KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat"

Transkripsi

1 Bea Meterai KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat

2

3 Bea Meterai KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK Direktorat Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat

4 4

5 3 DAFTAR ISI DAFTAR ISI KETENTUAN UMUM... A. PENGERTIAN-PENGERTIAN... B. SAAT TERUTANG BEA METERAI... C. PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI... D. OBJEK BEA METERAI... E. BUKAN OBJEK BEA METERAI... F. TARIF BEA METERAI BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN PELUNASANNYA... A. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN ANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN METERAI... 1) JANGKA WAKTU... 2) PENYETORAN ULANG DEPOSIT... 3) PENCABUTAN ATAU PEMBETULAN IZIN PEMBUBUHAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN DIGITAL... 4) BENTUK TERAAN BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN METERAI DIGITAL... 5) KETENTUAN LAIN... B. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN TEKNOLOGI PERCETAKAN... 1) PERSYARATAN... 2) JANGKA WAKTU PENYELESAIAN... 3) KEWAJIBAN WP YANG TELAH MENDAPAT IZIN... 4) KETENTUAN LAIN... C. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN SISTEM KOMPUTERISASI... KUMPULAN PERATURAN TERKAIT BEA METERAI

6 4 1. KETENTUAN UMUM A. PENGERTIAN-PENGERTIAN 1. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihakpihak yang berkepentingan; 2. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; 3. Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan; 4. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi sebagaimana mestinya; 5. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian. B. SAAT TERUTANG BEA METERAI Saat terutang Bea Meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan daluarsa pemenuhan Bea Meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat terutang Bea Meterai ditentukan oleh jenis dan dimana suatu dokumen dibuat. Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang Bea Meterai sebagai berikut:

7 5 1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan; > > yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan termasuk saat dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditanda tangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya. 2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terutang pada saat ditanda tanganinya perjanjian tersebut. 3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. C. PIHAK YANG TERUTANG BEA METERAI Pasal 6 UU Bea Meterai menentukan bahwa Bea Meterai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihakpihak yang bersangkutan menentukan lain. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan subjek Bea Meterai untuk tiap-tiap jenis dokumen adalah sebagai berikut: 1. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terutang oleh penerima kuitansi. 2. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masingmasing pihak terutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya. 3. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris,

8 6 maka Bea Meterai yang terutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut. D. OBJEK BEA METERAI Dokumen yang dikenakan Bea Meterai adalah: 1. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. 2. akta-akta notaris sebagai salinannya. 3. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya. 4. surat yang memuat jumlah uang, yaitu; a. yang menyebutkan penerimaan uang; b. yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; c. yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan d. yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. 5. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek. 6. efek dalam nama dan bentuk apapun

9 7 E. BUKAN OBJEK BEA METERAI 1. Dokumen yang berupa : a. surat penyimpanan barang; b. konosemen; c. surat angkutan penumpang dan barang; d. keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c; e. bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; f. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; g. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai huruf f. 2. segala bentuk Ijazah; 3. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu; 4. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank; 5. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; 6. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi; 7. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;

10 8 8. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian; 9. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun. No. F. TARIF BEA METERAI Dokumen UU Nomor 13 Tahun 1985 Tarif Bea Meterai PP Nomor 7 Tahun 1995 PP Nomor 24 Tahun Surat Perjanjian dan suratsurat lainnya (a.l. Surat Kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata. 2, Akta Notaris dan salinannya Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkapannya Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 Surat yang memuat sejumlah uang lebih dari Rp 1 juta (harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing) a. Yang menyebutkan penerimaan uang; b. Yang menyatakan 4,a. pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 c. Yang berisi berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, dan d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan.

11 9 No. 4.b. 4c 4d 5a 5b 5c 5d 6a 6b Dokumen Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp ,00 Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp ,00 Surat yang memuat jumlah uang tidak lebih dari Rp ,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang harga nominalnya lebih5 dari Rp ,00 Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp ,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp ,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp ,00 Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp ,- Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp ,- terapi tidak ebih dari Rp ,-- UU Nomor 13 Tahun 1985 Tarif Bea Meterai PP Nomor 7 Tahun 1995 PP Nomor 24 Tahun 2000 Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00 Rp 500,00 Tidak terutang Tidak terutang Tidak terutang Tidak dikenakan Tidak dikenakan Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00 Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00 Rp 500,00 Tidak terutang Tidak terutang Tidak terutang Tidak dikenakan Tidak dikenakan Rp 1000,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00 Rp500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00

12 10 No. 6c 6d 7a 7b 7c 7d 8. Dokumen Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebh dari Rp ,00 Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp ,- Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1,000,000,00 Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp ,00 tetapi tidak lebih dari Rp ,00 Efek yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp ,00 Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan melputi : a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-tanggaan; b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari masksud semula. UU Nomor 13 Tahun 1985 Tarif Bea Meterai PP Nomor 7 Tahun 1995 PP Nomor 24 Tahun 2000 Rp 500,00 Rp 1000,00 Rp 3.000,00 Tdk terutang *) Rp 1000,00 Rp 3.000,00 Rp 1.000,00 Rp 2.000,00 Rp 6.000,00 Rp 500,00 Rp 1.000,00 Rp 3.000,00 Rp 500,00 Tidak terutang Tidak terutang Tidak terutang Rp 3.000,00 Rp 3.000,00 Rp 1.000,00 Rp 2000,00 Rp 6.000,00

13 11 2. BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN PELUNASANNYA Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara : 1. Menggunakan benda meterai; Meterai Tempel Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencatuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas 2. Menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. a. Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai b. Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Teknologi Percetakan c. Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Sistem Komputerisasi

14 12 A. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN METERAI Syarat Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Mesin Teraan Meterai: 1. WP mengajukan Surat Permohonan Izin secara tertulis kepada Kepala KPP tempat WP terdaftar, dengan melampirkan: a. Surat Keterangan Layak Pakai dari distributor Mesin Teraan Meterai Digital; dan b. Surat Pernyataan Kepemilikan Mesin Teraan Meterai Digital menggunakan format dari Lampiran 1 PER-66/ PJ/ WP harus membayar deposit sebesar Rp ,00 (15 juta) atau kelipatannya dengan menggunakan SSP. a. Penyetoran deposit sebesar Rp ,00 atau kelipatannya adalah penyetoran dalam satu SSP sebesar Rp ,00 - Rp ,00 atau Rp ,00 dan seterusnya, dan bukan merupakan jumlah penyetoran yang terpecah-pecah dalam beberapa SSP b. MAP/KJP: c. KJS: untuk digit pertama adalah angka 2, untuk digit ke-2 dan ke-3 diisi: 1) angka 01 jika WP hanya memiliki 1 (satu) unit Mesin Teraan Meterai Digital; atau 2) sesuai dengan nomor urut dilakukannya pendaftaran Mesin Teraan Meterai Digital jika WP punya lebih dari 1 (satu) unit Mesin Teraan Digital.

15 13 Untuk ketentuan sebelum berlakunya PER - 45/PJ/2008 (29 April 2008) ini, WP yang dapat diberikan izin untuk menggunakan Mesin Teraan Meterai adalah WP yang menerbitkan dokumen dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal 50 dokumen. 1) JANGKA WAKTU 1. Jangka waktu penerbitan Surat Izin: paling lambat 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan diterima lengkap. 2. Jangka waktu pemberian kode deposit: paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal pembayaran deposit. KETENTUAN LAMA (PER-45/PJ/2008) Izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal ditetapkan dan dapat diperpanjang. Prosedur perpanjangan izin sesuai/ sama dengan prosedur penerbitan izin baru. KETENTUAN BARU (PER-66/PJ/2010) TIDAK DIATUR masa berlaku Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital 2) PENYETORAN ULANG DEPOSIT 1 WP harus menyetor ulang deposit apabila terjadi kesalahan sebagai berikut : a. Melakukan penyetoran deposit namun tidak sebesar Rp ,00 (lima belas juta rupiah)

16 14 atau kelipatannya dalam satu Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); b. Melakukan penyetoran deposit namun tidak menggunakan Kode Akun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); c. Melakukan penyetoran deposit namun tidak menggunakan Kode Jenis Setoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4); atau d. Identitas Wajib Pajak pada Surat Setoran Pajak yang berbeda dengan identitas Wajib Pajak pada Surat Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital. Akibat dari kesalahan tersebut di atas, setoran yang dilakukan tidak dapat membangkitkan Kode Deposit. 2 WP dapat melakukan Pemindahbukuan untuk memperhitungkan kelebihan deposit akibat kesalahan diatas dengan cara : Pemindahbukuan hanya dapat dilakukan ke Kode Akun Pajak dan KJS SELAIN Kode Akun Pajak (411611) dan KJS (2xx) untuk penyetoran deposit Mesin Teraan Meterai Digital. 3) PENCABUTAN ATAU PEMBETULAN IZIN PEMBUBUHAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN DIGITAL Pencabutan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital disebabkan oleh : a) Mesin Teraan Meterai Digital mengalami kerusakan sehingga tidak dapat digunakan lagi.hal ini dibuktikan dengan Surat Pernyataan dari Distributor Mesin Teraan Meterai Digital

17 15 b) Wajib Pajak mengajukan pencabutan izin pembubuhan, misalnya: i WP sudah tidak lagi melaukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital, atau ii WP Pindah domisili sehingga tidak lagi terdaftar di KPP sebagaimana ditetapkan dalam Surat Izin Pembubuhan iii Kantor Pelayanan Pajak menemukan Mesin Teraan Meterai Digital digunakan tidak sesuai dengan izin pembubuhan tanda Bea Meterai lunas. Dalam hal dilakukan Pencabutan Surat Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dikarenakan Mesin Teraan meterai Digital mengalami kerusakan atau WP mengajukan pencabutan izin pembubuhan,atas saldo deposit yang tersisa dapat dilakukan Pemindahbukuan. Pemindahbukuan hanya dapat dilakukan ke Kode Akun Pajak dan KJS SELAIN Kode Akun Pajak (411611) dan KJS (2xx) untuk penyetoran deposit Mesin Teraan Meterai Digital. Dalam hal dilakukan Pencabutan Surat Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dikarenakan Kantor Pelayanan Pajak menemukan Mesin Teraan Meterai Digital digunakan tidak sesuai dengan izin pembubuhan tanda Bea Meterai lunas, atas saldo deposit masih tersisa tidak dapat dilakukan Pemindahbukuan.

18 16 4) BENTUK TERAAN BEA METERAI LUNAS DENGAN MESIN TERAAN METERAI DIGITAL Paling sedikit memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. logo dan tulisan Direktorat Jenderal Pajak, 2. logo dan/atau tulisan Wajib Pajak pelaksana pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital, 3. tulisan METERAI TERAAN, 4. tulisan nominal tarif Bea Meterai, 5. tulisan tanggal, bulan, dan tahun dilaksanakannya pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital, 6. nomor mesin, dan 7. kode unik. Warna teraan Bea Meterai lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital adalah warna merah 5) KETENTUAN LAIN 1. Penggunaan Mesin Teraan Meterai Digital tanpa izin tertulis dari Dirjen Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 UU 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai; 2. Bea Meterai yang kurang dilunasi karena kelebihan pemakaian, dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai yang kurang dibayar. 3. Penggunaan mesin teraan meterai yang melewati masa berlakunya izin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan izin. 4. Penyampaian laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan izin.

19 17 B. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN TEKNOLOGI PERCETAKAN 1) PERSYARATAN 1. Bea Meterai dengan teknologi percetakan hanya diperkenankan untuk dokumen berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun. 2. Mengajukan permohonan secara tertulis kepada Dirjen Pajak dengan mencantumkan: jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai; dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar. 3. WP harus membayar Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai dengan menggunakan SSP. MAP: KJS: WP/ Perusahaan yang mendapat izin Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan pembubuhan Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan adalah: Perum Peruri; Perusahaan percetakan sekuriti yang mendapat izin Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) dan ditunjuk Bank Indonesia untuk mencetak warkat baku otomasi kliring, yaitu: PT Wahyu Abadi

20 18 PT Graficindo Megah Utama PT Swadarhama Eragrafindo Sarana PT Jasuindo Tiga Perkasa PT Sandipala Arthaputra PT Aria Multi Graphia PT Cicero Indonesia PT Royal Standard PT Stacopa Raya 2) JANGKA WAKTU PENYELESAIAN Jangka waktu penyelesaian paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima lengkap. 3) KEWAJIBAN WP YANG TELAH MENDAPAT IZIN Menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lamabat tanggal 10 setiap bulan. 4) KETENTUAN LAIN 1. Bea Meterai yang tertera pada cek, bilyet giro dan efek yang belum dipergunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, pembubuhan Bea Meterai dengan tekonologi percetakan atau dengan sistem komputerisasi. Jika ingin melakukan pengalihan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencatumkan alasan secara tertulis dan jumlah yang akan dialihkan. 2. WP yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi percetakan tanpa izin tertulis dari Direktur

21 19 Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun (sesuai Pasal 14 UU 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai). 3. Jika laporan bulanan disampaikan melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan izin. C. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MEMBUBUHKAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN SISTEM KOMPUTERISASI Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi, harus mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran ke Kas Negara. Penerbit dokumen yang mendapatkan izin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas

22 20 dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan. Izin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan izin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya. Penerbit dokumen yang mempunyai saldo Bea Meterai kurang dari estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan permohonan izin baru dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar kekurangan yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan 1 (satu) bulan. Bea Meterai yang belum dipergunakan karena sesuatu hal, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi tanpa izin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari pembayaran di muka yang dilakukan, dikenakan sanksi denda administrasi sebesar

23 % dari Bea Meterai kurang bayar. Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisai yang melewati masa berlakunya izin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan izin. Penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan izin.

24 22

25 23 KUMPULAN PERATURAN TERKAIT BEA METERAI

26 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap warganya untuk berperan menghimpun dana pembiayaan yang memadai, terutama harus bersumber dari kemampuan dalam negeri, hal mana merupakan perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka mencapai tujuan Pembangunan Nasional; b. bahwa Bea Meterai yang selama ini dipungut berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, perlu diadakan pengaturan kembali tentang Bea Meterai yang lebih bersifat sederhana dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat;

27 25 d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas perlu dikeluarkan undang-undang baru mengenai Bea Meterai yang menggantikan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921); Menimbang : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262); Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN : Dengan mencabut Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (Staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38). Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BEA METERAI

28 26 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 (1) Dengan nama Bea Meterai di kenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam Undang-undang ini. (2) Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan : a. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan; b. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia; c. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan; d. Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterai-nya belum dilunasi sebagaimana mestinya; e. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

29 27 BAB II OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI Pasal 2 (1) Dikenakan Bea Meterai atas dokumen yang berbentuk : a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata; b. akta-akta notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya; d. surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp ,- (satu juta rupiah) : 1) yang menyebutkan penerimaan uang; 2) yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; 4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; e. surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp ,- (satu juta rupiah); f. efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp ,- (satu juta rupiah).

30 28 (2) Terhadap dokumen sebagaimana dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp.1.000,- (seribu rupiah). (3) Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp.1000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan: a. surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; b. surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula; (4) Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp ,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp ,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp.500,- (lima ratus rupiah) dan apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp ,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai. Pasal 3 Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Pasal 4 Tidak dikenakan Bea Meterai atas : a. dokumen yang berupa :

31 29 1) surat penyimpanan barang; 2) konosemen; 3) surat angkutan penumpang dan barang; 4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3); 5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; 6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; 7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6). b. segala bentuk Ijazah; c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu; d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank; e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; f. tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi; g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan

32 30 Pegadaian; i. tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Pasal 5 Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal : a. dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan; b. dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat; c. dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Pasal 6 Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. BAB III BENDA METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA Pasal 7 (1) Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. (2) Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara : a. menggunakan benda meterai; b. menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

33 31 (3) Meterai tempel di rekatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai. (4) Meterai tempel di rekatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. (5) Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel. (6) Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas. (7) Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi. (8) Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai. (9) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai. Pasal 8 (1) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar. (2) pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus melunasi Bea Meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.

34 32 Pasal 9 Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian. Pasal 10 Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang tetapkan oleh Menteri Keuangan. BAB IV KETENTUAN KHUSUS Pasal 11 (1) Pejabat pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan : a. menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya atau kurang dibayar; b. meletakan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan; c. membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar; d. memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.

35 33 (2) Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 12 Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat. BAB V KETENTUAN PIDANA Pasal 13 Di pidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana : a. barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai; b. barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak; c. barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau di masukan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan dengan melawan hak; d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakasperkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai.

36 34 Pasal 14 (1) Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana di maksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. (2) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan. BAB VI KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 (1) Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterainya yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, bea meterainya tetap terhutang berdasarkan aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921). (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri Keuangan. Pasal 16 Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.

37 35 BAB VII KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 18 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran negara Republik Indonesia Disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd S O E H A R T O Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1985 MENTERI/SEKR555ETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd SUDHARMONO, S.H. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 69

38 36 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI UMUM Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan Nasional. Salah satu cara dalam mewujudkan peran serta masyarakat tersebut adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea Meterai terhadap dokumen-dokumen tertentu yang digunakan. Pengaturan pengenaan bea Meterai selama ini yang terdapat dalam Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) (staatsblad Tahun 1921 Nomor 498) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 2 Prp Tahun 1965 (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 121), yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang No 7 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 38) tidak sesuai lagi dengan keperluan dan perkembangan keadaan di Indonesia sehingga perlu disederhanakan. Untuk itu Undang-undang ini tidak lagi mencantumkan Bea Meterai menurut luas kertas dan Bea Meterai sebanding

39 37 melainkan hanya Bea Meterai tetap yang besarnya Rp.1.000,- (seribu rupiah) dan Rp 500,- (lima ratus rupiah). Selanjutnya untuk kesederhanaan dan kemudahan pemenuhan Bea Meterai maka pelunasannya cukup dilakukan dengan menggunakan meterai tempel dan kertas meterai, sehingga masyarakat tidak perlu lagi datang ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak, untuk memperoleh Surat Kuasa Untuk Menyetor (SKUM). Yang dikenakan Bea Meterai dibatasi pada dokumendokumen yang disebut dalam Undang-undang ini, yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Untuk melunasi Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar beserta dendanya (jika ada) dilakukan dengan cara pemeteraian kemudian (nexegeling). Pasal 1 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. PASAL DEMI PASAL Pasal 2 Ayat (1) Huruf a Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, di bebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau suratsurat yang dipegangnya.

40 38 Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d, huruf e, dan huruf f Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d, huruf e, dan huruf f ini juga dimaksudkan jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ayat ini dimaksudkan untuk mengenakan Bea Meterai atas surat-surat yang semula tidak kena Bea Meterai, tetapi karena kemudian digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan maka lebih dahulu harus dilakukan pemeteraian-kemudian. Huruf a Surat-surat biasa yang dimaksud dalam huruf a ayat ini dibuat tidak untuk tujuan sesuatu pembuktian misalnya seseorang mengirim surat biasa kepada orang lain untuk menjualkan sebuah barang.

41 39 Surat semacam ini pada saat dibuat tidak kena Bea Meterai, tetapi apabila kemudian dipakai sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka terlebih dahulu dilakukan pemeteraian-kemudian. Surat-surat kerumahtanggaan misalnya daftar barang. Daftar ini dibuat tidak dimaksudkan untuk digunakan sebagai alat pembuktian, oleh karena itu tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian ada sengketa dan daftar harga barang ini digunakan sebagai alat pembuktian, maka daftar harga barang ini terlebih dahulu dilakukan pemeteraiankemudian. Huruf b Surat-surat yang dimaksud dalam huruf b ayat ini ialah surat-surat yang karena tujuannya tidak dikenakan Bea Meterai, tetapi apabila tujuannya kemudian diubah maka surat yang demikian itu dikenakan Bea Meterai. Misalnya tanda penerimaan tidak dikenakan Bea Meterai. Apabila kemudian tanda penerimaan uang tersebut digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, maka tanda penerimaan uang tersebut harus dilakukan pemeteraian-kemudian terlebih dahulu. Ayat (4) Lihat penjelasan ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a

42 40 Angka 1 Cukup Jelas Angka 2 Cukup Jelas Angka 3 Cukup Jelas Angka 4 Cukup Jelas Angka 5 Cukup Jelas Angka 6 Cukup Jelas Angka 7 Yang dimaksud dengan surat-surat lainnya dalam angka 7 ini ialah surat-surat yang tidak disebut pada angka 1 sampai dengan angka 6 namun karena isi dan kegunaannya dapat disamakan dengan surat-surat yang dimaksud, seperti surat titipan barang, cell gudang, manifest penumpang, maka surat yang demikian ini tidak dikenakan Bea Meterai, menurut Pasal 4 huruf a ini. Huruf b Termasuk dalam pengertian segala bentuk ijazah ini ialah surat tanda tamat belajar, tanda lulus, surat keterangan telah mengikuti sesuatu pendidikan, latihan, kursus, dan penataran. Huruf c Cukup Jelas

43 41 Huruf d Cukup Jelas Huruf e Bank yang dimaksud dalam huruf e ini adalah bank yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk menerima setoran pajak, bea dan cukai. Huruf f Cukup Jelas Huruf g Cukup Jelas Huruf h Cukup Jelas Huruf i Cukup Jelas Pasal 5 Huruf a Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf a, adalah pada saat dokumen itu diserahkan dan diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuitansi, cek, dan sebagainya. Huruf b Saat terhutang Bea Meterai atas dokumen yang termasuk pada huruf b, adalah pada saat dokumen itu telah selesai dibuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. sebagai contoh surat perjanjian jual beli.

44 42 Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian trsebut. Huruf c Cukup jelas Pasal 6 Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masingmasing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut. Pasal 7 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Pada umumnya Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan

45 43 dalam Undang-undang ini. Disamping itu dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan Bea Meterai, misalnya membubuhkan tanda-tera sebagai pengganti benda meterai di atas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu. Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Ayat (5) Yang sejenis dengan tinta misalnya pensil tinta, ballpoint dan sebagainya. Ayat (6) Cukup jelas Ayat (7) Ayat ini menegaskan bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai. Andai kata bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan, akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terhutang Bea Meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Jika sehelai kertas meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh

46 44 pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi. Ayat (8) Cukup jelas Ayat (9) Cukup jelas Pasal 8 Ayat (1) Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 9 Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak digunakan di Indonesia. Jika dokumen tersebut hendak digunakan di Indonesia harus dibubuhi meterai terlebih dahulu yang besarnya sesuai dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dengan cara pemeteraian-kemudian tanpa denda. Namun apabila dokumen tersebut baru dilunasi Bea Meterainya sesudah digunakan, maka pemeteraiankemudian dilakukan berikut dendanya sebesar 200% (dua ratus persen).

47 45 Pasal 10 Cukup jelas Pasal 11 Cukup jelas Pasal 12 Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa 5 (lima) tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. Pasal 13 Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) tanpa izin Menteri Keuangan, akan menimbulkan keuntungan bagi pemilik atau yang menggunakannya, dan sebaliknya akan menimbulkan kerugian bagi Negara. Oleh karena itu harus dikenakan sanksi pidana berupa hukuman setimpal dengan kejahatan yang diperbuatnya. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 15 Ayat (1)

48 46 Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Pasal 16 Cukup jelas Pasal 17 Cukup jelas Pasal 18 Cukup jelas TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3313

49 47 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka pembangunan nasional maka peran serta segenap masyarakat perlu ditingkatkan dalam menghimpun dana pembiayaan yang sumbernya sebagian besar dari sektor perpajakan; b. besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat; c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu untuk mengatur kembali mengenai besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai;

50 48 Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3313): MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI. Pasal 1 Dokumen yang dikenakan Bea Meterai berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai adalah dokumen yang berbentuk : a. surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang berifat perdata; b. akta-akta Notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya; d. surat yang memuat jumlah uang, yaitu : 1) yang menyebutkan penerimaan uang;

51 49 2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di Bank; 3) yang berisi pemberitahuan saldo rekening di Bank; atau 4) yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan; e. surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep; atau f. dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan, yaitu : 1) surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan; 2) surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari maksud semula. Pasal 2 1. Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). 2. Dokumen sebagaimana dimaksud pada Pasal I huruf d dan huruf e:

52 50 a. yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp ,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah), tidak dikenakan Bea Meterai; b. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp ,00 (dua ratuslima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp ,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah); c. yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp ,00 (satu juta rupiah), dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). Pasal 3 Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal. Pasal 4 1. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan RP ,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah), sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp ,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah).

53 51 2. Sekumpulan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat kolektif vang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp ,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) sedangkan yang mempunyai harga nominal lehih dari Rp ,00 (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). Pasal 5 Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1995 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai, dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pasal 7 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Mei Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

54 52 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 20 April 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 20 April 2000 Pj. SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA ttd BONDAN GUNAWAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 51

55 53 PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI U M U M Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kcwajiban yang sama kepada semua Warga Negara untuk berperan serta dalam pembangunan. Dalam rangka menyesuaikan dengan perkembangatn ekonomi dan untuk meningkatkan keikutsertaan segenap warga masyarakat untuk berperan serta menghimpun dana pembangunan, maka salah satu cara dalam mewujudkannya adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran Bea Meterai atas dokumen-dekumen tertentu yang digunakan. Besarnya tarif Bea Meterai yang berlaku sekarang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat sehingga perlu dilakukan penyesuaian yang wajar. Sesuai dengan Pasal 3 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominai yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya 6 (enam) kali.

56 54 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka perlu diatur kembali mengenai besarnya tariff Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai dengan Peraturan Pemerintah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Huruf a Pihak-pihak yang memegang surat perjanjian atau surat-surat lainnya tersebut, dibebani kewajiban untuk membayar Bea Meterai atas surat perjanjian atau suratsurat yang dipegangnya. Yang dimaksud surat-surat lainnya pada huruf a ini antara lain surat kuasa, surat hibah, dan surat pernyataan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d dan huruf e Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut dalam huruf d dan huruf e ini juga meliputi jumlah uang ataupun harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, maka jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan Bea Meterai.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan

Lebih terperinci

NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI

NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 1985 TENTANG BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Pembangunan Nasional menuntut keikutsertaan segenap

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai. Resume by : VED SE,MSi,Ak,CA OBJEK BEA METERAI PENGERTIAN BEA METERAI Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai Atas setiap

Lebih terperinci

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB IX BEA METERAI

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB IX BEA METERAI 175 BAB IX BEA METERAI PENGERTIAN Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut Undang-Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Dokumen yang dikenai bea meterai antara

Lebih terperinci

UU 13/1985, BEA METERAI. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:13 TAHUN 1985 (13/1985) Tanggal:27 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Tentang:BEA METERAI

UU 13/1985, BEA METERAI. Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor:13 TAHUN 1985 (13/1985) Tanggal:27 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Tentang:BEA METERAI UU 13/1985, BEA METERAI Oleh:PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor:13 TAHUN 1985 (13/1985) Tanggal:27 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Tentang:BEA METERAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Segenap warga negara berperan dalam menghimpun dana Pembangunan Nasional. Salah satu caranya adalah dengan memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan Bea meterai terhadap

Lebih terperinci

DASAR HUKUM, OBYEK DAN TARIF BEA MATERAI

DASAR HUKUM, OBYEK DAN TARIF BEA MATERAI BEA METERAI DASAR HUKUM, OBYEK DAN TARIF BEA MATERAI A. DASAR HUKUM 1. UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai 2. PP No. 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif Bea Materai dan Besarnya Batas Pengenaan

Lebih terperinci

MAKALAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN BEA MATERAI

MAKALAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN BEA MATERAI MAKALAH PAJAK BUMI DAN BANGUNAN BEA MATERAI Dosen Pengampu : Rosalita Rachma Agusti, SE, MSA, AK Disusun Oleh : Kelompok 3 Ulva Novita Sari (145030400111012) Yolanda Putri Zona (145030401111004) Alifah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA METERAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN BEA TARIF METERAI DAN BESARNYA BATAS PENGENAAN HARGA NOMINAL YANG DIKENAKAN BEA MATERAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BEA MATERAI. Bea Materai

BEA MATERAI. Bea Materai BEA MATERAI 1 PENGERTIAN ; Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang : perbuatan,- keadaan/ kenyataan bagi seseorang dan/ atau pihak-pihak yang berkepentingan.

Lebih terperinci

Menjelaskan Pengertian Bea Meterai. Menjelaskan Objek Pemungutan Bea Meterai. Menjelaskan Saat Terutangnya Bea Meterai

Menjelaskan Pengertian Bea Meterai. Menjelaskan Objek Pemungutan Bea Meterai. Menjelaskan Saat Terutangnya Bea Meterai BEA METERAI 4 Menjelaskan Pengertian Bea Meterai Menjelaskan Objek Pemungutan Bea Meterai Menjelaskan Jenis Dokumen yang Dikenakan Tarif Bea Meterai Menjelaskan Jenis Dokumen yang Tidak Dikenakan Tarif

Lebih terperinci

BEA MATERAI. Bea Materai

BEA MATERAI. Bea Materai BEA MATERAI Bea Materai 24 August 2013 DASAR HUKUM KETENTUAN BEA MATERAI UU UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai PP PP No. 28 Th. 1986 Pengadaan, Pengelolaan dan Penjualan Benda Materai PP No. 7 Th.

Lebih terperinci

BEA MATERAI. Pengenaan pajak atas dokumen

BEA MATERAI. Pengenaan pajak atas dokumen BEA MATERAI Pengenaan pajak atas dokumen Benda materai : Materai tempel dan kertas materai yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pemateraian kemudian : suatu cara pelunasan bea materai yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai

Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai BEA METERAI Pengertian Bea Meterai Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen berupa kertas yang menurut Undang- Undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai Objek Pemungutan Bea Meterai Dokumen

Lebih terperinci

Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Hasanuddin Tatang

Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Hasanuddin Tatang Hak cipta : Seluruh tulisan pada modul ini merupakan milik dari Pusdiklat Pajak BPPK, hasil tulisan dari Widyaiswara Pusdiklat Pajak, Hasanuddin Tatang Modul ini dapat digunakan dalam rangka proses pembelajaran,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ketentuan

Lebih terperinci

BEA METERAI. Modul PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BEA METERAI. Modul PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Modul BEA METERAI DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I JAKARTA, 25 FEBRUARI 9 MEI 2008 PUSDIKLAT PERPAJAKAN BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA Jl. Sakti Raya

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 27 /PJ/2013 TENTANG PELAKSANA PEMBUBUHAN TANDA BEA METERAI LUNAS DENGAN TEKNOLOGI PERCETAKAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.568, 2014 KEMENKEU. Pemeteraian. Kemudian. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 /PMK.03/ TENTANG TATA CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep dan Ketentuan Hukum Meterai 1. Pengertian Meterai Meterai menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (selanjutnya disebut UUBM)

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KANTOR WILAYAH... KANTOR PELAYANAN PAJAK... Jalan... Telepon :... Fax :...

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KANTOR WILAYAH... KANTOR PELAYANAN PAJAK... Jalan... Telepon :... Fax :... DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK KANTOR WILAYAH... KANTOR PELAYANAN PAJAK... Lampiran 1 Nomor : SE-05/PJ.5/2001 Jalan... Telepon :...... Fax :... IJIN PEMBUBUHAN TANDA BEA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.131, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA EKONOMI. Pajak. Pengampunan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5899) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace diubah: UU 9-1994 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 1983 (ADMINISTRASI. FINEK. PAJAK. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

b. akta-akta notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPA[) termasuk rangkap-rangkapnya;

b. akta-akta notaris termasuk salinannya; c. akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPA[) termasuk rangkap-rangkapnya; PBRATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMORT TAHUN 1995 TBNTANG PERUBAHAN TARIF BEA METERAI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2016 TENTANG PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 141/PMK.03/2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 118/PMK.03/2016 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 12 TAHUN 1985 TENTANG PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. Bahwa pajak merupakan salah satu sumber

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA www.legalitas.org PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 20 TAHUN 1997 (20/1997) Tanggal: 23 MEI 1997 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 20 TAHUN 1997 (20/1997) Tanggal: 23 MEI 1997 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 20 TAHUN 1997 (20/1997) Tanggal: 23 MEI 1997 (JAKARTA) Sumber: LN NO. 1997/43; TLN NO. 3687 Tentang: PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN

Lebih terperinci

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN Copyright (C) 2000 BPHN UU 21/1997, BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN *9928 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 1997 (21/1997) TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 T E N T A N G PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1973, 2014 KEMENKEU. Pajak. Penyetoran. Pembayaran. Tata Cara. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242 /PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN

Lebih terperinci

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

-1- RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA -1- DRAFT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 1997 TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 242/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMBAYARAN DAN PENYETORAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

POSBAKUMADIN CIREBON

POSBAKUMADIN CIREBON UNDANG-UNDANG (UU) Nomor: 21 TAHUN 1997 (21/1997) Tanggal: 29 MEI 1997(JAKARTA) Sumber: LN NO. 1997/44; TLN NO.3688 Tentang BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2016 TANGGAL 1 JULI 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

SURAT PERNYATAAN KEPEMILIKAN MESIN TERAAN METERAI DIGITAL (MTMD) Nama/Nama Perusahaan :... Nomor Pokok Wajib Pajak :... Alamat :... Jenis Usaha :...

SURAT PERNYATAAN KEPEMILIKAN MESIN TERAAN METERAI DIGITAL (MTMD) Nama/Nama Perusahaan :... Nomor Pokok Wajib Pajak :... Alamat :... Jenis Usaha :... LAMPIRAN 1 PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-45/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pelunasan Bea Materai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Materai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PERPAJAKAN KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK DIREKTORAT PENYULUHAN PELAYANAN DAN HUBUNGAN MASYARAKAT KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Assalamualaikum

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 34 TAHUN 2016 TENTANG PAJAK PENGHASILAN ATAS PENGHASILAN DARI PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN, DAN PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI ATAS TANAH DAN/ATAU

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 135 TAHUN 2000 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2016 TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 43, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP) NOMOR 3 TAHUN 1998 (3/1998) TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa sebagai

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG, Menimbang : a. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2007 Ditetapkan tanggal 17 Juli 2007 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang Mengingat : a. bahwa Negara

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 18 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUDUS, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MENIMBANG: a. bahwa pembangunan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia`yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 80 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN HAK DAN KEWAJIBAN PERPAJAKAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.366, 2016 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEUANGAN. Daerah Pabean Indonesia. Uang Tunai. Instrumen Pembayaran Lain. Pembawaan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani

BAB II LANDASAN TEORI. pajak, diantaranya pengertian pajak yang dikemukakan oleh Prof. Dr. P. J. A. Adriani II.1. Dasar-dasar Perpajakan Indonesia BAB II LANDASAN TEORI II.1.1. Definisi Pajak Apabila membahas pengertian pajak, banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya pengertian pajak yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1998 TENTANG TATA CARA PENYITAAN DALAM RANGKA PENAGIHAN PAJAK DENGAN SURAT PAKSA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGAMPUNAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1985 (FINEK. PAJAK. AGRARIA. Bangunan. Ekonomi. Uang. Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright 2002 BPHN UU 20/1997, PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK *9884 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 20 TAHUN 1997 (20/1997) TENTANG PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 49, 2009 CUKAI. Sanksi. Denda. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07 1 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR : 07 TAHUN 2012 TLD NO : 07 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUARO JAMBI NOMOR 07 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK PENERANGAN JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.168, 2015 EKONOMI. Pajak Penghasilan. Perjanjian Pengikatan. Pengalihan Hak. Tanah. Bangunan. Pencabutan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG

PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PEMERINTAH KABUPATEN REJANG LEBONG PERATURAN DAERAH KABUPATEN REJANG LEBONG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI REJANG LEBONG Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP)

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU KUP) SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 1997 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. Bahwa Negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGAWI NOMOR 19 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI NGAWI, Menimbang : a. bahwa dengan telah diundangkannya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755]

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI [LN 2007/105, TLN 4755] 15. Ketentuan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6),

Lebih terperinci

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.

: PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI. - 2 - e. bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKULU TENGAH NOMOR 05 TAHUN 2011 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKULU TENGAH

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 476/KMK.03/2002 TENTANG PELUNASAN BEA METERAI DENGAN CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 476/KMK.03/2002 TENTANG PELUNASAN BEA METERAI DENGAN CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 476/KMK.03/2002 TENTANG PELUNASAN BEA METERAI DENGAN CARA PEMETERAIAN KEMUDIAN Menimbang : MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Bahwa dalam rangka untuk

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOM0R : 27 TAHUN : 2011 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOGOR NOMOR 27 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK PARKIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOGOR, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace dicabut: UU 40-2007 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 13, 1995 ( Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3587) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 2007 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 1995 TENTANG CUKAI Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a.

Lebih terperinci