PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN DAN USAHATANI PADI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN DAN USAHATANI PADI"

Transkripsi

1 PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK (BBM) MARET 2005 TERHADAP PROFITABILITAS USAHA JASA ALSINTAN DAN USAHATANI PADI (Kasus Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan dan Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur) Pantjar Simatupang, Ketut Kariyasa, Sudi Mardianto, dan M. Maulana PENDAHULUAN I. Latar Belakang Minyak bumi merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui. Berarti, penggunaan secara terus-menerus menyebabkan semakin menipisnya persediaan minyak bumi. Globalisasi dan industrialisasi menyebabkan kebutuhan bahan bakar minyak semakin tinggi. Sementara kapasitas produksinya tidak mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhannya. Akibatnya, sepanjang tahun 2005, harga minyak di pasar dunia melonjak dan sampai Agustus 2005 harga minyak dunia bertahan diatas level 55 US$/barel. Tingginya harga minyak dunia ini menyebabkan beban subsidi pemerintah semakin berat. Pola subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang selama ini diterapkan ternyata malah menjadi penambah beban keuangan negara. Kenaikan harga BBM merupakan sebuah konsekuensi dari melonjaknya harga minyak dunia. Kenyataan ini tertuang dalam APBN 2005 yang terus mengalami revisi sebagai penyesuaian meningkatnya harga minyak dunia. Bahan Bakar Minyak merupakan faktor produksi penting bagi berbagai kegiatan sektor perekonomian tak terkecuali sektor pertanian. BBM digunakan untuk mesin-mesin penggerak produktif seperti kendaraan bermotor angkutan umum, traktor, industri pengolahan dan generator pembangkit listrik. Mengingat peran yang amat strategis dari BBM terhadap perekonomian nasional, maka pemerintah mengendalikan penyaluran dan harga BBM. Namun demikian, dalam rangka mengurangi beban subsidi, pemerintah secara periodik melakukan penyesuaian harga BBM agar mendekati harga keseimbangannnya. Pada bulan Maret 2005, pemerintah melakukan penyesuaian harga BBM sehingga harga BBM utamanya Solar mengalami kenaikan yang cukup tajam yaitu sebesar 21,93 persen. VI-56

2 Diantara berbagai BBM, minyak solar merupakan salah satu faktor produksi penting bagi sektor pertanian, maka kenaikan solar tersebut jelas akan mempengaruhi kinerja sektor pertanian, diantaranya mempengaruhi profitabilitas usaha jasa alat dan mesin pertanian yang secara langsung akan mempengaruhi profitabilitas usahatani padi. II. Tujuan Tujuan penelitian ini secara spesifik dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Untuk mengkaji dampak perubahan harga BBM terhadap profitabilitas usaha jasa traktor tangan, pompa air, power thresher, penggilingan padi akibat peningkatan biaya operasional dan profitabilitas usahatani padi akibat peningkatan ongkos usahatani. 2. Simulasi dampak rencana kenaikan harga BBM akhir tahun 2005 terhadap profitabilitas usaha jasa traktor tangan, pompa air, power thresher, penggilingan padi dan usahatani padi. 3. Untuk menyusun rumusan kebijakan yang dipandang sesuai sehubungan dengan kebijakan harga BBM. METODOLOGI PENELITIAN I. Kerangka Pemikiran Transmisi Dampak Kenaikan BBM terhadap Sektor Pertanian Pengaruh kenaikan harga solar terhadap sektor pertanian terutama terjadi melalui 3 (tiga) media yaitu : (1) sewa alsintan; (2) biaya pemasaran dan (3) inflasi pedesaan. Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya sewa alsintan selanjutnya akan meningkatkan biaya usahatani dan akan menurunkan produksi dan laba usahatani. Peningkatan harga solar akan meningkatkan biaya transportasi yang selanjutnya akan meningkatkan biaya pemasaran. Peningkatan biaya pemasaran akan meningkatkan harga output di tingkat konsumen, namun karena biaya pemasaran mengalami peningkatan, maka harga yang diterima petani akan mengalami menurun. Selain meningkatkan biaya distribusi, peningkatan harga solar juga akan meningkatkan biaya pokok produksi input pertanian manufaktur VI-57

3 seperti pupuk dan pestisida. Peningkatan harga solar pasti meningkatkan harga input pertanian tradeable, lebih-lebih input manufaktur. Peningkatan harga input dan penurunan harga output yang diterima petani akibat kenaikan harga solar akan menyebabkan produksi dan laba usahatani mengalami penurunan. Kenaikan harga solar juga akan meningkatkan indeks harga konsumen pedesaan. Namun karena harga output yang diterima petani mengalami penurunan, maka kenaikan harga solar mungkin tidak berpengaruh nyata terhadap inflasi pedesaan. Kenaikan harga solar akan lebih berpengaruh pada inflasi di perkotaan karena harga yang dibeli oleh konsumen akan mengalami peningkatan, sehingga kemungkinan besar kesejahteraan masyarakat perkotaan akan mengalami penurunan. Dengan demikian peningkatan harga solar akan menurunankan produksi dan laba usahatani. Penurunan harga output yang diterima petani dapat menurunkan tingkat upah. Perpaduan dua faktor tersebut akan menyebabkan PDB sektor pertanian akan mengalami penurunan. Dampak kenaikan harga solar terhadap sektor pertanian secara rinci disajikan dalam Gambar 1. Sumber Data, Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survey di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Untuk data tingkat nasional diperoleh dari rata rata dua propinsi lokasi survey. Sumber data sekunder adalah lembaga/instansi yang terkait dengan data/informasi yang dibutuhkan dalam penelitian antara lain seperti Badan Pusat Statistik dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Tingkat I dan II. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 8 sampai dengan 19 Agustus Metode Analisis Analisis Deskriptif Analisis deskriptif adalah metode metode yang berkaitan dengan pengumpulan dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna (Walpole, 1995). Analisis Deskriptif memberikan informasi mengenai sekumpulan data dan mendapatkan gagasan untuk keperluan analisis selanjutnya, jika diperlukan analisis ini meliputi penyusenan ukuran pemusatan, VI-58

4 Sewa Alsintan Meningkat Biaya Usaha Meningkat Produksi pert. Menurun Laba Usaha Menurun input Meningkat PDB Pertanian Menurun Kesejahteraan Petani Menurun Kenaikan BBM Ongkos Pemasaran diterima Petani Menurun Upah pertanian Menurun Inflasi Non Pertanian Inflasi Pedesaan Gambar 1. Dampak Transmisi Kenaikan Solar Terhadap Sektor Pertanian VI-59

5 ukuran penyebaran, label, diagram dan grafik. Akan tetapi jika dari hasil analisis ini sudah dapat diambil kesimpulan yang tepat maka tidak perlu menganalisis dengan cara yang lebih rumit. (Clark and Schkade, 1983). Perhitungan Profitabilitas Usahatani Profitabilitas usahatani dihitung dengan menggunakan : 1) π = TR TC... (1) π = P.Q (TFC + TVC)... (2) π = P.Q - ( TC dimana : n i= 1 n + P )... (3) i= 1 i X i π TR TC P Q TFC TVC FC I P I X I = keuntungan = total penerimaan = total biaya = harga output = jumlah output = total biaya tetap = total biaya variabel = jenis biaya tetap ke-i = harga input ke-i = jumlah input ke-i Kriteria : Bila π > 0: usahatani layak Bila π < 0: usahatani tidak layak 2) R/C ratio atau rasio penerimaan dan biaya R/C = TR / TC dimana : TR = total penerimaan TC = total biaya Kriteria : Bila R/C > 1 usahatani layak Bila R/C < 1 usahatani tidak layak VI-60

6 HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Traktor Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM 2005 Traktor digunakan untuk pengolahan tanah sampai siap tanam. Hingga kini, penggunaan traktor untuk pengolahan sawah telah berkembang hampir menyeluruh di daerah persawahan padi di Indonesia baik di daerah kekurangan tenaga kerja maupun di daerah yang cukup tenaga kerja. Pertimbangan petani untuk menggunakan traktor diantaranya adalah lebih cepat bila dibandingkan tenaga kerja manusia ataupun ternak, sehingga jadual tanam yang ketat dan serempak dapat terealisir, biaya pengolahan tanah per hektarnya lebih murah bila dibanding tenaga kerja manusia ataupun ternak, dan kesulitan mencari tenaga kerja manusia ataupun ternak untuk pengolahan sawah (Simatupang et al, 1994). Pada usahatani padi di lahan sawah jenis traktor yang banyak digunakan oleh petani adalah traktor tangan (hand tractor) dibandingkan dengan traktor mini (traktor roda empat). Hal ini disebabkan traktor tangan harganya lebih murah dan pengorerasiannya relatif lebih mudah. Di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur traktor tangan yang digunakan baik untuk perorangan maupun usaha jasa persewaan banyak dijumpai merupakan buatan Cina, salah satunya adalah traktor tangan bermerk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK. Pertimbangan utama petani untuk menggunakan traktor tangan buatan Cina dibandingkan dengan buatan lainnya seperti merk Kubota dari Jepang adalah harga belinya yang lebih murah. Sebelum kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional traktor tangan mencapai Rp /ha. Komponen biaya terbesar dalam biaya operasional traktor tersebut adalah upah operator yang mencapai Rp /ha atau persen dari total biaya operasional. Upah operator ini dihitung sebesar 15 persen dari sewa traktor. Komponen biaya bahan bakar solar merupakan komponen biaya operasional terbesar kedua yang mencapai Rp /ha atau sekitar 39 persen. Sementara komponen biaya perawatan dan oli hanya sekitar 16 persen. Sistem pengupahan jasa traktor adalah borongan per satuan luas. Rata rata per hektar luasan sawah ongkos sewa traktor mencapai Rp Dengan ongkos sewa tersebut, laba bersih yang diperoleh pengusaha traktor sekitar Rp. VI-61

7 /ha. Jika penyusutan dimasukan dalam perhitungan biaya total yang per tahunnya mencapai Rp , maka rasio pendapatan dengan biaya total (RC rasio dengan biaya total) adalah sebesar 2.58 (Tabel 1). Tabel 1. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian 1. Spesifikasi Teknis Satuan Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan Vol. Nilai (Rp) Vol. Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Beli 8 juta 8 juta Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi - Luas Pelayanan Jam/ hari Ha/ hari Biaya Operasional 100, , , Solar Liter 20 1,950 39, ,300 46, , Oli Liter ,000 3, ,000 4, , Perawatan Rp 12, , , Upah Operator Rp 15% 45, % 90, , Penerimaan Kotor Rp 300, ,000-60, Laba Kotor (3-2) Rp 199, ,658-1, Penyusutan Rp 16,000 16, Laba Bersih Rp 183, ,658-1, RCR (0.72) (24.15) 8. Biaya Total Rp 116, ,342 58, RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus (0.52) (20.10) Kenaikan harga solar yang diberlakukan oleh pemerintah pada bulan Maret 2005 berpengaruh langsung terhadap biaya operasional pengolahan tanah dengan traktor. solar yang biasa diperoleh pengusaha dari pengecer desa sebesar Rp /liter, setelah kenaikan BBM meningkat menjadi Rp /liter. Peningkatan harga solar ini menyebabkan komponen biaya solar meningkat sebesar Rp /ha atau 17.9 persen. oli juga meningkat dari Rp /liter sebelum kenaikan menjadi Rp /liter setelah kenaikan BBM sehingga meningkatkan komponen biaya oli dalam biaya operasional sebesar 23.8 persen. Sementara biaya perawatan meningkat tajam akibat kenaikan BBM sebesar Rp /ha atau 42.8 persen. VI-62

8 Untuk komponen biaya upah operator terjadi kenaikan persentase perhitungan upah dari sewa traktor. Jika sebelum kenaikan BBM nilai upah operator mencapai 15 persen dari sewa traktor, maka setelah kenaikan BBM meningkat menjadi 25 persen dari sewa traktor. Sewa traktor sendiri meningkat rata rata Rp /ha atau sekitar 20 persen sehingga upah operator yang merupakan persentase terhadap sewa mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Secara total biaya operasional traktor meningkat menjadi Rp /ha atau meningkat sekitar 58 persen. Dengan adanya perhitungan kenaikan biaya operasional dan sewa, maka dapat terlihat bahwa kenaikan harga solar di Kabupaten Nganjuk Jawa Timur telah menyebabkan peningkatan laba bersih para pemilik atau pengusaha jasa traktor sebesar Rp /ha atau sekitar 0.95 persen. Tetapi secara keseluruhan RC rasio dengan biaya total turun dari 2.58 menjadi 2.06 setelah adanya kenaikan BBM. Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan kepemilikan traktor secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) usaha jasa sewa, (2) petani/kelompok tani, dan (3) pemerintah (pada umumnya dinas dinas lingkup Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan). Hasil inventarisasi di Kabupaten Sidrap menunjukkan bahwa, sebagian besar kepemilikan traktor di kabupaten ini merupakan milik petani (tuan tanah) dan hanya sebagian merupakan milik usaha jasa sewa traktor. Sehingga pasar usaha penyewaan traktor di wilayah ini relatif kurang berjalan. Merk traktor yang dimiliki petani cukup beragam, ada merk Yanmar, Kubota dan ada juga merk Ratna dengan harga yang cukup beragam pula. Kemampuan kerja traktor sangat ditentukan oleh spesifikasi teknis tenaga mesin traktor itu sendiri. Traktor dengan PK lebih tinggi tentunya mempunyai kemampuan kerja lebih tinggi dibanding traktor dengan PK lebih rendah. Dengan perawatan cukup baik, umur ekonomis traktor diperkirakan bisa mencapai 10 tahun. Dalam sehari (7-10 jam) kemampuan mengolah lahan sampai siap tanam berkisar 0,25 0,35 hektar. Untuk kelompok traktor yang disewakan, jumlah hari efektif mengolah lahan dalam satu musim kurang lebih 20 hari, sehingga dalam setahun (2 musim padi) luas lahan yang bisa terolah sekitar hektar. Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) termasuk jenis solar seiiring dengan melonjaknya harga komoditas ini di pasar dunia di satu sisi dan disisi lain untuk mengurangi beban anggaran negera yang VI-63

9 semakin menipis, telah berdampak terhadap kinerja usaha jasa traktor di Kabupaten Sidrap. Pertanyaannya adalah siapa sajakah yang menanggung dampak tersebut? Apakah seluruhnya ditanggung oleh usaha jasa traktor atau pengguna jasa traktor (petani) atau dibebankan secara adil kepada petani dan usaha jasa traktor? Pada Tabel 2 disajikan perubahan profitabilitas usaha traktor di Kabupaten Sidrap akibat adanya kenaikan harga BBM. Untuk menghindari kerugian, kenaikan harga BBM telah direspon dengan adanya penyesuaian besarnya sewa traktor. Sebelum kenaikan harga BBM, besarnya sewa traktor yang umumnya berlaku di Sidrap adalah Rp /ha dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp /ha (meningkat sebesar 25%). Secara keseluruhan biaya operasional yang harus dikeluarkan usaha jasa ini mengalami peningkatan sekitar 24,82% /ha). Kalau diperinci lebih lanjut, biaya BBM jenis solar dan oli yang dikeluarkan usaha jasa ini meningkat masing-masing 27,27% dan 22,22%, sementara biaya operator meningkat secara proporsional dengan kenaikan sewa traktor, mengingat besarnya ongkos operator 20% dari nilai sewa traktor. Sebelum kenaikan harga BBM rata-rata keuntungan usaha jasa traktor sekitar Rp 131 ribu/ha pada tingkat RCR 1,49 dan setelah kenaikan harga BBM menjadi Rp 189 ribu/ha pada tingkat RCR 1,61. Terlihat bahwa setelah adanya kenaikan harga BBM justru keuntungan yang diterima usaha jasa ini lebih baik dari sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa tambahan biaya operasional akibat adanya kenaikan harga BBM sepenuhnya ditanggung petani. Fakta ini juga menunjukkan bahwa usaha jasa traktor cenderung terlalu tinggi menaikkan sewa traktor, karena pada sewa yang baru keuntungannya semakin membaik secara nominal, juga terjadi kenaikan relatif lebih tinggi dari kenaikan biaya operasional. Tanpa adanya perbaikan harga jual gabah di tingkat petani, maka dapat dipastikan insentif yang diterima petani akan menurun. VI-64

10 Tabel 2. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Traktor di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian 1. Spesifikasi Teknis Satuan Vol. Sebelum Kenaikan BBM Setelah Kenaikan BBM Perubahan Nilai (Rp) Beli 11 juta 11 juta Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi - Luas Pelayanan Jam/ hari Ha/ hari Vol. Nilai (Rp) Nilai (Rp) Biaya Operasional 169, , , Solar Liter 21 1,815 38, ,310 48, , Oli Liter ,900 1, ,100 1, , Perawatan Rp 21, , , Upah Operator Rp 20% 80, % 100, , % Biaya Bunga Rp 28, , Penerimaan Kotor Rp 400, , , Laba Kotor (3-2) Rp 230, ,627-57, Penyusutan Rp 100, , Laba Bersih 130, ,627-57, RCR Rp Biaya Total 269, ,373 42, RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus % Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional traktor tangan Rp /ha atau 41.6 persen. Komponen biaya upah operator mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp /ha atau meningkat sekitar 57 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing masing adalah komponen biaya perawatan Rp /ha (28.4%), Oli Rp. 504/ha (23.3%) dan solar Rp /ha (22.4%) (Tabel 3). Penerimaan dari sewa traktor juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp /ha atau 22.8 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp /ha maka laba bersih usaha jasa traktor meningkat dari Rp /ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp /ha setelah kenaikan atau 14.3 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa traktor belum mampu VI-65

11 Tabel 3. Simulasi Kenaikan BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Traktor Tangan di Indonesia, Agustus Uraian 1. Spesifikasi Teknis Satuan Volume Nilai (Rp) Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Solar Volume Nilai (Rp) Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50% Beli 9,500,000 9,500, ,500,000 9,500,000 9,500,000 9,500,000 Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 119, , , , , , ,439 Solar Liter ,883 38, ,305 47, , ,703 61,428 66,154 70,879 Oli Liter ,450 2, ,050 2, , ,200 3,467 3,734 4,001 Perawatan Rp 17, , , ,800 30,609 33,418 36,227 Upah Operator Rp , , , , , , , Penerimaan Kotor Rp 350, ,000-80, , , , , Laba Kotor (3-2) Rp 230, ,149-30, , , , , Penyusutan Rp 19,000 19,000-19,000-19,000 19,000 19,000 19, Laba Bersih Rp 211, ,149-30, , , , , RCR (0.39) (13.21) Biaya Total Rp 138, ,851 49, , , , , RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus (0.24) (9.57) VI-66

12 menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 2.53 menjadi Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa traktor. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa traktor, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 168 ribu/ha menjadi Rp. 209 ribu/ha. Berturut turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 229 ribu, Rp. 249 ribu dan Rp. 269 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 309 ribu Rp. 380 ribu. Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Pompa Air Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM 2005 Pada usahatani tanaman pangan, pompa air digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman ataupun untuk persiapan pengolahan lahan. Kalau dilihat dari fungsi pompa air untuk usahatani padi atau palawija, maka pompa air digunakan baik untuk musim hujan maupun musim kemarau, baik di sawah irigasi maupun sawah atau lahan tadah hujan. Pada awal musim hujan, sebelum air irigasi masuk mengairi sawah atau air hujan masih belum cukup, maka untuk keperluan pengolahan lahan diperlukan kondisi tanah yang basah sehingga memungkinkan untuk diolah, baik dengan menggunakan traktor, ternak maupun tenaga manusia. Untuk membasahi tanah ini diperlukan air yang berasal dari irigasi pompa. Pada tahap-tahap berikutnya, penggunaan pompa air untuk irigasi bagi tanaman pangan adalah untuk mencukupi kebutuhan air pada saat air irigasi atau air hujan kurang. Dilihat dari asal sumber air yang dipompa, irigasi pompa dapat dibedakan menjadi irigasi pompa bersumber dari air sungai dan dari air sumur. Irigasi pompa yang sumber airnya berasal dari sungai pada umumnya dapat mengairi sawah lebih luas daripada irigasi pompa dari air sumur. Hal ini disebabkan karena debit VI-67

13 pompa air sungai pada umumnya lebih besar dari debit pompa air sumur, sehingga pada umumnya pompa air sungai dipasang dengan mempertimbangkan debit air yang memungkinkan untuk dipompa (Simatupang et al, 1995). Di Kabupaten Nganjuk, kepemilikan pompa air terutama buatan cina sudah banyak dimiliki secara perorangan oleh petani untuk mengairi sawahnya sendiri. Walaupun begitu, masih cukup banyak usaha jasa poma air yang diusahakan melalui kelompok tani untuk mengairi sawah anggotanya atau petani luar anggota yang memerlukan. Salah satu jenis pompa air yang banyak dimiliki atau diusahakan adalah merk Dong Feng dengan tenaga mesin 8.5 PK. Sebelum kenaikan BBM Maret 2005, sebuah pompa air Dong Feng dengan sumber air sumur pantek dapat beroperasi mengair satu hektar sawah dengan biaya operasional rata rata sebesar Rp. 106 ribu (Tabel 4). Komponen biaya operasional terbesarnya adalah upah operator dan solar yang masing masing mencapai Rp dan Rp atau sekitar 51 dan 43 persen dari total biaya operasional. Sementara komponen biaya lainnya yaitu biaya perawatan dan oli totalnya hanya mencapai 5.34 persen. Sewa pompa air di Kabupaten Ngajuk dihitung dalam satuan jam dengan nilai sewa per jam mencapai Rp Jika dalam satu hektar dibutuhkan waktu pengairan 30 jam, maka besar nilai sewa per hektar adalah Rp. 120 ribu. Jika penyusutan per hektar dihitung sebesar Rp , maka laba bersih usaha jasa pompa air sumur pantek mencapai Rp /ha. Dengan memperhitungkan penyusutan kedalam biaya maka besarnya RC rasio dengan biaya total adalah sebesar Setelah kenaikan harga BBM Maret 2005, biaya operasional per hektar usaha jasa pompa air meningkat Rp atau sekitar 15.4 persen. Komponen biaya operasional yang mengalami peningkatan terbesar adalah biaya perawatan yang meningkat sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli, solar dan upah operator meningkat masing masing 28%, 15% dan 11%. Untuk menutupi kenaikan biaya operasional ini maka pengusaha jasa pompa air menaikan pula biaya sewa pompa air rata rata sebesar 25 persen yaitu dari Rp 4.000/ jam menjadi Rp /jam sehingga sewa pompa air per hektar setelah kenaikan BBM mencapai Rp 150 ribu. VI-68

14 Tabel 4. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian Satuan Vol. 1. Spesifikasi Teknis Sebelum Sesudah Perubahan Nilai (Rp) Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Beli 1,900,000 1,900, Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 105, , , Solar Liter ,900 45, ,200 52, , Oli Liter ,500 1, ,000 2, , Perawatan Rp 3, , , Upah Operator Rp 3 18,000 54, ,000 60, ,000 6, Penerimaan Kotor Rp 30 4, ,000 5, ,000 1,000 30, Laba Kotor (3-2) Rp 14,775 28,550-13, Penyusutan Rp 9,500 9, Laba Bersih Rp 5,275 19,050-13, RCR Biaya Total Rp 114, ,950 16, RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus Jika penyusutan diasumsikan tetap yaitu sebesar Rp /ha maka laba bersih usaha jasa pompa air setelah kenaikan BBM meningkat tajam dari Rp 5.275/ ha menjadi Rp atau sekitar 261 persen. Dengan memperhitungkan penyusutan sebagai biaya total maka besarnya RC rasio meningkat dari 1.05 menjadi 1.15 Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, pada usahatani padi sawah irigasi, penggunaan pompa air relatif sangat sedikit, dan itupun pada umumnya digunakan pada musim tanam padi ke tiga (MT III) dan awal musim tanam padi pertama (MT I) ketika kegiatan pengolahan lahan dilakukan. Selain untuk usahatani padi, penggunaan pompa air juga dilakukan pada usahatani lainnya, terutama usahatani jagung dan kacang tanah. Penggunaan pompa pada umumnya banyak dilakukan petani di daerah irigasi sedang dan tadah hujan. Tidak seperti halnya dengan traktor, pompa air pada umumnya hanya dimiliki oleh beberapa petani atau kelompok tani tertentu VI-69

15 saja. Selain digunakan untuk keperluan sendiri atau kelompok, juga disewakan ke petani yang membutuhkannya. Dengan tenaga penggerek 18 PK, pompa air mampu mengairi sekitar 0,33 hektar per hari dengan jam kerja sekitar 10 jam. Sistem pembayaran untuk jasa pompa air adalah sistem bagi hasil dari hasil kotor. Untuk komoditas padi jika solarnya ditanggung oleh pemilik pompa pembagiannya adalah 15% untuk jasa pompa dan 85% untuk petani, sementara untuk palawija 10% untuk jasa pompa dan 90% petani. Jika solarnya ditanggung petani, pada komoditas padi pembagiannya akan mengalami perubahan yaitu 10% untuk jasa pompa dan 90% untuk petani, sementara pada komoditas palawija berubah menjadi 5% untuk jasa pompa dan 95% untuk petani. Sementara besarnya biaya untuk operator baik untuk komoditas padi maupun palawija 30% dari keuntungan. Konsep keuntungan yang disepakti antara pemilik pompa dan operator adalah besarnya selisih antara penerimaan jasa pompa dengan biaya solar dan oli. Komposisi pembagian untuk jasa pompa dan petani atau komposisi untuk upah operator pada semua komoditas tidak mengalami perubahan setelah kenaikan harga BBM. Sebelum adanya kenaikan harga BBM, untuk mengairi lahan seluas satu hektar rata-rata biaya operasional yang dibutuhkan pada usaha jasa pompa sekitar Rp 323 ribu dan setelah adanya kenaikan harga BBM menjadi Rp 356 ribu atau mengalami peningkatan sekitar 10,03% (Tabel 5). Yang cukup menarik bahwa walaupun tidak adanya perubahan komposisi dalam pembagian upah jasa pompa dan upah operator, ternyata keuntungan yang diperoleh pemilik pompa setelah adanya kenaikan harga BBM relatif lebih baik atau meningkat sebesar 8,73% dari Rp 609 ribu/ha menjadi Rp 663 ribu/ha. Tidak adanya perubahan dalam komposisi pembagian, sehingga dapat dipastikan bahwa meningkatnya keuntungan yang diperoleh pemilik pompa akibat tambahan penerimaan karena adanya kenaikan harga komoditas pertanian (dalam kontek ini harga gabah) lebih tinggi dari tambahan biaya operasional yang dikeluarkan, mengingat petani membayar dalam bentuk gabah setelah panen (yarnen). Selain itu, tidak berubahnya komposisi pembagian menunjukkan bahwa meningkatnya biaya operasional akibat kenaikan harga BBM seolah-olah tidak dibebankan kepada petani. Kenapa pemilik pompa tidak mengubah komposisi pembagian tersebut? Salah satu jawabannya mungkin karena pemilik pompa sudah memprediksi akan terjadi kenaikan harga komoditas pertanian, dan bahkan mereka berpikir VI-70

16 tambahan penerimaan akibat kenaikan harga tersebut lebih tinggi dari kenaikan biaya operasional karena kenaikan harga BBM. Jika mereka memprediksi tidak terjadi perubahan harga komoditas pertanian, dapat diduga mereka akan merubah komposisi tersebut, atau jika upah pompa air yang berlaku dalam bentuk uang (bukan bagi hasil) dapat dipastikan mereka juga akan menaikkan sewa pompa. Sehingga kalau dicermati secara mendalam dampak kenaikan harga BBM sebenarnya dibeban juga kepada petani oleh usaha jasa pompa lewat harga komoditas padi yang semakin membaik. Tabel` 5. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Spesifikasi Teknis Uraian Satuan Vol. Sebelum Sesudah Perubahan Nilai (Rp) Beli 2,500,000 2,500, Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 323, , , Solar Liter ,815 33, ,100 39, , Oli Liter ,900 4, ,100 5, , Perawatan Rp 13, , , Upah Operator Rp 271, , , Penerimaan Kotor Rp 942,857 1,028,571-85, Laba Kotor (3-2) Rp 619, ,643-53, Penyusutan Rp 10,000 10, Laba Bersih Rp 609, ,643-53, RCR (0.02) (0.85) 8. Biaya Total Rp 333, ,929 32, RCR Dengan Biaya Total (0.02) (0.58) Sumber : Data Primer, diolah, Agustus Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional pompa air Rp /ha atau 11.3 persen. Komponen biaya perawatan dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing masing sebesar Rp 2.404/ha dan Rp. 852/ha atau meningkat sekitar 27 persen dan 25 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing-masing adalah VI-71

17 komponen biaya solar Rp /ha (15.7%) dan upah operator Rp /ha (9.17%) (Tabel 6). Penerimaan dari sewa pompa air juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp /ha atau 10.9 persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp /ha maka laba bersih usaha jasa traktor meningkat dari Rp /ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp /ha setelah kenaikan atau 10.8 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa traktor terlihat mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang relatif tetap sekitar Dengan terus meningkatnya tren harga minyak dunia maka tentunya pemerintah akan menyesuaikan harga BBM dalam negeri demi mengurangi beban subsidi yang ditanggung pemerintah. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa pompa air. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa pompa air, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 238 ribu/ha menjadi Rp. 273 ribu/ha. Berturut turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 290 ribu, Rp. 307 ribu dan Rp. 325 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa traktor maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 670 ribu Rp. 793 ribu. VI-72

18 Tabel 6. Simulasi Kenaikan BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Pompa Air di Indonesia, Agustus Uraian Satuan Vol. 1. Spesifikasi Teknis Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Solar Nilai (Rp) Nilai (Rp) Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50% Beli 2,200,000 2,200, ,200,000 2,200,000 2,200,000 2,200,000 Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 214, , , , , , ,276 Solar Liter ,858 39, ,150 45, , ,016 59,601 64,185 68,770 Oli Liter ,200 3, ,050 4, , ,037 5,457 5,877 6,297 Perawatan Rp 8, , , ,089 17,033 18,976 20,920 Upah Operator Rp 162, , , , , , , Penerimaan Kotor Rp 531, ,286-57, , , , , Laba Kotor (3-2) Rp 316, ,440-33, , , , , Penyusutan Rp 8,800 8, ,800 8,800 8,800 8, Laba Bersih Rp 308, ,640-33, , , , , RCR (0.01) (0.44) Biaya Total Rp 223, ,646 24, , , , , RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus (0.00) (0.04) VI-73

19 Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Power Thresher Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM 2005 Dalam usahatani padi, thresher merupakan alat untuk merontokkan padi menjadi gabah. Alat ini mrupakan alat bantu bagi tenaga kerja untuk memisahkan gabah menjadi jeraminya. Thresher atau mesin perontok padi digunakan secara luas oleh petani baik di daerah kekurangan tenaga kerja pemanen mauun cukup tenaga kerja. Thresher ini ada dua macam yaitu thresher dengan menggunakan mesin penggerak (power thresher) dan yang tidak menggunakan mesin atau biasa dikenal dengan pedal thresher. Power thresher digerakan dengan menggunakan bahan bakar minyak yaitu solar. Biaya operasional power thresher di Kabupaten Nganjuk sebelum kenaikan BBM Maret 2005 mencapai Rp. 105 ribu (Tabel 7). Komponen biaya terbesar dari biaya operasional adalah upah operator dan solar yang masing masing sebesar Rp /ha dan Rp /ha atau sekitar 51% dan 43%. Tabel 7. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian Satuan Vol. 1. Spesifikasi Teknis Sebelum Sesudah Perubahan Nilai (Rp) VI-74 Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Beli 8,000,000 8,000, Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 105, , , Solar Liter 24 1,900 45, ,300 55, , Oli Liter ,500 1, ,000 2, , Perawatan Rp 3, , , Upah Operator Rp 3 18,000 54, ,000 60, ,000 6, Penerimaan Kotor Rp 120, ,000-60, Laba Kotor (3-2) Rp 14,775 56,150-41, Penyusutan Rp 16,667 16, Laba Bersih Rp (1,892) 39,483-41,375 (2,187) 7. RCR Biaya Total Rp 121, ,517 18, RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus

20 Sewa power thresher per hektar mencapai Rp. 120 ribu sehingga pengusaha memperoleh laba kotor sebesar Rp /ha. Perhitungan penyusutan alat ini per hektarnya ternyata mencapai Rp /ha sehingga secara keseluruhan pengusaha sebenarnya mengalami kerugian sekitar Rp 1.892/ha. Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional meningkat 17.7 persen atau meningkat Rp /ha sehingga biaya operasionalnya menjadi Rp / ha. Komponen biaya perawatan mengalami peningkatan tertinggi sebesar Rp /ha atau sekitar 67 persen. Sementara komponen biaya lainnya yaitu oli, solar dan upah operator meningkat berturut turut sebesar 28%, 21% adn 11%. Untuk mengimbangi peningkatan biaya operasional ini maka pengusaha jasa power thresher ini meningkatkan sewa power thresher ini sebesar Rp /ha atau sekitar 50 persen, menjadi Rp. 180 ribu/ha. Peningkatan ini mampu menutup peningkatan biaya operasional, sehingga pengusaha mempeoleh laba kotor sekitar Rp /ha atau meningkat Rp /ha dibandingkan sebelum kenaikan BBM. Laba kotor ini meningkat hampir tiga kali lipat sehingga jika diasumsikan penyusutan tetap nilainya maka laba bersih yang diperoleh pengusaha power thresher akibat kenaikan harga BBM mencapai Rp /ha. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan dalam total biaya maka RC rasio usaha jasa power thresher pasca kenaikan BBM Maret 2005 menjadi Di Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, penggunaan thresher khususnya untuk merontok padi tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan varietas unggul baru berumur pendek dan mudah dirontok. Terdapat variasi kegiatan dalam penggunaan thresher di Kabupaten Sidrap. Di beberapa lokasi, penggunaan thresher menjadi satu kesatuan dengan tenaga kerja panen dan di beberapa lokasi lainnya penggunaan thresher tidak menyatu dengan tenaga panen. Dengan tenaga penggerak mesin 6,5 PK, kecepatan merontok padi ratarata 6 jam per hektar. Dalam setahun luasan tanaman padi yang bisa dirontok berkisar hektar. VI-75

21 Baik sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, secara keseluruhan ongkos jasa thresher dan panen (sabit) tidak mengalami perubahan yaitu 14,3% (1/7) dari produksi padi. Namun dalam pembagian antara tenaga penyabit dan jasa thresher terjadi perubahan yaitu sebelum kenaikan harga BBM dari 14,3% tersebut, 25% untuk jasa thresher dan 75% tenaga penyabit dan setelah kenaikan harga BBM menjadi 30% jasa thresher dan 70% tenaga penyabit. Ongkos operator yang harus dibayar pemilik power thresher juga berubah dari Rp 1500/orang/hari menjadi Rp 2000/orang/hari. Jumlah operator berkisar 8 orang. Selain sebagai operator, mereka juga sekaligus berperan sebagai tenaga penyabit, sehingga penerimaan mereka setelah adanya kenaikan harga BBM sekitar Rp 2000/hari lebih tinggi dari tenaga penyabit. Perubahan kinerja usaha jasa power thresher dengan adanya kenaikan harga disajikan pada Tabel 8. Setelah kenaikan harga BBM, biaya operasional (termasuk biaya tenaga sabit) usaha jasa power thresher meningkat sebesar 9,32%, dari Rp 793 ribu/ha menjadi Rp 867 ribu/ha. Namun demikian, dengan membaiknya harga komoditas padi dan adanya perubahan komposisi pembagian untuk tenaga penyabit menyebabkan penerimaan dan keuntungan usaha jasa ini meningkat masing-masing Rp 9,24% (Rp 943 ribu/ha menjadi Rp 1028 ribu/ha) dan 8,96% ( Rp 134 ribu/ha menjadi Rp 146 ribu/ha). Fenomena di atas juga menunjukkan kalau dicermati secara mendalam bahwa kenaikan harga BBM selain dibebankan ke tenaga penyabit (dengan berubahnya komposisi pembagian) juga secara tidak langsung dibebankan ke petani lewat kenaikan harga gabah (walaupun komposisi pembagian tidak berubah). Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional Power Thresher Rp /ha atau persen. Komponen biaya solar dan oli mengalami peningkatan tertinggi masing-masing sebesar Rp /ha dan Rp. 534/ha atau meningkat sekitar persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing masing adalah komponen biaya perawatan Rp /ha (14.4%) dan upah operator Rp /ha (9.2%) (Tabel 9). VI-76

22 Tabel 8. Perubahan Profitabilitas per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian Satuan Vol. 1. Spesifikasi Teknis Sebelum Sesudah Perubahan Nilai (Rp) Beli 4,700,000 4,700, Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 792, , ,826 9,33 Solar Liter ,815 11, ,310 14, , Oli Liter ,900 2, ,100 2, , Perawatan Rp 25, , ,667 (0.08) Upah Operator Rp 754, , ,571 (0.19) 3. Penerimaan Kotor Rp 942,847 1,028,560-85,713 9,24 4. Laba Kotor (3-2) Rp 149, ,885-11, Penyusutan Rp 15,667 15, Laba Bersih Rp 134, ,219-11,887 8,96 7. RCR (0.00) - 8. Biaya Total Rp 808, ,341 73, RCR Dengan Biaya Total (0.00) - Sumber : Data Primer, diolah, Agustus Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Penerimaan dari sewa power thresher juga mengalami peningkatan pasca kenaikan BBM sebesar Rp /ha atau persen. Dengan memperhitungkan biaya penyusutan yang tetap antara sebelum dan sesudah kenaikan BBM sebesar Rp /ha maka laba bersih usaha jasa power thresher meningkat dari Rp /ha sebelum kenaikan BBM menjadi Rp /ha setelah kenaikan atau 45.7 persen. Tetapi secara umum peningkatan nilai sewa power thresher mampu menutup kenaikan biaya total akibat kenaikan BBM. Hal ini ditunjukkan dengan nilai RC rasio yang turun dari 1.18 menjadi Rencana pemerintah menaikan harga BBM akhir tahun 2005 juga akan berpengaruh terhadap peningkatan biaya operasional dan sewa power thresher. Berdasarkan simulasi kenaikan harga BBM terhadap perubahan biaya dan penerimaan per hektar usaha jasa power thresher, yaitu sebesar 20%, 30%, 40% dan 50% dari harga BBM solar sekarang, terlihat bahwa jika harga solar naik 20% dari harga kini, biaya operasional meningkat dari sekitar Rp. 495 ribu/ha menjadi Rp. 538 ribu/ha. Berturut turut jika harga minyak solar dinaikkan 30%, 40% dan VI-77

23 Tabel 9. Simulasi Kenaikan BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Hektar Usaha Jasa Power Thresher di Indonesia, Agustus Uraian Satuan Vol. 1. Spesifikasi Teknis Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikan Solar Nilai (Rp) Nilai (Rp) Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50% Beli 6,350,000 6,350, ,350,000 6,350,000 6,350,000 6,350,000 Tenaga Mesin PK Umur Ekonomis Tahun Kemampuan Kerja Jam Operasi Jam/hari Luas Pelayanan Ha/hari Biaya Operasional 448, , , , , , ,601 Solar Liter ,858 28, ,305 34, , ,836 45,322 48,808 52,295 Oli Liter ,200 2, ,050 2, , ,161 3,425 3,688 3,952 Perawatan Rp 14, , , ,439 19,429 20,419 21,409 Upah Operator Rp 404, , , , , , , Penerimaan Kotor Rp 531, ,280-72, , , , , Laba Kotor (3-2) Rp 82, ,900-26, , , , , Penyusutan Rp 25,400 25, ,400 25,400 25,400 25, Laba Bersih Rp 57,315 83,500-26, , , , , RCR Biaya Total Rp 474, ,780 46, , , , , RCR Dengan Biaya Total Sumber : Data Primer, diolah, Agustus VI-78

24 50%, biaya operasional meningkat menjadi Rp. 560 ribu, Rp. 581 ribu dan Rp. 603 ribu per hektar. Untuk mempertahankan atau meningkatkan kelayakan usaha jasa power thresher maka pengusaha harus menaikkan harga sewa per hektarnya sekitar Rp. 673 ribu Rp. 776 ribu. Perkembangan Profitabilitas Usaha Jasa Penggilingan Padi Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM 2005 Usaha jasa penggilingan padi merupakan salah satu usaha yang menggunakan mesin mesin penggerak dengan bahan bakar utamanya adalah solar. Oleh sebab itu, peningkatan harga BBM pada bulan Maret 2005 juga menyebabkan peningkatan biaya operasional dan sewa. Di Kabupaten Nganjuk, biaya penggilingan per kuintal gabah menjadi beras dengan menggunakan dua mesin yaitu pecah kulit dan pemutih sebelum kenaikan BBM adalah sebesar Rp (Tabel 10). Dari empat komponen utama biaya operasional yaitu biaya solar, oli, perawatan dan upah operator terlihat bahwa pangsa komponen biaya terbesar adalah biaya perawatan yang mencapai persen. Tabel 10. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di Kabupaten Nganjuk Propinsi Jawa Timur Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian Satuan Volume Sebelum Setelah Perubahan Nilai (Rp) Volume Nilai (Rp) A. BIAYA 2, , Solar Lt , , Oli Lt , , Perawatan , Upah Operator , Penyusutan B.PENERIMAAN kg beras ,300 7, ,700 10, , KEUNTUNGAN 4,575 7,017-2, RCR Sumber : Data Primer, diolah, Agustus Nilai (Rp) % Cara pembayaran sewa penggilingan padi kebanyakan menggunakan sistim bawon. Sistim bawon yang berlaku di Kabupaten Nganjuk adalah jika diperoleh 1 kuintal beras maka yang harus dikeluarkan oleh petani adalah sebanyak 5 kg beras sebagai bayar sewanya. Berdasarkan survey lapang VI-79

25 diketahui bahwa setiap petani menggilingkan 1 kuintal gabah, dengan rendemen rata rata persen, maka petani harus mengeluarkan sekitar 3.2 kg beras. Jika harga beras sebelum kenaikan BBM mencapai Rp /kg maka nilai sewa penggilingan 1 kuintal gabah adalah sebesar Rp /kuintal gabah. Besarnya nilai sewa ini memberikan keuntungan kepada pengusaha penggilingan padi sebesar Rp /kuintal gabah petani. RC rasio usaha penggilingan padi di Kabupaten Nganjuk ini rata rata mencapai Setelah terjadinya kenaikan BBM, terjadi peningkatan biaya operasional per kuintal gabah sebesar Rp. 566 atau meningkat sekitar 20 persen. Peningkatan terbesar komponen biaya operasional ini adalah upah operator yang meningkat Rp. 300/kw gabah atau sebesar 40.9 persen, diikuti komponen biaya lainnya yaitu solar, perawatan dan oli yang masing masing meningkat 16, 15 dan 8 persen. Untuk mempertahankan tingkat kelayakan usaha penggilingan padi ini, maka antisipasi peningkatan biaya operasional ini adalah dengan menaikan sewa penggilingan padi. Melalui sistim bawon yang berlaku maka setiap 1 kuintal beras hasil giling yang tadinya diambil 5 kg beras, setelah kenaikan BBM menjadi 6 kg beras. Sebenarnya peningkatan biaya bawon ini tampaknya tidak terlalu besar. tetapi karena harga beras yang pada saat survey ini sedang tinggi menyebabkan pengusaha penggilingan memperoleh keuntungan dari kenaikan harga beras tersebut sehingga kenaikan harga BBM ini meningkatkan perolehan laba usaha jasa penggilingan padi sebesar Rp /kw gabah atau meningkat sekitar 53 persen. RC rasio pun meningkat dari 2.64 sebelum kenaikan BBM menjadi 3.09 setelah kenaikan BBM. Selain berpengaruh pada kegiatan produksi padi, kenaikan harga BBM juga mempengaurhi kinerja usaha penggilingan padi (RMU) di Kabupaten Sidrap. Kenaikan harga BBM telah merubah pembayaran ongkos giling dalam bentuk natura, yaitu sebelum kenaikan harga berlaku dari 12 kg beras yang dihasilkan dari penggilingan dipotong 1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,86% untuk pemilik beras dan 7,14% untuk jasa RMU (1 lt = 0,8 kg), sementara setelah kenaikan harga BBM dari 10 kg beras yang dihasilkan dari penggilingan dipotong 1 liter untuk jasa penggilingan atau 92,0% untuk pemilik beras dan 8,0% untuk jasa RMU (1 lt = 0,8 kg). Dalam proses penggilingan dari 100 kg GKG biasanya dihasilkan kg beras, 10 kg dedak/bekatul, 2 kg menir dan sisanya sekam. VI-80

26 Bekatul/dedak dan menir pada umumnya diambil pemilik beras (petani). dedak di Sidrap berkisar Rp /kg. Kenaikan harga BBM menyebabkan biaya operasional yang dikeluarkan usaha jasa RMU meningkat sekitar 16,03%, dari Rp 35/kg GKG menjadi Rp 406/kg GKG (Tabel 11). Sementara itu, setelah kenaikan harga BBM dengan berubahnya sewa penggilingan dan membaiknya harga beras menyebabkan penerimaan dan keuntungan yang diperoleh usaha jasa ini meningkat masingmasing 6,38% (Rp 99/kg GKG menjadi Rp 105/kg GKG) dan 1,08% (Rp 63,7/kg GKG menjadi 64,4/kg GKG). Fakta ini menunjukkan bahwa kenaikan biaya operasional akibat kenaikan harga BBM sepenuhnya dibebankan ke pengguna jasa RMU (petani) baik melalui perbaikan harga beras maupun melalui perubahan komposisi sewa. Tabel 11. Perubahan Profitabilitas Usaha Penggilingan Padi per Kuintal Gabah di Kabupaten Sidrap Propinsi Sulawesi Selatan Sebelum dan Sesudah Kenaikan BBM Maret Uraian Satuan Volume Sebelum Sesudah Perubahan Nilai (Rp) Volume A. BIAYA 3, , Solar Lt , , Oli Lt , , , Perawatan 1, , Upah Operator , Penyusutan B.PENERIMAAN kg beras ,350 9, ,500 10, KEUNTUNGAN 6,368 6, RCR (0.23) (8.31) Sumber : Data Primer, diolah, Agustus Nilai (Rp) Nilai (Rp) % Pada tingkat nasional, kenaikan harga BBM meningkatkan biaya operasional penggilingan padi Rp. 565/kw gabah atau 17.9 persen. Komponen upah operator dan solar mengalami persentase peningkatan tertinggi masing masing sebesar sekitar 21 persen. Komponen biaya lainnya juga mengalami peningkatan masing masing adalah komponen biaya perawatan sebesar persen dan oli (Tabel 12). VI-81

27 Tabel 12. Simulasi Kenaikan BBM Terhadap Perubahan Biaya dan Penerimaan per Kuintal Gabah Usaha Penggilingan Padi di Indonesia, Agustus Uraian Satuan Volume Nilai (Rp) Sebelum Sesudah Perubahan Simulasi Kenaikkan Solar Volume Nilai (Rp) Nilai (Rp) % 20% 30% 40% 50% A. BIAYA 3, , ,351 4,673 4,995 5, Solar Lt , , ,051 1,132 1, Oli Lt , , , Perawatan 1, , ,559 1,671 1,783 1, Upah Operator , ,247 1,348 1,450 1, Penyusutan B.PENERIMAAN kg beras ,325 8, ,600 9, , ,465 12,205 12,946 13,686 KEUNTUNGAN 5,460 6, ,114 7,532 7,951 8,369 RCR (0.04) (1.63) Sumber : Data Primer, diolah, Agustus VI-82

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH

DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP KINERJA PERTANIAN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENYESUAIAN HPP GABAH Ketut Kariyasa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebiijakan Pertanian Jln. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Lebih terperinci

PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA USAHATANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA USAHATANI PADI DI SULAWESI TENGGARA PENGARUH KENAIKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK TERHADAP KINERJA USAHATANI PADI DI SULAWESI TENGGARA AMIRUDDIN SYAM, DEWI SAHARA DAN DAHYA Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tenggara, Kendari ABSTRACT

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Tinjauan Umum Lokasi Penggilingan Padi Kelurahan Situ Gede adalah suatu kelurahan yang berada di Kecamatan Bogor Barat. Berdasarkan data monografi Kelurahan Situ Gede pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia

I. PENDAHULUAN. bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian petani. Meskipun Indonesia negara agraris namun Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah,

I. PENDAHULUAN. Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Tanaman pangan yang antara lain terdiri atas padi, jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar merupakan komoditas pertanian yang paling

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 No. 70/12/72/Th. XVII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PER MUSIM TANAM UNTUK SATU HEKTAR LUAS PANEN PADI SAWAH PADA TAHUN 2014 SEBESAR Rp

Lebih terperinci

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI

VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI VI. ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI 6.1. Keragaan Usahatani Padi Keragaan usahatani padi menjelaskan tentang kegiatan usahatani padi di Gapoktan Jaya Tani Desa Mangunjaya, Kecamatan Indramayu, Kabupaten

Lebih terperinci

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH

JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH JUSTIFIKASI DAN RESIKO PENINGKATAN HARGA DASAR GABAH PEMBELIAN PEMERINTAH Dilihat dari segi kandungan proteksi dan kemampuan untuk mengefektifkannya, harga dasar gabah pembelian pemerintah (HDPP) yang

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA BARAT

BPS PROVINSI JAWA BARAT BPS PROVINSI JAWA BARAT BADAN PUSAT STATISTIK No. 66/12/32/Th.XVI, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PER MUSIM TANAM UNTUK SATU HEKTAR LUAS

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT No. 71/12/ Th. XVII, Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI DAN JAGUNG TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PER MUSIM TANAM UNTUK SATU HEKTAR LUAS PANEN

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Petani Responden 1. Umur, Tingkat Pendidikan, dan Pengalaman berusahatani Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan, diperoleh hasil komposisi umur kepala keluarga

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

III. METODE PENELITIAN. Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah III. METODE PENELITIAN Metode dasar penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis. Metode ini digunakan untuk menggali fakta- fakta di lapangan kemudian dianalisis dan

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI JAWA TENGAH TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI JAWA TENGAH TAHUN 2014 No. 75/12/33 Th. VIII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI JAWA TENGAH TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PER MUSIM TANAM UNTUK SATU HEKTAR LUAS PANEN PADI SAWAH PADA TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 PROVINSI SULAWESI SELATAN

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 PROVINSI SULAWESI SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 70/12/73/Th. II, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI TAHUN 2014 PROVINSI SULAWESI SELATAN TOTAL BIAYA PER MUSIM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK

ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK 1 ANALISIS USAHATANI PADI SAWAH DI DESA KEMUNING MUDA KECAMATAN BUNGARAYA KABUPATEN SIAK FARMING ANALYSIS OF PADDY IN KEMUNINGMUDA VILLAGE BUNGARAYA SUB DISTRICT SIAK REGENCY Sopan Sujeri 1), Evy Maharani

Lebih terperinci

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi

7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi 7. Pencapaian Luas Tanam, Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Padi Komoditi padi sebagai bahan konsumsi pangan pokok masyarakat, tentunya telah diletakkan sebagai prioritas dan fokus kegiatan program

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN ALSINTAN

KEBIJAKAN PENGELOLAAN ALSINTAN PENGEMBANGAN MEKANISASI PERTANIAN MENUJU PERTANIAN MODERN KEBIJAKAN PENGELOLAAN ALSINTAN 1. Pengelolaan Alsintan Melalui Brigade Tanam: a. Bersifat task force b. Dikelola oleh Dinas Pertanian Propinsi

Lebih terperinci

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional.

pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. pelaksanaan pencapaian ketahanan pangan dan kemandirian pangan nasional. 2.2. PENDEKATAN MASALAH Permasalahan yang dihadapi dalam upaya pencapaian surplus 10 juta ton beras pada tahun 2014 dirumuskan menjadi

Lebih terperinci

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1 Sudi Mardianto, Ketut Kariyasa, dan Mohamad Maulana Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI

BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI BAB VII ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI 7.1. Produktivitas Usahatani Produktivitas merupakan salah satu cara untuk mengetahui efisiensi dari penggunaan sumberdaya yang ada (lahan) untuk menghasilkan keluaran

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT Rachmat Hendayana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Jl Tentara Pelajar, 10 Bogor ABSTRAK Makalah

Lebih terperinci

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2014

STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 BADAN PUSAT STATISTIK No. 59/12/36/ Th. VIII, 23 Desember 2014 STRUKTUR ONGKOS USAHA TANAMAN PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2014 TOTAL BIAYA PER MUSIM TANAM UNTUK SATU HEKTAR LUAS PANEN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Desa Cihideung Ilir merupakan salah satu desa dari 13 (tiga belas) desa yang terdapat di kecamatan Ciampea, dan wilayahnya masuk dalam Kabupaten

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya.

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. menggunakan pengalaman, wawasan, dan keterampilan yang dikuasainya. V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Profil Petani Petani adalah pelaku usahatani yang mengatur segala faktor produksi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kualitas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS BESARAN SUBSIDI PUPUK DAN POLA DISTRIBUSINYA Oleh : Nizwar Syafa at Adreng Purwoto M. Maulana Chaerul Muslim PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

Lebih terperinci

Oleh : Suyono,*Martono Achmar,** ABSTRACT

Oleh : Suyono,*Martono Achmar,** ABSTRACT DAMPAK KENAIKAN HARGA BBM TERHADAP PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH DI DESA BUGEMAN KEC. KENDIT (Studi Kasus Di Desa Bugeman Kecamatan Kendit Kabupaten Situbondo) Oleh : Suyono,*Martono Achmar,** ABSTRACT

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN 4.. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten PPU secara geografis terletak pada posisi 6 o 9 3-6 o 56 35 Bujur Timur dan o 48 9 - o 36 37 Lintang

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian Februari 2011 ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki lahan pertanian yang sangat luas dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani. Jawa Barat merupakan

Lebih terperinci

METODOLOGI. Waktu dan Tempat. Alat dan Bahan. Metode Penelitian

METODOLOGI. Waktu dan Tempat. Alat dan Bahan. Metode Penelitian 15 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama ±3 bulan dimulai dari Februari sampai April 2013 yang berlokasikan di Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN

ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN ANALISIS USAHATANI PADI DAN PALAWIJA PADA LAHAN KERING DI KALIMANTAN SELATAN (Studi Kasus di Desa Budi Mulia, Kabupaten Tapin) Oleh : Adreng Purwoto*) Abstrak Di masa mendatang dalam upaya mencukupi kebutuhan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui pembangunan di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Hasil dari

BAB I PENDAHULUAN. melalui pembangunan di berbagai bidang terutama bidang ekonomi. Hasil dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan salah satu Negara yang sedang berkembang dimana pemerintah selalu berusaha untuk meningkatkan tarif hidup masyarakat dengan melalui pembangunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN Tinjauan Pustaka Menurut Tharir (2008), penggilingan padi merupakan industri padi tertua dan tergolong paling besar di Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Usahatani tembakau sendiri merupakan salah satu usahatani yang memiliki

BAB III METODE PENELITIAN. Usahatani tembakau sendiri merupakan salah satu usahatani yang memiliki 22 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran Tembakau merupakan salah satu tanaman yang memberikan kontribusi besar kepada negara Indonesia yaitu sebagai salah satu penghasil devisa negara. Usahatani

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH Oleh: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian TUJUAN KEBIJAKAN DAN KETENTUAN HPP Harga jual gabah kering panen (GKP) petani pada saat panen raya sekitar bulan Maret-April

Lebih terperinci

STUDI TENTANG PENDAPATAN USAHATANI TANAMAN HIAS DAN TANAMAN SAYUR DI KOTA BATU JAWA TIMUR PENDAHULUAN

STUDI TENTANG PENDAPATAN USAHATANI TANAMAN HIAS DAN TANAMAN SAYUR DI KOTA BATU JAWA TIMUR PENDAHULUAN P R O S I D I N G 360 STUDI TENTANG PENDAPATAN USAHATANI TANAMAN HIAS DAN TANAMAN SAYUR DI KOTA BATU JAWA TIMUR Hendro Prasetyo¹ dan Robi atul Adawiyah² 1 ) Mahasiswa Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Lebih terperinci

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO

SURYA AGRITAMA Volume I Nomor 1 Maret 2012 KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO KERAGAAN USAHATANI PADI SAWAH PETANI GUREM DI DESA MLARAN KECAMATAN GEBANG KABUPATEN PURWOREJO Purwanto 1) dan Dyah Panuntun Utami 2) 1)Alumnus Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian 2) Dosen Program

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN

ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN ANALISIS USAHATANI JAGUNG HIBRIDA PADA AGROEKOSISTEM LAHAN TADAH HUJAN Bunyamin Z. dan N.N. Andayani Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Jagung sebagian besar dihasilkan pada lahan kering dan lahan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR

VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR VIII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI UBI JALAR 8.1 Penerimaan Usahatani Ubi Jalar Penerimaan usahatani ubi jalar terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah negara pengekspor beras. Masalah ketahanan pangan akan lebih ditentukan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sebuah negara pengekspor beras. Masalah ketahanan pangan akan lebih ditentukan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen beras yang besar, tetapi kebutuhan konsumsi beras dan pertumbuhan penduduk yang besar menyebabkan Indonesia tidak mampu menjadi

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG DAN KEDELAI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN (ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG DAN KEDELAI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN (ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015) BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 42/07/73/Th. VIII, 1 Juli 201530 PRODUKSI PADI, JAGUNG DAN KEDELAI DI PROVINSI SULAWESI SELATAN (ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015) 1. A. PADI Angka Tetap (ATAP)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pulahenti, Kecamatan Sumalata, Kabupaten Gorontalo Utara. Waktu penelitian dilaksanakan selama tiga bulan yaitu

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai Analisis Pendapatan Usahatani Ubi Jalar ini dilakukan di Desa Gunung Malang yang berada di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Laju peningkatan produktivitas tanaman padi di Indonesia akhir-akhir ini cenderung melandai, ditandai salah satunya dengan menurunnya produksi padi sekitar 0.06 persen

Lebih terperinci

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional

Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional Inovasi Pertanian Sumatera Selatan Mendukung Swasembada Beras Nasional Dewasa ini, Pemerintah Daerah Sumatera Selatan (Sumsel) ingin mewujudkan Sumsel Lumbung Pangan sesuai dengan tersedianya potensi sumber

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN AGROINDUSTRI GETUK GORENG DI KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS

STUDI KELAYAKAN AGROINDUSTRI GETUK GORENG DI KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS 121 STUDI KELAYAKAN AGROINDUSTRI GETUK GORENG DI KECAMATAN SOKARAJA KABUPATEN BANYUMAS Siti Mutmainah, Dumasari, dan Pujiharto Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Purwokerto Jl. Raya Dukuhwaluh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SILIWANGI

Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SILIWANGI KELAYAKAN USAHATANI CABAI MERAH DENGAN SISTEM PANEN HIJAU DAN SISTEM PANEN MERAH (Kasus Pada Petani Cabai di Kecamatan Sariwangi Kabupaten Tasikmalaya) Oleh : DEDI DJULIANSAH DOSEN PRODI AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN

VII ANALISIS PENDAPATAN VII ANALISIS PENDAPATAN Analisis pendapatan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi penerimaan, biaya, dan pendapatan dari usahatani padi sawah pada decision making unit di Desa Kertawinangun pada musim

Lebih terperinci

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani.

sosial yang menentukan keberhasilan pengelolaan usahatani. 85 VI. KERAGAAN USAHATANI PETANI PADI DI DAERAH PENELITIAN 6.. Karakteristik Petani Contoh Petani respoden di desa Sui Itik yang adalah peserta program Prima Tani umumnya adalah petani yang mengikuti transmigrasi

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN BEBER KABUPATEN CIREBON. A. Jaenudin Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon

STUDI PENGEMBANGAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN BEBER KABUPATEN CIREBON. A. Jaenudin Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon STUDI PENGEMBANGAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KECAMATAN BEBER KABUPATEN CIREBON Jaenudin Fakultas Pertanian Unswagati Cirebon Jurnal AGRIJATI 2 (1), April 2006 ABSTRAK Lahan pertanian dan keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI PADI SEHAT 7.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Penerimaan usahatani padi sehat terdiri dari penerimaan tunai dan penerimaan diperhitungkan. Penerimaan tunai adalah penerimaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan salah satu komoditas pangan yang paling dominan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dimana padi merupakan bahan makanan yang mudah diubah menjadi

Lebih terperinci

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1 Kebijakan pemberian subsidi, terutama subsidi pupuk dan benih yang selama ini ditempuh

Lebih terperinci

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN

VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN VII. DAMPAK PERUBAHAN FAKTOR-FAKTOR EKONOMI TERHADAP KETAHANAN PANGAN RUMAHTANGGA PERTANIAN 7.1. Hasil Validasi Model Simulasi model dilakukan untuk menganalisis dampak perubahan berbagai faktor ekonomi

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kertawinangun, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani

Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani 92 Laporan Tahunan 2015: Inovasi Pertanian Bioindustri Menuju Kedaulatan Pangan dan Kesejahteraan Petani Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya padi dihadapkan pada beberapa permasalahan,

Lebih terperinci

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) BPS PROVINSI JAWA TIMUR PRODUKSI PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI (Angka Ramalan II Tahun 2014) No. 75/11/35/Th.XII, 3 November 2014 A. PADI Produksi Padi Provinsi Jawa Timur berdasarkan Angka Ramalan II (ARAM

Lebih terperinci

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN Latar Belakang Beras berperan besar dalam hidup dan kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia, khususnya golongan menengah kebawah. Bahkan

Lebih terperinci

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

III. METODELOGI PENELITIAN. untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan III. METODELOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional mencakup pengertian yang dipergunakan untuk mendapatkan dan menganalisis data sesuai dengan tujuan

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH No. 046/11/12/Th.VI. 01 November 2012 PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2012) Sampai dengan Subrorund II (Januari-Agustus) tahun 2012,

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA MAHASISWA FIELDTRIP MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) ASPEK SOSIAL EKONOMI

LEMBAR KERJA MAHASISWA FIELDTRIP MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) ASPEK SOSIAL EKONOMI LEMBAR KERJA MAHASISWA FIELDTRIP MANAJEMEN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) ASPEK SOSIAL EKONOMI Kegiatan 1 1. Secara berkelompok mahasiswa diminta untuk mengidentifikasi asset sumber daya yang terkait dengan

Lebih terperinci

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung Siwi Purwanto Direktorat Budi Daya Serealia, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan PENDAHULUAN Jagung (Zea mays) merupakan salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Permalan mempunyai peranan penting dalam pengambilan keputusan, untuk perlunya dilakukan tindakan atau tidak, karena peramalan adalah prakiraan atau memprediksi peristiwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian survey. Dalam penelitian ini data yang diperlukan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data

Lebih terperinci

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM

V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM V. KEBIJAKAN, STRATEGI, DAN PROGRAM Hingga tahun 2010, berdasarkan ketersediaan teknologi produksi yang telah ada (varietas unggul dan budidaya), upaya mempertahankan laju peningkatan produksi sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2010 DAN ANGKA RAMALAN I 2011)

PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA 2010 DAN ANGKA RAMALAN I 2011) PERKEMBANGAN PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA No. 05/03/72/Th. XIII, 1 Maret 2011 (ANGKA SEMENTARA 2010 DAN ANGKA RAMALAN I 2011) A. PADI Angka Sementara (ASEM) produksi padi Propinsi Sulawesi Tengah tahun 2010

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Bambang Santosa, M.Sc NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember Direktur Alat dan Mesin Pertanian, Ir. Bambang Santosa, M.Sc NIP KATA PENGANTAR Direktorat Alat dan Mesin Pertanian merupakan salah satu unit kerja Eselon II di Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, pada tahun 2013

Lebih terperinci

THE STRUCTURE OF THE COST AND THE PROFITABILITY OF THE FARMING OF THE FOOD CROP (Paddy, Corn, and Soybeans)

THE STRUCTURE OF THE COST AND THE PROFITABILITY OF THE FARMING OF THE FOOD CROP (Paddy, Corn, and Soybeans) STRUKTUR BIAYA DAN PROFITABILITAS USAHATANI TANAMAN PANGAN (Padi, Jagung, dan Kedelai) THE STRUCTURE OF THE COST AND THE PROFITABILITY OF THE FARMING OF THE FOOD CROP (Paddy, Corn, and Soybeans) Oleh:

Lebih terperinci

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN

1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN GOL. LUAS LAHAN (m 2 ) 1. JUMLAH RTUP MENURUT GOL. LUAS LAHAN ST.2003 ST.2013 PERUBAHAN RTUP RTUP (juta) (%) (juta) (juta) < 1000 9.38 4.34-5.04-53.75 1000-1999 3.60 3.55-0.05-1.45 2000-4999 6.82 6.73-0.08-1.23

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, artinya sektor pertanian memegang peranan penting dalam tatanan pembangunan nasional. Peran yang diberikan sektor pertanian antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap

BAB I PENDAHULUAN. mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian di bidang pertanian. Sektor pertanian pada setiap tahap pembangunan di Indonesia,

Lebih terperinci

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006

KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 KONSTRUKSI KEBIJAKAN SUBSIDI PUPUK TAHUN 2006 Ringkasan Eksekutif 1. Konstruksi dasar kebijakan subsidi pupuk tahun 2006 adalah sebagai berikut: a. Subsidi pupuk disalurkan sebagai subsidi gas untuk produksi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara Agraris dimana sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani. Hal ini di dukung dengan kenyataan bahwa di Indonesia tersedia

Lebih terperinci

AGUS PRANOTO

AGUS PRANOTO ANALISIS USAHA PENGGILINGAN PADI DI DESA RAMBAH BARU KECAMATAN RAMBAH SAMO KABUPATEN ROKAN HULU ARTIKEL ILMIAH Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE KERJA 1. Lokasi dan Waktu 2. Pengumpulan data

III. METODE KERJA 1. Lokasi dan Waktu 2. Pengumpulan data III. METODE KERJA 1. Lokasi dan Waktu Kajian dilakukan terhadap usahatani beberapa petani sawah irigasi di desa Citarik kecamatan Tirta Mulya Kabupaten Karawang. Pemilihan lokasi terutama didasarkan pada

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) 74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indonesia merupakan negara agraris dimana pertanian memegang peranan penting pada perekonomian nasional. Untuk mengimbangi semakin pesatnya laju pertumbuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi 1.2. Penggilingan Padi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Alat Pengolahan Padi Umumnya alat pengolahan padi terdiri dari berbagai macam mesin, yaitu mesin perontok padi, mesin penggiling padi, mesin pembersih gabah, mesin penyosoh beras,

Lebih terperinci

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan

Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi. I. Pendahuluan 6 Bab V. Analisis Kebijakan Kapital, Sumberdaya Lahan dan Air Kebijakan PSO/Subsidi Pupuk dan Sistem Distribusi I. Pendahuluan Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub sektor pertanian tanaman pangan memiliki peranan sebagai penyedia bahan pangan bagi penduduk Indonesia yang setiap tahunnya cenderung meningkat seiring dengan pertambahan

Lebih terperinci

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) BAB II PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS) Agung Prabowo, Hendriadi A, Hermanto, Yudhistira N, Agus Somantri, Nurjaman dan Zuziana S

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VI. ANALISIS BIAYA USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL Sistem Pertanian dengan menggunakan metode SRI di desa Jambenenggang dimulai sekitar tahun 2007. Kegiatan ini diawali dengan adanya

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data

IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2 Jenis dan Sumber Data IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara yang bergerak dibidang pertanian.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu Negara yang bergerak dibidang pertanian. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu Negara yang bergerak dibidang pertanian. Sekitar 60% penduduknya tinggal di daerah pedesaan dan bermata pencaharian sebagai

Lebih terperinci

Analis Pendapatan Usaha Tani Padi dengan Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA) di Kelurahan Padangsappa Kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu

Analis Pendapatan Usaha Tani Padi dengan Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA) di Kelurahan Padangsappa Kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu Analis Pendapatan Usaha Tani Padi dengan Sistem Tanam Benih Langsung (TABELA) di Kelurahan Padangsappa Kecamatan Ponrang Kabupaten Luwu Idawati Universitas Andi Djemma Palopo ABSTRAK Tujuan dari penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang

I. PENDAHULUAN. bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tercatat bahwa dari 38,29 juta orang penduduk Indonesia bermata

Lebih terperinci

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI

ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI ANALISIS USAHATANI TERPADU TANAMAN PADI (Oriza sativa L) DAN TERNAK ITIK PETELUR (Studi Kasus di Kelompok Mukti Tani Desa Banjarsari Kecamatan Sukaresik Kabupaten Tasikmalaya) Oleh: Ai Indah Perwati, Dedi

Lebih terperinci

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI ACEH TIMUR PERATURAN BUPATI ACEH TIMUR NOMOR 09 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PENGELOLAAN ADMINISTRASI DAN KEUANGAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN (ALSINTAN) POLA KERJASAMA OPERASI (KSO) SISTEM REVOLVING/LEASING

Lebih terperinci

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL

VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL VII. ANALISIS PERBANDINGAN PENDAPATAN USAHA TANI PADI SAWAH METODE SRI DAN PADI KONVENSIONAL 7.1 Analisis Perbandingan Penerimaan Usaha Tani Analisis ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan antara

Lebih terperinci

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT VIII PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP PENDAPATAN PETANI PADI SEHAT 8.1. Penerimaan Usahatani Padi Sehat Produktivitas rata-rata gabah padi sehat petani responden sebesar 6,2 ton/ha. Produktivitas rata-rata

Lebih terperinci