Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah * Armida S. Alisjahbana

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah * Armida S. Alisjahbana"

Transkripsi

1 Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah * Armida S. Alisjahbana Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran 6 Mei, 2000 Abstrak: Dalam mengantisipasi implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, prioritas utama Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam jangka pendek adalah melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat menunjukkan Pemerintah Propinsi harus menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan perubahan fungsi/kewenangan dan perkiraan penurunan penerimaan APBD, yaitu sebesar 50% dibandingkan dengan penerimaan APBD pada pengaturan lama. Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara keseluruhan, peningkatan peran dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi diperkirakan harus dapat dibiayai oleh peningkatan % penerimaan APBD. Keberhasilan pembangunan ekonomi daerah dalam era desentralisasi tidak hanya tergantung pada aspek penerimaan daerah, kemampuan ataupun kreativitas masingmasing daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah Daerah di setiap tingkat dituntut untuk dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasardasar kepentingan bersama. * Makalah disampaikan pada Seminar Ekonomi Science Club STIE YPKP dengan tema Prospek Perekonomian Indonesia Ditinjau dari Perkembangan Dunia Perbankan, Pasar Modal dan Sektor Riil dalam Tatanan Indonesia Baru". Tulisan ini pernah disampaikan dalam Kongres ISEI XIV Membangun Ekonomi Daerah yang Kompetitif dan Efisien dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional untuk Memperkokoh Kesatuan Bangsa, April 2000 di Makassar.

2 Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Armida S. Alisjahbana * Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran Jl. Dipati Ukur 35 Bandung Pendahuluan Implementasi otonomi daerah yang direncanakan akan diberlakukan pada tahun 2001 mengacu pada dua UU, yaitu: UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah (UU-PKPD) merupakan UU yang mengatur perimbangan keuangan atau desentralisasi fiskal antara Pemerintah Pusat-Daerah berdasarkan pembagian fungsi dan wewenang penyelenggaraan pemerintahan di antara pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam UU tentang Pemerintahan Daerah. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji implikasi implementasi UU Pemerintahan Daerah serta UU-PKPD terhadap pembiayaan pembangunan daerah dan reorientasi peran antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota yang dilakukan dengan cara: pertama, mensimulasikan aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan Daerah Jawa Barat. Kedua, berdasarkan perubahan kewenangan dan fungsi antara Propinsi dengan Kabupaten/Kota serta hasil simulasi aplikasi UU-PKPD terhadap penerimaan daerah, makalah ini mengkaji reorientasi kebijakan pembangunan ekonomi antara daerah propinsi dengan daerah kabupaten/kota yang perlu dijadikan prioritas. * Ketua Jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur no. 35, Bandung alisjahb@melsa.net.id Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 1

3 2. Implikasi Implementasi UU-PKPD Terhadap Pembiayaan Daerah: Perkiraan untuk Jawa Barat 2.1. Hasil Perhitungan Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, SDA; Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Sumber-sumber penerimaan daerah menurut UU-PKPD meliputi: (i). Pendapatan Asli Daerah (PAD); (ii). Dana Perimbangan; (iii). Pinjaman Daerah; (iv). Lain-lain pendapatan yang sah. Daerah melaksanakan semua kewenangannya yang berkaitan dengan desentralisasi dibiayai dari anggaran daerah. Penerimaan daerah yang berupa PAD masih mengacu pada UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah. 1 Dana Perimbangan terdiri dari: bagian daerah atas hasil Sumber Daya Alam, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan; Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum merupakan transfer dari pusat ke daerah dalam bentuk block grant, dengan kriteria alokasi berdasarkan potensi ekonomi daerah dan kebutuhan obyektif daerah. Penggunaan Dana Alokasi Umum diserahkan sepenuhnya pada daerah. 2 Dana Alokasi Khusus merupakan transfer dari pusat ke daerah yang bersifat spesifik, yang peruntukannya ditetapkan pusat. 3 1 Sedang dalam pertimbangan untuk direvisi. 2 Dana Alokasi Umum (DAU): Berfungsi sebagai dana untuk pemerataan antar daerah. Besarnya DAU ditetapkan minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN dengan pembagian 10% untuk propinsi dan 90% untuk kabupaten/kota. DAU untuk suatu Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk seluruh Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang ditetapkan dalam APBN dengan porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Porsi Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) merupakan proporsi bobot Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan terhadap jumlah semua Daerah Propinsi (Kabupaten/Kota) yang bersangkutan. Bobot daerah ditetapkan berdasarkan: kebutuhan wilayah otonomi daerah dan potensi ekonomi daerah. 3 Dana Alokasi Khusus (DAK): Dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu pembiayaan kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Kebutuhan khusus adalah: kebutuhan yang tidak dapat diperkirakan dengan menggunakan rumus DAU, dan/atau kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 2

4 Perkiraan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB, dan SDA: Aplikasi UU-PKPD di Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat bekerjasama dengan Kantor Statistik Jawa Barat mengestimasi penerimaan daerah yang berasal dari PBB, BPHTB, dan SDA berdasarkan UU nomor 25 tahun Hasil estimasi berdasarkan UU-PKPD untuk tahun anggaran 1998/99 dibandingkan dengan realisasi yang terjadi pada tahun anggaran tersebut adalah sebagai berikut: Tabel 2.1. Bagian Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Dari PBB, BPHTB dan SDA Tahun 1998/99 (Rp Milyar) Sumber penerimaan Bagian daerah menurut pengaturan lama Bagian daerah berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999 Persentase perubahan 1. Minyak bumi 555,07* 2. Gas bumi 253,14* 3. PBB 353,99 315,09 4. BPHTB 56 56,70 5. Iuran HPH 0,88 3,50 6. Kehutanan Propinsi 0,50 1,99 7. Pertambangan Umum 0,31 1,56 8. Perikanan 9. Reboisasi 0,22 0,22 Total bagian daerah 411,9 1187,2 188% Sumber: Diolah dari Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, Keterangan: * termasuk penerimaan pajak atas minyak bumi, sehingga angka ini mungkin overestimate (terlalu tinggi). Hasil perhitungan memperlihatkan bagian daerah dari PBB, BPHTB dan SDA secara total untuk Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat diperkirakan akan meningkat 4 Perhitungan dan penjelasan selengkapnya dapat dilihat dalam: Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/kota di Jawa Barat, disampaikan Asisten Administrasi Pembangunan, Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Januari, Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 3

5 sekitar 188% dengan implementasi UU-PKPD dibandingkan dengan pengaturan lama. Angka ini merupakan perkiraan tertinggi mengingat dalam perhitungan unsur penerimaan yang berasal dari pajak migas masih ikut diperhitungkan. 5 Selanjutnya, hasil perhitungan perkiraan penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan gabungan penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat untuk PAD, dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan SDA Tahun 2000/2001 (12 bulan) dapat dilihat pada Tabel 2.2. di halaman berikut. Dana Alokasi Umum: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat a. Hasil perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat berdasarkan UU-PKPD: Studi perkiraan penerimaan DAU Jawa Barat dilakukan berdasarkan UU-PKPD dengan menggunakan beberapa asumsi berikut: 6 DAU menurut UU-PKPD merupakan transfer pemerintah pusat yang bersifat umum dan merupakan ekuivalen dari pengaturan lama berupa SDO dan Inpres Pembangunan. Perhitungan DAU dilakukan dengan menggunakan bobot daerah: jumlah penduduk (bobot: 22.5%); luas wilayah (bobot: 22.5%); PDRB non-migas (bobot: 22.5%); Rasio PAD/APBD (bobot: 22.5%); Pemerataan (bobot: 10%). Pemilihan bobot ini didasarkan atas kriteria kebutuhan obyektif daerah otonom dan potensi ekonomi daerah. 5 Bagian daerah propinsi dan kabupaten atas hasil minyak bumi dan gas alam tergantung pada Peraturan Pemerintah dari UU nomor 25 tahun 1999, apakah bagian daerah dihitung dari total penerimaan daerah dari migas (profit dan pajak), atau hanya diambil dari komponen profit penerimaan migas, diluar pajak migas. 6 Untuk pengkajian yang serupa tetapi menggunakan pembobotan yang berbeda dan data PDRB termasuk migas, lihat Armida Alisjahbana, Arief Anshory Yusuf dan Bagja Muljarijadi, Implikasi Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah Terhadap Perencanaan Pembiayaan Pembangunan Jawa Barat, Kerjasama LP3E Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran dengan Bappeda Tingkat I Propinsi Jawa Barat (1999). Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 4

6 Tabel 2.2. Perkiraan PAD dan Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan Sumber Daya Alam Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota Jawa Barat Tahun 2000/2001 (12 Bulan) Potensi Penerimaan Penerimaan Propinsi Penerimaan Kab/kota U r a i a n Daerah (Rp milyar) % Rp milyar % Rp milyar I. Pendapatan Asli Daerah 1, , Pajak daerah Retribusi daerah Laba BUMD Penerimaan dinas 1.5. Penerimaan lainnya II. Bagian Daerah dari PBB BPHTB dan SDA , PBB % % BPHTB* % % Iuran HPH % % Kehutanan propinsi % % Pertambangan umum % % Perikanan % % Reboisasi % % Minyak bumi 3, % % Gas bumi 1, % % Sumber: Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari, PDRB non-migas digunakan sebagai salah satu variabel yang mencerminkan potensi ekonomi daerah, khususnya daerah-daerah dengan basis ekonomi di luar sektor migas. 7 Pertimbangan digunakannya PDRB non-migas disebabkan nilainya akan lebih mencerminkan kinerja ekonomi daerah di luar sektor SDA, sedangkan kontribusi SDA daerah yang kembali ke daerah sudah diperhitungkan dalam bagian daerah dari SDA. 7 Kritik yang sering dilontarkan terhadap UU nomor 25 tahun 1999 adalah tidak terdapatnya mekanisme insentif bagi daerah dengan basis ekonomi non SDA berupa bagian daerah dari pajak pusat yang dipungut di daerah tersebut. Usul yang sering dikemukakan untuk memberikan insentif ini, antara lain dengan memberikan bagian penerimaan pajak PPh dan PPN kepada daerah penghasil (Alisjahbana, 1999). Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 5

7 Sebelum dikeluarkannya secara resmi PP yang mengatur tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, dasar perhitungan DAU berdasarkan pemilihan bobot seperti tersebut di atas baru sebatas satu alternatif kajian empiris (exercise) dan belum merupakan cara alokasi DAU yang final. Penerimaan dalam negeri APBN yang dialokasikan untuk DAU berjumlah 25%. Alokasi DAU adalah: 10% untuk daerah propinsi dan 90% untuk daerah kabupaten/kota. Perkiraan dilakukan dengan membandingkan alokasi DAU berdasarkan UU-PKPD jika diterapkan pada tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97 dengan transfer rutin (SDO) dan pembangunan dari pemerintah pusat ke Jawa Barat menurut pengaturan lama. Hasil perkiraan yang diperoleh 8 : Tabel 2.3. Transfer block grant Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran Realisasi transfer Perkiraan alokasi Persentase block (menurut DAU (menurut UU perubahan pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 1994/ ,61% 1995/ ,54% 1996/ ,34% Sumber: Hasil pengolahan data 8 Lihat Lampiran Tabel L.1. sampai dengan Tabel L.10. Hasil simulasi alokasi DAU yang ditampilkan di Tabel 2.3. sampai dengan Tabel 2.5. mendasarkan pada asumsi alokasi APBN untuk DAU nasional berjumlah 25%. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 6

8 Hasil simulasi yang membandingkan transfer block grant antara pengaturan lama dengan implementasi UU-PKPD menunjukkan peningkatan nilai transfer berupa block grant dari pusat ke Daerah Jawa Barat (total Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota) sebesar antara 40% - 63%. Tabel 2.4. Tranfer block grant Pemerintah Pusat ke Pemda Propinsi Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran Realisasi transfer Perkiraan alokasi Persentase block (menurut DAU (menurut UU perubahan pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 1994/ ,0% 1995/ ,9% 1996/ ,0% Sumber: Hasil pengolahan data Tabel 2.5. Tranfer block grant Pemerintah Pusat ke Pemda Kabupaten/Kota Jawa Barat (Rp juta) Tahun anggaran Realisasi transfer Perkiraan alokasi Persentase block (menurut DAU (menurut UU perubahan pengaturan lama) nomor 25 tahun 1999) 1994/ ,0% 1995/ ,0% 1996/ ,8% Sumber: Hasil pengolahan data Hasil simulasi menunjukkan terjadinya perubahan komposisi penerimaan transfer Pemerintah Dati I dan Pemerintah Dati II secara sangat signifikan. Transfer block grant yang diterima Pemerintah Dati I mengalami penurunan rata-rata 75%-80% dibandingkan dengan pengaturan lama. Sebaliknya, transfer block grant yang diterima Pemerintah Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 7

9 Dati II diestimasikan meningkat antara 180%-223% dibandingkan dengan pengaturan lama. b. Hasil estimasi alokasi DAU yang diperkirakan diterima Daerah Propinsi dan Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat, 1998/99, 1999/2000 dan 2000: Hasil perhitungan menggunakan data-data tahun anggaran 1994/95, 1995/96 dan 1996/97, menghasilkan perkiraan persentase DAU nasional yang dialokasikan ke Daerah Jawa Barat sebesar 10,93%. 9 Dengan mengasumsikan DAU nasional yang dialokasikan ke Daerah Jawa Barat tidak mengalami perubahan pada tahun-tahun anggaran selanjutnya, maka diperoleh estimasi alokasi DAU ke Daerah Jawa Barat (Propinsi dan Kabupaten/Kota), alokasi DAU yang diterima Propinsi dan alokasi DAU yang diterima Kabupaten/Kota sebagai berikut (lihat Tabel 2.6.) 10 : Tabel 2.6. Estimasi Alokasi DAU yang diterima Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Barat 1998/99, 1999/2000, 2000 (Rp miliar) 1998/1999* 1999/2000** 2000 (9 bln) Penerimaan dalam negeri APBN 158, , ,890 Alokasi DAU nasional (25%) 39,726 35,551 38,223 Alokasi Jawa Barat (10.93% dari DAU nasional) 4,342 3,886 4,178 Alokasi DAU Pemerintah propinsi Jawa Barat Alokasi DAU Pemerintah kabupaten/kota di JawaBarat 3,908 3,497 3,760 Keterangan: *Realisasi; **Anggaran (budget) Sumber: Hasil pengolahan data 9 Lihat Lampiran Tabel L.1. sampai dengan Tabel L.5. untuk perhitungan selengkapnya. 10 Hasil perkiraan ini cukup realistis jika persentase variabel-variabel Jawa Barat yang digunakan dalam perhitungan alokasi DAU, terhadap total Indonesia selama periode 1998/99, 1999/2000, dan 2000 tidak berubah dibandingkan dengan periode 1994/ /97 yang dijadikan sebagai periode referensi. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 8

10 Dana Alokasi Khusus: Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat Dana Alokasi Khusus diasumsikan sama dengan nilai transfer spesifik (Inpres Spesifik) dalam pengaturan lama, atau sama dengan komponen Dana Khusus dari Dana Pembangunan Daerah jika mengacu pada format APBD tahun anggaran 1999/2000, baik untuk Daerah Propinsi maupun Daerah Kabupaten/Kota. Alokasi Dana Khusus dari Dana Pembangunan Daerah Tahun Anggaran 1999/2000: Propinsi Jawa Barat: Rp juta (untuk Pengembangan Prasarana dan Sarana Ekonomi; Pengembangan Sosial Budaya dan Pelayanan; Pemeliharaan Lingkungan Hidup; Pengembangan Wilayah; Peningkatan Pendidikan Dasar; dan Pembangunan Sarana Kesehatan); Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat: Rp juta (untuk Dana Pembinaan Daerah Bawahan; Dana Pelayanan Sosial-Ekonomi; Dana Penanganan Lingkungan Hidup; Dana Pembangunan Prasarana Umum; dan Dana Peningkatan Produksi) Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi dan Kabupaten/Kota di Jawa Barat: Aplikasi UU-PKPD Implikasi implementasi UU-PKPD terhadap pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat pada dampaknya terhadap penerimaan APBD Propinsi dan APBD Kabupaten/Kota di Jawa Barat, yaitu membandingkan APBD realisasi dengan perkiraan APBD yang mengaplikasikan UU-PKPD. Tabel 2.7. memperlihatkan angka-angka APBD tersebut untuk tahun anggaran 1994/95 sampai dengan 1996/97. Aplikasi UU- PKPD dalam perhitungan ini dibatasi pada aplikasi DAU, dengan asumsi penerimaanpenerimaan lainnya dianggap tidak berubah. Atas dasar alokasi DAU yang menggantikan transfer block grant dari pengaturan lama, terlihat penerimaan APBD Propinsi rata-rata berkurang secara drastis, antara 45-50% dibadingkan dengan pengaturan lama. Sebaliknya, penerimaan APBD Kabupaten/Kota secara keseluruhan meningkat secara signifikan, antara 72-93%. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 9

11 Jika memperhitungkan sumber penerimaan lain yang juga akan berubah dengan diaplikasikannya UU-PKPD, misalnya komponen Bagian Daerah dari PBB, BPHTB dan SDA, diperkirakan penurunan penerimaan APBD Propinsi tetap akan berkisar pada 45%. Penerimaan beberapa Kabupaten/Kota, khususnya Kabupaten/Kota penghasil SDA, dapat meningkat secara lebih drastis lagi dengan dimasukkannya bagian daerah dari SDA, sementara Kabupaten/Kota bukan daerah penghasil SDA, hanya mendapat tambahan bagain daerah yang relatif kecil dari bagian hasil SDA yang dibagi rata diantara Kabupaten/Kota yang berada di propinsi penghasil tersebut. Tabel 2.7. Penerimaan APBD Pemda Propinsi dan Kabupaten/Kota Jawa Barat Realisasi Aplikasi DAU Persentase Perubahan Tahun anggaran Dati I Dati II Dati I Dati II Dati I Dati II 1994 / ,325,290 1,204, ,805 2,329, % 93.4% 1995 / ,587,935 1,579, ,224 2,728, % 72.7% 1996 / ,646,283 1,826, ,157 3,290, % 80.2% Sumber: Hasil pengolahan data Perkiraan di atas dianggap cukup realistis, dengan melihat pada kenyataan: UU nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah belum direvisi, Dana Alokasi Khusus kemungkinan masih mengacu pada pola transfer spesifik pengaturan lama, komponen lain-lain penerimaan yang sah diperkirakan tidak banyak berubah, serta pinjaman daerah tidak dilakukan. Pada tahap selanjutnya, untuk keperluan perencanaan kebijakan pembangunan ekonomi daerah perlu diperkirakan dampak implementasi UU-PKPD terhadap APBD Propinsi dan APBD masing-masing Kabupaten/Kota, sehingga daerah dapat melakukan perencanaan implementasi otonomi daerah dengan memperhatikan aspek perubahan anggaran. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 10

12 Sebagai ilustrasi, Tabel 2.8. memperlihatkan perkiraan penerimaan APBD Propinsi Jawa Barat tahun anggaran 2000 yang telah mengaplikasikan UU-PKPD. 11 Komposisi penerimaan diperkirakan menjadi: PAD (24%), Bagian Daerah Propinsi dari PBB,BPHTB dan SDA (20%); DAU (44%), dan DAK (12%). Tabel 2.8. Perkiraan Penerimaan APBD Propinsi Jawa Barat Tahun 2000 Aplikasi UU nomor 25 tahun 1999 (Rp milyar) Penerimaan I. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Thn anggaran 2000 a % 1. Pajak daerah Retribusi daerah Laba BUMD Penerimaan lainnya II. Dana Perimbangan 1. Bagian daerah dari: % 1. PBB BPHTB Iuran HPH Kehutanan propinsi Pertambangan umum Perikanan - 7. Reboisasi Minyak bumi Gas bumi Dana alokasi umum b) % 3. Dana alokasi khusus c) % III. Dana pinjaman IV. Lain-lain pendapatan yang sah TOTAL Keterangan: a) 9 bulan b) Hasil perhitungan c) Berdasarkan alokasi dana khusus dari Dana Pembangunan Daerah 1999/2000 untuk 9 bulan Sumber: Hasil pengolahan data 11 Hal yang sama dapat dilakukan untuk masing-masing Daerah Kabupaten/Kota di Jawa Barat. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 11

13 Penggunaan penerimaan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Propinsi menjadi 88% dari total penerimaan APBD, dan hanya 12% yang penggunaannya ditentukan Pusat. Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dalam penentuan penggunaan penerimaan APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi sumber maupun besar penerimaan itu sendiri. Alokasi DAU dan DAK dilakukan melalui mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula dengan ketentuan Bagian Daerah dari SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD. Hal yang sama berlaku untuk Daerah Kabupaten/Kota. 3. Implikasi Implementasi Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal Terhadap Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah 3.1. Reorientasi Peran serta Kewenangan Penyelenggaraan Pemerintahan antara Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota Dalam jangka pendek, prioritas utama daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota adalah melakukan reorientasi atas peran dan kewenangan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Reorientasi ini tidak terbatas pada peran dan kewenangan saja, tetapi juga menyangkut relokasi pegawai serta peningkatan kemampuan, kapasitas pemerintah Kabupaten/Kota dari segala aspek. Jika mengacu pada UU Pemerintah Daerah, maka reorientasi peran dan kewenangan dari Pemerintah Pusat dan Propinsi langsung ke Daerah Kabupaten/Kota mengikuti ketentuan: Kewenangan Pemerintah Pusat: Melaksanakan kewenangan-kewenangan Pemerintah dalam bidang-bidang Pertahanan/Keamanan, Politik Luar Negeri, Peradilan, Fiskal/Moneter, Agama serta kewenangan bidang Pemerintahan lainnya dan/atau Kebijakan Strategis yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Bidang lainnya yang tetap menjadi kewenangan Pemerintah Pusat adalah: (i) Perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan sektoral dan nasional secara makro; (ii) Kebijakan dana perimbangan keuangan; (iii) Kebijakan sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; (iv) Kebijakan pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia; (v) Kebijakan Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 12

14 Kewenangan Pemerintah Propinsi: Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota yang menjadi tanggung jawab Propinsi, misalnya adalah kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan disamping kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya. 13 Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota: Mencakup semua kewenangan Pemerintahan selain kewenangan Pemerintah Pusat dan Propinsi. Secara eksplisit dinyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan daerah kabupaten dan daerah kota meliputi: pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan, pertanian, perhubungan, perdagangan dan industri, penanaman modal, lingkungan hidup, dan pertanahan. Disamping mengacu pada PP Pemerintahan Daerah dan PP PKPD, reorientasi peran dan kewenangan diantara Pemerintah Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota hendaknya juga dilakukan dengan memperhatikan: Perubahan anggaran yang diestimasikan akan terjadi. Misalnya: untuk contoh daerah Jawa Barat seperti perhitungan di atas, maka Pemerintah Propinsi harus menyerahkan/mengurangi peran dan kewenangannya ke Pemerintah Kabupaten/Kota senilai 50% dari APBD. Sebaliknya, untuk Daerah Kabupaten/Kota secara keseluruhan, peningkatan peran dan kewenangan yang berasal dari Pusat dan Propinsi direncanakan % dari nilai penerimaan APBD. pendayagunaan teknologi tinggi dan strategis, serta pemanfaatan kedirgantaraan, kelautan, pertambangan dan kehutanan/lingkungan hidup; (vi) Kebijakan konservasi; (vii) Kebijakan standarisasi nasional. 13 Kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya mencakup: (i) Perencanaan pembangunan regional secara makro; (ii) Pelatihan kejuruan dan alokasi sumber daya manusia potensial; (iii) Pelabuhan regional; (iv) Lingkungan hidup; (v) Promosi dagang dan budaya/pariwisata; (vi) Penanganan penyakit menular dan hama tanaman; (vii) Perencanaan tata ruang Propinsi. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 13

15 Jika Pemerintah Propinsi tidak mengurangi/mengalihkan peran ke Daerah Kabupaten/Kota, maka diperkirakan akan terjadi defisit pada APBD (senilai 50% dari APBD). Jika Pemerintah Kabupaten/Kota dilimpahkan kewenangan yang melebihi kemampuan anggarannya (peningkatan beban anggaran APBD lebih besar dari 100%), sebagaimana disimulasikan di atas, maka dapat terjadi defisit dalam APBD Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Seharusnya Pemerintah Pusat memberlakukan masa transisi persiapan reorientasi dan restrukturisasi Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Masa transisi yang cukup diawali dengan pengkajian dan sosialisasi oleh Pemerintah Pusat ke daerah-daerah tentang implikasi implementasi UU-PKPD terhadap anggaran masing-masing Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan demikian, dapat dihitung secara akurat dampak UU-PKPD terhadap anggaran daerah, sebagai landasan bagi perubahan-perubahan dan reorientasi yang dilakukan daerah Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah Otonomi daerah mengandung makna beralihnya sebagian besar proses pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah. Perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan pemerintahan ini memerlukan reorientasi/perubahan peran dan fungsi pemerintah seperti yang dijelaskan dalam UU tentang Pemerintahan Daerah dan implikasi implementasi UU-PKPD pada pembahasan di atas. Pemerintah daerah akan bertanggung jawab secara lebih penuh terhadap kebijakankebijakan dasar yang diperlukan bagi pembangunan daerah, khususnya yang menyangkut pembangunan sarana dan prasarana, investasi (dan akses terhadap sumber dana), kebijakan lingkungan, pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan), dan pengembangan sumber daya manusia. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 14

16 Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi, efektifitas pemerintah daerah dalam memicu perkembangan ekonomi daerah akan sangat tergantung pada: 14 Kemampuan berafiliasi, yaitu kemampuan bekerjasama, negosiasi dan networking dengan pihak swasta (dalam negeri dan asing), dengan pemerintah daerah lain, institusi dan pemerintah pusat, institusi/pemerintah asing. Kemampuan berpikir strategik, yaitu kemampuan melihat dan mengidentifikasi faktor-faktor dominan dari suatu daerah, yang akan mempengaruhi dan menentukan pembangunan daerah. Sikap kreatif dan inovatif di tingkat pemerintah daerah, yaitu kemampuan untuk menciptakan gagasan-gagasan dan pemikiran-pemikiran baru yang berdampak pada kemajuan ekonomi daerah. Kreativitas dan sikap inovatif pemerintah daerah dalam menghasilkan gagasan-gagasan baru hanya mungkin dalam suatu pemerintahan yang bersifat terbuka, yang memahami pendapat/pemikiran yang berbeda dan menganggap kreativitas sebagai kebutuhan untuk mencapai perbaikan pengelolaan maupun produk/jasa pelayanan terhadap masyarakat. Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah daerah. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Pemerintah daerah di setiap tingkat harus dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan bersama. 14 Yuyun Wirasasmita, Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah, Ceramah disampaikan pada ISEI Jawa Barat, 5 Februari, Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 15

17 Keterpaduan yang harmonis dan terkoordinasi antara pemerintah daerah dengan lembaga lain, pihak swasta dan lembaga-lembaga nirlaba akan memperlancar tercapainya tujuan pembangunan daerah. 4. Penutup Hasil simulasi dan estimasi implikasi UU nomor 25 tahun 1999 untuk Jawa Barat menunjukkan akan terjadinya peningkatan transfer dalam bentuk block grant dari pusat ke daerah Jawa Barat sebesar 25-45% dibandingkan dengan pengaturan lama. Terjadi penurunan drastis (45-50%) atas transfer pusat ke Propinsi Jawa Barat, sebaliknya peningkatan drastis (72-93%) ke Daerah Kabupaten/Kota. Demikian pula dengan Bagian Daerah atas PBB,BPHTB dan SDA, diperkirakan akan terjadi peningkatan penerimaan Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota (khususnya Daerah Penghasil SDA) secara cukup signifikan dibandingkan dengan pengaturan lama. Atas dasar studi-studi semacam ini, daerah dapat mulai melakukan persiapan-persiapan implementasi otonomi daerah dengan memperhatikan aspek anggaran yang akan dikelolanya. Meskipun diskresi kewenangan Propinsi dan Kabupaten/Kota dalam penentuan penggunaan penerimaan APBD menjadi sangat besar, tetapi harus diingat bahwa Propinsi maupun Kabupaten/Kota tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi sumber maupun besar penerimaan itu sendiri. Alokasi DAU dan DAK dilakukan melalui mekanisme yang ditentukan Pusat, demikian pula dengan ketentuan Bagian Daerah dari SDA, PBB, BPHTB dan penerimaan PAD. Pembangunan ekonomi daerah bukanlah monopoli dan tanggung jawab pemerintah daerah sendiri. Pembangunan ekonomi daerah melibatkan multisektor dan pelaku pembangunan, sehingga diperlukan kerjasama dan koordinasi diantara semua pihak yang berkepentingan. Disamping diperlukan kreativitas masing-masing Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah di setiap tingkat juga harus dapat menjadi fasilitator yang dapat memadukan kepentingan berbagai pihak dan meletakkan dasar-dasar kepentingan bersama. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 16

18 Referensi Ahmad, Ehtisham, Bert Hofman, Jun Ma, Dick Rye, Bob Searle and Jim Stevenson, 1999, Indonesia: Decentralization-Managing the Risks, International Monetary Fund, Fiscal Affairs Department, June. Armida S. Alisjahbana, 1999, Regional Autonomy and Fiscal Decentralization:Towards Provincial and Local Government Financial Viability?. Makalah disampaikan pada Konferensi Internasional The Economic Issues Facing the New Government diselenggarakan LPEM FE-UI bekerjasama dengan the United States Agency for International Development (USAID) dan Partnership for Economic Growth (PEG), Jakarta, Agustus., 1998, Desentralisasi Kebijakan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah. Orasi Ilmiah pada Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, October 24. Badan Pusat Statistik, berbagai tahun, Statistik Keuangan Daerah. Burki, Shahid Javed, Guillermo E. Perry and William R. Dillinger, 1999, Beyond the Center: Decentralizing the State, The World Bank, Washington, D.C. Dillinger, William and Steven B. Webb, 1999, Decentralization and Fiscal Management in Colombia, World Bank Staff Paper, May. Mahfud Sidik, 1999, Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Serta Implikasinya terhadap Pembiayaan Otonomi Daerah, Makalah disampaikan pada Lustrum IV Pasca Sarjana, Universitas Padjadjaran, Bandung, Agustus. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat, 2000, Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Bandung, Januari.., berbagai tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Bandung. Proyeksi Penerimaan Pemerintah Propinsi Jawa Barat pada Tahun Anggaran 2000/2001, disampaikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan Pemda Propinsi Jawa Barat, Januari. Republik Indonesia, berbagai tahun, Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Jakarta. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 17

19 , 1999, UU nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah, Mei., 1999, UU nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Mei. Shah, Anwar, 1998, Balance, Accountability, and Responsiveness: Lessons about Decentralization, dalam Picciotto, Robert and Eduardo Wiesner, eds. Dalam Evaluation and Development: The Institutional Dimension, New Brunswick, USA and London, UK: Transaction Publishers., The Reforms of Intergovernmental Fiscal Relations in Developing and Emerging Market Economies, The World Bank, Washington, DC., 1991, Perspectives on the Design of Intergovernmental Fiscal Relations, Country Economics Department, the World Bank, Washington, DC. Susijati B. Hirawan, 1998, Desentralisasi Kebijaksanaan Fiskal dan Tuntutan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional dalam rangka Dies ke 41 Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Oktober 31. Yuyun Wirasasmita, 2000, Pengembangan Ekonomi Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah, Ceramah disampaikan pada ISEI Jawa Barat, 5 Februari. Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 18

20 Lampiran Tabel Tabel L1. Formula Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat Tahun Jumlah Luas PAD / PDRB anggaran penduduk wilayah APBD Pemerataan 1994 / % 2.23% 18.07% 6.45% 3.70% 1995 / % 2.23% 18.07% 6.35% 3.70% 1996 / % 2.23% 18.14% 6.59% 3.70% Tabel L2. Alokasi nasional menurut bobot (Rp milyar) Tahun Jumlah Luas PAD / Alokasi PDRB Pemerataan anggaran penduduk wilayah APBD Nasional 1994 / , , , , , , / , , , , , , / , , , , , ,908 Tahun Jumlah Luas PAD / Total DAU DAU DAU PDRB Pemerataan anggaran penduduk wilayah APBD Jabar Dati I Dati II 1994 / , , / , , / , , Sumber: Hasil pengolahan data Tabel L3. Simulasi Alokasi DAU Jawa Barat (Rp milyar) Tabel L4. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat (Rp juta) 1994 / / / 1997 Skenario* Nasional Jabar Nasional Jabar Nasional Jabar Skenario 1 (25%) 16,604,500 1,810,633 18,253,500 1,989,201 21,907,500 2,405,940 Skenario 2 (30%) 19,925,400 2,172,759 21,904,200 2,387,041 26,289,000 2,887,128 Skenario 3 (35%) 23,246,300 2,534,886 25,554,900 2,784,881 30,670,500 3,368,316 Keterangan: *) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 19

21 Skenario* Nasional Jabar Nasional Jabar Nasional Jabar Skenario 1 (25%) 16,604, % 18,253, % 21,907, % Skenario 2 (30%) 19,925, % 21,904, % 26,289, % Skenario 3 (35%) 23,246, % 25,554, % 30,670, % Keterangan: Tabel L5. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Propinsi Jawa Barat (Persentase terhadap alokasi nasional) 1994 / / 1996 *) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah 1996 / 1997 Tabel L6. Simulasi Besarnya Dana Alokasi Umum untuk Dati I dan Dati II Jawa Barat (Rp juta)* 1994 / / / 1997 Skenario** Dati I Dati II Dati I Dati II Dati I Dati II Skenario 1 (25%) 181,063 1,629, ,920 1,790, ,594 2,165,346 Skenario 2 (30%) 217,276 1,955, ,704 2,148, ,713 2,598,415 Skenario 3 (35%) 253,489 2,281, ,488 2,506, ,832 3,031,484 Keterangan: *) 10% untuk Pemda Tk I dan 90% untuk Pemda Tk II **) Persentase dari penerimaan rutin APBN yang dialokasikan ke daerah Tabel L7. Transfer block gran t (DAU) Pemerintah Pusat ke Pemda tk I Jawa Barat (Rp Juta) Implementasi UU Perimbangan Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario / , , , , / , , , , / , , , ,832 Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi Tabel L8. Transfer "block grant" (DAU) Pemerintah Pusat Ke Pemda tk I Jawa Barat (Persentase perubahan) Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario / , % -74.8% -70.6% 1995 / , % -74.6% -70.4% 1996 / , % -70.0% -65.0% Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi Implementasi UU HKPD Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 20

22 Tabel L9. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Pemda tk II Jawa Barat (Rp Juta) Implementasi UU HKPD Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario / ,453 1,629,569 1,955,483 2,281, / ,699 1,790,280 2,148,337 2,506, / ,234 2,165,346 2,598,415 3,031,484 Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi Tabel L10. Transfer block grant (DAU) Pemerintah Pusat Ke Pemda tk II Jawa Barat (Persentase perubahan) Implementasi UU HKPD Tahun anggaran Skenario 0* Skenario I Skenario 2 Skenario / , % 287.6% 352.3% 1995 / , % 234.8% 290.6% 1996 / , % 270.5% 332.3% Keterangan: *) Transfer aktual yang terjadi Desentralisasi Fiskal dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah 21

Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat * Armida S. Alisjahbana

Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat * Armida S. Alisjahbana Desentralisasi Fiskal Dalam Perspektif Daerah Jawa Barat * Armida S. Alisjahbana Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran 29 Juni, 2000 * Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya: Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pengelolaan Pemerintah Daerah di Indonesia sejak tahun 2001 memasuki era baru yaitu dengan dilaksanakannya otonomi daerah. Otonomi daerah ini ditandai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (revisi dari UU no

Lebih terperinci

5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD

5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD H a l V- 1 BAB V ARAH KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 5.1 ARAH PENGELOLAAN APBD Sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 tentang Sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer)

Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer) RUMUS PERHITUNGAN DANA ALOKASI ASI UMUM I. PRINSIP DASAR Dana Alokasi Umum (DAU) adalah alokasi (transfer) pusat kepada daerah otonom dalam bentuk blok. Artinya, penggunaan dari DAU ditetapkan sendiri

Lebih terperinci

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH

DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH DANA PERIMBANGAN DAN PINJAMAN DAERAH Oleh: DR. MOCH ARDIAN N. Direktur Fasilitasi Dana Perimbangan dan Pinjaman Daerah KEMENTERIAN DALAM NEGERI DIREKTORAT JENDERAL BINA KEUANGAN DAERAH 2018 1 2 KEBIJAKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan. Otonomi daerah memberikan kesempatan yang luas kepada daerah untuk berkreasi dalam meningkatkan

Lebih terperinci

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DASAR PEMIKIRAN HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH DAERAH HARUS MEMPUNYAI SUMBER-SUMBER KEUANGAN YANG MEMADAI DALAM MENJALANKAN DESENTRALISASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Otonomi selalu dikaitkan atau disepadankan dengan pengertian kebebasan dan kemandirian. Sesuatu akan dianggap otonomi jika ia menentukan diri sendiri, membuat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan antar daerah dan meningkatkan kualitas pelayanan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN

BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN 44 BAB III GAMBARAN UMUM DANA PERIMBANGAN Adanya UU No. 32 dan No. 33 Tahun 2004 merupakan penyempurnaan dari pelaksanaan desentralisasi setelah sebelumnya berdasarkan UU No. 22 dan No. 25 Tahun 1999.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah membawa dampak negatif yang cukup dalam pada hampir seluruh sektor dan pelaku ekonomi. Krisis yang bermula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Halim (2007:232) kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan pendapatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep, Konstruk, Variable Penelitian 2.1.1 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah, pendapatan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1 Kondisi Pendapatan Daerah Pendapatan daerah terdiri dari tiga kelompok, yaitu Pendapatan Asli

Lebih terperinci

Menteri Keuangan Republik Indonesia

Menteri Keuangan Republik Indonesia KEBIJAKAN PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA DALAM RANGKA PELAKSANAAN AZAS DESENTRALISASI FISKAL Oleh : Dr. BOEDIONO Menteri Keuangan Republik Indonesia Disampaikan Pada : RAPAT KOORDINASI PENDAYAGUNAAN APARATUR

Lebih terperinci

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota

Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Kajian Perda Provinsi Bali Tentang Bagi Hasil Pajak Provinsi kepada Kab./Kota Pengantar K ebijakan perimbangan keuangan, sebagai bagian dari skema desentralisasi fiskal, memiliki paling kurang dua target

Lebih terperinci

PARADIGMA SISTEM DESENTRALISASI PENDIDIKAN SECARA HOLISTIK. Syahril Chaniago * ABSTRACT

PARADIGMA SISTEM DESENTRALISASI PENDIDIKAN SECARA HOLISTIK. Syahril Chaniago * ABSTRACT PARADIGMA SISTEM DESENTRALISASI PENDIDIKAN SECARA HOLISTIK Syahril Chaniago * ABSTRACT Planned implementation of regional autonomy has been started since enacted in 2001 which refers again to the latest

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan daerah adalah komponen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang digunakan untuk membiayai pembangunan dan melancarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Modal Belanja Modal merupakan salah satu jenis Belanja Langsung dalam APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah pengeluaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No.

BAB I PENDAHULUAN. kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang

BAB I PENDAHULUAN. dan kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, daerah diberi kewenangan yang luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal bukan konsep baru di Indonesia. Perjalanan reformasi manajemen keuangan daerah dapat dilihat dari aspek history yang dibagi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Realitas menunjukkan tidak semua daerah mampu untuk lepas dari pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka dalam kenyataannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Reformasi telah membawa perubahan yang signifikan terhadap pola kehidupan sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Desentralisasi keuangan dan otonomi daerah

Lebih terperinci

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA RENCANA DAN KEBIJAKAN ALOKASI TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA Disampaikan oleh: Direktur Pembiayaan dan Kapasitas Daerah Dr. Ahmad Yani, S.H., Akt., M.M., CA. MUSRENBANG

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kemandirian Keuangan Daerah 2.1.1.1 Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 bahwa kemandirian

Lebih terperinci

BAB V PENDANAAN DAERAH

BAB V PENDANAAN DAERAH BAB V PENDANAAN DAERAH Dampak dari diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai

BAB I PENDAHULUAN. mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang mengacu pada UU Nomor 22 tahun 1999 mengenai pemerintah kabupaten/kota dan UU Nomor 25 tahun 1999 mengenai perimbangan keuangan

Lebih terperinci

M E T A D A T A INFORMASI DASAR

M E T A D A T A INFORMASI DASAR M E T A D A T A INFORMASI DASAR 1 Nama Data : Operasi Keuangan Pemerintah Pusat 2 Penyelenggara Statistik : Departemen Statistik Bank Indonesia 3 Alamat : Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 4 Contact : Divisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Otonomi Daerah dan Desentralisasi Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 1 butir 5, yang dimaksud dengan otonomi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

PENDAHULUAN. Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran. pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Belanja daerah, atau yang dikenal dengan pengeluaran pemerintah daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), merupakan salah satu faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pelaksanaan Desentralisasi di Indonesia ditandai dengan adanya Undangundang Nomor 22 dan Nomor 25 tahun 1999 yang sekaligus menandai perubahan paradigma pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Halim (2001) adalah penerimaan yang diperoleh daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No 22 tahun 1999 dan UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di

BAB I PENDAHULUAN. berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Krisis ekonomi yang telah terjadi pada tahun 1998 yang lalu telah berdampak pada berbagai aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Krisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pemerintah melakukan reformasi di bidang Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan pada tahun 1999. Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan ditetapkannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Pendapatan daerah lainnya. dari pusat itu diserah kan sepenuhnya kedaerah.

BAB I PENDAHULUAN. Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran, dan Pendapatan daerah lainnya. dari pusat itu diserah kan sepenuhnya kedaerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya setiap masing-masing daerah memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mendanai kegiatan operasional di daerahnya masing-masing, hal tersebut dapat menjadikan

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1. Kinerja Keuangan Masa Lalu 3.1.1. Kinerja Pelaksanaan APBD 3.1.1.1. Sumber Pendapatan Daerah Sumber pendapatan daerah terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah. memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan kewenangan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEREKONOMIAN INDONESIA PEREKONOMIAN INDONESIA Modul ke: Kebijakan Fiskal dan APBN Suzan Bernadetha Stephani, S.E, M.M EKONOMI BISNIS Fakultas Program Studi AKUNTANSI www.mercubuana.ac.id kebijakan fiskal adalah kebijakan yang

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Gambaran pengelolaan keuangan daerah mencakup gambaran kinerja dan pengelolaan keuangan daerah tahuntahun sebelumnya (20102015), serta kerangka pendanaan. Gambaran

Lebih terperinci

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB VIII KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN Kerangka ekonomi makro dan pembiayaan pembangunan Kabupaten Sleman memuat tentang hasil-hasil analisis dan prediksi melalui metode analisis ekonomi

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN

DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN DAMPAK PEMBENTUKAN DAERAH OTONOM BARU TEHADAP KEBIJAKAN ALOKASI DANA PERIMBANGAN Disampaikan Oleh: Drs. Kadjatmiko, M.Soc.Sc Direktur Dana Perimbangan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan bertujuan untuk menciptakan perubahan ke arah yang lebih baik. Sejalan dengan perkembangan era globalisasi, nampaknya pembangunan yang merata pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan

BAB I PENDAHULUAN. mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UU Nomor 33 Tahun 2004 Draf RUU Keterangan 1. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Belanja Langsung Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Pasal 36 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, belanja langsung merupakan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: Mengingat:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Otonomi Daerah Suparmoko (2002: 18) Otonomi Daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Akuntansi Sektor Publik, Khususnya di Negara Indonesia semakin pesat seiring dengan adanya era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 250/PMK.07/2014 TENTANG PENGALOKASIAN TRANSFER KE DAERAH DAN DANA DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH

BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH BAB V ANGGARAN PEMBANGUNAN DAERAH 5.1 PENDANAAN Rencana alokasi pendanaan untuk Percepatan Pembangunan Daerah pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) 2009 memberikan kerangka anggaran yang diperlukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD. 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini akan dijelaskan teori-teori yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), variabel-variabel yang diteliti serta penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang keuangan negara. Hal ini diindikasikan dengan telah diterbitkannya Undang-Undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut azaz otonomi ini sesuai dengan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 yang menyebut antara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat

I. PENDAHULUAN. Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Apabila kita membicarakan tentang pembangunan daerah maka akan erat kaitannya dengan apa yang disebut pendapatan daerah. Pendapatan daerah dalam struktur APBD masih merupakan

Lebih terperinci

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH DAERAH KABUPATEN (REVISI) GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB 3 GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana pengelolaan keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD dalam Peraturan Daerah

Lebih terperinci

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH DAN KERANGKA PENDANAAN A. PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH Berkaitan dengan manajemen keuangan pemerintah daerah, sesuai dengan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUB NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1 of 41 1/31/2013 12:38 PM MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 165/PMK.07/2012 TENTANG PENGALOKASIAN ANGGARAN TRANSFER KE DAERAH DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan

BAB I PENDAHULUAN. undang-undang di bidang otonomi daerah tersebut telah menetapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia mengacu pada Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah direvisi menjadi Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan diberlakukannya UU Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32 tahun 2004, memberikan wewenang seluasnya kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam

KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam KEBIJAKAN PENDANAAN KEUANGAN DAERAH Oleh: Ahmad Muam Pendahuluan Sejalan dengan semakin meningkatnya dana yang ditransfer ke Daerah, maka kebijakan terkait dengan anggaran dan penggunaannya akan lebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan di bidang pajak. Oleh karena itu, pajak merupakan suatu fenomena yang selalu berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan. bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional mengatur dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan otonomi daerah berlaku secara efektif sejak awal Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah

Lebih terperinci

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU

ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU ANALISIS KEMANDIRIAN FISKAL DALAM UPAYA MENDUKUNG PELAKSANAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Taryono Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Penelitian ini bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan tersebut meliputi sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan tersebut meliputi sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Selama ini di Indonesia tedapat hubungan yang asimetris antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah di bidang keuangan publik. Pemerintah daerah sangat tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan Negara yang terbesar yang memberikan peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen

BAB I PENDAHULUAN. dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anggaran daerah merupakan rencana keuangan daerah yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen dokumen anggaran daerah disebut

Lebih terperinci

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah Indonesia tentang otonomi daerah secara efektif

Lebih terperinci

BAB IV METODA PENELITIAN

BAB IV METODA PENELITIAN BAB IV METODA PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi dan kateristik obyek penelitian, maka penjelasan terhadap lokasi dan waktu penelitian

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN 2014 A PB D L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI APBD TAHUN ANGGARAN 2013 1 L A P O R A N A N A L I S I S REALISASI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Fiscal Stress Ada beberapa definisi yang digunakan dalam beberapa literature. Fiscal stress terjadi ketika pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KOTA PALEMBANG AZWARDI *

ANALISIS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KOTA PALEMBANG AZWARDI * 1 ANALISIS PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KOTA PALEMBANG AZWARDI * This research is purposed to know the impact of regional outonomy in Palembang, especially in fiscal aspects. To solve the problem, that

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas pemerintah secara profesional untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekad pemerintah pusat untuk meningkatkan peranan pemerintah daerah dalam mengelola daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA AMBON

ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA AMBON ANALISIS KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KOTA AMBON Muhammad Ramli Faud*) Abstract : This research measures financial perfomance of local government (PAD) at Ambon city using ratio analysis. Local

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012

KATA PENGANTAR. iii. ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2012 1 KATA PENGANTAR Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan dan lebih dekat dengan masyarakat. Otonomi yang dimaksudkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada era reformasi seperti saat ini sangat penting diberlakukannya otonomi daerah untuk memberikan kesempatan kepada pemerintah agar dapat lebih meningkatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2.1.1 Pengertian dan unsur-unsur APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada hakekatnya merupakan salah satu instrumen

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1278, 2013 KEMENTERIAN KEUANGAN. Anggaran. Transfer. Daerah. Pengalokasian. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 145/PMK.07/2013 TENTANG PENGALOKASIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship

BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN. Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENELITIAN 2.1 LANDASAN TEORI 2.1.1 Stewardship Theory Grand theory dalam Penelitian ini adalah menggunakan Stewardship Theory, Teori Stewardship menjelaskan mengenai situasi

Lebih terperinci

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang

BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA. Daerah. Reformasi tersebut direalisasikan dengan ditetapkannya Undang 10 BAB II SISTEM PEMERINTAH DAERAH & PENGUKURAN KINERJA Semenjak krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, Pemerintah Indonesia melakukan reformasi di bidang Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan

Lebih terperinci

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Analisis Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 4.1. Pendapatan Daerah 4.1.1. Pendapatan Asli Daerah Sejak tahun 2011 terdapat beberapa anggaran yang masuk dalam komponen Pendapatan Asli Daerah yaitu Dana

Lebih terperinci