DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,"

Transkripsi

1 SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, Menimbang a. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 63 ayat (1) huruf aa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pemerintah bertugas dan berwenang melakukan penegakan hukum lingkungan hidup; b. bahwa untuk melaksanakan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup, perlu suatu acuan yang dijadikan pedoman dan dapat menjamin kepastian hukum bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Mengingat 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258); 4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5145); 1

2 5. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 Tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142); 6. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 16 tahun 2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan; Menetapkan MEMUTUSKAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP. Pasal 1 Peraturan Menteri ini bertujuan untuk memberikan pedoman kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dalam melaksanakan penyidikan dan pengadministrasian penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 2 Ruang lingkup pedoman penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup terdiri atas a. pendahuluan; b. pelaksanaan penyidikan; dan c. administrasi penyidikan. Pasal 3 Pedoman penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. 2

3 Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Agustus 2012 Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd AMIR SYAMSUDIN Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Agustus 2012 MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, ttd BALTHASAR KAMBUAYA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 789 Salinan sesuai dengan aslinya Kepala Biro Hukum dan Humas, Inar Ichsana Ishak 3

4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP I. PENDAHULUAN A. Umum 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana merupakan sub sistem atau bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Proses penegakan hukum pidana merupakan satu rangkaian proses hukum mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan. 2. Proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahap penyelidikan, penindakan, pemeriksaan serta penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. Esensi penyelidikan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan kegiatan mengumpulkan bahan keterangan. 3. Melalui fungsi Koordinasi dan Pengawasan (Korwas) diharapkan pelaksanaan tugas pokok penyidikan antara Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dengan Penyidik Polri dapat berjalan selaras dan harmonis. 4. Proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengeloaan lingkungan hidup oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dalam pelaksanaannya terkait dengan aparat penegak hukum lain terutama yang berada di dalam sistem peradilan kriminal (criminal justice system). 5. Untuk mewujudkan proses penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang profesional, transparan, akuntabel, murah, efektif dan efisien perlu dibuat pedoman teknis, khususnya bagi Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang didukung dengan administrasi penyidikan yang telah disepakati dengan unsur penegak hukum lainnya. 1

5 B. Sasaran Sasaran pedoman ini adalah 1. Memberikan pemahaman mengenai kegiatan yang dilaksanakan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dalam melaksanakan pengumpulan bahan keterangan dan penyidikan. 2. Memberikan standar dalam melakukan tindakan dalam rangka penanganan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 3. Memberikan acuan dalam penatausahaan maupun kelengkapan administrasi penyidikan. C. Azas Dalam melaksanakan penyidikan, Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup harus memperhatikan azas-azas yang terdapat dalam Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak warga negara, antara lain 1. Legalitas penyidikan dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. 2. Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. 3. Persamaan di muka hukum (Equality Before the Law) Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan. 4. Pemberian bantuan/penasehat hukum (Legal Aid/Assistance) D. Prinsip Setiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau penahanan. Sebelum dimulainya pemeriksaan, kepada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapat bantuan hukum atau dalam perkaranya itu wajib didampingi penasehat hukum. Penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut 1. Profesionalisme, yakni penyidikan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup yang memiliki kemampuan teknis di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2. Akuntabilitas, yakni penyidikan yang dilaksanakan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dapat dipertanggungjawabkan. 2

6 3. Efektif dan Efisien, yakni penyidikan dilakukan secara tepat waktu, biaya ringan serta berpedoman pada keseimbangan wajar antar sumber daya yang dipergunakan. E. Definisi Dalam pedoman ini yang dimaksud dengan 1. Penyidik adalah Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Penyidik Pejabat Kepolisian Republik Indonesia. 2. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup selanjutnya disebut Penyidik PPNSLH adalah pejabat pegawai negeri sipil di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagaimana penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan. 3. Tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran sesuai ketentuan pidana dalam undang-undang di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan Penyidik untuk mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 5. Pengumpulan bahan keterangan yang selanjutnya disebut Pulbaket adalah serangkaian tindakan Penyidik PPNSLH untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang. 6. Tersangka adalah setiap orang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. 7. Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 8. Ahli adalah seorang yang memiliki kemampuan dan keterampilan khusus tentang hal tertentu. 9. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah, atau sedang, atau diduga terjadinya peristiwa tindak pidana. 10. Laporan kejadian yang selanjutnya disebut LK adalah laporan tertulis yang dibuat Penyidik tentang penjelasan/keterangan yang diketahui sendiri oleh pelapor atas suatu peristiwa kejahatan atau pelanggaran di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ataupun diketahui langsung oleh Penyidik kemudian ditutup dan ditandatangani atas kekuatan sumpah jabatan. 3

7 11. Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. 12. Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan terhadap setiap orang maupun benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang terjadi, maupun upaya paksa melalui kegiatan pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. 13. Tempat kejadian perkara yang selanjutnya disingkat TKP adalah tempat dimana suatu tindak pidana dilakukan/terjadi dan tempat-tempat lain dimana tersangka dan atau korban dan atau barang bukti, yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan. 14. Bukti permulaan yang cukup adalah alat bukti yang berupa keterangan dan data yang terkandung di dalam dua di antara Laporan Kejadian, Laporan Pulbaket, Berita Acara Pemeriksaan di TKP, keterangan saksi-saksi termasuk ahli, dan Barang Bukti, yang menunjukkan telah terjadi tindak pidana dan bahwa orang yang akan ditangkap adalah pelaku dan/atau penanggung jawabnya. 15. Bukti yang cukup adalah bukti permulaan yang cukup ditambah dengan keterangan dan data yang terkandung dalam satu di antara Laporan Kejadian, Laporan Pulbaket, Berita Acara Pemeriksaan di TKP, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan tersangka, dan barang bukti, dimana setelah disimpulkan menunjukkan bahwa tersangka adalah pelaku atau penanggung jawab tindak pidana. 16. Bantuan penyidikan adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Republik Indonesia kepada Penyidik PPNSLH berupa bantuan teknis, taktis dan upaya paksa serta konsultasi penyidikan. 17. Bantuan teknis adalah bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian secara ilmiah (scientific crime investigation). 18. Bantuan taktis adalah bantuan personil Polri dan peralatan Polri dalam rangka pendukung pelaksanaan penyidikan tindak pidana oleh Penyidik PPNSLH. 19. Bantuan upaya paksa adalah bantuan yang diberikan oleh Penyidik Pejabat Kepolisian Republik Indonesia kepada Penyidik PPNSLH berupa kegiatan penindakan secara hukum dalam rangka penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 20. Koordinasi dan Pengawasan yang selanjutnya disebut Korwas adalah suatu bentuk kerjasama antara Penyidik Pejabat Kepolisian Republik Indonesia dengan Penyidik PPNSLH dalam melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan untuk menjamin agar seluruh kegiatan penyidikan yang dilakukan sesuai dengan peraturan 4

8 perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya, dan sesuai sendi-sendi hubungan fungsional. 21. Pemeriksaan adalah kegiatan untuk mendapatkan keterangan, kejelasan dan identitas tersangka, saksi, dan/atau barang bukti maupun tentang unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi, sehingga kedudukan atau peranan seseorang maupun barang bukti di dalam tindak pidana tersebut menjadi jelas dan dituangkan di dalam berita acara pemeriksaan. 22. Berita acara adalah catatan atau tulisan yang bersifat otentik, dibuat dalam format tertentu oleh Penyidik PPNSLH atas kekuatan sumpah jabatan, yang memuat keterangan dari orang yang diperiksa atau keterangan yang berkaitan dengan setiap tindakan yang dilakukan oleh Penyidik PPNSLH. II. PELAKSANAAN A. Diketahuinya tindak pidana 1. Suatu tindak pidana di bidang pelindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat diketahui dari a. Adanya laporan dari masyarakat atau petugas secara tertulis atau lisan. b. Tertangkap tangan oleh masyarakat atau petugas. c. Diketahui langsung oleh Penyidik PPNSLH. 2. Laporan yang diajukan secara lisan maupun tertulis dicatat oleh Penyidik PPNSLH, kemudian dituangkan dalam Laporan Kejadian yang ditandatangani oleh Penyidik. Laporan kejadian merupakan data awal terjadinya suatu tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan merupakan dasar bagi Penyidik PPNSLH untuk melakukan pengumpulan bahan keterangan dan penyidikan. 3. Dalam hal tertangkap tangan, Penyidik tanpa surat perintah dapat a. Melakukan tindakan pertama di TKP; b. Segera melakukan pemeriksaan dan tindakan yang diperlukan sesuai dengan kewenangan Penyidik PPNSLH; c. Membuat berita acara terhadap setiap tindakan serta melengkapi administrasi penyidikan (Laporan Kejadian, Surat Perintah Penyidikan, Surat Perintah Penangkapan, dan lainlain) paling lambat dalam waktu satu kali dua puluh empat jam); d. Memberikan surat pemberitahuan kepada keluarga orang yang ditangkap paling lambat 1 (satu) minggu setelah dilakukannya penangkapan. B. Pengumpulan Bahan dan Keterangan 1. Persiapan a. Melakukan koordinasi dengan ahli, petugas laboratorium, dan Korwas PPNS, maupun instansi terkait. 5

9 b. Menyiapkan kelengkapan administrasi yang meliputi 1) surat perintah tugas. 2) surat permintaan bantuan ahli, petugas laboratorium, Penyidik Polri dan/atau staf/petugas dari instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai kebutuhan. 3) laporan kejadian atau data awal lainnya. c. Menyiapkan Peralatan Peralatan yang dibawa disesuaikan dengan dugaan tindak pidana lingkungan hidup yang terjadi, antara lain 1) peralatan pengambilan sampel temasuk alat penanganannya (botol sampel, alat pengambil sampel, pengawet, pendingin); 2) tali, label dan lak; 3) alat pembungkus barang bukti/sampel (kertas sampul warna coklat, kantong plastik berbagai ukuran, amplop besar, dan lain-lain sesuai keperluan); 4) alat pengukur (meteran); 5) peralatan uji portabel (test kit); 6) perlengkapan P3K dan peralatan keselamatan pribadi (sepatu boot/sepatu keamanan, baju pelindung, kaca mata atau penutup muka, sarung tangan, dan lain-lain); 7) kamera; 8) handycam; 9) Global Positioning System (GPS); 10) garis PPNSLH; 11) komputer jinjing (notebook); 12) printer; 13) alat tulis; 14) formulir administrasi penyidikan; 15) buku catatan; 16) alat komunikasi. 2. Penanganan TKP a. Pengamanan TKP Pengamanan TKP dilakukan dengan 1) memasang garis PPNSLH; 2) memerintahkan setiap orang yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk tetap tinggal di tempat; 3) melakukan penjagaan. b. Pemotretan 1) Pemotretan dilakukan terhadap situasi TKP secara keseluruhan dari berbagai sudut dan detail dalam jarak dekat (close up) terhadap setiap objek dalam TKP. 6

10 2) Hasil pemotretan dilengkapi dengan keterangan yang memuat hal-hal berikut a) hari, tanggal, bulan, tahun dan jam pemotretan; b) merek dan tipe kamera; c) kecepatan (speed) kamera dan diafragma; d) sumber cahaya; e) filter lensa kamera yang digunakan (jika menggunakan filter). f) jarak kamera terhadap objek (dilengkapi sketsa kasar TKP yang memuat letak kamera dan objek yang difoto); g) tinggi kamera; h) nama, pangkat, jabatan dan NIP petugas yang melakukan pemotretan. c. Pembuatan Sketsa TKP 1) Sketsa TKP dibuat dengan menggunakan kertas berukuran (kertas milimeter); 2) Pada sketsa TKP, dibuat tanda atau arah letak TKP; 3) Dibuat dengan skala untuk mengukur jarak antara objek yang satu dengan objek yang lain; 4) Untuk setiap objek diberi tanda dengan huruf kapital dan pada keterangan gambar dijelaskan letak objek tersebut; 5) Untuk keabsahan sketsa TKP, Penyidik PPNSLH harus mencantumkan informasi sebagai berikut a) nama pembuat; b) tanggal pembuatan; c) peristiwa yang terjadi di TKP; d) Lokasi TKP. d. Pengumpulan Barang Bukti Barang bukti tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi 1) Sampel/contoh uji (limbah dan/atau material lain yang bersifat sebagai sisa usaha dan/atau kegiatan, serta materi/unsur lainnya). Pelaksanaan pengambilan sampel/ contoh uji tersebut perlu memperhatikan a) metode pengambilan dan perlakuan. Metode pengambilan dan perlakuan sampel/contoh uji harus sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). b) penyisihan. Penyisihan dilakukan pada saat pengambilan barang bukti/sampel/contoh uji. Barang bukti/sampel/ contoh uji dipisahkan dengan keterangan sebagai barang bukti dan sebagai sampel analisis. c) laboratorium. 7

11 C. Penyidikan Pengujian barang bukti/sampel/contoh uji dilakukan di laboratorium yang terakreditasi dan teregistrasi. 2) Dokumen-dokumen kajian, perizinan, dan surat lainnya terkait dengan kegiatan/usaha; 3) Peralatan, benda, dan/atau bahan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 4) Benda-benda lain yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan tindak pidana yang terjadi. e. Identifikasi Saksi/Tersangka Identifikasi saksi/tersangka dapat dilakukan dengan cara 1) Mengajukan pertanyaan kepada orang atau pihak yang diduga melihat, mendengar atau mengalami sendiri tindak pidana yang terjadi; 2) Mengajukan pertanyaan kepada orang-orang yang mengetahui dan/atau yang berhubungan dengan TKP. f. Pembuatan Berita Acara Setiap kegiatan yang dilakukan dalam pengumpulan bahan dan keterangan dibuatkan berita acaranya, antara lain 1) Berita acara pemeriksaan TKP; 2) Berita acara pengambilan barang bukti/sampel/contoh uji; 3) Berita acara pembungkusan dan penyegelan barang bukti/sampel/contoh uji; 4) Berita acara penyitaan barang bukti/sampel/contoh uji; 5) Berita acara penyisihan barang bukti/sampel/contoh uji; 6) Berita acara pengambilan foto/video. 7) Berita acara penyerahan barang bukti/sampel/contoh uji ke laboratorium. 8) Berita acara pengambilan hasil analisis barang bukti/ sampel/contoh uji dari laboratorium. g. Pembuatan dan Penyampaian Laporan Pulbaket Hasil pelaksanaan pulbaket dilaporkan secara lengkap kepada pejabat pemberi perintah dan/atau koordinator Penyidik PPNSLH. 1. Perencanaan Penyidikan Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik PPNSLH dan atasan Penyidik PPNSLH membuat perencanaan untuk menentukan arah pelaksanaan dengan melakukan 8

12 a. Penjabaran unsur pasal yang diperkirakan dilanggar Contoh Pasal 102 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berbunyi Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan paling sedikit Rp ,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp ,00 (tiga miliar rupiah), dijabarkan sebagai berikut No. Unsur Pasal Tersangka (TSK) Barang Bukti Saksi 1. Setiap orang KTP 2. Yang melakukan pengelolaan limbah B3 Kartu Keluarga Akte kelahiran Alat pengolahan limbah (kalau ada) Sampel limbah B3 Sarana Korban Ketua lingkungan (RT/RW) Keluarga TSK Karyawan Petugas pengelola limbah Karyawan Ahli. Karyawan Masyarakat 3. Tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) Keputusan izin... Administrasi Pejabat yg mengeluarkan izin Ahli Keterangan Jumlah... Barang Bukti... Saksi Dari analisis terhadap unsur-unsur pasal yang akan dikenakan pada tersangka, dapat diketahui jumlah barang bukti maupun saksi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk pembagian tugas, perencanaan waktu dan kontrol/ pengendalian pelaksanaan penyidikan. b. Penentuan sasaran penyidikan, yang meliputi 1) orang yang diduga melakukan tindak pidana; 2) jenis perbuatan pidana; 3) unsur-unsur pasal yang telah dilanggar; 4) alat bukti dan barang bukti. c. Cara bertindak, yang meliputi 1) teknis pengumpulan bahan keterangan; 2) teknis penindakan; 9

13 3) teknis pemeriksaan; 4) penyelesaian dan penyerahan berkas perkara. d. Penentuan target waktu yang akan digunakan untuk menyelesaikan penyidikan. e. Pengelolaan penyidikan berupa penyiapan administrasi penyidikan, evaluasi, dan laporan. 2. Pembentukan Tim Penyidikan Penunjukan personil Penyidik PPNSLH yang dilibatkan dalam tim penyidikan perlu memperhatikan a. Personil yang ditunjuk mempunyai moral baik, integritas, dedikasi, dan profesional. b. Personil Penyidik PPNSLH yang ditunjuk sebaiknya tidak memiliki hubungan subjektivitas dengan tersangka. c. Jumlah Penyidik PPNSLH yang ditunjuk disesuaikan dengan kompleksitas kasus yang ditangani. Contoh 1) Penanganan kasus mudah dapat dilaksanakan oleh 2 (dua) orang Penyidik PPNSLH. 2) Penanganan kasus sedang dapat dilaksanakan oleh 3 (tiga) orang Penyidik PPNSLH. 3) Penanganan kasus sulit dapat dilaksanakan oleh 4 (empat) orang Penyidik PPNSLH. 4) Penanganan kasus sangat sulit dilaksanakan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 5 (lima) orang Penyidik PPNSLH. 3. Pembentukan tim supervisi atau asistensi untuk mengawasi dan mendukung pelaksanaan penyidikan. 4. Penyediaan dukungan kepada tim penyidikan berupa a. sarana dan pra sarana. b. anggaran. c. kelengkapan piranti lunak, antara lain petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. 5. Mekanisme Penyidikan a. Dimulainya Penyidikan 1) Penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilakukan setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan oleh pejabat yang berwenang dengan ketentuan sebagai berikut a) Tingkat Pusat dikeluarkan oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat Eselon II selaku Penyidik PPNSLH. b) Tingkat Daerah/Wilayah dikeluarkan oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. c) Dalam hal atasan Penyidik PPNSLH bukan penyidik (di daerah/wilayah), surat perintah penyidikan 10

14 dikeluarkan oleh Koordinator Penyidik PPNSLH yang diketahui oleh atasan Penyidik PPNSLH. 2) Penyidik PPNSLH memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Polri. b. Pemanggilan Saksi dan/atau Tersangka 1) Pemanggilan dilaksanakan sesuai ketentuan KUHAP yang dilakukan dengan surat panggilan yang sah dan menyebutkan alasan panggilan yang jelas. 2) Surat panggilan ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat Eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Dalam hal atasan bukan PPNSLH, surat panggilan ditandatangani oleh koordinator Penyidik PPNSLH. 3) Penyampaian surat panggilan dilaksanakan oleh petugas yang ditunjuk oleh Penyidik PPNSLH yang bersangkutan dan disertai dengan tanda bukti penerimaan. 4) Surat panggilan sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 hari sebelum tanggal kehadiran yang ditentukan. 5) Surat panggilan wajib diberi nomor sesuai ketentuan registrasi penyidikan di lingkungan instansi Penyidik PPNSLH. 6) Dalam hal panggilan pertama tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, dilakukan pemanggilan kedua disertai surat perintah membawa, yang administrasinya dibuat oleh Penyidik PPNSLH. 7) Dalam hal membawa saksi dan/atau tersangka, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri yang dalam pelaksanaan dilakukan secara bersamasama. Pelaksanaan membawa saksi dan/atau tersangka ini dituangkan dalam berita acara. 8) Dalam hal saksi dan/atau tersangka yang dipanggil berdomisili di luar wilayah kerja Penyidik PPNSLH, pemanggilan dilakukan dengan bantuan Penyidik Polri. 9) Untuk memanggil saksi dan/atau tersangka WNI yang berada di luar negeri, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri. c. Penangkapan 1) Penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan KUHAP; 2) Penangkapan dapat dilakukan paling lama satu kali dua puluh empat jam; 3) Surat perintah penangkapan ditandatangani oleh atasan PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Apabila atasan Penyidik PPNSLH bukan Penyidik PPNSLH, maka surat perintah penangkapan ditandatangani Koordinator Penyidik PPNSLH; 4) Dalam melakukan penangkapan Penyidik PPNSLH menunjukkan surat perintah tugas terlebih dahulu, kemudian memberikan 1 (satu) lembar surat perintah penangkapan kepada tersangka; 11

15 5) Satu lembar surat perintah penangkapan diberikan kepada keluarga orang yang ditangkap segera setelah dilakukan penangkapan; 6) Setelah melakukan penangkapan, Penyidik PPNSLH segera membuat Berita Acara Penangkapan dalam 7 (tujuh) rangkap dan ditandatangani oleh PPNSLH yang melakukan penangkapan dan oleh orang yang ditangkap; 7) Apabila orang yang ditangkap tidak mau menandatangani berita acara penangkapan, maka Penyidik PPNSLH memberi catatan dalam berita acara penangkapan disertai alasannya; 8) Sesudah atau sebelum dilakukan penangkapan, Penyidik PPNSLH memberitahu Kepala Desa/Ketua Lingkungan dimana tersangka yang ditangkap itu bertempat tinggal; 9) Penangkapan yang dilakukan di luar wilayah hukum Penyidik PPNSLH yang bertugas melakukan penangkapan dapat dikoordinasikan dengan Penyidik PPNSLH setempat atau dimintakan bantuan kepada Penyidik Polri; 10) Dalam hal diperlukan penguatan personil untuk melakukan penangkapan, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan kepada Penyidik Polri secara tertulis. Permintaan tertulis ini memuat identitas tersangka dan alasan penangkapan, serta dilampiri dengan laporan kejadian dan laporan kemajuan penyidikan yang ditujukan kepada d. Penahanan a) Tingkat Pusat kepada Bareskrim Polri up. Biro Korwas PPNS; b) Tingkat Daerah/Wilayah kepada Dit.Reskrimsus/ Sat. Reskrim. 1) Penahanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan KUHAP. 2) Surat perintah penahanan ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Dalam hal atasan Penyidik PPNSLH bukan Penyidik PPNSLH, maka surat perintah penahanan ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH. 3) Perintah penahanan yang diberikan oleh penyidik berlaku paling lama 20 (dua puluh) hari dan dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 (empat puluh) hari. 4) Berdasarkan pemeriksaan dokter, tersangka yang ditahan dalam keadaan sakit dan perlu dirawat di rumah sakit, dapat dibantarkan penahanannya oleh Penyidik PPNSLH. Pelaksanaan pembantaran penahanan adalah sebagai berikut a) ada surat perintah pembantaran dan dibuat berita acara pembantaran. b) setelah selesai dirawat berdasarkan keterangan dokter, pembantaran dicabut dengan surat perintah 12

16 pencabutan pembantaran dan dibuatkan berita acara pencabutan pembantaran. c) dalam hal tersangka dilanjutkan penahanannya, dikeluarkan surat perintah penahanan lanjutan dan dibuatkan berita acara penahanan lanjutan. d) lamanya waktu pembantaran tidak dihitung sebagai waktu penahanan. e. Penangguhan Penahanan 1) Penangguhan penahanan dilaksanakan sesuai ketentuan KUHAP. 2) Permohonan penangguhan penahanan dapat diajukan oleh tersangka, keluarga tersangka atau penasehat hukum kepada Penyidik PPNSLH atau atasan Penyidik PPNSLH yang melakukan penahanan. f. Pengalihan jenis penahanan 1) Penyidik PPNSLH atau atasan Penyidik PPNSLH dapat melakukan pengalihan jenis penahanan atas permintaan tersangka, keluarga tersangka atau penasehat hukum. 2) Pengalihan jenis penahanan dilaksanakan berdasarkan surat perintah dari atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH yang tembusannya diberikan kepada tersangka dan keluarganya serta instansi yang berkepentingan. 3) Penyidik PPNSLH dapat menitipkan penahanan tersangka kepada Penyidik Polri dengan mengajukan permintaan secara tertulis yang memuat identitas secara lengkap dan dilampiri dengan surat perintah penahanan dan pemberitahuan kepada keluarga. Permintaan ini ditujukan kepada a) Tingkat Pusat kepada Bareskrim Polri up. Biro Korwas PPNS. b) Tingkat Daerah/Wilayah kepada Dit.Reskrimsus/ Sat. Reskrim. g. Penggeledahan 1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut a) mengajukan permintaan izin penggeledahan terlebih dahulu dengan membuat surat yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan tembusan kepada Penyidik Polri. b) sebelum surat permintaan izin penggeledahan dikirim kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Penyidik PPNSLH dapat minta pertimbangan kepada penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan penggeledahan. c) surat permintaan izin penggeledahan ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku PPNSLH. Dalam hal atasan bukan Penyidik PPNSLH, surat permintaan ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH. 13

17 d) setelah surat izin penggeledahan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat, dikeluarkan surat perintah penggeledahan yang ditandatangani oleh atasan PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Koordinator Penyidik PPNSLH. Dalam hal atasan bukan Penyidik PPNSLH, surat permintaan ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH e) apabila tersangka atau penghuni menyetujui, penggeledahan rumah/tempat tertutup lainnya dilakukan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang. f) apabila tersangka atau penghuni menolak, penggeledahan rumah/tempat tertutup lainnya dilakukan dengan disaksikan oleh Kepala Desa atau Ketua Lingkungan dan 2 (dua) orang saksi tambahan. g) setelah melakukan penggeledahan, Penyidik PPNSLH segera membuat berita acara yang turunannya diberikan kepada penghuni rumah/tempat tertutup yang bersangkutan. h) pelaksanaan pengegeledahan rumah/tempat tertutup lainnya yang dilakukan di luar daerah hukum Penyidik PPNSLH dikoordinasikan dengan Penyidik PPNSLH setempat dimana akan dilakukan penggeledahan. 2) Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sehingga Penyidik PPNSLH harus segera bertindak, maka a) Penggeledahan dapat dilakukan tanpa surat izin Ketua Pengadilan Negeri. b) Penggeledahan dapat dilakukan (1) pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada dan yang berada diatasnya. (2) pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam atau berada. (3) di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya. (4) di tempat penginapan dan tempat umum lainnya. (5) apabila tertangkap tangan. c) Setelah melakukan penggeledahan, Penyidik PPNSLH segera membuat berita acara yang turunannya diberikan kepada penghuni rumah/tempat tertutup yang bersangkutan. d) Setelah melakukan penggeledahan, Penyidik PPNSLH segera melaporkan tentang tindakan tersebut Kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk mendapatkan persetujuannya. e) Penggeledahan pakaian dan penggeledahan badan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut (1) penggeledahan pakaian seseorang, termasuk barang yang dibawanya didasarkan pada 14

18 h. Penyitaan adanya dugaan atau alasan yang cukup bahwa pada orang tersebut terdapat benda yang dapat disita. (2) pada saat tersangka tertangkap tangan dan dibawa kepada Penyidik PPNSLH, maka Penyidik PPNSLH segera melakukan penggeledahan pakaian dan/atau badan tersangka. f) Berita Acara Penggeledahan ditandatangani oleh Penyidik PPNSLH yang melakukan penggeledahan dan tersangka/keluarga tersangka dan/atau kepala desa/ ketua lingkungan, serta 2 (dua) orang saksi. g) Dalam pelaksanaan penggeledahan, Penyidik PPNSLH berwenang memerintahkan setiap orang yang terkait dengan tindak pidana untuk tidak meninggalkan tempat selama penggeledahan berlangsung. 1) Pelaksanaan penyitaan dilakukan sesuai dengan ketentuan KUHAP. 2) Pelaksanaan penyitaan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut a) mengajukan permintaan izin penyitaan secara tertulis terlebih dahulu kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dengan tembusan kepada Penyidik Polri. b) sebelum surat permintaan izin penyitaan dikirim kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat, Penyidik PPNSLH dapat meminta pertimbangan kepada penyidik Polri tentang alasan perlunya dilakukan penyitaan. c) surat permintaan izin penyitaan ditanda tangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku PPNSLH. Dalam hal Atasan bukan Penyidik PPNSLH, surat permintaan ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH; d) setelah surat izin penyitaan dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat, dikeluarkan surat perintah penyitaan yang ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Apabila atasannya bukan Penyidik PPNSLH, penanda-tanganan dilaksanakan oleh Koordinator Penyidik PPNSLH. e) setelah melakukan penyitaan, Penyidik PPNSLH segera membuat berita acara penyitaan yang ditandatangani oleh Penyidik PPNSLH yang melakukan penyitaan dan pemilik/orang yang menguasai benda yang disita. Salinan berita acara tersebut diberikan kepada pemilik/orang yang menguasai benda yang disita f) penyitaan yang dilakukan di luar daerah hukum Penyidik PPNSLH, pelaksanaannya dikoordinasikan dengan Penyidik PPNSLH setempat dimana akan dilakukan penyitaan. 15

19 3) Dalam keadaan sangat perlu dan mendesak atau tertangkap tangan, Penyidik PPNSLH dapat melakukan penyitaan, yang pelaksanaannya i. Pemeriksaan a) tanpa surat izin/surat izin khusus dari Ketua Pengadilan Negeri. b) tanpa surat perintah penyitaan. c) penyitaan dapat dilakukan terhadap benda dan/ atau alat yang ternyata/diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana dan/atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. d) setelah melakukan penyitaan, Penyidik PPNSLH wajib segera melaporkan pelaksanaan penyitaan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat guna mendapatkan persetujuan. e) Berita Acara Penyitaan ditandatangani oleh Penyidik PPNSLH yang melakukan penyitaan dan oleh tersangka/ keluarga tersangka dan/atau kepala desa/ketua lingkungan dan 2 (dua) orang saksi. f) setelah dilakukan penyitaan, Penyidik PPNSLH memberikan tanda terima kepada pemilik/orang yang menguasai benda yang disita. g) Penyidik PPNSLH berwenang memerintahkan setiap orang agar yang terkait dengan tindak pidana untuk tidak meninggalkan tempat selama proses penyitaan berlangsung. h) pelaksanaan penyitaan yang dilakukan di luar daerah hukum Penyidik PPNSLH dikoordinasikan dengan Penyidik PPNSLH setempat dimana akan dilakukan penyitaan. 1) Dalam mengumpulkan keterangan, Penyidik PPNSLH melakukan pemeriksaan yang dituangkan dalam berita acara berdasarkan ketentuan KUHAP terhadap a) Saksi; b) Ahli; c) Tersangka. 2) Sebelum melaksanakan pemeriksaan, Penyidik PPNSLH wajib a) menentukan waktu, tempat, dan sarana pemeriksaan. b) mempelajari kasus yang terjadi dan unsur-unsur pidananya. c) menyusun dan merumuskan daftar pertanyaan pemeriksaan untuk mendapatkan jawaban yang secara garis besar meliputi (1) pertanyaan awal, yaitu pertanyaan yang menyangkut identitas atau biodata/riwayat hidup. (2) pertanyaan pokok, yaitu pertanyaan yang mengarah pada jawaban unsur-unsur tindak pidana. 16

20 (3) pertanyaan tambahan, yaitu pertanyaan yang merupakan hasil pengembangan pertanyaan pokok yang mengandung hal-hal yang meringankan atau memberatkan, serta latar belakang dan faktor yang mendorong dilakukannya tindak pidana. 3) Dalam memeriksa tersangka, Penyidik PPNSLH wajib a) mengambil gambar/foto tersangka dari jarak dekat (close up), baik dari depan maupun dari samping. b) meneliti identitas orang yang diperiksa dengan mencocokan tanda pengenal orang yang akan diperiksa seperti KTP, SIM, Paspor, KIMS, dan sebagainya. 4) Dalam hal diperlukan bantuan teknis pemeriksaan psikologi guna mendapatkan keterangan dari saksi dan/atau tersangka, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan secara tertulis kepada penyidik Polri dengan menguraikan risalah permasalahan. 5) Dalam hal diperlukan pemeriksaan laboratorium forensik, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan secara tertulis kepada penyidik Polri yang dilampiri dengan a) laporan kejadian; b) laporan kemajuan; c) berita acara penemuan, penyitaan, penyisihan, pembungkusan, dan penyegelan barang bukti. 6) Dalam hal diperlukan pemeriksaan identifikasi, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan secara tertulis kepada penyidik Polri yang dilampiri dengan a) laporan kejadian; b) laporan kemajuan; c) berita acara pemeriksaan saksi/tersangka; d) dalam pemeriksaan sidik jari disertai dengan barang bukti sidik jari laten dan sidik jari pembanding. 7) Dalam hal diperlukan keterangan ahli, Penyidik PPNSLH dapat meminta bantuan secara langsung kepada ahli yang bersangkutan. 8) Konfrontasi Apabila dalam pemeriksaan terdapat pertentangan atau ketidaksesuaian keterangan antara tersangka yang satu dengan tersangka yang lain, atau antara tersangka dengan saksi, atau antara saksi dengan saksi yang lain, Penyidik PPNSLH dapat melakukan pemeriksaan konfrontasi guna mencari persesuaian serta kepastian keterangan yang benar atau paling mendekati kebenaran. 17

21 9) Rekonstruksi Untuk memberikan gambaran serta meyakinkan pemeriksa atas kebenaran keterangan tersangka atau saksi dalam memperjelas suatu rangkaian kegiatan terjadinya suatu tindak pidana, dapat dilakukan rekonstruksi dengan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana yang dipandu dengan skenario dari hasil pemeriksaan yang telah didapat. 10) Pengambilan Sumpah Saksi dan Ahli a) Apabila berdasarkan hasil pengamatan Penyidik PPNSLH timbul dugaan bahwa saksi yang diperiksa tidak akan hadir dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, maka dilakukan pengambilan sumpah/janji sebelum pemeriksaan di tingkat penyidikan dimulai. b) Apabila dalam proses pemeriksaan saksi yang diperiksa memberitahukan kepada Penyidik PPNSLH bahwa dirinya tidak dapat hadir dalam tahap peradilan, Penyidik PPNSLH menuangkan informasi tersebut dalam berita acara pemeriksaan dan melakukan pengambilan sumpah/janji saksi yang bersangkutan. (1) Dalam berita acara pengambilan sumpah/janji saksi/ahli, dicantumkan identitas masingmasing orang yang menandatangani berita acara tersebut. (2) Inti sumpah/janji adalah pernyataan saksi/ahli, bahwa ia akan/telah memberi keterangan yang sebenarnya. (3) Penyidik PPNSLH menyediakan minimal 2 (dua) orang yang dapat diangkat sebagai saksi dalam pengambilan sumpah/janji saksi/ahli. (4) Sebelum pengambilan sumpah/janji agar ditanyakan terlebih dahulu agama saksi/ahli dan kesediaannya untuk diambil sumpahnya. (5) Tata cara pengambilan sumpah/janji dilakukan sesuai dengan agama dan kepercayaan saksi/ahli. Naskah pengambilan sumpah/janji dibacakan oleh Penyidik PPNSLH atau rohaniwan dan diikuti oleh saksi/ahli yang diambil sumpahnya. (6) Berita acara pengambilan sumpah/janji saksi/ahli dibuat oleh Penyidik PPNSLH dan ditandatangani oleh Penyidik PPNSLH yang mengambil sumpah, orang yang disumpah, dan para saksi. (7) Naskah sumpah/janji dan kelengkapan lainnya disesuaikan dengan agama saksi/ahli sebagai berikut 18

22 (a) Saksi i. Untuk yang beragama Islam. ii. iii. iv. Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya sebagai saksi telah/akan)* memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan. Untuk yang beragama Katolik. Demi Allah, Bapak, Putra, dan Roh Kudus, saya bersumpah, bahwa saya sebagai Saksi, telah/akan)* menerangkan dengan sungguhsungguh dan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Jika saya berdusta, saya akan mendapat hukuman dari Tuhan. Untuk yang beragama Protestan. Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya sebagai Saksi, telah/akan)* menerangkan dengan sungguhsungguh dan sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Jika saya berdusta, saya akan mendapat hukuman dari Tuhan. Semoga Allah menolong saya. Untuk yang beragama Hindu Dharma. Demi Ida Sanghyang Widi Wasa, saya bersumpah, bahwa saya sebagai saksi, telah/akan)* memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan. v. Untuk yang beragama Budha. vi. Demi Sanghyang Adhi Budha, saya berjanji, bahwa saya sebagai Saksi, telah/akan)* memberikan keterangan yang sebenarnya. Jika saya berdusta atau menyimpang dari pada yang telah saya ucapkan ini, maka saya bersedia menerima karma yang buruk. Untuk yang memeluk Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. 19

23 Demi Tuhan Yang Maha Esa, saya berjanji bahwa saya, telah/akan)* memberikan keterangan yang sebenarnya, tidak lain dari yang sebenarnya. Dan jika saya, tidak memberikan keterangan yang sebenarnya semoga Tuhan yang Maha Esa memberikan kutukan kepada saya. (b) Ahli i. Untuk yang beragama Islam ii. iii. iv. Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya sebagai Ahli telah/akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaikbaiknya, tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan. Untuk yang beragama Katolik Demi Allah, Bapak, Putra dan Roh Kudus, saya bersumpah, bahwa saya sebagai Ahli, telah/akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Jika saya berdusta, saya akan mendapat hukuman dari Tuhan. Untuk yang beragama Protestan Demi Allah saya bersumpah, bahwa saya sebagai Ahli, telah/akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaikbaiknya, tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Jika saya berdusta, saya akan mendapat hukuman dari Tuhan. Semoga Allah menolong saya. Untuk yang beragama Hindu Dharma Demi Ida Sanghyang Widi Wasa, saya bersumpah, bahwa saya sebagai Ahli, telah/akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Apabila saya tidak memberikan keterangan yang sebenarnya, saya akan mendapat kutukan dari Tuhan. 20

24 v. Untuk yang beragama Budha vi. j. Pencegahan atau Penangkalan Demi Sanghyang Adhi Budha, saya berjanji, bahwa saya sebagai Ahli, telah/ akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Jika saya berdusta atau menyimpang dari pada yang telah saya ucapkan ini, maka saya bersedia menerima karma yang buruk. Untuk yang memeluk Aliran Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa Demi Tuhan Yang Maha Esa, saya berjanji bahwa saya sebagai Ahli, telah/akan)* memberikan keterangan menurut pengetahuan saya yang sebaik-baiknya, tidak lain dari pada yang sebaik-baiknya. Dan jika saya, tidak memberikan keterangan yang sebenarnya semoga Tuhan yang Maha Esa memberikan kutukan kepada saya. 1) Untuk kepentingan penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, dapat dilakukan pencegahan atau penangkalan terhadap seseorang yang diduga kuat merupakan pelaku atau orang yang bertanggungjawab terhadap tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 2) Permintaan pencegahan dan penangkalan ini diajukan secara tertulis dengan memuat identitas orang yang dikenakan pencegahan atau penangkalan yang meliputi sekurang-kurangnya a) Nama; b) Umur; c) Pekerjaan; d) e) Jenis kelamin; f) Kewarganegaraan. 3) Permintaan ini ditujukan kepada a) Tingkat Pusat kepada Bareskrim Polri up. Biro Korwas PPNS. b) Tingkat Daerah/Wilayah kepada Dit.Reskrimsus/ Sat. Reskrim. 21

25 k. Penyelesaian Berkas Perkara 1) penyelesaian berkas perkara merupakan kegiatan akhir dari proses penyidikan. 2) ringkasan (resume) kasus yang ditangani, ditulis sesuai dengan ketentuan sebagai berikut a) Diketik di atas kertas folio warna putih, dengan jarak 1,5 (satu setengah) spasi; b) Di antara spasi tidak boleh dituliskan apapun; c) Kata-kata harus ditulis lengkap, tidak diperbolehkan menggunakan singkatan kecuali singkatan kata resmi dan dikenal umum; d) Penulisan angka yang menyebutkan jumlah harus diulangi dengan huruf dalam tanda kurung; e) Nama orang ditulis dengan huruf besar (huruf balok); f) Tata urut pembuatan resume sebagai berikut (1) Dasar; (2) Perkara yang berisi uraian singkat tentang tindak pidana yang terjadi dengan menyebutkan (a) (b) (c) (d) (e) Pasal pidana yang dipersangkakan; Pelaku dengan identitas yang lengkap dan jelas; Tempat dan waktu kejadian. Dampak/korban terhadap lingkungan/ harta benda/jiwa; Taksiran kerugian. (3) Fakta-fakta penanganan di tempat kejadian; (4) Surat-surat terkait penanganan perkara antara lain, surat pemanggilan saksi/ tersangka, perintah membawa, penangkapan, penahanan, perpanjangan penahanan, pengalihan penahanan, penangguhan penahanan, pengeluaran tahanan, penggeledahan, penyitaan, penyisihan barang bukti, pelelangan barang bukti, penyitaan surat lain, memuat nomor dan tanggal surat beserta (a) (b) (c) (d) Keterangan saksi/ahli; Keterangan tersangka; Barang Bukti; Pembahasan Memuat gambaran konstruksi dan analisis dari tindak pidana yang didasarkan pada hubungan yang logis antara fakta-fakta yang ada dengan keterangan yang diperoleh, baik dari tersangka, maupun saksi/ahli, hubungan 22

26 (e) yang logis antara keterangan yang satu dengan keterangan yang lainnya, serta hubungan yang logis antara barang bukti yang ada dengan fakta maupun keterangan yang diperoleh, yang dikaitkan dengan unsur hukum dari pasal pidana yang dipersangkakan; Kesimpulan Memuat kesimpulan Penyidik PPNSLH yang dibuat berdasarkan pembahasan mengenai sangkaan perbuatan pidana yang dilakukan oleh masing-masing tersangka dan perbuatannya yang telah memenuhi unsur-unsur pasal dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dipersangkakan; (5) Resume, berita acara, dan kelengkapan administrasi penyidikan disusun sebagai berkas perkara dengan urutan yang telah ditentukan. l. Penyerahan Berkas Perkara 1) Penyerahan berkas hasil penyidikan oleh Penyidik PPNSLH kepada penuntut umum pada dasarnya merupakan pelimpahan tanggung jawab atas suatu perkara dari penyidik ke penuntut umum; 2) Pelaksanaan penyerahan Berkas Perkara dilakukan dengan urutan sebagai berikut a) Tahap pertama, yaitu penyerahan berkas perkara; b) Tahap kedua, yaitu penyerahan tersangka dan barang bukti setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh penuntut umum. D. Pengawasan dan Pengendalian Penyidikan 1. Atasan Penyidik PPNSLH Atasan Penyidik PPNSLH memberikan petunjuk atau arahan tentang kegiatan penyidikan secara rinci dan jelas, untuk menghindari kesalahan penafsiran oleh Penyidik PPNSLH yang akan maupun sedang melakukan penyidikan; 2. Penyidik Polri selaku koordinator dan pengawas PPNS Pengawasan dan pengendalian yang dilaksanakan oleh Penyidik Polri dilakukan dalam bentuk pemberian bantuan penyidikan kepada atasan Penyidik PPNSLH dan Penyidik PPNSLH dalam melaksanakan tugas penyidikan. Bantuan tersebut meliputi a. bantuan taktis, baik berupa personil maupun peralatan penyidikan; b. bantuan teknis penyidikan; 23

27 c. bantuan pemeriksaan ahli dalam rangka pembuktian secara ilmiah; dan d. bantuan upaya paksa berupa pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan. E. Penghentian Penyidikan 1. Penghentian penyidikan merupakan salah satu kegiatan penyelesaian perkara yang dilakukan apabila a. Tidak terdapat cukup bukti. b. Peristiwa yang terjadi bukan merupakan tindak pidana. c. Perkara dihentikan demi hukum karena 1) Tersangka meninggal dunia. 2) Masa tindak pidana telah kadaluarsa. 3) Tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap (nebis in idem). 2. Penghentian penyidikan dilakukan dengan a. Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan yang ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Apabila atasan Penyidik PPNSLH bukan Penyidik PPNSLH, surat tersebut ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH; b. Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan yang disampaikan kepada tersangka/keluarganya/penasehat hukumnya, serta kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik Polri; c. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3); d. Surat Pemberitahuan Penghentian Penyidikan kepada Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik Polri. 3. Dalam hal ditemukan bukti baru atau penghentian penyidikan yang didasarkan pada putusan pra peradilan ternyata tidak sah, maka Penyidik wajib melanjutkan penyidikan kembali dengan menerbitkan a. Surat Ketetapan Pencabutan Penghentian Penyidikan yang ditandatangani oleh atasan Penyidik PPNSLH setingkat eselon II selaku Penyidik PPNSLH. Apabila atasan Penyidik PPNSLH bukan Penyidik PPNSLH, surat tersebut ditandatangani oleh Koordinator Penyidik PPNSLH; b. Surat Perintah Penyidikan Lanjutan diberitahukan kepada Penuntut Umum dan Kepolisian. F. Pelimpahan Penyidikan 1. Pelimpahan penyidikan dari Penyidik PPNSLH kepada Penyidik Polri dilaksanakan apabila a. peristiwa pidana yang ditangani mencakup lebih dari satu wilayah hukum Penyidik PPNS; b. berdasarkan pertimbangan keamanan dan geografis, Penyidik PPNSLH tidak dapat melakukan penyidikan; atau c. peristiwa pidana yang ditangani merupakan gabungan tindak pidana tertentu dan tindak pidana umum, kecuali tindak pidana yang bukan merupakan kewenangan Penyidik Polri. 24

PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP 2012, No.789 4 LAMPIRAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Lebih terperinci

KEPUTUSAN KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR: Kpts /PPLHK/720 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (S.O.

KEPUTUSAN KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR: Kpts /PPLHK/720 TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (S.O. PEMERINTAH PROVINSI RIAU DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Jalan Jenderal Sudirman Nomor 468 Telp. 21630, 31631, 21440 Fax. : (0761) 32651 PEKANBARU (28126) KEPUTUSAN KEPALA DINAS LINGKUNGAN HIDUP DAN

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Ta No.407, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENATR/BPN. PPNS. Penataan Ruang. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERBAIKAN DR SETUM 13 AGUSTUS 2010 PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2010 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA

Lebih terperinci

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR - 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 26 TAHUN 2014 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL GUBERNUR

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2012 TENTANG TATA LAKSANA JABATAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA

BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA BUPATI BUTON PROVINSI SULAWESI TENGGARA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BUTON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, SALINAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN DAN PENINDAKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG TEKNOLOGI INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN NOMOR 52/2014 PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA NOMOR M.HH-Ol.Hl.07.02 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN MANAJEMEN PENYIDIKAN

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20..

SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN RUANG / /20.. LAMPIRAN II PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PENATAAN RUANG SAMPUL BERKAS PERKARA Nomor: BP-../PPNS PENATAAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PENANGANAN TINDAK PIDANA PERIKANAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LAMPIRAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LAMPIRAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAFTAR ISI LAMPIRAN.A. SAMPUL BERKAS PERKARA. B. ISI BERKAS

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN SALINAN BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 1 TAHUN 2017 TENTANG BANTUAN HUKUM UNTUK MASYARAKAT MISKIN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA,

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 SALINAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1610, 2016 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN-ESDM. PPNS. Orta. Pencabutan. PERATURAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2016 TENTANG ORGANISASI DAN TATA KERJA

Lebih terperinci

BAB I BERKAS PENYIDIKAN

BAB I BERKAS PENYIDIKAN BAB I BERKAS PENYIDIKAN Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan, suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, namun untuk menentukan apakah

Lebih terperinci

KOP SURAT KEMENTERIAN ATR/BPN/PEMERINTAH PROVINSI/ PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA *) SURAT PERINTAH TUGAS Nomor: SP-../Gas-W/PPNS PENATAAN RUANG/ /20..

KOP SURAT KEMENTERIAN ATR/BPN/PEMERINTAH PROVINSI/ PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA *) SURAT PERINTAH TUGAS Nomor: SP-../Gas-W/PPNS PENATAAN RUANG/ /20.. LAMPIRAN III PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PENATAAN RUANG Demi Keadilan KOP SURAT KEMENTERIAN ATR/BPN/PEMERINTAH

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.861, 2017 KEMEN-KP. Kode Etik PPNS Perikanan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.983, 2013 KEPOLISIAN. Penyidikan. Tindak Pidana. Pemilu. Tata Cara. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENYIDIKAN

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI

GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI GUBERNUR JAMBI PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 44 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN OPERASIONAL PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN PERATURAN MENTERI KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA REPUBLIK INDONESIA NOMORxxxxTAHUN 2015 TENTANG MANAJEMEN PENEGAKAN HUKUM BIDANG POS DAN TELEKOMUNIKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG S A L I N A N BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 24 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANTUL, Menimbang : a. bahwa keberadaan dan peranan Penyidik Pegawai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROVINSI LAMPUNG PERATURAN DAERAH KOTA METRO NOMOR 05 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA METRO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penegakan atas

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2013 SERI : D PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL WALIKOTA SURAKARTA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SURAKARTA NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURAKARTA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR,

PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, PERATURAN DAERAH KOTA BANJAR NOMOR 18 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAKHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJAR, Menimang : a. b. bahwa dalam upaya penegakan Peraturan Daerah

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANDUNG, WALIKOTA BANDUNG, PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BANDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO

PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PEMERINTAH KABUPATEN KULON PROGO PERATURAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO NOMOR : 20 TAHUN 2007 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KULON PROGO, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI RIAU PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR : 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI RIAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG

LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG. Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG LEMBARAN DAERAH KOTA TANGERANG Nomor 7 Tahun 2000 Seri D PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG NOMOR 19 TAHUN 2000 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL ( PPNS ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TANGERANG

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang Mengingat : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUP DALAM LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BAU-BAU

PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUP DALAM LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BAU-BAU PERATURAN DAERAH KOTA BAU-BAU NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LINGKUP DALAM LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BAU-BAU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BAU-BAU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

SALINAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 4 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJALENGKA,

SALINAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 4 TAHUN 2004 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAJALENGKA, LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA SALINAN NOMOR : 4 TAHUN 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAJALENGKA NOMOR : 4 TAHUN 2004 TENTANG : PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG

PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN BELITUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PROVINSI LAMPUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang Mengingat : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG PEJABAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN GROBOGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM - 2 - BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Badan ini yang dimaksud dengan: 1. Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SELAYAR. dan BUPATI SELAYAR

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN SELAYAR. dan BUPATI SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SELAYAR NOMOR 21 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN SELAYAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SELAYAR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KETUA LEMBAGA PERLINDUNGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMPUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM LINGKUNGAN KABUPATEN LAMPUNG BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMPUNG BARAT Menimbang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N No.1490, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA BPOM. Pengelolaan Barang Bukti. PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 4/E, 2009 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 5 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016 TENTANG

NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016 TENTANG PERATURAN BERSAMA KETUA BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA, KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA, DAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2016 NOMOR 01 TAHUN 2016 NOMOR 013/JA/11/2016

Lebih terperinci

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT Menimbang : a. Mengingat : 1. BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK

PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LANDAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN LANDAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LANDAK, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN, PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR KALIMANTAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURWOREJO, Menimbang : a. bahwa dalam rangka penyelenggaraan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PENAJAM PASER UTARA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2017 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN BARANG BUKTI DI LINGKUNGAN BADAN

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN SALINAN PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN LAMONGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LAMONGAN,

Lebih terperinci

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 662 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG PENERBANGAN SIPIL

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 662 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG PENERBANGAN SIPIL KEMENTERIAN PERHUBUNGAN DIREKTORAT JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PERHUBUNGAN UDARA NOMOR : KP 662 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL BIDANG PENERBANGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2015 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN DIVERSI DAN PENANGANAN ANAK YANG BELUM BERUMUR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 29 TAHUN 2017 TENTANG ADMINISTRASI PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL KOTA YOGYAKARTA DALAM ACARA PEMERIKSAAN

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT

PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI BARAT NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI BARAT,

Lebih terperinci

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI SALINAN BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR : 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 5 TAHUN 2006 T E N T A N G PEMBENTUKAN, KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA SATUAN POLISI

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N 4 Nopember 2010 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG TAHUN 2010 S A L I N A N SERI E NOMOR 3 Menimbang : PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

Lebih terperinci

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM

WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM WALIKOTA SEMARANG PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KOTA SEMARANG NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN BANTUAN HUKUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SEMARANG, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH

KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH KEPUTUSAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 6 TAHUN 2003 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH DAERAH MENTERI DALAM NEGERI, Menimbang : a. bahwa dengan ditetapkannya

Lebih terperinci