BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY. atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY. atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan"

Transkripsi

1 10 BAB II PEMBELAJARAN INQUIRY DAN SCIENTIFIC INQUIRY LITERACY A. Pembelajaran Berbasis Inquiry Inquiry didefinisikan sebagai upaya untuk mencari kebenaran, informasi atau pengetahuan. Secara alami, sebenarnya manusia telah sering melakukan inquiry. Hal ini didasari sifat manusia yang penuh rasa ingin tahu (curiousity). Tanpa disadari, mereka mengamati dan mempelajari suatu fenomena, membuat hipotesis, dan memberikan keterangan atas apa yang telah diamati. Setelah itu, hasil temuan mereka dikomunikasikan pada orang banyak. Dengan kata lain, orang tersebut telah melakukan inquiry secara ilmiah (NRC, 2000). Menurut Wu dan Hsieh (2007), inquiry adalah sebuah pertanyaan yang mendorong pada proses pembelajaran yang melibatkan pelaksanaan investigasi ilmiah, dokumentasi, interpretasi data kualitatif maupun kuantitatif, membuat kesimpulan, dan mengomunikasikan hasil temuan. Begitupun dalam National Science Education Standards (NRC, 2000) dijelaskan bahwa inquiry merupakan sebuah proses beragam yang melibatkan observasi, pengamatan, mengajukan pertanyaan, menelaah buku dan sumber lain untuk mengetahui apa yang sudah diketahui, merencanakan penyelidikan, mengkaji ulang apa yang sudah diketahui dari hasil eksperimen, menggunakan alat untuk mengumpulkan, menganalisis dan menginterpretasi data, mengajukan jawaban, penjelasan dan mengomunikasikan hasil.

2 11 Penjelasan mengenai inquiry menjadi salah satu pertimbangan dalam pelaksanaan pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), sebagaimana Cain & Evans (Depdiknas, 2008: 22) menjelaskan bahwa IPA mengandung empat hal penting, yaitu konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi. Oleh karena itu, seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman langsung dan diarahkan untuk mencari tahu dan berbuat sehingga dapat mengembangkan kompetensi siswa untuk mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan dengan pendekatan inquiry ilmiah untuk mengembangkan aspek kecakapan hidup yang meliputi kemampuan berpikir, bekerja dan bersikap ilmiah (BSNP, 2006). Untuk membantu siswa dalam mempelajari IPA melalui inquiry, dikembangkan suatu framework yang terdiri dari tiga dimensi, yaitu 1) mengedepankan pembelajaran yang berbasis inquiry, 2) tahapan dalam proses inquiry, 3) kemampuan intelektual yang dibutuhkan dalam pembelajaran inquiry (Wu & Hsieh, 2007). Terdapat beberapa pengelompokkan mengenai tipe dan tahapan pembelajaran berbasis inquiry. Colburn (2000) menjelaskan beberapa jenis tahapan pembelajaran berbasis inquiry sebagaimana tercantum pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Tahap Pembelajaran berbasis Inquiry Structured Inquiry Guided Inquiry Free Inquiry

3 12 Siswa mengikuti dengan tepat instruksi guru untuk menyelesaikan kegiatan hands-on dengan sempurna Siswa mengembangkan cara kerja untuk menyelidiki pertanyaan yang dipilih/diberikan guru Siswa menurunkan pertanyaan tentang topik yang dipilih guru dan merencanakan sendiri penyelidikannya Dalam kegiatan structured inquiry, siswa diberikan hands-on untuk menyelidiki permasalahan. Guru mengajukan masalah atau pertanyaan serta alat dan bahan yang digunakan. Selain itu, guru juga memberikan langkah-langkah kerja yang harus dilakukan. Siswa hanya tinggal mencari kesimpulan dari pertanyaan atau masalah. Jenis inquiry ini banyak dilakukan di sekolah-sekolah pada kegiatan praktikum tradisional yang masih berpusat pada guru. Berbeda dengan kegiatan guided inquiry, siswa hanya diberikan masalah untuk diinvestigasi serta alat bahan yang akan digunakan. Guided inquiry adalah jenis inquiry pertengahan, dimana untuk menentukan langkah-langkah percobaan dan penyelesaiannya siswa melakukannya sendiri, tidak lagi diberikan oleh guru. Oleh karena itu, jenis inquiry ini telah berpusat pada siswa karena guru hanya bertindak sebagai pembimbing dalam proses belajar. Guru tetap memberikan pengarahan dan bimbingan kepada siswa dalam melakukan kegiatan-kegiatan sehingga siswa yang berpikir lambat atau siswa yang mempunyai kemampuan berpikir rendah tetap mampu mengikuti kegiatan yang sedang dilaksanakan dan siswa yang mempunyai intelegensi tinggi tidak memonopoli kegiatan. Sedangkan pada kegiatan free inquiry atau biasa disebut juga open inquiry merupakan tingkatan inquiry tinggi karena baik pertanyaan, masalah, alat dan bahan, prosedur langkah kerja hingga kesimpulan dibuat sendiri oleh siswa. Jenis inquiry ini hampir sama dengan melakukan sains yang sebenarnya.

4 13 Selain dari ketiga jenis inquiry diatas, Martin (2002: 35) menambahkan satu jenis pembelajaran inquiry, yaitu coupled inquiry. Jenis inquiry ini merupakan gabungan guided inquiry dengan open inquiry. Pembelajaran dimulai dengan guided inquiry yang dilanjutkan pada pendekatan yang berpusat pada siswa dengan open inquiry. Tahapan dalam pembelajaran coupled inquiry meliputi empat tahap kegiatan, yaitu 1) undangan untuk ber-inquiry, 2) inisiasi guru guided inquiry, 3) inisiasi siswa open inquiry, 4) resolusi atau pemecahan inquiry, 5) penilaian. Perbedaan jenis dan tahapan dalam pembelajaran berbasis inquiry didasarkan pada pendekatan, hasil, serta prosedur didalam kegiatannya (Wolfwikis, 2010). Trowbridge, et al (NSTA, 2003: 18) mengajukan tiga tahap pembelajaran berbasis inquiry. Tahap pertama adalah discovery learning dimana guru menyusun masalah dan proses tetapi memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi hasil alternatif. Tahap kedua adalah guided inquiry dimana guru mengajukan masalah dan siswa menentukan penyelesaian dan prosesnya. Tahap ketiga open inquiry dimana guru hanya memberikan konteks masalah sedangkan siswa mengindentifikasi dan memecahkannya. Tahapan lain dalam pembelajaran berbasis inquiry dijelaskan oleh Wenning (2005b) dalam lima tahap (dapat dilihat pada Tabel 2.2) yang didasarkan pada tingkat pengalaman intelektual serta frekuensi keterlibatan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajarannya, yaitu discovery learning, interactive demostration, inquiry lesson, inquiry lab, dan hypothetical inquiry. Tahap pembelajaran ini disusun berdasarkan kendala yang banyak ditemukan di lapangan, karena tidak

5 14 mudah bagi guru untuk dapat menerapkan pembelajaran yang berbasis inquiry tertentu secara langsung sehingga diperlukan sebuah hierarki atau tahapan dalam penerapan proses inquiry tersebut. Tabel 2.2 Hierarki Pembelajaran Berbasis Inquiry Discovery Learning Interactive Demonstration Inquiry Lesson Inquiry Lab Hypothetical Inquiry Rendah Kecerdasan Intelektual Tinggi Guru Keterlibatan Siswa (Wenning, 2005b) Frekuensi keterlibatan guru bergeser ke arah siswa dari arah kiri ke kanan. Pada discovery learning, hampir sepenuhnya berada dalam kontrol guru sedangkan pada hypothetical inquiry kegiatan inquiry sepenuhnya diserahkan kepada siswa. Begitupun dalam tingkat pengalaman intelektual dibutuhkan secara kontinyu dari discovery learning hingga hypothetical inquiry karena proses berpikir dibutuhkan untuk mngontrol sebuah eksperimen. 1. Pembelajaran inquiry berbasis discovery learning Discovery learning merupakan pembelajaran berbasis inquiry yang paling mendasar. Discovery learning tidaklah berfokus pada menemukan aplikasi untuk pengetahuan tetapi berfokus pada membangun pengetahuan dari sebuah pengalaman, dengan kata lain, discovery learning menggunakan refleksi sebagai kunci untuk memahami (Wenning, 2005b). Dalam pembahasan lainnya Wenning (2011a) menjelaskan bahwa discovery learning mengarah pada pengembangan pemahaman konseptual yang didasarkan pada pengalaman.

6 15 Sedangkan dijelaskan oleh Bruner (Dahar, 1989: ) bahwa discovery learning merupakan salah satu model instruksional kognitif dimana discovery learning dilakukan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan disertai usahanya dalam mencari pemecahan masalah dan menghasilkan pengetahuan yang bermakna. Norman dan Svinicki (Wilke & Straits, 2001) menjelaskan pengalaman bermakna yang diperoleh sebagai hasil dari discovery learning akan memungkinkan siswa lebih baik dalam mempelajari dan me-recall informasi yang didapatkannya. Tidak hanya melibatkan aspek kognitif saja, dengan discovery learning, siswa akan terlibat dalam proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep atau prinsip (Amien, 1979). Menurut Bruner (Dahar, 1989), tujuan dari discovery learning tidak hanya untuk memperoleh pengetahuan saja tetapi juga suatu cara yang dapat merangsang keingintahuan siswa dan memotivasi kemampuan mereka untuk menemukan sesuatu. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan hasil penelitian Balim (2009) bahwa pembelajaran dengan menggunakan metode discovery learning dapat menunjang siswa dengan bimbingan dari guru untuk lebih aktif dan meningkatkan keterampilan mereka dalam ber-inquiry. Wenning (2011b) mengemukakan tahapan kegiatan dalam discovery learning yang digunakan untuk mengembangkan konsep pada tingkatan inquiry yang terdiri dari tahapan berikut: a) Guru mengenalkan dan menunjukkan kepada siswa contoh-contoh sebuah fenomena yang akan dipelajari sehingga siswa tertarik dengan fenomena yang ditunjukkan.

7 16 b) Guru meminta siswa untuk mendeskripsikan apa yang mereka lihat. c) Guru meminta siswa untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan contohcontoh lainnya. d) Guru meminta siswa untuk membentuk kelompok kecil kemudian membahas contoh-contoh lain yang diberikan serta melibatkan siswa dalam mengubah sebuah variabel. e) Guru meminta siswa untuk mengemukakan ide hasil diskusi, mengidentifikasi berbagai hubungan dan membuat kesimpulan. f) Guru memberikan penguatan pada konsep yang akan dikembangkan. 2. Pembelajaran inquiry berbasis interactive demonstration Kegiatan pembelajaran interactive demonstration secara umum terdiri dari kegiatan demonstrasi sains yang dilakukan oleh guru dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan yang mengarahkan siswa untuk dapat membuat prediksi. Selain itu, guru harus dapat memunculkan tanggapan dari siswa dan meminta penjelasannya lebih lanjut serta membantu siswa untuk mencapai kesimpulan yang didasarkan pada bukti (Wenning, 2005b). Orientasi pembelajaran interactive demonstration hampir sama dengan discovery learning yang berorientasi pada pemahaman konsep. Perbedaannya terletak pada proses yang dilakukan dalam pengembangan konsepnya. Pada pembelajaran interactive demonstration, siswa diarahkan melalui prediksi siswa untuk dapat membangun konsepnya, sedangkan pada discovery learning siswa diarahkan melalui penemuan sendiri mengenai konsep-konsep dengan arahan pertanyaan yang diajukan oleh guru.

8 17 3. Pembelajaran inquiry berbasis inquiry lesson Pada tahap pembelajaran ini, guru mulai menunjukkan proses ilmiah secara eksplisit kepada siswa dengan menekankan penjelasan yang dapat membantu siswa untuk memahami bagaimanakah cara memformulasikan eksperimen, mengindentifikasi, mengontrol variabel dan lainnya. Siswa sudah diarahkan pada kegiatan percobaan ilmiah namun masih dengan bimbingan secara langsung dari guru (Wenning, 2005b). 4. Pembelajaran inquiry berbasis inquiry lab Pembelajaran inquiry lab merupakan tingkatan berikutnya dari praktik inquiry. Secara umum, pada pembelajaran ini, siswa kurang lebih secara independen mulai mengembangkan dan melaksanakan rencana eksperimen dan mengumpulkan data yang sesuai. Data tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan konsep dan penjelasan yang tepat antara variabel-variabel yang digunakan (Wenning, 2005b). Pembelajaran ini lebih sering menggunakan metode eksperimen. Dalam proses pembelajaran dengan metode eksperimen siswa diberi kesempatan untuk mengalami atau melakukan percobaan sendiri baik secara individual maupun kelompok kecil. Terdapat dua istilah yang sering digunakan berkaitan dengan metode eksperimen ini, yaitu praktikum (practical work), yang lebih cenderung untuk membangun keterampilan menggunakan alat-alat di bidang IPA atau mempraktikkan suatu teknik/prosedur tertentu. Istilah lainnya adalah eksperimen, yang bertujuan untuk mengetahui/menyelidiki sesuatu yang baru menggunakan

9 18 alat-alat sains tertentu. Baik praktikum maupun eksperimen, keduanya memegang peranan yang penting dalam pendidikan sains, karena dapat mengembangkan sikap ilmiah siswa (Depdiknas, 2008: 30). Walaupun dinamakan dengan inquiry lab bukan berarti kegiatan pembelajaran ini harus selalu dilaksanakan dalam laboratorium. Laboratorium yang dimaksud tidak hanya sebatas ruangan khusus yang dibatasi dinding, tetapi dapat lebih luas, yaitu mencakup laboratorium terbuka berupa alam semesta (Depdiknas, 2008: 29). Wenning (2005b) membagi jenis pembelajaran inquiry lab menjadi tiga tipe, yaitu guided inquiry lab, bounded inquiry, dan free inquiry. Perbedaan karakter dari ketiga jenis inquiry lab tercantum dalam Tabel 2.3. Tabel 2.3. Perbedaan Karakter Jenis Inquiry Lab Jenis Inquiry Lab Guided Inquiry Pertanyaan/ Sumber Masalah Guru memberikan masalah untuk diteliti Bounded Inquiry Guru memberikan masalah untuk diteliti Free Inquiry Siswa mengidentifikasi masalah untuk diteliti Prosedur Terdapat prelab atau kegiatan diskusi di awal pembelajaran dan multiple leading questioning (pertanyaan yang menuntun) dari guru untuk membuat prosedur Terdapat prelab atau kegiatan diskusi di awal pembelajaran dan single teacher leading questioning dimana pertanyaan yang diberikan guru tidak secara langsung menuntun siswa untuk membuat prosedur Tidak terdapat prelab dan single teacher leading questioning dimana siswa membuat panduannya sendiri untuk membuat prosedur (Wenning, 2005b)

10 19 Kegiatan prelab yang dilaksanakan pada pembelajaran guided inquiry dimaksudkan untuk mengaktifkan pengetahuan awal siswa dan membantu siswa untuk memahami konsep dan tujuan pembelajaran serta proses ilmiah untuk melakukan investigasi, sedangkan kegiatan prelab pada pembelajaran bounded inquiry difokuskan pada kegitan non-experimental seperti keselamatan kerja dan keamanan penggunaan alat laboratorium (Wenning, 2005b). Kegiatan leading questioning merupakan kegiatan yang membedakan tiga jenis inquiry diatas. Leading questioning pada pembelajaran guided inquiry adalah pertanyaan yang menuntun siswa dalam menyusun langkah kerja percobaan yang akan dilakukan. Peran guru dalam memberikan pertanyaan harus didasari dengan kemampuan bertanya yang baik, misalnya dengan memberikan waktu tunggu yang cukup banyak untuk siswa memformulasikan, memproses dan menjawab berbagai pertanyaan (Intel Teach Program, 2007). Hal tersebut sejalan dengan yang dijelaskan Domin (Wolfwikis, 2010) bahwa guided inquiry menuntut guru untuk mengarahkan siswa pada pelaksanaan desain percobaan. Sedangkan pada pembelajaran bounded inquiry, siswa diharapkan dapat merancang langkah kerja percobaan tanpa leading question yang dilakukan oleh guru. Pada kegiatan free inquiry tidak terdapat lagi kegiatan prelab maupun leading question dari guru. Pembelajaran free inquiry sepenuhnya telah melibatkan siswa. Kegiatan pembelajaran guided inquiry dijelaskan Geiger (2007) dalam emapat tahap pembelajaran berikut: a) Introduction (Pendahuluan). Siswa diberi pertanyaan atau diajukan masalah. Pertanyaan tersebut tidak berisi konsep secara langsung, karena

11 20 konsep akan dieksplor ketika kegiatan telah selesai. Pendahuluan yang jelas akan mempengaruhi hubungan antara proses dengan tujuan praktikum. Dalam kegiatan ini, siswa mulai membuat hipotesis atas masalah yang diajukan. b) Materials. Guru mengemukakan alat dan bahan yang akan digunakan oleh siswa. c) Procedure. Diberikan panduan dalam merencanakan prosedur praktikum. Kegiatan praktikum harus mengandung keterampilan dalam menentukan variabel, mengontrol variabel, dan mengumpulkan data. Oleh karena itu, penentuan variabel dilakukan oleh siswa. d) Discussion. Siswa menganalisis data dan menarik kesimpulan secara berkelompok. Diskusi bertujuan agar siswa dapat meninjau kembali analisis dan kesimpulannya. 5. Pembelajaran inquiry berbasis hypothetical inquiry Pembelajaran ini menempatkan siswa untuk berperan aktif dalam seluruh kegiatan pembelajaran. Pembelajaran hypothetical inquiry dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pure hypothetical inquiry dan applied hypothetical inquiry. Perbedaan dari keduanya terletak pada tujuan yang diharapkan. Tujuan yang diharapkan dari pembelajaran pure hypothetical inquiry adalah hasil penelitian yang tidak menuntut pada aplikasi nyata, namun semata-mata hanya untuk memperluas pemahaman tentang hukum alam. Sedangkan pembelajaran applied

12 21 hypothetical inquiry diarahkan untuk menemukan aplikasi dari pengetahuan yang telah diperoleh (Wenning, 2005b). Pembelajaran berbasis inquiry merupakan salah satu model pembelajaran yang dapat mendukung kegiatan siswa dalam mempelajari proses sains. Siswa yang belajar melalui inquiry akan mendapatkan pemahaman yang lebih dalam mengenai konsep-konsep dibandingkan ketika mereka menerima konsep yang sama dengan cara ceramah. Kondisi tersebut akan mengarahkan pada pemahaman siswa dalam jangkan panjang dan meningkatkan kemampuan siswa dalam berinquiry dan bersikap ilmiah sesuai standar yang diinginkan serta mendapatkan pengetahuan lebih mengenai penelitian ilmiah yang sebenarnya (National Science Teacher Association, 2003: 19). Dalam mengimplementasikan pembelajaran berbasis inquiry, sering ditemukan kendala-kendala yang mengakibatkan tidak efektifnya pembelajaran tersebut. Beberapa kendala tersebut dijelaskan Wenning (2005a) sebagai berikut: a) Waktu dan Energi. Diperlukan waktu dan energi yang tidak sedikit untuk dapat melaksanakan pembelajaran berbasis inquiry yang sempurna, namun keadaan tersebut dapat menghambat target selesainya suatu materi pelajaran yang sudah disesuaikan dengan kurikulum. Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Bruner (Dahar, 1989) bahwa penerapan belajar penemuan atau penyeldikan yang murni sangat memerlukan waktu. b) Jumlah siswa. Pengaturan kelas terkadang tidak mendukung pembelajaran inquiry yang sudah direncanakan karena jumlah siswa yang terlalu banyak sehingga kegiatan pembelajaran tidak efektif.

13 22 c) Kedewasaan siswa. Masih banyak siswa yang belum terlalu matang untuk mengikuti pembelajaran berbasis inquiry sehingga mereka hanya membuang waktu saja ketika pembelajaran berlangsung. d) Pemahaman guru dalam pengetahuan inquiry ilmiah. e) Kebiasaan Mengajar. Pembelajaran yang biasanya dilakukan sebagian besar guru adalah dengan metode ceramah dalam waktu lama sehingga dibutuhkan persiapan dan pembiasaan dalam menerapkan pembelajaran berbasis inquiry. Dalam pembelajaran inquiry dibutuhkan perubahan kebiasaan cara belajar siswa yang menerima informasi dari guru apa adanya ke arah membiasakan belajar mandiri dan berkelompok dengan mencari dan mengolah informasi sendiri (Amien, 1979). B. Scientific Inquiry Literacy Scientific Literacy atau literasi ilmiah bersifat multidimensional dan memiliki definisi yang sangat luas (NRC, 2000). Pengertian lain dari scientific literacy adalah usaha yang dilakukan seorang guru untuk membuat siswanya mencapai apa yang dimaksudkan dalam National Science Education Standards bahwa yang mengindikasikan seseorang telah ber-literate secara ilmiah adalah orang yang memiliki pemahaman dalam enam elemen scientific literacy yang terdiri dari: (1) sains sebagai inquiry, (2) konten sains, (3) sains dan teknologi, (4) sains dalam perspektif personal dan sosial, (5) sejarah dan sifat ilmu pengetahuan, dan (6) gabungan konsep dan proses (Wenning, 2007). Elemen pertama mengenai sains sebagai inquiry dibahas lanjut dalam kajian scientific inquiry. NRC dalam National Science Education Standards menjelaskan

14 23 bahwa scientific inquiry mengarah pada beberapa jalan yang ditempuh ilmuwan dalam mempelajari alam dan usaha untuk mendapatkan penjelasan yang didasarkan pada bukti yang telah mereka dapatkan. Kemampuan scientific inquiry adalah kemampuan dimana siswa dapat melakukan sebuah investigasi atau eksperimen, mengumpulkan data untuk menemukan bukti dari sumber yang bervariasi, mengembangkan sebuah penjelasan dari data yang sudah diperoleh, serta mengomunikasikan dan mempertahankan kesimpulan yang telah mereka dapatkan (Wenning, 2007). Ketika siswa membangun suatu penjelasan ilmiah, mereka diharapkan dapat menunjukkan kemampuannya dalam mengidentifikasi sebab akibat yang berhubungan, menjelaskan alasan-alasan yang terjadi selama proses investigasi, menggunakan data untuk dijadikan bukti, dan mengevaluasi penjelasan-penjelasan yang telah diberikan (Wu & Hsieh, 2007). Scientific inquiry akan merefleksikan kepada siswa bagaimana seorang ilmuwan memahami alam. Dimulai dari mereka berinteraksi dengan lingkungannya, mengajukan pertanyaan, dan berusaha menjawab pertanyaanpertanyaan tersebut (NSTA, 2012). Berdasarkan pada pendekatan scientific inquiry, NSTA mengarahkan seorang guru untuk dapat melakukan kegiatan berikut: 1) Merencanakan pembelajaran yang berbasis inquiry yang tepat. 2) Menerapkan pembelajaran sains yang dapat merangsang siswa untuk bertanya dan menyelidiki serta menggunakan pengalamannya untuk dapat menjawab pertanyaan-peranyaan mengenai alam.

15 24 3) Membimbing dan memfasilitasi pembelajaran inquiry dengan strategi pembelajaran yang tepat. 4) Merancang dan mengatur lingkungan pembelajaran yang memadai untuk keberlangsungan kegiatan belajar siswa. 5) Mengatur alokasi waktu pelaksanaan pembelajaran dengan efektif. 6) Memiliki bekal pengalaman mengenai science as inquiry sebagai persiapan untuk mengajar. Hal tersebut meliputi kemampuan untuk dapat mengembangkan strategi questioning, penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengarahan siswa pada kemampuan dan pemahamannya tentang scientific inquiry, serta menganalisis bahan-bahan ajar yang akan disampaikan. Sedangkan bagi kepentingan siswa, untuk dapat melakukan scientific inquiry, NSTA mengemukakan tujuan yang harus dicapai oleh siswa ketika pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Mempelajari bagaimana mengidentifikasi dan mengajukan pertanyaan yang tepat untuk dapat diinvestigasi. 2) Merancang dan melakukan investigasi untuk mendapatkan data dan bukti yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan. 3) Mempelajari bagaimana cara membuat kesimpulan dengan berpikir kritis dan logis. 4) Menggunakan alat tepat untuk menginterpretasi dan menganalisis data. 5) Mengomunikasikan hasil eksperimen yang dilakukan.

16 25 Selain itu, NSTA menyarankan bahwa guru harus dapat membantu siswa dalam memahami hal-hal berikut, bahwa: 1) Sains melibatkan sebuah pengajuan pertanyaan tentang alam dan pengembangan investiasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. 2) Tidak ada urutan yang tetap dalam investigasi ilmiah, tergantung pada jenis pertanyaan yang diajukan. 3) Scientific inquiry merupakan pusat dalam mempelajari sains dan refleksi bagaimana sains dapat dilakukan. 4) Pentingnya suatu alat dan instrumen yang tepat untuk mengumpulkan data empiris. 5) Bukti yang diperoleh dapat mengubah suatu persepsi tentang alam dan mengembangkan pengetahuan ilmiah. 6) Pentingnya bersikap skeptis ketika mereka mengevaluasi hasil pekerjaan mereka sendiri maupun pekerjaan yang lain. 7) Komunitas ilmiah membutuhkan penjelasan secara empiris yang logis dan konsisten. Pembelajaran berbasis inquiry merupakan salah satu model dan metode yang disarankan NSTA untuk menuju scientific inquiry literacy. Scientific literacy tidak hanya fokus pada pemahaman suatu fakta, namun juga mengenai nature of science. Roth (Carlson, 2008) menjelaskan untuk membantu siswa menuju pada pemahaman tersebut diperlukan metode yang bervariasi didalam kelas, termasuk pembelajaran berbasis inquiry, Science-Technology-Society (STS), dan pendekatan perubahan konsep. Lebih lanjut, NRC mengemukakan bahwa

17 26 pembelajaran inquiry berbasis guided inquiry adalah salah satu metode yang tepat yang dapat membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan dan proses yang dibutuhkan dalam berinkuiri. Begitupun dibahas oleh Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) bahwa pembelajaran guided inquiry dapat mengarahkan siswa pada pengalaman terstruktur tentang scientific inquiry (Geiger, 2007). Beberapa penelitian sebelumnya membuktikan bahwa pembelajaran guided inquiry berhasil dalam mempromosikan dan mendukung scientific literacy. Nwagbo (2006) dalam penelitiannya di High Level Nigerian Biology menunjukkan bahwa pembelajaran guided inquiry lebih efektif dibandingkan dengan tipe ekspositori dalam pencapaian aspek kognitif yang mendukung pada kemampuan scientific literacy siswa. Penelitian lain yang dilakukan oleh Brickman et al (2009) menunjukkan bahwa pembelajaran inquiry lab dapat lebih meningkatkan keterampilan literasi sains siswa dibandingkan dengan pembelajaran traditional lab. Sedangkan penilitian yang dilakukan oleh Carlson (2008) untuk mengetahui pengaruh pembelajaran guided inquiry terhadap kemampuan literasi sains siswa menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan literasi sains siswa di kelas guided inquiry dan kelas tradisonal. Ia menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan penerapan pembelajaran guided inquiry yang relatif sebentar sehingga kemampuan inquiry siswa belum sepenuhnya tertanam. Selain dari model ataupun metode pembelajaran yang harus dipilih secara tepat, peran guru merupakan salah satu faktor penting yang dapat mendukung

18 27 keberhasilan dalam mencapai tujuan scientific literacy. Wenning (2011a) menekankan bahwa seorang guru tidak akan dapat mengajar jika ia tidak tahu. Kemampuannya dalam inquiry adalah komponen paling esensial yang harus dimiliki oleh guru sains. Tanpa pemahaman yang mendalam mengenai inquiry, jenis model, metode, atau pendekatan apapun yang berorientasi inquiry tidak akan mampu mencapai tujuannya. Berikut dijelaskan kembali lebih rinci dalam National Science Education Standards (Wenning, 2011a) apa yang dimaksud dengan mengajar inquiry yang harus diperhatikan oleh seorang guru. 1) Menyajikan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered). 2) Fokus pada satu atau lebih pertanyaan yang dapat menuntun siswa. 3) Melibatkan siswa dalam kegiatan berpikir dan bertanya. 4) Memunculkan debat dan diskusi diantara siswa. 5) Menyediakan bahan investigasi yang beragam. 6) Sebagai pembimbing, sebaiknya guru hanya memberikan sedikit arahan. 7) Membuat siswa tertarik dan antusias dalam memberikan pertanyaan. 8) Tidak menunjukan sikap otoriter. 9) Mengatur kelas agar tetap kondusif untuk kegiatan inquiry. 10) Menekankan pada pertanyaan Bagaimana cara saya mengerti materi pelajaran ini dibandingkan dengan pertanyaan Apa yang harus saya tahu dari materi pelajaran ini?. 11) Menggunakan keterampilan bertanya yang baik, seperti waktu tunggu, distribusi, dan formulasi pertanyaan. 12) Merespon dengan baik apa yang dikatakan siswa ketika berpendapat.

19 28 C. Tinjauan Materi Materi Pencemaran merupakan salah satu materi yang diajarkan pada siswa kelas X SMA semester genap. Materi ini tercakup dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun Materi ini dijelaskan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasar. Standar Kompetensi yang harus dicapai adalah menganalisis hubungan antara komponen ekosistem, perubahan materi dan energi serta peranan manusia dalam keseimbangan ekosistem. Sedangkan kompetensi dasar yang harus dicapainya adalah menjelaskan keterkaitan antara kegiatan manusia dengan masalah perusakan/pencemaran lingkungan dan pelestarian lingkungan. Karakteristik dan deskripsi materi pencemaran lingkungan disajikan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5. Tabel 2.4 Karakteristik Materi Pencemaran No. Sub Materi Karakteristik Materi 1 Definisi pencemaran tanah 2 Penyebab dan sumber pencemaran tanah 3 Dampak negatif dari adanya pencemaran tanah 4 Penanggulangan pencemaran pencemaran tanah Materi ini merupakan awal untuk mempelajari lebih lanjut mengenai pencemaran tanah. Materi ini tidak hanya menuntut siswa untuk mengetahui tetapi juga melakukan analisis terhadap sumber atau penyebab yang sudah diketahui. Materi ini merupakan materi yang membutuhkan suatu percobaan yang dapat dilakukan oleh siswa sehingga proses sains pun dapat terjadi. Materi ini bersifat pengaplikasian dan berisi materi yang dapat meningkatkan kesadaran siswa akan lingkungan. (Kwan, 2006:295)

20 29 Tabel 2.5. Deskripsi Materi Pencemaran No. Sub Materi Deskripsi Materi 1. Definisi pencemaran tanah 2. Penyebab dan sumber pencemaran tanah 3. Dampak pencemaran tanah 4. Penanggulangan pencemaran tanah Bahan pencemar yang masuk ke dalam tanah dan mengubah kondisi habitatnya Beberapa penyebab dan sumber pencemaran tanah adalah pembungan kotoran (limbah), sisa-sisa bahan inorganik, penggunaan berlebihan pupuk kimia, pestisida, insektisisa, herbisida, dan lainnya. Tanah sebagai tempat hidup organisme akan mempengaruhi keberadaan tanaman yang mempunyai peran penting dalam ekosistem. Beberapa upaya penanggulangan pencemaran tanah yang dapat dilakukan adalah dengan adanya pengolahan limbah, pengawasan terhadap lingkungan, penyuluhan dan lokalisasi daerah industri. (Kwan, 2006:297)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. eksperimen 1 yang menggunakan pembelajaran guided inquiry melalui tahap 47 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menyajikan data hasil penelitian, analisis, dan pembahasan hasil penelitian berdasarkan pertanyaan penelitian yang diajukan dalam rumusan masalah. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Literasi sains merupakan salah satu ranah studi Programme for Internasional Student Assessment (PISA). Pada periode-periode awal penyelenggaraan, literasi sains belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah

BAB I PENDAHULUAN. siswa sebagai pengalaman yang bermakna. Keterampilan ilmiah dan sikap ilmiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keterampilan proses sains (KPS) adalah pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa sains itu terbentuk dan berkembang melalui suatu proses ilmiah. Dalam pembelajaran

Lebih terperinci

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang

BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI. guru dengan siswa dalam berinteraksi. Misalnya dalam model pembelajaran yang 7 BAB II LEVELS OF INQUIRY MODEL DAN KEMAMPUAN INKUIRI A. Pembelajaran Inkuiri Menurut Wenning (2011) model pembelajaran berfungsi agar pembelajaran menjadi sistematis. Selain itu, model pembelajaran menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak

BAB I PENDAHULUAN. melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran IPA harus menekankan pada penguasaan kompetensi melalui serangkaian proses ilmiah (Depdiknas, 2006). Pembelajaran IPA tidak hanya penguasaan kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUA N A.

BAB I PENDAHULUA N A. 1 BAB I PENDAHULUA N A. Latar Belakang Penelitian Sains memiliki peran yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan manusia, oleh karena itu sains diperlukan oleh seluruh masyarakat Indonesia (science

Lebih terperinci

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN DOMAIN KOMPETENSI DAN PENGETAHUAN SAINS SISWA SMP PADA TEMA PENCEMARAN LINGKUNGAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Literasi sains telah menjadi istilah yang digunakan secara luas sebagai karakteristik penting yang harus dimiliki oleh setiap warga negara dalam masyarakat modern

Lebih terperinci

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA

2015 PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN LITERASI SAINS PESERTA DIDIK SMP PADA TEMA LIMBAH DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Literasi sains adalah kemampuan seseorang untuk memahami sains, dan kemampuan seseorang untuk menerapkan sains bagi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. pengetahuan dan suatu proses. Batang tubuh adalah produk dari pemecahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Untuk mengajarkan sains, guru harus memahami tentang sains. Menurut Trowbridge et.al (1973) : Sains adalah batang tubuh dari pengetahuan dan suatu proses. Batang

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING TERHADAP PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN ENZIM 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang kemajuan dari suatu bangsa karena bangsa yang maju dapat dilihat dari pendidikannya yang maju pula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki sumber daya yang cerdas dan terampil, yang hanya akan terwujud jika setiap anak bangsa

Lebih terperinci

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP

2016 PENGEMBANGAN MODEL DIKLAT INKUIRI BERJENJANG UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PEDAGOGI INKUIRI GURU IPA SMP 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abad 21 merupakan abad kompetitif di berbagai bidang yang menuntut kemampuan dan keterampilan baru yang berbeda. Perubahan keterampilan pada abad 21 memerlukan perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nur Yetty Wadissa, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat menuntut harus memiliki sumber daya manusia yang cerdas serta terampil. Dapat diperoleh dan dikembangkan

Lebih terperinci

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Pembelajaran Fisika seyogyanya dapat menumbuhkan rasa ingin tahu yang lebih besar untuk memahami suatu fenomena dan mengkaji fenomena tersebut dengan kajian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan sangat berpengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa. Pemerintah terus

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS

PENGEMBANGAN LEMBAR KERJA SISWA PRAKTIKUM INKUIRI TERBIMBING PAD A TOPIK SEL ELEKTROLISIS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ilmu kimia merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan alam yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga ilmu kimia bukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. berorientasi pada kecakapan hidup (life skill oriented), kecakapan berpikir, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan sarana penting untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia dalam menjamin kelangsungan pembangunan suatu bangsa. Pendidikan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogi Musthapa Kamil, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Yogi Musthapa Kamil, 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di era kekinian merupakan elemen yang sangat penting bagi manusia. Sebagaimana dikemukakan oleh Holbrook (2005) pendidikan merupakan sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Azza Nuzullah Putri, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut kita untuk memiliki sumber daya manusia yang cerdas serta terampil. Hal ini dapat terwujud melalui generasi

Lebih terperinci

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI)

2015 PEMBELAJARAN LEVELS OF INQUIRY (LOI) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Literasi sains merupakan kemampuan untuk memahami sains, menggunakan pengetahuan ilmiah dan membantu membuat keputusan tentang fenomena alam dan interaksinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar ilmu pengetahuan sekarang tidak hanya memberikan konsepkonsep

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar ilmu pengetahuan sekarang tidak hanya memberikan konsepkonsep BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan yang mendorong upaya-upaya pembaharuan dalam penguasaan konsep dan aplikasinya. Sebagian besar ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Dewasa ini prestasi belajar (achievement) sains siswa Indonesia secara internasional masih berada pada tingkatan yang rendah, hal tersebut dapat terindikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Nokadela Basyari, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pemahaman konsep sangat penting dimiliki oleh siswa SMP. Di dalam Permendikbud nomor 64 tahun 2013 telah disebutkan bahwa siswa memahami konsep berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usep Soepudin, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia, pemahaman tentang pembelajaran sains yang mengarah pada pembentukan literasi sains peserta didik, tampaknya masih belum sepenuhnya dipahami dengan baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Biologi merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan penting terutama dalam kehidupan manusia karena ilmu pengetahuan ini telah memberikan kontribusi yang

Lebih terperinci

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

2015 ANALISIS NILAI-NILAI KARAKTER, KETERAMPILAN PROSES SAINS DAN PENGUASAAN KONSEP SISWA PADA TOPIK KOLOID MELALUI PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Berdasarkan Permendikbud No. 65 Tahun 2013 proses pembelajaran pada suatu pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,

Lebih terperinci

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu

Siti Solihah, Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan adalah suatu upaya untuk meningkatkan kualitas manusia agar mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin berkembang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gresi Gardini, 2013 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyatakan bahwa pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Fisika berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan pikiran dalam mempelajari rahasia gejala alam (Holil, 2009). 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan sains menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar siswa dapat menjelajahi dan memahami alam sekitar secara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Menurut Sukmadinata (2008) penelitian deskriptif merupakan penelitian yang mendeskripsikan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP

2015 PENGARUH PEMBELAJARAN BERBASIS INKUIRI PADA MATERI FOTOSINTESIS TERHADAP PENGUASAAN KONSEP DAN SIKAP SISWA SMP BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan peserta didik, pada suatu lingkungan yang bertujuan membantu peserta didik untuk memperoleh ilmu dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah masih lemahnya proses pembelajaran, siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif,

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan generasi emas, yaitu generasi yang kreatif, inovatif, produktif, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia yang cerdas, kreatif, dan kritis menjadi faktor dominan yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi era persaingan global. Sementara itu proses pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia dalam rangka menghadapi era kompetisi yang mengacu pada penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu ciri masyarakat modern adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu saja menyangkut berbagai hal tidak terkecuali

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rahmat Rizal, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu pengetahuan alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis sehingga IPA bukan hanya penguasaan sekumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam proses pembelajaran siswa kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan pada kemampuan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis

BAB I PENDAHULUAN. Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika dan sains secara umum terbentuk dari proses penyelidikan secara sistematis dan terus menerus terhadap suatu gejala alam sehingga menghasilkan produk tertentu.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Upaya peningkatan mutu pendidikan dalam ruang lingkup pendidikan IPA di sekolah dirumuskan dalam bentuk pengembangan individu-individu yang literate terhadap sains.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewi Murni Setiawati, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sains bukan hanya kumpulan pengetahuan saja. Cain dan Evans (1990, dalam Rustaman dkk. 2003) menyatakan bahwa sains mengandung empat hal, yaitu: konten/produk, proses/metode,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan standar kompetensi lulusan kelompok mata pelajaran sains, tujuan pendidikan pada satuan pendidikan SMA adalah untuk mengembangkan logika, kemampuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Denok Norhamidah, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisika merupakan salah satu bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang mempelajari gejala-gejala alam secara sistematis untuk menguasai pengetahuan berupa fakta, konsep,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan mata pelajaran yang berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan

BAB I PENDAHULUAN. Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sains atau Ilmu Pengetahuan Alam (selanjutnya disebut IPA) diartikan oleh Conant (Pusat Kurikulum, 2007: 8) sebagai serangkaian konsep yang saling berkaitan

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA

ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA Berkala Fisika Indonesia Volume 6 Nomor 2 Juli 2014 ANALISIS KEMAMPUAN INKUIRI SISWA SMP, SMA DAN SMK DALAM PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY PADA PEMBELAJARAN FISIKA Winny Liliawati 1,3), Purwanto 1), Taufik

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang 11 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri terbimbing (guided inquiry) merupakan model pembelajaran yang dapat melatih keterampilan siswa dalam melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting didalam pembangunan suatu bangsa. Pendidikan yang berkualitas dapat digunakan sebagai tolak ukur yang paling mendasar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kehidupan suatu bangsa karena merupakan salah satu bentuk upaya untuk meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2).

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Suryosubroto, 2009:2). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan dapat dikatakan sebagai suatu proses dengan cara-cara tertentu agar seseorang memperoleh pengetahuan, pemahaman dan tingkah laku yang sesuai. Sanjaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pendidikan sains di Indonesia mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pemahaman tentang sains dan teknologi melalui pengembangan keterampilan berpikir, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. (Undang-undang No.20 Tahun 2003: 1). Pendidikan erat kaitannya dengan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan kondisi belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi-potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kunci utama bagi bangsa yang ingin maju dan unggul dalam persaingan global. Pendidikan adalah tugas negara yang paling penting dan sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam lingkup global, setiap tahun pada bulan April diselenggarakan sebuah kampanye global bertajuk "Education for All" atau "Pendidikan untuk Semua". Kampanye "Education

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk

I. PENDAHULUAN. Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada hakikatnya, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap atau prosedur ilmiah (Trianto, 2012: 137). Pembelajaran Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi yang telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perkembangan dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan dalam berbagai cabang ilmu dan teknologi yang telah dicapai dewasa ini membawa dampak terhadap tuntutan kualitas kemampuan yang sepatutnya dicapai

Lebih terperinci

INKUIRI DAN INVESTIGASI IPA

INKUIRI DAN INVESTIGASI IPA INKUIRI DAN INVESTIGASI IPA A. INVESTIGASI Sains terbentuk dari proses penyelidikan yang terus-menerus. Hal yang menentukan sesuatu dinamakan sebagai sains adalah adanya pengamatan empiris. PPK Jatim (2008:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keseluruhan dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan

I. PENDAHULUAN. Keseluruhan dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keseluruhan dalam proses pendidikan di sekolah, pembelajaran merupakan aktivitas yang paling utama. Ini berarti bahwa keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar,

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang tersebut, tugas utama guru adalah mendidik, mengajar, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang UU RI Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa guru merupakan pendidik profesional. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, tugas utama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu

BAB I PENDAHULUAN. optimum hendaknya tetap memperhatikan tiga ranah kemampuan siswa yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu proses yang berfungsi membimbing siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan tugas perkembangannya. Tugas perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen penting dalam membentuk manusia yang memiliki A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Perkembangan abad 21 saat ini ditandai oleh pesatnya perkembangan IPA dan teknologi. Terutama pada pembangunan nasional yaitu bidang pendidikan. Oleh karena

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa

II. TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan belajar yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Inkuiri sebagai suatu proses umum yang dilakukan manusia untuk mencari atau memahami informasi. Gulo menyatakan strategi inkuiri berarti

Lebih terperinci

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 10 BANJARMASIN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING

MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 10 BANJARMASIN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING MENINGKATKAN KETERAMPILAN PROSES SAINS SISWA KELAS VIII B SMP NEGERI 10 BANJARMASIN MENGGUNAKAN MODEL PEMBELAJARAN INKUIRI TERBIMBING Muhammad Abdul Karim, Zainuddin, dan Mastuang Program Studi Pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam menciptakan siswa-siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah. Pembelajaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations. umum berdasarkan cakupan teoritik tertentu. Pendekatan pembelajaran 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Pendekatan Pembelajaran Multiple Representations Pendekatan pembelajaran menurut Sanjaya (2009: 127) adalah suatu titik tolak atau sudut pandang mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Maimunah, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penguasaan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa yang akan datang. IPA berkaitan dengan cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Adelia Alfama Zamista, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan proses pembelajaran yang diarahkan pada perkembangan peserta didik. Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga menyebutkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembelajaran Konstruktivisme Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis,

BAB I PENDAHULUAN. (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan mata pelajaran Biologi untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dikemukakan oleh Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2006:443)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta

BAB I PENDAHULUAN. masalah dalam memahami fakta-fakta alam dan lingkungan serta 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil penelitian Program for International Student Assesment (PISA) 2012 yang befokus pada literasi Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) mengukuhkan peserta didik

Lebih terperinci

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA

PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS SISWA http://jurnal.untirta.ac.id/index.php/gravity ISSN 2442-515x, e-issn 2528-1976 GRAVITY Vol. 3 No. 1 (2017) PENERAPAN PENDEKATAN DEMONSTRASI INTERAKTIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN DASAR PROSES SAINS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu kimia merupakan experimental science, tidak dapat dipelajari hanya dengan membaca, menulis, atau mendengarkan. Mempelajari ilmu kimia bukan hanya menguasai kumpulan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati.

BAB I PENDAHULUAN. IPA itu suatu cara atau metode mengamati Alam (Nash, 1963) maksudnya, membentuk suatu perspektif baru tentang objek yang diamati. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ilmu Pengetahuan Alam berhubungan dengan hasil kegiatan manusia berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang alam sekitarnya yang diperoleh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Metode Pembelajaran Inkuiri Terbimbing (Guided Inquiry) Inkuiri atau dalam bahasa Inggris inquiry, berarti pertanyaan, pemeriksaan, atau penyelidikan. Inkuiri adalah suatu proses

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek

BAB III METODE PENELITIAN. metode yang ditujukan untuk menggambarkan dan menginterpretasikan objek 24 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode dan Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Menurut Best (dalam Sukardi, 2009) metode deskriptif merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Stevida Sendi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Berdasarkan pengalaman mengajar, permasalahan seperti siswa jarang bertanya, jarang menjawab, pasif dan tidak dapat mengemukakan pendapat, sering ditemui oleh peneliti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan di sekolah dasar bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang kompeten dan cerdas sehingga dapat melanjutkan

Lebih terperinci

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan

Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan Meningkatkan Pemahaman Konsep Perubahan Wujud Benda Pada Siswa Kelas IV SDN 3 Siwalempu Melalui Pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) Arif Abdul Karim Mahasiswa Program Guru Dalam Jabatan Fakultas

Lebih terperinci

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for

BAB I Pendahuluan. Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Permasalahan Kemampuan IPA peserta didik Indonesia dapat dilihat secara Internasional pada hasil studi PISA oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)

Lebih terperinci

PF-05: OPTIMALISASI PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LEVEL OF INQUIRY

PF-05: OPTIMALISASI PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LEVEL OF INQUIRY PF-05: OPTIMALISASI PERANGKAT PEMBELAJARAN MENGGUNAKAN MODEL LEVEL OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN OSEAN DAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA PADA POKOK BAHASAN FLUIDA STATIS (Penelitian Tindakan Kelas Di Kelas X

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pendidikan masa kini lebih berorientasi pada peningkatan kemampuan peserta didik agar dapat menghasilkan peserta didik sebagai sumber daya manusia yang berkualitas dalam

Lebih terperinci

2008 PENDEKATAN INKUIRI mengenal masalah mengajukan pertanyaan mengemukakan langkah- langkah penelitian memberikan pemaparan yang ajeg

2008 PENDEKATAN INKUIRI mengenal masalah mengajukan pertanyaan mengemukakan langkah- langkah penelitian memberikan pemaparan yang ajeg PENDEKATAN INKUIRI Handout_BPF 2008 Melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan inkuiri berarti mendorong membelajarkan siswa untuk menggunakan prosedur yang digunakan para ahli penelitian untuk

Lebih terperinci

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: e-issn: Vol. 2, No 8 Agustus 2017

Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: e-issn: Vol. 2, No 8 Agustus 2017 Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN: 2541-0849 e-issn: 2548-1398 Vol. 2, No 8 Agustus 2017 PENINGKATKAN KEMAMPUAN INTERPRETASI DATA DAN KOMUNIKASI DENGAN MENGGUNAKAN LKS EKSPERIMEN DAN NON EKSPERIMEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam

BAB I PENDAHULUAN. tersedia tidak memadai, kurang dana, keterbatasan keterampilan guru dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan sains dan teknologi yang demikian pesat pada era informasi kini, menjadikan pendidikan IPA sangat penting bagi semua individu. Kemampuan siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari IPA tidak terbatas pada pemahaman konsep-konsep IPA, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. mempelajari IPA tidak terbatas pada pemahaman konsep-konsep IPA, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembelajaran merupakan upaya yang dilakukan seseorang untuk menciptakan kegiatan belajar. Upaya-upaya tersebut meliputi penyampaian ilmu pengetahuan, pengorganisasian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. pembenahan di segala bidang termasuk bidang pendidikan. Hal ini juga dilakukan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Majunya suatu negara sangat ditentukan oleh majunya pendidikan di negara tersebut. Pada era globalisasi saat ini, seluruh negara di dunia berusaha melakukan pembenahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional

BAB I PENDAHULUAN. Skor Maksimal Internasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutu pendidikan dalam standar global merupakan suatu tantangan tersendiri bagi pendidikan di negara kita. Indonesia telah mengikuti beberapa studi internasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal.

BAB I PENDAHULUAN. dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan. memanfaatkan semua komponen yang ada secara optimal. 1 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Setiap orang membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan

Lebih terperinci

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA

2014 PENGEMBANGAN BUKU AJAR KIMIA SUB TOPIK PROTEIN MENGGUNAKAN KONTEKS TELUR UNTUK MEMBANGUN LITERASI SAINS SISWA SMA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pentingnya sains dalam kehidupan manusia membuat kemampuan melek (literate) sains menjadi sesuatu yang sangat penting. Literasi sains merupakan tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa

I. PENDAHULUAN. sumber daya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang bermutu. lagi dalam rangka meningkatkan mutu sumber daya manusia bangsa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya manusia yang bermutu merupakan faktor penting dalam pembangunan di era globalisasi saat ini. Pengalaman di banyak negara menunjukkan, sumber daya manusia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor yang penting dalam kehidupan. Negara dikatakan telah maju dalam bidang teknologi atau pun bidang yang lainnya tidak terlepas dari bidang pendidikan.

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVII/Mei 2013 PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES MELALUI STRATEGI INQUIRI DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP

Jurnal Ilmiah Guru COPE, No. 01/Tahun XVII/Mei 2013 PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES MELALUI STRATEGI INQUIRI DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP PENGEMBANGAN KETERAMPILAN PROSES MELALUI STRATEGI INQUIRI DALAM PEMBELAJARAN IPA SMP Anita Fitriyanti Guru Mata Pelajaran IPA di SMP 1 Paliyan, Kab. Gunungkidul ABSTRAK Keberhasilan dalam pembelajaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan yang penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang handal, karena pendidikan diyakini akan dapat mendorong memaksimalkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5).

I. PENDAHULUAN. interaksi antara guru dan siswa (Johnson dan Smith di dalam Lie, 2004: 5). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dalam dunia kehidupan manusia. Pendidikan adalah interaksi pribadi di antara para siswa dan interaksi antara guru dan siswa

Lebih terperinci

2015 PENGEMBANGAN ASESMEN AUTENTIK UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI PADA PEMBELAJARAN SISTEM EKSKRESI

2015 PENGEMBANGAN ASESMEN AUTENTIK UNTUK MENILAI KETERAMPILAN PROSES SAINS TERINTEGRASI PADA PEMBELAJARAN SISTEM EKSKRESI A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Sains dianggap menduduki posisi penting dalam pembangunan karakter masyarakat dan bangsa karena kemajuan pengeta huannya yang sangat pesat, keampuhan prosesnya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) 7 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) a. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) Ibrahim dan Nur (Rusman,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku

I. PENDAHULUAN. diperoleh pengetahuan, keterampilan serta terwujudnya sikap dan tingkah laku I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan merupakan sesuatu yang penting dan mutlak harus dipenuhi dalam rangka upaya peningkatan taraf hidup masyarakat. Dari pendidikan inilah diperoleh pengetahuan,

Lebih terperinci

Penelitian dan Kajian Konseptual Mengenai Pembelajaran Sains Berbasis Kemandirian Bangsa

Penelitian dan Kajian Konseptual Mengenai Pembelajaran Sains Berbasis Kemandirian Bangsa SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN SAINS Pengembangan Model dan Perangkat Pembelajaran untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi Magister Pendidikan Sains dan Doktor Pendidikan IPA FKIP UNS Surakarta,

Lebih terperinci