PENGELOLAAN TERPADU KAWASAN EKS PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT 1 JUTA HEKTAR DI KALIMANTAN TENGAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGELOLAAN TERPADU KAWASAN EKS PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT 1 JUTA HEKTAR DI KALIMANTAN TENGAH"

Transkripsi

1 PENGELOLAAN TERPADU KAWASAN EKS PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT 1 JUTA HEKTAR DI KALIMANTAN TENGAH Oleh: Dian Verdiana QH Fakultas Teknik (FT) Universitas Wiralodra LATAR BELAKANG Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Provinsi Kalimantan Tengah dilaksanakan berdasarkan Instruksi Presiden tanggal 5 Juni 1995 tentang Ketahanan Pangan, diikuti oleh Keputusan Presiden No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah. Tujuan utama dari Proyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar yaitu mengkonversi hutan rawa gambut (wet land) yang terletak di Provinsi Kalimantan Tengah menjadi sawah guna mempertahankan swasembada beras yang telah dicapai Indonesia pada tahun Program ini sesuai dengan kebijakan pemerintah yang dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan pangan dilakukan dengan membuka areal baru (ekstensifikasi), meningkatkan intensitas tanam dan usaha intensifikasi lainnya dengan tujuan meningkatkan produksi. Lokasi Pengembangan Lahan Gambut secara geografis terletak di antara Kota Palangkaraya (Sungai Kahayan) ke arah timur melalui sebuah Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer memotong Sungai Barito di Mangkatip. Pada bagian barat, lokasi PLG membujur dari Kota Palangkaraya kearah selatan menyusuri sebelah timur Sungai Sebangau kearah selatan hingga bermuara di Teluk Sebangau di laut Jawa. Sedangkan di sebelah timur dibatasi oleh Sungai Barito dan menyusuri Sungai Barito, Sungai Kapuas Murung kearah selatan melewati Kuala Kapuas hingga muara Sungai Kapuas yang bermuara di Laut Jawa. Tanah di lokasi ini berupa rawa yang didominasi gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter (35%), ketebalan kurang dari 1,5 meter (18 %) dan tanah sulfat masam (12 %), lahan potensial (33 %), lahan salin (2 %). PLG dikerjakan secara bertahap mulai tahun 1996 dan dalam kurun waktu telah dibuat Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 km yang menghubungkan Sungai Kahayan dan Sungai Barito. Selain itu telah dibuat pula Saluran Primer Utama (SPU) sepanjang 958,18 km di Blok A, B, C, dan D. Di Blok A pembuatan saluran sekunder, saluran kolektor, saluran primer dan saluran tersier sudah selesai dikerjakan, sehingga di Blok A berhasil mencetak sekitar hektare lahan sawah, sebelum akhirnya dihentikan pada tahun 1999 berdasarkan Keppres No 80 Tahun PEMBAHASAN Landasan Hukum Pelaksanaan Proyek PLG Landasan hukum Proyek Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, adalah sebagai berikut : (1). Keppres RI No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, memberikan gambaran dan informasi tentang : (a) upaya mempertahankan Swasembada Pangan, untuk itu perlu diambil langkah pengembangan dan pemanfaatan lahan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah seluas 1 (satu) juta hektar, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Lahan Gambut Satu Juta Hektar; (b) kegiatan perencanaan dan pembangunan, meliputi perencanaan tata ruang yang mengacu pada kesesuaian lahan dan sistem jaringan pengairan yang dikaitkan dengan program transmigrasi, aspek lingkungan (ekologis), pembuatan studi Amdal, pencadangan/penyediaan lahan, pelepasan lahan kawasan hutan, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan jaringan pengairan, penyiapan prasarana dan sarana percontohan pengolahan pertanian, perencanaan tenaga atau tenaga petani beserta pemukimannya, dan perencanaan jaringan transportasi air dan darat berikut prasarana pendukungnya; (c) pembiyaan perencanaan dan pembangunan 1

2 dalam rangka pengembangan lahan gambut satu juta hektar dibiayai melalui : (i) Dana Banpres (untuk membiayai perencanaan dan pembangunan jaringan pengairan primer), dan (ii) APBN melalui anggaran instansi teknis, untuk membiayai pembangunan jaringan irigasi sekunder dan tersier, penyiapan prasarana dan sarana percontohan serta pengolahan pertanian, penyiapan dan pelaksanaan tenaga petani serta pembinaannya dalam rangka program transmigrasi, dan penyusunan rencana, pembangunan prasarana dan sarana transportasi air dan darat. (2). Keppres No 74 tahun 1998 tentang Perubahan atas Keppres No. 82 tahun 1995, dimana telah menetapkan penggantian Ketua Tim Pengarah dari Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas kepada Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri /Kepala Bappenas. (3). Keppres No. 133 tahun 1998 tentang Pengembangan Lahan Gambut Untuk Pertanian di Kalimantan Tengah. Namun sejauh itu upaya untuk merehabilitasi kawasan Eks-PLG yang diarahkan untuk pertanian di Kalimantan Tengah masih belum berjalan dengan semestinya. (4). Keppres No. 80 tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Keppres ini dikeluarkan dalam rangka untuk mendorong agar pengelolaan dan pemanfaatan PLG dapat berjalan lancar dan dilaksanakan secara terintegrasi antar instansi terkait baik di pusat atau daerah. Dasar Penanganan Kawasan Eks Proyek PLG Untuk melaksanakan Keppres No. 80 tahun 1999 tersebut, telah ditetapkan Keputusan Menteri Negara Percepatan Pembangunan KTI selaku Ketua Harian Dewan Pengembangan KTI Nomor : SK/004/KH.DP-KTI/IX/2002 tentang Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelesaian eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Tim Ad Hoc ini diketuai oleh Sekretaris Jendral Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia /Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Bidang Percepatan Pembangunan KTI dan Kawasan Tertinggal. Mandat yang diberikan kepada Tim Ad Hoc Penyelesaian Eks-PLG, yaitu : (a) Evaluasi penanganan Eks Proyek PLG di Kalimantan Tengah, (b) Penyiapan konsep rehabilitasi Eks Proyek PLG di Kalimantan Tengah, (c) Menyusun mekanisme penanganan Eks Proyek PLG di Kalimantan Tengah melalui koordinasi tim terkait, (d) Menyiapkan rekomendasi alternatif rehabilitasi Eks Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah. Dari mandat tersebut, Tim Ad Hoc Penyelesaian Eks Proyek PLG telah menyelesaikan tugasnya yang diakhiri dengan tersusunnya Dokumen Rencana Rehabilitasi Kawasan Eks Pengembangan Lahan Gambut Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Dokumen ini dijadikan sebagai pedoman atau panduan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) serta stakeholders lainnya dalam penanganan dan pengembangan kawasan Eks Proyek PLG di Kalimantan Tengah. Di dalam pelaksanaannya, Tim Ad Hoc membentuk Tim Teknis Penanganan Eks Proyek PLG. Tim Teknis ini terdiri dari tenaga ahli dari berbagai instansi teknis yang terlibat langsung dengan penanganan Eks Proyek PLG, diantaranya Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Lembaga Penelitian (BPPT, Cintrop), Perguruan Tinggi (UGM, IPB, UNPAD, dan Universitas Palangkaraya), Bappenas, dan Bappeda (Provinsi Kalimantan Tengah, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Barito Selatan, Kabupaten Pulang Pisau, dan Kota Palangkaraya). Tim Teknis mempunyai tugas yaitu : (1) melakukan review terhadap berbagai kajian yang telah dilakukan oleh berbagai instansi, (2) mencari masukan dari dinas-dinas terkait dan masyarakat di kawasan Eks PLG (transmigran dan masyarakat lokal) melalui konsultasi publik. Untuk selanjutnya menyusun dokumen Perencanaan Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Eks PLG di Kalimantan Tengah (sesuai dengan pelaksanaan Keppres No 80 Tahun 1999). Hasil kajian ini akan dijadikan sebagai panduan atau pedoman bagi instansi atau dinas terkait tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kota, masyarakat setempat, dan para stakeholder di dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan Eks Proyek PLG. 2

3 KONDISI FISIK KAWASAN EKS PLG Kawasan Eks Proyek PLG terletak di Provinsi Kalimantan Tengah, mempunyai tipe iklim tropis basah (Aw dan Af) dan termasuk dalam zona agroklimat C2, yang memungkinkan dilakukan kegiatan tanam sepanjang tahun, tentunya melalui perencanaan yang matang. Curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Desember/Januari dan terendah bulan Agustus. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 27,28 o C-30,40 o C dan malam hari sekitar 24,47 o C. Kelembaban udara rata-rata 84%, sedangkan lama penyinaran matahari rata-rata 5,9 jam/hari. Kawasan Eks Proyek PLG termasuk daerah pasang surut air tawar, walaupun beberapa bagian (Blok D) termasuk pasang surut payau. Beberapa sungai besar terdapat di kawasan Eks PLG diantaranya Sungai Barito, Sungai Kapuas, Sungai Kahayan, Sungai Sebangau, dan Sungai Mengkatip. Selain air sungai, beberapa sumber air lain di kawasan Eks PLG adalah air tanah dalam, air tanah dangkal, dan air hujan. Penyusupan air laut atau intrusi air asin mencapai jarak hingga 70 kilometer dari muara Sungai Kapuas hingga daerah Manusup. Banjir dan genangan umumnya terjadi di daerah hulu, terutama pada lokasi yang tidak terpengaruh oleh pasang-surut. Kondisi geologi kawasan Eks PLG dipengaruhi oleh aktivitas sungai utama (S. Kahayan, Sungai Barito, dan S. Kapuas) yang membentuk dua formasi utama yaitu endapan permukaan dan batuan sedimen tanah muka. Tanah di kawasan Eks PLG berupa tanah gambut dengan kedalaman bervariasi dari ketebalan dangkal sampai sangat dalam dengan ketebalan > 28 meter. Penyebaran lahan gambut dengan tebal >3 meter dominan terletak di Blok C, sebagian terletak di Blok B dan Blok A. Gambut dengan kedalaman > 3 meter lebih diarahkan sebagai kawasan lindung yang perlu di konservasi. Selain itu pada seluruh wilayah kerja Eks-PLG, terutama pada Blok D dijumpai tanah mineral (Tropohemist, Sulfihemist, Troposaprist, Fluvaquent, Quartzipsamment, Tropaquept, Dystropept, dan Hapludult). Kawasan Eks PLG mencakup 4 bagian wilayah, antara lain Kabupaten Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangkaraya. Sedangkan luas kawasan Eks PLG ini sesuai SK. Menteri Kehutanan Nomor 166/Menhut/VII/1996 perihal Pencadangan Areal Hutan untuk Tanaman Pangan di Provinsi Kalimantan Tengah hektar, dibagi menjadi 5 blok/daerah kerja ( lihat Gambar 2 ) sebagai berikut : 1. Blok A seluas hektar (15,59%) 2. Blok B seluas hektar (11,08%) 3. Blok C seluas hektar (39,03%) 4. Blok D seluas hektar (11,14%) 5. Blok E seluas hektar (23,17%) 2.1. Gambut Berdasarkan Kedalaman (1). Gambut Kedalaman < 3 meter Tanah gambut yang berketebalan < 3 meter masih dibagi menjadi 3 ketebalan yaitu, gambut tipis/dangkal, gambut sedang) dan gambut dalam. Masing-masing ketebalan tersebut dapat dimanfaatkan untuk budidaya pertanian dengan penggunaan yang berbeda. (2). Gambut Kedalaman < 3 meter Gambut dengan ketebalan > 3 meter di kawasan Eks PLG terdapat di daerah kerja/ Blok E. Mengingat Blok E ini mempunyai sifat fisik lahan gambut yang tebal (> 3 meter) maka lebih diarahkan sebagai kawasan konservasi atau kawasan lindung (resapan air) Kondisi Lingkungan Perubahan kondisi lingkungan di kawasan Eks PLG menjadi perhatian banyak pihak. Hal ini disebabkan pengembangan lahan gambut untuk pertanian tanaman pangan dianggap tidak akan berhasil mengingat tingkat kesuburan dan kesesuaian lahan yang marginal. Selain itu sistem tata air yang dikembangkan telah menyebabkan terjadinya kondisi over drain dan menimbulkan kerusakan ekosistem, sehingga sulit untuk dipulihkan kembali. Pembukaan hutan yang tidak memperhatikan kelestarian dan kaidah lingkungan dan pembangunan saluran pengairan Proyek PLG mengakibatkan sekitar hektar hutan tropika basah (tropical rain forest) menjadi lahan terbuka. Pembangunan saluran primer induk yang 3

4 memotong kubah gambut (dome) dinilai kurang tepat, hal tersebut sesuai yang direkomendasikan oleh berbagai tim, bahwa : (1). Air dari kubah gambut tidak layak untuk pertanian karena kadar asam organik yang tinggi; (2). Jaringan sistem tata air akan meluruhkan kubah gambut karena turunnya muka air tanah, dan dikhawatirkan lapisan gambut akan menjadi kering tak balik (irreversible drying) yang mempermudah terjadinya kebakaran; (3). Pembangunan sistem tata air akan mempercepat habisnya hutan-hutan di pedalaman oleh penebangan liar (illegal loging) yang memanfaatkan saluran untuk transportasi 2.3. Tata Air Pembukaan lahan rawa yang ditujukan untuk pengembangan budidaya pertanian khususnya pencetakan sawah melalui Proyek PLG seluas satu juta hektar di Provinsi Kalimantan Tengah, sejak 4 Januari 1996 telah dimulai dengan pembuatan jaringan irigasi yang memotong dan menghubungkan Sungai Sebangau, Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta anakanak sungainya. Sistem tata air yang di kembangkan pada Kawasan Eks PLG adalah sistem tata air tertutup, artinya air yang masuk dan keluar dari sistem tata air dapat dikontrol untuk optimasi proses pencucian (leaching) gambut. Dalam sistem tata air tertutup ini dilengkapi dengan tanggul dan bangunan pintu air. Namun dalam pelaksanaannya sistem tata air tersebut tidak berfungsi seperti yang diharapkan, bahkan menjadi permasalahan serius tidak saja bagi lingkungan tetapi juga bagi masyarakat setempat. Beberapa permasalahan dapat dilihat antara lain : (1). Fungsi saluran induk dan primer belum optimal; (2). Terputusnya handil rakyat oleh saluran irigasi; (3). Sistem tata air yang dikembangkan tidak sesuai untuk moda transportasi air; (4). Tidak berfungsinya sistem pengendalian banjir; (5). Air bersih untuk kebutuhan warga berwarna coklat agak masam Lahan Pertanian Kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian baru dilakukan di daerah kerja/blok A, sedangkan untuk Blok B, C dan Blok D belum dilakukan penyiapan lahan, namun telah dibangun Saluran Primer Utama (SPU) sepanjang 958,18 kilometer. Hingga tahun 1999/2000 penyiapan lahan di Blok A yang telah dicapai, yaitu : (1). Survei, investigasi dan desain saluran dan tata air makro seluas hektar; (2). Konstruksi surjan pada areal seluas hektar; (3). Pembuatan tata air mikro pada areal seluas hektar; (4). Penyiapan lahan siap olah menjadi lahan siap tanam seluas hektar; (5). Pembersihan simpukan mencakup areal seluas hektar; 2.5. Kondisi Sosial Ekonomi Sementara program Departemen Transmigrasi dan PPH sampai tahun 1999/2000 telah menyiapkan lahan permukiman sebanyak unit yang tersebar di beberapa Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT). Adapun hasil kegiatan dalam penempatan transmigrasi, diantaranya : (1). Penyiapan lahan pekarangan seluas 0,25 hektar dan Lahan Usaha I seluas 2 hektar per kepala keluarga; (2). Penyiapan bangunan rumah transmigran dan cubluk sebanyak buah; (3). Pengembangan prasarana jalan lingkungan, dengan memanfaatkan tanggul saluran tersier dan kwarter (termasuk jembatan dan gorong-gorong); (4). Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum dilingkungan permukiman transmigran Penyebab Kegagalan Proyek PLG Tujuan utama Proyek PLG ini adalah menyediakan lahan pertanian baru untuk menggantikan lahan pertanian di Jawa yang beralih fungsi menjadi lahan bukan pertanian. Pengembangan lahan gambut yang direncanakan untuk pengembangan pertanian tanaman pangan dengan tingkat produktivitas yang tinggi tidak dapat terealisasi dengan baik, dinilai tidak berhasil dan justru telah menyisakan berbagai dampak buruk yang harus diselesaikan. Ketidakberhasilan pengembangan sebagian besar Proyek PLG dianalisa berdasarkan 3 (tiga) tahap pelaksanaan 4

5 kegiatan dan dianggap sebagai penyebab kegagalan PLG, yaitu: (1) Tahap Perencanaan dan Perancangan, (2) Tahap Pelaksanaan, dan (3) Tahap Pemberdayaan Lahan Tahap Perencanaan dan Perancangan Beberapa penyebab kegagalan proyek PLG tahap ini adalah: (1). Mengingkari prosedur baku dalam kegiatan Perencanaan dan Perancangan pengembangan rawa, termasuk Analisis Manajemen Dampak Lingkungan yang dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan proyek; (2). Penyeragaman kondisi wilayah dalam satuan unit yang terlalu luas dan terkoneksi; (3). Keterbatasan data dasar yang digunakan untuk perancangan Sumberdaya Alam (SDA) sehingga perancangan tersebut dikerjakan dengan banyak asumsi yang kemudian diketahui tidak benar; (4). Kurangnya pemahaman terhadap kondisi sosial budaya setempat dalam perencanaan, dan kurangnya pemanfaatan pengalaman sejarah pengembangan lahan rawa pada tahapan sebelumnya (25 tahun pengembangan rawa tahap I) Tahap Pelaksanaan Proyek Pada tahap ini penyebab utama dari kegagalan adalah: (1). Dilaksanakannya desain tata air yang membelah bagian tengah kubah gambut, sehingga terjadi over drain yang menyebabkan degradasi lingkungan. Fungsi storage air pada kubah gambut dan backswamp menjadi hilang atau sangat berkurang; (2). Penempatan transmigran yang belum akrab dengan kondisi rawa dan gambut; (3). Pembinaan transmigran dan petani lokal yang belum mampu mengantar ke arah kemandirian; (4). Persiapan budidaya termasuk organisasi dalam pengelolaan lahan yang masih pada tahap uji coba; (5). Koordinasi program sektoral kurang baik (kurang tepat dalam hal waktu, jenis, kuantitas dan kualitas, personel serta prosedur) Tahap Pemberdayaan Lahan Selain penyebab diatas beberapa faktor lain yang menyebabkan kegagalan adalah: (1). Produktivitas lahan rendah akibat perubahan suasana reduktif ke oksidatif yang menyebabkan pemasaman tanah, dan belum dikuasainya teknologi budidaya daerah rawa bukaan baru oleh transmigran; (2). Hasil kegiatan on farm yang rendah menyebabkan rendahnya pendapatan dan kesejahteraan masyarakat; (3). Kurangnya pembinaan masyarakat sehingga terjadi penyimpangan terhadap budidaya dan aktivitas yang dapat diterima masyarakat; (4). PLG merusak lingkungan dan tidak sesuai dengan rekomendasi peruntukan lahan dan arahan budidaya; (5). Sistem tata air tertutup tidak terealisasi sesuai perencanaan, baik tingkat makro maupun tingkat mikro (tersier), sehingga jaringan tata air tidak dapat menjalankan fungsinya secara optimal di Kawasan Dadahup, Palangkau, Jenamas dan di Kawasan Lamunti. Dengan latar belakang kondisi tersebut, akibat kriteria perencanaan dan perancangan yang salah menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik, ekonomi dan sosial yang berkepanjangan. UPAYA REHABILITASI EKS PLG Melihat kondisi fisik dan sosial yang ada di kawasan Eks PLG upaya rehabilitasi sangat penting dilakukan. Upaya rehabilitasi Eks Proyek PLG yang dilakukan pada kurun waktu sejak dikeluarkannya Keppres 80 tahun 1999 sampai dengan tahun 2004, adalah meliputi kegiatan konservasi, pengembangan budidaya, pemeliharaan sarana dan prasarana, serta kegiatan sosial ekonomi Konservasi Upaya rehabilitasi yang telah dilakukan antara lain : (1). Penghijauan di Blok A, B, C dan D dengan luas hektar; 5

6 (2). Reboisasi kawasan konservasi pada lahan terbuka seluas hektar (open area) dilakukan di Blok A dan C; (3). Penelitian lahan untuk konservasi Flora & Fauna, Ekosistem Air Hitam, Gambut Tebal, Pasir Kwarsa, dan Mangrove dengan luas areal penelitian hektar yang terletak di Blok A, B, C, D, dan E; (4). Rehabilitasi tata air di Blok A, B, dan E yang mencakup luasan mencapai hektar Budidaya Kawasan Eks PLG umumnya sudah menjadi lahan terbuka yang perlu direhabilitasi dan ditingkatkan produktivitasnya. Untuk mencapai produktivitas lahan yang optimal, maka penggunaan lahan Eks PLG perlu disesuaikan dengan hasil survei sumberdaya lahan Puslitbangtanak (1997; 1998), yaitu lahan gambut Eks PLG dapat digunakan untuk padi sawah, palawija, sayuran dan buah-buahan, perkebunan, dan kawasan lindung/konservasi sesuai dengan tipologi lahannya. Gambut tipis ( cm), dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran dan buah-buahan. Gambut sedang ( cm), untuk tanaman buah-buahan dan perkebunan, dan gambut dalam cm untuk perkebunan dan kehutanan, sedangkan gambut sangat dalam (> 3 meter) untuk kawasan konservasi dan kehutanan. Gambut dalam dan sangat dalam umumnya berada di wilayah kerja A, B, dan C. Sedangkan lahan sulfat masam potensial, aktual dan lahan salin berada di wilayah blok D. Lahan sulfat masam aktual lebih sesuai untuk tanaman gelam, dan lahan salin untuk perikanan tambak bandeng/udang. Berdasarkan hasil evaluasi lahan wilayah Blok A, Blok B, dan Blok D, potensi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk padi sawah ( hektar), padi sistem surjan ( hektar), hortikultura buah-buahan ( hektar), budidaya tambak ( hektar), sedangkan kawasan hutan lindung dan konservasi ( hektar) Sosial Dan Ekonomi Upaya rehabilitasi kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di kawasan eks-plg telah menjadi perhatian penting yang harus ditangani. Selain menyangkut kegiatan budidaya pertanian juga hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat (baik transmigran maupun masyarakat lokal). Bentuk-bentuk upaya rehabilitasi di bidang masalah sosial-ekenomi tersebut, adalah : (1). Penyelesaian santunan tanam tumbuh sebesar Rp. 181,1 miliar yang telah diselesaikan pada tahun anggaran 2003/2004; (2). Pengadaan sarana pendidikan (alat peraga SD, alat peraga olahraga, alat olahraga, peralatan perlengkapan SD) masing-masing 21; (3). Peningkatan status SMP PGRI menjadi SLTP-6 di Lamunti B-3 pada tahun 2003; (4). Bantuan peralatan kesehatan (45 paket) dan bantuan obat-obatan dari Departemen Kesehatan di Blok A dan B; (5). Rehab Kantor Desa/Balai Desa (15 unit), Rehab Rumah Transmigran (500 unit), Rehab Rumah Ibadah (25 unit) pada tahun di UPT Lamunti dan Dadahup; (6). Peningkatan sarana pendukung terselenggaranya pemerintahan desa di Unit Permukiman Transmigrasi (UPT) dilakukan pada tahun 2004 kepada 41 UPT yang ada di kawasan eks Proyek PLG; (7). Peningkatan Jalan dan Jembatan sepanjang 10 kilometer dam jembatan sepanjang meter dilakukan pada tahun 2003; (8). Prasarana wilayah lainnya dikerjakan meliputi penyempurnaan jalan poros dan jalan desa, serta peningkatan jalan penghubung dengan panjang 269 kilometer, gorong-gorong 394 meter, dan rehabilitasi dermaga desa sebanyak 15 unit, yang keseluruhannya dilakukan di Blok A dan B; (9). Upaya rehabilitasi sektor Industri perdagangan dan koperasi pada tahun 2004 sebanyak 12 paket di Blok A dan B; Penyajian secara rinci terhadap upaya yang dilakukan setelah ditetapkannya Keppres 80 Tahun 1999 untuk semua bidang (konservasi, budidaya, dan sosial ekonomi) dapat dilihat pada Tabel 3.1. PERMASALAHAN POKOK 6

7 4.1. Masalah Lingkungan Masalah lingkungan yang muncul setelah adanya upaya rehabilitasi pada kawasan Eks PLG, yaitu: (1). Terjadinya kebakaran lahan gambut. Dibangunnya Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 km, yang menyebabkan berkurangnya kandungan air gambut dan muka air gambut semakin menurun pada musim kemarau, dan kondisi ini mempercepat proses terbakarnya lahan gambut di kawasan Eks PLG. Kebakaran yang secara rutin berlangsung setiap tahun di kawasan Eks PLG telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat disekitar eks-plg maupun diluar kawasan eks-plg, bahkan ikut mempengaruhi iklim global. Diperkirakan kawasan PLG telah memberikan sumbangan emisi karbon dunia cukup besar; (2). Terjadinya banjir di kawasan Eks PLG pada musim penghujan, seperti yang terlihat di daerah Tumbangnusa, disebabkan oleh semakin berkurangnya kemampuan lahan gambut dalam meresapkan air; (3). Terbukanya akses bagi masyarakat untuk melakukan penebangan liar di kawasan-kawasan hutan dan tersedianya saluran-saluran air untuk membawa kayu hasil tebangan liar, mengakibatkan semakin maraknya penjarahan hutan secara liar (illegal logging) di kawasan Eks PLG; (4). Berkurangnya habitat pada ekosistem air hitam; (5). Lahan usaha tani (lahan produktif) yang diserahkan kepada transmigran (2 hektar), 80% diantaranya kini menjadi lahan tidur; (6). Berkurangnya populasi maupun stock sumberdaya ikan lokal bernilai penting akibat perombakan ekosistem perairan untuk kanal Masalah Sarana Prasarana Masalah sarana dan prasarana setelah adanya rehabilitasi kawasan Eks PLG, yaitu: (1). Aset-aset pemerintah yang telah dibangun tidak terpelihara dan tidak berfungsi akibat ditinggalkan, sehingga tidak termanfaatkan secara optimal; (2). Sarana prasarana perhubungan darat tidak memadai, mengakibatkan warga sulit mengakses hasil pertanian (pemasaran pasca panen).; (3). Sarana dan prasarana pendidikan yang ada masih sangat kurang, untuk tingkat SD dari 41 UPT baru 5 UPT yang gedung belajarnya lengkap memiliki 6 kelas; (4). Perbedaan pola pemanfaatan prasarana transportasi air (melalui saluran/kanal) antara penduduk setempat/asli dengan transmigran; (5). Kurangnya Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu), dan Tenaga Medik; (6). Tidak tersedia pasar dan pabrik/industri yang dapat menyerap produk pertanian; (7). Penyediaan air bersih masih sangat terbatas; (8). Ketersediaan sarana dan prasarana di lingkungan pemukiman masih kurang memadai sehingga menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan penduduk untuk tinggal Masalah Sosial, Ekonomi Dan Budaya Keberadaan transmigran yang semula berjumlah KK (1996) sekarang tinggal sekitar KK yang menetap dan tersebar di 43 UPT di kawasan Eks PLG, yang berdampingan dengan masyarakat setempat (local community). Penanganan terhadap masyarakat transmigran dan masyarakat setempat telah menimbulkan masalah sosial, ekonomi dan budaya, diantaranya: (1). Permasalahan Pembinaan Masyarakat Setempat, meliputi : a. Kurangnya pendekatan sosial budaya dalam kegiatan pembangunan dan pembinaan masyarakat setempat; b. Berkurangnya lapangan usaha; c. Kurang tersedianya pelayanan fasilitas sosial ekonomi masyarakat; d. Kurangnya sosialisasi proyek kepada masyarakat; e. Potensi kerawanan sosial; f. Adanya tuntutan santunan ganti rugi tanam tumbuh milik masyarakat setempat yang terkena PLG ( persil) dengan nilai Rp ,- (yang diberikan secara bertahap ( ). 7

8 (2). Permasalahan Pembinaan Transmigrasi, meliputi : a. Pengelolaan lahan pertanian belum optimal; b. Kurangnya dukungan sistem transportasi; c. Buruknya penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan; d. Masalah keamanan lingkungan; e. Sejak penempatan transmigran tahun 1996/1997 sampai sekarang UPT Eks PLG belum ada yang dikukuhkan sebagai desa definitif. (3). Permasalahan lain yang berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat antara lain : a. Terjadinya krisis ekonomi yang ditandai oleh rendahnya pendapatan masyarakat; b. Kepala rumah tangga banyak berusaha di luar sektor pertanian, misalnya buruh bangunan/jalan, usaha kayu dan pendulang emas (PETI); c. Kerawanan gangguan keamanan karena kondisi sosial-ekonomi yang tidak terpenuhi, menyebabkan terjadinya penjarahan fasilitas umum; d. Tenaga kerja yang tersedia tidak seimbang dengan luas wilayah yang akan ditangani, sehingga untuk mendatangkan tenaga kerja dari luar diperlukan biaya yang cukup besar. PENDEKATAN DAN STRATEGI REHABILITASI EKS PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT Berbagai dokumen telah ditelaah untuk penyusunan rencana rehabilitasi eks Proyek Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Dokumen-dokumen tersebut meliputi laporan Mega Rice Project (MRP), Grand Strategi (Ditjen Tata Ruang, Kimpraswil), Pengembangan Usahatani (Departemen Pertanian), Rencana Strategi Rehabilitasi (Departemen Kehutanan), Program-program Dinas dan Sektor terkait tingkat Pusat serta Pemerintah Propinsi dan Kabupaten. Selain itu, ditelaah juga hasil dari Tim Kaji Ulang PU, Tim 20, Tim Ahli, Walhi, dan hasil kajian dari CIMTROP-Universitas Palangkaraya, STRAPEAT, BPPT, IPB dan UGM, serta hasil seminar di BPPT pada tahun 1998 yang berhasil mendorong terbitnya Keppres Nomor 80 Tahun 1999 yang mencabut Keppres Nomor 74 Tahun Pendekatan Upaya penyelesaian masalah dan penanganan kawasan Eks PLG pada prinsipnya diarahkan pada pengembangan kawasan guna meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat setempat (local community) bersama-sama dengan transmigran di dalam suatu ekosistem lahan basah yang harmonis. Belajar dari kegagalan Proyek PLG tanpa diawali perencanaan yang matang dan terpadu, diperlukan pendekatan penanganan kawasan Eks PLG yang mengedepankan proses perencanaan dan persiapan secara terpadu dan terintegrasi, agar seluruh program yang diusulkan dapat diimplementasikan dan memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal dan transmigran pada kawasan tersebut. Dalam rangka pengembangan wilayah yang berkelanjutan, perlu dirumuskan pendekatan pembangunan di kawasan Eks PLG yang disesuaikan dengan daya dukung dan karakteristik ekosistemnya, dengan titik berat pada upaya pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan potensi-potensi di dalam kawasan. Pendekatan yang diterapkan dalam rangka pengelolaan kawasan Eks PLG di Provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas beberapa aspek, yaitu (1) Aspek Legal, (2) Aspek Produksi, (3) Aspek Konservasi, (4) Aspek Tata Air, (5) Aspek Kelembagaan, (6) Aspek Sosial Aspek Legal Proyek PLG dimulai pelaksanaannya berdasarkan Keppres No 82 tahun 1995, Keppres Nomor 74 tahun 1998, Keppres Nomor 133 Nomor 1998, dan terakhir Keppres Nomor 80 Tahun 1999 yang pada akhirnya belum menyelesaikan secara tuntas dengan meninggalkan berbagai persoalan yang terus berlarut-larut. Oleh karena itu perlu pemikiran untuk percepatan penyelesaian melalui pengaturan baru (misalnya Inpres) yang akan dijadikan sebagai payung hukum dalam penanganan rehabilitasi kawasan Eks PLG Kalimantan Tengah Aspek Produksi 8

9 Semula proyek Pengembangan Lahan Gambut ini disiapkan dalam rangka menumbuhkan suatu kawasan dengan dorongan peningkatan kesejahteraan pemukim melalui proses produksi pertanian, perkebunan, perikanan dan usaha produksi yang lain. Mengingat potensi untuk mencapai tujuan tersebut masih ada, terutama untuk derah-daerah yang produktif, pengelolaan kawasan eks Pengembangan Lahan Gambut dikembangkan melalui peningkatan produktivitas untuk memenuhi kebutuhan penduduk Aspek Konservasi Rehabilitasi Proyek eks Pengembangan Lahan Gambut juga harus didasarkan pada pengelolaan kawasan ekosistem yang rusak disebabkan oleh pembukaan hutan yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Karena itu, konservasi adalah pendekatan penting dalam pengelolaan kawasan eks Pengembangan Lahan Gambut, terutama untuk mengembalikan kawasan yang mempunyai fungsi lindung suaka alam maupun suaka margasatwa. Pada prinsipnya konservasi bertujuan untuk : (1) menjaga fungsi hutan gambut yang memiliki kedalaman gambut > 3 meter, (2) menjaga tata air, (3) mem-pertahankan keseimbangan ekosistem hutan alam gambut baik flora dan fauna yang khas pada lahan gambut, dan (4) mempertahankan cadangan karbon yang sangat tinggi (carbon sink) Aspek Tata Air Memperhatikan pentingnya pengadaan Daerah Aliran Sungai (DAS) dalam penataan air diwilayah PLG, maka pengelolaannya harus dilaksanakan secara terpadu (integrated) dan komprehensif dari hulu hingga hilir sehingga kualitas dan kuantitas sumberdaya air, dapat ditata dengan baik. Untuk itu, di dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan Eks PLG harus berprinsip kepada konsep dan manajemen pengelolaan DAS yang berazaskan keterpaduan, keberlanjutan, dan kelestarian Aspek kelembagaan Banyaknya pihak atau instansi yang terkait dengan pengelolaan Eks PLG akan menimbulkan kemungkinan tumpang tindih kepentingan dan pengulangan (duplikasi program maupun kegiatan atau proyek). Untuk itu diperlukan suatu mekanisme yang dapat mengatur agar berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) dapt menjalankan fungsinya sesuai dengan kepentingan dan tujuan masing-masing pihak tersebut melalui suatu kesepakatan dan pengawalan dalam bentuk kelembagaan yang permanen Aspek Sosial Walaupun Eks PLG telah ditangani tetapi tetap menyisakan masalah-masalah sosial yang cukup besar, terutama untuk daerah yang berpenghuni baik penduduk asli maupun yang didatangkan (transmigran). Pendekatan yang digunakan untuk masalah ini adalah harus berprinsip kepada peningkatan kesejahteraan, untuk semua penduduk yang berada pada wilayah PLG tersebut, termasuk menghilangkan konflik antara penduduk asli dan pendatang Strategi Penanganan Di dalam penentuan strategi, penanganan Eks PLG didasarkan pada urutan nalar sebagai berikut: (1). Proyek PLG pelaksanaannya dimulai dengan dikeluarkannya Keppres 82 Tahun 1995, dan pengaturan ikutannya, untuk itu strategi penyelesaiannya harus juga dimulai dengan mengikuti dan memperhatikan peraturan perundangan yang telah diterbitkan selama ini, dan diakhiri dengan kemungkinan perlunya pengaturan baru. (2). Keppres terakhir yang menyangkut pelaksanaan Proyek PLG adalah Keppres No. 80 tahun Dengan demikian, penentuan strategi penanganan kawasan Eks PLG dibuat dengan berlandaskan arahan yang digariskan dalam Keppres tersebut, khususnya pada pasal 1 yang menetapkan prinsip penyelesaian masalah kawasan Eks PLG. Dengan mempertimbangkan sudah banyaknya kajian (evaluasi) dan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam upaya penyelesaian masalah Eks PLG, maka strategi yang diterapkan adalah memanfaatkan semua kajian (evaluasi) yang ada guna mensinkronkan kagiatan (upaya) yang 9

10 sedang dan akan dilakukan untuk mencapai tujuan penanganan Eks PLG sebagaimana yang ditetapkan dalam Kepres 80 tahun Strategi melalui Pengembangan Wilayah Sungai Terpadu atau DAS Pengaturan pengelolaan terpadu daerah pengaliran sungai atau DAS menyangkut pengelolaan sumber daya air, pengaturan daerah tangkapan air, pengelolaan lahan, pengelolaan vegetasi penutup daerah tangkapan air, dan pengendalian aktivitas manusia. (1). Konservasi Sumber Daya Air yang berkelanjutan. Dimaksudkan untuk mempertahankan dan memelihara keberadaan, sifat dan fungsi sumber daya air, sehingga ketersediaan air yang memenuhi syarat-syarat kuantitas dan kualitas bagi pemenuhan berbagai kebutuhan yang berkesinambungan dapat lebih dijamin. Kegiatan ini berupa aktivitas pemulihan dan peningkatan ketersediaan air yang memenuhi syarat-syarat kuantitas dan kualitas, serta pemeliharaan daya dukung lingkungan sumber daya air. (2). Pendayagunaan SDA yang adil untuk pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat yang memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas. Lingkup pendayagunaan sumber daya air meliputi berbagai usaha seperti penyediaan, penggunaan, pengembangan dan pengusahaan sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan air berbagai sektor domestik, pertanian, perkotaan, industri dan kelistrikan, pariwisata dan lingkungan. (3). Pengendalian daya rusak air. Dimaksudkan untuk mencegah, mengurangi, dan menanggulangi resiko bencana banjir, kekeringan yang menimpa daerah produksi pertanian, pemukiman dan prasarana fisik, yang kesemuanya merupakan dampak dari daya rusak yang diitimbulkan oleh air. (4). Pemberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat, swasta dan pemerintah dalam pengelolaan dan pembangunan sumber daya air. Dimaksudkan selain bagi pemerintah dan para pelaku di bidang pengelolaan sumber daya air baik pihak swasta dan masyarakat, harus lebih diberdayakan partisipasinya dalam pengembangan sumber daya air, sehingga kerjasama yang bersinergi dapat meningkatkan efektifitas, efesiensi, produktifitas, dan keadilan dalam pembangunan sumber daya air yang bersifat partisipatif dapat tercapai. (5). Peningkatan keterbukaan dan ketersediaan data serta informasi dalam pembangunan sumber daya air. Diselenggarakan sebagai bagian dari upaya untuk mendorong terwujudnya proses demokratisasi dalam pembangunan yang bersifat partisipatif, keterbukaan dalam proses pembangunan perlu ditingkatkan. Untuk ini harus tersedia akses yang seluas-luasnya bagi para pelaku untuk ikut berpartisipasi dalam program pembangunan. RENCANA REHABILITASI EKS PLG Dengan mempertimbangkan upaya Rehabilitasi yang telah diuraikan dalam Bab 3, maka dapat disusun matrik arahan kegiatan dalam bentuk rencana rehabilitasi Eks PLG dari berbagai instansi terkait dengan memperhatikan sasaran dan lokasi, instansi penanggung jawab pelaksanaan, sumber perencanaan, dan waktu pelaksanaannya. Dalam implementasinya hendaknya memperhitungkan dan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1). Sebelum mengimplementasikan kegiatan/program perlu dilakukan pembaharuan (updating) data kualitas lahan dan koreksi luasan. Misalnya, kedalaman gambut yang semula > 3 meter saat survei dilakukan pada tahun 1997 oleh Puslitanak dan selama ini data survei tersebut masih dipakai untuk perencanaan, kemungkinan ketebalan gambut tersebut telah susut karena proses penurunan permukaan tanah atau keamblesan (subsidence); (2). Pada setiap blok kerja yang merupakan satu kesatuan ekosistem dibuatkan rencana kegiatan/program pada lokasi yang kompak/utuh dan dikerjakan secara bersama-sama antara instansi yang terkait, sehingga kegiatan rehabilitasi tidak dapat dikerjakan secara terpisah, harus terpadu, koordinatif, dan terintegrasi; 10

11 (3). Harus dibuat prioritas kegiatan/program pada setiap blok kerja sesuai dengan ketersediaan dana dengan tetap dikerjakan secara koordinatif. Kegiatan yang dimaksud hendaknya dalam satu satuan ekosistem seperti yang dimaksud pada butir 2 (dua); (4). Personil yang terlibat dalam implementasi kegiatan/program rehabilitasi harus permanen atau kerkesinambungan, artinya personil tersebut tidak diganti setiap saat kegiatan akan dilakukan sehingga penguasaan pekerjaan/kegiatan tidak terputus. Komitmen pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah mutlak diperlukan. Partisipasi seluruh stakeholder tidak dapat diabaikan, terutama masyarakat yang tinggal di lokasi karena akan banyak menentukan keberhasilan rehabilitasi Kawasan Konservasi Kawasan yang mempunyai ketebalan gambut sangat dalam ( > 3 meter) di areal Eks PLG harus segera ditetapkan dan dikukuhkan atau disyahkan dengan Surat Keputusan oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan lindung ataupun kawasan konservasi menurut fungsi dan kekhasan habitat sehingga tidak akan digunakan untuk manfaat lainnya. Kawasan lindung atau kawasan konservasi pada lahan gambut Eks PLG bertujuan untuk menjaga tata air dan carbon sink atau carbon stock di areal lahan gambut tersebut. Pembukaan lahan gambut yang sangat dalam akan berakibat sangat rentan, karena dimusim kemarau mudah sekali terbakar dan perlu dijaga untuk menahan laju emissi CO2 sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. Selain itu, pembukaan lahan gambut untuk kegiatan pertanian dapat mengakibatkan banjir dan kekeringan yang sangat merugikan. Untuk itu perlu dilakukan konservasi atau perlindungan untuk reservoir dan penyimpan air pada musim hujan, dan melepaskan secara perlahan-lahan diwaktu musim kemarau. Lahan gambut dengan ketebalan >3 meter dengan kondisi yang rusak, karena kebakaran, penebangan dan lain-lain sehingga menjadi terbuka berupa padang alang-alang dan semak. Lahan gambut pada kawasan konservasi ini harus segera direhabilitasi dengan penanaman jenis pohon yang tepat, bermanfaat dan berfungsi menjaga tata air. Menurut hasil kajian Balai Penelitian Tanah, Balitbang Departemen Pertanian ( ), gambut sangat dalam yang berkedalaman lebih dari 3 meter diperkirakan seluas hektar, tersebar di daerah kerja Blok A ( hektar) dan Blok B ( hektar). Sebaran gambut sangat dalam ini belum termasuk gambut yang ada di wilayah kerja Blok C yang menurut Tim IPB (1997) tersebar sekitar hektar. Di daerah kerja Blok D tidak ditemukan gambut yang sangat dalam. Dibangunnya saluran-saluran irigasi terutama saluran primer dan saluran sekunder yang memotong kubah gambut, mengakibatkan penurunan (subsidence) antara 1 2 meter, namun kondisii gambut tersebut masih termasuk gambut dalam (mengingat ketebalan kubah gambut tersebut lebih dari 5 meter). Tindakan konservasi mutlak harus dilakukan pada areal gambut sangat dalam, mengingat pada areal ini juga dijumpai ekosistem air hitam (black water ecosystem) yang sangat jarang dijumpai di dunia. Dengan ditetapkannya kawasan bergambut sangat dalam (> 3 meter) sebagai kawasan konservasi, maka pencurian kayu (illegal logging) dapat dicegah. Kegiatan konservasi di lahan gambut sangat dalam ( > 3 meter ) perlu dilakukan sesuai dengan hasil kajian dari berbagai pustaka yang menunjukkan bahwa gambut sangat dalam (> 3 meter) harus dijadikan kawasan lindung atau kawasan konservasi dan harus dihindarkan dari berbagai kegiatan produksi. Beberapa kegiatan rencana rehabilitasi pada lahan gambut sangat dalam, antara lain: a. Konservasi Secara Alamiah Beberapa lahan gambut sangat dalam ( > 3 meter) yang terdapat di blok A, B, C, dan D, difokuskan menjadi lahan konservasi secara alami. Areal yang paling luas terdapat di blok D dengan luas hektar, sedangkan luas yang paling kecil terdapat di blok A dengan luas hektar. Untuk kawasan konservasi secara alami ini dilakukan diseluruh blok dengan luas total hektar. b. Konservasi Kawasan Hutan Gelam (Sulfat Masam Aktual ) 11

12 Rehabilitasi kawasan eks PLG untuk konservasi hutan gelam atau Sulfat Masam Aktual dilakukan di blok A, B, dan D dengan luas hektar. Konservasi hutan gelam ini harus menjadi bagian dari upaya rehabilitasi lahan gambut tebal di kawasan eks PLG, keberadaan hutan gelam ini akan menjamin terjadinya keseimbangan lingkungan terutama adanya berbagai macam jenis fauna yang tinggal di lingkungan hutan gelam ini. c. Konservasi Ekosistem Air Hitam Ekosistem air hitam (black water ecosystem) yang terdapat di lahan gambut sangat dalam (> 3 m) harus diselamatkan, karena kekhasannya yang sangat jarang dijumpai di dunia (konon hanya ada 2 jenis ekosistem ini di dunia). Studi tentang ekosistem air hitam ini belum banyak dilakukan. Ekosistem ini mempunyai air berwarna merah kehitaman atau coklat kehitaman dengan tingkat kecerahan yang tinggi, tidak berbau, dan labil terhadap perubahan yang terjadi di sekeliling ekosistem tersebut. Ekosistem air hitam mempunyai jenis vegetasi dan fauna yang spesifik, diantaranya binatang air yang bentuknya mirip seperti buaya kecil. Ekosistem air hitam terdapat di sekitar Sungai Sebangau (Blok C) dengan luas hekter dan Sungai Mentangai (Blok A) dengan luas hektar, oleh karena itu kawasan ekosistem air hitam perlu dijadikan sebagai kawasan konservasi. d. Konservasi Hutan Mangrove Konservasi hutan mangrove terdapat di wilayah kerja Blok C dan D, di wilayah kerja ini terdapat ekosistem hutan mangrove seluas keseluruhan hektar yang harus dijadikan kawasan lindung, karena wilayah ini merupakan tempat pemijahan ikan dan biologi perairan lainnya. Ekosistem hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung pantai dari abrasi, gelombang badai, intrusi air asin dan penggaraman (salt spray). e. Konservasi Hutan Kerangas/Kwarsa Di wilayah kerja Blok E dan Blok C seluas hektare, di wilayah kerja ini terdapat ekosistem kerangas (heath forest) mempunyai vegetasi yang spesifik, sangat rapuh dan rentan apabila dibuka, karena kondisi tanahnya yang bergambut tipis dan dibawahnya terdapat lapisan pasir kuarsa yang tebal. Oleh karena itu, kawasan hutan kerangas ini perlu dikonservasi. f. Flora dan Fauna Lahan gambut merupakan ekosistem yang unik dan rentan (fragile), mempunyai flora dan fauna yang spesifik yang tidak terdapat di ekosistem yang lain. Oleh karena itu penyelamatan dan konservasi keaneka ragaman hayati perlu dilakukan untuk mencegah hilang dan tererosinya kekayaan plasma nutfah pada ekosistem lahan gambut. Terdapat beberapa jenis flora yang bernilai ekonomis, seperti pohon ramin (Gonystylus bancanus), gaharu (Aquilaria sp), Nyatoh (Palaquium sp), Bintangur (Calohyllum spp), Jelutung (Dyera sp) dll. Sedangkan jenis fauna yang khas, diantaranya orang utan, burung rangkong (hornbill), beruang madu, macan dahan dan bermacam-macam jenis ikan dll. Luasan untuk konservasi flora dan fauna adalah hektar yang tersebar di blok A, C, dan E. g. Reboisasi dan Penghijauan Walaupun saat ini vegetasi berkayu komersial sudah tidak dijumpai lagi pada kawasan lahan gambut tebal, namun upaya untuk reboisasi dalam rangka mempercepat pemulihan hutan pada lahan gambut tersebut harus dilaksanakan. Sejalan dengan Peta Arahan Penggunaan Lahan hasil kajian Balai Penelitian Tanah, Balitbang, Departemen Pertanian (1998), kawasan Eks PLG yang mempunyai ketebalan gambut sangat dalam (> 3 m) harus dikonservasi. Lahan gambut yang memiliki ketebalan lebih dari 3 meter akan dikembalikan menjadi areal hutan kembali, oleh karena itu sangat diperlukan adanya rehabilitasi menyeluruh terhadap areal kritis ini. Salah satu program rehabilitasi lahan gambut di kawasan eks PLG ini adalah upaya penanaman kembali lahan untuk kawasan hutan dan non hutan melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan. Kegiatan ini dilakuakn di blok A, B, C, dan D dengan luas keseluruhan hektar. h. Pengaturan Tata Air (blocking cannal) Salah satu dampak pembukaan kanal yang tidak disertai oleh perencanaan yang baik adalah rusaknya kondisi lahan dan munculnya berbagai permasalahan yang berkaitan dengan tata air, 12

13 diantaranya adalah terjadinya kekeingan di musim kemarau dan terjadi banjir di musim penghujan. Oleh karena itu perlu dilakukan rehabilitasi terhadap kanal-kanal yang bermasalah dan tidak mempunyai akses vital bagi masyarakat. Penutupan kembali kanal-kanal tersebut akan segera memulihkan lahan gambut terutama mengurangi timbulnya titik api ( hot spot ) di musim kemarau yang sampai saat ini masih sering terjadi. Pengaturan tata air dilakukan di seluruh blok dengan luasan sebesar hektar. i. Pemeliharaan dan Pengaturan Sungai Keberadaan Sungai Kahayan, Kapuas, dan Barito di Kalimantan Tengah tidak saja berfungsi untuk pengairan dan irigasi bagi budidaya pertanian, tetapi memiliki fungsi yang lebih utama sebagai sarana dan moda transportasi air. Oleh karena itu pemeliharaan permukaan sungai, kondisi sungai, dan kondisi alam di sekitarnya harus tetap dipeliharan dan dijaga dari kerusakan. Pemeliharaan dan penjagaa sungai dan kanal dilakukan di seluruh blok A, B, C, D, dan E sepanjang kilometer Kawasan Budidaya Pada lahan eks-plg yang terbuka, perlu direhabilitasi dan ditingkatkan produktivitasnya namun tetap harus mengacu kepada ketentuan pada Kepres No.80 th Lahan gambut dengan ketebalan < 3 meter dapat di arahkan untuk kegiatan budidaya secara optimal melalui peningkatan produktifitasnya dengan menyesuaikan hasil survei sumberdaya lahan Puslitbangtanak, Departemen Pertanian (1997; 1998), dimana lahan terbagi menjadi lahan untuk padi sawah, palawija, sayuran, buah-buahan, perkebunan, dan kawasan lindung/konservasi sesuai dengan tipologinya. Gambut tipis ( cm) dapat digunakan untuk tanaman padi, palawija, sayuran dan buahbuahan, gambut sedang ( cm) untuk tanaman buah-buahan dan perkebunan. Gambut dalam ( cm) untuk perkebunan dan kehutanan. Beberapa rencana kegiatan rehabilitasi pada lahan gambut < 3 meter, antara lain : 1. Pengembangan Tanaman Pangan dan Hortikultura Arah kebijakan pembukaan lahan gambut adalah untuk memenuhi target pemerintah dalam rangka pengadaan lahan tanaman pangan (padi, palawija, dan hortikultura). Namun tidak seluruhnya lahan gambut yang telah dibuka dapat di kelola menjadi areal tanaman pangan. Luasan areal untuk pengembangan tanaman pangan adalah sebesar hektar dan hortikultura hektar, keselurahannya tersebar di blok A, B, C, dan D, dengan luas terkecil terdapat di blok C yaitu hektar. 2. Pengembangan Perkebunan Kegiatan budidaya untuk pengembangan perkebunan di lahan produktif umumnya dilakukan dalam skala industri terutama untuk jenis kelapa sawit. Beberapa jenis perkebunan yang dapat dikembangkan di kawasan eks PLG, antara lain jenis perkebunan Karet, Kelapa, Kelapa Sawit, Purun, dan Pisang Abaca. Pengembangan perkebunan yang dilakukan di blok A dan blok C adalah tanaman karet dan kelapa, dengan luasan sebesar hektar. Usaha ini harus ditikberatkan kepada swasta, sedangkan pemerintah lebih sebagai fasilitator. 3. Pengembangan Perikanan Pengembangan perikanan masih mengharapkan adanya perbaikan tata air dan pengaturan kembali saluran-saluran dan anjir yang mungkin dapat dijadikan sebagai kawasan perikanan produktif. Jenis ikan yang mungkin dikembangkan dengan baik adalah jenis lokal seperti patin, nila dan udang windu. Sedangkan lahan untuk pengembangan perikanan di seluruh blok seluruhnya 1500 paket dengan perincian masing-masing blok di Blok A, B, C, dan D adalah 550, 250, 300, dan 400 paket. 4. Pengembangan Peternakan Pengembangan ternak Sapi, Kerbau, dan Kambing dapat dilakukan diseluruh blok, sedangkan ternak Itik dan Ayam Buras hanya di lakukan di Blok A. Jumlah ternak Sapi, Kerbau, dan Kambing sebanyak 1.500, 8.250, dan ekor, sedangkan Itik dan Ayam Buras masing-masing sebanyak ekor. 5. Pengembangan dan Pengelolaan Hasil 13

14 Pengembangan penanganan pasca panen di integrasikan dengan kegiatan pengembangan budidaya pertanian agar nilai tambah yang diraih dapat dinikmati oleh petani. Penanganan pasca panen meliputi upaya penurunan kehilangan hasil, peningkatan mutu, pengembangan produk olahan, pemanfaatan hasil samping dan limbah hasil pertanian. Sejalan dengan upaya itu, jaringan pemasaran hasil terus dikembangkan agar produk-produk tersebut dapat diserap oleh pasar. 6. Tata Air Untuk menunjang seluruh kegiatan budidaya peran pengaturan tata air, berupa penataan kembali saluran beserta sarana pelengkapnya secara baik dan kontinyu. Saluran air yang ada saat ini masih belum optimal sehingga perbaikan dan pemeliharaan sistem tata air menjadi kegiatan prioritas di seluruh blok kerja. Luasan pengembangan sistem tata air ini untuk masing-masing blok antara lain, Blok A seluas hektar, Blok B seluas hektar, Blok C seluas hektar, dan Blok D seluas hektar. 7. Handil Rakyat Untuk aksesibilitas masyarakat lokal dari dan menuju kawasan di eks PLG dan sekitarnya masih menggunakan sarana transportasi air. Oleh karena itu keberadaan handil ini sangat vital bagi masyarakat setempat, sebagian besar masyarakat masih sangat tergantung terhadap keberadaannya, baik untuk kegiatan sosial maupun ekonomi. Handil-handil yang terdapat di seluruh kawasan blok kerja ini umumnya terbentuk secara alami karena topografi alam yang menyusuri aliran sungai. Untuk kelangsungan aktifitas mereka tentunya Pemerintah beserta Pamerintah Daerah harus menjaga keberadaan handil-handil rakyat tersebut supaya berfungsi dengan baik. Upaya pemeliharaan handil-handil tersebut dilakukan di blok A,B, dan D dengan luasan hektar. 8. Hutan Untuk Tanaman Industri Kegiatan budidaya pengembangan sektor perhutanan dilakukan melalui pemanfatan lahan hutan untuk tanaman industri. Pemanfaatan lahan hutan untuk tanaman industri ini dilakukan diseluruh blok termasuk kawasan konservasi di Blok E. Kegiatan ini diharapkan dapat segera memulihkan lahan-lahan kritis yang masih banyak terdapat di kawasan eks-plg yang berpotensi menimbulkan dampak kerusakan lingkungan yang semakin parah. Selain itu keberadaan UPT-UPT yang tersebar di Blok A dan C, dapat dijadikan faktor pendukung bagi kelangsungan pengembangan hutan tanaman industri secara baik dan berkelanjutan Sosial Ekonomi Keterpurukan masyarakat akibat kegagalan proyek PLG serta upaya menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan merupakan hal penting dalam penyusunan strategi rencana rehabilitasi kawasan eks-plg. Pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat setempat dengan memberikan peluang sebesar-besarnya untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, sehingga konsep bottom up planing atau community based development dapat diwujudkan. Pemberdayaan masyarakat ini dilakukan dalam bentuk pelatihan-pelatihan dan penyediaan sarana/prasarana kesehatan dan pendidikan, seperti laboratorium, perpustakaan, Salah satu permasalahan yang harus segera ditangani adalah masalah sosial ekonomi kawasan. Selain keberadaan KK transmigran juga adanya masyarakat lokal yang tinggal dalam kondisi sangat memprihatinkan. Rendahnya taraf hidup yang diakibatkan keterbatasan aksesibilitas dan infrastruktur dasar wilayah, merupakan faktor utama yang harus segera diselesaikan. 1. Penyediaan Infrastruktur Dasar Penanganan dan pengelolaan kawasan Eks PLG perlu didasarkan pada upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat dalam kontek pengentasan kemiskinan. Hal in dapat dilakukan melalui penyediaan Sarana Infrastruktur Dasar wilayah yang memadai, terutama untuk sektor kesehatan, pendidikan, perdagangan, dan sarana pendukung lainnya. Penyediaan infrastruktur dasar ini dilakukan di Blok A, B, C, dan D. Jenis sarana yang dikembangkan antara lain, Puskesmas/Pustu, Rumah Bersalin, Gedung Sekolah, Pasar Kecamatan, Industri/Koperasi, dan Sarana Ibadah, dengan jumlah keseluruhan 207 unit. 2. Prasarana dan Sarana Transportasi 14

REHABILITASI DAN REVITALISASI EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH

REHABILITASI DAN REVITALISASI EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH J. Tek. Ling. Vol. 8 No. 3 Hal. 287-297 Jakarta, September 2007 ISSN 1441-318X REHABILITASI DAN REVITALISASI EKS PROYEK PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH Ikhwanuddin Mawardi Peneliti Pusat

Lebih terperinci

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI No. 5460 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 180) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut

Pemanfaatan canal blocking untuk konservasi lahan gambut SUMBER DAYA AIR Indonesia memiliki potensi lahan rawa (lowlands) yang sangat besar. Secara global Indonesia menempati urutan keempat dengan luas lahan rawa sekitar 33,4 juta ha setelah Kanada (170 juta

Lebih terperinci

RENCANA INDUK (MASTER PLAN)

RENCANA INDUK (MASTER PLAN) RENCANA INDUK (MASTER PLAN) REHABILITASI DAN KONSERVASI KAWASAN PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PUSAT RENCANA DAN STATISTIK KEHUTANAN BADAN PLANOLOGI KEHUTANAN DEPARTEMEN KEHUTANAN

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas km 2 atau 1,5 kali luas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas km 2 atau 1,5 kali luas BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Provinsi Kalimantan Tengah memiliki luas 153.567 km 2 atau 1,5 kali luas Pulau Jawa, terletak di garis ekuator atau di tengah-tengah kawasan Asia Pasifik

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2007 TENTANG PERCEPATAN REHABILITASI DAN REVITALISASI KAWASAN PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dalam rangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

LAMPIRAN I INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2 Tahun 2007 TANGGAL : 16 Maret 2007

LAMPIRAN I INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2 Tahun 2007 TANGGAL : 16 Maret 2007 LAMPIRAN I INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2 Tahun 2007 TANGGAL : 16 Maret 2007 PROGRAM PERCEPATAN REHABILITASI DAN REVITALISASI KAWASAN PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH 1.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Mata Pencaharian Penduduk Indonesia Pertanian Perikanan Kehutanan dan Pertambangan Perindustrian, Pariwisata dan Perindustrian Jasa Pertanian merupakan proses untuk menghasilkan bahan pangan, ternak serta

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah maupun masyarakat mengandung pengertian yang mendalam, bukan hanya berarti penambahan pembangunan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis berbentuk kepulauan dengan 17.500 pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan kawasan tempat tumbuh hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rawa merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, yang penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi). Di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau

dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau dampak perubahan kemampuan lahan gambut di provinsi riau ABSTRAK Sejalan dengan peningkatan kebutuhan penduduk, maka kebutuhan akan perluasan lahan pertanian dan perkebunan juga meningkat. Lahan yang dulunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 80 TAHUN 1999 TENTANG PEDOMAN UMUM PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sebagian dari kawasan hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

Reklamasi Rawa (HSKB 817)

Reklamasi Rawa (HSKB 817) Reklamasi Rawa (HSKB 817) Oleh: Novitasari Kompetensi Setelah mengikuti materi ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan perencanaan reklamasi rawa. 1 Kompetensi Mengenal Konsep Pengelolaan Rawa Mengetahui

Lebih terperinci

3. Kualitas Lahan & Kriteria Pengembangan

3. Kualitas Lahan & Kriteria Pengembangan 20/03/2013 Zone i. Zone I : perairan air payau rawa pantai ii. Zone II : perairan air tawar rawa pasang surut iii. Zone III: perairan pedalaman rawa lebak 3. Kualitas Lahan & Kriteria Pengembangan Istilah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1995 TENTANG PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KALIMATAN TENGAH

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 82 TAHUN 1995 TENTANG PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KALIMATAN TENGAH KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 82 TAHUN 1995 TENTANG PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT UNTUK PERTANIAN TANAMAN PANGAN DI KALIMATAN TENGAH PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa sektor pertanian memiliki peran yang sangat penting

Lebih terperinci

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan

Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan Keberadaan lahan gambut selalu dikaitkan dengan keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kondisi lahan gambut yang unik dan khas menjadikan keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya juga memiliki

Lebih terperinci

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur

Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Konservasi dan Rehabilitasi Lahan dan Hutan Gambut di Area PT Hutan Amanah Lestari Barito Selatan dan Barito Timur Program Skala Kecil ICCTF Tahun 2016 Universitas Muhammadiyah Palangkaraya Mitigasi Berbasis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuasin 2.1 Tujuan Penataan Ruang Tujuan penataan ruang wilayah kabupaten merupakan arahan perwujudan ruang wilayah kabupaten yang ingin dicapai pada masa yang akan datang (20 tahun). Dengan mempertimbangkan visi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

Setitik Harapan dari Ajamu

Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu Setitik Harapan dari Ajamu: Pelajaran tentang Sukses Pemanfaataan Gambut Dalam untuk Sawit Oleh: Suwardi, Gunawan Djajakirana, Darmawan dan Basuki Sumawinata Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN. MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN Faisyal Rani 1 1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Riau 1 Dosen

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 55/Menhut-II/2008 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 55/Menhut-II/2008 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P. 55/MenhutII/2008 TENTANG RENCANA INDUK REHABILITASI DAN KONSERVASI KAWASAN PENGEMBANGAN LAHAN GAMBUT DI KALIMANTAN TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa dalam rangka Konservasi Rawa, Pengembangan Rawa,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa dalam rangka Konservasi Rawa,

Lebih terperinci

Oleh : Sri Wilarso Budi R

Oleh : Sri Wilarso Budi R Annex 2. The Training Modules 1 MODULE PELATIHAN RESTORASI, AGROFORESTRY DAN REHABILITASI HUTAN Oleh : Sri Wilarso Budi R ITTO PROJECT PARTICIPATORY ESTABLISHMENT COLLABORATIVE SUSTAINABLE FOREST MANAGEMENT

Lebih terperinci

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN III. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Lokasi penelitian ini meliputi wilayah Kota Palangkaraya, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kabupaten Katingan, Kabupaten

Lebih terperinci

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON No. Potensi Data Tahun 2009 Data Tahun 2010*) 1. Luas lahan pertanian (Ha) 327 327

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya

Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Sosialisasi Undang-Undang 41/2009 beserta Peraturan Perundangan Turunannya Latar Belakang Permasalahan yang menghadang Upaya pencapaian 10 juta ton surplus beras di tahun 2014 : Alih fungsi lahan sawah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2 1. Berikut ini yang tidak termasuk kegiatan yang menyebabkan gundulnya hutan adalah Kebakaran hutan karena puntung

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN

MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN SALINAN KEPUTUSAN MENTERI KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN SELAKU KETUA TIM NASIONAL REHABILITASI DAN REVITALISASI KAWASAN PLG DI KALIMANTAN TENGAH NOMOR : KEP-42/M.EKON/08/2007 TENTANG TIM PENDUKUNG DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI

DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI PERAN EKOSISTEM HUTAN BAGI IKLIM, LOKAL, GLOBAL DAN KEHIDUPAN MANUSIA DINAS KEHUTANAN PROVINSI JAMBI DISAMPAIKAN PADA ACARA PELATIHAN BUDIDAYA KANTONG SEMAR DAN ANGGREK ALAM OLEH KEPALA DINAS KEHUTANAN

Lebih terperinci

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan

Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat ini Indonesia telah memasuki tahap pembangunan jangka panjang ke dua (PJP II) dan tahun terakhir pelaksanaan Repelita VI. Selama kurun waktu Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

pernbangunan dan pengembangan wilayah, penataan penyebaran penduduk yang merata dan seirnbang. Juga pemberian kesempatan

pernbangunan dan pengembangan wilayah, penataan penyebaran penduduk yang merata dan seirnbang. Juga pemberian kesempatan BAB I PENDAHULUAN. 1.1. Latar Belakang. Di dalam Garis-garis Besar Haluan Negara ( GBHN ) RI tahun 1993, tertulis bahwa pernbangunan transrnigrasi diarahkan kepada pernbangunan dan pengembangan wilayah,

Lebih terperinci

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL...

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI Isi Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... xiv I. PENDAHULUAN......1 1.1. Latar Belakang......1 1.2. Maksud dan Tujuan Studi......8 1.2.1. Maksud......8

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 71 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. akan mempengaruhi produksi pertanian (Direktorat Pengelolaan Air, 2010). BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Air merupakan salah satu komponen penting untuk kehidupan semua makhluk hidup di bumi. Air juga merupakan kebutuhan dasar manusia yang digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Contributor : Doni Prihatna Tanggal : April 2012 Posting : Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009 Pada 19 Januari 2012 lalu, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN

PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN PEDOMAN TEKNIS DESAIN OPTIMASI LAHAN RAWA TA 2018 DIREKTORAT PERLUASAN DAN PERLINDUNGAN LAHAN KATA PENGANTAR Pedoman Desain Optimasi Lahan Rawa dimaksudkan untuk memberikan acuan dan panduan bagi para

Lebih terperinci

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO

RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO RENCANA PENGELOLAAN SDA DAN LH DAS BARITO Oleh: Firman Dermawan Yuda Kepala Sub Bidang Hutan dan Hasil Hutan Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA dan LH I. Gambaran Umum DAS Barito Daerah Aliran Sungai (DAS)

Lebih terperinci

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan

2013, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Rawa adalah wadah air beserta air dan daya air yan LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.180, 2013 SDA. Rawa. Pengelolaan. Pengawasan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5460) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan

Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Penggunaan Lahan Pertanian dan Arah Pengembangan ke Depan Oleh: Anny Mulyani, Fahmuddin Agus, dan Subagyo Penggunaan Lahan Pertanian Dari total luas lahan Indonesia, tidak terrnasuk Maluku dan Papua (tidak

Lebih terperinci

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT

KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT KEBERLANGSUNGAN FUNGSI EKONOMI, SOSIAL, DAN LINGKUNGAN MELALUI PENANAMAN KELAPA SAWIT/ HTI BERKELANJUTAN DI LAHAN GAMBUT Dr. David Pokja Pangan, Agroindustri, dan Kehutanan Komite Ekonomi dan Industri

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekayaan sumberdaya alam wilayah kepesisiran dan pulau-pulau kecil di Indonesia sangat beragam. Kekayaan sumberdaya alam tersebut meliputi ekosistem hutan mangrove,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dunia diramaikan oleh isu perubahan iklim bumi akibat meningkatnya gas rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I No. 5794. KEHUTANAN. Hutan. Kawasan. Tata Cara. Pencabutan (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 326). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. dan hutan tropis yang menghilang dengan kecepatan yang dramatis. Pada tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan teknologi dan peningkatan kebutuhan hidup manusia, tidak dapat dipungkiri bahwa tekanan terhadap perubahan lingkungan juga akan meningkat

Lebih terperinci