Penulis lahir di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 19 Oktober 1953, anak pertama dari 5 bersaudara dari ayah H. Asna'i dan ibu Hj. Yatim.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penulis lahir di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 19 Oktober 1953, anak pertama dari 5 bersaudara dari ayah H. Asna'i dan ibu Hj. Yatim."

Transkripsi

1 Penulis lahir di Situbondo (Jawa Timur) pada tanggal 19 Oktober 1953, anak pertama dari 5 bersaudara dari ayah H. Asna'i dan ibu Hj. Yatim. Penulis menikah dengan Erna Marliana, dikaruniai 5 anak yaitu Akhmad Ardiyansyah (Internasional Business ARS Internasional), Lita Aryani (Manajemen Agribisnis IPB), Muhammad Lukman (Politeknik Elektro UI), Budi Muliawan (Psikologi Gunadharma), dan Arlina Ratnasari (Budi Daya Perairan IPB), serta seorang cucu Naila Zahra Azalia Mayrani. Penulis menyelesaikan kuliah di Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ITB; Pendidikan Pascasarjana (S2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB; dan Pascasarjana Program Doktor (S3) pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB. Penulis memulai karir sebagai Pegawai Negeri Sipil di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) terhitung mulai tanggal 1 Maret 1980, kemudian menekuni penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan. Dalam jabatan struktural di LAPAN, penulis pernah menjabat sebagai Kepala Unit Komputer Induk (Pustekja), Kepala Bidang Matra Laut (Pusfatja), serta Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh (Pusbangja). Jabatan fungsional saat ini adalah Peneliti Utama di bidang penginderaan jauh. Penulis pernah terpilih menjadi Peneliti Terbaik LAPAN tahun 1995/1996. Dalam perjalanan sebagai peneliti, penulis antara lain terlibat dalam kerjasama penelitian Asean Eropa dalam bidang aplikasi teknologi Radar-SAR di Indonesia; Riset Unggulan Terpadu (RUT); Penelitian Pemanfaatan Teknologi Penginderaan Jauh untuk Identi kasi Terumbu Karang; Pemetaan Terumbu Karang Seluruh Perairan Laut Indonesia Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geogra untuk Mendukung Coremap; pengembangan, sosialisasi dan penerapaan informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI). Penulis sempat mengikuti kegiatan training teknologi komputer dan pengolahan data di dalam/luar negeri antara lain di Puskom UI, DEC Computer Los Angeles (USA), NEC Tokyo (Japan). Training dalam bidang pemanfaatan teknologi penginderaan jauh yang sempat diikuti antara lain Remote Sensing Data for Fisheries (Tokyo); ERS-SAR di Bangkok (Thailand) dan ITC Nederland; dan Remote Sensing Technology (Canada). Penulis juga pernah mengikuti beberapa pertemuan ilmiah seperti di Filipina, Malaysia, Thailand, Jepang, China, dan terakhir sebagai Narasumber Pengembangan dan Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI di Malaysia. Penulis pernah menjadi anggota organisasi profesi seperti, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan Laut (Komnas Kajiskanlaut); Ketua I MAPIN; Anggota Pengurus Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (ISPIKANI); dan Anggota Pengurus Pusat Himpunan Peneliti Indonesia (HIMPENINDO). Dalam bidang publikasi ilmiah, penulis pernah menjadi Editor Penyelia Majalai Sains dan Teknologi Kedirgantaraan LAPAN, dan saat ini sebagai Editor-in-chief International Journal of Remote Sensing and Earth Sciences (IJReSES) yang diterbitkan oleh LAPAN.

2 Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan data penginderaan jauh

3 Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan data penginderaan jauh ISBN No : Dicetak dan diterbitkan oleh : CRESTPENT PRESS Kantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM) Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor Telp/Fax. (0251) , crestpent@gmail.com UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp ,00 (lima ratus juta rupiah).

4 Pengantar Penerbit Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terselesaikannya buku dengan judul Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan. Buku ini membahas teknologi satelit lingkungan dan cuaca NOAA-AVHRR dan Aqua/Terra, ekstraksi suhu perukaan laut (SPL) dan klorofil-a, sebagai data utama untuk pembuatan informasi spasial zona potensi penangkapan ikan (ZPPI), informasi spasial ZPPI mingguan dan bulanan, serta beberapa contoh penerapan informasi spasial ZPPI pada beberapa daerah. Diterbitkannya buku ini dengan harapan dapat menjadi pegangan baik bagi para peneliti maupun mahasiswa jurusan perikanan dan kelautan, dan pemangku kepentingan dalam upaya lebih memahami teknologi dan potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan.. Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah mencurahkan energinya dalam penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat berkontribusi terhadap ilmu pengetahuan di bidang perikanan dan kelautan. Penerbit i

5 Kata Sambutan Wilayah Indonesia yang demikian luasnya dengan dominasi laut menuntut penggunaan teknologi satelit untuk memetakan potensi sumber daya alamnya. Untuk sumber daya alam di darat, objek tampak di permukaan dan relatif mudah dikenali, seperti hutan dan lahan pertanian. Namun untuk sumber daya alam di laut, secara kasat mata sulit dikenali. Ikan, misalnya, berada di dalam air yang tidak mudah diketahui keberadaannya. Dengan menggunakan teknologi satelit penginderaan jauh, parameter utama yang diukur dari pengamatan laut adalah suhu permukaannya. Bukan hanya untuk kajian cuaca dan varibilitas iklim, data suhu permukaan laut juga ternyata memberikan informasi penting tentang zona berkumpulnya ikan. Bila informasi itu dilengkapi dengan data keberadaan fitoplankton sebagai makanan ikan, maka makin lengkaplah informasi untuk menemukan zona potensial untuk menangkap ikan pada suatu saat. Itulah yang diidentifikasikan oleh para peneliti LAPAN sebagai Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI). ZPPI seperti itu terus dikaji keandalannya untuk meningkatkan tangkapan bagi para nelayan. Informasi ZPPI juga terus disosialisasikan kepada kelompok-kelompok nelayan untuk meningkatkan kemampuan mereka memanfaatkan informasi satelit penginderaan jauh. Buku Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial dan Temporal Zona Potensi Penangkapan Ikan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh oleh Dr. Bidawi Hasyim memberikan bahasan yang cukup lengkap terkait dengan metode dan aplikasi ZPPI tersebut. Prof. Dr. Thomas Djamaluddin ii

6 PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena hanya atas karunia rahmat dan nikmatnya sehingga buku berjudul Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial dan Temporal Zona Potensi Penangkapan Ikan Berdasarkan Data Penginderaan Jauh ini berhasil diselesaikan. Buku ini disusun dengan harapan dapat menjadi pegangan baik bagi para peneliti maupun mahasiswa jurusan perikanan dan kelautan dalam upaya lebih memahami potensi pemanfaatan data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, terutama kepada : 1. Prof. Dr. Thomas Djamaluddin selaku Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) atas perhatiannya dalam penerbitan buku in i. 2. Dr. Orbita Roswintiarti, M.Sc. selaku Deputi Penginderaan Jauh Lapan atas perhatian dan dukungannya dalam penerbitan buku ini ; 3. Dr. M. Rokhis Komarudin, S.Si., M.Si. selaku Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh (Pusfatjaja) Lapan; dan Syarif Budhiman, S.Pi., M.Si. selaku Kepala Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, Pusfatja Lapan atas dukungan dan fasilitasinya dalam penerbitan buku ini. 4. Prof. Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. dan Dr. Ir. Vincentius Siregar, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, atas bantuannya dalam memberikan koreksi dan masukannya dalam usaha penyelesaian penulisan buku ini. 5. Dr. Ir. Dony Kushardono, M.Eng.Sc., Ir. Wawan K. Harsanugraha, M.Sc., Dr. Bambang Trisakti, Dra. Maryani Hartuti, M.Sc., dan Dr. Ety Parwati, M.Si., Pusfatja Lapan, atas koreksi dan masukannya dalam penulisan dan penerbitan buku ini. 6. Teman-teman dari Bidang Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Pusfatja khususnya Puji Lestari, Spi. dan Bagus Dwi Kurniawan Nugroho, S.Pi., atas bantuannya dalam pengadaan data untuk penulisan buku ini. 7. Sugiyanto ST, Aris Maulana, dan Panji Rachman Ramadhan, S.T., Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh Lapan atas bantuannya dalam pengadaan gambar-gambar sistem penerima data satelit NOAA dan Terra/Aqua. 8. Semua pihak yang telah membantu dan memberikan semangat dalam penulisan dan penerbitan buku ini. Penulis berharap, penerbitan buku ini dapat memotivasi teman-teman peneliti di instansi penulis bekerja untuk meningkatkan karya tulis ilmiahnya. Semoga buku ini menjadi pendorong semangat dan motivasi bagi generasi penerus untuk aktif melakukan penelitian dan inovasi. Penulis iii

7 DAFTAR ISI Halaman Pengantar Penerbit... Kata Sambutan... Prakata Penulis... DAFTAR ISI... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR TABEL... i ii iii iv viii xii 1 PENDAHULUAN PARAMETER OSEANOGRAFI DAN BEBERAPA JENIS IKAN TARGET PENANGKAPAN SPL dan Klorofil-a Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP Satelit Lingkungan dan Cuaca seri NOAA Sensor pada Satelit NOAA Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater Sensor Data Collection System Satelit Terra/Aqua (MODIS) EKSTRAKSI PARAMETER SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A Koreksi Geometrik Data NOAA-AVHRR iv

8 4.2. Ekstraksi Parameter SPL Berdasarkan Data NOAA-AVHRR Ekstraksi Parameter SPL Menggunakan Data MODIS Ekstraksi Parameter Klorofil-a Menggunakan Data MODIS INFORMASI SPASIAL ZPPI DAN PERKEMBANGANNYA Tahapan Pengolahan Data Penelitian SPL dan Upwelling/Thermal Front Penelitian Upwelling/Fishing Ground Pengembangan Informasi Spasial ZPPI Pengembangan Peta Zona Ikan Pengembangan Informasi Zona Potensi Ikan (ZPI) Pengembangan Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan Pengembangan Informasi Spasial ZPPI Secara Unit Spasial IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN MINGGUAN Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Desember Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Januari Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Februari Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Maret Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan April Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Mei Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juni Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juli Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Agustus Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan September Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Oktober Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Nopember v

9 7 IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN BULANAN Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Desember Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Januari Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Februari Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Maret Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan April Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Mei Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juni Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juli Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Agustus Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan September Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Oktober Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan November UJI COBA PENERAPAN INFORMASI SPASIAL ZPPI Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Sibolga Sumatera Utara Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Pangandaran Jawa Barat Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Pekalongan Jawa Tengah Uji Coba Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Mei Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Juni Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Juli Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Agustus Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan September Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Oktober vi

10 Hasil uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan November Hubungan Sumber daya ikan dan Musim PENUTUP DAFTAR PUSTAKA Indek vii

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 3.1 Jenis sensor dan tata letaknya pada satelit NOAA Sistem penerima data NOAA-AVHRR Contoh citra yang dihasilkan sensor AVHRR kanal visible, diterima oleh stasiun bumi satelit lingkungan dan cuaca LAPAN di Pekayon Perbandingan kenampakan citra yang dihasilkan sensor AVHRR, kanal visible-1 (a), viisibel-2 (b), infra merah dekat (c), infra merah termal -1 (d), dan infra merah termal - 2 (e) Sistem penerima data MODIS di Lapan Parepare Citra Modis hasil akuisisi stasun bumi LAPAN di Parepare Citra NOAA-AVHRR kanal 2 (visibel) hasil akuisisi tanggal 6 Mei 2013 sebelum dilakukan koreksi geometrik Citra NOAA-AVHRR hasil koreksi gemetrik sistematik tetapi belum dilakukan koreksi geometrik berdasarkan titik kontrol Citra NOAA-AVHRR sesudah dilakukan koreksi geometrik Diagram Alir Pengolahan Data NOAA-AVHRR untuk mendapatkan nilai SPL Data NOAA-AVHRR band 4 hasil kuisisi tanggal 15 Agustus Data NOAA-AVHRR band 5 hasil kuisisi tanggal 15 Agustus Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) yang diturunkan berdasarkan data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5 menggunakan algoritma McMillin and Crosby Diagram Alir Pengolahan Data MODIS dari satelit Terra/ Aqua untuk mendapatkan nilai SPL Sebaran Suhu Permukaan Laut berdasarkan data MODIS hasil akuisisi tanggal 15 Agustus Diagram Alir Pengolahan Data Data MODIS untuk ekstraksi parameter Klorofil-a viii

12 5.1 Diagram alir proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI Citra SPL dalam 2 hari berurutan yaitu tanggal 1 Juni dan 2 Juni Sebaran SPL pada perairan pertemuan antara Laut Flores dan Laut Jawa, serta perairan sekitar NTT Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan pada 24 Juni Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 9 Agustus Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 17 Juli Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 3 Juni Garis kontur thermal front sebagai indikator jalur yang potensial untuk lokasi-lokasi penangkapan ikan Contoh bentuk Peta yang mengadopsi format papan catur atau format tabel pada perangkat lunak Excel Contoh bentuk Peta ZPI yang pertama kali diterapkan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Hubungan antara jarak titik zona potensi penangkapan dengan hasil tangkapan pada jarak terhadap titik tersebut dalam bentuk lingkaran dengan diamieter 10 km Contoh format informasi ZPPI dengan ukuran unit spasial 10 x 10 yang dilengkapi dengan WPP Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Desember (d) Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Januari Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Februari ix

13 6.4 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Maret Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan April Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Mei Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juni Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juli Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Agustus Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan September Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Oktober Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Nevember Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Desember Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Januari Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Februari Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Maret x

14 7.5 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan April Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Mei Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juni Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juli Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Agustus Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan September Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Okttober Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan November Informasi ZPI yang disosialisasikan dan digunakan pada uji coba penangkapan di Sibolga menunjukkan lokasi yang disarankan untuk kegiatan penangkapan Rangkaian foto kegiatan uji coba ZPPI di Sibolga Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran Informasi spasial ZPPI tanggal 15 dan 16 Juli 2003 yang digunakan pada uji coba penangkapan ikan di perairan laut Pangandaran Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang dipergunakan oleh nelayan Pekalongan Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan feedback hasil penangkapan pada bulan Mei Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juni xi

15 8.9 Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juli Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Juli Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Agustus Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan September Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Oktober Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember Informasi spasial ZPPI di Selat Madura dengan data feedback hasil penangkapan pada bulan Nopember xii

16 DAFTAR TABEL Halaman 3.1. Karakteristik beberapa bagian dari satelit lingkungan dan cuaca seri NOAA Seri satelit NOAA, waktu peluncuran, operasional, dan akhir operasinya Jadual waktu lintasan dan sudut elevasi satelit NOAA-18 dan 19 masing-masing pada lintasan siang dan malam hari Karakteristik sensor AVHRR/2 yang dibawa oleh satelit NOAA-7, 9, 11, 12 and Karakteristik sensor AVHRR yang dibawa oleh satelit NOAA-15, 16, 17, 18 and Nilai gain and intercept untuk data AVHRR/3 kanal visibel Karakteristik Satelit Terra dan Aqua Karakteristik Spektral Sensor MODIS Terra/Aqua Posisi pixel pada sumbu X dan Y dalam citra NOAA sebelum koreksi geometrik dan titik koordinat posisi berdasarkan peta acuan, serta RMS berdasarkan hasil proses koreksi geometrik Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR SPL maksimum, minimum, dan suhu tengah-tengah berdasarkan masing-masing rumus perolehan suhu permukaan laut Nomor, koordinat-x dan koordinat-y dari 4 ZPPI yang ada di perairan sekitar Sibolga pada tanggal 21 Oktober Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Mei Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Juni Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Juli xiii

17 8.5 Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Juli Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Agustus Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan September Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Oktober Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan Oktober Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan November Feedback hasil tangkapan pada ZPPI di Selat Madura di bulan November xiv

18 BAB 1 PENDAHULUAN Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE) yang luasnya sekitar 2,7 juta km 2. Ini berarti bahwa Indonesia dapat memanfaatkan sumberdaya di perairan laut yang luasnya sekitar 5,8 juta km 2. Potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun. Potensi tersebut diantaranya terdiri dari ikan pelagis besar sebesar 1,65 juta ton, ikan pelagis kecil sebesar 3,6 juta ton, dan ikan demarsal 1,36 juta ton. Nilai produksi tersebut memberikan indikasi bahwa tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia baru mencapai 58,80%, dan sebagian besar merupakan ikan pelagis (Dahuri, 2003). Sumberdaya ikan Indonesia yang sangat besar merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat memberikan keuntungan bagi kesejahteraan masyarakat dan sumber devisa negara. Pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia di berbagai wilayah tidak merata. Di beberapa wilayah perairan masih terbuka peluang besar untuk pengembangan pemanfaatannya, sedangkan di beberapa wilayah perairan laut yang lain sudah mencapai kondisi padat tangkap atau overfishing terutama wilayah perairan Laut Jawa. Hal tersebut dapat disebabkan karena pengelolaan sumberdaya perikanan belum dilaksanakan dengan baik, sebagai akibat belum tersedianya perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan secara akurat dan sesuai dengan kondisi spesifik perairan, sumberdaya ikan, sarana dan prasarana perikanan serta sosial budaya masyarakat. Wilayah perairan laut Indonesia memiliki kandungan sumberdaya alam khususnya sumberdaya hayati (ikan) yang berlimpah dan beraneka ragam. Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001 bahwa, potensi sumberdaya ikan laut di seluruh perairan Indonesia, diduga sebesar 6,4 juta ton per tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per-tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Salah satu masalah utama yang dihadapi dalam upaya optimalisasi penangkapan ikan khususnya ikan pelagis adalah sangat terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan. Armada penangkapan ikan berangkat dari pangkalan bukan untuk menangkap tetapi lebih banyak mencari lokasi penangkapan sehingga selalu berada dalam kondisi ketidakpastian tentang lokasi yang potensial untuk melakukan penangkapan ikan, sehingga hasil tangkapannya juga menjadi tidak pasti. 1

19 Penentuan lokasi potensi penangkapan ikan yang umum dilakukan oleh nelayan sejauh ini masih menggunakan cara-cara tradisional, berdasarkan pada kemampuan individu nelayan, atau yang diperoleh secara turun-temurun. Akibatnya, nelayan tidak mampu mengantisipasi perubahan kondisi oseanografi dan cuaca yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan yang berubah secara dinamis. Sering terjadi ekspansi penangkapan nelayan besar ke daerah penangkapan nelayan kecil mengakibatkan terjadi persaingan yang kurang sehat bahkan terjadi konflik antara nelayan besar dengan nelayan kecil. Nelayan pada umumnya memerlukan waktu yang lama untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan karena harus mencari gerombolan ikan (schooling) terlebih dahulu atau dengan mencoba-coba (trial fishing) tanpa dukungan informasi atau teknologi untuk penangkapan ikan. Pencarian lokasi gerombolan ikan dengan cara trial fishing memerlukan waktu cukup lama sehingga menghabiskan bahan bakar cukup banyak berdampak pada meningkatkan biaya kegiatan penangkapan ikan, sementara hasil tangkapannya tidak dapat dipastikan. Di sisi lain, banyak faktor yang menyebabkan gerombolan ikan ada disuatu tempat, antara lain suhu, salinitas dan klimatologi khususnya curah hujan, termasuk juga faktor yang berkaitan dengan fish behavior (Wudianto, 2001). Dalam upaya meningkatkan efisiensi kegiatan penangkapan ikan, diperlukan informasi secara spasial dan temporal tentang lokasi yang prospektif untuk kegiatan penangkapan ikan. Informasi tersebut seharusnya memiliki unit spasial yang dapat dipergunakan secara operasional dan resolusi temporal dengan periode yang sesuai dengan pola penangkapan ikan oleh nelayan. Di sisi lain, saat ini telah terdapat teknologi yang dikenal dengan satelit penginderaan jauh yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi beberapa parameter oseaografi khususnya suhu permukaan laut dan klorofil-a yang berkaitan erat dengan kehidupan ikan khususnya ikan pelagis. Penginderaan jauh yang selanjutnya disebut dengan inderaja adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau fenomena alam melalui analisis data yang diperoleh dengan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, maupun fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Di sisi kain, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariksaan menyatakan bahwa penginderaan jauh adalah penginderaan permukaan bumi dari dirgantara dengan memanfaatkan sifat gelombang elektromagnetik yang dipancarkan, dipantulkan, atau dihamburkan oleh obyek yang diindera. Pada prinsipnya penginderaan jauh terdiri dari empat komponen penting yaitu: (1) sumber energi elektromagnetik, (2) interaksi energy dengan atmosfer, (3) interaksi antara tenaga dengan objek di permukaan bumi, dan (4) sensor. Satelit penginderaan jauh yang menggunakan sensor pasif maka sumber energinya adalah cahaya matahari, sedangkan sistem satelit penginderaan jauh yang menggunakan sensor aktif maka sumber 2

20 energinya berasal dari gelombang microwave (radar) yang ada pada satelit itu sendiri. Penulis memulai penelitian pemanfaatan data inderaja untuk mengamatan suhu permukaan laut (SPL) sudah dilakukan sejak tahun 1983 dengan menggunakan data NOAA-AVHRR (National Oceanic and atmospheric Administration Advanced Very High Resolution Radiometer) yang diterima oleh Stasiun Bumi Nasional Satelit Lingkungan dan Cuaca Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang berlokasi di Pekayon, Jakarta Timur. Penelitian yang dilakukan masih terbatas pada ekstraksi parameter suhu permukaan laut (SPL). Dengan dibentuknya Bidang Matra Laut di bawah Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh pada tahun 1988, Penelitian Pemanfaatan data penginderaan jauh khususnya data NOAA-AVHRR untuk pemetaan SPL terus ditingkatkan. Peningkatan penelitian yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1997, dengan dilakukannya penelitian fenomena upwelling berdasarkan data penginderaan jauh NOAA-AVHRR dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan dan tingkat keberhasilan usaha penangkapannya. Pemanfaatan data penginderaan jauh mulai dimasukkan menjadi salah satu data yang digunakan untuk mendukung pengkajian sumberdaya ikan laut melalui Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan Laut. Sejak saat itu, telah dilakukan berbagai penelitian sampai akhirnya pada tahun 2009 dilakukan suatu peningkatan yang cukup berarti yaitu dengan dikembangkannya informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan yang selanjutnya biasa disebut dengan ZPPI. Pengembangan dan penerapan informasi spasial tersebut didukung dengan pemahaman tentang potensi dan karakteristik sumberdaya ikan dan klimatologi kelautan, khususnya tentang kecepatan angin dan ketinggian gelombang. Pengembangan informasi spasial ZPPI merupakan muara dari penelitian panjang tentang pemanfatan data satelit inderaja NOAA-AVHRR untuk identifikasi parameter oseanografi khususnya suhu permukaan laut (SPL), kemudian dilanjutkan dengan penelitian pemanfaatan data sebaran SPL untuk identifikasi fishing ground. Tahun 2002 merupakan awal dilakukannya uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dalam penangkapan ikan secara langsung di beberapa daerah dan mendapat tanggapan yang sangat positif baik dari nelayan, pemilik perahu motor, maupun pemangku kepentingan terkait baik di daerah maupun di pusat. Sosialisasi penerapan informasi spasial ZPPI, memerlukan upaya yang tidak sedikit dan usaha yang sungguh-sungguh, sehingga diperlukan adanya kerjasama sinergis antara LAPAN sebagai instansi pemerintah yang mempunyai tugas utama dalam penelitian, pengembangan, dan penerapan iptek inderaja dengan Pemerintah Daerah yang berkepentingan secara langsung dalam pemberdayaan masyarakat khususnya masyarakat nelayan. Sosialisasi dan penerapan infomasi spasial ZPPI pada usaha penangkapan ikan ini berperan antara lain dalam hal: 3

21 (1) Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan, pembinaan, dan penyediaan informasi spasial ZPPI harian untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. (2) Dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan meningkatkan efektivitas dengan memperpendek masa operasi penangkapan. (3) Menjadi alat pengelolaan untuk menghindarkan konflik perebutan daerah penangkapan antar nelayan kecil/tradisional, dengan kapalkapal besar, dengan cara pengaturan pemberian informasi zona potensi ikan yang berbeda. (4) Meningkatkan produksi ikan daerah, yang selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan. Pengembangan penelitian pemanfaatan ZPPI juga didasari oleh umpan balik dan pengalaman penerapan informasi spasial ZPPI di berbagai wilayah perairan Indonesia. Pengembangan informasi spasial ZPPI didasari oleh penelitian jangka panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR untuk pemetaan SPL tahun sejak 1983, dilanjutkan dengan deteksi thermal front/upwelling dalam kaitannya dengan lokasi penangkapan ikan sekitar 1995 sampai dengan tahun Pengembangan informasi spasial ZPPI oleh LAPAN sendiri melewati penelitian dan uji coba penerapan cukup lama di beberapa daerah, mulai tahun 1999 dengan nama informasi Zona Ikan (ZI), kemudian diberi nama informasi Zona Potensi Ikan yang disingkat dengan ZPI yang waktu itu hanya menggunakan data SPL yang dihitung berdasarkan data NOAA-AVHRR. Berdasarkan Laporan Kegiatan LAPAN (2002), telah dilakukan sosialisasi ZPPI dan penerapannya di beberapa lokasi di antaranya di Situbondo, Pekalongan, Badung Bali Selatan, dan Bengkulu. Nama informasi zona potensi ikan tersebut terakhir diubah menjadi informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) dengan mulai memasukkan parameter kandungan klorofil-a dalam penentuan ZPPI. Dalam upaya mendapatkan feedback hasil identifikasi ZPPI, telah dilakukan sosialisasi dan penerapan ZPPI ke beberapa daerah seperti Pangandaran (Jawa Barat), Pekalongan (Jawa Tengah), Bangkalan (Madura), Bengkulu, Manado, Biak, Padang, Balikpapan, Parepare (Sulawesi Selatan) dan Nusa Tenggara Timur. Uji coba penerapan ZPPI ini mendapatkan feedback hasil penangkapan pada lokasi yang ditentukan dan jenis ikan hasil tangkapan, bahkan sampai tingkat perhitungan keuntungan yang diperoleh pemilik perahu motor. 4

22 BAB 2 PARAMETER OSEANOGRAFI DAN BEBERAPA JENIS IKAN TARGET PENANGKAPAN 2.1 SPL dan Klorofil-a Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3-11,3 µm dan 11,5-12,5 µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk mendeteksi suhu permukaan laut (SPL). SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 (tiga) tahap proses yaitu : (1) koreksi radiometrik; (2) koreksi geometrik; (3) perhitungan SPL. Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh posisi matahari dan atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat. Gastellu (1988) menyatakan bahwa, pengguna ilmiah sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang berkaitan dengan SPL dan dinamika oseanografi (thermal front, upwelling, dan arus eddy). Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan kesalahan sampai 10 o C. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses pengolahan yang baik dimungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti. Gordon (2005) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian menggunakan data MODIS Aqua dan data SeaWiFS diketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan Indonesia dekat 12 o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh pergerakan Arus Lintas Kepulauan Indonsia (ALKI) dan diganti oleh air laut dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama 5

23 pada perairan laut Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis dan Samudera Hindia bagian utara dengan salinitas tinggi. Tangdom, et.al. (2005) menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5 o C, dengan suhu minimum pada daerah upwelling di perairan sebelah selatan Pulau Jawa dan di perairan Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim bersangkutan lebih tinggi dari 29 o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29 o C. Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan Maritime Continent telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik secara lokal maupun global. Tangdom et.al. (2005) juga menyatakan bahwa penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil. Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi selama periode salinitas tinggi (34 0 / 00 ). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo. Fenomena terjadinya pergeseran massa air dari arah timur ke barat berkorelasi dengan meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut. 6

24 Hasil tangkapan ikan rata-rata di perairan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan adanya siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin monsun. Hasil tangkapan (ton/hari) cenderung tinggi pada bulan Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari April dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari. Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh kondisi oseanografi perairan Selat Makassar dan Laut Flores yang bervariasi mengikuti perubahan musiman. Hasil penelitian pada perairan di sekitar Pulau Matasiri dalam periode menunjukkan bahwa SPL maksimum mencapai 30 o C selama angin barat laut atau musim basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26 o C pada Februari Suhu minimum dengan nilai 26 o C terjadi selama akhir musim angin tenggara atau musim kering pada bulan September Salinitas permukaan laut mengikuti bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 o/oo terjadi pada bulan September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi o/oo pada bulan Februari Salinitas teringgi (34 o/oo) ditemukan pada fishing ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri. Pengukuran SPL di perairaan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi (29 0 C) selama periode Mei, November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur barat mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal. Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi homogen dengan salinitas tinggi (34 0 / 00 ) yang terjadi selama musin angin tenggara pada bulan Juli Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah (<32 0 / 00 ) berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama musim hujan. Salinitas terendah pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei 1992 (32 32,5 0 / 00 ) dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 (33 34,5 0 / 00 ). Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton dari kedalaman 100 m ke permukaan. Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) menunjukkan bahwa 7

25 proses taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas (r 2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton. Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al (2004) bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara adalah 35,5 x 10 3 cel/m 3, sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 10 3 cel/m 3. Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara. Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan sekitar Nias yang dilakukan oleh Gaol et al (2007) menunjukkan bahwa, variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi dengan rata-rata 1,5 o C, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup tinggi, rata-rata 4 o C. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a berdasarkan sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Sugimori (2006) menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan bervariasi mulai dari beberapa hari sampai satu musim, dengan liputan mulai dari 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan sirkulasi musim ikan. Kegiatan penangkapan ikan dilakukan dengan memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi distribusi produktivitas primer (klorofil-a), suhu permukaan lau, dan parameter oseanografi lainnya dengan menggunakan sensor penginderaan jauh. Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan SPL Laut Jawa belum memadai. Analisis spektral, spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April Mei dan bulan November, sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus. Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal front menggunakan SPL rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan 8

26 resolusi 18 km. Untuk mendapatkan data dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan). Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan 36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal front di bagian selatan Samudera Hindia. 2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut (1998), diantara ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang, marlin (ikan pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran), tongkol dan tenggiri (tongkol dan tenggiri), dan cucut (cucut mako). Sedangkan jenis ikan pelagis kecil antara lain; ikan layang, selar, sunglir, teri, japuh, tembang, lemuru, Siro, dan ikan kembung. Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman meter. Suhu perairan berkisar o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar ppt atau di perairan oseanik. Madidihang (thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara o C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19 o - 23 o C (Nontji, 1987), suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20 o - 28 o C (Wudianto, 2001). Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu o C dengan salinitas dalam kisaran 32,21 34,40 o / oo, tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang, sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific Amerika. Ikan tongkol memiliki panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya cm. Jenis tongkol lainnya adalah axuis thazard, hidup di 9

27 daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya cm. Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai dengan salinitas 34,21 34,60 o / oo. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan ikan kecil, cumi-cumi) dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang. Ikan layang (decapterus spp.) bersifat stenohaline, hidup secara berkelompok pada kedalaman meter, menghendaki perairan yang jernih dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Ikan Selar atau bentong (selar cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea), panjang dapat mencapai 30 cm, namun umumnya berukuran 20 cm. Ikan ini tersebar di Sumatera, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar, Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan tropis Australia. Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang dimaksud dengan musim ikan adalah saat melimpahnya hasil tangkapan yang diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Bau-Bau (Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain. Produksi rata-rata ikan layang selama periode berkisar antara 65,7 191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar dari jenis Decapterus himimulatus. Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat. Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon, Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina, Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di perairan pantai sampai kedalaman 10

28 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran 15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata), Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman m dan berjarak km dari pantai dengan waktu penangkapan pada pagi hari menjelang subuh. Ikan Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya mencapai 40 cm umumnya cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai seluruh Indonesia, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina, Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman m, termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok. Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2 4 mil dari pantai. Ikan Kembung laki-laki atau banyar (rastelliger kanagurta), hidup di perairan pantai dan lepas pantai dengan suhu o C, kedalaman 8 15 meter yang perairannya berkadar garam tinggi dan hidup berkelompok. Bersifat karnivora, dengan panjang mencapai 35 cm dan umumnya cm. Ikan ini terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Arafuru, Teluk Siam. Kembung perempuan (rastelliger neglectus), hidup di perairan neritik, mendekati pantai dan membentuk kelompok besar. Bersifat karnivora (plankton, diatom, copepoda), melakukan migrasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, makanan dan arus. Panjangnya mencapai 30 cm dan umumnya cm. Ikan ini banyak terdapat di perairan Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna, Buton, dan Arafuru. Zainuddin (2007) menyatakan bahwa, ikan kembung di perairan Sulawesi Selatan mempunyai hubungan yang signifikan antara hasil tangkapan dengan faktor oseanografi yaitu SPL, salinitas dan kecepatan arus. Ini berarti bahwa dengan ketiga faktor oseanografi tersebut, pada tingkat akurasi tertentu hasil tangkapan ikan kembung dapat diprediksi dengan persamaan. Sedangkan uji signifikansi parameter menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan arus memberi kontribusi yang lebih nyata dalam menjelaskan variasi hasil tangkapan. Hasil pengukuran SPL yang diperoleh selama penelitian di Kabupaten Bantaeng berkisar 29 C - 31 C. Kebanyakan upaya penangkapan ikan kembung dilakukan dengan alat tangkap gillnet pada kisaran suhu 29-29,5 C. Secara statistik faktor SPL berpengaruh nyata terhadap variasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini berarti bahwa variabel SPL memegang peran penting dalam memprediksi hasil tangkapan ikan kembung. 11

29 Ikan lemuru termasuk jenis ikan stenohaline, pada umumnya hidup pada kedalaman meter di perairan dengan salinitas 30 o / oo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, diketahui bahwa ikan lemuru di Selat Bali hanya terdapat di paparan saja (baik paparan Jawa maupun Bali) pada kedalaman kurang dari 200 m. Pada siang hari ikan ini membentuk kelompok yang padat pada kedalaman sekitar 70 m. Sebagian besar dari jenis-jenis ikan lemuru yang tertangkap di sebagian perairan Indonesia dan sekitarnya adalah sardinella fimbriata, sardinella gibbosa, sardinella sirm. Khusus di Selat Bali, sardinella yang dominan adalah sardinella longiceps. Pet (1997) menyatakan bahwa, puncak hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Madura dan Selat Bali tercatat mulai awal musim hujan sekitar November dan Desember, sedangkan di Samudera Hindia terjadi pada musim kemarau mulai bulan Juli sampai Oktober. Aktivitas reproduksi ikan Sardinella di Selat Madura terjadi pada bulan November dan Desember, dan diperkirakan mengalami perkembangan sampai mencapai ukuran panjang sekitar 12 cm, 17 cm dan 19 cm masing-masing pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Di sisi lain, Lumban Gaol (2004) menyatakan bahwa lemuru merupakan pemakan plankton, namun hubungan antara fitoplankton dan lemuru di Selat Bali sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data plankton dari hasil pengukuran secara langsung. Namun demikian, citra satelit penginderaan jauh dapat memberikan informasi dan kontribusi tentang hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan kelimpahan lemuru. Pasaribu et al (2004) menyatakan bahwa, eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di lepas pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak tiga puluh tahun terakhir. Alat tangkap (jaring) yang dipergunakan terdiri dari beberapa macam, namun ikan yang didaratkan umumnya dilakukan dengan alat tangkap purse seine. Tangkapan ikan paling tinggi didominasi oleh ikan jenis scads (deapterus spp.), jack mackarel (rastrellin ger spp.) dan sardines (sardinella spp.). Analisis upaya yang didasarkan pada data statistik perikanan Pekalongan (Jawa Tengah) yang merupakan pangkalan perikanan utama dengan alat tangkap purse seine dalam periode tahun 1976 sampai 2000 menunjukkan bahwa, jumlah hasil tangkapan cenderung meningkat sebanding dengan jumlah perahu/kapal motor. Secara hirarkis, ikan pelagis kecil di Laut Jawa dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine besar di wilayah laut lepas, dan ikan pelagis yang tertangkap oleh mini purse seine di perairan dekat pantai. Penyebaran ikan pelagis kecil juga ditemukan di sisi timur dari Selat Makassar dan sekitar Laut Cina Selatan. Patir et al (1995) membagi ikan pelagis kecil menjadi tiga tipe populasi yaitu : (1) Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa selama musim monsun tenggara antara Agustus sampai November. (2) Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun. (3) Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit. 12

30 Ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air laut yang menjadi habitatnya. Penelitian tentang hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar (tongkol dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35 o C. Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006 yakni sebesar 25,64 o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65 o C. Sedangkan berdasarkan kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 Desember 2006, rata-rata kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar mg/m 3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar mg/m3 dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kandungan klorofil-a adalah mg/m Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut oleh berbagai pihak, mendorong adanya kompetisi di antara pelaku penangkapan dan industri perikanan tangkap. Kompetisi ini menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta, disebabkan adanya perbedaan kepentingan masing-masing pihak yang merasa berhak atas suatu wilayah pesisir dan lautan (Dahuri et al., 1996). Konflik perbedaan kepentingan tersebut berakar dari masalah berikut: (1) Pihak yang berkepentingan cenderung menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, dan perencanaan secara sektoral sering berbeda dengan kepentingan pemerintah daerah atau masyarakat setempat, terutama nelayan tradisional yang merupakan obyek dari perencanaan dan pengelolaan tersebut. 13

31 (2) Belum ada pembagian wewenang dan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut. (3) Belum ada instansi tersendiri atau instansi koordinasi yang secara khusus menangani pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. (4) Belum tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya wilayah lautan secara akurat. (5) Lemahnya kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam mengelola sumberdaya lautan secara lestari. (6) Jumlah dan tingkat laju kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan belum ditetapkan atas dasar pertimbangan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan timbulnya dampak negatif suatu sektor pembangunan terhadap sektor lainnya. (7) Pesatnya laju degradasi dan depresi sumberdaya laut, dimana 60% ekosistem telah punah. (8) Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas tentang kawasan (wilayah) pesisir yang menjadi kewenangan setiap provinsi dan juga batas antar negara. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pada dasarnya meliputi kegiatan-kegiatan berikut. (1) Pengumpulan dan analisis data, meliputi seluruh variable atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan, meliputi aspek biologi, produksi dan penangkapan ikan, sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan. (2) Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, meliputi perizinan, waktu serta lokasi penangkapan ikan. (3) Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok, antara kelompok nelayan yang berbeda, antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan. (4) Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang memang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ikan atau kejadiankejadian alam, perlindungan terhadap habitat ikan, serta perlindungan yang diarahkan untuk menjaga kualitas perairan supaya tetap dalam kondisi baik. (5) Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan, sekaligus merupakan umpan balik yang digunakan untuk meningkatkan kualitas hukum dan perundangundangan. (6) Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat ini sedang diimplementasikan. Pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi sumberdaya ikan itu sendiri maupun sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi sumberdaya ikan tersebut. 14

32 Vasconcellos (2003) menyatakan bahwa, ada tiga kriteria yang digunakan dalam pengelolaan ikan sardin di Brazilia, yaitu tangkapan ratarata, bervariasi tangkapan, dan kemungkinan stok mengalami penurunan secara drastis. Kriteria pengelolaan penangkapan ini dipilih karena memberikan gambaran tiga tujuan pengelolaan perikanan yaitu : a. memaksimumkan hasil tangkapan, peningkatan jumlah ikan hasil tangkapan mempunyai dampak lebih banyak ikan untuk industri, lebih banyak peluang keuntungan pada sektor perikanan tangkap, yang berarti membuka lebih banyak lapangan kerja; b. memaksimumkan stabilitas penangkapan : umumnya, ketertarikan terbesar dari perencanaan pengelolaan adalah untuk menjamin stabilitas hasil tangkapan, karena itu perlu memelihara pasokan ikan yang konstan untuk bahan baku industri; dan c. meminimalkan peluang kerugian pada sektor perikanan, ini merupakan tujuan dasar untuk rencana pengelolaan perikanan, dengan mempertimbangkan ekologi, faktor ekonomi dan biaya yang berhubungan dengan kerugian pada sektor perikanan. 2.4 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dahuri (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang antara lain meliputi : (1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya ikan. (2) Potensi lestari maximum sustainable yield (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan. (3) Persyaratan ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan. (4) Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan dimana sumberdaya ikan yang dikelola hidup. (5) Dinamika populasi sumberdaya ikan. (6) Siklus hidup dari sumberdaya ikan. (7) Kualitas perairan dimana sumberdaya ikan hidup. (8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan dalam bentuk upaya tangkap secara time series. Pengelolaan informasi untuk lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemprosesan, penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunanya pada waktu yang diinginkan. Dalam perspektif pembangunan perikanan, suatu lingkungan perairan beserta sumberdaya yang ada didalam-nya secara garis besar dapat dimanfaatkan bagi tiga peruntukkan yaitu : (1) Kegiatan penangkapan. (2) Budidaya perairan. (3) Kawasan perlindungan. 15

33 Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar. Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data penginderaan jauh antara lain terdiri dari : (1) Data daerah potensi penangkapan ikan (fishing ground). (2) Data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu karang, mangrove, dan kualitas perairan. (3) Daerah potensi budidaya laut. Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi ton pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu factor pertama adalah tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru (sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi tentang distribusi ikan lemuru secara geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997). 2.5 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dikembangkan dengan beberapa alasan yaitu: (a) tersedianya sensor baru dengan resolusi spektral dan spasial yang dapat mengamati/mengukur parameter oseanografi dengan lebih teliti; (b) kemudahan dalam mengakses data; (c) kemampuan mengolah dan mendisseminasikan data melalui sistem pengolahan digital; (d) meningkatnya kepedulian dari pengguna dalam memanfaatkan keunggulan dari teknologi penginderaan jauh (Hartuti, 2006). Penggunaan data SPL dan kandungan klorofil-a yang dihitung dengan menggunakan data MODIS yang dihasilkan LAPAN dapat digunakan untuk prediksi zona potensi penangkapan ikan dengan analisis overlay antara citra kantur SPL dengan citra kontur kandungan klorofil-a. Wilayah tumpang tindih antara kontur SPL dan kontur klorofil-a yang merupakan indicator keberadaan ikan, dipredikasi sebagai zona potensi penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian yang dilakukan menujukkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (tembang, kembung, layang dan cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan suhu dalam selang C dan konsentrasi klorofil-a 0,5 2,5 mg/m 3. Di sisi lain, Santos (2000) 16

34 menyatakan bahwa pemahaman tentang interaksi antara lingkungan oseanografi dengan organisme laut masih sangat minim dan sangat sulit untuk meneliti atau mengamati melalui kegiatan eksperimen. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh sangat penting untuk memecahkan masalah perikanan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan oseanografi dengan penyebaran dan kelimpahan sumberdaya ikan (Sumedi, 2009). 17

35 18

36 BAB 3 PEMANFAATAN DATA PENGINDERAAN JAUH UNTUK PERIKANAN TANGKAP Terdapat dua jenis satelit lingkungan dan cuaca yang dapat menghasilkan data parameter oseanografi yang dapat digunakan untuk pengembangan ZPPI yaitu satelit NOAA dan satelit Aqua/Terra. Satelitsatelit tersebut masing-masing membawa sensor AVHRR untuk mendeteksi SPL, sedangkan satelit Aqua/Terra membawa sensor MODIS untuk mendeteksi SPL dan klorofil-a. 3.1 Satelit Lingkungan dan Cuaca seri NOAA Satelit lingkungan dan cuaca NOAA merupakan satelit inderaja berorbit polar sun-synchronous pada ketinggian sekitar km di atas permukaan bumi dengan periode orbit 102 menit, mengelilingi bumi sekitar 14 kali per hari. Satelit NOAA merupakan pengembangan lanjut dari satelit Television Infrared Observation System (TIROS) yang diluncurkan pertama kali pada tanggal 1 April Satelit NOAA dirancang dan dikembangkan dengan serangkaian satelit NOAA-K, L, M, N, P dan NPOESS yang masing-masing diluncurkan pada tahun 1998, 2000, 2002, 2005, 2006 dan Karakteristik beberapa satelit seri NOAA seperti diperlihatkan pada Tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1. Karakteristik dari satelit lingkugan dan cuaca seri NOAA No. Elemen Spesifikasi 1. Waktu peluncuran NOAA-K: 13 Mei NOAA-L: 21 September NOAA-M: 24 Juni NOAA-N: 20 Mei 2005 NPOESS (Proyek Persiapan): 31 Oktober 2006 NOAA-P: Februari Masa operasi Minimum 2 tahun 3. Orbit Sun-synchronous Wahana Satelit ,9 kg pada orbit dan 2.231,7 kg Berat Satelit pada peluncuran 5 Panjang/Diameter 4,18 m / 1,88 m 6 Pengendali ketinggian (Attitude) 3-axis 7 Daya Transfer energi langsung Kecepatan Transmisi Data Real Time 8. TIROS Information Processor 8,32 kilobits per second (kbps) (TIP) 19

37 No. Elemen Spesifikasi 9. High Resolution Picture Transmission (HRPT) 665,4 kbps. 10 Automatic Picture Transmission (APT) Sekitar 2 khz untk citra resolusi medium dari 2 kanal sensor AVHRR. Rate Data - Perekaman 11 Global Area Coverage (GAC) 665,4 kbps. 12 Local Area Coverage (LAC) 665,4 kbps HRPT. 13 Playback 2,66 Megabits per second (mbps) selama operasi normal. Sumber : NOAA (2013). Satelit NOAA selalu bekerja berpasangan, satu satelit NOAA beroperasi dalam lintasan ascending yaitu mengorbit arah utara selatan, sedangkan yang lain melakukan orbit discending yaitu mengorbit dari selatan ke utara. Satelit NOAA-1 yang merupakan satelit seri NOAA yang pertama diluncurkan pada tahun Satelit seri NOAA yang saat ini masih berperasi terdiri dari NOAA-18 dan NOAA-19. Satelit NOAA yang telah menyelesaikan misinya dan yang saat ini sedang mengorbit diperlihatkan pada Tabel 3.2. Tabel 3.2. Seri satelit NOAA, waktu peluncuran, operasional, dan akhir operasinya. No. Nama Satelit Peluncuran Mulai Akhir Operasional Operasional 1. TIROS-N 13-Okt Okt Jan NOAA-6 27-Jun Jun Nov NOAA-7 23-Jun Agt Jun NOAA-8 28-Mar Mei Okt NOAA-9 12-Des Feb Mei NOAA Sep Nov Sep NOAA Agt Nov Sep NOAA Mei Mei Des NOAA Des Des Mei NOAA Mei Mei-1998 Masih operasi 11. NOAA Sep Sep-2000 Masih operasi 12. NOAA Jun Jun-2002 Masih operasi 13. NOAA Mei Agt-2005 Masih operasi 14. NOAA-19 6-Feb Jun-2009 Masih operasi 15 MetOp-A 19-Okt Jun-2007 Masih operasi Sumber : NOAA (2013). Penerus satelit seri NOAA tersebut yaitu satelit NPOESS sudah mengorbit dalam melakukan observasi terhadap permukaan bumi dan atmosfir. Jika memperhatikan karakteristik lintasan satelit NOAA tersebut di atas, maka dalam sehari terdapat 2 satelit yang mengobit di atas wilayah Indonesia seperti terlihat pada Tabel 3.3 berikut. 20

38 Tabel 3.3. Waktu lintasan dan sudut elevasi satelit NOAA-18 dan 19 pada lintasan siang dan malam hari. No. Seri Satelit Waktu NOAA Lintasan Sudut Elevasi Keterangnan 1. NOAA-19 13:20:57 79,0 o Lintasan Siang 2. NOAA-18 14:46:57 51,0 o Hari 3. NOAA-18 16:29:14 10,4 o 5. NOAA-18 01:55:55 16,1 o Lintasan 4. NOAA-19 00:29:39 24,1 o 6. NOAA-19 02:10:11 23,2 o Malam Hari 7. NOAA-18 03:35:18 35,7 o 3.2 Sensor pada Satelit NOAA Satelit seri NOAA generasi awal (dekade 1980) pada umumnya membawa 5 (lima) sensor, 4 (empat) sensor untuk melakukan pengamatan lingkungan dan cuaca sedangkan 1 (satu) sensor untuk fungsi resque. Kelima sensor utama tersebut adalah sebagai berikut: (1) Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR); (2) Tiros Operational Vertical Sounder (TOVS); (3) Data Collection System (DCS); (4) Space Environment Monitor (SEM); dan (5) Search and Resque Satellite System (Sarsat). Sejalan dengan perkembangan teknologi sensor, fenomena alam, dan kebutuhan pengguna data maka sensor yang dibawa oleh satelit NOAA terus dikembangkan. Diantara pengembangan tersebut adalah mengganti sensor TOVS dengan sensor-sensor lain yang lebih baik, sehingga secara umum satelit NOAA dalam menjalankan fungsinya melakukan pengamatan serta pemantauan lingkungan dan cuaca, dilengkapi dengan 9 (sembilan) sensor sebagai berikut. (1) Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR); (2) Data Collection System (DCS); (3) Space Environment Monitor (SEM); (4) Search and Resque Satellite System (Sarsat); (5) High Resolution Infrared Radiation Sounder (HIRS/3 and HIRS/4); (6) Advanced Microwave Sounding Unit-A (AMSU-A); (7) Advanced Microwave Sounding Unit-B (AMSU-B); (8) Solar Backscatter Ultraviolet Spectral Radiometer (SBUV/2); dan (9) Microwave Humidity Sounder (MHS). Sembilan sensor sebagaimana terlihat pada Gambar 3.1 di atas beroperasi secara independen, namun demikian pemanfaatan data yang dihasilkan dapat saling mendukung satu sama lainnya. Dari sembilan sensor tersebut, 2 diantaranya sangat bermanfaat untuk keperluan penelitian kelautan dan pengembangan informasi spasial ZPPI yaitu AVHRR dan DCS yang di laut menggunakan buoys. Data yang dihasilkan 21

39 oleh buoys sangat bermanfaat dalam penelitian untuk meningkatkan akurasi informasi suhu permukaan laut berdasarkan data AVHRR. Oleh karena itulah, pembahasan selanjutnya tentang karakteristik dan fungsi sensor NOAA akan dititik beratkan pada sensor AVHRR dan sedikit pembahasan tentang sensor DCS. Gambar 3.1. Sensor-sensor dan tata letaknya pada satelit NOAA, yaitu AVHRR, DCS, SEM, Sarsat, HIRS-3/6, AMSU-A/B,SBUV/2, dan MHS. (Sumber NOAA, 2013) Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater Sensor Advanced Very High Resolution Radiomater (AVHRR) mempunyai fungsi untuk mendeteksi pantulan gelombang elektromanetik oleh awan, obyek di permukaan bumi, serta gelombang emisi suhu permukaan awan dan permukaan perairan. Sensor AVHRR mempunyai 6 detektor yang bekerja pada kanal radiometer dengan panjang gelombang yang berbeda mulai dari sinar tampak (visible) dan infra merah termal. Sensor AVHRR yang pertama hanya terdiri dari 4 kanal radiometer, dibawa oleh TIROS-N yang diluncurkan pada bulan Oktober Kanal radiometer pada AVHRR kemudian disempurnakan menjadi 5 (lima) kanal radiometer yang dikenal dengan sensor AVHRR/2 dan pertama kali dibawa oleh satelit NOAA-7 yang diluncurkan pada bulan Juni Sensor AVHRR yang terakhir adalah AVHRR/3 dengan 6 (enam) kanal radiometer yang dibawa oleh satelit NOAA-15 yang diluncurkan pada Mei Data yang dihasilkan sensor AVHRR dibagi menjadi 2 jenis yaitu data Local Areal Coverage (LAC) dan Global Area Coverage (GAC). Data AVHRR dari jenis LAC mempunyai resolusi spasial 1,1 km dititik nadir lintasan satelit. Setiap orbit mampu merekam data yang mencakup lebar sapuan daerah pengamatan sekitar 3000 km sedangkan liputan utara selatannya dapat mencapai lebih dari km. Data AVHRR dari masing- 22

40 masing kanal mempunyai karakterisktik tertentu, sehingga potensi pemanfaatan datanya berlainan. Data kanal-kanal 1 dan 2 dapat dimanfaatkan antara lain untuk pemantauan vegetasi. Sementara itu, data kanal infra merah dan infra merah termal (kanal 3, 4, dan 5) dapat digunakan untuk estimasi suhu permukaan darat dan permukaan laut. Karakteristik sensor AVHRR yang terdiri dari panjang gelombang, spectral, dan kegunaannya sebagaimana diperlihatkan pada Tabel Tabel 3.4. Data AVHRR sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam proses estimasi suhu permukaan laut (SPL) secara global dan kontinyu dalam suatu periode pengamatan. Karena resolusi temporalnya sangat tinggi (dua kali setiap hari) maka dapat dilakukan pemetaan suhu permukaan laut dalam periode harian, mingguan atau periode-periode pengamatan lainnya. Dengan tersedianya tiga kanal dalam kisaran spektrum radiasi infra merah dan infra merah termal tersebut dimungkinkan untuk melakukan estimasi SPL menggunakan data multikanal (kombinasi data dari dua atau tiga kanal radiometer). Tabel 3.4. Karakteristik sensor AVHRR/2 yang dibawa oleh satelit NOAA-7, 9, 11, 12 and 14. Nomor Kanal Panjang Gelombang (um) Spektral Kegunaan 1 0,58-0,68 Sinar tampak Pemetaan awan pada siang hari, pemantauan salju dan lapisan es serta cuaca 2 0,72-1,10 Sinar tampak 3 3,55-3,93 Infra merah dekat 4 10,50-11,50 Infra merah termal 5 11,50-12,50 Infra merah termal Sumber: NOAA. Pemantauan perkembangan tumbuh-tumbuhan (indeks vegetasi), deteksi awan dan salju Penentuan awan pada malam hari, pengukuran SPL, membedakan antara daratan dan laut, memantau aktivitas vulkanik, dan monitoring kebakaran hutan Pemetaan awan baik siang maupun malam, pengukuran suhu permukaan laut, dan penelitian air tanah Sama seperti saluran 4 dan merupakan koreksi terhadap data saluran 4 23

41 Tabel di atas menujukkan bahwa sensor AVHRR/2 mempunyai 5 kanal radiometer. Kombinasi kanal 3 dan 4, digunakan untuk mendeteksi panas dan suhu permukaan laut di malam hari. Kombinasi kanal 4 dan 5, untuk pemetaan awan di siang atau malam hari, pengukuran SPL, kelengasan tanah, dan penelitian air tanah. Sensor AVHRR/3 mempunyai 6 kanal radiometer dengan penambahan pada kanal 3 menjadi kanal 3A dank anal 3B, lihat Tabel 3.5 berikut. Dalam operasinya, kanal 3A dan 3B tiidak dioperasikan secara serentak, hanya salah satu saja yang dioperasikan sesuai kebutuhan, sehingga jumlah kanal yang diterima tetap 5 kanal. Tabel 3.5. Karakteristik sensor AVHRR/3 yang dibawa oleh satelit NOAA- 15, 16, 17, 18 and 19. No. Nomor Kanal Resolusi pada Nadir Panjang Gelombang (um) Kegunaan 1 1 1,09 km 0,58-0,68 Pemetaan awan dan permukaan di siang hari ,09 km 0,725-1,00 Pemetaan awan dan permukaan di siang hari, serta batas daratan dan air. 3 3A 1,09 km 1,58-1,64 Deteksi es dan salju. 4 3B 1,09 km 3,55-3,93 Pemetaan awan di malam hari, suhu permukaan ,09 km 10,30-11,30 Pemetaan awan malam hari dan suhu permukaan laut ,09 km 11,50-12,50 Pemetaan awan malam hari dan Suhu permukaan laut. Sumber: NOAA (2013). Sensor NOAA-AVHRR melakukan scanning secara serentak dengan frekuensi 40 khz, dan dikonversi menjadi 10 bit data biner dengan jumlah sampling sebanyak 2048 sampel yang selanjutnya dikenal dengan nama pixel (picture element) dan setiap pixel dikuantifikasi dalam bentuk data biner 10 bit. Dengan kata lain, sensor AVHRR melakukan pengamatan terhadap muka bumi arah barat-timur sebanyak 2048 sampel. Sementara itu, sensor NOAA-AVHRR seri sebelumnya menghasilkan data dalam bentuk biner 8 bit. Dalam kegiatan pengolahan data sehari-hari khususnya dalam analisis visual, jumlah digit dari bilangan biner dinyatakan sebagai tingkat keabuan. Jika setiap pixel dikuantifikasi menjadi 8 digit data, berarti setiap 24

42 pixel data mempunyai nilai antara 0 sampai dengan atau 255, yang sehari-hari desebut dengan istilah 256 tingkat keabuan (grey scale). Jika dibuat citra komposit 3 kanal data, akan dihasilkan citra dengan tingkatan warna 256 x 256 x 256 = atau yang dikenal dengan istilah 16 juta warna. Jika data NOAA-AVHRR yang setiap pixel mempunyai nilai biner 10 digit, berarti setiap pixel dari 1 kanal data mempunyai nilai 0 sampai dengan atau 1023, yang sehari-hari disebut dengan istilah 1024 tingkat keabuan (grey scale). Jika 3 kanal data NOAA-AVHRR 10 bit dibentuk menjadi warna komposit, tidak berarti menghasilkan citra dengan tingkatan warna 1024 x 1024 x 1024 = atau 1 miliar tingkat warna, tetapi tetap menghasilkan citra warna komposit 16 juta warna. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sistem visualisasi pada komputer dan kemampuan mata manusia membedakan tingkatan dan jenis warna. Disamping data hasil observasi oleh sensor AVHRR, pada setiap data yang dikirim ke stasiun bumi terdapat header data. Pada header data AVHRR yang diterima dari satelit NOAA juga terdapat data gain dan intercept yang sangat bermanfaat pada proses pengolahan awal data, yaitu pada saat melakukan konversi dari nilai pixel menjadi nilai irradians. Sensor AVHRR kanal 1,2, dan 3A sinar tampak 10 bit mempunyai dua Gain dan Intercept, seperti diperlihatkan pada Table 3.6 berikut. Table 3.6. Nilai gain and intercept data AVHRR/3 kanal sinar tampak. NOAA Gain Intercept 1, % A 12,5% 12,6-100% Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa dalam 1 lintasan satelit NOAA-AVHRR dapat dicakup daerah pengamatan sekitar 3.000km barattimur dan lebih dari km utara selatan. Gambaran luas liputan pengamatan sensor AVHRR tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 3.3. Namun demikian, untuk keperluan pengolahan data, dilakukan pemotongan untuk cakupan wilayah Indonesia saja, seperti diperlihatkan pada Gambar 3.4. Gambar 3.3 memperlihatkan bahwa 1 lintasan satelit NOAA mampu meliput wilayah Nusa Tenggara Barat, Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, sebagian Pulau Sumatera, sebagian Australia, Semanjung Malaka dan Indochina. Citra tersebut sekaligus membuktika bahwa dalam satu lintasan satelit NOAA-AVHRR mampu mencakup daerah pengamatan utara-selatan mulai dari Indochina sampai dengan Austrlia, sedangkan barat-timurnya mulai bagian timur dari Pulau Sumarera sampai sebelah timur Pulau Sulawesi. Citra sinar tampak kanal 1 dan kanal 2 menunjukkan kenampakan yang baik, kontras antara daratan dan perairan laut cukup tajam, walaupun 25

43 pada beberapa tempat tertutup oleh awan. Namun demikian, terdapat warna cerah yang membentang utara selatan di atas wilayah Kalimantan barat sampai wilayah Jawah Timur dan Nusa Tenggara Barat, diduga sebagai sunglint. Dampak dari sunglint ini kurang menguntungkan karena pada wilayah-wilayah yang terkena dampak sunglint tersebut tidak dapat diolah untuk memperoleh informasi khususnya SPL Sensor Data Collection System Sensor Data Collection System (DCS) juga dikenal sebagai ARGOS berfungsi mengumpulkan data dari transmitter platform yang berlokasi di daratan atau di lautan melalui frekuensi Ultra High Frequency (UHF). Program ARGOS dilaksanakan dibawah kesepakan kerjasama antara NOAA dan Centre National d'etudes Spatiales (CNES) yaitu Lembaga Antariksa Perancis. Sistem terdiri dari platform data in-situ yang dilengkapi dengan sensor dan transmitter (pemancar frekuensi) dan peralatan ARGOS (DCS) pada satelit NOAA-KLM, N, dan N. Data hasil pengukuran oleh platform (DCP) ditransmisikan ke satelit NOAA, kemudian dikirim ke pusat data lingkungan global di Collecte Localisation Satellites (CLS) di Toulouse Perancis melalui sistem Doppler shift calculations. Setelah data diproses di CLS, selanjutnya data dikirim kembali ke stasiun bersangkutan melalui sistem satelit NOAA. Pengamatan dan transmisi data menggunakan sistem ARGOS ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan yang bersifat dinamis (posisi berpindah-pindah) seperti monitoring drifting ocean buoys dan migrasi fauna. Karena sistem ARGOS ditempatkan pada satelit yang mempunyai orbit polar NOAA, sehingga mampu melacak platforms bergerak di manapun di seluruh dunia dengan ketelitian mencapai 150 meter, misalnya buoy di lautan, kapal penangkap ikan, pengamat curah hujan, srigala, bahkan burung. DCS/2 merupakan sistem pengamatan/pemantauan lingkungan dan sebagai pendukung NOAA dalam pelaksanaan program penelitian atmosfir global atau Global Atmospheric Research Program (GARP), memiliki sekitar platform yang tersebar di permukaan bumi dan lautan. Platform yang di darat dikenal dengan Data Collection Platform (DCP) digunakan untuk mengamati curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, arah dan kecepatan angin. Platform yang di lautan dikenal dengan BUOY antara lain mengamati suhu air, arah dan kecepatan angin dan arus laut, sedangkan yang di udara menggunakan balon udara khususnya untuk melakukan pengukuran parameter lingkungan di atmosfir. DCS/2 menerima data dari platform yang tetap (di darat) dan platform bergerak seperti yang terpasang di kapal laut atau balon udara, mengolah dan mengirimkan parameter lingkungan yang dihasilkan ke sistem perekaman pada wahana satelit. Rekaman data tersebut ditransmisikan ke stasiun bumi NOAA selama berkomunikasi dengan satelit 26

44 NOAA. Pembuatan Sistem DCS/2, rancang bangun, dan distribuai datanya dilakukan oleh CNES Prancis. NOAA-N membawa sistem DCS/2 yang dikembangkan dan selanjutnya disebut dengan peralatan Advanced Data Collection System (A-DCS), memungkinkan peralatan seperti buoys, balon udara, dan stasiun pengamat cuaca pada remote area (daerah terpencil) melakukan pengukuran parameter lingkungan dan cuaca, mengirimkannya melalui satelit, yang selanjutnya meneruskan data tersebut ke stasiun bumi NOAA yang telah melakukan kerjasama melalui sistem dan prosedur yang umum digunakan dalam DCS. Indonesia dengan wilayah perairan laut yang sangat luas sejauh ini telah memanfaatkan sistem DCS ini walaupun masih dalam lingkup dan jumlah pengguna yang terbatas. Penggunaan yang pertama yaitu, untuk buoy pengamat parameter oseanografi yang ditempatkan di beberapa lokasi di perairan laut Indonesia. (a) (b) (c) Gambar 3.2. Sistem penerima data NOAA-AVHRR yang dioperasikan di Lapan Pekayon, antara lain meliputi sistem antena (Gambar 3.2.a), sistem pengendali antena (Gambar 3.2.b), sistem penerima dan pengolahan data (Gambar 3.2.c). 27

45 Gambar 3.3. Contoh citra yang dihasilkan sensor AVHRR kanal visibel, diterima oleh stasiun bumi satelit lingkungan dan cuaca LAPAN di Pekayon Jakarta Timur tanggal 19 April Orientasi gambar memperlihatkan Citra NOAA-AVHRR yang masih belum dilakukan koreksi geometrik sehingga bentuk pulau-pulaunya tidak sebagaimana mestinya. 28

46 (a) Citra AVHRR kanal-1 visibel-1 (b) Citra AVHRR kanal-2 visibel-2 (c) Citra AVHRR kanal-3 infra merah dekat (d) (e) (f) Citra AVHRR kanal-4 infra merah termal -1 Citra AVHRR kanal-5 infra merah termal - 2 Citra AVHRR Komposit RGB kanal 321 Gambar 3.4 Perbandingan kenampakan citra yang dihasilkan sensor AVHRR, kanal visible-1 (a), viisibel-2 (b), infra merah dekat (c), infra merah termal -1 (d), dan infra merah termal - 2 (e), dan Citra komposit RGB yang dibentuk oleh citra AVHRR kanal 3, 2, dan 1 (f). 3.3 Satelit Terra/Aqua (MODIS) Data MODIS dihasilkan oleh sensor-sensor pada satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra (EOS AM-1), diluncurkan pada tanggal 18 Desember 1999, sedangkan satelit Aqua (EOS PM-1) diluncurkan pada tanggal 4 Mei MODIS merekam hampir seluruh permukaan bumi setiap hari, untuk memperoleh data dalam 36 kanal dengan km swath (lebar cakupan sensor). Satelit Terra mengelilingi bumi dari utara ke selatan melewati 29

47 equator pada pagi hari sedangkan satelit Aqua mengelilingi bumi dari selatan ke utara melewati ekuator pada sore hari. Kedua satelit ini merekam permukaan bumi sebanyak 4 kali dalam sehari, yaitu 2 kali pada pagi hari dan 2 kali pada malam hari (Ichoku et al., 2004). Data MODIS dapat digunakan unyuk meningkatkan pemahaman tentang proses dan dinamika global yang terjadi di daratan, di samudera, dan atmosfer yang lebih rendah. Sensor MODIS dapat mengamati temperatur permukaan samudera dan daratan, tutupan permukaan daratan, awan, aerosol, uap air, profil temperatur, dan titik api. Kelebihan sensor MODIS dibandingkan dengan sensor global lainnya adalah dalam hal resolusi spasial, yang terdiri dari 250 m, 500 m dan 1 km. Kelebihan lainnya berupa kalibrasi radiometrik, spasial, dan spektral dilakukan pada waktu mengorbit. Dikarenakan resolusi spasialnya, citra satelit MODIS hanya mampu menghasilkan informasi dengan skala global (1: sampai dengan 1: ). Dari data MODIS dapat diekstrak parameter SPL dan klorofil-a. Tabel 3.7. Karakteristik Satelit Terra/Aqua Elemen Orbit Kecepatan peliputan Lebar cakupan Teleskop Ukuran Berat Energi Kecepatan Data Karakteristik Ketinggian orbit 705 km, waktu melintas puul 10:30 dengan orbit dari selatan ke utara (Terra) atau pukul 13:30 dengan orbit dari selatan ke utara (Aqua). 20,3 rpm, cross track km 17,78 cm (diameter) 1,0 x 1,6 x 1,0 m 228,7 kg 162,5 W (Liputan satu orbit) 10,6 Mbps (pada tengah hari); 6,1 Mbps (rata-rata per orbit) Kuantisasi Data 12 bits Resolusi Spasial 250 m (kanal 1-2) 500 m (kanal 3-7) m (kanal 8-36) Masa Operasi 6 tahun 30

48 Tabel 3.8. Karakteristik Spektral Sensor MODIS Terra/Aqua Penggunaan Utama Kanal Lebar Spektrum Spektral Radian Batas-batas daratan, ,8 awan, dan uap air ,7 Karakteristik daratan, awan, dan uap air Warna air laut, fitoplankton, dan biologi-geologi-kimia (biogeochemistry) Uap air atmosfir Suhu permukaan dan awan Suhu atmosfir , , , , , , , , , , , , , , , , , ,45 (300K) ,38 (335K) ,67(300K) ,79 (300K) ,17(250K) (275K) ,00 Uap air awan cirus ,16 (240K) ,18 (250K) Karakteristik awan ,58 (300K) Ozon ,69 (250K) Suhu permukaan, dan ,55 (300K) awan ,94 (300K) Ketinggian puncak awan ,52 (260K) ,76 (250K) ,11 (240K) ,08 (220K) Keterangan: Panjang gelombang kanal 1-19 dalam nm, kanal dalam µm, dan nilai spektral radian (W/M 2 -µm-sr) 31

49 (a) (b) Gambar 3.5. Sistem penerima data yang dioperasikan di Balai Penginderaan Jauh LAPAN di Parepare- Sulawesi Selatan antara lain meliputi sistem antena yang salah satu kemampuannya dapat menerima data MODIS dari satelit penginderaan jauh Terra/Aqua (a), dan sistem pengolahan data MODIS (b). Gambar 3.6 Citra MODSI hasil akuisisi sistem penerima data satelit Terra/Aqua di Balai Penginderaan Jauh LAPAN di Pare-pare Sulawesi Selatan pada tangggal 27 Februari

50 BAB 4 EKSTRAKSI PARAMETER SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A Suhu permukaan laut (SPL) atau Sea Surface Temperature (SST) dan klorofil-a mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sumberdaya ikan termasuk ikan pelagis (ikan permukaan). Namun demikian, tidak mudah mengamati kondisi sebaran SPL dan klorofil-a perairan laut Indonesia yang sangat luas dan dinamis, ditambah lagi dengan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Pemanfaatan data satelit lingkungan dan cuaca NOAA-AVHRR merupakan alternatif yang sangat baik untuk estimasi SPL, sementara data MODIS dari satelit Aqua/Terra sangat besar manfaatnya untuk estimasi SPL dan kandungan klorofil-a. Pemanfaatan data NOAA-AVRR dan MODIS untuk pengamatan SPL dan kandungan klorofil-a memberikan banyak keuntungan dibandingkan pengamatan secara konvensional. Keuntungannya antara lain, mencakup wilayah perairan yang luas, repetitive atau pengulangan waktu pengamatan pada tingkat harian, dan near-real time dengan resolusi spasial yang memadai yaitu 1,1 km. Penggunaan data NOAA-AVHRR dan MODIS untuk pengamatan SPL perairan laut yang luas, memberikan keuntungan besar karena pengamatan dapat dilakukan secara sinoptik dengan pengulangan yang tinggi yaitu 4 kali per hari. Sejauh ini terdapat beberapa algoritma untuk perhitungan SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR multikanal, antara lain algoritma yang dikembangkan oleh McClain (1981), Strong and McClain (1984), dan Singh (1984). Algoritma-algoritma tersebut dapat diterapkan di perairan laut Indonesia, namun harus dilakukan verifikasi dan validasi karena algoritma tersebut kebanyakan dikembangkan pada perairan laut di wilayah subtropis. Sejauh ini telah dilakukan beberapa penelitian perhitungan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR di perairan laut Indonesia, sehingga dapat diperoleh algoritma perhitungan SPL yang dinilai paling mendekati kondisi sebenarnya. 4.1 Koreksi Geometrik data NOAA-AVHRR Perhitungan SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR dilakukan melalui beberapa tahapan dengan menggunakan beberapa rumus. Perhitungan SPL dimulai dengan koreksi radiometrik dan koreksi geometrik data NOAA- AVHRR yang diterima dari satelit NOAA. Hal ini dilakukan karena data yang diterima dari satelit NOAA masih dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kelengkungan bumi, sudut pandang sensor, dan rotasi bumi. Koreksi data NOAA-AVHRR dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, antara lain adalah sebagai berikut: (1) Menggunakan ground control points, koreksi geometrik dengan acuan titik-titik kontrol yang diamati di lapangan menggunakan GPS. 33

51 (2) Menggunakan map control point, koreksi geometrik dilakukan dengan acuan titik-titk control yang ditentukan menggunakan peta dasar. (3) Menggunakan titik-titik pada citra yang sudah terkoreksi secara presisi sebagai acuan terhadap citra yang akan dikoreksi. Sebagai contoh, dilakukan koreksi geometrik terhadap citra NOAA- AVHRR hasil akuisisi tanggal 6 Mei 2013 yang mencakup utara-selatan mulai wilayah Indochina sampai dengan Australia bagian utara, sedangkan barat-timurnya mencakup wilayah dari sebelah barat Aceh sampai dengan Nusa Tengga Timur. Citra tersebut belum dilakukan koreksi sehingga bentangan Pulau Jawa sampai Nusa Tenggara Timur yang pada sisi baratnya agak ke utara sedangkan sisi timurnya agak ke selatan. Dalam proses ini dilakukan koreksi geometrik menggunakan titik kontrol peta laut skala 1: yang sudah direktifikasi. Peta tersebut merupakan registrasi antara peta laut buatan Dishidros dengan citra Landat-TM yang diberi nama Indopul, yang digunakan sebagai peta acuan (referensi) dari citra NOAA-AVHRR yang akan dikoreksi, sebagaimana Tabel 4.1. Tabel 4.1. Posisi pixel pada sumbu X dan Y dalam citra NOAA sebelum koreksi geometrik dan titik koordinat posisi berdasarkan peta acuan, serta RMS berdasarkan hasil proses koreksi geometrik. NO Posisi Pixel Pada Titik Koordinat Pada Sumbu X dan Y dalam Citra Peta Acuan RMS Sumbu-X Sumbu-Y Bujur Lintang , ,97 120,45 E -10,23 N 0, , ,30 119,61 E 00,01 N 0, , ,01 108,48 E -07,81 N 0, , ,98 108,85 E 00,79 N 0, , ,37 124,41 E -10,17 N 0, , ,34 121,81 E 00,41 0, , ,50 99,99 E -2,50 N 0, , ,13 114,62 E -4,16 N 0, , ,17 103,77 E -0,31 N 0, , ,86 113,46 E -8,62 N , ,45 117,14 E -9,09 N 0,93 Gambar 4.1 memperlihatkan citra NOAA-AVHRR yang diterima oleh stasiun bumi NOAA-AVHRR di Lapan. Untuk memudahkan dan mempercepat dalam proses pengolahan data, proses koreksi geometrik hanya dilakukan untuk wilayah tertentu saja, sesuai dengan wilayah yang 34

52 akan dijadikan objek kegiatan. Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa garis pantai dari citra yang akan diolah tidak berimpit dengan garis pantai dari peta acuan. Gambar 4.3 memperlihatkan garis pantai pada citra berhimpit dengan garis pantai dari peta indopul yang dijadikan acuan dalam koreksi geometrik sebagai bukti bahwa hasil koreksi geometrik sudah sesuai dengan posisi lokasi peta referensi. Gambar 4.1. Citra NOAA-AVHRR kanal 2 (visibel) hasil akuisisi tanggal 6 Mei 2013 sebelum dilakukan koreksi geometrik. Pada citra nampak bahwa 1 liputan NOAA-AVHRR utara-selatannya mencakup wilayah mulai dari daratan indochina bagian selatan sampai Australia bagian utara, sedangkan barat timurnya mencakup wilayah mulai sebalah barat Aceh sampai sebelah timur Sulawesi. 35

53 Gambar 4.2. Citra NOAA-AVHRR hasil koreksi geometrik sistematik tetapi belum dilakukan koreksi geometrik berdasarkan titik kontrol. Gambar 4.3. Citra NOAA-AVHRR sesudah dilakukan koreksi geometrik dengan menggunakan titik kontrol berdasarkan peta acuan. 36

54 4.2 Ekstraksi Parameter SPL Berdasarkan Data NOAA-AVHRR Setelah citra dikoreksi secara radiometrik dan geometrik dengan baik, langkah selanjutnya adalah melakukan perhitungan SPL. Perhitungan SPL menggunakan data satelit inderaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kalibrasi sensor, koreksi atmosfer, prosedur dan metoda pengolahan data, dan interaksi antara permukaan laut dengan lapisan atmosfer di atas permukaan laut. Interaksi antara lapisan atmosfer bagian bawah dengan permukaan laut terjadi melalui proses interaksi radiasi sinar matahari dengan proses pelepasan energi panas oleh permukaan laut pada saat terjadi proses penguapan air. Kedua proses tersebut sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan laut (McClain, 1985). Di sisi lain Callison, et al., (1989) menyatakan bahwa proses yang berpengaruh pada proses ekstraksi suhu permukaan laut menggunakan data satelit inderaja, meliputi proses-proses fisis pada lapisan atmosfer, pengolahan data, proses kalibrasi dan konversi, serta faktor koreksi atmosfer. Sejauh ini terdapat beberapa metode penentuan suhu permukaan laut berdasarkan data NOAA-AVHRR. Salah satu dari beberapa metode tersebut adalah penentuan suhu permukaan laut menggunakan data dari 3 kanal radiometer NOAA-AVHRR (multi kanal) yaitu kanal 3, 4, dan 5, atau kombinasi data dari dua kanal saja yaitu data kanal 4 dan 5 yang dikenal juga dikenal dengan istilah metoda split-window (McClain, 1981). Tahap pertama dalam perhitungan SPL berdasarkan data NOAA- AVHRR adalah melakukan konversi terhadap setiap pixel data NOAA- AVHRR menjadi nilai radian sesuai dengan yang diterima oleh sensor NOAA-AVHR, dengan rumus berikut. L n = S n C n + I n.. 3.1) dengan L n : nilai radian setiap kanal radiometer; S n : Koefisien slope; C n : radiometer count atau digital count setiap pixel; I n : koefisien intercept; dan n menyatakan nomor kanal masing-masing untuk kanal 4 dan kanal 5. Selanjutnya dilakukan perhitungan temperatur kecerahan air laut (brighness temperature) dinyatakan dengan TB n untuk masing-masing kanal (kanal 4 dan 5) berdasarkan nilai radiant L n masing-masing dari kanal 4 dan kanal 5, dengan rumus sebagai berikut. TB n = b [ln( L ) a] n ) dengan : TB n : Temperatur kecerahan air laut masing-masing kanal 4 dan kanal 5, sedangkan a dan b adalah nilai konstata yang ditentukan berdasarkan panjang gelombang kanal 4 dan kanal 5. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan kanal 5 dinyatakan dengan Tabel 4.2 berikut. 37

55 Tabel 4.2. Nilai konstanta a dan b untuk kanal 4 dan 5 sensor AVHRR Kanal Radimeter Sensor NOAA-AVHR Nilai Konstanta a Nilai Konstanta b Kanal 4 9, ,375 Kanal ,813 Setelah diperoleh nilai suhu kecerahan air laut masing-masing untuk kanal 4 dan kanal 5, selanjutnya dilakukan perhitungan suhu air laut (sea water temperature) yang didasarkan pada nilai suhu kecerahan air laut (TB n ) untuk masing-masing kanal radiometer dengan memasukkan nilai koreksi emisivitas air laut (e) yang nilainya 0,98. Perhitungan temperatur air laut (TW n) masing-masing kanal dilakukan dengan mempergunakan persamaan sebagai berikut. C2Yn TW n = ) C2Yn ln[1 e + eexp( )] TB n dimana : C 2 : konstanta radiasi sinar matahari dengan nilai 1, cmk; Y n : central wave number kanal infra merah jauh sensor AVHRR; Nilai Y n untuk kanal 4 dan kanal 5 masing-masing adalah 927,73cm dan 938,55cm. Sebagai tahap akhir dari proses ini adalah perhitungan SPL menggunakan algoritma yang dinilai paling tepat atau paling sesuai untuk perairan laut Indonesia. Harsanugraha (1992) menyatakan bahwa sejauh ini terdapat 8 algoritma perhitungan SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang sering dipergunakan yaitu sebagai berikut. (1) Metode perhitungan SPL yang dikembangkan oleh Deschamps dan Phulpin (1980) dalam Pellegrini (1986). SPL = TW 4 + 2,1 (TW 4 - TW 5 ) 1,28-273, ) (2) Metode perhitungan SPL berdasarkan McClain (1981). SPL = TW 4 + 2,93 (TW 4 - TW 5 ) 0,76 273, ) (3) Metode perhitungan SPL berdasarkan McMillin and Crosby (1984, dalam Pellegrini, et al., 1986). SPL = TW 4 + 2,702 (TW 4 TW 5 ) 0, , ) (4) Metode perhitungan SPL berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Singh (1984). SPL = 1,699TW 4-0,24-273, ) 38

56 (5) Metode perhitungan SPL berdasarkan metode yang dikembangkan oleh Strong and McClain (1984). SPL = 1,0346 TW 4 + 2,55 (TW 4 - TW 5 ) + 0,21-273, ) (6) Metode perhitungan SPL berdasarkan metoda yang dikembangkan oleh Callison, et al. (1989). SPL = 1,0351 TW 4 + 3,046 (TW 4 - TW 5 ) 0,93-273, ) (7) Metode perhitungan SPL berdasarkan metoda yang dikembangkan Maul (1983, dalam Pellegrini, et al., 1986). SPL = TW 4 + 3,35 (TW 4 - TW 5 ) + 0,32-273, ) (8) Metode perhitungan SPL berdasarkan metoda yang dikembangkan oleh McClain, et al. (1983). SPL = 1, 035 TW 4 + 3,046 (TW 4 - TW 5 ) 0, , ) dimana : SPL = Suhu Permukaan Laut dalam derajad Celcius; TW 4 dan TW 5 adalah suhu air laut berdasarkan data kanal 4 dan kanal 5 NOAA- AVHRR. Harsanugraha (1992), melakukan estimasi suhu permukaan laut dengan studi kasus di Selat Makassar. Estimasi suhu maksimum (TMAX), suhu minimum (TMIN), suhu tengah-tengah (TTT), dan simpangan baku/deviasi standar (SB) dilakukan terhadap 850 pixel data AVHRR pada daerah nadir, dengan hasil sebagaimana Tabel 4.3 berikut. Tabel 4.3. SPL maksimum, minimum, dan suhu tengah-tengah berdasarkan masing-masing rumus perolehan suhu permukaan laut. No Metode Parameter Suhu (dalam o C) TMAX TMIN NTT SB 1 Deschamps dan Phulpin 29,26 26,68 28,05 0,42 2 McClain (1981) 31,74 28,48 30,22 0,52 3 McMillin and Crosby 31,38 28,31 29,95 0,49 4 Singh 26,98 25,57 26,30 0,29 5 Strong and McClain 42,21 39,21 40,81 0,48 6 Callison 32,33 28,94 30,75 0,54 7 Maul 33,82 30,21 32,14 0,58 8 McClain (1983) 41,92 38,54 40,35 0,54 Sumber: Harsanugraha (1992), 39

57 Penelitian yang dilakukan Harsanugraha (1992) menyatakan bahwa penerapan delapan metoda perhitungan SST menunjukkan adanya variasi TMAX, TMIN, NTT antar metode yang besar, namun demikian menunjukkan distribusi/sebaran nilai SPL yang serupa. Besarnya deviasi standar (simpangan baku) hasil perhitungan SPL dari keenam metode pada daerah penelitian untuk TMAX, TMIN, dan NTT mencapai 5,46 o C. Besarnya deviasi standar kemungkinan terjadi karena penggunaan faktor nilai-nilai konstanta pada masing-masing algoritma yang kurang tepat. Namun demikian, besarnya deviasi standar tersebut dapat juga disebabkan oleh pengaruh atmosfir terhadap radiansi gelombang elektromanetik yang diterima oleh sensor sateli NOAA-AVHRR. Kondisi ini merupakan indikasi nyata dampak atmosfir terhadap data yang diterima dari satelit, sekaligus menunjukkan bahwa proses koreksi radiometrik mutlak harus dilakukan dalam proses awal untuk perhitungan SPL. Selanjutnya Harsanugraha (1992) menyimpulkan bahwa perhitungan SPL menggunakan delapan algoritma multikanal memperoleh nilai yang berbeda-beda. Perbedaan nilai perhitungan SPL masing-masing metoda menunjukkan nilai cukup besar, namun demikian menunjukkan pola sebaran yang serupa. Kondisi ini memberikan pengertian juga bahwa perhitungan SPL masing-masing metode dapat memberikan nilai absolut yang berbeda, namun dapat memberikan gambaran pola sebaran yang serupa. Hasil penelitian estimasi nilai SPL menggunaan data NOAA- AVHRR untuk perairan Selat Makassar berdasarkan metode Deschamps dan Phulpin (1980) menghasilkan nilai yang lebih mendekati nilai sebenarnya dibandingkan metode lainnya. Hasil penelitian ini juga memberikan indikasi bahwa penggunaan suatu model untuk perhitungan SPL pada suatu perairan harus diawali dengan penentuan dan pengujian kelayakan model yang akan dipergunakan. Dengan memperhatikan uraian diatas, perhitungan SPL dari data NOAA-AVHRR kanal 4 dan 5 yang biasa atau paling banyak digunakan adalah berdasarkan algoritma McMillin dan Crosby (1984), sebagai berikut: SPL = Tb 4 + 2,702 (Tb 4 Tb 5 ) 0, ,0... (3.12) dengan: SPL : Suhu Permukaan Laut dalam satuan derajat Celcius ( C); Tb 4 dan Tb 5 : Suhu Kecerahan masing-masing untuk Kanal 4 dan Kanal 5. Data NOAA-AVHRR yang digunakan adalah level 1b, dengan tahapan proses pengolahan data NOAA-AVHRR sebagaimana dipelihatkan pada diagram alir Gambar

58 Mulai Data NOAA-AVHRR Level 1b Koreksi Geometrik Sistematik (Proses Registrasi) Export menjadi file yang kompatibel dengan perangkat lunak yang digunakan Koreksi Geometrik Berdasarkan Peta Acuan Indonesia Perhitungan SPL menggunakan algoritma McMillin dan Crosby Pembuatan layout data SPL sesuai dengan format yang ditentukan Selesai Gambar 4.4. Diagram Alir Pengolahan Data NOAA-AVHRR untuk mendapatkan nilai SPL. 41

59 Gambar 4.5. Data AVHRR kanal 4 dari NOAA-18 hasil akuisisi tanggal 15 Agustus Gambar 4.6 Data AVHRR kanal 5 dari NOAA-18 hasil akuisisi tanggal 15 Agustus Gambar 4.7. Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) yang diekstraksi dar data AVHRR kanal 4 dan 5 dari NOAA-18 tanggal 15 Agustus 2013 menggunakan algoritma McMillin and Crosby. 42

60 4.3 Ekstraksi Parameter SPL Menggunakan Data MODIS Data MODIS (Terra/Aqua) yang digunakan sebagai data masukan untuk ekstraksi informasi SPL adalah data MODIS level 2, yang sudah merupakan informasi SPL. Tahapan proses pengolahan selanjutnya disajikan pada Gambar 4.8. Penentuan SPL dari data MODIS Terra/Aqua kanal 31 dan 32 dilakukan dengan menggunakan metode Brown dan Minnet (1999), dengan algoritma sebagai berikut. SPL = k 1 + k 2 x Tb 31 + k 3 x (Tb 31 Tb 32 ) x BSPL + k 4 x (Tb 31 Tb 32 ) x (1/cos (θ) 1) ) dimana, Tb 31 dan Tb 32 : suhu kecerahan masing=masing untuk kanal 31 dan 32; BSPL : suhu kecerahan kanal 20; θ : sudut zenith satelit; k1 = 1,152; k2 = 0,96; k3 = 0,151; dan k4 = 2,021. Mulai Data MODIS Terra/Aqua Level 2 Koreksi Geometrik Sistematik (Map Registrasi) Export menjadi file yang kompatibel dengan perangkat lunak yang digunakan Pemisahan kelas awan, darat, dan laut (perairan laut) Perhitungan SPL menggunakan algoritma Brown dan Minnet Klasifikasi Data SPL berdasarkan interval SPL yang ditetapkan Pembuatan layout data SPL sesuai dengan format yang ditentukan Selesai Gambar 4.8. Diagram Alir Pengolahan Data MODIS dari satelit Terra/Aqua untuk mendapatkan nilai SPL. 43

61 Gambar 4.9. Citra sebaran Suhu Permukaan Laut berdasarkan data MODIS hasil akuisisi tanggal 15 Agustus Ekstraksi Parameter Klorofil-a Menggunakan Data MODIS Data klorofil-a sebagai indikator kesuburan perairan diperoleh dari internet karena di Indonesia belum ada sistem yang mampu menerima data dari satelit SeaWiFS secara langsung. Data SeaWiFS yang di download dari internet dan digunakan adalah data dengan waktu yang berkorelasi dengan data NOAA-AVHRR yang digunakan. Karena data yang di download dari internet bersifat global yaitu dalam area yang luas maka dilakukan cropping hanya pada daerah penelitian, sehingga dapat diperoleh citra sesuai dengan liputan dan skala citra untuk daerah penelitian. Nilai kandungan klorofil-a pada citra dibaca dengan cara membandingkan warna pada citra dengan warna pada legenda yang menyatakan konsentrasi klorofil dengan interval dari 0,1 5,0 mg/m 3. Pengamatan konsentrasi klorofil-a di perairan laut dilakukan dengan cermat terutama untuk area perairan di wilayah pesisir. Hal ini sangat perlu untuk mencegah kerancuan antara kandungan klorofil-a yang dijadikan indikator tingginya kesuburan perairan dengan kekeruhan. Dalam penelitian ini, perolehan data klorofil-a lebih dititik beratkan yang diperoleh dari data MODIS. Data MODIS yang digunakan sebagai data masukan adalah data MODIS level 2, yang sudah merupakan informasi klorofil-a. Perhitungan konsentrasi klorofil-a menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Carder et al. (2003), sebagai berikut. Log(chl a) = c 0 + c 1 x log (r 35 ) + c 2 x (log (r 35 )) 2 + c 3 x (log (r 35 )) ) dengan: R 35 : ref(488)/ref(551); ref(488) : reflektansi kanal 10; ref(551) : reflektansi kanal 12; c 0 = 0,2818; c 1 = -2,783; c 2 = 1,863; dan c 3 = 2,

62 Mulai Data MODIS Terra / Aqua Level 2 (CHL) Koreksi Geometrik Sistematik (Map Registrasi) Pemisahan kelas awan, darat, dan laut (perairan laut) Perhitungan sebaran SPL menggunakan algoritma Carder et al Klasifikasi Sebaran Klorofil berdasarkan interval yang ditetapkan Pembuatan layout data Klorofil sesuai dengan format yang ditentukan Selesai Gambar Diagram Alir Pengolahan Data MODIS untuk ekstraksi parameter Klorofil-a. Gambar Citra sebaran klorofil-a yang diturunkan dari data MODIS menggunakan algoritma yang dikembangkan oleh Carder. 45

63 46

64 BAB 5 INFORMASI SPASIAL ZPPI DAN PERKEMBANGANNYA 5.1 Tahapan Pengolahan Data Informasi spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) yang dikembangkan menggunakan 2 parameter utama yaitu SPL dari data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR dan kandungan klorofil-a, namun dalam perkembangannya secara operasional lebih ditentukan oleh SPL saja. Dari sebaran suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a perairan diperoleh data tentang beberapa fenomena oseanografi khususnya fenomena thermal front yang berkaitan erat dengan fishing ground. Untuk membuat informasi spasial ZPPI, pertama-tama dilakukan pemetaan SPL menggunakan data NOAA-AVHRR untuk mendeteksi adanya fenomena thermal fronts, dan eddies yang diindikasikan sebagai indikator fishing ground (Narendra, 1993). Informasi spasial ZPPI dihasilkan dari implementasi parameter SPL dan kandungan klorofil-a yang berkaitan erat dengan kehidupan ikan. Proses pengolahan data dan pembuatan informasi spasial ZPPI dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) Akuisisi data NOAA-AVHRR dan data MODIS Terra/Aqua. (2) Melakukan cropping citra NOAA-AVHRR dan data MODIS Terra/Aqua sesuai dengan batas-batas daerah penelitian. (3) Melakukan koreksi radiometrik citra yang akan diproses. (4) Melakukan perhitungan suhu permukaan laut (SPL) dengan menggunakan algoritma sebagai berikut: SPL = Tb 4 + 2,702 (Tb 4 Tb 5 ) 0, ,0 (5) Menentukan kesesuaian antara posisi pixel pada citra dalam baris dan kolom dengan posisi koordinbat pada peta acuan. (6) Rektifikasi rektifikasi citra SPL dengan titik kontrol peta acuan. (7) Pengadaan data klorofil-a untuk acuan dalam penentuan thermal front. (8) Deteksi dan analisis thermal front berdasarkan citra SPL didukung dengan data klorofil-a, dengan tahapan sebagai berikut: (a) pembuatan kontur SPL; (b) identifikasi dan analisis perbedaan SPL untuk setiap jarak 3 pixel (3,3 km) sebesar 0,5 o C; dan (c) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l). (9) Penentuan ZPPI berdasarkan thermal front dari citra sebaran SPL didukung dengan citra klorofil-a. (10 Pembuatan layout informasi spasial ZPPI harian sesuai dengan format peta yang dipergunakan. 47

65 Data NOAA-AVHRR Cropping Citra Berdasarkan Daerah Penelitian Koreksi Radiometrik Penentuan Suhu Permukaan Laut (SPL) Peta acuan skala 1: ) Rektifikasi SPL dengan Titik Kontrol Peta Data Klorofil-a Deteksi dan Analisis Thermal front Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) Gambar 5.1. Diagram alir proses umum pembuatan informasi spasial ZPPI dalam penelitian identifikasi zona potensi penangkapan ikan di Selat Madura dan sekitarnya. Pengembangan dan penerapan informsi spaial ZPPI mempunyai beberapa tujuan antara lain sebagai berikut. (1) Mempelajari fenomena oseanografi yang berkaitan dengan ikan pelagis. (2) Penguasaan dan sosialisasi pengunaan teknologi inderaja dan pendukungnya dalam mendukung usaha penangkapan ikan. (3) Memberikan kepastian posisi yang prospektif untuk penangkapan ikan. (4) Meningkatkan hasil tangkapan. (5) Menjadi sarana pengaturan bagi yang berwenang untuk mencegah atau memperkecil terjadinya konflik perebutan lokasi penangkapan. 48

66 5.2 Penelitian SPL dan Upwelling/Thermal Front Pengembangan informasi ZPPI terlaksana setelah melalui kegiatan penelitian panjang yang dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan. Penulis memulai kegiatan yang pertama dalam ekstraksi data suhu permukaan laut (SPL) berdasarkan data NOAA-AVHRR pada sekitar tahun Penelitian SPL ini mulai dilakukan sebagai salah satu implementasi dari peningkatan kapasitas Sistem Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca LAPAN. Hasil penelitian ini ditulis dan dimuat dalam Majalah LAPAN No. 41 Tahun ke XI dengan judul Penentuan Temperatur Permukaan Laut Mempergunakan Data AVHRR dengan Analisa Berbagai Saluran terbitan tahun1986, halaman Penelitian SPL ini terus dikembangkan dengan menggunakan berbagai algoritma yang ada, menguji ketelitian dan kesesuaiannya dengan kondisi perairan Indonesia. Memasuki tahun 1991, kegiatan penelitian pemanfaatan data NOAA- AVHRR untuk pemetaan SPL ditingkatkan untuk mendeteksi upwelling/thermal front. Penelitian juga sudah mulai melakukan korelasi antara upwelling/thermal front dengan lokasi penangkapan ikan, namun masih bersifat deskriptif. Dalam fase ini sudah mulai dirintis kerjasama dengan beberapa istansi dalam upaya memanfaatkan data NOAA-AVHRR untuk studi fenomena Upwelling/thermal front di perairan laut Indonesia. Citra pada Gambar 5.2 memperlihatkan dinamika perubahan sebaran SPL hanya dalam 2 hari berurutan. Gambar 5.2(a) memperihatkan perairan di utara Jakarta sampai Cirebon, diperairan Selat Sunda dan sampai sekitar Pelabuhan Ratu mempunyai SPL 27 o C, lebih panas dari SPL perairan di sekitarnya. Sehari kemudian sudah terjadi perubahan sebaran SPL yang diperlihatkan pada Gambar 5.2(b). Perairan dengan SPL 27 o C di perairan utara Jawa Barat dan Selat Sunda sudah tidak ada lagi, karena mengalami sedikit penurunan. Namun demikian, masih nampak perairan di selatan Pelabuhan Ratu (Jawa Barat) yang mempunyai SPL 27 o C, memanjang ke selatan sampai ke Samudera Hindia. Gambar 5.2. Citra SPL dalam 2 hari berurutan yaitu tanggal 1 Juni dan 2 Juni 49

67 Penelitian pemanfaatan data NOAA-AVHRR untuk pemetaan sebaran SPL juga dilakukan pada perairan laut dalam dan dengan dinamika yang cukup kompleks. Sebagai contohnya, adalah pemetaan sebaran SPL pada perairan yang merupakan pertemuan antara Laut Flores dengan Laut Jawa, guna mengetahui pola dari thermal front (Gambar 5.3). Citra tersebut menunjukkan variasi dan dinamika perairan laut Indonesia, sehingga pengamatan terhadap karakteristik perairan laut Indonesia khususnya suhu perairan memerlukan frekuensi pengamatan yang cukup tinggi. Kondisi ini membuka peluang besar dalam pemanfaatan data satelit penginderaan jauh NOAA-AVHRR untuk mengamatan dan pemantauan perubahan sebaran SPL di perairan laut Indonesia dan sekitarnya. Gambar 5.3. Sebaran SPL pada perairan pertemuan antara Laut Flores dan Laut Jawa, serta perairan sekitar Nusa Tenggara Timur. 5.3 Penelitian Upwelling/Fishing Ground Perubahan organisasi LAPAN khususnya dibentuknya Bidang Matra Laut pada tahun 1989 membuka peluang pengembangan aplikasi data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan. Penulis yang diangkat sebagai Kepala Bidang Matra Laut pada tahun 1991, telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kapasitas aplikasi data penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan. Salah satu pengembangan yang dilakukan adalah dalam hal penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh untuk identifikasi fishing ground. Peningkatan penelitian pemanfaatan data penginderaan jauh ini, dimotivasi juga oleh keterlibatan penulis dalam Komisi Nasional Pengkajian Potensi Sumber Daya Ikan Laut (Komnas Kajiskanlaut). Dalam periode tahun , dilakukan penelitian intensif pemanfaatan data penginderaan jauh NOAA-AVHRR untuk identifikasi upwelling sebagai indikator fishing ground atau daerah potensi penangkapan ikan. Telah 50

68 dilakukan beberapa penelitian upwelling / fihsing ground di perairan Laut Jawa, Selat Sunda, Selat Makassar, dan Samudera Hindia. Salah satu penelitian yang dinilai merupakan terobosan adalah pemanfaatan data penginderaan jauh untuk identifikasi upwelling kaitannya dengan penangkapan ikan tuna di Samudera Hindia. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penyelesaian tugas akhir skripsi oleh Nia Salma Priyanti (1999), dibawah bimbingan penulis sendiri bersama Vincentius Siregar. Dari penelitian tersebut, dapat diambil beberapa contoh citra sebaran SPL yang menggambarkan lokasi-lokasi terjadinya upwelling dan lokasi penangkapan ikan tuna yang dilakukan oleh perikanan Samudera Besar, yang berpangkalan di Pelabuhan Benoa, Bali. Contoh pertama adalah citra sebaran SPL dan sebaran penangkapan ikan Tuna di perairan Samudera Hindia selatan Jawa Timur tanggal 24 Juni 1995, seperti Gambar Gambar 5.4 memperihatkan adanya 3 (tiga) lokasi upwelling di perairan sebalah selatan Jawa Timur. Dua upwelling terjadi pada koordinat antara 111 o o 00 BT dan 8 o LS, 113 o o 00 BT dan 10 o o 15 LS. Namun demikian, 2 lokasi upwelling tersebut dinilai kurang layak untuk penangkapan ikan tuna. Berdasarkan pada kebiasaan penangkapan ikan tuna, nelayan melakukan penangkapan ikan tuna di lokasi antara 11 o o 00 LS. Dengan memperhatikan lokasi penangkapan ikan yang dilakukan di Samudera Hindia, ternyata sesuai dengan lokasi terjadinya upwelling/thermal front. Walaupun begitu, sebenarnya terdapat lokasi terjadinya upwelling dengan intensitas lebih kuat yaitu pada selang koordinat 112 o 00 o 113 o 00 o BT dan 13 o 00 o - 14 o 00 o LS. Jika penangkapan dilakukan pada lokasi upwelling tersebut berpeluang mendapatkan tangkapan lebih banyak. Walaupun memerlukan bahan akar lebih banyak untuk menuju ke lokasi tersebut karena lokasinya lebih jauh, tetapi hal tersebut akan dapat diatasi (dikompensasi) dengan hasil tangkapan yang lebih banyak. Contoh kedua adalah citra sebaran SPL dan sebaran penangkapan ikan Tuna di perairan selatan Jawa Timur tanggal 6 Agustus Juni 1995, seperti Gambar 5.5. Gambar tersebut menunjukkan perubahan cukup berarti dibandingkan dengan citra yang menggambarkan upwelling/thermal front pada tanggal 24 Juni 1995, dan jumlah kapal yang melakukan penangkapan. Gambar tersebut memperlihatkan bahwa penangkapan dilakukan pada 3 lokasi, masing-masing 1 kapal pada selang koordinat 111 o o 30 BT dan 12 o o 30 LS, 3 kapal pada selang koordinat 111 o o 00 BT dan 13 o o 00 LS, dan 5 kapal pada 112 o o 15 BT dan 13 o o 45 LS Kapal pertama melakukan penangkapan pada lokasi upwelling/thermal front yang perbedaan suhunya tidak terlalu besar yaitu sekita 1 o C dengan hasil tangkapan masuk dalam kategori sedang. Jika kapal tersebut melakukan penangkapan pada lokasi dengan selang koordinat 114 o o 30 BT dan 11 o o 30 LS kemungkinan 51

69 mendapatkan tangkapan lebih baik karena intensitas upwelling/thermal front yang lebih kuat. Pada lokasi tersebut terdapat 3 kapal yang melakukan penangkapan dengan hasil berbeda, 2 kapal mendapatkan hasil tangkapan dengan kategori baik, dan 1 kapal mendapat tangkapan dengan kategori sedang. Selain itu, 5 (lima) kapal melakukan penangkapan pada lokasi upwelling/thermal front ketiga, 4 kapal mendapat hasil tangkapan dalam kategori baik, sedangkan 1 kapal mendapat tangkapan dalam kategori sedang. Gambar 5.5 juga memperlihatkan bahwa perbedaan suhu pada lokasi upwelling/thermal front adalah sekitar 2 o C. Contoh ketiga adalah citra sebaran SPL dan sebaran penangkapan ikan Tuna di perairan selatan Jawa Timur tanggal 17 Juli 1997, seperti Gambar 5.6 yang memperlihatkan bahwa penangkapan dilakukan pada 4 (empat) lokasi. Pada lokasi pertama, satu kapal pada selang koordinat 113 o o 15 BT dan 12 o o 45 LS, berada pada thermal front antara SPL 28 o - 29 o C dengan hasil tangkapan baik. Di lokasi kedua dengan satu kapal pada selang koordinat 113 o o.45 BT dan 12 o o 10 LS, berada pada upwelling/thermal front antara SPL 25 o - 28 o C dengan hasil tangkapan baik. Enam kapal melakukan penangkapan pada lokasi ketiga dalam selang 112 o o 30 BT dan 12 o o 10 LS,12 o o 10 LS, berada pada upwelling/thermal front antara perbedaan suhu 25 o - 28 o C, 4 kapal dengan hasil tanggapan baik, 1 kapal dengan tangkapan sedang, dan 1 mendapat tangkapan kurang. Satu kapal pada selang koordinat 114 o o 45 BT dan 14 o o 50 LS, pada thermal front antara suhu 28 o - 30 o C dengan hasil tangkapan baik. Satu kapal lainnya melakukan penangkapan pada koordinat 115 o o 30 BT dan 12 o o 10 LS, di lokasi thermal front antara suhu 26 o - 28 o C dengan hasil tangkapan sedang. Contoh keempat adalah citra sebaran SPL dan sebaran penangkapan ikan Tuna di perairan selatan Jawa Timur tanggal 3 Juni 1997, seperti terlihat pada Gambar 5.7. Berdasakan data sebaran SPL dan data penangkan dari Perikanan Samudera Besar, penangkapan dilakukan pada tiga lokasi dan secara umum mendapat hasil baik. Satu kapal melakukan penangkapan pada selang koordinat 113 o o 45 BT dan 12 o o 30 LS, berada pada thermal front antara SPL 26 o - 28 o C dengan hasil tanggapan baik. Satu kapal lainnya pada selang koordinat 112 o o 15 BT dan 12 o o 15 LS, berada pada thermal front antara SPL 27 o - 28 o C juga dengan hasil tanggapan kategori baik. Sembilan kapal secara bergantian melakukan penangkapan pada selang koordinat 111 o o 45 BT dan 13 o o 50 LS, pada thermal front antara suhu 26 o - 29 o C, tujuh kapal dengan hasil tangkapan baik, satu kapal dengan tangkapan sedang, dan satu kapal lainnya dengan tangkapan kategori kurang. 52

70 Gambar 5.4. Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan pada 24 Juni 1995 (Priyanti, 1999). Gambar 5.5. Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 9 Agustus 1995 (Priyanti, 1999). 53

71 Gambar 5.6. Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 17 Juli 1996 (Priyanti, 1999). Gambar 5.7. Citra sebaran upwelling di perairan Samudera Hindia dan lokasi penangkapan ikan 3 Juni 1997 (Priyanti, 1999). 54

72 5.4 Fase Pengembangan Informasi Spasial ZPPI Pengembangan Peta Zona Ikan Pemikiran pengembangan informasi untuk operasi penangkapan ikan ini muncul dengan keterlibatan Bidang Matra Laut Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh dalam Komnas Kajiskanlaut. Pengembangan dan penerapan informasi penangkapan yang diberi nama peta zona ikan (ZI) ini dalam pola operasional dilakukan melalui kerjasama informal dan dimotivasi oleh Ir. Indradi dari PT. Geoinfo di bawah bendera kegiatan yang diberi nama Bintang Laut. Informasi ZI yang pertama dikembangkan dalam bentuk garis yang menandakan thermal front dan diindikasikan sebagai jalur untuk operasi penangkapan ikan. Peta Zona Ikan untuk pertama kalinya diterapkan di Kampung Dadap, Kabupaten Indramayu pada pertengahan tahun Contoh Peta ZI yang dikembangkan dan diterapkan, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.8 berikut. Gambar 5.8. Garis kontur thermal front sebagai indikator jalur yang potensial untuk lokasi-lokasi penangkapan ikan. Evaluasi penerapan Peta Zona Ikan di Indramayu menunjukkan hasil yang positif, dari segi hasil tangkapan dan waktu operasi penangkapan ikan. Lama operasi penangkapan ikan mengalami pemendekan dari biasanya hari per trip menjadi 7-8 hari, yang berarti terjadi 55

73 penghematan yang sangat berarti dari segi penggunaan bahan bakar (solar), ongkos kerja anak buah kapal (ABK), dan perbekalan operasi penangkapan ikan. Penerapan Peta Zona Ikan dinilai para nelayan mampu meningkatkan efisiensi operasi penangkapan dan hasil tangkapan, sehingga menarik minat dan mendorong permintaan untuk menerapkan Peta Zona Ikan. Keberhasilan penerapan peta zona ikan ini mendorong usaha peningkatan penelitian dan penerapan pemanfaatan data penginderaan jauh lebih intensif. Sejalan dengan peningkatan penelitian, dilakukan usaha kerjasama uji coba di beberapa daerah Pengembangan Informasi Zona Potensi Ikan (ZPI) Keberhasilan penerapan Peta Zona Ikan di Indramayu, keterlibatan Bidang Matra Laut dalam Komnas Kajiskanlaut, serta kegiatan penelitian internal, mendorong upaya pemanfaatannya lebih luas dan pengembangan inovasi pemanfaatan informasi yang diekstraksi dari data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dan perikanan. Ada dua inovasi yang dikembangkan yaitu, pertama mengganti nama Peta Zona Ikan menjadi Peta Zona Potensi Ikan yang disingkat dengan Peta ZPI, dan yag kedua membuat format informasi yang mengacu pada sistem Papan Catur yang merupakan konversi dari informasi berbasis koordinat ke dalam bentuk kombinasi angka dan huruf alfabet. Format informasi ZPI ini juga diilhami oleh format data dalam Lotus sekarang Excel yang menggunakan bentuk baris dan kolom dalam huruf alfabet dan angka (Gambar 5.9). Penggunaan format ini dimaksudkan untuk mempermudah diseminasi informasi dari pengelola informasi kepada para nelayan yang sedang melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Gambar 5.9. Contoh bentuk Peta yang mengadopsi format papan catur atau format tabel pada perangkat lunak Lotus/excel. 56

74 Upaya perluasan penerapan Peta ZPI yang pertama dilakukan melalui kerjasama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Situbondo, sedangkan tindak lanjut penerapannya di Kampung Dadap Indramayu sepenuhnya dilaksanakan oleh Bintang Laut dibawah PT. Geoinfo. Bentuk informasi yang diterapkan di wilayah perairan Kabupaten Situbondo masih sama dengan yang diterapkan di Indramayu, dengan contoh seperti Gambar Penerapan Peta ZPI bagi nelayan di Kabupaten Situbondo mengalami beberapa kendala, terutama disebabkan oleh karakter nelayan yang sudah terbiasa melakukan penangkapan one day fishing. Sistem penangkapan one day fishing ini menyulitkan untuk dapat menjangkau ZPI yang agak jauh dari pantai terutama yang berada di luar zona 12 mil laut. Gambar Contoh bentuk Peta ZPI yang pertama kali diterapkan di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur Pengembangan Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI) Penggunaan istilah Peta Zona Potensi Ikan mendapat kritik dari salah seorang anggota Komnas Kajiskanlaut, karena potensi ikan mempunyai arti luas dikalikan densitas ikan, sedangkan informasi spasial Zona Potensi Ikan hanya menunjukkan lokasi yang diduga sebagai tempat berkumpulnya ikan yang dalam istilah perikanan tangkap dikenal dengan istilah fish scooling (gerombolan ikan). Memperhatikan kritik tersebut, azas-azas kartografi yang harus diterapkan pada peta, dan untuk menciptakan sesuatu yang baru, maka penulis berinisiatif mengganti istilah Peta Zona Potensi Ikan dengan istilah yang baru yaitu Informasi Spasial Zona Potensi Penangkapan Ikan 57

75 yang selanjutnya dalam istilah sehari-hari disebut informasi spasial ZPPI atau hanya disebut ZPPI. Disamping pergantian nama ZPI menjadi informasi ZPPI, juga dilakukan satu inovasi penggantian bentuk zona penangkapan yang semula berbentuk garis thermal front menjadi tanda berbentuk gambar ikan. Perubahan ini pada awalnya dimotivasi oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Narendra (1993), yang menggambarkan korelasi antara jarak dari pusat zona penangkapan ikan dengan hasil tangkapan. Berdasarkan hasil uji coba penggunaan data suhu permukaan laut yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR dalam penentuan zona yang potensial untuk penangkapan ikan yang dilakukan oleh Narendra (1993), dibuat grafik antara jarak dari titik dengan daerah yang diduga sebagai lokasi berkumpulnya ikan dengan hasil tangkapan tersebut nampak bahwa pada posisi yang ditunjuk mendapatkan hasil yang paling tinggi. Pada uji coba dilakukan klasifikasi antara jarak setiap 5 km dalam bentuk lingkaran dari titik yang ditunjuk, sehingga pendugaan dibuat dalam bentuk lingkaran dengan jari-jari 5 km, dan dikembangkan dengan jari-jari 10 km, 15 km dan 20 km. Hasil penelitian yang dilakukan di Samudera Hindia menunjukkan bahwa, hasil tangkapan tertinggi berada tepat pada titik tengah lingkaran dengan tangkapan lebih dari 600 kg. Hasil tangkapan kedua berada dalam radius 5 km dengan tangkapan 250 kg 300 kg. Uji coba penangkapan dalam radius 10 km menghasilkan 150 kg 250 kg, dan dalam radius terluar yaitu 15 km menghasilkan tangkapan sekitar 25 kg. Hubungan antara jarak antara titik zona potensi penangkapan dengan hasil tangkapan sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 5.11 berikut. Gambar Hubungan antara jarak titik zona potensi penangkapan dengan hasil tangkapan terhadap titik tersebut dalam bentuk lingkaran dengan diamieter 10 km. 58

76 Informasi spasial ZPPI yang telah dikembangkan di LAPAN beberapa tahun lalu merupakan tindak lanjut atau muara dari penelitian suhu permukaan laut menggunakan data NOAA-AVHRR yang telah dikembangkan sejak tahun 1984 (Hasyim, 1986). Setelah melalui penelitian panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR untuk mendapat data suhu permukaan laut sesuai dengan karakteristik perairan laut Indonesia, selanjutnya dikembangkan informasi spasial ZPPI sejak tahun Pengembangan informasi spasial ZPPI dilatar belakangi oleh beberapa hal sebagai berikut. (1) Komitmen LAPAN dalam membantu menyediakan informasi spasial sumberdaya alam pesisir dan laut terkait dengan program pengembangan ekonomi masyarakat. (2) Terbatasnya kemampuan nelayan dalam memahami kondisi oseanografi yang berkaitan dengan daerah fishing ground sehingga hasil tangkapannya menjadi tidak pasti. (3) Terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan; (4) Penelitian LAPAN dalam memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit guna memantau fisik perairan sudah dilakukan sejak tahun (5) Diharapkan adanya informasi zona potensi penangkapan ikan dari penginderaan jauh satelit dapat dipergunakan untuk mendukung pengamatan dan pengelolaan perikanan tangkap. Urgensi dari pengembangan dan penerapan informasi ZPPI antara lain adalah sebagai berikut. (1) Pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan dan penyediaan informasi ZPPI untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan. (2) Adanya informasi spasial ZPPI diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan efektivitas dengan memperbanyak masa operasi penangkapan. (3) Mendukung usaha peningkatan produksi ikan daerah yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (Pusbangja, 2003). Pengembangan informasi spasial ZPPI dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi yang terdiri dari 3 tahap kegiatan sebagai berikut. (1) Penyuluhan dan pelatihan: meningkatkan pengetahuan para nelayan tentang teknologi inderaja untuk kelautan dan perikanan, sistem navigasi laut, pembacaan peta laut dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan. (2) Aplikasi (uji coba) informasi spasial ZPPI menunjukkan dan membuktikan kepada nelayan bahwa pada ZPPI terdapat gerombolan ikan. (3) Evaluasi dan implementasi dilakukan untuk mengetahui respon para nelayan, lembaga swadaya masyarakat, staf dinas terkait tentang aplikasi ZPPI dan rencana tindak lanjutnya. 59

77 5.4.4 Pengembangan Informasi Spasial ZPPI Secara Unit Spasial Mengacu pada penelitian Narendra (1993), wilayah penelitian untuk informasi spasial ZPPI dibuat dalam bentuk bujur sangkar atau unit spasial yang sisinya mempunyai panjang sebesar 5 atau 10. Penetapan ukuran unit spasial juga mengacu pada hasil kegiatan uji coba di beberapa daerah yang pernah dilakukan LAPAN serta pemikiran agar informasi ZPPI dapat digunakan dengan mudah oleh nelayan. Pembagian area yang diterapkan menggunakan unit spasial yang disesuaikan dengan sistem area pada peta dasar yang digunakan sebagai referensi serta luas area penyediaan informasi ZPPI misalnya ukuran unit spasial adalah 10 x 10 (18,52 km x 18,52 km). Bentuk informasi ZPPI dalam unit spasial ini pertama kali digunakan dalam penelitian untuk disertasi penulis, dengan daerah penelitian perairan Selat Madura, Jawa Timur. Ukuran unit spasial dapat disesuaikan dengan luas perairan yang menjadi target yang biasanya disebut dengan project area. Ukuran unit spasial dapat dibuat dalam ukuran 5 x 5, 10 x 10, 15 x 15, atau dalam ukuran yang global misalnya 2 o x 2 o sesuai dengan kebutuhan pemanfaatannya (Gambar 5.12). Contorh format informasi unit spasial dalam ukuran 10 x 10 yang dilengkapi dengan WPP Gambar 5.12 Contoh format informasi ZPPI dengan ukuran unit spasial 10 x 10 yang dilengkapi dengan WPP. 60

78 BAB 6 IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN MINGGUAN (Studi kasus: Selat Madura Jawa Timur) Untuk melakukan identifikasi sebaran ZPPI bulanan dilakukan perhitungan SPL mingguan yang diperoleh dari rata-rata SPL untuk urutan minggu yang sama dalam setiap tahunnya dari data NOAA-AVHRR selama 10 (sepuluh) tahun, yaitu dalam periode Januari 1996 sampai dengan Desember 2005 hasil akuisisi Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca LAPAN Pekayon, Jakarta Timur. Penentuan ZPPI dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Membuat citra SPL berdasarkan data NOAA-AVHRR yang sudah dilakukan koreksi geometrik berdasarkan citra acuan untuk mendapatkan kesamaan posisi dari setiap piksel citra SPL; b. Melakukan penggabungan citra SPL mingguan berdasarkan urutan minggu pada bulan yang sama setiap tahunnya, dengan menggunakan metode nilai minimum yaitu mengambil nilai SPL minimum dari semua citra pada urutan minggu dan bulan yang sama. c. Pengumpulan data klorofil-a bulanan yang di download dari internet sebagai acuan dalam mendeteksi thermal front. d. Identifikasi thermal front dari masing-masing citra SPL mingguan, dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) pembuatan kontur SPL; (2) identifikasi dan analisis gradien SPL untuk setiap jarak 3 km (3 pixel) sebesar 0,5 o C; dan (3) analisis nilai kandungan klorofil-a ( > 0,3 mg/l); e. Penentuan ZPPI berdasarkan thermal front dari SPL mingguan tiap tahun selama 10 tahun; f. Pembuatan layout informasi spasial ZPPI mingguan dalam format peta. 6.1 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Desember Informasi spasial ZPPI pada minggu pertama bulan Desember yang merupakan bulan pertama dari musim barat memperlihatkan penyebaran dan konsentrasi pada beberapa lokasi di perairan Selat Madura sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.1 (a). Penyebaran ZPPI terpadat pada selang koordinat BT dan LS, juga dalam selang koodinat BT dan LS, dan BT dan LS. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura punya peluang baik melakukan penangkapan pada ZPPI pada unit spasial BT dan LS, BT dan LS, serta pada unit spasial BT dan LS. Nelayan tradisional di sisi utara Selat 61

79 Madura mempunyai peluang meningkatkan hasil tangkapannya dengan mengakses unit spasial ZPPI pada BT dan serta pada BT dan LS. Sedangkan nelayan dengan perahu motor 20 GT ke atas berpeluang meningkatkan hasil tangkapannya dengan mengakses ZPPI pada unit spasial yang berada pada zona di atas 20 mil mulai BT sampai dengan BT. (a) (b) (c) (d) Gambar 6.1 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Desember (d). Pada minggu kedua bulan Desember terjadi pergeseran ZPPI di Selat Madura semakin ke barat dibandingkan sebelumnya. ZPPI tersebar dalam selang BT dan LS, dalam selang koordinat BT dan LS. Nelayan tradionil di sisi selatan Selat Madura hanya berpeluang mengakses ZPPI pada unit spasial BT dan LS, sedangkan yang di sisi utara Selat Madura ZPPI hanya terdapat pada unit spasial BT dan LS. Nelayan dengan perahu motor di atas 20 GT berpeluang mengakses ZPPI pada 5 unit spasial yang tersebar 62

80 dalam selang koordinat BT dan LS, serta ZPPI pada 3 unit spasial dalam selang koordinat BT dan LS. Koordinat posisi lokasi dari ZPPI pada minggu kedua bulan Desember sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.1 (b). Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Desember mengalami penurunan dan tersebar lebih ke timur dibandingkan bulan sebelumnya dan terbagi menjadi 3 area, pertama dalam wilayah perairan dengan batas koordinat BT dan LS, kedua dalam batas koordinat BT dan LS, dan yang ketiga dalam batas koordinat BT dan LS dekat dengan perbatasan Selat Bali yang hanya mungkin diakses oleh nelayan dengan perahu motor cukup besar atau minimum 15 GT karena berada pada zona di atas 12 mil. Koordinat posisi lokasi dari ZPPI pada minggu ketiga bulan Desember sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.1 (c). Informasi spasial ZPPI pada minggu keempat bulan Desember memperlihatkan unit spasial yang dapat dijadikan target lokasi penangkapan berada pada posisi lebih ke timur dan dalam jumlah lebih sedikit dibandingkan sebelumnya. Di Selat Madura nampak hanya ada 4 zona potensi penangkapan dalam selang koordinat BT dan LS, yang hanya mungkin diakses oleh nelayan dengan perahu motor cukup besar atau minimal 15 GT. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Desember ini menandakan terjadinya kesulitan bagi nelayan kecil untuk meningkatkan hasil tangkapan karena tidak mampu mengakses ZPPI tersebut. Koordinat posisi lokasi dari ZPPI pada minggu keempat bulan Desember diperlihatkan pada Gambar 6.1 (d). 6.2 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Januari Sebaran ZPPI di di perairan Selat Madura pada minggu pertama bulan Januari menggambarkan kesulitan bagi nelayan dalam melakukan penangkapan ikan, disebabkan oleh rendahnya sebaran ZPPI. Di sisi selatan Selat Madura tidak ada ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan tradisional, sedangkan di sisi utara hanya ada 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Nelayan dengan perahu motor ukuran besar (20 GT ke atas) berpeluang mengakses 4 ZPPI pada kisaran koordinat BT dan LS. Koordinat posisi lokasi dari ZPPI pada minggu pertama bulan Januari sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.2 (a). Jumlah ZPPI di Selat Madura pada minggu kedua bulan Januari sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.2 (b) mengalami peningkatan dibandingkan pada minggu pertama. Nelayan kecil di sisi selatan dan bagian timur Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan yang di sisi utara hanya berpeluang mengakses ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan nelayan dengan perahu motor 63

81 di atas 20 GT berpeluang mengakses 1 ZPPI di sisi tengah dan 5 ZPPI di sisi timur Selat Madura, di atas zona 20 mil. Pada minggu ketiga Bulan Januari, konsentrasi ZPPI bergeser agak ke arah utara, sehingga membuka peluang baik bagi nelayan di sisi utara Selat Madura. Nelayan kecil di sisi utara khususnya di bagian timur Selat Madura mempunyai peluang mengakses 3 unit spasial ZPPI masingmasing pada koordinat BT dan LS, BT dan LS, serta BT dan LS, sedangkan nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura akan kesulitan mengakses 3 ZPPI terdekat karena berada di perbatasan zona 12 mil, yaitu pada selang koordinat BT dan LS, BT dan LS, dan BT dan LS. Nelayan dengan perahu motor di atas 20 GT dapat mengakses 4 ZPPI di atas zona 12 mil dan 3 ZPPI yang berada di perbatasan zona 12 mil. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu ketiga bulan Januari sebagaimana terlihat pada Gambar 6.2 (c). (a) (b) (c) Gambar 6.2 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Januari. (d) 64

82 Pada minggu keempat bulan Januari, jumlah ZPPI mengalami penurunan dibandingkan minggu sebelumnya, terlebih bagi nelayan yang berada di sisi utara Selat Madura. Nelayan di sisi selatan Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI masing-masing dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS dan ' ' BT dan 7 25'- 7 30' LS. Sedangkan nelayan yang di sisi utara Selat Madura hanya ada peluang bagi yang berpangkalan di sisi timur sehingga dapat mengakses ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar atau yang menggunakan perahu motor sektar 15 GT dapat melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan kecil mengakses 3 ZPPI yang berada di perbatasan zona 12 mil tersebut. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu keempat bulan Januari sebagaimana terlihat pada Gambar 6.2 (d). 6.3 ZPPI Mingguan Bulan Februari ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu pertama bulan Februari menyebar dari perairan bagian tengah sampai sisi timur dari Selat Madura. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Februari ini lebih menguntungkan bagi nelayan besar dibandingkan nelayan kecil karena ZPPI tersebar di perairan di atas atau di perbatasan zona 12 mil. Pada minggu pertama bulan Februari ini terdapat 4 ZPPI di atas atau di perbatasn zona 12 mil, masing-masing pada selang koordinat ' BT' dan 7 25'-7 30' LS, ' BT' dan 7 30'-7 35' LS, ' BT dan 7 25'-7 30' LS, serta pada selang koordinat ' BT dan 7 30'-7 35' LS. bergeser ke arah barat di koordinat ' dan 6 46' 41 LS. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu pertama bulan Februari sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3 (a). ZPPI pada minggu kedua bulan Februari tersebar di perairan dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 35' LS. Berdasarkan informasi spasial ZPPI sebagaimana diperlihatikan pada Gambar 6.3 (b), berarti bahwa nelayan kecil di selatan kesulitan menentukan lokasi penangkapan yang baik karena hanya ada 1 ZPPI untuk nelayan kecil di sisi timur pada selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS. ZPPI di sisi utara Selat Madura bagi nelayan kecil hanya terdapat pada selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar atau yang menggunakan perahu motor 15 GT keatas dapat mengakses 5 ZPPI yang tersebar dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'- 7 30' LS, serta 1 ZPPI di sebelah timur Selat Madura yaitu pada selang koordinat ' ' BT dan 7 20'- 7 30' LS. Sebaran ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu ketiga bulan Februari terkonsentrasi pada dua area perairan yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 40' LS, 1 ZPPI sebaiknya hanya diakses oleh nelayan kecil yaitu yang berada pada selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 40' LS sedangkan 2 lainnya dapat diakses bersama oleh nelayan nelayan kecil dan nelayan besar dengan catatan 65

83 nelayan kecil mengakses bagian ZPPI yang berada di bawah zona 12 mil sedangkan nelayan besar mengakses bagian ZPPI yang berada di atas zon 12 mil. 3 ZPP di sisi timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 35' serta dalam koordinat ' ' BT dan 7 40'-7 45' hanya mungkin diakses oleh nelayan besar, sementara ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' dapat diakses bersama oleh nelayan besar dan nelayan kecil dengan catatan dilakukan pembagian antara yang di bawah dan di atas zona 12 mil. Koordinat posisi lokasi ZPPI minggu ketiga bulan Februari sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3 (c). (a) (b) (c) Gambar 6.3 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat pada bulan Januari. Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu keempat bulan Februari banyak mengalami perubahan dibandingkan pada minggu ketiga, mengalami pergeseran agak ke utara. Pergeseran ini menguntungkan bagi nelayan di sisi utara Selat Madura karena terdapat 2 ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS yang dapat diakses oleh nelayan kecil, sedangkan di sisi selatan hanya mungkin mengakses 1 ZPPI dalam (d) 66

84 selang koordibnat ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS. ZPPI bagi nelayan besar hanya terdapat di sisi timur Selat Madura sebanyak 2 unit spasial dalam selang ' ' BT dan 7 15'-7 25' LS. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu keempat bulan Februari sebagaimana terlihat pada Gambar 6.3 (d). 6.4 ZPPI Mingguan Bulan Maret Informasi spasial ZPPI pada minggu pertama bulan Maret memperlihatkan peningkatan jumlah zona untuk melakukan penangkapan yang berarti menguntungkan bagi nelayan terutama nelayan tradisional di sisi utara Selat Madura. Di sisi utara bagian tengah dari Selat Madura terdapat ZPPI yang sangat dekat dan mudah dijangkau oleh nelayan kecil yaitu pada koordinat ' o' BT dan 7 15' LS ' LS, serta di sisi bagian timur yaitu pada koordinat ' ' BT dan 7 15' LS ' LS. Sedangkan ZPPI di sisi selatan terdapat 1 ZPPI yang mudah dijangkau oleh nelayah tradisionel pada koordinat ' ' BT dan 7 35' LS ' LS. Terdapat 4 ZPPI di atas zona 12 mil di bagian tengat Selat Madura dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 35' LS, serta 2 ZPPI di sebelah timur Selat Madura yaitu pada selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 45' LS yang mungkin hanya dapat dijangkau oleh perahu motor 20 GT ke atas. Koordinat posisi lokasi ZPPI minggu pertama bulan Maret sebagaimana terlihat pada Gambar 6.4 (a). Sebaran ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu kedua bulan Maret mengalami peningkatan cukup banyak menyebar di seluruh perairan selat. Nelayan tradisional di sisi selatan Selat Madura dapat mengakses 3 ZPPI yang menyebar dalam selam koordinat ' ' BT dan 7 35'- 7 40' LS. Untuk nelayan dengan perahu motor 15GT ke atas dapat mengakses ZPP di sisi barat dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 30' LS, 4 ZPP di bagian tengah dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 35' LS, dan 5 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 35' LS. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu kedua bulan Maret sebagaimana terlihat pada Gambar 6.4 (b). Jumlah ZPPI di Selat Madura pada minggu ketiga bulan Maret mengalami penurunan dibandingkan minggu kedua. Nelayan kecil di sisi utara lebih beruntung dibandingkan nelayan di sisi selatan Selat Madura, karena di sisi utara terdapat 2 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'- 7 25' LS dan 1 ZPPI di sisi timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS. Sementara di sisi selatan, hanya terdapat 1 ZPPI yang berada di perbatasan zona 12 mil yang agak sulit dijangkau oleh nelayan kecil. Nelayan dengan perahu motor di atas 20 GT di bagian barat dan tengah dapat mengakses 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'- 7 35' LS, sementara yang di bagian timur dapat mengakses 4 ZPPI yang tersebar dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'- 7 45' 67

85 LS. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu ketiga bulan Maret sebagaimana terlihat pada Gambar 6.4 (c). Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu keempat bulan Maret mengalami peningkatan dibandingkan minggu sebelumnya, dan menyebar lebih ke utara sehingga lebih menguntungkan nelayan di sisi selatan Selat Madura. Nelayan kecil di sisi utara berpeluang mengakses 4 ZPPI, masing-masing 2 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'- 7 25' LS, dan 2 ZPPI di bagian timur ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS serta ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS. Nelayan kecil di sisi selatan hanya mungkin mengakses ZPPI di perbatasan zona 12 mil dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'- 7 35' LS. Nelayan dengan perahu motor 20 GT ke atas dapat mengakses 3 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'- 7 30' LS, serta 6 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'- 7 30' LS. Koordinat posisi lokasi ZPPI pada minggu keempat bulan Maret sebagaimana terlihat pada Gambar 6.4 (d). (a) (b) (c) Gambar 6.4 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Maret. (d) 68

86 6.5 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan April Informasi spasial ZPPI di Selat Madura pada minggu pertama bulan April memperlihatkan sebaran ZPPI berada di atas zona 12 mil sehingga menyulitkan bagi nelayan kecil untuk mengakses lokasi-lokasi yang perspektif untuk penangkapan ikan. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura hanya berpeluang mengakses ZPPI pada selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS, sedangkan nelayan di sisi utara berpeluang mengakses ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 05'-7 10' LS dan juga dapat mengakses 3 ZPPI lainnya meskipun berbagi dengan nelayan besar yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 25' LS. Sebaran ZPPI dalam zona di atas 12 mil terbagi dalam 3 kelompok, di bagian barat terjadi konsentrasi ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 35' LS, ZPPI di bagian tengah berada dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 25' LS, dan di bagian timur yang tersebar dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-8 00' LS. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan April sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.5 (a). Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan April lebin menguntungkan bagi nelayan kecil baik di sisi selatan maupun di sisi utara Selat Madura. Nelayan kecil di sisi selatan berpeluang mengakses 2 ZPPI masing-masing dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS serta pada ' ' BT dan 7 50'- 7 55' LS. Sementara nelayan kecil di sisi utara berpeluang mengakses ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS, serta 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 10'- 7 20' LS. Nelayan besar memiliki peluang mengakses 2 kelompok ZPPI masing-masing 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'- 7 55' LS, serta 2 ZPPI di bagian timur yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'- 7 35' LS. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan April sebagaimana terlihat pada Gambar 6.5 (b). Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan April memperlihatkan pergeseran lokasi yang meningkatkan peluang bagi nelayan kecil di sisi selatan dan penurunan bagi nelayan di sisi utara Selat Madura. Nelayan kecil di sisi selatan berpeluang mengakses 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'- 7 40' LS, serta dapat melakukan kerjasama dengan nelayan besar mengakses ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'- 7 35' LS. Nelayan kecil di sisi utara Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI masing-masing dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS serta pada ' ' BT dan 7 00'- 7 05' LS. Nelayan besar memiliki peluang melakukan penangkapan pada 3 kelompok ZPPI yaitu pada selang koordinat ' ' BT dan 7 25'- 7 30' LS, pada selang ' ' BT dan 7 35'-7 40' LS, serta pada selang koordinat ' ' BT dan 7 00'- 7 10' LS. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan April sebagaimana terlihat pada Gambar 6.5 (c). 69

87 (a) (b) (c) Gambar 6.5 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan April. Jumlah ZPPI di Selat Madura pada minggu keempat bulan April mengalami peningkatan dibandingkan minggu sebelumnya dan mengalami pergeseran kearah darat dan barat daya. Nelayan kecil di sisi selatan berpeluang mengakses 2 ZPPI masing-masing dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 35'-7 40' LS serta pada ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS. Disamping itu dapat melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI di perbatasan zona 12 mil untuk mengakses ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS. Nelayan kecil di sisi utara berpeluang mengakses ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 15'- 7 20' LS serta dalam selang ' ' BT dan 7 00'-7 05' LS, serta melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI yang berlokasi pada ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar memiliki peluang mengakses ZPPI cukup banyak mulai dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 35' LS, ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS, ' ' BT dan 7 30'-7 45' LS, serta kerjasama penangkapan dengan nelayan yang menggunakan perahu motor GT dalam selang (d) 70

88 koordinat ' ' BT dan 7 00'-7 10' LS. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan April sebagaimana terlihat pada Gambar 6.5 (d). 6.6 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Mei Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Mei sangat menguntungkan bagi nelayan di sisi selatan Selat Madura, tetapi mendatangkan kesulitan bagi nelayan di sisi utara. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura berpeluang mengakses 3 ZPPI yang cukup dekat dengan TPI yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'- 7 40' LS, serta kersama penangkapan dengan nelayan yang cukup besar pada ZPPI yang berada di perbatasan zona 12 mil dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS. Nelayan di sisi utara hanya berpeluang melakukan kerjasama penangkapan pada ZPPI dengan selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS, sementara yang berada di sisi timur Pulau Madura dapat melakukan penangkapan pada ZPPI dengan selang koordinat ' ' BT dan 7 00'-7 10' LS. Nelayan besar berpeluang melakukan penangkapan pada 14 ZPPI di atas zona 12 mil yang tersebar mulai dari bagian barat dengan batas koordinat ' BT sampai dengan 115 BT. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Mei sebagaimana terlihat pada Gambar 6.6 (a). Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Mei masih dipengaruhi oleh minggu pertama, tetapi dengan jumlah zona lebih sedikit dan letaknya lebih kebarat dibandingkan dengan sebelumnya. Terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 35' LS yang dapat diakses bersama oleh nelayan kecil dan nelayan besar tentu melalui kerjasama penangkapan, sehingga dapat diatur agar nelayan kecil mengakses bagian yang berasa di bawah zona 12 mil sedangkan nelayan besar mengakses zona di atas 12 mil. Nelayan di sisi utara Pulau Jawa hanya berpeluang mengakses 1 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar juga punya peluanga mengakses 2 ZPPI di bagian timur Selat Madura meskipun agak jauh dari TPI yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 50' LS. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Mei sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.6 (b). Pada minggu ketiga bulan Mei, ZPPI menyebar dari bagian utara Selat Bali sampai ke perairan Selat Madura bagian timur di posisi ' BT. Nelayan kecil di sisi selatan bagian timur Selat Madura berpeluang besar mengakses 3 ZPPI yang tersebar dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 45' LS. Begitu juga dengan nelayan tradisional di sisi utara Selat Madura berpeluang mengakses 3 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan berbesar berpeluang mengakses 2 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS, serta 2 ZPPI lainnya dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 35'-7 55' LS. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Mei sebagaimana Gambar 6.6 (c). 71

89 Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Mei bergeser agak ke utara dan ke arah barat. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura mengalami kesulitan karena ZPPI yang berada di bawah zona 12 mil hanya terdapat di bagian timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 40'-7 45' LS. Sementara nelayan kecil di sisi utara Selat Madura berpeluang 3 ZPPI masing-masing dalam selang ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS, serta 2 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar berpeluang mengakses 4 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS, 3 ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 30'-7 40' LS, serta 3 ZPPI dalam selang koordinat114 35' ' BT dan 7 35'-8 00' LS. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Mei sebagaimana terlihat pada Gambar 6.6 (d). (a) (b) (c) Gambar 6.6 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Mei. (d) 6.7 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juni Pada minggu pertama bulan Juni menunjukkan hanya ada 1 ZPPI yang mungkin diakses oleh nelayan di sisi selatan Selat Madura dalam 72

90 selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS. Nelayan kecil di sisi utara Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI, 1 ZPPI sangat dekat dengan pesisir dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 10'-7 15' LS, 1 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS, serta 1 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Nelayan besar berpeluang mengakses 7 ZPPI yang tersebar di atas atau di perbatasan zona 12 mil dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 35' LS. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juni sebagaimana terlihat pada Gambar 6.7 (a). Pada minggu ke dua bulan Juni terjadi pertambahan dan penyebaran ZPPI mulai dari bagian tengah hingga bagian timur perairan Selat Madura. Zona penangkapan untuk nelayan kecil di sisi selatan terdapat agak ke barat yaitu 2 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'- 7 35' LS serta 1 ZPPI di bagian timur yaitu dalam selang ' ' BT dan 7 45'-7 50' LS, sedangkan yang di sisi utara terdapat 3 ZPPI yang masing-masing sangat dekat dengan pantai yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 10'-7 15' LS. Terdapat 12 ZPPI yang berpeluang diakses oleh nelayan besar khususnya yang berada di atas zona 12 mil dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 15'-7 35' LS, namun demikian 1 ZPPI yang dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan dengan nelayan di sisi selatan Selat Madura, dan 3 ZPPI yang juga dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan dengan nelayan kecil di sisi utara Selat Madura. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juni sebagaimana terlihat pada Gambar 6.7 (b). Jumlah ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu ketiga bulan Juni, memperlihatkan penurunan dibandingkan minggu sebelumnya. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI di bagian barat dalam selang ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS, serta 1 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 40'-7 45' LS. Nelayan kecil di sisi utara berpeluang mengakses 2 ZPPI dan itupun berada di garis perbatasan zona 12 mil, yaitu pada selang koordinat ' ' BT dan 7 20'-7 55' LS, juga dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 10'-7 15' LS. Berdasarkan informasi spasial ZPPI ini, pada minggu ketiga bulan Juni terdapat kesulitan bagi nelayan besar untuk meningkatkan hasil tangkapannya karena hanya terdapat 2 ZPPI untuk diakses yaitu dalam selang koordinta ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS, serta dalam selang ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS. Namun masih terbuka peluang kerjasama mengakses beberapa ZPPI yang berada di perbatasan zona 12 mil. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juni sebagaimana terlihat pada Gambar 6.7 (c). Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada minggu keempat bulan Juni, potensi penangkapan ikan berada di perairan utara. Nelayan kecil di sisi utara (bagian tengah) Selat Madura berpeluang meningkatkan hasil tangkapannya dengan mengakses 2 ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 15'-7 20' LS, sedangkan yang di bagian timur dapat mengakses 73

91 1 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 05'-7 10' LS. Begitu juga nelayan kecil di sisi selatan berpeluang mengakses 3 ZPPI yang kesemuanya berada di bagian timur, masing-masing 1 ZPPI dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 30'-7 35' LS, serta 2 ZPPI dalam selang ' ' BT dan 7 40'-7 45' LS. Nelayan besar berpeluang mengakses 3 ZPPI di sebelah barat dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 25'-7 30' LS, serta 1 ZPPI di bagian timur yaitu dalam selang koordinat ' ' BT dan 7 35'-7 40' LS. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juni sebagaimana terlihat pada Gambar 6.7 (d). (a) (b) (c) Gambar 6.7. Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juni. (d) 6.8 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Juli Informasi spasial ZPPI pada minggu pertama bulan Juli memperlihatkan adanya konsentrasi peningkatan zona penangkapan khususnya untuk nelayan kecil. Nalayan tradisional di sisi selatan sebelah 74

92 barat Selat Madura berpeluang mengakses 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI dalam selang BT dan LS. Nelayan kecil di sisi utara Selat Madura berpeluang mengakses 4 ZPPI masing-masing 2 ZPPI di sisi barat dalam selang koordinat BT dan LS, 2 ZPPI di timur masing-masing dengan selang koordinat BT dan LS serta dalam selang BT dan LS. Nelayan besar berpeluang melakukan operasi penangkapan pada 10 ZPPI di atas zona 12 mil yang tersebar dari sisi barat pada koordinat BT sampai sisi paling timur pada koordinat BT. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Juli sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8 (a). Pada minggu kedua bulan Juli terlihat ZPPI di perairan Selat Madura memiliki intensitas cukup tinggi, terbukti dengan banyaknya ZPPI yang menyebar hampir memenuhi Selat Madura dan lebih banyak dibandingkan minggu sebelumnya. Nampak juga bahwa sebaran ZPPI bergeser lebih ke barat dan lebih ke utara dibandingkan sebelumnya, sehingga lebih mengguntungkan bagi nelayan di sisi utara Selat Madura namun agak menyulitkan bagi nelayan di sisi selatan. Di sisi selatan Selat Madura hanya terdapat 1 ZPPI yang mudah diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan ZPPI di sisi barat berada pada perbatasan zona 12 mil kemungkinan sulit dicapai oleh nelayan kecil. ZPPI di sisi utara Selat Madura tersebar pada 3 lokasi masing-masing, 2 ZPPI dalam selang BT dan LS, 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Ini berarti bahwa di sisi utara terdapat 7 ZPPI, sedangkan di sisi selatan hanya terdapat 1 ZPPI. Sebaran ZPPI dalam zona 12 mil dapat dikelompokkan menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, kelompok kedua terdiri dari 5 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. ZPPI kelompok kedua mungkin dapat diakses juga oleh nelayan tradisional yang menggunakan perahu motor GT. Kelompok ZPPI ketiga terdiri dari 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Beberapa ZPPI dalam kelompok 2 dan 3 berpeluang juga diakses oleh nelayan kcil dengan bobot sekitar 15 GT. Kelompok ZPPI keempat terdapat di sisi timur Selat Madura, terdiri dari 7 ZPPI tersebar dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur, terdapat 1 ZPPI lain yang mungkin hanya apat diakses oleh nelayan besar yaitu pada koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Juli sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8 (b). Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu ketiga bulan Juli, lebih terkonsentrasi ke bagian tengah dan bereser agak ke selatan jika dibandingkan minggu sebelumnya, sehingga menguntungkan bagi nelayan di sisi selatan Selat Madura. Terdapat 2 ZPPI yang dapat diakses oleh 75

93 nelayah di sisi nelatan Selat Madura yaitu dalam selang koordinat BT dan LS serta dalam selang BT dan LS. Disamping itu masih mungkin mengakses 2 ZPPI di perbatasan zona 12 mil dalam selang koordinat BT dan LS. Terdapat 3 ZPPI di sisi utara yang prospektif untuk nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, dalam selang BT dan LS, serta dalam selang BT dan LS. Dalam zona di atas 12 mil yang hanya mungkin dijangkau oleh nelayan besar, terdapat 7 ZPPI di sisi barat dalam selang BT dan LS, 2 ZPPI di bagian dengan agak ke utara dengan selang BT dan LS, 1 ZPPI di bagian dengan agak ke selatan dengan selang BT dan LS, dan 7 ZPPI di sebelah timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Juli sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8 (c). (a) (b) (c) Gambar 6.8 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Juli. (d) 76

94 Sebaran ZPPI pada minggu keempat atau akhir bulan Juli berada pada posisi tidak terlalu berbeda dibandingkan dengan minggu sebelumnya, tetapi terjadi pertambahan dan penyebaran makin luas di bagian timur Selat Madura, bahkan menyambung ke perairan bagian utara Selat Bali. Dari informasi spasial ZPPI nampak bahwa nelayan di pesisir utara lebih beruntung dibandingkan di pesisir selatan Selat Madura karena sebaran ZPPI lebih mendekat ke utara. Terdapat 3 ZPPI yang berpeluang diakses oleh nelayan kecil yaitu 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, dan 1 ZPPI pada posisi lokasi BT dan LS. Disamping itu masih terdapat 3 ZPPI yang memungkinkan diakses melalui kerjasama penangkapan antara nelayan dari TPI dari kabupaten yang berdekatan yaitu dalam koordinat BT dan LS. Sementara sebaran ZPPI di sisi selatan berada di perbatasan zona 12 mil sehingga hanya mungkin diakses oleh nelayan kecil dengan perahu motor dan perbekalan bahan bakar yang memadai, yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan 1 ZPPI yang berada di perbatasan Selat Madura dan Selat Bali yaitu pada koordinat BT dan LS nampaknya sulit diakses, selain karena lokasinya yang cukup jauh juga kondisi angin timur yang dapat menjadi hambatan dalam operasi penangkapan. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Juli sebagaimana terlihat pada Gambar 6.8 (d). 6.9 Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Agustus Informasi spasial ZPPI di Selat Madura pada minggu pertama bulan Agustus memperlihatkan zona yang potesial untuk operasi penangkapan adalah pada ZPPI dengan selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI di sisi timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaliknya di sisi selatan tidak terdapat satupun ZPPI yang berpeluang diakses oleh nelayan kecil, kesulitan ini ditambah dengan kemungkinan hambatan angin kencang dan gelombang cukup tinggi. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, 2 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, serta di bagian timur dengan selang koordinat BT dan LS. Kelompok ZPPI yang dibagian timur ini kemungkinan sulit diakses karena hambatan angin dan gelomang musim timur. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan Agustus sebagaimana terlihat pada Gambar 6.9 (a). Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Agustus mengalami pergeseran ke arah barat dibandingkan minggu sebelumnya. Hanya terdapat 1 ZPPI yang potensial untuk lokasi penangkapan bagi nelayan dari sisi selatan Selat Madura yaitu pada selang koordinat

95 BT dan LS. Di sisi utara terdapat 1 ZPPI di bagian barat dengan selang koordinat BT dan LS, tapi operasi penangkapan pada 3 ZPPI dengan selang koordinat BT dan LS serta 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS yang harus dilakukan melalui kerjasama penangkapan antara nelayan dari TPI yang terdapat pada 2 daerah yang berdekatan. ZPPI di atas zona 12 mil dapat juga dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 2 ZPPI di bagian barat dengan selang koordinat BT dan LS, 2 ZPPI di bagian tengah yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta 5 ZPPI di bagian timur yaitu dalam selang koordinat BT dan LS bahkan ada yang di perbatasan dengan Selat Bali. ZPPI yang terdapat dibagian timur ini kemungkinan sulit diakses karena hambatan angin dan gelombang musim timur. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan Agustus sebagaimana terlihat pada Gambar 6.9 (b). (a) (b) (c) Gambar 6.9 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Agustus. (d) 78

96 Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu ketiga bulan Agustus memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan dan pergeseran posisi dari ZPPI di Selat Madura dan sekitarnya. DI sisi selatan terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS yang tepat berada di perbatasan zona 12 mil sehingga dapat diakses melalui kerjasama penangkapan antara nelayan besar dengan nelayan kecil sehingga tidak terjadi konflik. Di sisi utara terdapat 1 ZPPI yang sepenuhnya dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu pada selang koordinat BT dan LS, dan 2 ZPPI masing-masing selang koordinat BT dan LS dan dalam selang koordinat BT dan LS dapat diakses melalui kerjasama penangkapan antara nelayan besar dengan nelayan kecil sehingga tidak terjadi konflik. Terdapat 3 ZPPI di atas zoa 12 mil menyebar di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, 4 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, serta 8 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebagaimana minggu sebelumnya bahwa ZPPI yang terdapat di bagian timur ini kemungkinan sulit diakses karena hambatan angin dan gelombang musim timur. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Agustus sebagaimana terlihat pada Gambar 6.9 (c). Pada minggu keempat bulan Agustus, terjadi pergeseran ZPPI ke arah timur dan sedikit pengurangan jumlah zona potensi penangkapan dibandingkan minggu sebelumnya. Memperhatikan posisi sebaran ZPPI tersebut maka pada minggu keempat ini akan cukup menyulitkan bagi nelayan kecil karena di sisi selatan tidak terdapat ZPPI yang berpeluang untuk diakses, sementara di sisi utara terdapat 2 ZPPI yang tepat berada di garis zona 12 mil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. ZPPI di atas zona 12 mil tersebar pada 3 lokasi yaitu di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, 2 ZPPI di bagian tengah berada dalam selang koordinat BT dan LS, serta 6 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebagaimana minggu ketiga maka pada minggu keempat ini kemungkinan sulit mengakses ZPPI yang ada di bagian timur ini karena hambatan angin dan gelombang musim timur. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Agustus sebagaimana terlihat pada Gambar 6.9 (d) Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan September Jumlah dan sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu pertama bulan September jumlahnya mengalami penurunan di bandingkan minggu sebelumnya. Berdasarkan informasi spasial ZPPI tersebut, tidak ada satupun ZPPI di sisi selatan di bawah zona 12 mil yang dapat diakses oleh nelayan kecil. Sebaliknya di sisi utara terdapat 1 ZPPI yang dapat diakses 79

97 sepenuhnya oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, dan 2 ZPPI yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan antar nelayan dari 2 TPI terdekat yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil terbagi 2 kolempok yaitu 5 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS tetapi 3 diantaranya diakses melalui kerjasama penangkapan, serta 3 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat BT dan LS. Kemungkinan untuk dapat mengakses ZPPI di bagian timur tersebut sangat tergantung pada kondisi angin dan gelombang dari timur atau tenggara. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan September sebagaimana terlihat pada Gambar 6.10 (a). Berdasarkan informasi spasial ZPPI, pada minggu kedua terlihat adanya peningkatan jumlah dan penyebaran ZPPI cukup besar di Selat Madura, dengan konsentrasi ZPPI berada di bagian barat dan dengan perairan Selat Madura. Di sisi selatan Selat Madura terdapat 2 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara nampak 1 ZPPI yang dekat dengan pantai yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, dan 4 ZPPI lainnya dapat diakses melalui kerjasama penangkapan karena berada di perbatasan zona 12 mil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil dapat dikelompokkan menjadi 3 lokasi yaitu, 6 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, 4 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur Selat Madura hanya terdapat 2 ZPPI yang tersebar cukup jauh, dalam selang koordinat BT dan LS. Sebagaimana minggu sebelumnya bahwa kemungkinan untuk dapat mengakses ZPPI di bagian timur tersebut sangat tergantung pada kondisi angin dan gelombang dari timur atau tenggara. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan September sebagaimana terlihat pada Gambar 6.10 (b). Konsentrasi ZPPI di Selat Madura pada minggu ketiga bulan September mengalami perubahan, sebaran ZPPI mengalami pergeseran lebih ke timur dibandingkan sebelumnya Gambar 6.10 (c). Di sisi selatan hanya terdapat 1 ZPPI yang mudah dijangkau oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, dan ada 2 ZPPI yang mungkin dapat diakses oleh nelayan kecil melalui kerjasama penangkapan yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 2 kelompok ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil meski harus ada kerjasama dengan nelayan besar, kelompok pertama di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI di bagian timur yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Searan ZPPI di atas zona 12 mil juga dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu, 2 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, 3 ZPPI di 80

98 bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, dalam kelompok ketiga terdapat 5 ZPPI yang lokasinya cukup jauh, masig-masing 4 ZPPI dalam selang BT dan LS serta 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. (a) (b) (c) Gambar 6.10 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan September. Kondisi sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu keempat bulan September hampir sama dengan minggu ketiga, tetapi mengalami pergeseran dan perluasan Gambar 6.10 (d). Di sisi selatan terdapat 1 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS sera 2 ZPPI yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan dengan nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 3 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta 7 ZPPI yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan antara nelayan kecil dengan nelayan (d) 81

99 besar yaitu pada 4 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 3 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat BT dan LS. Dalam zona 12 mil terdapat 2 ZPPI di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, 4 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, serta 5 ZPPI yang lokasinya cukup jauh di bagian paling timur dalam selang koordinat BT dan LS Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Oktober Informasi spasial ZPPI pada minggu pertama bulan Oktober memperlihatkan bahwa zona penangkapan ikan lebih terkonsentrasi di bagian tengah dan agak ke utara dari peraran Selat Madura sebagaimana terlihat pada Gambar 6.11 (a). Di sisi selatan hanya terdapat 1 ZPPI yang berpeluang diakses oleh nelayan kecil dan harus melalui kerjasama penangkapan antara 2 TPI terdekat karena ada di perbatasan zona 12 mil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara bagian barat terdapat 3 ZPPI yang sepenuhnya dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sisi utara bagian timur terdapat 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Disamping itu, di sisi utara agak ke timur juga terdapat 2 ZPPI yang mungkin dapat diakses oleh nelayan kecil melalui kerjasama penangkapan dengan nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. ZPPI yang sepenuhnya berada di atas zona zona 12 mil, 2 ZPPI berada di sebelah barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 5 ZPPI berada di sebelah timur bahkan mendekati perbatasan Laut Bali, dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu kedua bulan Oktober nampak lebih banyak dan menyebar lebih luas dibandingkan minggu pertama, namun penyebaraannya terpisah-pisah kecuali yang ada di bagian timur, sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 6.11(b). Di sisi selatan hanya terdapat 1 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, dan 1 ZPPI yang dapat dijadikan target kerjasama penangkapan antara nelayan kecil dengan nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sementara itu, di sisi utara terdapat 4 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil tersebar dalam 2 kelompok yaitu di bagian barat dengan 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta di bagian timur dengan 6 ZPPI dan 3 diantaranya sudah mendekati perbatasan Laut Bali dalam selang koordinat BT dan LS. 82

100 Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan Oktober mengalami pergeseran ke sebelah timur dan ke sisi selatan dibandingkan minggu sebelumnya, dan hanya ada 2 zona yang berada di bagian tengah Selat Madura, terlihat pada Gambar 6.11 (c). Di sisi selatan terdapat 3 ZPPI tersebar dalam selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI di sisi timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di sisi utara Selat Madura dapat dibagi menjadi 2 bagian juga yaitu di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI di bagian timur dalam selang koordinat BT dan LS. Di atas zona 12 mil hanya terdapat 2 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Dalam kondisi sebaran ZPPI seperti ini perlu pengawasan kemungkinan terjadinya nelayan besar ke zona penangkapan nelayan kecil sehingga memicu terjadinya konflik penangkapan. (a) (b) (c) Gambar 7.11 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan Oktober. (d) 83

101 Jumlah dan sebaran ZPPI di perairan Selat Madura pada minggu keempat bulan Oktober mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya, terutama di bawah zona 12 mil yang merupakan zona penangkapan bagi nelayan kecil. Di sisi selatan hanya terdapat 1 ZPPI yang potensial untuk lokasi penangkapan yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 2 ZPPI yang dapat dijadikan target penangkapan nelayan kecil dan sebagaimana di sisi selatan, harus dilakukan juga kersama penangkapan dengan nelayan besar dalam selang koordinat BT dan LS. Di atas zona 12 mil terdapat 4 ZPPI yang menyebar dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI agak ke selatan di perbatasan Selat Bali yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan Oktober sebagaimana terlihat pada Gambar 6.11 (d) Informasi Spasial ZPPI Mingguan Bulan Nopember Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu pertama bulan Nopember tidak terlalu banyak berbeda dibandingkan dengan minggu ke empat bulan Oktober. Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada minggu pertama bulan November tersebut terdapat 3 ZPPI di sisi selatan masingmasing 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI yang sangat dekat dengan perairan pantai dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara hanya terdapat 1 ZPPI agak ke timur yang dapat diakses langsung oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI dengan lokasi agak ke barat yang dapat diakses melalui kerjasama penangkapan antara nelayan kecil dan nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil dapat dibagi dalam 3 kelompok yaitu di bagian barat dalam selang koordinat BT dan LS, dalam selang BT dan LS, serta kelompok ketiga yang ada di sebelah timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu pertama bulan November sebagaimana terlihat pada Gambar 6.12 (a). Berdasarkan informasi spasial ZPPI pada minggu kedua bulan November, terjadi peningkatan jumlah dan sebaran ZPPI yang tersebar dari perairan Selat Madura di bagian barat sampai ke sisi bagian paling timur. Di sisi selatan bagian barat terdapat 3 ZPPI yang dapat menjadi target penangkapan nelayan kecil yaitu selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 5 ZPPI yang sepenuhnya dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu selang koordinat BT dan LS, dan berpeluang melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan besar pada 3 ZPPI di bagian barat yaitu selang koordinat BT dan LS, juga pada 2 ZPPI selang 84

102 koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil tersebar 2 ZPPI di sebelah barat selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah selang koordinat BT dan LS, 3 ZPPI di sebelah timur pada selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI di sebalah timur agak ke selatan dekat dengan Selat Bali yaitu dalam selang selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu kedua bulan November sebagaimana terlihat pada Gambar 6.12 (b). (a) (b) (c) Gambar 6.12 Sebaran ZPPI mingguan di Selat Madura dan sekitarnya pada minggu pertama (a); minggu kedua (b); minggu ketiga (c); dan minggu keempat bulan November. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan November terkonsentrasi agak bagian timur dari perairan Selat Madura dibandingkan dengan minggu sebelumnya tetapi dalam areal yang lebih luas dan lebih banyak. Di sisi selatan terdapat 1 ZPPI yang sangat dekat dengan perairan pesisir yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI yang mungkin dapat dijadikan target meski harus melalui kerjasama (d) 85

103 operasi penangkapan yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 2 ZPPI yang dapat diakses sepenuhnya oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di atas zona 12 mil terdapat 2 kelompok yaitu yang di bagian barat dengan 6 ZPPI dan 2 diantaranya dapat dijadikan target penangkapan melalui kerjasama operasi penangkapan antara 2 TPI terdekat yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta kelompok kedua dengan 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI pada minggu ketiga bulan November sebagaimana terlihat pada Gambar 6.12 (c). Sebaran ZPPI di Selat Madura pada minggu keempat bulan November lebih banyak dari bulan sebelumnya dan mengalami penyebaran lebih ke barat. Di sisi selatan terdapat 3 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta dimungkinkan melakukan kerjasama penangkapan dengan nelayan besar pada 1 ZPPI di batas zona 12 mil dalam selang koordinat BT dan LS, serta pada ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara terdapat 2 ZPPI yang mudah diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, serta dimungkinkan melakukan kerjasama penangkapan pada 3 ZPPI di batas zona 12 mil dalam selang koordinat BT dan LS. Di perairan Selat Madura di atas zona 12 mil terdapat 6 ZPPI yang terkonsentrasi dalam selang koordinat BT dan LS yang lebih diarahkan untuk penangkapan oleh nelayan besar. Sebaran ZPPI pada minggu keempat bulan November sebagaimana terlihat pada Gambar 6.12 (d). 86

104 BAB 7 IDENTIFIKASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN BULANAN (Studi Kasus untuk Selat Madura dan Sekitarnya) Untuk memudahkan dalam pembahasan maka perairan Selat Madura dibagi menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian barat dalam selang koordinat dari sisi paling barat Selat Madura sampai dengan BT, bagian tengah dalam selang koordinat BT, dan bagian timur yaitu mulai dari BT sampai dengan BT. Unit spasial dibuat dengan ukuran 10 x10 atau sama dengan 18,33km x 18,33 km. Tiap unit spasial ZPPI yang disebut dengan ZPPI saja memiliki ukur 10 x Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Desember Sebaran zona potensi penangkapan ikan pada bulan Desember yang merupakan bulan pertama di musim barat sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.1. Nelayan kecil di sisi selatan Selat Madura bagian barat terdapat pada 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, terdapat 4 ZPPI di bagian tengah yaitu masing-masing 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 2 unit spasial ZPPI dalam selang koordinat BT dan Jika memperhatikan sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan Desember tersebut maka perlu adanya kerjasama penangkapan ikan antara nelayan dari sisi selatan bagian barat dan bagian tengah dalam mengakses ZPPI dalam selang BT dan LS. Di sisi utara Selat Madura bagian barat hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Pada bulan Desember ini dapat menjadi kondisi yang menyulitkan bagi nelayan kecil di sisi utara bagian barat karena hanya terdapat 1 ZPPI, sedangkan bagi nelayan di bagian tengah khususnya di sebelah timur masih berpeluang mengakses 3 ZPPI. Dalam kondisi ini sulit dilakukan kerjasama penangkapan karena tidak ada ZPPI yang berpeluang diakses secara bersama-sama. Di perairan Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat terdapat 3 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur terdapat 3 kelompok sebaran ZPPI masingmasing kelompok pertama terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, kelompok kedua di sisi selatan dengan 9 ZPPI dalam selang BT dan LS, 87

105 serta 3 ZPPI di sisi utara dalam selang koordinat BT dan LS. Gambar 7.1 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Desember. 7.2 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Januari Sebaran ZPPI pada bulan Januari yang merupakan bulan kedua di musim barat sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.2, terjadi penurunan dibandingkan bulan sebelumnya. Sebaran ZPPI di bawah zona 12 mil di sisi selatan bagian barat terdapat dalam selang koordinat BT dan LS, dan terdapat 3 ZPPI di bagian tengah yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di bagian timur tidak ada ZPPI yang memungkinkan diakses oleh nelayan kecil. Kerjasama penangkapan antar nalayan di bagian barat dan di bagian tengah dapat dilakukan pada 2 ZPPI yang ada dalam selang BT dan LS. Sebagaimana bulan sebelumnya, di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur tidak terdapat ZPPI yang memungkinkan diakses oleh nelayan kecil. Kerjasama penangkapan antara nalayan di bagian barat dan di bagian tengah dapat juga dilakukan dalam mengakses ZPPI yang ada dalam selang BT dan LS. Di perairan dalam zona di atas 12 mil di bagian barat hanya terdapat 2 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah 88

106 terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan jumlah ZPPI di bagian timur banyak mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya dan dapat dibagi 3 kelompok sebaran ZPPI. Kelompok pertama terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, kelompok kedua di sisi selatan dengan 2 ZPPI dalam selang BT dan LS, dan di sisi utara juga hanya terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Gambar 7.2 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Januari. 7.3 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Februari Sebaran ZPPI pada bulan Februari yang merupakan bulan ketiga di musim barat sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.3, dibandingkan bulan sebelumnya terdapat peningkatan di bagian barat tetapi sebaliknya penurunan di sebelah timur. Terdapat 2 ZPPI di bawah zona 12 mil di sisi selatan bagian barat yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengan terdapat 2 kelompok ZPPI masingmasing 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di bagian timur hanya terdapat 1 ZPPI yang memungkinkan diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Nelayan kecil di bagian barat dan di bagian tengah berpeluang melakukan kerjasama penangkapan dalam mengakses 2 ZPPI yang ada dalam selang BT dan LS. 89

107 Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil kembali hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur tidak terdapat ZPPI yang memungkinkan diakses oleh nelayan kecil. Kerjasama antar nelayan kecil mungkin dapat dilakukan dalam mengakses ZPPI yang lokasinya sama dengan bulan sebelumnya yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di perairan dalam zona di atas 12 mil di bagian barat terdapat 3 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Jumlah ZPPI di bagian timur banyak mengalami penurunan dan hanya terdapat 7 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Gambar 7.3 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Februari. 7.4 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Maret Pada bulan Maret yang merupakan bulan pertama musim peralihan pertama, terdapat 2 ZPPI di bawah zona 12 mil di sisi selatan bagian barat yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengan terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di bagian timur juga hanya terdapat 1 ZPPI yang terdapat dalam selang koordinat BT 90

108 dan LS. Kerjasama penangkapan antara nelayan kecil di bagian barat dan di bagian tengah dapat dilakukan dalam mengakses 2 ZPPI dalam selang BT dan LS. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil terdapat 3 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah juga terdapat 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur terdapat 1 ZPPI yang memungkinkan diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang BT dan LS. Kerjasama penangkapan antara nelayan kecil di bagian barat dan di bagian tengah dapat juga dilakukan dalam mengakses ZPPI dalam selang BT dan LS. Di perairan Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat kembali terdapat 3 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan besar yaitu dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di bagian timur terdapat 11 ZPPI yang terkonsentrasi dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI bulan Maret sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.4. Gambar 7.4 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Maret. 7.5 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan April Jumlah ZPPI di Selat Madura pada bulan April sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.5 mengalami peningkatan dibandingkan sebelumnya, baik dibawah maupun di atas zona 12 mil. Di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil hanya terdapat 1 ZPPI yaitu dalam 91

109 selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengan terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, dan juga 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur terjadi peningkatan yang bulan sebelumnya hanya terdapat 1 ZPPI meningkat menjadi 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Memperhatikan sebaran ZPPI pada bulan April maka nelayan di sisi selatan bagian barat Selat Madura akan mengalami kesulitan karena hanya terdapat 1 ZPPI, sebaliknya di bagian tengah terdapat 2 ZPPI yang berpeluang dijadikan zona kerjasama penangkapan oleh nelayan dari 2 TPI terdekat, yaitu dalam selang BT dan LS. Gambar 7.5 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan April. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil mengalami penurunan dari bulan sebelumnya yang berjumlah 3 ZPPI turun menjadi 2 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur terdapat peningkatan dari 1 menjadi 5 ZPPI dalam selang BT dan LS, serta 1 ZPPI lainnya dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI antara sebelah barat dan tengah terpisah cukup jauh sehingga sulit dijadikan target zona penangkapan. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat mengalami peningkatan dari 3 menjadi 4 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan besar dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah juga mengalami peningkatan dari 5 menjadi 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. 92

110 Sedangkan di bagian timur terdapat 2 ZPPI yang terdapat dalam selang koordinat BT dan LS, juga 2 ZPPI di utara dalam selang BT dan LS, serta 7 ZPPI di sisi selatan dalam koordinat BT dan LS. 7.6 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Mei Jumlah ZPPI di Selat Madura pada bulan Mei sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8.6 mengalami penurunan dibandingkan sebelumnya, terutama di bagian barat dan di bagian timur di bawah zona zona 12 mil. Di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil terdapat 2 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengan terdapat 3 ZPPI masing-masing 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, dan juga 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Terdapat 2 ZPPI yang berpeluang dijadikan zona kerjasama penangkapann antar nelayan di sisi selatan bagian barat dan bagian tengah yaitu dalam selang BT dan LS. Gambar 7.6 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Mei. Di bagian timur hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, sedangkan di sebelah timur terdapat 5 ZPPI agak ke utara dalam selang BT dan LS. Terdapat 2 ZPPI yang agak 93

111 terpisah tetapi dapat dijadikan target lokasi penangkapan yaitu ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat mengalami penurunan dari 4 menjadi 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah juga mengalami penurunan dari 6 menjadi menjadi 5 ZPPI masing-masing dalam 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di bagian timur 2 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 8 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 5 ZPPI dalam koordinat BT dan LS. 7.7 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juni Sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan Juni sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.7 sudah mulai dipengaruhi oleh angin dari arah timur dan tenggara, ZPPI bergeser ke arah barat dan utara dan lebih banyak terkonsentrasi di atas zona 12 mil. Di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil terdapat 3 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah terdapat 2 ZPPI yang lokasinya sangat menguntunkan nelayan kecil karena dekat dengan perairan pantai, masing-masing dalam selang koordinat BT dan LS, dan juga 1 ZPPI dalam selang kotordinat BT dan LS. Di bagian timur terdapat 2 ZPPI yang dapat diakses oleh nelayan kecil yaitu dalam selang BT dan LS. Berdasarkan sebaran ZPPI yang lokasinya berbatasan dengan bagian tengah, sementara di bagian tengah terdapat 1 ZPPI yang lokasinya mendekati perbatasan bagian timur. Karena itu, dalam upaya meningkatkan tangkapan maka nelayan kecil yang ada di sebelah barat dari sisi selatan bagian tengah harus melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI terdekat yaitu dalam selang BT dan LS. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil hanya terdapat 1 ZPPI yang lokasinya agak ke barat dalam selang BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI masing-masing 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di sebelah timur terdapat 2 ZPPI agak ke utara dalam selang BT dan LS. Sebaliknya, di sisi utara bagian barat hanya memiliki 1 ZPPI yang lokasinya agak di barat, sehingga nelayan kecil harus melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI di bagian tengah yaitu dalam selang BT dan LS. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, 94

112 di bagian tengah terdapat 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di bagian timur 3 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta di sisi utara dengan 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Gambar 7.7 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juni. 7.8 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Juli Sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan Juli sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.8 terjadi peningkatan sebaran ZPPI di bagian barat dan di bagian timur, terutama dalam zona di atas 12 mil dan sangat menguntungkan bagi nelayan besar. Di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil masih terdapat 3 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah terdapat 3 ZPPI yang tersebar dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Terdapat 2 ZPPI yang dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan antar nelayan kecil di sisi selatan bagian barat dan bagian tengah yaitu ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil terjadi peningkatan dari 1 menjadi 2 ZPPI yang lokasinya juga agak ke barat dalam selang BT dan LS, di bagian tengah 95

113 terdapat 5 ZPPI yang masing-masing tersebar 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di sebelah timur terdapat 4 ZPPI agak ke utara dalam selang BT dan LS. Pada bulan Juni, sulit melakukan kerjasama penangkapan antara nelayan kecil yang ada di sisi utara bagian barat dan bagian tengah karena tidak terdapat ZPPI yang berada di perbatasan atau berdekatan dengan perbatasan antara kedua bagian tersebut. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 2 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 3 ZPPI selang koordinat BT dan LS, serta 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di bagian timur 3 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta di sisi utara dengan 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Gambar 7.8 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Juli. 7.9 Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Agustus Sebaran ZPPI di Selat Madura bagian barat dan tengah pada bulan Agustus (Gambar 7.9), mengalami penurunan dari sebelumnya dan bergeser ke utara, yaitu pada perairan di atas 12 mil. Sebaran ZPPI di bagian barat di bawah zona 12 mil yang bulan sebelumnya 3 ZPPI 96

114 menurun menjadi 2 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah juga terdapat 2 ZPPI dalam selang kotordinat BT dan LS. Di bagian timur juga terdapat 2 ZPPI tetap pada posisi seperti sebelumnya yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI bulan Agustus memperlihatkan bahwa tidak terdapat ZPPI di perbetasan atau dekat perbatasan antara 2 bagian tersebut, sehingga agak sulit melakukan kerjasama penangkapan mengakses ZPPI. Gambar 7.9 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Agustus. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil terjadi kondisi yang kurang menguntungkan karena tidak terdapat ZPPI sama sekali, di bagian tengah terdapat 3 ZPPI yang masing-masing tersebar 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di sebelah timur terdapat 3 ZPPI agak ke utara dalam selang BT dan LS. Begitu juga di sisi utara agak sulit melakukan kerjasama penangkapan karena tidak terdapat ZPPI di perbatasan atau dekat dengan perbatasan antar kedua bagian tersebut yang dapat diakses secara bersama. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat, terdapat 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah mengalami peningkatan dari 5 menjadi 6 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur juga terdapat 3 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 6 ZPPI di sebelah utara dalam selang koordinat BT dan LS, 6 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan 97

115 LS, serta bagian selatan dengan 3 ZPPI juga tersebar dalam selang koordinat BT dan LS Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan September Sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan September sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.10 yang merupakan bulan pertama musim peralihan kedua, secara umum mengalami pergeseran agak ke utara. Sebaran ZPPI di bagian barat di bawah zona 12 mil yang bulan sebelumnya 2 ZPPI mengalami penurunan lagi menjadi 1 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah sedikit mengalami peningkatan dari 2 menjadi 3 ZPPI yang terkonsentrasi di sebelah timur dalam selang kotordinat BT dan LS. Di bagian timur juga mengalami penurunan cukup berarti, dari sebelumnya terdapat 2 ZPPI menjadi tidak ada satupun. Memperhatikan sebaran ZPPI di perbatasan antara bagian barat dan bagian tengah, hanya terdapat 1 ZPPI yaitu dalam selang BT dan LS yang dapa dijadikan zona kerjasama penangkapan. Gambar 7.10 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan September. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil terjadi peningkatan, yang bulan sebelumnya tidak ada satupun ZPPI maka pada bulan September terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah juga terjadi peningkatan yang sebelumnya hanya 3 ZPPI menjadi 4 ZPPI yang terkonsentrasi dalam 98

116 selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di sebelah timur mengalami perununan dari 3 menjadi hanya 1 ZPPI dalam selang BT dan LS. Memperhatikan sebaran ZPPI yang agak terpisah, terdapat ZPPI yang dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan antara nelayan di bagian barat dan bagian tengah pada sisi utara Selat Madura. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat, sebaran ZPPI mengalami peningkatan dari 2 menjadi 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur juga terdapat 3 kelompok sebaran ZPPI masingmasing 1 ZPPI di sebelah utara dalam selang koordinat BT dan LS, 7 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, serta bagian selatan dengan 3 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan Oktober Pada bulan Oktober yang merupakan bulan kedua musim peralihan kedua, sebaran ZPPI di Selat Madura secara umum mengalami pergeseran agak ke barat dari bulan sebelumnya, dan jumlahnya mengalami peningkatan. Sebaran ZPPI di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil yang bulan sebelumnya terdapat 2 ZPPI mengalami peningkatan menjadi 4 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah tidak mengalami perubahan tetapi terdapat 3 ZPPI yang terpisah-pisah dalam selang kotordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI yang sangat dekat dengan perairan pantai yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur juga mengalami peningkatan dari bulan sebelumnya yang tidak ada satupun ZPPI, pada bulan Oktober terdapat 3 ZPPI dalam selang BT dan LS. Terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS yang dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan antar nelayan dari 2 bagian yang bersebelahan. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil, jumlah ZPPI sama dengan bulan sebelumnya tatapi posisinya mengalami pergeseran. Terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah juga tidak terjadi perubahan, terdapat 4 ZPPI tersebar dengan 1 ZPPI di sebelah barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 3 ZPPI di sebelah timur dalam selang koordinat BT dan LS. Di sebelah timur hanya terdapat 1 ZPPI dalam selang BT dan LS. Sebagaimana halnya di sisi selatan, juga terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS yang dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan antar nelayan dari 2 bagian yang bersebelahan di sisi utara Selat Madura. 99

117 Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat, 4 ZPPI tersebar dalam selang koordinat BT dan LS, di bagian tengah terdapat 5 ZPPI dengan sebaran sebagaimana bulan sebelumnya yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur juga terdapat 3 kelompok sebaran ZPPI masingmasing 2 ZPPI di sebelah utara dalam selang koordinat BT dan LS, 9 ZPPI di bagian tengah dalam selang koordinat BT dan LS, serta bagian selatan dengan 4 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. Sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan Oktober sebagaimana diperlihatkan pada Gambar Gambar 7.11 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan Oktober Zona Potensi Penangkapan Ikan Bulan November Sebaran ZPPI di Selat Madura pada bulan Oktober yang merupakan bulan kedua musim peralihan kedua sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 7.12, secara umum mengalami penurunan, namun memiliki pola sebaran yang serupa dibandingkan bulan sebelumnya. Jumlah ZPPI di sisi selatan bagian barat di bawah zona 12 mil tidak mengalami perubahan dari bulan sebelumnya tetapi mempunyai pola sebaran yang berbeda, yaitu terdapat 4 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Jumlah ZPPI di bagian tengah tidak mengalami perubahan, terdapat 5 ZPPI yang terpisah-pisah yaitu 3 ZPPI dalam selang kotordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI dalam selang koordinat BT dan

118 07 50 LS. Disamping itu, juga terdapat 1 ZPPI yang sangat dekat dengan perairan pantai yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur kembali mengalami penurunan karena tidak ada satupun ZPPI yang digunakan untuk lokasi penangkapan. ZPPI di bagian barat dan bagian tengah dalam selang BT dan LS, dapat dijadikan zona kerjasama penangkapan antara nelayan dari TPI terdekat. Namun demikian, dapat juga melakukan usaha peningkatan hasil tangkapan dengan mengoptimalkan penangkapan pada ZPPI yang terdekat dengan masing-masing TPI. Gambar 7.12 Informasi Spasial ZPPI di Selat Madura dan perairan sekitarnya pada bulan November. Di sisi utara Selat Madura bagian barat di bawah zona 12 mil, jumlah ZPPI mengalami penurunan yang sebelumnya terdapat 2 ZPPI turun hanya menjadi 1 ZPPI yaitu dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian tengah mengalami sedikit peningkatan dari 4 menjadi 5 ZPPI yang tersebar menjadi 2, yaitu 4 ZPPI di sebelah barat dalam selang koordinat BT dan LS, serta 1 ZPPI di sebelah timur dalam selang koordinat BT dan LS. Sedangkan di sebelah timur tidak mengalami perubahan, tetap hanya terdapat 1 ZPPI pada lokasi yang sama yaitu dalam selang BT dan LS. Sebaran ZPPI di bagian barat tidak sebanyak di bagian tengah, sehingga perlu kerjasama penangkapan oleh nelayan dari kedua bagian berdekatan tersebut dalam mengakses ZPPI dalam selang BT dan LS. Di Selat Madura dalam zona di atas 12 mil di bagian barat, terdapat 4 ZPPI yang tersebar dalam area sebagaimana bulan sebelumnya yaitu selang koordinat BT dan LS. Di bagian 101

119 tengah terdapat 5 ZPPI yang memanjang dalam selang koordinat BT dan LS. Di bagian timur juga terdapat 3 kelompok sebaran ZPPI masing-masing 3 ZPPI di sebeleh utara dalam selang koordinat BT dan LS, 9 ZPPI di bagian tengah tersebar dalam selang koordinat BT dan LS, serta di bagian selatan terdapat 2 ZPPI dalam selang koordinat BT dan LS. 102

120 BAB 8 UJI COBA PENERAPAN INFORMASI SPASIAL ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN HARIAN Pengembangan, sosialisasi, dan penerapan informasi spasial ZPPI telah dilakukan antara lain di Indramayu (Jabar), Situbondo (Jatim), Sibolga (Sumut), Dki Jakarta, Bengkulu, Ciamis (Jabar), Pekalongan (Jateng), Benoa (Bali), Makasar (Sulsel), Manado (Sulut), Sambas (Kalbar), Agam (Sumbar), Kupang NTT, Garut (Jabar), Karawang (Jabar), Parepare (Sulsel), Biak (Papua), Sabang (NAD), Bangkalan (Madura), Balikpapan (Kaltim), dan Batam (Kepri). Kegiatan sosialisasi dan penerapan informasi spasial ZPPI dilakukan atas kerjasama antara LAPAN, dengan Dinas Kelautan dan Perikanan, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), KUD atau Koperasi Mina, dan para pemilik Kapal. Sosialisasi dan penerapan informasi spasial ZPPI pada beberapa daerah dilakukan atas kerjasama Pusat Pengembangan Pemanfaatan Penginderaan Jauh LAPAN (Pusbangja) dengan PT. Geoinfo, Yayasan Lembaga Inovasi dan Komunikasi (YLINK). Berikut ini disampaikan uraian tentang gambaran contoh keberhasilan dan kendala dalam sosialisasi dan penerapan informasi spasial ZPPI di beberapa daerah. 8.1 Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Sibolga Sumatera Utara Sosialisasi dan uji coba penerapan informasi ZPPI (waktu masih bernama ZPI) dilakukan mulai tahun 2002, dengan tanggapan yang sangat baik. Salah satu contohnya adalah sosialisasi dan uji coba penerapan informasi ZPPI pada bulan Oktober 2002, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 8.1 dan dengan koordinat posisi ZPPI sebagaimana Tabel 8.1. Uji coba penangkapan dilakukan pada tanggal 26 Oktober 2002 menggunakan informasi ZPI tanggal 21 Oktober 2002 pada posisi ZPPI sebagaimana ditandai dengan kotak pada Gambar 8.1. Uji coba penangkapan dilakukan menggunakan perahu motor dengan bobot tonase 95 Gt dan alat tangkap Purse Seine, didukung alat bantu Echosounder tipe Evc, GPS Garmin 120. Pada uji coba tersebut diperoleh hasil tangkapan sebanyak 6 ton mayoritas ikan jenis sarden, dengan tangkapan sampingan ikan timpik dan ikan buncilak. Tabel 8.1 Nomor, koordinat-x dan koordinat-y dari 4 ZPPI yang ada di perairan sekitar Sibolga pada tanggal 21 Oktober No. ZPPI Koordinat-X Koordinat-Y 1 97 o BT 00 o LU 2 98 o BT 00 o LU 3 95 o BT 00 o LS 4 98 o BT 00 o LS 103

121 Gambar 8.1. Informasi ZPI yang disosialisasikan dan digunakan pada uji coba penangkapan di Sibolga menunjukkan lokasi yang disarankan untuk kegiatan penangkapan. Gambar 8.2 Rangkaian foto kegiatan uji coba ZPPI di Sibolga. Gambar paling atas memperlihatkan kapal yang dipakai pada kegiatan uji coba ZPPI, Nakoda kapal Sabri Naiboho, SE, dan tali utama purse seine. Gambar tengah memperlihatkan kegiatan houling untuk menaikkan hasil tangkapan. Gambar paling bawah menunjukkan ikan hasil tangkapan pada uji coba ZPPI tersebut. Kegiatan uji coba penerapan ZPPI di Sibolga ini banyak memberikan masukan yang bermanfaat bagi pengembangan lanjut informasi spasial ZPPI. 104

122 8.2 Uji Coba Penerapan Informasi ZPPI di Pangandaran Jawa Barat Perubahan organisasi LAPAN pada awal tahun 2001 dan pengangkatan penulis sebagai Kepala Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh pada Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN, merupakan titik awal peningkatan penerapan informasi spasial ZPPI. LAPAN telah melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan penerapan informasi spasial ZPPI bagi nelayan di beberapa daerah. Penerapan informasi spasial ZPPI bagi nelayan di daerah Pangandaran dilakukan pada tanggal 9-15 Juli Kegiatan sosialisasi dan aplikasi ini diikuti oleh perwakilan nelayan dari Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, dan beberapa perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dari Bandung dan Tasikmalaya. Pelaksanaan aplikasi data ZPPI secara langsung dalam kegiatan penangkapan ikan dilaksanakan pada tanggal Juli 2002 di Pangandaran di ZPPI sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 8.3. Gambar 8.3. Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran. Lapan melakukan uji coba hari pertama pada tanggal 11 Juli 2002 menggunakan data ZPPI tanggal 10 Juli 2002 di posisi titik ikan 108 o BT 7 o LS dan kapal yang digunakan berukuran 10 GT dengan alat tangkap jaring ngambang. Hasil tangkapan yang diperoleh dalam operasi penangkapan ikan sebesar 40 kg dengan jenis ikan tongkol dan layur. Uji coba hari kedua tanggal 12 Juli 2002 dengan memakai data ZPPI 1 (satu) hari sebelumnya pada koordinat 108 o BT 7 o LS dan bobot kapal yang dipakai berukuran sama hanya alat tangkapnya 105

Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan data penginderaan jauh

Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan data penginderaan jauh Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan ikan berdasarkan data penginderaan jauh Pengembangan dan penerapan informasi spasial dan temporal zona potensi penangkapan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan laut yang sangat luas, terdiri dari wilayah perairan teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km 2 dan zona ekonomi ekslusif (ZEE)

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang 10 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3-11,3 µm dan 11,5-12,5

Lebih terperinci

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR

ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR ANALISIS SPASIAL SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN LAUT JAWA PADA MUSIM TIMUR DENGAN MENGGUNAKAN DATA DIGITAL SATELIT NOAA 16 -AVHRR Oleh : MIRA YUSNIATI C06498067 SKRIPSI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan,

TINJAUAN PUSTAKA. Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara. Utara terdiri dari 7 Kabupaten/Kota, yaitu : Kabupaten Langkat, Kota Medan, 6 TINJAUAN PUSTAKA Keadaan Umum Perairan Pantai Timur Sumatera Utara Pantai Timur Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 545 km. Potensi lestari beberapa jenis ikan di Perairan Pantai Timur terdiri

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi SPL secara Spasial dan Temporal Pola distribusi SPL sangat erat kaitannya dengan pola angin yang bertiup pada suatu daerah. Wilayah Indonesia sendiri dipengaruhi

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU

PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU PENGARUH SUHU PERMUKAAN LAUT TERHADAP HASIL TAGKAPAN IKAN CAKALANG DI PERAIRAN KOTA BENGKULU Zulkhasyni Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu ABSTRAK Perairan Laut Bengkulu merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et

2. TINJAUAN PUSTAKA. sebaran dan kelimpahan sumberdaya perikanan di Selat Sunda ( Hendiarti et 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi geografis lokasi penelitian Keadaan topografi perairan Selat Sunda secara umum merupakan perairan dangkal di bagian timur laut pada mulut selat, dan sangat dalam di mulut

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya

6 PEMBAHASAN. 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya 99 6 PEMBAHASAN 6.1 Kondisi Selat Madura dan Perairan Sekitarnya Faktor kondisi perairan yang menjadi perhatian utama dalam penelitian tentang penentuan ZPPI dan kegiatan penangkapan ikan ini adalah SPL,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C

2. TINJAUAN PUSTAKA. Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara O C 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Laut Banda 2.1.1 Kondisi Fisik Suhu permukaan laut Indonesia secara umum berkisar antara 26 29 O C (Syah, 2009). Sifat oseanografis perairan Indonesia bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total

BAB I PENDAHULUAN. kepulauan terbesar di dunia, dengan luas laut 5,8 juta km 2 atau 3/4 dari total BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Letak geografis dan kandungan sumber daya kelautan yang dimiliki Indonesia memberikan pengakuan bahwa Indonesia merupakan negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Mentawai adalah kabupaten termuda di Propinsi Sumatera Barat yang dibentuk berdasarkan Undang-undang No.49 Tahun 1999. Kepulauan ini terdiri dari empat pulau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang terletak pada wilayah ekuatorial, dan memiliki gugus-gugus kepulauan yang dikelilingi oleh perairan yang hangat. Letak lintang Indonesia

Lebih terperinci

Oleh : NIA SALMA PRlYANTl. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan C 31.

Oleh : NIA SALMA PRlYANTl. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan C 31. STUDl DAERAH PENANGKAPAN RAWAl TUNA Dl PERAIRAN SELATAN JAWA TlMUR - BAL.1 PADA MUSlM TlMUR BERDASARKAN POLA DlSTRlBUSl SUHU PERMUKAAN LAUT ClTRA SATELIT NOAAIAVHRR DAN DATA HASIL TANGKAPAN Oleh : NIA

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kabupaten Pati 4.1.1 Kondisi geografi Kabupaten Pati dengan pusat pemerintahannya Kota Pati secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

Keyboard: upwelling, overfishing, front, arus Eddies I. PENDAHULUAN

Keyboard: upwelling, overfishing, front, arus Eddies I. PENDAHULUAN PEMANFAATAN DATA SATELIT ALTIMETRI UNTUK PENENTUAN ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) PADA MUSIM HUJAN DAN MUSIM KEMARAU DI WILAYAH INDONESIA TAHUN 2014 Oleh: Ahlan Saprul Hutabarat ahlansaprul@yahoo.co.id

Lebih terperinci

KAJIAN DINAMIKA SUHU PERMUKAAN LAUT GLOBAL MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MICROWAVE

KAJIAN DINAMIKA SUHU PERMUKAAN LAUT GLOBAL MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MICROWAVE Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 4 Desember 2010 : 130-143 KAJIAN DINAMIKA SUHU PERMUKAAN LAUT GLOBAL MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH MICROWAVE Bidawi Hasyim, Sayidah Sulma *), dan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA

ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA ANALISA PENENTUAN LOKASI BUDIDAYA RUMPUT LAUT DENGAN PARAMETER FISIKA MAUPUN KIMIA MENGGUNAKAN CITRA TERRA MODIS DI DAERAH SELAT MADURA Astrolabe Sian Prasetya 1, Bangun Muljo Sukojo 2, dan Hepi Hapsari

Lebih terperinci

4 METODOLOGI. Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI

4 METODOLOGI. Gambar 9 Cakupan wilayah penelitian dalam informasi spasial ZPPI 48 4 METODOLOGI 4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan sejak bulan Juni 2005 sampai dengan Desember 2007, dengan fokus daerah penelitian di kawasan laut Kabupaten Situbondo, Jawa Timur dan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Variabilitas Kesuburan Perairan dan Oseanografi Fisika 4.1.1. Sebaran Ruang (Spasial) Suhu Permukaan Laut (SPL) Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) di perairan Selat Lombok dipengaruhi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Lokasi penelitian adalah Perairan Timur Laut Jawa, selatan Selat Makassar, dan Laut Flores, meliputi batas-batas area dengan koordinat 2-9 LS dan 110-126

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2)

APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DALAM PENELITIAN PERIKANAN DAN KELAUTAN 1) oleh Dr. Ir. Mukti Zainuddin, MSc. 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab. Selayar, 9-10 September

Lebih terperinci

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JAKARTA

PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL JAKARTA LAPORAN SURVEI PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SULAWESI SELATAN Makasar, 08-12 April 2012 PUSAT PEMANFAATAN PENGINDERAAN JAUH LEMBAGA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arus Lintas Indonesia atau ITF (Indonesian Throughflow) yaitu suatu sistem arus di perairan Indonesia yang menghubungkan Samudra Pasifik dengan Samudra Hindia yang

Lebih terperinci

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK

FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK FENOMENA UPWELLING DAN KAITANNYA TERHADAP JUMLAH TANGKAPAN IKAN LAYANG DELES (Decapterus Macrosoma) DI PERAIRAN TRENGGALEK Indri Ika Widyastuti 1, Supriyatno Widagdo 2, Viv Djanat Prasita 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan algoritma empiris klorofil-a Tabel 8, Tabel 9, dan Tabel 10 dibawah ini adalah percobaan pembuatan algoritma empiris dibuat dari data stasiun nomor ganjil, sedangkan

Lebih terperinci

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut

Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samudera Hindia Berbasis Model Laut Oleh : Martono, Halimurrahman, Rudy Komarudin, Syarief, Slamet Priyanto dan Dita Nugraha Interaksi laut-atmosfer mempunyai peranan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial. Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan 28 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Klorofil-a secara Temporal dan Spasial Secara keseluruhan konsentrasi klorofil-a cenderung menurun dan bervariasi dari tahun 2006 hingga tahun 2010. Nilai rata-rata

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH

PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH PERTEMUAN KE-6 M.K. DAERAH PENANGKAPAN IKAN HUBUNGAN SUHU DAN SALINITAS PERAIRAN TERHADAP DPI ASEP HAMZAH Hidup ikan Dipengaruhi lingkungan suhu, salinitas, oksigen terlarut, klorofil, zat hara (nutrien)

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Total Data Sebaran Klorofil-a citra SeaWiFS Total data sebaran klorofil-a pada lokasi pertama, kedua, dan ketiga hasil perekaman citra SeaWiFS selama 46 minggu. Jumlah data

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan

METODE PENELITIAN Bujur Timur ( BT) Gambar 5. Posisi lokasi pengamatan METODE PENELITIAN Lokasi Penelitan Penelitian ini dilakukan pada perairan barat Sumatera dan selatan Jawa - Sumbawa yang merupakan bagian dari perairan timur laut Samudera Hindia. Batas perairan yang diamati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah lautan yang lebih luas dibandingkan luasan daratannya. Luas wilayah laut mencapai 2/3 dari luas wilayah daratan. Laut merupakan medium yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara geografis wilayah Indonesia terletak di daerah tropis yang terbentang antara 95 o BT 141 o BT dan 6 o LU 11 o LS (Bakosurtanal, 2007) dengan luas wilayah yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Suhu Permukaan Laut (SPL) di Perairan Indramayu Citra pada tanggal 26 Juni 2005 yang ditampilkan pada Gambar 8 memperlihatkan bahwa distribusi SPL berkisar antara 23,10-29

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Sebaran Angin Di perairan barat Sumatera, khususnya pada daerah sekitar 2, o LS hampir sepanjang tahun kecepatan angin bulanan rata-rata terlihat lemah dan berada pada kisaran,76 4,1

Lebih terperinci

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT

APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT APLIKASI DATA INDERAAN MULTI SPEKTRAL UNTUK ESTIMASI KONDISI PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELATAN JAWA BARAT Oleh: Nurlaila Fitriah C64103051 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16

ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 ANALISA DAERAH POTENSI BANJIR DI PULAU SUMATERA, JAWA DAN KALIMANTAN MENGGUNAKAN CITRA AVHRR/NOAA-16 Any Zubaidah 1, Suwarsono 1, dan Rina Purwaningsih 1 1 Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Distribusi Spasial Arus Eddy di Perairan Selatan Jawa-Bali Berdasarkan hasil visualisasi data arus geostropik (Lampiran 3) dan tinggi paras laut (Lampiran 4) dalam skala

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat

PENDAHULUAN. Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pantai Timur Sumatera Utara merupakan bagian dari Perairan Selat Malaka yang menjadi daerah penangkapan ikan dengan tingkat eksploitasi yang cukup tinggi. Salah satu komoditi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Perubahan iklim global sekitar 3 4 juta tahun yang lalu telah mempengaruhi evolusi hominidis melalui pengeringan di Afrika dan mungkin pertanda zaman es pleistosin kira-kira

Lebih terperinci

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA 2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA Pendahuluan LCSI terbentang dari ekuator hingga ujung Peninsula di Indo-Cina. Berdasarkan batimetri, kedalaman maksimum perairannya 200 m dan

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b

Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b Variabilitas Suhu dan Salinitas Perairan Selatan Jawa Timur Riska Candra Arisandi a, M. Ishak Jumarang a*, Apriansyah b a Program Studi Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Tanjungpura, b Program Studi Ilmu

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA

PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA PENGARUH MONSUN MUSIM PANAS LAUT CHINA SELATAN TERHADAP CURAH HUJAN DI BEBERAPA WILAYAH INDONESIA Martono Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN, Jl.dr.Djundjunan 133, Bandung, 40173 E-mail :

Lebih terperinci

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM?

KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? KEKERINGAN TAHUN 2014: NORMAL ATAUKAH EKSTRIM? * Parwati Sofan, Nur Febrianti, M. Rokhis Khomarudin Kejadian kebakaran lahan dan hutan di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah pada pertengahan bulan September

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sirkulasi Monsun di Indonesia Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki karakteristik yang unik, yaitu terletak di antara benua Australia dan Asia dan dua samudera, yaitu

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA

Jurnal KELAUTAN, Volume 3, No.1 April 2010 ISSN : APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA APLIKASI DATA CITRA SATELIT NOAA-17 UNTUK MENGUKUR VARIASI SUHU PERMUKAAN LAUT JAWA Ashari Wicaksono 1, Firman Farid Muhsoni 2, Ahmad Fahrudin 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Daerah Kajian Daerah yang akan dikaji dalam penelitian adalah perairan Jawa bagian selatan yang ditetapkan berada di antara 6,5º 12º LS dan 102º 114,5º BT, seperti dapat

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, ABSTRAK

Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha,   ABSTRAK ANALISIS PARAMETER OSEANOGRAFI MELALUI PENDEKATAN SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERBASIS WEB (Sebaran Suhu Permukaan Laut, Klorofil-a dan Tinggi Permukaan Laut) Rochmady Staf Pengajar STP - Wuna, Raha, e-mail

Lebih terperinci

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+

Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Identifikasi Lokasi Potensial Budidaya Tiram Mutiara Dengan Mengunakan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ M. IRSYAD DIRAQ P. 3509100033 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS 1 PENDAHULUAN

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS

VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS VARIABILITAS SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN PULAU BIAWAK DENGAN PENGUKURAN INSITU DAN CITRA AQUA MODIS Irfan A. Silalahi 1, Ratna Suwendiyanti 2 dan Noir P. Poerba 3 1 Komunitas Instrumentasi dan Survey

Lebih terperinci

PENERAPAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) UNTUK MENDUKUNG USAHA PENINGKATAN PRODUKSI DAN EFISIENSI OPERASI PENANGKAPAN IKAN

PENERAPAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) UNTUK MENDUKUNG USAHA PENINGKATAN PRODUKSI DAN EFISIENSI OPERASI PENANGKAPAN IKAN 2004 Bidawi Hasyim Posted 28 February 2004 Makalah pribadi Pengantar ke Falsafah Sains (PPS702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Pebruari 2004 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng PENERAPAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012 KATA PENGANTAR i Analisis Hujan Bulan Agustus 2012, Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2012, dan Januari 2013 Kalimantan Timur disusun berdasarkan hasil pantauan kondisi fisis atmosfer dan data yang

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP 1 KATA PENGANTAR Publikasi Prakiraan Awal Musim Hujan 2015/2016 di Propinsi Bali merupakan salah satu bentuk pelayanan jasa klimatologi yang dihasilkan oleh Stasiun Klimatologi Negara Bali. Prakiraan Awal

Lebih terperinci

DI PERAIRAN SELAT BALI

DI PERAIRAN SELAT BALI PEMANFAATAN DATA SUHU PERMUKAAN LAUT DARI SATELIT NOAA-9 SEBAGAI SALAH SATU PARAMETER INDIKATOR UPWELLING DI PERAIRAN SELAT BALI SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sajana Dalam Bidang

Lebih terperinci

PROPOSAL (REVISI) PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SULAWESI SELATAN

PROPOSAL (REVISI) PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SULAWESI SELATAN PROPOSAL (REVISI) PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SULAWESI SELATAN Peneliti Utama: Anneke K S Manoppo, S.Pi Jenis Insentif: Percepatan

Lebih terperinci

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II

POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II K-13 Geografi K e l a s XI POTENSI GEOGRAFIS INDONESIA II Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami batas wilayah. 2. Memahami laut dangkal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah yang melimpah, hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah

BAB I PENDAHULUAN. jumlah yang melimpah, hal ini antara lain karena usaha penangkapan dengan mencari daerah BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Fenomena alam selama ini menjadi pedoman bagi nelayan tradisional di Indonesia dalam menangkap ikan. Dalam kegiatan penangkapan ikan di laut, pertanyaan klasik yang

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA

Di zaman modern seperti sekarang ini, semakin sering. DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari AKTUALITA AKTUALITA DNB/VIIRS: Menatap Bumi di Malam Hari Anneke KS Manoppo dan Yenni Marini Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh e-mail: anneke_manoppo@yahoo.co.id Potret kenampakan bumi di malam hari (Sumber: NASA)

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal

5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal 73 5. PEMBAHASAN 5.1 Sebaran Suhu Permukaan laut dan Klorofil-a di Laut Banda Secara Spasial dan Temporal Secara temporal sebaran suhu permukaan laut (SPL) antara tahun 2008-2010 memperlihatkan adanya

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 24 Terkoreksi Radiometrik Data CH Koreksi Geometrik Bogor & Indramayu Malang *) & Surabaya *) Eo Lapang Regresi Vs Lapang Regeresi MODIS Vs lapang Hubungan dengan Kekeringan

Lebih terperinci

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT.

3. METODE. penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari. posisi koordinat LS dan BT. 3. METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari Februari hingga Agustus 2011. Proses penelitian dilakukan dengan beberapa tahap : pertama, pada bulan Februari dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) setiap tahun menerbitkan dua jenis prakiraan musim yaitu Prakiraan Musim Kemarau diterbitkan setiap bulan Maret dan Prakiraan Musim Hujan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali

Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali Journal of Marine and Aquatic Sciences 3(1), 30-46 (2017) Pengaruh Sebaran Konsentrasi Klorofil-a Berdasarkan Citra Satelit terhadap Hasil Tangkapan Ikan Tongkol (Euthynnus sp) Di Perairan Selat Bali I

Lebih terperinci

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu

Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Jurnal Gradien Vol. 11 No. 2 Juli 2015: 1128-1132 Sebaran Arus Permukaan Laut Pada Periode Terjadinya Fenomena Penjalaran Gelombang Kelvin Di Perairan Bengkulu Widya Novia Lestari, Lizalidiawati, Suwarsono,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Letak Geografis dan Kondisi Umum Perairan Mentawai Secara geografis Mentawai adalah suatu gugusan kepulauan yang membujur dari utara ke selatan sepanjang pantai barat Sumatera Barat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Tenggiri (Scomberomorus commerson). 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Tenggiri Menurut Saanin (1984) Kailola dan Gleofelt (1986), taksonomi ikan tenggiri adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum aktivitas perikanan tangkap di Indonesia dilakukan secara open access. Kondisi ini memungkinkan nelayan dapat bebas melakukan aktivitas penangkapan tanpa batas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

PROPOSAL BIMBINGAN TEKNIS PEMANFAATAN INFORMASI ZPPI BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH

PROPOSAL BIMBINGAN TEKNIS PEMANFAATAN INFORMASI ZPPI BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH PROPOSAL BIMBINGAN TEKNIS PEMANFAATAN INFORMASI ZPPI BERBASIS DATA PENGINDERAAN JAUH PENGUATAN KAPASITAS DAERAH DAN SINERGI PEMANFAATAN INFORMASI ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SULAWESI SELATAN

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci

Muchlisin Arief Peneliti Bidang Aplikasi Penginderaan Jauh, LAPAN ABSTRACT

Muchlisin Arief Peneliti Bidang Aplikasi Penginderaan Jauh, LAPAN ABSTRACT APLIKASI DATA SATELIT RESOLUSI RENDAH DAN SIG UNTUK ANALISA DISTRIBUSI SPATTIAL ZONA POTENSI PENANGKAPAN IKAN (ZPPI) DI SELAT MAKASSAR PERIODE : JULI - AGUSTUS 2004 Muchlisin Arief Peneliti Bidang Aplikasi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Kabupaten Buton diperkirakan memiliki luas sekitar 2.509,76 km 2, dimana 89% dari luas wilayah tersebut merupakan perairan laut. Secara geografis Kabupaten Buton terletak

Lebih terperinci

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA

ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA ANALISIS SUHU PERMUKAAN LAUT DAN KLOROFIL-A DARI CITRA AQUA MODIS SERTA HUBUNGANNYA DENGAN HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DI SELAT SUNDA NURUL AENI SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena

Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor. yang sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Kemungkinan ini disebabkan karena 1.1. Latar Belakang Keberadaan sumber daya ikan sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan, sehingga kelimpahannya sangat berfluktuasi di suatu perairan. MacLennan dan Simmonds (1992), menyatakan

Lebih terperinci

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI I. INFORMASI METEOROLOGI I.1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER I.1.1 MONITORING DAN PRAKIRAAN FENOMENA GLOBAL a. ENSO ( La Nina dan El Nino ) Berdasarkan pantauan suhu muka laut di Samudra Pasifik selama bulan

Lebih terperinci