BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Eksistensi Pengertian Eksistensi Sepanjang sejarah filsafat hingga abad ke-20 ini istilah eksistensi dipakai dengan berbagai arti yang berbeda. Begitu pula dalam Filsafat Eksistensi istilah ini, mengandung konotasi dan nuansa yang tidak selalu sama. Karena itu suatu deskripsi mengenai istilah kiranya membantu mendudukkan permasalahan utama dalam buku ini secara tepat. 7 Eksistensi mempunyai arti yang berbeda dalam pemikiran filsafati dulu dan sekarang. Dalam Filsafat Abad Pertengahan dan sesudahnya, eksistensi berartikan (adanya), dan dibedakan dari esensi yang berarti hakikat. Dalam Filsafat Skolastik, apabila ditanya apakah esensi manusia maka dijawab rasionalitas. Ini berarti bahwa rasionalitas atau akal budilah yang membuat manusia sebagai manusia. Sedangkan eksistensi dirumuskan sebagai apa yang membuat sesuatu itu ada secara nyata. Thomas Aquinas menerangkan perbedaan antara Eksistensi Tuhan dengan Eksistensi Manusia. Menurutnya Tuhan adalah Existentia, hakikaknya adalah Adanya. Jadi eksistensi Tuhan identik dengan esensinya. Adapun eksistensi manusia diterima yang berarti bahwa adanya 7 Ostina Panjaitan, Manusia Sebagai Eksistensi. Jakarta: Yayasan sumber agung Hal 10 8

2 9 manusia merupakan pengambilan bagian dalam Adanya Tuhan. Selanjutnya dalam kerangka pemikiran ini kedua pengertian dan konsep ini (esensi dan eksistensi) berhubungan sangat erat satu dengan yang lain, dan dipakai sebagai dasar untuk membuktikan Adanya Tuhan. 8 Prosedurnya adalah sebagai berikut: dalam pengertian Tuhan (esensinya) selalu tersirat AdaNya; kalau berbicara tentang pengertian Tuhan, serentak diandaikan bahwa Tuhan ini Ada secara nyata. Argumentasi atau pembuktian semacam ini disebut argumentasi ontologis, sudah dikemukakan oleh Agustinus, Anselmus, Descartes, Malebrance, Spinoza dan Hegel. 9 Dalam Filsafat Eksistensi, istilah eksistensi diberikan arti baru, yaitu sebagai gerak hidup dari manusia konkret. Di sini kata eksistensi diturunkan dari kata latin ex-sistensi. Berada (to exist) artinya muncul atau tampil keluar dari suatu latar belakang sebagai sesuatu yang benar-benar ada. Dalam pengertian ini eksistensi diberikan corak dinamis, berbeda dengan pengertian eksistensi sebelumnya yang bercorak statis : berada begitu saja. Dalam Filsafat Eksistensi, pengertian Eksistensi digunakan untuk menunjukkan cara berada yang khas dari manusia. Hanya manusia yang berada dalam arti sebenarnya, yaitu ex-sistere. Cara berada manusia berbeda dengan dari cara berada makhluk lain atau bendabenda yang ada di dunia dan perbedaan ini tampak dalam corak dinamis Ibid Hal 12 9 Ibid Hal Ibid Hal 14

3 10 Dalam Filsafat Modern, eksistensi hanya dimaksudkan untuk manusia, yaitu manusia sebagai individu, sebagai orang ini atau orang itu, sebagai saya, sabagai subyektivitas. Dengan demikian, eksistensi menunjukkan keindividuan masing-masing orang yang konkret Filsafat Eksistensialisme Kierkegaard Menurut Kierkegaard individu bukanlah the knowing ( yang mengetahui), tetapi hanya subjektif yang ada secara etis. Satu-satunya realitas yang penting baginya adalah eksistensi etis-nya sendiri. Kebenaran tidak terletak pada pengetahuan karena persepsi indra dan pengetahuan historis adalah penampakan semata-mata, dan pemikiran murni tidak lain kecuali suatu halusinasi. Pengetahuan hanya berurusan dengan yang mungkin dan tidak mungkin membuat sesuatu menjadi rill atau bahkan tidak mampu menangkap realitas. Kebenaran hanya terdapat dalam tindakan dan hanya bias dialami melalui tindakan. 12 Eksistensi individu-lah yang merupakan satu-satunya realitas yang secara aktual bias di pahami, dan eksistensi individunya sendiri yang merupakan subjek atau pelaku pemahaman ini. Eksistensinya adalah eksistensi yang berpikir, tetapi 11 Ibid Hal Alex Sobur. Filsafat Komunikasi ( Tradisi dan Metode Fenomenologi). PT. Remaja Rosdakarya Hal 178

4 11 pemikiran ditentukan oleh kehidupan individualnya sehingga semua problemnya timbul dan dipecahkan dalam aktivitas individualnya. 13 Sesungguhnya, karya Kierkegaard adalah upaya terbesar terakhir untuk membangun kembali agama sebagai organon tertinggi bagi pembebasan kemanusiaan dari dampak tatanan social opresif yang menghancurkan. Filsafatnya berisi kritik keras terhadap masyarakatnya, mengecamnya sebagai salah satu sebab yang mendistorsi dan menghancurkan potensi manusia. 14 Kierkegaard mendesain model yang tidak bisa lagi mengambil bentuk agama. Agama tidak bisa menggantikan kedudukan filsafat. Penyelamatan manusia tidak bisa lagi terletak pada wilayah imam, terutama karena kekuatan historis yang canggih sedang bergerak; bergerak menantang ajaran revolusioner agama dalam perjuangan nyata bagi menantang ajaran revolisioner agama dalam perjuangan nyata bagi pembebasan sosial. Dalam keadaan seperti ini, protes agama adalah lemah dan tidak berdaya, dan individualisme agama bahkan bisa berubah menentang individu yang ingin diselamatkannya. Jika tetap diletakkan pada dunia batin individu, kebenaran menjadi terpisah dari lingkaran social dan politik yang menjadi bagian dari individu. Bagi Kierkegaard sendiri, konsep Tuhan sangat sulit dijabarkan. Definisi kata Tuhan itu hampir tidak mungkin dirumuskan. Mengapa? Karena Tuhan pada dasarnya adalah Yang Tidak Diketahui (The Unknown). Dalam pandangan Kierkegaard, yang tidak diketahui adalah satu-satunya nama yang dapat kita 13 Ostina Panjaitan, Manusia Sebagai Eksistensi. Jakarta: Yayasan sumber agung Hal Opcit Hal 179

5 12 berikan kepada Tuhan. Tuhan tidak dapat dikenal karena akal budi manusia tidak mampu memahami-nya. Keterbatasan akal budilah yang membuat manusia tidak dapat mengenal Tuhan. Untuk mengenal Tuhan, menurut Kierkegaard, akal budi harus melampui Tuhan. Artinya, supaya pengetahuan tentang Tuhan itu mungkin, Tuhan harus menjadi objek penyelidikan dan pengujian akal budi manusia, sama seperti kalau akal budi manusia ingin mengenal sebuah bangunan baru atau meja di sebuah pojok ruangan. 15 Dalam hal ini, objek pengetahuan apapun, termaksud Tuhan, harus tunduk pada prinsip-prinsip akan budi dan hukum-hukum rasional. Namun mengingat Tuhan adalah Pencipta alam semeste dan Dia-lah yang menentukan segala hukum yang ada, termasuk prinsip-prinsip akal budi, maka Tuhan selalu melampaui akal budi manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak pernah diketahui atau dipahami oleh akal budi manusia. Dengan kata lain, manusia sesungguhnya tidak tahu banyak tentang Tuhan. Oleh karena itu, usaha manusia untuk mencari defini Tuhan atas konsep Tuhan itu sendiri sebetulnya sudah langkah yang keliru. Itu sebabnya, Kierkegaard menggambakan Tuhan sebagai ambang yang terus-menerus didekati, tetapi tidak pernah diseberangi Alex Sobur. Filsafat Komunikasi ( Tradisi dan Metode Fenomenologi). PT. Remaja Rosdakarya Hal Ibid 180

6 Tahap- Tahap Eksistensialisme Kierkegaard Tiga tahapan eksistensialisme dalam kehidupan individu merupakan tahap eksistensialisme dalam kehidupan individu, tahap-tahap eksistensialisme ini merupakan tahapan berdasarkan kecemasan atau Angst yang dirasakan oleh individu sebagai pembuat keputusan berdasarkan pilihan-pilihan yang Possible dari kebebasan yang dimiliki individu. Yang perlu diingat adalah bahwa bagi Kierkegaard, tahap-tahap dalam kehidupan eksistensial manusia bukanlah tahapan yang harus terjadi dalam manusia, bukan pula yang terjadi secara bertahap sehingga dan berakhir pada tahap tertingginya yaitu eksistensialisme religious. 17 Kierkegaard membagi eksistensialisme ke dalam tiga tahap berdasarkan kadar kecemasan. Kierkegaard mengatakan bahwa tahap-tahap atau stages eksistensialisme ini makin sulit dijalani oleh manusia, karena semakin tinggi tahapan eksistensialisme di jalankan oleh individu, kebenaran yang dimaknai oleh individu semakin subjektif. Ketiga tahapan (Stages) eksistensialisme tersebut adalah : Eksistensialisme Estetis Eksistensialisme Estetis merupakan tahap eksistensi inidvidu dimana kecemasan yang dirasakan oleh individu terhadap eksistensinya berada pada pemenuhan hasrat. Kecemasan yang dirasakan individu dalam pemenuhan hasrat bagi Kierkgeaard bukan merupakan sebuah kecemasan 17 Ostina Panjaitan, Manusia Sebagai Eksistensi. Jakarta: Yayasan sumber agung Hal Ibid Hal 32-41

7 14 yang kompleks, sehingga pilihan yang diputuskan berkecenderungan spontanitas. Spontanitas atas pilihan individu terjadi karena pemuasan hasrat individu bersifat sesaat, pengejaran hasrat sesaat yang datang dan pergi. Kierkegaard mengatakan prototipe estetis adalah Don Juan, sebagai contoh individu yang hidup dalam kecemasan akan pemenuhan hasratnya, ia bahkan menggunakan kata seducer kepada Don Juan Don Juan adalah suatu citra yang terus tampak, tapi tidak memiliki bentuk dan substansi, seorang individu yang selalu di bentuk, namum tidak pernah selesai. Dari sejarah hidupnya terbentuk suatu kesan yang tidak lebih definitif daripada gemuruh ombak yang terdengar Hubungan yang terjadi antara individu dengan individu lainnya atau masyarakat merupakan hubungan yang terjadi karena individu melihat masyarakat sebagai alat pemuasan hasrat individu. Kecemasan yang bertambah karena ranah masyarakat atas pertimbangan etis membawa individu menjalani tahap selanjutnya yaitu eksistensialisme etis. 2. Eksistensialisme Etis Dalam tahap etis manusia menerima norma-norma moral dan kewajiban- kewajiban, menerima peranan yang menentukan dari suara

8 15 hati dan dengan demikian memberikan bentuk dan konsistensi pada kehidupan. Kierkegaard mengatakan : Karena itu, hanya apabila orang memandang kehidupan secara etis, kehidupan sungguh-sungguh memperoleh keindahan, kebenaran, makna, konsistensi yang mantap hanya apabila orang hidup etis, kehidupannya sungguhsungguh memperoleh keindahan, kebenaran, makna, keamanan, dan hanya dalam pandangan hidup yang etis kesangsian otopatetik dan kesangsian simpatik mereda Kalau prototipe tahap estetis adalah Don Juan, maka proptotipe tahap etis adalah Socrates. Perpindahan eksistensi estetis ke eksistensi etis ini oleh Kierkegaard digambarkan seperti orang yang meninggalkan nafsu-nafsu seksualnya yang bersifat sementara dan masuk ke dalam status perkawinan dengan menerima segala kewajibannya. Sebab perkawinan adalah suatu institusi etis, sesuatu ungkapan dari kaidahkaidah universal. Dalam tahap ini orang berpendapat bahwa apa yang sungguh membahagiakan hidupnya ialah cita-cita yang luruh mengenai hidupnya. Eksistensialisme etis merupakan tahapan eksistensialisme ketika individu merasakan kecemasan atas baik dan jahat (good and evil) terhadap kebebasan yang individu miliki. Kebaikan dan kejahatan dalam

9 16 ranah eksistensi merupakan sesuatu yang penting untuk dimaknai oleh individu, individu, individu dalam memutuskan tindakan etis harus memaknai tindakan etisnya. Kebaikan dan kejahatan umumnya dijadikan sebuah pertimbangan melalui kedaulatan masyarakat, kedaulatan atas kebaikan dan kejahatan ini kemudia diwariskan secara turun menurun. Pewarisan nilai etis ini mengakarkan penilaian kebaikan dan keburukan, ini mengakibatkan individu dijadikan pelaksana nilai etis yang berlaku. Tindakan etis melibatkan kebaikan dan keburukan yang memerlukan pemaknaan individu terhadap pertimbangan etis tersebut. Melanjutkan warisan penilaian etis mengakibatkan individu tidak memaknai kebaikan dan keburukan, kebaikan dan keburukan merupakan sebuah tolak ukur atas tindakan etis individu. But, when a generation en masse wants to dabble wordhistorically skipping the ethcal and then by advancing something world-historical as the ethical task for individuals Unsur estetis dalam eksistensi individu pada tahap eksistensialisme etis tidak serta merta dihilangkan, unsur estetis juga tidak langsung dianggap sebagai sesuatu yang jahat. Kehidupan eksistensial individu tidak dapat jalani berdasar sistem, karena kehidupan eksistensial individu memiliki kompleksitas yang tidak dilalui dengan sistem.

10 17 Kecemasan Angst- pada individu kembali bertambah, sehingga pada tahap berikutnya individu melakukan suatu lompatan kepercayaan - Leap Of Faith-, tahap tersebut dinamakan eksistensialisme religius. Kierkegaard menegaskan bahwa orang harus memilih:...atau orang harus hidup secara estetis atau harus hidup secara etis atau mengatasinya (tahap etis) untuk masuk ke yang religius. Setiap pandangan hidup estetis bersifat putus asa dan tiap orang yang hidup secara estetis berada dalam keputusasaan, entah ia mengetahuinya atau tidak. Akan tetapi apabila orang mengetahuinya, maka suatu bentuk eksistensi yang lebih tinggi menjadi tuntutan bersifat emperatif 3. Eksistensialisme Religius Eksistensialisme religius merupakan tahapan eksistensialisme dimana keputusan yang diambil berlandaskan keimanan. Keimanan merupakan hal yang paling subyektif dalam dimensi eksistensi individual, kebenaran yang paling subyektif diperoleh individu melalui keimanan yang inidivu miliki. Kierkegaard menggunakan istilah lompatan iman (leap of faith) dalam eksistensialisme religius. Lompatan keimanan pada tahap eksistensialisme religius merupakan lompatan yang dilakukan oleh individu atas kepercayaannya terhadap Tuhan, kepercayaan terhadap Tuhan merupakan sebuah pengalaman

11 18 subyektif dimana hubungan antara individu dan Tuhan dimaknai oleh individu tersebut. Tuhan merupakan entitas yang tidak dapat dibuktikan secara obyektif, meyakini Tuhan merupakan pilihan yang memerlukan lompatan besar melalui keimanan. Bagi Kierkegaard, kepercayaan terhadap Tuhan seharusnya dimaknai serta digeluti dalam kehidupan sehari-hari individu. Apabila individu mencari kebenaran obyektif akan Tuhan, maka individu akan mengenyampingkan kepercayaannya serta tidak memaknai kebenaran akan Tuhan. Kierkegaard memberikan contoh atas eksistensialisme religius, ia mencontohkan Abraham yang diberikan perintah oleh Tuhan untuk menyembelih anaknya. Terhadap keimanannya kepada Tuhan, Abraham memilih untuk meyembelih anaknya. Pilihan Abraham tersebut menggunakan lompatan keimanan terhadap Tuhan. Lompatan yang tidak dapat dimengerti serta dikadar baik atau jahatnya. Pada eksistensialisme religius terletak kebenaran subyektif atas eksistensi yang tertinggi karena apa yang individu lakukan terhadap eksistensinya hanya dapat dimaknai kebenerannya oleh individu pembuat keputusan.

12 Manusia Pengertian Manusia Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupakan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain, manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri. 19 Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya. Selain itu, manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, 19 Leahy, Louis. Manusia Sebuah Misteri: Sintesis Filosofis tentang Makhluk Paradoksal. Jakarta: PT Gramedia Hal 8

13 20 tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran dsb. 20 Manusia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri. Manusia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dan biasa mengambil jarak dengan dirinya sendiri. Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik. Manusia selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah. 21 Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di 20 der Wij, P.A., van. Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Hal Drijarkara, N. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Jajasan Kanisius Hal 7

14 21 antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum. Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? 22 Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni : Manusia Menurut Pemikiran Pola Biologis Menurut pola pemikiran ini, manusia dan kemampuan kreatifnya dikaji dari struktur fisiologisnya. Salah satu tokoh dalam pola ini adalah Portmann yang berpendapat bahwa kehidupan manusia merupakan sesuatu yang bersifat sui generis meskipun terdapat kesamaan-kesamaan tertentu dengan kehidupan hewan atau binatang. Dia menekankan aktivitas manusia yang khas, yakni bahasanya, posisi vertikal tubuhnya, dan ritme pertumbuhannya. Semua sifat ini timbul dari kerja sama antara proses keturunan dan proses sosial-budaya. 22 Ibid Hal 8 23 Ibid Hal 9-11

15 22 Aspek individualitas manusia bersama sifat sosialnya membentuk keterbukaan manusia yang berbeda dengan ketertutupan dan pembatasan deterministis binatang oleh lingkungannya. Manusia tidak membiarkan dirinya ditentukan oleh alam lingkungannya. 2. Manusia Menurut Pemikiran Pola Psikologi Kekhasan pola ini adalah perpaduan antara metode-metode psikologi eksperimental dan suatu pendekatan filosofis tertentu, misalnya fenomenologi. Tokoh yang berpengaruh besar pada pola ini antara lain Ludwig Binswanger, Erwin Straus dan Erich Fromm. Binswanger mengembangkan suatu analisis eksistensial yang bertitik tolak dari psikoanalisisnya Freud. Namun pendirian Binswanger bertolak belakang dengan pendirian Freud tentang kawasan bawah sadar manusia yang terungkap dalam mimpi, nafsu dan dorongan seksual. Menurut Binswanger, analisis Freud sangat berat sebelah karena dia mengabaikan aspek-aspek budaya dari eksistensi manusia seperti agama, seni, etika dan mitos. Freud menurut Binswanger, memahami kebudayaan secara negatif, yakni lebih sebagai penjinakan dorongandorongan alamiah daripada sebagai ungkapan potensi manusia untuk memberi arah pada hidupnya. Penelitian psikologis harus diarahkan pada kemampuan manusia untuk mengatasi dirinya sendiri dalam penggunaan kebebasannya yang menghasilkan keputusan-keputusan dasar.

16 23 Freud dengan psikoanalisisnya berpendapat bahwa manusia pada dasarnya digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instinktif. Tingkah laku individu ditentukan dan dikontrol oleh kekuatan psikhis yang sejak semula memang sudah ada pada diri individu itu. Individu dalam hal ini tidak memegang kendali atas nasibnya sendiri, tetapi tingkah lakunya semata-mata diarahkan untuk memuaskan kebutuhan dan instink biologisnya. Pandangan Freud tersebut ditentang oleh pandangan humanistik tentang manusia. Pandangan humanistik menolak pandangan Freud yang mengatakan bahwa manusia pada dasarnya tidak rasional, tidak tersosialisasikan dan tidak memiliki kontrol terhadap nasib dirinya sendiri. Sebaliknya, pandangan humanistik yang salah satu tokohnya adalah Rogers mengatakan bahwa manusia itu rasional, tersosialisasikan dan untuk berbagai hal dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, dan mengontrol diri sendiri. Pandangan behavioristik pada dasarnya menganggap bahwa manusia sepenuhnya adalah makhluk reaktif yang tingkah lakunya dikontrol atau dikendalikan oleh faktor yang datang dari luar. Penentu tunggal dari tingkah laku manusia adalah lingkungan. Dengan demikian, kepribadian individu dapat dikembalikan kepada hubungan antara

17 24 individu dan lingkungannya. Hubungan itu diatur oleh hukum-hukum belajar seperti teori pembiasaan (conditioning) dan peniruan. 24 Dari ketiga pandangan yang disebut terakhir, dapat disimpulkan bahwa Freud dengan psikoanalisisnya lebih menekankan faktor internal manusia, sementara pandangan behaviorisme lebih menekankan faktor eksternal. Sedangkan pandangan psikologi humanistik lebih menekankan kemampuaan manusia untuk mengarahkan dirinya, baik karena pengaruh faktor internal maupun eksternal. 25 Hal ini menunjukkan bahwa manusia otomatis melakukan suatu tindakan berdasarkan desakan faktor internal, karena desakan faktor internal bisa saja ditangguhkan pelaksanaannya. Buktinya orang berpuasa, meskipun dorongan rasa laparnya kuat, tetapi manusia bisa mengarahkan dirinya dalam arti bisa menangguhkan desakan atau dorongan itu, yakni pada saatnya berbuka di sore hari. Begitu juga, manusia tidak serta merta atau otomatis melakukan tidakan karena mendapat rangsangan dari luar (eksternal). Dia dapat mengabaikannnya, bahkan dia dapat memutuskan sesuatu yang berbeda dengan desakan faktor eksternal. 3. Manusia Menurut Pemikiran Pola Religisus Pola pemikiran ini bertolak dari pandangan manusia sebagai homo non- religiosus. Menurut Eliade, homo religiosus adalah tipe manusia 24 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V. Jakarta: Universitas Terbuka Depdikbud. 1984/1985. Hal Opcit Hal 10

18 25 yang hidup dalam suatu alam yang sakral, penuh dengan nilai-nilai religius dan dapat menikmati sakralitas yang ada dan tampak pada alam semesta, alam materi, alam tumbuh-tumbuhan, dan manusia. Pengalaman dan penghayatan akan Yang Suci ini selanjutnya mempengaruhi, membentuk, dan ikut menentukan corak serta cara hidupnya. Eliade mempertentangkan homo religiosus dengan alam homo non-religiosus, yaitu manusia yang tidak beragama, manusia modern yang hidup di alam yang sudah didesakralisasikan, bulat-bulat alamiah, apa adanya, yang dirasa atau yang dialami tanpa sakralitas. Bagi manusia yang nonreligiosus, kehidupan ini tidak sakral lagi, melainkan profane saja. 26 Memahami manusia bukan dari kacamata seorang antropolog, biolog atau psikolog, karena hal itu lebih merupakan interpretasi perorangan. Titik tolak pembahasan tentang manusia sebaiknya dari kondisi manusia yang sewajarnya dan keaslian hidupnya. Jadi, manusia yang ditempatkan dalam konteks kenyataan yang riil. Apakah yang dimaksud manusia wajar? Menurut pelopor eksistensialisme Soren Kierkegaard manusia wajar adalah manusia konkret, seperti yang kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari. Manusia demikian, harus disaksikan dan dihayati: semakin mendalam penghayatan kita perihal manusia, maka akan semakin bermaknalah kehidupannya Sastrapratedja, M. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Hal Poespowardojo, Soerjanto. Sekitar Manusia Bunga Rampai tentang Filsafat Manusia Jakarta: PT Gramedia Hal 3

19 26 4. Manusia Menurut Pemikiran Pola Sosial- Budaya Manusia menurut pola pemikiran dimensi sosial dan kebudayaannya, dalam hubungannya dengan kemampuannya untuk membentuk sejarah. Menurut pola ini, kodrat manusia tidak hanya mengenal satu bentuk yang uniform melainkan berbagai bentuk. Erich Rothacker, memahami kebudayaan setiap bangsa melalui suatu proses yang dinamakan reduksi pada jiwa-jiwa nasional dan melalui mitos-mitos. reduksi pada jiwa-jiwa nasional adalah proses mempelajari suatu kebudayaan tertentu dengan mengembalikannya pada sikap-sikap dasar serta watak etnis yang melahirkan pandangan bangsa yang bersangkutan tentang dunia, atau weltanschauung. Pengalaman purba itu dapat direduksi lagi. Dengan demikian, meskipun orang menciptakan dan mengembangkan lingkup kebudayaan nasionalnya, kemungkinan-kemungkinan pelaksanaan dan pengembangannya sudah ditentukan, karena semuanya itu sudah terkandung dalam warisan ras. 28 Tokoh lain yang dapat dimasukkan dalam pola ini adalah Ernst Cassirer seorang filsuf kebudayaan abad 20. Mengatakan, manusia sebagai animal symbolicum, makhluk yang pandai menggunakan symbol. Menurut Cassirer, definisi manusia dari Aristoteles, yakni zoon politicon, manusia adalah makhluk sosial memang memberi pengertian umum tetapi bukan ciri khasnya. Begitu pula definisi manusia sebagai animal rationale dianggap tidak memadai, karena rasio tidak memadai untuk 28 Drijarkara, N. Filsafat Manusia. Jogjakarta: Jajasan Kanisius Hal 12

20 27 memahami bentuk-bentuk kehidupan budaya manusia dalam seluruh kekayaan dan bermacam-macamnya. Cassirer menawarkan definisi manusia sebagai animal symbolicum yakni makhluk yang pandai membuat, memahami dan menggunakan symbol. 29 Selain itu menurut Cassirer, bahwa ciri utama atau ciri khas manusia bukanlah kodrat fisik atau kodrat metafisiknya, melainkan karyanya. Karyanyalah, sistem-sistem kegiatan manusiawi yang menentukan dan membatasi dunia Wujud Sifat Hakekat Manusia Wujud Sifat Hakekat Manusia meliputi : Kemampuan Menyadari Diri Manusia berbeda dengan makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Manusia bisa mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia mengembangkan aspek sosialnya. Sedangkan pengambilan jarak terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek individualnya. 29 Cassirer, Ernst. Manusia dan Kebudayaan: Sebuah Esei tentang Manusia. Jakarta: PT Gramedia Hal Ibid Hal Umar Tirtarahardja da La Sulo. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Direktorat Jenderal Tinggi Depdikbud Hal 4-11

21 28 2. Kemampuan Bereksistensi Dengan kemampuan mengambil jarak dengan obyeknya,menunjukan manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya terkait dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsur kebebasan. 3. Kata Hati Kemampuan membuat keputusan baik dan buruk sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia sebagai manusia.

22 29 4. Tanggung Jawab Kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri adalah menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Tanggung jawab kepada masyarakat adalah menanggung tuntutan norma-norma social, yang berarti siap menanggung sangsi social apabila tanggung jawab social tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan adalah menanggung tuntutan norma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk dsb. 5. Rasa Kebebasan Perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya. 6. Kewajiban Dan Hak Dua gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk social. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena

23 30 yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Dalam kenyataan, hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk social. 7. Kamampuan Menghayati Kebahagian Kebahagiaan manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara factual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu: usaha, norma-norma dan takdir Dimensi Manusia Jose Ortega Y. Gasset mengatakan manusia adalah makhluk yang berdimensi banyak yaitu Dimensi Keindividual, Dimensi Kesosialan, Dimensi Kesusilaan, Dimensi Keberagamaan, dan Dimensi Kesejaraan Sastrapratedja, M. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Hal 101

24 31 1. Dimensi Keindividual Bahwa setiap individu memiliki keunikan. Setiap anak manusia sebagai individu ketika dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi diri sendiri yang berbeda dari yang lain. Tidak ada diri individu yang identik dengan orang lain di dunia ini. Bahkan dua anak yang kembar sejak lahir tidak bisa dikatakan identik. Karena adanya individualitas ini maka setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, dan daya tahan yang berbeda. 2. Dimensi Kesosialan Setiap manusia dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk hidup bersama dengan orang lain. Manusia dilahirkan memiliki potensi sebagai makhluk social. Menurut Immanuel Kant, manusia hanya menjadi manusia jika berada di antara manusia. Hidup bersama dan di antara manusia lain, akan memungkinkan seseorang dapat mengembangkan kemanusiaannya. Sebagai makhluk social, manusia saling berinteraksi. Hanya dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaannya. 3. Dimensi Kesusilaan Manusia ketika dilahirkan bukan hanya dikaruniai potensi individualitas dan sosialitas, melainkan juga potensi moralitas atau kesusilaan. Dimensi kesusialaan atau moralitas maksudnya adalah bahwa

25 32 dalam diri manusia ada kemampuan untuk berbuat kebaikan dalam arti susila atau moral, seperti bersikap jujur, dan bersikap/berlaku adil. Manusia susila adalah manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati, dan melaksanakan nilai-nilai tersebut. Agar anak dapat berkembang dimensi moralitasnya, diperlukan upaya pengembangan dengan banyak diberi kesempatan untuk melakukan kebaikan, seperti melakukan bakti social dsb Dimensi Keberagamaan Pada dasarnya manusia adalah makhluk religius. Sebagai makhluk religius, manusia sadar dan meyakini akan adanya kekuatan supranatural di luar dirinya. Sesuatu yang disebut supranatural itu dalam sejarah manusi dengan berbagai nama sebutan, satu di antaranya adalah sebutan Tuhan. Sebagai orang yang beragama, manusia meyakini bahwa Tuhan telah mewahyukan kepada manusia pilihan yang dengan wahyu Tuhan tersebut, manusia dibimbing ke arah yang lebih baik, lebih sempurna dan lebih bertaqwa. 5. Dimensi Kesejarahan Dunia manusia, menurut Ortega Y. Gasset, bukan sekedar suatu dunia vital seperti pada hewan-hewan. Manusia tidak identik dengan sebuah organisme. Kehidupannya lebih dari sekedar peristiwa biologis 33 Opcit. Pengantar Pendidikan. Hal 20

26 33 semata. Berbeda dengan kehidupan hewan, manusia menghayati hidup ini sebagai hidupku dan hidupmu sebagai tugas bagi sang aku dalam masyarakat tertentu pada kurun sejarah tertentu. Keunikan hidup manusia ini tercermin dalam keunikan setiap biografi dan sejarah. 34 Dimensi kesejarahan ini bertolak dari pandangan bahwa manusia adalah makhluk historis, makhluk yang mampu menghayati hidup di masa lampau, masa kini, dan mampu membuat rencana-rencana kegiatan-kegiatan di masa yang akan datang. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk yang menyejarah. Semua unsur hahekat manusia yang monopluralis atau dimensidimensi kemanusiaan tersebut memerlukan pengembangan agar dapat lebih meyempurnakan manusia itu sendiri. Pengembangan semua potensi atau dimensi kemanusiaan itu dilakukan melalui dan dengan pendidikan. Atas dasar inilah maka antara pedidikan dan hakekat manusia ada kaitannya. Dengan dan melalui pendidikan, semua potensi atau dimensi kemanusiaan dapat berkembang secara optimal. Arah pengembangan yang baik dan benar yakni ke arah pengembangan yang utuh dan komprehensif. 34 Opcit. Manusia Multi Dimensional: Sebuah Renungan Filsafat. Hal 106

27 Film Pengertian Film Film istilah kata dari sinematografi. Sinematografi adalah kata serapan dari bahasa inggris cinematography yang berasal dari bahasa latin kinema gambar. Teknik menangkap gambar dan menggabung-gabungkan gambar tersebut sehingga menjadi rangkaian gambar yang dapat menyampaikan ide (dapat mengembangkan cerita). 35 Film merupakan teks-struktur linguistic yang kompleks dan kode-kode visual yang disusun untuk memproduksi makna-makna khusus. Film bukan hanya sekedar koleksi atas gambaran atau stereotype. Film-film membentuk makna melalui susunan tanda-tanda visual dan verbal. Struktur tekstual inilah yang harus kita periksa karena disinilah makna dihasilkan. Singkatnya, filmfilm melahirkan ideologi. Ideology bida didefinisikan sebagai sistem representasi/penggambaran sebuah cara pandang terhadap dnia yang terlihat menjadi universal atau natural tetapi sebenarnya merupakan struktur kekuatan tertentu yang membentuk masyarakat kita. 36 Film umumnya dibangun dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik dalam upaya mencapai 35 James Monaco, Cara Menghayati Sebuah Film. Jakarta : Yayasan Citra, Hal Sarah Gamble. Pengantar komunikasi. PT Remaja Rosdakarya : Bandung Hal 220.

28 35 efek yang diharapkan. Yang paling penting dalam film adalah gambar dan suara Film Sebagai Media Komunikasi Film merupakan salah satu bentuk media massa elektronik yang sangat besar pengaruhnya kepada komunikan, dampak yang ditimbulkannya bisa positif dan negative. Jadi fungsi media massa dan tugas media massa harus benar-benar diperhatikan oleh komunikator, apalagi komunikator yang menggunakan media massa elektronik. Film misalnya dalam penyampaian pesan-pesan komunikasi sangat berpengaruh terhadap komunikan. 38 Film adalah media komunikasi massa, dimana film mengirimkan pesan atau isyarat yang disebut simbol, komunikasi simbol dapat berupa gambar yang ada dalam film. Gambar dalam film menunjukkan kekuatan gambar dalam menyampaikan maksud dan pengertian kepada orang lain. Gambar dapat menyampaikan lebih banyak pengertian dalam situasi-situasi tertentu daripada apa yang dapat disampaikan oleh banyak kata. Film sebagai media komunikasi adalah sarana pengungkapan daya cipta dari beberapa cabang seni sekaligus dan produksinya bisa diterima dan dinikmati layaknya karya seni film sebagai sarana baru yang digunakan untuk 37 Alex Sobur, M.si. Semiotika Komunikasi. PT Remaja Rosdakarya : Bandung, Hal Opcit Hal 35

29 36 menghibur, memberikan informasi serta menyajikan cerita peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat umum Karakteristik Film Faktor-faktor yang merupakan karakteristik dari film menurut James Monaco adalah sebagai berikut: Layar Yang Luas Atau Lebar Film dan televis sama-sama menggunakan layar, namun kelebihan media film adalah layarnya yang berukuran besar. Layar film yang besar telah memberi keleluasaan penontonnya untuk melihat adegan-adegan yang disajikan didalam film. Seiring dengan kemajuan teknologi, layar film saat ini menjadi tiga dimensi sehingga khalayak seakan-akan melihat kejadian nyata dan tidak berjarak. 2. Pengambilan Gambar Sebagai konsekuensi layar lebar, maka pengambilan gambar atau shoot dalam film dengan menggunakan extream longshoot atau panorama shoot, pengambilan gambar secara menyeluruh. Shoot tersebut dipakai untuk memberikan kesan artistik dan suasan yang sesungguhnya sehingga film menjadi menarik. 39 Moekijat, Teori Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Jakarta : Erlangga. Hal Opcit, Hal 145

30 37 3. Identitas Psikologis Pengaruh film terhadap jiwa khalayak atau para penonton tidak hanya saat menonton, tetapi sampai waktu yang cukup lama, misalnya peniruan semangat pantang menyerah yang ditunjukkan oleh para pejuang, hal ini demikian dapat membuat anak-anak yang khususnya remaja dapat mengambil nilai-nilai semangat pantang menyerah dalam menjalani realita kehidupan. Selain itu, jiwa keberanian di dalam perbedaan dapat juga menjadi simbol bagi anak-anak dan remaja saat ini yang sudah tidak perduli lagi dengan sesamanya, dan dapat diinginkan kembali agar para generasi muda dapat menjaga persatuan dan kesatuan yang telah diperjuangkan oleh para pahlwaan kita. 4. Konsentrasi Penuh Saat menonton film di bioskop, kita akan terbebas dari gangguan apapun karena semua mata khalayak atau penonton hanya tertuju pada layar. Dalam keadaan demikian maka emosi khalayak akan terbawa suasana sehingga khalayak dapat berkomunikasi penuh untuk menyaksikan setiap adegan yang tampil dilayar film tersebut.

31 Fungsi Film Film adalah salah satu alat komunikasi yang sangat mudah disampaikan, mudah diterima, dan dicerna oleh manusia. Dalm film mengandung tiga unsur yaitu: penerangan, pendidikan, dan hiburan Sebagai Alat Penerangan Sebagai film segala informasi dapat disampaikan secara audio visual sehingga dapat mudah dimengerti. 2. Sebagai Alat Pendidikan Dapat memberikan contoh suatu peragaan yang bersifat mendidik, tauladan di dalam masyarakat dan memperlihatkan perbuatan-perbuatan yang baik juga memberikan pengetahuan. 3. Sebagai Alat Hiburan Dalam mensejahterahkan rohani manusia karena disini kepuasan batin untuk melihat secara visual, untuk menemani saat santai, serta pembinaan kebudayaan. Tujuan khalayak menonton film adalah ingin memperoleh hiburan. Akan teteapi dalam film dapat terkandung fungsi informative maupun educative, bahkan persuasive. Fungsi edukasi dapat tercapai apabila film 41 Ibid. James Monaco. Cara Menghayati Sebuah Film

32 39 nasional memproduksi film-film sejarah objektif atau film dokumenter dan film yang diangkat dari kehidupan sehari-hari secara berimbang Jenis-Jenis Film Ada tiga jenis film yaitu jenis film documenter, film pendek, film panjang Film Dokumenter Film dokumenter (documentary film) didefinisikan oleh Robert Flahery sebagai karya ciptaan mengenai kenyataan (creatice treatmenet of actuality). Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang dibuat sekitar tahun 1890-an. Film documenter menyajikan realita melalui berbagai cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Berbeda dengan film berita yang merupakan rekaman film kenyataan, film dokumenter ini merupakan hasil interpretasi. Berbeda dengan film yang merupakan hasil interpretasi pribadi (pembuatnya) mengenai kenyataan tersebut. Namun harus diakui, film documenter tak lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. 42 Heru Effendy, Mari Membuat Film. Yogyakarta : Panduan, Hal 11-13

33 40 2. Film Cerita Pendek (Short Film) Film cerita pendek hanya mempunyai durasi di bawah 60 menit seperti di negara Jerman, Australia, Canada, dan Amerika Serikat, film cerita pendek ini dijadikan labolatorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang atau kelompok orang kemudian memproduksi film cerita panjang. 3. Film Cerita Panjang (Feature-Long Films) Film cerita panjang mempunyai durasi lebih dari 60 menit lazimnya menit. Film-film yang dipurar di bioskop pada umumnya termasuk pada kelompok film panjang Genre-Genre Film Macam-macam genre film Drama Jenis ini mengangkat tema human interest sehingga sasarannya adalah perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. 43 Suhandang Kustadi, Pengantar Jurnalistik : Yayasan Nusantara Cendikia. Jakarta Hal 188

34 41 2. Drama Action Genre ini menyuguhkan suasana drama dan adegan pertarungan fisik. 3. Action Film yang berisi pertarungan secara fisik anatara tokoh baik dan tokoh jahat. 4. Horror Film yang menawarkan suasana yang menakutkan dan menyeramkan yang membuat bulu kuduk penontonnya merinding. Suasana horror bisa dibuat dengan special effect atau tokoh-tokoh hantu. 5. Komedia Jenis ini dimainkan oleh pelawak atau comedian, tetapi juga bisa dimainkan oleh pemain biasa dan membuat penontonnya tersenyum dan tertawa. 6. Komedia Horror Jenis ini menampilkan film horror yang dipelesetkan menjadi komedi. Adegan yang menakutkan menjadi lunak karna di kemas secara komedi.

35 42 7. Parodi Film ini merupakan duplikasi film-film tertentu yang di pelesetkan. 8. Musikal Film ini merupakan jenis film yang diisi dengan lagu-lagu maupun irama melodis sehingga penyutradaraan, penyutingan, action, drama, termasuk dialog, dikonsep sesuai lagu-lagu dan irama melodius. 2.4 Semiotika Secara estimologis, istilah semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi social yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara terminologis semiotika dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. 44 Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengan sebuah istilah umum yang meliputi pendekatan-pendekatan khusus terhdap pengkajian kebudayaan sebagai bahasa. 44 Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, Mitra Wacana, Hal 5

36 43 Semiotika meliputi tanda-tanda visual dan verbal. Setiap tanda atau signal yang dapat diterima oleh seluruh panca indera kita, maka tanda-tanda tersebut pada akhirnya membentuk sistem kode yang secara sistematis yang menghasilkan sesuatu informasi atau makna pesan secara tertulis disetiap kegiatan dan perilaku manusia. 45 Semiotika sebagai sebuah cabang keilmuan memperlihatkan pengaruh yang semakin kuat dan luas, signifikan semiotika tidak sengaja sebagai metode kajian (decoding), akan tetapi juga sebagai metode penciptaan (encoding). Sebagai metode kajian, semiotika memperlihatkan kekuatannya di dalam berbagai bidang kultural studi. Sebagai metode penciptaan semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang desain produksi, arsitektur, desain komunikasi visual, seni tari, seni rupa dan juga seni film. Semiotika juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu atau metode analisis yang mempelajari hakikat keberadaan suatu tanda, bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things), sekaligus merupakan studi media massa yang melihat sesuatu yang lain di balik suatu naskah atau narasi, melalui tandatanda. 46 Oleh karena itu, ilmu ini merupakan suatu alat penting dalam menganalisa isi dari pesan-pesan media, baik dalam media verbal, non-verbal maupun keduanya. 45 Alex Sobur. Semiotika Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung, Hal Ibid

37 Semiotika Charles Sanders Peirce Menurut Peirce, semiotika berangkat dari tiga elemen utama, yang disebut teori segitiga makna (triangle of meaning), 47 diantaranya: 1. Tanda (Sign) Sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk hal lain diluar tanda itu sendiri. 2. Acuan Tanda (objek) Konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda. 3. Penggunaan Tanda (Interpretant) Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atu makna yang ada dalam benak sesorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. 47 Rahmat Kriyantono. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media Public Relation, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Kencana, Jakarta 2008 hal 265

38 45 Hubungan Tanda, Objek dan Interpretan (Triangle of Meaning) SIGN INTERPRETANT OBJECT Yang dikupas dari segitiga adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. 48 Analisis ini bersifat subjektif. Periset seolah-olah ia memahami pemikiran subjek yang dirisetkan. Tentu saja periset harus menyertakan konteks social budaya, teoriteori, konsep-konsep, dan data-data untuk menjelaskan analisis dan interpretasinya. 49 Menurut Peirce, tanda is something which stands to somebody for something is some respect or capacity. Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut ground. Konsekuansinya, tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam hubungan triandik, yakni ground di baginya menjadi tiga: Ibid, hal Ibid, hal Alex Subor. Semiotika Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung hal 41

39 46 1. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata kasar, keras, lemah, lembut, merdu. 2. Sinsign adalah eksistensi actual benda tau peristiwa yang pada tanda, misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. 3. Legisign adalah norma yang dikandung oleh tanda, misalnya ramburambu lalu lintas yang menandakan hal-hal yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia. Berdasarkan objeknya, Peirce membagi tanda menjadi icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol) : 1. Icon adalah tanda yang mengandung kemiripan rupa sehingga tanda mudah dikenali oleh para pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan obyeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas. 2. Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomena atau eksistensi di antara representmen dan obyeknya. Di dalam indeks hubungan antara tanda dengan obyeknya bersifat kongkrit, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal.

40 47 3. Symbol adalah jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakan sosial atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Berdasarkan Interpretant, tanda (sign atau representame) dibagi atas rheme, dicent sign dan argument : Rhema adalah tanda yang memungkinkan orang menafsirkan berdasarkan pilihan. 2. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuatu kenyataan. Misalnya, jika pasa suatu jalan sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu-rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan 3. Argument adalah tanda langsung memberikan alasan tentang sesuatu. Berdasarkan berbagai klafikasi tersebut, Peirce membagi tanda menjadi sepuluh jenis: Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda. Kata keras menunjukkan kualitas tanda. Misalnya, suara keras yang menandakan orang itu marah atau ada sesuatu yang diinginkan 51 Ibid Hal Ibid Hal 42

41 48 2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan. Contoh Foto, Diagram, Peta dan Tanda Baca 3. Rhematic indexial Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, yang secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan oleh sesuatu: pantai yang sering merengut nyawa orang yang sedang mandi di situ akan dipasang bendera bergambar tengkorak yang bermakna bahaya dilarang mandi disini. 4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu. Misalnya : Tanda Larangan yang terdapat dipintu masuk sebuah kantor. 5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum. Misalnya, rambu lalu lintas. 6. Rhematic Indexcial Legisign, yakni tanda yang mengacu kapada objek tertentu, misalnya kata ganti penunjuk. Seseorang bertanya, mana buku itu? Dan jawab, itu 7. Dicent Indexcial Lesisign, yakni tanda yang bermakna informasi dan menunjuk subjek informasi. Tanda berupa lampu merah yang berputar-

42 49 putar di atas mobil ambulans menandakan ada orang sakit atau orang yang celaka yang tengah dilarikan kerumah sakit. 8. Rhematic Symbol, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum. Misalnya, kita melihat gambar harimau. Lantas kita katakan, harimau. Mengapa kita katakana demikian, karena ada asosiasi antara gambar dengan benda atau hewan yang kita lihat yang namanya harimau. 9. Dicent Symbol atau Proposition adalah tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak. Kalau seseorang berkata pergi!! Penafsiran kita langsung berasosiasi pada otak, dan sertamerta kita pergi. Padahal proposisi yang kita dengan hanya kata. Kata-kata yang kita gunakan yang membentuk kalimat, semuanya adalah proposisi yang mengandung makna yang berasosiasi di dalam otak. Otak secara otomatis dan cepat menafirkan proposisi itu, dan seseorang segera menetapkan pilihan atau sikap. 10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferens seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu. Seseorang berkata Gelap. Orang itu berkata gelap sebab ia menilai ruang itu cocok dikatakan gelap. Dengan demikian argumen merupakan tanda yang berisi penilaian atau

BAB III METODELOGI PENELITIAN

BAB III METODELOGI PENELITIAN BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Berdasarkan tujuan penelitian yang penulis tetapkan yaitu untuk mengetahui bagaimana eksistensi manusia direpresentasikan melalui penggambaran dalam film Life

Lebih terperinci

URGENSI MEMAHAMI HAKEKAT MANUSIA Oleh: Achmad Dardiri (FIP UNY)

URGENSI MEMAHAMI HAKEKAT MANUSIA Oleh: Achmad Dardiri (FIP UNY) URGENSI MEMAHAMI HAKEKAT MANUSIA Oleh: Achmad Dardiri (FIP UNY) A. Pengertian Manusia Secara faktual, kegiatan pendidikan merupakan kegiatan antar manusia, oleh manusia dan untuk manusia. Itulah mengapa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengetahui bagaimana film Perempuan Punya Cerita mendeskripsikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengetahui bagaimana film Perempuan Punya Cerita mendeskripsikan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Type Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang penulis tetapkan yaitu untuk mengetahui bagaimana film Perempuan Punya Cerita mendeskripsikan budaya patriarki yang

Lebih terperinci

Urgensi Memahami Hakekat Manusia

Urgensi Memahami Hakekat Manusia Urgensi Memahami Hakekat Manusia Ilmu Pendidikan Urgensi mempelajari hakekat manusia 1 Apakah & Siapakah Manusia itu?. Manusia : Mahluk yang pandai bertanya, bahkan mempertanyakan dirinya, keberadaannya

Lebih terperinci

!$ 3.2 Sifat dan Jenis Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika dari Char

!$ 3.2 Sifat dan Jenis Penelitian Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis semiotika dari Char BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 37 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam hal ini penulis ingin mengetahui bagaimana nilai pendidikan pada film Batas. Dalam paradigma ini saya menggunakan deskriptif dengan pendekatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diutarakan oleh Dedy N Hidayat, sebagai berikut:

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diutarakan oleh Dedy N Hidayat, sebagai berikut: BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Paradigma konstruktifitis dapat dijelaskan melalui empat dimensi seperti diutarakan oleh Dedy N Hidayat, sebagai berikut: 1. Ontologis: relativism, realitas

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menjelaskan atau menganalisis

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menjelaskan atau menganalisis 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Dalam penelitian ini peneliti ingin menggunakan sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menjelaskan atau menganalisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui bagaimana nilai Humanisme dan Budaya pada film Okuribito. Dalam penelitian ini menggunakan deskriptif dengan pendekatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 44 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 TipePenelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. 24

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian ini menggunakan pendekatan kritis melalui metode kualitatif yang menggambarkan dan menginterpretasikan tentang suatu situasi, peristiwa,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1 Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif dan metode analisis semiotika dengan paradigma konstruktivis. Yang merupakan suatu bentuk penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2

BAB II KAJIAN TEORI. esensialisme, pusat perhatiannya adalah situasi manusia. 1. Beberapa ciri dalam eksistensialisme, diantaranya: 2 BAB II KAJIAN TEORI A. Teori Eksistensi Soren Kierkegaard Eksistensialisme secara etimologi yakni berasal dari kata eksistensi, dari bahasa latin existere yang berarti muncul, ada, timbul, memilih keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Film sebagai salah satu atribut media massa dan menjadi sarana komunikasi yang paling efektif, karena film dalam menyampaikan pesannya yang begitu kuat sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Persoalan budaya selalu menarik untuk diulas. Selain terkait tindakan, budaya adalah hasil karya manusia yang berkaitan erat dengan nilai. Semakin banyak

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Paradigma kualitatif ini merupakan sebuah penelitian yang memiliki tujuan utama yaitu untuk mengkaji makna-makna dari sebuah perilaku, simbol maupun

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. cerita yang penuh arti dan bermanfaat bagi audience yang melihatnya. Begitu juga

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. cerita yang penuh arti dan bermanfaat bagi audience yang melihatnya. Begitu juga BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paragdima Sebuah tontonan akan menjadi daya tarik tersendiri jika memiliki jalan cerita yang penuh arti dan bermanfaat bagi audience yang melihatnya. Begitu juga dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. massa sangat beragam dan memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Salah satu. rubrik yang ada di dalam media Jawa Pos adalah Clekit.

BAB I PENDAHULUAN. massa sangat beragam dan memiliki kekhasan yang berbeda-beda. Salah satu. rubrik yang ada di dalam media Jawa Pos adalah Clekit. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Media massa merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam masyarakat. Media massa merupakan bagian yang penting dalam memberikan informasi dan pengetahuan di dalam

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. terstruktur/rekonstruksi pada iklan Wardah Kosmetik versi Exclusive Series,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. terstruktur/rekonstruksi pada iklan Wardah Kosmetik versi Exclusive Series, 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1. Paradigma Penelitian Peneliti memakai paradigma konstruktivis yakni menjabarkan secara terstruktur/rekonstruksi pada iklan Wardah Kosmetik versi Exclusive Series,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. diinginkan. Melalui paradigma seorang peneliti akan memiliki cara pandang yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Memilih paradigma adalah sesuatu yang wajib dilakukan oleh peneliti agar penelitiannya dapat menempuh alur berpikir yang dapat mencapai tujuan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian yang dipakai oleh peneliti adalah penelitian yang bersifat Kualitatif. Metode ini adalah meneliti sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Denzin & Lincoln (1998:105) mendefinisikan paradigma sebagai sistem keyakinan dasar atau cara memandang dunia yang membimbing peneliti, tidak hanya dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dikarenakan peneliti berusaha menguraikan makna teks dan gambar dalam

BAB III METODE PENELITIAN. dikarenakan peneliti berusaha menguraikan makna teks dan gambar dalam BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian. Pendekatan penelitian, peneliti menggunakan paradigma kritis. Hal ini dikarenakan peneliti berusaha menguraikan makna teks dan gambar dalam

Lebih terperinci

Oleh: Achmad Dardiri. (Dosen FIP IKIP YOGYAKARTA) A. Pendahuluan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendidikan adalah fenomena universal.

Oleh: Achmad Dardiri. (Dosen FIP IKIP YOGYAKARTA) A. Pendahuluan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pendidikan adalah fenomena universal. PENYULUHAN DENGAN TEMA: MENINGKATKAN PROSES BELAJAR-MENGAJAR: ANALISIS FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN PSIKOLOGIS SUB TEMA: MANUSIA DAN PENDIDIKAN: SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS Oleh: Achmad Dardiri (Dosen FIP IKIP

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mendeskripsikan apa-apa yang berlaku saat ini. Didalamnya terdapat upaya

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mendeskripsikan apa-apa yang berlaku saat ini. Didalamnya terdapat upaya 40 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang berlaku saat ini. Didalamnya terdapat upaya mendeskripsikan,

Lebih terperinci

ALFIAN NUR ANALISIS SEMIOTIKA FOTO HEADLINE PADA HARIAN PAGI RADAR BANDUNG

ALFIAN NUR ANALISIS SEMIOTIKA FOTO HEADLINE PADA HARIAN PAGI RADAR BANDUNG ALFIAN NUR 41807056 ANALISIS SEMIOTIKA FOTO HEADLINE PADA HARIAN PAGI RADAR BANDUNG LATAR BELAKANG Foto headline harus menarik berbeda dari yang lain, actual, informative dan lain sebagainya. Sebuah foto

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang ditempuh melalui

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang ditempuh melalui BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang ditempuh melalui serangkaian proses yang panjang. Metode penelitian adalah prosedur yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. 33 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi, BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma adalah pedoman yang menjadi dasar bagi para saintis dan peneliti di dalam mencari fakta fakta melalui kegiatan penelitian yang dilakukannya. Jadi,

Lebih terperinci

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL

MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma berpikir dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme yang memandang bahwa kehidupan sosial bukanlah sebuah realita yang natural akan tetapi hasil

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Sifat penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian. Adapun jenis penelitiannya peneliti menggunakan jenis analisis semiotik dengan menggunakan model Charles Sander Pierce. Alasan peneliti menngunakan

Lebih terperinci

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METEDOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menentukan kebenaran atau lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. membahas konsep teoritik berbagai kelebihan dan kelemahannya. 19 Dan jenis

BAB III METODE PENELITIAN. membahas konsep teoritik berbagai kelebihan dan kelemahannya. 19 Dan jenis 37 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pengkajian pendekatan analisis semiotik. Dengan jenis penelitian kualiatif, yaitu metodologi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. sedalam dalamnya melalui pengumpulan data sedalam dalamnya.riset ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. sedalam dalamnya melalui pengumpulan data sedalam dalamnya.riset ini BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan kualtatif.penelitian deskriptif adalah jenis penelitian yang memberikan gambaran atau uraian suatu

Lebih terperinci

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA

SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA SEGI TIGA KESEIMBANGAN: TUHAN, MANUSIA DAN ALAM RAYA MANUSIA MAKHLUK BUDAYA: HAKEKAT MANUSIA Manusia Makhluk ciptaan Tuhan, terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai kesatuan utuh. Manusia merupakan makhluk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini memiliki signifikasi berkaitan dengan kajian teks media atau berita, sehingga kecenderungannya lebih bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada

BAB I PENDAHULUAN. pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Nurgiyantoro (2012:70) dalam penciptaan sebuah karya sastra, pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai hidup kepada pembaca, karena pada hakekatnya pengarang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendukung sehingga akan terlihat dengan jelas makna dari iklan tersebut.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. pendukung sehingga akan terlihat dengan jelas makna dari iklan tersebut. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Peneliti menggunakan paradigma penelitian konstruktivis. Iklan Provider 3 (tri) versi jadi dewasa itu menyenangkan tapi susah dijalanin akan dibedah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak

BAB I PENDAHULUAN. Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film dalam perspektif praktik sosial maupun komunikasi massa, tidak dimaknai sebagai ekspresi seni pembuatnya, tetapi melibatkan interaksi yang kompleks

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 8 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.1. Tiga Pendekatan Semiotika Berkenaan dengan studi semiotik pada

Lebih terperinci

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP

Team project 2017 Dony Pratidana S. Hum Bima Agus Setyawan S. IIP Hak cipta dan penggunaan kembali: Lisensi ini mengizinkan setiap orang untuk menggubah, memperbaiki, dan membuat ciptaan turunan bukan untuk kepentingan komersial, selama anda mencantumkan nama penulis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang

BAB III METODE PENELITIAN. tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian atau metodologi riset adalah seperangkat pengetahuan tentang langkah-langkah yang sistematis dan logis tentang pencarian data yang berkenaan dengan masalah tertentu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma BAB III METODE PENELITIAN 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan paradigma kontruktivist sebagai interpretatif menolak obyektifitas. Obyektifitas sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. terhadap api dan segala bentuk benda tajam. Seni dan budaya debus kini menjadi BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Debus, berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, merupakan suatu bentuk seni dan budaya yang menampilkan peragaan kekebalan tubuh seseorang terhadap api dan segala bentuk

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Kritis Penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma ini mempunyai pandangan tertentu bagaimana media dan pada akhirnya informasi yang

Lebih terperinci

MANUSIA, NILAI DAN MORAL

MANUSIA, NILAI DAN MORAL MANUSIA, NILAI DAN MORAL HAKIKAT NILAI-MORAL DALAM KEHIDUPAN MANUSIA Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan Ada beberapa bidang filsafat yang berhubungan dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan data atau pun informasi untuk. syair lagu Insya Allah (Maherzain Feat Fadly).

BAB III METODE PENELITIAN. dilakukan oleh seseorang untuk mendapatkan data atau pun informasi untuk. syair lagu Insya Allah (Maherzain Feat Fadly). BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang ditempuh melalui serangkaian proses yang panjang. Metode penelitian adalah prosedur yang dilakukan

Lebih terperinci

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme:

EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: EKSISTENSIALISME (1) Eksistensialisme: Filsafat eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap beberapa sifat dari filsafat tradisional dan masyarakat modern. Eksistensialisme suatu protes terhadap

Lebih terperinci

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen

Estetika Desain. Oleh: Wisnu Adisukma. Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen Estetika Desain Oleh: Wisnu Adisukma Seni ternyata tidak selalu identik dengan keindahan. Argumen inilah yang seringkali muncul ketika seseorang melihat sebuah karya seni. Mungkin karena tidak memahami

Lebih terperinci

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. & Knipe, 2006 ) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari

BAB III METEDOLOGI PENELITIAN. & Knipe, 2006 ) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari BAB III METEDOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Menurut Harmon ( dalam Moleong, 2004: 49 ), Paradigma adalah cara mendasar untuk persepsi berfikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu yang

Lebih terperinci

NIM : D2C S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip. Semiotika

NIM : D2C S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip. Semiotika Nama : M. Teguh Alfianto Tugas : Semiotika (resume) NIM : D2C 307031 S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip Semiotika Kajian komunikasi saat ini telah membedakan dua jenis semiotikan, yakni semiotika komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB I PENDAHULUAN. hal yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kebutuhan manusia yang sangat penting. Komunikasi dibutuhkan untuk memperoleh atau member informasi dari atau kepada orang lain. Kebutuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak.

BAB 1 PENDAHULUAN. yang dikomunikasikan yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang sangat membutuhkan informasi, untuk mendapatkan informasi itu maka dilakukan dengan cara berkomunikasi baik secara verbal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode merupakan alat pemecah masalah, mencapai suatu tujuan atau untuk mendapatkan sebuah penyelesaian. Dalam metode terkandung teknik yakni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium,

BAB I PENDAHULUAN. manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bahasa pada prinsipnya merupakan alat komunikasi. Melalui bahasa manusia dapat saling berinteraksi. Manusia sebagai animal symbolicium, merupakan makhuk yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi

Lebih terperinci

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi

Modul ke: Materi Penutup. Fakultas PSIKOLOGI. Cathrin, M.Phil. Program Studi Psikologi Modul ke: 12 Shely Fakultas PSIKOLOGI Materi Penutup Cathrin, M.Phil Program Studi Psikologi Pokok Bahasan Abstract Rangkuman Perkuliahan Filsafat Manusia Kompetensi Mahasiswa dapat memahami mengenai manusia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar

BAB III METODE PENELITIAN. kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu

Lebih terperinci

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI,

BAB IV. PENUTUP. Universitas Indonesia. Estetika sebagai..., Wahyu Akomadin, FIB UI, BAB IV. PENUTUP 4. 1. Kesimpulan Pada bab-bab terdahulu, kita ketahui bahwa dalam konteks pencerahan, di dalamnya berbicara tentang estetika dan logika, merupakan sesuatu yang saling berhubungan, estetika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang di tayangkan oleh stasiun tv contohnya seperti film. pada luka-luka yang dialami Yesus dalam proses penyaliban.

BAB I PENDAHULUAN. yang di tayangkan oleh stasiun tv contohnya seperti film. pada luka-luka yang dialami Yesus dalam proses penyaliban. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini minat masyarakat luas terhadap suatu hiburan begitu tinggi, di karenakan kesibukan setiap orang untuk menjalani aktivitas yang padat setiap harinya membuat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian kualitatif melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategori, dan deskripsi yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Media Kartu Bergambar 2.1.1 Pengertian Media Kartu Bergambar Kata media berasal dari bahasa latin yaitu medium yang secara harfiah berarti perantara. Dengan demikian media dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepustakaan yang Relevan Penulisanskripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judulskripsi ini. Adapun buku-buku yang digunakan dalam memahami dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Komunikasi visual memiliki peran penting dalam berbagai bidang, salah satunya adalah film. Film memiliki makna dan pesan di dalamnya khususnya dari sudut pandang visual.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang penulis tetapkan, yaitu untuk mengetahui bagaimana film 9 Summers 10 Autumns mendeskripsikan makna keluarga dan reproduksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Film merupakan media komunikasi massa yang kini banyak dipilih untuk menyampaikan berbagai pesan. Film mempunyai kekuatan mendalam untuk memberikan pengaruh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

RESPONS - DESEMBER 2009

RESPONS - DESEMBER 2009 Judul : Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme Penulis : Kasdin Sihotang Penerbit : Kanisius, Yogyakarta, 2009 Tebal : 166 halaman Harga : Rp 35.000 Tiada makhluk yang lebih paradoksal selain

Lebih terperinci

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI

FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Nama Mata Kuliah Modul ke: FILSAFAT UNTUK PSIKOLOGI Fakultas Fakultas Psikologi Masyhar, MA Program Studi Program Studi www.mercubuana.ac.id Posisi Filsafat dalam ilmu-ilmu 1) Filsafat dapat menyumbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, seni, lukisan, dan

BAB I PENDAHULUAN. bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi muka, seni, lukisan, dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, sengaja atau tidak sengaja dan tidak terbatas pada bentuk komunikasi

Lebih terperinci

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK

PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK 31 Jurnal Sains Psikologi, Jilid 6, Nomor 1, Maret 2017, hlm 31-36 PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN TERHADAP PSIKOLOGI PENDIDIKAN HUMANISTIK Fadhil Hikmawan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada fadhil_hikmawan@rocketmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi baik komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Komunikasi bukan hanya sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

ini. TEORI KONTEKSTUAL

ini. TEORI KONTEKSTUAL TEORI KOMUNIKASI DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI Komunikasi merupakan suatu proses, proses yang melibatkan source atau komunikator, message atau pesan dan receiver atau komunikan. Pesan ini mengalir melalui

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 32 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 1.1 Paradigma Paradigma yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma merupakan suatu kepercayaan atau prinsip dasar yang

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. gerakan antara dua atau lebih pembicaraan yang tidak dapat menggunakan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. gerakan antara dua atau lebih pembicaraan yang tidak dapat menggunakan BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep 2.1.1 Interpretasi Interpretasi atau penafsiran adalah proses komunikasi melalui lisan atau gerakan antara dua atau lebih pembicaraan yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 25 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe atau jenis penelitian ini adalah penelitian interpretif dengan pendekatan kualitatif. Paradigma merupakan sebuah konstruksi manusia yaitu gagasan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 51 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan tipe penelitian deskriptif dan metode Analisis Semiotik dengan paradigma konstruktivitis. Yang merupakan

Lebih terperinci

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI MODUL PERKULIAHAN ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI Manusia sebagai Pelaku Komunikasi Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh FIKOM Broadcasting Sofia Aunul Abstract Pemahaman komunikasi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film merupakan salah satu media massa yang telah dikenal oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Melalui media televisi, film telah menjadi salah satu media massa yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Film merupakan salah satu media yang berfungsi menghibur penonton atau pemirsanya. Namun fungsi film tidak hanya itu. Film juga merupakan salah satu media untuk berkomunikasi.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif, yaitu penelitian untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi melalui bahasanya yang padat dan bermakna dalam setiap pemilihan

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi melalui bahasanya yang padat dan bermakna dalam setiap pemilihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puisi sebagai salah satu jenis karya sastra memiliki nilai seni kesusastraan yang tinggi melalui bahasanya yang padat dan bermakna dalam setiap pemilihan katanya. Puisi

Lebih terperinci

menyukai tokoh animasi kartun Spongebob karena

menyukai tokoh animasi kartun Spongebob karena BAB IV TINJAUAN PERSEPSI VISUAL ANAK-ANAK DAN PESAN MORAL PADA FILM ANIMASI KARTUN SPONGEBOB SQUAREPANTS 1.1. Deskripsi Penemuan Pada Penelitian Deskriptif Berdasarkan pengamatan melalui metode analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dianalisis dengan kajian semiotik.semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam

BAB I PENDAHULUAN. dianalisis dengan kajian semiotik.semiotika adalah cabang ilmu yang semula berkembang dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhuk sosial tidak terlepas dari berbagai objek maupun peristiwaperistiwa yang dapat berupa tanda. Tidak terlepas dari kebudayaan, berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau sarana untuk mereproduksi karya-karya seni pertunjukan lainnya seperti teater. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menyajikan serangkaian metode dan perspektif yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda.

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. semiotika Modul ke: Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. Fakultas 12Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting

Lebih terperinci