Mengenal PERLINDUNGAN SAKSI DI JERMAN Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Mengenal PERLINDUNGAN SAKSI DI JERMAN Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch"

Transkripsi

1 Mengenal PERLINDUNGAN SAKSI DI JERMAN Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch 2005

2 DAFTAR ISI A. Pengantar B. Perlindungan Saksi Di Jerman 1. Tujuan dan Maksud Perlindungan Saksi di Jerman 2. Definisi Saksi 3. Hak-Hak Saksi 4. Kewajiban Saksi C. Kantor Perlindungan Saksi di Jerman 1. Status dan Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Jerman 2. Tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi D. Praktek Perlindungan Saksi di Jerman Daftar Singkatan Lampiran Undang-Undang Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam Ancaman (teks asli) Undang-Undang Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam Ancaman (terjemahan)

3 Perlindungan Saksi di Jerman A. Pengantar Perlindungan Saksi merupakan masalah yang menjadi perhatian di seluruh dunia, oleh mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan. Untuk mencapai keadilan tersebut, pelaku tindak pidana harus diadili. Namun bukan rahasia umum lagi, bahwa keadilan seringkali tidak tercapai. Pelaku tindak pidana harus dibebaskan karena dalam proses persidangan tidak terdapat cukup alat bukti dalam proses pembuktian dipersidangan untuk menyeret pelaku ke penjara. Salah satu kontribusi ketidakcukupan alat bukti tersebut adalah tidak bersedianya saksi untuk memberikan kesaksiaannya di muka pengadilan. Ketidakbersediaannya itu pada umumnya memiliki alasan yang sama di negara manapun, yaitu tidak adanya jaminan perlindungan baik yang dituangkan melalui instrumen hukum maupun tindakan yang dapat diberikan oleh negara untuk keselamatan mereka apabila mereka bersedia untuk bersaksi. Kesadaran negara-negara di dunia untuk memberikan fokus perlindungan saksi pada umumnya baru muncul di akhir abad ke 20. Salah satunya adalah negara Jerman. Tulisan berikut ini menguraikan pengaturan Perlindungan Saksi di Jerman berdasarkan Undang-undang mereka. B. Perlindungan Saksi Di jerman 1. Tujuan dan Maksud Perlindungan Saksi di Jerman Masalah Perlindungan Saksi di Jerman diatur dalam dua Undang-undang, yaitu dalam KUHAP Jerman (Strafprozessordnung/StPO),yang pada tahun 1998 diadakan perubahan khusus untuk masalah perlindungan Saksi melalui UU Perlindungan Saksi Dalam Proses Pemeriksaan Pidana dan Perlindungan Terhadap Korban (Zeugenschutzgesetz/ZschG). 1 Undang-undang ini menekankan pada Hak-hak dalam proses pemeriksaan. Namun ZschG ini kurang mengakomodir hak-hak saksi secara khusus, seperti halnya Hak-hak Saksi dalam Ancarnan, yang seringkali merupakan saksi kunci atas Tindak Pidana Berat. Selain itu, pelaksanaan pemberian perlindungan saksi tunduk pada wewenang masing-masing negara bagian Jerman. Tentunya setiap negara bagian memiliki kebjiakan yang berbeda. Perbedaan itu dirasakan akan merepotkan apabila saksi berdasarkan suatu peraturan Negara bagian dapat dilindungi, namun ketika dia harus pergi ke negara bagian lain besar kemungkinan dia tidak bisa dilindungi. Oleh karena itu perlu diterbitkan suatu peraturan yang merupakan harmonisasi dari masing-masing perundang-undangan perlindungan saksi dari setiap Negara Bagian Jerman. Sehubungan dengan itu pada tahun 2001 pemerintah Jerman mengesahkan UU Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam Bahaya (Zeugenschutzharmonisierungsgesetz/ZshG). 2 Undang-undang ini mengatur harmonisasi dari perundang-undangan negara bagian tentang perlindungan terhadap Saksi. UU ini hanya mengatur Perlindungan Saksi secara umum. Dalam Undang-undang ini tidak dibedakan antara Saksi dengan Saksi 1 Naskah asli Undang-undang Perlindungan Saksi Zeugenschutzgesetz tahun 1998 dapat dilihat di 2 Naskah asli Undang-undang Harmonisasi Perlindungan Saksi Zeugenschutzharmonisierungsgesetz tahun 1998 dapat dilihat di - rgerling/gesetze/zshg.html

4 Korban. Selanjutnya UU ini tidak mengatur tentang perlindungan saksi yang merupakan Saksi Pelapor (whistle blower). UU federal ini berlaku sejak tanggal 1 Januari UU harmonisasi ini ada, karena Jerman itu negara federalis dan setiap negara bagian (ada 16 negara bagian) mempunyai aparat kepolisian sendiri yang terpisah satu sama lainnya dari setiap negara bagian. Perlindungan saksi itu langsung dilakukan oleh aparat polisi sendiri atau otoritas lain. Undang-undang ZshG ini dibuat dengan salah satu tujuan agar saksi yang menjadi kunci penting dari suatu tindak pidana yang bersifat ekstrim seperti Kejahatan Terorganisasi (Organized Crime), Terrorisme bersedia untuk memberikan kesaksiaannya, mengingat apabila jaminan keselamatan tidak diberikan, maka Saksi akan enggan untuk memberikan kesaksiannya. Meskipun demikian, saksi dari tindak pidana yang lain juga tidak tertutup kemungkinan untuk dimasukkan dalam program perlindungan saksi yang diatur secara khusus dalam UU tersebut. Untuk itu, para saksi dan orang-orang terdekatnya harus diberikan perlindungan yang efektif dan memadai. Pemberian perlindungan itu tidak saja hanya pada saat pemberian kesaksian di pengadilan, namun juga mengikutsertakan Saksi dan Orang-orang terdekatnya pada Program perlindungan Saksi pada kasus-kasus yang bersifat ekstrim, yang dapat berlangsung selama dan setelah proses persidangan usai. Program Perlindungan Saksi meliputi usaha merealokasi Saksi dan Orangorang terdekatnya, memberikan terapi kesehatan mental, penyediaan lapangan kerja sementara ditempat baru tersebut, pemberian tunjangan hidup, dan lain-lain. Agar Saksi dapat diikutkan dalam program perlindungan saksi ini, persyaratan utamanya adalah bahwa tindak pidana yang dilakukan termasuk tindak pidana berat, yang mana tanpa adanya perlindungan bagi saksi terkait, sulit mengadili perkara tersebut. 2. Definisi Saksi Undang-undang ini berlaku untuk para saksi, baik Saksi korban dan Saksi bukan korban. Namun, UU ini tidak menjelaskan secara terperinci tentang Saksi Pelapor. Menurut UU ini, Perlindungan Saksi dan Perlindungan Korban merupakan definisi yang dapat digunakan secara synonim, karena pada dasarnya Korban yang terkait memiliki dua status, yakni sebagai korban dari Tindak pidana, dan juga sebagai saksi yang dapat memberikan kesaksian (pasal 180b, 181 StGB (KUHP Jerman). Berikut ini ada beberapa istilah Saksi yang digunakan dalam perundangundangan Jerman: a. Saksi merupakan seseorang yang seharusnya memberikan keterangan mengenai suatu peristiwa melalui kesaksiannya di depan hakim. Nilai pembuktian dari kesaksian saksi sekarang ini dinilai secara berbeda-beda. Meskipun demikian, Saksi dalam penuntutan pelaku pidana di bidang kerjahan kelas berat bukan hanya bersifat penting, namun juga satusatunnya alat pembuktian yang tidak dapat diabaikan. b. Saksi Penyamar: Yang dimaksud dengan saksi ini adalah saksi yang secara pekerjaan memiliki resiko bahaya, seperti misalnya petugas polisi penyelidik, kejaksaan dan hakim yang sedang melakukan penyamaran. 3 c. Saksi Korban merupakan seorang saksi yang pada saat bersamaan merupakan korban dari suatu tindak pidana. Untuk Saksi korban ini 3 Evita Kauzene & Eiko Gors, Zeugenschutz im Bereich der Organisierten Kriminalitat, S.30

5 diberikan hak Nebenklage (Pasal 395 KUHAP) dan adhadsionsverfahren (Pasal 403 KUHAP), maupun hak mendapatkan seorang Pengacara (Pasal 406 KUHAP), maupun hak mendapatkan seorang Pengacara (Pasal 406 KUHAP) d. Saksi Secara Kebetulan: Mereka adalah orang-orang yang telah melihat suatu tindak pidana, karena secara kebetulan mereka berada waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. e. Saksi Sebagai Pelaku: adalah mereka yang merupakan bagian suatu kelompok pelaku tindak pidana, dan kemudian keluar dari kelompok tersebut dan melaporkan kepada Polisi. Mereka memiliki informasi dari kelompok yang telah ia tinggalkan. 3. Hak-Hak Saksi Kedua UU Perlindungan Saksi di jerman ini tidak membedakan pengertian hak-hak umum maupun hak-hak khusus. UU tersebut hanya mengatur secara garis besar mengenai Hak Saksi Dalam Ancaman, namun UU tersebut belum secara merinci menjelaskan isi Hak-hak Saksi Dalam Ancaman. Selanjutnya, UU ZschG mengatur masalah hak-hak Saksi selama masa Pemeriksaan Saksi di Persidangan. ZshG mengatur hak-hak saksi dalam ancaman, yang memiliki kaitan erat dengan tindak pidana berat, setelah maraknya kasus-kasus yang bermotifkan terorisme dan kejahatan terorganisasi. ZshG mengatur Hal-Hak Saksi Dalam Ancaman, baik itu dalam masa Pemeriksaan Saksi di Persidangan maupun setelah persidangan usai, melalui Program Perlindungan Saksi. a. Hak-Hak Saksi Sebelum Proses Persidangan Tersangka dan Pengacaranya tidak diperkenankan untuk hadir dalam pemeriksaan Saksi yang berada dalam Ancaman. Apabila tersangka dan pengacaranya mengajukan permohonan untuk hadir, maka Permohonan tersebut dapat ditolak, begitu juga kehadiran dari Tersangka dapat ditolak apabila ia hadir dalam persidangan secara tiba-tiba. Hak ini diatur dalam Pasal 161 a dan 163 a V StPO 1) Proses Pemeriksaan Saksi di Kepolisian dan Kejaksaan Seorang saksi dalam memberikan kesaksian tidak boleh menyembunyikan kebenaran. Meskipun demikian, Tersangka dan Pengacaranya tidak diperkenankan untuk mengakses Berita Acara Perkara yang memuat data-data tentang saksi. Menurut Pasal 163 StPO sebenarnya, apabila seorang saksi sudah memberikan keterangan yang dibutuhkan oleh Polisi dan Jaksa, maka mereka tidak berhak untuk menanyakan masalah personal dari saksi. Pada saat pemeriksaan Saksi oleh Penuntut, pasal 68 II 1 StPo harus diperhatikan, yang didalamnya ditegaskan, apabila ada bahaya yang sangat mengancam maka informasi tentang data pribadi saksi dapat dicabut. 2) Perahasiaan Identitas Saksi UU tentang Harmonisasi Perlindungan Saksi memberikan wewenang kepada Lembaga Perlindungan Saksi (Kantor Perlindungan Saksi) untuk merahasiakan identitas Saksi dalam Ancaman. Sepanjang tidak merugikan kepentingan Pihak Ketiga, data personal saksi menurut UU tersebut dapat dirahasiakan. (Pasal 4 ZshG).

6 3) Perubahan Identitas Saksi Demi keamanan Saksi, Undang-undang Harmonisasi Perlindungan Saksi mengatur mengenai pemberian wewenang kepada Kantor Perlindungan Saksi untuk menginstruksikan kepada Kantor Umum maupun Kantor Non Umum untuk mengubah identitas saksi dalam ancaman untuk sementara waktu. Perubahan tersebut dapat dituangkan ke dalam dokumen resmi kenegaraan (Pasal 5 ZshG). Sudah diakui bahwa perubahan identitas untuk melindungi saksi merupakan hal penting. Dokumen yang diperlukan untuk merubah identitas saksi dapat dibuat atau dirubah atas perintah Kantor Perlindungan Saksi, seperti KTP, Paspor, SIM, Surat bebas tahanan, Kartu Pajak, atau segala macam ijasah. Meskipun Perubahan identitas diperkenankan dalam pasal 5 ZshG jo Pasal 68II StPO, namun muncul permasalahan terkait dengan pembuatan dokumen yang memuat perubahan identitas baru. Di Jerman sendiri belum ditemukan dasar hukum pasti untuk tindak perlindungan saksi oleh Polisi dalam rangka perubahan identitas secara berkelanjutan, mengingat Undang-undang tentang Data Diri tidak memberikan kemungkinan untuk merubah isi dari Buku Data Diri. Dengan demikian masih ada pertentangan antara kedua UU ini. Berdasarkan tujuan dari dibentuknya Buku Data Diri, dibuatnya identitas baru merupakan hal yang tidak sesuai dengan UU Data Diri. Perubahan nama berdasarkan UU tentang Perubahan Nama tahun 1937 akan sia-sia, karena perubahan tersebut harus merubah dokumentasi negara pula. Dengan demikian, kalau berpijak pada UU yang ada, maka penggunaan identitas baru dalam rangka perlindungan saksi merupakan pelanggaran hukum. Hal ini tentu saja aneh, karena meksipun pasal 68 II StPO telah membolehkan perubahan identitas tersebut, sampai saat ini Pembuat UU belum dapat membuat UU yang menjadi dasar hukum untuk keperluan perubahan dokumen tersebut. Tanpa adanya dasar hukum yang jelas, maka perubahan identitas melalui dokumen yang tidak asli dapat dikenakan tindak pidana. Hal ini tentu saja merugikan saksi itu sendiri sebagai pemohon pembuatan dokumen baru (pasal 271 StGb) dan juga instansi yang mengeluarkan dokumen yang palsu tersebut (Pasal 273 StgB.63) b. Hak-Hak Saksi Pada Saat Proses Persidangan Hak-hak saksi yang dimiliki pada saat Proses Persidangan terdiri atas dua, yaitu: 1) Pemeriksaan secara terpisah dari Tersangka Saksi memiliki Hak untuk menghadiri pemeriksaan tanpa harus menghadiri persidangan yang dihadiri oleh Tersangka. Hal ini dapat dilakukan khususnya untuk saksi dan saksi korban masih anak-anak berusia dibawah 16 tahun dan kaum perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual. Apabila dikhawatirkan kehadiran seorang Saksi pada pemeriksaan yang dihadiri oleh tersangka akan menyebabkan Saksi tidak dapat mengemukakan kebenarannya, maka Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan secara terpisah dari Tersangka (Pasal 247 ayat 1 StPO). Sebagai ketentuan pengecualian, maka Pasal 247 Ayat

7 1 StPo harus diartikan secara sempit. Unsur dari ayat 1 ini terpenuhi jika kehadiran Tersangka pada saat pemeriksaan Saksi telah mengakibatkan saksi akan menggunakan Hak untuk Tidak Memberikan Kesaksiaannya (right to refuse to give evidence) di persidangan. Selain itu juga harus dipastikan bahwa ada Bahaya mengancam yang akan mengakibatkan kerugian bagi Saksi jika konfrontasi tersebut dilakukan. Namun pemeriksaan secara terpisah ini juga sifatnya problematis. Berdasarkan pasal 247 ayat 2 KUHAP lama Jerman, pemeriksaan saksi dapat dilakukan secara terpisah, meskipun demikian, pada saat Saksi bersumpah Tersangka memiliki hak untuk hadir. Hal ini tentunya bisa membuat si Saksi untuk tidak memberikan kesaksiannya di Persidangan. 2) Pemeriksaan dengan Rekaman Kamera Berdasarkan Pasal 247a StPO, terhadap Saksi diberikan kemungkinan untuk memberikan kesaksiannya di tempat yang terpisah dari Tersangka, dengan demikian kesaksiannya dapat diberikan melalui rekaman kamera atau video yang nantinya akan disiarkan ke ruang persidangan. Syaratnya, harus ada ancaman kerugian untuk keselamatan si Saksi, yang apabila pemeriksaannya tidak dilakukan diruangan tertutup atau dipisahkan dari Tersangka. Biasanya pemeriksaan saksi seperti ini berlaku di Pengadilan yang Saksinya atau korbannya merupakan anak-anak yang berusia dibawah 16 tahun. Cara seperti ini juga dapat dilakukan untuk Saksi yang merupakan korban dari Perdagangan Manusia (Trafficking in Person), selama Saksi tersebut terlibat dalam program perlindungan saksi. Sedangkan saksi yang identitasnya harus dilindungi tentunya tidak cocok dengan cara seperti ini, karena gambar dari saksi akan tampak untuk Tersangka. c. Hak Saksi untuk didampingi Seorang Saksi yang tidak dapat memberikan kesaksiaannya seorang diri, dengan persetujuan dari Kantor Penuntut Umum dapat didampingi oleh seorang pengacara (Pasal 68b ZschG). Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan pengacara adalah Saksi tersebut tidak dapat menghadapi situasi hukum yang sangat berat dan sulit, dan apabila timbul bahaya yang harus dihadapinya, sedangkan dia tidak mungkin menghadapi bahaya tersebut tanpa didampingi oleh pengacara. Biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan pengacara bagi saksi non korban akan ditanggung oleh Terdakwa (apabila terbukti bersalah) atau ditanggung oleh Negara. 465, 464a StPO. Sedangkan biaya pengacara untuk saksi korban ditanggung secara pribadi (Pasal 406f StPO) d. Program Perlindungan Saksi Dalam UU ZshG ini memang tidak disebutkan secara terperinci hak atas perlindungan lain selain Hak untuk merahasiakan identitas dan merubah identitas. Namun ZsHG ini menyebutkan, apabila sangat mendesak dan dalam kasus-kasus ekstrim, maka terhadap saksi akan diikutsertakan dalam program perlindungan saksi. Tujuan dari program ini adalah untuk mempertahankan kemampuan dan kesiapan bagi seorang saksi untuk tetap dapat memberikan pernyataan kesaksiannya sampai pada saat pemeriksaan di Pengadilan. Kepastian pelaksaan program ini dilakukan

8 oleh Kantor Perlindungan Saksi pada Kepolisian. Seorang saksi dalam ancaman dapat dilindungi apabila didapatkan fakta bahwa keselamatan atas dirinya (baik untuk tubuh, jiwa, kesehatan, harta atau kebebasaanya) terancam. 4 Tindakan Perlindungan terhadap saksi dapat dihentikan apabila diketahui salah satu unsur keselamatan yang disyaratkan diatas tidak terpenuhi meskipun persidangan belum berakhir. Sebaliknya, apabila keselamatan Saksi tersebut sangat terancam, meskipun persidangan telah usai, namun perlindungan tersebut masih dapat diberikan. Adapun perlindungan yang dapat diberikan oleh Polisi tersebut adalah sebagai berikut: 5 1) Nasehat Umum: Melalui masukan umum maka saksi akan diberikan teman bicara, yang kepadanya saksi dapat menceritakan keadaan bahaya yang sedang melandanya. 6 2) Bantuan untuk Membela Diri: Saksi-saksi memilih untuk tinggal di tempat kediamannya selama ini, akan dibekali pengamanan untuk diri sendiri. Pembekalan tersebut akan diberikan oleh Kepolisian yang berwenang. 7 3) Pengawasan terhadap Saksi dan perlindungan terhadap harta benda Saksi: Tergantung tingkat bahaya yang mungkin datang, tempat kediaman dan tempat kerja serta harta benda saksi dapat dijaga. 8 4) Operatif untuk Penyerang yang Potensial: Tindakan Perlindungan terhadap saksi akan terlaksana secara efektif apabila Polisi mendapatkan informasi yang memadai. Hal informasi ini dapat dimulai dengan menyelidiki identitas orang-orang yang mengamati Saksi atau mulai menyelidiki rumah saksi, siapa saja tamu yang dicurigai yang mendatangi saksi. 9 5) Daerah Tempat Tinggal Baru: Jika tempat kediaman Saksi telah diketahui oleh sipengancam, maka sebagaimana tindakan telah dilakukan sejak dahulu adalah dengan merealokasi si Saksi. Untuk jangka pendek Saksi dapat dipindahkan ke Hotel. Jika untuk jangka panjang Saksi harus dipindahkan bukan tidak mungkin apabila diperlukan saksi dapat dipindahkan ke luar kota bahkan ke luar negeri. Terkait dengan pemindahan saksi untuk jangka waktu yang sangat lama, maka penyediaan tempat kerja baru juga harus dilakukan oleh Instansi yang 4 Contoh dari terancamnya keselamatan: dikirimnya hewan berbahaya, dikirimnya surat kaleng yang berisi peringatan, ancaman, perusakan benda milik saksi dan melukai tubuh serta percobaan pembunuhan." 5 Baumgaertner, Frauenhandel - Menschenhandel - organisierte Kriminalitat Die wirksame Gewahrleistung des Zeugenund Opferschutzes im gerichtlichen Verfahren, Hal Baumgaertner, Hal Baumgaertner, Hal Baumgaertner, Hal Baumgaertner, Hal. 12

9 berwenang, begitu juga dengan Sekolah dan tempat pendidikan anakanak. Disisi lain, keadaan finansial dari si Saksi juga harus dijamin. Juga untuk Saksi tersebut dipasangkan sambungan telepon yang aman dari gangguan. 6) Identitas Baru: Demi menjaga keselamatan saksi, maka Saksi dapat diberikan identitas baru. Namun ada kemungkinan permasalahan yang timbul. Perubahan Identitas baru dapat dilakukan setelah pemeriksaan Saksi di Persidangan Utama. Perubahan ini tentu saja harus diikuti baik dengan perubahan catatan kependudukan, dengan demikian Pihak yang terkait setelah perubahan identitas tersebut tetap mendapatkan dokumen yang benar, maupun si Saksi mendapatkan dokumen yang salahtanpa merubah daftar identitasnya di Catatan Kependudukan. Meskipun demikian, ada permasalahan yang nantinya harus dibenahi, berkaitan dengan masalah perubahaan dokumen tersebut, yakni masalah ahli waris, hak atas kebendaan maupun hak-hak kekeluargaan. Selain itu Saksi dan Keluarga serta orang-orang terdekatnya harus dilatih sedemikian mungkin untuk terbiasa dengan identitas baru dari saksi. Moral Conduct dari Saksi seperti Temannya, gaya hidup mesti diubah. 10 7) Perubahan Penampilan: Pada kasus yang jauh sangat ekstrim untuk melindungi jiwa saksi, setelah saksi memberikan pernyataan perlu diberikan bantuan keuangan yang cukup besar, yang diantaranya dapat merubah penampilan wajah saksi melalui operasi. 11 8) Perlindungan Saksi yang juga merupakan tersangka. Saksi yang pada saat yang bersamaan merupakan Tersangka dan menjalani masa penahanan, dapat ditempatkan di ruangan secara terpisah atau ditempat lain untuk menghindari kemungkinan bahaya. 4. Kewajiban Saksi Selain diberikan hak, Saksi juga memiliki kewajiban yang diatur dalam KUHAP Jerman. Saksi berkewajiban untuk hadir dalam pemberian kesaksian dan hadir dalam sumpah pemberian kesaksiannya (pasal 48 ff stpo) C. Kantor Perlindungan Saksi di Jerman 1. Status dan Kedudukan Lembaga Perlindungan Saksi Jerman Di jerman tidak ada Institusi atau komisi khusus yang berwenang untuk menangani pemberian perlindungan terhadap saksi. Penanganan pemberian perlindungan saksi dilakukan oleh Zeugenschutzdienststelle atau Kantor atau Unit Perlindungan Saksi (KPS) (Pasal 2 ZshG) dalam rangka melaksanakan tugasnya dibidang pencegahan dan penanggulangan bahaya. KPS ini memiliki wewenang yang cukup besar meskipun secara kelembagaan ia berada dibawah Inspektorat Jenderal Kepolisian Jerman. Berbeda dari RUU Indonesia tentang Perlindungan Saksi, ZshG Jerman hanya mengatur masalah wewenang yang diberikan kepada KPS. Mengenai kelembagaan UU tidak menyinggung sama sekali, hal ini 10 Baumgaertner, Hal Baumgaertner, Hal. 12

10 dikarenakan, kelembagaan dari KPS yang berada di bawah Kepolisian Jerman. Mengenai masalah Keanggotaan, Prosedur Pemilihan Anggota dan Pemberhentian Angota Kantor Perlindungan Saksi Jerman, juga menjadi wewenang dari Kepolisian Republik Jerman, yang tidak diatur dalam ZshG ini. 2. Tugas dan wewenang Lembaga Perlindungan Saksi a. Menerima permohonan untuk perlindungan terhadap saksi berdasarkan pertimbangan derajat bahaya yang mengancam saksi tersebut (Pasal 2 ayat 2) b. Menjalankan Program Perlindungan Saksi c. Membuat perjanjian yang berkaitan dengan tindakan-tindakan terhadap perlindungan saksi serta menjaga kerahasiaan akta tersebut, dengan tidak menutupi kemungkinan untuk Kantor Penuntut Umum untuk mengakses data-data yang terkait (Pasal 2 ayat 3) d. Melakukan koordinasi dengan instansi lain seperti Kantor Penuntut Umum (Pasal 2), Kantor Umum dan Kantor Non Umum yang terkait (Pasal 4) e. Memiliki hak untuk tidak memberikan informasi tentang data pribadi saksi (Pasal 4 ayat 1) f. Memerintahkan Instansi lain seperti Kantor Umum dan Kantor Non Umum untuk tidak menyebarkan data pribadi saksi kepada pihak lain (Pasal 4 ayat 1, 2 dan 3 ZshG) g. Memerintahkan Kantor Umum dan Kantor Non Umum untuk membuat dokumen Penyamaran Identitas maupun dokumen identitas yang baru. (Pasal 5 Ayat 1 dan 2 ZshG) h. Mencabut Dokumen Penyamaran Identitas dari saksi apabila tidak diperlukan lagi (Pasal 6 UU ZshG) i. Memiliki wewenang untuk menentukan tempat dan waktu kediaman dari Saksi yang terlibat pula dalam persidangan selain persidangan pidana (Pasal 11) D. Praktek Perlindungan Saksi di Jerman Praktek Perlindungan Saksi pada awalnya tidak dilakukan serentak di keseluruhan negara Jerman. Perlindungan Saksi baru diterapkan di Jerman sejak tahun Menyusul pelaksanaan perlindungan saksi, maka Kantor Perlindungan Saksi yang pertama kalinya dibentuk di Hamburg. Sedangkan perlindungan Saksi di Berlin baru diterapkan pada tahun Kantor Perlindungan Saksi di Berlin didirikan pada tahun 1989, sebagai bagian dari Pemberantasan Kejahatan dibidang Kejahatan Terorganisasi di Kepolisian. Kantor Perlindungan Saksi ini sudah ada 12 tahun sebelum ZshG yang didalamnya mengatur tentang Kantor Perlindungan Saksi diterbitkan. Sampai Saat ini sudah lebih dari 100 Saksi yang diikusertakan dalam Program Perlindungan Saksi di Berlin. 12 Pada tahun 1989, untuk pertama kalinya di tingkat negara federal Jerman, Negara Bagian Essen di Jerman menerbitkan secara sah garis-garis petunjuk bagi Kepolisian dan Kejaksaan untuk perlindungan saksi. Menyusul Berlin yang menerbitkan garis-garis petunjuk serupa pada tahun Saat ini telah banyak didirikan Kantor Perlindungan Saksi di seluruh penjuru Jerman, yang merupakan kerjasama antara negara federal dan negara bagian Jerman. Berdasarkan berita yang disajikan oleh dari Bundeskriminalamtes 12 Evita Kauzene & Eiko Gors, Zeugenschutz im Bereich der Organisierten Kriminalitat, Hal. 31

11 Jerman (BKA Jerman), pada tahun 1993, dari 767 proses penyidikan terhadap Kejahatan Terorganisasi, terhadap 84 Kasus dilakukan perlindungan Saksi. Di Jerman dibedakan antara Kantor Penyidik dan Kantor Perlindungan Saksi. Kantor yang melakukan penyidikan menerbitkan apa yang disebut dengan analisa bahaya terhadap saksi. Analisa bahaya ini kemudian ditindaklanjuti dengan adanya penilaian bahaya. Penilaian bahaya ini kemudian diinformasikan kepada Kantor Perlindungan Saksi. Penilaian Bahaya ini kemudian lagi dibuktikan dalam suatu persetujuan dengan Kejaksaan, apakah suatu tindak permulaan Program Perlindungan Saksi harus dimulai. Pada analisa bahaya dipisahkan keadaan pribadi dengan individu secara konkrit. Yang dinilai dari saksi berdasarkan kriteria seperti keadaan psikis, keterlibatan saksi tersebut kedalam kelompok tertentu, atau berasal dari daerah tertentu, atau juga kriteria ketergantungan saksi terkait dengan Tersangka Pidana. Yang juga harus diperhatikan adalah apakah telah berhasilnya dilakukan tekanan, dan dari tekanan yang diadakan tersebut apakah memiliki bahaya. Penilaian subjektif yang disampaikan oleh Saksi mengenai bahaya yang mengancamnya juga masuk dalam penilaian bahaya. 13 Lebih jauh tersangka berkenaan keterlibatannya sebagai anggota dari suatu kelompok dan perannya dalam kelompok tersebut juga akan dinilai. Keadaan Psikis dan kemampuannya untuk melakukan kekerasan dari tersangka tersebut serta lingkungan tempat tersangka berada juga menjadi komponen yang harus dijelaskan. 14 Jenis dan berat tindak pidana, tempat, serta pidana yang diduga akan dijatuhkan, sebagaimana juga arti dari Kesaksian, juga menjadi bagian dari Penilaian bahaya. Jika seorang saksi mulai diikutkan dalam suatu perkara, maka yang pertamakali dilakuka.n adalah "pembicaraan keamanan" dari diri saksi: Kepada Saksi akan dijelaskan, apa yang secara pribadi dapat dilakukan untuk melindungi dirinya tanpa bantuan pihak kepolisian. Kebiasaan-kebiasaan lama harus ditanggalkan, seperti tidak mengikuti arah lama yang biasa ditempuh ke tempat kerja, ke tempat tinggal atau berbelanja, begitu juga dengan keteraturan sehari-hari orang tersebut harus diubah. Tindakan-tindakan untuk Perlindungan Saksi dilakukan berdasarkan tingkat bahaya yang mengancam. 15 Disusun Oleh Dina Zenitha Bidang Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch 13 Kauzene & Gors, Hal Kauzene & Gors, Hal Kauzene & Gors, Hal.32

12 Daftar Singkatan StPO : Strafprozessordnung (Hukum Acara Pidana Jerman) StGB : Strafgesetzbuch (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) ZschG: Zeugenschutzgesetz (Hukum Perlindungan Saksi Jerman) ZshG: Zeugenschutzharmonisierungsgesetz (Hukum Harmonisasi Perlindungan Saksi Jerman) KPS : Orientasi Perlindungan Saksi Daftar Pustaka Baumgaertner, Clemens.Frauenhandel-Menschenhandel-organisierte Kriminalitat Die wirksame Gewahrleistung des Zeugen- und Opferschutzes im gerichtlichen Verfahren, konstanz.de/fuf/ueberfak/fzaa/students/seminare/seminararbeitenws /arbeiten/baumgaertner.pdf Kauzene, Evita & Gors, Eiko. Zeugenschutz im Bereich der Organisierten Kriminalitat, Undang-Undang Harmonisasi Perlindungan Saksi Jerman 2001, Gesetz zur Harmonisierung des Schutzes gefahrdeter Zeugen (ZeugenschutzHarmonisierungsgesetz - ZSHG) di muenchen.de/ ~ rgerling/gesetze/zshg.html Undang-undang Perlindungan Saksi Jerman, Zeugenschutzgesetz, di

13 LAMPIRAN I Gesetz zur Harmonisierung des Schutzes gefahrdeter Zeugen (Zeugenschutz Harmonisierungsgesetz - ZSHG) Vom 11. Dezember 2001 (BGBI ) 1 Anwendungsbereich (1) Eine Person, ohne deren Angaben in einem Strafverfahren die Erforschung des Sachverhalts oder die Ermittlung des Aufenthaltsorts des Beschuldigten aussichtslos oder wesentlich erschwert ware, kann mit ihrem Einverstandnis nach Maf3gabe dieses Gesetzes geschutzt werden, wenn sie auf Grund ihrer Aussagebereitschaft einer Gefahrdung von Leib, Leben, Gesundheit, Freiheit oder wesentlicher Vermogenswerte ausgesetzt ist and sich fur ZeugenschutzmaI nahmen eignet. (2) Mit seinem Einverstandnis kann ferner nach Maf3gabe dieses Gesetzes geschutzt werden, wer Angehoriger ( 11 Abs. 1 Nr. 1 des Strafgesetzbuches) einer in A.bsatz 1 genannten Person ist oder ihr sonst nahe steht, auf Grund ihrer Aussagebereitschaft einer Gefahrdung von Leib, Leben, Gesundheit, Freiheit oder wesentlicher Vermogenswerte ausgesetzt ist and sich fur Zeugenschutzmaf3nahmen eignet. (3) Sofern es fur den Zeugenschutz erforderlich ist, konnen Mafkahmen nach diesem Gesetz auf Angehorige ( 11 Abs. 1 Nr. 1 des Strafgesetzbuches) einer in Absatz 1 oder 2 genannten Person oder ihr sonst nahe stehende Personen erstreckt werden, wenn these sich hierfiir eignen sowie ihr Einverstandnis erklaren. (4) Maf3nahmen nach diesem Gesetz konnen beendet werden, wenn eine der in den Absatzen 1 bis 3 genannten Voraussetzungen nicht vorlag oder nachtraglich weggefallen ist. Soweit eine Gefahrdung der zu schiitzenden Person fortbesteht, richten sich die Schutzmaf3nahmen nach allgemeinem Gefahrenabwehrrecht. Die Beendigung des Strafverfahrens fiihrt nicht zur Aufhebung der Zeugenschutzmafinahmen, soweit die Gefahrdung fortbesteht. 2 Zeugenschutzdienststellen (1) Der Schutz einer Person nach Mafigabe dieses Gesetzes obliegt der Polizei oder den sonst nach Bundes oder Landesrecht zustandigen Behorden (Zeugenschutzdienststellen). Bundes and landesrechtliche Regelungen zur Abwehr einer fur die zu schiitzende Person bestehenden Gefahr bleiben unberiihrt. (2) Die Zeugenschutzdienststelle trifft ihre Entscheidungen nach pflichtgemal3em Ermessen. Bei der Abwagung sind insbesondere die Schwere der Tat sowie der Grad der Gefahrdung, die Rechte des Beschuldigten and die Auswirkungen der Magnahmen zu berticksichtigen. (3) Die im Zusammenhang mit dem Zeugenschutz getroffenen Entscheidungen and Mai3nahmen sind aktenkundig zu machen. Die Akten werden von der Zeugenschutzdienststelle gefuhrt, unterliegen der Geheimhaltung and Bind nicht Bestandteil der Erniittlungsakte. Sie Bind der Staatsanwaltschaft auf Anforderung zuganglich zu machen. Die Mitarbeiter der

14 Staatsanwaltschaft and der Zeugenschutzdienststelle sind in Strafverfah.ren nach den allgemeinen Grundsatzen unter Beriicksichtigung des 54 der Strafprozessordnung zur Auskunft auch uber den Zeugenschutz verpflichtet. (4) Bis zurn rechtskraftigen Abschluss eines Strafverfahrens ist uber Beginn and Beendigung des Zeugenschutzes das Einvernehmen mit der Staatsanwaltschaft herzustellen. Nach diesem Zeitpunkt ist die Staatsanwaltschaft von der beabsichtigten Beendigung des Zeugenschutzes in Kenntnis zu setzen. 3 Geheimhaltung, Verpflichtung Wer mit dem Zeugenschutz befasst wird, darf die ihm bekannt gewordenen Erkenntnisse uber Zeugenschutzmaf3nahmen auch uber den Zeitpunkt der Beendigung des Zeugenschutzes hinaus nicht unbefugt offenbaren. Personen, die nicht Amtstrager ( 11 Abs. 1 Nr. 2 des Strafgesetzbuches) sind, sollen nach dem Gesetz uber die formliche Verpflichtung nicht beamteter Personen verpflichtet werden, sofern dies geboten erscheint. 4 Verwendung personenbezogener Daten (1) Die Zeugenschutzdienststelle kann Auskiinfte fiber personenbezogene Daten der zu schutzenden Person verweigern, soweit dies fur den Zeugenschutz erforderlich ist. (2) Offentliche Stellen sind berechtigt, auf Ersuchen der Zeugenschutzdienststelle personenbezogene Daten der zu schutzenden Person zu sperren oder nicht zu ubermitteln. Sie sollen dem Ersuchen entsprechen, soweit entgegenstehende offentliche Interessen oder schutzwurdige Interessen Dritter nicht uberwiegen. Die Beurteilung der Erforderlichkeit der Maf3nahme durch die Zeugenschutzdienststelle ist fur die ersuchte Stelle bindend. (3) Die Zeugenschutzdienststelle kann von nicht offentlichen Stellen verlangen, personenbezogene Daten der zu schutzenden Person zu sperren oder nicht zu ubermitteln. (4) Bei der Datenverarbeitung innerhalb der offentlichen and nicht offentlichen Stellen ist sicherzustellen, dass der Zeugenschutz nicht beeintrachtigt wird. (5) Die 161, 161a der Strafprozessordnung bleiben unberiihrt. (6) Die offentlichen and nicht offentlichen Stellen teilen der Zeugenschutzdienststelle jedes Ersuchen um Bekanntgabe von gesperrten oder sonst von ihr bestimmten Daten unverziiglich mit. 5 Vorubergehende Tarnidentitat (1) Offentliche Stellen diirfen auf Ersuchen der Zeugenschutzdienststelle fur eine zu schiitzende Person Urkunden oder sonstige Dokumente zum Aufbau oder zur Aufrechterhaltung einer vorubergehend geanderten Identitat (Tarndokumente) mit den von der Zeugenschutzdienststelle mitgeteilten Daten herstellen oder vorubergehendverandern sowie die geanderten Daten verarbeiten. Siesollen dem Ersuchen entsprechen, soweit entgegenstehende offentliche Interessen oder schutzwurdige Interessen Dritter nicht uberwiegen. Die Beurteilung der Erforderlichkeit der Maf3nahme durch die Zeugenschutzdienststelle ist fur die ersuchte

15 Stelle bindend. Fur Zwecke des Satzes 1 durfen Eintragungen in Personenstandsbiicher nicht vorgenommen werden. Personalausweise and Passe durfen nicht fur Personen ausgestellt werden, die nicht Deutsche im Sinne von Artikel 116 des Grundgesetzes sind. (2) Die Zeugenschutzdienststelle kann von nicht offentlichen Stellen verlangen, fur eine zu schutzende Person Tarndokumente mit den mitgeteilten Daten herzustellen oder zu verandern sowie die geanderten Daten zu verarbeiten. (3) Die zu schutzende Person darf unter der vorubergehend geanderten Identitat am Rechtsverkehr teilnehmen. (4) Die Absatze 1 bis 3 gelten in Bezug auf Bedienstete von Zeugenschutzdienststellen entsprechend, soweit dies zur Erfullung ihrer Aufgaben unerlasslich ist. S 6 Aufhebung von MaBnahmen des Zeugenschutzes Wird der Zeugenschutz insgesamt beendet oder sind einzelne Maf3nahmen nicht mehr erforderlich, unterrichtet die Zeugenschutzdienststelle unter Berucksichtigung der Belange des Zeugenschutzes die beteiligten offentlichen and nicht offentlichen Stellen. Offentliche Stellen heben die nach den 4 and 5 getroffenen Mai3nahmen auf. Die Zeugenschutzdienststelle zieht Tarndokumente ein, deren Verwendung nicht mehr erforderlich ist. 7 Anspruche gegen Dritte (1) Anspri the der zu schutzenden Personen gegen Dritte werden durch Maf3nahmen nach diesem Gesetz nicht beriihrt. (2) Soweit es zur Sicherung von Anspruchen der zu schutzenden Person gegenuber offentlichen Stellen erforderlich ist, setzt die Zeugenschutzdienststelle diese uber die Aufnahme in den Zeugenschutz in Kenntnis. Die Zeugenschutzdienststelle bestatigt ihnen gegenuber Tatsachen, die zur Entscheidung uber den Anspruch von Bedeutung sind. (3) Wurde eine versicherungspflichtige Beschaftigung oder Tatigkeit einer zu schutzenden Person durch Zeugenschutzmaf3nahmen unterbrochen oder war eine zu schutzende Person durch ZeugenschutzmaI3nahmen daran gehindert, Beitrage an die Rentenversicherung zu zahlen, kann sie fur die Zeit der Maf3nahmen auf Antrag freiwillige Beitrage nachzahlen, sofern diese Zeit nicht bereits mit Beitragen belegt ist. Die nachgezahlten Beitrage gelten als Pflichtbeitrage, wenn durch die Magnahmen eine versicherungspflichtige Beschaftigung oder Tatigkeit unterbrochen wurde. Der Antrag kann nur innerhalb eines Jahres nach Ende der Maf3nahmen gestellt werden. 209 des Sechsten Buches Sozialgesetzbuch findet Anwendung. 8 Zuwendungen der Zeugenschutzdienststelle Zuwendungen der Zeugenschutzdienststelle diirfen nur in dem Umfang gewahrt werden, als dies fur den Zeugenschutz erforderlich ist. Sie konnen insbesondere zuruckgefordert werden, wenn sie auf Grund wissentlich falscher Angaben gewahrt worden sind.

16 9 Anspruche Dritter (1) Anspruche Dritter gegen die zu schutzende Person werden durch Mafinahmen nach diesem Gesetz nicht beri hrt. Mit Aufnahme in den Zeugenschutz hat die zu schutzende Person sie der Zeugenschutzdienststelle offen zu legen. (2) Die Zeugenschutzdienststelle tragt dafiir Sorge, dass die Erreichbarkeit der zu schiitzenden Person im Rechtsverkehr nicht durch Mai3nahmen des Zeugenchutzes vereitelt wird. 10 Zeugenschutz in justizformigen Verfahren (1) Eine zu schutzende Person, die in einem anderen gerichtlichen Verfahren als einem Strafverfahren oder in einem Verfahren vor einem parlamentarischen Untersuchungsausschuss vernommen werden soil, ist berechtigt, abweichend von den Bestimmungen der jeweiligen Verfahrensordnung, Angaben zur Person nur fiber eine friihere Identitat zu machen and unter Hinweis auf den Zeugenschutz Angaben, die Ri ckschliisse auf die gegenwartigen Personalien sowie den Wohn and Aufenthaltsort erlauben, zu verweigern. An Stelle des Wohn and Aufenthaltsorts ist die zustandige Zeugenschutzdienststelle zu benennen. (2) Urkunden and sonstige Unterlagen, die Riickschl sse auf eine Tarnidentitat oder den Wohn oder Aufenthaltsort einer geschutzten Person zulassen, sind nur insoweit zu den Verfahrensakten zu nehmen, als Zwecke des Zeugenschutzes dem nicht entgegenstehen. (3) Fur das Strafverfahren bleibt es bei den Vorschriften der 68, 110b Abs. 3 der Strafprozessordnung. 11 Zeugenschutz bei freiheitsentziehenden MaBnahmen Entscheidungen der Zeugenschutzdienststelle, die Auswirkungen auf den Vollzug von Untersuchungshaft, Freiheitsstrafe oder einer sonstigen freiheitsentziehenden Ma1nahme haben konnen, di rfen nur im Einvernehmen mit dem Leiter der jeweiligen Vollzugseinrichtung getroffen werden.

17 LAMPIRAN II Undang-undang Harmonisasi Perlindungan Saksi Dalam Ancaman (ZeugenschutzHarmonisierungsgesetz - ZSHG) 11 Desember 2001 (BGBI. I 3510) 1 Ruang Lingkup (1) Seseorang, yang tanpa pernyataan darinya di dalam Proses Pidana suatu pencarian kebenaran dari fakta atau penyelidikan dari tempat kediaman tersangka akan mengalami kesulitan, maka berdasarkan hal-hal yang disyaratkan oleh UU ini, dapat dilindungi, apabila tubuh, jiwa, kesehatan, kebebasan dan Harta Bendanya terancam bahaya akibat kesediaannya untuk memberikan pernyataan, dan orang tersebut memenuhi kriteria untuk tindakan perlindungan Saksi. (2) Dengan Persetujuan dari Saksi tersebut, maka lebih jauh orang-orang terdekatnya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini diberikan perlindungan (Pasal 11 ayat 1 angka 1 KUHP) apabila tubuh, jiwa, kesehatan, kebebasan dan harta bendanya terancam bahaya akibat kesediaannya untuk memberikan kesaksian, dan orang tersebut memenuhi kriteria untuk tindakan perlindungan Saksi. (3) Sepanjang perlindungan terhadap saksi tersebut diperlukan, maka berdasarkan UU ini perlindungan terhadap orang terdekat Saksi sebagaimana yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2 tersebut dapat diperluas, jika orang tersebut memenuhi kriteria untuk tindakan perlindungan tersebut dan persetujuan telah dinyatakan olehnya. (4) Tindakan perlindungan berdasarkan UU ini dapat diakhiri, jika unsur-unsur yang disyaratkan dalam ayat 1 sampai 3 pasal ini tidak terpenuhi atau dikemudian hari unsur tersebut hilang. Sepanjang Bahaya yang mengancam orang yang diperlu dilindungi tersebut tetap berlanjut, maka perlindungan tersebut tetap diberikan berdasarkan Hak Perlindungan Bahaya. Berakhirnya Proses Pemidanaan tidak mengakibatkan dihentikannya tindakan-tindakan perlindungan Saksi, sepanjang Bahaya masih tetap berlanjut. 2 (Kantor atau Unit Perlindungan Saksi) (1) Perlindungan terhadap seseorang yang berdasarkan ketentuan dalam UU ini merupakan urusan Polisi atau otoritas lain yang sesuai dengan hukum federal dan hukum negara bagian Jerman sebagai Kantor Perlindungan Saksi. Pengaturan Hukum Federal dan Negara Bagian Jerman tentang Pembelaan Diri dari seseorang yang harus dilindungi tetap berlaku. (2) Kantor Perlindungan Saksi memutuskan berdasarkan perhitungan sebagai mana yang ditugaskan kepadanya. Pada pertimbangan tersebut, yang harus diperhatikan adalah tingginya derajat bahaya, hak-hak dari para tersangka, dan akibat dari tindakan perlindungan terhadap saksi tersebut. (3) Putusan dan tindakan yang terkait dengan Perlindungan Saksi tersebut harus dituangkan dalam akta. Akta-akta tersebut dijaga oleh Kantor Perlindungan Saksi, yang juga bersifat rahasia dan tidak merupakan bagian dari Akte Penyelidikan. Akte-akte ini harus dapat diakses oleh Kantor Penuntut Umum berdasarkan permohonan yang diajukan. Staf Kejaksaan dan Kantor Perlindungan Saksi berkewajiban untuk turut dalam proses persidangan berdasarkan prinsip-prinsip umum tak lepas dari pasal 54 Hukum Acara Pidana mengenai informasi dan Perlindungan Saksi. (4) Sampai Proses Persidangan menghasilkan kekuatan hukum yang tetap, persetujuan dari kantor Jaksa tentang Awal dan Akhir dari Perlindungan Saksi harus dibuat. Berdasarkan titik waktu tersebut, apabila perlindungan saksi hendak diakhiri, maka Kantor Penuntut Umum harus diberitahukan.

18 3 Kerahasiaan, Kewajiban Siapa yang terkait dengan perlindungan saksi, tidak diperbolehkan untuk memberikan informasi tentang berakhirnya perlindungan saksi secara umum. Barang siapa yang bukan merupakan pejabat terkait dengan perlindungan saksi pasal 11 ayat 1 nomor 2 KUHP, memiliki kewajiban sebagai orang sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang Kewajiban Formal dari Non Pejabat Publik. 4 Penggunaan Data Pribadi (1) Kantor Perlindungan Saksi tidak diperkenankan untuk menyebarkan data pribadi orang yang harus dilindungi, sepanjang hal tersebut sangat diperlukan dalam perlindungan saksi. (2) Berdasarkan instruksi dari Kantor Perlindungan Saksi, Dinas Umum tidak diperkenankan untuk menyebarkan data-data pribadi tersebut. Mereka harus mematuhi instruksi tersebut, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau kepentingan pihak ketiga. Penilaian kepentingannya diambil tindakan oleh Kantor Perlindungan Saksi mengikat pihak yang menerima instruksi tersebut. (3) Kantor Perlindungan Saksi dapat menginstruksikan Dinas Non Umum, untuk tidak menyebarkan data pribadi Saksi yang harus dilindungi. (4) Pada pemrosesan data pada Dinas Umum dan Dinas Non Umum harus dipastikan, bahwa perlindungan Saksi tidak dirugikan. (5) Pasal 161, dan Pasal 161 a KUHAP Jerman tetap berlaku. (6) Dinas Umum dan Dinas Non Umum segera memberitahukan Kantor Perlindungan Saksi setiap instruksi untuk mengumumkan data yang yang terlarang. 5 Perubahan Identitas Sementara (1) Dinas Umum berdasarkan instrurksi dari Kantor Perlindungan Saksi dapat mengeluarkan document yang berisikan perubahan identitas atau mempertahankan identitas baru sementara dari Saksi yang harus dilindungi dengan data-data yang telah diberitahukan sebelumnya oleh Kantor Perlindungan Saksi, atau merubah data yang telah ada sebagaimana mengerjakan data yang telah diubah. Mereka harus mematuhi instruksi, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum atau kepentingan pihak ketiga. Penilaian kepentingan tindakan perlindungan saksi oleh Kantor Perlindungan Saksi mengikat penerima instruksi. Untuk tujuan ayat 1 pendaftaran ke dalam Buku-buku Data Diri tidak diperkenankan. Kartu Identitas dan Paspor tidak dapat dikeluarkan untuk orang yang bukan Warga Jerman berdasarkan pengertian dalam pasal 116 UUD Jerman. (2) Dinas Non Umum berdasarkan instrurksi dari Kantor Perlindungan Saksi dapat mengeluarkan document yang berisikan perubahan identitas atau mempertahankan identitas baru sementara dari Saksi yang harus dilindungi dengan data-data yang telah diberitahukan sebelumnya oleh Kantor Perlindungan Saksi, atau merubah data yang telah ada sebagaimana mengerjakan data yang telah diubah. (3) Orang yang harus dilindungi dapat berpartisipasi dalam proses hukum dengan identitas sementara yang telah dirubah. (4) Ayat 1 sampai 3 berlaku secara mutatis mutandis dalam kaitan dengan pegawai kantor perlindungan saksi, sepanjang hal ini tidak terelakan dalam melaksanakan tugas mereka. 6 Penghentian Tindakan Perlindungan Saksi Jika keseluruhan dari perlindungan saksi diakhir, atau salah satu tindakan dianggap tidak penting lagi, maka Lembaga Perlindungan Saksi memberitahukan Dinas Umum dan Dinas Non Umum dengan pertimbangan kepentingan perlindungan Saksi. Dinas Umum berdasarkan pasal 4 dan 5 akan mencabut tindakan perlindungan saksi tersebut. Lembaga Perlindungan Saksi akan menarik dokumen perubahan identitas, yang penggunaannya tidak diperlukan lagi.

19 7 Tuntutan Terhadap Pihak Ketiga (1) Tuntutan dari Orang yang harus dilindungi terhadap Pihak Ketiga tidak akan tersentuk oleh tindakan perlindungan berdasarkan UU ini. (2) Sepanjang Jaminan atas tuntutan dari Saksi yang harus dilindungi terhadap Dinas Umum harus diperlukan, maka Kantor Perlindungan Saksi memberitahukannya tentang awal program perlindungan saksi. Kantor Perlindungan Saksi akan meberikan pernyataan ke mereka tentang hal tersebut, yang berarti untuk keputusan atas tuntutan tersebut. (3) Apabila kegiatan wajib asuransi dari saksi yang harus dilindungi terkait dengan terhenti atau Saksi yang harus dilindungi tersebut terhalang untuk membayar iuran pensiun mereka, maka Saksi dapat membayar iuran tersebut nanti secara sukarela berdasarkan permohonan pada saat tindakan perlindungan saksi tersebut diterapkan, sepanjang masa tersebut iuran tersebut tidak dibayarkan. Iuran yang dibayarkan dikemudian hari berlaku sebagai iuran yang bersifat wajib, apabila kegiatan wajib asuransi terhenti akibat Tindakan perlindungan saksi. Permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu setengah tahun setelah akhir dari perlindungan tersebut dikeluarkan. Pasal 209 Buku VI KUS berlaku. 8 Alokasi Dana dari Kantor Lembaga Perlindungan Saksi Dana yang diperuntukan oleh Kantor Perlindungan Saksi hanya diperkenankan sebesar jumlah yang diperlukan untuk perlindungan saksi saja. Dana-dana ini dapat diklaim untuk dikembalikan, apabila dikeluarkan untuk alasan yang salah. 9 Tuntutan Dari Pihak Ketiga (1) Tuntutan dari Pihak Ketiga terhadap orang yang harus dilindungi tidak akan terhalang oleh tindakan perlindungan yang diberikan berdasarkan UU ini. Dengan dimulainya perlindungan saksi maka Saksi yang harus dilindungi tersebut harus memberitahukan kepada Kantor Perlindungan Saksi. (2) Kantor Perlindungan Saksi harus memperhatikan, bahwa keterjangkauan Saksi yang harus dilindungi tersebut dalam proses persidangan dengan pihak ketiga tersebut tidak akan dihalangi oleh tindakan perlindungan Saksi. 10 Perlindungan Saksi Dalam Proses Persidangan (1) Seseorang yang harus dilindungi, yang juga harus melakukan pemeriksaan di proses persidangan lainnya selain di proses persidangan pidana, atau melakukan pemeriksaan di depan Panitia Khusus di Parlemen, berhak untuk menolak memberikan pernyataan tentang identitas terdahulu, begitu juga dengan tempat dan daerah tinggal. Tentang tempat dan daerah tinggal yang berwenang adalah Kantor Perlindungan Saksi. (2) Ijasah-ijasah serta dokumen lainnya, dan Urkunden and sonstige Unterlagen, penarikan kesimpulan atas perubahan identitas dan tempat tinggal hanya dapat diambil, jika tidak bertentangan dengan perlindungan saksi. (3) Untuk proses pidana yang berlaku adalah ketentuan dari pasal 68,110b Ayat 3 KUHAP Jerman. 11 Perlindungan Saksi yang mengakibatkan tindakan pencabutan kebebasan Keputusan dari Kantor Perlindungan Saksi yang mungkin berakibat pada pelaksanaan penahanan untuk penyidikan, Hukuman penjara atau tindakan pencabutan kebebasan, hanya dapat dilakukan dengan persetujuan dengan Kepala Penjara dari setiap penjara.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan di setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

NOMOR : M.HH-11.HM.03.02.th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI REPUBLIK INDONESIA KETUA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.790, 2014 BNPT. Perkaran Tindak Pidana Terorisme. Perlindungan. Saksi. Penyidik. Penuntut Umum. Hakim dan Keluarganya. Pedoman PERATURAN KEPALA BADAN NASIONAL PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono

PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Supriyadi Widodo Eddyono PEMETAAN LEGISLASI INDONESIA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Jakarta 2005 I. Latar Belakang Masalah perlindungan Korban dan Saksi di dalam proses peradilan pidana merupakan salah satu permasalahan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA VIENNA AUSTRIA

KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA VIENNA AUSTRIA KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA VIENNA AUSTRIA N0. SP. :. FORMULIR PERMOHONAN UNTUK MENDAPATKAN VISA BERDIAM SEMENTERA ANTRAGSFOMULAR ZUR ERLANGUNG EINES SEMI-PERMANENT-VISUM 1. Nama lengkap pemohon

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA A. Undang Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang - undang ini memberikan pengaturan

Lebih terperinci

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013 LAMPIRAN PASAL-PASAL RUU KUHAP PELUMPUH KPK Pasal 3 Pasal 44 Bagian Kedua Penahanan Pasal 58 (1) Ruang lingkup berlakunya Undang-Undang ini adalah untuk melaksanakan tata cara peradilan dalam lingkungan

Lebih terperinci

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN RANCANGAN LAPORAN SINGKAT RAPAT INTERNAL TIMUS KOMISI III DPR-RI DALAM RANGKA PEMBAHASAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA --------------------------------------------------- (BIDANG HUKUM, HAM

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN KHUSUS BAGI PELAPOR DAN SAKSI TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK Materi yang Diatur KUHAP RUU KUHAP Undang TPK Undang KPK Catatan Penyelidikan Pasal 1 angka 5, - Pasal 43 ayat (2), Komisi Dalam RUU KUHAP, Penyelidikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sistem peradilan pidana dapat

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.293, 2014 POLHUKAM. Saksi. Korban. Perlindungan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5602) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara

Lebih terperinci

Institute for Criminal Justice Reform

Institute for Criminal Justice Reform UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.

Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL. Penanganan dan Perlindungan Justice Collaborator Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia Disampaikan oleh : A.H.Semendawai, SH, LL.M Ketua LPSK RI Latar Belakang LPSK dirancang untuk memberikan perlindungan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG

RUU Perlindungan Korban dan Saksi Draft Sentra HAM UI dan ICW, Juni 2001 RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG !"#$%&'#'(&)*!"# $%&#'''(&)((* RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN KORBAN DAN SAKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Tidak pidana korupsi di Indonesia saat ini menjadi kejahatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN SALINAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ] BAB II TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG Pasal 2 (1) Setiap orang yang melakukan perekrutan,

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4.1 Kewenangan KPK Segala kewenangan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan

Lebih terperinci

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana 1 Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana Novelina MS Hutapea Staf Pengajar Kopertis Wilayah I Dpk Fakultas Hukum USI Pematangsiantar Abstrak Adakalanya dalam pembuktian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 17 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 17 TAHUN 2005 TENTANG Hsl Rpt Tgl 20-12-05 (Draft) Hasil rapat 7-7-05 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 17 TAHUN 2005 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP PELAPOR DAN SAKSI

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang 5 Perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Apa perbedaan dengan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Negara juga menjunjung tinggi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan

Lebih terperinci

PERATURAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM UNTUK TERSANGKA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DALAM PROSES PENYIDIKAN DIHUBUNGKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan

Lebih terperinci

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN 26 Juni 2014 No Rumusan RUU Komentar Rekomendasi Perubahan 1 Pasal 1 Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001 PERUMUSAN TINDAK PIDANA KORUPSI PENGELOMPOKKAN : (1) Perumusan delik dari Pembuat Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Lebih terperinci

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, T No. 339, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BNN. Pencucian Uang. Asal Narkotika. Prekursor Narkotika. Penyelidikan. Penyidikan. PERATURAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELIDIKAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN, PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PERMOHONAN PERLINDUNGAN PADA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG Hasil rapat 7-7-05 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NO. POL. : 5 TAHUN 2005 TENTANG TEKNIS PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, HAKIM DAN KELUARGANYA DALAM

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA, PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PELAYANAN PERMOHONAN PERLINDUNGAN PADA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH 1 PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * I. PENDAHULUAN Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH Hukum itu akal, tetapi juga pengalaman. Tetapi pengalaman yang diperkembangkan oleh akal, dan akal

Lebih terperinci

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan Pendahuluan Kekerasan apapun bentuknya dan dimanapun dilakukan sangatlah ditentang oleh setiap orang, tidak dibenarkan oleh agama apapun dan dilarang oleh hukum Negara. Khusus kekerasan yang terjadi dalam

Lebih terperinci

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia 3 Perbedaan dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Bagaimana Ketentuan Mengenai dalam tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia? Menurut hukum internasional, kejahatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi diartikan sebagai penyelenggaraan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain atau suatu korporasi.

Lebih terperinci

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi Oleh Suhadibroto Pendahuluan 1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara. Terhadap kerugian

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 Modul E-Learning 3 PENEGAKAN HUKUM Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1 Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010 3.1.1 Pemeriksaan oleh PPATK Pemeriksaan adalah proses identifikasi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORI PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI, PENYIDIK, PENUNTUT UMUM, DAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK PIDANA TERORISME PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.727, 2012 LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN. Tata Cara. Pendampingan. Saksi. PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam pembelajaran bahasa, salah satu bahan ajar dasar penting yang

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam pembelajaran bahasa, salah satu bahan ajar dasar penting yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam pembelajaran bahasa, salah satu bahan ajar dasar penting yang harus dikuasai adalah tata bahasa. Dalam bahasa Jerman, tata bahasa atau yang biasa dikenal

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG TATA CARA PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN DAN SAKSI DALAM PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG BERAT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang:

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENDANAAN TERORISME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG-

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG- 62 BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCURIAN DANA NASABAH BANK MELALUI MODUS PENGGANDAAN KARTU ATM (SKIMMER) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 363 AYAT (5) KITAB UNDANG- UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) JUNCTO UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK RAKYAT CHINA MENGENAI BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA Republik Indonesia dan Republik Rakyat China (dalam hal ini disebut sebagai "Para

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa

BAB V PENUTUP. 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Berdasarkan metode yang digunakan, dan dari uraian di atas bahwa pengertian tentang gratifikasi seks yang tidak lama ini terjadi belum ada pengertian secara eksplisit. Akan

Lebih terperinci

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da No.24, 2018 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA POLHUKAM. Saksi. Korban. Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6184) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan Pasal 176 Hakim dilarang menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali apabila hakim memperoleh keyakinan

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka

V. KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka 1 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan diatas dan dari hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan: 1) Perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis, IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karekteristik Responden Dalam penulisan skripsi ini penulis melakukan penelitian dengan cara mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN Peraturan Peraturan Menteri Keuangan - 239/PMK.03/2014, 22 Des 2014 PencarianPeraturan PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN

Lebih terperinci

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.50, 2013 HUKUM. Pidana. Pendanaan. Terorisme. Pencegahan. Pemberantasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5406) UNDANG-UNDANG

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. dilakukan untuk mencari kebenaran dengan mengkaji dan menelaah beberapa IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber Sebagaimana disampaikan sebelumnya bahwa penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian secara yuridis normatif adalah pendekatan penelitian

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci