EVALUASI PENAFSIRAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12,5 METER SLOPE CORRECTED

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI PENAFSIRAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12,5 METER SLOPE CORRECTED"

Transkripsi

1 EVALUASI PENAFSIRAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 12,5 METER SLOPE CORRECTED DAN 50 METER DENGAN MENGGUNAKAN METODE MANUAL DAN DIGITAL DALAM IDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) NUR INDAH RISTIANA E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 RINGKASAN NUR INDAH RISTIANA Evaluasi Penafsiran Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope Corrected dan 50 Meter Dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital Untuk Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor,Cianjur dan Sukabumi). Skripsi. Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh NINING PUSPANINGSIH dan M. BUCE SALEH. Citra ALOS PALSAR merupakan satelit penginderaan jauh permukaan bumi milik Jepang yang diluncurkan oleh Japan Exploration Agency (JAXA) pada bulan Januari Citra ALOS PALSAR didefinisikan sebagai sistem sensor gelombang mikro aktif yang menyediakan sumber energinya sendiri, sehingga dapat beroperasi siang dan malam dan mempunyai kemampuan menembus awan. Sensor ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial 12,5 m dan 50 m. Pada Bainnaura 2010, pemanfaatan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter untuk identifikasi penutupan lahan hanya memperjelas bentuk objek namun tidak menambah jumlah. Oleh karena itu, diadakan penelitian lebih lanjut dalam mengkaji kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected untuk mengidentifikasi penutupan lahan pada daerah bergunung. Diharapkan dengan penambahan proses slope-correction pada citra, akan menambah jumlah penutupan lahan yang diidentifikasi. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Analisis kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m dilakukan secara manual dan digital. Analisis manual dilakukan secara visual yang dilihat dari kenampakan citra berdasarkan elemen interpretasinya, sedangkan analisis digital dilakukan dengan analisis diskriminan dan separabilitas. Evaluasi keberhasilan penafsiran visual dilakukan dengan uji akurasi (akurasi kappa dan akurasi umum). Hasil analisis menunjukkan bahwa secara visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dapat diklasifikasikan dalam 11 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, bandar udara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering dan sawah dengan nilai akurasi kappa 95,97% dan akurasi umum 96,70%, sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter secara manual (visual) diperoleh 10 kelas yakni badan air, bandara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, permukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan sawah, sementara akurasi keseluruhan untuk hasil interpretasi visual yaitu sebesar 95,60% dan kappa akurasi sebesar 94,58%. Hasil analisis secara digital pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected maupun 50 meter diperoleh 6 kelas tutupan lahan, yaitu badan air, vegetasi pohon, kebun campuran, pemukiman, perkebunan dan sawah dengan proportion correct 55,5% dan 53,3%. Kata kunci : citra ALOS PALSAR, interpretasi, tutupan lahan, slope corrected.

3 SUMMARY NUR INDAH RISTIANA Evaluation of ALOS PALSAR Image Interpretation Resolution 12.5 Meters Slope Corrected and 50 Meters Using Manual and Digital Methods for Identification of land cover (Case Studies in district of Bogor, Cianjur and Sukabumi). Thesis. Forest Management, Bogor Agricultural University. Supervised by NINING PUSPANINGSIH and M. BUCE SALEH. ALOS PALSAR image is a remote sensing satellite of the earth's surface, which was launched by Japan Exploration Agency (JAXA) in January ALOS PALSAR image is defined as an active microwave sensor system which provides its own energy source, so it can operate day and night and have the ability to penetrate clouds. ALOS PALSAR sensor has a spatial resolution of 12.5 m and 50 m. In Bainnaura (2010), the utilization of ALOS PALSAR image resolution 12.5 meters for the identification of land cover only clarify the shape of the object but does not increase the number of objects. Therefore, further studies conducted in assessing the ability of ALOS PALSAR image resolution of 12.5 meters slope-corrected to identify the land cover in mountainous areas. Expected with the addition of slope correction to the image proses, will increase the number of land cover were identified. This research was conducted in the district of Bogor, Cianjur and Sukabumi. Analysis of the ability of ALOS PALSAR image resolution 12.5 m and 50 m was done by manual and digital. Manual analysis was done visually seen from the appearance of the image based on the elements of interpretation, while digital analysis carried out by discriminant analysis and separabilitas. Evaluate the success made by accuracy test (kappa accuracy and overall accuracy). The analysis showed that the visual image resolution of 12.5 meters ALOS PALSAR corrected slope can be classified into 11 land cover classes, namely water bodies, airports, forest, mixed farms, open land, settlements, plantations of rubber, oil palm plantations, tea plantations, dry land farming and rice field with a kappa value of 95.97% accuracy and overall accuracy of 96.70%, while the ALOS PALSAR image resolution of 50 meters visually obtained 10 classes which are water bodies, airport, forest, mixed farms, bare land, settlements, rubber plantations, oil palm plantations, rice fields and dry land agriculture, while the overall accuracy is equal to 95.60% and kappa accuracy of 94.58%. The results of the analysis of digital on ALOS PALSAR image resolution of 12.5 meters and 50 meters corrected slope obtained six land cover classes, namely water bodies, vegetation trees, mixed farms, settlements, plantations and rice fields with the correct proportion 55.5% and 53.3 %. Keywords: ALOS PALSAR imagery, interpretation, land cover, slope corrected.

4 Karya Ilmiah Sebagai salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Kehutanan Pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Oleh : NUR INDAH RISTIANA E DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) adalah benarbenar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada Perguruan Tinggi atau lembaga manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Nur Indah Ristiana NRP E

6 Judul Penelitian Nama Mahasiswa NIM :Evaluasi Penafsiran Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 m Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) : Nur Indah Ristiana : E Menyetujui : Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Dr. Dra. Nining Puspaningsih,M.Si Dr. Ir. M. Buce Saleh, M.Si NIP NIP Mengetahui : Ketua Departemen Manajemen Hutan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP Tanggal Lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Juli 1989 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan R. Is Rismana, Ing. dan Ana Zaenah, S.H. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Paseban 05 Jakarta lulus tahun 2000, pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Jakarta lulus tahun 2003, pendidikan menengah atas di SMAN 4 Jakarta lulus tahun Pada tahun 2006, penulis diterima di IPB melalui SPMB dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Teknik Inventarisasi Sumberdaya Hutan pada tahun ajaran dan dan mata kuliah Geomatika dan Inderaja Kehutanan pada tahun ajaran Penulis juga aktif di organisasi kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB sebagai anggota bidang Kesekretariatan pada tahun 2008 dan Himpunan Mahasiswa Manajemen Hutan (FMSC) sebagai anggota Pengembangan Sumberdaya Manusia pada tahun Selain itu, penulis aktif dalam kepanitiaan berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Penulis melakukan kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 2008, Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi dan KPH Cianjur, Jawa Barat pada tahun 2009 dan Praktek Kerja Lapang (PKL) di IUPHHK-HTI PT.Wirakarya Sakti Jambi pada tahun Dalam rangka menyelesaikan pendidikan dan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, penulis melakukan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Evaluasi Penafsiran Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 Meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi) di bawah bimbingan Dr. Dra. Nining Puspaningsih, M.Si dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS.

8 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan kasih sayang-nya sehingga skripsi dengan judul Evaluasi Penafsiran Visual Citra Alos Palsar Resolusi 12,5 meter Slope Corrected dan 50 Meter dengan Menggunakan Metode Manual dan Digital dalam Identifikasi Penutupan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)". Skripsi ini berisi tentang penggunaan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 slope corrected dan 50 meter untuk indentifikasi penutupan lahan khususnya pada Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur serta evaluasinya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi kemampuan penafsiran visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi tutupan lahan secara manual dan digital serta membandingkan penafsiran antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dalam mengidentifikasi tutupan lahan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Nining Puspaningsih, M.Si dan Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan pengarahan, ilmu, kesabaran, motivasi dan waktu selama penyusunan skripsi 2. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir.Ahmad Hadjib, MS selaku pimpinan ujian komprehensif 3. JICA dan JAXA atas kerjasama dan bantuanya dalam pengambilan data selama penelitian 4. Prof. Dr. I Nengah Surati Jaya, M. Agr, Uus Saepul M, Edwine Setia P, S.Hut, Faris Salman,S.Hut, Risa Syarif, S.Hut atas segala ilmu, kesabaran dan pengarahan yang telah diberikan 5. Seluruh dosen dan staf Dept. Manajemen Hutan atas ilmu dan bantuannya 6. Ayahanda R. Is Rismana, Ibunda Ana Zaenah serta adik tercinta Firman Risdian yang senantiasa tak pernah lelah memberikan dukungan serta kepercayaan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulis

9 7. Sahabat tercinta Rahmad Purna Wijaya atas dukungan dan doa yang selalu dipanjatkan untuk keberhasilan penulisdalam menyelesaikan skripsi 8. Rekan satu bimbingan, Ratih Maharani dan Putu Ananta Wijaya atas kerjasama, dan semangatnya 9. Yohana Maria, Nur Illiyyina syarif, Syaiful Daulay, Putri Rahayu atas kerjasama dan bantuanya dalam pengambilan data penelitian 10. Ratih Puspitasari, Fatah Noor, Rizka Wulandari, Dian Nurhadiatin, Ahsana Riska, Fitri Amalia, Anom Kalbuadi, I Putu Indra Divayana, Khoeruzaman, Galih Radityo, Tantri Janiatri, Sri wahyuni, Putu Arimbawa, Aditya sani, Aditya Pradana, Eri S, Erry W, Monika T, Nuraini Erisa dan Keluarga besar Lab. RS dan GIS atas motivasi, dukungan, dan hari-hari yang penuh keceriaan, kebersamaan, dan kegilaan 11. Sahabat tersayang Lisa Marbun, Nining Maulana, Melyana Oktavia, Mutiara Rasvanelin, Ratih, Rizky Rahadikha, Febriyanto Kolanus, Harry Triatmojo, Eka Sumaryadi, Aronika Kaban, Tutia Rahmi, Mila Rahmania, Elvia Sari, Dian Wulansih yang selalu ada menjadi pendengar dan pemberi semangat dalam menyelesaikan skripsi 12. Seluruh teman Manajemen Hutan angkatan 43, Fakultas Kehutanan dan Sahabat Sylva Indonesia atas kebersamaannya selama ini 13. Semua pihak yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua pihak. Bogor, Agustus 2011 Penulis

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR iv BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian 2 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penginderaan Jauh (Remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Citra RADAR Satelit ALOS ALOS PALSAR Koreksi Geometrik Koreksi Kelerengan Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan Interpretasi Citra 17 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Tahapan Penelitian Pengumpulan Data Pra-pengolahan Citra Interpretasi Awal Pengamatan lapangan Analisis Hasil Pengamatan Lapangan BAB IV KONDISI UMUM Letak Geografis Topografi Iklim Batuan...31

11 ii 4.5 Tanah Tutupan Lahan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penafsiran Visual Awal Citra ALOS PALSAR Resolusi 12 Meter Slope corrected Hasil Verifikasi Objek di Lapangan dan Hasil Penafsiran Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected Perbandingan Hasil Interpretasi Visual Citra ALOS PALSAR Badan Air Bandar udara Hutan Kebun Campuran Lahan Terbuka Pemukiman Perkebunan Karet Perkebunan Kelapa Sawit Perkebunan Teh Pertanian Lahan Kering Sawah Analisis Akurasi Hasil Interpretasi Visual Interpretasi Citra Secara Digital Analisis Diskriminan Analisis Separabilitas 71 BAB VI KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 77

12 iii DAFTAR TABEL No Halaman 1 Prinsip ALOS PALSAR Karakteristik polarisasi ALOS PALSAR Batas wilayah penelitian Klasifikasi topografi di lokasi penelitian Luasan hasil interpretasi visual penutupan lahan Titik verifikasi awal Titik verifikasi lapangan Penutupan lahan setelah verifikasi Luas penutupan lahan setelah verifikasi Klasifikasi penutupan lahan dengan jumlah titik verifikasi Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 m Proses analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Proses analisis diskriminan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Hasil analisis separabilitas citra ALOS PALSAR resolusi 50 m

13 DAFTAR GAMBAR No Halaman 1 Geometri SAR (Sumber: Lee, J.S. and Eric Pottier. 2009) Bentuk Instrumen PALSAR (Sumber: JAXA) Georeferensi tie points Georeferensi dari image terkoreksi Perbedaan antara citra yang belum (atas) dan sudah (bawah) di koreksi nilai backscatternya Peta lokasi penelitian Diagram alir penelitian Empat scene citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter Empat scene citra DEM Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m Polarisasi HH (a), Polarisasi HV (b), Rasio HH/HV (c), dan Polarisasi HH,HV, Rasio HH/HV (d) Subset citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m Subset DEM Provinsi Jawa Barat (a), Aspect DEM Provinsi Jawa Barat (b), Slope DEM Provinsi Jawa Barat (c) Proses Slope correction menggunakan Erdas Model Builder Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (a), non slope corrected 1 : (b), slope corrected 1 : (c), Swipe antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (d) Tally Sheet Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 m Peta sebaran titik rencana verifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Peta sebaran titik verifikasi lapangan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected Peta hasil penafsiran setelah verifikasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Peta hasil penafsiran setelah verifikasi pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m Badan air pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Badan air pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b)... 49

14 vi 23 Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Lahan tebuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Lahan tebuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Perkebunan teh pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Sawah pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50m (b) Logika identifikasi penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected... 64

15 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penutupan lahan merupakan istilah yang berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan. Seiring bertambahnya waktu dan meningkatnya jumlah penduduk, terjadi perubahan penutupan lahan. Perubahan tersebut diperkirakan akan terus berlangsung, sehingga menyebabkan keterbatasan manusia dalam menganalisa berbagai data dan informasi tentang penutupan lahan. Untuk mengatasi keterbatasan ini, dibutuhkan teknologi baru yang dapat menyediakan data yang akurat, cepat dan efisien. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi Geografis adalah solusi tepat untuk mendapatkan data dan informasi tentang penutupan lahan yang akurat, cepat dan efisien agar dapat merencanakan tata ruang wilayah yang tepat. Indonesia telah memanfaatkan citra penginderaan jauh, khususnya citra optik yang digunakan untuk melakukan pemantauan sumberdaya alam. Posisi geografis Indonesia yang berada pada daerah tropis menjadi salah satu kendala menggunakan data citra optik. Kendala yang terjadi berupa adanya awan dan asap yang seringkali mengganggu proses identifikasi dan pemantauan objek di permukaan bumi (Bainnaura 2010). Saat ini telah tersedia suatu sistem penginderaan jarak jauh aktif (an active remote sensing system) yaitu Radar, singkatan dari Radio Detection And Ranging. Menurut Manual Interpretasi ALOS PALSAR (2011), Radar merupakan sistem yang menyediakan sumber energinya sendiri, sehingga dapat beroperasi siang dan malam dan mempunyai kemampuan menembus awan. Penggunaan citra radar untuk memetakan penutupan lahan telah menarik perhatian besar, karena citra radar memiliki kemampuan untuk melakukan perekaman dalam segala cuaca, baik pada siang atau malam hari, serta mampu mengatasi kendala tutupan awan dan asap. Penggunaan citra radar sebagai media penafsiran tutupan lahan di Indonesia sangat menguntungkan mengingat frekuensi tutupan awan di Indonesia cukup tinggi.

16 2 Salah satu satelit yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah satelit ALOS (Advance land observing Satellite) dengan sensor PALSAR (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar) merupakan sensor gelombang mikro aktif yang memiliki keistimewaan dapat menembus lapisan awan tebal. Dalam memanfaatkan citra PALSAR, penafsiran penutupan lahan terhadap objek yang terekam dalam citra dapat dilakukan dengan metoda penafsiran visual dan digital. Menurut Bainnaura (2010) pemanfaatan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter untuk identifikasi penutupan lahan, hanya memberikan kemampuan dalam memperjelas bentuk objek sehingga lebih yakin dalam identifikasi penutupan lahan. Tidak ada penambahan objek dalam interpretasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m. Pada penelitian ini, penulis mencoba mengkaji kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi penutupan lahan karena kondisi areal pada studi kasus ini adalah daerah bergunung. Diharapkan dengan penambahan proses slope-correction pada citra dapat mengidentifikasi kelas penutupan lahan lebih banyak lagi. 1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi kemampuan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dalam mengidentifikasi tutupan lahan secara manual dan digital. 2. Membandingkan penafsiran antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected dengan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dalam mengidentifikasi tutupan lahan. 1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu acuan dalam penafsiran visual menggunakan citra ALOS PALSAR 12,5 meter slope corrected.

17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote sensing) dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Manual of Remote Sensing atau penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillsesand dan Kiefer 1990). Tujuan utama dari pengideraan jauh adalah mengumpulkan data dan informasi tentang sumberdaya alam dan lingkungan (Lo 1996). Secara umum, penginderaan jauh saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpulan data mentah, tetapi pemprosesan data mentah secara manual dan terotomatisasi, dan analisis citra serta pengkajian hasil informasi yang diperoleh. Terdapat dua proses utama dalam pengideraan jauh, yaitu pengumpulan data dan analisis data (Lillesand dan Kiefer 1990). Menurut Handini (2009), analisis data penginderaan jauh memerlukan data rujukan seperti peta tematik, data statistik, dan data lapangan. Hasil analisis yang diperoleh berupa informasi mengenai bentang lahan, jenis penutup lahan, kondisi lokasi dan kondisi sumberdaya yang diindera. Informasi tersebut bagi para pengguna dapat dimanfaatkan untuk membantu dalam proses pengambilan keputusan dalam mengembangkan daerah tersebut. Menurut Purwadhi (2001), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang berbasis komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu: (i) mempunyai fenomena aktual (variabel data nonlokasi) yang berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi bersangkutan; (ii) merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan (iii) mempunyai dimensi waktu. Sedangkan menurut Rind (1992) dalam Prabowo et al. (2005), Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan, meng-updatde, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis.

18 4 Menurut Aronoff (1989) sistem informasi geografis adalah suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan. Penggunaan pengideraan jauh dan SIG dapat juga diintegrasikan dengan berbagai metode untuk mengambil keputusan terhadap penggunaan lahan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen yaitu (1) perangkat keras, (2) perangkat lunak, (3) data dan informasi geografi dan (4) manajemen (Gistut 1994 dalam Prahasta 2005). 2.2 Citra RADAR RADAR merupakan singkatan dari Radio Detection And Ranging. Radar termasuk penginderaan jauh gelombang mikro aktif, yaitu penginderaan jauh dimana sensornya menyediakan energi atau cahayanya sendiri. Sistem radar merupaka gelombang yang merambat dari sensor dan dipantulkan kembali oleh permukaan bumi lalu kemudian direkam pantulanya (Barret dan Curtais 1982). Radar merupakan alat yang digunakan menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi keberadaan suatu objek dan juga menentukan posisinya Proses yang termasuk di dalamnya anatara lain mengirimksn pulsa energi pantulan yang diterima dari objek di dalam field of view system (Lillesand and Kiefer 1990). Menurut Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), terdapat beberapa pertimbangan penting digunakanya penginderaan jauh radar yaitu sumber energi yang digunakan dapat diatur terutama dalam kemampuanya menembus partikel seperti awan dan hujan serta dapat digunakan baik siang maupun malam, Citra dapat diproses menjadi citra rsolusi tinggi (3-10m), beberapa objek tertentu memiliki penamplan yang lebih jelas atau lebih mudah dibedakan dibandingkan dengan penampilan pada citra visible (cahaya tampak, optik) seperti : gumpalan es, gelombang laut, kelembapan tanah, biomas, objekobjek buatan (bangunan dan lain-lain), struktur geologi dan seterusnya. Telah diutarakan diatas bahwa penginderaaan jauh sistem aktif yang menggunakan tenaga pada gelombang mikro yakni penginderaan jauh sistem radar. Oleh karena itu, tenaga elektromagnetik yang digunakan di dalam penginderaan dibangkitkan pada sensor. Sensor ini mengukur dan mencatat waktu

19 5 dari saat pemancaran hingga kembali ke sensor, di samping mengukur dan mencatat intensitas tenaga baliknya (Sutanto 1987). Sensor radar dapat dipasang dipermukaan tanah, di pesawat terbang, maupun satelit. Keluarannya ada dua jenis, yaitu data non-citra dan citra radar. Data non-citra terdiri dari sistem radar Doppler untuk mengukur kecepatan kendaraan (kapal, pesawat terbang, satelit) dan radar Plan Position Indicator. Sistem radar Dopler menggunakan efek Doppler, yaitu perubahan frekuensi radiasi gelombang elektromagnetik yang disebabkan oleh gerak relative antara sumber radiasi dan penerimanya. Perubahan frekuensinya tergantung pada kecepatan relatif antara pemancar dan penerimanya. Perubahan frekuensi ini dapat terjadi dalam bentuk perubahan nada bunyi klakson atau sirine ambulans yang sedang melaju. Efek Doppler semacam ini disebut efek Doppler akustik, Nada bunyinya berubah pada saat mobil mendekati atau menjauhi kita. Disamping itu ada juga efek Doppler optic yang perubahannyabergantung atas kecepatan relative sumber cahaya dan pengamatnya, dan efek Doppler termal yang menyebabkan pelebaran garis-garis spektralnya. Efek Doppler pada gelombang radar terjadi dalam bentuk perubahan frekuensi sinyal yang dipancarkan oleh sensor dan yang dipantulkan kembali oleh objek (Paine 1981; Sabins 1978 dalam Sutanto 1987). Sistem radar yang membuahkan citra radar dikembangkan oleh kalangan militer pada dasawarsa 1950-an untuk merekam daerah lawan dari samping. Karena perekamanya ke arah samping maka sistem radar ini disebut Side Looking Radar (SLR). Untuk memperjelas wahana yang digunakan maka sistem radar ini juga disebut Side Looking Airbone Radar. Dua istilah ini digunakan dengan makna yang sama, akan tetapi istilah SLAR lebih banyak digunakan (Avery dan Berlin 1985; Paine 1981 dalam Sutanto 1987) Satelit ALOS Menurut Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), Satelit ALOS (Advance land observing Satellite) merupakan satelit generasi lanjutan dari JERS- 1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan teknologi yang lebih maju. ALOS yang memiliki ukuran panjang 4,5 m x lebar 3,5 m x tinggi 6,5 m, dengan massa sekitar 4 ton adalah salah satu satelit yang diluncurkan Pemerintah Jepang pada tanggal 24 Januari 2006 adalah ALOS membawa 3 jenis sensor, yaitu PALSAR

20 6 (Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar), PRISM (Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping), dan AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type-2). AVNIR dan PRISM merupakan sensor optik sedangkan PALSAR merupakan sensor radar. Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sebuah sistem radar yang mengindera secara menyamping dan dapat menghasilkan citra resolusi tinggi. Sebuah radar yang juga dapat mengakumulasi data. Melalui cara ini sebuah jalur permukaan bumi di iluminasi baik secara paralel maupun searah dengan jalur terbangnya. Dari data signal yang terekam selanjutnya diproses untuk menghasilkan citra radar. Jarak yang menyamping disebut dengan "range". Sehingga dikenal dengan near range (sapuan dekat) yaitu yang terdekat dengan nadir (titik dibawah sensor radar) dan far range (sapuan jauh) yaitu jarak terjauh dari sensor radar. Sedangkan yang searah jalur tebang disebut dengan azimuth. (Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR 2011) SAR merupakan teknik yang handal dan praktis untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi dan juga dapat diletakkan pada wahana satelit. SAR mensintesiskan apatureyang panjang dengan memanfaatkan pergerakan wahana (platform). Gelombang mikro (microwave) dapat menembus awan dan dapat digunakan pada pencitraan radar. Oleh karenanya SAR mempunyai kemampuan melakukan pencitraan baik siang maupun malam dan pada segala cuaca. SAR bersifat kompetitif dan komplementatif terhadap multispektral radiometer sebagai instrumen utama penginderaan jauh. Geometrik SAR ditunjukan pada Gambar 1. Gambar 1 Geometri SAR (Sumber: Lee, J.S. and Eric Pottier. 2009).

21 ALOS PALSAR JAXA (2006) menjelaskan bahwa sensor PALSAR meupakan sensor gelombang mikroaktif yang dapat melakukan observasi siang dan malam tanpa terpengaruh pada kondisi cuaca. Melalui salah satu mode observasinya, yaitu ScanSAR sensor ini memungkinkan untuk melakukan pengamatan permukaan bumi dengan cakupan area yang cukup luas 250 hingga 350 km. ScanSAR mempunyai kemudi berkas cahaya yang dapat diatur pada elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang lebih lebar daripada SAR konvensional. Bentuk dari Instrumen PALSAR dan prinsip pengambilan objeknya disajikan pada Gambar 2 dan Tabel 1. Gambar 2 Bentuk instrumen PALSAR (Sumber: JAXA). Tabel 1 Prinsip ALOS PALSAR Polarization HH or V HH+HV or HH+HV+V HH or VV VV+VH H+VV Incident angle 8 to 60deg 8 to 60deg 18 to 43 deg 8 to 30deg Range resolution 7 to 44 m 14 to 88 m 100 m 24 to 89 m Observation swath 40 to 70 km 40 to 70 km 250 to 350 km 20 to 65 km Bir length 5 bits 5 bits 5 bits 3 or 5 bits Data rate 240 Mbps 240 Mbps 120,240 Mbps 240 Mbps NE sigma zero *2 <-23 db(swath Width 70km) <-25 db(swath Width 60km) <-25 db <-29 db S/A *2 *3 >16 db(swath Width 70km) >21 db(swath Width 60km) >21 db >19 db Radiometric accuracy Scene : 1dB/orbit : 1.5 db (Sumber : JAXA 2006)

22 8 Sensor PALSAR memiliki 4 jenis polarisasi yaitu HH, HV, VH, dan VV. Polarisasi merupakan arah rambat dari gelombang mikro aktif yang dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Sinyal radar dapat ditransmisikan dan diterima dalam bentuk polarisasi yang berbeda. Sinyal dapat disaring sedemikian rupa sehingga gelombang elektrik dibatasi hanya pada satu bidang datar yang tegak lurus arah perjalanan gelombang. Satu sinyal radar dapat ditransmisikan pada bidang datar (H) ataupun tegak lurus (V), sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang datar atau tegak lurus. Citra yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Karakteristik polarisasi PALSAR dijelaskan dalam Tabel 2. Tabel 2 Karakteristik polarisasi PALSAR Polarisasi HH HV VH VV Penjelasan Transmisi berupa gelombang horizontal Antena hanya menerima gelombang pantul horizontal Transmisi berupa gelombang horizontal Antena hanya menerima gelombang pantul vertikal Transmisi berupa gelombang vertikal Antena hanya menerima gelombang pantul horizontal Transmisi berupa gelombang vertikal Antena hanya menerima gelombang pantul vertikal 2.3 Koreksi Geometrik Koreksi geometrik atau biasa disebut rektifikasi adalah suatu proses melakukan transformasi data dari satu sistem grid menggunakan suatu transformasi geometrik. Oleh karena posisi piksel pada citra output tidak sama dengan posisi piksel input (aslinya) maka piksel-piksel yang digunakan untuk mengisi citra yang baru harus di-resampling kembali. Resampling adalah suatu proses melakukan interpolasi nilai data untuk piksel-piksel pada sistem grid yang baru dari nilai piksel citra aslinya. (Jaya 2002) Georeferensi adalah suatu proses memberikan koordinat peta pada citra yang sesungguhnya sudah planimetris. Sebagai contoh, pemberian sistem koordinat suatu peta hasil dijitasi peta atau hasil scanning citra. Hasil digitasi atau hasil scanning tersebut sesungguhnya sudah datar (planimetri), hanya saja belum mempunyai koordinat peta yang benar. Dalam hal ini, koreksi geometrik sesungguhnya melibatkan proses georeferensi karena semua sistem proyeksi

23 9 sangat terkait dengan koordinat peta. Registrasi citra ke citra melibatkan proses georeferensi apabila citra acuannya sudah di georeferensi. Oleh karena itu, georeferensi semata-mata merubah sistem koordinat peta dalam file citra, sedangakan grid dalam citra tidak berubah (Jaya 2002). Terdapat sedikit perbedaan antara georeferensi dan rektifikasi. Georeferensi adalah proses penyamaan sistem koordinat dari peta ke citra, dari cita ke citra maupun dari peta ke peta, sedangkan rektifikasi adalah proses transformasi dari suatu sistem grid kedalam grid yang lain menggunakan persamaan tertentu. Jadi proses rektifikasi citra dengan peta akan meliputi proses georeferensi, karena sistem proyeksi berkaitan juga dengan sistem koodinat. Georeferensi dari citra ke citra tidak terektifikasi kalau citranya sama-sama belum di rektifikasi, dan sebaliknya bila salah satu citra sudah direktifikasi maka georeferensi citra ke citra sama dengan rektifikasi (Jaya 2007). Kesalahan geometrik dipengaruhi oleh distorsi (kesalahan) yang timbul pada saat perekaman. Hal ini dipengaruhi oleh perputaran bumi ataupun bentuk dari permukaan bumi. Beberapa kesalahan ini kadang sudah dikoreksi oleh supplier citra atau dapat dikoreksi secara geometris oleh pengguna. Koreksi geometrik dapat dilakukan dengan: (i) menggunakan titik kontrol (Ground Control Point) yang dicari pada citra lain yang sudah memiliki georeferensi, (ii) menggunakan titik (Ground Control Point) yang dapat dicari pada peta yang sudah memiliki georeferensi, (iii) memakai titik pengukuran yang diambil menggunakan GPS (Global Positioning System) pada lokasi-lokasi tertentu yang mudah dikenali pada citra. Hal yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan koreksi geometris antara lain adalah tingkat resolusi dan proyeksi yang digunakan data itu (Jaya 2007). Menurut Jaya (2007) dalam koreksi geometrik, dikenal ada 2 jenis metode koreksi, yaitu: a. Rektifikasi / perbaikan: proses mengkoreksi citra sesuai dengan koordinat peta, GPS atau citra lain yang sudah terkoreksi. b. Ortho Rektifikasi: proses koreksi geometrik dengan memasukkan data ketinggian permukaan dan informasi posisi platform satelit. Rektifikasi ortho

24 10 merupakan metode yang paling akurat akan tetapi prosesnya cukup rumit dan memerlukan data yang lebih banyak. Analisa dalam koreksi geometrik dapat dilakukan dengan beberapa acuan, seperti titik-titik pojok (corner), titik referensi (tie points), dan georeferensi dengan citra terkoreksi. a. Georeferensi citra raster dengan titik-titik pojok (corner) Georeferensi umumnya dilakukan sebagai koreksi sementara dengan menggunakan informasi awal (header file) yang biasanya disertakan dalam setiap citra satelit. Pada dasarnya, georeferensi bukanlah metode koreksi geometris yang akurat. Hal ini dikarenakan informasi titik-titik pojok umumnya dihasilkan berdasarkan penghitungan posisi satelit pada saat citra direkam. Penting untuk diingat bahwa proses koreksi geometrik sedapat mungkin didasarkan pada posisi sebenarnya di lapangan atau peta lain dengan tingkat presisi yang tinggi (misalnya peta topografi/rupa bumi). Untuk melakukan georeferensi, terlebih dahulu dibutuhkan posisi geografis dari titik-titik pojok pada citra satelit. b. Georeferensi citra dengan titik referensi (tie point) Cara ini merupakan salah satu cara untuk mengkoreksi data citra dengan membuat titik-titik sekutu yang sama posisinya dengan titik-titik yang memiliki referensi atau disebut juga titik acuan. Posisi dari titik-titik acuan didapatkan dari informasi GPS atau diambil dari peta rupa bumi. Hal yang perlu diperhatikan dalam memilih titik acuan adalah bahwa sebaiknya titik-titik tersebut diambil pada daerah yang mudah dikenali baik pada citra maupun pada keadaan aslinya (alam), seperti perempatan jalan, pertigaan jalan, sehingga kekeliruan dalam menentukan titik sekutu bisa diminimalisasi. Selain itu, semakin banyak jumlah titik dan semakin menyebar distribusi titik-titik sekutu pada citra, akan semakin baik hasilnya dari proses koreksi geometrik yang dilakukan.

25 11 Gambar 3 Georeferensi tie points. c. Georeferensi citra dengan citra lain yang telah terkoreksi Secara prinsip, metode koreksi geometrik ini tidak jauh berbeda dengan metode sebelumnya. Perbedaan yang mendasar adalah sumber informasi posisi titik sekutu. Pada metode yang akan diuraikan pada bagian ini, posisi geografis titik sekutu ditentukan dari citra satelit lain yang telah terkoreksi (reference image). Dalam hal ini amat penting untuk mengetahui presisi dari reference image yang digunakan. Hal tersebut disebabkan, akurasi dan presisi geometrik yang dihasilkan metode ini tidak akan melebihi akurasi/presisi dari reference image. Gambar 4 Georeferensi dari image terkoreksi. Titik kontrol lapangan (GCP) adalah titik-titik yang letaknya pada suatu posisi piksel suatu citra yang koordinat petanya (referensinya) diketahui. GCP terdiri atas sepasang koordinat x dan y, yang terdiri atas koordinat sumber dan koordinat referensi. Koordinat-koordinat tersebut tidak dibatasi oleh adanya koordinat peta. Koreksi Geometrik merupakan proses yang mutlak dilakukan apabila posisi citra akan disesuaikan atau ditumpangsusunkan dengan peta-peta atau citra lainnya yang mempunyai sistem proyeksi peta.

26 12 Ada beberapa alasan atau pertimbangan, kenapa perlu melakukan rektifikasi, diantaranya adalah untuk: 1. membandingkan 2 citra atau lebih untuk lokasi tertentu 2. membangun SIG dan melakukan pemodelan spasial 3. meletakkan lokasi-lokasi pengambilan training area sebelum melakukan klasifikasi 4. membuat peta dengan skala yang teliti 5. melakukan overlay (tumpang susun) citra dengan data-data spasial lainnya 6. membandingkan citra dengan data spasial lainnya yang mempunyai skala yang berbeda 7. membuat mozaik citra 8. melakukan analisis yang memerlukan lokasi geografis dengan presisi yang tepat Koreksi Kelerengan Lereng yang dimaksud disini yaitu lereng permukaan secara makro atau lereng topografi daerah. Bagi lereng yang menghadap ke arah sensor lazim disebut lereng depan, maka pantulan tenaganya lebih besar dari lereng belakangnya (Sutanto 1987). Lereng termasuk salah satu faktor topografi. Efek topografi terjadi disebabkan oleh perubahan incident angle dengan kemiringan topografi radar. Topografi membatasi efek keakuratan hasil klasifikasi citra. Salah satu efek topografi adalah perbedaan kecerahan terlihat pada citra SAR medan berat (Bayer et al. 1991). Untuk memperbaiki efek topografi data ALOS PALSAR menggunakan algoritma model backscatter pada radar dan model elevasi digital. Koreksi kemiringan ini dilakukan untuk menguji klasifikasi tutupan lahan agar meningkatkan akurasi pemetaan hutan (Murthi 1996). Pengaruh kemiringan lahan dan orientasinya terhadap nilai backscatter objek sangat besar. Oleh karena itu aplikasi citra radar untuk wilayah bergunung seringkali sulit dilakukan, seringkali dijumpai bukit yang relatif kurang bervegetasi akan tetapi memiliki nilai backscatter yang tinggi (Leclerc 2001). Untuk keperluan penafsiran, citra radar wilayah yang bergunung sebaiknya dilakukan koreksi nilai backscatternya terlebih dahulu. Koreksi seperti ini masih terus dikembangkan, antara lain dilakukan oleh JAXA untuk citra PALSAR.

27 13 Contoh perbedaan citra wilayah bergunung yang belum dan sudah dikoreksi nilai backscatternya akibat pengaruh kemiringan lahan dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5 Perbedaan antara citra yang belum (atas) dan sudah (bawah) di koreksi nilai backscatternya. Menurut Sun et al. (2002), untuk mengetahui koreksi kemiringan lahan perlu diketahui besar local incidence angle. Setelah diketahui besar local incidence angle, baru dapat diketahui besar nilai digital terkoreksi. Berikut adalah persamaan yang dipakai untuk mengetahui local incidence angle : Keterangan : : local incidence angle : incident angle of microwave (=34.3 ) : local slope angle (menggunakan DEM) : azimuth angle (= ) : aspect of slope (menggunakan DEM) Setelah local incidence angle diketahui, maka koreksi kemiringan lahan dapat diperoleh dengan persamaan : Keterangan : Rc = Nilai Digital terkoreksi R = Nilai Digital Asli k = parameter koreksi kelerengan = local incidence angle

28 14 Menurut Trisakti (2005), orthorektifikasi adalah proses koreksi geometrik dengan memasukkan data ketinggian permukaan dan informasi posisi platform satelit. Rektifikasi ortho merupakan metode yang paling akurat akan tetapi prosesnya cukup rumit dan memerlukan data yang lebih banyak. Dalam melakukan slope correction, dibutuhkan citra yang sudah terorthorektifikasi agar pada saat citra dikoreksi kelerenganya berada pada posisi yang sesuai sehingga meminimalisir kesalahan pada penafsiran citra baik secara digital maupun manual. 2.4 Penutupan Lahan dan Penggunaan Lahan Dalam klasifikasi penutupan dan penggunaan lahan ada beberapa informasi yang tidak dapat diperoleh dari data pengideraan jauh. Informasi mengenai penutupan lahan dapat secara langsung dikenali dari penutupan lahannya. Untuk menentukan penggunaan lahan diperlukan tambahan informasi untuk melengkapi data penutupan lahan. Departemen Kehutanan secara rutin menerbitkan data penutupan dan penggunaan lahan. Pada tahun 2003 dan 2008 Diretorat planologi mempublikasikan data penutupan lahan untuk seluruh seluruh Indonesia. Data ini dibuat berdasarkan interpretasi visual citra Landsat dengan mempertimbangkan tingkat gangguan hutan (primer dan sekunder) dan kondisi lahan (rawa/lahan kering). Klasifikasi Direktorat Jendral Planologi Kehutanan menggunakan 23 kelas, yaitu: 1 Hutan lahan kering primer 2 Hutan lahan kering sekunder 3 Hutan rawa primer 4 Hutan rawa sekunder 5 Hutan mangrove primer 6 Hutan mangrove sekunder 7 Hutan tanaman 8 Perkebunan 9 Semak belukar 10 Semak belukar rawa 11 Savanna/Padang rumput 12 Pertanian lahan kering 13 Pertanian lahan kering + semak 14 Sawah 15 Tambak 16 Permukiman 17 Transmigrasi 18 Land terbuka

29 15 19 Pertambangan 22 Awan 20 Tubuh air 23 Bandar udara/pelabuhan. 21 Rawa Berdasarkan Manual Penfsiran Citra ALOS PALSAR (2011), obyek (penutupan lahan) yang dapat dikenali adalah hutan lahan kering, hutan musim, hutan rawa, mangrove, hutan tanaman, perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, kebun campuran, semak belukar, pertanian lahan kering, padang rumput, sawah, permukiman, lahan terbuka, bandar udara, tambak dan badan air. Namun dari beberapa indikasi yang perlu kajian lebih lanjut, kemungkinan ke depan dapat ditingkatkan melalui penampakan topografi yang jelas pada citra ALOS PALSAR sehingga hutan lahan kering dibedakan menjadi hutan dataran, hutan perbukitan dan hutan pegunungan. Selain itu untuk tanaman dan perkebunan, mengingat faktor biomas mempunyai pengaruh yang cukup jelas pada citra ALOS PALSAR, kemungkinan dapat dibedakan menjadi kelas-kelas yang lebih muda dan tua. Sistem klasifikasi penutupan lahan dan hutan yang disarankan adalah : 1. Hutan Alam 1.1. Hutan Alam Lahan Kering Hutan Alam Lahan Kering Dataran Hutan Alam Lahan Kering Perbukitan Hutan Alam Lahan Kering Pegunungan Hutan Alpin 1.2. Hutan Rawa Hutan Rawa Tawar Hutan Rawa Gambut 1.3. Hutan Mangrove 1.4. Hutan Musim 2. Hutan Tanaman 2.1. Hutan Tanaman Jati Hutan Tanaman Jati Muda Hutan Tanaman Jati Tua 2.2. Hutan Tanaman Pinus

30 Hutan Tanaman Pinus Muda Hutan Tanaman Pinus Tua 2.3. Hutan Tanaman Jenis lain Hutan Tanaman Jenis lain Muda Hutan Tanaman Jenis lain Tua 3. Hutan Terbakar 4. Semak belukar 5. Padang rumput 6. Perkebunan 6.1. Perkebunan Karet Perkebunan Karet Muda Perkebunan Karet Tua 6.2. Perkebunan Kelapa sawit Perkebunan Kelapa sawit Muda Perkebunan Kelapa sawit Tua 7. Kebun Campuran 8. Pertanian 8.1. Pertanian lahan kering 8.2. Sawah 9. Lahan terbuka 10. Lahan terbangun Pemukiman Perkotaan Pedesaan Bandar udara/pelabuhan 11. Tambak 12. Badan air. 2.5 Interpretasi Citra Interpretasi citra penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara yaitu interpretasi interpretasi secara manual dan secara digital (Purwadhi, 2001). Interpretasi secara manual adalah interpretasi data penginderaan jauh yang mendasarkan pada pengenalan ciri (karakteristik) objek secara keruangan

31 17 (spasial). Karakteristik objek yang tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti rona, warna, bentuk, tekstur, pola, letak dan asosiasi kenampakan objek. Sedangkan interpretasi secara digital adalah evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi citra pixel berdasarkan nilai spektralnya dan dapat dilakukan dengan cara statistik. Estes dan Simonett (1975) mengatakan bahwa interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Pengalaman sangat menentukkan hasil interpretasi, karena persepsi pengenalan objek bagi oran-orang yang berpengalaman biasanya lebih konstan atau dengan kata lain pengenalan objek yang sama pada berbagai bentuk citra akan selalu sama. Misalkan pada citra A dianggap sebuah pemukiman, maka pada citra B atau C pun tetap bisa dikenal sebagai pemukiman walaupun agak sedikit berbeda dalam penampakannya. Penafsiran citra visual dapat didefiniskan sebagai aktivitas visual untuk mengkaji citra yang menunjukkan gambaran muka bumi yang tergambar di dalam citra tersebut untuk tujuan identifikasi obyek dan menilai maknanya. Menurut Salman (2011), ada tiga hal penting yang perlu dilakukan dalam proses interpretasi, yaitu deteksi, identifikasi dan analisis. Deteksi citra merupakan pengamatan tentang adanya suatu objek, misalkan pendeteksian objek disebuah daerah dekat perairan. Identifikasi atau pengenalan merupakan upaya mencirikan objek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup, misalnya mengidentifikasikan suatu objek berkotak2 sebagai tambak di sekitar perairan karena objek tersebut dekat dengan laut. Sedangkan analisis merupakan pengklasifikasian berdasarkan proses induksi dan deduksi, seperti penambahan informasi bahwa tambak tersebut adalah tambak udang dan dklasifikasikan sebagai daerah pertambakan udang. Setelah serangkaian proses pra-pengolahan citra diatas, kemudian dilakukan penafsiran visual atau biasa disebut klasifikasi secara kualitatif. Penafsian ini merupakan kegiatan untuk mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra, berasal dari pengembangan penafsiran foto udara

32 18 dan umumnya menggunakan elemen penafsiran yang terdiri dari tone, tekstur, warna, pola, bentuk, ukuran, lokasi dan asosiasi. Setiap elemen penafsiran berasal dari proses tertentu, dan proses tersebut membutuhkan pemahaman mengenai bidang keilmuan tertentu. Secara garis besar bagaimana setiap elemen penafsiran harus dipahami melalui pengetahuan dalam bidang tertentu. Menurut buku Manual Penafsiran citra ALOS PALSAR (2011), pada saat interpretasi citra radar, meskipun yang diinterpretasi adalah citra analog, interpreter harus tetap ingat bahwa tone yang tampak pada citra radar sangat berbeda dengan pencitraan mata manusia umumnya (sensor optik). Derajat keabuabuan dari citra sangat tergantung pada kekuatan relatif dari backscatter gelombang mikro, kekasaran permukaan dan kondisi dielektrik lanskap.

33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2010 Mei Pengambilan data lapangan dilakukan di Jawa Barat dengan lokasi administratif Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur seluas80 km x 80 km pada bulan Juli Okober 2010 (Gambar 6). Sedangkan, proses pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Remote Sensing dan GIS Fakultas Kehutanan IPB di mulai bulan November 2010 sampai dengan Mei Gambar 6 Peta lokasi penelitian. 3.2 Bahan dan Alat Alat Alat alat yang digunakan yaitu GPS, kompas, suunto (tandom), tallysheet, kamera digital sebagai peralatan lapangan. Seperangkat komputer dengan software Erdas Imagine 9.1, ArcView 3.3, ArcGIS, Microsoft Excel 2010, Microsoft Word 2010, dan system pendukung untuk analisis data yaitu Ekstensi Image Analysis, Geoprocessing, Graticules and Measured Grid, Projection Utility Wizard, Spatial Analysis, XTools, dan Ekstensi IHMB-Jaya Versi 6.

34 Bahan Bahan yang digunakan yaitu Citra ALOS PALSAR dengan resolusi 12,5 meter dan 50 meter Provinsi Jawa Barat tahun perekaman 2009, Citra DEM Provinsi Jawa Barat tahun perekaman 2009, Manual Penafsiran Visual Citra ALOS PALSAR, Peta Daerah Administrasi Provinsi Jawa Barat, Peta Jaringan Jalan Provinsi Jawa Barat, dan Peta kerja pengamatan lapangan. 3.3 Tahapan Penelitian Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi Citra DEM Provinsi Jawa Aspect Slope Pra-Pengolahan Citra Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter Interpretasi Awal Hasil Penafsiran Awal Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter Hasil Penafsiran Awal Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi Verifikasi Lapangan Reklasifikasi Hasil Penafsiran Analisis secara visual Analisis Hasil Verifikasi Lapangan Analisis secara digital Akurasi Hasil Interpretasi Citra Gambar 7 Diagram alir penelitian.

35 Pengumpulan Data Pada penelitian ini pengumplan data yang dilakukan meliputi pengumpulan bahan-bahan yang digunakan yang diperoleh dan interpretasi citra serta data observasi lapangan Pra-pengolahan Citra Mosaik Citra Mosaik merupakan suatu proses penggabungan dari beberapa citra secara bersamaan membentuk satu kesatuan (satu lembar) peta atau citra yang kohesif. Citra kohesif yang dimaksud adalah citra yang dimana kekontrasanya konsisten, terorganisir, solid dan koordinatnya terinterkoneksi (Jaya 2007). Pada penelitian ini, citra yang dimosaik adalah citra ALOS PALSAR resolusi12,5 meter Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 4 scene(gambar 8) dan citra DEM Provinsi Jawa Barat terdiri dari 4 scene(gambar9). Kedua citra tersebut dimosaik masing-masing menjadi satu lembar (scene) guna memudahkan proses pengolahan dan analisis citra. Mosaik dilakukan dengan menggunakan software Erdas Imagine. Gambar 8 Empat scene citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter. Gambar 9 Empat scene citra DEM.

36 22 Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Provinsi Jawa Barat tidak perlu dimosaik karena data yang diterima telah dimosaik dan sudah ortofoto. Ortofoto adalah foto konvensional bertampalan, dengan proses rektifikasi differensial. Hasil proses ini dapat menghilangkan pergeseran letak gambar oleh kelerengan dan membuat skala peta selama tempat sama Pembuatan Synthetic Band dan Citra Komposit Data Citra satelit ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dan 50 m yang digunakan dalam penelitian ini hanya memiliki dua polarisasi yaitu HH dan HV. Gelombang HH ditembakkan secara horizontal oleh satelit, dan dipantulkan kembali menuju satelit secara horizontal. Gelombang HV ditembakkan secara horizontal dan dipantulkan kembali menuju satelit secara vertikal. Kedua polarisasi tersebut dapat diperlakukan sebagai band. Namun, citra tidak dapat diinterpretasi dengan baik secara visual apabila hanya memiliki dua band saja. Sehingga diperlukan band tambahan agar citra ALOS PALSAR dapat diinterpretasi secara visual dengan mudah. Dua band sebelumnya ada yaitu bandred dan green, dan band yang dibutuhkan adalah band blue. Dalam penelitian ini, dengan menggunakan Erdas Model Builder band ketiga yang dibuat adalah layer ratio antara HH dan HV. Pembuatan Synthetic Band dan Citra Komposit ini diawali dengan layer stack. Layer stack merupakan proses menumpuk, menggabung dan dapat memisahkan masing-masing layer yang ada pada citra ALOS PALSAR ini. Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter yang ada dalam bentuk dua ayer yakni HH- HV. Untuk itu, kita memisahkan tiap layer terlebih dahulu untuk mendapatkan layer HH dan layer HV. Setelah didapat kedua layer tersebut dalam keadaan terpisah, lalu dibuatlah layer rasio HH/HV yakni dengan menggunakan Erdas Model Builder. Setelah didapat ratio HH/HV yang diperlukan, barulah kemudian dilakukan layer stacking dengan menggabungkan HH pada layer 1, HV pada layer 2 dan ratio HH-HV pada layer 3 (Gambar 10). Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter dapat diunduh secara gratis di situs ALOS Research and Application milik JAXA. Sama halnya dengan Citra DEM Provinsi Jawa Barat juga dapat diunduh secara gratis, sedangkan Citra

37 23 ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter belum bisa diunduh secara gratis di jejaring internet manapun. (a) (b) (c) (d) Gambar 10 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m Polarisasi HH (a), Polarisasi HV (b), Rasio HH/HV (c), dan Polarisasi HH,HV, Rasio HH/HV (d) Pemotongan Citra Komposit Setelah beberapa proses pengolahan citra diatas, selanjutnya dilakukan subset dengan peta daerah penelitian (Gambar 11). Citra ALOS PALSAR dipotong dengan luasan 80 km x 80 km. Gambar 11Subset citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m.

38 Koreksi Geometrik Pada penelitian ini, citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter belum terektifikasi sedangkan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter sudah orthorektifikasi oleh karena itu citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter digunakan sebagai acuan untuk mengoreksi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter. Hasil citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter yang telah terkoreksi ini dilakukan slope correction dengan menggunakan Erdas Model Builder. Pada Erdas Model Builder yang digunakan untuk mengoreksi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter adalah subset citra DEM Provinsi Jawa Barat, aspect citra DEM Provinsi Jawa Barat, slope citra DEM Provinsi Jawa Barat yang ditunjukkan pada Gambar 12. (a) (b) (c) Gambar 12Subset DEM Provinsi Jawa Barat (a),aspect DEM Provinsi Jawa Barat (b), Slope DEM Provinsi Jawa Barat (c). Slope correction dilakukan karena citra ALOS PALSAR 12,5 meter karena akurasi kelerengan dan topografi belum teruji. Koreksikemiringanini dilakukan untuk menguji klasifikasi tutupan lahandiharapkan agar dapat meningkatkanakurasidalam mengidentifikasi tutupan lahan pada citra ALOS PALSAR 12,5 meter. Beberapa tahap pengolahan slope correction menggunakan Erdas Model Builder dapat dilihat pada Gambar 13 dan hasil dari slope correction ditunjukkan pada Gambar 14.

39 25 Keterangan : EITHER 0 IF (( ($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4) ))==0.00) OR $n1_subset_subset_new_mosaic_3_band(1) / (($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4))) OTHERWISE EITHER 0 IF (( ($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4) ))==0.00) OR $n1_subset_subset_new_mosaic_3_band(2) / (($n2_temp ** 4) + (1 - (COS(34.3 * PI/180) ** 4))) OTHERWISE EITHER 0 IF ( $n4_temp == 0.00) OR $n12_temp / $n4_temp OTHERWISE Gambar 13 Proses slope correction menggunakan Erdas Model Builder.

40 26 (a) (b) (c) (d) Gambar 14 Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected (a), non slope corrected 1 : (b),slope corrected 1 : (c), swipe antara citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m dengan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slopecorrected (d).

41 Interpretasi Awal Setelah citra selesai dikoreksi, lalu dilakukan interpretasi awal pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope correcteddan resolusi 50 meter. Kombinasi band yang digunakan adalah HH, HV, dan HH/HV. RGB yang digunakan yaitu HH pada red, HV pada green dan HH/HV pada blue.interpretasi awal ini dilakukan untuk mengidentifikasi objek-objek permukaan bumi yang tampak pada citra dengan menggunakan elemen penafsiran yang terdiri dari tone, tekstur, warna, pola, bentuk, ukuran, lokasi dan asosiasi. Pada penelitian ini, elemen penafsiran visual yang digunakan dalam menafsir citra ALOS PALSAR yaitu: 1.Warna : elemen warna yang dijumpai dalam citra Palsar adalah hijau, kuning, pink, ungu, biru dan putih 2. Tone : elemen tone yang dijumpai dalam citra Palsar hanya dua yaitu terang dan gelap 3. Tekstur : elemen tekstur yang dijumpai dalam citra Palsar adalah halus dan kasar 4. Bentuk : elemen bentuk dalam citra Palsar menunjukkan bentuk geometri dari objek atau deliniasinya. Biasanya hanya berbentuk persegi panjang, garis berbelok-belok, area tidak beraturan. 5. Ukuran : diartikan sebagai ukuran area yang dideliniasi.elemen ini hanya dijumpai berukuran luas/besar dan kecil. 6. Pola : elemen ini diartikan sebagai pengaturan spasial. Biasanya yang dijumpai adalah pola mengelompok teratur, menyebar teratur dan menyebar tidak teratur. 7. Lokasi : elemen ini menunjukkan dimana dan pada kondisi apa sebuah objek penutupan lahan berada. Elemen ini terdiri dari berada pada daerah datar, pegunungan, pantai muara sungai. 8. Asosiasi : elemen ini menunjukkan hubungan antara keberadaan sebuah penutupan lahan dengan penutupan lahan lain atau dengan fenomena geografi, ekologis tertentu.

42 Pengamatan Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan setelah citra selesai diidentifikasi awal dan setelah dilakukan pembuatan lokasi titik pengamatan. Lokasi titik pengamatan dibuat dengan menggunakan Systematic Sampling with Random Start dengan bantuan Ekstensi IHMB-Jaya Versi 6 pada ArcView, yang kemudian di subset dengan hasil buffer peta jaringan jalan selebar 1000 meter. Jumlah titik pengamatan pada masing-masing tutupan lahan disesuaikan berdasarkan luas tutupan lahan. Setelah selesai, dibuatlah peta kerja sebagai alat bantu pengamatan di lapangan. Peta kerja dibuat dengan overlay citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter, lokai titik pengamatan, peta administrasi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, dan hasil deliniasi penafsiran awal citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Peta kerja tersebut di cetak di kertas A3 dengan sakala 1: Beberapa hal yang diamati di lapangan dicatat dalam Tally Sheet yang telah dibuat. Tally Sheet diisi dengan ID plot, jenis tutupan lahan, nomor foto, jenis vegetasi, tapak, topografi, fisiografi dan sketsa lapangan (Gambar 15). Gambar 15Tally sheet.

43 Analisis Hasil Pengamatan Lapangan Dalam mengevaluasi kemampuan penafsiran visual citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope-corrected untuk mengidentifikasi penutupan lahan di daerah penelitian digunakan metoda interpretasi secara manual dan digital. Analisis visual dilakukan berdasarkan penampakan citra dilihat dari elemenelemen interpretasi. Sedangkan untuk interpretasi secara digital, dilakukan dengan menggunakan analisis diskriminan dan analisis separabilitas. Analisis diskriminan dilakukan dengan mengelempokan objek-objek penutupan lahan yg memiliki persamaan karakteristik ciri fisik dilapangan serta nilai digital pada polarisasi HH dan HV. Analisis ini dilakukan hingga objek tidak dapat dikelompokan kembali. Sedangkan analisis separabilitas dilakukan untuk melihat kelas keterpisahan antara hasil interpretasi visual dengan hasil observasi lapang yang diolah secara digital. Proses selanjutnya adalah analisis akurasi hasil interpretasi citra. Tujuan dilakukannya akurasi ini adalah untuk mengetahui tingkat ketepatanhasil interpretasi citra terhadap kondisi yang sebenarnya di lapangan. Keakuratan tersebut meliputi jumlah piksel area contoh yang diklasifikasikan dengan benar atau salah, pemberian, nama secara benar, dan persentase banyaknya piksel dalam masing-masing kelas serta persentase kesalahan total.untuk menghitung besarnya akurasi hasil klasifikasi dapat diuji dengan menggunakan matrik kesalahan (confusion matrix). Rumus Kappa accuracy yang digunakan yaitu: dimana: = nilai diagonal dari matrik kontingensi baris ke-i dan kolom ke-i = jumlah piksel dalam kolom ke-i = jumlah piksel dalam baris ke-i N = banyaknya piksel dalam contoh

44 BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Lokasi penelitian secara geografis terletak antara 6 31'45'' '52'' LS dan '39'' '49'' BT, memiliki luas ± Ha. Secara administratif meliputi Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi dengan batasan wilayah yang ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Batas wilayah penelitian Batas Bagian Daerah yang berbatasan Sebelah Utara Kabupaten Tanggerang, Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Purwakarta Sebelah Barat Kabupaten Lebak Sebelah Timur Kabupaten Bandung dan kabupaten Garut Sebelah Selatan Samudra Indonesia 4.2 Topografi Lokasi penelitian berada di wilayah daratan dengan tipe morfologi yang bervariasi, dari dataran rendah hingga dataran tinggi, sehingga membentuk bentangan-bentangan lereng. Lokasi ini terletak pada ketinggian 15 mdpl mldp dengan klasifikasi keadan morfologi wilayah serta presentasenya sebagai berikut. Klasifikasi topografi lokasi penelitian ditunjukkan pada Tabel 4. Tabel 4 Klasifikasi topografi di lokasi penelitian Tipe Ketinggian Kelerengan Luas (%) Morfologi (m dpl) (%) Bogor Cianjur Sukabumi Dataran Rendah ,28 18,7 9,4 Bergelombang ,62 25,3 22 Berbukit ,53 41,8 42,7 Bergunung >40 8,05 24,2 25,9

45 Iklim Iklim wilayah Kabupaten Bogor termasuk iklim tropis yang sangat basah di bagian selatan dan iklim tropis basah di bagian utara, dengan rata-rata curah hujan tahunan mm/tahun, kecuali di wilayah bagian utara dan sebagian kecil wilayah timur curah hujan kurang dari 25 C. Kelembaban uddara 70%. Kecepatan angin cukup rendah dengan rata-rata 1,2 m/detik. Secara umum Kabupaten Cianjur memiliki iklim tropis lembab dengan suhu udara minimum sebesar 180 C (Maret-April) sedangkan suhu maksimal adalah 240 C (Oktober-November) dengan kelembaban nisbih antara %. Pada bulan November-Maret, angin bertiup ke arah tenggara yang biasanya berkaitan dengan musim hujan dan pada bulan Mei-September angin bertiup ke arah barat laut yang menandai terjadinya musim kemarau. Puncak musim kemarau terjadi pada bulan Agustus, sedangkan puncak musim hujan terjadi pada bulan Desember-Januari. Kabupaten Sukabumi mempunyai iklim tropik dengan tipe iklim B (oldeman) dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar mm dan hari hujan 144 hari. Suhu udara berkisar antara 20-30⁰C dengan kelembaban udara %. Curah hujan antara mm/tahun terdapat di daerah utara, sedangkan curah hujan antara mm/tahun terdapat di bagian tengah sampai selatan Kabupaten Sukabumi 4.4 Batuan Secara umum wilayah daerah penelitian terbentuk oleh batuan vulkanik yang bersifat piroklastik, yang berasal dari endapan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango dan Gunung Salak. Endapan permukaan umumnya berupa alluvial yang tersusun oleh tanah, pasir, dan kerikil hasil dari pelapukan endapan. Bahan induk geologi tersebut menghasilkan tanah-tanah yang relative subur. 4.5 Tanah Wilayah Kabupaten Bogor memiliki jenis tanah yang cukup subur untuk kegiatan pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Tanahnya terdiri dari Aluvial, Andosol, Grumosol, Laterit, Latosol, Podsolik, dan Regosol.

46 33 Wilayah Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah yang beragam antara lain: Alluvial, Andosol, Grumosol, Latosol, dan Podsolik. Sebagian besar wilayah Kabupaten Cianjur memiliki jenis tanah Latosol sedangkan jenis tanah dengan persentase terkecil adalah tanah Andosol. Jenis tanah yang tersebar di Kabupaten Sukabumi sebagian besar didominasi oleh tanah Latosol dan Podsolik yang terutama tersebar pada wilayah bagian selatan dengan tingkat kesuburan yang rendah. Sedangkan jenis tanah Andosol dan regosol umumnya terdapat di daerah pegunungan terutama daerah Gunung Salak dan Gunung Gede, dan pada daerah pantai dan tanah alluvial umumnya terdapat didaerah lembah dan daerah sungai. 4.6 Tutupan Lahan Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2005 Skala 1: oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Bogor memiliki wilayah hutan seluas ,7914 ha dan non hutan seluas ,0763 ha. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM tahun 2005 Skala 1: oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Cianjur memiliki wilayah hutan seluas ,32 Ha dan non hutan seluas ,68 ha. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat TM Tahun 2005 skala 1: oleh Bapeda Propinsi Jawa Barat (2007), penutupan lahan Kabupaten Sukabumi memiliki hutan seluas ,6381 ha dan non hutan seluas ,4162 ha.

47 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penafsiran Visual Awal Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected dan 50 meter Penafsiran awal dilakukan pada citra ALOS PALSAR tahun perekaman 2009 dengan luasan 80 km 80 km dengan berpedoman kepada manual penafsiran citra ALOS PALSAR untuk mengenali penutupan lahan/hutan di Indonesia (JICA & Fahutan IPB 2010) dan juga dibantu dengan Google Earth. Penafsiran visual pada kedua citra meghasilkan 10 kelas penutupan lahan yang sama. Hasil penafsiran visual awal citra dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17 serta luasan nya dapat dilihat pada Tabel 5. Gambar 16 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected.

48 36 Gambar 17 Peta hasil penafsiran awal citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter. Tabel 5 Luasan hasil interpretasi visual penutupan lahan Kelas Penutupan Lahan Resolusi 12,5 meter Resolusi 50 meter Luas ( Ha) Persentase (%) Luas (Ha) Persentase(%) Badan air 3.607,776 0, ,782 0,312 Badan udara 45,725 0,007 54,725 0,009 Hutan ,149 19, ,278 18,563 Kebun campuran ,447 34, ,164 37,029 Lahan terbuka 980,174 0, ,473 0,176 Permukiman ,392 5, ,793 5,855 Perkebunan karet 5.680,506 0, ,506 1,044 Perkebunan kelapa 7.960,720 1, ,720 1,291 sawit Pertanian lahan ,246 20, ,920 17,718 kering Sawah ,865 16, ,639 18,005 Jumlah

49 37 Dalam interpretasi citra, interpreter akan selalu dihadapkan pada target atau objek yang terekam pada citra. Target-target tersebut umumnya berbentuk fitur-fitur yang menggambarkan kondisi lapangan dan jenis objek yang bersangkutan. Fitur-fitur yang ditemukan umumnya berupa titik, garis atau polygon. Untuk mendefinisikan atau memberikan nama terhadap objek-objek tersebut diperlukan sebuah aturan sehingga diperoleh hasil identifikasi yang konsisten. Megenali objek adalah kunci keberhasilan dalam interpretasi dan mendapatkan informasi melalui interpretasi visual. 5.2 Hasil Verifikasi Objek di Lapangan dan Hasil Penafsiran Visual Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 Meter Slope corrected Setelah citra selesai diidentifikasi, kemudian didapat titik pengamatan yang dilakukan pada objek-objek yang telah ditentukan. Dengan menggunakan Systematic Random Sampling Methods, didapat titik awal verifikasi sebanyak 403 titik. Berikut ditampilkan rincian titik verifikasi lapangan pada Tabel 6 dan peta titik verifikasi awal pada Gambar 18. Tabel 6 Titik verifikasi awal No Jenis Penutupan Lahan Jumlah 1 Badan air 5 2 Bandar udara 2 3 Hutan 72 4 Kebun campuran 72 5 Lahan terbuka 2 6 Pemukiman 86 7 Perkebunan karet 5 8 Perkebunan kelapa sawit 8 9 Pertanian lahan kering Sawah 101 Jumlah 403

50 38 Gambar 18 Peta sebaran titik rencana verifikasi citra ALOS PALSAR 12,5 meter Slope Corrected. Beberapa hal yang diamati di lapangan dicatat dalam Tally Sheet yang telah dibuat. Pemotretan bentangan titik pengamatan yang menggambarkan kondisi penutupan lahan juga dilakukan sebagai alat bantu argumen hasil verifikasi. Setelah verifikasi lapangan ternyata hanya didapat 182 titik dari 403 titik yang direncanakan. Tidak tercapainya target verifikasi dalam penelitian ini disebabkan karena beberapa hal yaitu kendala waktu dan letak topografi dari titik-titik tersebut. Peta jalan yang digunakan ketika melakukan perencanaan titik verifikasi sedikit berbeda dengan jalan sebenarnya di lapangan sehingga menyebabkan beberapa titik verifikasi tidak memiliki akses yang cukup untuk dikunjungi. Untuk mengatasi hal tersebut, maka dilakukan penambahan titik secara purposive pada tiap penutupan lahan ketika dibutuhkan. Rincian titik verifikasi lapangan dapat dilihat pada Tabel 7, peta sebaran titik verifikasi lapangan ditampilkan pada Gambar 19 dan deskripsi tutupan lahan yang ditemukan di lapangan di tampilkan pada Tabel 8. Tabel 7 Titik verifikasi lapangan No. Penutupan Lahan Jumlah 1 Badan air 3 2 Bandar udara 1 3 Hutan agathis 1 4 Hutan pinus 7 5 Hutan rasamala 1 6 Hutan tanaman campuran 3 7 Kebun campuran 38

51 39 Tabel 7 Lanjutan No. Penutupan Lahan Jumlah 8 Kebun kacangpanjang 2 9 Kebun singkong 4 10 Lahan Terbuka 2 11 Padang rumput 2 12 Pemukiman Perkebunan cokelat 2 14 Perkebunan karet 2 15 Perkebunan sawit muda 2 16 Perkebunan sawit tua 3 17 Perkebunan the 6 18 Pertanian lahan kering Sawah bera 8 20 Sawah olah Sawah siap panen 2 22 Sawah vegetative Semak belukar 4 Jumlah 182 Gambar 19 Peta sebaran titik verifikasi lapangan citra ALOS PALSAR 12,5 m slope corrected.

52 40 Tabel 8 Penutupan lahan yang ditemui di lapangan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 1 Badan air Badan air memiliki fisiografis yang datar dan tapak berair. Badan air yang ditemui dilapangan yakni sungai dan danau. Danau yang dikunjungi adalah danau di kawasan LIDO, waduk yang dikunjungi adalah sekitar waduk jatiluhur sedangkan sungai yang dikunjungi yakni sungai yang berada di daerah Jampang Tengah. 2 Bandar udara Titik verifikasi lapangan di letakkan di sekitar Bandar udara Atang Sanjaya. Penutupan lahan bandar udara memiliki fisiografis datar dan tapak kering Bandar udara. 3 Hutan aghatis Titik verifikasi lapangan berada pada TNGGP dan TNGHS dan dataran tingi lainya. Hutan Aghatis termasuk salah satu jenis hutan ttanaman. Hutan ini emiliki fisiografis datar-bergelombang dan tapak kering.

53 41 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 4 Hutan pinus Titik verifikasi lapangan berada pada perumahan Megamendung, TNGGP dan TNGHS dan dataran tingi lainya. Hutan Pinus termasuk salah satu jenis hutan ttanaman. Hutan ini emmiliki fisiografis datar-bergelombang dan tapak kering. 5 Hutan rasamala Titik verifikasi lapangan berada pada Hutan Gunung Bentang dan Jampang Hengah. Hutan Rasamala ini termasuk salah satu jenis hutan tanaman. Hutan ini emmiliki fisiografis datar-bergelombang dan tapak kering. 6 Hutan tanaman campuran Hutan tanaman campuran yang terdapat dalam titik verifikasi lapangan berada pada perumahan Megamendung, Hutan Wisata Alam Gunung Pancar, TNGGP, TNGHS dan dataran tingi lainya. Hutan tanaman campuran memiliki fisiografis datarbergelombang dan tapak kering.

54 42 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 7 Kebun Campuran 8 Kebun kacang panjang 9 Kebun singkong Objek lain yang banyak ditemui di lapangan adalah kebun campuran. Umumnya kebun campuran berada pada daerah dengan fisiografis datar hingga bergelombang, mempunyai tapak kering. Ciri lainya yaitu luasan tidak terlalu besar, serta terdiri dari jenis tanaman musiman seperti pisang, kelapa, duren, papaya, jeruk dan lain-lain. Di lapangan ditemukan lahan kebun kacang panjang. Pada areal ini, ditemukan di lapangan hanya satu jenis pertanian lahan kering dengan areal yg cukup luas sehingga kebun kacang panjang dipisahkan dari kelas pertanian lahan kering di lapangan. Fisiografis dari kebun kacang panjang yaitu datar. Di lapangan banyak ditemukan lahan kebun singkong. Pada areal ini, ditemukan di lapangan hanya satu jenis pertanian lahan kering dengan areal yg cukup luas sehingga kebun singkong dapat dipisahkan dari kelas pertanian lahan kering di lapangan. Fisiografis dari kebun singkong yaitu datar.

55 43 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 10 Lahan Terbuka Lahan Terbuka yang ditemui di lapangan adalah areal pertambangan tanah kosong dan padang rumput. Pada lahan terbuka tidak ada tumbuhan bawah yang tumbuh. Fisiografis tanah kosong dari datar hingga curam, dengan tapak kering.. 11 Padang rumput Ditemukan padang rumput di lapangan yakni berupa tanah kosong yang ditumbuhi oleh rerumputan seperti lapangan golf. Fisografis lapangan rumput yaitu datar dengan tapak kering 12 Pemukiman Ciri-ciri pemukiman yang ditemui di lapangan adalah lokasi yang selalu berdekatan dengan jaringan jalan, sehingga akses menuju lahan terbangun/perumahan sangat mudah. Lahan terbangun/ perumahan mempunyai fisiografi datar, dan tapak kering. 13 Perkebunan cokelat Perkebunan cokelat adalah areal yang ditanami tanaman cokelat. Ciri-ciri fisik dari perkebunan karet yaitu luasanya cukup besar dan jarak tanam teratur. Fisiografis perkebunan cokelat datar dan tapak kering.

56 44 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 14 Perkebunan karet Perkebunan karet adalah areal yang ditanami tanaman karet. Ciri-ciri fisik dari perkebunan karet yaitu luasanya cukup besar dan jarak tanam teratur. Perkebunan ini dipanen dalam kurun waktu tertentu untuk dimanfaatkan. Fisiografis perkebunan karet datar hingga bergelombang dan tapak kering. 15 Perkebunan sawit muda Perkebunan sawit muda adalah areal yang ditanami tanaman sawit yang umur tanamannya kurang dari 3 tahun. Ciri-ciri fisik dari perkebunan sawit muda yaitu luasanya cukup besar dan jarak tanam teratur. Fisiografis perkebunan sawit muda datar hingga bergelombang dan tapak kering. 16 Perkebunan sawit tua Perkebunan sawit tua adalah areal yang ditanami tanaman sawit yang umur tanamannya tiga tahun ke atas hingga masa panen. Ciri-ciri fisik dari perkebunan sawit tua yaitu luasanya cukup besar dan jarak tanam teratur. Fisiografis perkebunan sawit tua datar hingga bergelombang dan tapak kering.

57 45 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 17 Perkebunan teh Perkebunan teh adalah areal yang ditanami tanaman teh. Ciri-ciri fisik dari perkebunan teh yaitu luasanya cukup besar, ditanam disekitar kaki gunung dan jarak tanam teratur. Perkebunan ini dipanen dalam kurun waktu tertentu untuk dimanfaatkan. Fisiografis perkebunan teh datar hingga bergelombang dan tapak kering. 18 Pertanian lahan kering Pertanian lahan kering yang ditemui di lapangan yaitu cabe, jagung, sawi, tomat, dll. Fisiografis pertanian lahan kering datar. 19 Sawah bera Sawah bera yaitu sawah selesai masa panen. Ciri-ciri fisik dari sawah bera yaitu ditandai lahan sawah dengan tapak yang kering.

58 46 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 20 Sawah olah Sawah olah adalah sawah setelah masa sawah bera yaitu siap ditanami padi. Ciri fisik sawah olah yaitu ditandai tapak basah. 21 Sawah siap panen Sawah siap panen memiliki ciri fisik tapak yang kering. Fisiografis dari sawah yaitu datar hingga bergelombang. 22 Sawah vegetatif Sawah vegetasi adalah sawah masa penghijau. Ciri fisik dari sawah vegetasi yaitu lahannya selalu basah karena terus diairi.

59 47 Tabel 8 Lanjutan No Penutupan Lahan Deskripsi Foto lapangan 23 Semak Belukar Semak belukar merupakan areal terbuka yang ditumbuhi semak/belukar. Tidak ada ciri khusus di lapangan, selain itu, luasannya terbilang kecil sehingga dikhawatirkan akan menyulitkan proses identifikasi di citra. Semak belukar memiliki fisiografi datar hingga curam, dengan tapak kering.

60 48 Hasil identifikasi petupan lahan setelah dilakukan verifikasi lapangan berkurang menjadi 11 kelas, yaitu: badan air, Bandar udara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering, dan sawah. Sementara hasil penafsiran visual setelah verifikasi ditampilkan pada Gambar 20 dan Gambar 21 dengan luasan masing-masing penutupan lahan disajikan pada Tabel 9. Gambar 20 Peta hasil penafsiran setelah verifikasi Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected.

61 49 Gambar 21 Peta hasil penafsiran setelah verifikasi Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Tabel 9 Luas penutupan lahan setelah verifikasi Kelas Penutupan Lahan Resolusi 12,5 meter Resolusi 50 meter Luas (Ha) Persentase (%) Luas (Ha) Persentase(%) Badan air ,782 0,342 Bandar udara ,725 0,009 Hutan ,278 18,563 Kebun ,354 35,622 campuran Lahan terbuka ,473 0,176 Permukiman ,793 7,261 Perkebunan ,506 1,074 karet Perkebunan ,720 1,291 kelapa sawit Perkebunan teh ,920 17,657 Pertanian lahan ,639 18,006 Sawah Jumlah Perbandingan Hasil Interpretasi Visual Citra ALOS PALSAR Pada analisis visual ini dilakukan perbandingan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dengan citra ALOS PALSAR 50 meter. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi, interpreter menemukan 11 penutupan lahan dan

62 50 hutan yaitu badan air, bandar udara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, perkebunan teh, pertanian lahan kering dan sawah. Sedangkan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Kabupaten Bogor, Cianjur dan Sukabumi hanya dapat diketemukan 10 penutupan lahan/ hutanyaitu badan air, bandar udara, hutan, kebun campuran, lahan terbuka, pemukiman, perkebunan karet, perkebunan sawit, pertanian lahan kering dan sawah. Terdapat perbedaan jumlah penutupan lahan yang dapat diidentifikasi menggunakan citra yang berbeda. Hal ini disebabkan karena perbedaan kenampakan warna di sekitar wilayah penutupan lahan perkebunan teh pada citra yang digunakan. Dalam penafsirann pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter, umumnya keduanya mempunyai elemen interpretasi yang hampir sama. Berikut akan dijelaskan mengenai tiap penutupan lahan yang ditemukan dalam menafsirkan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Badan Air Kelas interpretasi badan air merupakan seluruh kenampakan perairan, termasuk laut, sungai, danau, waduk, terumbu karang, dan padang lamun (lumpur pantai) (BAPLAN 2008a). Melihat perbandingan delineasi antara hasil penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 22a), dapat ditarik kesimpulan bahwa kelas penutupan lahan badan air dapat ditafsir secara jelas dan konsisten. Hasil penafsiran penutupan lahan badan air hampir tidak memiliki perbedaan yang nyata terhadap penutupan badan air pada kedua citra. (Gambar 22b).

63 51 (a) (b) Gambar 22 Badan air pada Citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Bandar udara JICA dan Fahutan IPB (2010) menyatakan kelas penafsiran bandar udara sebagai kenampakan bandar udara berukuran besar dan memungkinkan untuk didelineasi sendiri. Melihat perbandingan delineasi antara hasil penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 23), kedua citra memiliki kenampakan warna biru dengan bentuk kotak memanjang. Tipe penutupan lahan yang menyerupai dengan bandar udara berdasarkan elemen tone/warnanya adalah badan air dan sawah. Pada studi kasus di daerah ini, bandar udara yang ditemukan adalah lapangan udara milik AURI (kecil), bukan bandar udara umum (besar) sehingga kenampakan pada citra pun luasanya tidak terlalu besar. Untuk menafsir penutupan lahan bandar udara juga diperlukan pengetahuan lokal tentang daerah setempat. (a) (b) Gambar 23 Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope correctde (a), Bandar udara pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b).

64 Hutan Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas. Banyak ditemukan kelas-kelas hutan pada penafsiran citra diantaranya hutan lahan kering, hutan mangrove, hutan rawa, dan hutan tanaman. Dalam studi kasus di kabupaten Bogor, kabupaten Cianjur dan kabupaten Sukabumi hanya ditemukan di lapangan yakni hutan lahan kering dan hutan tanaman. Hutan lahan kering adalah areal yang ditutupi oleh vegetasi pepohonan yang tumbuh secara alami pada lahan yang tidak tergenang air, mulai dari dataran rendah sampai dengan pegunungan. Sedangkan hutan tanaman merupakan areal yang bervegetasi pepohonan yang ditanami secara sengaja dengan jenis tertentu yang tumbuh pada areal basah maupun kering. Dalam penelitian ini pada analasis secara visual, interpreter menggabungkan kelas hutan lahan kering dan kelas hutan tanaman menjadi satu kelas yakni kelas hutan. Hal ini dilakukan dikarenakan penampakan hutan lahan kering dan hutan tanaman pada citra ALOS PALSAR studi kasus di kabupaten Bogor, kabupaten Cianjur dan kabupaten Sukabumi hampir sama. Secara visual kedua kelas ini tidak dapat dibedakan kecuali melihat kondisi lapang dan memiliki pengetahuan lokal tentang daerah setempat. Elemen interpretasi yang biasa digunakan untuk menafsirkan hutan adalah warna, tone, tekstur dan asosiasi. Warna yang ditampilkan oleh kedua citra ALOS PALSAR adalah kuning kehijauan dan hijau dengan tone gelap hingaga terang. Pada citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter, tekstur yang ditampilakan agak kasar, namun pada citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter menampilkan tekstur yang halus. Asosiasi hutan yakni aksesibilitas mudah hingga sulit (Gambar 24).

65 53 (a) (b) Gambar 24 Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Hutan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Kebun Campuran Kebun campuran adalah areal yang ditanami tanaman tahunan dengan kombinasi beberapa jenis tanaman lainnya. Menurut Arsyad (2000), Kebun campuran adalah bentang lahan yang ditanami dengan berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial dan urutan temporal dengan jenis tanaman yang dominan berupa tanaman tahunan. Dalam penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 25), kebun campuran memiliki tampilan berwarna hijau bercampur kuning dengan tekstur kasar. Kebun campuran dipengaruhi oleh komposisi jenis tanaman, ukuran (tinggi dan diameter), jarak tanaman danumur yang berbeda beda. Kebun campuran terkadang sulit dibedakan pada daerah sekitar pegunungan, menurut elemen yg ada hampir sama seperti hutan tanaman. (a) (b) Gambar 25 Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b).

66 Lahan Terbuka Lahan terbuka adalah seluruh kenampakan lahan tanpa atau sedikit vegetasi/terbuka termasuk diantaranya batuan puncak gunung, kawah vulkanik, gosong pasir, pasir pantai, lahan terbuka bekas kebakaran, lahan bekas tambang, dan lahan terbuka untuk persiapan / pembukaan lahan. Lahan terbuka memiliki tampilan berwarna biru, biru keunguan, dan pink keunguan dengan tone dari terang hingga agak gelap. Umumnya lahan terbuka sulit diidentifikasi di daerah datar karena memiliki tone yang gelap,sedangkan pada site bergelombang dengan tone terang lebih mudah diidentifikasi. Pada lahan terbuka berupa lahan persiapan/pembukaan untuk pertanian/perkebunan terkadang mudah dikenali khususnya yanng berasosiasi dengan kawasan perkebunan yang besar seperti perkebunan karet atau sawit. Pada penelitian ini, interpreter memasukan kelas padang rumput ke dalam lahan terbuka. Secara kenampakan visual padang rumput sulit dibedakan dengan kenampakan lahan terbuka karena memiliki ciri elemen interpetasi yang hampir sama. Melihat perbandingan delineasi hasil penafsiran, citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected memiliki batas yang lebih jelas dan luasan yang lebih besar dibandingkan menafsir lahan terbuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 26). (a) Gambar 26 Lahan terbuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Lahan terbuka pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b). (b)

67 Pemukiman Pemukiman adalah suatu pemanfaatan lahan yang ditutupi bangunan, baik berupa bangunan permanen maupun semi-permanen sehingga air hujan tidak jatuh langsung ke permukaan tanah.. Penutupan lahan ini memperlihatkan pola alur yang teratur dengan penataan lahan dan ruang, sarana dan prasarana lingkungan yang terstruktur. Pada pemukiman desa biasanya kenampakan vegetasi masih banyak terlihat. Perbandingan delineasi hasil penafsiran, citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected memiliki tone yg lebih gelap dibandngkan menafsir pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 27). (a) (b) Gambar 27 Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pemukiman pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Perkebunan Karet Perkebunan karet yaitu areal yang ditanami karet dengan pola tanaman tertentu (perkebunan skala besar) atau pola tidak teratur yang merupakan kebun yang dimiliki oleh masyarakat. Untuk areal yang luasannya lebih kecil dari 1 ha sulit diidentifikasi, khususnya karet rakyat yang ditanam tidak serempak (tidak seumur). Elemen intrerpretasi yang digunakan yakni warna, tone, bentuk dan pola. Pada penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 28), perkebunan karet memiliki tone/warna kuning kehijauan dengan pola yang teratur untuk skala besar(perusahaan) dan tidak teratur pada skala kecil(milik masyarakat). Unuk bentuk geometri dari perkebunan karet yakni bentuk segi empat pada skala besar(perusahaan) dan tidak ada bentuk khusus pada skala kecil(milik masyarakat). Pengetahuan lokal tentang daerah yang ditafsir menjadi salah satu

68 56 peranan penting bagi interpreter dalam menafsirkan sebuah citra. Contoh berikut adalah contoh perkebunan karet milik masyarakat (skala kecil). (a) Gambar 28 Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Perkebunan karet pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b). (b) Perkebunan Kelapa Sawit Penutupan lahan ini berisi areal kebun kelapa sawit. Sama halnya seperti perkebunan karet, perkebunan kelapa sawit memiliki pola teratur untuk kebun dengan skala besar (milik perusahaan) dan bentuk tidak teratur dengan skala kecil (milik masyarakat/pribadi). Penampakan perkebunan sawit pada daerah Halimun cenderung dipengaruhi oleh topografi alamnya yang berbukit. Melihat perbandingan delineasi antara hasil penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 29), kedua citra memiliki tekstur yang kasar pun tampak karena kondisi perkebunan yang cenderung heterogen. Pola dan bentuk poligon yang tidak teratur dapat mempersulit interpreter dalam mengidentifikasi penutupan lahan. Namun dengan adanya asosiasi terhadap jalan dan kondisi daerah di wilayah perkebunan, akan dapat mengatasi permasalahan tersebut.

69 57 (a) Gambar 29 Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Perkebunan kelapa sawit pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Perkebunan Teh Perkebunan teh adalah bentang lahan yang ditumbuhi vegetasi teh secara homogen, tidak terdapat tanaman sela juga tidak terdapat vegetasi pepohonan. Kebun teh di dalam citra ALOS PALSAR hanya dapat terlihat kenaampakanya pada citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter slope corrected dengan tampilan berwarna hijau tua dan memiliki bercak biru. Kebun teh bertekstur agak halus. Untuk mengidentifikasi perkebunan teh, interpreter juga memerlukan pengetahuan lokal tentang daerah setempat. Pada citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter, pada daerah yang sama, terlihat kenampakan pada citra yaitu kelas penutupan lahan kebun campuran (Gambar 30). (b) (a) (b) Gambar 30 Perkebunan teh pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Kebun campuran pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b)

70 Pertanian Lahan Kering Semua aktivitas pertanian di lahan kering yang tidak membutuhkan air dalam jumlah banyak untuk bercocok tanam tanaman setahun seperti tegalan, sayuran dan ladang. Penutupan lahan pertanian lahan kering memiliki kenampakan warna mosaik ungu, biru, dan merah muda (pink) dengan tone gelap sampai agak terang. Letak pertanian lahan kering biasanya berada di daerah dengan topografi datar hingga bergelombang atau sisi bukit yang memiliki akses jalan dan berada dekat areal pemukiman. Perbandingan pada saat delineasi antara hasil penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter yang terlihat adalah kenampakan tone yang lebih terang pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter (Gambar 31). (a) (b) Gambar 31 Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), Pertanian lahan kering pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b) Sawah Sawah adalah areal yang ditanami padi. Tanaman ini hanya dibudidayakan pada saat musim hujan karena jenis kegiatannya memerlukan air yang banyak (tetap tergenang). Oleh karena itu, curah hujan dan aliran permukaan yang berasal dari mata air sangat diperlukan untuk pengairan. Jenis penggunaan areal sawah terdapat di sekitar aliran (lembah) atau dataran alluvial. Areal sawah pada saat musim kering banyak diusahakan untuk budidaya tanaman sayuran. Sawah pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter sama seperti kenampakan sawah pada umumnya, namun pada daerah yang sama, terdapat penutupan lahan lain yang serupa dengan kenampakan penutupan lahan sawah pertanian lahan kering dan lahan terbuka untuk studi kasus di daerah JawaBarat. Apabila tidak dilakukan

71 59 survei lapangan maka kemungkinan besar dapat terjadi kesalahan penafsiran (Gambar 32). (a) Gambar 32 Sawah pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m slope corrected (a), citra ALOS PALSAR resolusi 50 m (b). Menurut Salman (2011), Penafsiran visual pada tutupan lahan yang memiliki kemiripan elemen penafsiran seperti tambak, sawah, hutan lahan kering, hutan tanaman, dan kebun campuran dapat dengan mudah tertukar atau terjadi salah penafsiran. Hal ini dapat dikurangi dengan tambahan pengetahuan lokal. Berdasarkan pengalaman untuk mengenali sebuah penutupan lahan tidak selalu harus menggunakan seluruh elemen penafsiran. Seringkali cukup menggunakan elemen tertentu saja, dengan urutan pengenalan elemen yang juga tertentu. Misalnya untuk mengenali Badan air cukup menggunakan elemen warna, lalu tekstur dan terakhir tonenya. Berdasarkan penggunaan elemen terpenting dari setiap penutupan lahan dapat disusun Logika identifikasi penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR seperti Gambar 33 berikut. (b)

72 60 Warna umum Warna spesifik Pembeda / elemen lain Penutupan lahan Biru kehitaman Dekat dengan sawah, dekat dengan hutan 1. Badan air Biru Biru Dekat dengan pemukiman 2. Bandar udara Biru keunguan dan atau campur pink Bentuk kotak-kotak teratur Dekat areal perkebunan 11. Sawah 5. Lahan terbuka Ungu Ungu campur pink Mosaik ungu, biru, pink Parsel lahan segi empat, pola teratur mengelompok 10. Pertanian lahan kering 8. Pertkebunan sawit Hijau tua campur kuning Tekstur kasar 4. Kebun campuran Hijau Hijau Hijau kebiruan kekuningan Tekstur halus 3. Hutan Hijau kebiruan Tekstur kasar 9. Perkebunan teh Kuning kehijauan Bentuk teratur 7. Perkebunan karet Kuning Mosaik kuning, pink, putih, hijau Aksebilitas tinggi 6. Pemukiman Gambar 33 Logika Identifikasi penutupan lahan pada citra ALOS. PALSAR.

73 Analisis Akurasi Hasil Interpretasi Visual Berdasarkan hasil analisis visual terhadap citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected didapatkan 11 kelas penutupan lahan dengan jumlah titik pengamatan yang berbeda pada masing-masing penutupan lahan yang dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Klasifikasi penutupan lahan secara visual dengan jumlah titik pengamatan No. Klasifikasi penutupan lahan Jumlah titik pengamatan 1 Badan air 3 2 Bandar udara 1 3 Hutan 12 4 Kebun campuran 42 5 Lahan terbuka 4 6 Pemukiman 40 7 Perkebunan karet 2 8 Perkebunan sawit 5 9 Perkebunan teh 6 10 Pertanian lahan kering Sawah 44 Jumlah 182 Analisis akurasi dilakukan dengan menggunakan matrik kesalahan (Confusion matrix) yang disebut juga matrik contingency. Penghitungan akurasi kappa dilakukan karena nilai akurasi umum dengan metode Overall accuracy cenderung over estimate dan jarang digunakan sebagai indikator yang baik untuk mengukur kesuksesan suatu klasifikasi karena hanya menggunakan piksel-piksel yang terletak pada diagonal suatu matrik contingency (Liu et al. 2009), sehingga diperlukan penghitungan akurasi yang lebih baik. Oleh karena itu dilakukan penghitungan akurasi kappa. Akurasi kappa dihitung menggunakan semua elemen dalam matriks kesalahan. Akurasi yang saat ini disarankan adalah dengan menggunakan rumus Kappa accuracy karena semua elemen dalam matrik contingency akan diperhitungkan (Jaya 2007). Berdasarkan hasil pengujian akurasi 11 kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m (Tabel 11), didapatkan nilai Overall accuracy sebesar 96.70% dan Kappa accuracy sebesar 95.97%. Sedangkan hasil pengujian akurasi 10 kelas penutupan lahan pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 m, didapatkan nilai Overall accuracy sebesar 95.60% dan Kappa accuracy sebesar 94.58% (Tabel 12).

74 62 Tabel 11 Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected Klasifikasi lahan Badan air Bandar udara Hutan Kebun campuran Lahan terbuka Pemukiman Perkebunan karet Perkebunan sawit Perkebunan teh Pertanian lahan kering Sawah Row Total User Accuracy UA (%) Badan air Bandar udara Hutan Kebun campuran Lahan terbuka Pemukiman Perkebunan karet Perkebunan sawit Perkebunan teh Pertanian lahan kering Sawah Column Total Produser Accuracy PA % Xkk 176 Xk+*X+k 6029 Overall Accuracy Kappa Accuracy 95.97

75 63 Tabel 12 Akurasi klasifikasi citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter Klasifikasi lahan Badan air Bandar udara Hutan Kebun campuran Lahan terbuka Pemukiman Perkebunan karet Perkebunan sawit Pertanian lahan kering Sawah Row Total User Accuracy Badan air Bandar udara Hutan Kebun campuran Lahan terbuka Pemukiman Perkebunan karet Perkebunan sawit Pertanian lahan kering Sawah Column Total Produser Accuracy PA % UA (%) Xkk 174 Xk+*X+k 6277 Overall Accuracy Kappa Accuracy 94.58

76 Interpretasi Citra Secara Digital Interpretasi citra secara digital merupakan evaluasi kuantitatif tentang informasi spektral disajikan pada citra. Klasifikasi citra merupakan suatu proses yang dilakukan untuk mengelompokkan suatu obyek pada citra dengan cara mengidentifikasi kenampakan obyek tersebut pada citra. Dasar interpretasi citra digital berupa klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya. Setiap kelas kelompok pixel dicari kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi. Dalam penelitian ini, analisis secara digital dilakukan pada adalah analisis diskriminan dan analisis separabilitas Analisis Diskriminan Analisis diskriminan merupakan suatu analisis multivariat yang digunakan untuk mengelompokkan suatu individu atau objek ke dalam suatu kelompok yang telah ditentukan sebelumnya berdasarkan variabel-variabel tertentu. Analisis diskriman dapat digunakan jika variabel dependen terdiri dari dua kelompok atau lebih. Pengelompokkan pada analisis bersifat apriori, artinya seorang peneliti, sudah mengetahui sebelumnya individu atau objek mana saja yang masuk ke dalam kelompok 1, 2, dan 3. Menurut Cramer (2004), analisis diskriminan merupakan teknik parametrik yang digunakan untuk menentukan bobot dari prediktor yang paling baik untuk membedakan dua atau lebih kelompok kasus, yang tidak terjadi secara kebetulan Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap nilai digital 23 kelas penutupan lahan yang ditemukan di langan pada citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected dan citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter menunjukkan kelas penutupan lahan bukan vegetasi memiliki nilai kecerahan atau nilai digital polarisasi HH lebih tinggi dibandingkan HV di kelas penutupan lahan tertentu kecuali kelas penutupan yang mempunyai penutupan lahan vegetasi pohon. Hutan agathis, hutan pinus, hutan tanaman campuran, kebun campuran, kebun singkong,kebun kacang panjang, perkebunan karet dan semak belukar memiliki nilai HV yang lebih besar dibandingkan nilai HH. Pada citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter nilai polarisasi HH lebih tinggi dibandingkan nilai HH di setiap kelas penutupan lahan..(gambar 34 dan Gambar 35).

77 65 Gambar 34 menunjukkan variasi perbedaan rata-rata nilai digital (digital number) masing-masing kelas penutupan lahan pada polarisasi HH dan HV citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 meter slope corrected sedangkan Gambar 35 menunjukkan variasi perbedaan rata-rata nilai digital (digital number) masingmasing kelas penutupan lahan pada polarisasi HH dan HV citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter. Variasi nilai kecerahan pada citra ALOS PALSAR cukup besar. Hal ini disebabkan karena resolusi radiometrik pada citra ALOS PALSAR adalah sebesar 16 bit (rentang DN dari 0 sampai 65536) yang artinya variasi informasi yang diberikan citra ALOS PALSAR lebih tinggi dibandingkan citra lain yang sering digunakan untuk interpretasi penutupan lahan, yaitu citra Landsat, yang hanya mempunyai resolusi radiometrik 8 bit (rentang DN 0 sampai 255). Nilai Digital Citra ALOS PALSAR Resolusi 12,5 meter Slope Corrected Semak belukar Sawah vegetatif Sawah siap panen Sawah olah Sawah bera Pertanian lahan kering Perkebunan teh Perkebunan sawit tua Perkebunan sawit muda Perkebunan karet Perkebunan cokelat Pemukiman Padang rumput Lahan Terbuka Kebun singkong Kebun kacangpanjang Kebun campuran Hutan tanaman campuran Hutan rasamala Hutan pinus Hutan agathis Bandara Badan air HV HH Gambar 34 Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada Citra ALOS PALSAR 12,5 meter slope corrected.

78 66 Nilai Digital Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 meter Semak belukar Sawah vegetatif Sawah siap panen Sawah olah Sawah bera Pertanian lahan kering Perkebunan teh Perkebunan sawit tua Perkebunan sawit muda Perkebunan karet Perkebunan cokelat Pemukiman Padang rumput Lahan Terbuka Kebun singkong Kebun kacangpanjang Kebun campuran Hutan tanaman campuran Hutan rasamala Hutan pinus Hutan agathis Bandara Badan air HV HH Gambar 35 Grafik perbandingan nilai digital polarisasi HH dan HV pada Citra ALOS PALSAR resolusi 50 meter. Kisaran nilai digital (digital number) tersebut menunjukkan keterpisahan antar kelas sehingga pengklasifikasian penutupan lahan dapat pula dilakukan dengan melihat nilai digital dari band HH dan HV yang dihasilkan oleh masingmasing obyek. Pengklasifikasian atau pengelompokkan berdasarkan nilai digital polarisasi HH dan HV ini dilakukan dengan metode analisis diskriminan yang telah dijelaskan sebelumnya yakni dengan syarat terdapat minimal dua kali pengulangan disetiap obyek penutupan lahan yang akan dianalisis. Dalam menganalisis, variabel dependen yang digunakan disini adalah data penutupan lahan dari titik yang dijumpai di lapangan, namun tetap pada ketentuanya yakni terdiri dari dua kelompok penutupan lahan atau lebih. Bobot prediktor yang digunakan yakni bobot nilai digital (DN) polarisasi HH dan HV pada titik-titik lapangan tersebut. Proses diskriminan dituunjukkan pada Tabel 13 dan Tabel 14.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan tehnik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, wilayah atau fenomena dengan menganalisa data yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN

PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN PERBANDINGAN PENAFSIRAN VISUAL ANTARA CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DENGAN CITRA LANDSAT RESOLUSI 30 M DALAM MENGIDENTIFIKASI PENUTUPAN LAHAN (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia, dengan kondisi iklim basa yang peluang tutupan awannya sepanjang tahun cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan suatu teknik pengukuran atau perolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena dengan menggunakan alat perekam yang secara

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM BAB II DASAR TEORI 2.1 DEM (Digital elevation Model) 2.1.1 Definisi DEM Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Dilihat dari distribusi titik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas kawasan hutan Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi adalah 133.300.543,98 ha (Kementerian

Lebih terperinci

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)

Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) LAMPIRAN 51 Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) Sensor PALSAR merupakan pengembangan dari sensor SAR yang dibawa oleh satelit pendahulunya, JERS-1. Sensor PALSAR adalah suatu sensor

Lebih terperinci

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H.

ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. ANALISIS TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HAYCKAL RIZKI H. DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Penutupan Lahan dan Perubahannya Penutupan lahan menggambarkan konstruksi vegetasi dan buatan yang menutup permukaan lahan (Burley, 1961 dalam Lo, 1995). Konstruksi tersebut seluruhnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh (Remote Sensing) Penginderaan jauh (remote sensing) merupakan ilmu dan seni pengukuran untuk mendapatkan informasi dan pada suatu obyek atau fenomena, dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman (Tahura WAR). Berdasarkan administrasi pemerintahan Provinsi Lampung kawasan ini berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permukaan bumi yang tidak rata membuat para pengguna SIG (Sistem Informasi Geografis) ingin memodelkan berbagai macam model permukaan bumi. Pembuat peta memikirkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT

PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH KOTA PADANG ABSTRACT Eksakta Vol. 18 No. 1, April 2017 http://eksakta.ppj.unp.ac.id E-ISSN : 2549-7464 P-ISSN : 1411-3724 PENGOLAHAN CITRA SATELIT ALOS PALSAR MENGGUNAKAN METODE POLARIMETRI UNTUK KLASIFIKASI LAHAN WILAYAH

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK. a. Sistem Termal GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 09 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 2 A. PENGINDERAAN JAUH NONFOTOGRAFIK Menggunakan sensor nonkamera atau sensor elektronik. Terdiri dari inderaja sistem termal,

Lebih terperinci

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang

Legenda: Sungai Jalan Blok sawah PT. Sang Hyang Seri Kabupaten Subang 17 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2010 dan berakhir pada bulan Juni 2011. Wilayah penelitian berlokasi di Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA

ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA 1 ANALISISPERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI WAMPU, KABUPATEN LANGKAT, SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh : EDRA SEPTIAN S 121201046 MANAJEMEN HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E

PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS. Oleh MENDUT NURNINGSIH E PEMETAAN POHON PLUS DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT DENGAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Oleh MENDUT NURNINGSIH E01400022 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Objek di Lapangan Pengamatan lapangan dilakukan di 3 (tiga) kabupaten, yaitu : Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur. Titik pengamatan sebanyak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI. 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan sejak Juli 2010 sampai dengan Mei 2011. Lokasi penelitian terletak di wilayah Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pengolahan

Lebih terperinci

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file

PENGINDERAAN JAUH. --- anna s file PENGINDERAAN JAUH copyright@2007 --- anna s file Pengertian Penginderaan Jauh Beberapa ahli berpendapat bahwa inderaja merupakan teknik yang dikembangkan untuk memperoleh data di permukaan bumi, jadi inderaja

Lebih terperinci

Gambar 7. Lokasi Penelitian

Gambar 7. Lokasi Penelitian III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6 56'49''-7 45'00'' Lintang Selatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin

III. METODOLOGI. Gambar 2. Peta Orientasi Wilayah Penelitian. Kota Yogyakarta. Kota Medan. Kota Banjarmasin III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Maret sampai bulan November 2009. Objek penelitian difokuskan pada wilayah Kota Banjarmasin, Yogyakarta, dan

Lebih terperinci

PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI

PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI PEMETAAN PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI KECAMATAN PESISIR KABUPATEN SERDANG BEDAGAI SKRIPSI Oleh: HARIANTO 061201029 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 PEMETAAN PERUBAHAN

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN VEGETASI BERDASARKAN NILAI NDVI DAN FAKTOR BIOFISIK LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIBUAL-BUALI SKRIPSI Oleh : Ardiansyah Putra 101201018 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seiring dengan berkembangnya permintaan akan pemetaan suatu wilayah dalam berbagai bidang, maka semakin berkembang pula berbagai macam metode pemetaan. Dengan memanfaatkan

Lebih terperinci

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI

PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI PENYUSUNAN MODEL PENDUGAAN DAN PEMETAAN BIOMASSA PERMUKAAN PADA TEGAKAN JATI (Tectona grandis Linn.F) MENGGUNAKAN CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 M DAN 12,5 M (Studi Kasus : KPH Kebonharjo Perhutani Unit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A

EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT. Oleh : DERY RIANSYAH A EKSPLORASI ALOS PALSAR MENGGUNAKAN POLSARPRO V3.0 DENGAN AREAL KAJIAN PT. SANG HYANG SERI, SUBANG, JAWA BARAT Oleh : DERY RIANSYAH A24103087 DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM (Digital Elevation Model) Digital Elevation Model (DEM) merupakan bentuk 3 dimensi dari permukaan bumi yang memberikan data berbagai morfologi permukaan bumi, seperti kemiringan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi yang dipilih untuk penelitian ini adalah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat (Gambar 1). Penelitian dimulai dari bulan Juli 2010 sampai Januari

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN

ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI. Oleh : PUTRI SINAMBELA /MANAJEMEN HUTAN ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR SKRIPSI Oleh : PUTRI SINAMBELA 071201035/MANAJEMEN HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011 LEMBAR PENGESAHAN

Lebih terperinci

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA Atriyon Julzarika Alumni Teknik Geodesi dan Geomatika, FT-Universitas Gadjah Mada, Angkatan 2003 Lembaga Penerbangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD

SENSOR DAN PLATFORM. Kuliah ketiga ICD SENSOR DAN PLATFORM Kuliah ketiga ICD SENSOR Sensor adalah : alat perekam obyek bumi. Dipasang pada wahana (platform) Bertugas untuk merekam radiasi elektromagnetik yang merupakan hasil interaksi antara

Lebih terperinci

APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN

APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN APLIKASI CITRA ALOS PALSAR RESOLUSI 50 m DAN CITRA ALOS AVNIR-2 RESOLUSI 50 m DALAM IDENTIFIKASI TUTUPAN LAHAN DI KABUPATEN TUBAN, BLORA, REMBANG, DAN BOJONEGORO RATIH SOLICHIA MAHARANI E14063132 DEPARTEMENMANAJEMEN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada daerah kajian Provinsi Kalimantan Barat. Pengolahan dan analisis data dilakukan di Laboratorium Fisik Remote Sensing dan Sistem

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peta merupakan representasi dari permukaan bumi baik sebagian atau keseluruhannya yang divisualisasikan pada bidang proyeksi tertentu dengan menggunakan skala tertentu.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Februari 2010 sampai Februari 2011 yang berlokasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Kabupaten

Lebih terperinci

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Gambar 1. Lokasi Penelitian 11 III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Juni Juli 2012 di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Mamberamo Alasmandiri,

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD

ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KECAMATAN SEWON KABUPATEN BANTUL TAHUN 2006 DAN 2014 BERDASARKAN CITRA QUICKBIRD NASKAH PUBLIKASI Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan Mencapai derajat Sarjana

Lebih terperinci

BAB II METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2010 sampai bulan September 2011, diawali dengan tahap pengambilan data sampai dengan pengolahan dan penyusunan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA

TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA TUGAS UTS SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAERAH RAWAN BANJIR DI SAMARINDA Oleh 1207055018 Nur Aini 1207055040 Nur Kholifah ILMU KOMPUTER FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS MULAWARMAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Tahapan Penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Distribusi dan Kecukupan Luasan Hutan Kota sebagai Rosot Karbondioksida dengan Aplikasi Sistem Informasi Geografi dan Penginderaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Penggunaan Lahan Pengertian lahan berbeda dengan tanah, namun dalam kenyataan sering terjadi kekeliruan dalam memberikan batasan pada kedua istilah tersebut. Tanah

Lebih terperinci

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH

KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH KAJIAN DAERAH RAWAN BENCANA TSUNAMI BERDASARKAN CITRA SATELIT ALOS DI CILACAP, JAWA TENGAH Oleh : Agus Supiyan C64104017 Skripsi PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2011 sampai dengan Januari 2012 dengan daerah penelitian di Desa Sawohan, Kecamatan Buduran, Kabupaten

Lebih terperinci

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015

EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN (LAND USE) DI KECAMATAN SINGKOHOR KABUPATEN ACEH SINGKIL TAHUN 2015 SKRIPSI Oleh: Chandra Pangihutan Simamora 111201111 BUDIDAYA HUTAN PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian 7 II METODE PENELITIAN 2.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai Bulan Oktober 2010 sampai dengan April 2011, yang meliputi kegiatan persiapan penelitian, pelaksanaan penelitian, pengolahan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di KPH Banyumas Barat (Bagian Hutan Dayeuluhur, Majenang dan Lumbir). Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menganalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki kekayaan vegetasi yang beraneka ragam dan melimpah di seluruh wilayah Indonesia. Setiap saat perubahan lahan vegetasi seperti hutan, pertanian, perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP :

LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI. Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : LAPORAN PRAKTIKUM PENGINDERAAN JAUH KOMPOSIT BAND CITRA LANDSAT DENGAN ENVI Oleh: Nama : Deasy Rosyida Rahmayunita NRP : 3513100016 Dosen Pembimbing: Nama : Prof.Dr.Ir. Bangun Muljo Sukojo, DEA, DESS NIP

Lebih terperinci

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Mata Kuliah : Sistem Informasi Spasial

RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Mata Kuliah : Sistem Informasi Spasial RENCANA PEMBELAJARAN SEMESTER (RPS) PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Mata Kuliah : Sistem Informasi Spasial Kehutanan Kode MK/SKS : 201M110317 /3 Semester : 3 (tiga) Mata

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR III.1 Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) Model Tinggi Digital (Digital Terrain Model-DTM) atau sering juga disebut DEM, merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 11 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari 2009 sampai Januari 2010 yang berlokasi di wilayah administrasi Kabupaten Bogor. Analisis data dilaksanakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku 2.2. Parameter Sawah Baku II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemetaan Sawah Baku Mega isu pertanian pangan dan energi, mencakup: (1) perbaikan estimasi produksi padi, dari list frame menuju area frame, (2) pemetaan lahan baku sawah terkait

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Penampilan Citra Dual Polarimetry PALSAR / ALOS Penampilan citra dual polarimetry : HH dan HV level 1. 5 PALSAR/ALOS masing-masing dapat dilihat pada ENVI 4. 5 dalam bentuk

Lebih terperinci

REGISTRASI PETA TUTORIAL I. Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO)

REGISTRASI PETA TUTORIAL I. Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO) TUTORIAL I REGISTRASI PETA Subjek Matter: 1.1 GEOFERENSING 1.2 COORDINAT GEOMETRIK (COGO) A. Dasar Teori Peta dasar yang digunakan sebagai sumber dalam pemetaan yang berupa gambar citra/peta hasil proses

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

Pengertian Sistem Informasi Geografis

Pengertian Sistem Informasi Geografis Pengertian Sistem Informasi Geografis Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE DI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA

PEMETAAN TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE DI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA PEMETAAN TINGKAT KERUSAKAN MANGROVE DI KABUPATEN ASAHAN PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI Oleh: MOEHAR MARAGHIY HARAHAP 071201012 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2011

Lebih terperinci

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI

PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN DI TAMAN NASIONAL KERINCI SEBLAT KABUPATEN PESISIR SELATAN PROVINSI SUMBAR HANDY RUSYDI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing).

penginderaan jauh remote sensing penginderaan jauh penginderaan jauh (passive remote sensing) (active remote sensing). Istilah penginderaan jauh merupakan terjemahan dari remote sensing yang telah dikenal di Amerika Serikat sekitar akhir tahun 1950-an. Menurut Manual of Remote Sensing (American Society of Photogrammetry

Lebih terperinci

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA)

PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) PERAMBAHAN KOTA (URBAN SPRAWL) TERHADAP LAHAN PERTANIAN DI KOTA MAKASSAR BERDASARKAN CITRA SATELIT LANDSAT 5 TM (STUDI KASUS KECAMATAN BIRINGKANAYA) SRI WAHYUNI WERO G 621 08 264 Skripsi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 9 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Pengambilan data atribut berupa data sosial masyarakat dilakukan di Kampung Lebak Picung, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak Banten (Gambar

Lebih terperinci