daya di daerahnya untuk dapat memprioritaskan pembangunan sektor pertanian dan pembangunan pedesaan dengan berbagai kebijakan yang berkesinambungan dengan kebijakan pemerintah pusat. Tentunya, dengan tetap memperhatikan sinkronisasi dan koordinasi antardaerah untuk mengatasi permasalahan peningkatan kesejahteraan petani secara lebih komprehensif, efektif dan efisien. 30

39 5 PERUBAHAN PRODUKTIVITAS INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA: ANALISIS PANEL DATA * Abstrak Pada periode tahun , rata-rata pertumbuhan sektor manufaktur kurang dari 6 persen per tahun. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan angka rata-rata pertumbuhan sebelum krisis 1997, yang berkisar rata-rata antara 10 persen sampai 15 persen. Selain itu, tingkat pertumbuhan ekspor manufaktur serta proporsinya secara umum dibandingkan sektorsektor lain yang menurun terhadap total ekspor. Hal ini mengindikasikan adanya penurunan daya kompetitif ekspor Sektor Manufaktur. Di samping itu, penurunan tingkat kompetisi pada Sektor Manufaktur setelah tahun 2000 ditandai dengan semakin tingginya penguasaan Perusahaan Besar pada distribusi output yang ada. Berkurangnya tingkat kompetisi juga terlihat dari kecenderungan angka konsentrasi yang semakin meningkat. Akhirnya, data juga mengindikasikan adanya beberapa dinamika menarik dalam hal skala perusahaan, di mana terjadi informalisasi skala perusahaan di sektor Manufaktur dengan meningkatnya penguasaan jumlah perusahaan-perusahaan kecil yang beroperasi dan berkurangnya porsi perusahaan menengah. Angka konsentrasi semakin meningkat, dan meningkatnya penguasaan jumlah perusahaan-perusahaan kecil yang beroperasi dan berkurangnya porsi perusahaan menengah Evaluasi Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya : Analisis Panel Data bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tingkat produktivitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas industri manufaktur di Indonesia pada periode Temuan evaluasi ini berupa pertumbuhan TFP positif sebesar rata-rata 0,22 persen pertahun selama periode pada produktivitas sektor manufaktur. Variabelvariabel yang berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas sektor manufaktur adalah ukuran perusahaan, perusahaan dengan orientasi ekspor, perusahaan dengan kepemilikan asing, dan R&D. Namun, hanya satu variabel yang berpengaruh negatif terhadap tingkat produktivitas sektor manufaktur yaitu usia perusahaan. Sedangkan, hubungan antara kepemilikan pemerintah dan produktivitas menunjukkan hasil yang bervariasi. Beberapa rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi, antara lain: (1) Mendorong perusahaan untuk mengembangkan R&D; dan (2) Memperbaharui teknologi yang digunakan industri pengolahan. Evaluasi ini bermanfaat untuk evaluasi Prioritas RPJMN Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur dan sebagai rekomendasi kebijakan Revitalisasi Industri (Buku 2, Bab III Ekonomi, RPJMN ). * Diringkas dari hasil Kajian Perubahan Produktivitas Industri Manufaktur Indonesia dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya: Analisis Panel Data (2010), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Bagian awal evaluasi memberikan tiga gambaran kondisi yang terkait erat dengan produktivitas sektor manufaktur di Indonesia setelah krisis 1997, yaitu kinerja sektor, daya saing yang diukur dengan ekspor manufaktur, dan kepemilikan. Pertama, kinerja sektor Industri Manufaktur (Sektor Manufaktur) secara umum tidak terlepas dari kinerja perekonomian secara keseluruhan. Keterkaitan antara fluktuasi perekonomian secara keseluruhan dan kinerja Sektor Manufaktur jelas terlihat di Indonesia. Rata-rata pertumbuhan sektor manufaktur Indonesia setelah krisis tahun 1997, periode , hanya dibawah 6 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan sektor manufaktur sebelum krisis tahun 1997 yang berkisar antara persen. Kedua, penurunan daya kompetitif ekspor manufaktur. Penurunan proporsi ekspor manufaktur relatif dibandingkan sektor-sektor lain terhadap total ekspor. Ketiga, penurunan tingkat kompetisi pada sektor manufaktur setelah tahun Hal ini diindikasikan oleh penguasaan perusahaan besar pada distribusi output, angka konsentrasi semakin meningkat, dan 31

40 meningkatnya penguasaan jumlah perusahaan-perusahaan kecil yang beroperasi dan berkurangnya porsi perusahaan menengah. Gambar 1: Pertumbuhan Nilai Tambah Manufaktur Pertumbuhan (%) Tahun Sumber: World Development Indicators Online. Akses terakhir: 26/09/2010. Evaluasi ini diharapkan memberikan manfaat berupa evaluasi Prioritas RPJMN Peningkatan Daya Saing Industri Manufaktur dan juga rekomendasi kebijakan Revitalisasi Industri (Buku 2, Bab III Ekonomi, RPJMN ). Secara umum, evaluasi ini bertujuan untuk memberikan gambaran terhadap kondisi sektor industri manufaktur di Indonesia setelah krisis ekonomi, khususnya periode Evaluasi ini diharapkan memberikan masukan bagi pengambilan kebijakan pada sektor industri manufaktur. Deskripsi data-data tersebut memberikan landasan evaluasi yang bertujuan untuk mengetahui (1) Pertumbuhan tingkat produktivitas; dan (2) Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas industri manufaktur di Indonesia pada periode Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Input dari pembangunan industri manufaktur, merujuk pada RPJMN , berupa kegiatan-kegiatan dari Program Perkuatan Struktur dan Daya Saing Industri Manufaktur, dan merujuk pada RPJMN , kegiatan dari prioritas bidang revitalisasi industri. Output kegiatan adalah pertumbuhan TFP. Selanjutnya, outcome kebijakan industri manufaktur adalah pertumbuhan sektor industri manufaktur. Selanjutnya, pada tingkat impact, perbaikan kesejahteraan dapat diukur dengan pertumbuhan ekonomi dan PDB per kapita. 32

41 Gambar 2: Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT RPJMN : Program Perkuatan Struktur dan Daya Saing Industri Manufaktur RPJMN : prioritas bidang revitalisasi industri Total Factor Productivity TFP tidak selalu mengalami pertumbuhan positif pada periode TFP mengalami pertumbuhan negatif pada periode Kemudian, TFP meningkat dan mengalami pertumbuhan positif pada periode Pertumbuhan sektor industri manufaktur. Selama periode , pertumbuhan sektor industri pengolahan menurun dari 6,38% (2004) menjadi 2,21% (2009). Sektor industri pengolahan kembali tumbuh pada periode , pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 6,14%. Pertumbuhan ekonomi Indonesia Trend menurun selama periode Kemudian, meningkat pada periode Pertumbuhan ekonomi tertinggi mencapai 6.5% pada tahun Pendapatan per kapita tahun 2012 sebesar Rp.33,7 juta atau meningkat sekitar 3 kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 2004 sebesar Rp.10,5 juta 2.2 Kebijakan Pembangunan Industri Manufaktur Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional periode tahun (RPJMN ) menekankan kebijakan pembangunan manufaktur yang ditikberatkan pada revitalisasi industri. Dalam RPJPN menyebutkan bahwa struktur perekonomian diperkuat dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak yang didukung oleh kegiatan pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan yang menghasilkan produk-produk secara efisien, modern, dan berkelanjutan serta jasajasa pelayanan yang efektif yang menerapkan praktik terbaik dan ketatakelolaan yang baik agar terwujud ketahanan ekonomi yang tangguh. Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing dengan struktur industri yang sehat dan berkeadilan, yaitu sebagai berikut: (1) dalam hal penguasaan usaha, struktur industri disehatkan dengan meniadakan praktek-praktek monopoli dan berbagai distorsi pasar; (2) dalam hal skala usaha, struktur industri akan dikuatkan dengan menjadikan IKM sebagai basis industri nasional, yaitu terintegrasi dalam mata rantai pertambahan nilai dengan industri berskala besar; dan (3) dalam hal huluhilir, struktur industri akan diperdalam dengan mendorong diversifikasi ke hulu dan ke hilir membentuk rumpun industri yang sehat dan kuat. 2.3 Capaian Output Pada model pertama, variabel endogen yang digunakan adalah output bruto diproksikan oleh output kotor yang disesuaikan dengan indeks harga perdagangan besar (IHPB). Kemudian, variabel-variabel eksogen yang digunakan adalah modal yang diproksikan dengan biaya aktiva tetap perusahaan yang disesuaikan dengan deflator PDB dan IHPB dari mesin, tenaga kerja yang diproksikan dengan jumlah tenaga kerja pada setiap perusahaan, dan bahan baku diproksikan dari nilai riil bahan baku dalam negeri dan impor. Hasil estimasi model pertama menunjukan pertumbuhan TFP positif sebesar rata-rata 0,22 persen pertahun selama periode pada produktivitas sektor manufaktur. Peningkatan tingkat efisiensi (TE) merupakan kontributor utama dari pertumbuhan produktivitas di Indonesia. Sementara, pertumbuhan teknologi (TP) dan skala ekonomi (SE) memberikan kontribusi negatif terhadap TFP, yaitu 33

42 masing-masing sebesar -0,17 persen dan -0,45 persen. TFP tumbuh tertinggi pada sektor kimia sebesar 0,21 persen, sedangkan TFP tumbuh terendah pada sektor tekstil. TFP tidak selalu mengalami pertumbuhan positif pada periode TFP mengalami pertumbuhan negatif pada periode Kemudian, TFP meningkat dan mengalami pertumbuhan positif pada periode Penurunan tingkat produktivitas sektor manufaktur selama periode agaknya disebabkan oleh masih dilakukannya konsolidasi kebijakan perekonomian serta munculnya beragam landasan dan pengaturan baru yang perlu dilakukan penyesuaian oleh pelaku insustri saat itu. Namun, seiring konsolidasi dab berbagai penyesuaian dalam perilaku dan cara berbisnis oleh pelaku sektor manufaktur, peningkatan produktivitas berlahan mengalami kenaikan. Pada model kedua, variabel endogennya adalah TFP yang didapat dari model pertama. Selanjutnya, variabel-variabel eksogen terdiri atas skala perusahaan yang diprosikan oleh jumlah pekerja, usia perusahaan, orientasi ekspor yang diukur dengan rasio output diekspor terhadap total output, kepemilikan perusahaan yaitu kepemilikan negeri-swasta, kepemilikan asing dan kepemilikan pemerintah, dan penelitian dan pengembangan (R&D) yang diproksikan dengan pengeluaran perusahaan pada bidang R&D. Estimasi model kedua menunjukkan adanya hubungan positif antara ukuran perusahaan dengan tingkat produktivitas. Hubungan positif terkuat ditunjukkan oleh industri makanan dan minuman, sedangkan hubungan positif terlemah ditunjukkan oleh manufaktur lain dan industri tekstil. Sebaliknya, usia perusahaan dan produktivitas menunjukkan hubungan negatif. Hal ini agaknya disebabkan oleh perusahaan usia lanjut masih menggunakan peralatan tua. Kemudian, estimasi menunjukkan perusahaan dengan orientasi produksi ekspor akan lebih produktif dibandingan perusahaan yang tidak berorientasi ekspor. Penyebab dari hubungan positif ini adalah partisipasi ekspor sebagai indikator dari kemampuan perusahaan untuk mempenetrasi pasar ekspor yang kompetitif. Selanjutnya, adanya hubungan positif yang kuat antara kepemilikan asing dan tingkat produktivitas di Indonesia pada seluruh industri. Perusahaan asing biasanya lebih superior ketimbang perusahaan domestik dalam hal teknologi produksi dan proses produksi. Sedangkan, hubungan antara kepemilikan pemerintah dan produktivitas menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapat untuk sub-sektor industri kayu, kertas, kimia, mineral nonmetal serta besi dan baja. Tanda positif didapat pada sektor makanan dan minuman, tekstil dan manufaktur lainnya. Terakhir, estimasi menunjukkan hubungan positif antara R&D dengan tingkat produktivitas kecuali pada sektor manufaktur lain. Hasil ini agaknya mengindikasikan adanya hubungan yang positif antara pengeluaran untuk evaluasi dan pengembangan dengan tingkat produktivitas perusahaan manufaktur di Indonesia. 2.4 Capaian Outcome Capain kebijakan industri manufaktur dapat diukur dengan pertumbuhan sektor industri manufaktur. Selama periode , pertumbuhan sektor industri pengolahan menurun dari 6,38% (2004) menjadi 2,21% (2009). Sektor industri pengolahan kembali tumbuh pada periode , pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2011 yang mencapai 6,14%. 34

43 Gambar 3: Pertumbuhan Sektor Industri Pengolahan (persen) Periode Sumber: Pencapaian Kinerja KIB I dan KIB II *) kumulatif hingga triwulan III Capaian Impact Kebijakan industri manufaktur bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kesejahteraan rakyat yang dapat diukur dari pendapatan per kapita. Pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukan trend menurun selama periode Pertumbuhan terendah 4,6% terjadi pada tahun 2009, hal ini terkait dengan krisis ekonomi Kinerja ekonomi menunjukan perbaikan selama periode Pertumbuhan ekonomi tertinggi mencapai 6.5% pada tahun 2011 yang juga sejalan dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan tertinggi. Tingkat kesejahteraan rakyat yang diproksikan dengan PDB per kapita menunjukan trend meningkat pada periode ). Pendapatan per kapita tahun 2012 sebesar Rp.33,7 juta atau meningkat sekitar 3 kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan per kapita tahun 2004 sebesar Rp.10,5 juta. Gambar 4: Pertumbuhan Ekonomi (persen) dan PDB per kapita (juta Rupiah) Periode Sumber: Pencapaian Kinerja KIB I dan KIB II *) kumulatif hingga triwulan III

44 3. Kesimpulan dan Rekomendasi Pertumbuhan TFP positif sebesar rata-rata 0,22 persen pertahun selama periode pada produktivitas sektor manufaktur. Variabel-variabel yang berpengaruh positif terhadap tingkat produktivitas sektor manufaktur adalah ukuran perusahaan, perusahaan dengan orientasi ekspor, perusahaan dengan kepemilikan asing, dan R&D. Namun, hanya satu variabel yang berpengaruh negatif terhadap tingkat produktivitas sektor manufaktur yaitu usia perusahaan. Sedangkan, hubungan antara kepemilikan pemerintah dan produktivitas menunjukkan hasil yang bervariasi. Tanda negatif didapat untuk sub-sektor industri kayu, kertas, kimia, mineral nonmetal serta besi dan baja. Beberapa rekomendasi berdasarkan hasil evaluasi, antara lain: (1) Mendorong perusahaan untuk mengembangkan R&D; dan (2) Memperbaharui teknologi yang digunakan industri pengolahan. 36

45 6 EVALUASI PEMBANGUNAN PERDESAAN DALAM KONTEKS PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT * Abstrak Ditinjau dari berbagai aspek, perkembangan kesejahteraan masyarakat di kawasan perdesaan masih menunjukkan kesenjangan dengan kondisi masyarakat di kawasan perkotaan. Pembangunan perdesaan secara umum menghadapi masalah-masalah, antara lain: (1) belum optimalnya kebijakan dan program-program dari berbagai sektor yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perdesaan, dan (2) belum optimalnya koordinasi antarpemerintah desa dan kabupaten/kota serta belum berkembangnya mekanisme koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan serta masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dalam pembangunan perdesaan. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap pembangunan perdesaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama tahun berdasarkan RPJMN dengan memperhatikan RPJMN Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai masukan dalam penyusunan rencana pembangunan berikutnya guna meningkatkan pelaksanaan evaluasi pembangunan. Capaian pembangunan perdesaan bidang ekonomi secara umum ditunjukkan melalui produksi (PDB) sektor pertanian menunjukkan perkembangan yang terus meningkat tiap tahunnya. Penyerapan tenaga kerja untuk sektor pertanian terus berfluktuasi dan mengalami penurunan, meski tingkat pengangguran di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, akan tetapi trend dari tingkat pengangguran di desa relatif semakin menurun. Capaian di bidang kesehatan diantaranya ditunjukkan melalui presentase persalinan ditolong tenaga kesehatan yang jumlahnya cenderung meningkat setiap tahunnya. Di bidang pendidikan, Angka Melek Huruf (AMH) masyarakat perdesaan hampir mencapai 100 persen mulai dari usia tahun. Sedangkan untuk kaum tua (usia 50+) maka AMH cukup rendah yaitu sekitar 60 persen. Sementara itu, pembangunan di bidang infrastruktur yang salah satu indikatornya adalah akses masyarakat desa terhadap listrik, masyarakat desa di setiap propinsi sudah dapat mengakses sumber penerangan listrik, walaupun masih terdapat desa di kawasan terpencil yang belum tersentuh listrik. Peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan pada tahun-tahun berikutnya memerlukan usaha dari berbagai pihak melalui program pembangunan. Pada aspek ekonomi, diantaranya dibutuhkan pembangunan saran irigasi dan meningkatkan anggaran untuk revitalisasi sarana irigasi yang sudah ada. Pada aspek pendidikan, peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sekolah terutama sekolah dasar dan menengah di perdesaan sangat penting dilakukan. Dana BOS yang ada perlu diberikan khusus untuk pembangunan infrastruktur sekolah di perdesaan. Pada aspek kesehatan, berbagai wilayah perdesaan seringkali mengalami kekurangan tenaga kesehatan sehingga diperlukan adanya pemenuhan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi minimal yang sesuai. Pada aspek infrastruktur, penambahan jumlah program padat karya seperti pembangunan jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Program padat karya ini dapat meningkatkan infrastruktur di perdesaan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. * Diringkas dari hasil Evaluasi Pembangunan Perdesaan Dalam Konteks Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat (2011), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Sebagian besar penduduk Indonesia mendiami kawasan perdesaan. BPS memperkirakan kawasan perdesaan mencakup hampir sekitar 82 persen dari wilayah Indonesia. Penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan perdesaan mencapai sekitar 131,8 juta jiwa atau lebih dari 56,86 persen penduduk di Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidup di perdesaan (BPS, 2009). Oleh karena itu, pembangunan perdesaan pantas mendapatkan perhatian dan prioritas yang tinggi dalam pembangunan nasional. RPJMN menyatakan bahwa pembangunan perdesaan ditujukan untuk kemanfaatan masyarakat di perdesaan. Dinyatakan pula bahwa sejak dilaksanakannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, jumlah kabupaten/kota senantiasa bertambah yang berimplikasi pada membengkaknya jumlah kelurahan dan desa. 37

46 Ditinjau dari berbagai aspek, perkembangan kesejahteraan masyarakat di kawasan perdesaan masih menunjukkan kesenjangan dengan kondisi masyarakat di kawasan perkotaan. Aspek-aspek tersebut meliputi: Pertama, aspek kependudukan. Kawasan perdesaan menghadapi masalah persebaran penduduk yang tidak merata. Salah satu yang terkait dengan hal tersebut adalah terkonsentrasinya sebagian besar sumberdaya ekonomi di wilayah Jawa-Bali yang kemudian menyebabkan konsentrasi penduduk juga terjadi di wilayah ini. Kedua, aspek sosial-ekonomi. Dalam kawasan perdesaan terdapat sekitar 37,05 juta pekerja produktif (60,1 persen) yang bekerja di sektor pertanian (Sakernas BPS, Agustus 2009). Peran mereka sangat strategis karena menyediakan kebutuhan pangan nasional. Ketiga, aspek pemerintahan. Desa bukan sekedar unit administratif, atau hanya permukiman penduduk, melainkan juga merupakan basis sumberdaya ekonomi (tanah, sawah, sungai, ladang, kebun, hutan dan sebagainya), basis komunitas yang memiliki keragaman nilai-nilai lokal dan ikatan-ikatan sosial, ataupun basis kepemerintahan yang mengatur dan mengurus sumberdaya dan komunitas tersebut. Pembangunan perdesaan secara umum menghadapi masalah-masalah, antara lain: (1) belum optimalnya kebijakan dan program-program dari berbagai sektor yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perdesaan, dan (2) belum optimalnya koordinasi antarpemerintah desa dan kabupaten/kota serta belum berkembangnya mekanisme koordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan termasuk K/L dalam pembangunan perdesaan serta masih belum optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal dan kelembagaan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah dalam pembangunan perdesaan. Berkenaan dengan permasalahan tersebut maka arah kebijakan pembangunan perdesaan periode tahun adalah memperkuat kemandirian desa dalam pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; meningkatkan ketahanan desa sebagai wilayah produksi; serta meningkatkan daya tarik perdesaan melalui peningkatan kesempatan kerja, kesempatan berusaha dan pendapatan seiring dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, maka evaluasi pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat di perdesaan menjadi hal yang perlu dilakukan. Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk melakukan evaluasi terhadap pembangunan perdesaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama tahun berdasarkan RPJMN dengan memperhatikan RPJMN Hasil yang diharapkan dari kajian ini adalah sebagai masukan dalam penyusunan rencana pembangunan berikutnya guna meningkatkan pelaksanaan evaluasi pembangunan. 2. Pembahasan Penyusunan evaluasi didasarkan pada kerangka evaluasi sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1 di bawah ini. Pada level input, upaya pembangunan perdesaan dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan melalui tiga program. Pertama, Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dengan kegiatan: 1) Peningkatan keberdayaan masyarakat; 2) Peningkatan infrastruktur perdesaan; 3) Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP); 4) Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan. Kedua, Program Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja/Padat Karya Produktif, dan ketiga, Program Bantuan Khusus Murid bagi keluarga miskin dengan kegiatannya yaitu Bantuan Operasional Sekolah (BOS). 38

47 Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT (Program/Kegiatan) OUTPUT OUTCOMES IMPACT Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM): 1. Peningkatan keberdayaan masyarakat; 2. Peningkatan Infrastruktur Perdesaan; 3. Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP); 4. Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan. Program Perluasan dan Pengembangan Kesempatan Kerja/Padat Karya Produktif Program Bantuan Khusus Murid bagi keluarga miskin: Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Aspek Ekonomi: 1. PDB Sektor Pertanian 2. Jumlah Tenaga Kerja Sektor Pertanian Aspek Pendidikan: Persentase Angka Melek Huruf Perdesaan Aspek Kesehatan: Persentase Bayi menurut Persalinan Nakes dan Bukan Nakes Aspek Infrastruktur: Infrastruktur Perdesaan (Air Minum Bersih, Jamban, Luas Lantai, Air Minum Ledeng) Aspek Ekonomi: 1. Kontribusi PDB Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional 2. Tingkat Pengangguran Terbuka Desa dan Kota Aspek Pendidikan: Rata-Rata Lama Sekolah Masyarakat Perdesaan Aspek Kesehatan: Indikator Kesehatan Masyarakat Perdesaan Aspek Infrastruktur: 1. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sumber Air Minum Layak 2. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sumber Penerangan Listrik PLN Aspek Ekonomi: NTP Desa Aspek Pendidikan: 1. APM SD dan APK SLTP Sederajat di Perdesaan 2. APS SD, SLTP, dan SLTA Aspek Kesehatan: 1. AKB Nasional 2. AKI Nasional Aspek Infrastruktur: Tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) Pelaksanaan program dan kegiatan tersebut secara umum berdampak terhadap pencapaian output, outcome, dan impact. Dalam kaitan ini, capaian output, outcome, dan impact dicerminkan oleh indicator yang dikelompok ke dalam aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Dalam evaluasi ini, disadari betul bahwa upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan tidak terbatas pada aspek ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur semata. Demikian juga dengan program pembangunan perdesaan, tidak hanya dilakukan melalui ketiga program yang dijelaskan dalam evaluasi ini. Ketercapaian indikator pada level output, outcome, hingga impact ditentukan oleh pelaksanaan berbagai program dan kegiatan lintas sektor lainnya, baik yang dilakukan oleh pusat maupun pemerintah daerah. Disamping pelaksanaan program dan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, terdapat faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan, diantaranya faktor sosial budaya, ekonomi, geografis, maupun faktor lainnya. 2.1 Kebijakan Pembangunan Perdesaan Upaya pembangunan perdesaan telah dilakukan oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, dan masyarakat melalui berbagai kebijakan dan program-program yang telah ditetapkan. Upaya-upaya itu telah menghasilkan berbagai kemajuan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat perdesaan. Pembangunan perdesaan yang dilakukan dimaksudkan untuk menciptakan kesempatan kerja yang seluasluasnya dan mengurangi jumlah penduduk miskin secepat-cepatnya dengan melibatkan seluruh masyarakat (inclusive growth). Untuk meningkatkan koordinasi penanggulangan kemiskinan, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 15 Tahun 2010, tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang merupakan penyempurnaan dari Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 tentang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan di perdesaan difokuskan pada program penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat, yang meliputi: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM); Program Perluasan Dan Pengembangan Kesempatan Kerja/Padat Karya Produktif; Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dari sisi pembiayaan khusus Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat pada periode , alokasi keuangan yang dianggarkan mancapai Rp.10,47 triliun. Nilai tersebut merupakan akumulatif pembiayaan yang terdiri program: (1) Peningkatan Keberdayaan Masyarakat dan PNPM Perdesaan 39

48 dengan Kecamatan (PNPM Perdesaan); (2) Peningkatan Infrastruktur Perdesaan; (3) Pengembangan Usaha Agribisnis Pertanian (PUAP); (4) Percepatan Pembangunan Infrastruktur Perdesaan. Sejak tahun 2001 sampai Juni 2005, pemerintah telah mengalokasikan sebagian dari penghematan subsidi BBM yang kemudian dialokasikan sebagai Dana Bantuan Khusus Murid (BKM) bagi keluarga miskin. Untuk periode Juli Desember 2005, pemerintah menegaskan untuk melakukan perubahan penerima langsung dana tersebut, dari keluarga ke sekolah berupa Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program BOS ini didasarkan pada jumlah siswa yang terdaftar dalam satu sekolah. Sejak Juli 2005, pemerintah telah menyerahkan dana BOS ke seluruh sekolah SD dan SMP, dan secara terbatas masih melanjutkan Program BKM. Program BOS mencakup sekitar 41 juta siswa dengan rincian 62 persen berada pada jenjang sekolah dasar dan 38 persen pada pendidikan sekolah menengah pertama. Dengan cakupan yang semakin lebar dan satuan biaya yang terus meningkat, anggaran BOS meningkat dari Rp5,1 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp32,27 triliun pada tahun Capaian Output Pembangunan Perdesaan Aspek Ekonomi Secara umum, produksi sektor pertanian menunjukkan perkembangan yang terus meningkat tiap tahunnya. Produksi sektor pertanian di Indonesia utamanya disumbang oleh sub sektor tanaman pangan dengan porsi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sub sektor yang lainnya (hampir 50 persen rata-rata per tahun). Gambar 2. Perkembangan PDB Sektor Pertanian (Rp.Miliar) Sumber: BPS, 2010 Tingginya laju pertumbuhan dan distribusi PDB sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor ini berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Bukti empiris selama krisis juga menunjukkan bahwa tatkala sektor-sektor lain, khususnya sektor konstruksi dan industri manufaktur mengalami kontraksi hebat, sektor pertanian tetap mampu tumbuh positif. Ketika sektor-sektor lain melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian justru meningkat tajam. Tatkala ekspor produk non-pertanian mengalami penurunan, ekspor produk pertanian justru mengalami peningkatan tajam. Fenomena ini menunjukkan bahwa sektor pertanian patut dipertimbangkan sebagai alternatif andalan pembangunan ekonomi nasional menggantikan sektor industri (high tech industry) yang telah terbukti tidak sesuai untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. 40

49 Gambar 3. Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian (Persen) Tahun No Indikator Kinerja Satuan *) 2012**) 2013***) 1. Tanaman Bahan Makanan % 2,9 2,6 3,0 3,4 6,1 5,0 1,6 1,8 3,0 1,8 2. Perkebunan % 0,4 2,5 3,8 4,6 3,7 1,7 3,5 4,5 5,1 4,7 3. Peternakan dan hasilnya % 3,4 2,1 3,4 2,4 3,5 3,5 4,3 4,8 4,8 4,3 4. Kehutanan % 1,3-1,5-2,9-0,8 0,0 1,8 2,4 0,9 0,2 0,8 5. Perikanan % 5,6 5,9 6,9 5,4 5,1 4,2 6,0 7,0 6,5 6,4 6. Pertanian % 2,8 2,7 3,4 3,5 4,8 4,0 3,0 3,4 4,0 3,3 Sumber : BPS *) Angka sementara **) Angka sangat sementara ***) Angka sangat sangat sementara Namun jika melihat pertumbuhan PDB sektor pertanian dalam periode yang sama, pertumbuhan yang terus meningkat terjadi hingga paling tidak tahun 2008 yang kemudian menunjukkan kecenderungan menurun hingga Hal ini menjadi satu indikasi bahwa dinamika sektor pertanian sekalipun menunjukkan perkembangan yang positif namun menghadapi permasalahan-permasalahan tersendiri sehingga perlu menjadi perhatian yang serius ke depan. Sasaran pada RPJMN menyebutkan bahwa terdapat peningkatan dari peran dan kontribusi kawasan perdesaan sebagai basis pertumbuhan ekonomi nasional yang diukur dari meningkatnya peran sektor pertanian dan non-pertanian yang terkait dalam mata rantai pengolahan produk-produk berbasis perdesaan; serta terciptanya lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja nonpertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran. Dalam konteks pembangunan perdesaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan, perkembangan sektor pertanian memainkan peranan yang cukup krusial. Landasan utamanya tidak lain karena pekerjaan utama penduduk perdesaan adalah pada sektor pertanian. kondisi ini semestinya menjadi penghubung antara perkembangan sektor pertanian, penyerapan tenaga kerja, ekspor sektor pertanian dengan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Sebagaimana diketahui bahwa penyerapan tenaga kerja untuk sektor pertanian terus berfluktuasi dan mengalami penurunan selama periode (Gambar 4) Gambar 4. Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Tahun Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian (Ribu Orang) Sumber: BPS,

50 2.2.2 Aspek Pendidikan Angka Melek Huruf (AMH) masyarakat perdesaan hampir mencapai 100 persen mulai dari usia tahun. Sedangkan untuk kaum tua (usia 50+) maka AMH cukup rendah yaitu sekitar 60 persen. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan yang baik dari program yang dilakukan pemerintah pada bidang pendidikan di perdesaan. Satu hal yang menjadi catatan adalah masih rendahnya AMH perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Sehingga perlu adanya upaya lebih lanjut untuk meningkatkan AMH perempuan karena pendidikan sangat penting bagi perempuan yang akan bertindak sebagai ibu yang akan mendidik anak-anaknya. Gambar 5. Presentase Angka Melek Huruf Perdesaan Sumber: BPS, 2010 Perhitungan AMH menjadi sangat berguna untuk: mengukur keberhasilan program-program pemberantasan buta huruf, terutama di daerah perdesaan dimana masih tinggi jumlah penduduk yang tidak pernah bersekolah atau tidak tamat SD; menunjukkan kemampuan penduduk di suatu wilayah dalam menyerap informasi dari berbagai media; dan menunjukkan kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan dan tertulis. Sehingga angka melek huruf dapat berdasarkan kabupaten mencerminkan potensi perkembangan intelektual sekaligus kontribusi terhadap pembangunan daerah Aspek Kesehatan Selama periode , pertumbuhan dari persalinan yang dapat ditolong oleh tenaga kesehatan dan balita yang mendapat imunisasi semakin meningkat. Pertumbuhan untuk setiap indikator lebih besar pada periode dibandingkan dengan periode Hal ini menjadi indikasi bahwa adanya kemajuan dari program peningkatan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah selama periode tersebut. Rata-rata sekitar 76 persen persalinan sudah mendapat pertolongan dari tenga medis selama periode , dan selama periode tersebut balita yang sudah mendapat imunisasi mencapai lebih dari 70 persen. Adanya peningkatan dana yang digunakan oleh pemerintah untuk membiayai program peningkatan akses masyarakat pada kesehatan menjadi faktor penting yang mendukung tingginya angka presentase tersebut. 42

51 Gambar 6. Persentase Bayi Menurut Penolong Persalinan Tenaga Kesehatan dan Bukan Tenaga Kesehatan di Wilayah Perdesaan Sumber: BPS, diolah Aspek Infrastruktur Gambar di atas menunjukan perkembangan jumlah infrastruktur di perdesaan, meliputi sarana air minum bersih, jamban dan air minum leding, yang masih perlu ditingkatkan. Suatu pembangunan akan tepat mengenai sasaran, terlaksana dengan baik dan dimanfaatkan hasilnya apabila pembangunan yang dilakukan tersebut benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat. Untuk memungkinkan hal itu terjadi, khususnya pembangunan perdesaan, mutlak diperlukan pemberdayaan masyarakat desa mulai dari keikutsertaan perencanaan sampai pada hasil akhir dari pembangunan tersebut. Gambar 7. Infrastruktur Perdesaan Sumber: BPS, Capaian Outcome Pembangunan Perdesaan Aspek Ekonomi Tingginya laju pertumbuhan dan distribusi PDB sektor pertanian menunjukkan bahwa sektor ini berkontribusi besar terhadap PDB Indonesia. Sektor pertanian yang notabene merupakan sektor yang berada di kawasan perdesaan menunjukkan bahwa untuk semakin meningkatkan peranan dari sektor pertanian terutama terhadap masyarakat desa maka diperlukan infrastruktur yang baik di perdesaan. Sehingga diharapkan dengan adanya peningkatan terhadap sektor pertanian maka akan meningkatkan kemampuan dalam menyerap tenaga kerja dan akhirnya dapat mengurangi pengangguran di perdesaan. 43

52 Gambar 8. Perkembangan Kontribusi PDB Sektor Pertanian terhadap PDB Nasional Tahun Gambar 9. Tingkat Pengangguran Terbuka Desa dan Kota Sumber: BPS, 2010 Selama periode dapat dilihat bahwa terjadi penurunan jumlah pengangguran di desa dan di kota. Adapun penyebab terjadinya penurunan tingkat pengangguran di desa diduga disebabkan oleh terjadinya penurunan jumlah tenaga kerja di perdesaan, meningkatnya lapangan kerja di sektor pertanian, peningkatan jumlah industri yang berlokasi di desa, atau peningkatan program padat karya yang menjadi agenda dari kebijakan fiskal pemerintah. Dengan adanya program padat karya dan industri yang bersifat karya akan menjadi pilihan lain bagi tenaga kerja di perdesaan selain dari bekerja pada sektor pertanian. Gambar 10. Tingkat Pengangguran Total Desa dan Kota Perkotaan Perdesaan Total Sumber: BPS,

53 Walaupun diketahui bahwa tingkat pengangguran di kota lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan, akan tetapi trend dari tingkat pengangguran di desa yang relatif semakin menurun selama periode Kondisi ini menjadi sebuah harapan dimana ketika terjadi peningkatan peran sektor pertanian terhadap PDRB, pengangguran di desa semakin menurun Aspek Pendidikan Gambar 11. Rata-Rata Lama Sekolah Masyarakat Perdesaan Sumber: BPS, 2011 Tren rata-rata lama sekolah masyarakat perdesaan periode Secara umum, rata-rata lama sekolah masyarakat perdesaan mengalami peningkatan walaupun peningkatan masih sangat kecil. Angka rata-rata lama sekolah sebesar 6.2 tahun menunjukan bahwa penduduk perdesaan sebagian besar sudah lulus SD. Namun demikian jika dilihat berdasarkan gender, rata-rata lama sekolah penduduk penduduk perempuan masih dibawah 6 tahun (5.7) atau tidak tamat SD. Dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki yang sudah mencapai 6.7 tahun. Program Wajib Belajar 9 tahun yang sudah berjalan baik perlu terus disosialisasikan, terutama kepada masyarakat perdesaan. Upaya ini untuk peningkatan kesadaran masyarakat akan arti penting pendidikan. Selain itu, perlu juga diiringi dengan peningkatan kesempatan dan ketersediaan sarana serta tenaga pengajar. Karena pendidikan sebagai salah satu instrumen meningkatkan kesejahteraan dan saluran bagi masyarakat desa untuk dapat melepaskan diri dari jerat kemiskinan Aspek Kesehatan Pada kategori status gizi berdasarkan tinggi badan menurut usia dapat dilihat bahwa tahun 2010 keadaan gizi kita masih kurang. Dimana jumlah tinggi badan sangat pendek dan pendek (39.9 persen) masih sangat tinggi dan hampir sama dengan jumlah tinggi badan badan normal (60.1 persen). Selama jangka waktu tahun 2007 sampai 2010 tidak terjadi pertumbuhan yang signifikan. Menurut tabel Indikator Kesehatan di atas, keadaan gizi masyarakat Indonesia berdasarkan berat badan menurut tinggi badan sudah baik, dimana pada tahun 2010 kondisi normal dan gemuk sudah mencapai 86 persen. Terjadi kenaikan sekitar 10 persen dari tahun Kesadaran masyarakat untuk melakukan imunisasi dasar sudah baik walaupun persentase untuk imunisasi dasar tidak lengkap masih cukup tinggi yakni 34 persen. Sedangkan persentase masyarakat yang tidak pernah memberikan imunisasi dasar terhadap anaknya meningkat hampir 60 persen dari 11.1 persen di tahun 2007 menjadi 17.7 persen di tahun

54 Frekuensi penimbangan menunjukan tingkat kesadaran ibu untuk mengikuti perkembangan kesehatan anaknya. Persentase kategori tidak pernah di tahun 2010 sebesar 28.8 persen. Angka tersebut masih sangat tinggi, hal ini menunjukan masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk memperhatikan perkembangan kesehatan anaknya. Sedangkan untuk tempat penimbangan anak usia 6 59 bulan, Posyandu menjadi pilihan hamper sebagian besar ibu (86%) untuk melakukan penimbangan. Hal ini beralasan karena selain jaraknya yang relative lebih dekat dan juga tidak mengeluarkan biaya. Indikator kesehatan pada kategori kepemilikan Kartu Menuju Sehat (KMS) dimana pada tahun 2007 persentase yang tidak memiliki KMS masih cukup besar yakni 39.3 persen. Namun terjadi pertumbuhan yang signifikan dimana pada tahun nilai tersebut turun menjadi 24.1 persen. Tabel 1. Indikator Kesehatan Masyarakat Perdesaan Indikator Tahun Gizi buruk Kategori status gizi BB/U Kategori status gizi TB/U Gizi kurang Gizi baik Gizi lebih Sangat pendek Pendek Normal Sangat kurus Kategori status gizi BB/TB Kurus Normal Gemuk Lengkap Imunisasi Dasar Tidak lengkap Tidak sama sekali Tidak pernah Frekuensi penimbangan (kali) 1-3 kali kali RS Puskes Tempat Penimbangan Anak Umur 6-59 Bulan Polindes Posyandu Lainnya Kepemilikan KMS* Kepemilikan KIA** Menerima kapsul vitamin A Keterangan: BB/U = Berat Badan menurut Umur; TB/U = Tinggi Badan menurut Umur; BB/TB = Berat Badan menurut Tinggi Badan *) 1= Punya KMS dan dapat menunjukkan; *) 2= Punya KMS, tidak dapat menunjukkan/disimpan oleh orang lain; *) 3= Tidak punya KMS **) 1= Punya Buku KIA dan dapat menunjukkan; **) 2= Punya Buku KIA, tidak dapat menunjukkan/disimpan oleh orang lain; **) 3= Tidak punya KIA Sumber: Riskesdas 2007 dan

55 2.3.4 Aspek Infrastruktur Berdasarkan data pada Gambar 11. maka dapat dilihat bahwa masyarakat desa di setiap propinsi sudah dapat mengakses air minum yang layak pada periode kecuali untuk desa di Propinsi Papua, Kalbar, dan Banten. Akses masyarakat desa terhadap air bersih pada tahun 2010 semakin meningkat dibandingkan dengan tahun Dengan dana sebesar Rp ,0 rupiah yang digunakan untuk pengembangan dan pengelolaan air serta dana sebesar Rp20.436,0 juta (untuk program penyediaan air baku) maka sasaran pembangunan RPJMN dapat tercapai. Gambar 12. Persentase Rumah Tangga Perdesaan Menurut Sumber Air Minum Layak Sumber: BPS, 2010 (a) Tahun 2009 (b) Tahun 2010 Masyarakat desa di setiap propinsi sudah dapat mengakses sumber penerangan listrik. Walaupun demkian, masih terdapat desa yang belum tersentuh listrik yaitu desa terpencil yang ada di Propinsi Papua, Papua Barat, NTT, Kepri. Satu hal yang menarik adalah di Propinsi Kepri, terjadi peningkatan yang cukup signifikan untuk akses desa terhadap sumber penerangan listrik yaitu mencapai lebih dari 100 persen. Dalam RPJMN hanya disebutkan bahwa sasaran yang ingin dicapai adalah peningkatan akses terhadap listrik. 47

56 Gambar 13. Persentase Rumah Tangga Perdesaan Menurut Sumber Penerangan Listrik PLN Sumber: BPS, 2010 Jika dilihat pada Gambar 13 maka dapat diketahui bahwa sasaran tersebut telah tercapai tapi tidak untuk semua propinsi, seperti pada Propinsi Papua, Papua Barat, Riau, dan Kalteng. Dana yang digunakan untuk meningkatkan askes masyarakat terhadap listrik adalah sebesar Rp ,0 juta. Dengan dana sebesar itu ternyata belum cukup untuk dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap listrik sampai ke Propinsi Papua dan Papua Barat. Gambar 14. Persentase Rumah Tangga Perdesaan menurut Sanitasi Layak Sumber: BPS, Capaian Impact Pembangunan Perdesaan Aspek Ekonomi Pada tahun 2010, rata-rata nilai tukar petani sebesar dimana untuk masyarakat perdesaan di propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia masih mengalami nilai NTP dibawah rata-rata. Nilai NTP penting untuk diketahui karena dapat menunjukkan besarnya pendapatan dan pengeluaran petani di perdesaan. NTP diperoleh dari persentase rasio indeks harga yang diterima petani (IT) dengan indeks harga yang dibayar petani (IB). NTP > 100 menunjukkan kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani lebih baik dibandingkan keadaan pada tahun dasar, yaitu tahun NTP = 100 berarti kemampuan/daya beli petani sama dengan keadaan pada tahun dasar. Sedangkan NTP<100 menunjukkan kemampuan/daya beli (kesejahteraan) petani menurun dibandingkan keadaan pada tahun dasar. 48

57 Berdasarkan kategori tersebut, maka masih banyak petani di perdesaan yang memiliki kemampuan daya beli yang menurun. Peningkatan pendapatan petani dapat meningkatkan NTP yang akan sejalan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan pendapatan petani dapat melalui jalur peningkatan jumlah produksi ataupun peningkatan harga komoditas pertanian. Akan tetapi, untuk jalur yang terakhir cukup beresiko karena juga akan berpengaruh terhadap pengeluaran petani. Gambar 15. Nilai Tukar Petani (NTP) Desa Tahun 2010 Rata-rata NTP: Sumber: BPS, Aspek Pendidikan Capaian dari APM SD di wilayah perdesaan sudah hampir 100 persen, artinya hampir 100 persen penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan sudah menikmati bangku sekolah dasar (SD). Pertumbuhan APM SD semakin meningkat selama periode , hal yang tidak jauh berbeda dengan APK SLTP selama periode Tabel 2. APM SD dan APK SLTP Sederajat di Perdesaan Tahun APM SD dan Sederajat APK SLTP dan Sederajat NA NA NA NA Rata-Rata Growth Keterangan: NA: data tidak tersedia Sumber: BPS 2011, diolah Akan tetapi, besarnya APK SLTP masih sekitar 77 persen yang menjadikan perlunya usaha lebih lanjut agar APK SLTP dapat meningkat. Dengan peningkatan nilai APK SLTP yang hampir sama dengan nilai APM SD (yaitu 93 persen) maka menunjukkan sudah adanya keberhasilan pemerintah dalam pelaksanaan Program Wajib Belajar 9 tahun. Pertumbuhan angka partisipasi sekolah untuk tingkat SD, SLTP, dan SLTA selama dalam kurun waktu Tren pertumbuhan angka partisipasi sekolah yang positif ini cukup menggembirakan walaupun masih perlu upaya keras agar dapat meningkat secara signifikan. 49

58 Pertumbuhan angka partisipasi sekolah untuk tingkat SD, SLTP, dan SLTA selama dalam kurun waktu Tren pertumbuhan angka partisipasi sekolah yang positif ini cukup menggembirakan walaupun masih perlu upaya keras agar dapat meningkat secara signifikan. Gambar 16. Angka Partisipasi Sekolah dan Kesejahteraan Masyarakat Perdesaan ,4 94,5 95,1 95,6 96,1 96,6 96, ,8 73,3 72,6 75,6 79,3 80,1 80, APS-SD APS-SLTP APS-SLTA ,4 36,4 36,7 38,9 43,0 44,5 45,0 30 Sumber: BPS, diolah Mencapai pendidikan dasar untuk semua merupakan tujuan kedua dari MDGs. Tujuan ini memiliki target untuk menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, dimanapun, laki-laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (SD). Penilaian terhadap pencapaian tujuan kedua dari MDGs didasarkan atas indikator yaitu, angka partisipasi sekolah (APS), angka partisipasi kasar (APK), tingkat butu huruf, rata-rata lama sekolah. Pencapaian Indonesia dalam APS telah mencapai hasil yang baik, yaitu diatas 90 persen. Begitu juga dengan pencapaian APK SMP dan rata-rata lama sekolah untuk usia lebih dari 15 tahun telah mencapai angka diatas 60 persen. Sehingga untuk kedua indikator tersebut agar dapat mencapau tujuan MDGs yang kedua ini agaknya masih perlu perjuangan yang panjang Aspek Kesehatan Capaian pembangunan perdesaan dilihat dari indikator Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Harapan Hidup (AHH). AKI dan AKB di Indonesia merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Berbagai faktor yang terkait dengan resiko terjadinya komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan cara pencegahannya telah diketahui, namun demikian jumlah kematian ibu dan bayi masih tetap tinggi. Gambar 17. Angka Kematian Bayi (Tingkat Nasional) Periode 2000 dan 2005 Sumber: BPS, 2010 Akan tetapi pertumbuhan AKB semakin menurun pada tahun 2005 dibandingkan dengan tahun Penurunan ini cukup signifikan yaitu sekitar 20 dari 1000 kelahiran hidup, sehingga target pada 2009 akan 50

59 dapat tercapai yaitu penurunan sekitar 26 dari 1000 kelahiran hidup (RPJMN ). Keterbatasan data yang diperoleh membuat analisis hanya dengan membandingkan data pada tahun 2000 dan Gambar 18. Angka Kematian Ibu per Kelahiran (Tingkat Nasional) Sumber: SDKI 1994, 1997, , Kondisi yang sama juga terjadi pada AKI dimana sejak tahun maka terdapat penurunan jumlah AKI sekitar 42 dari kelahiran hidup. Meskipun secara nasional AKI dan AKB sudah menurun, akan tetapi disparitas status kesehatan antar tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaanperdesaan masih cukup tinggi. Angka kematian bayi dan angka kematian balita pada golongan termiskin hampir empat kali lebih tinggi dari golongan terkaya. Selain itu, angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan lebih tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat pendidikan rendah Aspek Infrastruktur Tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) di Indonesia. Jumlah provinsi yang berada di bawah rata-rata hampir sama sama dengan yang berada diatas rata-rata. Provinsi di Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki nilai RIDI yang cukup tinggi (100), hal ini menunjukan infrastruktur di provinsi tersbut relatif sudah bagus. Provinsi-provinsi di pulau Kalimatan memiliki nilai RIDI-nya tidak merata, dimana Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mempunyai nilai RIDI di atas rata-rata dibandingkan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah yang berada di bawah rata-rata. Sedangkan provinsi yang tertinggal dalam hal pembangunan infrastruktur adalah Provinsi Papua. Untuk itu, pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk peningkatan akses infrastruktur yang lebih baik dalam rangka percepatan proses penanggulangan kemiskinan sangat diperlukan. Terutama peningkatan kuantitas dan kualitas infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi produktif dan infrastruktur permukiman di kawasan perdesaan. 51

60 Gambar 19. Tingkat Rural Infrastructure Development Index (RIDI) Tahun 2010 Sumber: World Bank, 2010 Papua Papua Barat Malut Maluku Sulbar Gorontalo Sultra Sulsel Sulteng Sulut Kaltim Kalsel Kalteng Kalbar NTT NTB Bali Banten Jatim DIY Jateng Jabar Kepri Babel Lampung Bengkulu Sumsel Jambi Riau Sumbar Sumut NAD - 20,00 40,00 60,00 80,00 100,00 120,00 3. Rekomendasi Peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan pada tahun-tahun berikutnya memerlukan usaha dari berbagai pihak melalui program pembangunan. Berdasarkan hasil evaluasi, maka dapat disampaikan beberapa rekomendasi kebijakan untuk pembangunan perdesaan ke depan. 3.1 Aspek Ekonomi 1. Pembangunan saran irigasi dan meningkatkan anggaran untuk revitalisasi sarana irigasi yang sudah ada. Sarana irigasi yang baik dapat mendukung produksi komoditi pertanian, terutama padi. Selain itu, dibutuhkan juga peningkatan penyediaan alat-alat pertanian yang mencukupi, sarana transportasi bagi kemudahan pemasaran produksi pertanian, serta pengadaan penyuluhan bagi petani yang berguna untuk meningkatkan produktivitas pertaniannya. 52

61 2. Perlu diaktifkan kembali adanya Lumbung padi desa yang dapat membantu petani dan masyarakat perdesaan dalam mengatasi adanya kerawanan pangan. Hal ini dapat membantu Bulog dalam menjaga ketahanan pangan petani. 3. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi produksi komoditi pertanian dan menjadi isu hangat saat ini adalah perubahan iklim. Sehingga perlu adanya informasi yang tepat yang dapat memprediksi bagaimana kondisi iklim sehingga petani dapat mencari cara mengatasinya. Diperlukan sebuah early warning system mengenai perubahan iklim (termasuk el nina dan la nino) yang dapat diakses oleh masyarakat perdesaan. Sehingga para petani dapat mengatur musim tanam. Ketiga hal tersebut akan berdampak positif terhadap peningkatan produksi pertanian. Dengan meningkatnya produksi pertanian maka akan dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian sehingga kesejahteraan petani dan masyarakat perdesaan dapat meningkat. 3.2 Aspek Pendidikan Peningkatan anggaran untuk pembangunan infrastruktur sekolah terutama sekolah dasar dan menengah di perdesaan sangat penting dilakukan. Dana BOS yang ada perlu diberikan khusus untuk pembangunan infrastruktur sekolah di perdesaan. 3.3 Aspek Kesehatan 1. Berbagai wilayah perdesaan seringkali mengalami kekurangan tenaga kesehatan sehingga diperlukan adanya pemenuhan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi minimal yang sesuai dalam satu paket. Pembangunan berbagai sarana dan prasarana kesehatan seperti rumah sakit, poliklinik, puskesmas, puskesmas pembantu, tempat praktek, serta tersedianya tenaga-tenaga dokter, bidan, dan tenaga paramedis lain hingga ke pelosok-pelosok daerah perlu ditingkatkan untuk menunjang kualitas kesehatan penduduk. Hingga saat ini masih banyak puskesmas yang belum mempunyai dokter, sehingga kriteria penempatan yang digunakan daerah biasanya berdasarkan pada kekosongan tenaga dokter di Puskemas. Oleh karena itu secara nasional kebijakan untuk pengadaan dokter Puskesmas ini dapat dijadikan suatu prioritas Untuk meningkatkan atau mempertahankan tenaga kesehatan di kecamatan terpencil, perlu diperhatikan masalah insentif yang seharusnya lebih baik daripada petugas di kecamatan yang tidak terpencil, termasuk fasilitas (rumah, alat) serta kemudahan karir. 2. Meningkatkan jumlah infrastruktur kesehatan seperti polindes, puskesmas, dan posyandu. 3.4 Aspek Infrastruktur 1. Pembangunan infrastruktur membutuhkan biaya yang besar dan salah satu alternatif sumber dana adalah dari dana Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sekitar wilayah perdesaan. 2. Penambahan jumlah program padat karya seperti pembangunan jalan, saluran irigasi, dan lain-lain. Program padat karya ini dapat meningkatkan infrastruktur di perdesaan dan meningkatkan penyerapan tenaga kerja. 53

62 7 EVALUASI PERANAN USAHA KECIL MENENGAH DALAM MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT * Abstrak Penyusunan evaluasi dilakukan untuk Mengevaluasi peran UMKM dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama tahun dan menformulasikan rekomendasi kebijakan dalam peningkatan peran UMKM, yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah kesejahteraan masyarakat secara umum. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia semakin meningkat. Dilihat dari segi output, selama periode , jumlah unit usaha UMKM mendominasi seluruh unit usaha secara nasional dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan investasi nasional terus mengalami peningkatan pula. Hanya kontribusi terhadap pembentukan total ekspor nasional yang mengalami penurunan dalam kurun waktu Peningkatan pada output mampu menghasilkan peningkatan pada produktivitas per unit usaha meski relatif kecil dan menghasilkan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pembentukan PDB pada tahun Dalam rangka mewujudkan pengembangan UMKM, masih terdapat sejumlah tantangan yang harus dihadapi baik bersifat maupun internal antara lain Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA)-Cina (ACFTA), Lembaga keuangan yang terbatas, kualitas produk berkaitan dengan ekspor, dan permodalan dan pemasaran yang terbatas, serta rendahnya kualitas SDM. Rekomendasi yang ditentukan antara lain pembenahan aspek regulasi, pelaksanaan koordinasi antarinstitusi pemerintah sehingga tercipta konsistensi dalam menyusun konsep kebijakan yang melibatkan semua pihak terkait, perumusan konsep dan ide tentang pasar bebas terhadap UMKM, agar UMKM sedikit demi sedikit mengarahkan pemasaran produknya kepada pasar regional dan global, mengurangi masalah perdagangan antar pulau dan antar daerah, serta mempertahankan program KUR yang merupakan model perkreditan yang inovatif. * Diringkas dari hasil Evaluasi Peran Usaha Mikro Kecil Menengah Dalam Meningkatkan Kesejahetraan Masyarakat (2011), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) merupakan salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , pembangunan bidang koperasi dan UMKM, secara eksplisit ditujukan pada upaya untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing dalam rangka memperkuat perekonomian domestik dengan orientasi dan berdaya saing global. Dalam RPJMN , Pemberdayaan Koperasi dan UMKM juga menjadi salah satu prioritas dari Bidang Ekonomi. Adapun salah satu sasaran dari prioritas bidang Pemberdayaan koperasi dan UMKM yang terkait dengan kontribusi perannya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat adalah terlaksananya pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam suatu program nasional sebagai langkah strategis pemaduan dan penyelarasan program dan kegiatan kementerian dan lembaga sebagai bagian dari upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama mereka yang mengandalkan kehidupannya dari kegiatan koperasi dan kegiatan UMKM. Ditinjau dari perkembangan kuantitas dan kualitas dari koperasi dan UMKM pada periode pembangunan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Jumlah koperasi meningkat dari unit pada tahun 2005 menjadi unit pada tahun Ditinjau dari aspek penyerapan tenaga kerja, koperasi mampu menyerap tenaga kerja sebanyak orang pada tahun 2005 dan meningkat menjadi orang pada tahun Sementara itu untuk perkembangan UMKM, dari segi kuantitas, data statistik UKM menunjukkan peningkatan jumlah UMKM sebesar 2,88 persen, yaitu dari 49,8 juta unit pada tahun 2007 menjadi 51,3 juta unit pada tahun Sementara itu, dari segi kualitas yang salah satunya ditunjukkan oleh produktivitas UMKM per unit usaha, data Laporan Lima Tahun Pelaksanaan 54

63 RPJMN menunjukkan bahwa terdapat peningkatan produktivitas sebesar 20,83 pada tahun 2005 menjadi 22,73 pada tahun Pada tahun 2007, UMKM menyumbang 56,2 persen terhadap PDB harga berlaku dan 19,9 persen terhadap ekspor nonmigas nasional. Meskipun sumbangan UMKM belum cukup signifikan, UMKM tetap merupakan tiang penyerap utama tenaga kerja di Indonesia. Berbagai kemajuan tersebut menunjukkan setidaknya eksistensi koperasi dan UMKM. namun masih terdapat hal lain yang perlu diperjelas, yaitu seberapa besar peran koperasi dan UMKM dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pada hal apa sajakah koperasi dan UMKM berperan cukup besar dan vital. Peru diperhatikan bahwa secara spesifik, penyusunan evaluasi ini hanya akan dibatasi pada peran usaha kecil menengah (UKM) saja, sementara untuk usaha mikro dan koperasi tidak akan dibahas lebih lanjut. Tujuan dari penyusunan evaluasi Peran UMKM dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat adalah: (a) Mengevaluasi peran UMKM dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat selama tahun berdasarkan RPJMN dengan memperhatikan RPJMN ; dan (b) Menformulasikan rekomendasi kebijakan dalam peningkatan peran UMKM, yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah kesejahteraan masyarakat secara umum. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Peranan Usaha Kecil Menengah dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat berikut menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas, program, dan kegiatan), pembiayaan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Adapun ouput yang dihasilkan adalah peningkatan jumlah unit usaha UMKM, dan nilai investasi UMKM, hanya nilai ekspor UMKM yang belum menunjukkan adanya peningkatan. Dengan peningkatan pada jumlah unit usaha UMKM dan nilai investasi UMKM, produktivitas per unit usaha (outcomes) mengalami peningkatan pula meski relatif kecil. Kemudian, dukungan input, output, dan outcomes tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, yang ditunjukkan dengan besarnya penyerapan tenaga kerja dan kontribusi dalam produksi nasional (impact). Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT 1. Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM a. Perluasan pelayanan kredit/ pembiayaan bank bagi koperasi dan UMKM, yang didukung pengembangan sinergi dan kerja sama dengan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya. dan b. Peningkatan peran lembaga keuangan bukan bank, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP)/Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), perusahaan modal ventura, anjak piutang, sewa guna usaha, dan pegadaian, dalam Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai mendukung pembiayaan capaian di level output, outcome, dan impact. bagi koperasi dan UMKM, disertai dengan pengembangan jaringan 1. Jumlah unit usaha UMKM Meningkat dari 44,78 juta unit (2004) menjadi 56,53 juta unit (2012) 2. Investasi UMKM Rp300,18 triliun (2012) meningkat dari Rp154,38 triliun (2004) dengan pertumbuhan ratarata 8,67 persen per tahun 3. Nilai ekspor UMKM 20,29 persen (2004) menurun menjadi 14,06 persen (2012) 55 Produktivitas per unit usaha 26,62 juta/unit (2012) dari 20,83 juta/tenaga kerja (2005) dengan pertumbuhan rata-rata 3.57 persen per tahun 1. Penyerapan tenaga kerja 114,14 juta orang (2013) meningkat dari 80,45 juta orang (2004) atau tumbuh rata-rata 3,96 persen per tahun 2. Kontribusi dalam produksi nasional meningkat menjadi 57,49 persen (2012) dari 55,38 persen (2004)

64 2.2 Kebijakan Pembangunan UMKM Dari sisi input UMKM, selama periode , Pemerintah telah menerapkan lima program yang diarahkan untuk memberdayakan koperasi dan UMKM sehingga dapat meningkat output atau keluarannya. Program-program tersebut adalah: (1) Program Penciptaan Iklim Usaha Bagi UMKM; (2) Program Pengembangan Sistem Pendukung Usaha Bagi UMKM; (3) Program Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan Kompetitif UKM; (4) Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro; dan (5) Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan Koperasi. Sementara selama periode , program yang diterapkan Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM. Adapun program dan kegiatan yang diperkirakan paling berperan dalam pencapaian jumlah unit usaha, nilai investasi UMKM dan nilai ekspor UMKM (output) adalah Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM antara lain melalui kegiatan Perluasan pelayanan kredit/ pembiayaan bank bagi koperasi dan UMKM, yang didukung pengembangan sinergi dan kerja sama dengan lembaga keuangan/ pembiayaan lainnya dan Peningkatan peran lembaga keuangan bukan bank, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP)/Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS), perusahaan modal ventura, anjak piutang, sewa guna usaha, dan pegadaian, dalam mendukung pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, disertai dengan pengembangan jaringan informasinya. Dari segi pembiayaan, secara total pagu indikatif untuk kelima program pada , terdapat penurunan total pagu pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun 2005, yakni menjadi Rp975 milyar dari Rp1,08 triliun pada tahun Adapun program yang memiliki persentase pagu terbesar adalah Program Pengembangan Usaha Skala Mikro yang mencapai persen dari total pagu indikatif tahun Selain kelima program tersebut, terdapat program KUR yang merupakan program untuk membantu dalam hal pembiayaan UMKM. Sampai dengan bulan Desember 2010, total debitur mencapai dan nilai kredit yang berhasil direalisasikan adalah sebesar Rp13.107,16 miliar. Selama pada periode , khusus untuk Program Pemberdayaan Koperasi dan UMKM, total pagu pada tahun 2014 meningkat menjadi 552,3 miliar dari 442,9 miliar pada tahun Capaian Output Pembangunan KUKM Perkembangan output UMKM akan dilihat dari tiga hal, yaitu perkembangan jumlah unit usaha UMKM, perkembangan investasi UMKM dan perkembangan nilai ekspor UMKM. Jumlah unit usaha UMKM dari tahun menunjukkan peningkatan, yaitu 44,78 juta unit pada tahun 2004 menjadi 56,53 juta unit pada tahun Apabila dibandingkan dengan jumlah usaha besar, proporsinya relatif tetap, yaitu 99,99 persen, atau mendominasi seluruh unit usaha secara nasional. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM dapat berpengaruh terhadap kemajuan perekonomian nasional, karena kuantitas unit usahanya yang sangat besar. Kontribusi UMKM terhadap pembentukan investasi nasional pada tahun 2012 menunjukkan peningkatan pula jika dibandingkan dengan tahun 2004, baik secara jumlah nominal maupun berdasarkan proporsi terhadap pembentukan investasi nasional. Pada tahun 2012, UMKM memberikan kontribusi sebesar Rp300,18 triliun meningkat dari Rp154,38 triliun pada tahun 2004 dengan pertumbuhan rata-rata 8,67 persen per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa UMKM memiliki kontribusi yang semakin besar terhadap pembentukan investasi nasional, lebih jauh lagi terhadap perkembangan perekonomian Indonesia. Nilai ekspor UMKM menunjukkan peningkatan pula, yaitu dari Rp.95,55 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp.187,44 triliun pada tahun Peningkatan tersebut memiliki dampak positif bagi pembentukan devisa negara. Pada tahun 2004, persentase nilai ekspor UMKM terhadap total ekspor nasional adalah 20,29 persen. Namun menurun pada tahun 2009, menjadi 17,02 persen dari ekspor nasional, dan menurun kembali pada tahun 2012 menjadi 14,06 persen. Nilai ekspor UMKM yang baru mencapai sekitar 14 persen tersebut menunjukkan bahwa kontribusi ekspor UMKM masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan usaha besar. Kecenderungan penurunan nilai ekspor yang terjadi menunjukkan pula turunnya 56

65 daya saing produk UMKM dalam pasar ekspor. Namun demikian, ekspor UMKM memiliki pertumbuhan rata-rata yang cukup besar selama periode , yakni 8,79 persen. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Unit Usaha, Investasi, dan Nilai Ekspor UMKM, Tahun Skala Usaha Satuan Rata-Rata Pertumbuhan (%) Jumlah Unit Usaha Investasi Nilai Ekspor Juta Unit Triliun Rupiah Triliun Rupiah 44,78 47,1 49,02 50,15 51,41 52,77 53,82 55,21 56,53 2,96 154,38 178,27 181,7 194,75 222,74 223,92 247,49 260,93 300,18 8,67 95,55 110,34 121,95 143,01 183,76 162,25 162,25 175,89 187,44 8, Capaian Outcomes Pembangunan UMKM Perkembangan outcomes pembangunan UMKM dilihat dari produktivitas per unit usaha. selama periode 2005 hingga 2012, produktivitas UMKM per tenaga kerja mengalami peningkatan, yakni menjadi 26,62 juta/unit dari 20,83 juta/tenaga kerja pada tahun 2005 dengan pertumbuhan rata-rata 3.57 persen per tahun. Namun, jika dibandingkan dengan Usaha Besar, produktivitas UMKM per tenaga kerja masih jauh tertinggal. Rendahnya nilai produktivitas UMKM mengindikasikan perlunya penguatan UMKM dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gambar 2. Produktivitas UMKM per Unit Usaha Tahun Rp Juta per Unit Produktivitas UMKM per Unit Capaian Impact Pembangunan UMKM Peranan UMKM dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dilihat dari 2 (dua) hal, yaitu penyerapan tenaga kerja dan kontribusi dalam produksi nasional Kontribusi UMKM terhadap penyerapan tenaga kerja pada tahun 2013 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun Pada tahun 2013, jumlah tenaga kerja yang terserap adalah 114,14 juta orang meningkat dari 80,45 juta orang pada tahun 2004 atau tumbuh rata-rata 3,96 persen per 57

66 tahun. Hal ini menunjukkan UMKM memiliki peran yang sangat besar dalam hal penyerapan tenaga kerja. Namun, peningkatan dari segi kuantitas tersebut belum diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga kerja UMKM. Kontribusi UMKM terhadap PDB Nasional menurut harga konstan pada tahun 2012 menunjukkan peningkatan dibandingkan dengan tahun 2004, baik secara jumlah nominal maupun jika dilihat berdasarkan proporsi terhadap pembentukan PDB nasional. Secara jumlah nominal, pada tahun 2012 UMKM memberikan kontribusi sebesar Rp1.451,50 triliun meningkat dari Rp922,50 triliun pada tahun 2004 dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5,83 persen per tahun selama periode 2005 hingga Sementara dilihat dari proporsi terhadap pembentukan PDB secara nasional, kontribusi UMKM pada tahun 2012 juga meningkat menjadi 57,49 persen dari 55,38 persen pada tahun Sepintas dapat dikatakan bahwa kinerja UMKM baik karena kontribusinya terhadap PDB tinggi. Namun, kontribusi yang tinggi ini bisa disebabkan oleh dua kemungkinan, yakni karena jumlah unitnya sangat banyak, atau produktivitas per unitnya tinggi. Kalau yang terakhir ini adalah kenyataan, maka dapat dikatakan bahwa memang kinerja UMKM baik. Tabel 2. Perkembangan Tenaga Kerja dan Kontribusi terhadap PDB UMKM, Tahun Skala Usaha Satuan Rata-Rata Pertumbuhan (%) Penyerapan Tenaga Kerja PDB UMKM Juta Orang Triliun Rupiah 80,45 83,59 86,83 88,74 90,9 96,21 99,4 101,72 107,66 114,14 3,96 922,5 979,5 1,035,62 1,099,30 1,165, , , , ,50-5,83 3. Rekomendasi Peranan UMKM dalam perekonomian Indonesia menunjukkan peningkatan. Dilihat dari segi output, selama periode , jumlah unit usaha UMKM dan kontribusi UMKM terhadap pembentukan investasi nasional terus mengalami peningkatan. Hanya kontribusi terhadap pembentukan total ekspor nasional yang mengalami penurunan dalam kurun waktu Demikian pula jika dilihat dari segi produktivitas, produktivitas per unit usaha meskipun menunjukkan peningkatan namun nilainya masih relatif kecil. UMKM memiliki produktivitas yang jauh tertinggal dibandingkan dengan Usaha Besar. Namun demikian, UMKM tetap memiliki peran sangat penting dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya peningkatan penyerapan tenaga kerja dan kontribusi terhadap pembentukan PDB pada tahun Terdapat setidaknya lima argumen yang kuat untuk melakukan pengembangan UMKM ini, yaitu: (1) UMKM mampu menciptakan lapangan kerja baru; (2) UMKM mampu menciptakan basis usaha yang beragam dan fleksibel melalui penciptaan kelompok wirausahawan yang mau dan mampu menghadapi resiko; (3) UMKM mampu mendorong kompetisi antara unit usaha sehingga dunia usaha berkembang dinamis dan wajar; (4) UMKM mampu mendorong inovasi, baik dalam proses produksi maupun produk; dan (5) UMKM mampu menciptakan keterkaitan industrial dan menghasilkan suatu lingkungan lapangan kerja yang luas. Dalam rangka penguatan peran UMKM, tantangan baik eksternal maupun internal, beserta peluang, dan kekuatan UMKM perlu diindetifikasi dengan jelas. Tantangan eksternal pengembangan UMKM meliputi: (1) Pemberlakuan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA)-Cina (ACFTA); (2) Keterbatasan informasi perbankan mengenai kelayakan dan kondisi keuangan UMKM; (3) Lembaga keuangan yang terbatas; dan (4) Kurangnya peran sektor swasta. Sementara tantangan internal meliputi: (1) kualitas produk berkaitan dengan ekspor; (2) Perencanaan usaha yang kurang baik dan kurangnya informasi pasar menjadikan delivery time menjadi satu masalah lagi dalam UMKM dalam mengekspor produknya; (3) Permodalan dan pemasaran yang terbatas; (4) Organisasi dan manajemen yang pada prinsipnya berawal dari masih rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Sementara itu, kekuatan UMKM terletak pada 58

67 karakteristik yang dimilikinya. UMKM memiliki segmen usaha pasar yang spesifik, umumnya berbasis pada sumberdaya ekonomi lokal dan tidak bergantung pada impor, serta hasilnya mampu diekspor karena keunikannya. UMKM memanfaatkan sumber daya alam sekitar bahkan banyak yang memanfaatkan limbah atau hasil sampingan dari industri besar atau industri yang lainnya. Guna menghadapi tantangan yang ada serta memanfaatkan potensi UMKM secara maksimal maka salah satu pembenahan utama yang diperlukan adalah dari aspek regulasinya. Selain itu, diperlukan pula koordinasi antarinstitusi pemerintah untuk tetap memiliki konsistensi dalam membuat konsep kebijakan yang melibatkan semua pihak terkait. Selain itu pemerintah perlu membedakan dengan jelas apakah kebijakan UMKM adalah kebijakan ekonomi atau kebijakan kesejahteraan. Dalam jangka panjang UMKM harus dipandang sebagai unit ekonomi yang dilakukan dengan pendekatan bisnis. Perlu adanya koordinasi yang intensif antara Menteri Negara dan departemen yang menangani UMKM, diharapkan pada saatnya nanti akan hanya ada satu institusi yang menjadi pembuat kebijakan UMKM. Dalam rangka menghadapi pasar yang semakin terbuka maka pemerintah Indonesia perlu mempromosikan konsep dan ide tentang pasar bebas terhadap UMKM, agar UMKM sedikit demi sedikit mengarahkan pemasaran produknya kepada pasar regional dan global. Sedangkan untuk memperkuat posisi UMKM dalam perdagangan domestik maka perlu untuk mengurangi masalah perdagangan antar pulau dan antar daerah, sehingga pemerintah perlu mengatur perdagangan domestik dalam rangka mengurangi atau menghilangkan gangguan-gangguan dalam melakukan usaha perdagangan. Terkait dengan program KUR yang merupakan model perkreditan yang inovatif yang diduga sangat bermanfaat bagi UMKM dalam rangka pengembangan modal UMKM untuk mendukung peningkatan produksi dan pendapatan UMKM. Oleh sebab itu program ini harus dipertahankan dan dikembangkan oleh Pemerintah dan kalangan stakeholder lainnya dengan mengatasi semua masalah yang menjadi kendala dalam pengembangan program tersebut. 59

68 8 PERCEPATAN PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU * Abstrak Angka kematian ibu (AKI) di Indonesia telah berhasil ditekan dari 390 (1994) menjadi 228 (2007) per 100 ribu kelahiran hidup. Walaupun demikian, kontribusi Indonesia dalam menyumbang AKI melahirkan di dunia ternyata juga besar yang dicerminkan dengan masuknya Indonesia dalam sebelas negara yang berkontribusi terhadap 65 persen jumlah kematian ibu melahirkan di dunia. Komitmen Indonesia yang kuat dalam upaya penurunan AKI diwujudkan dengan berperan aktif meratifikasi berbagai kesepakatan dunia, diantaranya Millenium Development Goals (MDGs) yang mentargetkan AKI pada 2015 sebesar 102. Dari sisi kebijakan, upaya penurunan AKI tercakup dalam Prioritas Nasional pembangunan kesehatan yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dengan target AKI tahun 2014 sebesar 112. Selama periode RPJMN ke-2 tersebut, Pemerintah telah melakukan berbagai upaya terencana dan sistematis untuk menurunkan AKI, antara lain, dengan melakukan pendekatan subsistem (1) Upaya kesehatan, (2) Pembiayaan kesehatan, (3) Sumber daya manusia kesehatan, (4) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, (5) Manajemen dan informasi kesehatan, dan (6) Pemberdayaan masyarakat. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu pada dasarnya bukan hanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, tetapi juga peningkatan pendidikan perempuan dan pemberdayaan perempuan dan keluarga yang melibatkan sektor lain seperti pendidikan, pemberdayaan perempuan, dan keluarga berencana. Selain itu, dilakukan pula penyusunan dokumen peta jalan percepatan pencapaian target MDGs yang mencakup kebijakan dan strategi untuk mengatasi kecenderungan melambatnya penurunan AKI dan kompleksnya permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 1997 sebesar cukup tinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya -- kurang lebih 66 kali AKI Singapura, sekitar 10 kali AKI Malaysia, 9 kali AKI Thailand, dan 2,3 kali Filipina. Satu dasa warsa kemudian AKI turun menjadi 228. Namun, target yang ditetapkan dalam RPJMN maupun MDGs masih sangat jauh untuk dapat direalisasikan. Sepanjang RPJMN ke-2 Aki ternyata diketahui justru lebih tinggi dari sebelumnya, 259 (2010) dan 359 (pada 2012). Artinya, pada tahun 2012, setiap 2 jam ada 3 orang ibu melahirkan meninggal dunia, naik 1 orang dibanding Meskipun, kebijakan pembangunan upaya penurunan AKI merupakan strategi yang terintegrasi dalam bidang kesehatan dengan mengedepankan kebutuhan masyarakat, namun hal tersebut masih belum optimal untuk dapat mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaannya. Rendahnya akses dan kualitas pelayanan kesehatan menjadi penyebab utama masih tingginya AKI, disamping permasalahan kepatuhan ibu hamil untuk menjaga kesehatan dan asupan gizi yang memadai, serta pertolongan persalinan dengan tenaga medis masih rendah pula. Selain itu, kemampuan keuangan dan keputusan keluarga seringkali menjadi faktor penghambat dalam penanganan kehamilan dan kelahiran. Sedangkan dari sisi fasilitas dan tenaga kesehatan, jumlahnya sudah mencukupi, namun penyebaran masih belum merata. Sementara itu, sejak otonomi daerah diberlakukan terjadi penurunan peran program keluarga berencana yang merupakan salah satu faktor tidak langsung dalam mengurangi faktor resiko melahirkan. Beberapa hal yang dapat dilakukan dimasa mendatang untuk menekan AKI melahirkan, antara lain, meningkatkan kesehatan ibu, meningkatkan partisipasi masyarakat dengan memberikan pemahaman tentang kematian ibu melalui tokoh agama, tokoh masyarakat dan lembaga-lembaga masyarakat perdesaan. Selanjutnya, peningkatan peran pemerintah daerah melalui advokasi kepada legislatif dan eksekutif di daerah untuk meningkatkan komitmen dan dukungan politis terhadap program penurunan AKI. Sedangkan untuk mengetahui penyebab kematian, perlu ditingkatkan sistem pencatatan peristiwa kematian ibu berdasarkan nama dan alamat. Sinergi kebijakan antar sektor juga masih perlu mendapat perhatian sangat serius. Atau bahkan, Indonesia dapat mereplikasi kebijakan golden girl di Bangladesh yang berhasil menurunkan AKI secara signifikan. * Diringkas dari hasil Kajian Upaya Percepatan Penurunan Angks Kematian Ibu (2012), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 60

69 1. Latar Belakang Penurunan AKI di Indonesia merupakan upaya pemerintah yang terus menerus ditingkatkan pencapaiannya. Pembangunan kesehatan sebagai salah satu Prioritas Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) , terus diarahkan untuk meningkatkan angka harapan hidup, menurunkan angka kematian bayi, dan angka kematian ibu akibat komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. Angka kematian ibu menjadi salah satu indikator penting pembangunan yang menentukan derajat kesehatan masyarakat dan juga menilai keberhasilan pelayanan kesehatan. Komitmen Indonesia yang kuat dalam upaya penurunan angka kematian ibu dan anak juga diwujudkan dengan ikut aktif dalam meratifikasi kesepakatan dunia untuk meningkatkan pembangunan di bidang kesehatan, hak asasi manusia dan pemberdayaan perempuan. Indonesia ikut menandatangani kesepakatan International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo tahun 1994 dan Millenium Development Goals (MDGs) sebagai arah dan tujuan pembangunan kependudukan yang didalamnya mencakup upaya-upaya penurunan AKI. Indonesia telah pula menandatangani kesepakatan Convention on Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang juga menetapkan upaya-upaya pemberdayaan perempuan yang salah satunya adalah upaya untuk menurunkan angka kematian ibu. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi kesepakatan ICPD Cairo dan MDGs, juga telah menetapkan target-target pencapaian peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian bayi dalam RPJPN dan RPJMN. RPJMN , mentargetkan penurunan angka kematian ibu sebesar 118 per kelahiran hidup pada tahun Sementara MDGs, mentargetkan penurunan AKI sampai dengan 102 per kelahiran pada tahun Penetapan UU No.52/2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga menunjukkan salah satu komitmen Pemerintah untuk terus mengupayakan peningkatan derajat kesehatan ibu terutama mencegah dan mengurangi angka kematian ibu. Undang-undang tersebut menetapkan bahwa kebijakan penurunan angka kematian diprioritaskan pada kebijakan penurunan angka kematian ibu hamil, melahirkan dan pascapersalinan serta kematian bayi dan anak yang dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dan sesuai dengan norma agama yang berlaku. Kebijakan tersebut dilakukan dengan memperhatikan kesamaan hak reproduksi; keseimbangan akses dan kualitas informasi, pendidikan, konseling dan pelayanan kesehatan; pencegahan dan pengurangan resiko kesakitan dan kematian; serta peningkatan partisipasi aktif keluarga dan masyarakat. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya terencana dan sistematis untuk menurunkan AKI, antara lain melalui program Making Pregnancy Safer (MPS) yang telah dilaksanakan sejak tahun 2000, selanjutnya penyusunan dokumen Peta Jalan Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia. Dokumen ini mencakup kebijakan dan strategi di bidang kesehatan Ibu dalam upaya mengatasi kecenderungan penurunan kematian ibu yang berjalan lambat dan begitu kompleksnya permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam rangka mencapai target AKI tahun Melihat pencapaian penurunan AKI saat ini, terlihat bahwa target yang digariskan tersebut masih sangat jauh untuk dicapai karena data tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia masih berada pada angka 228 per kelahiran hidup. Sehingga masih diperlukan upaya yang sangat keras untuk mencapai target MDGs maupun RPJMN Selain itu, apabila dibandingkan dengan negaranegara ASEAN lainnya, besaran AKI di Indonesia masih jauh lebih tinggi yaitu kurang lebih 66 kali AKI Singapura; sekitar 10 kali AKI Malaysia; atau 9 kali AKI Thailand; dan masih 2,3 kali Filipina (Data GOI & UNICEF, 2000). Kontribusi Indonesia dalam menyumbang angka kematian ibu melahirkan di dunia ternyata juga besar. Indonesia termasuk dalam sebelas negara yang berkontribusi terhadap 65 persen jumlah kematian ibu melahirkan di dunia. Sebagai informasi, pada tahun 2008, jumlah angka kematian ibu yang terjadi di Asia Tenggara sebanyak 18 ribu. PBB pada tahun yang sama juga melaporkan angka kematian ibu sebanyak 350 ribu. Di lingkup ASEAN, Indonesia beserta Filipina dan Myanmar juga dinilai memiliki penurunan AKI yang tidak stabil yaitu cenderung melambat penurunannya. 61

70 Berbagai rencana strategi, program dan kegiatan pembangunan kesehatan dalam penurunan angka kematian ibu telah disusun dan dilaksanakan oleh Pemerintah. Program kesehatan tersebut meliputi penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, perluasan akses dan kualitas pelayanan, penyadaran masyarakat dan peningkatan partisipasi masyarakat serta pelayanan bagi penduduk miskin. Namun demikian, upaya-upaya penurunan angka kematian ibu dirasakan masih berjalan dengan lambat. Berbagai faktor diduga menjadi penyebab hal tersebut yaitu akses dan kualitas pelayanan kesehatan, pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap pemeliharaan kesehatan, kondisi geografi dan faktor sosial budaya lainnya. Penurunan AKI sebagai indikator pencapaian di level outcome merupakan kontribusi berbagai program dan kegiatan secara simultan. Pada Buku I RPJMN disebutkan bahwa Kegiatan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi sebagai salah satu pendorong pencapaian AKI (Gambar 1). Namun tentunya tidak terbatas pada kegiatan tersebut saja, masih banyak kegiatan-kegiatan lain yang sedikit ataupun banyak turut berkontribusi, misalnya kegiatan Pembinaan, Pengembangan Pembiayaan dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan; kegiatan Pelayanan Kesehatan Rujukan bagi Masyarakat Miskin (Jamkesmas); dan kegiatan Pelayanan Kesehatan Dasar bagi Masyarakat Miskin (Jamkesmas). Gambar 1 Kegiatan Prioritas yang Berkontribusi dalam Pencapaian AKI Sumber: Paparan Deputi EKP pada Raker Bappenas, November 2011 Tujuan Evaluasi Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu adalah (1) Mengidentifikasi pelaksanaan upaya-upaya penurunan AKI di Indonesia dan seberapa besar kontribusinya dalam percepatan penurunan AKI; dan (2) Menyusun rekomendasi kebijakan pembangunan kesehatan yang diperlukan untuk percepatan penurunan AKI. Sasaran evaluasi ini adalah, mengenali, memahami dan menganalisis berbagai kebijakan percepatan penurunan AKI, khususnya yang mencakup berbagai isu berikut: (1) Kondisi dan pencapaian AKI di Indonesia, terkait pola dan kecenderungannya; (2) Kebijakan penurunan AKI dan kebijakan pendukungnya; dan (3) Penurunan AKI dan kaitannya dengan otonomi daerah. Sumber data yang digunakan dalam penyusunan evaluasi ini mencakup berbagai peraturan perundangan, RPJP, RPJMN , Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013, serta program dan kegiatan kementerian/lembaga terkait, SDKI berbagai tahun, Susenas, serta Riskesdas dan Statistik Kesehatan; dan hasil-hasil kajian sebelumnya. 62

71 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Pikir Kerangka pikir Evaluasi Upaya Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu pada Gambar 2 menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas, program, dan kegiatan), pembiayaan, sumber daya kesehatan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan dan kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan. Kemudian, dalam pencapaian outcome (AKI) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan, maupun faktor-faktor nonkesehatan lainnya, seperti pendidikan dan budaya. Pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kualitas hidup SDM yang dicerminkan oleh usia harapan hidup (UHH) dan indeks pembangunan manusia (IPM). Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact. Gambar 2. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Prioritas Peningkatan Akses dan Kualitas Pelayanan Kesehatan: Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, dengan kegiatan: o Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi o Pembinaan Keperawatan dan Kebidanan Program terkait lainnya: Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan Kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan Jumlah tenaga medis terlatih yang mampu memberikan pelayanan PONED maupun PONEK Fasilitas kesehatan yang menyediakan PONED dan PONEK Penurunan Angka Kematian Ibu Melahirkan Peningkatan kualitas hidup SDM yang dicerminkan oleh peningkatan UHH dan lebih lanjut IPM. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact Kebijakan Dalam rancang bangun pembangunan nasional, pembangunan bidang kesehatan dilakukan dengan pendekatan subsistem (1) Upaya kesehatan, (2) Pembiayaan kesehatan, (3) Sumber daya manusia kesehatan, (4) Sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan, (5) Manajemen dan informasi kesehatan, dan (6) Pemberdayaan masyarakat. Kematian ibu dan anak merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas dalam kebijakan pembangunan di Indonesia. Pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan anak dengan menetapkan strategi dan program pembangunan kesehatan secara nasional dalam RPJMN dengan melaksanakan peningkatan kesehatan ibu, bayi dan balita melalui: (a) Peningkatan pelayanan continuum care kesehatan ibu dan anak; (b) Penyediaan sarana 63

72 kesehatan yang mampu melaksanakan PONED dan PONEK; (c) Peningkatan pertolongan persalinan oleh tenaga terlatih; (d) Peningkatan cakupan kunjungan ibu hamil (K1 dan K4); (e) Peningkatan cakupan komplikasi kebidanan yang ditangani; (f) Peningkatan cakupan penanganan komplikasi kebidanan pelayanan nifas; (g) Peningkatan cakupan peserta keluarga berencana (KB) aktif yang dilayani sektor pemerintah; (h) Pemberian makanan pemulihan pada ibu hamil KEK; (i) Peningkatan cakupan neonatal dengan komplikasi yang ditangani; (j) Peningkatan cakupan kunjungan bayi; (k) Peningkatan cakupan imunisasi tepat waktu pada bayi dan balita; (l) Perbaikan kesehatan dan gizi ibu hamil; (m) Pemberian ASI eksklusif sampai enam bulan; (n) Peningkatan peran posyandu dalam rangka peningkatan kesehatan anak; (o) Penyediaan tenaga pelayanan kesehatan bayi dan balita (dokter, bidan dan kader); dan (p) Perbaikan kualitas lingkungan dalam rangka penurunan faktor risiko kesehatan bagi bayi dan balita. Kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu pada dasarnya bukan hanya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan, tetapi juga peningkatan pendidikan perempuan dan pemberdayaan perempuan dan keluarga yang melibatkan sektor terkait. Selain itu, dilakukan pula penyusunan dokumen peta jalan percepatan pencapaian target MDGs yang mencakup kebijakan dan strategi untuk mengatasi kecenderungan melambatnya penurunan AKI dan kompleksnya permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Beberapa kebijakan pendukung telah pula dilakukan melalui program-program untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat agar secara mandiri agar mampu mengakses pelayanan kesehatan serta ikut serta dalam upaya-upaya kesehatan berbasis masyarakat, antara lain Gerakan Sayang Ibu, Desa Siaga, dan Posyandu. Program yang berkontribusi dalam pencapaian penurunan AKI utamanya adalah Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak. Kegiatan prioritas yang berperan antara lain Kegiatan Pembinaan Pelayanan Kesehatan Ibu dan Reproduksi, serta Kegiatan Pembinaan Keperawatan dan Kebidanan. Sementara untuk meningkatkan akses penduduk miskin dalam meningkatkan status kesehatan ibu dan bayi dilakukan dengan beberapa program yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Program Jampersal sangat terkait erat dengan AKI karena mempunyai sasaran khusus, yaitu ibu hamil, bersalin, nifas (sampai 42 hari sesudah melahirkan), dan bayi baru lahir sampai usia 28 hari. 2.2 Capaian Output Hasil pembangunan bidang kesehatan sebagaimana dilaporkan dalam Laporan Evaluasi Dua Tahun Pelaksanaan RPJMN menunjukkan bahwa pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan meningkat dari 77,34 persen (2009) menjadi 82,2 persen (2010), namun demikian disparitas cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan masih cukup lebar. Data Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa terjadi kesenjangan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan antara wilayah Indonesia Timur dengan Indonesia Barat, dengan cakupan tertinggi di DI Yogyakarta (98,6 persen) dan terendah di Maluku Utara (26,6 persen). Pelayanan antenatal juga sangat penting untuk memastikan kesehatan ibu selama masa kehamilan. Kunjungan ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan pada trimester pertama mencapai 72,3 persen lebih tinggi daripada kunjungan ke empat (61,4 persen), namun demikian kualitas pelayanan untuk memastikan diagnosis dini dan perawatan yang tepat bagi ibu hamil masih perlu ditingkatkan. Dalam kerangka continuum of care, pelayanan yang harus diberikan kepada ibu hamil, bersalin dan nifas adalah penyediaan dan akses ke fasilitas kesehatan dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk sistem rujukan yang handal. Dalam hal ini, bidan menjadi ujung tombak untuk melayani pemeriksaan kehamilan termasuk identifikasi adanya komplikasi atau gejala komplikasi, membantu persalinan dan pemeriksaan nifas. Jika terjadi pertanda komplikasi yang tidak bisa ditangani, bidan harus melakukan rujukan ke fasilitas kesehatan yang menyediakan PONED, untuk memperoleh penanganan lebih lanjut. Namun berdasarkan data Riskesdas 2010 dan Rifaskes menunjukkan bahwa hanya 70,15 persen bidan tinggal di desa, hanya 64,86 persen bidan yang memiliki KIT, hanya 10,8 persen bidan desa yang mampu melakukan 64

73 GDoN, dan hanya 45,63 persen bidan yang telah dilatih ANC. Sedangan untuk Puskesmas hanya terdapat 47,4 persen Puskesmas yang mampu PONED dan 42,6 persen yang mampu MgSO4. Sementara kualitas pelayanan untuk menangani komplikasi persalinan juga masih rendah. Kasus Banten menunjukkan bahwa sekitar 44 persen kematian ibu terjadi karena terlambat memperoleh pelayanan. Hasil Rifaskes tahun 2011 menunjukkan bahwa baru 21 persen RS Pemerintah memenuhi kriteria umum PONEK, 52,7 persen RSU pemerintah yang memiliki dokter yang telah terlatih PONEK, serta hanya 50,4 persen RSU pemerintah yang memiliki bidan yang telah terlatih PONEK. Artinya jika diperhatiakn persebarannya di seluruh provinsi, maka akan terlihat masih kurangnya fasilitas kesehatan maupun tenaga kesehatan yang mampu menangani kegawatdaruratan obstetrik dasar. Sistem rujukan di Indonesia juga masih lemah, tidak hanya karena panjangnya prosedur yang harus dilalui, tetapi juga karena keterlambatan yang berasal dari keluarga/masyarakat maupun keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Data SP 2010 dan Litbangkes 2012 menunjukkan bahwa 49,7-75,3 persen kasus kegawatdaruratan obstetrik meninggal di RS pemerintah maupun swasta, dan sekitar 17,1-37,8 persen meninggal di rumah sendiri. Gambar 3 Continuum of Care Sumber: Achadi (2012) Sementara itu, salah satu penyebab masih tinginya AKI di Indonesia adalah belum meratanya akses ke tempat pelayanan kesehatan terutama bagi penduduk miskin. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan akses penduduk miskin dalam meningkatkan status kesehatan ibu dan bayi dilakukan dengan beberapa program yaitu Program Keluarga Harapan (PKH), Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), dan Program Jaminan Persalinan (Jampersal). Program Jampersal sangat terkait erat dengan AKI karena mempunyai sasaran khusus, yaitu ibu hamil, bersalin, nifas (sampai 42 hari sesudah melahirkan), dan bayi baru lahir sampai usia 28 hari. Salah satu program yang dilakukan untuk meningkatkan pelayanan dan peningkatan kesehatan ibu adalah peningkatan penyediaan sarana dan prasarana kesehatan, aksesibiltas, akseptablitas dan kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Dalam upaya penurunan AKI, ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan sangat penting terutama untuk mendorong peningkatan partisipasi penduduk dalam melakukan persalinan di fasilitas kesehatan. Pelayanan kesehatan tidak hanya meliputi ketersediaan fasilitas kesehatan, tetapi juga jumlah tenaga medis terlatih yang mampu memberikan pelayanan PONED maupun PONEK. Fasilitas Kesehatan berupa RS yang tersedia hingga tahun 2012 mencapai buah yang terdiri dari RS publik (78,9 persen) dan RS sakit swasta (21,1 persen); Puskesmas hingga tahun 2010 mencapai unit yang tersebar di Pulau Jawa (36,7 persen) dan sisanya di luar Pulau Jawa (63,3 persen), dan baru 60 persen Puskesmas yang mampu memberikan PONED. 65

74 Tenaga kesehatan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya penurunan AKI, yaitu bidan, dokter, dan dokter spesailis obgyn. Jumlah bidan sebenarnya sudah cukup banyak yaitu orang baik bidan desa maupun bidan praktek swasta, namun jumlah ini belum memenuhi target rasio 100 bidan per penduduk, serta persebarannya sekitar 42,6 persen berada di Pulau Jawa dan sisanya di luar Pulau Jawa. Dari jumlah bidan tersebut hanya sebgaian kecil yang terlatih melakukan Asuhan Persalinan Normal (APN). Selain itu, jumlah dokter obgyn masih sangat sedikit di Indonesia dan pada umumnya lakilaki. Pada tahun 2010, jumlah dokter obgyn di Indonesia hanya 993 orang, dan paling banyak terdapat di wilayah Jawa dan Sumatera. Persebaran yang kurang merata ini tidak terlepas dari ketersediaan fasilitas kesehatan yang diperlukan. Sementara itu, gizi masih merupakan salah satu masalah utama di Indonesia terutama pada kelompok rentan yakni ibu dan anak. Tingginya masalah gizi juga berkaitan dengan faktor sosial budaya, antara lain kesadaran individu dan keluarga untuk berperilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) termasuk sadar gizi dalam hal pemberian ASI eksklusif dan asupan gizi seimbang. Hanya 41 persen keluarga yang mempunyai perilaku pemberian makanan bayi yang benar. Asupan kalori ibu hamil tidak memenuhi kebutuhan karena ditemukan 44,4 persen ibu hamil mendapat asupan kalori di bawah kebutuhan minimum. Beberapa permasalahan terkait status gizi masyarakat, antara lain: (i) Masih rendahnya status gizi masyarakat; (ii) Masih rendahnya akses pangan; (iii) Masih rendahnya mutu dan keamanan pangan; (iv) Masih rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat; serta (v) Masih lemahnya kelembagaan bidang pangan dan gizi. 2.3 Capaian Outcome: Angka Kematian Ibu Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menurunkan AKI, antara lain pada tahun 2000 melalui program Making Pregnancy Safer, dan tahun 2010 melalui penyusunan dokumen peta jalan percepatan pencapaian tujuan MDGs di Indonesia yang mencakup kebijakan dan strategi di bidang kesehatan ibu dalam upaya mengatasi kecenderungan penurunan kematian ibu yang berjalan lambat. Target penurunan AKI berdasarkan MDGs adalah 102 per kelahiran hidup pada tahun Sedangkan, target penurunan AKI dalam Prioritas Nasional pembangunan kesehatan yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) pada tahun 2014 sebesar 112 per kelahiran hidup. Angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 1997 sebesar 334 masih cukup tinggi yaitu kurang lebih 66 kali AKI Singapura; sekitar 10 kali AKI Malaysia; atau 9 kali AKI Thailand; dan masih 2,3 kali Filipina (Data GOI & UNICEF, 2000). Indonesia, Filipina dan Myanmar menempati kedudukan tertinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN dalam masalah angka kematian ibu. Di Indonesia terbukti dari 5 juta kehamilan per tahun sekitar kehamilan berakhir dengan kematian ibu karena komplikasi kehamilan dan persalinan (Gender Analysis Pathway dalam Program MPS). Hingga tahun 2007, angka kematian ibu di Indonesia telah mengalami penurunan menjadi 228, meskipun penurunan yang terjadi belum signifikan karena masih jauh dari angka harapan. Bahkan selama RPJMN , pencapaian AKI menunjukkan bahwa target yang yang ditetapkan dalam RPJMN maupun MDGs masih sangat jauh untuk dapat direalisasikan. AKI selama pelaksanaan RPJMN ke-2 makin membesar menjadi 259 (2010) kemudian meningkat lagi menjadi 359 (2012). Artinya, pada tahun 2012, setiap 2 jam ada 3 orang ibu melahirkan meninggal dunia, naik 1 orang dibanding 2010 (Gambar 4). Target-target AKI dalam MDGs maupun RPJMN ke-2 tersebut akan sulit bahkan mustahil untuk dapat diwujudkan jika tidak ada upaya sangat serius. Di sisi lain, banyak warga masyarakat yang tidak menyadari bahwa pelayanan kesehatan dasar adalah hak-hak dasar yang seyogyanya disediakan oleh negara. 66

75 Permasalahan ( kematian ibu per kelahiran hidup ) Gambar 4 Pencapaian dan Target Angka Kematian Ibu di Indonesia Sumber: SDKI , SP 2010, RPJMN dan , MDGs Kembali tingginya angka kematian ibu pada tahun 2012 dipicu oleh banyak faktor yang kompleks. Terdapat beberapa faktor langsung dan tidak langsung yang menjadi penyebab kematian ibu. Penyebab langsung kematian ibu adalah faktor penyebab kematian yang berhubungan dengan komplikasi obstetrik selama masa kehamilan, persalinan dan masa nifas. Sedangkan penyebab tidak langsung kematian ibu faktor penyebab kematian yang berhubungan dengan penyakit yang diderita ibu, atau penyakit yang timbul selama masa kehamilan dan tidak ada kaitannya dengan penyebab langsung obstretik. Dalam upaya penurunan angka kematian ibu, faktor-faktor determinan ini harus menjadi perhatian untuk mempercepat penurunan AKI. Menurut UNFPA (2004), terdapat empat faktor yang mempengaruhi kematian ibu (Gambar 5), yaitu, (1) Faktor penyebab yang langsung mengakibatkan kematian ibu, seperti komplikasi pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas yang mencakup perdarahan, eklamsia (keracunan kehamilan), aborsi yang tidak aman, dan infeksi; (2) Faktor yang memperburuk komplikasi pada saat melahirkan, seperti status gizi dan kondisi kesehatan ibu yang buruk; (3) Faktor yang mempengaruhi, seperti perlindungan dan kondisi dalam keluarga, kondisi kepatuhan dalam tatacara melahirkan, serta akses pada fasilitas pelayanan kesehatan; dan (4) Faktor dasar yang meliputi keterbatasan sumber daya, status perempuan maupun pengetahuan perempuan dan keluarganya. Gambar 5 Kerangka Pikir Menurut UNFPA tentang Penurunan AKI di Indonesia Tahun Target RPJMN Target MDGs Perlindungan dan Perilaku dalam Keluarga Status Perempuan Keterbatasan Sumber Daya Keterbatasan Pengetahuan Kepatuhan terhadap Tatacara Kehamilan, Persalinan dan Nifas Status Kesehatan Ibu dan Status Gizi Komplikasi Saat Kehamilan, Persalinan dan Nifas Kematian Ibu Akses dan Penggunaan Layanan Kesehatan Faktor Dasar Faktor yang Mempengaruhi Faktor yang Memperburuk Faktor Penyebab Langsung Sumber: UNFPA,

76 Penyebab langsung kematian ibu yang merupakan komplikasi pada waktu kehamilan, persalinan dan nifas yaitu (a) Perdarahan (30 persen), terjadi selama proses melahirkan atau 24 jam sesudah melahirkan (post partum) atau 24 jam sesudah masa tersebut; (b) Eklamsia atau keracunan kehamilan (25 persen), terjadi karena ibu hamil mengalami tekanan darah tinggi (hipertensi), demam, sakit kepala hebat dan kejangkejang; (c) Aborsi tidak aman (13 persen), terjadi karena dilakukan oleh bukan tenaga profesional yang menyebabkan kematian ibu; (d) Infeksi akibat pertolongan persalinan tidak menggunakan alat yang steril (12 persen); (e) Partus lama yang merupakan komplikasi selama persalinan (5 persen); dan (f) Faktorfaktor lain yang tidak diketahui. Lihat Gambar6. Sistem rujukan di Indonesia juga masih lemah, tidak hanya karena panjangnya prosedur yang harus dilalui, tetapi juga karena keterlambatan yang berasal dari keluarga/masyarakat maupun keterlambatan dalam pengambilan keputusan. Data SP 2010 dan Litbangkes 2012 menunjukkan bahwa 49,7-75,3 persen kasus kegawatdaruratan obstetrik meninggal di RS pemerintah maupun swasta, dan sekitar 17,1-37,8 persen meninggal di rumah sendiri. Gambar 6 Distribusi Persentase Penyebab Kematian Ibu Melahirkan 2007 Sumber: Kementerian Kesehatan, 2007 Achadi (2012) mengatakan bahwa kematian ibu secara langsung 80 persen disebabkan oleh perdarahan, hipertensi/eklamsia, partus macet dan penyebab lainnya. Sementara itu penyebab tidak langsung mencapai 20 persen yang mungkin disebabkan oleh belum berjalannya program kesehatan dengan baik. Immpact (2011) sebagaimana dikutip Achadi (2012), menemukan bahwa kematian ibu sebagian besar terjadi pada masa 24 jam sesudah persalinan (40 persen), 23 persen selama masa kehamilan, 14,8 persen pada hari ke 8, 42,7 persen pada hari ke 3-7, dan 4,9 persen terjadi pada hari kedua sesudah persalinan. Hal ini menunjukkan bahwa resiko kematian ibu dapat terjadi sepanjang kehamilan, persalinan dan nifas dengan resiko terbesar pada saat perslinan dan 24 jam sesudahnya. Komplikasi pada saat melahirkan disebabkan oleh beberapa faktor yang memperburuk, seperti tidak terpenuhinya status kesehatan dan gizi bagi ibu, serta janin saat masa kehamilan secara lengkap. Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan kecukupan gizi bagi ibu hamil semakin menyebabkan angka kematian ibu menurun lambat. Ibu hamil yang kekurangan gizi mudah terserang infeksi yang dapat menganggu kehamilan dan persalinan, selain itu pemenuhan gizi perempuan akan menekan risiko kematian serta menyelamatkan ibu dan anak. Kebutuhan gizi untuk setiap ibu hamil berbeda-beda, dan dipengaruhi oleh riwayat kesehatan dan status gizi sebelumnya (Proverawati, 2010). Rendahnya kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan kecukupan gizi terjadi karena keterbatasan pengetahuan kesehatan reproduksi ataupun pendidikan kesehatan reproduksi. Pengetahuan atau pendidikan kesehatan reproduksi sangat penting karena berperan dan berkaitan dengan status kesehatan dan kebutuhan gizi yang cukup bagi ibu saat hamil. Kekurangan asupan pada salah satu zat akan mengakibatkan kebutuhan terhadap sesuatu nutrisi 68

77 terganggu selama kehamilan (Proverawati, 2010). Kekurangan gizi bagi ibu hamil akan menyebabkan dampak yang cukup bervariasi dan dampak terburuknya adalah kematian ibu secara langsung pada saat melahirkan. Kebutuhan gizi dan nutrisi pada ibu hamil meliputi energi, karbohidrat, protein dan asam amino, lemak, vitamin, dan mineral. Status kesehatan dan kecukupan gizi bagi ibu hamil dipengaruhi oleh beberapa faktor penunjang, yaitu (1) Perlindungan dan perilaku dalam keluarga. Ibu yang sedang hamil harus dijauhkan kekerasan, tekanan, beban ganda bagi ibu, dan perlakuan-perlakuan lain yang dapat membuat stress ibu hamil yang dapat mempengaruhi kondisi janin. (2) Perilaku konsumsi pada ibu hamil harus sesuai ketentuan. (3) Akses dan penggunaan pelayanan kesehatan. Selain jarak dari rumah ibu hamil ke fasilitas pelayanan kesehatan, akses penggunaan layanan kesehatan juga dipengaruhi oleh tingkat kesulitan dan keterbatasan keuangan untuk biaya transportasi ibu hamil menuju ke fasilitas pelayanan kesehatan. Faktor pendukung lain yang menyebabkan kematian ibu adalah (1) Kuantitas dan kualitas tenaga penolong kelahiran (kemampuan dan keterampilan tenaga kesehatan), persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (K4) di Indonesia pada tahun 2010 sebesar 61,4 persen, terendah di Gorontalo sebesar 19,7 persen (Riskesdas, 2010). (2) Faktor sosial ekonomi yaitu perempuan dipaksa menikah pada usia muda dikarenakan adanya tekanan ekonomi di keluarga, dan bermasalah ketika hamil dan melahirkan. (3) Faktor lain yang terkait dengan keadaan ibu seperti faktor pendidikan ibu, kemampuan finansial ibu dan atau faktor frekuensi melahirkan ibu. Lihat Gambar 7. Gambar 7 Pemeriksaan Kehamilan dan Kondisi Persalinan Menurut Keadaan Ibu (a) Tingkat Pendidikan Ibu (b) Kemampuan Finansial Ibu (c) Frekuensi Melahirkan Ibu Dr. Nurdadi Saleh, SPOG (2012) mengatakan bahwa rasio jumlah dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan dan bidan masih sangat jauh dari standar internasional yang ditetapkan. Rasio dokter dan bidan di Indonesia baru mencapai 19,59 dan 42,92 per penduduk. Angka ini juga masih jauh dari target nasional yang mencapai 100 bidan per penduduk. Hal yang juga memperparah adalah persebaran yang tidak merata terutama di daerah terpencil, tertinggal dan pulau-pulau terluar di Indonesia. Angka kematian ibu juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, antara lain yaitu: (1) Tidak semua ibu hamil tahu kemana harus berobat; (2) Tidak semua ibu hamil memperoleh ijin untuk berobat; (3) Tidak banyak ibu hamil yang mendapat bantuan uang untuk berobat; (4) Jarak yang jauh menuju ke fasilitas kesehatan; (5) Ketersediaan angkutan menuju ke fasilitas kesehatan; (6) Tidak semua ibu hamil berani pergi sendiri untuk berobat ke tenaga kesehatan; (7) Ibu hamil yang lebih suka ditangani oleh tenaga kesehatan perempuan; (8) Pernikahan yang terlalu dini. Beberapa survei nasional yang telah dilakukan, seperti SDKI dan Riskesdas dapat dijadikan sebagai sumber data untuk melakukan estimasi empirik seberapa besar suatu faktor AKI. Menurut Ina Hernawati 1 (2011) beberapa faktor yang berperan terhadap penurunan AKI, yaitu (1) Persalinan oleh tenaga kesehatan; (2) Keberadaan bidan desa, terutama yang akses transportasi sulit, yang tinggal menetap di daerah tempat tugas dapat meningkatkan akses ibu hamil untuk memanfaatkan pelayanan dan menolong persalinan; (3) 1 Ina Hernawati, 2011, Analisis Kematian Ibu di Indonesia Tahun 2010: Berdasarkan Data SDKI, Riskesdas dan Laporan Rutin Kesehatan Ibu dan Anak. 69

78 Persalinan di fasilitas kesehatan; (4) Pertolongan persalinan yang mengalami Sectio Caesares; (5) Jumlah sarana kesehatan yang mampu melakukan PONED. Faktor lainnya adalah dukungan suami dan keluarga, baik dalam bentuk dukungan fisik maupun psikologis. Dukungan untuk memeriksakan kehamilan, memberikan makanan bergizi dan menciptakan suasana aman dan nyaman sangat dibutuhkan oleh ibu yang sedang hamil, melahirkan dan nifas. Kondisi kesehatan fisik dan emosional sangat berpengaruh ada kesehatan ibu dan janin yang sedang dikandung. Salah satu faktor resiko penyebab kematian ibu di indonesia adalah 4T(erlalu) yang sangat berkaitan dengan kondisi ibu, kondisi pelayanan kesehatan ibu dan faktor sosial budaya baik di dalam keluarga maupun masyarakat, yaitu terlau muda ketika hamil pertama (berusia di bawah 20 tahun), terlalu banyak anak, terlalu sering melahirkan, dan terlalu tua untuk hamil dan melahirkan (berusia di atas 35 tahun). Terkait pelaksanaan program Jampersal, masih banyak ditemui kendala di lapangan seperti: (1) Tidak semua bidan bersedia menandatangani MOU Jampersal; (2) Jampersal tidak membatasi jumlah anak yang dibantu persalinannya; (3) Pelaksanaan Jampersal dengan dibarengi pemasangan kontrasepsi pascapersalinan belum terlaksana dengan baik, karena pada kenyataannya peserta Jampersal menunda menggunakan alat kontrasepsi; dan (4) Tidak semua penduduk terutama penduduk miskin yang istrinya hamil mengetahui Jampersal. 4. Capaian Impact: Peningkatan Kualitas SDM Upaya akselerasi pengurangan AKI melalui sejumlah program dan kegiatan pada akhirnya akan berkontribusi dalam peningkatan kualitas hidup SDM, yang salah satunya ditunjukkan oleh capaian UHH. Usia harapan hidup terus mengalami peningkatan dari 70,7 tahun pada tahun 2009 dan menurut hasil SP 2010 menjadi 70,9 pada tahun Lebih lanjut adalah peningkatan angka IPM Indonesia, yang pada tahun 2013 sebesar 79,30, meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2012 sebesar 75,80. Menurut UNDP, Indonesia menduduki peringkat ke-108 dari 187 negara, di mana peringkat tersebut stagnan dari posisi tahun Pencapaian angka IPM tersebut didukung oleh beberapa indikator yang terkait seperti pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan, kesehatan, dan pendidikan. Angka IPM menyimpulkan bahwa tingkat kesejahteraan rakyat telah semakin baik, yang direpresentasikan oleh capaian pembangunan pendidikan, kesehatan, dan daya beli masyarakat. 5. Rekomendasi Berbagai upaya untuk menurunkan AKI sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, baik dari sisi kebijakan, strategi, program maupun kegiatan, namun pencapaian penurunan AKI masih belum memenuhi target yang telah ditetapkan, baik target RPJMN maupun MDGs. Berbagai persoalan dihadapi dalam pelaksanaan program di tingkat kabupaten/kota, terutama setelah otonomi daerah diberlakukan. Berikut analisis guna mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kebijakan penurunan AKI (Tabel 1). Berdasarkan analisa kesenjangan kebijakan di atas, rekomendasi yang diusulkan untuk mendorong percepatan penurunan AKI adalah sebagai berikut: a. Meningkatkan kesehatan ibu, bayi dan balita, melalui: (i) Peningkatan persentase ibu hamil yang mendapatkan pelayanan antenatal (cakupan kunjungan kehamilan ke empat (K4)); (ii) Peningkatan cakupan kunjungan neonatal pertama (KN1); (iii) Peningkatan cakupan pelayanan kesehatan bayi dan cakupan pelayanan kesehatan balita; serta (iv) Perluasan Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) bagi pelayanan kesehatan primer di Puskesmas. b. Menurunkan angka gizi kurang dan gizi buruk terutama bagi ibu hamil, bersalin dan nifas serta bagi remaja perempuan untuk mencegah anemia sebagai salah satu penyebab komplikasi perdarahan pada kehamilan, persalinan dan nifas. c. Meningkatkan cakupan pembiayaan kesehatan terutama untuk penduduk miskin melalui jaminan kesehatan baik Jamkesmas, Jamkesda maupun Jamkesos serta jaminan persalinan sehingga penduduk 70

79 miskin memiliki akses untuk mendapatkan pelayanan pemeriksaan kehamilan dan persalinan dengan tenaga kesehatan. d. Meningkatkan kualitas tenaga kesehatan seperti bidan dalam hal kemampuan berkomunikasi, memahami budaya lokal, dan membentuk jejaring kerja di tingkat bawah sehingga masyarakat dapat secara jelas memperoleh informasi terkait kehamilan, persalinan, dan nifas beserta resiko komplikasi dan upaya pencegahan. e. Memetakan kebutuhan dan mendistribusikan tenaga kesehatan terutama bidan berdasarkan jumlah penduduk, kondisi geografi dan transportasi yang tersedia, untuk mempermudah dan meningkatkan akses masyarakat memperoleh pelayanan kesehatan terutama di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan dan pulau-pulau terluar Indonesia. f. Mendorong kembali kerjasama bidan-dukun, terutama di daerah yang sebagian besar penduduknya melakukan pemeriksaan kehamilan dan persalinan di dukun bayi. Pelatihan dukun beranak perlu ditingkatkan untuk memberikan pemahaman tentang persalinan yang higienis dan pentingnya melakukan kerjasama dengan bidan. g. Meningkatkan peran dan jumlah Puskesmas sebagai Puskesmas yang siap PONED serta meningkatkan jumlah RSU daerah yang mempunyai fasilitas PONEK, termasuk ketersediaan bank darah serta dokter obgyn terlatih di tingkat kabupaten/kota untuk menangani kasus-kasus kegawatdaruratan persalinan dan neonatal. h. Meningkatkan sistem administrasi kependudukan untuk mencatat peristiwa kematian ibu by name by address, yang dilengkapi dengan penyebab kematian. Sistem ini merupakan sistem unified registration yang menghubungkan pendaftaran penduduk dengan pencatatan vital. i. Mendorong masyarakat berperan aktif dalam upaya penurunan AKI, diantaranya dengan memberikan pemahaman bahwa ibu melahirkan dengan selamat menjadi keharusan, karena tanggungjawab, peran dan fungsi ibu dalam rumah tangga bisa berlanjut untuk pengasuhan dan keberlanjutan pendidikan anak-anak. Upaya ini harus dilakukan bersama tokoh-tokoh agama, agar mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat. j. Memperluas kebijakan penurunan kematian ibu dengan melibatkan sektor selain kesehatan yang relevan, serta meningkatkan sinergi antar sektor dalam kebijakan dan pelaksanaannya. k. Dalam rangka peningkatan peran pemerintah daerah dalam percepatan penurunan AKI, maka diperlukan beberapa kebijakan strategi antara lain: Melakukan advokasi kepada para legislatif dan eksekutif di daerah dalam rangka meningkatkan komitmen dan dukungan politis terhadap program penurunan AKI dan AKB. Melibatkan peran organisasi masyarakat dalam implementasi kebijakan penurunan AKI/AKB. Peningkatan aksesibiitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan kondisi geografis setempat. Peningkatan aksesibilitas terhadap informasi kesehatan, khususnya kesehatan ibu, di seluruh wilayah. 71

80 Tabel 1 Analisis Kesenjangan Kebijakan dan Kondisi Saat Ini No Kegiatan/ Program Penurunan AKI Target Upaya yang Sudah Dilakukan Kondisi yang Ada Sekarang Usulan Upaya yang Dapat Dilakukan A. KEBIJAKAN LANGSUNG 1. Peningkatan cakupan kunjungan antenatal masih rendah 2. Peningkatan cakupan persalinan yang ditolong tenaga kesehatan Cakupan pelayanan pemeriksaan kehamilan (K1 dan K4) mencapai 90% - Target persalinan dengan tenaga kesehatan sebesar 90% - Rasio bidan per penduduk sebesar Memperluas akses perempuan ke tempat pelayanan kesehatan dengan memberikan jaminan kesehatan seperti jamkesmas dan jamkeskin - Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memeriksakan kehamilan kepada tenaga kesehatan - Meningkatkan jumlah bidan setiap tahun. - Menyediakan jaminan persalinan (jampersal) untuk keluarga miskin, agar persalinannya dapat ditolong oleh bidan baik di Polindes maupun di rumah bidan. - Meningkatkan jumlah polindes di desa-desa terutama desa terpencil untuk mendekatkan pelayanan pada masyarakat Akses ke pelayanan kesehatan masih rendah karena: - Pengetahuan ibu tentang kesehatan maternal, pengenalan gejala komplikasi dan faktor resiko masih rendah. - Masyarakat masih banyak yang merasa jika pemeriksaan kehamilan pertama baik, maka seterusnya akan tetap sehat. - Rasio bidan dan penduduk sudah cukup tinggi tetapi keberadaan bidan tidak merata di berbagai tempat. Sebagian besar mengumpul di pulau Jawa - Meskipun masyarakat miskin sudah memperoleh askeskin, namun biaya transport dan biaya lain tidak ditanggung, sehingga mereka memilih untuk tidak memeriksakan kehamilan. - Persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan meningkat namun belum mencapai target yang ditetapkan, yaitu 82,2% pada tahun Sebagian besar persalinan masih dilakukan di rumah karena perasaan aman dan nyaman di lingkungan keluarga Melakukan: - Kampanye besar-besaran untuk meningkatkan kepedulian dan kesadaran bagi ibu, suami dan keluarganya tentang pentingnya pemeriksaan kehamilan (K1 dan K4) - Melatih bidan terutama yang berada di pedesaan untuk mampu menyampaikan penjelasan tentang kesehatan maternal, faktor resiko dan pengenalan gejala komplikasi secara sederhana dan mengena pada masyarakat. - Meningkatkan dan memeratakan bidan terutama ke daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan serta pulau-pulau terluar Indonesia. - Mempermudah pelayanan kelahiran dengan meningkatkan cakupan jaminan persalinan. - Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mendorong awareness masyarakat dan keluarga untuk mengenali komplikasi kehamilan agar segera merujuk pada tenaga kesehatan dengan program suami siaga, desa siaga. - Memberdayakan masyarakat agar mampu menyediakan biaya persalinan dengan mendorong kemandirian misalnya program tabungan ibu bersalin untuk membantu biaya jika sewaktuwaktu dibutuhkan. - Melanjutkan kerjasama bidan dan dukun terutama di daerah terpencil. 3. Peningkatan persalinan di fasilitas kesehatan - Peningkatan jumlah persalinan yang dilakukan di Polindes maupun Puskesmas - Pembangunan Polindes dan Puskesmas terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan - 60% persalinan masih dilakukan di rumah karena: Merasa aman dan nyaman Merasa sehat Mengurangi biaya transportasi dan rawat inap - Meningkatkan awareness masyarakat dengan memberikan jaminan bagi keluarga bahwa persalinan di fasilitas kesehatan lebih aman dan higienis. 4. Peningkatan system rujukan dengan peningkatan akses PONED dan PONEK sepanjang 24 jam terus menerus. - Seluruh rumah sakit mampu meakukan pelayanan PONEK - Setiap Kab/kota memiliki paling sedikit 4 Puskesmas yang mampu memberikan pelayanan PONED - Peningkatan jumlah Puskesmas PONED - Peningkatan jumlah RS PONEK - Rasio Puskesmas PONED sudah mencukupi namun persebarannya masih perlu ditingkatkan - Peningkatan status Puskesmass biasa menjadi Puskesmas PONED - Peningkatan jumah SDM - Peningkatan peralatan medis dan obat-obatan - Penyediaan kendaraan ambulans yang selalu stand by - Pelatihan bidan untuk penangan PONED. 72

81 No Kegiatan/ Program Penurunan AKI Target Upaya yang Sudah Dilakukan Kondisi yang Ada Sekarang Usulan Upaya yang Dapat Dilakukan B. KEBIJAKAN TIDAK LANGSUNG 5. Pemenuhan hak reproduksi perempuan dengan meningkatkan partisipasi masyaat untuk berkb Menurunkan kasus kehamilan tidak diinginkan dengan memenuhi kebutuhan alat kontrasepsi Menurunkan insiden aborsi terutama aborsi tidak aman 6. Meningkatkan status gizi bagi Ibu maupun remaja Putri 7. Peningkatan peran perempuan dalam pengambilan keputusan Rumah Tangga Peningkatan otonomi perempuan dlm rumah tangga 8. Peningkatan kesehatan reproduksi remaja 9. Penguatan database kesehatan terutama AKI untuk mengurangi kesenjangan data di tingkat nasional dan daerah - Penurunan unmet need - Mendorong partisipasi pria dalam ber KB - Peningkatan gizi bagi ibu dan remaja putrid untuk mencegah anemia - Peningkatan peran perempuan agar mempunyai posisi tawar setara dengan laki-laki dlm pengambilan keputusan rumah tangga - Remaja memahami kesehatan reproduksi dgn baik, utk mempersiapkan diri sebelum memasuki dunia perkawinan - Mendorong SIAK yang menjadi database untuk pelayanan kebutuhan dasar penduduk - Penyediaan alat kontrasepsi gratis terutama bagi keluarga miskin - Sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi PUS untuk menggunakan MKJP - Pemerian pil besi dan vitamin A bagi ibu hamil - Memberikaan penyuluhan untuk meningkatkan pengetaahuan dan awareness bagi ibu dan remaja putrid untuk meningkatan status kesehatan dan gizi mereka - Peningkatan pendidikan dan peluang kerja bagi perempuan di luar rumah - Pembentukan PIK Remaja di sekolah menengah baik pertama maupun lanjutan - Membuat database kependudukan dengan mendata seluruh penduduk dan melakukan pemutakhiran data. - Pemberian KTP elektronik untuk memudahkan pelayanan keb dasar - CPR baru mencapai 61% (SDKI 2007) - Unmet need masih berada pada level 9,1 % (SDKI 2007) - Kesertaan pria dalam berkb masih 4,3% (SDKI 2007) - Kasus anemia pada ibu dan remaja putri masih tinggi - Perempuan masih memiliki peran yang rendah dalam pengambilan keputusan - Perempuan belum mempunyai otonomi terutama dalam hal mebuat keputusan bagi penghasilan yang mereka peroleh. - PIK remaja belum dibentuk di semua sekolah - Sekolah yang sudah memiliki PIK Remaja, sebagian belum berfungsi dengan baik - Pemutakhiran data belum mencapai 100 persen - Pemberian e-ktp belum mencakup seluruh penduduk Indonesia - Melakukan sosialisasi terus menerus bahwa KB tidak hanya untuk mengatur jarak dan jumlah anak teapi juga untuk kesehatan reproduksi - Melakukan sosialisasi bahwa berkb merupaan tanggungjawab bersama suami dan istri untuk meningkatkan partisipasi laki-laki dalam berkb - Melakukan sosialisasi tentang efek samping - Melakukan penanganan efek samping pemakaian kontrasepsi dengan lebih baik. - Mendorong pemerinah kabupaten/kota untuk melakukan revitalisasi KB dengan membenahi kelembagaan KB serta menambah SDM PLKB di lapangan. - Pemberian pil besi dan vitamin A tidak hanya dilakukan di tempat pelayanan kesehatan termasuk Posyandu, tetapi juga dilakukan dengan kunjungan bidan ke rumahrumah pasien - Memberikan penyuluhan kepada ibu khususnya ibu hamil tentang makanan apa saja yang bermanfaat bagi kondisi kesehatan ibu dan bayi yang dikandungnya. - Mengurangi berbagai taboo yang bertentangan dengan upaya kesehatan masyarakat. - Peningkatan pendidikan baik formal maupun informal, terutama pendidikan luar seolah - Peningkatan peluang perempuan untuk masuk ke pasar kerja - Peningkatan peran dan partisipasi laki-laki dalam urusan rumah tangga - Mendorong berfungsinya PIK Remaja di sekolah, di organisasiorganiisasi remaja baik keagamaan maupun organisasi sosial. - Peningkatan SDM - Peningkatan sarana dan prasarana pendataan - Peningkatan kesadaran masyarakat untuk melapor - Memperbiki sistem administrasi kependudukan menjadi system yang terintegrsi antara pendaftaran penduduk dengan pencatatan sipil. 73

82 9 KINERJA INVESTASI DAN EKSPOR * Abstrak Pelaksanaan Evaluasi Kinerja Investasi dan Ekspor Indonesia ditujukan untuk mengevaluasi kinerja investasi dan ekspor periode , identifikasi faktor yang mempengaruhi kinerja investasi dan ekspor, dan menyusun rekomendasi dalam upaya peningkatan kinerja investasi dan ekspor. Kebijakan pembangunan investasi dan ekpor dalam periode diarahkan pada upaya untuk: (1) Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi, (2) Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, (3) Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investasi, (4) Harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah, (5) Memperkuat daya saing produk ekspor, (6) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha, (7) Penyederhanaan prosedur, perbaikan sistem informasi, dan pengembangan kawasan ekonomi khusus. Metodologi yang digunakan adalah dngan menggunakan pendekatan statistik deskriptif dan analisis yang digunakan dengan metode panel, CMSA dan uji korelasi dalam pengolahan dan analisis data sekunder. Kebijakan pembangunan yang dilaksanaan telah menunjukkan hasil yang meningkat, walaupun keberhasilan tersebut bisa lebih baik lagi, bila hambatan-hambatan yang terjadi dapat dikendalikan. Capaian Kinerja di bidang investasi telah menunjukkan hasil yang cukup baik, hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya jumlah proyek dan nilai investasi dari tahun ke tahun, baik investasi yang berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) maupun Penanaman Modal Asing (PMA). Dalam hal share PMDN terhadap PNB juga telah menunjukkan peningkatan dari 1,0 persen pada tahun 2008 menjadi 2,6 persen pada tahun Penyebaran investasi (realisasi PMDN) masih terkonsentrasi pada kawasan Barat Indonesia dan belum ke wilayah timur Indonesia. Kinerja ekspor, sejak tahun 2004 sampai dengan 2011 menunjukkan adanya peningkatan baik nilai maupun volume, hasil yang relatif berkembang dimana target yang ditetapkan dalam RPJMN yaitu pertumbuhan ekspor sebesar 5,2 persen (tahun 2005) dan 9,8 persen (tahun 2009) sudah tercapai jauh dari target. Akan tetapi, produk yang diekspor sebagian besar adalah komoditi pertanian dan komoditi yang menggunakan low techonology serta medium techonology. Hasil analisis dari berbagai indikator menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja investasi dan ekspor Indonesia adalah birokrasi yang tidak efisien, tingkat korupsi, infrastruktur yang masih relatif rendah, dan ketersediaan tenaga kerja. Pelayanan yang belum efisien juga terjadi dalam prosedur pengurusan ekspor dan impor serta ijin bisnis di Indonesia. * Diringkas dari hasil Kajian Daya Saing Kinerja Investasi dan Ekspor Periode (2012), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi dewasa ini santa dipengaruhi oleh tersedianya investasi, baik investasi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri, dan perdagangan. Terdapat hubungan searah dan positif antara investasi dan perdagangan dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin tinggi dan baik tingkat investasi dan perdagangan, maka pertumbuhan ekonomi juga akan semakin tinggi. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2011, PDB yang berasal dari komponen pembentukan modal tetap bruto atau investasi fisik sebesar 32 persen; dan perdagangan yaitu ekspor sebesar 26 persen, dan impor sebesar 25 persen. Dalam upaya meningkatkan investasi, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan, namun demikian upaya tersebut masih menghadapi banyak hambatan yang dialami oleh para investor, terutama terkait dengan ketidakpastian lahan dan tata ruang, minimnya ketersediaan infrastruktur, birokrasi perizinan usaha yang tidak menjamin kepastian, pajak dan retribusi daerah yang memberatkan, biayabiaya ilegal dan lain sebagainya. 74

83 Disisi lain, peningkatan ekspor juga mengalami hambatan, dimana ekonomi biaya tinggi masih menjadi masalah tersendiri, selain tidak efisiennya sistem logistik nasional, maraknya korupsi dan penyalahgunaan wewenang; belum terjaminnya keamanan berusaha (belum berjalannya penegakkan hukum); kurang efektifnya peraturan pemerintah (tidak konsistennya antara peraturan yang ditetapkan dengan pelaksanaan di lapangan). Pelaksanaan Evaluasi Daya Saing Indonesia: Kinerja Investasi dan Ekspor Indonesia ditujukan untuk mengevaluasi kinerja investasi dan ekspor periode sesuai dengan sasaran dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan , Mengidentifikasi faktorfaktor penghambat iklim investasi dan ekspor, dan menyusun rekomendasi dalam upaya peningkatan iklim investasi dan ekspor. 2. Pembahasan 2.1 Kebijakan Investasi dan Ekspor Arah kebijakan pembangunan investasi dan ekpor dalam periode diarahkan pada upaya untuk: 1) Mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi, melalui: (a) Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam prosedur perijinan dan pengelolaan usaha dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik, (b) Menata aturan main yang jelas pemangkasan birokrasi dalam pengelolaan aktivitas ekspor/impor (kepabeanan dan kepelabuhanan) dengan prinsip transparansi dan tata kepemerintahan yang baik, dan (c) Menata aturan main yang jelas peningkatan efisiensi waktu dan biaya administrasi perpajakan, terutama untuk verifikasi nilai pajak dan pengembalian (restitusi) PPN. 2) Menjamin kepastian usaha dan meningkatkan penegakan hukum, terutama berkenaan dengan kepentingan untuk menghormati kontrak usaha, menjaga hak kepemilikan (property rights), dan pengaturan yang adil pada mekanisme penyelesaian konflik atau perbedaan pendapat (dispute settlements). 3) Memperbaiki kebijakan investasi dengan merumuskan cetak biru pengembangan kebijakan investai. 4) Memperbaiki harmonisasi peraturan perundangan antara pusat dan daerah terutama di dalam pengembangan (formalisasi) dan operasionalisasi usaha di daerah-daerah dengan mengedepankan prinsip kepastian hukum, deregulasi (simplifikasi) dan efisiensi dalam biaya dan waktu pengurusan. 5) Dalam rangka mendukung perkuatan daya saing produk ekspor, kebijakan diarahkan pada peningkatan akses, perluasan pasar ekspor, dana perkuatan kinerja eksportir dan calon eksportir, melalui aspeknya: (a) Mendorong secara bertahap perluasan basis produk ekspor, (b) Peningkatan nilai tambah ekspor secara bertahap terutama dari dominasi bahan mentah (sektor primer) ke dominasi barang setengah jadi dan barang jadi, (c) Revitalisasi kinerja kelembagaan promosi ekspor dan perkuatan kapasitas kelembagaan pelatihan eksportir kecil, (d) Peningkatan jenis dan kualitas pelayanan ekspor melalui konsep support at company level kepada para eksportir dan calon eksportir UKM potensial, (e) Peningkatan perbaikan kinerja diplomasi perdagangan internasional, baik untuk negara maju maupun negara sedang berkembang, (f) Peningkatan fasilitasi perdagangan melalui penyederhanaan prosedur ekspor-impor melalui implementasi konsep single document, mengurangi sistem tata niaga untuk komoditi-komoditi non-strategis dan yang tidak memerlukan pengawasan, dan perkuatan kapasitas lembaga uji mutu produk ekspor-impor, (g) Optimalisasi sarana penunjang perdagangan internasional seperti kelembagaan trade financing untuk ekspor, (h) Optimalisasi implementasi berbagai bentuk kerjasama perdagangan seperti skema imbal dagang dan perdagangan bebas antar negara (free trade agreement), (i) Perkuatan kelembagaan pengamanan perdagangan internasional (safeguard dan antidumping) serta kelembagaan harmonisasi tarif, dan (j) Peningkatan keberterimaan (acceptance) produk di pasar global melalui pengembangan SNI dan kerjasama standardisasi regional dan internasional. 75

84 6) Kebijakan perdagangan dalam negeri diarahkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem distribusi nasional, tertib niaga, dan kepastian berusaha. Upaya ini perlu diintegrasikan dengan arah kebijakan peningkatan kinerja perdagangan luar negeri guna mewujudkan ketahanan ekonomi yang kokoh. Langkah-langkahnya mencakup: a. Harmonisasi kebijakan pusat dan daerah, penyederhanaan prosedur, perijinan yang menghambat kelancaran arus barang serta pengembangan kegiatan jasa perdagangan; b. Perkuatan kelembagaan perdagangan yaitu kelembagaan perlindungan konsumen, kemetrologian, bursa berjangka komoditi, dan kelembagaan persaingan usaha, dan kelembagaan perdagangan lainnya; c. Fasilitasi pengembangan prasarana distribusi tingkat regional dan prasarana sub-sistem distribusi pada daerah tertentu (kawasan perbatasan dan daerah terpencil) dan sarana penunjang perdagangan melalui pengembangan jaringan informasi produksi dan pasar serta perluasan pasar lelang lokal dan regional; dan d. Peningkatan efektivitas pelaksanaan perlindungan konsumen, tertib ukur, dan perkuatan sistem pengawasan barang beredar dan jasa. 2.2 Kinerja Investasi Capaian Output Investasi Untuk memberikan kepastian hukum kepada investor Pemerintah telah menerbitkan beberapa peraturan/perundangan, antara lain: (1) UU No. 2/2012 Tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang aturan pelaksanaanya dituangkan dalam Perpres No. 71/2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; (2) Permendag No. 77/2013 Tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan dan Tanda Daftar Perusahaan secara Simultan bagi Perusahaan Perdagangan, sehingga dapat mempersingkat waktu pengurusan ijin usaha; (3) Perpres No. 39/2014 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang disebut Daftar Negatif Investasi (DNI). Peningkatan daya saing investasi dilaksanakan melalui pemberian kemudahan berusaha yang diwujudkan dengan telah terbangunnya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Pelayanan terpadu satu pintu terbangun sejak diterbitkan Permendagri No. 24/2006 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu. Kurun waktu tahun , telah terbentuk 299 PTSP, dan tahun terbentuk 192 PTSP. Hingga tahun 2013, telah terbentuk total 491 PTSP di 31 provinsi, 363 kabupaten, 97 kota. Selain hal tersebut, sejak tahun 2013 Pemerintah telah menerapkan tracking system untuk mempermudah investor dalam memantau kemajuan proses perijinan yang diajukan. Sistem ini telah diimplementasikan di tingkat pusat (BKPM) dan di PTSP 10 provinsi (yaitu: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Papua) serta 10 kab/kota (yaitu: Kab. Sragen, Kab Pinrang, Kab. Kubu Raya, Kab. Demak, Kab. Sidoarjo, Kab. Sukabumi, Kab. Serang, Kota Pekalongan, Kota Serang, dan Kota Tarakan. Peningkatan iklim investasi yang kondusif dilakukan juga melalui persetujuan fasilitas keringanan bea masuk bahan baku dan fasilitas keringanan bea masuk barang modal. Persetujuan fasilitas keringanan bea masuk barang modal PMDN yang telah disetujui BKPM dalam periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2013 sebanyak 259 proyek dengan nilai impor sebesar USD2.580,5 juta. Sedangkan untuk fasilitas keringanan bea masuk barang modal PMA, telah disetujui BKPM dalam periode 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2013 adalah sebanyak 427 proyek dengan nilai impor sebesar USD4.766,9 juta; yang terutama berasal dari sektor pertambangan (USD1.274,5 juta atau sebanyak 20 proyek), industri mineral 76

85 non-logam (USD747,5 atau sebanyak 21 proyek), industri kendaraan bermotor dan alat transportasi Lain (USD712,9 atau sebanyak 74 proyek), industri kimia dan farmasi (USD627,4 juta atau sebanyak 33 proyek), serta industri logam, mesin dan elektronik (USD 526,6 juta atau sebanyak 108 proyek). Capaian Outcome Investasi Perkembangan investasi selama periode menunjukkan kondisi yang cukup menggembirakan. Kinerja penanaman modal oleh sektor swasta baik yang dilakukan oleh pihak asing maupun domestik setelah periode krisis cenderung membaik. Peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada periode 2010 dan 2011 baik dari sisi nilai maupun jumlah proyek, dimana investasi di sektor tersier masih menjadi alternatif pilihan bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Sektor tersier merupakan agregasi dari sektor listrik, gas, dan air, konstruksi, perdagangan dan reparasi, hotel dan restoran, transportasi, gudang dan komunikasi, perumahan, kawasan industri dan perkantoran serta jasa lainnya. Tabel 1 Kinerja PMDN dan PMA Sektor Non-Migas Tahun 2004, 2009-Semester I-2014 No. Investasi Satuan PMDN Rp. MIliar , , , , , ,6 2. PMA Juta USD 4.601, , , , , ,5 Gambar 1 Kinerja Investasi Berdasarkan Sektor Tahun Kesenjangan investasi antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) belum menunjukkan adanya pergeseran. Penyebaran PMDN masih terkonsentrasi pada propinsi-propinsi di KBI, sedangkan propinsi di wilayah KTI relatif memiliki PMDN dan jumlah proyek PMDN yang lebih sedikit dengan rata-rata jumlah proyek PMDN yang ada di wilayah KTI tidak lebih dari 11 proyek senilai hampir 20 ribu milyar rupiah. Kinerja investasi (PMDN) yang belum mampu untuk mencapai target yang ditetapkan dalam RPJM baik dari sisi share terhadap GDP maupun penyebaran yang masih terfokus pada Kawasan Barat Indonesia disebabkan oleh banyak faktor. Diantaranya, kondisi infrastruktur dan logsitik di Indonesia, birokrasi yang tidak efisien dimana masih terdapat kebijakan serta regulasi yang tumpang tindih pusatdaerah, dan biaya yang tidak resmi (pungutan liar), panjangnya proses perijinan investasi sehingga masih tingginya biaya perjinan investasi dibandingkan dengan negara-negara kompetitor; (4) Belum 77

86 tercukupinya pasokan energi yang dibutuhkan untuk kegiatan industri (5) Masih cukup banyak peraturan daerah (perda) yang menghambat iklim investasi. Semua faktor tersebut berpotensi untuk menimbulkan ekonomi biaya tinggi yang pada akhirnya akan menurunkan daya saing Indonesia. Gambar 2 Realisasi Penanaman Modal Berdasarkan Wilayah Tahun Capaian Impact Investasi Bila dilihat dari peranannya terhadap Produk Nasional Bruto (PNB), Share realisasi PMDN terhadap PNB selama periode relatif rendah, yakni tidak lebih dari 3 persen dari total PNB bahkan sampai pada tahun Peningkatan yang signifikan terjadi mulai tahun 2008 sampai dengan 2010, dimana share realisasi PMDN semakin meningkat terhadap PNB. Kondisi ini menunjukkan bahwa para investor relatif cepat dalam pengambilan keputusan untuk berinvestasi atau tidak. Kondisi yang sedikit berbeda, dimana share PMTB3 terhadap PNB selama periode cenderung meningkat dan relatif lebih besar dibandingkan dengan share realisasi PMDN. PMTB menyumbang sekitar 22 persen terhadap total PNB Indonesia baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Walaupun demikian, target yang tercantum dalam RPJMN sebesar 27,4 persen belum dapat tercapai. Gambar 3 Share PMTB Terhadap GNP Tahun Pada bulan Februari 2014, jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri mencapai 15,39 juta jiwa. Angka tersebut meningkat jika dibandingkan dengan jumlah tenaga kerja yang diserap oleh sektor industri dalam periode kecuali pada Agustus tahun Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. 78

87 Lapangan Kerja Utama Tabel 2 Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Tahun (Juta Orang) 2009 Agustus 2010 Agustus 2011 Agustus Tahun 2012 Agustus 2013 Agustus 2014 Februari Sektor Industri Seluruh Sektor Kinerja Ekspor Capaian Output Ekspor Dalam upaya peningkatan ekspor, Pemerintah melakukan upaya pengembangan promosi ekspor antara dilakukan melalui: (1) Partisipasi pada pameran luar negeri di antaranya Hong Kong Toys & Games Fair, Saudi Food Hotel & Hospitality, Vietnam Lifestyle 2014, International Gift & Premium Fair (Hong Kong), Project Qatar, dan Thaifex; serta promosi terpadu pada pameran MIHAS (Malaysia) yang hingga minggu ke-2 Mei 2014 secara keseluruhan melibatkan sebanyak 96 perusahaan dengan nilai total transaksi sebesar USD 12 juta, (2) Partisipasi pada pameran dalam negeri di antaranya IFEX 2014, IFFINA 2014, dan INACRAFT 2014, yang telah mengikutsertakan sebanyak 50 pelaku usaha dan mengumpulkan transaksi sekitar Rp.1,4 milyar dan USD1,4 juta, (3) Pengiriman misi dagang ke Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada) yang melibatkan 13 pelaku usaha Indonesia dan menghasilkan transaksi sebesar USD 500 ribu. Sebagai upaya pengembangan promosi dan citra produk Indonesia, sampai dengan pertengahan 2014, telah dilakukan beberapa kegiatan yaitu: (1) Indonesian Night 2013, Davos-Swiss yang digelar bersamaan dengan pertemuan tahunan World Economic Forum (WEF) dengan mempersembahkan malam kebudayaan untuk memperkenalkan Indonesia kepada lebih dari tamu undangan melalui rangkaian kegiatan mulai dari sajian kuliner nusantara, pameran batik, perhiasan dan spa hingga pentas seni budaya Indonesia yang dikemas secara modern, (2) Penayangan TVC Nation Branding Indonesia di empat stasiun televisi internasional (BBC, CNBC, Bloomberg, dan CNN) agar dapat memperluas terpaan (exposure) yang pada akhirnya akan meningkatkan citra positif Indonesia di mata dunia, dan (3) Indonesia Souvenir and Gift Shop pada KTM WTO IX di Nusa Dua, Bali yang merupakan satu-satunya penyedia produk souvenir WTO dengan desain khusus yang telah mendapat persetujuan dari Sekretariat WTO dan souvenir di luar desain yang telah ditetapkan namun dilengkapi dengan logo KTM WTO. Untuk meningkatkan pelayanan perijinan perdagangan bagi dunia usaha, saat ini seluruh perijinan impor telah dapat diakses secara online melalui website INATRADE dengan menggunakan hak akses yang diintegrasikan ke dalam sistem NSW sehingga mampu meningkatkan proses kelancaran arus barang dan peningkatan daya saing. Untuk meningkatkan pelayanan perijinan perdagangan bagi dunia usaha, saat ini seluruh perijinan impor telah dapat diakses secara online melalui website INATRADE dengan menggunakan hak akses yang diintegrasikan ke dalam sistem NSW sehingga mampu meningkatkan proses kelancaran arus barang dan peningkatan daya saing. Total perijinan perdagangan luar negeri yang telah dapat dilakukan melalui INATRADE (telah dapat dilakukan secara online) adalah 89 perizinan yaitu 53 perizinan impor dan 36 perizinan ekspor. Waktu penyelesaian permohonan perijinan menjadi lebih singkat dan tanpa dipungut biaya.jika sebelumnya penyelesaian perijinan memakan waktu antara 5-15 hari kerja kemudian setelah penerapan sistem ini waktu persetujuan permohonan perijinan menjadi sekitar 1-6 hari kerja. Peningkatan manajemen layanan bagi para eksportir juga dilakukan dengan meningkatkan fasilitas pada Instansi Penerbit Surat Keterangan Asal (IPSKA) di daerah, melalui sarana otomasi dan sistem elektronik. Dari keseluruhan 85 IPSKA yang ada, 28 IPSKA sudah menggunakan sistem otomasi dan saat ini sudah dapat terintegrasi dengan sisten INATRADE, sedangkan 57 IPSKA lainnya saat ini sudah dapat mengajukan 79

88 permohonan penerbitan SKA secara on-line melalui internet. Hal ini, selain meningkatkan pelayanan bagi para eksportir juga sesuai dengan komitmen Indonesia pada ASEAN Economic Community. Gambar 4. ALUR INATRADE Dalam rangka peningkatan kapasitas pelaku ekspor untuk meningkatkan daya saing ekspor Indonesia, telah diselenggarakan beberapa kegiatan pengembangan produk di beberapa daerah seperti: (1) Pengembangan desain di Yogyakarta dan Malang; (2) Pengembangan merek di Solo, Surabaya dan Bandung; (3) Workshop food ingredients di Medan dan Surabaya; (4) Pengembangan disain produk rotan di Cirebon dan Sukoharjo; (5) Pengembangan produk buah-buahan di Bandung; (6) Pengembangan disain bambu di Yogyakarta; serta (7) Pengembangan produk fesyen berbasis pewarna alam di Klaten. Selain itu juga dilakukan sosialiasi hasil product intelligence untuk produk alas kaki, minyak atsiri, dairy product dan jewelry. Selanjutnya juga dilakukan kegiatan adaptasi produk bambu dan rotan di Yogyakarta dan Sukoharjo. Capaian Outcome Ekspor Pertumbuhan ekspor baik nilai maupun volumenya telah menunjukkan adanya pertumbuhan yang meningkat, dimana pada tahun 2004 nilai ekspor mencapai juta US$ meningkat menjadi juta US$, walaupun dalam tahun 2009, target pertumbuhan ekspor tidak tercapai bahkan terjadi penurunan ekspor sebesar 14,97 persen. Pertumbuhan ketiga sektor tersebut relatif berfluktuasi selama periode , dimana penurunan drastis terjadi pada tahun 2009 untuk sektor industri (Gambar 5.3.). Pertumbuhan ekspor dari sektor pertanian lebih rendah dibandingkan dua sektor lainnya. Jika hanya dilihat dari sektor pertumbuhan industri maka sektor pertambangan dan industri memiliki potensi besar untuk lebih dikembangkan menjadi andalan ekspor Indonesia. Jika dari sisi nilai ekspor maka sektor industri jauh lebih besar dibandingkan dua sektor lainnya. 80

89 Gambar 5 Perkembangan Ekspor Non Migas Indonesia Berdasarkan Sektor Sumber: Bank Indonesia (2012) Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, telah terjadi pergeseran pasar tujuan ekspor Indonesia, dari negaranegara maju ke new emerging economies. Cina, India, dan negara-negara lainnya mulai mendominasi pangsa pasar ekspor Indonesia sementara pangsa pasar ekspor Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang mulai berkurang. Selama tahun 2009 ekspor nonmigas Indonesia ke Cina mencapai USD8,9 miliar atau tumbuh sebesar 14,4 persen daripada tahun Sedangkan ekspor ke Korea Selatan dan India masingmasing mencapai USD5,2 miliar dan USD7,4 miliar atau tumbuh sebesar 10,9 persen dan 4,1 persen (Gambar 5.5.). Namun demikian, ekspor Indonesia masih terkonsentrasi pada 8 pasar tujuan ekspor. Negara-negara ASEAN merupakan pasar ekspor terbesar, dimana lebih dari 20 persen ekspor Indonesia ditujukan ke wilayah ini. Selama bulan Desember 2009, ekspor ke negara-negara tujuan utama seperti AS, Uni Eropa, ASEAN, Cina, dan lain-lain kecuali Australia mengalami peningkatan setelah bulan sebelumnya mengalami penurunan. Gambar 6 Nilai dan Share Ekspor Komoditi High techonology Indonesia ke Negara Mitra Dagang Gambar 7 Nilai dan Share Ekspor Komoditi Low techonology Indonesia ke Negara Mitra Dagang Share ekspor terhadap total ekspor Indonesia ke negara mitra dagang yang bersifat high techonology semakin meningkat dari tahun ke tahun selama periode Akan tetapi, share ekspor komoditi high techonology ke Cina relatif kecil yakni hanya sekitar 3 persen-8 persen dari total nilai ekspor. Indonesia lebih banyak mengekspor komoditi pertanian ke Cina dengan share ekspor dibandingkan dengan komoditi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor Indonesia yang bersifat high techonology 81

90 masih relatif kecil nilai ekspornya. Komoditi yang menggunakan low techonology cenderung memiliki peranan yang lebih besar terhadap kinerja ekspor Indonesia dibandingkan dengan komoditi yang bersifat high techonology. Peranan komoditi low techonology mencapai lebih dari 60 persen dari total nilai ekspor Indonesia. Capaian Impact Ekspor Perbaikan kinerja ekspor yang meningkat selama periode , menyebabkan semakin membaiknya perekonomian. Hal tersebut ditandai dengan semakin meningkatnya cadangan devisa dari US$ 36,3 miliar pada tahun 2004 menjadi US$ 99,4 miliar (2013). Selain hal tersebut juga terlihat dengan pertumbuhan ekonomi, dimana PDB per Kapita terus mengalami peningkatan dari Rp ribu (2004) meningkat menjadi Rp ribu pada tahun Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada beberapa tahun terakhir diikuti dengan peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi yang memadai menyebabkan kondisi ketenagakerjaan menunjukkan perbaikan, ditandai dengan menurunnya tingkat pengangguran dari 9,9 persen (2004) menjadi 5,8 persen (2013) dan tingkat kemiskinan menunjukkan penurunan, yaitu dari 16,7 persen (2004) menjadi sebesar 11,4 persen pada tahun Perkembangan ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkualitas dapat diwujudkan. Tabel 3 Indikator Makro Ekonomi Tahun 2004, Sumber: BPS dan Bank Indonesia Catatan: *) Data Februari *) Februari 2012-Februari 2013 merupakan hasil backcasting dari penimbang Proyeksi Penduduk yang digunakan pada Februari

91 Permasalahan Salah satu kendala yang dihadapi untuk mendorong peningkatan ekspor nonmigas saat ini adalah melemahnya permintaan global yang diperkirakan masih akan berlanjut. Selain hal tersebut, beberapa permasalahan internal yang menjadi kendala untuk mendorong peningkatan ekspor nonmigas, antara lain seperti: Pertama, permasalahan di bidang perdagangan luar negeri, antara lain: (i) Masih terbatasnya informasi tentang peraturan dan peluang pasar ekspor, terutama pasar ekspor non tradisional; (ii) Belum optimalnya fasilitasi perdagangan dan misi dagang Indonesia di pasar ekspor nontradisional; (iii) Semakin meningkatnya upaya proteksi di berbagai negara terutama negara maju untuk melindungi perekonomian domestiknya dalam bentuk hambatan nontarif akibat dari krisis ekonomi global; (iv) Masih belum optimalnya upaya diversifikasi dan peningkatan kualitas produk ekspor; (v) Masih terbatasnya sarana infrastruktur pendukung ekspor; serta (vi) Masih terdapatnya pungutan dan biaya tidak resmi yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Kedua, permasalahan di bidang perdagangan dalam negeri, antara lain: (i) Masih terbatasnya sarana perdagangan/distribusi, khususnya di daerah perbatasan, terpencil dan tertinggal, serta rusaknya sarana perdagangan di daerah pasca bencana alam/konflik yang menghambat aktivitas perdagangan/arus distribusi komoditas di daerah tersebut; (ii) Masih belum optimalnya pelaksanaan perlindungan konsumen dan pengawasan barang beredar; (iii) Masih belum optimalnya penataan lokasi pendirian toko modern/hipermarket dengan pasar tradisional (iv) Masih belum optimalnya pengembangan UKM yang antara lain disebabkan oleh permasalahan permodalan, teknologi, bahan baku, dan sumber daya manusia. Ketiga, permasalahan di bidang persaingan usaha yang, antara lain: (i) Belum sinkronnya pelaksanaan hukum persaingan usaha dengan hukum acara di Indonesia; (ii) Belum harmonisnya pelaksanaan hukum persaingan usaha diantara lembaga penegak hukum, antara lain yang diterapkan di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, sehingga menyebabkan belum efektifnya putusan hukum KPPU; (iii) Perlunya revisi beberapa pasal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum tentang persaingan usaha yang sehat dalam UU No.5/1999 yang berdampak pada kurang maksimalnya penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha; (iv) Belum ditetapkannya Peraturan Pemerintah dan pedoman pelaksanaan pada pasal pasal dalam UU No.5/1999 yang bertujuan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan yang terdapat dalam pasal pasal tersebut; serta (v) Masih kurangnya kesadaran tentang arti penting persaingan usaha di masyarakat, akademisi, pemerintah serta pelaku usaha, sehingga dukungan terhadap pelaksanaan UU No.5/1999 dan KPPU dalam melaksanakan tugas mengawasi pelanggaran persaingan usaha masih belum optimal. Depresiasi nilai tukar riil rupiah terhadap USD berpengaruh positif terhadap kinerja ekspor Indonesia dengan negara mitra dagang utama dan negara New Emerging Market. 3. Rekomendasi Untuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekspor Indonesia maka perlu dikurangi masalah inefisiensi di pelabuhan. Pengenalan strategi antikorupsi secara nyata dengan melibatkan partisipasi ekportir dan importir, merupakan peluang untuk mempercepat pembaruan bidang bea cukai yang sedang berjalan. Meningkatnya hambatan non-tarif telah menaikkan biaya domestik bagi tenaga kerja industri, sehingga meningkatkan biaya untuk memproduksi barang ekspor yangbernilai tambah lebih tinggi. Penghapusan kendala ini akan membantu konsumen dan juga eksportir. Indonesia harus mulai untuk mencari pasar baru untuk meningkatkan pangsa ekspornya, sehingga tidak lagi tergantung pada pasar tradisional (Eropa dan USA). Secara umum faktor yang menghambat investasi dan ekspor sudah menjadi concern pemerintah untuk segera diatasi termasuk masalah kesulitan mengurus perizinan usaha, permasalahan korupsi dan birokrasi yang tidak efisien. Akan tetapi, yang penting untuk diperhatikan adalah mekanisme pemantauan (monitoring dan evaluasi) terhadap pelaksanaan kebijakan karena sering kali implementasi dari sebuah kebijakan tidak sesuai dengan output yang diharapkan dari kebijakan tersebut. 83

92 10 EVALUASI KEBIJAKAN PEMBANGUNAN TRANSPORTASI PERKERETAAPIAN DAN LAUT * Abstrak Evaluasi bertujuan untuk menelaah kebijakan pembangunan transportasi di Indonesia, mengevaluasi capaian dan kebijakan pembangunan bidang transportasi, dan menyusun rekomendasi dan masukan dalam evaluasi kinerja dan pengembangan kebijakan pembangunan bidang transportasi. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa dari sisi output, secara umum pembangunan transportasi perekeretaapian dan Laut mengalami peningkatan selama periode Penyediaan sarana dan prasarana di moda tersebut menunjukkan peningkatan seperti pengadaan rel dan jumlah rute penyelenggaran angkutan perintis. Demikian pula dari sisi outcomes, terdapat peningkatan volume angkutan barang untuk transportasi perkeretaapian dan jumlah penumpang untuk transportasi laut. Sementara untuk tingkat keselamatan, jumlah kecelakaan baik pada transportasi perkeretaapian maupun laut menunjukkan penurunan. Peningkatan penyediaan sarana dan prasarana serta penggunaannya yang ditunjukkan dengan peningkatan jumlah angkutan dan tingkat keselamatan belum mampu meningkatkan kontribusi transportasi terhadap PDB yang berkisar 4 persen dalam kurun waktu Namun dari sisi penyerapan tenaga kerja, jumlah tenaga kerja yang diserap di sektor transportasi mencapai 4 juta orang. Namun demikian, dalam pembangunan transportasi masih terdapat sejumlah tantangan besar yang harus dihadapi, diantaranya: (1) Persaingan antarmoda yang tidak sesuai dan masih didominasi oleh moda jalan; (2) Penganggaran yang tidak seimbang antar sub sektor transportasi; (3) Pengembangan transportasi multimoda belum optimal; (4) Tatakelola dan manajemen sistem transportasi masih belum matang serta belum terpadu dan sinergi; (5) Belum tersedianya indikator yang tepat untuk melakukan perencanaan, monitoring, pengendalian, dan evaluasi terhadap masing-masing sub sektor transportasi. Butir rekomendasi yang dihasilkan adalah menyusun grand design dan strategi dengan segera, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan pembangunan transportasi dan dilaksanakan dengan secara cepat, tepat dan terukur, mengingat akan peranan transportasi yang vital dalam menunjang pergerakan dinamika pembangunan. * Diringkas dari hasil Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi Indonesia: Perkeretaapian dan Pelabuhan (2012), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Transportasi mempunyai peran vital dalam pembangunan negara, namun realitas saat ini menunjukkan karakteristik transportasi masih jauh dari harapan, seperti kualitas pelayanan rendah, cakupan pelayanan terbatas dan sebagainya. Laporan World Economic Forum menunjukkan bahwa kurangnya ketersediaan infrastruktur merupakan permasalahan ketiga terbesar setelah permasalahan korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah bagi pelaku bisnis dalam melakukan usaha di Indonesia. Kendala kurang optimalnya infrastruktur dalam meningkatkan daya saing perekonomian nasional dan memberikan pelayanan kepada masyarakat secara merata terutama disebabkan oleh permasalahan ketersediaan dan pemeliharaan. Hal ini disebabkan oleh masalah kelembagaan, sumber daya manusia, dan terbatasnya kemampuan pembiayaan pemerintah. Pada saat ini banyak lembaga yang terkait dengan pengelolaan infrastruktur sehingga menyulitkan koordinasi, sedangkan kualitas sumber daya manusia masih rendah. Sementara itu, terkait dengan pembiayaan, investasi infrastruktur masih jauh dari kebutuhan investasi. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan bidang transportasi meliputi pembangunan jaringan prasarana dan sarana jalan, kereta api, transportasi laut dan udara, antara lain: (1) Penyebaran pembangunan dan pengembangan transportasi masih belum merata dan terpusat di beberapa daerah saja, (2) Keterbatasan pendanaan pembangunan sektor transportasi, (3) Kualitas SDM dan kelembagaan masih rendah, dan (4) Kondisi sarana prasarana transportasi yang mengalami backlog pemeliharaan berlangsung secara terus menerus. Hal ini terjadi karena belum optimalnya sistem 84

93 perencanaan dan pengoperasian, kurang jelasnya pemisahan fungsi regulator, owner, dan operator dalam pelaksanaan pelayanan transportasi. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan pembangunan bidang transportasi, pemerintah melalui RPJMN telah menetapkan lima sasaran umum pembangunan bidang transportasi, yaitu: (1) Peningkatan kapasitas sarana dan prasarana transportasi; (2) Peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi; (3) Peningkatan keselamatan masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi; (4) Restrukturisasi kelembagaan, dan (5) Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada transportasi. Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi di Indonesia dilaksanakan dengan tujuan untuk: (a) Menelaah kebijakan pembangunan transportasi di Indonesia; (b)menyusun indikator kinerja pembangunan sistem transportasi; (c) Mengevaluasi capaian dan kebijakan pembangunan bidang transportasi khususnya pada transportasi kereta api dan laut, dan (d) Menyusun rekomendasi dan masukan dalam evaluasi kinerja dan pengembangan kebijakan pembangunan bidang transportasi. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Kebijakan Pembangunan Transportasi Perkeretaapian dan Laut di bawah menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas, program, dan kegiatan), pembiayaan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Adapun output yang dihasilkan adalah pengadaan rel, wesel, dan kereta. Dengan adanya ketersediaan rel, wesel, dan kereta tersebut, volume angkutan barang dan keselamatan transportasi KA (outcomes) mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut kemudian berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja dan peringkat daya saing transportasi perkeretaapian (impact). Namun, peningkatan pada volume angkutan KA dan keselamatan belum mampu memberikan peningkatan kontribusi PDB transportasi perkeretaapian. Hal ini mungkin terjadi karena adanya penurunan volume angkutan penumpang yang disebabkan karena adanya kebijakan pembatasan jumlah penumpang yang sebelumnya mencapai 200 persen. Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Transportasi Perkeretaapian Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Perkeretaapian a. Pembangunan dan pengelolaan prasarana dan fasilitas pendukung kereta api b. Pembangunan dan pengelolaan bidang keselamatan dan teknis sarana Transportasi Laut Program Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Transportasi Laut a Pengelolaan dan Penyelenggaraan kegiatan di bidang Pelabuhan dan Pengerukan Transportasi Perkeretaapian 1. Pengadaan Rel ton dari target ton (235,3 persen) dan pengadaan wesel 105 unit dari target 245 unit (42,9 persen) 2. Pengadaan Wesel 105 unit dari target 245 unit (42,9 persen) 3. Pengadaan Kereta 152 unit dari target 90 unit (168,9 persen) Transportasi Laut 1. Jumlah rute Meningkat dari 47 rute 2004) menjadi 80 rute (2013) atau meningkat 70,2 persen 2. Fasilitas Pelabuhan Meningkat dari 85 lokasi (2004) menjadi 402 (2013) dengan ratarata peningkatan per tahun 22,9 persen 3. Volume keruk peningkatan volume dari m3 (2004), menjadi m3 (2013), atau Transportasi Perkeretaapian 1. volume angkutan KA penumpang mengalami penurunan 2. volume angkutan KA barang Mengalami peningkatan 1,8 persen 3. Keselamatan transportasi KA Meningkat dari 98 kecelakaan (2004) menjadi 3 kecelakaan (2013) Transportasi Laut 1. Jumlah penumpang kapal perintis jumlah penumpang kapal perintis mengalami peningkatan 30,80 persen, yaitu dari penumpang 1. Kontribusi terhadap PDB Tidak lebih dari 4%, 2. Penyerapan tenaga kerja Transportasi Perkeretaapian dan laut sama-sama mengalami peningkatan dan 3. Peningkatan daya saing a. Untuk perkeretaapian mengalami perbaikan peringkat, dari 60 ( 2009) menjadi 44 (2013) b. Pelabuhan laut mengalami peningkatan dari 104 (2009) menjadi urutan ke 89 (2013)

94 Demikian pula pada transportasi laut, berbagai input pembangunan telah menghasilkan peningkatan pada output, yaitu jumlah rute pelayaran, fasilitas pelabuhan, dan volume keruk dalam rangka mempelancar pelayaran. Dengan adanya peningkatan tersebut, jumlah penumpang (outcomes) mengalami peningkatan pula, yang berpengaruh pada peningkatan kontribusi terhadap PDB transportasi laut, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan peringkat daya saing angkutan laut (impact). Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact. 2.2 Kebijakan Pembangunan Transportasi Kebijakan penguatan konektivitas nasional sangat diperlukan untuk mencapai tujuan: (1) Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui inter-modal supply chains systems; (2) Memperluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland); dan (3) Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan berkeadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan. Pada periode , kebijakan konektivitas dipusatkan ke pembangunan infrastruktur transportasi, dengan tujuan untuk meningkatkan aksesibilitas, mendukung daya saing, serta kerangka regulasi dan kelembagaan. Kebijakan ini dilanjutkan pada periode , sekaligus diarahkan untuk pembangunan jaringan prasarana dan penyediaan sarana transportasi antar-moda dan antarpulau yang terintegrasi sesuai dengan Sistem Transportasi Nasional dan Cetak Biru Transportasi Multimoda. Sementara itu, dilakukan upaya penurunan tingkat kecelakaan transportasi dengan target menurun 50 persen per tahun, dibandingkan tahun sebelumnya hingga akhir Terkait transportasi perkeretaapian, Program dan kegiatan transportasi perkeretaapian yang diperkirakan paling berperan dalam pencapaian output (pengadaan rel, wesel, dan kereta) adalah Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Perkeretaapian, antara lain melalui kegiatan Pembangunan dan pengelolaan prasarana dan fasilitas pendukung kereta api dan kegiatan Pembangunan dan pengelolaan bidang keselamatan dan teknis sarana. Sementara program dan kegiatan transportasi laut yang diperkirakan paling berperan dalam pencapaian output (jumlah rute, fasilitas pelabuhan, volume keruk) adalah Program Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Transportasi Laut antara lain melalui kegiatan Pengelolaan dan Penyelenggaraan kegiatan di bidang Pelabuhan dan Pengerukan. Dari segi pembiayaan, selama periode , pagu indikatif untuk Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Perkeretaapian mengalami peningkatan yang cukup tinggi, yaitu dari 3,5 triliun pada tahun 2010 menjadi 10,7 triliun pada tahun Demikian pula dengan Program Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Transportasi Laut, selama periode mengalami peningkatan pula, yaitu dari 4,3 triliun pada tahun 2010 menjadi 7,7 triliun pada tahun Capaian Output Pembangunan Transportasi Dalam pelaksanaan pembangunan dan peningkatan jalur KA, pengadaan material/logistik yang telah dilaksanakan dalam kurun lima tahun terakhir adalah pengadaan rel ton dari target ton (235,3 persen) dan pengadaan wesel 105 unit dari target 245 unit (42,9 persen). Dalam hal prasarana perkeretaapian, pembangunan yang dilaksanakan diantaranya adalah pembangunan jalur ganda Cikampek-Cirebon sepanjang 135 km, pembangunan jalur ganda Yogyakarta-Kutoarjo sepanjang 64 Km, pembangunan jalur ganda Tanah Abang-Serpong sepanjang 23 Km, pembangunan jalur KA di NAD antara Simpang Mane-Blangpulo -Cunda sepanjang 30,3 Km, elektrifikasi jalur KA antara Serpong -Parungpanjang sepanjang 20 Km termasuk rehab track existing sepanjang 11,52 Km, dan pembangunan jalur ganda lintas utara jawa (Jakarta-Surabaya sepanjang 727 Km serta pembangunan jalur Kereta Api menuju bandara Internasional Kualanamu sepanjang 27,8 Km. 86

95 Berkaitan dengan sarana perkeretaapian, telah dilaksanakan kegiatan pengadaan sarana perkeretaapian khususnya untuk menunjang angkutan KA ekonomi jarak menengah dan jauh. Dalam kurun waktu , jumlah pengadaan kereta ekonomi (K3 termasuk KMP3) yang telah dilaksanakan adalah 152 unit dari target 90 unit (168,9 persen). Selain itu, untuk mendukung pelayanan KA komuter/perkotaan telah dilaksanakan pengadaan KRD/KRDI 63 unit dari target 15 unit (420 persen) serta pengadaan KRL sejumlah 68 unit dari target 10 unit (680 persen). Kegiatan rehabilitasi sarana yang telah dilaksanakan adalah 47 unit kereta ekonomi (K3/KMP3) dari target 100 unit (47 persen), 18 unit KRL dari target 5 unit (360 persen), dan 26 unit KRD dari target 34 unit (76,5 persen). Pada angkutan laut, dalam rangka meningkatkan aksesibilitas dan konektivitas wilayah di seluruh nusantara, jumlah rute penyelenggaran angkutan laut perintis mengalami peningkatan, yaitu dari 47 rute pada tahun 2004 menjadi 56 rute pada tahun 2009, dan 80 rute pada tahun 2013 atau meningkat 70,2 persen. Pembangunan fasilitas pelabuhan meningkat dari 85 lokasi pada tahun 2004 menjadi 212 lokasi pada tahun 2009, serta 402 pada tahun 2013 dengan rata-rata peningkatan per tahun 22,9 persen. Kegiatan pemeliharaan berupa pengerukan alur pelayaran guna mendukung terwujudnya kelancaran lalu lintas pada alur pelayaran di sekitar wilayah perairan pelabuhan mengalami peningkatan volume dari m3 pada tahun 2004, menjadi m3 di tahun 2013, atau mengalami peningkatan ratarata per tahun 23,8 persen. Gambar 2. Perkembangan Angkutan Laut Perintis (Rute/Trayek) Tahun Rute S.d Tahun 2.4 Capaian Outcomes Pembangunan Transportasi Pada angkutan kereta api, volume angkutan KA penumpang terbesar adalah pada angkutan KA perkotaan Jabodetabek. Pada tahun 2009, volume angkutan KA perkotaan Jabotabek adalah 130,6 juta penumpang atau 63,1 persen dari total penumpang KA, yaitu 207,1 juta penumpang. Transportasi perkeretaapian pada tahun 2012 mengalami penurunan jumlah penumpang yang disebabkan oleh kebijakan untuk memberikan kualitas pelayanan angkutan penumpang yang lebih baik. Kebijakan itu antara lain membatasi tingkat penggunaan yang sebelumnya mencapai 200 persen sehingga banyak penumpang berdesak-desakan yang dapat menimbulkan tindak kriminal di Kereta Api. Untuk angkutan KA barang, pada tahun 2009 secara keseluruhan mengalami penurunan khususnya untuk barang non negoisasi, yaitu 43,6 persen, tetapi untuk barang negoisasi terjadi kenaikan volume angkutan barang 1,8 persen. Terkait tingkat keselamatan pelayanan transportasi KA telah meningkat secara signifikan. Pada tahun 2004 jumlah kejadian kecelakaan adalah 98 kejadian sementara pada tahun 2013, jumlah kejadian kecelakaan KA hanya 3 kejadian. 87

96 Untuk angkutan laut, jumlah penumpang kapal perintis mengalami peningkatan 30,80 persen, yaitu dari penumpang pada tahun 2004 menjadi penumpang pada tahun Sementara pada bidang keselamatan dan keamanan pelayaran terdapat tiga jenis kegiatan yang menjadi fokus utama yaitu kenavigasian, perkapalan dan kepelautan, serta penjagaan laut dan pantai. Jumlah Sarana Bantu Navigasi Pelayaran pada tahun 2004 adalah unit meningkat menjadi unit pada tahun 2013, dengan peningkatan rata-rata pembangunan per tahun 0,5 persen. Jumlah Stasiun Vessel Traffic Services beserta peralatannya pada tahun 2004 adalah 3 unit meningkat menjadi 12 unit pada tahun 2013, dengan peningkatan rata-rata pembangunan per tahun 18,3 persen. Gambar 3. Jumlah Kejadian Kecelakaan Perkeretaapian Tahun Capaian Impact Pembangunan Transportasi Impact pembangunan transportasi dilihat dari 3 (tiga) hal, yaitu kontribusi terhadap PDB, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan daya saing. Kontribusi sektor transportasi terhadap total PDB masih relatif kecil, tidak lebih dari empat persen setiap tahunnya. Selain jasa penunjang transportasi, kontribusi terbesar diberikan oleh transportasi jalan raya, kemudian diikuti oleh transportasi udara, transportasi laut, transportasi sungai, dan transportasi kereta api. Tabel 1. Kontribusi dan Pertumbuhan Sektor Transportasi atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun Lapangan Usaha Kontribusi terhadap P DB P ertumbuhan ### Transportasi 3,83 3,71 3,59 3,65 3,69 3,73 6,61 2,82 2,74 6,4 7,19 7,63 1. Transportasi Kereta Api 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 6,44 1,28 14,31 9,83 5,02-3,99 2. Transportasi Jalan Raya 1,61 1,57 1,56 1,57 1,55 1,56 4,93 3,71 4,93 5,67 5,11 6,57 3. Transportasi Laut 0,51 0,47 0,42 0,41 0,38 0,37 7,24-2,3-5,05 0,52 0,1 2,83 4. Transportasi Sungai, Danau & Penyebran 0,13 0,13 0,13 0,13 0,13 0,12 3,81 3,31 4,75 4,9 7,29 3,93 5. Transportasi Udara 0,62 0,63 0,63 0,67 0,75 0,8 10,65 8,02 5,32 11,65 18,99 14,35 6. Jasa Penunjang Transportasi 0,92 0,87 0,83 0,84 0,84 0,84 7,06 0,6 0,43 6,89 5,2 6,83 PDB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 5,50 6,35 6,01 4,63 6,20 6,46 Laju pertumbuhan ekonomi dari sub sektor angkutan kereta kecenderungan penurunan, yaitu 6,67 persen pada tahun 2012 dari -0,92 persen pada tahun Hal ini membuktikan perlu adanya peningkatan 88

97 kinerja transportasi kereta api. Lain halnya dengan angkutan laut yang dalam periode menunjukkan adanya peningkatan, yaitu dari 3,63 persen pada tahun 2004 menjadi 4,27 persen pada tahun Gambar 4. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor Transportasi Darat dalam Perekonomian Nasional, Tahun Salah satu output yang diharapkan dari hasil pembangunan adalah banyaknya tenaga kerja yang terserap di lapangan pekerjaan. Penyerapan tenaga kerja yang maksimal akan berkorelasi positif dengan pengurangan kemiskinan. Pemerintah terus berupaya menciptakan lapangan pekerjaan melalui berbagai aktivitas, termasuk pembangunan sarana dan prasarana transportasi. Diharapkan, investasi yang ditanamkan di sektor transportasi yang dilanjutkan dengan pembangunan di berbagai sub sektor transportasi akan mampu menyerap tenaga kerja, baik tenaga kerja yang terlatih ataupun tidak terlatih. Sektor transportasi menyerap tenaga kerja lebih dari 4 juta orang. Tenaga kerja yang diserap di sektor transportasi mengalami peningkatan dari tahun , yaitu kurang lebih 290 ribu orang. Angka ini relatif tinggi karena pembangunan sarana dan prasarana transportasi membutuhkan tenaga yang cukup besar. Demikian pula halnya untuk angkutan kereta api dan angkutan laut, dalam periode menunjukkan adanya peningkatan. Tabel 2. Penyerapan Tenaga Kerja di Sektor Transportasi Tahun Sektor Transportasi Angkutan Kereta Api Angkutan Jalan Raya 2,060 2,028 2,068 2,231 2,207 2,158 2,072 2,180 Angkutan Laut Angkutan Sungai, Danau & Penyeberangan Angkutan Udara Jasa Penunjang Angkutan Total 3,887 3,827 3,903 4,210 4,164 4,073 3,910 4,113 Berkaitan dengan daya saing, peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada sektor transportasi. Untuk perkeretaapian mengalami perbaikan peringkat, dari 60 pada tahun 2009 menjadi 44 pada tahun

98 Demikian pula dengan pelabuhan laut mengalami peningkatan dari urutan ke 104 pada tahun 2009 menjadi urutan ke 89 pada tahun Perbaikan peringkat infrastruktur transportasi karena selama kurun waktu tersebut, pemerintah berusaha meningkatkan investasi untuk pembangunan transportasi. Untuk sektor transportasi udara yang Secara umum daya saing infrastruktur Indonesia pada tahun 2013 lebih baik daripada tahun Tabel 3. Peringkat Daya Saing Infrastruktur Indonesia Tahun Infrastruktur Jalan Perkeretaapian Pelabuhan Laut Bandar Udara Rekomendasi Dalam melaksanakan pembangunan transportasi, sejumlah tantangan besar masih harus dihadapi, diantaranya: (1) Persaingan antarmoda yang tidak sesuai dan masih didominasi oleh moda jalan; (2) Penganggaran yang tidak seimbang antar sub sektor transportasi; (3) Pengembangan transportasi multimoda belum optimal; (4) Tatakelola dan manajemen sistem transportasi masih belum matang serta belum terpadu dan sinergi; (5) Belum tersedianya indikator yang tepat untuk melakukan perencanaan, monitoring, pengendalian, dan evaluasi terhadap masing-masing sub sektor transportasi Untuk menjawab tantangan tersebut, grand design dan strategi mendesak untuk segera disusun, kemudian diterjemahkan ke dalam kebijakan pembangunan transportasi untuk dapat dilaksanakan dengan secara cepat, tepat dan terukur, mengingat akan peranan transportasi yang vital dalam menunjang pergerakan dinamika pembangunan. Di samping itu, dari sisi internal, penyediaan sarana dan prasarana dan kualitas pelayanan baik transportasi kereta api maupun laut perlu terus ditingkatkan. 90

99 11 EVALUASI PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI (PNPM MANDIRI) * Abstrak Berbagai skenario kebijakan pemerintah untuk menurunkan angka kemiskinan tersebut sebenarnya telah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan dengan menurunnya angka kemiskinan dari 41,6 persen pada tahun 1976 menjadi sekitar 11,3 persen padatahun Namun kondisi perekonomian dunia yang mengalami krisis pada tahun 1997 berimbas ke Indonesia, dari krisis ekonomi menjadi krisis multi dimensi, telah meningkatkan proporsi penduduk miskin menjadi 24,2 persen pada tahun Oleh sebab itu upaya pengentasan penduduk miskin terus dilakukan dengan berbagai skenario dari pemberian bantuan jangak pendek, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kondisi sosial ekonomi dan lingkungan. Skenario ini telah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi hanya 11,3 persen pada tahun Dan diharapkan terus menurun sehingga tercapai target baik MDGs maupun target Rencana Pembangunan Jangka Panjang nasional. Untuk mempercepat penurunan angka kemiskinan, salah satu upaya adalah diluncurkannya Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri pada tahun Program ini dilaksanakan melalui harmonisasi dan pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Sejak diluncurkannya program tersebut, PNPM Mandiri telah dilaksanakan di seluruh kecamatan Indonesia yang tergabung dalam PNPM Mandiri Inti dan diperkuat dengan PNPM Penguatan. Jumlah lokasi intervensi PNPM Inti dari tahun 2007 hingga tahun 2014 telah mencakup kecamatan di seluruh Indonesia. Adapun kegiatan antara lain untuk pembangunan infrastruktur, kegiatan ekonomi, dan pembangunan kesehatan. Sementara itu, capaian outcome PNPM Mandiri ini ditunjukkan dengan semakin mandirinya masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga kegiatan ini direncanakan, dilaksanakan, dan dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri. Dengan dilaksanakannya PNPM Mandiri, tentunya telah memberi dampak dalam pengurangan angka kemiskinan di Indonesia yang dari tahun ketahun semakin menurun, pada tahun 2014 telah menjadi 11,25 persen (28,28 juta orang) dari 14,15 persen (32,53 juta orang) pada tahun Meskipun pelaksanaan PNPM Mandiri telah menunjukkan keberhasilan, namun terdapat beberapa hal yang direkomendasikan, yaitu terkait dengan (1) Kelembagaan dan koordinasi, antara lain perlunya peningkatan kapasitas SDM serta infrastruktur di tingkat kecamatan; (2) Efisiensi dan efektifitas, antara lain perlunya mengedepankan activity-sharing (kegiatan pendamping) daripada cost-sharing (dana pendamping) agar tidak memberatkan daerah; dan (3) Prioritas dan konsistensi, berupa replikasi PNPM Mandiri sesuai kemampuan daerah. * Diringkas dari hasil Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (2013), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi masalah utama yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia. Meskipun pada beberapa tahun terakhir ini angka kemiskinan terus menurun, akan tetapi masih banyak penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan menggunakan ukuran garis kemiskinan tahun 2010 sebesar rupiah per kapita per bulan, tercatat 31,02 juta orang atau 13,33 persen penduduk miskin di Indonesia. Dibandingkan dengan angka tahun 2009, terdapat penurunan jumlah penduduk miskin 1,51 juta orang dari 32,53 juta orang, yang berarti penurunannya amat kecil. Setengah dari provinsi di Indonesia memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional, dan hampir setengah penduduk Indonesia rentan terhadap kemiskinan. Banyak penduduk hidup di sekitar garis kemiskinan, tidak tergolong miskin tetapi sangat rentan jatuh miskin. Banyak resiko (tingkat individu maupun komunitas) yang bisa membuat jatuh miskin. Pertumbuhan ekonomi memang diperlukan namun tidak cukup. Perubahan dalam masyarakat, seperti berubahnya struktur keluarga, kebiasaan kerja dan nilai-nilai budaya, urbanisasi, dan globalisasi telah memengaruhi tingkat atau kekuatan perlindungan sosial yang mengandalkan keluarga (family based-social protection). Berbagai program pengentasan kemiskinan telah dilaksanakan, tetapi menurunkan persentase penduduk miskin memang tidak mudah. Penduduk miskin terutama yang berada disekitar garis kemiskinan sangat rentan terhadap berbagai perubahan kondisi ekonomi, sosial dan politik. Pada tahun 2007 diluncurkan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) yang dilaksanakan melalui harmonisasi dan 91

100 pengembangan sistem serta mekanisme dan prosedur program, penyediaan pendampingan dan pendanaan stimulan untuk mendorong prakarsa dan inovasi masyarakat dalam upaya penanggulangan kemiskinan yang berkelanjutan. Berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan termasuk yang dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat ini masih perlu ditinjau keberhasilannya. Hasil Evaluasi Dua Tahun Pelaksanaan RPJMN menunjukkan telah dipenuhinya target (11,5-12,5 persen) angka kemiskinan tahun 2011, yaitu sebesar 12,49 persen. Namun demikian, upaya penanggulangan kemiskinan masih perlu ditingkatkan agar target tingkat kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun 2014, dapat dicapai. Secara nasional, tingkat kemiskinan mengalami penurunan meskipun tingkat penurunannya cenderung melambat. Pada tahun 2009 terjadi penurunan kemiskinan 1,27 persen dari tahun 2008, namun kemudian terjadi perlambatan penurunan pada tahun 2010 menjadi hanya 0,82 persen, dan sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 0,84 persen. Kondisi di atas menunjukkan, bahwa permasalahan kemiskinan selalu ada setiap tahunnya, sehingga membutuhkan kemauan (political will) dan kerja ekstra keras dari berbagai komponen bangsa, supaya program-program yang digulirkan beserta alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan tidak berjalan di tempat. Oleh karena itu diperlukan suatu evaluasi implementasi dari program penanggulangan kemiskinan, khususnya dalam hal ini yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat (PNPM Mandiri), yang dapat menunjukkan sejauh mana perkembangan pelaksanaan program tersebut, hasil apa saja yang berhasil dibuahkan, sekaligus reviu permasalahan, tantangan dan solusi yang diterapkan. Tujuan Evaluasi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri ini adalah untuk: (1) Mengidentifikasi perkembangan pelaksanaan PNPM Mandiri sejak diluncurkan pada tahun 2007 sampai dengan saat ini; (2) Menganalisis potensi PNPM Mandiri dalam menanggulangi kemiskinan; (3) Menyusun rekomendasi sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan ataupun strategi penanggulangan kemiskinan untuk percepatan penurunan angka kemiskinan di Indonesia, khususnya yang relevan untuk memaksimalkan peran PNPM dalam penanggulangan kemiskinan. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka Evaluasi PNPM Mandiri menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas pembangunan, program, dan kegiatan), penyediaan anggaran, serta kegiatan-kegiatan yang terkait dengan peningkatan kemandirian ataupun pengembangan ekonomi, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah cakupan kecamatan penerima dan pemanfaatan dana PNPM Mandiri. Dalam pencapaian outcome (Terciptanya kemandirian masyarakat) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dicerminkan oleh menurunnya Angka Kemiskinan. Gambar 1 Kerangka Evaluasi PNPM Mandiri INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT - Penyediaan anggaran PNPM Mandiri - Peningkatan Kemandirian Masyarakat Perdesaan (PNPM-MP) - Jumlah kecamatan penerima PNPM Mandiri - Pemanfaatan dana PNPM Mandiri Pengembangan Kebijakan Usaha Penanggulangan Ekonomi Kemiskinan Masyarakat - Fasilitasi Pengembangan Wilayah Terpadu Kemandirian masyarakat: - Jumlah kelembagaan yang mandiri dan dapat memberdayakan masyarakat sekitarnya Penurunan angka kemiskinan 92

101 Arah kebijakan penanggulangan kemiskinan periode dalam rangka mempercepat penurunan kemiskinan adalah: (i) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang mengikutsertakan dan dapat dinikmati sebanyak-banyaknya masyarakat terutama masyarakat miskin (pro poor growth); (ii) Meningkatkan kualitas kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan melalui kebijakan afirmatif/keberpihakan; (iii) Peningkatan efektivitas penurunan kemiskinan di daerah, terutama daerah tertinggal, terdepan dan terluar. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2009 Tentang koordinasi penanggulangan kemiskinan menegaskan bahwa arah kebijakan penanggulangan kemiskinan nasional berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan menetapkan bahwa strategi penanggulangan kemiskinan dilaksanakan secara bersinergi dan terkoordinasi dengan mengelompokan program-program penanggulangan kemiskinan dalam 3 klaster program, yaitu: (i) Klaster pertama, adalah program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan dan perlindungan sosial; (ii) Klaster kedua, merupakan program berbasis pemberdayaan masyarakat; dan (iii) Klaster ketiga, merupakan program berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil. Dalam hal ini, PNPM Mandiri merupakan palaksanaan dari klaster kedua, yaitu program berbasis pemberdayaan masyarakat. Tabel 1 Perkembangan Pendanaan PNPM Mandiri Tahun Untuk menjalankan kebijakan tersebut, pendanaan PNPM Mandiri melalui DIPA Kemendagri yang dibagi menjadi DIPA Pusat dan sebagian besar untuk pendanaan T/A, DIPA Dekonsentrasi di provinsi yang sebagian besar untuk pendanaan Fasilitator, dan DIPA Urusan Bersama di kabupaten sebagian besar untuk mendanai Bantuan Langsung Masyarakat. Berbagai jenis BLM menjadi komponen PNPM Mandiri. Perkembangan pendanaan PNPM Mandiri sesuai penetapan Kemenkokesra dalam lima tahun terakhir adalah sebagai berikut ini. 2.3 Capaian Output PNPM Mandiri Program-program pemberdayaan masyarakat mulai dijadikan sebagai program nasional yang disebut Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri sejak tahun Namun demikian, sebelum tahun 2007 Pemerintah telah melaksanakana program pemberdayaan masyarakat yang dikenal dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) sejak tahun Pelaksanaan kedua program tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Sejak diluncurkannya program tersebut, PNPM Mandiri telah dilaksanakan di seluruh kecamatan Indonesia yang tergabung dalam PNPM Mandiri Inti dan diperkuat dengan PNPM Penguatan. Cakupan wilayah pelaksanaan PNPM Madiri dari tahun ke tahun semakin meningkat, hal ini menunjukkan bahwa output pelaksanaan PNPM Mandiri yang digambarkan melalui jumlah kecamatan penerima PNPM Mandiri capaiannya semakin meningkat. Jumlah lokasi intervensi PNPM Inti (Kecamatan) dari tahun 2007 hingga tahun 2014 tertera dalam Tabel 2. 93

102 Tabel 2 Jumlah Lokasi Intevensi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Program PNPM Program Pengembangan Kecamatan 747 Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan 229 PNPM Perkotaan PNPM Perdesaan PNPM Daerah Tertinggal dan Khusus PNPM Infrastruktur Perdesaan PNPM Infrastruktur Sosial Ekonomi Wilayah TOTAL Sumber: SIMPADU PNPM (data sampai dengan Juni 2014) Gambar 2 Pemanfaatan BLM PNPM Mandiri Periode Pendidikan, [VALUE] Pariwisata, [VALUE] Kesehatan, [VALUE] Lain-lain, [VALUE] Energi, [VALUE] Lingkungan, [VALUE] Ekonomi, [VALUE] Sumber: SIMPADU PNPM, 2014 Pertanian, [VALUE] Sosial, [VALUE] Transportasi, [VALUE] Selanjutnya, melalui PNPM Mandiri dialokasikan dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang umumnya bersifat stimulan dan open menu untuk mendanai berbagai kebutuhan masyarakat. Pemanfaatan BLM PNPM Mandiri dari tahun 2007 hingga tahun 2014 ini masih banyak fokus pada pembangunan akses/transportasi (55,76 persen) seperti pembangunan jalan, jembatan, irigasi, dan lainlain. Kemudian dilanjutkan dengan pemanfaatan untuk kegiatan ekonomi seperti dana bergulir dan simpan pinjam perempuan. Sedangkan pemanfaatan alokasi dana terbesar berikutnya adalah untuk sektor kesehatan dan pendidikan. 2.4 Capaian Outcome PNPM Mandiri Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat yang mandiri tidak mungkin diwujudkan secara instan, melainkan harus melalui serangkaian kegiatan pemberdayaan masyarakat yang direncanakan, dilaksanakan dan dimanfaatkan oleh masyarakat sendiri. Melalui kegiatan yang dilakukan dari, untuk, dan oleh masyarakat, diharapkan upaya penanggulangan kemiskinan dapat berjalan lebih efektif dan dapat lebih meningkatkan kemandirian masyarakat. Dalam upaya membangun kemandirian masyarakat ini PNPM Mandiri menggunakan serangkaian proses pemberdayaan masyarakat melalui sejumlah komponen kegiatan seperti pengembangan masyarakat untuk membangun kesadaran kritis dan kemandirian masyarakat, pemberian BLM sebagai dana stimulan keswadayaan yang diberikan kepada kelompok masyarakat untuk membiayai sebagian kegiatan yang direncanakan masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan, peningkatan kapasitas pemerintahan dan pelaku lokal, dan bantuan pengelolaan dan pengembangan program untuk mendukung pemerintah dan berbagai kelompok peduli lainnya dalam pengelolaan kegiatan. Melalui PNPM Mandiri, telah dikembangkan kemandirian masyarakat, penguatan kelembagaan masyarakat, dan sistem pembangunan partisipatif. Selain konsultan dan pendamping masyarakat atau 94

103 fasilitator, kelembagaan masyarakat dan kapasitas penduduk setempat/lokal juga turut meningkat melalui berbagai tahap kegiatan PNPM Mandiri dan lembaga seperti antara lain Unit Pengelola Kegiatan (UPK) di tingkat kecamatan maupun Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM), Tim Pengelola Kegiatan (TPK), dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) di tingkat desa dan kelurahan. Lembaga pengelola kegiatan dan aset masyarakat tersebut dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui forum di tingkat kecamatan/desa/kelurahan. Salah satu capaian outcome PNPM Mandiri, yaitu kemandirian masyarakat dapat ditunjukkan dengan perkembangan jumlah kelembagaan masyarakat hingga tahun 2014 baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan. Tabel 3 Jumlah Kelembagaan Masyarakat PNPM Mandiri PROGRAM JUMLAH KELEMBAGAAN KETERANGAN/ UNIT PNPM PERDESAAN Unit Pengelola Kegiatan Di Masyarakat Kelompok Swadaya PNPM PERKOTAAN* Masyarakat Di Kelurahan/Desa PNPM PISEW** Lembaga Kemasyarakatan Desa Di Desa P2DTK** Lembaga Sosial Kemasyarakatan Di Desa Catatan: *KSM terdiridari : 1. KSM Ekonomi : , 2. KSM Lingkungan : , 3. KSM Sosial : ** Lokasi PNPM PISEW tetap dari tahun sama halnya dengan P2DTK lokasinya tetap dari tahun Capaian Impact PNPM Mandiri Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan selama tahun 2009 sampai dengan tahun 2013, secara umum telah berhasil menurunkan angka kemiskinan. Selama kurun waktu lima tahun tersebut, Pemerintah telah berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin sebanyak 3,98 juta orang. Pada tahun 2009, persentase penduduk miskin masih mencapai 14,15 persen (32,53 juta orang berada di bawah garis kemiskinan) dan pada bulan Maret 2014 angka kemiskinan menurun menjadi 11,25 persen (28,28 juta orang). Gambar 3 Tingkat Kemiskinan Indonesia Sumber: BPS berbagai tahun Catatan : 2014* target RPJMN

104 3. Rekomendasi Berdasarkan evaluasi pelaksanaan PNPM Mandiri, secara umum terdapat beberapa hal yang menjadi tantangan antara lain: (1) Koordinasi sesama program dalam PNPM masih terbatas pada penentuan lokasi dan alokasi anggaran; (2) Meskipun telah menunjukkan keberhasilan, namun masih ada kelemahan yang hendaknya dijadikan masukan dalam menyempurnakan program; dan (3) Untuk menghindari tumpang tindih proyek dalam satu kecamatan dan kesenjangan antara kecamatan, lokasi program-program PNPM- Penguatan diarahkan pada kecamatan yang ditetapkan sebagai lokasi program-program PNPM-Inti. Rekomendasi yang dihasilkan dalam evaluasi PNPM Mandiri dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi Kelembagaan dan Koordinasi serta Efisiensi dan Efektifitas. Kelembagaan dan Koordinasi: 1) Karena lokus kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam PNPM Mandiri adalah pada level kecamatan maka hendaknya SKPD Camat dapat lebih ditingkatkan kapasitas SDM maupun infrastruktur pendukung yang mereka butuhkan untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat; 2) Masyarakat sebagai pengelola utama program pemberdayaan juga dapat lebih ditingkatkan kapasitasnya dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengawasi serta memanfaatkan hasil pembangunan; 3) Koordinasi di antara sesama program PNPM Mandiri hendaknya dapat lebih ditingkatkan, tidak hanya sebatas penentuan lokasi dan alokasi anggaran bila program PNPM ini masih berlanjut nantinya; 4) Setelah berakhirnya PNPM Mandiri maka tanggung jawab untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat ada di tangan pemerintah daerah. Oleh sebab itu daerah hendaknya dapat mengupayakan untuk melaksanakan program pemberdayaan masyarakat dengan sumber daya finansial, SDM, dan sumber daya lainnya yang mereka miliki; 5) Koordinasi dengan program-program lain seperti MP3KI, KUBE PKH, dan KSCT maupun programprogram lainnya seperti PAMSIMAS dapat lebih ditingkatkan. Efisiensi dan Efektifitas: 1) Dalam pendanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat hendaknya lebih mengedepankan kepada activity-sharing (kegiatan pendamping) daripada cost-sharing (dana pendamping) agar tidak memberatkan daerah; 2) Seluruh stakeholders yang terlibat dalam PNPM Mandiri bisa bersinergi lebih baik dalam semua kegiatan program pemberdayaan; 3) Ke depan sumber daya yang berasal dari loan diupayakan untuk diganti dengan menggali sumbersumber pembiayaan yang berasal dari dalam negeri; 4) Hendaknya komponen untuk bantuan pengelolan dan pengembangan program jangan mengambil porsi yang besar dari dana PNPM; 5) Kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam pelaksanaan PNPM hendaknya dapat dieliminasi dan disempurnakan sehingga menjadi lebih baik ke depannya; 6) Aset-aset yang ditinggalkan oleh PNPM Mandiri di masyarakat hendaknya tetap dapat dikelola dengan baik oleh masyarakat sehingga masih dapat bermanfaat untuk jangka waktu yang panjang. Oleh sebab itu dalam Road Map PNPM perlu diperjelas bagaimana mekanisme untuk mengelola dan memelihara aset-aset tersebut. Prioritas dan Konsistensi: Pemerintah Daerah dapat mereplikasi program PNPM Mandiri ini sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik dari segi dana maupun SDM ataupun sumber-sumber daya lainnya. Bila belum dapat mereplikasi PNPM Mandiri secara keseluruhan maka dapat dilakukan secara parsial sesuai dengan kemampuan daerah bersangkutan. 96

105 12 EVALUASI KEBIJAKAN REFORMASI BIROKRASI * Abstrak Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi (RB) terutama dalam lingkup pelayanan publik terkait penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat umum, dan pelayanan dunia usaha perlu dilakukan. Hal ini tidak lain karena pembangunan reformasi birokrasi merupakan bagian terpenting dalam meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional. Pemerintah juga berupaya untuk terus meningkatkan kualitas reformasi birokrasi melalui pelaksanan kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam dokumen RPJMN , serta dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan mengenai reformasi birokrasi, antara lain dengan ditetapkannya PP No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun Hasil evaluasi terhadap capaian kinerja reformasi birokrasi dengan fokus pada pelayanan publik di tiga pilar governance (pemerintah, masyarakat, dunia usaha) menunjukkan hasil yang cukup baik. Capaian output penyelenggaraan pemerintahan telah menunjukkan adanya peningkatan yang cukup signifikan dilihat dari capaian indikator kinerja pelayanan yang diberikan K/L atau Pemda. Upaya peningkatan sinergi antara pusat dan daerah telah dilakukan melalui peningkatan jumlah SPM (Standar Pelayanan Minimum) yang ditetapkan dan diterapkan oleh daerah. Hingga tahun 2012, telah ada 15 SPM untuk 65 jenis pelayanan, yang sudah ditetapkan melalui peraturan menteri terkait. Selain itu, pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) juga semakin membaik, hingga tahun 2013, sudah 468 daerah (propinsi/kabupaten/kota) yang telah membentuk PTSP, atau 88,3 persen dari target 530 di tahun Capaian outcome pelayanan publik terhadap masyarakat menunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan, dilihat dari data indeks hasil Survei Integritas Sektor Publik (dilakukan KPK) yang cenderung menunjukkan peningkatan pada level nasional. Sementara untuk capaian pelayanan publik terhadap dunia usaha, pada satu sisi telah berhasil memangkas waktu penyelesaian ijin usaha secara signifikan (menjadi lebih singkat dan lebih transparan), namun upaya tersebut belum cukup mampu mengangkat nilai daya saing di level global, bahkan regional sekalipun. Beberapa parameter yang digambarkan di tingkat output maupun outcome memberikan dampak atau pengaruh dalam peningkatan daya saing dan usaha, khususnya kinerja investasi di Indonesia. Sepanjang tahun , realisasi investasi PMDN rata-rata tumbuh 44,7 persen, sedangkan realisasi investasi PMA rata-rata tumbuh 28,7 persen. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa posisi daya saing Indonesia belum menggembirakan jika dibandingkan dengan negara tetangga. Indeks daya saing global (global competitiveness index) yang dipublikasikan oleh World Economic Forum, memperlihatkan posisi Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand. Berdasarkan berbagai capaian yang dihasilkan dan identifikasi atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi, ditentukan sejumlah pilihan rekomendasi, diantaranya: (1) Rekomendasi bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, yang terbagi dalam 2 perspektif, yaitu perspektif administrasi dan perspektif etika publik sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan RB; (2) Rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat, yang terbagi dalam 4 perspektif, yaitu perspektif integritas, perspektif kewenangan antar tingkatan pemerintahan, perspektif strategi peningkatan kualitas pelayanan publik yang berpusat pada pelanggan (customer centric strategy); dan perspektif inovasi pelayanan publik; dan (3) Rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi pelaku usaha. * Diringkas dari hasil Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi (2013), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka meningkatkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan merupakan bagian terpenting dalam meningkatkan pelaksanaan pembangunan nasional. Dibidang pelayanan publik, pemerintah masih belum dapat menyediakan pelayanan publik yang berkualitas sesuai yang diharapkan. Hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas sektor publik tingkat nasional mencapai skor 5,42, tingkat instansi pusat 6,16, tingkat instansi vertikal 5,26 dan tingkat daerah 5,07 dari skala 10. Kemudahan berusaha (Doing Business), Indonesia menempati peringkat ke-122 dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. 97

106 Dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, berdasarkan penilaian government effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43 pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala -2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Skor tersebut masih menunjukkan kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (3,0 dari 10). Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak dibenahi termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Melihat kondisi permasalahan yang ada, pemerintah telah berupaya untuk terus meningkatkan kualitas reformasi birokrasi melalui pelaksanan kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam dokumen RPJMN , serta dengan dikeluarkannya beberapa kebijakan mengenai reformasi birokrasi, antara lain dengan ditetapkannya PP No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Tahun Untuk itu, perlu kiranya dilakukan evaluasi terhadap pencapaian pembangunan reformasi birokrasi berdasarkan sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dalam dokumen pembangunan. Hasil evaluasi tersebut diharapkan dapat menjadi masukan dan perbaikan penyusunan kebijakan selanjutnya. Tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kegiatan Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi adalah: (1) Melihat sejauhmana pencapaian kebijakan pembangunan reformasi birokrasi dalam pencapaian sasaran pembangunan yang telah ditentukan; (2) Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab pencapaian sasaran; dan (3) Menyusun rekomendasi dalam upaya perbaikan kebijakan pembangunan selanjutnya. Ruang lingkup kegiatan Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi ini adalah melakukan identifikasi dan analisis atas pelaksanaan reformasi birokrasi serta kebijakan pendukung lainnya, terutama terkait peningkatan kualitas pelayanan publik dalam: (1) Penyelenggaraan pemerintahan: kelembagaan, tata laksana (business process), SDM aparatur; (2) Pelayanan masyarakat umum, dan (3) Pelayanan dunia usaha/bisnis. 2. Hasil Evaluasi 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Kebijakan Reformasi Birokrasi pada Gambar 1. menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas pembangunan, program, dan kegiatan), pembiayaan, sumber daya aparatur, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan, dapat dibagi menjadi 2, yaitu output terkait perkembangan reformasi birokrasi, dan output terkait upaya mendorong perkembangan pelayanan publik yang semakin berkualitas adalah pertumbuhan PDB pertanian dan produksi komoditas pangan. Kemudian, dalam pencapaian outcome (peningkatan kinerja pelayanan publik yang diukur melalui Indeks Integritas Sektor Publik) tidak terlepas pula dari faktor ketercapaian output dan dukungan input yang diberikan. Sehingga pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan investasi dan daya saing usaha. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact. 98

107 Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Prioritas Pembangunan Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola: UU No.17/2007 tentang RPJPN , Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Program Pembangunan RB dan Kualitas Pelayanan Publik: o Program Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Kegiatan: o Koordinasi perencanaan dan evaluasi program pelayanan publik, o Peningkatan koordinasi dan evaluasi pelayanan di bidang kesejahteraan sosial, o Peningkatan koordinasi dan evaluasi pelayanan publik di bidang pemerintahan umum, hukum dan keamanan, o Koordinasi perencanaan dan evaluasi program kelembagaan, dan o Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi. Output Reformasi Birokrasi: o Indeks Persepsi Korupsi o Opini WTP atas LKKL dan LKKD o Indeks Efektivitas Pemerintahan o Persentase K/L/D yang akuntabel o Instansi Pusat/Daerah yang melaksanakan RB Output menuju peningkatan pelayanan publik: o Jumlah SPM o Jumlah PTSP o Regulasi Pelayanan Peningkatan kinerja pelayanan publik o Indeks Integritas Sektor Publik o Indeks Kemudahan Berusaha o Indeks Keyakinan Berusaha Peningkatan investasi o Realisasi Investasi PMA dan PMDN Peningkatan daya saing o Indeks Daya Saing Global 2.2 Kebijakan Pemerintah sebagai pelaku utama birokrasi di negeri telah memulai pembenahan birokrasi sejak reformasi 1998, walaupun perkembangannya saat itu kurang terdengar. Pada tahun 2007, DPR dan Presiden RI menerbitkan UU No.17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang, yang menyebutkan bahwa untuk mewujudkan bangsa yang berdaya-saing perlu dilakukan upaya-upaya, antara lain: (1) Mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; (2) Memperkuat perekonomian domestik berbasis keunggulan di setiap wilayah menuju keunggulan kompetitif dengan membangun keterkaitan sistem produksi, distribusi, dan pelayanan di dalam negeri; (3) Meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan; (4) Membangun infrastruktur yang maju; dan (5) Melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara. Sebagai tindak lanjut UU No.17/2007, untuk melakukan reformasi di bidang hukum dan aparatur negara, Presiden RI menerbitkan Perpres No.81/2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Grand Design tersebut terbagi ke dalam 3 tahapan yaitu Road Map Reformasi Birokrasi (RMRB) , RMRB , RMRB Komitmen untuk menerapkan program Reformasi Birokrasi di lingkungan K/L atau Pemerintah Daerah mendapatkan momentum setelah melihat upaya-upaya yang dilakukan (waktu itu) Kementerian Keuangan untuk melakukan reformasi secara komprehensif dinilai telah memberikan dampak positif baik dilihat dari aspek kinerja maupun kepercayaan publik terhadapnya. Tidak lama setelah itu, Pemerintah (melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara) mengeluarkan Permen PAN RB No.15/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi. 99

108 Untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik pada satu sisi serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik pada sisi lain, pada tanggal 18 Juli 2009 telah disahkan Undang-Undang (UU) No.25/2009 tentang Pelayanan Publik. Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik terus dilakukan secara nyata, melalui berbagai langkah-langkah antara lain sebagai berikut: a. Memperkuat manajemen dan sistem pelayanan publik nasional. Hal ini akan ditempuh dengan menyusun kebijakan operasional agar kebijakan tentang pelayanan publik yang telah ditetapkan dalam UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik dapat segera dilaksanakan dengan efektif. Apabila kebijakan operasional itu dapat segera dikeluarkan dan dilaksanakan, harapan agar pemerintah dapat memberikan pelayanan yang berkualitas secara bertahap dapat segera diwujudkan. Sejalan dengan kebijakan tersebut, untuk meningkatkan kompetensi SDM dan inovasi dalam manajemen pelayanan, akan ditempuh peningkatan kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan. b. Penerapan standar pelayanan minimal pelayanan publik. Di samping UU tentang Pelayanan Publik mengamanatkan adanya standar pelayanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik, UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang selanjutnya dijabarkan dalam PP No.65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM, juga mengamanatkan setiap K/L menyusun SPM untuk urusan yang menjadi tanggungjawabnya. c. Pengembangan sistem evaluasi kinerja pelayanan publik. Evaluasi kinerja pelayanan publik sangat diperlukan sebagai upaya meningkatkan kinerja pelayanan publik secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan instrumen yang kredibel untuk mengukur kinerja penyelenggaraan pelayanan yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat. Selain itu, berbagai upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di atas perlu didukung dengan pembinaan pelaksanaan kebijakan pelayanan publik yang efektif baik bagi instansi pemerintah pusat maupun daerah. Pembangunan reformasi birokrasi dengan fokus pada peningkatan pelayanan publik salah satunya dilaksanakan melalui Program Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dengan kegiatan yang terkait, antara lain: (1) Koordinasi perencanaan dan evaluasi program pelayanan publik, (2) Peningkatan koordinasi dan evaluasi pelayanan di bidang kesejahteraan sosial, (3) Peningkatan koordinasi dan evaluasi pelayanan publik di bidang pemerintahan umum, hukum dan keamanan, (4) Koordinasi perencanaan dan evaluasi program kelembagaan, dan (5) Penyusunan dan pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi. Total alokasi anggaran untuk Program Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi sepanjang tahun sebesar Rp.454,5 miliar, dengan alokasi per tahunnya terus mengalami peningkatan, dari Rp.69,5 miliar menjadi Rp.106,9 miliar di tahun Capaian Output : Kinerja Penyelenggaraan Pemerintahan Terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, berdasarkan indikator capaian opini pemeriksaan pengelolan keuangan negara oleh BPK menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan negara di LKKL Pusat telah berjalan relatif baik. Capaian saat ini tidak terlalu jauh dengan target akhir RPJMN ke-2 tahun Yang mengkhawatirkan adalah kinerja pengelolaan keuangan daerah, capaiannya masih jauh dari target tahun

109 Tabel 1. Perkembangan Capaian Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola Indikator Sasaran Satuan Target RPJMN Perkembangan Capaian Sasaran Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN IPK Skor ,0 2,8 2,8 3,0 32 ª ) 32 ª ) Persentase K/L dengan Opini WTP atas Laporan Keuangan K/L (Pusat) Persentase Pemda dengan Opini WTP atas Laporan Keuangan Pemda (Daerah) % % , Sasaran Kapasitas dan Akuntabilitas Kinerja Birokrasi Indeks Efektivitas Pemerintahan (government effectiveness) LAKIP Skor -2,5 s.d 2,5 0,5-0,29-0,26-0,19-0,24 n.a Persentase K/L yang Akuntabel f % ,4 63,3 82,9 95,1 94,1 Persentase Provinsi yang Akuntabel % 80 3,7 31,0 63,3 75,8 84,9 Persentase Kab/Kota yang Akuntabel % 60 1,2 3,8 12,2 24,4 31,3 Reformasi Birokrasi Instansi Pusat yg melaksanakan RB 100% Instansi Daerah yg melaksanakan RB 100% Prov, 60% Kab/ Kota Keterangan: * Data Belum Tersedia; ** Direncanakan akan dilaksanakan tahun 2013 ª : skala Pro v 33Kab 33 Kota ** Upaya pemberantasan korupsi masih menghadapi kendala besar. Dengan menggunakan indikator Indeks Persepsi Korupsi bisa disimpulkan bahwa dengan nilai IPK 32 (skala 100) pada tahun 2012 dan tren data ekstrapolasi selama kurun waktu satu dekade terakhir, capaian target akhir tahun RPJMN ke-2 (tahun 2014) untuk mencapai nilai 5.0 sangat sulit untuk dicapai. Akuntabilitas lembaga yang ditunjukkan oleh indikator LAKIP, menunjukkan akuntabilitas untuk instansi pusat dan provinsi sudah relatif baik. Hal yang agak bermasalah adalah akuntabilitas instansi di kabupaten/kota. 101

110 Tabel 2. SPM yang Telah Ditetapkan, Tahun No Bidang Tahun Penetapan Jenis Pelayanan Jumlah Indikator Target Pencapaian 1 Kesehatan Sosial Lingkungan Hidup Pemerintahan Dalam Negeri 2008/ Perumahan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 7 Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera Pendidikan Dasar Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Ketenagakerjaan Komunikasi dan Informatika Ketahanan Pangan Kesenian Perhubungan Penanaman Modal Jumlah Sumber: Kementerian Dalam Negeri, 2013 Gambar 2. Perkembangan Jumlah PTSP/OSS di K/L/Pemda, Tahun Jumlah PTSP/OSS Provinsi Kabupaten Kota Total Sumber: Kementerian Dalam Negeri,

111 Khusus dalam kaitan dengan pelayanan publik sebagai bagian dari RB telah dilakukan, antara lain: (1) Upaya peningkatan sinergi antara pusat dan daerah antara lain melalui peningkatan jumlah SPM (Standar Pelayanan Minimum) yang ditetapkan dan diterapkan oleh daerah. Hingga tahun 2012, telah ada 15 SPM untuk 65 jenis pelayanan, yang sudah ditetapkan melalui peraturan menteri terkait dan masih perlu disusun dan diterapkan sisa 5 SPM lagi; (2) Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) semakin membaik, hingga tahun 2013, sudah 468 daerah (propinsi/kabupaten/kota) yang telah membentuk PTSP, atau 88,3 persen dari target 530 di tahun 2014 dan sudah 33 provinsi dan 50 kabupaten/kota yang menerapkan SPIPISE; (3) Telah disusun 2 (dua) RPP sebagai pelaksanaan dari UU No.25/2009 tentang Pelayanan Publik dan salah satunya telah ditetapkan yaitu PP No.96/2012 tentang Pelaksanaan UU No.25/2009; dan (4) Penerapan sistem pengadaan secara elektronik (e-procurement), hingga September 2012, telah terbentuk 500 Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang tersebar di 33 provinsi yang melayani pengadaan di 755 instansi pusat dan daerah, dan penyedia terdaftar. 2.4 Capaian Outcome: Pelayanan Publik untuk Masyarakat Umum dan Dunia Usaha Kinerja pelayanan publik oleh penyelenggara pelayanan dalam perspektif integritas (integrity) dapat diukur berdasarkan persepsi dan skala sikap. Hasil akhir pengukurannya adalah dalam bentuk Indeks Integritas (II). Rata-rata Indeks Integritas Nasional (IIN) di tahun 2012 adalah 6,37. Secara nasional, ratarata Indeks Integritas Pusat (IIP) lebih tinggi dibandingkan Indeks Integritas Daerah dan Vertikal. Secara nasional, ada 45 persen (atau 38 instansi/pemerintah daerah) yang pencapaian nilai indeks integritasnya masih di bawah rata-rata nasional dan ada 20 persen (atau 17 instansi/pemerintah daerah) yang pencapaian indeks integritasnya masih di bawah standar yang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yaitu 6,00. Hal tersebut menunjukkan adanya perubahan yang cukup signifikan atas pelayanan publik terhadap masyarakat. Adapun yang menjadi kendala utama adalah terkait dengan mentalitas SDM aparatur dalam memberikan pelayanan yang cenderung membuka peluang adanya penyimpangan, ketidak-transparanan pelayanan (terutama dalam proses), serta belum efektifnya sistem penanganan pengaduan pelayanan. Gambar 3. Perkembangan Nilai Indeks Integritas Nasional, Gambar 4. Skor Indeks Integritas Sektor Publik 2012 Sumber: KPK, 2013 Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini giat melakukan reformasi kebijakan usaha. Perbaikanperbaikan yang konsisten ini telah diakui oleh laporan tahunan Doing Business. Menurut Doing Business 2012, Indonesia, diwakili oleh Jakarta, berada di jajaran 50 perekonomian teratas yang berhasil melakukan kemajuan paling signifikan untuk mengurangi jarak antara mereka dengan prestasi negaranegara dengan kinerja terbaik, dan di jajaran 50 perekonomian teratas di kawasan Asia Timur dan Pasifik. Namun demikian, Indonesia masih agak jauh tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan 103

112 Malaysia dalam hal kemudahan berusaha bagi para pelaku usaha, meski Indonesia telah membuat kebijakan usaha yang lebih bersifat reformis baik dalam hal pengurusan perizinan, tarif pajak, maupun masalah properti. No Negara Tabel 2. Peringkat Doing Business Negara ASEAN (181 Negara) Peringkat Negara Anggota ASEAN 2009 (181 Negara) 2010 (183 Negara) 2011 (183 Negara) 2012 (183 Negara) 2013 (189 Negara) 1 Singapura Thailand Malaysia Vietnam Brunei Indonesia Philipina Kamboja Myanmar Laos Sumber: Doing Business, 2013 Tabel 3. Peringkat FDI Confidence Index Indonesia No Tahun Peringkat (dalam Top 25) (dalam Top 25) (dalam Top 25) Sumber: World Investment Report Meskipun dari sisi indeks kemudahan berusaha Indonesia relatif belum kompetitif bahkan dibanding beberapa negara anggota ASEAN lainnya, namun dilihat dari Indeks Keyakinan (Confidence Index) yang menunjukkan keyakinan investor asing untuk menanamkan modalnya, justru menunjukkan profil yang berbeda. Pelayanan publik terhadap dunia usaha memberikan dua gambaran yang berbeda. Pada satu sisi, upaya yang berkesinambungan untuk melakukan debirokratisasi bidang perijinan usaha telah berhasil memangkas waktu penyelesaian ijin usaha secara signifikan (menjadi lebih singkat dan lebih transparan). Namun, pada sisi lain upaya tersebut dinilai belum cukup mampu mengangkat nilai daya saing di level global, bahkan regional sekalipun. Rendahnya tingkat daya saing tersebut setidaknya disebabkan oleh 3 (tiga) faktor pokok yaitu: (1) Korupsi, (2) Birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan (3) Ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. 2.5 Capaian Impact: Investasi dan Daya Saing Beberapa parameter yang digambarkan di tingkat output maupun outcome memberikan kontribusi dalam peningkatan daya saing dan usaha, khususnya kinerja investasi di Indonesia. Realisasi investasi PMDN meningkat dari Rp.37,8 triliun pada tahun 2009 menjadi Rp.128,2 triliun pada tahun 2013 atau rata-rata tumbuh sebesar 44,7 persen, dan pada semester I tahun 2014 mencapai Rp.72,8 triliun. Sementara itu, realisasi investasi PMA telah meningkat dari USD10,8 miliar pada tahun 2009 menjadi USD28,6 miliar pada tahun 2013 atau rata-rata tumbuh sebesar 28,7 persen. Pada semester I tahun 2014 realisasi investasi PMA mencapai USD14,3 miliar. 104

113 Tabel 4. Kinerja PMDN dan PMA Sektor Non-Migas Tahun 2004, 2009-Semester I-2014 Selain itu, realisasi PMDN dan PMA dalam kurun waktu 2009 sampai dengan 2013 sudah mulai bergeser ke luar pulau Jawa. Hal ini merupakan pertanda baik untuk mendorong sebaran investasi yang lebih berimbang antara wilayah di Indonesia, sehingga dapat memberikan kontribusi untuk meningkatkan pemerataan pembangunan di Indonesia. Gambar 5. Realisasi Penanaman Modal Berdasarkan Wilayah, Tahun 2009-Semester I 2014 Peringkat investasi Indonesia juga semakin membaik, sehingga dimasukkan dalam kategori negara yang layak investasi (investment grade), yaitu Fitch: BBB-, Moody s: BAA3, dan Standard & Poors: BB+. Peningkatan peringkat ini merupakan cerminan perbaikan persepsi terhadap situasi perekonomian Indonesia. Predikat investment grade akan menambah kepercayaan investor asing dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa posisi Indonesia belum menggembirakan jika dibandingkan dengan negara tetangga. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap daya saing Indonesia di dunia internasional. Indeks daya saing global (global competitiveness index) yang dipublikasikan oleh World Economic Forum, memperlihatkan posisi Indonesia masih berada di bawah Malaysia dan Thailand. Posisi Indonesia masih menduduki peringkat pada tahun , kemudian membaik menjadi peringkat 46 pada tahun , dan berhasil mencapai peringkat 38 pada tahun

114 Gambar 6. Perbandingan Peringkat Global Competitiveness Index Indonesia dengan Negara-Negara ASEAN Peringkat Singapura Malaysia Thailand Indonesia GCI GCI GCI GCI GCI GCI GCI GCI Sumber: WEF, 2013 (diolah) 3. Rekomendasi Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, beberapa studi yang dilakukan masih mengungkapkan tidak adanya perubahan dalam budaya birokrasi dan perilaku birokrasi dalam pelayanan publik. Reformasi birokrasi menghadapi sejumlah masalah pokok, yaitu: (1) Reformasi birokrasi masih dalam konteks reformasi dalam ranah eksekutif, bukan reformasi administrasi, (2) Rendahnya akselerasi program reformasi birokrasi, (3) Belum optimalnya dukungan kebijakan pelaksanaan reformasi birokrasi terutama untuk daerah, (4) Masih begitu kuatnya intervensi politik terhadap birokrasi, (5) Reformasi Birokrasi sering diterjemahkan sebagai bertambahnya remunerasi, yang telah menimbulkan persoalan keuangan bagi daerah yang lemah dalam APBDnya, dan (6) Reformasi Birokrasi belum bisa memberikan perubahan signifikan dari pola pikir dan budaya kerja. Berkaitan dengan pelayanan untuk masyarakat umum, permasalahan pembangunan yang teridentifikasi antara lain: (1) Kualitas pelayanan publik belum memenuhi keinginan masyarakat akan pelayanan yang cepat, mudah, murah, dan transparan, terutama di bidang pertanahan, investasi dan perizinan, perpajakan dan kepabeanan, pengadaan barang dan jasa pemerintah/publik, dan sistem administrasi kependudukan; (2) Belum meratanya penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (e-government) dalam pemberian pelayanan publik di instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah; (3) Masih lemahnya SDM pelayanan publik baik dari segi kapasitas dan sikap perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; (4) Belum optimalnya pelaksanaan SPM karena keterbatasan sumber daya dan regulasi. Berkaitan dengan pelayanan publik untuk dunia usaha, permasalahan pembangunan yang teridentifikasi adalah belum meratanya kesadaran bahwa kemudahan berusaha adalah prasyarat penting kemajuan ekonomi (kemudahan mendirikan usaha baru akan mendorong kewirausahaan dan menyuburkan kompetisi yang berujung pada produktivitas ekonomi). Selain itu, masalah utama dalam melakukan bisnis 106

115 di indonesia (berdasarkan tingkat keseriusan masalahnya), yaitu: korupsi, birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai. Penyusunan rekomendasi terkait upaya peningkatan pelayanan publik pada ketiga pilar governance (pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha) membutuhkan pendekatan atau perspektif yang cukup komprehensif. Pendekatan atau perspektif komprehensif tersebut mencakup tidak hanya pendekatan administrasi publik atau politik saja, tetapi juga pendekatan atau perspektif disiplin ilmu lain seperti manajemen publik (termasuk didalamnya inovasi atau public entrepreneurship) serta etika publik (termasuk didalamnya tentang integritas sebagai salah satu inti). Rekomendasi bagi peningkatan kualitas penyelenggaraan pemerintahan, terbagi dalam 2 perspektif, yaitu perspektif administrasi dan perspektif etika publik sebagai bagian dari upaya pencapaian tujuan RB. Dari perspektif administrasi, rekomendasi yang dapat diberikan antara lain: (1) Membangun sumber daya aparatur yang profesional, (2) Mewujudkan ketatalaksanaan yang efektif, dan (3) Mewujudkan kelembagaan birokrasi yang efektif dan efisien. Sementara dari perspektif etika publik, meliputi: (1) Dilakukan reformasi dalam rekrutmen, pendidikan dan pelatihan, promosi, dan terminasi; (2) Dilakukan uji integritas, kompetensi, konsistensi, loyalitas dan keterbukaan secara berkesinambungan; dan (3) Dibuat standarisasi profesionalisme birokrat antara pusat dan daerah, antar daerah dan antar lembaga agar tidak ada perbedaan kualitas dan profesionalitas yang mencolok lintas daerah dan lintas lembaga. Rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi masyarakat terbagi dalam 4 perspektif, yaitu perspektif integritas, perspektif kewenangan antar tingkatan pemerintahan, perspektif strategi peningkatan kualitas pelayanan publik yang berpusat pada pelanggan (customer centric strategy); dan perspektif inovasi pelayanan publik. Dari perspektif integritas, rekomendasi diberikan sesuai dengan kondisi capaian integritas layanan dari instansi pemerintah (pusat dan daerah), yaitu: (1) Untuk instansi dengan indeks integritas sektor publik yang masih rendah dan di bawah standar 6.00, perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat dengan memperhatikan komponen penyusun integritas, yaitu Pengalaman Integritas dan Potensi Integritas: pengalaman korupsi, cara pandang terhadap korupsi, lingkungan kerja, sistem administrasi, perilaku individu, pencegahan korupsi; (2) Untuk instansi dengan skor integritas berada pada nilai standar minimum 6,00, perlu ditetapkan perbaikan pada: jumlah/besaran gratifikasi, waktu pemberian gratifikasi, dan tujuan pemberian gratifikasi; dan (3) Untuk instansi dengan skor integritas <6.0, perlu ditetapkan perbaikan pada: kebiasaan pemberian gratifikasi, pemanfaatan teknologi informasi, perilaku pengguna, tingkat upaya antikorupsi, mekanisme pengaduan masyarakat. Dari perspektif kewenangan antar tingkatan pemerintahan, rekomendasi yang bisa diajukan agar upaya reformasi birokrasi dapat mendorong peningkatan pelayanan publik, diantaranya adalah: (1) Untuk konteks PUSAT, Roadmap RB ke-2 harus dikembangkan cakupannya kepada governance/administrative reform, dengan menambah area perubahan baru: hubungan antartingkatan pemerintahan (pusatdaerah), dan pembagian urusan pemerintahan; (2) Perlu dirumuskan sasaran dan program/kegiatan yg lebih logis, terutama dalam mewujudkan world-class public service; (3) Terus ditumbuhkan orientasi kepublikan (public values orientation), dengan mengurangi orientasi pemenuhan kebutuhan pribadi (self fulfilling orientation); (4) Untuk konteks DAERAH, harus dibedakan antara urusan wajib Provinsi dengan urusan wajib Kabupaten/Kota. Urusan wajib Provinsi adalah urusan yg memiliki karakteristik/dampak lintas Kab/Kota, misalnya Ketahanan Pangan, Penanggulangan Bencana, Lingkungan Hidup. Sedangkan urusan sektoral lokal seperti pertanian, perkebunan, perikanan, pariwisata, pendidikan, sosial tetap ada di Kabupaten/ Kota; (5) Dengan urusan yg berbeda antara Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka desain kelembagaan mereka juga akan berbeda; dan (6) Perlu pengembangan konsep SPM Regional yg menjadi kewajiban Provinsi. Dari perspektif strategi peningkatan kualitas pelayanan publik yang berpusat pada pelanggan (customer centric strategy), rekomendasi yang diberikan antara lain: (1) Menggunakan wawasan yang dimiliki pelanggan untuk pelanggan yang tersegmentasi, (2) Membuat beragam saluran antaran (multiple delivery channels); (3) Menselaraskan antaran layanan dengan kebutuhan pelanggan; (4) Menetapkan standar layanan; (5) Membentuk dan memberdayakan pelopor-pelopor di kalangan pelanggan (customer champions); dan (6) Perbaikan berkesinambungan melalui umpan balik pelanggan. Kemudian, berkenaan dengan reformasi birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik, salah satu instrumen yang 107

116 digunakan adalah e-procurement sebagai salah satu bentuk inovasi pada pelayanan publik. Instrumen ini merupakan sebuah sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik di sektor publik. Melalui e- procurement, proses pengadaan barang dan jasa tidak lagi harus melibatkan sumber daya birokrasi yang besar, baik pada ranah sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Selain itu, potensi kontrol dan orientasi kepada ketertiban dari proses penyelenggaraan pelayanan publik dapat diminimalisir. Mengingat, dalam sistem e-procurement, setiap stakeholder punya derajat otonomi dan independensi yang tinggi, sehingga tidak mudah tunduk pada alur kontrol birokrasi. Rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan publik bagi pelaku usaha, antara lain pada saat: (1) Mendirikan usaha: (a) Reformasi perizinan daerah, (b) Penyelenggaraan pelayanan terpadu untuk semua prosedur pendaftaran dengan memanfaatkan TI, (c) Peningkatan koordinasi antara pemerintah nasional dan daerah untuk mengurangi ketidakpastian hukum dan mendorong transparansi, (d) Menyediakan akses publik dalam proses pendaftaran usaha dan penggunaan jasa perantara profesional sebagai alternatif, dan (e) Meniadakan persyaratan modal minimum; (2) Mengurus IMB: (a) Penyederhanaan izin mendirikan bangunan, (b) Melakukan penggabungan perizinan lokasi lebih lanjut, dan (c) Meningkatkan komputerisasi dalam pelayanan perizinan mendirikan bangunan; dan (3) Pendaftaran properti: (a) Menurunkan tarif pajak peralihan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atau menggantikan bea-bea tersebut dengan menetapkan biaya tetap, (b) Peningkatan koordinasi antar lembaga pemerintah, (c) Pemantauan dan penegakan pelaksanaan peraturan nasional di seluruh kota untuk membantu percepatan prosedur di kantor BPN, dan (d) Memberlakukan sistem pendaftaran elektronik. 108

117 13 EVALUASI PEMBANGUNAN BIDANG TRANSPORTASI: DARAT DAN UDARA PERINTIS * Abstrak Kajian bertujuan untuk menemukenali kondisi eksisting dan permasalahan pembangunan transportasi khususnya transportasi darat dan udara perintis, melakukan evaluasi dampak pembangunan bidang transportasi, serta menyusun rekomendasi dan masukan pembangunan sektor transportasi. Analisis dalam kajian ini menggunakan data I-O tahun 2008 dimodifikasi ke tahun 2012 dengan mengagregrasi 175 sektor menjadi 22 sektor disesuaikan dengan kebutuhan kajian. Kajian menggunakan tiga metode analisis meliputi: (1) Analisis dampak pengganda output sektor transportasi terhadap sektor perekonomian lain; (2) Analisis investasi dengan menggunakan ICOR; dan (3) Analisis dampak penyebaran backward dan forward linkage. Berdasarkan analisis dampak pengganda output transportasi, sektor industri merupakan sektor yang merasakan manfaat output transportasi terbesar, diikuti dengan sektor perdagangan, hotel, dan restoran, kemudian sektor jasa keuangan, persewaan, dan jasa Perusahaan. Analisis pengganda memberikan signal bahwa investasi pada sektor transportasi akan menginisiasi tumbuhnya sektor hulu dan hilir. Sementara itu, berdasarkan nilai ICOR jasa angkutan udara merupakan sektor yang paling efisien dalam memanfaatkan investasi karena mampu menghasilkan NTB yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai investasinya. Selanjutnya diikuti oleh angkutan sungai dan danau, jasa penunjang angkutan, dan jasa angkutan jalan raya. Adapun hasil analisis dampak penyebaran backward dan forward linkage menunjukkan bahwa subsektor jalan, jembatan, dan pelabuhan; jasa angkutan jalan raya; dan jasa angkutan udara merupakan subsektor-subsektor prioritas dan unggulan pada sektor transportasi. Dimana,subsektor-subsektor tersebut mampu menumbuhkembangkan dan memacu sektor-sektor ekonomi lain baik di hulu ataupun di hilir. Oleh karenannya, subsektor-subsektor tersebut direkomendasikan untuk menjadi prioritas pembangunan sektor transportasi pada masa mendatang. * Diringkas dari hasil Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi: Darat dan Udara Perintis (2013), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Kemajuan pelaksanaan pembangunan suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi infrastruktur penunjangnya, terutama infrastruktur transportasi, yang mencakup jalan raya, sungai, laut, udara dan jalan KA. Transportasi berperan sangat penting dalam menunjang dan menggerakkan dinamika pembangunan, karena fungsinya sebagai katalisator dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengembangan wilayah. Transportasi berperan pula sebagai urat nadi kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dalam kerangka makro-ekonomi, transportasi merupakan tulang punggung perekonomian nasional, regional, dan lokal, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Dimana, sarana transportasi darat, laut, maupun udara memegang peranan vital melalui fungsi distribusi barang dan mobilitas penduduk antara wilayah. Meskipun disadari pentingnya peran transportasi dalam pembangunan, transportasi Indonesia masih diwarnai dengan kualitas pelayanan yang rendah, kuantitas dan cakupan pelayanan yang terbatas. Dalam sistem logistik nasional, transportasi memegang peranan yang dominan, yaitu sekitar dua per tiga biaya logistik sehingga perlu ada pembenahan transportasi agar menjadi lebih efektif dan efisien, yaitu dapat menurunkan biaya logistik. Selain itu, berkaitan dengan daya saing, diperlukan kerja keras guna memperbaiki posisi daya saing Indonesia di tingkat ASEAN. Pilar daya saing Indonesia dalam dua tahun terakhir menunjukan perkembangan yang kurang menggembirakan, sebagian besar pilar menunjukan performa yang menurun relatif terhadap negara lain. Secara obyektif kondisi kinerja sektor transportasi di Indonesia saat ini belum optimal, dilihat dari beberapa indikasi berikut ini: (1) Persaingan antar moda yang tidak sesuai dengan karakteristik operasi masing-masing moda dan rute yang dilayani, dan masih didominasi oleh moda jalan; (2) Penganggaran yang tidak seimbang antar sub sektor transportasi; (3) Pengembangan transportasi multimoda belum optimal dilakukan; (4) Tatakelola dan manajemen sistem transportasi masih belum matang serta belum 109

118 dilakukan secara terpadu dan sinergi; (5) Belum tersedianya indikator yang tepat untuk melakukan perencanaan, monitoring, pengendalian, dan evaluasi terhadap masing-masing sub sektor transportasi. Adapun tantangan utama pembangunan sektor transportasi dapat dilihat pada Tabel 1. Berangkat dari berbagai masalah dan kendala tersebut serta dorongan pencapaian target peningkatan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dengan ditopang oleh pertumbuhan pembangunan infrastruktur, termasuk bidang transportasi, maka Pemerintah melalui RPJMN telah menetapkan lima sasaran umum pembangunan bidang transportasi, yaitu: (1) Peningkatan kapasitas sarana dan prasarana transportasi, (2) Peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi, (3) Peningkatan keselamatan masyarakat terhadap pelayanan sarana dan prasarana transportasi, (4) Restrukturisasi kelembagaan, dan (5) Adaptasi dan mitigasi perubahan iklim pada transportasi. Guna mengevaluasi sasaran pembangunan bidang transportasi seperti yang tertuang dalam dokumen RPJMN, maka, selain dilakukan evaluasi kinerja dengan cara menelaah pencapaian indikator yang telah ditetapkan berikut permasalahan dan solusi tindak lanjut, penting pula dilakukan evaluasi dampak terhadap program pembangunan bidang transportasi. Tabel 1 Tantangan Utama Pembangunan Sektor Transportasi Moda Transportasi 1. Transportasi secara umum Tantangan Utama Penuaan Infrastruktur Masalah keamanan Masalah keselamatan Dampak transportasi terhadap lingkungan Kurangnya anggaran untuk mempertahankan sistem transportasi Regulasi: harmonisasi dan sinergi perundangan peraturan Privatisasi/swastanisasi Kebutuhan energi Perlu meningkatkan operasi transit perkotaan Kualitas dan kuantitas sarana & prasarana Tatakelola & manajemen Indikator kinerja * Evaluasi dampak ** Menentukan kebutuhankualitas pelayanan Persaingan antar moda dan usaha Kualitas SDM Multimoda, integrasi dan standarisasi Teknologi 2. Transportasi udara Persaingan usaha Bisnis (bangkrut, merger & akuisisi) 3. Transportasi laut Kontainerisasi Ukuran kapal makin besar Kapal ramah lingkungan Meningkatnya hub pelabuhan internasional dan regional Masalah keamanan Kargo udara yang makin cepat, dapat diandalkan, dan murah Operasi pelabuhan utama oleh jalur pelayanan utama Krisis global Beban biaya pelabuhan 4. Transportasi jalan Meningkatnya emisi gas rumah kaca Kemacetan di kota besar 5. Transportasi keretaapi Perundangan dan peraturan Rel untuk kereta kecepatan tinggi Jalur perdagangan melalui jaringan rel Keselamatan Ketergantungan terhadap mobil Catatan: * Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral (EKPS) Bappenas pada TA 2012 telah melakukan kajian penentuan indikator kinerja bidang transportasi pada tataran output, outcome dan efisiensi yang disusun dalam laporan Evaluasi Kajian Pembangunan Bidang Transportasi:.Perkeretaapian dan Pelabuhan Laut ** Direktorat EKPS pada TA 2013 melakukan kajian evaluasi dampak pembangunan bidang transportasi yang dituangkan dalam laporan ini. Evaluasi Pembangunan Bidang Transportasi di Indonesia dilaksanakan untuk periode waktu pelaksanaan RPJMN , yaitu tahun , dengan memperhatikan pelaksanaan RPJMN

119 Adapun, kajian ini bertujuan untuk (a) Menemukenali kondisi eksisting dan permasalahan pembangunan transportasi khususnya transportasi darat dan udara perintis; (b) Melakukan evaluasi dampak pembangunan bidang transportasi, serta (c). Menyusun rekomendasi dan masukan pembangunan sektor transportasi. 2. Pembahasan 2.1 Kerangka Evaluasi Kerangka pikir Evaluasi Kebijakan Pembangunan Transportasi Darat dan Udara di bawah menunjukkan keterkaitan hubungan input, output, outcome, dan impact. Berbagai masukan berupa kebijakan pemerintah (melalui penetapan prioritas, program, dan kegiatan), pembiayaan, dan input lainnya; secara bersama-sama mempengaruhi pencapaian output. Dalam hal ini output yang dihasilkan adalah peningkatan kapasitas dan kuantitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi (darat dan udara) selain sebagai penunjang pambangunan maupun untuk peningkatan konektivitas wilayah dan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa transportasi. Dengan terealisasinya output tersebut, maka pencapaian outcome dapat diwujudkan dalam hal distribusi barang, jasa, dan informasi kian terjamin baik kuantitas maupun kualitas, makin efektif dan efisien; konektivitas antar wilayah makin meningkat; pelayanan sarana dan prasarana transportasi, yaitu keselamatan dan kualitas pelayanan, yang sesuai dengan SPM (standar pelayanan minimum) makin meningkat; serta aksesibilitas masyarakat terhadap jasa transportasi pun makin meningkat. Pada akhirnya semua aspek input, output, dan outcome tersebut berdampak pada peningkatan daya saing produk nasional dan kesejateraan rakyat. Gambar 1. Kerangka Evaluasi INPUT OUTPUT OUTCOMES IMPACT Transportasi Darat Program Pengelolaan dan Penyelenggaraan Transportasi Darat Prasarana Jalan Pelaksanaan Preservasi dan Peningkatan Kapasitas Jalan dan Jembatan Nasional Penyiapan standar pedoman, penyusunan desain supervisi dan keselamatan jalan serta pengelolaan peralatan bahan jalan/jembatan Perhubungan Darat Pelaksanaan Preservasi dan Peningkatan Kapasitas Jalan dan Jembatan Nasional Penyiapan standar pedoman, penyusunan desain supervisi dan keselamatan jalan serta pengelolaan peralatan bahan jalan/jembatan Peningkatan kapasitas dan kuantitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi (darat dan udara) sebagai penunjang pambangunan, Peningkatan kapasitas dan kuantitas pelayanan sarana dan prasarana transportasi (darat dan udara) untuk peningkatan konektivitas wilayah dan aksesibilitas masyarakat terhadap jasa transportasi Distribusi barang, jasa, dan informasi kian terjamin baik kuantitas maupun kualitas, makin efektif dan efisien, khususnya yang melalui jalur darat dan udara. Meningkatnya konektivitas antar wilayah Meningkatnya pelayanan sarana dan prasarana transportasi sesuai dengan SPM (standar pelayanan minimum), yaitu keselamatan dan kualitas pelayanan Peningkatan daya saing produk nasional Peningkatan kesejateraan rakyat Transportasi Udara Program Pengelolaan Dan Penyelenggaraan Transportasi Udara Pelayanan Angkutan Udara Perintis Pengawasan dan Pembinaan Kelaikan Udara dan Pengoperasian Pesawat Udara Pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan Prasarana Bandar Udara Pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan Prasarana Navigasi Penerbangan Pembangunan, rehabilitasi dan pemeliharaan Prasarana Keamanan Penerbangan Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap jasa transportasi 111

120 Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai perkembangan kebijakan sebagai input, dan berbagai capaian di level output, outcome, dan impact. 2.2 Hasil Pelaksanaan Pembangunan Sektor Transportasi Secara umum, sasaran pembangunan infrastruktur transportasi dalam RPJMN terkait keterhubungan wilayah (domestic connectivity) dapat dicapai. Hingga akhir tahun 2012, capaian kemantapan jalan nasional dan pangsa angkutan laut domestik (D) dan ekspor-impor (E-I) untuk armada pelayaran nasionali cukup baik. Di samping itu terdapat pertambahan jumlah panjang jalan dalam kondisi mantap dari 87,3 persen pada awal tahun 2009 menjadi 90,82 persen pada akhir tahun Berdasarkan kinerja kemanfaatannya, penambahan lajur-km dan lebar jalan telah menghasilkan rasio volume lalu lintas dengan kapasitas (V/C ratio) jalan nasional rata-rata mencapai 0,41, yang berarti bahwa terdapat ruang pemanfaatan jalan yang masih memadai. Sementara itu capaian pembangunan jalan tol hingga Juni 2012, terdapat penambahan panjang jalan tol yang telah terbangun dan beroperasi sepanjang 86,19 Km baik yang dibangun oleh Pemerintah maupun swasta. Capaian tersebut masih jauh dari target RPJMN sepanjang km sehingga memerlukan upaya yang keras dan sungguh-sungguh khususnya terkait dengan hambatan pembebasan lahan dalam pembangunan jalan tol. Meskipun demikian indikator panjang jalur KA baru yang dibangun memerlukan kerja keras untuk mencapai target 2014, dan target pembangunan jalan tol diperkirakan tidak dapat tercapai. Sementara itu, kinerja Logistik Nasional yang dilihat berdasarkan Indek kinerja logistik (Logistic Performance Index) menunjukkan bahwa kinerja sektor logistik nasional masih belum optimal yang tercermin dari tingginya biaya logistik dan pelayanan yang belum optimal, sehingga hal ini mempengaruhi daya saing dunia usaha di pasar global Pembangunan Sektor Transportasi Darat Sektor transportasi darat yang diwakili oleh Angkutan Jalan Raya dan ASDP mengambil peranan yang penting di dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS laju pertumbuhan ekonomi subsektor angkutan jalan raya memperlihatkan tren meningkat, yaitu 5 persen pada tahun 2004 menjadi lebih dari 7 persen pada tahun Selain angkutan jalan raya, sub sektor ASDP juga memiliki peranan penting dalam pergerakan barang dan jasa. Subsektor ASDP memiliki pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat, yaitu dari 4 persen di tahun 2004 menjadi 6,7 persen di tahun Berkaitan dengan penyerapan tenaga kerja, berdasarkan data BPS pada tahun tenaga kerja yang diserap di sektor transportasi mengalami peningkatan kurang lebih 290 ribu orang. Angkutan jalan raya merupakan subsektor yang menyerap tenaga kerja tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini dikarenakan layanan sektor angkutan jalan raya lebih tinggi dibandingkan dengan sub sektor lainnya. Adapun rata-rata tenaga kerja yang diserap angkutan jalan raya adalah lebih dari 2 juta orang. Sementara itu, serapan tenaga kerja di subsektor ASDP mengalami peningkatan pula, yaitu dari 194 ribu orang di tahun 2005 menjadi 206 ribu orang di tahun Kondisi jalan saat ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan panjang jalan mengalami peningkatan ratarata di atas 2 persen, dengan proporsi jalan nasional mencapai 8,01 persen, jalan provinsi 10,88 persen, jalan kota/kabupaten 81,11 persen, dan jalan tol sebesar 0,18 persen. Namun, perkembangan panjang jalan tersebut masih belum signifikan, khususnya pembangunan jalan negara dan provinsi. Dilihat dari perkembangan kondisi jalan diaspal atau tidak diaspal, laju pertumbuhan jalan diaspal dan tidak diaspal relatif sama dan laju kenaikannya sangat lambat. Hal tersebut menunjukkan bahwa infrastruktur jalan memerlukan biaya yang cukup tinggi untuk membiayai pembangunannya. Sementara itu, sebagian besar jalan nasional berada dalam kondisi baik, yaitu berkisar antara 93,96 persen (Maluku) hingga 52,26 persen (Papua). Kondisi angkutan penumpang dilihat berdasarkan jaringan pelayanan angkutan dan terminal. Jaringan pelayanan angkutan berupa angkutan antarkota antar provinsi (AKAP) mengalami pertumbuhan setiap tahunnya, yaitu bus pada tahun 2006 menjadi bus pada tahun Jumlah Perusahaan Otobus (PO) yang beroperasi mengalami peningkatan pula, yaitu dari 772 perusahaan pada tahun 2006 menjadi 907 perusahaan pada tahun Adapun jumlah terminal penumpang pada tahun 2012 secara 112

121 keseluruhan juga meningkat menjadi 677 terminal dari 428 terminal pada tahun Hal ini berarti jumlah terminal mengalami peningkatan rata-rata sebesar 6,77 persen per tahun. Kondisi angkutan barang dilihat berdasarkan kondisi jembatan timbang dan terminal barang. Pada tahun 2012 jumlah jembatan timbang tercatat sebanyak 181 lokasi. Sebanyak 136 lokasi jembatan timbang masih beroperasi dan sisanya sebanyak 45 lokasi sudah tidak beroperasi. Lokasi jembatan timbang terbanyak terdapat di Pulau Sumatera dengan jumlah sebanyak 69 lokasi. Sementara itu, Berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan jumlah terminal barang beroperasi saat ini adalah 45 terminal. Berkaitan dengan transportasi Sungai, Danau, dan Penyebrangan, pada tahun 2012 terdapat 179 jenis lintas penyeberangan, terdiri dari 42 lintasan komersil dan 134 lintasan perintis yang disubsidi oleh Pemerintah, meningkat dibandingkan tahun 2007, yaitu 41 lintasan komersil dan 72 lintasan perintis yang disubsidi. Jumlah total kapal SDP yang beroperasi pada tahun mengalami peningkatan pula, yaitu dari 196 kapal pada tahun 2007 menjadi 267 kapal pada tahun Pembangunan transportasi perkotaan terutama angkutan perkotaaan diarahkan pada penyesuaian bentuk angkutan kota, pengurangan jumlah paratransit dan pengembangan/peningkatan angkutan umum massal dengan pelayanan sesuai yang dengan SPM. Berdasarkan angka road ratio pada tahun 2012 dapat dilihat bahwa untuk kategori kota metropolitan, Kota Surabaya memiliki road ratio tertinggi yaitu sebesar 0,23 sedangkan road ratio terendah dimiliki oleh Kota Makasar sebesar 0,11.Sementara itu, kota dengan panjang jalan terpanjang adalah Kota Semarang dengan panjang jalan mencapai km. Berkaitan dengan keselamatan transportasi darat Berdasarkan data dari Kepolisian RI, selama kurun waktu lima tahun ( ) rata-rata peningkatan jumlah sepeda motor mencapai 12,2 persen per tahun dan pertumbuhan mobil mencapai 8,82 persen per tahun. Seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan tersebut, jumlah kecelakaan juga mengalami peningkatan setiap tahunnya, yaitu 20,4 persen per tahun dalam periode Pada tahun 2012 jumlah kejadian kecelakaan yang terjadi sebesar kecelakaan Pembangunan Sektor Transportasi Udara Perintis Pada tahun 2012, jumlah bandar udara yang beroperasi berdasarkan kemampuan daya dukung landas pacu adalah 210 bandara. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (2013), terdapat peningkatan luas terminal yang mengalami rehabilitasi dan pembangunan, yaitu m2 pada tahun 2008 menjadi m2pada tahun Di samping itu, sepanjang tahun telah dilakukan pula pembangunan dan rehabilitasi bangunan yang pada tahun 2010 mencapai m2. Sarana angkutan udara berdasarkan data dari Kementerian Perhubungan (2013), pada tahun 2012 terdapat unit yang terdaftar dan 950 unit yang sudah beroperasi. Bila dibandingkan dengan tahun 2008, maka terdapat rata-rata pertumbuhan per tahun, secara berturut-turut sebesar 8,8 persen dan 9,41 persen. Perkembangan moda transportasi udara selama satu dekade terakhir ini cukup pesat, terutama setelah diberlakukannya free airfare ticket, yang membuat harga tiket pesawat lebih kompetitif. Produksi pesawat-km dari tahun 2008 hingga 2012 menunjukkan adanya peningkatan, yaitu 335 juta pesawat-km pada tahun 2008 menjadi 694 juta pesawat-km pada tahun Begitu pula dengan jumlah penerbangan yang dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang cukup signifikan, yaitu sekitar 11,8 persen setiap tahunnya selama periode Berbanding lurus dengan peningkatan jumlah keberangkatan pesawat, jumlah penumpang yang diangkut terus meningkat dari tahun 2008 hingga 2012 yang mencapai 81 juta jiwa pada tahun Pada tahun , rute jalur perintis mengalami peningkatan, yaitu 91 rute pada tahun 2007 menjadi 130 rute pada tahun Sedangkan jumlah kota terpencil yang dapat terhubungkan oleh angkutan udara perintis ini peningkatannya tidak terlalu singnifikan, yaitu 83 kota pada tahun 2007 menjadi 105 kota pada tahun Keberadaan angkutan udara perintis tidak lepas dari adanya bandar-bandar udara sebagai saran pendukung dari angkutan perintis. Salah satu target dari pemerintah dengan pembangunan Bandar udara untuk angkutan perintis di daerah terpencil dan perbatasan adalah sebagai sarana pendukung ekonomi 113

122 daerah. Saat ini jumlah bandar udara pelayanan angkutan perintis adalah 140 bandara. Permasalahan yang terjadi dengan peningkatan Bandar udara di daerah terpencil dan perbatasan adalah: (1) Fasilitas bandara di daerah terpencil dan perbatasan masih sangat minim; (2) Sebagian landasan masih berupa air strip; (3) Fasilitas sarana dan prasarana keamanan bandara serta navigasi tidak memadainya; (4) Beberapa daerah terilisosir dan perbatasan masih belum memiliki bandar udara Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (2013), sejak tahun 2008 hingga 2012, tercatat kecelakaan terbanyak terjadi pada tahun 2011, yaitu sebanyak 34 kali, dengan rincian 17 kecelakaan biasa dan 17 kecelakaan serius. Sedangkan jumlah kecelakaan terkecil terjadi pada tahun 2010 sebesar 17 kali, dengan rincian 8 kecelakaan biasa dan 9 kecelakaan serius Dampak Pembangunan Sektor Transportasi Hasil analisis dampak pengganda output transportasi terhadap sektor-sektor perekonomian menunjukkan bahwa sektor industri merupakan sektor yang merasakan manfaat output sektor transportasi terbesar. Kemudian diikuti oleh sektor jasa seperti sektor perdagangan, hotel, dan restoran dan urutan ketiga adalah sektor Jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan. Berdasarkan analisis ini memberikan signal bahwa investasi dari sektor transportasi akan menginisiasi tumbuhnya sektor hulu dan hilir. Adapun dampak output dari sektor transportasi darat dan udara dapat lebih jelas dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Urutan Dampak Ouput Sektor-sektor Transportasi Darat dan Udara terhadap Sektor-sektor Ekonomi Lainnya Sektor-sektor Urutan Dampak Output Transportasi Darat Industri Kendaraan Roda Perdagangan, Hotel, Jasa Keuangan, Persewaan, Pertambangan Industri Jasa-Jasa Lainnya Empat dan Perbaikannya dan Restoran dan Jasa Perusahaan dan Galian Industri Sepeda Motor Industri Perdagangan, Hotel, Jasa Keuangan, Persewaan, dan Restoran dan Jasa Perusahaan Pertanian Jasa-Jasa Lainnya Jalan, Jembatan dan Pertambangan dan Perdagangan, Hotel, dan Jasa Keuangan, Persewaan, Industri Pelabuhan Galian Restoran dan Jasa Perusahaan Pertanian Jasa Angkutan Jalan Perdagangan, Hotel, dan Jasa Keuangan, Persewaan, Industri Jasa-Jasa Lainnya Raya Restoran dan Jasa Perusahaan Pertanian Jasa Angkutan Kereta Perdagangan, Hotel, Pertambangan Industri Listrik, Gas, dan Air Bersih Kontruksi Api dan Restoran dan Galian Jasa Angkutan Sungai Perdagangan, Hotel, Jasa Keuangan, Persewaan, Industri dan Danau dan Restoran dan Jasa Perusahaan Jasa Penunjang Angkutan Jasa-Jasa Lainnya Jasa Penunjang Jasa Keuangan, Persewaan, Industri Konstruksi Angkutan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Lainnya Komunikasi Industri pesawat terbang Perdagangan, Hotel, Jasa Keuangan, Persewaan, Industri dan perbaikannya dan Restoran dan Jasa Perusahaan Pertambangan dan Galian Pertanian Jasa angkutan udara Industri Perdagangan, Hotel, dan Restoran Jasa Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Sumber: Tabel I-O 2008 yang diupdate ke tahun 2012, BPS (diolah) Jasa Penunjang Angkutan Industri pesawat terbang dan perbaikannya Selanjutnya, Tabel 3 menunjukkan nilai ICOR sektor transportasi. Berdasarkan tabel tersebut, jasa angkutan udara merupakan sektor yang paling efisien dalam memanfaatkan investasi karena mampu menghasilkan NTB yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai investasinya. Selanjutnya diikuti oleh angkutan sungai dan danau, jasa penunjang angkutan, dan jasa angkutan jalan raya. Sektor-sektor yang dikategorikan sebagai sektor transportasi darat memiliki nilai ICOR yang berbeda-beda. Dari 6 sektor yang masuk kategori transportasi darat, hanya jasa angkutan sungai dan danau saja yang nilai ICOR nya kurang dari 4, sedangkan yang lainnya di atas nilai 4, dengan urutan jasa penunjang angkutan, jasa angkutan jalan raya (ICOR=5,99), industri kendaraan roda empat dan perbaikannya (ICOR=14,43), industri sepeda motor (ICOR=15,69), dan terakhir sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan nilai ICOR=243,16. Artinya, ke lima sektor tersebut belum mampu menghasilkan investasi yang efisien karena investasi yang ditanamkan hanya menghasilkan nilai tambah bruto yang sangat kecil. Khusus untuk sektor 114

123 jalan, jembatan, dan pelabuhan dengan nilai ICOR yang tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa sektor ini tidak efisien. Akan tetapi, sektor prasarana tersebut merupakan infrastruktur vital bagi transportasi darat. Investasi yang ditanamkan untuk sektor ini cukup besar dengan nilai ekonomi dan finansial yang rendah, maka pemerintahlah yang harus membangun infrastruktur ini. Namun, karena keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah untuk membangun infrastruktur jalan, jembatan, dan pelabuhan, maka beberapa proyek jalan dikerjasamakan dengan pihak swasta, seperti jalan tol. Adapun transportasi udara menempati urutan pertama dari nilai ICOR, yaitu 1,01. Artinya, investasi dari angkutan udara sangat efisien karena dengan investasi yang kecil dapat menghasilkan nilai tambah bruto yang cukup besar. Tabel 3 Nilai ICOR dari Sektor Transportasi Subsektor Transportasi Nilai Koefisien ICOR Rank Industri kendaraan roda empat dan perbaikannya 14,43 7 Industri kereta api dan perbaikannya 5,33 6 Industri sepeda motor 15,69 8 Industri pesawat terbang dan perbaikannya 60,32 9 Jalan, jembatan dan pelabuhan 243,16 10 Jasa angkutan jalan raya 5,99 5 Jasa angkutan kereta api 1,44 2 Jasa angkutan sungai dan danau 1,92 3 Jasa angkutan udara 1,01 1 Jasa penunjang angkutan 4,03 4 Sumber: Data Input-Output, BPS, diolah Selanjutnya, hasil analisis dampak penyebaran dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan tabel tersebut memperlihatkan bahwa yang masuk dalam kategori prioritas I, II, III, dan IV pada sektor-sektor transportasi adalah sebagai berikut: 1. Prioritas I adalah sektor jalan, jembatan, dan pelabuhan; jasa angkutan jalan raya; dan jasa angkutan udara. Artinya, sektor-sektor tersebut mampu menumbuhkembangkan atau memunculkan sektorsektor ekonomi baik di hulu ataupun di hilir. 2. Prioritas II adalah jasa penunjang angkutan. Berarti sektor ini hanya mampu membangkitkan sektor hulu saja. 3. Prioritas III adalah sektor jasa angkutan sungai dan danau dimana sektor ini mampu membangkitkan sektor-sektor hilir. 4. Prioritas IV adalah sektor industri kapal laut dan perbaikannya; industri kendaraan roda empat dan perbaikannya industri kereta api dan perbaikannya; industri kendaraan bermotor; dan industri pesawat terbang dan perbaikannya. Sektor-sektor ini masuk dalam prioritas ke empat karena sektor ini hanya kecil sekali untuk mengembangkan sektor-sektor hulu ataupun hilir. Pada tahun 2012 telah dilakukan lelang dan kontrak angkutan udara perintis kepada operator angkutan udara perintis. Hasilnya sebanyak enam badan usaha angkutan udara niaga (operator) yaitu: PT. Asi Pudjiastuti Aviation (Susi Air), PT. Trigana Air Service, PT. Nusa Buana Air, PT. Merpati Nusantara, PT Aviastar Mandiri, PT Sabang Merauke Raya Air Charter. Total subsidi yang diluncurkan untuk angkutan udara perintis adalah 296,46 milyar dengan rincian subsidi untuk operasional Rp 279,19 miliar dan penggantian bahan bakar avtur sebesar Rp 17,27 miliar. 115

124 Sektor Tabel 4 Dampak Penyebaran Sektor Transportasi Dampak Penyebaran Derajat Kepekaan (Hilir) Daya Penyebaran (Hulu) Prioritas Pembangunan Industri kendaraan roda empat dan perbaikannya IV Industri kereta api dan perbaikannya IV Industri sepeda motor IV Industri pesawat terbang dan perbaikannya IV Jalan, jembatan dan pelabuhan I Jasa angkutan jalan raya I Jasa angkutan kereta api I Jasa angkutan sungai dan danau III Jasa angkutan udara I Jasa penunjang angkutan II Sumber: Data Input-Output, BPS, diolah Di masa yang akan datang, rute penerbangan perintis akan terus berkembang di Indonesia, antara lain di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya. Selain itu, di masa yang akan datang, diprediksi kebutuhan akan pesawat perintis akan semakin meningkat. Dengan adanya penerbangan perintis, ada dua dampak yang ditimbulkannya, yaitu dampak langsung dan dampak turunan. Adapun dampak langsung dengan adanya penerbangan perintis adalah: (1) Membuka wilayah terisolasi, terpencil, terluar ataupun wilayah perbatasan sehingga terkoneksi dengan wilayah lainnya; (2) Dengan terbukanya wilayah tersebut, maka program pemerintah dapat disalurkan dengan lebih intensif, seperti layanan kesehatan; (3) Penurunan waktu tempuh dan mengurangi biaya perjalanan Adapun dampak turunan dengan adanya penerbangan perintis adalah sebagai berikut: (1) Mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah; (2) Membuka asimilasi social budaya antara wilayah terisolasi, terpencil, terluar ataupun wilayah perbatasan dengan wilayah lainnya; (3) Membuka peluang pembangunan layanan pendidikan dan kesehatan; dan (4) Membuka peluang usaha dibidang pertanian, pertambangan, dan pariwisata sehingga dapat membuka lapangan kerja di wilayah-wilayah tersebut. 3. Rekomendasi 1) Pembangunan jalan tol dan rel kereta api menjadi fokus pembangunan di tahun 2014 sebagai upaya serius pemerintah dalam mencapai target RPJMN ) Sebaiknya, prioritas pembangunan diarahkan pada subsektor-subsektor transportasi yang mampu membangkitkan sektor hulu dan hilir, seperti jasa angkutan udara, jasa angkutan kereta api, jasa angkutan jalan raya, serta jalan, jembatan, dan pelabuhan. 3) Dalam mengantisipasi melonjaknya permintaan jasa angkutan udara, baik penumpang maupun barang, perlu dilakukan akselerasi pembangunan kapasitas (geometri dan strukutral) fasilitas sisi udara yang, antara lain, mencakup runway, apron/tempat parkir pesawat, air traffic controller, air service rescue, dan fuel service. 4) Di daerah Perkotaan, khususnya di kota-kota besar, pembangunan transportasi difokuskan pada pembangunan transportasi massal yang berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. 116

125 5) Pembangunan transportasi pada masa mendatang harus melekat pada strategi pembangunan yang terkait dengan distribusi penduduk. Selain itu, strategi konektivitas yang dikembangkan tidak hanya antar pulau-pulau besar, namun juga antar pulau-pulau kecil, terluar, terdepan, dan perbatasan. 6) Dalam upaya penyediaan jasa transportasi yang andal perlu melibatkan berbagai pihak terkait, seperti regulator, industri transportasi, operator, penduduk, dan penyedia energi. 7) UU transportasi yang mengatur semua sarana dan prasarana dalam satu peraturan mendesak untuk diselesaikan sebagai upaya mengoptimalkan penyediaan jasa transportasi. Dengan demikian, diharapkan akan dapat meminimalisir, bahkan menghilangkan, permasalahan ketimpangan antar moda, dan tidak sinerginya sarana- prasarana transportasi. 8) Prioritas pembangunan transportasi tersebut di atas, termasuk transportasi perkotaan, dituangkan dalam grand design dan strategi pembangunan yang komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan berdasarkan RTRW (rencana tata ruang dan wilayah). Kemudian hal tersebut diterjemahkan ke dalam kebijakan pembangunan transportasi yang dapat dilaksanakan secara cepat, tepat dan terukur, mengingat akan peranan transportasi yang vital dalam menunjang pergerakan dinamika pembangunan. 117

126 14 EVALUASI DAYA SAING INDUSTRI * Abstrak Pengembangan industri berkeunggulan kompetitif sangat penting dalam menghadapi era globalisasi dan liberalisasi perdagangan dunia. Penguasaan teknologi, efisiensi melalui peningkatan produktivitas, serta pengembangan jaringan usaha terkait guna mendukung proses ke arah spesialisasi kegiatan. Dalam mewujudkan struktur produksi dan distribusi yang kukuh dan berkelanjutan, pengembangan industri mencakup seluruh mata rantai kegiatan produksi dan distribusi dari sektor penyedia bahan baku, pengolahan, hingga sektor jasa (primer, sekunder, dan tersier). Seluruh basis produksi dan distribusi perlu ditata kembali secara terpadu dan dikembangkan secara sinergis dengan memanfaatkan secara optimal keunggulan komparatif. Kebijakan pembangunan industri dalam jangka panjang, diharapkan mampu memberikan sumbangan nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat luas secara adil dan merata, ikut membangun karakter budaya bangsa yang kondusif terhadap proses industrialisasi menuju terwujudnya masyarakat modern, dengan tetap berpegang kepada nilainilai luhur bangsa, pembangunan industri harus mampu menjadi wahana peningkatan kemampuan inovasi dan wirausaha bangsa di bidang teknologi industri dan manajemen, dan pembangunan industri harus mampu ikut menunjang pembentukan kemampuan bangsa dalam pertahanan diri dalam menjaga eksistensi dan keselamatan bangsa, serta ikut menunjang penciptaan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat. Pertumbuhan industri pengolahan non migas pada 2004 mencapai pertumbuhan 7,51 persen, selama periode pertumbuhan terus menurun mencapai 2,56 persen (2009). Pertumbuhan mulai meningkat kembali sejak 2010 dan pada tahun 2012 mencapai pertumbuhan 6,40 persen. Jumlah tenaga kerja sektor industri pengolahanselama mengalami kenaikan 22,04 persen, termasuk yang bekerja di industri besar dan sedang, mikro dan kecil, baik formal maupun informal. Investasi, baik dari PMDN maupun PMA juga mengalami peningkatan, dimana pada tahun 2004 investasi PMDN sebesar Rp ,9 miliar meningkat menjadi Rp ,9 miliar (2012). Sedangkan PMA dari 2.804,6 juta US$ menjadi ,0 juta US$ (2012). Dalam penggunaan teknologi dalam usaha industri, Indonesia masih tertinggal dilihat dari anggaran untuk penelitian, jumlah peneliti, paten yang diajukan, dan jumlah jurnal ilmiah yang diterbitkan. Permasalahan yang dihadapi dalam upaya peningkatan daya saing industri berkaitan dengan kinerja institusi yang belum menunjukkan hasil yang memuaskan, masih banyaknya masalah korupsi, proses ijin yang terlalu lama, aturan yang tumpang tindih. Selian itu, permasalahan penurunan nilai tambah industri, penurunanan kinerja ekspor, masalah infrastruktur, permasalahan pendidikan, training, dan keterampilan tenaga kerja, efisiensi pasar barang dan pasar tenaga kerja, pasar keuangan yang sulit diakses oleh industri, masalah penerapan teknologi yang rendah, dan kompleksitas bisnis dan inovasi yang rendah. Upaya meningkatkan nilai tambah industri pemerintah perlu mendorong dan memfasilitasi terus ekonomi kreatif dalam penciptaan nilai tambah produk di berbagai sektor industri, pembebasan PPNBM dan bea masuk barang teknologi, tax holiday untuk investasi baru dan penerapan teknologi ramah lingkungan, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pengembangan teknologi. * Diringkas dari hasil Evaluasi Daya Saing Industri (2013), Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral Bappenas 1. Latar Belakang Sektor industri mampu berperan besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi (prime mover) karena kemampuannya dalam peningkatan nilai tambah yang tinggi. Industri juga dapat membuka peluang untuk menciptakan dan memperluas lapangan pekerjaan, yang berarti meningkatkan kesejahteraan serta mengurangi kemiskinan. Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) , daya saing Indonesia tidak mengalami perkembangan yang positif sejak tiga tahun terakhir. Laporan tersebut menunjukkan indeks daya saing global (GCI) Indonesia menempati posisi ke-44 pada tahun dan kemudian turun ke posisi 50 pada tahun dan kemudian stagnan pada posisi ke-50 pada tahun Lebih jauh, jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya daya saing Indonesia tertinggal jauh. Pada tahun Singapura menempati posisi ke-1, Malaysia posisi ke-25, Brunei Darussalam posisi ke-28 dan Thailand 118

127 posisi ke-38. Meskipun kemudian dalam laporan WEF posisi Indonesia menjadi lebih baik, yaitu ranking 38. Penurunan daya saing Indonesia tersebut tidak terlepas dari permasalahan daya saing industri khususnya industri manufaktur. Sejak lima tahun terakhir Industri manufaktur memiliki kontribusi yang signifikan terhadap produk domestik bruto yaitu sekitar 25 persen. Berdasarkan Industrial Development Report 2011, Industri manufaktur indonesia mengalami penurunan daya saing dari ranking ke-40 pada tahun 2005 menjadi ranking ke-43 pada tahun Tabel di bawah ini menunjukan ranking Indonesia dalam hal daya saing industri manufaktur dibandingkan negara ASEAN lainnya. terlihat bahwa daya saing industri Indonesia yang diukur oleh indeks daya saing kinerja industri (CIP) masih di bawah negara-negara ASEAN lainnya. Kebijakan pembangunan industri dalam jangka panjang, diharapkan mampu memberikan sumbangan nyata dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat luas secara adil dan merata, ikut membangun karakter budaya bangsa yang kondusif terhadap proses industrialisasi menuju terwujudnya masyarakat modern, dengan tetap berpegang kepada nilai-nilai luhur bangsa, pembangunan industri harus mampu menjadi wahana peningkatan kemampuan inovasi dan wirausaha bangsa di bidang teknologi industri dan manajemen, dan pembangunan industri harus mampu ikut menunjang pembentukan kemampuan bangsa dalam pertahanan diri dalam menjaga eksistensi dan keselamatan bangsa, serta ikut menunjang penciptaan rasa aman dan tenteram bagi masyarakat. 2. Pembahasan 2.1 Kebijakan Pembangunan Industri Pembangunan industri dalam jangka panjang diarahkan pada : (1) perkuatan struktur industri dengan mendudukkan sektor industri sebagai motor penggerak pembangunan, (2) efisiensi, modernisasi, dan nilai tambah sektor primer terutama sektor pertanian dalam arti luas, kelautan, dan pertambangan ditingkatkan agar mampu bersaing di pasar lokal dan internasional serta untuk memperkuat basis produksi secara nasional, (3) Pembangunan industri diarahkan untuk mewujudkan industri yang berdaya saing, baik di pasar lokal maupun internasional, dan (4) sektor industri perlu dibangun guna menciptakan lingkungan usaha mikro (lokal) yang dapat merangsang tumbuhnya rumpun industri yang sehat dan kuat. Kebijakan Pembangunan Industri selama periode diarahkan pada upaya menciptakan daya saing industri dengan sasaran: (1) Sektor industri manufaktur ditargetkan tumbuh rata-rata 8,56 persen per tahun, (2) Penyerapan tenaga kerja dalam 5 tahun adalah sekitar 500 ribu orang per tahun (termasuk industri pengolahan migas), (3) Terciptanya iklim usaha yang lebih kondusif, (4) Meningkatnya pangsa sektor industri manufaktur di pasar domestik, (5) Meningkatnya volume ekspor produk manufaktur dalam total ekspor nasional, (6) Meningkatnya proses alih teknologi dari Foreign Direct Investment (FDI) yang dicerminkan dari meningkatnya pemasokan bahan antara dari produk local; (7) Meningkatnya penerapan standardisasi produk industri manufaktur sebagai faktor penguat daya saing produk nasional, dan (8) Meningkatnya penyebaran sektor industri manufaktur ke luar Pulau Jawa. Sedangkan dalam periode kebijakan pembangunan industri ditekankan pada: (1) Penguatan industri manufaktur dengan meningkatkan peranan ilmu pengetahuan dan teknologi, (2) Percepatan pembangunan infrastruktur dengan lebih meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan dunia usaha, (3) Peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, dan (4) Penataan kelembagaan ekonomi yang mendorong prakarsa masyarakat dalam kegiatan perekonomian. Adapun sasaran yang ingin dicapai adalah: (1) Pertumbuhan Industri, melalui pengembangan dan penguatan 35 klaster industri prioritas (pro growth), (2) Pemerataan Industri, melalui pengembangan dan penguatan industri kecil dan menengah (pro growth dan pro job), (3) Persebaran Industri, melalui pengembangan industri unggulan di 33 provinsi dankompetensi Inti Industri Kabupaten/Kota (pro job dan pro poor), serta (4) Menjaga Keseimbangan Lingkungan, melalui pengembangan industri hijau (pro environment). 119

128 2.2 Capaian Pembangunan Industri Capaian Output Industri Selama tahun telah dilaksanakan program-program prioritas dengan capaian sebagai berikut: (1) Revitalisasi Industri Pupuk: telah difasilitasi jaminan tambahan alokasi gas sebanyak 370 mmscfd untuk bahan baku beberapa pabrik pupuk pada jangka menengah, serta pembangunan Pabrik Pupuk Kaltim-5 dan Pusri II-B; (2) Revitalisasi Industri Gula: meningkatnya jumlah produksi gula kristal rafinasi (GKR) dari sebesar 722 ribu ton pada tahun 2005 menjadi sebesar 2,74 juta ton pada tahun 2013; serta meningkatnya efisiensi PG BUMN dari 62,73 persen pada tahun 2010 menjadi 79,66 persen pada tahun 2013; (3) Restrukturisasi Industri TPT dan Alas Kaki: pada tahun , nilai bantuan yang diberikan pemerintah sebesar Rp 569,05 milyar, yang diberikan kepada 609 perusahaan, sehingga menghasilkan penambahan investasi sebesar Rp 6,44 triliun, penambahan tenaga kerja sebanyak 224 ribu orang, peningkatan kapasitas produksi persen, peningkatan produktivitas 6-10 persen, serta peningkatan efisiensi energi 5-9 persen; (4) Pengembangan Industri Hilir Kelapa Sawit: meningkatnya utilisasi Industri Minyak Goreng/Refinery dalam negeri, dari 45 persen pada tahun 2010 menjadi 70 persen pada awal tahun 2014 dan investasi industri hilir kelapa sawit dengan nilai mencapai Rp. 20 Triliun; dan (5) Pengembangan Kawasan Industri: telah beroperasinya Kawasan Industri Palu dan Kawasan Industri Sei Mangkei, serta terbangunnya Pusat Inovasi Kelapa Sawit (PIKS) di Kawasan Industri Sei Mangkei dan Pusat Inovasi Rotan Nasional (PIRNas) di Kawasan Industri Palu. Capain pembangunan sektor industri, bila dilihat dari nilai investasi yang ditanamkan mengalami peningkatan dari tahun Investasi PMDN di sektor industri pengolahan non-migas mengalami peningkatan, dari Rp 10,52triliun pada tahun 2004 menjadi Rp 49,89 triliun pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 374,24 persen pada periode tersebut. Investasi PMA juga mengalami pertumbuhan yang meningkat. Nilai investasi PMA pada tahun 2004 sebesar US$ 2,80 milyar menjadi US$ 11,77 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 320,36 persen. Tabel 1 Perkembangan Realisasi Investasi Sektor Industri Tahun Investasi PMDN (miliar Rp) , , , , , , , , ,9 PMA (US$ Juta) 2.804, , , , , , , , ,0 Sumber: BKPM, 2013 Indonesia mempunyai prospek pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan dan berpotensi menjadi kekuatan ekonomi baru sejajar dengan Brazil, Rusia, India, dan China. Jika dibandingkan dengan keempat negara tersebut, di bidang teknologi, Indonesia masih jauh tertinggal bila dilihat pada biaya yang dikeluarkan untuk penelitian, jumlah peneliti, paten yang diajukan, dan artikel yang diterbitkan dalam berbagai jurnal-jurnal ilmiah. Tabel 2 Matrik Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi Indonesia dibandingkan dengan Ekonomi BRIC Indonesia Brazil Russia India China Penelitian dan pengembangan sebagai % 0,08 1,17 1,25 0,76 * 1,70 PDB Peneliti per juta warga negara * 863 Pengajuan paten Artikel di jurnal ilmiah dan teknis Sumber: Bank Dunia, 2012a. *Data

129 Kebijakan paten telah mengalami perubahan sejak diberlakukannya UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. Jumlah permohonan paten pada periode setelah UU No. 14/2001 ini diberlakukan juga mengalami peningkatan dari 391 permohonan paten (tahun 2002) hingga mencapai 662 paten (tahun 2009). Akan tetapi, jumlah pemohon paten asing masih lebih dominan jika dibandingkan dengan pemohon domestik yang mencapai paten di tahun Gambar 1 Jumlah Permohonan Paten di Indonesia Periode Sumber: Direktorat Paten, Kementerian Hukum dan HAM, Tahun 2010 Impilkasi dari banyaknya paten dari luar negeri yang didaftarkan di Indonesia mengakibatkan biaya penggunaan kekayaan intelektual yang dibayarkan kepada pihak luar negeri dibandingkan dengan yang dibayarkan kepada pihak dalam negeri, dimana sepanjang tahun mengalami gap yang cukup besar. Gambar 2 Biaya Penggunaan Kekayaan Intelektual Capaian Outcome Pembangunan Industri Pertumbuhan industri pengolahan non migas pada tahun 2004 tumbuh sebesar 7,51 persen. Selama industri pengolahan mengalami perlambatan dengan pertumbuhan terendah pada tahun 2009 sebesar 2,56 persen dan sejak 2010 kembali mengalami peningkatan. Pada tahun 2011 mencapai 6,74 persen dan pada tahun 2012 mengalami perlambatan menjadi 6,40 persen. 121

130 Tabel 3 Pertumbuhan Sektor-sektor Ekonomi (tahun dasar 2000, persen) No LAPANGAN USAHA Pertanian, Peternakan Kehutanan Dan Perikanan Pertambangan Dan Penggalian Industri Pengelolahan a. Industri Migas b. Industri Non Migas Listrik, Gas Dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel Dan Restoran Pengangkutan Dan Komunikasi Keungan, Persewaan & Jasa Persh Jasa-Jasa PRODUK DOMESTIK BRUTO PRODUK DOMESTIK BRUTO TANPA MIGAS Dilihat dari sisi ekspor sektor industri non-migas selama tahun mengalami kenaikan, dari US$48,66 milyar pada tahun 2004 menjadi US$116,15 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 138,70 persen, terutama pada ekspor Industri Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit, Industri Besi Baja, Mesin dan Otomotif, Industri Tekstil, Industri Pengolahan Karet, dan Industri Elektronika. Dari sisi impor, sektor industri non-migas pada tahun juga mengalami kenaikan, dari US$31,55 milyar pada tahun 2004 menjadi US$139,71 milyar pada tahun 2012, atau meningkat sebesar 468,34 persen. Sektor-sektor industri dengan nilai impor besar umumnya adalah untuk kebutuhan barang modal dan bahan baku, antara lain: Industri Besi Baja, Mesin-mesin dan Otomotif, Industri Elektronika, Industri Kimia Dasar, Industri Tekstil, dan Industri Makanan dan Minuman. Perkembangan neraca perdagangan menunjukkan adanya penurunan pada tahun 2013 neraca perdagangan non migas mencapai 2.437,2 juta US $ sedangkan neraca perdagangan secara keseluruhan mengalami minus 3.341,9 juta US$. Gambar 3 Perkembangan Ekspor, Impor dan Naraca Perdagangan Indonesia Tahun Sumber: BPS 122

131 Tenaga kerja sektor industri selama tahun mengalami kenaikan 19,9 persen, dari 12,84 juta menjadi 15,39 juta. Jumlah tenaga kerja ini termasuk yang bekerja di industri besar dan sedang, mikro dan kecil, baik formal maupun informal. Tabel 4 Penduduk Usia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Tahun (Juta Orang) Lapangan Kerja Utama 2009 Agustus 2010 Agustus 2011 Agustus Tahun 2012 Agustus 2013 Agustus 2014 Februari Sektor Industri Seluruh Sektor Capaian Impact Pembangunan Industri Dampak positif pembangunan industri merupakan kondisi perubahan dalam masyarakat akibat adanya pembangunan industri yang memberikan keuntungan meningkat baik langsung maupun tidak langsung dari kondisi sebelumnya. Meningkatnya jumlah industri secara pesat, baik skala usaha besar maupun sedang/menengah, mengakibatkan terjadinya perubahan mata pencaharian penduduk. Berkembangnya industri peluang untuk memperoleh pekerjaan lebih tersedia baik pekerjaan pada bidang industri maupun usaha berdagang atau jasa. Dengan dibangun dan berkembangnya industri masyarakat mempunyai peluang usaha yang lebih luas. Hal tersebut terlihat dengan semakin meningkatnya tenaga kerja formal selama dan semakin semakin menurunnya pekerja disektor pertanian. Dampak tifak langsung dari pembangunan industri berakibat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dilihat dari upah yang diterima. Gambar 4 Struktur Pekerja Formal dan Informal Gambar 5 Struktur Pekerja menurut Sektor Gambar 6 Upah Buruh di 4 Sektor Pembangunan 123

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN

PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN PENCAPAIAN TARGET MDGs DALAM RPJMN 2010-2014 NINA SARDJUNANI Deputi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Rakornas

Lebih terperinci

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG

PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG PENDIDIKAN DAN KESEHATAN DALAM PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DELI SERDANG Sirojuzilam, Abdiyanto, Bastari, A. Kadir, dan Binsar S Abstrak Dalam upaya pembangunan regional, masalah yang

Lebih terperinci

Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan)

Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan) Grafik 3.2 Angka Transisi (Angka Melanjutkan) Grafik 3.2 memperlihatkan angka transisi atau angka melanjutkan ke SMP/sederajat dan ke SMA/sederajat dalam kurun waktu 7 tahun terakhir. Sebagaimana angka

Lebih terperinci

Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan

Tabel 2 Ketimpangangan hasil pembangunan pendidikan antar wilayah masih belum terselesaikan Pembangunan Bidang Pendidikan : Perencanaan Yang Lebih Fokus dan Berorientasi Ke Timur Indonesia Merupakan Solusi Atasi Kesenjangan dan Percepat Pencapaian Target Nasional Abstrak Kesenjangan input pendidikan

Lebih terperinci

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

TUJUAN 2. Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua TUJUAN 2 Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua 35 Tujuan 2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Target 3: Memastikan pada 2015 semua anak-anak di mana pun, laki-laki maupun perempuan, dapat menyelesaikan

Lebih terperinci

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014

Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Hasil Pembahasan Pra-Musrenbangnas dalam Penyusunan RKP 2014 Deputi Menteri Bidang SDM dan Kebudayaan Disampaikan dalam Penutupan Pra-Musrenbangnas 2013 Jakarta, 29 April 2013 SISTEMATIKA 1. Arah Kebijakan

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER

LAPORAN AKHIR EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER LAPORAN AKHIR PENYUSUNAN STRATEGI PEMBANGUNAN DAERAH EVALUASI KINERJA DAN STRATEGI PERCEPATAN PENCAPAIAN INDIKATOR-INDIKATOR MILLENIUM DEVELOPMENT GOALS DI KABUPATEN JEMBER Kerjasama Penelitian : BADAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. MDGs ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Ringkasan Eksekutif Ringkasan Eksekutif Pendidikan telah menjadi sebuah kekuatan bangsa khususnya dalam proses pembangunan di Jawa Timur. Sesuai taraf keragaman yang begitu tinggi, Jawa Timur memiliki karakter yang kaya dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Faktor-faktor penyebab..., Rika Aristi Cynthia, FISIP UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan penting di seluruh aspek kehidupan manusia. Hal itu disebabkan pendidikan berpengaruh langsung terhadap perkembangan kepribadian manusia.

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN KEMISKINAN

PENANGGULANGAN KEMISKINAN I N A N T A INOVASI KETAHANAN KOMUNITAS PENANGGULANGAN KEMISKINAN KABUPATEN TANA TORAJA Penanggulangan Kemiskinan APA ITU adalah kebijakan dan program pemerintah pusat serta pemerintah daerah yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan seutuhnya serta masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan seutuhnya serta masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4

RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RANCANGAN RENCANA PELAKSANAAN RPJMD TAHUN KE-4 RPJMD KOTA LUBUKLINGGAU 2008-2013 VISI Terwujudnya Kota Lubuklinggau Sebagai Pusat Perdagangan, Industri, Jasa dan Pendidikan Melalui Kebersamaan Menuju Masyarakat

Lebih terperinci

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada tim penyusun, yang sudah bekerja. Jakarta, 2010 Kepala Pusat Data dan Informasi. dr. KATA PENGANTAR Dalam rangka meningkatkan pelayanan data dan informasi baik untuk jajaran manajemen kesehatan maupun untuk masyarakat umum perlu disediakan suatu paket data/informasi kesehatan yang ringkas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tantangan Indonesia saat ini adalah menghadapi bonus demografi tahun 2025 yang diikuti dengan bertambahnya jumlah penduduk dari tahun ke tahun. Badan Perencanaan

Lebih terperinci

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal.

Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal. Pada misi IV yaitu Mewujudkan Peningkatan Pendidikan yang berkualitas tanpa meninggalkan kearifan lokal terdapat 11

Lebih terperinci

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Kata Pengantar

Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur. Kata Pengantar Kata Pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas perkenan-nya kami dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Pendidikan

Lebih terperinci

KONTEKSTUALISASI EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENYUSUNAN RKP. Darmawijaya. 1. Pendahuluan 44 E D I S I 0 1 / T A H U N X V I I /

KONTEKSTUALISASI EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENYUSUNAN RKP. Darmawijaya. 1. Pendahuluan 44 E D I S I 0 1 / T A H U N X V I I / KONTEKSTUALISASI EVALUASI KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DALAM PENYUSUNAN RKP Darmawijaya 1. Pendahuluan Ilustrasi by Riduan Tulisan ini bermaksud membahas lebih rinci kontekstualisasi Evaluasi Kinerja Pembangunan

Lebih terperinci

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017

PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2017 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, yang bertanda tangan di bawah

Lebih terperinci

ISU-ISU STRATEGIS. 3.1 Analisis Situasi Strategis

ISU-ISU STRATEGIS. 3.1 Analisis Situasi Strategis ISU-ISU STRATEGIS 3.1 Analisis Situasi Strategis S etiap organisasi menghadapi lingkungan strategis yang mencakup lingkungan internal dan eksternal. Analisis terhadap lingkungan internal dan eksternal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun

KATA PENGANTAR. Salatiga, Oktober Tim Penyusun KATA PENGANTAR Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan review dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan Daerah

Lebih terperinci

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan

TUJUAN 3. Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan TUJUAN 3 Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan 43 Tujuan 3: Mendorong Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan Target 4: Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar

Lebih terperinci

PENETAPAN KINERJA BUPATI TEMANGGUNG TAHUN ANGGARAN 2014 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET (Usia 0-6 Tahun)

PENETAPAN KINERJA BUPATI TEMANGGUNG TAHUN ANGGARAN 2014 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET (Usia 0-6 Tahun) URUSAN WAJIB: PENDIDIKAN PENETAPAN KINERJA BUPATI TEMANGGUNG TAHUN ANGGARAN 2014 NO SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA TARGET 1 Meningkatnya Budi Pekerti, 1 Persentase pendidik yang disiplin Tata Krama

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

TAMAN KANAK-KANAK Tabel 5 : Jumlah TK, siswa, lulusan, Kelas (rombongan belajar),ruang kelas, Guru dan Fasilitas 6

TAMAN KANAK-KANAK Tabel 5 : Jumlah TK, siswa, lulusan, Kelas (rombongan belajar),ruang kelas, Guru dan Fasilitas 6 DAFTAR TABEL DATA NONPENDIDIKAN Tabel 1 : Keadaan Umum Nonpendidikan 1 Tabel 2 : Luas wilayah, penduduk seluruhnya, dan penduduk usia sekolah 2 Tabel 3 : Jumlah desa, desa terpencil, tingkat kesulitan

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN REPUBLIK INDONESIA EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM WAJIB BELAJAR PENDIDIKAN DASAR 9 TAHUN Kedeputian Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2009 Kata Pengantar Laporan Evaluasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Deklarasi pembangunan Millenium Development Goals (MDGs) yang merupakan hasil kesepakatan 189 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada September 2000

Lebih terperinci

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun

Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Cluster 1 Meluaskan Akses Pendidikan 12 Tahun Oleh: Jumono, Abdul Waidil Disampaikan pada kegiatan Simposium Pendidikan 23 Febuari 2015 Ki Hadjar Dewantara: Rakyat perlu diberi hak dan kesempatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Menurunnya AKI dari 334

BAB I PENDAHULUAN. Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Menurunnya AKI dari 334 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Millenium Development Goals (MDGs) merumuskan delapan tujuan pembangunan, dua diantaranya adalah komitmen dalam menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian

Lebih terperinci

BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD

BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD BAB V RELEVANSI DAN EFEKTIVITAS APBD 5.1. Evaluasi APBD Pendapatan Daerah yang tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota Solok diperoleh dari berbagai sumber, diantaranya berasal

Lebih terperinci

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT,

GUBERNUR KALIMANTAN BARAT, GUBERNUR KALIMANTAN BARAT KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT NOMOR : 678/ OR / 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN BARAT NOMOR 396/OR/2014 TENTANG PENETAPAN INDIKATOR KINERJA UTAMA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di

BAB I PENDAHULUAN. investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan. pendidikan. Untuk mendasarinya, Undang-Undang Dasar 1945 di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia telah menjadikan investasi dalam bidang pendidikan sebagai prioritas utama dan mengalokasikan persentase yang lebih

Lebih terperinci

DISPARITAS KEMISKINAN MASIH TINGGI - SEPTEMBER 2012

DISPARITAS KEMISKINAN MASIH TINGGI - SEPTEMBER 2012 DISPARITAS KEMISKINAN MASIH TINGGI - SEPTEMBER 2012 DKI JAKARTA BALI KALIMANTAN SELATAN BANGKA BELITUNG BANTEN KALIMANTAN TENGAH KALIMANTAN TIMUR KEPULAUAN RIAU SULAWESI UTARA KALIMANTAN BARAT SUMATERA

Lebih terperinci

STRATEGI MEWUJUDKAN GENERASI EMAS BANGSA

STRATEGI MEWUJUDKAN GENERASI EMAS BANGSA STRATEGI MEWUJUDKAN GENERASI EMAS BANGSA Jakarta, 10 OKTOBER 2015 OLEH: WARTANTO SESDITJEN PAUD DIKMAS Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 15 Tahun 2014 Tanggal : 30 Mei 2014 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dokumen perencanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan merupakan hal yang sangat penting dalam rangka membangun manusia Indonesia yang tangguh. Pembangunan dalam sektor kesehatan merupakan faktor

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN

KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN KAJIAN PENGELUARAN PUBLIK INDONESIA: KASUS SEKTOR PENDIDIKAN Kebijakan Pendidikan Working Paper: Investing in Indonesia s Education: Allocation, Equity, and Efficiency of Public Expenditures, World Bank

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas. Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dalam menjamin kelangsungan pembangunan suatu bangsa. Keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBAWA BARAT NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PROGRAM WAJIB BELAJAR DUA BELAS TAHUN DI KABUPATEN SUMBAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA

PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 PEMBANGUNAN SOSIAL BUDAYA (BIDANG KESEHATAN) Disampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR RI Jakarta, 23 November 2005 AGENDA PEMBANGUNAN AGENDA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

gizi buruk. Ketenagakerjaan meliputi rasio penduduk yang bekerja. Secara jelas digambarkan dalam uraian berikut ini.

gizi buruk. Ketenagakerjaan meliputi rasio penduduk yang bekerja. Secara jelas digambarkan dalam uraian berikut ini. gizi buruk. Ketenagakerjaan meliputi rasio penduduk yang bekerja. Secara jelas digambarkan dalam uraian berikut ini. a. Urusan Pendidikan 1) Angka Melek Huruf Angka melek huruf merupakan tolok ukur capaian

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN MANUSIA DAN MASYARAKAT

PEMBANGUNAN MANUSIA DAN MASYARAKAT PEMBANGUNAN MANUSIA DAN MASYARAKAT PEMBANGUNAN MANUSIA DAN MASYARAKAT Ikhtiar membangun manusia Indonesia yang berkualitas terus dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan dan meningkatkan kemajuan, yang

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI RIAU

ANALISIS PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI RIAU ANALISIS PENGELUARAN PEMERINTAH SEKTOR PENDIDIKAN DAN KESEHATAN TERHADAP INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI PROVINSI RIAU Oleh : Rahmita Handayani Pembimbing : Hainim Kadir dan Taryono Faculty of Economics

Lebih terperinci

PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH

PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH 1 1 PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN PELAJARAN DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN... 4 A. Latar Belakang... 4 B. Tujuan... 4 C. Ruang Lingkup... 5 BAB II. KEADAAN UMUM...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara karena dari sanalah kecerdasan dan kemampuan bahkan watak bangsa di masa

BAB I PENDAHULUAN. negara karena dari sanalah kecerdasan dan kemampuan bahkan watak bangsa di masa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan memegang peranan sentral dalam pembangunan bangsa dan negara karena dari sanalah kecerdasan dan kemampuan bahkan watak bangsa di masa akan datang banyak

Lebih terperinci

RENCANA KERJA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KARIMUN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN KARIMUN TAHUN 2015 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan guna meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidupnya. Para pendiri

Lebih terperinci

C. ANALISIS CAPAIAN KINERJA

C. ANALISIS CAPAIAN KINERJA C. ANALISIS CAPAIAN KINERJA Analisis capaian kinerja dilaksanakan pada setiap sasaran yang telah ditetapkan dalam pelaksanaan setiap urusan pemerintahan daerah baik urusan wajib maupun urusan pilihan.

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN

BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN 2.1. Analisis Kondisi Internal Lingkungan Pendidikan Dalam menyusun rencana strategis 10--, diperlukan analisis kondisi internal pendidikan nasional pada periode 05--09 sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram

I. PENDAHULUAN. Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan merupakan rangkaian kegiatan dari programprogram di segala bidang secara menyeluruh, terarah, terpadu, dan berlangsung secara terus menerus dalam

Lebih terperinci

PENETAPAN KINERJA TAHUN 2013 DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR Manajemen Pendidikan TK / RA 915,000,000

PENETAPAN KINERJA TAHUN 2013 DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR Manajemen Pendidikan TK / RA 915,000,000 PENETAPAN KINERJA TAHUN 2013 DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR No. SASARAN STRATEGIS INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) TARGET 1 Meningkatnya aksesbilitas dan kualitas Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Pendidikan

Lebih terperinci

PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH TAHUN 2013/2014 KABUPATEN KARANGASEM

PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH TAHUN 2013/2014 KABUPATEN KARANGASEM 1 PROFIL PENDIDIKAN DASAR DAN MENENGAH TAHUN 2013/2014 KABUPATEN KARANGASEM A. PENDAHULUAN Profil Pendidikan Dasar dan Menengah (Profil Dikdasmen) disusun bersumber pada isian instrumen Profil Dikdasmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG 2013, No.892 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN PERDESAAN SEHAT DI DAERAH TERTINGGAL BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal KOMPONEN IPM Pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia (masyarakat). Di antara berbagai pilihan, yang terpenting yaitu berumur panjang dan sehat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Masih tingginya angka kemiskinan, baik secara absolut maupun relatif merupakan salah satu persoalan serius yang dihadapi bangsa Indonesia hingga saat ini. Kemiskinan

Lebih terperinci

BAB IX INDIKATOR KINERJA DAERAH. Indikator Kinerja Daerah merupakan alat ukur spesifik yang secara

BAB IX INDIKATOR KINERJA DAERAH. Indikator Kinerja Daerah merupakan alat ukur spesifik yang secara BAB IX DAERAH Indikator Kinerja Daerah merupakan alat ukur spesifik yang secara kuantitatif dan atau kualitatif menjadi dampak yang dapat menggambarkan tingkat capaian kinerja suatu program atau kegiatan.

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan urusan wajib yang harus dipenuhi oleh pemerintah

Standar Pelayanan Minimal (SPM) merupakan urusan wajib yang harus dipenuhi oleh pemerintah PRAKTIK CERDAS Seri Lembaran Informasi BASICS No.17 - September 2013 Komitmen Sultra Peran Pemerintah Provinsi dalam Mempercepat Pencapaian SPM dan MDGs di Sulawesi Tenggara Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Lebih terperinci

1. Pendahuluan PENGARUH FASILITAS KESEHATAN DAN FAKTOR SOSIO-EKONOMI TERHADAP DERAJAT KELANGSUNGAN HIDUP ANAK MELALUI PEMODELAN PERSAMAAN TERSTUKTUR

1. Pendahuluan PENGARUH FASILITAS KESEHATAN DAN FAKTOR SOSIO-EKONOMI TERHADAP DERAJAT KELANGSUNGAN HIDUP ANAK MELALUI PEMODELAN PERSAMAAN TERSTUKTUR Ethos (Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat): 233-242 PENGARUH FASILITAS KESEHATAN DAN FAKTOR SOSIO-EKONOMI TERHADAP DERAJAT KELANGSUNGAN HIDUP ANAK MELALUI PEMODELAN PERSAMAAN TERSTUKTUR 1 Nusar

Lebih terperinci

Risalah Kebijakan (POLICY BRIEF)

Risalah Kebijakan (POLICY BRIEF) Risalah Kebijakan (POLICY BRIEF) Badan Penelitian dan Pengembangan Inovasi Daerah Provinsi Lampung Strategi Pembangunan Pendidikan di Provinsi Lampung dalam rangka Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. 1 Universitas Indonesia. Analisis pelaksanaan..., Rama Chandra, FE UI, 2010. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah kemiskinan yang dihadapi, terutama, oleh negara-negara yang sedang berkembang, memang sangatlah kompleks. Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan

Lebih terperinci

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber

(Sakernas), Proyeksi Penduduk Indonesia, hasil Sensus Penduduk (SP), Pendataan Potensi Desa/Kelurahan, Survei Industri Mikro dan Kecil serta sumber I. Pendahuluan Salah satu tujuan Millenium Development Goals (MDGs) dari delapan tujuan yang telah dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2000 adalah mendorong kesetaraan gender dan

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP LAYANAN KESEHATAN YANG LEBIH BERKUALITAS A. KONDISI UMUM Sesuai dengan UUD 1945, pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat,

Lebih terperinci

Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun

Evaluasi Pelaksanaan Wajardikdas 9 Tahun Daftar rsi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Gambar Daftar Tabel BAB I. PENDAHT]LUAN 1.1. Latar Belakang 1,.2. Ruang Lingkup 1.3. Tujuan Evaluasi BAB II. SEKILAS TENTANG PROGRAM WAJARDIKDAS 9 TAIIUN 2.1.

Lebih terperinci

Dalam rangka. akuntabel serta. Nama. Jabatan BARAT. lampiran. perjanjiann. ini, tanggungg. jawab kami. Pontianak, Maret 2016 P O N T I A N A K

Dalam rangka. akuntabel serta. Nama. Jabatan BARAT. lampiran. perjanjiann. ini, tanggungg. jawab kami. Pontianak, Maret 2016 P O N T I A N A K GUBERNUR KALIMANTAN BARAT PERJANJIANN KINERJA TAHUN 2016 Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahann yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, yang bertanda tangan di bawah

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 23 TAHUN 2006 TENTANG STANDAR PELAYANAN MINIMAL BIDANG PENDIDIKAN DI KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa berdasarkan ketentuan

Lebih terperinci

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau

Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau Perencanaan Pembangunan Kesehatan Provinsi Kepulauan Riau 1 1. Pendahuluan UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pembangunan kesehatan bertujuan untuk: meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN LEBAK TAHUN 2014

RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN LEBAK TAHUN 2014 RANCANGAN AWAL RENCANA KERJA PEMBANGUNAN DAERAH (RKPD) KABUPATEN LEBAK TAHUN 2014 Disampaikan Oleh : Drs. DEDI LUKMAN INDEPUR, M.Si. Kepala Bappeda Kabupaten Lebak Pada Acara: MUSRENBANG KECAMATAN Lebak,

Lebih terperinci

STRATEGI AKSELARASI PROPINSI SULBAR DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI

STRATEGI AKSELARASI PROPINSI SULBAR DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI STRATEGI AKSELARASI PROPINSI SULBAR DALAM MENURUNKAN ANGKA KEMATIAN IBU DAN BAYI Wiko Saputra Peneliti Kebijakan Publik Perkumpulan Prakarsa PENDAHULUAN 1. Peningkatan Angka Kematian Ibu (AKI) 359 per

Lebih terperinci

ANALISIS SWOT RENSTRA KEMDIKBUD TAHUN (Artikel 24)

ANALISIS SWOT RENSTRA KEMDIKBUD TAHUN (Artikel 24) ANALISIS SWOT RENSTRA KEMDIKBUD TAHUN 2010-2014 (Artikel 24) O L E H : S U B I S U D A R T O Renstra perlu dianalisis melalui Analisis SWOT Sesuai Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan prioritas pembangunan nasional karena kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan multidimensi, kemiskinan tidak terbatas sekedar pada ketikdakmampuan

Lebih terperinci

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN

BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN BAB 28 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP KESEHATAN YANG BERKUALITAS Pembangunan kesehatan merupakan upaya untuk memenuhi salah satu hak dasar rakyat, yaitu hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA SALATIGA TAHUN 2017

PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA SALATIGA TAHUN 2017 PEMERINTAH KOTA SALATIGA DAFTAR INFORMASI PUBLIK RINGKASAN RENCANA KERJA DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA KOTA SALATIGA TAHUN 2017 1 PERENCANAAN KINERJA A. PERENCANAAN STRATEJIK VISI DAN MISI 1. Pernyataan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mencapai tujuan Nasional Bangsa Indonesia sesuai Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

PROFIL PENDIDIKAN PROVINSI SUMATERA BARAT 2014 ISBN : 978-602-1196-66-3 Nomor Publikasi : 13520.15.08 Katalog BPS : 4301003.13 Ukuran buku : 17,6 cm x 25 cm Jumlah Halaman : ix + 40 Naskah : Bidang Statistik

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1 Visi Visi merupakan cara pandang ke depan tentang kemana Pemerintah Kabupaten Belitung akan dibawa, diarahkan dan apa yang diinginkan untuk dicapai dalam kurun

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN

PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN PERENCANAAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS-DATA MEMPERTAJAM INTERVENSI KEBIJAKAN RAPAT KERJA TEKNIS TKPK TAHUN 2015 KERANGKA ANALISIS SITUASI KEMISKINAN KOMPONEN ANALISIS Perubahan akibat intervensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan

I. PENDAHULUAN. Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sudah enam puluh sembilan tahun Indonesia merdeka, telah banyak tindakantindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam usaha menyejahterakan rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PENDIDIKAN YANG LEBIH BERKUALITAS

BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PENDIDIKAN YANG LEBIH BERKUALITAS BAB 27 PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PENDIDIKAN YANG LEBIH BERKUALITAS Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan nasional untuk mencapai bangsa yang maju, mandiri

Lebih terperinci

BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN

BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN BAB II KONDISI UMUM PENDIDIKAN 2.1. Analisis Kondisi Internal Lingkungan Pendidikan Dalam menyusun rencana strategis 2010--2014, diperlukan analisis kondisi internal pendidikan nasional pada periode 2005--2009

Lebih terperinci

dari target 28,3%. dari target 25,37%. dari target 22,37%. dari target 19,37%.

dari target 28,3%. dari target 25,37%. dari target 22,37%. dari target 19,37%. b. 2010 target penurunan 5.544 RTM (3,00%) turun 18.966 RTM (10,26%) atau menjadi 40.370 RTM (21,85 %) dari target 28,3%. c. 2011 target penurunan 5.544 RTM (3,00%) turun 760 RTM (2,03%) atau menjadi 36.610

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

TUJUAN 4. Menurunkan Angka Kematian Anak

TUJUAN 4. Menurunkan Angka Kematian Anak TUJUAN 4 Menurunkan Angka Kematian Anak 51 Tujuan 4: Menurunkan Angka Kematian Anak Target 5: Menurunkan angka kematian balita sebesar dua pertiganya, antara 1990 dan 2015. Indikator: Angka kematian balita.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama di Negara berkembang, artinya kemiskinan menjadi masalah yang dihadapi dan menjadi perhatian

Lebih terperinci

ii DATA DAN INDIKATOR GENDER di INDONESIA

ii DATA DAN INDIKATOR GENDER di INDONESIA ii Kata Pengantar i DAFTAR ISI Kata Pengantar...i Daftar Isi... iii Daftar Tabel...v Daftar Gambar...xi Bab I KEPENDUDUKAN... 1 Bab II INDIKATOR GENDER... 9 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)/Human Development

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012

RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 2012 RINGKASAN EKSEKUTIF BUKU INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN EKONOMI KABUPATEN BEKASI 1 Halaman Daftar Isi Daftar Isi... 2 Kata Pengantar... 3 Indikator Makro Pembangunan Ekonomi... 4 Laju Pertumbuhan Penduduk...

Lebih terperinci

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011

MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 MATRIKS BUKU I RKP TAHUN 2011 PRIORITAS 3 Tema Prioritas Penanggung Jawab Bekerjasama dengan PROGRAM AKSI BIDANG KESEHATAN Penitikberatan pembangunan bidang kesehatan melalui pendekatan preventif, tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16).

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan. secara material dan spiritual (Todaro dan Smith, 2012: 16). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional. Pembangunan harus merepresentasikan perubahan suatu masyarakat secara menyeluruh yang bergerak dari kondisi yang

Lebih terperinci

Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Tujuan dan Sasaran Strategis

Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR. A. Tujuan dan Sasaran Strategis Bab 6 INDIKATOR KINERJA DINAS PENDIDIKAN PROVINSI JAWA TIMUR A. Tujuan dan Sasaran Strategis Berdasarkan pada amanat UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta misi dan visi Dinas

Lebih terperinci

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator

Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Indikator Page 1 Ikhtisar Pencapaian MDGs Provinsi Kepulauan Riau Menurut Jumlah Uraian Jumlah Jumlah Akan Perlu Perhatian Khusus Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan 12 9 1 2 Mencapai Pendidikan Dasar Untuk Semua

Lebih terperinci