Laporan Akhir. Kata Pengantar

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Laporan Akhir. Kata Pengantar"

Transkripsi

1 Laporan Akhir Kata Pengantar

2 Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Akhir Penyusunan Rencana Aksi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga yang menguraikan tentang pendahuluan; analisis kondisi umum dan potensi ekonomi kreatif, kerangka kerja pengembangan ekonomi kreatif, tujuan, sasaran dan strategi serta rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif Kota Salatiga. Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi kreatif ini merupakan rencana pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari dokumen perencanaan pembangunan Kota Salatiga yang akan menjadi acuan bagi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di lingkungan pemerintah Kota Salatiga dalam menyusun rencana pembangunan, baik rencana pembangunan jangka menengah maupun perencanaan tahunan, diantaranya RPJMD, RKPD, Rencana Strategis SKPD, dan Rencana Kerja SKPD. Rencana aksi ini juga akan menjadi acuan bagi para cendekiawan dan masyarakat dalam upaya pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. Peran pemerintah daerah, cendekiawan dan masyarakat tersebut saling melengkapi untuk mendorong tumbuhnya usaha-usaha ekonomi kreatif di Kota Salatiga, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara umum. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif Kota Salatiga ini. Kami juga mohon kritik dan saran demi perbaikan dokumen rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif kota Salatiga ini. Harapan kami rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif Kota Salatiga ini dapat dijadikan sebagai pedoman bagi SKPD dalam menyusun rencana pembangunan di Kota Salatiga pada tahun-tahun mendatang. Salatiga, 10 Desember 2010 Bappeda Kota Salatiga i

3 Laporan Akhir Daftar Isi

4 Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga DAFTAR ISI Bab I Pendahuluan... I Latar Belakang... I Tujuan... I Ruang Lingkup... I Hasil yang diharapkan... I Sistematika Laporan Akhir... I-4 Bab II Kondisi Daerah dan Potensi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga... II Gambaran Umum Kota Salatiga... II Potensi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga... II-13 Bab III Kerangka Kerja Pengembangan Ekonomi Kreatif... III Pondasi dan Pilar Pengembangan Ekonomi Kreatif... III Aktor Utama Penggerak Ekonomi Kreatif... III Peran Masing-Masing Aktor Utama Penggerak Ekonomi Kreatif... III-3 Bab IV Tujuan, Sasaran Dan Strategi Serta Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif... IV Arah Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia... IV Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan (SWOT) Ekonomi Kreatif... IV Arah Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga... IV Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif... IV-17 Bab V Penutup... V-1 i

5 Laporan Akhir Bab I Pendahuluan

6 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdagangan bebas dan krisis ekonomi global mengharuskan setiap negara, termasuk Indonesia berupaya keras untuk dapat bersaing baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Kondisi tersebut dapat dipecahkan dengan mendorong suatu bentuk perekonomian yang lebih berdaya saing, sumber daya yang terbarukan dan berkesinambungan berbasis kreatifitas, dimana ide atau gagasan dapat memberikan kesejahteraan secara ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Pengembangan ekonomi dan ekonomi kreatif di Indonesia diperlukan agar siap memanfaatkan dan merebut peluang pasar yang semakin kompetitif. Pengembangan ekonomi kreatif merupakan pilihan tepat untuk menjaga ketahanan ekonomi dalam kondisi krisis global. Ekonomi Kreatif perlu dikembangkan karena ekonomi kreatif berpotensi besar dalam memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan; menciptakan iklim bisnis yang positif; membangun citra dan identitas bangsa; berbasis pada sumberdaya yang terbarukan; menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa; dan memberikan dampak sosial yang positif. Menyadari peran penting ekonomi, Presiden RI telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional yang mulai berlaku tanggal 7 Mei Dalam Perpres tersebut, Pemerintah menetapkan beberapa kelompok industri prioritas, diantaranya adalah industri pengolahan seperti industri batu mulia dan perhiasan, industri gerabah dan keramik hias, industri minyak atsiri dan industri makanan ringan. Secara khusus, Presiden mengajak mengembangkan produk ekonomi yang berbasis seni budaya dan kerajinan, berbasis pada warisan, benda-benda sejarah dan purbakala, tradisi dan adat, sebagai titik tolak untuk meningkatkan daya saing dalam era ekonomi kreatif. Pada tanggal 22 Desember 2008 pemerintah juga telah mencanangkan tahun 2009 sebagai Tahun Indonesia Kreatif (TIK). Tujuan dari program ini adalah terbukanya wawasan seluruh pemangku kepentingan akan kontribusi ekonomi kreatif terhadap ekonomi Indonesia dan terciptanya citra bangsa yang positif. Presiden Republik Indonesia juga telah memerintahkan kepada 28 instansi pemerintah pusat dan daerah untuk mendukung kebijakan Pengembangan Ekonomi Kreatif tahun I - 1

7 2015 melalui Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif. Dijelaskan dalam Inpres tersebut bahwa pengembangan kegiatan ekonomi dilakukan berdasarkan kreativitas, keterampilan, dan bakat individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam Inpres Nomor 6 tahun 2009, presiden juga mengamanatkan kepada masing-masing Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen, Gubernur, Bupati/Walikota untuk menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif. Pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga sangat diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan pembangunan, diantaranya pertumbuhan ekonomi yang relatif konstan atau bahkan cenderung rendah pasca krisis ekonomi, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, dan daya saing industri yang masih rendah. Untuk menentukan arah pengembangan ekonomi kreatif, sekaligus memenuhi Instruksi Presiden Nomor 6 tahun 2009, diperlukan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga. Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga ini disusun dengan tetap mendasarkan pada arah kebijakan pembangunan ekonomi dan industri di Kota Salatiga yang telah tercantum dalam RPJMD Kota Salatiga tahun , dan RPJPD Kota Salatiga tahun , serta memperhatikan RPJM Nasional, RPJP Nasional, RPJMD Provinsi Jawa Tengah dan RPJPD Provinsi Jawa Tengah Selanjutnya Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga ini menjadi masukan dalam menyusun RKPD, Renja SKPD dan RAPBD. 1.2 Tujuan Tujuan Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga adalah : 1. Menyusun arah pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. 2. Menyusun kerangka kerja pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. 3. Menyusun sasaran, strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. I - 2

8 1.3 Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diperoleh dari kegiatan Penyusunan Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Salatiga adalah : 1. Tersusunnya arah pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga sebagai pedoman bagi SKPD terkait dalam pengambilan kebijakan pembangunan daerah. 2. Tersusunnya kerangka kerja pengembangan ekonomi kreatif untuk meningkatkan partisipasi aparatur pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. 3. Tersusunnya strategi, rencana program dan kegiatan pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga sebagai pedoman dalam penyusunan program dan kegiatan di SKPD terkait, sehingga terjadi kolaborasi dan sinergi yang positif. 1.4 Ruang Lingkup Ekonomi Kreatif Menurut Departemen Perdagangan RI (2008) ekonomi kreatif merupakan era ekonomi baru yang mengintensifkan informasi dan kreativitas dengan mengandalkan ide dan stock of knowledge dari sumber daya manusia sebagai faktor produksi utama dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi kreatif merupakan wujud dari upaya mencari pembangunan yang berkelanjutan melalui kreativitas. Berkelanjutan diartikan sebagai suatu iklim perekonomian yang berdaya saing dan memiliki cadangan sumberdaya yang terbarukan. Pesan besar yang ditawarkan ekonomi kreatif adalah pemanfaatan cadangan sumberdaya yang bukan hanya terbarukan, bahkan tak terbatas, yaitu ide, talenta dan kreativitas. Dalam ekonomi kreatif itu sendiri terdapat bagian yang tak terpisahkan dari ekonomi kreatif, yaitu industri kreatif. Menurut John Howkins dalam The Creative Economy: How People Make Money From Ideas, ekonomi kreatif diartikan sebagai segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan (Warta Ekonomi, No.12/Tahun XX/9 Juni 2008). Lebih lanjut Simatupang (2007) menjelaskan bahwa ekonomi kreatif diartikan sebagai sistem kegiatan lembaga dan manusia yang terlibat dalam produksi, distribusi, pertukaran dan konsumsi barang dan jasa yang bernilai kultural, artistik, dan hiburan. Pelanggan mempunyai ikatan estetika, intelektual, dan emosional yang memberikan nilai terhadap produk kreatif di pasar. Menurut DCMS (Creative Digital Industries National Mapping Project ARC Centre of Excellent for Creative Industries and Innovation, 2007) industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreatifitas, keterampilan serta bakat I - 3

9 individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut (BPEN/WRT/001/I/2009 edisi Januari). Hal senada juga disampaikan oleh Mohammad Adam Jerusalem (2009), bahwa industri kreatif adalah industri yang mempunyai keaslian dalam kreatifitas individual, ketrampilan dan bakat yang mempunyai potensi untuk mendatangkan pendapatan dan penciptaan lapangan kerja melalui eksploitasi kekayaan intelektual. Industri Kreatif dapat diartikan pula sebagai sebuah industri yang mempunyai ide-ide baru, SDM yang kreatif dan juga mempunyai kemampuan dan bakat yang terus dikembangkan dalam menyelesaikan setiap pekerjaan (Setyoso Hardjowisastro, 2009). Cokorda Istri Dewi (2009) menjelaskan bahwa industri kreatif berasal dari ide manusia yang merupakan sumber daya yang selalu terbaharukan. Berbeda dengan industri yang bermodalkan bahan baku fisikal, industri kreatif bermodalkan ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan. Menurut United Nations Conference on Trade and Development/UNCTAD (2008) dalam Mohammad Adam Jerusalem (2009), industri kreatif adalah : 1. siklus kreasi, produksi, dan distribusi dari barang dan jasa yang menggunakan modal kreatifitas dan intelektual sebagai input utamanya; 2. bagian dari serangkaian aktivitas berbasis pengetahuan, berfokus pada seni, yang berpotensi mendatangkan pendapatan dari perdagangan dan hak atas kekayaan intelektual; 3. terdiri dari produk-produk yang dapat disentuh dan intelektual yang tidak dapat disentuh atau jasa-jasa artistik dengan muatan kreatif, nilai ekonomis, dan tujuan pasar; 4. bersifat lintas sektor antara seni, jasa, dan industri; dan 5. bagian dari suatu sektor dinamis baru dalam dunia perdagangan. Menurut Betti Alisjahbana (2009) terdapat tiga hal potensial dalam ekonomi kreatif, yaitu Knowledge Creative (Pengetahuan yang kreatif), Skilled Worker (pekerja yang berkemampuan), Labor Intensive (kekuatan tenaga kerja) untuk dapat dipergunakan kepada begitu banyak ruang dalam industri produk kreatif yang terus berkembang di Indonesia, seperti crafts, advertising, publishing and printing, television and radio, architecture, music, design, dan fashion. Terdapat 14 (empat belas) subsektor ekonomi kreatif yang telah ditetapkan oleh Pemerintah sebagai fokus pengembangan ekonomi kreatif hingga tahun 2025, meliputi: I - 4

10 1. Periklanan Beberapa definisi yang dikemukakan oleh berbagai sumber mengenai sub sektor industri periklanan adalah sebagai berikut: a. Kegiatan kreatif yang berkaitan dengan jasa periklanan (komunikasi satu arah dengan menggunakan medium tertentu), yang meliputi proses kreasi, produksi dan distribusi dari iklan yang dihasilkan, misalnya perencanaan komunikasi iklan, iklan luar ruang, produksi material iklan, promosi, kampanye relasi publik, tampilan iklan di media cetak (surat kabar dan majalah), dan elektronik (televisi dan radio), pemasangan berbagai poster dan gambar, penyebaran selebaran, pamflet, edaran, brosur dan reklame sejenis, distribusi dan delivery advertising materials atau samples, serta penyewaan kolom untuk iklan (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia BPS, 2005). b. Segala bentuk pesan tentang suatu produk disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat (Departemen Perdagangan RI, 2007). c. Deskripsi atau presentasi dari produk ide ataupun organisasi dalam membujuk individu untuk membeli, mendukung atau sepakat suatu hal. Berdasarkan ketiga pengertian diatas, Departemen Perdagangan RI (2009) menyimpulkan bahwa sub sektor periklanan merupakan industri/jasa yang mengemas bentuk komunikasi tentang suatu produk, jasa, ide, bentuk promosi, informasi, layanan masyarakat, individu maupun organisasi yang diminta oleh pemasang iklan (individu, organisasi swasta/pemerintah) melalui media tententu (misalnya televisi, radio, cetak, digital signage, internet) yang bertujuan mempengaruhi, membujuk target individu/masyarakat untuk membeli, mendukung atau sepakat atas hal yang ingin dikomunikasikan. 2. Arsitektur Departemen Perdagangan (2009) mengidentifikasi beberapa sumber yang menjelaskan mengenai pengertian sub-sektor industri arsitektur, yaitu sebagai berikut: a. Menurut kamus Bahasa Indonesia, arsitektur diartikan sebagai seni dan ilmu membangun bangunan. Dengan kata lain arsitektur diartikan sebagai suatu pengungkapan hasrat kedalam suatu media yang mengandung keindahan. b. Menurut Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI), arsitektur didefinisikan sebagai wujud hasil penetapan pengetahuan, ilmu, teknologi, dan seni secara utuh I - 5

11 dalam mengubah ruang dan lingkungan binaan, sebagai bagian dari kebudayaan dan peradaban manusia. c. Menurut Wikipedia, arsitektur adalah aktivitas desain dan membangun sebuah gedung serta struktur fisik lainnya, yang memiliki tujuan utama untuk menyediakan tempat berteduh bagi kepentingan sosial. d. Menurut Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (BPS, 2005), industri arsitektur adalah jasa konsultasi arsitek, mencakup desain bangunan, pengawasan konstruksi, perencanaan kota dan sebagainya. Ekonomi kreatif yang termasuk subsektor arsitektur antara lain: arsitektur taman, perencanaan kota, perencanaan biaya konstruksi, konservasi bangunan warisan, dokumentasi lelang, dll. 3. Pasar barang seni Subsektor industri pasar barang seni dan barang antik adalah kegiatan yang berkaitan dengan perdagangan barang-barang seni asli (orisinil), unik, langka dan berasal dari masa lampau (bekas) yang dilegalkan oleh undangundang (bukan palsu atau curian) serta memiliki nilai estetika seni yang tinggi. Industri pasar barang seni dan barang antik tidak mengandalkan penggandaan dari kreativitas, pemilik galeri justru mengandalkan faktor kelangkaan dari barang seni tersebut dan didistribusikan melalui lelang, galeri, art shop, baik secara tradisional maupun secara online (Departemen Perdagangan, 2009). Dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (BPS, 2005), jenis usaha yang termasuk dalam sub sektor pasar seni dan barang antik yaitu kelompok usaha perdagangan eceran barang antik, seperti guci bekas, bokor bekas, lampu gantung bekas, dan meja/kursi marmer bekas. 4. Kerajinan Menurut Departemen Perdagangan (2009) sub sektor industri kerajinan adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi produk yang dibuat dan dihasilkan oleh tenaga pengrajin, berawal dari proses desain sampai dengan proses penyelesaian produknya, meliputi barang kerajinan yang terbuat dari batu berharga, serat alam maupun buatan, kulit, rotan, bambu, kayu, logam (emas, perak, tembaga, perunggu, besi) kayu, kaca, porselin, kain, marmer, tanah liat dan kapur. I - 6

12 Berdasarkan hasil simposium nasional UNESCO/ITC (1997), sub sektor industri kerajinan adalah industri yang menghasilkan produk-produk, baik secara keseluruhan dengan tangan atau menggunakan peralatan biasa, peralatan mekanis, mungkin juga digunakan sepanjang kontribusi para perajin tetap lebih substansial pada komponen produk akhir. Produk kerajinan tersebut terbuat dari bahan baku dalam jumlah yang tidak terbatas, berupa produk kegunaan, estetika, artistik, kreatif, pelestarian budaya, dekoratif, fungsional, tradisional, religius dan simbol-simbol sosial. 5. Desain Subsektor industri desain adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain grafis, interior, produk, industri, pengemasan, dan konsultasi identitas perusahaan (Departemen Perdagangan, 2009). Ada tiga kelompok yang termasuk dalam subsektor desain, yaitu desain grafis/desain komunikasi visual, desain industri, dan desain interior. a. Desain grafis adalah proses kreatif yang menggabungkan seni dan teknologi dalam mengkomunikasikan suatu gagasan atau ide. Desain grafis harus bekerjasama dengan perangkat-perangkat komunikasi berupa gambar dan tipografi agar dapat menyampaikan pesan dari klien ke sasaran audiensnya. b. Desain industri adalah seni terapan yang mengkolaborasikan faktor estetika dan kegunaan dari produk yang harus dioptimalkan agar dapat diproduksi dan dijual. Desain industri berperan dalam menciptakan dan menetapkan solusisolusi desain terhadap permasalahan yang ada pada bagian teknik, faktor penggunaan, pemasaran, pengembangan merek dan penjualan. c. Desain interior adalah segala macam aktivitas yang berkaitan dengan segala sesuatu yang berada didalam dimensi ruang dan dinding, jendela, pintu, dekorasi, tekstur, pencahayaan, perabotan dan furnitur dengan tujuan menciptakan ruangan yang optimal bagi penghuni bangunan yang bersangkutan. 6. Fesyen (Fashion) Subsektor fesyen adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi desain pakaian, desain alas kaki, dan desain aksesoris mode lainnya, produksi pakaian mode dan aksesorisnya, konsultansi lini produk fesyen, serta distribusi produk fesyen (Departemen Perdagangan, 2009). I - 7

13 7. Video, Film dan Fotografi Menurut Wikipedia (2010), video adalah teknologi pengiriman sinyal elektronik dari suatu gambar bergerak (film). Sementara itu fotografi berarti proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya menggunakan alat berupa kamera. Subsektor industri video, film dan fotografi adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan kreasi produksi video, film, dan jasa fotografi, serta distribusi rekaman video, film. Termasuk didalamnya penulisan skrip, dubbing film, sinematografi, sinetron, dan eksibisi film (Departemen Perdagangan, 2009). 8. Permainan Interaktif (Interactive Games) Departemen Perdagangan (2009) mendefinisikan subsektor permainan interaktif sebagai kegiatan rekreatif yang berkaitan dengan kreasi, produksi dan distribusi permainan komputer dan video yang bersifat hiburan, ketangkasan dan edukasi. Permainan interaktif dilakukan secara interaktif melalui jaringan internet, sehingga dukungan ketersediaan teknologi informatikan mutlak diperlukan. Permainan interaktif didefinisikan sebagai permainan yang memiliki kriteria sebagai berikut: a. Berbasis elektronik, baik berupa aplikasi software pada komputer (online maupun stand olone), console (Playstation, XBOX, Nitendo dll), mobile handset dan arcade. b. Bersifat menyenangkan dan memiliki unsur kompetisi. c. Memberikan interaksi kepada pemain (feedback), baik antar pemain atau pemain dengan alat. d. Memiliki tujuan atau dapat membawa satu atau lebih konten atau muatan dengan pesan yang disampaikan bervariasi misalnya unsur edukasi, entertainment, promosi produk (advertisment), sampai kepada pesan yang destruktif. 9. Musik Sub-sektor musik adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan kreasi/komposisi, pertunjukan musik, reproduksi, distribusi, dan ritel rekaman suara, hak cipta rekaman, promosi musik, penulis lirik, pencipta lagu atau musik, pertunjukan musik, penyanyi, dan komposisi musik (Departemen Perdagangan, 2009). I - 8

14 10. Seni Pertunjukan Subsektor seni pertunjukkan adalah kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha yang berkaitan dengan pengembangan konten, produksi pertunjukan, pertunjukan balet, tarian tradisional, tarian kontemporer, drama, musik tradisional, musikteater, opera, termasuk tur musik etnik, desain dan pembuatan busana pertunjukan, tata panggung, dan tata pencahayaan (Departemen Perdagangan, 2009). 11. Penerbitan dan Percetakan Sub-sektor penerbitan dan percetakan adalah kegiatan kreatif yang terkait dengan penulisan konten dan penerbitan buku, jurnal, koran, majalah, tabloid, dan konten digital serta kegiatan kantor berita (Departemen Perdagangan, 2009). Lapangan usaha yang termasuk dalam subsektor penerbitan dan percetakan sesuai dengan Klasifikasi Lapangan Usaha 2005: a. Penerbitan buku, buku pelajaran, atlas/peta, brosur, pamflet, buku musik, dan publikasi lainnya. b. Penerbitan surat kabar, jurnal, tabloid, majalah umum dan teknis, komik dan sebagainya. c. Penerbitan khusus, seperti perangko, materai, uang kertas, blangko cek, giro, surat andil, obligasi surat saham, surat berharga lainnya, paspor dan tiket pesawat terbang. d. Penerbitan lainnya, seperti penerbitan foto-foto, grafir, dan kartu pos, formulir, poster, reproduksi, percetakan lukisan dan barang-barang cetakan lainnya. e. Pelayanan jasa percetakan surat kabar, majalah, jurnal, buku, pamflet, peta atau atlas, poster dan lainnya, termasuk kegiatan fotokopi atau thermocopy, juga mencetak ulang melalui komputer, mesin stensil dan sejenisnya. f. Perdagangan besar lainnya yang mencakup usaha perdagangan besar komoditi hasil percetakan dan penerbitan. g. Perdagangan eceran hasil percetakan, penerbitan dan perangkat buletin, kamus, buku ilmu pengetahuan, dan buku bergambar. h. Perdagangan ekspor lainnya yang mencakup usaha mengekspor komoditi hasil percetakan dan penerbitan. i. Kegiatan kantor berita yang mencakup kegiatan pemerintah dalam usaha mencari, mengumpulkan, mengolah, sekaligus mempublikasikan berita melalui I - 9

15 media cetak elektronik, dengan tujuan menyampaikan kepada masyarakat sebagai informasi yang dikelola swasta. j. Pencari berita yang mencakup usaha mencari berita yang dilakukan oleh perseorangan sebagai bahan informasi. 12. Layanan Komputer dan Piranti Lunak Subsektor komputer dan piranti lunak yaitu kegiatan kreatif yang terkait dengan pengembangan teknologi informasi termasuk jasa layanan komputer, pengembangan piranti lunak, integrasi sistem, desain dan analisis sistem, desain arsitektur piranti lunak, desain prasarana piranti lunak dan piranti keras, serta desain portal (Departemen Perdagangan, 2009). 13. Televisi dan Radio Subsektor televisi dan radio yaitu kegiatan kreatif yang berkaitan dengan usaha kreasi, produksi dan pengemasan, penyiaran, dan transmisi televisi dan radio. Televisi dan radio dalam hal ini adalah segenap produk kreasi bahan dan materi siaran radio dan televisi serta usaha penyiarannya kepada masyarakat umum, seperti penyelenggaraan siaran TV dan siaran radio milik pemerintah/ pemerintah daerah maupun swasta di Kota Salatiga. 14. Riset dan Pengembangan Sub-sektor riset dan pengembangan merupakan kegiatan kreatif yang terkait dengan usaha inovatif yang menawarkan penemuan ilmu dan teknologi dan penerapan ilmu dan pengetahuan tersebut untuk perbaikan produk dan kreasi produk baru, proses baru, material baru, alat baru, metode baru, dan teknologi baru yang dapat memenuhi kebutuhan pasar. Pengertian mengenai riset dan pengembangan dijelaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Menurut undang-undang tersebut, penelitian diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara itu pengembangan diartikan sebagai ilmu pengetahuan dan I - 10

16 teknologi yang bertujuan memanfaatkan fungsi, manfaat dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada atau menghasilkan teknologi baru. 1.5 Sistematika Sistematika penulisan laporan akhir rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif Kota Salatiga adalah sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang, tujuan, ruang lingkup, hasil yang diharapkan, dan sistematika laporan akhir. Bab II Gambaran umum Kota Salatiga, menguraikan tentang kondisi geografis, kondisi demografis, dan kondisi perekonomian daerah. Bab III Kerangka Kerja Pengembangan Ekonomi Kreatif, menguraikan tentang pengertian ekonomi kreatif; Potensi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga; dan Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Tantangan (SWOT) Ekonomi Kreatif Kota Salatiga. Bab IV Arah, Sasaran dan Strategi serta Rencana Aksi Pengembangan Ekonomi Kreatif, berisi tentang arah pengembangan ekonomi kreatif indonesia; sasaran pengembangan ekonomi kreatif indonesia; sasaran dan strategi pengembangan ekonomi kreatif kota salatiga; dan rencana aksi pengembangan ekonomi kreatif Kota Salatiga. Bab V Penutup, menguraikan tentang kesimpulan dan beberapa rekomendasi bagi pemerintah daerah dalam pengembangan ekonomi kreatif di Kota Salatiga. I - 11

17 Bab II Kondisi Daerah dan Potensi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga Laporan Akhir

18 BAB II KONDISI DAERAH DAN POTENSI EKONOMI KREATIF KOTA SALATIGA 2.1 Gambaran Umum Kota Salatiga Kondisi Geografis Kota Salatiga terletak antara dan Lintang Selatan, dan antara ,81 dan ,64 Bujur Timur. Dilihat dari topografi wilayahnya, Kota Salatiga dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu daerah bergelombang (65%), daerah miring (25%), dan daerah datar (10%). Secara administratif Kota Salatiga terbagi menjadi 4 kecamatan dan 22 kelurahan dan dikelilingi wilayah Kabupaten Semarang. Gambaran Kota Salatiga secara lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.1 Peta Kota Salatiga II - 1

19 Secara rinci batas-batas wilayah Kota Salatiga adalah sebagai berikut: Sebelah utara : 1. Desa Pabelan dan Desa Pejanten Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang. 2. Desa Kesongo dan Desa Watu Agung Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. Sebelah timur : 1. Desa Ujung-ujung, Desa Sukoharjo dan Desa Glawan Kecamatan Pabelan Kabupaten Semarang. 2. Desa Bener, Desa Tegal Waton dan Desa Nyamat Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Sebelah selatan : 1. Desa Sumogawe, Desa Samirono dan Desa Jetak Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. 2. Desa Patemon dan Desa Karang Duren Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang. Sebelah barat : 1. Desa Candirejo, Desa Jombor, Desa Sraten dan Desa Gedongan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang. 2. Desa Polobogo Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Luas wilayah Kota Salatiga pada tahun 2008 tercatat sebesar 5.678,110 hektar. Dari total luas wilayah tersebut, 798,932 hektar (14,07%) berupa lahan sawah, 4.680,195 hektar (82,43%) berupa lahan kering, dan sisanya 198,983 hektar (3,50%) adalah lahan lainnya. Menurut penggunaannya, sebagian besar lahan sawah di Kota Salatiga digunakan untuk sawah pengairan teknis (46,49%), lainnya sawah pengairan setengah teknis, sawah pengairan sederhana, dan sawah tadah hujan. Sementara itu lahan kering sebagian besar digunakan untuk pekarangan (65,85%), dan sisanya untuk tegalan (kebun). Rincian penggunaan lahan di Kota Salatiga dapat dilihat pada tabel berikut: II - 2

20 No Kecamatan Tabel 2.1 Penggunaan Lahan di Kota Salatiga Tahun Lahan Sawah Lahan Kering Lahan Lainnya Jumlah 1. Sidorejo 388, ,359 59, , Tingkir 315, ,544 35, , Argomulyo 29, ,135 73, , Sidomukti 64, ,175 30, ,850 Jumlah , , , ,110 Jumlah , , , ,110 Jumlah , , ,110 Jumlah , , ,110 Jumlah , , ,110 Sumber: BPS Kota Salatiga (2008) Kondisi Demografis Pada tahun 2008 jumlah penduduk Kota Salatiga sebanyak jiwa, terdiri dari jiwa laki-laki dan jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kota Salatiga pada tahun 2008 sebesar 2,703 jiwa per kilometer persegi. Dilihat dari kelompok umur, sebagian besar penduduk Kota Salatiga adalah kelompok penduduk produktif (usia 15 tahun s.d 60 tahun), yaitu sebanyak orang (70,16%), dan lainnya penduduk non produktif (usia 0-14 tahun dan usia 60 tahun keatas) sebanyak orang (29,84%). Jumlah penduduk Kota Salatiga tahun secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Kota Salatiga Tahun No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah s.d keatas II - 3

21 No Kelompok Umur Laki-laki Perempuan Jumlah Jumlah 2008 Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Sumber: BPS Kota Salatiga (2008) Kondisi Perekonomian Daerah Pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000) Kota Salatiga dalam kurun waktu empat tahun berapa pada kisaran 4,15% - 5,39%. Pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan penurunan pada kisaran 10,68% - 12,52%. Perkembangan laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 di Kota Salatiga selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Gambar 2.2 Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 dan Atas Dasar Harga Berlaku di Kota Salatiga Tahun (%) 14,00 12,00 12,29 12,12 12,52 10,00 10,68 Persentase 8,00 6,00 4,00 4,15 4,17 5,39 4,98 PDRB ADHK tahun 2000 PDRB ADHB 2,00 0, Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga berlaku di Kota Salatiga dalam kurun waktu empat tahun menunjukkan peningkatan, dari sebesar Rp ,85 juta pada tahun 2005 menjadi ,23 juta II - 4

22 pada tahun 2006, sebesar ,64 juta pada tahun 2007, dan ,46 juta pada tahun Perkembangan PDRB Kota Salatiga atas dasar harga berlaku selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.3 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Kota Salatiga Tahun (Juta Rupiah) No Lapangan Usaha Pertanian , , , ,96 2. Pertambangan dan Penggalian 712,06 806,35 863,62 948,29 3. Industri Pengolahan , , , ,34 4. Listrik, Gas & Air Minum , , , ,05 5. Konstruksi , , , ,07 6. Perdagangan, Hotel & Restoran , , , ,09 7. Angkutan & Komunikasi , , , ,37 8. Lembaga Keuangan, Persewaan, dan Jasa Persewaan , , , ,37 9. Jasa-jasa , , , ,92 Jumlah , , , ,46 Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). Sama seperti PDRB atas dasar harga berlaku, PDRB Kota Salatiga Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) tahun 2000 juga menunjukkan peningkatan dalam kurun waktu tahun Pada tahun 2005 PDRB Kota Salatiga hanya sebesar Rp ,95 juta, selanjutnya meningkat menjadi Rp ,22 juta pada tahun 2006, sebesar Rp ,44 juta pada tahun 2007, dan Rp ,86 juta pada tahun Perkembangan PDRB Kota Salatiga secara rinci dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.4 Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kota Salatiga Tahun (Juta Rupiah) Lapangan Usaha Pertanian , , , ,86 2. Pertambangan dan Penggalian 500,18 514,89 524,05 525,83 3. Industri Pengolahan , , , ,03 4. Listrik, Gas & Air Minum , , , ,08 5. Konstruksi , , , ,46 6. Perdagangan, Hotel & Restoran , , , ,89 7. Angkutan & Komunikasi , , , ,14 8. Lembaga Keuangan, Persewaan, dan Jasa Persewaan , , , ,11 9. Jasa-jasa , , , ,46 Jumlah , , , ,86 II - 5

23 Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). Dalam kurun waktu empat tahun ( ) perekonomian Kota Salatiga didominasi oleh sektor industri pengolahan (kisaran 20,59% - 21,26%). Pada kurun waktu tersebut terjadi pergeseran dua sektor yang memberikan kontribusi PDRB terbesar kedua dan terbesar ketiga. Pada tahun 2005 dan 2006 sektor jasa-jasa memberikan kontribusi terbesar kedua terhadap PDRB, namun pada tahun 2007 dan 2008 kontribusinya lebih rendah dibandingkan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Perkembangan kontribusi PDRB atas dasar harga konstan selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Gambar 2.3 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Tahun (Persen) 22,00 21,18 21,26 Persentase 21,00 20,00 19,00 18,00 20,88 19,45 19,18 18,94 19,03 19,05 18,58 20,59 19,11 18,13 Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel & Restoran Jasa-jasa 17,00 16, Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). Kontribusi sektor PDRB terhadap total PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 juga menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu didominasi oleh sektor industri pengolahan. Pada tahun 2005 dan tahun 2006 sektor jasa memberikan kontribusi terbesar kedua, namun pada tahun 2007 dan 2008 persentase kontribusi lebih rendah dibandingkan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor perdagangan, hotel dan restoran di Kota Salatiga menunjukkan perkembangan yang positif. II - 6

24 Secara rinci perkembangan kontribusi tiga sektor PDRB terbesar adalah sebagai berikut: Gambar 2.4 Kontribusi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan Tahun (Persen) Persentase 22,00 21,00 20,00 19,00 18,00 20,88 19,45 18,94 21,18 19,18 19,03 21,26 19,05 18,58 20,59 19,11 18,13 Industri Pengolahan Perdagangan, Hotel & Restoran Jasa-jasa 17,00 16, Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). Perkembangan laju inflasi barang dan jasa di Kota Salatiga pada tahun 2008 masih tinggi, yaitu mencapai 10,20%. Kelompok jenis barang dan jasa yang berkontribusi paling tinggi terhadap laju inflasi umum adalah perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar (14,02%). Inflasi pada kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan juga tergolong tinggi, mencapai 9,81%. Secara rinci nilai inflasi per kelompok barang dan jasa dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.5 Laju Inflasi menurut Kelompok Jenis Barang dan Jasa Kota Salatiga Tahun 2008 No Kelompok Jenis Barang dan Jasa Inflasi 1. Bahan makanan 9,04 2. Makanan jadi, minuman, rokok 7,69 3. Perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar 14,02 4. Sandang 6,29 5. Kesehatan 5,32 6. Pendidikan, rekreasi, dan olah raga 7,54 7. Transpor, komunikasi, dan jasa keuangan 9,81 Laju inflasi 10,20 Sumber: BPS Kota Salatiga (2008). II - 7

25 Laju inflasi di Kota Salatiga dalam kurun waktu lima tahun menunjukkan kecenderungan meningkat. Nilai inflasi tertinggi terjadi pada tahun 2005, yaitu mencapai 17,8%, dan terendah terjadi pada tahun 2004 sebesar 4,26%. Jika dibandingkan dengan laju inflasi nasional dan laju inflasi Kota Semarang, laju inflasi Kota Salatiga lebih tinggi, kecuali tahun 2004 dan Jika dibandingkan dengan Kota Surakarta, laju inflasi di Kota Salatiga juga lebih tinggi, kecuali tahun Kondisi ini menunjukkan bahwa dibandingkan kota-kota besar di Jawa Tengah dan Nasional, tingkat perubahan harga barang dan jasa di Kota Salatiga sangat tinggi. Perbandingan laju inflasi antara Kota Salatiga dengan Kota Semarang, Kota Surakarta dan Nasional secara rinci dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.5 Grafik Perbandingan Laju Inflasi Nasional, Kota Semarang, Kota Salatiga dan Kota Surakarta (%) ,11 16,46 17,8 Inflasi (%) ,06 6,59 6,4 6,6 10,34 10,2 6,75 7,22 6,79 6,08 5,98 4,26 13,88 6,96 6,18 5,15 3, Nasional Kota Semarang Kota Salatiga Kota Surakarta Sumber: BPS Kota Salatiga (2008) Kondisi Keuangan Daerah Kota Salatiga memiliki kapasitas fiskal yang rendah (pendapatan daerah dibawah 800 milyar rupih), yaitu hanya Rp ,00 pada tahun 2007; Rp ,00 pada tahun 2008, dan Rp ,00. Pendapatan II - 8

26 daerah sebagian besar berasal dari dana perimbangan pemerintah pusat, dengan proporsi sebesar 83,7% pada tahun 2007, sebesar 70,9% pada tahun 2008, dan sebesar 78,2%. Sementara itu belanja daerah Kota Salatiga sebesar Rp ,00 pada tahun 2007; Rp ,00 pada tahun 2008; dan Rp ,00 pada tahun Pada tahun 2007 dan 2008 sebagian besar belanja digunakan untuk belanja tidak langsung dengan proporsi mencapai 61,6% pada tahun 2007, dan sebesar 52,2% pada tahun 2008 dan sisanya digunakan untuk belanja langsung (belanja pembangunan). Pada tahun 2009 proporsi belanja langsung mengalami perbaikan yaitu mencapai 52,8%, dan sisanya untuk belanja tidak langsung. Kondisi ini menunjukkan bahwa pembelanjaan keuangan daerah untuk pembangunan daerah semakin baik. Perkembangan APBD Kota Salatiga tahun selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 2.6 Ringkasan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Salatiga Tahun No Uraian 2007 R P (%) 2008 R P (%) 2009 R P (%) A PENDAPATAN DAERAH 1 Pendapatan Asli , , ,9 Daerah a. Pajak daerah , , ,8 b. Retribusi daerah , , ,1 c. Hasil pengel. Kekada yg , , ,1 dipisahkan d. Lain - lain PAD yang sah , , ,9 2 Dana Perimbangan , , ,2 a. Dana bagi hasil pajak , , ,5 /Bukan Pajak b. Dana alokasi umum , , ,6 c. Dana alokasi khusus , , ,9 3 Lain - lain pendapatan , , ,9 daerah a. Hibah 0 0,0 0 0,0 0 0,0 b. Dana darurat 0 0,0 0 0,0 0 0,0 c. Dana bagi hasil pajak dari , , ,8 propinsi DL d. Bagi Hasil Lainnya ,6 0 0,0 0 0,0 e. Pendapatan lainnya 0 0, ,8 0 0,0 f. Dana penyesuaian & 0 0, , ,2 otonomi khusus g. Bantuan keuangan dari 0 0,0 0 0, ,0 propinsi Jumlah Pendapatan daerah II - 9

27 No Uraian 2007 R P (%) 2008 R P (%) 2009 R P (%) B BELANJA DAERAH 1 Belanja Tidak Langsung , , ,2 a. Belanja pegawai , , ,6 b. Belanja bunga ,0 0 0,00 0 0,00 c. Belanja subsidi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 d. Belanja hibah 0 0,0 0 0, ,8 e. Belanja bantuan sosial , , ,6 f. Belanja bagi hasil kepada , pemdes g. Belanja bantuan keu. Kpd , , ,2 pemdes h. Belanja tidak terduga 0 0, , ,0 2 Belanja Langsung , , ,8 a. Belanja pegawai 0 0 0, ,6 b. Belanja Barang dan jasa , , ,5 c. Belanja modal , , ,9 Jumlah Belanja Surplus / (Defisit) ( ) C PEMBIAYAAN DAERAH 1 Penerimaan Pembiayaan Silpa tahun sebelumnya Pencairan dana cadangan 0 0 Hasil penjualan kekada yg dipisahkan Penerimaan pinjaman 0 0 daerah Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah Penerimaan piutang daerah 2 Pengeluaran Pembiayaan Pembentukan dana cadangan Penyertaan modal (investasi) daerah Pembayaran pokok utang Pemberian pinjaman daerah Pembayr. utang kepada pihak ketiga Pembiayaan netto Sisa Lebih Pembiayaan Angg. (SILPA) Dilihat dari nilai nominalnya, pendapaten asli daerah Kota Salatiga menunjukkan peningkatan dari sebesar Rp ,00 pada tahun 2007, menjadi Rp ,00 pada tahun 2008, dan Rp ,00 pada tahun Pada tahun 2007 dan 2008 peningkatan PAD lebih banyak disebabkan II - 10

28 oleh peningkatan retribusi daerah, yang sasarannya lebih banyak pada masyarakat kalangan menengah kebawah. Pada tahun 2009 kontribusi terbesar berasal dari lain-lain PAD yang sah, sedangkan retribusi daerah kontribusinya menurun. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah melakukan upaya-upaya pengurangan pengeluaran masyarakat kalangan bawah, dan meningkatkan keuntungan dari sumber-sumber pendapatan daerah yang lain, diantaranya laba BUMD. Dalam kurun waktu yang tiga tahun dana perimbangan mengalami peningkatan dari sebesar Rp ,00 (2007) menjadi Rp ,00 (2008) dan Rp ,00 (2009). Peningkatan ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Lain-lain pendapatan daerah yang sah juga menunjukkan peningkatan dari sebanyak Rp ,00 pada tahun 2007 menjadi Rp ,00 pada tahun 2008, namun pada tahun 2009 menurun menjadi Rp ,00. Perkembangan nilai PAD, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan daerah Kota Salatiga selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.6 Trend Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan Lain-lain Pendapatan Daerah Kota Salatiga Realisasi Tahun Tingkat ketergantungan kota Salatiga terhadap pemerintah pusat dan pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk membiayai pembangunan masih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari dua indikator, yaitu derajat desentralisasi fiskal dan kemandirian keuangan daerah. Besarnya derajat desentralisasi fiskal Kota Salatiga pada tahun 2007 sebesar 12%, menurun pada tahun 2008 menjadi 11,6%, dan II - 11

29 meningkat menjadi 13,9% pada tahun Kemandirian keuangan daerah Kota Salatiga pada tahun 2007 sebesar 13,6%, menurun menjadi 13,1% pada tahun 2008, dan meningkat menjadi 16,1%. Kondisi ini menunjukkan bahwa semangat otonomi daerah untuk kemandirian keuangan daerah sesuai dengan arah kebijakan keuangan daerah dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah Kota Salatiga belum terlihat. Perkembangan derajat desentralisasi fiskal dan kemandirian keuangan daerah selengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut: Gambar 2.7 Grafik Kemampuan Keuangan Daerah Kota Salatiga Tahun Proporsi belanja langsung (belanja pembangunan) pada tahun 2007 dan 2008 masih lebih rendah dibandingkan belanja tidak langsung, namun pada tahun 2009 proporsinya lebih tinggi dibandingkan belanja tidak langsung. Proporsi belanja langsung menunjukkan peningkatan dari sebesar 38,4% pada tahun 2007 menjadi 47,8% pada tahun 2008, dan pada tahun 2009 mencapai 52,8%. Perkembangan proporsi belanja langsung dan belanja tidak langsung dapat dilihat pada gambar berikut: II - 12

30 Gambar 2.8 Grafik Proporsi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung Kota Salatiga Tahun Potensi Ekonomi Kreatif Kota Salatiga Kota Salatiga sebagai salah satu dari enam kota di Jawa Tengah, memiliki potensi untuk mengembangkan ekonomi kreatif bagi perkembangan perekonomian daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Potensi ekonomi kreatif yang terdapat di Kota Salatiga dapat dirinci berdasarkan sub-sektor, sebagai berikut : 1. Periklanan Usaha yang khusus menangani jasa periklanan di Kota Salatiga belum begitu menonjol. Usaha pembuatan media iklan sebagian besar masih tergabung dengan usaha percetakan (poster, leaflet, spanduk, baliho dan sebagainya). Usaha biro iklan dan penyedia media iklan (kolom iklan) yang diselenggarakan oleh pengusaha lokal juga belum begitu terlihat. Hal ini salah satunya disebabkan di Kota Salatiga tidak memiliki koran harian, penerbitan majalah dan media TV. Sebagian besar media massa yang beredar di Salatiga berasal dari kota besar, seperti Semarang, Jakarta dan Surabaya serta Surakarta. II - 13

31 2. Arsitektur Perkembangan arsitektur di Kota Salatiga belum begitu berkembang. Jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang arsitektur di Kota Salatiga hanya sebanyak 1 unit, yaitu PT. 3 Indonesia Dea. Kondisi ini menunjukkan bahwa desain arsitektur bangunan di Kota Salatiga masih bergantung jasa perusahaan arsitektur dari kota lain disekitarnya, seperti Kota Semarang, Jakarta, Surabaya dan Kota Surakarta. 3. Pasar barang seni Keberadaan pasar barang seni (lukisan, patung, keramik dan lain-lalin) serta barang antik seperti galeri seni di Kota Salatiga belum ada. Selama ini perdagangan kerajinan barang seni, galery dan barang antik dilakukan di kota lain secara perseorangan yang memiliki hobby sama. 4. Kerajinan Kota Salatiga memiliki berbagai potensi kerajinan yang potensial untuk terus dikembangkan menjadi produk-produk kreatif sehingga memiliki nilai jual tinggi dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kerajinan tersebut antara lain kerajinan kaca, kerajinan bambu, kerajinan batu pahat, kerajinan emas, dan kerajinan aksesoris cina. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Salatiga, jumlah usaha kerajinan kaca sebanyak 1 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 2 orang dan modal usaha sebesar 20 juta rupiah. Usaha kerajinan bambu sangat berkembang di Kota Salatiga dengan jumlah usaha mencapai 105 unit yang mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 142 orang, dan modal kerja sebesar 113 juta rupiah. Kerajinan bambu di Kota Salatiga berada di Dukuh Karangpete Kelurahan Kotawinangun Kecamatan Tingkir. Produk yang dihasilkan antara lain sumpit, vas bunga, anyaman kere untuk pelindung panas, hingga hiasan berbentuk hewan seperti bebek, pinguin, kucing dan kiwi, atau sesuai dengan pesanan. Pemasarannya meliputi wilayah Pulau Jawa bahkan pernah menerima pesanan dari korea selatan. II - 14

32 Gambar 3.1 Kerajinan Bambu Kota Salatiga Usaha kerajinan batu Bong Pay adalah kerajinan batu pahat atau ukir dengan berbagai ornament untuk hiasan interior maupun eksterior yang biasanya dipakai pada pemakaman cina. Usaha kerajinan batu Bong Pay di Kota Salatiga sebanyak 10 unit dengan penyerapan tenaga kerja sebanyak 32 orang, dan modal sebesar Rp 360 juta. Kerajinan ini berada di sepanjang jalan Fatmawati Kelurahan Blotongan Kecamatan Sidorejo. Pemasarannya selain di Salatiga dan sekitarnya juga menjangkau beberapa daerah di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Yogyakarta, juga ekspor ke luar negeri. Gambar 3.2 Hasil Kerajinan Batu Pok Pay di Kota Salatiga II - 15

33 Gambar 3.3 Kerajinan Aksesoris China Kota Salatiga 5. Desain Usaha desain di Kota Salatiga meliputi desain grafis, desain web, dan desain interior. Jumlah masing-masing jenis desain belum terdata secara jelas oleh pemerintah Kota Salatiga. Namun demikian, dilihat dari informasi di media informasi internet perkembangan usaha desain ini sudah cukup berkembang. Gambar 3.4 Hasil Desain website oleh Rimlight Design Kota Salatiga 6. Fesyen (Fashion) Fesyen di Kota Salatiga sangat berkembang, diantaranya pembuatan aksesoris pakaian, pembuatan pakaian jadi, pembuatan sepatu dan sandal, dan pembuatan batik. Berdasarkan data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Salatiga pada tahun 2009 terdapat sebanyak 7 unit usaha dibidang aksesoris II - 16

34 fesyen, dengan penyerapan tenaga kerja sejumlah 31 orang dan modal usaha sebesar 170 juta rupiah. Usaha pembuatan pakaian jadi di Kota Salatiga sebanyak 6 unit usaha dengan tenaga kerja sebanyak 24 orang dan modal sebesar Rp. 150 juta. Di Kota Salatiga terdapat 2 perusahaan konveksi besar, yaitu PT. Damatex dan PT. Timatex. Sentra industri konveksi skala kecil terdapat di Kecamatan Tingkir. Jenis produk-produk industri konveksi Kota Salatiga antara lain celana hawai (celana pendek bersaku banyak), aneka pakaian anak dan dewasa, sprei, sarung bantal, dan guling. Gambar 3.5 Produk Konveksi Kota Salatiga Jumlah usaha pembuatan sepatu dan sandal kulit di Kota Salatiga sebanyak 3 unit dengan tenaga kerja sebanyak 6 tenaga kerja dan modal usaha sebesar 30 juta rupiah. Usaha pembuatan sepatu dan sandal kulit ini memiliki kualitas yang bagus dari kulit asli, namun wilayah pemasarannya masih terbatas di Kota Salatiga, belum dapat menjangkau kabupaten lain di sekitarnya. Gambar 3.6 Poduk Sepatu, Sandal dan Tas Kulit Salatiga II - 17

Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MA. Pertemuan 12: Industri kreatif

Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MA. Pertemuan 12: Industri kreatif Dr. I Gusti Bagus Rai Utama, SE., MA. Industri Kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ekonomi kreatif yang digerakkan oleh industri kreatif, didefinisikan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. informasi (e-commerce), dan akhirnya ke ekonomi kreatif (creative economy).

BAB I PENDAHULUAN. informasi (e-commerce), dan akhirnya ke ekonomi kreatif (creative economy). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia telah mengalami krisis ekonomi yang menyebabkan jatuhnya perekonomian nasional. Banyak usaha-usaha skala besar pada berbagai sektor termasuk industri, perdagangan,

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG. Periklanan. Arsitektur BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG. Periklanan. Arsitektur BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, Medan memiliki penduduk yang berjumlah 1.993.602 dengan kepadatan penduduk 7.520 / km² yang bersifat heterogen. Kota Medan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kerangka ekonomi makro daerah akan memberikan gambaran mengenai kemajuan ekonomi yang telah dicapai pada tahun 2010 dan perkiraan tahun

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

Pemerintah Provinsi Bali

Pemerintah Provinsi Bali BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah yang memiliki fungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Berdasarkan strategi dan arah kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Polewali Mandar dalam Rencana

Lebih terperinci

Mata Kuliah - Advertising Project Management-

Mata Kuliah - Advertising Project Management- Mata Kuliah - Advertising Project Management- Modul ke: Konsep Manajemen Jasa Dan Isu Strategik Fakultas FIKOM Ardhariksa Z, M.Med.Kom Program Studi Marketing Communication and Advertising www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

Industri Kreatif Jawa Barat

Industri Kreatif Jawa Barat Industri Kreatif Jawa Barat Dr. Togar M. Simatupang Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB Masukan Kepada Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat 2007 Daftar Isi Pengantar Industri Kreatif Asal-usul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk terbanyak didunia. Dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk terbanyak didunia. Dan juga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berpenduduk terbanyak didunia. Dan juga sebagai penghasil sumber daya alam yang melimpah, terutama di sektor pertanian dan perkebunan,

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB 2 KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS BAB 2 KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh penulis pada bab 1, maka berikut adalah teori-teori yang digunakan dalam melandasi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis statistik Perekonomian Daerah, sebagai gambaran umum untuk situasi perekonomian Kota

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

8.1. Keuangan Daerah APBD

8.1. Keuangan Daerah APBD S alah satu aspek pembangunan yang mendasar dan strategis adalah pembangunan aspek ekonomi, baik pembangunan ekonomi pada tatanan mikro maupun makro. Secara mikro, pembangunan ekonomi lebih menekankan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas sehingga tidak

BAB I PENDAHULUAN. untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas sehingga tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan banyaknya kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas sehingga tidak terjadinya suatu kelangkaan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Billions RPJMD Provinsi Kepulauan Riau Tahun 2016-2021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Kinerja pelaksanaan APBD Provinsi Kepulauan

Lebih terperinci

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU

GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU GUBERNUR RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 12 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DAERAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN

BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN 6.1 Kesimpulan A. Dari hasil Analisa Input Output 1. Dari analisa input output yang dilakukan, maka nilai Industri Kreatif di DKI Jakarta pada Tahun 2007 memberikan kontribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ekonomi gelombang ke-4 adalah

BAB I PENDAHULUAN. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2007) ekonomi gelombang ke-4 adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi kreatif merupakan pengembangan konsep berdasarkan modal kreatifitas yang dapat berpotensi meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Menurut Presiden Susilo Bambang

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Sleman Tahun 2014 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2015-2016 dapat digambarkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif,

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG 1 BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 36 TAHUN 2015 TENTANG PENGEMBANGAN PENUNJANG PARIWISATA BERBASIS EKONOMI KREATIF DI KABUPATEN CIAMIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rancangan Kerangka Ekonomi Daerah menggambarkan kondisi dan analisis perekonomian daerah, sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN PRODUK UNGGULAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada era modern sekarang ini, industri memiliki peran yang besar dalam pertumbuhan ekonomi suatu negara. Khususnya di Indonesia yang sering di bahas oleh

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKANKEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan ekonomi daerah disusun dalam rangka memberikan solusi jangka pendek dan jangka panjang

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO EKONOMI KREATIF KOTA DEPOK 2014

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO EKONOMI KREATIF KOTA DEPOK 2014 9399001.3276 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO EKONOMI KREATIF KOTA DEPOK 2014 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO EKONOMI KREATIF KOTA DEPOK TAHUN 2014 No. Publikasi / Publication Number : 3276.0702 No. Katalog

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif atau industri kreatif. Perkembangan industri kreatif menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi kreatif atau industri kreatif. Perkembangan industri kreatif menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahun 1990-an, dimulailah era baru ekonomi dunia yang mengintensifkan informasi dan kreativitas, era tersebut populer dengan sebutan ekonomi kreatif atau industri

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN (RPJMD) Tahun 20162021 BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan Kabupaten Pandeglang dikelola berdasarkan ketentuan peraturan yang berlaku diantaranya UndangUndang

Lebih terperinci

Strategi Pemasaran Produk Industri Kreatif Oleh Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D 1

Strategi Pemasaran Produk Industri Kreatif Oleh Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D 1 Strategi Produk Industri Kreatif Oleh Popy Rufaidah, SE., MBA., Ph.D 1 Hasil kajian Tim Inisiasi ( taskforce) Ekonomi Kreatif Propinsi Jawa Barat 2011, bersama Bappeda Jawa Barat, dimana penulis terlibat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Bab 1 berisikan pendahuluan yang menjelaskan latar belakang diangkatnya penelitian ini, perumusan masalah, tujuan penelitian, batasan masalah serta sistematika dalam penulisan laporan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015

BAB I PENDAHULUAN. Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud dan Tujuan Penyusunan Laporan Keuangan Laporan keuangan disusun untuk menyediakan informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

Keuangan Daerah APBD BAB VI EKONOMI

Keuangan Daerah APBD BAB VI EKONOMI BAB VI EKONOMI Salah satu implikasi adanya otonomi daerah adalah daerah memiliki wewenang yang jauh lebih besar dalam mengelola daerahnya baik itu dari sisi pelaksanaan pembangunan maupun dari sisi pembiayaan

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2015 merupakan masa transisi pemerintahan dengan prioritas

Lebih terperinci

PARIPURNA, 20 NOPEMBER 2015 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2016

PARIPURNA, 20 NOPEMBER 2015 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2016 PARIPURNA, 20 NOPEMBER 2015 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2016 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI TAHUN 2015 DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar Tabel...

Lebih terperinci

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Bali disusun dengan pendekatan kinerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU

5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU BAB V ANALISIS APBD 5.1. KINERJA KEUANGAN MASA LALU 5.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah terkait penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa Lalu Sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah,

Lebih terperinci

mutualisme begitupun dengan para pelaku industri marmer dan onix di Tulungagung, Jawa Timur. Tentunya dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan

mutualisme begitupun dengan para pelaku industri marmer dan onix di Tulungagung, Jawa Timur. Tentunya dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN 1 : Daftar UKM dari Disperindag... 96 LAMPIRAN 2 : Data produksi 5 UKM meubel... 97 LAMPIRAN 3 : Kuesioner Industri dan Dinas... 99 LAMPIRAN 4: Output hasil simulasi 4 skenario...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Otonomi daerah yang disahkan melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Peradaban ekonomi dunia terbagi dalam tiga gelombang. Gelombang pertama adalah gelombang ekonomi pertanian. Kedua, gelombang ekonomi industri. Ketiga adalah

Lebih terperinci

A. Gambaran Umum Daerah

A. Gambaran Umum Daerah Pemerintah Kota Bandung BAB I PENDAHULUAN A. Gambaran Umum Daerah K ota Bandung terletak di wilayah Jawa Barat dan merupakan Ibukota Propinsi Jawa Barat, terletak di antara 107º Bujur Timur dan 6,55 º

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO

BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO BAB III KERANGKA EKONOMI MAKRO 3.1. Perkiraan Kondisi Ekonomi Tahun 2006 Stabilitas perekonomian merupakan syarat untuk tercapainya peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam hal ini pemerintah sebagai

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi kerakyatan, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Sistem

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi akan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pertumbuhan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi akan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan teknologi yang semakin pesat di era globalisasi akan menjadikan segala sektor di Indonesia mengalami persaingan yang lebih ketat terutama sektor industri.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB PENDAHULUAN. Kreativitas ditemukan di semua tingkatan masyarakat. Kreativitas adalah ciri

BAB PENDAHULUAN. Kreativitas ditemukan di semua tingkatan masyarakat. Kreativitas adalah ciri BAB PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kreativitas ditemukan di semua tingkatan masyarakat. Kreativitas adalah ciri internal manusia yang berkaitan dengan aspek orisinalitas, imajinasi, aspirasi, kecerdasan,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana kerja pembangunan daerah yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun atau disebut dengan rencana pembangunan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE

KATA PENGANTAR. Lubuklinggau, September 2014 WALIKOTA LUBUKLINGGAU H. SN. PRANA PUTRA SOHE KATA PENGANTAR Buku Indikator Ekonomi Kota Lubuklinggau ini dirancang khusus bagi para pelajar, mahasiswa, akademisi, birokrat, dan masyarakat luas yang memerlukan data dan informasi dibidang perekonomian

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

B A P P E D A D A N P E N A N A M A N M O D A L P E M E R I N T A H K A B U P A T E N J E M B R A N A

B A P P E D A D A N P E N A N A M A N M O D A L P E M E R I N T A H K A B U P A T E N J E M B R A N A S alah satu implikasi adanya otonomi daerah adalah daerah memiliki wewenang yang jauh lebih besar dalam mengelola daerahnya baik itu dari sisi pelaksanaan pembangunan maupun dari sisi pembiayaan pembangunan.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Daftar Isi- i. Daftar Tabel... ii Daftar Grafik... iii

DAFTAR ISI. Daftar Isi- i. Daftar Tabel... ii Daftar Grafik... iii DAFTAR ISI Daftar Isi... i Daftar Tabel... ii Daftar Grafik... iii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... I.1 1.2 Tujuan... I.4 1.3 Dasar Hukum... I.4 BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Kondisi

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat serta pengaruh perekonomian global. pemerintah yaitu Indonesia Desain Power yang bertujuan menggali

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat serta pengaruh perekonomian global. pemerintah yaitu Indonesia Desain Power yang bertujuan menggali BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap tahun perekonomian di Indonesia mengalami perkembangan, hal ini seiring dengan perkembangan jumlah penduduk, pendapatan masyarakat serta pengaruh perekonomian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN NOMOR 6 TAHUN 2009 TENTANG PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF PRESIDEN, Dalam rangka keterpaduan pelaksanaan Pengembangan Ekonomi Kreatif, dengan ini menginstruksikan: Kepada : 1. Menteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi

BAB I PENDAHULUAN. pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam setiap perekonomian pemerintah perlu melakukan berbagai jenis pembelanjaan. Pengeluaran-pengeluaran untuk membiayai administrasi pemerintah, membangun dan memperbaiki

Lebih terperinci

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017

DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017 DATA ISIAN SIPD TAHUN 2017 BPPKAD KABUPATEN BANJARNEGARA PERIODE 1 JANUARI SAMPAI DENGAN 8 JUNI 2017 JENIS DATA 2012 2013 2014 2015 2016 2017 Satuan Data XIX. RINGKASAN APBD I. Pendapatan Daerah - 584244829879

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEUANGAN KABUPATEN WONOGIRI A. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi ekonomi makro yang baik, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tingkat

Lebih terperinci

BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN

BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN BAB VIII EKONOMI DAN KEUANGAN Tujuan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 adalah memberikan otonomi yang luas kepada setiap daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan menumbuhkembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Ekonomi Kreatif

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Ekonomi Kreatif BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekonomi Kreatif Ekonomi kreatif merupakan gelombang ekonomi baru yang lahir ada awal abad ke-21. Gelombang ekonomi baru ini mengutamakan intelektual sebagai kekayaan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA TANGERANG

PEMERINTAH KOTA TANGERANG RINGKASAN RENJA DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA KOTA TANGERANG TAHUN 2017 Rencana Kerja Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tangerang Tahun 2017 yang selanjutnya disebut Renja Disbudpar adalah dokumen

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB IV METODA PENELITIAN BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi dan kateristik obyek penelitian, maka penjelasan terhadap lokasi dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK

Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK Lampiran 1 STRUKTUR ORGANISASI DPPKAD KABUPATEN GRESIK Lampiran 2 (dalam rupiah) Pemerintah Kabupaten Gresik Laporan Realisasi Anggaran (APBD) Tahun Anggaran 2011 Uraian Anggaran 2011 Realisasi 2011 Pendapatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan otonomi yang seluas-luasnya, dalam arti daerah diberikan kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan sesuai dengan Undang-undang

Lebih terperinci

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH A. Pendahuluan Kebijakan anggaran mendasarkan pada pendekatan kinerja dan berkomitmen untuk menerapkan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Anggaran kinerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak

BAB I PENDAHULUAN. ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki beraneka ragam bentuk seni kerajinan yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Sejak jaman kerajaan-kerajaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat 1 Desentralisasi Politik dan Administrasi Publik harus diikuti dengan desentralisasi Keuangan. Hal ini sering disebut dengan follow money function. Hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam suatu bisnis terdapat 2 fungsi mendasar yang menjadi inti dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dalam suatu bisnis terdapat 2 fungsi mendasar yang menjadi inti dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam suatu bisnis terdapat 2 fungsi mendasar yang menjadi inti dari bisnis itu sendiri. Menurut Peter Drucker (1954) 2 fungsi dalam bisnis itu adalah marketing dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam rencana pengembangan industri kreatif Indonesia tahun 2025 yang dirumuskan oleh Departemen Perdagangan RI dijelaskan adanya evaluasi ekonomi kreatif. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Belanja Modal Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah

Lebih terperinci

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis 43 KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Geografis Provinsi Banten dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten. Wilayah Provinsi Banten berasal dari sebagian

Lebih terperinci

NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT

NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT NOTA KESEPAKATAN ANTARA PEMERINTAH DENGAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH NOMOR : 178/238/DPRD/2016 NOMOR : 910/205/Bappeda/2016 TANGGAL : 28 Juli 2016 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERUBAHAN ANGGARAN PENDAPATAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN

PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN 2 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 48/08/34/Th.XVI, 5 Agustus 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2014 SEBESAR -2,98 PERSEN Kinerja pertumbuhan ekonomi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN Kinerja Keuangan Masa lalu BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa lalu Pengelolaan keuangan daerah Kabupaten Sintang diselenggarakan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 17

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 38 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan memilih lokasi Kota Cirebon. Hal tersebut karena Kota Cirebon merupakan salah satu kota tujuan wisata di Jawa

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI PAPUA 4.1. Keadaan Geografis dan Kependudukan Provinsi Papua Provinsi Papua terletak antara 2 25-9 Lintang Selatan dan 130-141 Bujur Timur. Provinsi Papua yang memiliki luas

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 No. 06/08/62/Th. V, 5 Agustus 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KALIMANTAN TENGAH TRIWULAN II-2011 Pertumbuhan ekonomi Kalimantan Tengah triwulan I-II 2011 (cum to cum) sebesar 6,22%. Pertumbuhan tertinggi pada

Lebih terperinci