KAJIAN PROTEKSI RADIASI TENORM DARI INDUSTRI DAN PERTAMBANGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN PROTEKSI RADIASI TENORM DARI INDUSTRI DAN PERTAMBANGAN"

Transkripsi

1 KAJIAN PROTEKSI RADIASI TENORM DARI INDUSTRI DAN PERTAMBANGAN Oleh: Yus Rusdian Akhmad, Suryawati, dan Veronika Tuka Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif, BAPETEN ABSTRAK Pengkajian Proteksi Radiasi TENORM dari Industri dan Pertambangan. Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material (TENORM), seperti pasir monasit dan kerak air dari tambang Migas, semakin diketahui luas menjadi target proteksi radiologik. Dalam rangka pengaturan TENORM secara aman dan ekonomik, perlu dibahas proteksi radiasi TENORM dengan mempertimbangkan ciri ciri dari TENORM yaitu keberadaannya di mana mana, volumenya besar, dan konsentrasi aktivitasnya yang relatif rendah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut telah diperhatikan prinsip proteksi radiasi dan standard untuk TENORM berdasarkan rekomendasi organisasi internasional dan beberapa negara maju sebagai bahan acuan untuk penyusunan peraturan/ pedoman. Hasil survei TENORM dari pertambangan dan industri sejak tahun 2002 ~ 2006 secara ringkas juga disajikan. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pelaku penambangan/industri yang memerlukan pengawasan ketenaganukliran. Bahan Peraturan Kepala BAPETEN khusus untuk TENORM yang sesuai dengan kondisi Indonesia secara ringkas disajikan. ABSTRACT Review of radiation protection on TENORM industries. Some of technologically enhanced naturally occurring radioactive material (TENORM), such as monazite sand and scale of oil and gas industry, gradually became a target for radiological protection. In order to regulate TENORM safely and economically, it is essential to consider the characteristics of TENORM such as ubiquity, huge volume, and relatively low activity levels. To assist the development of national regulatory, radiation protection principles and standards for TENORM are concluded in this paper based on the reports published by the international organization and the working group of advanced countries. The survey results on TENORM industries from year 2002 to 2006 are provided. It is concluded that some industries should be controlled applying a regulation dedicated to TENORM. Finaly, an overview for defining the scope of regulatory control for TENORM in Indonesia are summarized. 331

2 PENDAHULUAN Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material disingkat TENORM, seperti pasir monasit dan kerak air dari tambang Migas, semakin diketahui luas menjadi target proteksi radiologik. Sejak tahun 2002, BAPETEN melaksanakan survey berskala nasional terhadap kegiatan pertambangan dan industri untuk menduga berapa banyak pelaku yang menghasilkan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material) dengan kuantitas yang signifikan menurut sudut pandang keselamatan radiasi. Walaupun kepedulian terhadap TENORM secara internasional telah beberapa tahun mendahului (Konferensi NORM I, di Amsterdam 1997 sedangkan yang terakhir Konprensi NORM IV, di Katowice 2004), pendekatan BAPETEN ini tepat menimbang pemahaman dan kesepakatan tentang pengaturan TENORM menurut internasional perlu diperhatikan terlebih dahulu secara seksama agar sesuai dengan kondisi Indonesia dan sebagian besar pelaku penambangan/industri dari luar negeri yang beroperasi di tanah air. Dalam rangka pengaturan TENORM secara aman dan ekonomik, perlu dibahas proteksi radiasi TENORM dengan mempertimbangkan ciri ciri dari TENORM yaitu keberadaannya di mana mana, volumenya besar, dan konsentrasi aktivitasnya yang relatif rendah. Memperhatikan permintaan para penambang/industri terkait TENORM mengenai kebutuhan dalam penegasan pengaturannya yang saat ini hanya disinggung oleh PP No. 27 tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah radioaktif, dan memperhatikan temuan dari hasil survei yang terkumpul sampai tahun 2006, maka dalam waktu dekat selayaknya perlu diterbitkan peraturan yang selain mempertimbangkan keselamatan dan ekonomik juga memadai atau dapat memberikan gambaran yang jelas dalam tahapan operasional bagi pelaku dan pengawas. Pengaturan TENORM dijumpai di berbagai Negara maju maupun sebagai rekomendasi dari organisasi internasional seperti IAEA, ICRP, Komisi Eropa (Proteksi Radiasi Bagian No. 122 Bag. II) yang dapat diacu sebagai bahan pengaturan untuk pengelolaan TENORM yang pada umumnya bersifat non pemanfaatan radiasi/nuklir [1,2]. Namun demikian rekomendasi secara internasional tersebut oleh berbagai Negara perlu diadaptasi dengan mempertimbangkan faktor sosial ekonomi pada skala domestik. Tradisi kegiatan industri pertambangan non pemanfatan nuklir telah berlangsung lama melewati tahapan bergenerasi yang selama itu mereka memandang tidak terkait dengan risiko radiasi merupakan permasalahan yang memerlukan pendekatan yang tepat. Pada makalah ini disajikan pokok pokok pemikiran untuk bahan penyusunan peraturan yang diperoleh berdasarkan hasil kajian TENORM oleh BAPETEN dari Tahun 332

3 Anggaran 2002 sampai Tahun Anggaran 2006 yang mencakup hasil survey dan reviu literatur tentang pengaturannya. Untuk survey penambang meliputi migas, batubara, emas, nikel, granit, dan timah. Sedangkan industri meliputi pembangkit listrik batu bara, penjernihan air, sandblasting, dan plaster board. Untuk pengaturan TENORM, diperoleh teladan penting dari berbagai negara maju khususnya Amerika dan Jepang yang telah menyajikan pendekatannya secara jelas, praktis, dan mudah dipahami. TEORI DAN METODOLOGI Paparan radiasi pengion Di bumi ini tidak ada tempat yang sama sekali terbebas dari radiasi pengion. Paparan oleh radiasi pengion yang setiap saat kita terima terutama berasal dari sumber alam seperti batuan, radon, tanah, dan sinar kosmik. Sedangkan yang berasal dari kegiatan manusia sumbangannya sekitar belasan persen saja seperi dari prosedur kedokteran nuklir, sinar x untuk diagnostik, dan kegiatan pemanfaatan energi nuklir [3]. Secara alami keberadaan NORM (Naturally Occurring Radioactive Material) dijumpai pada batuan sebagai uranium, torium, anak anak radioaktif turunannya, dan kalium. Bahan bahan yang lebih mudah larut (contohnya, radium dan turunannya) akan dijumpai terlarut lebih banyak dalam air tanah [4,5]. Derajat kelarutan tersebut tergantung pada watak kimia air. Sebagian besar bahan yang tidak mudah larut seperti uranium dan torium, tetap berada di dalam batuan. Potasium terlarut dalam air, dengan isotop mempunyai waktu paro sangat panjang, dapat berada dalam air dengan kuantitas besar. Dengan demikian, produk air dapat diduga mengandung NORM terlarut yang berasal dari formasi geologik, seperti, radium, dan sejumlah kecil uranium dan torium. Gas radon, merupakan anak turunan dari radium, dapat diduga keberadaannya dalam gas alam yang telah kontak dengan NORM. Keberadaan TENORM (Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material) pada pertambangan/industri dapat tebentuk sebagai bahan radioaktif yang terkonsentrasi melalui suatu proses produksi. Kerak air (scale) yang melekat pada pipa (pengerasan garam pada permukaan pipa penyalur minyak dan gas), residu, dan sludge merupakan obyek di mana TENORM dapat dijumpai. TENORM terbawa ke permukaan pada air produksi sebagai radionuklida terlarut, dan merupakan anak luruh dari uranium 238 dan torium 232. Uranium dan torium, karena relatif tidak mudah larut, cenderung menetap dalam formasi geologi. Karena radium lebih mudah terlarut, maka keberadaannya lebih dominan terdapat pada fasa air dari reservoar daripada fasa minyaknya. Secara umum, untuk air yang lebih bersifat garam, konsentrasi TENORM akan lebih besar. Selama operasi produksi berjalan normal, karbonat dan sulfat 333

4 dari kalsium, barium, dan strontium dapat berpresipitasi dan membentuk kerak air pipa dan sludge. Jika terdapat TENORM, peningkatan intensitas radiasi dapat dijumpai pada permukaan pipa sebagai sumbangan dari radium yang secara kimia mirip dengan kalsium, barium dan strontium. Gas radon dapat dijumpai pada operasi gas alam melalui peluruhan radioaktif radium 226. Walaupun secara kimia tidak reaktif, radon memiliki sifat yang mirip dalam hal titik didih dengan propan dan dapat menjalar mengikuti aliran gas. Olehkarena itu, radon dapat terdeposit pada peralatan pemroses gas ketika gas alam cair dipindahkan. Walaupun radon mempunyai waktu paro pendek (3.8 hari), tetapi anak luruhnya yang berumur lebih panjang seperti lead, bismuth dan polonium dapat terdeposit di dalam sistem pengumpulan gas. Tabel 1. Rata rata dosis ekivalen efektif dari radiasi pengion alam untuk global Kosmik Komponen foton dan pengion langsung 0.28 msv Komponen netron 0.10 Radionuklida kosmik 0.01 Radiasi terrestrial eksternal Outdoors 0.07 Indoors 0.41 Paparan inhalasi Deret uranium dan torium Radon ( 222 Rn) 1.15 Toron ( 220 Rn) 0.10 Paparan ingesi (penelanan) 40 K 0.17 Deret uranium dan torium 0.12 msv Total 2.4 Batasan untuk seluruh tubuh dari BSS 115 untuk paparan pekerja adalah 20 msv per tahun dan untuk paparan public adalah 1 msv per tahun tidak termasuk dari latar;. 1 msv= 100 mrem Sumber: UNSCEAR 2000 Report to the General Assembly. Risiko radiasi Risiko yang diakibatkan oleh paparan radiasi pengion bergantung pada berbagai faktor, seperti tipe radiasi, penerimaan dosis, dan sensitivitas dari jaringan yang terkena radiasi. Faktor faktor tersebut diperhitungkan pada saat menentukan dosis efektif atau risiko relatif paparan radiasi yang dinyatakan dalan besaran rem (roentgen equivalents to man). Pada Tabel 1 dari pustaka [6] disajikan rata rata paparan radiasi tahunan untuk global. Nilai rata rata ini dapat dijadikan pegangan sementara dalam pembahasan untuk warga Indonesia dan memberikan gambaran penerimaan dosis masyarakat dari sumber 334

5 alam ketika menyimak atau membandingkan dengan pemaparan dari kegiatan TENORM. Perkiran harapan hidup dari risiko kanker bagi suatu populasi untuk semua umur disebabkan oleh radiasi pengion yaitu sekitar 6 x 10 4 (6 dari 10,000) per rem. Dengan perkataan lain apabila suatu populasi dengan anggota orang masing masing menerima 1 rem, maka 6 orang diantaranya secara statistik dapat dinyatakan terkena risiko kanker disebabkan radiasi dengan asumsi bahwa penyebab kanker lainnya tidak berperan. Cara penjelasan lainnya yaitu apabila batas dosis pekerja 5 rem per tahun dikenakan terhadap pekerja radiasi, maka risiko kanker dijumpai sebanyak 30 orang. Penetapan penerimaan dosis untuk anggota masyarakat umum senilai 100 mrem (1 msv) secara risiko dapat diabaikan karena peluang terjadinya risiko kanker hanya 6x10 5. Konsep proteksi radiasi TENORM Untuk penyelesaian persoalan TENORM antara lain perlu pemahaman prinsip pengaturan yang mendasarinya yaitu prinsip yang mengandalkan pada sistem proteksi radiologik. Dalam publikasi ICRP No. 60 yang kemudian diadopsi IAEA dalam publikasi BSS 115, telah direkomendasikan bahwa penerapan sistem proteksi radiologik dibedakan menurut tipe penanganan untuk yang tergolong pemanfaatan (practices) dan untuk yang tergolong intervensi (intervention). Dalam hal proteksi radiasi pemanfaatan didasarkan pada prinsip umum yang terdiri dari justifikasi pemanfaatan, optimisasi proteksi, dan limitasi risiko/dosis individu. Sedangkan proteksi radiasi untuk tindak intervensi didasarkan pada justifikasi dan optimasi dengan lingkup limitasi dosis bersifat pengecualian; dengan kata lain limitasi dosisnya tidak mengikuti prinsip untuk pemanfaatan. Selanjutnya untuk instrumen pengendalian pemanfaatan diberikan definisi notifikasi dan otorisasi (meliputi registrasi dan lisensi), sedangkan instrumen untuk intervensi diberikan definisi action level [7] yang terdiri dari intervention exemption level, intervention start line, dan intervention obligation line. Tanpa pemahaman yang memadai terhadap prinsip sistem proteksi radiologik, maka memungkinkan terjadi kesan tidak konsisten pada saat penerapan suatu prinsip pengaturan TENORM oleh otoritas pengatur dari suatu negara. Contoh yang mungkin rentan yaitu dalam pembahasan ketika menetapkan instrumen pengendalian TENORM. Instrumen pengendalian dalam hal pemanfaatan terdiri dari notifikasi dan otorisasi (mencakup registrasi dan lisensi) dan instrumen dalam hal intervensi yaitu action level. Dari pengalaman negara lain, misalnya usulan Jepang, dijumpai bahwa kegiatan TENORM diklasifikasikan dan dicirikan sampai enam kategori (tidak termasuk radon dan bahan nuklir) yang masing masing kategori ada yang didekati secara sistem pemanfaatan atau sistem intervensi atau dapat keduanya. Yang terakhir ini tergantung 335

6 pada tahap kegiatan, misalkan di tahap awal yang menangani bahan baku, maka porsi yang lebih besar yaitu sistem intervensi. Untuk Indonesia, dalam draft revisi PP 63 tentang Proteksi Radiasi terhadap Radiasi Pengion dan Keselamatan Sumber Radiasi, sudah disisipkan prinsip praktik dan intervensi. Dengan demikian telah diupayakan tersedianya kaitan sistem proteksi radiasi mengikuti norma internasional sehingga dapat diterapkan untuk pengaturan TENORM. Pemahaman prinsip berikut ini perlu dicermati agar diperoleh penyelesaian yang stabil dalam persoalan pengaturan TENORM. Untuk proteksi radiasi pemanfaatan, sebagai contoh penyimpanan limbah radioaktif, limitasi dosis untuk masyarakat umum yaitu 1 msv/tahun didasarkan pada publikasi ICRP No. 60. Sedangkan sebagai dose constraint untuk masyarakat umum dalam hal penyimpanan limbah radioaktif direkomendasikan nilai 0,3 msv/tahun seperti disajikan dalam publikasi ICRP No. 77. Dalam hal consumer goods yang mengandung sumber radioaktif diberikan nilai batas pengecualian (trivial dose) 10 μ Sv/tahun di mana di bawah nilai ini produk dapat dibebaskan untuk kebutuhan masyarakat. Dengan nilai trivial dose ini dianggap bahwa risiko radiasi diabaikan. Situasi lain yang perlu dicermati, yaitu publikasi IAEA RSG 1.7 mengenai nilai tingkat klierens untuk volume bahan yang besar tetapi nilai aktivitasnya sangat rendah yang berasal dari dekomisioning fasilitas nuklir; pada pustaka ini tidak terdapat nilai aktivitas total tetapi diatur dengan konsentrasi aktivitas [8]. Dalam pembahasan TENORM, prinsip intervensi dan eksklusi tidak dapat dihindari dalam pembuatan pedoman pengaturan TENORM dikarenakan banyak kasus yang dapat didekati dari sudut pandang ini. Prinsip penerapan eksklusi adalah didasarkan pada ketidakmampuan mengendalikan suatu sumber, dan mengenai pedoman intervensi menurut ICRP NO.82 sebagai pedoman proteksi pemaparan berjangka panjang untuk masyarakat umum diberikan pedoman tahapan yaitu 1 msv/tahun sebagai intervention exemption level, 10 msv/tahun sebagai intervention start line, dan 100 msv/tahun sebagai intervention obligation line. Dari peninjauan berbagai literatur dan diskusi dengan delegasi FNCA dari Jepang, diketahui bahwa persoalan penerapan sistem proteksi radiologik untuk TENORM terutama begitu banyaknya pihak yang harus diatur dan kegiatan tersebut telah berlangsung sangat lama jauh sebelum prinsip pengaturan diusulkan [9]; dengan perkataan lain terdapat persoalan bahwa perubahan tradisi tidak dapat sertamerta diubah termasuk kesanggupan untuk melaksanakan pengendaliannya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa setiap negara mengajukan pendekatan yang berbeda, sehingga terkesan tidak seragam, walaupun prinsip yang diadopsi tetap berdasarkan pada rekomendasi ICRP No. 60 dan IAEA BSS No Pendekatan tersebut tidak berarti 336

7 tidak sesuai dengan rekomendasi yang diberikan, melainkan di dalam rekomendasi terdapat cukup ruang untuk melakukan pendekatan sesuai dengan ciri ciri persoalan yang dihadapi oleh setiap negara. Sebagai teladan, untuk Uni Eropa, melalui publikasi EC dalam RP No. 122 diajukan bahwa dalam hal TENORM peningkatan dosis efektif tahunan 300 µsv/tahun sebagai pengganti dari tingkat pengecualian (BSS 115) yang bernilai 10 µsv/tahun merupakan pendekatan praktis. Prinsip ini diterapkan untuk work activity di mana keberadaan sumber radiasi alam dapat meningkatkan paparan pekerja atau anggota masyarakat dan bahan yang digunakan bukan dalam rangka pemanfaatan sifat sifat radiasi maupun energi nuklir. Dasar dari kriteria nilai dosis tersebut yaitu bahwa: 1) nilai yang diadopsi setara atau lebih kecil dari variasi regional (paparan eksternal), 2) bersesuaian dengan tingkat pengecualian dari EC RP 122 untuk bahan bangunan, 3) bersesuaian dengan dose constraint untuk pengendalian lepasan limbah radioaktif. Selain itu untuk konsep pengecualian dan tingkat klierens nilainya disamakan menjadi 0,5 Bq/g untuk Uranium dan Torium dalam keadaan setimbang sekular, kecuali untuk wet sludge dari industri migas nilanya menjadi 5 Bq/g karena pertimbangan risiko inhalasinya sangat berkurang. Teladan lainnya yaitu dari usulan Jepang yang direncakan mengikat pada tahun Working group [9] yang ditugasi membahas persoalan TENORM memandang bahwa tingkat pengecualian dari BSS tidak sesuai untuk diadopsi secara langsung dan mengusulkan untuk menerapkan prinsip intervention exemption seperti yang diperkenalkan melalui publikasi ICRP No. 82 yang bernilai 1 msv/tahun. Selain itu, untuk pertimbangan praktis, dengan memperhatikan bahwa penentuan konsentrasi aktivitas dari suatu obyek yang diawasi akan sangat sulit atau membutuhkan biaya besar, maka kriteria pengawasan diusulkan menggunakan besaran laju dosis radiasi. Kesulitan tersebut dikarenakan nilai konsentrasi aktivitas yang dapat mewakili secara memadai sulit ditetapkan terhadap suatu produk kegiatan yang nilainya sangat bervariasi menurut bahan baku atau posisi penambangan. Secara singkat, pendekatan Jepang dalam penyelesaian persoalan bahan yang mengandung TENORM yakni mengadopsi sistem proteksi radiasi untuk pemanfaatan dan untuk intervensi. Keberadaan TENORM di suatu tambang relatif mudah untuk diketahui khususnya jika dikaitkan dengan risiko dari paparan secara eksternal. Namun demikian untuk mengetahui risiko signifikan dari pemaparan melalui jalur interna diperlukan waktu dan peralatan survey tambahan. Oleh karena itu untuk praktisnya sebagai pedoman tindak lanjut kepada tim survey maupun penambang dapat berpegang pada jika dijumpai hasil pengukuran laju paparan eksternal melampaui sekitar tiga kali daripada latar luar 337

8 kawasan, maka diperlukan analisis keselamatan radiasi lebih lanjut untuk memastikan resiko radiasi secara kuantitatif berdasarkan data radioaktivitas sampel padat, udara, dan air. Dengan nilai laju paparan/dosis di lokasi penambangan tiga kali dari latar luar kawasan sudah cukup sebagai pegangan untuk menyatakan adanya peningkatan paparan di kegiatan penambangan tersebut, walaupun risiko signifikan yang membutuhkan pengaturan belum dapat dinyatakan di lapangan. Jika dikaitkan dengan kebutuhan tersedianya kriteria untuk mewajibkan pelaku TENORM agar melaksanakan dan melaporkan analisis keselamatan kepada BAPETEN sesuai amanat dari PP No. 27 Tahun 2002, maka nilai action level 0,5 μ Sv/jam (50 μrem/jam) dan atau berdasarkan pustaka [1] untuk kontaminasi permukaan alpha, betagamma yang melampaui dpm/100cm2 (2,5 Bq/cm2) dapat digunakan sebagai instrumen intervensi. Selanjutnya seberapa luas tempat dengan nilai laju dosis tersebut, kemungkinan perpindahan bahan radioaktifnya di lingkungan, kegiatan pekerja dan masyarakat yang terkait pemaparan radiasi adalah bagian penting di dalam laporan analisis yang harus dibahas untuk memberikan cukup bahan kepada BAPETEN dalam melaksanakan penilaian dan pengambilan keputusan. Bahan Perka TENORM Tuntutan diterbitkannya Perka TENORM merupakan amanat dari PP 27 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif pada pasal 32 yakni mengenai kewajiban analisis keselamatan radiasi TENORM oleh penambang yang membutuhkan penetapan kriteria keberterimaan dalam hal penerimaan dosis masyarakat dan pekerja TENORM termasuk besaran radiologik lainnya yang diperlukan dan bahwa tatacara analisis tersebut diatur lebih lanjut dengan Perka Badan Pengawas. Selain itu apabila Perka No. 19/Ka. BAPETEN/IV 2000 tentang Pengecualian dari kewajiban memiliki izin (exemption level) yang nilai besaran radiologiknya berasal dari BSS 115 diterapkan untuk pengaturan TENORM, maka akan terjadi ketidaksesuaian peruntukkan. Dalam hal ini masyarakat internasional sepakat bahwa nilai exemption level dari BSS 115 yang berbasis pada trivial dose 10 μ Sv/y tidak dapat digunakan untuk pengaturan TENORM yang memerlukan pengembangan dengan prinsip optimasi. Sebagai contoh, dengan memperhatikan kriteria pada Tabel 2 dan hasil pengukuran lab pada Tabel 4, maka pembangkit listrik panas bumi (PLPB) harus memiliki izin dari Badan Pengawas apabila mengelola drill mud (bahan batako) lebih dari 3 ton (dihitung dari batas aktivitas total 1x 10 5 Bq dibagi dengan konsentrasi radioaktivitas 40 Bq/kg 228 Ra hasil survey pada sampel drill mud). Bagi kegiatan PLPB kuantitas seperti ini tergolong sedikit dan tidak sepadan dengan kenyataan risiko radiasi yang mungkin diterima. 338

9 Tabel 2. Kriteria pengecualian dari Perka No.19/Ka. BAPETEN/IV 2000 No Radionuklida Konsentrasi (Bq/g) Aktivitas total (Bq) Kuantitas pada konsentrasi pengecualian (Kg) Ra 10 1x Ra 10 1x Th 1 1x K 100 1x Catatan: Berdasarkan tabel di atas dapat ditunjukkan bahwa Perka No. 19 tersebut tidak dapat diterapkan dalam pengaturan TENORM dari industri/pertambangan yang pada umumnya mempunyai NORM dengan skala kuantitas sangat besar. Pada Tabel 3 disajikan ringkasan dari bahan calon Perka mengenai perizinan dan pengaturan TENORM. Bahan tersebut disusun setelah memperhatikan uraian dari berbagai pustaka yang diterbitkan oleh ICRP, IAEA, EC, pokja Jepang, dan pokja Amerika yang secara khusus ditujukan untuk membahas atau terkait dengan TENORM. Selain itu juga diperhatikan kondisi domestik khususnya kemampuan pengawasan oleh BAPETEN dan kepedulian dari pelaku TENORM. Perka merupakan tambahan terhadap peraturan keselamatan radiasi yang berlaku dimaksudkan mengatur penetapan nilai dosis radiasi dan konsentrasi radioaktivitas untuk keperluan analisis keselamatan radiasi atau proteksi radiasi dalam penguasaan, penggunaan, proses, manufaktur, distribusi, transfer, dan pembuangan bahan yang mengandung TENORM termasuk mengatur perizinan kegiatan yang melibatkan TENORM dan penghentian izin. Catatan penting yaitu mengenai pengecualian izin. Walaupun terdapat kriteria batasan konsentrasi 228 Ra dan 226 Ra bukan berarti setiap terlampauinya batas harus dikenakan izin, melainkan kegiatan TENORM harus dikecualikan apabila BAPETEN menentukan, baik inisiatif sendiri atau atas permintaan, bahwa pemaparan maksimal yang wajar bagi perorangan tidak akan melebihi dari ketentuan nilai dosis anggota masyarakat sebesar 1 milisievert (0,1 rem) untuk besaran Dosis Ekivalen Efektif Total dalam satu tahun yang disebabkan oleh keseluruhan sumber radiasi berizin maupun dari sumber yang tidak memerlukan izin termasuk dari TENORM. Dalam hal ini. penetapan konsentrasi 228 Ra dan 226 Ra diperlukan untuk menduga keberadaan TENORM secara signifikan dan pemaparan potensialnya. Selain itu juga perlu dicatat bahwa walaupun Perka tidak secara eksplisit memperhatikan radionuklida selain 228 Ra dan 226 Ra, bukan berarti lepas dari pengawasan karena sumbangan dari radionuklida lain dapat tetap dikendalikan melalui ketentuan penerimaan dosis dari seluruh sumber yakni 1 msv/tahun untuk anggota masyarakat. 339

10 Perizinan TENORM dibedakan menjadi Tipe A dan Tipe B dengan prinsip bahwa risiko radiasi dari Tipe A lebih rendah daripada Tipe B yang dapat dicirikan melalui perbedaan pemberian kewenangan dan kewajiban yang harus dipenuhi. Sebagai contoh, untuk tipe A dapat menggunakan bahan mengandung TENORM dan menjamin bahwa dosis efektip anggota masyarakat tidak mencapai 1 msv/tahun dan untuk pekerjanya tidak mencapai 10 msv/tahun; sedangkan untuk tipe B dosis pekerjanya diperbolehkan mencapai 20 msv/tahun. Untuk kriteria pengecualian izin berdasarkan konsentrasi yang dimaksud ( 226 Ra Ra) < 0,185 Bq/g, yakni tidak termasuk sumbangan dari radioaktivitas latar sehingga secara operasional membutuhkan kesepahaman dalam menetapkan sumbangan latar yang tidak perlu diperhitungkan. Apabila definisi TENORM berarti radionuklida yang terjadi secara alami yang konsentrasinya atau potensi penerimaan paparannya ditingkatkan oleh atau sebagai akibat dari kegiatan saat ini maupun diwaktu yang lampau, maka representasi latar dapat ditentukan dari konsentrasi radioaktivitas pada bahan baku atau radioaktivitas pada tapak sebelum berlangsung kegiatan atau dari sampel yang diambil di lokasi di luar kawasan apabila kegiatan (manajemen) TENORM telah berlangsung. Namun demikian, seperti di singgung di muka, penentuan pengecualian izin ditetapkan oleh BAPETEN berdasarkan penilaian apakah penerimaan dosis masyarakat 1 msv/tahun dilampaui. C T Tabel 3. Ringkasan mengenai perizinan dan pengaturan dari calon bahan Perka TENORM Pelaku TENORM Non Pemanfaatan Nuklir Melalui intervensi atau kepedulian pelaku terhadap PP 27 psl 32, mengenai kewajiban melaporkan analisis keselamatan TENORM: Kriteria pengaturan: Dosis Efektip > 1 msv/tahun Konsentrasi TENORM (tidak termasuk sumbangan latar): C T ( 226 Ra Ra) > 0,185 Bq/g Catatan: pelaku dibebaskan dari Perka TENORM jika kriteria di atas tidak dipenuhi Izin Tipe A (Lisensi Umum/Registrasi) Izin Tipe B (Lisensi Spesifik 340

11 Produsen/distributor produk eceran tak bersyarat: 1. Dapat melepas bahan mengandung atau terkontaminasi dengan konsentrasi ( 226 Ra Ra) < 0,185 Bq/g; 2. Dapat melepas peralatan dengan kontaminasi permukaan lebih kecil dari Lampiran A; 3. Dapat mendistribusikan pupuk berbasis posfat; 4. Dapat mendistribusikan produk/bahan terbuat dari zircon dan zirconia; Produsen /distributor produk eceran bersyarat : Dapat melepas produk dengan konsentrasi ( 226 Ra Ra) > 0,185 Bq/g diatur menurut parag. 23 dan parag. 24 yaitu penerimaan dosis seluruh tubuh dari anggota masyarakat 0,3 msv/tahun atau 300 μ Sv/tahun tidak dilampaui. Dapat melepas bersyarat peralatan dengan: 1. Kontaminasi permukaan peralatan lebih besar dari Lampiran A 2. Laju dosis < 50 μ R/jam (untuk daur ulang metal) Penyimpanan (sementara) TENORM Transfer TENORM untuk kegiatan sejenis Penerimaan dan pengelolaan limbah TENORM (disposal): mengikuti praktek pengelolaan limbah agar kriteria penerimaan dosis efektip anggota masyarakat tidak melampaui 1 msv/tahun. Transfer/pengiriman limbah TENORM untuk disposal Menggunakan bahan mengandung TENORM dan menjamin bahwa dosis efektip anggota masyarakat tidak mencapai 1 msv/tahun dan untuk pekerjanya tidak mencapai 10 msv/tahun. Melaksanakan reklamasi tapak/dekomisioning: mengikuti parag. 7b.iii: total dosis efektip < 0,25 msv/tahun dan ( 226 Ra Ra) < 0,185 Bq/g Transfer TENORM untuk kegiatan sejenis dan tak sejenis Menggunakan bahan mengandung TENORM dan menjamin bahwa dosis efektif anggota masyarakat tidak mencapai 1 msv/tahun dan untuk pekerjanya tidak mencapai 20 msv/tahun Diperlukan menyediakan jaminan keuangan Ketentuan umum: melaksanakan rekaman riwayat bahan mengandung TENORM dengan konsentrasi ( 226 Ra Ra) > 0,185 Bq/g meliputi kuantitas, lokasi, dan tanggal pencatatan, dan memberikan tanda radiasi di lokasi keberadaan TENORM. Pemilihan lokasi survei Pemilihan lokasi survey pada suatu tapak untuk keperluan pengkajian TENORM tidak ditentukan secara acak. Hal ini menimbang telah diketahui dari berbagai pustaka bahwa TENORM biasanya dijumpai dalam air produk dan pada kerak air pipa atau pada bagian dasar tangki pengumpul termasuk tempat penimbunan limbah/barang bekas. Sedangkan untuk menetapkan pelaku penambangan/industri mana yang akan disurvei terutama berdasarkan pada pertimbangan biaya, waktu, dan risiko. Risiko yang dimaksud 341

12 di sini yakni risiko non radiasi dengan memperhatikan kondisi penambangan dan partisipasi manajemennya untuk dijadikan obyek pengkajian. METODOLOGI Metodologi pengukuran yang dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran laju dosis di luar dan di dalam kawasan tambang yang meliputi tempat penambangan, peralatan proses, penyimpanan produk dan limbah menggunakan survey meter dengan sensitivitas yang sesuai untuk laju dosis lingkungan berorde mikro R/jam atau mikro rem/jam. Perhatian khusus ditujukan pada tangki tangki air produk, tumpahan permukaan tanah, dan tempat tempat di mana pipa bekas pakai disimpan. Jika terdapat laju dosis yang meningkat secara signifikan, maka sample dari lokasi tersebut dicuplik, kemudian dibawa ke laboratorium PTKMR BATAN untuk dianalisis dengan menggunakan HPGe (High Purity Germanium), yaitu detektor dengan kemurnian germanium yang tinggi. Tata cara pengukuran sampel dari survey ini telah disajikan secara rinci dalam laporan kegiatan pengkajian tahun anggaran 2002 dan 2003, yang merupakan metode pengukuran baku di PTKMR BATAN. Hasil pengukuran dinyatakan dalam Bq/g untuk contoh padat dan dalam Bq/l untuk contoh air. Sebagai catatan, untuk besaran radioaktivitas yaitu 1 Ci = 3.7 x Bq dan 1 pci = 1x10 12 Ci = Bq. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada Tabel 4 disajikan rangkuman hasil survey pertambangan dan industri. Oleh karena hasil survey industri belum cukup lengkap dan secara umum nilainya masih di bawah perolehan dari survey penambang, maka sebagai bahan diskusi digunakan data penambang. Berdasarkan data survey seluruh penambang, laju paparan tertinggi dijumpai 3000 μr/jam jauh melampaui nilai sebagai action level 0,5 μsv/jam atau 50 μ rem/jam Tabel 4. Rangkuman hasil survei (Identifikasi) NORM di pertambangan dan industri Tambang/i ndustri Minyak&G as Radionuklida Konsentrasi Aktivitas Bq/g 0,009 ~ 75,376 0,021 ~ 76,246 0,001 ~ 48,811 0,011 Laju Paparan μr/jam 10~ 2200 Lokasi penemuan Tangki, pipa, dan bahan bekas proses Keterangan Nilai maks untuk scale pada pipa bekas Batubara 0,001 ~ 0,069 4 ~ 30 Pirit/ contoh Nilai maks 342

13 Granit Nickel Penjernihan Air P. Listrik panas bumi P. Listrik Batubara Sand blasting Plasterboard Timah Emas ttd ~ 0,086 ttd ~ 0,098 ttd ~ 0,337 0,116 ~ 0,322 0,212 ~ 0,345 0,231 ~ 0,355 0,172 ~ 1,228 ttd ~ 0,034 ttd ~ 0,035 ttd ~ 0,009 ttd ~ 0,271 0,012 ~ 0,021 0,013 ~ 0,025 0,016 ~ 0,032 0,025 ~ 0,045 0,010 ~ 0,029 0,018 ~ 0,046 0,023 ~ 0,044 0,209 ~ 0,494 0,002 ~ 0,063 0,002 ~ 0,044 0,003 ~ 0,076 0,037 ~ 0,208 0,007 ~ 0,040 0,006 ~ 0,169 0,002 ~ 0,132 0,002 ~ 0,014 0,440 ~ 0,509 0,004 ~ 0,005 0,002 ~ 0,003 0,0003 ~ 0,071 0,159 ~ 13,596 0,165 ~ 50,835 0,096 ~ 40,511 0,011 ~ 2,240 0,001 ~ 0,115 0,001 ~ 0,112 0,001 ~ 0,107 0,029 ~ 0, ~ 120 4~5 4~13 3~9 6~11 3~ ~ ~ ~ 8 lapisan antara Tumpukan batu lapuk Bahan bekas/filter proses Paparan tertinggi di sekitar HOT Basin Maks pada timbunan tin slag Maks pada hoper Maks pada timbunan slag terdapat pada contoh lapisan yang mengandung pirit Konsentrasi radioaktif untuk garnet pada TA TA. 2003, konsentrasi terendah 0.3 Bq/kg < TA dan 2003 TA instrumen dari intervention exemption level. Konsentrasi aktivitas tertinggi dijumpai untuk sekitar 76 Bq/g jauh melampaui nilai eksklusi/pengecualian 1 Bq/g apabila menggunakan IAEA RS G 1.7 maupun EC RP 122. Nilai tertinggi tersebut diperoleh dari survey penambang timah dan migas. Olehkarena itu, patut diduga situasi yang sama dapat terjadi di lapangan migas yang lain. Hasil survey pada penambang granit juga menunjukkan adanya nilai yang telah melampaui action level. Selanjutnya apabila bahan calon Perka TENORM diperagakan untuk menilai hasil survey pada Tabel 4, maka secara umum terdapat sejumlah penambang migas, 343

14 timah, granit, dan industri pengguna sand blasting berpeluang besar untuk dikenakan perizinan. Walaupun demikian untuk menentukan tipe izin A atau izin B masih membutuhkan analisis keselamatan lebih rinci dengan informasi lengkap mengenai watak dari kegiatannya terutama dalam hal manajemen keselamatan pekerja dan lingkungan. Penilaian ini berdasarkan penerimaan dosis efektip yang lebih besar dari 1 msv/tahun dan konsentrasi sample C T ( 226 Ra Ra) > 0,185 Bq/g. Dengan demikian sumberdaya pengawas dan pelaku TENORM perlu dipersiapkan secermat mungkin agar diperoleh kesepahaman yang memadai dalam operasional penerapan Perka TENORM. KESIMPULAN Pengkajian proteksi radiasi TENORM dari pertambangan dan industri telah dilaksanakan dengan memperhatikan pengaturannya secara internasional dan dari negara maju termasuk identifikasi TENORM melalui survei. TENORM di pertambangan dan industri dapat meningkatkan paparan radiasi eksterna nyata dengan laju paparan tertinggi 3000 µr/jam. Konsentrasi TENORM tinggi diperoleh pada scale (kerak air) dan tin slag (kerak timah) dengan konsentrasi masingmasing 76 Bq/gram dan 50 Bq/gram untuk. Secara Internasional dan di Negara maju telah diberikan prinsip pengaturan TENORM. IAEA RS G 1.7 mengandalkan nilai tertinggi (upper end) data UNSCEAR mengenai distribusi global konsentrasi aktivitas dalam tanah untuk digunakan dalam penetapan eksklusi, pengecualian, dan klirens TENORM yaitu 1 Bq/gram untuk konsentrasi radioaktivitas selain. Untuk nilainya 10 Bq/gram. EC RP122 Part 2 mengandalkan work activity bernilai 300 µsv/jam, dan Jepang mengandalkan intervention exemption level bernilai 1mSv/tahun. Memperhatikan pengalaman internasional dan amanat pasal 32 PP 27 tahun 2002, maka Perka TENORM yang memberikan kriteria keberterimaan perlu segera diterbitkan untuk memenuhi kebutuhan tata cara analisis keselamatan radiasi. Kegiatan TENORM selayaknya dikecualikan dari perizinan apabila pemaparan maksimal yang wajar tidak melebihi dari nilai Dosis Ekivalen Efektip Total bagi anggota masyarakat sebesar 1 milisievert (0,1 rem) dalam satu tahun yang disebabkan oleh TENORM dan seluruh sumber radiasi berizin lainnya. Penetapan kriteria pengecualian untuk konsentrasi 228 Ra dan 226 Ra sebesar 185 Bq/kg tidak termasuk latar diperlukan untuk menduga keberadaan TENORM secara signifikan dan pemaparan potensialnya. 344

15 DAFTAR PUSTAKA 1. Part N : Regulation and licensing of TENORM, SSRCR vol. 1, April, Toshiso Kosako, Nobuyuki Sugiura, Hidenori Yonehara, Minoru Okoshi, Kunihiro Nakai, Development of Radiation Protection on TENORM, Jpn.J.Health Phys, 40(1), 67 78, March Dept of Conservation, Division of Oil, Gas, and Geothermal Resources, A study of NORM associated with oil and gas production operation in California, INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY (IAEA), Extent of Environmental Contamination by Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) and Technological Options for Mitigation, IAEA TRS 419, Vienna, IAEA, Radiation Protection and the Management of Radioactive Waste in the Oil and Gas Industry, IAEA SRS No. 34, Vienna, UNITED NATION SCIENTIFIC COMMITTEE ON THE EFFECTS OF ATOMIC RADIATION (UNSCEAR 2000 Report): Sources and Effects of Ionizing Radiation, United Nations. 7. J. van der Steen, et al., Radiation Protection in NORM Industries, IRPA 11, Refresher Course 5A, Madrid, 27 May IAEA, Application of the Concepts of Exclusion, Exemption and Clearance, No. RS G1.7, Vienna, Current Status of TENORM in FNCA Countries (Activity Report of TENORM Task Group), FNCA RWM R003, March

16 DISKUSI DAN TANYA JAWAB Penanya: Ato Supriyadi ( PT. LPPPI JAMBI ) Pertanyaan: a.apakah ada rencana untuk survey pengecekan tenorm dilokasi pulp & paper Industri karena ada proses proses yang menggunakan bahan dari alam ( bumi ) seperti garam, batu kapur? Jawaban: a.survei di lokasi Pulp and Paper telah direncanakan dalam kegiatan TA Dalam waktu dekat kami akan melaksanakannya. 346

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 9 TAHUN 2009 TENTANG INTERVENSI TERHADAP PAPARAN YANG BERASAL DARI TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY OCCURRING RADIOACTIVE MATERIAL DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENYIMPANAN TECHNOLOGICALLY ENHANCED NATURALLY

Lebih terperinci

Tantangan Pengawasan Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) di Kabupaten Mamuju

Tantangan Pengawasan Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) di Kabupaten Mamuju Tantangan Pengawasan Naturally Occuring Radioactive Material (NORM) di Kabupaten Mamuju Moekhamad Alfiyan Bidang Pengkajian Industri dan Penelitian, P2STPFRZR-BAPETEN E-mail: m.alfiyan@bapeten.go.id Abstrak

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1549, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. TENORM. Keselamatan Radiasi. Proteksi. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR

PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR PENENTUAN POTENSI RISIKO TENORM PADA INDUSTRI NON NUKLIR Bunawas dan Syarbaini Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta

Lebih terperinci

KAJIAN DAMPAK PENERAPAN BSS-115 DI FASILITAS RADIOTERAPI DAN INDUSTRI DI INDONESIA

KAJIAN DAMPAK PENERAPAN BSS-115 DI FASILITAS RADIOTERAPI DAN INDUSTRI DI INDONESIA KAJIAN DAMPAK PENERAPAN BSS-115 DI FASILITAS RADIOTERAPI DAN INDUSTRI DI INDONESIA Oleh : Veronika Tuka *), Yus Rusdian Akhmad *), Endang Murniaty **) Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas

Lebih terperinci

KAJIAN RADIOAKTIVITAS UNTUK PENGAWASAN BERBAGAI BAHAN BANGUNAN

KAJIAN RADIOAKTIVITAS UNTUK PENGAWASAN BERBAGAI BAHAN BANGUNAN KAJIAN RADIOAKTIVITAS UNTUK PENGAWASAN BERBAGAI BAHAN BANGUNAN Eny Erawati, Wiwied Wahyu U.P Staf Bidang Pengkajian Industri dan Penelitian, BAPETEN Abstrak Telah dilakukan analisis kandungan radioaktivitas

Lebih terperinci

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran

Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Kebijakan Pengawasan Ketenaganukliran Jazi Eko Istiyanto Kepala BAPETEN Jakarta, 12 Agustus 2015 Definisi Ketenaganukliran adalah hal yang berkaitan dengan pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan ilmu

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 74, 2007 LINGKUNGAN HIDUP. Tenaga Nuklir. Keselamatan. Keamanan. Pemanfaatan. Radioaktif. Radiasi Pengion.

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2007 TENTANG KESELAMATAN RADIASI PENGION DAN KEAMANAN SUMBER RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000

KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000 KAJIAN BAKU TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI LINGKUNGAN UNTUK CALON PLTN AP1000 Moch Romli, M.Muhyidin Farid, Syahrir Pusat Teknologi Limbah Radioaktif BATAN Gedung 50 Kawasan Puspiptek, Serpong, Tangerang 15310

Lebih terperinci

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Copyright (C) 2000 BPHN PP 27/2002, PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF *39525 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 27 TAHUN 2002 (27/2002) TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

Widyanuklida, Vol. 15 No. 1, November 2015: ISSN

Widyanuklida, Vol. 15 No. 1, November 2015: ISSN Widyanuklida, Vol. 15 No. 1, November 2015: 46-51 ISSN 1410-5357 Usulan Nilai Pembatas Dosis Bagi Pekerja Radiasi dan Peserta Pelatihan di Pusdiklat BATAN Proposal of Dose Constraint Value for Radiation

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PENGGUNAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-OFFSITE UNTUK MEMPERKIRAKAN RESIKO RADIOLOGIK SUATU FASILITAS LANDFILL SLAG TIMAH

PENGGUNAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-OFFSITE UNTUK MEMPERKIRAKAN RESIKO RADIOLOGIK SUATU FASILITAS LANDFILL SLAG TIMAH PENGGUNAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-OFFSITE UNTUK MEMPERKIRAKAN RESIKO RADIOLOGIK SUATU FASILITAS LANDFILL SLAG TIMAH Moekhamad Alfiyan Staf Pengkajian Bidang Industri dan Penelitian-BAPETEN, Jakarta E-mail

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undangundang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan pesisir merupakan daerah peralihan antara daratan dan laut. Dalam suatu wilayah pesisir terdapat bermacam ekosistem dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 52, 2002 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4202) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL

PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL No.05 / Tahun III April 2010 ISSN 1979-2409 PREDIKSI DOSIS PEMBATAS UNTUK PEKERJA RADIASI DI INSTALASI ELEMEN BAKAR EKSPERIMENTAL Suliyanto, Budi Prayitno Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir BATAN ABSTRAK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi merupakan suatu bentuk energi. Ada dua tipe radiasi yaitu radiasi partikulasi dan radiasi elektromagnetik. Radiasi partikulasi adalah radiasi yang melibatkan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 2005

PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 2005 PEMANTAUAN LINGKUNGAN DI SEKITAR PUSAT PENELITIAN TENAGA NUKLIR SERPONG DALAM RADIUS 5 KM TAHUN 005 Agus Gindo S., Syahrir, Sudiyati, Sri Susilah, T. Ginting, Budi Hari H., Ritayanti Pusat Teknologi Limbah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.672, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Radiasi Proteksi. Keselamatan. Pemanfaatan. Nuklir. Pencabutan. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi

BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi BAB V Ketentuan Proteksi Radiasi Telah ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan kesehatan terhadap pemanfaatan radiasi pengion dan Surat Keputusan Kepala BAPETEN No.01/Ka-BAPETEN/V-99

Lebih terperinci

EVALUASI PEMANTAUAN TENORM PADA PEMBUATAN NATRIUM ZIRKONAT. Sajima dan Sunardjo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN ABSTARK ABSTRACT

EVALUASI PEMANTAUAN TENORM PADA PEMBUATAN NATRIUM ZIRKONAT. Sajima dan Sunardjo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN ABSTARK ABSTRACT EVALUASI PEMANTAUAN TENORM PADA PEMBUATAN NATRIUM ZIRKONAT Sajima dan Sunardjo Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan - BATAN ABSTARK EVALUASI PEMANTAUAN TENORM PADA PEMBUATAN NATRIUM ZIRKONAT. Telah

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION U M U M Peraturan Pemerintah ini, dimaksudkan sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG TINGKAT KLIERENS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN

Lebih terperinci

GAMBARAN DOSIS INTERNA DARI BIOASSAY SAMPEL URINE PENDUDUK DESA BOTTENG KABUPATEN MAMUJU

GAMBARAN DOSIS INTERNA DARI BIOASSAY SAMPEL URINE PENDUDUK DESA BOTTENG KABUPATEN MAMUJU GAMBARAN DOSIS INTERNA DARI BIOASSAY SAMPEL URINE PENDUDUK DESA BOTTENG KABUPATEN MAMUJU Feydri Ferdita Dera 1*, Sri Suryani 1, Bualkar Abdullah 1, Eko Pudjadi 2 Departemen Fisika,FMIPA Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 7 TAHUN 2013 TENTANG NILAI BATAS RADIOAKTIVITAS LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2015, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang No.185, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Keselamatan. Keamanan. Zat Radio Aktif. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5728). PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto

KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto KECENDERUNGAN KEBIJAKSANAAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF*) Djarot S. Wisnubroto Diskusi mengenai pengelolaan limbah radioaktif konvensional (pengelolaan limbah hasil operasi industri nuklir) di negara-negara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa Limbah Radioaktif

Lebih terperinci

PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH

PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG MURIA, JAWA TENGAH Heni Susiati *) dan Pande Made Udiyani **) ABSTRAK PEMETAAN SPASIAL KONDISI RADIOAKTIVITAS ALAM TERESTRIAL DI SEMENANJUNG

Lebih terperinci

HUKUM KETENAGANUKLIRAN; Tinjauan dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, oleh Eri Hiswara Hak Cipta 2014 pada penulis

HUKUM KETENAGANUKLIRAN; Tinjauan dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, oleh Eri Hiswara Hak Cipta 2014 pada penulis HUKUM KETENAGANUKLIRAN; Tinjauan dari Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja, oleh Eri Hiswara Hak Cipta 2014 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-882262; 0274-889398; Fax:

Lebih terperinci

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009

PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009 PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN NUKLIR SERPONG TAHUN 2009 L.Kwin Pudjiastuti, Syahrir,Untara, Sri widayati*) ABSTRAK PENINGKATAN SISTEM PROTEKSI RADIASI DAN KESELAMATAN KAWASAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Limbah Radioaktif yang

Lebih terperinci

EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM

EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM No. 12/ Tahun VI. Oktober 2013 ISSN 1979-2409 EVALUASI PENGARUH POLA ALIR UDARA TERHADAP TINGKAT RADIOAKTIVITAS DI DAERAH KERJA IRM Endang Sukesi I dan Suliyanto Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir -BATAN

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 3. PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF 301. Pengelolaan limbah radioaktif yang bertanggungjawab memerlukan implementasi dan pengukuran yang menghasilkan perlindungan kesehatan manusia dan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN

RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG KONSUMEN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM KEGIATAN IMPOR, EKSPOR, DAN PENGALIHAN BARANG

Lebih terperinci

OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI

OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI OPTIMASI ASPEK KESELAMATAN PADA KALIBRASI PESAWAT RADIOTERAPI Gatot Wurdiyanto dan C. Tuti Budiantari Puslitbang Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO

Lebih terperinci

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF. Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN LIMBAH RADIOAKTIF Untara, M. Cecep CH, Mahmudin, Sudiyati Pusat Teknologi Limbah Radioaktif ABSTRAK PENGUKURAN KONSENTRASI RADON DALAM TEMPAT PENYIMPANAN

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEKOMISIONING. A. Kerangka Format Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dekomisioning URAIAN INSTALASI

FORMAT DAN ISI LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEKOMISIONING. A. Kerangka Format Laporan Pelaksanaan Kegiatan Dekomisioning URAIAN INSTALASI LAMPIRAN V PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2011... TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR FORMAT DAN ISI LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN DEKOMISIONING A. Kerangka Format

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1550, 2013 BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR. Keselamatan Radiasi. Impor. Ekspor. Pengalihan. Barang. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF URGENSI AMANDEMEN TERHADAP PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Nanang Triagung Edi Hermawan Direktorat Pengaturan Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat radioaktif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seperti yang telah kita ketahui pada dasarnya setiap benda yang ada di alam semesta ini memiliki paparan radiasi, akan tetapi setiap benda tersebut memiliki nilai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2000 TENTANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN TERHADAP PEMANFAATAN RADIASI PENGION PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan Pasal

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DALAM PENGGUNAAN ZAT RADIOAKTIF UNTUK WELL LOGGING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR : 05-P/Ka-BAPETEN/VII-00 TENTANG PEDOMAN PERSYARATAN UNTUK KESELAMATAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT

SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT SISTEM MANAJEMEN DOSIS PADA PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN KENDARAAN DARAT Suhaedi Muhammad 1 dan Rr. Djarwanti,RPS 2 1 Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BATAN Gedung B Lantai 2, Kawasan

Lebih terperinci

ESTIMASI RADIOLOGIK KEGIATAN RECYCLE LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-RECYCLE

ESTIMASI RADIOLOGIK KEGIATAN RECYCLE LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-RECYCLE Makalah Pendamping: Kimia 77 ESTIMASI RADIOLOGIK KEGIATAN RECYCLE LIMBAH RADIOAKTIF DENGAN PERANGKAT LUNAK RESRAD-RECYCLE Moekhamad Alfiyan 1), Yus Rusdian Akhmad 2) 1) Staf Bidang Pengkajian Industri

Lebih terperinci

KAJIAN PROTEKSI RADIASI DALAM PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) BERDASARKAN NS-G-2.7

KAJIAN PROTEKSI RADIASI DALAM PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) BERDASARKAN NS-G-2.7 KAJIAN PROTEKSI RADIASI DALAM PENGOPERASIAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR (PLTN) BERDASARKAN NS-G-2.7 Helen Raflis, Liliana Yetta Pandi Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Radiasi nuklir merupakan suatu bentuk pancaran energi. Radiasi nuklir dibagi menjadi 2 jenis berdasarkan kemampuannya mengionisasi partikel pada lintasan yang dilewatinya,

Lebih terperinci

Aneks TAHAPAN-TAHAPAN DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Pengelolaan limbah radioaktif yang efektif harus memperhatikan tahapantahapan dasar

Aneks TAHAPAN-TAHAPAN DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Pengelolaan limbah radioaktif yang efektif harus memperhatikan tahapantahapan dasar Aneks TAHAPAN-TAHAPAN DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Pengelolaan limbah radioaktif yang efektif harus memperhatikan tahapantahapan dasar (ditunjukkan dalam skema di Gambar A.1) proses pengelolaan

Lebih terperinci

PEMANTAUAN RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI SEMENANJUNG LEMAHABANG, JEPARA TAHUN 2005

PEMANTAUAN RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI SEMENANJUNG LEMAHABANG, JEPARA TAHUN 2005 PEMANTAUAN RADIOEKOLOGI KELAUTAN DI SEMENANJUNG LEMAHABANG, JEPARA TAHUN 2005 Heru Umbara, Heny Suseno, Chevy Cahyana, Budi Hari, Wahyu P Pusat Teknologi Limbah Radioaktif ABSTRAK PEMANTAUAN RADIOEKOLOGI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA

REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA REVIU PERATURAN PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DI INDONESIA Muttaqin Margo Nirwono Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Fasilitas Radiasi dan Zat radioaktif Badan Pengawas Tenaga Nuklir ABSTRAK

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 58 TAHUN 2015 TENTANG KESELAMATAN RADIASI DAN KEAMANAN DALAM PENGANGKUTAN ZAT RADIOAKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

FUNGSI PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR

FUNGSI PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR FUNGSI PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM PEMANFAATAN TENAGA NUKLIR Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Jl. Gajah Mada No. 8, Jakarta Pusat Abstrak FUNGSI PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 101 TAHUN 2014 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Keselamatan radiasi merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan yang berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

Proteksi Radiasi dalam Pekerjaan

Proteksi Radiasi dalam Pekerjaan Proteksi Radiasi dalam Pekerjaan Terjemahan dokumen IAEA RS-G-1.1: Occupational Radiation Protection BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR Revisi Juli 2005 The International Atomic

Lebih terperinci

Penentuan Konsentrasi dan Nilai Faktor Transfer Radionuklida Alam ( 226 Ra, 232 Th, 40 K) dari Tanah Sawah ke Beras menggunakan Spektrometer Gamma

Penentuan Konsentrasi dan Nilai Faktor Transfer Radionuklida Alam ( 226 Ra, 232 Th, 40 K) dari Tanah Sawah ke Beras menggunakan Spektrometer Gamma Penentuan Konsentrasi dan Nilai Faktor Transfer Radionuklida Alam ( 226 Ra, 232 Th, 40 K) dari Tanah Sawah ke Beras menggunakan Spektrometer Gamma (The Determination of the Concentration and Transfer Factor

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI LAPORAN SURVEI RADIOLOGI AKHIR

FORMAT DAN ISI LAPORAN SURVEI RADIOLOGI AKHIR LAMPIRAN IV PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2011... TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR FORMAT DAN ISI LAPORAN SURVEI RADIOLOGI AKHIR A. Kerangka Format Laporan

Lebih terperinci

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA

KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 16 TAHUN 2014 TENTANG SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU YANG BEKERJA DI INSTALASI

Lebih terperinci

ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007

ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007 ANALISIS DOSIS RADIASI PEKERJA RADIASI IEBE BERDASARKAN KETENTUAN ICRP 60/1990 DAN PP NO.33/2007 Budi Prayitno (1) dan Suliyanto (1) 1. Pusat Teknologi Bahan Bakar Nuklir- BATAN Kawasan Puspiptek, Serpong,

Lebih terperinci

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang

2013, No Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.152, 2013 LINGKUNGAN HIDUP. Limbah. Radioaktif- Tenaga Nuklir. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5445) PERATURAN

Lebih terperinci

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI

SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN RADIASI B.Y. Eko Budi Jumpeno Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta 12070 PENDAHULUAN Pemanfaatan

Lebih terperinci

FORMAT DAN ISI PROGRAM DEKOMISIONING INNR

FORMAT DAN ISI PROGRAM DEKOMISIONING INNR LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2011. TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR FORMAT DAN ISI PROGRAM DEKOMISIONING INNR A. Kerangka Format Program Dekomisioning

Lebih terperinci

TINJAUAN PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM FRZR

TINJAUAN PROGRAM PROTEKSI DAN KESELAMATAN RADIASI DALAM FRZR TINJAUAN PROGRAM PROTEKSI DAN DALAM FRZR Togap P Marpaung Inspektur Utama Keselamatan Radiasi BAPETEN, Jl. Gadjah Mada No. 8 Jakarta 10120 Email untuk korespondensi: t.marpaung@bapeten.go.i d ABSTRAK TINJAUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang I. 1. 1. Pengembangan TAHRMoPS Tc-99m merupakan salah satu radioisotop yang digunakan di aplikasi medis untuk keperluan teknik citra tomografi di kedokteran nuklir

Lebih terperinci

MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM DALAM KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS

MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM DALAM KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS Widyanuklida Vol.5 No.1, Juli 2004: 6-12 MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM DALAM KEGIATAN INDUSTRI MINYAK DAN GAS Rini Rindayani Pusat Pendidikan dan Pelatihan - BA TAN ABSTRAK MANAJEMEN LIMBAH NORMffENORM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sangat di pengaruhi oleh upaya pembangunan dan kondisi lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat sangat di pengaruhi oleh upaya pembangunan dan kondisi lingkungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan adalah salah satu unsur yang penting untuk menjadikan sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif. Kesehatan bukanlah semata-mata merupakan tanggung

Lebih terperinci

RINGKASAN. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya

RINGKASAN. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya RINGKASAN Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor; Program St~di Pengeloiaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Penulis : Pande Made Udiyani; Judul : Identifikasi Radionuklida Air di Luar Kawasan PUSPIPTEK

Lebih terperinci

No Penghasil Limbah Radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang mempunyai kewajiban mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah sebelum diser

No Penghasil Limbah Radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang mempunyai kewajiban mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah sebelum diser TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5445 LINGKUNGAN HIDUP. Limbah. Radioaktif- Tenaga Nuklir. Pengelolaan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 152) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

Bab 2. Nilai Batas Dosis

Bab 2. Nilai Batas Dosis Bab 2 Nilai Batas Dosis Teknik pengawasan keselamatan radiasi dalam masyarakat umumnya selalu berdasarkan pada konsep dosis ambang. Setiap dosis betapapun kecilnya akan menyebabkan terjadinya proses kelainan,

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN

PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Djarot S. Wisnubroto Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif - BATAN 1. Pendahuluan Limbah radioaktif ditimbulkan selama beroperasinya pembangkit listrik

Lebih terperinci

DAFTAR ACUAN. 1 World Nuclear Association (WNA) ( Juni 2007). Nuclear Power in the World Today. Nuclear Engineering International, including Handbook.

DAFTAR ACUAN. 1 World Nuclear Association (WNA) ( Juni 2007). Nuclear Power in the World Today. Nuclear Engineering International, including Handbook. DAFTAR ACUAN 1 World Nuclear Association (WNA) ( Juni 2007). Nuclear Power in the World Today. Nuclear Engineering International, including Handbook. http://www.world-nuclear.org./info/reactors-html 2

Lebih terperinci

LAMPIRAN I PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR 6 TAHUN 2011. TENTANG DEKOMISIONING INSTALASI NUKLIR NONREAKTOR - 2 - FORMAT DAN ISI PROGRAM DEKOMISIONING INNR A. Kerangka Format Program

Lebih terperinci

KAJIAN BAHAN SUMBER (U DAN Th) PADA EKSPLORASI, PENAMBANGAN, PEMROSESAN PASIR ZIRKON DI KALTENG

KAJIAN BAHAN SUMBER (U DAN Th) PADA EKSPLORASI, PENAMBANGAN, PEMROSESAN PASIR ZIRKON DI KALTENG KAJIAN BAHAN SUMBER (U DAN Th) PADA EKSPLORASI, PENAMBANGAN, PEMROSESAN PASIR ZIRKON DI KALTENG Dedi Hermawan, Pandu Dewanto dan Sudarto Pusat Pengkajian Sistem dan Teknologi Pengawasan Instalasi dan Bahan

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR FORMULIR PERMOHONAN SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR FORMULIR PERMOHONAN SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR REPUBLIK INDONESIA LAMPIRAN I RANCANGAN PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR TAHUN. TENTANG SURAT IZIN BEKERJA PETUGAS TERTENTU YANG BEKERJA DI INSTALASI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 27 ayat (2) Undang-undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilhelm Conrad Roentgen seorang ahli fisika berkebangsaan Jerman, pertama kali menemukan sinar-x pada tahun 1895 sewaktu melakukan eksperimen dengan sinar katoda. Saat

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA

PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI EKSTERNA DI PTAPB-BATAN YOGYAKARTA Suparno -BATAN, Babarsari Yogyakarta 55281 E-mail:ptapb@batan.go.id ABSTRAK PENGUKURAN DAN EVALUASI KESELAMATAN

Lebih terperinci

PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif -BATAN

PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif -BATAN Hasil Penelitian dan Kegiatan PTLR Tahun ISSN 0852-2979 PENGANGKUTAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT DAN CAIR DARI PENIMBUL KE INSTALASI PENGOLAHAN LIMBAH RADIOAKTIF. ABSTRAK Arifin Pusat Teknologi Limbah Radioaktif

Lebih terperinci

KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007

KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007 KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP PEMBATAS DOSIS MERUPAKAN AMANAT PASAL 35 DAN 36 PP NO. 33 TAHUN 2007 ABSTRAK Togap P. Marpaung Inspektur Utama Keselamatan Radiasi-BAPETEN KAJIAN MENGENAI PENERAPAN KONSEP

Lebih terperinci

STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR

STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR ARTIKEL STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR Gangsar Santoso Pusat Teknologi Limbah Radioaktif-BATAN ABSTRAK STUDI PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF PADAT PEMBANGKIT LISTRIK

Lebih terperinci

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI

ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI ASPEK KESELAMATAN TERHADAP BAHAYA RADIASI NUKLIR, LIMBAH RADIOAKTIF DAN BENCANA GEMPA PADA PLTN DI INDONESIA SKRIPSI Oleh NAUSA NUGRAHA SP. 04 02 02 0471 DEPARTEMEN TEKNIK MESIN PROGRAM STUDI TEKNIK MESIN

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Pengelolaan Limbah Radioaktif. Djarot S. Wisnubroto

Prinsip Dasar Pengelolaan Limbah Radioaktif. Djarot S. Wisnubroto Prinsip Dasar Pengelolaan Limbah Radioaktif Djarot S. Wisnubroto Definisi Limbah Radioaktif Definisi IAEA: Definisi UU. No. 10 thn 1997 Limbah radiaoktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan

Lebih terperinci

KONSEP PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN RADIASI DAN PENGELOLAAN BAHAN SUMBER PADA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN NON NUKLIR

KONSEP PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN RADIASI DAN PENGELOLAAN BAHAN SUMBER PADA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN NON NUKLIR KONSEP PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PEMANTAUAN RADIASI DAN PENGELOLAAN BAHAN SUMBER PADA PENAMBANGAN BAHAN GALIAN NON NUKLIR SUDARTO 1, PANDU DEWANTO 1, DYAH KALLISTA 1 PUSAT PENGKAJIAN SISTEM DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PEMERIKSAAN KESEHATAN PEKERJA RADIASI DI PTKMR

PEMERIKSAAN KESEHATAN PEKERJA RADIASI DI PTKMR PEMERIKSAAN KESEHATAN PEKERJA RADIASI DI PTKMR Maria Evalisa dan Zubaidah Alatas Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi BATAN Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta 12440 PO Box 7043 JKSKL, Jakarta

Lebih terperinci