HAK UNTUK MENENTUKAN NASIB SENDIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL (TINJAUAN TERHADAP PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI PAPUA BARAT TAHUN 1969)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HAK UNTUK MENENTUKAN NASIB SENDIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL (TINJAUAN TERHADAP PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI PAPUA BARAT TAHUN 1969)"

Transkripsi

1 1 HAK UNTUK MENENTUKAN NASIB SENDIRI DALAM HUKUM INTERNASIONAL (TINJAUAN TERHADAP PENENTUAN PENDAPAT RAKYAT DI PAPUA BARAT TAHUN 1969) BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Konsepsi hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights to self determination) di dalam Hukum Internasional merupakan salah satu kategori dari hak asasi manusia yang terus berkembang secara dinamis. Di dalam Hukum Internasional, hak ini merupakan salah satu prinsip yang kontroversial dikarenakan adanya perbedaan cara pandang terhadap hak menetukan nasib sendiri antara lain mengenai external self determination dan internal self determination, konsepkonsep dari bangsa, dan masalah apakah hak untuk memisahkan diri termasuk dalam apa yang dimaksud dengan hak menentukan nasib sendiri [1]. Di dalam Hukum Internasional terdapat pembatasan secara hukum (legal limit) bahwa hak menentukan nasib sendiri dari suatu bangsa hanya ditujukan pada proses dekolonisasi [2]. Pada awalnya, konsep hak untuk menentukan nasib sendiri tidak pernah dimaksudkan untuk menciptakan mikro nasionalisme. Kontroversi ini terjadi karena adanya perluasan interpretasi bahwa proses dari hak menentukan nasib sendiri tidak hanya ditujukan pada dekolonisasi tetapi juga berlaku bagi kelompok minoritas. Konsep hak untuk menentukan nasib sendiri mulai dikenal ketika Liga Bangsa-Bangsa/LBB (League of Nations) menciptakan sejumlah wilayah mandat bagi wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Walaupun hak untuk menentukan nasib sendiri ini tidak ditegaskan secara eksplisit, tetapi pada pelaksanaannya adanya wilayah mandat adalah untuk mengawasi dan mengantarkan daerah-daerah mandat sampai memiliki pemerintahan sendiri. Sejumlah wilayah mandat yang diciptakan oleh LBB setelah berakhirnya PD II beralih menjadi urusan dan kewenangan PBB berdasarkan Piagam PBB sebagai upaya dekolonisasi dalam mengubah negaranegara terjajah menjadi suatu negara yang merdeka dan berdaulat secara politik [3]. Salah satu tujuan pokok dari diciptakannya sistem perwalian ini adalah seperti yang dinyatakan dalam Pasal 76 Ayat (1) dan (2) Piagam PBB adalah mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi manusia. Semua bangsa yang belum merdeka atau belum berpemerintahan sendiri mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri sesuai dengan kehendaknya, karena hak untuk menentukan nasib sendiri mencapai kemerdekaan merupakan hak yang sangat hakiki dan merupakan salah satu prinsip dalam rangka mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa Hak menentukan nasib sendiri untuk pertama kalinya dirumuskan dalam Piagam PBB (Charter of the United Nations) yang menegaskan penghormatan prinsip hak yang sama dan menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa {Pasal 1 ayat (2)}[4], kemudian pasal 55 memperjelas kedudukan hak menentukan nasib sendiri dalam Piagam PBB dan terdapat tiga bab khusus dalam piagam PBB[5]. Hak untuk menentukan nasib sendiri pada pokoknya terdapat dua jenis yaitu: External self-determination merupakan hak bagi suatu bangsa untuk melepaskan

2 diri dari hegemoni atau penjajahan dari negara lain. Hak ini dalam perkembangannya tidak hanya ditujukan pada negara tetapi juga pada entitas yang belum memenuhi syarat sebagai negara atau yang dikenal dengan gerakan pembebasan nasional (national liberation movement). Internal selfdetermination merupakan hak yang diperuntukkan bagi rakyat yang hidup dalam suatu negara atau golongan minoritas untuk mendapatkan kebebasan dari kekuasaan negara yang represif.[6] Proses dekolonisasi sebagai upaya memenuhi hak menentukan nasib sendiri di seluruh dunia sebenarnya telah dimulai pada permulaan abad XX dan PBB melalui program dekolonisasi memainkan peranan yang sangat penting dalam mendorong aspirasi bangsa-bangsa terjajah dengan menetapkan standar untuk mempercepat tercapainya kemerdekaan bagi bangsabangsa terjajah [7]. Pada tahun 1966 sebagai tindak lanjut setelah diterimanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, PBB menerima dua kovenan yang lebih mengikat secara yuridis sebagai penjabaran dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yaitu Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights) [8]. Hak menentukan nasib sendiri dalam kedua kovenan tersebut menduduki tempat yang cukup penting, sehingga dicantumkan pada pasal pertama[9]. Hak menentukan nasib sendiri yang dicantumkan dalam piagam PBB diperkuat dengan suatu Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan kepada Wilayah- Wilayah dan Bangsa-Bangsa yang Terjajah (Declaration on the Granting Independence to Colonial Contries and Peoples) yang diterima oleh PBB pada bulan Desember 1960 melalui Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) dan diperkuat lagi dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) tahun 1970 tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional dalam Hubungan Bersahabat dan Kerjasama di antara Negara-Negara Sesuai dengan Piagam PBB (Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations and Co-operation among States in Accordance with the Charter of The United Nations). Prinsip yang penting dari Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV) bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri untuk menentukan nasibnya sendiri dilakukan melalui tiga cara yaitu : Berdiri menjadi negara merdeka yang berdaulat (emergence as a sovereign state) Berasosiasi secara bebas dengan suatu negara merdeka (free association with an independent state) Begabung dengan suatu negara merdeka (integration with an independent state)[10]. Semangat anti kolonialisme yang menjiwai Piagam PBB, membuka kesempatan bagi bangsa-bangsa yang terjajah untuk merdeka. Pelaksanaan program dekolonisasi PBB dibanyak negara-negara Asia Afrika mendapatkan sambutan yang sangat positif dengan digelarnya Konferensi Asia- Afrika (KAA) di Bandung pada April 1955 dengan menggalang persatuan dan solidaritas antara Bangsa Asia dan Bangsa Afrika yang membawa dampak dengan munculnya banyak negara-negara baru di Asia dan Afrika setelah penyelenggaraan KAA ini. Fenomena terkini yang muncul setelah runtuhnya Tembok Berlin pada 10 November 1989 adalah menculnya tuntutan untuk pelaksanaan hak asasi manusia menentukan nasib sendiri di negara-negara yang penduduknya multi etnis. Fenomena ini membawa implikasi yang cukup serius 2

3 bagi negara-negara yang multi etnis dimana etnis-etnis tertentu yang mengalami tindakan represif oleh suatu pemerintahan seakan memperoleh legitimasi secara yuridis bahwa etnis tersebut memperoleh hak menentukan nasib sendiri yang telah diakui dalam berbagai Instrumen Hukum Internasional. Akibat maraknya gerakan pemisahan diri yang mengancam integritas dan kedaulatan wilayah suatu negara tersebut, maka untuk itu dirumuskan Deklarasi Wina (Vienna Declaration) dalam The World Conference on Human Rights pada tahun 1993 yang mencanangkan bahwa sekalipun semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri, akan tetapi tidak boleh hak tersebut diartikan sebagai upaya untuk mengesahkan atau mendorong tindakan-tindakan yang merusak sebagian atau seluruh dari suatu negara yang berdaulat dan merdeka hal ini sesuai dengan Paragraf 6 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1514 (XV)[11]. Sehubungan dengan perkembangan hak menentukan nasib sendiri, dewasa ini Indonesia sedang dibayangi bahaya disintegrasi berskala nasional. Beberapa wilayah yang secara terbuka menyatakan ingin berpisah dari Negara Indonesia adalah Aceh dan Papua Barat. Dalam kasus Papua Barat, pernah dilaksanakannya suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) atau Pepera dibawah payung PBB pada tahun 1969 sesuai dengan kesepakatan New York Agreement Tetapi pada pelaksanaannya Pepera tersebut mendapat banyak tantangan dari rakyat Papua Barat yang merasa bahwa Pepera yang dilaksanakan, telah melanggar kaidah-kaidah dalam Hukum Internasional dan New York Agreement Catatan sejarah memperlihatkan bahwa proses integrasi Papua Barat ke wilayah NKRI ternyata tidaklah mulus. Sebelum integrasi, tepatnya pada 1 Desember 1961, rakyat Papua telah menyatakan kemerdekaannya dan telah memiliki beberapa perangkat atau simbol-simbol dari sebuah negara merdeka antara lain : 1. Bendera Nasional Bintang Kejora 2. Lagu Kebangsaan Hai Tanahku Papua 3. Dasar Negara Kasih 4. Lambang Negara Burung Cendrawasih; dan Pasal UUD[12]. Pada masa reformasi tuntutan dan gugatan Papua Merdeka semakin menggema terhitung sejak Juli 1998 sampai kepada penyelengaraan Kongres Rakyat Papua pada tahun 2000[13]. Simbol-simbol Papua Barat telah disosialisasikan di tujuh ibukota Kabupaten di Papua Barat. Sementara itu wakil-wakil rakyat Papua Barat dari seluruh kabupaten di Papua Barat yang terdiri dari seratus orang telah menyampaikan aspirasi Papua Merdeka kepada Presiden BJ. Habibie di Jakarta tanggal 26 Februari 1999 dan dengan diselenggarakannya Kongres Rakyat Papua pada Desember 2000 semakin memperjelas posisi rakyat Papua Barat dengan menegaskan kembali tuntutan dibatalkannya hasil-hasil dari Pepera tahun 1969 dan mengembalikan kemerdekaan bangsa Papua seperti yang telah diperoleh pada tahun 1961[14]. Permasalahan tersebut mendorong penulis untuk membahas dan mengkaji lebih jauh delam bentuk skripsi dengan judul "Hak Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self Determinaton) Dalam Hukum Internasional (Suatu Tinjauan 3

4 Terhadap Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat Tahun 1969)". 2. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut diatas maka permasalahan yang akan diteliti dapat diidentifikasikan sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) menurut Hukum Internasional? 2. Sejauh mana proses Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 sesuai dengan ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Internasional? 3. Bagaimana konsekuensinya terhadap tuntutan pembatalan hasil-hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional? Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai pelaksanaan hak untuk menentukan nasib sendiri menurut Hukum Internasional 2. Untuk mengetahui secara yuridis proses Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam Hukum Internasional 3. Untuk mengetahui adanya konsekuensi terhadap tuntutan pembatalan secara yuridis terhadap hasil-hasil dari Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun 1969 berdasarkan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional. 4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat terutama bagi penulis sendiri dalam memperluas ilmu pengetahuan dan kajian teoritis di bidang hukum hak asasi manusia khususnya mengenai hak menentukan nasib sendiri (the right to self determination) terutama sekali mengenai masalah Penentuan Pendapat Rakyat (Act of Free Choice) di Papua Barat tahun Disamping itu hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi bagi penelitian dengan objek yang sama, dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbaangan bagi setiap pihak yang berkepentingan dengan masalah hak dan kewajiban negara. Dan pada saat ini masalah hak asasi manusia, demokratisasi, dan lingkungan hidup merupakan sebuah isu global yang harus disikapi oleh setiap negara di dunia secara arif dan bijak. 5. Kerangka Pemikiran Kepedulian masyarakat internasional terhadap hak menentukan nasib sendiri merupakan gejala yang relatif baru, meskipun awal wacana permasalahan ini merujuk pada sejumlah perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum PD II. Setelah dicantumkan dalam piagam PBB pada tahun 1945, wacana mengenai hak menentukan nasib sendiri secara sistematis terakomodasikan di dalam sistem Hukum Internasional. Di dalam masalah Papua Barat dewasa ini, tuntutan kemerdekaan Papua terlepas dari NKRI dalam format bahwa adalah hak dari setiap bangsa untuk dapat menen tukan nasibnya sendiri, haruslah dilihat secara komprehensif. Dalam hal ini tuntutan terealisasinya hak untuk menentukan nasib sendiri tidak dilihat terpisah hanya sebagai hak untuk merdeka karena isi dari hak untuk menentukan nasib sendiri adalah 4

5 berdasarkan Pasal 1 dari International Covenant on Civil and Political Rights dan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights adalah : 1. Expression of the popular will 2. Freedom from outside interference 3. The Right over natural wealth and resources[15]. Oleh karena itu tuntutan dari rakyat Papua Barat agar Pemerintah RI merealisasikan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat harus dilihat dalam kerangka berpikir diatas. Masalah Papua Barat ini telah muncul sejak diadakannya sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia[16]. Dalam sidang BPUPKI terjadi perdebatan hangat mengenai status Papua antara Mr Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno disatu pihak dengan Moh. Hatta di pihak lain. Yamin dan Soekarno pada dasarnya menegaskan bahwa adalah Papua Barat adalah sebagian dari bangsa Indonesia walaupun Soekarno dalam hal ini menegaskan bahwa rakyat Papua belum mengerti tentang politik dan belum dikenal kehendaknya. Sedangkan Hatta berpendapat bahwa bangsa Papua tidak termasuk kedalam bangsa Polinesia, tetapi termasuk bangsa Melanesia sehingga bangsa Papua harus diberikan hak untuk menentukan nasib sendiri[17]. Jika dilihat dari proses sejarahnya akan sangat menimbulkan kontroversi, karena proses penetapan wilayah negara oleh BPUPKI dilakukan dengan tidak seorangpun wakil-wakil dari pulau Papua ataupun minimal wakilwakil dari Papua Barat hadir untuk menyatakan kehendak dari rakyat Papua. Tuntutan kemerdekaan Papua Barat saat ini sebagaimana yang terjadi di Aceh mendasarkan diri pada hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) yang dilindungi baik oleh Piagam PBB ataupun Universal Declaration of Human Rights, International Covenant on Civil and Political Rights, dan International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights. Adanya krisis identitas dari rakyat Papua Barat akibat proses marjinalisasi dan manipulasi dari pembangunan, eksploitasi sumber-sumber agraria di Papua Barat semakin menyebabkan meningkatnya tuntutan kemerdekaan bagi Papua Barat[18]. Tuntutan akan kemerdekaan di Papua Barat dapat bermakna ganda yaitu merdeka "dari" dan merdeka "untuk". Pertanyaan yang mungkin timbul dalam benak para "pejuang kemerdekaan" Papua Barat adalah kapankah Papua Barat dapat meraih kemerdekaannya. Dalam menjawab pertanyaan ini ada beberapa asumsi untuk menjawab pertanyaan dari para "pejuang kemerdekaan" Papua Barat, ada asumsi yang mengharuskan agar bangsa Papua Barat memperjuangkan kemerdekaan untuk membentuk suatu entitas politik baru yang terlepas dari negara Republik Indonesia, ada pula asumsi yang berarti bahwa bangsa Papua Barat diberikan suatu hak sebagai wilayah yang berpemerintahan sendiri dan masih dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dan ada pula asumsi yang cukup puas dengan pemberian otonomi khusus bagi Papua Barat. Tetapi dibalik itu terdapat pertanyaan yang jauh lebih penting yaitu kenapa rakyat Papua Barat menggemakan teriakan kemerdekaan dari lembah-lembah minyak dan gunung-gunung emas, dan dari belantara kemakmuran. Teriakan kemerdekaan dari rakyat Papua Barat tidak dapat 5

6 dipahami dari sisi realitas politik saja, tetapi juga harus dipahami sebagai realitas kesejarahan dan realitas kemanusiaan dari perjalanan suatu komunitas masyarakat yang telah lama tidak dihargai identitas kemanusiaan dan kebudayaannya. Untuk itu, hal ini akan dijadikan sebagai pijakan awal dalam penelitian ini dalam menyikapi klaim atas nama "kemerdekaan" dan "kedaulatan negara" baik dari "Gerakan Pembebasan Nasional" Papua Barat ataupun dari pemerintah Indonesia. Jika hendak dilihat proses pelaksanaan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat) di Papua Barat tahun 1969 akan ditemui banyak kekeliruan dari segi yuridis seperti : 1. Tidak adanya perlindungan HAM dalam hal kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan bergerak, dan kebebasan berserikat[19]. 2. Tidak adanya partsipasi masyarakat lokal dalam pemerintahan lokal di Papua Barat lewat pemilihan unmum yang diselenggarakan secara periodik[20]. 3. Penyimpangan dari ketentuan metode pemilihan yang semula berdasarkan praktek demokrasi Internasional (one man one vote) menjadi berdasarkan praktek demokrasi Indonesia (musyawarah)[21]. Karena itu sekilas tuntutan kemerdekaan dari "bangsa" Papua Barat dapat dipahamai. Akan tetapi kemerdekaan juga tidak dapat hanya dipahami sebagai suatu keinginan untuk membentuk negara merdeka yang tersendiri. Secara filosofis, sosiologis, politis, dan yuridis tuntutan kemerdekaan bagi "bangsa" Papua Barat sangat sulit diwujudkan saat sekarang ini, karena hukum Internasional akan sangat bergantung pada masalah ancaman terhadap perdamaian dan keamanan dunia dalam masalah hak untuk memisahkan diri (the right to seccesion) dari suatu kelompok etnis. Untuk itu dalam penelitian ini, eksplorasi yuridis terhadap klaim atas wilayah Papua Barat mutlak diperlukan, dan dalam kerangka tersebut, dalam penelitian ini diperlukan adanya kajian atas beberapa alternatif yang dapat digunakan sebagai salah satu bentuk upaya penyelesaian menyeluruh terhadap sengketa di wilayah Papua Barat. Sehingga dapat diusahakan suatu penyelesaian yang menyeluruh terhadap status hukum wilayah Papua Barat yang bentuk penyelesaiannya dapat memuaskan bagi rakyat Papua Barat dan juga bagi pemerintah Indonesia yang mungkin dapat diwujudkan melalui suatu kerangka Special Autonomous Region bagi wilayah Papua Barat yang berarti tidak diwujudkan dalam pelaksanaan external self-determination yang berujung pada upaya pembentukan suatu negara tersendiri tetapi lebih menitik-beratkan dalam pelaksanaan internal self-determination di wilayah Papua Barat dalam membentuk self government bagi rakyat Papua Barat. 6. Metode Penelitian 6.1. Metode Pendekatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini merupakan suatu penelitian dengan pendekatan yuridis-normatif yaitu penelitian yang menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama yang didasarkan pada kaidah-kaidah hukum internasional mengenai Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self- Determination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969)[22] 6.2. Spesifikasi Penelitian 6

7 Spesifikasi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yang digunakan untuk mendapatkan gambaran secara integral dan komprehensif serta sistematis tentang Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self-Determination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969)[23] 6.3. Bahan-bahan Hukum a. Bahan hukum primer berupa Konvensi-konvensi Internasional, Deklarasideklarasi yang erat kaitannya dengan Hak untuk menentukan nasib sendiri (The right to self-determination) b. Bahan hukum sekunder berupa artikel-artikel dan makalah-makalah c. Bahan hukum tersier berupa ensiklopedi dan kamus 6.4.Bentuk Penelitian Bentuk penelitian yang dilakukan dalam kegiatan penelitian ini adalah penelitian kepustakaan, sebagai sarana untuk meneliti data sekunder baik yang berupa bahan hukum primer ataupun yang berupa bahan hukum sekunder 6.5.Teknik Pengumpulan Data Data penelitian yang ada kemudian dikumpulkan dengan teknik studi dokumentasi, yaitu melakukan penelitian terhadap dokumendokumen yang erat kaitannya dengan masalah Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri (The Right to Self-Determination) dalam Hukum Internasional (Tinjauan terhadap Penentuan Pendapat Rakyat di Papua Barat tahun 1969) 6.6.Metode Analisis Data Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis dengan metode normatif-kualitatif. Hal ini berkaitan dengan tipe penelitian hukum normatif yang pendekatannya lebih bersifat abstrak teoritis. Karena itu permasalahan lebih ditujukan kepada asas-asas hukum, konsep-konsep hukum, ketentuan-ketentuan hukum, dan bahan-bahan hukum lainnya 6.7.Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di beberapa lokasi yaitu : a. Jakarta b. Bandung c. Surabaya 7. Sistematika Penulisan Penulis menyusun penelitian ini dengan sistematika pembahasan yang dibagi dalam lima bab sebagai pedoman untuk melakukan penulisan, adapun uraiannya adalah sebagai berikut : Pada Bab Pendahuluan diuraikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penulisan Pada Bab II berisi latar belakang timbulnya konsep hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) menurut hukum internasional yang meliputi sejarah perkembangan konsep penentuan pendapat rakyat (referendum) dan pengaturan hukum internasional pasca perang dunia II terhadap penentuan pendapat rakyat (referendum), juga dilengkapi dengan penentuan pendapat rakyat (referendum) dalam upaya mewujudkan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to selfdetermination) berdasarkan perspektif PBB yang meliputi syarat-syarat mengenai penentuan pendapat rakyat (referendum) menurut praktek PBB dan pembatasan secara hukum (legal limit) bagi penentuan pendapat rakyat 7

8 (referendum) di luar kerangka proses dekolonisasi. Uraian dalam bab ini juga dilengkapi dengan pengakuan negara sebagai sumber legitimasi bagi pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (referendum) yang meliputi penghormatan terhadap prinsip kedaulatan teritorial sebagai landasan dalam melakukan hubungan internasional dan prinsip yurisdiksi teritotial terhadap terjadinya konflik internal. Pada Bab III berisi tentang latar belakang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat meliputi status Papua Barat sebelum dan sesudah kemerdekaan RI yang berisi persepsi Indonesia dan Belanda terhadap status Hukum Papua Barat. Juga ditambah dengan uraian proses penyelesaian konflik R.I. dengan Belanda terhadap status hukum Papua Barat yang meliputi pembentukan New York Agreement, UNTEA, dan juga dibahas proses serta prosedur pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), serta penyerahan Papua Barat kepada pemerintah R.I. Dalam bab ini juga dibahas tentang tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 yang meliputi dasar argumentasi tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 menurut persepsi rakyat Papua Barat yang berisi argumentasi historis dan yuridis, dan dilengkapi dengan penolakan keinginan rakyat Papua Barat untuk membentuk negara merdeka oleh pemerintah R.I. yang berisi argumentasi historis dan yuridis. Pada Bab IV diuraikan mengenai kajian atas pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969, tuntutan pembatalan, eksistensi pemerintah RI menurut hukum internasional dan alternatif penyelesaian menyeluruh untuk wilayah Papua Barat yang berisi tinjauan yuridis terhadap pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969, pembatasan menurut hukum internasional terhadap tuntutan pembatalan hasil Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 yang berisi pengakuan PBB terhadap proses pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 dan pengakuan negara terhadap eksistensi pemerintah R.I. atas integrasi Papua Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua Barat tahun 1969 dan ditambah dengan alternatif penyelesaian menyeluruh bagi Papua Barat yang berisi referendum dan otonomi ditambah dengan bentuk-bentuk otonomi di Mindanao dan Hong Kong SAR serta ditambah dengan tinjauan terhadap UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pada Bab V yang merupakan bab penutup dalam tulisan ini, akan dikemukakan kesimpulan dari hasil penelitian ini, sekaligus juga akan disampaikan beberapa saran yang diharapkan akan berguna sebagai bahan pertimbangan bagi pihak yang berwenang Catatan: Indonesia dinyatakan suatu bangsa dan negara yang Merdeka baru diakui oleh PBB Tahun Tahun 1945 yang selama ini dikumandangkan oleh NKRI, bukanlah hari kemerdekaan RI. Belanda menyerahkan bangsa dan tanah Papua Barat kepada PBB, bukanlah sebagai kapasitas kalah perang terhadap Indonesia. Kesalahan PBB adalah mengintervensi kedaulatan bangsa Papua dengan jalan melalui pembentukan UNTEA dan Penentuan Rakyat Papua (Papera). Seharusnya saat itu bangsa Papua diberikan langsung status kemerdekaan oleh PBB, bukan membentuk UNTEA. Karena itu kesalahan hukum internasional yang dilakukan oleh PBB masa lalu, 8

9 perlu kita koreksi serta mendesak agar dikembalikannya bangsa Papua sebagai status sebuah bangsa malenesia dan bukan sebagai salah satu etnis bangsa Indonesia. Simpatisan Kemerdekaan Papua Barat, Maxi Iroth 21 June

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini berisi kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya mengenai Kontroversi Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA)

Lebih terperinci

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media

Bab IV Penutup. A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Bab IV Penutup A. Kebebasan Berekspresi sebagai Isi Media Keberadaan Pasal 28 dan Pasal 28F UUD 1945 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa diratifikasinya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 108

Lebih terperinci

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID

Pengantar Memahami Hak Ekosob. M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Pengantar Memahami Hak Ekosob M. Dian Nafi PATTIRO-NZAID Manusia dan Perjuangan Pemajuan Hak Asasinya Semua manusia memperjuangkan hak hidup layak. Agama menginspirasi perjuangan manusia itu. Berbagai

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA PENOLAKAN PENYATUAN PAPUA DALAM NKRI... RAKYAT PAPUA TABUN 2000 SEBAGAI PERWUJUDAN HAK

ADLN - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA PENOLAKAN PENYATUAN PAPUA DALAM NKRI... RAKYAT PAPUA TABUN 2000 SEBAGAI PERWUJUDAN HAK PENOLAKAN PENYATUAN PAPUA DALAM NKRI OLEH KONGRES RAKYAT PAPUA TABUN 2000 SEBAGAI PERWUJUDAN HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI kk f' \ J.j!')"..): pe>r r MII~'K: PE~PUSTAf(~AN 8NITERSITAS AI~l' "IJOO~,. SUHAft4\"

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959)

BAB I PENDAHULUAN. The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) BAB I PENDAHULUAN The Constitution is made for men, and not men for the Constitution. (Soekarno, dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya BAB I PENDAHULUAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selanjutnya disingkat UUD 1945 1 telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

BAB V SIMPULAN DAN SARAN BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN Salah satu keputusan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang diselenggarakan di Den Haag pada tanggal 23 Agustus sampai 2 September 1949 adalah kedudukan Irian Barat

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 119, 2005 AGREEMENT. Pengesahan. Perjanjian. Hak Sipil. Politik (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM.

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM. Hak Asasi Manusia Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Pengertian HAM. Generasi

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri menurut Hukum Internasional dihubungkan dengan Gerakan Organisasi Papua Merdeka Right to Self-Determination Based on International

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL

BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL BAGIAN KEDUA NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL BABV EKSISTENSI NEGARA DALAM MASYARAKATINTERNASIONAL A. Negara sebagai Subyek Hukuin Internasional 1. Pengertian Negara: - H Kelsen = Negara adalah identik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hubungan internasional diidentifikasikan sebagai studi tentang interaksi antara beberapa faktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, yang meliputi negara-negara,

Lebih terperinci

JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL JURNAL HAK MENENTUKAN NASIB SENDIRI (THE RIGHT OF SELF- DETERMINATION) RAKYAT TIMOR LESTE DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL NPM : 100510366 Diajukan Oleh: ARCANJO JUVIANO SAVIO Program Studi Program Kekhususan

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA.

HAK ASASI MANUSIA. HAK ASASI MANUSIA www.mercubuana.ac.id PENGERTIAN HAM yaitu hak dasar yg dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugrah Tuhan YME Menurut Tilaar, hak-hak yang melekat pada diri manusia dan tanpa hak-hak

Lebih terperinci

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Serjana Hukum PROSES PELAKSANAAN GUGATAN INTERVENSI DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA PADA PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PADANG

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah

BAB I PENDAHULUAN. Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Pada tanggal 17 Februari 2008 yang lalu, parlemen Kosovo telah memproklamasikan Kosovo sebagai Negara merdeka, lepas dari Serbia. Sebelumnya Kosovo adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan melawan kolonialisme dan imperialisme. Selama 24 (dua puluh empat) tahun rakyat Timor Leste berjuang

Lebih terperinci

Pendahuluan BAB I. 1. Latar Belakang

Pendahuluan BAB I. 1. Latar Belakang BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Keinginan orang Papua Barat 1 untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali diangkat setelah angin reformasi terjadi dalam Republik ini. Keinginan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang membentang dari Sabang sampai Merauke terbagi dalam provinsi- provinsi yang berjumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wilayah suatu negara yang kita kenal seperti udara dan darat juga lautan. Namun masalah kelautan atau wilayah laut tidak dimiliki oleh setiap negara, hanya negara-negara

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu,

BAB I PENDAHULUAN. internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional. Sebagai subjek hukum internasional, negara harus memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi yaitu, salah satunya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1996 TENTANG PENGESAHAN CONVENTION ON PSYCHOTROPIC SUBSTANCES 1971 (KONVENSI PSIKOTROPIKA 1971) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah.

BAB I PENDAHULUAN. yang paling berperan dalam menentukan proses demokratisasi di berbagai daerah. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di negara Indonesia salah satu institusi yang menunjukkan pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung adalah DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap

Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap Bab 3 Hak Asasi Manusia A. Pengertian HAM, HAM adalah hak dasar yang dimilki manusia sejak manusia dilahirkan. Ada dan melekat pada diri setiap manusia dan bersifat Universal B. Jenis jenis HAM -Menurut

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN masih menyisakan satu persoalan yaitu masalah status Irian Barat. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN masih menyisakan satu persoalan yaitu masalah status Irian Barat. Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hasil Perjanjian Komisi Meja Bundar antara Indonesia dengan Belanda pada tahun 1949 masih menyisakan satu persoalan yaitu masalah status Irian Barat. Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI

Lebih terperinci

Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan Modul ke: 09 Dosen Fakultas Fakultas Ilmu Komunikasi Pendidikan Kewarganegaraan Berisi tentang Hak Asasi Manusia : Sukarno B N, S.Kom, M.Kom Program Studi Hubungan Masyarakat http://www.mercubuana.ac.id

Lebih terperinci

Negara Hukum. Manusia

Negara Hukum. Manusia Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia Negara hukum / Rule of Law / Rechtsstaat yang bersumber dari pengalaman demokrasi konstitusional di Eropa Negara demokrasi adalah negara hukum, namun negara hukum belum

Lebih terperinci

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945

BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 BAB II OTONOMI KHUSUS DALAM SISTEM PEMERINTAHAN NEGARA MENURUT UUD 1945 A. Pemerintah Daerah di Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Dalam UUD 1945, pengaturan tentang pemerintah daerah diatur dalam Bab VI pasal

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI. Dewi Triwahyuni PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI Dewi Triwahyuni DASAR HUKUM Pencegahan penggunaan kekerasan atau terjadinya peperangan antar negara mutlak dilakukan untuk terhindar dari pelanggaran hukum

Lebih terperinci

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole

Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi ole Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia I Made Agung Yudhawiranata Dermawan Mertha Putra Sejarah Konvensi menentang Penyiksaan

Lebih terperinci

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid

Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid Konvensi Internasional mengenai Penindasan dan Penghukuman Kejahatan Apartheid disetujui dan terbuka untuk penandatanganan dan ratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 3068 (XXVIII) 30 November 1973 Negara-negara

Lebih terperinci

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP

CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP CONTOH SOAL DAN JAWABAN UKG PKN SMP 2013 Berikut ini contoh soal beserta jawaban Uji Kompetensi Guru PKn SMP Perhatian : Jawaban tertera pada kalimat yang ditulis tebal. 1. Di bawah ini merupakan harapan-harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewan keamanan PBB bertugas untuk menjaga perdamaian dan keamanan antar negara dan dalam melaksanakan tugasnya bertindak atas nama negaranegara anggota PBB.

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang

NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Universitas Indo Global Mandiri Palembang NEGARA HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Pengertian Hukum yaitu : Seperangkat asas dan akidah yang mengatur kehidupan manusia dalam

Lebih terperinci

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM

Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Hak atas Informasi dalam Bingkai HAM Oleh Asep Mulyana Hak atas informasi atau right to know merupakan hak fundamental yang menjadi perhatian utama para perumus DUHAM. Pada 1946, majelis umum Perserikatan

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi.

Modul ke: Hak Asasi Manusia. Fakultas. Rusmulyadi, M.Si. Program Studi. Modul ke: Hak Asasi Manusia Fakultas Rusmulyadi, M.Si. Program Studi www.mercubuana.ac.id Pengertian HAM Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak itu manusia

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: 09Fakultas Matsani EKONOMI DAN BISNIS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi & Rule of Law, SE.,MM. Program Studi AKUNTANSI PENGERTIAN HAM yaitu hak dasar yg dimiliki manusia sejak lahir sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang

BAB I PENDAHULUAN. Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak asasi manusia ( selanjutnya disingkat dengan HAM ) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

Lebih terperinci

Assamu alaikumwr. Wb. Yang Mulia Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Para Ketua Delegasi. Yang terhormat Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Assamu alaikumwr. Wb. Yang Mulia Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Para Ketua Delegasi. Yang terhormat Wakil Presiden Jusuf Kalla. Teks Pidato Assamu alaikumwr. Wb. Foto / Screenshot Yang Mulia Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Para Ketua Delegasi. Yang terhormat Wakil Presiden Jusuf Kalla. Yang kami hormati Ibu Megawati Soekarnoputri,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 (KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI, 2003) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at

PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at PROBLEM OTONOMI KHUSUS PAPUA Oleh: Muchamad Ali Safa at Latar Belakang dan Tujuan Otonomi Khusus Otonomi khusus baru dikenal dalam sistem pemerintahan Negara Indonesia di era reformasi. Sebelumnya, hanya

Lebih terperinci

PAPER PANCASILA. Hak Asasi Manusia Menurut Pancasila Dan UUD. Dosen : Drs. Tahajudin S. OLEH : : Eko Hernanto NIM :

PAPER PANCASILA. Hak Asasi Manusia Menurut Pancasila Dan UUD. Dosen : Drs. Tahajudin S. OLEH : : Eko Hernanto NIM : PAPER PANCASILA Hak Asasi Manusia Menurut Pancasila Dan UUD Dosen : Drs. Tahajudin S. OLEH : Nama : Eko Hernanto NIM : 11.11.4791 Kelompok Jurusan Program studi : C : S1-TI :Pancasila SEKOLAH TINGGI TEKNIK

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI. Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP UNJANI

ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI. Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP UNJANI ANALISIS POLITIK LUAR NEGERI POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI PARLEMENTER : STUDI KASUS KONFERENSI ASIA AFRIKA BANDUNG ANALISIS KEPENTINGAN NASIONAL Oleh : Agus Subagyo, S.IP.,M.SI FISIP

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK SOSIALIS VIETNAM TENTANG PENETAPAN BATAS LANDAS KONTINEN,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of

I. PENDAHULUAN. Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sejak diumumkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948 telah terjadi perubahan arus global di dunia internasional

Lebih terperinci

HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL Hak Asasi Manusia dan Hukum Ekonomi Internasional, Kovenan Hak Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya / ICESCR 1966 Oleh : Kelompok 10 Ketua Kelompok : Aprilia Gayatri ( A10.05.0201)

Lebih terperinci

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK AZASI MANUSIA. Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri. Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK AZASI MANUSIA Materi Perkuliahan Ilmu Politik FH Unsri Latar Historis dan Filosofis (1) Kepentingan paling mendasar dari setiap warga negara adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia.

Lebih terperinci

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA MEKANISME PENGADUAN DAN PELAPORAN TERHADAP PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Oleh : Butje Tampi, SH., MH. ABSTRAK Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan melakukan

Lebih terperinci

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA

MAKALAH HAK ASASI MANUSIA MAKALAH HAK ASASI MANUSIA Dosen Pembimbing : Muhammad Idris, MM Disusun Oleh : 11.12.6007 Vincensius Septian Satriyaji 11.12.6007 Kelompok Sosial STMIK AMIKOM YOGYAKARTA KATA PENGANTAR Puji syukur atas

Lebih terperinci

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM

HAK MASYARAKAT ADAT. Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) Vegitya Ramadhani Putri, MA, LLM HAK MASYARAKAT ADAT Materi Perkuliahan HUKUM & HAM (Tematik ke-5) DEFINISI MASYARAKAT ADAT Masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis

Lebih terperinci

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA Modul ke: Fakultas FAKULTAS TEKNIK PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH PERJUANGAN BANGSA INDONESIA ERA KEMERDEKAAN BAHAN TAYANG MODUL 3B SEMESTER GASAL 2016 RANI PURWANTI KEMALASARI SH.MH. Program Studi Teknik

Lebih terperinci

Dikdik Baehaqi Arif

Dikdik Baehaqi Arif Dikdik Baehaqi Arif dik2baehaqi@yahoo.com PENGERTIAN HAM HAM adalah hak- hak yang secara inheren melekat dalam diri manusia, dan tanpa hak itu manusia Idak dapat hidup sebagai manusia (Jan Materson) PENGERTIAN

Lebih terperinci

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK)

KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) KONVENSI HAK ANAK (HAK-HAK ANAK) Konvensi Hak Anak (KHA) Perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis antara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan Hak Anak Istilah yang perlu

Lebih terperinci

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI INTERNASIONAL Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Organisasi Kerjasama Islam (OKI)

Lebih terperinci

MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI?

MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI? MENGAPA TAPOL DI PAPUA TOLAK RENCANA PEMBERIAN GRASI? "Kami tidak butuh dibebaskan dari Penjara, tetapi butuh dan tuntut BEBASKAN Bangsa Papua dari Penjajahan Negara Kolonial Republik Indonesia", demikianlah

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri.

penting dalam menciptakan hukum internasional sendiri. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum internasional adalah hukum atau peraturan yang berlaku diluar dari wilayah suatu negara. Secara umum, hukum internasional diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan

Lebih terperinci

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar

Wawasan Kebangsaan. Dewi Fortuna Anwar Wawasan Kebangsaan Dewi Fortuna Anwar Munculnya konsep Westphalian State Perjanjian Westphalia 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun antar agama Katholik Roma dan Protestan di Eropa melahirkan konsep Westphalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks.

BAB I PENDAHULUAN. negara yang membawa akibat-akibat hukum yang sangat kompleks. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suksesi negara adalah suatu keadaan di mana terjadi perubahan atau penggantian kedaulatan dalam suatu negara sehingga terjadi semacam pergantian negara yang membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu

BAB I PENDAHULUAN. diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan

Lebih terperinci

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini: LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Andhika Danesjvara & Nur Widyastanti Kompetensi 1. Mampu menjelaskan pengertian tentang Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. 2. Mampu

Lebih terperinci

PANCASILA HAK ASASI MANUSIA. Dr. Achmad Jamil M.Si. Modul ke: 06Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi S1 Manajemen

PANCASILA HAK ASASI MANUSIA. Dr. Achmad Jamil M.Si. Modul ke: 06Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi S1 Manajemen PANCASILA Modul ke: 06Fakultas Ekonomi dan Bisnis HAK ASASI MANUSIA Dr. Achmad Jamil M.Si Program Studi S1 Manajemen Pengakuan Atas Martabat dan Hak-Hak Yang Sama Sebagai Manusia Sebagai bagian dari masyarakat

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Wilayah atau teritori adalah salah satu manifestasi paling utama dari kedaulatan suatu negara.oleh karena itu dalam lingkungan wilayahnya tersebut suatu negara

Lebih terperinci

Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016

Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016 Civil and Political Rights (Hak-Hak Sipil dan Politik) Herlambang P. Wiratraman 2016 Pokok Bahasan Memahami substansi hak-hak sipil dan politik Memahami teori dan aturan hukum hak- hak sipil dan politik

Lebih terperinci

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

HAM KEWARGANEGARAAN. Hak Asasi Manusia FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN KEWARGANEGARAAN HAM Hak Asasi Manusia Disusun oleh : Lanny Ariani (125100601111013) Khanza Jasmine (125100601111015) Budi Satriyo (125100601111017) Avia Intan Rafiqa (125100601111019) FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan

Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusham UII bekerjasama dengan HAK SIPIL DAN POLITIK (Civil and Political Rights) Oleh: Suparman Marzuki Disampaikan pada PERJAMUAN ILMIAH Tentang Membangun Komitmen Dan Kebersamaan Untuk Memperjuangkan Hak Asasi Manusia diselenggarakan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci