BAB VI FAKTOR PENDORONG TERJADINYA RELASI KUASA DALAM DINAMIKA TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN, SUMATERA BARAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB VI FAKTOR PENDORONG TERJADINYA RELASI KUASA DALAM DINAMIKA TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN, SUMATERA BARAT"

Transkripsi

1 210 BAB VI FAKTOR PENDORONG TERJADINYA RELASI KUASA DALAM DINAMIKA TARI ULU AMBEK PADA MASYARAKAT PARIAMAN, SUMATERA BARAT Faktor pendorong terjadinya relasi kuasa tari ulu ambek berkaitan erat dengan faktor pembentuk kuasa masyarakat Pariaman, Sumatera Barat. Faktor tersebut terdiri atas faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi dinamika sosial masyarakat, pendidikan warga masyarakat, tradisi ritual adat masyarakat, tradisi seni masyarakat. Sementara itu, faktor eksternal meliputi politik dan pemerintahan yang memengaruhi tari ulu ambek. 6.1 Faktor Internal Tari ulu ambek merupakan seni yang menggambarkan ekspresi diri manusia sehingga bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreativitas manusia. Dalam mengungkapkan ekspresi jiwa, seorang individu memiliki cara yang berbeda-beda untuk menggambarkannya. Oleh karena itu, tari ulu ambek sangat sulit untuk dijelaskan, dan juga sangat sulit untuk dinilai, bahwa masing-masing individu memilih sendiri peraturan dan parameter yang menuntun dalam mengekpresikan diri. Inilah yang membuat tari ulu ambek menarik untuk dipelajari, karena dengan mempelajari tari ulu ambek, dapat terlihat berbagai macam cara penggambaran ungkapan ekspresi individu. Hal ini merupakan faktor internal manusia dengan hal yang mendukung dirinya, yaitu masyarakat tempat tari ulu ambek dilaksanakan. Dinamika sosial pendukung tari ulu ambek merupakan faktor penyebab keberlanjutan tari ulu 210

2 211 ambek tersebut. Sementara itu, pendidikan masyarakat juga melekat dalam usaha memberi warna untuk keberlangsungan generasi tari ulu ambek. Di dalam dunia pendidikan terutama untuk pendidikan tari ulu ambek, nilai yang dianut dalam tari tersebut akan menjadi pedoman generasi dalam bersikap dan bertingkah laku di tengah masyarakat. Tari ulu ambek digunakan sebagai alat pendidikan bukan semata-mata bertujuan untuk mendidik generasi menjadi seniman, melainkan membina generasi untuk menjadi lebih bermoral. Tari ulu ambek merupakan aktivitas budaya dalam bentuk permainan sehingga bisa mendidik generasi sedini mungkin. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seni dapat digunakan sebagai alat pendidikan. Generasi dapat berimajinasi sesuai dengan apa yang dikehendaki untuk memunculkan apa yang ada dalam pikirannya melalui pendidikan tari ulu ambek. Faktor ritual adat mengarah pada tujuan tari ulu ambek yang merupakan alat untuk memperlihatkan posisi kuasa penghulu di tengah masyarakat. Posisi penghulu sebagai pemilik tari ulu ambek akan terlihat dan menjadi dasar untuk ritual kebudayaan ke depan. Faktor tradisi seni merupakan faktor yang mengarah pada nilai-nilai seni itu sendiri yang berkaitan dengan pembelajaran gaya hidup dan bersikap yang memiliki etika dan estetika yang telah digariskan oleh adat di Pariaman Faktor Dinamika Sosial Faktor pertama yang menyebabkan terjadinya relasi kuasa tari ulu ambek

3 212 dalam masyarakat Pariaman, Sumatera Barat, adalah faktor dinamika sosial masyarakat. Kondisi sosial masyarakat Pariaman yang berubah dan berkembang menyebabkan ideologi seperti yang dikembangkan Althuser dan Gramsci yang dianut masyarakat juga berubah dan berkembang. Relasi kuasa disebabkan oleh pengaruh dari luar kebudayaan mereka, misalnya globalisasi, multikultural, akulturasi, dan sebagainya. Manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa memisahkan diri dari manusia lain. Manusia tidak bisa hidup sendiri, misalnya hidup dalam rimba belantara yang tidak ada manusianya. Kalaupun mereka hidup, bukan hidup dalam pengertian manusia. Mereka akan hidup seperti makhluk lain yang ada dalam rimba belantara tersebut. Dengan demikian, sudah merupakan naluri bagi manusia untuk senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Tumbuh dan berkembangnya naluri manusia untuk selalu hidup bersama tersebut didasarkan atas kehendak dan kepentingan yang tidak terbatas. Tari ulu ambek merupakan kesenian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan komunal masyarakat Pariaman, sama halnya dengan manusia yang memiliki kebutuhan biologis, kebutuhan sosial, kebutuhan cita-cita dan lain-lain. Manusia juga mempunyai berbagai keinginan yang selalu diusahakan untuk memuaskan apa yang dibutuhkan. Kebutuhan akan sesuatu tidak pernah memuaskan individu manusia. Ketika satu kebutuhan selesai dipenuhi maka akan muncul kebutuhan lain, begitu seterusnya. Untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut, setiap individu selalu akan terlibat dalam kehidupan bermasyarakat ataupun kehidupan berkelompok.

4 213 Dalam hidup bersama atau berkelompok, manusia menginginkan penampilannya sebaik mungkin yang dapat memberikan manfaat bagi orang lain. Semua itu akhirnya akan menimbulkan kehidupan berkelompok yang dinamakan kelompok sosial atau organisasi sosial. Salah satu organisasi sosial tersebut adalah pelaksanaan tari ulu ambek yang diketuai oleh penghulu (pemimpin kaum). Kaum ini juga organisasi sosial yang menjadi tanggung jawab penghulu dalam mengelolanya. Keterlibatan seseorang dalam suatu organisasi sosial tari ulu ambek atau kaum di Pariaman biasanya disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya, faktor kepentingan, minat, kesadaran atas dasar suka rela, dan lain-lain. Kepentingankepentingan itu tidak disalurkan melalui lembaga-lembaga sosial, tetapi disalurkan melalui bentuk-bentuk persekutuan manusia yang relatif teratur dan formal. Keterlibatan individu manusia dalam kehidupan berkelompok tari ulu ambek di Pariaman adalah kesempatan untuk berinteraksi dengan pihak lain. Oleh karena itu, keterlibatan seseorang dalam berorganisasi atau berkelompok tari ulu ambek ditentukan oleh adanya daya tarik. Daya tarik ini ditimbulkan oleh adanya interaksi antara sesama organisasi tari ulu ambek. Kesempatan berinteraksi ini secara langsung mempunyai pengaruh terhadap daya tarik dan pembentukan kelompok tari ulu ambek. Fenomena di atas juga dikatakan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa sebagai berikut: Ulu ambek ko ndak bisa bakato surang urang je doh. Iko wakie nagari. Nagari nan dipataruahan. Di dalam kalompok ulu ambek yo ado urang per urang tapi inyo haruih saiyo jo sakato sasamonyo, tamasuak pangulu. (ulu ambek tidak bisa dikendalikan oleh satu individu saja. Ini

5 214 merupakan wakil dari nagari. Nagari yang dipertaruhkan. Dalam kelompok ulu embek memang ada individu tapi harus seiya dan sekata dalam kelompok tersebut, termasuk penghulu) (Wawancara, 5 Januari 2014). Pernyataan di atas menjelaskan keterlibatan individu didasarkan pada aktivitasaktivitas tari ulu ambek, interaksi, dan rasa. Semakin banyak dilakukan aktivitas tari ulu ambek, seorang pemain tari ulu ambek akan banyak berhubungan dengan orang lain, semakin beraneka interaksinya, dan semakin kuat tumbuhnya rasa mereka. Kemudian semakin banyak interaksi antara seseorang dan yang lainnya, maka semakin banyak kemungkinan aktivitas dan rasa yang ditularkan kepada orang lain. Semakin banyak aktivitas yang ditularkan kepada orang lain dan semakin banyak rasa seseorang dipahami oleh orang lain, maka semakin banyak pula kemungkinann ditularkannya aktivitas-aktivitas dan interaksi-interaksi. Hal ini merupakan dinamika sosial dalam tari ulu ambek. Terbentuknya suatu organisasi sosial seperti organisasi tari ulu ambek di Pariaman, didasarkan atas saling membutuhkan, persamaan ideologi seperti yang dikembangkan oleh Althuser dan Gramsci yang saling melengkapi (Gramsci, 1971:349). Pertukaran informasi antarmereka tentang kesenian tari ulu ambek akan berakibat pada munculnya ideologi bersama yang diyakini oleh masyarakat Pariaman. Seseorang selalu mendapatkan pengetahuan ideologi berupa kepuasan atau terpenuhinya sebagian kebutuhan ilmu tentang kebudayaan. Setiap individu yang memasuki kelompok tari ulu ambek, pada hakikatnya mempunyai dorongan untuk mengadakan evaluasi terhadap dirinya tentang ideologi, seperti yang dikembangkan oleh Althuser dan Gramsci, yang didapat dalam tari tersebut. Dengan memasuki kelompok tari ulu ambek, individu akan

6 215 mengetahui pendapat orang lain mengenai dirinya termasuk apa yang baik, yang boleh, dan yang tidak boleh dikerjakan dalam tari ulu ambek. Melalui interaksi dalam organisasi itulah ia dapat mengetahui apakah pendapatnya, gagasan, dan pertimbangannya sesuai dengan kenyataan sosial. Tari ulu ambek di Pariaman akan membentuk ideologi seperti yang dikembangkan Althuser dan Gramsci pada budaya Pariaman terhadap individu manusia. Tujuan pribadi manusia dalam belajar tari ulu ambek adalah keingintahuan cara dalam memimpin masyarakat sehingga ideologi seperti yang dikembangkan Althuser dan Gramsci tentang kepemimpinan penghulu yang tergambar pada tari ulu ambek akan bisa diterapkan pada kepemimpinan pada organisasi sosial yang paling kecil, yaitu rumah tangga sampai yang lebih besar seperti pemimpin negara. Dinamika sosial masyarakat melibatkan pribadi manusia untuk melakukan interaksi untuk saling melengkapi. Artinya, seseorang tertarik untuk mengadakan interaksi bukan karena adanya kesamaan sikap, melainkan karena adanya perbedaan-perbedaan yang tercipta. Adanya perbedaan, misalnya, dalam merasakan kekurangan diri sendiri dibandingkan dengan orang lain, justru akan mendorong seseorang untuk mendapatkan yang kurang itu dari orang lain, seperti dikatakan oleh Sudirman Sutan Bandaro berikut: Ulu ambek bukan hanya pertaruhan pribadi pemain saja, namun adalah pertaruhan suku dan nagari yang diwakili oleh pemain. Malu pribadi menjadi malu nagari secara keseluruhan. Jadi masyarakat secara umum juga terlibat secara langsung dalam kegiatan ini (Wawancara, 6 Januari 2014). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa pemain memiliki tanggung jawab yang

7 216 besar karena ia adalah wakil penghulu yang sekaligus adalah wakil masyarakat dalam mempertaruhkan nama nagari. Partisipasi aktif masyarakat pendukung tari ulu ambek sangat diperlukan untuk membangun ideologi seperti yang dikembangkan oleh Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009: ) bahwa ideologi terlibat dalam reproduksi bangunan sosial dan relasinya terhadap kekuasaan yang kuat sebagai landasan berpijak berdasarkan kebudayaan Pariaman. Organisasi tari ulu ambek dapat menuntunnya untuk mencapai pengetahuan ideologi tersebut. Dasar lainnya ialah karena organisasi tari ulu ambek merupakan mobilitas bagi usaha pencapaian tersebut. Di samping itu, organisasi tari ulu ambek juga menjadikan seseorang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan atau menyempurnakan persoalan-persoalan hidup berbudaya yang juga menjadi tujuan pribadi manusia. Berdasarkan teori ideologi Gramsci dan Althuser (dalam Takwin, 2009:5) bahwa ideologi memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu. Tari ulu ambek merupakan pertaruhan ideologi kelompok yang ada antar nagari. Jadi tidak hanya individu, namun juga masyarakat luas ikut mempertaruhkan harga diri mereka. Perubahan sosial masyarakat Pariaman, akibat terjadinya interaksi dengan kebudayaan lain, mengakibatkan ideologi mereka juga berubah. Relasi kuasa masyarakat harus dijawab sepenuhnya oleh relasi kuasa dalam tari ulu ambek. Relasi kuasa dalam tari ulu ambek tentu tidak akan mengubah secara total, tetapi menambah tatanan baru dalam pola penggarapan sehingga kesenian ini bisa

8 217 bertahan dan tetap menjadi rujukan bagi masyarakat. Dinamika sosial yang terjadi pada kebudayaan matrilineal harus bisa menghadapi kondisi yang selalu berubah. Seiring dengan perkembangan masyarakat, sistem nilai dalam struktur sosial harus mampu bersifat adaptif dengan kondisi ruang dan waktu. Jika tidak, akan berubah dan tergantikan dengan sistem yang baru dan hal itu cenderung masih bersifat evolutif. Ideologi tari ulu ambek yang mapan akibat keberadaannya yang cukup lama di Pariaman sepatutnya menjadi nilai yang bisa bertahan. Organisasi tari ulu ambek harus mempunyai kepandaian dan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan perubahan sosial yang berakibat terjadinya relasi kuasa. Bentuk pertunjukan tari ulu ambek yang terkesan tidak berkembang bukan berarti tidak ada perubahan, melainkan karena sistem itu mampu mengubah tujuan-tujuan dan kepemimpinan yang ada secara damai. Kelompok-kelompok tari ulu ambek lebih menyukai perubahan secara evolutif, yaitu perubahan secara bertahap. Hal ini bisa dilihat dari perubahan waktu pertunjukan yang semula tidak boleh malam hari, sekarang sudah bisa malam hari, bahkan sampai pagi. Organisasi sosial tari ulu ambek selalu mengalami perubahan karena perubahan itu merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perubahan dapat terjadi disengaja atau tidak terencana, tetapi dapat pula secara terencana. Perubahan terhadap waktu pertunjukan bisa diartikan sebagai kemajuan karena zaman sekarang efektivitas menjadi dominan dalam kehidupan masyarakat. Mereka menilai bahwa waktu harus dimanfaatkan demikian rupa agar pelaksanaan tari ulu ambek tidak memakan waktu yang panjang.

9 218 Perubahan pola pikir masyarakat tersebut memengaruhi pola organisasi tari ulu ambek. Namun, diharapkan esensi yang ada dalam tari ulu ambek tidak hilang karena nilai yang dibawa tari tersebut merupakan nilai luhur dari kebudayaan. Esensi sifat kepemimpinan mungkin akan bergeser, tetapi pergeseran itu tidak akan terlalu jauh menyimpang dari sifat kepemimpinan yang tergambar dalam tari ulu ambek. Kelompok tari ulu ambek memiliki jumlah anggota terbatas. Biasanya hubungan di antara mereka saling mengenal secara mendalam. Dasar kekuatan ikatan kelompok tari ulu ambek adalah sistem kekerabatan, terdiri atas anggota kaum dalam satu nagari. Akibatnya, perasaan memiliki anggota tari ulu ambek secara individu terhadap kelompoknya sangat besar. Para anggotanya saling membagi pengalaman, berencana, dan memecahkan masalah secara bersamabersama. Hubungan kelompok tari ulu ambek dengan kelompok lain yang beda nagari merupakan hubungan kekerabatan yang jauh. Mereka dihubungkan dengan cara berpikir yang sama terhadap kesenian yang sama, yaitu tari ulu ambek. Hubungan silaturahmi terjadi ketika mereka melakukan pertunjukan tari ulu ambek pada suatu laga-laga. Dalam proses latihan, hubungan dengan kelompok lain nagari ini bisa dilakukan, tetapi tidak memberikan efek terhadap relasi kuasa karena mereka umumnya memiliki ideologi yang sama. Hal di atas juga dikatakan oleh Hajizar sebagai berikut: Hubungan manusia dengan manusia lain merupakan bentuk kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam ulu ambek. Antara pemain dalam satu nagari sebetulnya memiliki hubungan emosional yang tinggi. Adanya kesepakatan dalam peraturan permainan menciptakan keharmonisan

10 219 sesama mereka (Wawancara, 5 Janari 2014). Maksud dari pendapat di atas adalah, bahwa anggota kelompok tari ulu ambek dalam satu nagari diikat oleh hubungan batin yang bersifat alamiah karena umumnya mereka mempunyai visi yang sama terhadap kesenian tersebut. Dasar hubungan tersebut berupa rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Setiap kelompok tari ulu ambek di nagari lain juga mempunyai pola yang sama dan hubungan kekerabatan yang sama. Oleh karena itu, tari ulu ambek tidak akan hilang dalam kehidupan masyarakat Pariaman, tetapi pasti berada dalam perubahan. Faktor dinamika sosial akan sangat memengaruhi penciptaan ideologi seperti yang dikembangkan Althuser dan Gramsci (dalam Barker 2009: ) yang melihat ideologi sebagai dialektika yang dicirikan oleh kekuasaan yang dominan yang terjadi dalam tari ulu ambek. Partisipasi personal sangat menentukan arah ideologi tersebut. Partisipasi personal adalah kegiatan anggota tari ulu ambek yang bertindak secara pribadi-pribadi untuk memengaruhi pembuatan ideologi secara komunal. Kegiatan anggota tari ulu ambek dalam partisipasi ideologi komunal tari ulu ambek memberikan arah pembentukan ideologi yang diharapkan masyarakat. Melalui kelompok tari ulu ambek manusia dapat bersama-sama dalam usaha memenuhi berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kesenian tersebut. Di dalam suatu kelompok seorang pribadi harus dapat membedakan dua kepentingan, yaitu sebagai makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia pada dasarnya mempunyai hasrat

11 220 untuk mengutamakan kepentingan diri sendiri. Namun, manusia tidak mungkin dapat hidup layak tanpa berkelompok karena berkelompok itulah manusia dapat meneruskan keturunannya secara wajar. Faktor dinamika sosial yang menyebabkan munculnya ideologi dalam tari ulu ambek dipengaruhi juga oleh faktor agama. Memang dalam perjalanan sejarah pernah ada pertentangan antara kaum adat dan kaum agama, seperti pada masa Perang Paderi, yang mengakibatkan kesenian tradisi yang notabene milik adat dijauhkan dari aktivitas kaum ulama atau kaum agama (Erlinda, 2011:160). Kaum Paderi beranggapan bahwa seni merupakan bid ah yang merusak nilai-nilai agama Islam. Perselisihan antara kaum adat dan kaum agama juga relatif telah dapat diatasi. Beberapa gejolak yang muncul belakangan mengarah pada wacana intelektual saja dan agaknya kurang mendapat respons dari masyarakat luas. Sementara itu, Sahrul N. (2005:70) menjelaskan bahwa konflik pada zaman Paderi tidak hanya melibatkan kaum adat dan kaum agama, tetapi jauh dari itu adalah konflik lima kelompok besar yang saling menindas. Lima kelompok tersebut adalah penjajah (bangsa Belanda), kaum adat dari masyarakat Minangkabau, kaum pedagang (bisnis) dari beragam etnis, Islam keras (kaum Paderi) dari masyarakat Minangkabau, dan Islam demokrat juga dari masyarakat Minangkabau. Kelima kelompok saling bersaing mengambil keuntungan, baik keuntungan politik, ekonomi, agama, maupun keuntungan adat dan budaya. Perbedaan pendapat dalam sistem sosial di Pariaman merupakan hal yang lumrah sesuai dengan pepatah basilang kayu di tungku, mako api hiduik (bersilang kayu di tungku, maka api akan hidup). Pepatah ini berarti bahwa masyarakat

12 221 meyakini bahwa sesuatu yang ingin dicapai harus melewati perbedaan-perbedaan pemikiran di antara makhluk sosial. Konflik antara penguasa dan yang dikuasai, menurut Fromm (1987:137), merupakan konflik antarkelas, yaitu kelas penguasa dan kelas yang dikuasai. Konflik ini berdasarkan prinsip ketamakan yang selalu menjadi yang memiliki, bukan yang dimiliki. Hal ini sebetulnya tidak berlaku dalam kebudayaan Pariaman. Pusat hubungan sosial di Pariaman terjadi di dua tempat, yaitu surau dan kedai. Keduanya sangat berpengaruh besar dalam perkembangan mental masyarakat ini. Surau adalah lambang kesakralan yang mencerminkan sikap religius, sopan santun, serta kepatuhan kepada Allah, sedangkan kedai mencerminkan aspek dunia yang mengandung kekerasan dan keberanian. Dua tempat tersebut senantiasa saling mengisi dalam memenuhi kebutuhan manusia di Pariaman. Tari ulu ambek, indang, randai, dan kesenian tradisi lainnya menjadi sebanding dengan kegiatan tarekat, mengaji, salat, salawat, barzanji, dan lain-lain. Karakter pembentukan Islam tradisional sesungguhnya berangkat dari aktivitas seperti ini. Demikian besar fungsi musala bagi perkembangan generasi muda Pariaman pada masa lalu. Dua tempat yang memengaruhi ideologi tari ulu ambek bisa dikatakan sebagai dualisme sistem sosial. Dualisme yang dimaksudkan dalam tulisan ini lebih sebagai sebuah kondisi bahwa dalam sebuah masyarakat ditemukan adanya dua aspek yang cenderung berbeda, bahkan saling bertentangan, tetapi berada dalam masyarakat yang sama. Masyarakat Pariaman memiliki struktur dualisme sehingga bisa

13 222 dibayangkan begitu besarnya potensi konflik internal (dalam arti negatif) yang bisa terjadi di dalam masyarakat Pariaman. Namun, dalam kenyataannya, kondisi dualisme ini justru tidak membuat masyarakat Pariaman menjadi disharmoni atau menjadikan masyarakatnya selalu mengalami konflik berkepanjangan. Masyarakat Pariaman mampu mensinergikan keduanya sehingga tidak mengalami kekacauan yang berakibat negatif. Kedekatan emosional masyarakat Pariaman dengan surau dan kedai menjadi faktor kunci lestarinya pemahaman tradisional di ranah Pariaman dan buah dari sebuah interaksi antara dua kultur yang saling berdialog. Sudut pandang kelompok kedai terhadap surau tradisional sesungguhnya melepaskan ikatanikatan kultural ini yang telah terjalin demikian lama sehingga memunculkan bentuk-bentuk Islam tradisi yang mapan di wilayah Pariaman. Aspek perubahan sosial dianggap sebagai hal yang biasa, berangkat dari pepatah adatnya yang mengatakan sakali air agadang, sakali tapian barubah (sekali banjir datang, maka tempat permandian juga akan berubah). Perubahan sosial tidak mengubah secara frontal nilai-nilai dasar (nilai-nilai adat) yang berkembang dalam masyarakatnya. Masyarakat Pariaman mengenal ada dua jenis adat, yaitu adat yang babuhua mati dan adat yang babuhua sentak (adat yang terikat mati sehingga sulit untuk dilepas serta adat yang ikatannya mudah dilepas). Perubahan sosial di Pariaman cenderung masih terjadi dalam tataran adat babuhua sentak dan tidak pada tataran adat babuhua mati. Hal ini terbaca dari gambaran masyarakatnya, yang sebesar apa pun perubahan sosial yang terjadi, tetapi nilai-nilai adat cenderung tetap kuat bertahan.

14 223 Dinamika sosial yang terjadi di Pariaman juga mengarah pada bagaimana masyarakat mampu mengambil ideologi alam sebagai anutan. Alam menjadi inspirasi masyarakat. Alam menjadi guru sosial bagi masyarakat Pariaman sehingga menimbulkan ungkapan alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Filosofi ini sering dianggap sebagai pijakan dasar bagi masyarakatnya dalam mengembangkan diri, baik dalam kekinian maupun pada masa yang akan datang. Alam dalam konteks masyarakat Pariaman tidak hanya sekadar lingkungan biotis, tetapi juga dipandangnya sebagai lingkungan sosial-budaya dan lingkungan pemikiran. Dengan kata lain, alam dipandang sebagai dunia tempat pergulatan kehidupan dan pemikiran masyarakatnya ditemukan dan disarikan. Untuk mengatur dinamika sosial masyarakat Pariaman diperlukan struktur pemerintahan yang disebut dengan tigo tungku sajarangan (tiga tungku satu jarangan), yaitu penghulu, alim ulama, dan cerdik pandai. Tiga komponen ini merupakan pimpinan di dalam nagari di samping pemimpin formal pemerintahan. Ketiganya mempunyai wilayah yang berbeda dalam mengatur masyarakat. Penghulu lebih dekat dengan kehidupan adat dan budaya, alim ulama mengatur agama dan keyakinan masyarakat, sedangkan cerdik pandai merupakan pemimpin yang mengurus intelektual masyarakat. Hubungan ketiganya harus dinamis untuk menerapkan hukum dan norma sehingga ketiganya juga disebut tali tigo sapilin (tali tiga satu ikatan). Ketiga struktur sosial tersebut tidak ada yang dominan, bahkan dengan rakyat pun kedudukan mereka tidak jauh berbeda. Pemimpin hanya didahulukan

15 224 satu langkah dan ditinggikan satu ranting sehingga rakyat pun bisa menjangkaunya. Dia dihormati bukan karena pangkat atau darah dan keturunannya, tetapi karena kualitas kepemimpinannya. Karena kepemimpinan terbagi menurut fungsi masing-masing, maka di luar bidang fungsinya dia bukanlah pemimpin, melainkan bawahan. Lagi pula, pemimpin di Pariaman tidaklah kebal terhadap kesalahan dan terhadap hukum. Peningkatan peran tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan (tali tiga satu pilin, tungku tiga satu jarangan) dalam pelestarian nilai-nilai budaya, peningkatan kualitas kehidupan budaya masyarakat, serta pembangunan daerah merupakan langkah konkret untuk membangun ideologi tari ulu ambek di tengah masyarakat. Begitu pula penguatan kelembagaan adat di nagari agar lebih mampu mengayomi kehidupan sosial masyarakat sebagai upaya pemberdayaan lembaga adat melalui pembinaan dan penyediaan sarana-parasana yang lebih representatif. Di samping itu, perlu juga mempertahankan nilai-nilai adat budaya Pariaman melalui peningkatan pemahaman nilai-nilai adat dan budaya terhadap masyarakat dan remaja sehingga mampu menciptakan jalinan komunikasi yang intensif di antara masyarakat, baik di kampung halaman maupun di perantauan Faktor Pendidikan Masyarakat Faktor pendidikan (edukasi) merupakan salah satu elemen penting yang membangun ideologi tari ulu ambek di Pariaman. Pendidikan bertujuan tidak hanya membentuk manusia yang cerdas otaknya dan terampil dalam

16 225 melaksanakan tugas, tetapi diharapkan menghasilkan manusia yang memiliki nilai budaya sehingga manusia tersebut mencintai budayanya. Menurut Gazalba (1989:375), pendidikan sebagai pembentukan kebiasaan dengan jalan perulangan tanggapan atau laku perbuatan merupakan dasar. Di samping itu, diusahakan intensitas tanggapan atau laku perbuatan untuk memperoleh puncak penghayatan tertentu yang akan melahirkan lompatan perubahan. Pendidikan yang membangun ideologi tari ulu ambek adalah pendidikan yang mengarah pada pendidikan agama dan adat masyarakat Pariaman. Sebagaimana uangkapan adat agama mengatakan dan adat menjalankan, maka pendidikan diarahkan pada dua komponen tersebut. Agama mendidik manusia supaya berpikir tentang alam akhirat, sementara adat mendidik manusia untuk bisa memahami manusia lain. Hubungan keduanya merupakan kekuatan budaya masyarakat Pariaman dalam membangun karakter manusia yang berbudaya. Masuknya Islam ke Pariaman melahirkan bentuk-bentuk kesenian yang bernapaskan Islam. Pariaman saat ini dikenal dengan agama Islam yang beraliran Syatariah yang mengisyaratkan bahwa perkembangan Islam di negeri ini sangat dominan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya pesantren yang tumbuh dengan subur sehingga tidak hanya masyarakatnya sendiri yang menuntut ilmu agama Islam di Pariaman juga datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari mancanegara. Hal ini menunjukkan bahwa Pariaman memiliki pergerakan Islam yang sangat dominan. Gerakan kaum Paderi yang terjadi tahun merupakan

17 226 gelombang pertama pembaruan Islam di Minangkabau secara umum. Pada periode akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 terjadi pula gelombang pembaruan yang dalam hal ini disebut dengan gelombang kedua. Mansoer (1970:62) menjelaskan bahwa pembaruan tetap mengarah pada pelaksanaan rabittah, yaitu membayangkan wajah khalifah untuk menghadapkan wajah kepada Allah; suluk, yaitu istilah dalam pelaksanaan ajaran tarekat, perombakan sistem surau, sistem pendidikan surau, pemurnian pelaksanaan hukum Islam (fiqih), memberantas segala macam bid ah yang cenderung dekat dengan paham tarekat. Prioritas kaum pembaharu ialah merombak agama Islam yang ortodoks yang telah banyak dicampuri oleh hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang murni. Khusus pada gelombang kedua, pertentangan lebih banyak terjadi antara kaum tua dan kaum muda yang sedang bersemangat. Kaum tua didominasi oleh Islam kaum sufi yang beraliran tarekat, seperti naqsyabandiyah, sattariyah, samaniah, dan rifa yah. Kaum muda diwakili oleh ulama-ulama intelektual yang dipengaruhi oleh sistem pendidikan modern. Kesenian Islam di Pariaman merupakan warisan budaya yang memiliki dialektika antara kekuatan adat dan kekuatan agama. Meskipun kadang-kadang dialektika itu memunculkan konflik sosial seperti yang terjadi antara kaum adat dan kaum Paderi pada zaman perjuangan Tuanku Imam Bonjol. Akan tetapi, antara yang mempertahankan dan yang ingin melakukan pembaruan terusmenerus terjadi tarik-menarik dan saling memengaruhi. Hal ini merupakan dinamika perubahan dan perkembangan kebudayaan Pariaman. Begitu juga dengan keseniannya, terutama kesenian bernuansa Islam, yang sudah cukup lama

18 227 menjadi identitas masyarakat Pariaman. Perubahan fungsi media dakwah agama Islam menjadi tontonan rakyat yang profan tidak menjadikan kesenian Islam kehilangan identitas. Hal itu justru menambah khazanah nilai yang ditonjolkan. Kalau sebelumnya hanya agama yang memiliki peran terhadap kesenian Islam, sekarang adat pun memiliki peran yang penting dalam pertunjukan kesenian Islam, seperti tari ulu ambek yang penarinya laki-laki dan tidak boleh perempuan. Hal ini yang membuat kesenian Islam masih tetap bertahan, meskipun tidak sesemarak seperti zaman dahulu, cukup berhasil menggeliat dari berbagai kesulitan dan masalah yang dihadapi, seperti dikatakan oleh Sjamsurijal berikut: Sebagai guru saya melihat bahwa pendidikan ulu ambek diperuntukan untuk anak laki-laki. Hal ini merupakan gambaran dari penghulu yang juga laki-laki. Laki-laki merupakan pemimpin kaum, maka ia harus bisa memimpin anak kemenakannya dengan baik (Wawancara, 4 Januari 2014). Pendapat di atas menjelaskan bahwa sasaran pendidikan adalah kaum laki-laki karena tari ulu ambek sepenuhnya dikuasai oleh laki-laki. Anak laki-laki harus dibina agar bisa melanjutkan tradisi tari ulu ambek. Begitu juga laki-laki akan menjadi pemimpin kaumnya sehingga pendidikan adat dan agama akan menjadi prioritas penting dalam membangun ideologi budaya Pariaman. Althuser dan Gramsci (dalam Barker, 2009:60-62) berpendapat bahwa keterkaitan antara kelompok dominan dan kebertahanan kelompok yang didominasi menimbulkan kegandaan ideologi sehingga muncul ideological complexes. Laki-laki adalah kelompok dominan dalam wilayah tari ulu ambek di Pariaman karena laki-laki dipersiapkan untuk jadi pemimpin.

19 228 Tidak diperbolehkannya perempuan terlibat langsung dengan tari ulu ambek merupakan hal yang ideologis pula. Seperti dikatakan oleh Mutahir (2011:133) bahwa pendidikan budaya kadang kala juga disisipi oleh ideologi yang menafikan sesuatu. Hegemoni laki-laki dalam tari ulu ambek merupakan hegemoni kekuasaan yang dinamakan penghulu (datuk). Penghulu beserta masyarakat meyakini bahwa perempuan tidak boleh ada di depan umum karena berkaitan dengan nilai-nilai agama Islam. Sarana pendidikan yang penting dalam kebudayaan Pariaman adalah pendidikan surau (musala). Aspek mental keagamaan bagi laki-laki Pariaman, sangat penting, namun fungsi surau jauh lebih penting dalam membentuk karakter mereka di kemudian hari. Selain untuk memperoleh informasi keagamaan, surau juga dijadikan ajang bersosialisasi. Semenjak berumur enam tahun, kaum pria telah akrab dengan lingkungan surau. Struktur bangunan rumah tradisional orang Pariaman yang dikenal dengan rumah gadang memang tidak menyediakan kamar bagi anak laki-laki. Oleh karena itu, setelah berumur enam tahun, anak laki-laki di Pariaman seperti terusir dari rumahnya. Hanya pada waktu siang hari mereka boleh di rumah untuk membantu keperluan sehari-hari. Sebaliknya, pada waktu malam, mereka harus menginap di surau. Selain karena tidak disediakan tempat, mereka juga merasa risih untuk berkumpul dengan urang sumando (suami dari kakak atau adik perempuan). Kondisi inilah yang menyebabkan mereka mudah bergaul dengan sesama mereka. Ditambahkan oleh Wisran Hadi (2011:10-12) bahwa aktivitas sosial masyarakat Minangkabau berada pada empat pusat kegiatannya, seperti di bawah

20 229 ini. a. Rumah Gadang Rumah gadang merupakan perkenalan pertama manusia Minangkabau dengan sistem matrilinealnya. Rumah gadang merupakan dunia ibu, artinya pengenalan dengan hubungan keluarga menurut garis ibu; nenek, ibu, saudara perempuam ibu, dan seterusnya. Upacara-upacara yang terjadi di rumah gadang, seperti perkawinan dan kematian, merupakan upacara dalam konteks itu. Sekaligus pula pengenalan mereka terhadap suku dan tanah pusaka. Semuanya berorientasi pada pelaksanaan adat dalam suatu kaum, kampung, dan nagari. b. Surau Surau merupakan pranata kedua setelah rumah gadang. Setiap kaum mempunyai sebuah surau. Di surau mereka belajar ilmu, agama, menulis, dan membaca. Surau ini pula dijadikan sebagai basis pelajaran bela diri; pencak silat. Surau sebagai dunia ulama berorientasi pada rantau dan akhirat. c. Lapau/Galanggang/Rantau Lapau sebagai dunia parewa berorientasi pada persoalan yang realistis, misalnya tentang "kekinian", demokratisasi, sumber informasi sekaligus untuk arena kesenian. Di sini semuanya diadu mulai dari fisik, pikiran, dan apa saja, dan semuanya di sini diuji. d. Balai Adat Balai adat merupakan dunia ninik mamak. Orientasinya pada hal-hal

21 230 yang ideal, pemahaman dan penyempurnaan pelaksanaan adat. Hukumhukum adat dibicarakan di sini untuk diterapkan menurut peringkat wilayahnya nagari, koto, dan kampuang. Semenjak lahir sampai meninggalnya seorang Minangkabau akan berada pada keempat pusat kegiatan sosial itu secara berurutan pada peringkat umur, yang dapat dibagi sebagai berikut: (a) 0 sampai dengan 10 tahun di rumah gadang (b) 10 sampai dengan 15 tahun di surau (c) 15 sampai dengan 25 tahun di lapau/galanggan dan rantau (d) 25 sampai dengan 40 tahun di Balai Adat. Setelah umurnya mencapai empat puluh sampai dengan lima puluh tahun, seseorang akan kembali ke surau, baik sebagai ulama maupun ninik mamak. Dia akan bertemu dengan kemenakannya yang berumur sepuluh tahun sampai dengan lima belas tahun untuk diajari pelajaran membaca, menulis, bela diri, dan sebagainya. Surau atau musala yang mula-mula merupakan unsur kebudayaan asli dalam rangka kepercayaan asli, setelah agama Islam masuk menjadi bangunan Islam. Dahulu bangunan ini digunakan sebagai tempat bertemu, berkumpul, mengadakan rapat, dan tempat tidur bagi pemuda-pemuda. Surau juga memiliki sifat sakral (Gazalba, 1989:314). Di surau mereka belajar mengaji dan cerita tentang nabi-nabi terutama perjuangan Nabi Muhammad dengan segala kegigihannya. Seperti yang dikatakan oleh Kusuma (2010:11-12) bahwa Nabi Muhammad dalam menyebarkan agama

22 231 Islam tidak sedikit mendapat rintangan dan cobaan. Nabi Muhammad dikatakan Rasulullah sebagai utusan Allah di dunia dan kesalehan serta ketaatannya menjalankan salat (sembahyang) lima waktu sehari atas petunjuk atau perintah Allah, seperti dikatakan oleh Arsil berikut: Surau adolah tampek kamanakan-kamanakan awak baraja agamo. Kalau alah salasai mangaji barajo lo nan lain. Umpamonyo baraja adaik, bakasenian dan sabagainyo. Di surau nan ketek diaja dek nan gadang, nan gadang diaja dek guru. Mangkoe raso tangguangjawaok alah diajakan sajak nyo ketek-ketek. (surau adalah tempat kemenakankemenakan kita belajar agama. Kalau sudah belajar agama maka diajarkan pula hal-hal lain. Umpamanya belajar adat, belajar kesenian dan sebagainya. D surau, yang kecil diajar oleh yang lebih besar, yang besar diajar oleh guru. Makanya rasa tanggungjawab sudah diajarkan kepada mereka sejak kecil) (Wawancara, 4 Januari 2014). Pendapat di atas menjelaskan bahwa di samping persoalan agama, di surau juga dipelajari persoalan adat dan budaya Pariaman. Di surau anak-anak belajar pasambahan, silat, tari ulu ambek, pidato adat, randai, dan sebagainya. Segala kebutuhan yang bersifat praktis, keterampilan, kebijaksanaan, tutur kata, dan tata krama yang diperlukan orang Pariaman sebagian besar diperoleh di surau. Surau mewadahi proses lengkap dari sebuah regenerasi masyarakat Pariaman, sesuatu yang belum tentu ada pada kebudayaan lain. Secara ideologi, hal seperti itu yang dikembangkan oleh Althuser dan Gramsci (1971: 349). Jadi, satu kesatuan kultural diperoleh melalui aneka ragam kehendak, yang tujuan heterogennya secara bersama-sama dimasukkan ke satu tujuan tunggal, sebagai basis sebuah konsepsi tentang dunia yang adil dan alamiah. Perilaku berjenjang dalam pendidikan menjadikan semuanya berjalan dengan adil dan alamiah. Kekuasaan bisa dialihkan dari guru kepada murid pertama untuk mengajarkan pada murid di bawahnya.

23 232 Pendidikan agama, adat, dan budaya yang mengacu pada konsepsi alam takambang jadi guru yang melahirkan kebijaksanaan sehingga orang Pariaman harus tahu nan ampek (yang empat), yaitu kato mandaki, kato manurun, kato mandata, dan kato malereang (kata mendaki, kata menurun, kata mendatar, dan kata melereng). Artinya, generasi muda dididik tentang kearifan berhubungan antarmanusia. Kata mendaki merupakan kata (bahasa) yang dipakai ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, kata menurun merupakan kata atau bahasa yang dipakai ketika berhadapan dengan orang yang lebih muda, kata mendatar merupakan kata yang dipakai ketika berhadapan dengan orang yang sebaya, dan kata melereng merupakan kata atau bahasa yang dipakai ketika berbicara dengan urang sumando (suami kakak atau adik perempuan). Semua ini didapat melalui surau sebagai tempat pelatihan terpadu yang mengintegrasikan antara konsepsi ideologis dan norma-norma budaya. Masyarakat Pariaman memiliki nilai budaya yang kaya dengan prinsip-prinsip hidup. Pendidikan surau menekankan perkembangan jiwa manusia. Surau tempat mengembangkan seluruh aspek kehidupan manusia, seperti intelektual, karakter, estetika, dan fisik dalam ranah pembelajaran kehidupan berbudaya yang menyenangkan. Pendidikan surau sebagai bagian dari kebudayaan merupakan upaya memberikan pengetahuan dasar sebagai bekal hidup. Pengetahuan dasar untuk bekal hidup yang dimaksudkan di sini adalah kebudayaan. Kehidupan adalah keseluruhan dari keadaan diri manusia, totalitas dari apa yang dilakukan sebagai manusia, yaitu sikap, usaha, dan kerja yang harus dilakukan oleh setiap

24 233 orang, menetapkan suatu pendirian dalam tatanan kehidupan bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Pendidikan ideologi tari ulu ambek perlu disikapi secara dini dengan mengelola perkembangan usia anak pada masa-masa awal pertumbuhan intelegensinya. Belajar kesenian di surau merupakan pengelolaan pendidikan yang sangat mendasar. Anak adalah calon generasi penerus yang merupakan aset utama dalam pelestarian dan pengembangan ideologi seni tari ulu ambek. Anakanak usia sekolah merupakan masa menanamkan rasa berbudaya yang perlu dicermati dengan baik. Mereka akan mudah tertarik pada sesuatu yang dirasa lebih dekat dengan dunia mereka, baik bentuk, karakter, maupun nilai yang dikandung dalam sebuah kebudayaan. Hal di atas juga dikatakan oleh Sjamsurijal sebagai berikut: Pendidikan ulu ambek adalah pendidikan etika dalam masyarakat nagari dan berhubungan juga dengan masyarakat nagari lain. Cara membangun sikap yang bertanggungjawab memberikan pembelajaran yang menyebabkan pemain ulu ambek paham bahwa mereka tidak hanya sekedar bermain juga sedang berperilaku seperti idealnya masyarakat Pariaman (Wawancara, 4 Januari 2014). Pernyataan di atas menjelaskan pemahaman pendidikan yang mengarah pada pola hidup yang santun dan bernilai pendidikan yang tinggi. Mengajar generasi muda lewat pola berkesenian menjadikan generasi muda tahu dengan etika bermasyarakat. Hal ini merupakan pendidikan nonformal yang sangat bermanfaat untuk pengembangan diri. Berdasarkan teori semiotika Barthes (Cobley dan Jansz, 2002:22) bahwa tanda merupakan suatu rangkaian secara sintagmatik yang diperlakukan sebagai suatu kesatuan. Rangkaiannya dipadu, baik secara sintagmatik maupun secara

25 234 paradigmatik (sistem klasifikasi). Pendidikan menjadi tanda terhadap pengembangan tingkah laku manusia. Hadler (2010: ) menilai bahwa sekolah bagi masyarakat Minangkabau hanya bersifat transformatif. Pedagogi-pedagogi yang saling bersaing bergabung dengan gagasan-gagasan yang saling bertentangan mengenai rumah dan keluarga mengakibatkan destabilisasi konsepsi diri mereka. Bagi anak laki-laki Minangkabau, pendidikan di surau sangat penting sebagai pengalaman masa kecil dan perjalanan menuju ke kedewasaan. Pendidikan ideologi budaya tari ulu ambek di Pariaman merupakan komitmen dan proses refleksi tentang masyarakat Pariaman. Keutamaan pendidikan memberikan fokus pada pembangunan dan memelihara kesadaran tentang budaya tari ulu ambek di Pariaman yang direfleksikan oleh individu, kelompok, dan masyarakat. Pendidik perlu peka dalam memahami konsep perbedaan sikap individu masyarakat yang saat ini sedang berlangsung. Peran surau dalam membangun ideologi masyarakat Pariaman yang digambarkan lewat kesenian tari ulu ambek sangat penting untuk dijadikan ukuran berapa jauh kemampuan masyarakat dalam mempertahankan ideologinya. Surau menjadi lembaga pendidikan nonformal dalam memberikan pengetahuan agama, adat, dan kesenian sehingga adat, agama, dan kesenian sulit disentuh oleh globalisasi yang semakin merajalela. Surau sebagai pencipta ideologi tari ulu ambek di Pariaman tidak hanya sekadar mengawetkan budaya dan meneruskannya dari generasi ke generasi, tetapi juga diharapkan dapat mengubah dan mengembangkan pengetahuan tentang

26 235 tari tersebut. Generasi muda tidak hanya diajari keterampilan yang sudah dikenal, tetapi juga nilai-nilai yang dibawa tari tersebut. Ideologi pendidikan tari ulu ambek menjadikan pendukungnya menjunjung tinggi nilai-nilai luhur seni budaya Pariaman. Di samping itu, pendidikan harus mengarah pada kreativitas dari tari ulu ambek. Pada dasarnya, setiap individu memiliki potensi kreativitas dan potensi inilah yang ingin diaktualisasi oleh pendidikan. Semangat kreatif menonjol dalam diri generasi muda yang mempunyai keinginan belajar tentang tari ulu ambek. Namun, bagi mereka yang selalu mempertanyakan hakikat seni, maka mereka umumnya bersikap kritis terhadap nilai-nilai yang ada. Untuk itu, nilai-nilai yang ada dalam tari ulu ambek harus selalu diperbarui untuk mengaktualisasi zaman yang dihadapi generasi muda. Pendidikan mempersiapkan orang untuk hidup berinteraksi secara kreatif dengan masyarakat secara bertanggung jawab dan tidak hanya hidup dan menyesuaikan diri dengan struktur-struktur sosial itu. Pemain tari ulu ambek merealisasi dimensi-dimensi sosialnya, yaitu nilai yang dibawa kesenian tersebut lewat proses belajar berpartisipasi secara aktif dan terlibat secara menyeluruh dalam lingkungan sosial. Dalam kerangka sosialitas pada umumnya ini, suatu misi pendidikan ideologi tari ulu ambek bertujuan menolong manusia muda melihat kepemimpinan yang konkret dengan segala dimensi kehidupannya. Tari ulu ambek mengajarkan manusia untuk bisa mempertahankan harga dirinya, jujur, beretika, dan sebagainya. Pembentukan manusia sempurna ini akan

27 236 tercapai apabila dalam diri seseorang terjadi proses perpaduan yang harmonis dan integral antara dimensi-dimensi manusiawi, seperti dimensi fisik, intelektual, emosional, dan etis. Sebagai lembaga informal, pendidikan tari ulu ambek memiliki proses yang berlangsung sepanjang usia sehingga setiap orang memperoleh nilai, sikap, pengetahuan, dan keterampilan tari ulu ambek yang bersumber dari budaya Pariaman. Sehubungan dengan itu, akan banyak dilihat bahwa mereka yang sudah tua pun memiliki peran yang cukup besar dalam tari ulu ambek. Kalaupun mereka tidak sanggup bergerak, tugas lain yang berhubungan dengan tari ulu ambek tetap diperankan. Pendidikan nonformal ini merupakan cara yang mudah sesuai dengan daya tangkap rakyat Pariaman. Di samping itu, pendidikan nonformal mendorong rakyat menjadi belajar sebab pemberian pendidikan tersebut dapat disesuaikan dengan keadaan lingkungan dan kebutuhan masyarakat. Untuk mengembangkan ideologi tari ulu ambek di tengah masyarakat maka perlu ada sinergi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Peran masyarakat dalam pendidikan tari ulu ambek, terutama keterlibatan di dalam membangun ideologi antara adat dan agama selama ini, memang masih kurang. Namun, hal ini tidak bisa disesalkan karena masyarakat Pariaman telah terbiasa dengan pola Orde Baru yang sangat mendikte masyarakat. Pada masa Orde Baru kualitas pendidikan cenderung mengekang kreativitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan secara umum membuat generasi muda menjadi pintar, tetapi tidak menjadi cerdas. Pengekangan kreativitas ini disebabkan pula oleh adanya pendapat yang

28 237 mengarahkan masyarakat pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri. Tingkat pendidikan masyarakat Pariaman yang relatif hampir sama dengan daerah lain di Indonesia memengaruhi cara pandang terhadap fenomena tari ulu ambek. Cara pandang masyarakat ini akan membangun berapa jauh ideologi masyarakat bisa bersaing dengan ideologi yang lain. Oleh karena itu, ideologi budaya yang kuat dalam tari ulu ambek akan mampu menjawab tantangan ideologi yang datang kemudian, seperti globalisasi. Hal tersebut merupakan pemartabatankan pendidikan seni tari ulu ambek yang menempatkan kesenian memberikan nilai rasa estetis, baik kolektif maupun individual, pada sisi perilaku dan etika pergaulan. Di samping itu, pemartabatan pendidikan juga berarti penempatan nilai etis pendidikan di atas tata nilai lainnya di dalam pergaulan sosial, politik, ekonomi, bahkan budaya secara menyeluruh. Hal ini berarti bahwa di dalam konteks pengembangan hubungan-hubungan, baik antarindividu maupun kolektif, penting menempatkan pendidikan yang mengandung nilai etis dan estetika secara benar dan berbudaya. Pendidikan tari ulu ambek harus mampu membangun identitas kultural masyarakat Pariaman yang lebih kuat sehingga dapat menempatkan mereka sebagai bagian penting pergaulan dunia yang lebih luas. Di dalam konteks yang lebih global, nilai-nilai yang dibangun secara holistik akan merasuk ke dalam tata nilai dan pergaulan dunia yang lebih berkarakter. Untuk itu, di dalam memajukan tari ulu ambek perlu dukungan dari seluruh komponen masyarakat Pariaman

29 238 termasuk di dalamnya dukungan politik di dalam pembangunan pendidikan tari ulu ambek yang akan membentuk ideologi masyarakat. Faktor pendidikan seni tari ulu ambek dinilai juga memiliki hubungan dengan faktor pewarisan nilai budaya. Pendidikan yang berkarakter budaya cenderung akan bisa menciptakan ideologi yang berkembang di tengah masyarakat. Masyarakat Pariaman yang saat ini sangat heterogen akan memunculkan generasi yang heterogen pula. Wisran Hadi (2011:58) menambahkan bahwa surau adalah produk masyarakat tradisi. Artinya, surau merupakan sarana untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang agama dan pendidikan. Ketika surau milik masyarakat tradisi itu ditarik ke dalam kehidupan masyarakat global, timbul berbagai persoalan yang harus dilihat secara jernih, untuk menemukan langkah apa yang terbaik harus dilakukan. Tujuannya agar terhindar dari rongrongan pengaruh negatif globalisasi dan sekaligus tetap mempunyai jati diri dan keyakinan yang kukuh. Persoalan utama yang harus diselesaikan adalah perlu adanya pengertian dan definisi surau secara menyeluruh dan umum agar dapat dijadikan rujukan bagi masyarakat Minangkabau hari ini. Pengertian dan definisi surau masih berbeda-beda antara ulama, pemerintah, dan pemangku adat. Perbedaan pengertian ini menyebabkan pula lahirnya peraturan pemerintah tentang surau yang berbeda pemahamannya dengan surau yang dikenal secara tradisi. Sementara itu, pendidikan secara formal di Minangkabau umumnya dan Pariaman khususnya telah dimulai sejak tahun 1821 (Nofriyasman, 2011:95). Sejak itu pula bermunculan sekolah-sekolah yang dibangun Belanda dan bisa

30 239 digunakan oleh kaum pribumi yang pro-belanda. Namun, adanya sekolah-sekolah formal ini tidak memengaruhi lembaga surau yang juga dijadikan sebagai sekolah informal Faktor Tradisi Ritual Adat Masyarakat Faktor ritual juga menjadi penyebab tumbuhnya ideologi tari ulu ambek di Pariaman. Faktor ritual adalah faktor agama yang dalam hal ini adalah agama Islam sebagai anutan masyarakat Pariaman. Agama merupakan pengalaman yang mentransendensikan sejumlah peristiwa eksistensi sehari-hari yang melibatkan kepercayaan dan tanggapan terhadap sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia. Tari ulu ambek mengambil ideologi agama Islam, seperti nilai-nilai silaturahmi, nilai sopan santun, nilai kekerabatan, dan sebagainya. Semua nilai ini sangat erat berkaitan dengan persoalan agama yang mewajibkan hal itu dilakukan. Ideologi tari ulu ambek menjadi anutan masyarakat Pariaman untuk menjalani kehidupan yang Islami. Agama menjadi penting bagi manusia karena pengetahuan dan keahlian tidak berhasil memberikan sarana adaptasi atau mekanisme yang dibutuhkan. Agama menjadi penting sehubungan dengan pengalaman manusia selalu berhubungan dengan ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan yang merupakan karakteristik fundamental manusia. Agama menjadi cakrawala pandang tentang dunia yang tidak terjangkau oleh manusia dan agama sebagai sarana ritual yang memungkinkan hubungan

31 240 manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya. Harga diri dalam tari ulu ambek memberikan pemahaman bagaimana agama mengharuskan untuk menjunjung tinggi rasa kemanusiaan antarmanusia. Agama dalam bahasa Indonesia dianggap ekuivalen dengan kata religi. Sementara itu, religi berhubungan dengan ketuhanan (Gazalba, 1989:9-11). Masyarakat Pariaman menjadikan agama sebagai sikap hidup, baik secara sosial maupun kebudayaan. Dalam tari ulu ambek kedua sikap disandingkan untuk membentuk manusia yang berakhlak dan berbudaya, seperti dikatakan oleh Angku Sabar Dt. Rangkayo Majo Basa berikut: Kutiko Islam masuak, pemain ulu ambek buluih, mako inyo ndak mungkin diturunan ka laga-laga lai. Inyo baubek dulu di musajik atau musala. Aratie agamo nan maubek e. (ketika Islam masuk, pemain ulu ambek yang khilaf, maka ia tidak mungkin lagi dimainkan di arena ulu ambek. Ia harus berobat dulu di mesjid atau musala. Artinya agama yang mengobatinya) (Wawancara, 5 Januari 2014). Pernyataan di atas menjelaskan bahwa ketika seorang penari tari ulu ambek buluih (khilaf), maka sarana pengobatannya adalah agama. Penari tersebut harus melakukan introspeksi diri di musala sehingga jiwanya bisa disehatkan. Agama mendasarkan perhatiannya pada sesuatu yang di luar jangkauan manusia yang berkaitan dengan takdir dan kesejahteraan. Agama memberikan dukungan moral. Dukungan moral dibutuhkan saat menghadapi ketidakpastian, kekecewaan, dan kebutuhan rekonsiliasi dengan masyarakat. Kuasa agama sebagai kebenaran universal seperti yang dikatakan Althuser dan Gramsci (Barker, 2009:63) sangat memengaruhi tari ulu ambek waktu itu. Kekhilafan atau buluih dapat dialami penari tari ulu ambek. Terkait dengan itu,

32 241 agama menyediakan sarana perbaikan emosi yang membantu jiwa penari tersebut sehingga mau lagi bermain tari ulu ambek. Dalam memberikan dukungannya, agama menopang nilai-nilai dan tujuan yang telah terbentuk, memperkuat moral, dan membantu mengurangi kebencian. Hal itu penting sebab kebencian hanya akan menyisakan dendam yang berkepanjangan dan menuju ke konflik yang negatif. Dalam konteks ini, agama menjadi penting perannya dalam memberikan kekuatan bagi manusia dalam memilih nilai-nilai dan norma-norma yang dianutnya dalam percaturan nilai-nilai dan norma-norma yang dihadapi. Faktor ritual menawarkan hubungan yang transendental melalui pemujaan atau ibadah. Pemujaan atau ibadah memberikan dasar emosional bagi rasa aman dan memberikan identitas yang lebih kuat di tengah ketidakpastian dan ketidakmungkinan kondisi manusia. Agama menyediakan kerangka acuan di tengah pertikaian dan kekaburan pendapat sudut pandang manusia. Fungsi ini menyumbangkan stabilitas, ketertiban, dan sering kali mendukung terpeliharanya kesejahteraan. Hal itu berarti bahwa agama sebagai benteng dalam diri manusia untuk memberikan kekuatan. Faktor ritual menyucikan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk, mempertahankan dominasi tujuan tari ulu ambek di atas keinginan individu dan disiplin ideologis tari ulu ambek di atas dorongan individu. Agama memperkuat legitimasi pembagian fungsi, fasilitas yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Agama juga melakukan fungsi dengan menyediakan cara-cara, sering kali berupa ritual. Kesalahan dapat diampuni dan individu dilepaskan dari belenggu kesalahan dan disatukan kembali ke dalam kelompok sosial.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan kegiatan interkasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih baik lisan maupun tulisan. Sebelum mengenal tulisan komunikasi yang sering

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang

BAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda

Lebih terperinci

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL

MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL MATERI 6 BENTUK DAN FUNGSI LEMBAGA SOSIAL 1. Bentuk dan Fungsi Lembaga Sosial Pada dasarnya, fungsi lembaga sosial dalam masyarakat beraneka macam berdasarkan jenis-jenis lembaganya. Oleh karena itu, kita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. komunitas masyarakat matrilineal paling besar di dunia (Kato, 2005). BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minangkabau merupakan satu-satunya budaya yang menganut sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia. Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas masyarakat matrilineal

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1 PENGEMBANGAN PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS KEARIFAN LOKAL* 1 Oleh Drs. H. Syaifuddin, M.Pd.I Pengantar Ketika membaca tema yang disodorkan panita seperti yang tertuang dalam judul tulisan singkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahkluk sosial yang dilahirkan dalam suatu pangkuan budaya yang pada awalnya merupakan unsur pembentukan kepribadiannya. Umumnya manusia sangat peka

Lebih terperinci

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN

PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN PERTEMUAN KE 6 POKOK BAHASAN A. TUJUAN PEMBELAJARAN Adapun tujuan pembelajaran yang akan dicapai sebagai berikut: 1. Mahasiswa dapat menjelaskan perbedaan pengertian nilai dengan nilai social. 2. Mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,

BAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pada Pasal 3 menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia sangat kaya akan berbagai macam budaya baik itu bahasa, tarian dan adat istiadat yang dimiliki oleh setiap suku bangsa juga sangat beragam. Keanekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan kewarganegaraan (PKn) adalah program pendidikan berdasarkan nilainilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral

Lebih terperinci

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN

2013 POLA PEWARISAN NILAI-NILAI SOSIAL D AN BUD AYA D ALAM UPACARA AD AT SEREN TAUN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk yang memiliki keinginan untuk menyatu dengan sesamanya serta alam lingkungan di sekitarnya. Dengan menggunakan pikiran, naluri,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan karakter saat ini memang menjadi isu utama pendidikan, selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa. Dalam UU No 20 Tahun 2003

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Yunita, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kesenian merupakan hasil dari kebudayaan manusia yang dapat didokumentasikan atau dilestarikan, dipublikasikan dan dikembangkan sebagai salah salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang sangat kompleks. Didalamnya berisi struktur-struktur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya yang berada di daerah-daerah di dalamnya. Kebudayaan itu sendiri mencakup pengertian yang sangat luas. Kebudayaan merupakan

Lebih terperinci

WAHANA MEMBANGUN KELUARGA SEJAHTERA

WAHANA MEMBANGUN KELUARGA SEJAHTERA BAB II WAHANA MEMBANGUN KELUARGA SEJAHTERA MAKSUD DAN TUJUAN Apabila Posyandu mampu menghayati fungsi-fungsi tersebut, dan selanjutnya menjadikannya sebagai program untuk memberdayakan keluarga secara

Lebih terperinci

a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut

a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut a. Hakekat peradaban manusia Koentjaraningrat berpendapat bahwa kata peradaban diistilahkan dengan civilization, yang biasanya dipakai untuk menyebut unsur-unsur kebudayaan yang dianggap halus, maju, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, kebudayaan ini tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu

BAB I PENDAHULUAN. adalah selalu ingin terjadi adanya perubahan yang lebih baik. Hal ini tentu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat memberikan perubahan, perbaikan, dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu perubahan atau perkembangan pendidikan adalah hal yang memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan manusia pada dasarnya dilatarbelakangi oleh adanya suatu sejarah kebudayaan yang beragam. Keberagaman yang tercipta merupakan hasil dari adanya berbagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sosiologi dan Sastra Secara institusional objek sosiologi dan sastra adalah manusia dalam masyarakat, sedangkan objek ilmu-ilmu kealaman adalah gejala alam. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG

BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG 77 BAB IV ANALISIS PERAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI LINGKUNGAN KELUARGA DALAM MEMBENTUK AKHLAQUL KARIMAH PADA REMAJA DI DUSUN KAUMAN PETARUKAN PEMALANG A. Analisis Tentang Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fenomena saat ini, keberadaan seni tradisi yang terdapat di daerah mulai menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam penyajian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Proses pendidikan diselenggarakan dalam rangka mengembangkan pengetahuan, potensi, akal dan perkembangan diri manuisa, baik itu melalui jalur pendidikan formal,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan sosial yang sering terjadi di masyarakat membuktikan adanya penurunan moralitas, kualitas sikap serta tidak tercapainya penanaman karakter yang berbudi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. interaksi manusia antara lain imitasi, sugesti, simpati, identifikasi, dan empati.

BAB I PENDAHULUAN. interaksi manusia antara lain imitasi, sugesti, simpati, identifikasi, dan empati. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk individu yang tidak bisa hidup sendiri dan juga merupakan makhluk sosial yang selalu ingin hidup berkelompok dan bermasyarakat. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari tradisional menjadi modern. Perkembangan teknologi juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Zaman selalu berubah setiap waktu, keadaan tidak pernah menetap pada suatu titik, tetapi selalu berubah.kehidupan manusia yang juga selalu berubah dari tradisional menjadi

Lebih terperinci

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tradisi tabut di Bengkulu semula merupakan ritual yang sakral penuh dengan religius-magis yaitu merupakan suatu perayaan tradisional yang diperingati pada tanggal 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu

BAB I PENDAHULUAN. dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan dikaruniai berbagai kelebihan dibandingkan dengan ciptaan lainnya. Karunia itu berupa akal, cipta, rasa,

Lebih terperinci

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar

Kompetensi Inti Kompetensi Dasar Kompetensi Inti 2. Mengembangkan perilaku (jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, santun, ramah lingkungan, gotong royong, kerjasama, cinta damai, responsif dan proaktif) dan menunjukan sikap sebagai

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, kesimpulan dalam penelitian ini ialah sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. sakral, sebuah pernikahan dapat menghalalkan hubungan antara pria dan wanita. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahap penting dalam kehidupan manusia. Selain merubah status seseorang dalam masyarakat, pernikahan juga merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam satu

Lebih terperinci

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI

2015 KAJIAN NILAI-NILAI BUDAYA UPACARA ADAT NYANGKU DALAM KEHIDUPAN DI ERA MODERNISASI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang terkenal dengan keanekaragaman budaya, hal ini dikarenakan Indonesia terdiri dari berbagai suku dan adat budaya. Setiap suku

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Hakikat Belajar Marilah kita kaji sejenak arti kata belajar menurut Wikipedia Bahasa Indonesia. Disana dipaparkan bahwa belajar diartikan sebagai perubahan yang relatif permanen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pandangan sosiolinguistik menyebutkan bahwa bahasa lahir di dalam masyarakat. Melalui media bahasa, sebuah kebiasaan lisan terbentuk secara turun temurun di dalam masyarakat,

Lebih terperinci

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK

STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK A. SD/MI KELAS: I STRUKTUR KURIKULUM 2013 MATA PELAJARAN PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN SD/MI, SMP/MTS, SMA/MA DAN SMK/MAK Kompetensi Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 1. Menerima

Lebih terperinci

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK

BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK BAB IV PANCASILA SEBAGAI ETIKA (MORAL)POLITIK A. Pengertian Nilai, Moral, dan Norma 1. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA. Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PENGEMBANGAN ETIKA DAN MORAL BANGSA Dr. H. Marzuki Alie KETUA DPR-RI Disampaikan Pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya Politik Nasional Berlandaskan Pekanbaru,

Lebih terperinci

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa

Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Memahami Budaya dan Karakter Bangsa Afid Burhanuddin Kompetensi Dasar: Memahami budaya dan karakter bangsa Indikator: Menjelaskan konsep budaya Menjelaskan konsep karakter bangsa Memahami pendekatan karakter

Lebih terperinci

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN

BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan suatu proses pemuliaan diri yang di dalamnya terdapat tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sastra bukanlah hal yang asing bagi manusia, bahkan sastra begitu akrab karena dengan atau tanpa disadari terdapat hubungan timbal balik antara keduanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendidikan anak usia dini merupakan penjabaran dari sebuah pendidikan yang bermula dari seluruh negara di dunia yang dalam bahasa Inggrisnya disebut dengan early childhood

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses realisasi karya seni bersumber pada perasaan yang merupakan bentuk ungkapan atau ekspresi keindahan. Setiap karya seni biasanya berawal dari ide atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia di era globalisasi sekarang ini sudah mengarah pada krisis multidimensi. Permasalahan yang terjadi tidak saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki bahasa yang beragam pula. Walaupun telah ada bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut tersebar di daerah-daerah sehingga setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan baik untuk diri sendiri dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seni budaya merupakan penjelmaan rasa seni yang sudah membudaya, yang termasuk dalam aspek kebudayaan, sudah dapat dirasakan oleh orang banyak dalam rentang perjalanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah.

adalah bagian dari komitmen seorang kepala sekolah. BAB V KESIMPULAN, ILPIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari hasil perhitungan pada Bab IV penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Kepemimpinan kepala sekolah harus didukung oleh nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan bukti legitimasi

BAB I PENDAHULUAN. kemasyarakatan. Pelaksanaan nilai-nilai budaya merupakan bukti legitimasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pada dasarnya budaya memiliki nilai-nilai yang senantiasa diwariskan, ditafsirkan dan dilaksanakan seiring dengan proses perubahan sosial kemasyarakatan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43

BAB I PENDAHULUAN. Ibid hlm. 43 BAB I PENDAHULUAN Setiap penelitian akan di latar belakangi dengan adanya permasalahan yang Akan dikaji. Dalam penelitian ini ada permasalahan yang dikaji yaitu tentang Efektivitas Tokoh Agama dalam Membentuk

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Simpulan

BAB V PENUTUP. A. Simpulan BAB V PENUTUP A. Simpulan Dari keseluruhan kajian mengenai pemikiran Kiai Ṣāliḥ tentang etika belajar pada bab-bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan penting, terutama mengenai konstruksi pemikiran

Lebih terperinci

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1

DAFTAR ISI BAB I. PENGANTAR... 1 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i PERNYATAAN... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR ISTILAH... viii DAFTAR TABEL DAN GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii INTISARI... xiv ABSTRACT... xv BAB I. PENGANTAR... 1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau dan memiliki berbagai macam suku bangsa, bahasa, adat istiadat atau sering disebut kebudayaan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK

STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK STANDAR KOMPETENSI KEMANDIRIAN PESERTA DIDIK Aspek Perkembangan : Landasan Hidup Religius bentuk-benuk tata cara ibadah seharihari. 2. Akomodasi Tertarik pada kegiatan ibadah seharihari. 3. Tindakan Melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat diterima orang lain, sehingga tercipta interaksi sosial sesama

BAB I PENDAHULUAN. akan dapat diterima orang lain, sehingga tercipta interaksi sosial sesama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia sebagai mahluk sosial memerlukan bahasa untuk berkomunikasi satu sama lain. Melalui bahasa pula, semua informasi yang ingin kita sampaikan akan dapat diterima

Lebih terperinci

PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA.

PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA. BAB II PERGESERAN POLA PIKIR REMAJA TENTANG KONSEP PANDANGAN HIDUP DAN UPAYA MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI SEMANGAT HIDUP REMAJA. 2.1 Pancasila Sebagai Pedoman Bangsa Pancasila adalah ideologi bangsa dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca,

BAB I PENDAHULUAN. bahasa siswa, karena siswa tidak hanya belajar menulis, membaca, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar (SD) menjadi sebuah proses belajar bahasa yang berada pada fase paling penting bagi penguasaan bahasa siswa, karena siswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam setiap kehidupan sosial terdapat individu-individu yang memiliki kecenderungan berperilaku menyimpang dalam arti perilakunya tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu

BAB I PENDAHULUAN. anggota suatu kelompok masyarakat maupun bangsa sekalipun. Peradaban suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Moral dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat penting. Nilai-nilai moral sangat diperlukan bagi manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota suatu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

PEMBENTUKAN WATAK BANGSA INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA ABAD 21

PEMBENTUKAN WATAK BANGSA INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA ABAD 21 PEMBENTUKAN WATAK BANGSA INDONESIA MELALUI PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN BANGSA INDONESIA ABAD 21 Machful Indra Kurniawan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disiplin merupakan kesadaran diri yang muncul dari batin terdalam untuk mengikuti dan menaati peraturan-peraturan nilai-nilai dan hukum yang berlaku dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5). 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi semua orang. Pendidikan bersifat umum bagi semua orang dan tidak terlepas dari segala hal yang berhubungan

Lebih terperinci

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI)

26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) 26. Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan untuk Sekolah Dasar (SD)/Madrasah Ibtidaiyah (MI) A. Latar Belakang Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan upaya mencapai kedewasaan subjek didik yang mencakup segi intelektual, jasmani dan rohani, sosial maupun emosional. Undang-Undang Sisdiknas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang merupakan daerah yang memiliki potensi budaya yang masih berkembang secara optimal. Keanekaragaman budaya mencerminkan kepercayaan dan kebudayaan masyarakat setempat

Lebih terperinci

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut

Lebih terperinci

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI

STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI STANDAR KOMPETENSI GURU KELAS SD/MI Disajikan pada kegiatan PPM Di UPTD BALEENDAH KAB BANDUNG Oleh BABANG ROBANDI JURUSAN PEDAGOGIK FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA Makna Kompetensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia hidup juga berbeda. Kemajemukan suku bangsa yang berjumlah. 300 suku hidup di wilayah Indonesia membawa konsekuensi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbhineka, baik suku bangsa, ras, agama, dan budaya. Selain itu, kondisi geografis dimana bangsa Indonesia hidup juga

Lebih terperinci

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6

SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA. Week 6 SUMBER-SUMBER DAN NILAI DALAM PERILAKU ETIKA Week 6 Agama Islam menganggap etika sebagai cabang dari Iman, dan ini muncul dari pandangan dunia islam sebagai cara hidup manusia. Istilah etika yang paling

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman,

BAB IV KESIMPULAN. dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, BAB IV KESIMPULAN Masyarakat yang plural atau majemuk merupakan masyarakat yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam di mana mengakui keberagaman, perbedaan, dan kemajemukan budaya, baik ras, suku,

Lebih terperinci

PLEASE BE PATIENT!!!

PLEASE BE PATIENT!!! PLEASE BE PATIENT!!! CREATED BY: HIKMAT H. SYAWALI FIRMANSYAH SUHERLAN YUSEP UTOMO 4 PILAR KEBANGSAAN UNTUK MEMBANGUN KARAKTER BANGSA PANCASILA NKRI BHINEKA TUNGGAL IKA UUD 1945 PANCASILA MERUPAKAN DASAR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu dan teknologi saat ini sangat mempengaruhi perilaku anak yang semakin hilangnya nilai-nilai karakter bangsa. Hilangnya nilai-nilai karakter bangsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah gerbang yang utama dan pertama dalam usaha mewujudkan sumber daya manusia yang lebih baik. Pendidikan harus mampu dalam perbaikan dan pembaharuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya dari aspek jiwa, manusia memiliki cipta rasa dan karsa sehingga dalam tingkah laku dapat membedakan benar atau salah, baik atau buruk, menerima atau menolak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah.

BAB I PENDAHULUAN. tanah ini dengan sendirinya menimbulkan pergesekan- pergesekan. kepentingan yang dapat menimbulkan permasalahan tanah. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, oleh karenanya manusia tidak bisa terlepas dari tanah. Tanah sangat dibutuhkan oleh setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi

BAB I PENDAHULUAN. Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sastra secara nyata memang berbeda dengan psikologi. Psikologi merupakan aktivitas ilmiah tentang prilaku manusia yang berkaitan dengan proses mental

Lebih terperinci

Nilai dan Norma Sosial

Nilai dan Norma Sosial Nilai dan Norma Sosial Manusia tercipta sebagai mahluk pribadi sekaligus sebagai mahluk sosial. Sebagai mahluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi,

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, BAB II KAJIAN TEORITIK A. Deskripsi Teori 1. Nilai Nilai adalah segala sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek, menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi, pandangan, atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Keluarga merupakan sekumpulan orang yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unsur penentu pertama dan utama keberhasilan pembinaan anak sebagai generasi penerus. Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa usia dini merupakan periode emas (golden age) bagi perkembangan anak untuk memperoleh proses pendidikan. Periode ini adalah tahun-tahun berharga bagi seorang anak

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi

BAB V PENUTUP. perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi 1 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Pelanggaran kawin sasuku pada masyarakat Minangkabau dianggap sebagai perkawinan yang pantang oleh adat. Di Kenagarian Sungai Talang yang menjadi lokasi penelitian ini terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. penuturnya dilindungi oleh Undang-undang Dasar Dalam penjelasan Undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Di Indonesia terdapat berbagai ragam bahasa daerah. Bahasa daerah hidup berdampingan dengan bahasa Indonesia. Semua bahasa daerah yang dipakai penuturnya dilindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Bangsa Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau dan berbagai etnis, kaya dengan seni dan sastra seperti permainan rakyat, tarian rakyat, nyanyian rakyat, dongeng,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan.

I. PENDAHULUAN. kelak akan menjadi penerus pembangunan bangsa. Peranan pendidikan. membangun ditentukan oleh maju tidaknya pendidikan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha pembinaan dan pengembangan generasi muda terus ditingkatkan sejalan dengan proses pembangunan nasional yang terus berlangsung baik didalam pendidikan formal sekolah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pendidikan sangat berperan penting bagi kemajuan suatu bangsa, tidak hanya bagi individu yang menempuh pendidikan tersebut, tetapi juga berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi

BAB I PENDAHULUAN. perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesenian adalah unsur kebudayaan yang bersumber pada aspek perasaan, yaitu perasaan estetis. Aspek estetis inilah yang mendorong budi daya manusia untuk menciptakan

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. khas sekaligus aset bagi bangsa Indonesia. Generasi muda sudah banyak

BAB I PEDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. khas sekaligus aset bagi bangsa Indonesia. Generasi muda sudah banyak BAB I PEDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara yang beraneka ragam budaya yang merupakan ciri khas sekaligus aset bagi bangsa Indonesia. Generasi muda sudah banyak melupakan kebudayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara

Lebih terperinci

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan

MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN. Imam Gunawan MAZHAB FILSAFAT PENDIDIKAN Imam Gunawan PERENIALISME Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad 20. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga

TINJAUAN PUSTAKA. Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori. Definisi Keluarga 7 Definisi Keluarga TINJAUAN PUSTAKA Definisi Keluarga dan Pendekatan Teori Menurut Undang-Undang nomor 10 Tahun 1992 Pasal 1 Ayat 10, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami,

Lebih terperinci

MASYARAKAT DAN KESADARAN BUDAYA. Oleh: Resti Nur Laila, Atika Widayanti, Krissanto Kurniawan

MASYARAKAT DAN KESADARAN BUDAYA. Oleh: Resti Nur Laila, Atika Widayanti, Krissanto Kurniawan MASYARAKAT DAN KESADARAN BUDAYA Oleh: Resti Nur Laila, Atika Widayanti, Krissanto Kurniawan Budaya merupakan suatu hal yang dihasilkan masyarakat dari kebiasaan-kebiasaan yang akhirnya mengkristal atau

Lebih terperinci