LAMPIRAN B. Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAMPIRAN B. Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan"

Transkripsi

1 LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

2 LAMPIRAN B Pelajaran yang Dipetik dari Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Pelajaran-pelajaran berikut ini diambil dari berbagai sumber, terutama dari berbagai pihak yang terlibat secara langsung dalam pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia. Lampiran B ini dibagi dalam dua kelompok besar; bagian pertama, berupa pengalaman internasional yang relevan, sedangkan bagian kedua adalah pelajaran-pelajaran yang berlaku khusus di Indonesia. 1. Pelajaran Internasional yang Sesuai untuk Indonesia Keberlanjutan pelayanan serta penyediaan prasarana dan sarana AMPL yang dapat memberikan manfaat besar bagi pengguna menjadi perhatian utama. Pengalaman menunjukan bahwa investasi yang sangat besar untuk pembangunan sarana AMPL telah ditanamkan, namun hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Berdasarkan pengalaman tersebut, perlu adanya perubahan dalam fokus pembangunan yang memiliki implikasi pada semua aspek, mulai dari penetapan tujuan pembangunan sampai dengan bagaimana mengevaluasi hasil akhir, khususnya dalam pengembangan pendekatan pelaksanaan yang dapat mendorong terwujudnya keberlanjutan pelayanan AMPL permukiman. Konferensi internasional di Rio de Janeiro pada tahun yang dihadiri oleh para pakar air minum telah menghasilkan kesepakatan untuk menerapkan prinsip Dublin dalam upaya pembangunan sektor air minum, yang kemudian dikenal dengan Prinsip Dublin-Rio. Prinsip Dublin-Rio yang dihasilkan dari konferensi internasional di dua kota tersebut memiliki komponen sebagai berikut: Air adalah sumber daya yang terbatas dan rentan, penting untuk menyokong kehidupan, pembangunan, dan lingkungan Pembangunan dan pengelolaan air harus berdasarkan pendekatan partisipatif, menyertakan pengguna, perencana, dan pembuat kebijakan pada semua tingkatan Perempuan memainkan peran utama dalam penyediaan, pengelolaan, dan perlindungan air 1 Rangkaian konperensi internasional dalam bidang air bersih dan sanitasi telah dilakukan sejak dekade 70an. Dimulai dengan First UN Water Conference di Mar del Plata 1977, kemudian beberapa konperensi, sampai akhirnya diselenggarakan International Conference on Water and Environment di Dublin 1992 yang menghasilkan 4 prinsip dalam manajemen sumber daya air. Konferensi ini ditindaklanjuti dengan konferensi lain di Rio de Janiero oleh United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) juga tahun 1992 yang mempromosikan pengelolaan sumber daya air terintegrasi berdasar persepsi air sebagai bagian integral dari ekosistem, sumber daya alam, dan barang sosial ekonomi. Dari dua konperensi terakhir lahirlah prinsip Dublin-Rio yang telah disepakati secara internasional sebagai prinsip untuk mencapai keberlanjutan pelayanan air bersih. Lampiran B - 1 -

3 Air memiliki nilai ekonomi dalam seluruh penggunaannya, dan harus dianggap sebagai benda ekonomi Dalam kaitannya dengan pembangunan sarana air minum dan penyehatan lingkungan di Indonesia, makna dari prinsip-prinsip tersebut adalah: Perlu adanya penekanan bahwa penyehatan lingkungan sangat penting bagi manusia. Disamping itu, perlu ditekankan pula bahwa aspek teknis dan sosial (perangkat keras dan lunak) adalah sama pentingnya. Air tidak boleh dipandang hanya sebagai barang cuma-cuma atau barang yang tuna nilai. Air mempunyai nilai, untuk memilikinya orang harus menyumbangkan sesuatu. Perencanaan, konstruksi, operasi dan pengelolaan air memiliki implikasi yang luas. Oleh karena itu, keputusan akhir sebaiknya dibuat oleh para pengguna secara partisipatif. Semakin besar keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, semakin terjamin kelestarian pelayanan air. Sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, baik sumberdaya air maupun sumberdaya lainnya, tidak akan cukup untuk membangun prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan. Sehubungan dengan itu terdapat dua isu penting yang perlu disadari bersama, yaitu: Sumber dana, perlunya diciptakan mekanisme alternatif untuk memenuhi kebutuhan biaya konstruksi, biaya operasional dan pemeliharaan, serta Sumberdaya manusia, perlunya pemberdayaan kemampuan di semua tingkatan. Selain itu, perlu diusahakan agar masyarakat atau keluarga mampu bertanggung jawab dalam upaya peningkatan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan. Di kalangan mereka harus dibangkitkan adanya kebutuhan akan perubahan untuk mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari perbaikan pelayanan AMPL demi peningkatan kesehatan. Perlu adanya perubahan perilaku hidup minum dan sehat (PHBS) di tingkat perorangan maupun tingkat keluarga karena motivasi untuk mendapatkan sarana penyehatan lingkungan sangat berbeda dan kompleks daripada motivasi untuk mendapatkan air minum. Tidak ada satu cara pun yang dapat menjamin keberhasilan untuk semua keadaan. Masalah yang ada di setiap kasus bersifat kompleks, pemecahannya perlu menggunakan sebuah pendekatan belajar sambil berjalan (learning approach) dimana semua pelajaran yang didapat perlu dikaji dan menjadi bahan perbaikan dalam proses pelaksanaan. Selain dari konperensi internasional diatas, hasil studi Bank Dunia terhadap 121 proyek air minum perdesaan di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga dan organisasi menyimpulkan bahwa peran aktif masyarakat dalam membuat keputusan dan menangani proyek secara langsung menghasilkan proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang efektif dan berkelanjutan. Pengalaman dari studi tersebut sekalgius mengoreksi beberapa mitos yang selama ini diyakini dalam pelaksanaan proyek air minum: Lampiran B - 2 -

4 Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mau dan tidak mampu membayar pelayan air minum; karena itu, pemerintah harus menyediakan air bagi mereka. Realita membuktikan bahwa masyarakat miskin membayar pelayanan air minum, bahkan sering lebih mahal daripada masyarakat yang lebih mampu; masyarakat miskin akan membayar jika mendapatkan pelayanan yang baik. Mitos menyatakan bahwa masyarakat miskin tidak mampu memecahkan atau mengelola masalah teknis; mereka tidak mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Realita membuktikan bahwa masyarakat miskin memiliki kreatifitas, mereka mampu membentuk sistem dan aturan dalam mengelola sumber daya alam. Mitos menyatakan bahwa untuk memberikan pelayanan secara adil cukup dengan menyediakan tingkat pelayanan minimal agar sumber air yang terbatas dapat didistribusikan sebanyak mungkin kepada masyarakat yang membutuhkan. Realita membuktikan bahwa jika tingkat pelayanan air minum tidak memenuhi harapan masyarakat, maka masyarakat tidak akan menggunakan sarana yang disediakan dan tidak mau membayar biaya pelayanan yang diminta. Mitos menyatakan bahwa jika masyarakat sudah dilibatkan dalam membuat keputusan, maka kepentingan perempuan sebagai pengelola utama penggunaan air minum rumah tangga sudah terpenuhi. Realita membuktikan bahwa karena faktor sosial-budaya sebagian besar kepentingan perempuan tidak pernah terpenuhi, kecuali bila perempuan secara khusus ditargetkan untuk dilibatkan dan ada strategi yang disusun untuk memberdayakan perempuan. Mitos menyatakan bahwa lembaga teknis dan sektoral harus menjadi pelaksana penyediaan sarana AMPL, karena tugas utamanya adalah membangun sarana dan indikator keberhasilannya adalah sarana yang terbangun. Realita membuktikan bahwa lembaga teknis dapat mencapai keberhasilan dengan memonitor dan memberikan bantuan teknis pada pihak lain (LSM, sektor swasta dan lembaga non-teknis lainnya). Tugas utamanya adalah membangun kemampuan masyarakat dalam mengelola sarana terbangun untuk mencapai keberlanjutan pelayanan. Mitos menyatakan bahwa dibutuhkan rencana umum yang disusun berdasarkan pengumpulan data yang lengkap sebelum program dilaksanakan agar ada keseragaman pendekatan. Realita membuktikan bahwa pembakuan dokumen rencana umum menghambat pengembangan program partisipatif; tidak diperlukan pengumpulan data yang lengkap sebelum pelaksanaan program, hanya data spesifik yang betul-betul diperlukan untuk dikumpulkan secara menerus sepanjang pelaksanaan program. Standarisasi yang terlalu dini pada prosedur pelaksanaan mengarah pada kegagalan program. Mitos menyatakan bahwa pengambilan keputusan oleh masyarakat pengguna merupakan hal penting; namun kendali atas pelaksanaan program harus tetap berada pada manajer proyek. Realita membuktikan bahwa hakikat proses partisipatif adalah memberi pilihan dan kesempatan menyampaikan aspirasi pada masyarakat. Partisipasi masyarakat tidak dapat dihidup-matikan oleh pihak luar; proses partisipatif adalah memberikan kendali pada masyarakat. Lampiran B - 3 -

5 Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatif memerlukan waktu lama. Realita membuktikan bahwa ketika proyek tanggap terhadap kebutuhan, masyarakat dapat bertindak dan mengorganisir diri dengan cepat. Mitos menyatakan bahwa pendekatan partisipatori sulit direplikasi dalam skala besar karena membutuhkan pemimpin yang karismatik, LSM dan orang yang berbakat melaksanakannya. Realita membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dapat direplikasi. Pemimpin karismatik berperan untuk memulai proses, namum kepemimpinan dalam arti luas dapat menjaga kelangsungan proses. LSM sering berhasil menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dan merupakan mediator yang efektif. Seperti ketrampilan teknis lainnya, kemampuan dalam mendisain dan melaksanakan program partisipatif merupakan proses bekerja sambil belajar. Mitos menyatakan bahwa partisipasi merupakan proses yang tidak pasti sehingga sulit untuk ditentukan batasannya dan diukur. Sasaran peningkatan sumber daya manusia melalui pengambilan keputusan yang partisipatif adalah penting tapi tidak praktis. Realita membuktikan bahwa konsep partisipatori dapat dilaksanakan dan diukur dengan mudah. Mengukur, memonitor dan mengevaluasi partisipasi masyarakat mempermudah lembaga terkait dalam mempertanggungjawabkan upayanya mendukung peningkatan sumber daya manusia. Analisis terhadap hasil pelaksanaan seluruh proyek air minum tersebut menyimpulkan bahwa dari 121 proyek, 20 diantaranya merupakan proyek yang sangat efektif. Indikator keberhasilan dari setiap proyek bervariasi, namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut: Masyarakat merasa puas dengan kualitas dan kuantitas air minum dari sarana yang dibangun. Tidak ada sarana yang diabaikan, tidak ada disain dan kualitas konstruksi yang tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagian besar sistem berfungsi secara efektif 10 tahun sejak pekerjaan konstruksi selesai. Sarana dioperasikan dan dipelihara dengan baik secara berkelanjutan oleh masyarakat. Masyarakat memperlihatkan rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar terhadap sarana serta mampu untuk melestarikannya. Perempuan mendapat manfaat langsung dari pelayanan sarana berupa kemudahan dan penghematan waktu dalam mendapatkan air minum yang selanjutnya menghasilkan beberapa keuntungan ekonomis seperti tersedianya lebih banyak waktu untuk mengurus anak, kebun dan juga kegiatan yang bersifat kerajinan tangan. Berkurangnya penyakit yang disebabkan oleh air. Meningkatnya penggunaan jamban. Masyarakat memberikan konstribusi untuk biaya konstruksi. Lebih berdayanya lembaga masyarakat dalam pengelolaan sarana termasuk berperannya perempuan dalam kegiatan, walaupun masih sedikit dalam pengambilan keputusan. Terbentuknya kerjasama yang sangat baik dengan pemerintah daerah setempat. Lampiran B - 4 -

6 Dari kedua puluh proyek dengan tingkat efektivitas tinggi, dua diantaranya berada di Indonesia dan lainnya tersebar di beberapa negara seperti: Swaziland, Ethiopia, Panama, Ecuador, India, Kenya, Malawi, Togo, Mali, Haiti, Yemen Arab Republic, Rwanda, dan Peru. 2. Pelajaran Khusus dari Indonesia Keberhasilan maupun kekurangan pelaksanaan program pembangunan prasarana dan sarana AMPL yang telah berjalan selama tiga dekade di Indonesia dapat dijadikan dasar pertimbangan bagi penyusunan kebijakan yang baru. Beberapa dari pengalaman tersebut diuraikan dibawah ini: 2.1 Pelajaran bagi Pembangunan dan Pengelolaan AMPL Dua proyek pembangunan air minum di Indonesia, dari 20 puluh proyek di dunia, yang dinyatakan berhasil dengan tingkat efektivitas tinggi ditangani oleh sebuah LSM dengan cara melibatkan masyarakat pengguna pada setiap tahap pembangunan. Strategi yang digunakan adalah dengan membentuk lembaga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat; menggunakan pendekatan partisipatori dalam memecahkan masalah; memberi pelatihan dalam aspek pengelolaan, disain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan serta pelatihan PHBS. Hal ini membuktikan bahwa pendekatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan yang selama ini digunakan dalam program pemerintah perlu diubah. Pada hakekatnya pembangunan sarana adalah untuk masyarakat, tanpa upaya melibatkan mereka dalam tingkat yang cukup signifikan, maka akseptabilitas dan keberlanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Indikator keberhasilan dari kedua proyek tersebut adalah: Desain sarana yang tepat guna, yang dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan, dengan sistem sederhana namun cukup handal. Proyek dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memotivasi mereka berpartisipasi secara aktif termasuk dalam aspek keuangan. Masyarakat termotivasi dan mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana Masyarakat membayar pelayanan air minum sesuai dengan tarif yang disepakati Perempuan terlibat dalam setiap tahapan proyek, namun masih sedikit pada tahap pengambilan keputusan Penghematan waktu bagi perempuan sehingga dapat melakukan kegiatan lain Perempuan aktif menjadi kelompok pengguna air Masyarakat membiayai pembangunan jamban secara mandiri, dan tingkat penggunaan jamban tinggi Perempuan aktif menjadi anggota kelompok kesehatan Studi mengenai hubungan antara pendekatan partisipatif, tanggap pada kebutuhan, jender dengan dampak dan keberlanjutan pembangunan sarana AMPL dalam pelaksanaan proyek WSSLIC (Water Lampiran B - 5 -

7 Supply and Sanitation for Low Income Communities Project) dan FLOWS (Flores Water Supply Project) 2 menyimpulkan bahwa: Pembangunan sarana air minum yang memenuhi kebutuhan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Penyediaan biaya operasi dan pemeliharaan yang lebih realistis menghasilkan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Semakin terorganisasikannya pengelola operasi dan pemeliharaan sarana, semakin baik pembayaran oleh pengguna sehingga menciptakan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik. Pengelolaan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam kelembagaan dan dalam pengambilan keputusan menghasilkan partisipasi yang lebih tinggi dari mereka pada operasi dan pemeliharaan. Keterlibatan aktif dari perempuan dalam pengambilan keputusan, operasi dan pemeliharaan menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana yang lebih tinggi. Keterlibatan yang adil dari masyarakat miskin maupun kaya dalam pengambilan keputusan menghasilkan pelayanan yang lebih berkelanjutan. Semakin mudah penggunaan sarana umum air minum, semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan sarana. Tersedianya alternatif sumber air yang lain di suatu desa dan rumitnya penggunaan sarana umum yang dibangun melalui proyek, menyebabkan masyarakat beralih ke sumber lain. Pendekatan untuk melaksanakan program penyehatan lingkungan sebaiknya dibedakan dari pendekatan program penyediaan air minum. Aspek terpenting dari pelaksanaan program penyehatan lingkungan adalah bagaimana membuat masyarakat sadar bahwa buang air besar di tempat terbuka berdampak tidak hanya terhadap kesehatan pribadi dan keluarga, tetapi juga untuk kesehatan umum. Manfaat yang kurang dirasakan oleh pengguna dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan menyebabkan turunnya tingkat penggunaan sarana penyehatan lingkungan yang dibangun. Pelajaran yang dapat diambil dari proyek WSSLIC 3 yang bertujuan untuk menyediakan air minum dan penyehatan lingkungan yang aman, tersedia dalam jumlah yang cukup, dan mudah dicapai serta mendukung pendidikan higienis/kesehatan bagi masyarakat miskin di perdesaan yang belum atau 2 Participation, Gender & Demand Responsiveness: Making the Link with Impact and Sustainability of Water Supply & Sanitation Investments, Institute for Research of University of Indonesia in partnership with UNDP/World Bank Water and Sanitation Program and IRC-International Water and Sanitation Center, Proyek ini diharapkan dapat melayani sekitar 2 juta orang yang tinggal di wilayah terpilih enam propinsi, yaitu: Jawa Tengah; Sulawesi Tenggara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Utara; Maluku; dan Nusa Tenggara Timur, dimana tingkat kemiskinan masih dominan. Desa-desa proyek dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti tingkat kemiskinan, kejadian penyakit yang disebabkan oleh air, kelangkaan air, kualitas air, kematian bayi, dan kemauan untuk membayar biaya operasional dan perawatan. Proyek ini memiliki enam komponen yaitu: air bersih; penyehatan lingkungan; pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat; pelatihan dan pengembangan masyarakat; bantuan teknis; serta manajemen proyek. Dengan adanya perbaikan penyehatan lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, proyek ini diharapkan dapat memberikan dampak positif yang langsung berpengaruh pada derajat kesehatan dan produktivitas masyarakat, terutama bagi perempuan dan anak-anak. Lampiran B - 6 -

8 tidak terlayani serta masyarakat di wilayah dengan kepadatan tinggi melalui keberlanjutan dan pengaturan berbasis masyarakat, adalah sebagai berikut: Keterlibatan masyarakat yang dapat mempengaruhi pelaksanaan program, efektivitas penggunaan, dan keberlanjutan akan tercapai jika pilihan pelayanan dan konsekuensi biaya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga; kontribusi masyarakat untuk pembangunan sarana ditentukan berdasarkan jenis pelayanan yang ditawarkan; dan pembentukan unit pengelola sarana dilakukan secara demokratis. Masyarakat pengguna sebaiknya diberi kewenangan untuk mengontrol penggunaan dana yang berasal dari kontribusi masyarakat dan kualitas serta jadwal pelaksanaan pekerjaan konstruksi dilakukan oleh lembaga yang ditunjuk. Pengguna sarana AMPL sangat peduli pada kualitas prasarana dan sarana serta bersedia membayar lebih asalkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan mereka. Keputusan untuk membatasi opsi pelayanan berdasarkan biaya serta tingkat pelayanan minimal menghasilkan sarana dengan tingkat pelayanan yang tidak memuaskan, menyebabkan masyarakat pengguna tidak termotivasi untuk melestarikannya. Dengan upaya yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat pengguna, proyek pembangunan prasarana dan sarana AMPL dapat meningkatkan kontribusi dalam pembiayaan, sehingga mampu menjamin pendanaan yang lebih efektif dan keberlanjutan investasi. Pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pembangunan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan permukiman yang dilaksanakan oleh UNICEF 4 selama Pelita V di Indonesia adalah: Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL dapat dicapai dengan melibatkan masyarakat sedini dan seefektif mungkin, dengan demikian masyarakat mendapatkan pelayanan AMPL yang sesuai dengan kebutuhan. Semakin banyak opsi pelayanan yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan yang diberikan pada masyarakat untuk berperan dalam pengambilan keputusan, maka semakin besar pula kemungkinan sarana memenuhi kebutuhan masyarakat. Dan, oleh sebab itu sarana digunakan secara efektif dan berkelanjutan. Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan prasarana dan sarana AMPL tidak dapat tercapai hanya dengan mendorong keterlibatan masyarakat dalam operasi dan pemeliharaan. Jika pelayanan yang tanggap terhadap kebutuhan tidak dilaksanakan terlebih dahulu. Dalam situasi seperti itu, pengguna hanya akan memiliki sedikit motivasi untuk mengorganisir diri dalam mengelola sarana dan tidak merasa bertanggung jawab untuk melestarikannya. 4 Study of Community-based Approaches digunakan pada UNICEF s Water and Environmental Sanitation (WES) Program in Indonesia, UNDP-World Bank Water and Sanitation Program, Lampiran B - 7 -

9 Uji coba lapangan WASPOLA-UNICEF tahap 2 5 merupakan studi komparatif yang bertujuan untuk memperlihatkan penerapan dan menguji dampak dari berbagai pendekatan dan metodologi yang berbeda yang dapat menghadirkan kemungkinan perubahan dalam kebijakan AMPL, menemukan bahwa: Kerelaan untuk berkontribusi harus dibangun; masyarakat yang motivasi untuk berkontribusinya telah terbangun sebelum pembangunan sarana dan prasarana mempunyai tingkat penyerapan bantuan yang lebih baik. Kerelaan untuk berkontribusi tidak bisa diukur langsung dari nilai nominal kontribusi, nilai nominal dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya ekonomi masyarakat. Proses fasilitasi menggunakan metode MPA membantu pencapaian tujuan program dan juga meningkatkan keberfungsian, penggunaan, pemeliharaan, dan kualitas teknik; dari temuan di lapangan rata-rata nilai keseluruhan parameter di desa intervensi lebih besar daripada di desa non-intervensi. Desa yang mendapatkan dukungan intensif dari fasilitator mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap program dan aktivitas program lebih tersosialisasi. Proses fasilitasi juga meningkatkan akses bagi masyarakat miskin, hasil lapangan menunjukkan proporsi pendistribusian bantuan kepada kelompok miskin di desa intervensi lebih tinggi. Tingkat kepuasan pengguna berkorelasi positif dengan pemahaman pengguna itu sendiri, walaupun kualitas jamban lebih baik tetapi tingkat kepuasan di desa intervensi justru lebih rendah, hal ini mungkin diakibatkan karena sebagian besar masyarakat di desa intervensi telah mendapatkan penjelasan mengenai adanya rentang pilihan jamban serta mengetahui fungsi utama jamban dalam memutuskan jalur penularan penyakit. Peningkatan kemampuan fasilitator (melalui pelatihan) berkorelasi positif dengan aspek keberlanjutan dan penggunaan efektif, hasil lapangan menunjukkan desa intervensi pada umumnya memiliki total nilai indikator keberlanjutan dan penggunaan efektif lebih tinggi. Hasil yang didapat dari studi kasus komparatif 6 terhadap dua pendekatan evaluasi (metode konvensional dan metode partisipatif) di Wonosobo adalah sebagai berikut: Studi kasus ini menunjukkan bahwa kedua pendekatan tersebut menghasilkan keluaran yang serupa maupun yang berbeda. Namun demikian, jelas bahwa kedua pendekatan tersebut dapat menghasilkan keluaran yang sebanding jika perencanaan dan proses pelaksanaannya diperhatikan dengan sungguh-sungguh, terutama yang menyangkut pemilihan sampel dan pembuatan daftar pertanyaan. Proses pemilihan sampel merupakan sebab utama perbedaan dalam hasil penelitian. Metoda partisipatif sangat peka terhadap keterwakilan kaum lelaki-kaum perempuan dan kelompok 5 Pada uji coba tahap 2 ini terdapat 3 topik yang diujicobakan WASPOLA di desa intervensi yaitu (i) pilihan sanitasi, (ii) kemauan untuk membayar, (iii) pelatihan fasilitator tingkat desa; sebagai pembanding dipilih beberapa desa yang mendapat program serupa dari UNICEF tetapi tidak mendapat intervensi dari WASPOLA dan disebut sebagai desa nonintervensi. 6 Sanitasi di Wonosobo: Membandingkan Dua Pendekatan Evaluasi Program, Field Note Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific, April Lampiran B - 8 -

10 miskin-kelompok kaya dari masing-masing masyarakat. Metoda konvensional peka terhadap jumlah responden agar dapat mewakili kondisi desa sebaik-baiknya. Oleh sebab itu, jika selama proses perencanaan sampel telah terjadi penyingkiran atas variasi-variasi yang terdapat tingkat desa, ada kemungkinan hasil penelitian akan bias sehingga menjadi condong kearah kelompok tertentu saja. Metode partisipatif mendorong warga desa untuk menyuarakan pendapat, pandangan, masalah mereka, dan menyumbangkan pengetahuan setempat kedalam kategori jawaban, sehingga menghasilkan gambaran yang lebih luas mengenai keadaan sanitasi di desa mereka. Metoda konvensional mencakup serangkaian kategori jawaban yang telah ditentukan sehingga pilihan responden menjadi terbatas. Secara teori, masalah yang terdapat dalam teknik survai konvensional ini dapat diatasi dengan mengadakan pengujian lapangan atas kuisioner survai. Akan tetapi dalam prakteknya, tidak cukup tersedia waktu untuk melakukannya sehingga hasilnya memberikan gambaran keadaan desa yang kurang akurat. Jumlah keseluruhan biaya metode partisipatif sebanding dengan biaya survai konvensional. Metode konvensional mempekerjakan lebih banyak tenaga pencacah (enumerator) yang gajinya lebih rendah, sedangkan metode partisipatif menggunakan tenaga fasilitator yang lebih terlatih, namun jumlahnya lebih sedikit. Metode partisipatif memerlukan waktu pelaksanaan yang lebih singkat dan lebih mudah dikelola karena dilaksanakan hanya sekali untuk menilai keadaan desa sebelum maupun sesudah masuknya proyek, sedangkan pendekatan konvensional memerlukan dua kali survai (dasar dan penilaian) untuk mengukur dan mengkaji keadaan sebelum dan sesudah adanya proyek. Studi Flores yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman mengenai kondisi sarana air minum dan sanitasi lingkungan termasuk mengetahui perspektif dari pengguna sarana, mendapatkan hasil sebagai berikut: Kesetaraan perlu diangkat sebagai isu spesifik di semua tingkatan pembangunan (kesetaraan bukanlah kesamaan; menyamakan kontribusi seringkali tidak menguntungkan kaum miskin). Pendekatan yang sensitif gender dan sosial adalah kunci untuk untuk pelayanan yang berkelanjutan. Semua aspek keberlanjutan (teknis, biaya, sosial, lembaga, lingkungan) berhubungan satu sama lain dan sama pentingnya. Semua proyek Flores telah menerapkan prinsip-prinsip yang dimuat dalam kebijakan tetapi prakteknya seringkali penerapannya tidak sesuai, ketika penerapannya sesuai biasanya hasilnya lebih baik (hasil berkolerasi secara statistik). Penerima manfaat biasanya tidak termasuk dalam monitoring maupun laporan, sehingga pengelola dan institusi terkait tidak mendapatkan informasi tentang mereka. Pelaksana pembangunan harus mengerti dan mempunyai prinsip dasar kebijakan, dapat menerapkannya secara fleksibel, serta meletakkan pengambil keputusan di tangan pemilik yang utama (masyarakat). Lampiran B - 9 -

11 Adopsi kebijakan ke dalam hal praktis membutuhkan lebih dari sekedar arahan, yang lebih dibutuhkan adalah perubahan paradigma. Secara historis, komunikasi dan koordinasi antar proyek pembangunan selalu berada di titik yang paling rendah. Oleh karena itu, uji coba dengan tema koordinasi 7 antar proyek dilakukan dengan tujuan untuk mengenali dan mendemonstrasikan metode koordinasi yang memungkinkan proyek untuk meningkatkan fungsi dan pelayanan, pelajaran yang diperoleh adalah sebagai berikut: Mitos menyatakan bahwa koordinasi antar proyek sulit dilakukan, realita membuktikan bahwa koordinasi antar proyek bisa dilakukan. Mitos menyatakan bahwa jika tidak ada dana, koordinasi tidak akan berjalan, realita membuktikan bahwa dana bukan penghalang untuk berkoordinasi, sebagai contoh, hasil dari uji coba ini para pelaku proyek sepakat untuk menjadi tuan rumah pertemuan forum koordinasi secara bergiliran untuk menyiasati keterbatasan dana. Mitos menyatakan bahwa formalitas (legalisasi, birokrasi, dan lainnya) adalah penentu keberhasilan, realita membuktikan bahwa formalitas bukan penentu utama bahkan bisa menjadi penghambat. Mitos menyatakan bahwa perbedaan skema proyek (aturan, sumber dana, sektor, dan lainlain) menghambat koordinasi, realita membuktikan bahwa perbedaan tidak menutup peluang untuk berkoordinasi. Mitos menyatakan bahwa selama ini terdapat kultur yang menghambat kerja sama antar proyek, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi tumbuh keinginan untuk berkolaborasi (integrasi perencanaan/pelaksanaan). Mitos menyatakan bahwa penggagas koordinasi lintas proyek terpatok pada instansi tertentu, realita membuktikan bahwa penggagas koordinasi bisa dari unsur mana saja, bahkan LSM. Mitos menyatakan bahwa biasanya proyek berakhir maka program akan terhenti, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi program dapat ditransfer ke proyek lain. Mitos menyatakan bahwa sumber daya manusia daerah terbatas/lemah, realita membuktikan bahwa dengan koordinasi potensi sumber daya manusia lokal termanfaatkan secara optimal. 2.2 Pelajaran bagi Penyusunan Kebijakan Pelajaran yang dapat dipetik sebagai input terhadap perbaikan dan penyempurnaan kebijakan diambil dari berbagai proses yang diadakan dalam rangka penyusunan kebijakan air minum dan penyehatan lingkungan seperti lokakarya, seminar, studi banding, uji coba, dan lain-lain. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai keberhasilan dalam pembangunan prasarana dan sarana AMPL, seperti: 7 WASPOLA dan WSLIC2 secara bersama telah merumuskan topik untuk dilaksanakan sebagai uji coba lapangan. Topik pertama, dengan tema koordinasi antar proyek, akan menguji dan mendemonstrasikan bagaimana proyek-proyek berbasis pemberdayaan masyarakat (termasuk proyek-proyek AMPL) yang dikelola oleh bilateral, multilateral, dan organisasi non-pemerintah serta proyek-proyek lain yang berkait dengan prasarana dan sarana AMPL atau infrastruktur, dapat saling berkoordinasi untuk lebih meningkatkan pelayanan pada masyarakat pemanfaat proyek. Lampiran B

12 Adanya pernyataan yang tulus bahwa pendekatan yang digunakan di masa lalu dan sekarang perlu perbaikan. Berbagai pendekatan yang dipelajari perlu menjadi umpan balik dalam kebijakan yang diperbaharui. Agar kebijakan dan kerangka peraturan yang ditetapkan dapat diberlakukannya secara efektif perlu ada dukungan dari semua pihak dan adanya kesediaan untuk melaksanakannya. Komitmen untuk berubah dan menerjemahkan kebijakan dalam bentuk kegiatan nyata perlu tercermin dalam proses pembentukan kesepakatan yang dilakukan melalui partisipasi yang tulus dan semangat kerjasama dalam perubahan. Menciptakan rasa memilki dan komitmen melalui proses partisipasi semua pihak terkait, memang memerlukan waktu. Pola kebijakan hendaknya cukup lentur sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi maupun kebutuhan sektor, dan cukup peka untuk menggabungkannya dengan pengalaman baru. Menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat sasaran pada tahapan pembangunan maka perubahan pendekatan yang lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan AMPL merupakan salah satu pendukung keberhasilan. Dalam upaya melaksanakan pendekatan yang tanggap terhadap kebutuhan (PTK) ada beberapa kendala yang selama ini dihadapi, yaitu: Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati bersama oleh pihak terkait termasuk pemerintah pusat dan daerah, negara dan lembaga pemberi pinjaman, serta LSM dalam menerapkan PTK; Adanya penolakan baik langsung maupun tidak langsung dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga pemberi pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK; Kurangnya pemahaman, informasi dan kemampuan teknis serta keuangan di setiap tingkatan pemerintahan maupun lembaga swadaya masyarakat; Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK; Dalam pelaksanaannya PTK membutuhkan waktu yang lama dan dana yang memadai, apalagi jika dikaitkan dengan kewajiban masyarakat untuk berkontribusi dalam mengekspresikan kebutuhannya. Dalam upaya implementasi sesuai dengan tema Moving from Policy to Practice (dari kebijakan ke pelaksanaan) dan menghadapi kendala yang muncul dalam pelaksanaan PTK, diperlukan beberapa langkah untuk mempercepat penerapan PTK dalam setiap kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat. Langkah-langkah tersebut dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu aspek kebijakan beserta pelaksanaannya, dan aspek pendanaan. Aspek Kebijakan, langkah yang perlu dijalankan antara lain: Lampiran B

13 - Mengklarifikasi dan menciptakan suatu kebijaksanaan dan mekanisme pelaksanaan PTK yang disepakati oleh semua pihak terkait. Diharapkan melalui dokumen ini, kebijakan pembangunan AMPL berbasis pemberdayaan masyarakat menjadi lebih jelas dan dapat dipergunakan secara menyeluruh di Indonesia; - Melaksanakan kampanye terhadap strategi yang disepakati tersebut dan mengupayakan untuk melembagakan PTK menjadi suatu pendekatan pembangunan yang perlu dilakukan oleh kabupaten maupun kota dalam melaksanakan kegiatannya; - Mengkaji ulang secara keseluruhan penyusunan kelembagaan pengelola air minum dan penyehatan lingkungan berbasis masyarakat untuk mendukung PTK dan memungkinkan LSM dan dunia usaha berpartisipasi dalam PTK; - Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan sekaligus meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota melaksanakan PTK. Aspek Pendanaan, langkah yang perlu diambil adalah sebagai berikut: - Mengembangkan suatu mekanisme pembiayaan yang dapat menciptakan rangsangan untuk pengumpulan dana. Melalui WSSLIC, Indonesia telah menciptakan suatu mode insentif pengumpulan dana oleh masyarakat dalam pembiayaan proyek. Hal ini perlu dilanjutkan secara konsisten dan dievaluasi berbagai kelemahan dan keunggulannya sehingga dapat dilaksanakan pada proyek/kegiatan pembangunan prasarana dan sarana AMPL berbasis pemberdayaan masyarakat lainnya; - Mengembangkan suatu mekanisme yang mendukung kemampuan mesyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri. Proyek P3DT telah melakukan beberapa inovasi dalam mengembangkan mekanisme kontrol dan pengelolaan keuangan oleh masyarakat. Walaupun tidak diarahkan untuk merangsang masyarakat dalam pengumpulan dana, terobosan baru dalam model penyaluran dana pemerintah langsung kepada masyarakat perlu dijadikan acuan dalam proyek-proyek selanjutnya. - Menyelaraskan metode pengelolaan keuangan antara donor dan pemerintah dan menggabungkannya dengan pendekatan pembangunan sektor lainnya yang saling terkait. Banyak negara maupun lembaga donor yang tidak dapat secara fleksibel menyalurkan dananya kepada pemerintah sehingga sering mengganggu proses PTK secara keseluruhan. - Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong semua pihak terkait untuk berpartisipasi dalam pembiayaan dan pengelolaan keuangan melalui PTK. Dalam rangka menggali masukan dari pemerintah daerah untuk perbaikan kebijakan nasional AMPL dilakukan uji coba kebijakan di 4 daerah (Kabupaten Solok, Kabupaten Musi Banyuasin, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Sumba Timur), hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: Metode partisipatif yang dilakukan dalam proses uji coba telah mampu mendorong partisipasi pemegang andil dalam membangun kebijakan daerah. Lampiran B

14 Kegiatan dengan rangka identifikasi permasalahan atau isu pengelolaan AMPL di daerah dan pendalaman terhadap substansi pokok kebijakan lebih efektif dilakukan dengan metode partisipatif. Adopsi dan adaptasi tujuan kebijakan nasional AMPL berbeda di setiap daerah disesuaikan dengan karakteristik dan masalah yang ada, begitu juga dengan kegiatan tindak lanjut dari isu atau permasalahan AMPL di daerah. Peran fasilitator cukup penting dalam proses fasilitasi lintas pelaku daerah untuk melaksanakan kegiatan uji coba kebijakan. Lampiran B

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan

1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Perlunya Pembaruan Kebijakan Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan air minum dan penyehatan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( )

LAMPIRAN A. Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia ( ) LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-2000) LAMPIRAN A Sejarah Program Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Indonesia (1970-2000) Bagian

Lebih terperinci

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB 4 STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN GUNUNGKIDUL 4.1 SASARAN DAN ARAHAN PENAHAPAN PENCAPAIAN Sasaran Sektor Sanitasi yang hendak dicapai oleh Kabupaten Gunungkidul adalah sebagai berikut : - Meningkatkan

Lebih terperinci

Pelaksanaan program Pamsimas menggunakan pendekatan

Pelaksanaan program Pamsimas menggunakan pendekatan Bagaimana Kegiatan Dilaksanakan? Siswa-siswi SDN Kwangsan 02 di Kec. Jumapolo Kab. Karanganyar Jawa Tengah melakukan demo PHBS dalam rangkaian program Pamsimas. Pelaksanaan program Pamsimas menggunakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu )

LAMPIRAN C. Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah abu-abu ) LAMPIRAN C Sebuah Alternatif dalam Pelayanan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (termasuk daerah

Lebih terperinci

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT KEBIJAKAN NASIONAL PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT Bappenas Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah Departemen Kesehatan Departemen Dalam Negeri Departemen Keuangan

Lebih terperinci

LAMPIRAN G. Indikator Strategi Pelaksanaan

LAMPIRAN G. Indikator Strategi Pelaksanaan LAMPIRAN G Indikator Strategi Pelaksanaan LAMPIRAN G Indikator Strategi Pelaksanaan (Merupakan contoh indikator yang dapat dikembangkan) Strategi 1 Mengembangkan kerangka peraturan untuk mendorong partisipasi

Lebih terperinci

LAMPIRAN E. Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA)

LAMPIRAN E. Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA) LAMPIRAN E Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA) LAMPIRAN E Pengenalan Methodology for Participatory Assessments (MPA) Membantu Masyarakat untuk Mendapatkan Kesempatan yang Lebih Besar

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

RANGKUMAN HASIL KONFERENSI

RANGKUMAN HASIL KONFERENSI RANGKUMAN HASIL KONFERENSI Memberikan Pelayanan Terbaik Bagi Masyarakat Miskin: Isu Strategis dan Rekomendasi Menteri Negara PPN/ Kepala Bappenas Jakarta, 28 April 2005 KONFERENSI NASIONAL PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

: [i] adanya inginan untuk meningkatkan kondisi air minum

: [i] adanya inginan untuk meningkatkan kondisi air minum Anak-anak usia sekolah di Nusa Tenggara Timur harus rela berjalan berkilo-kilo guna mendapatkan air minum untuk kebutuhan keluarga. Selain itu, pemerintah juga mempunyai komitmen global MDG (Millennium

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 1. TinjauanPustaka PNPM Mandiri PNPM Mandiri adalah program nasional penanggulangan kemiskinan terutama yang berbasis pemberdayaan

Lebih terperinci

30 DIMANA DILAKSANAKAN? 3 SAMBUTAN DAN KATA PENGANTAR 6 HIDUP SEHAT DAN SEJAHTERA DENGAN AIR MINUM DAN SANI- TASI BERKUALITAS

30 DIMANA DILAKSANAKAN? 3 SAMBUTAN DAN KATA PENGANTAR 6 HIDUP SEHAT DAN SEJAHTERA DENGAN AIR MINUM DAN SANI- TASI BERKUALITAS Daftar Isi 3 SAMBUTAN DAN KATA PENGANTAR 30 DIMANA DILAKSANAKAN? 18 APA ITU PAMSIMAS? Tujuan Sasaran Sasaran Lokasi 6 HIDUP SEHAT DAN SEJAHTERA DENGAN AIR MINUM DAN SANI- TASI BERKUALITAS 36 LOKASI PROGRAM

Lebih terperinci

Perempuan dan Industri Rumahan

Perempuan dan Industri Rumahan A B PEREMPUAN DAN INDUSTRI RUMAHAN PENGEMBANGAN INDUSTRI RUMAHAN DALAM SISTEM EKONOMI RUMAH TANGGA UNTUK PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PEREMPUAN DAN ANAK C ...gender equality is critical to the development

Lebih terperinci

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR : 10 TAHUN 2012 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR DENGAN

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA

BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA BAB IV STRATEGI UNTUK KEBERLANJUTAN LAYANAN SANITASI KOTA Bab empat ini merupakan inti dari Strategi Sanitasi Kota Bontang tahun 2011-2015 yang akan memaparkan antara lain tujuan, sasaran, tahapan pencapaian

Lebih terperinci

Kelompok seperti inilah yang menjadi target grup program Pamsimas

Kelompok seperti inilah yang menjadi target grup program Pamsimas program sejenis dalam 2 tahun terakhir. Konfirmasi akhir desa/kelurahan sasaran ditentukan oleh kriteria respon dan kesediaan masyarakat untuk berkontribusi sebesar minimal 20 % (minimal 16% in kind dan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Definisi Air Minum menurut MDG s adalah air minum perpipaan dan air minum non perpipaan terlindung yang berasal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Berdasarkan pengalaman masa lalu pelaksanaan pembangunan sanitasi di Kab. Bima berjalan secara lamban, belum terintegrasi dalam suatu perencanaan komprehensipif dan

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA

BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA BAB III ISU STRATEGIS DAN TANTANGAN LAYANAN SANITASI KOTA 3.1. Aspek Non-teknis Perumusan strategi layanan sanitasi Kabupaten Lombok Timur didasarkan pada isu-isu strategis yang dihadapi pada saat ini.

Lebih terperinci

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT

QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT QANUN KABUPATEN ACEH BESAR NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PEMBANGUNAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN BERBASIS MASYARAKAT BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI ACEH BESAR

Lebih terperinci

SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT REGIONAL PASIGALA SEBAGAI ANTISIPASI DEGRADASI KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN DI KOTA PALU

SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT REGIONAL PASIGALA SEBAGAI ANTISIPASI DEGRADASI KETERSEDIAAN AIR PERMUKAAN DI KOTA PALU JURNAL GEOGRAFI Geografi dan Pengajarannya ISSN 1412-6982 e-issn : 2443-3977 Volume 15 Nomor 1 Juni 2017 SISTEM PENYEDIAAN AIR MINUM BERBASIS MASYARAKAT REGIONAL PASIGALA SEBAGAI ANTISIPASI DEGRADASI KETERSEDIAAN

Lebih terperinci

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI Berdasarkan Visi dan Misi yang telah dirumuskan, dan mengacu kepada arahan tehnis operasional dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Banjarbaru

Lebih terperinci

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI

BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI BAB III STRATEGI PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI Berdasarkan Visi dan Misi yang telah dirumuskan, dan mengacu kepada arahan tehnis operasional dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kota Banjarbaru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan sudah menjadi fenomena kehidupan masyarakat, dengan kata lain telah mengakar luas dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia seharusnya dapat di akses oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. Tapi

Lebih terperinci

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI

EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI EVALUASI PENERAPAN PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMBANGUNAN DI KABUPATEN BOYOLALI Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Ilmu Lingkungan Wahyu

Lebih terperinci

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya

BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya BANGKITNYA INDONESIA. Prioritas Kebijakan untuk Tahun 2010 dan Selanjutnya Menyelesaikan Desentralisasi Pesan Pokok Pemerintah daerah (Pemda) di Indonesia kurang memiliki pengalaman teknis untuk meningkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 1 PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI

BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI BAB VI PEMANTAUAN DAN EVALUASI Proses monitoring dan evaluasi merupakan pengendalian yakni bagian tidak terpisahkan dari upaya mewujudkan tujuan yang hendak dicapai. Monitoring atau pemantauan dapat mempermudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Papua merupakan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Papua merupakan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengalami 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Papua merupakan daerah di kawasan timur Indonesia yang mengalami ketertinggalan pembangunan selama beberapa dekade. Pada era otonomi daerah, kebijakan Otonomi Khusus

Lebih terperinci

Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan secara partisipatori dan sosial

Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan secara partisipatori dan sosial Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan Berkelanjutan secara partisipatori dan sosial Erika Styger Bank Dunia Washington, DC Pengantar Lebih dari 1 milyar orang (2/3nya perempuan) hidup dalam kemiskinan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM DAN SANITASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa air minum

Lebih terperinci

PROGRAM PENGUATAN KEBERLANJUTAN UNTUK STBM KABUPATEN/KOTA DAN MASYARAKAT

PROGRAM PENGUATAN KEBERLANJUTAN UNTUK STBM KABUPATEN/KOTA DAN MASYARAKAT PROGRAM PENGUATAN KEBERLANJUTAN UNTUK STBM KABUPATEN/KOTA DAN MASYARAKAT PAMSIMAS II: Komponen Kesehatan Direktur Penyehatan Lingkungan Disampaikan Pada Rapat Koordinasi Regional 3 Denpasar, Bali 29 Sept

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Millenium Development Goals (MDGs) merupakan paradigma pembangunan global yang mempunyai delapan (8) tujuan dengan delapan belas (18) sasaran. Delapan tujuan

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV VISI DAN MISI DAERAH 4.1 Visi Berdasarkan kondisi Kabupaten Lamongan saat ini, tantangan yang dihadapi dalam dua puluh tahun mendatang, dan memperhitungkan modal dasar yang dimiliki, maka visi Kabupaten

Lebih terperinci

P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N

P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N K O N S E P P E M B A N G U N A N B E R K E L A N J U T A N Dalam mengejar pertumbuhan ekonomi seringkali menimbulkan dampak yang tidak terduga terhadap

Lebih terperinci

Terms of Reference Proyek Peningkatan Akses Air Minum dan Sanitasi

Terms of Reference Proyek Peningkatan Akses Air Minum dan Sanitasi Terms of Reference Proyek Peningkatan Akses Air Minum dan Sanitasi 1. Gambaran Umum: Latar Belakang: AQUA berkomitmen untuk berkontribusi terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium dan Rencana Pembangunan

Lebih terperinci

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN

GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN G E N D E R B R I E F S E R I E S NO. 1 GENDER, PEMBANGUNAN DAN KEPEMIMPINAN The Australia-Indonesia Partnership for Reconstruction and Development Local Governance and Community Infrastructure for Communities

Lebih terperinci

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS

LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS LATAR BELAKANG PENGEMBANGAN KOMUNITAS Pada kegiatan Praktek Lapangan 2 yang telah dilakukan di Desa Tonjong, penulis telah mengevaluasi program atau proyek pengembangan masyarakat/ komunitas yang ada di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

Disampaikan oleh: MENTERI KESEHATAN RI pada SEMINAR dan LAUNCHING INDONESIAN WOMEN for WATER, SANITATION and HYGIENE Jakarta, 18 Februari 2015

Disampaikan oleh: MENTERI KESEHATAN RI pada SEMINAR dan LAUNCHING INDONESIAN WOMEN for WATER, SANITATION and HYGIENE Jakarta, 18 Februari 2015 Disampaikan oleh: MENTERI KESEHATAN RI pada SEMINAR dan LAUNCHING INDONESIAN WOMEN for WATER, SANITATION and HYGIENE Jakarta, 18 Februari 2015 Mengapa peran wanita penting dalam pengelolaan air minum dan

Lebih terperinci

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN

PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN PERENCANAAN DAUR PROGRAM DALAM IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN OLEH : ROBERT SIREGAR Dept. Urban Studies and Planning Program robert_rppp@yahoo.com A. Pendahuluan Pembangunan adalah sebuah kegiatan yang kolosal,

Lebih terperinci

BAPPEDA KAB. LAMONGAN

BAPPEDA KAB. LAMONGAN BAB IV ANALISIS ISU - ISU STRATEGIS Pembangunan daerah agar dapat berhasil sesuai dengan tujuannya harus tanggap terhadap kondisi yang terjadi di masyarakat. Kondisi tersebut menyangkut beberapa masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO-UNICEF dalam joint monitoring 2004, perihal kinerja sektor Air Minum dan Sanitasi.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan WHO-UNICEF dalam joint monitoring 2004, perihal kinerja sektor Air Minum dan Sanitasi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Berdasarkan laporan WHO-UNICEF dalam joint monitoring 2004, di antara negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia tergolong masih rendah perihal kinerja sektor

Lebih terperinci

BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN

BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN BAB III ISU STRATEGIS & TANTANGAN SEKTOR SANITASI KABUPATEN KLATEN 3.1. Enabling And Sustainability Aspect 3.1.1 Aspek Non Teknis 1) Kebijakan Daerah dan Kelembagaan Isu strategis aspek Kebijakan Daerah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 BUPATI KUDUS PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PEMBANGUNAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Tahun 2002 pemerintah melalui Departemen Pertanian RI mengeluarkan kebijakan baru dalam upaya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk

I. PENDAHULUAN. Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Didalam kehidupan ekonomi pada umumnya, manusia senantiasa berusaha untuk dapat memperbaiki tingkat kesejahteraannya dengan berbagai kegiatan usaha sesuai dengan bakat,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG

PENDAHULUAN BAB I 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Target Millenium Development Goals (MDGs) menempatkan manusia sebagai fokus utama pembangunan yang mencakup semua komponen kegiatan yang tujuan akhirnya ialah kesejahteraan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang Sanitasi di berbagai daerah selama ini belum menjadi prioritas, terlihat di Indonesia berada di posisi bawah karena pemahaman penduduknya mengenai

Lebih terperinci

1. Mengelola penyampaian bantuan

1. Mengelola penyampaian bantuan KODE UNIT : O.842340.004.01 JUDUL UNIT : Pengaturan Bidang Kerja dalam Sektor Penanggulangan Bencana DESKRIPSIUNIT : Unit kompetensi ini mendeskripsikan keterampilan, pengetahuan, dan sikap kerja yang

Lebih terperinci

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM

LD NO.14 PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL I. UMUM I. UMUM PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN GARUT NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG PENANAMAN MODAL 1. Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sebagai upaya terus menerus

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012)

Strategi Sanitasi Kabupaten ( Refisi 2012) 4.1 Sasaran dan Arahan Tahapan Pencapaian. Bab empat (IV) ini merupakan inti dari Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman tahun 2012-2016 yang akan memaparkan antara lain tujuan, sasaran, tahapan pencapaian

Lebih terperinci

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional

Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional Optimalisasi UPK Dalam Rangka Mencapai Ketahanan Pangan Nasional I. LATAR BELAKANG Wacana kemiskinan di Indonesia tetap menjadi wacana yang menarik untuk didiskusikan dan dicarikan solusi pemecahannya.

Lebih terperinci

PEREMPUAN DALAM PEMANFAATAN AIR SUNGAI KAPUAS KOTA PONTIANAK TUGAS AKHIR

PEREMPUAN DALAM PEMANFAATAN AIR SUNGAI KAPUAS KOTA PONTIANAK TUGAS AKHIR PEREMPUAN DALAM PEMANFAATAN AIR SUNGAI KAPUAS KOTA PONTIANAK (Kajian Pemanfaatan Air dalam Lingkup Domestik di Kelurahan Tambelan Sampit) TUGAS AKHIR Oleh: YUNI KUSUMADEWI L2D 000 465 JURUSAN PERENCANAAN

Lebih terperinci

BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN BAB V PROGRAM DAN KEGIATAN Bagian ini memuat daftar program dan kegiatan yang menjadi prioritas pembangunan sanitasi Kota Bontang Tahun 0 05. Program dan kegiatan ini disusun sesuai dengan strategi untuk

Lebih terperinci

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara

4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI TASIKMALAYA NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG RENCANA AKSI DAERAH PENYEDIAAN AIR MINUM DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN TAHUN 2016-2021 DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO

PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PEMERINTAH KABUPATEN WONOSOBO PERATURAN DAERAH KABUPATEN WONOSOBO NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMBENTUKAN DAN PENGELOLAAN BADAN USAHA MILIK DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI WONOSOBO, Menimbang

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka

Strategi Sanitasi Kabupaten Malaka BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Sanitasi di Indonesia telah ditetapkan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMPN) tahun 2005 2025 Pemerintah Indonesia. Berbagai langkah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hingga saat ini akses masyarakat terhadap layanan sanitasi permukiman (air limbah domestik, sampah rumah tangga dan drainase lingkungan) di Indonesia masih relatif

Lebih terperinci

& KELEBIHAN KOPERASI dalam Melindungi Petani & Usahawan Kecil Pedesaan

& KELEBIHAN KOPERASI dalam Melindungi Petani & Usahawan Kecil Pedesaan PENGENTASAN KEMISKINAN & KELEBIHAN KOPERASI dalam Melindungi Petani & Usahawan Kecil Pedesaan Pengantar oleh: Rajiv I.D. Mehta Director Pengembangan ICA Asia Pacific 1 Latar Belakang Perekonomian dunia

Lebih terperinci

KODE UNIT O JUDUL UNIT

KODE UNIT O JUDUL UNIT KODE UNIT : O.842340.042.01 JUDUL UNIT : MengoordinasiPelayananAir Bersih dan Sanitasi DESKRIPSIUNIT : Unit kompetensi ini menjelaskan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dipersyaratkan untuk mengoordinasi

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.389, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Penyediaan Air Minum. Sanitasi. Percepatan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 185 TAHUN 2014 TENTANG PERCEPATAN PENYEDIAAN AIR MINUM

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1 1.1. Latar Belakang. Dalam kontek Program Pembangunan Sektor Sanitasi Indonesia (ISSDP), sanitasi didefinisikan sebagai tindakan memastikan pembuangan tinja, sullage dan limbah padat agar lingkungan rumah

Lebih terperinci

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi

REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam. Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi REVIEW Pengelolaan Kolaborasi Sumberdaya Alam Apa, Mengapa, dan Bagaimana Pengelolaan Kolaboratif SumberdayaAlam: Pengantar Diskusi Pembelajaran Akselerasi Bertindak Melihat Mendengar Merasa Siklus Belajar

Lebih terperinci

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia

Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Pemetaan Pendanaan Publik untuk Perubahan Iklim di Indonesia Juli 2014 Komitmen Pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus mengurangi risiko perubahan iklim tercermin melalui serangkaian

Lebih terperinci

Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAM BM) 1. Pedoman umum

Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (PAM BM) 1. Pedoman umum Pd T-05-2005-C Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat (P BM) 1. Pedoman umum 1 Ruang lingkup Pedoman ini meliputi ketentuan umum dalam penyelenggaraan, kelembagaan, pembiayaan, pembangunan prasarana

Lebih terperinci

Tabel 1.1 Target RPJMN, RPJMD Provinsi dan kondisi Kota Depok. Jawa Barat. Cakupan pelayanan air limbah domestic pada tahun 2013 sebesar 67-72%

Tabel 1.1 Target RPJMN, RPJMD Provinsi dan kondisi Kota Depok. Jawa Barat. Cakupan pelayanan air limbah domestic pada tahun 2013 sebesar 67-72% BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi merupakan salah satu sektor yang memiliki keterkaitan sangat erat dengan kemiskinan tingkat pendidikan, kepadatan penduduk, daerah kumuh dan akhirnya pada

Lebih terperinci

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN WALIKOTA PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA PEKALONGAN NOMOR 14 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PEKALONGAN, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Salah satu target MDGS adalah mengurangi separuh penduduk pada tahun 2015 yang tidak memiliki akses air minum yang sehat serta penanganan sanitasi dasar. Sehubungan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN

B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN B A B V PROGRAM DAN KEGIATAN Bagian ini memuat daftar program dan kegiatan yang menjadi prioritas sanitasi Tahun 0 06 ini disusun sesuai dengan strategi untuk mencapai tujuan dan sasaran dari masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO

PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PEMERINTAH KABUPATEN PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 13 TAHUN 2009 TENTANG LEMBAGA KEMASYARAKATAN DESA DAN KELURAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode perencanaan (Pasal 1 ayat (12) UU No. 25 Tahun 2004).

Lebih terperinci

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID)

Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan. Program Inovasi Desa (PID) Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan Program Inovasi Desa (PID) 2017 1 Selayang Pandang SOP Percepatan PID Standar Operasional Prosedur (SOP) Percepatan Program Inovasi Desa (PID) sebagai langkah

Lebih terperinci

BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN. 1. Tersedianya dokumen perencanaan pengelolaan air limbah

BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN. 1. Tersedianya dokumen perencanaan pengelolaan air limbah BAB IV STRATEGI SEKTOR SANITASI KABUPATEN 4.1 Sasaran dan Arahan Penahapan Pencapaian 4.1.1 Air limbah 1. Tersedianya dokumen perencanaan pengelolaan air limbah 2. Meningkatnya cakupan kepemilikan jamban

Lebih terperinci

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program

Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Implementasi Program Pemberdayaan Masyarakat Upaya penanggulangan kemiskinan yang bertumpu pada masyarakat lebih dimantapkan kembali melalui Program Pengembangan Kecamatan (PPK) mulai tahun Konsepsi Pemberdayaan

Lebih terperinci

Kata Pengantar. Kerja Keras Kerja Lebih Keras Kerja Lebih Keras Lagi 1

Kata Pengantar. Kerja Keras Kerja Lebih Keras Kerja Lebih Keras Lagi 1 Kata Pengantar Reformasi birokrasi dilingkungan Kementerian Hukum dan HAM pada hakikatnya adalah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang

Lebih terperinci

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang

1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo. Semarang 1.8.(2) Peremajaan Permukiman Kota Bandarharjo Semarang Tipe kegiatan: Peremajaan kota Inisiatif dalam manajemen perkotaan: Penciptaan pola kemitraan yang mempertemukan pendekatan top-down dan bottom-up

Lebih terperinci

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD)

BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah BAB II RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH (RPJMD) A. Visi dan Misi 1. Visi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Sleman 2010-2015 menetapkan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2013 TENTANG PELAKSANAAN UPAYA PENANGANAN FAKIR MISKIN MELALUI PENDEKATAN WILAYAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA SALINAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA DAN REFORMASI BIROKRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku Putih Sanitasi berisi tentang pengkajian dan pemetaan sanitasi awal kondisi sanitasi dari berbagai aspek, yaitu mengenai Persampahan, Limbah Domestik, Drainase

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN I. VISI Pembangunan di Kabupaten Flores Timur pada tahap kedua RPJPD atau RPJMD tahun 2005-2010 menuntut perhatian lebih, tidak hanya untuk menghadapi permasalahan

Lebih terperinci

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI

BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI BAB II KEBIJAKAN DAN STRATEGI Jawa Barat Bagian Utara memiliki banyak potensi baik dari aspek spasial maupun non-spasialnya. Beberapa potensi wilayah Jawa Barat bagian utara yang berhasil diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. sehingga harus disembuhkan atau paling tidak dikurangi. Kemiskinan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan salah satu penyakit akut dalam ekonomi, sehingga harus disembuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Millenium Development Goals (MDG s) atau tujuan pembangunan millennium adalah upaya untuk memenuhi hak-hak dasar kebutuhan manusia melalui komitmen bersama antara

Lebih terperinci

R a a t f. Sistem Informasi Pedesaan

R a a t f. Sistem Informasi Pedesaan R a a t f Sistem Informasi Pedesaan 1 Ringkasan Eksekutif Mengintegrasikan Gender pada Sistem Informasi Pedesaan di Indonesia Bank Dunia, Unit Sektor Pengembangan Pedesaan dan Sumberdaya Alam, Wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA

Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA Penyepakatan VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI SANITASI KOTA TASIKMALAYA SATKER SANITASI KOTA TASIKMALAYA TAHUN LOGO2013 VISI Terciptanya Kondisi Lingkungan Masyarakat yang Sehat dan

Lebih terperinci

VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN

VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN VII. PERUMUSAN STRATEGI DAN PROGRAM PROMOSI KESEHATAN DI DESA JEBED SELATAN Program Promosi Kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago

PENJELASAN SUBTEMA IDF. Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago PENJELASAN SUBTEMA IDF Pathways to Tackle Regional Disparities Across the Archipelago 2018 DISPARITAS REGIONAL Dalam Nawacita, salah satu program prioritas Presiden Joko Widodo adalah membangun Indonesia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Transmigrasi pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya untuk mempercepat pembangunan, terutama di kawasan yang

Lebih terperinci