ANALISIS NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RPJMN TAHUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RPJMN TAHUN"

Transkripsi

1 ANALISIS NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEBAGAI BAHAN PENYUSUNAN RPJMN TAHUN KERJASAMA KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/BAPPENAS JAPAN INTERNATIONAL COOPERATION AGENCY (JICA) 2013 i 1

2 Analisis Nilai Tukar Petani(NTP)sebagai bahanpenyusunan RJMNTahun Penanggung Jawab : Deputi Bidang SDA-LH Editor : Ali Muharam Tim Penulis : Ir. Nono Rusono, Msi Dr. Ir. Anwar Sunari, MP Ade Candradijaya, STP,MSi,MSc Ifan Martino Tejaningsih Cover Depan : content/uploads/2013/01/petani-miskin- Indonesia.jpg Direktorat Pangan dan Pertanian,Bappenas Gedung TS.2A, Lantai 5 Jl. Taman Suropati, No.2 Jakarta Pusat,10310 Telephone : Fax : pertanian@bappenas.go.id 2 ii

3 KATA PENGANTAR Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan, kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara agraris, jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis sangat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Salah satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program pembangunan, serta alokasi anggaran yang lebih berpihak pada usaha-usaha peningkatan kesejahteraan petani khususnya terkait dengan penyusunan studi pendahuluan (background study) RPJMN yang saat ini sedang kami susun sehingga diharapkan dalam pembangunan pertanian lima tahun ke depan kesejahteraan petani dapat meningkat. Laporan ini merupakan hasil kajian yang dilakukan Bappenas bekerjasama dengan JICA yang dibantu oleh Tim Penyusun dari berbagai latar belakang yang memahami esensi NTP sebagai salah satu alat ukur kesejahteraan petani. Atas kerjasama yang telah dijalin dengan JICA, kami mengucapkan terima kasih kepada JICA dan juga kepada Tim Penyusun atas kerja kerasnya sehingga analisis ini dapat tersusun dengan baik. Disadari bahwa dalam hasil kajian ini masih terdapat kekurangan, sehingga masukan dari berbagai pihak untuk perbaikan hasil kajian sangat kami harapkan. Terima kasih. Jakarta, Desember 2013 Direktur Pangan dan Pertanian i

4 RINGKASAN 1) Pembangunan nasional pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk itu dalam setiap tahapan pembangunan kesejahteraan masyarakat selalu menjadi tujuan utama. Sebagai negara agraris, jumlah penduduk yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis sangat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan petani dinilai sangat strategis. Dalam rencana rencana jangka panjang pembangunan nasional peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas pembangunan pertanian mendatang. 2) Salah satu indikator/alat ukur yang dipakai untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program pembangunan ke depan. Sejalan dengan itu dilakukan kajian tentang NTP sebagai bahan dalam merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani. 3) Secara umum, kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN Bidang Pertanian. Secara lebih rinci tujuan kajian adalah: (1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia, (2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani, dan (3) Merumuskan kebijakan peningkatan nilai tukar/kesejahteraan petani. Perilaku Nilai Tukar Petani 4) Nilai Tukar Petani (NTP) dihitung dari perbandingan antara harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Apabila laju peningkatan HT lebih tinggi dari laju HB maka NTP akan meningkat, dan sebaliknya. Pergerakan NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat kesejahteraan petani. Dalam periode bulan Januari 2008 Mei 2013, perkembangan NTP menunjukkan tren meningkat dengan laju peningkatan marjinal 0,0038/bulan. Peningkatan ini disebabkan oleh peningkatan laju HT (sebesar 0,0233/bulan) lebih tinggi dibandingkan laju HB (0,0180/bulan). 5) Indeks HT disusun oleh unsur-unsur indeks harga sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Peningkatan HT terutama disebabkan oleh kontribusi yang lebih besar dari sub sektor tanaman pangan (laju 0,0273/bulan) dan sub sektor hortikultura (laju 0,0264/bulan); menyusul sub sektor perikanan (laju 0,0180/bulan), perkebunan (laju 0169/bulan) dan peternakan (laju 0,0155/bulan). ii

5 6) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang diterima petani sub sektor tanaman pangan disebabkan oleh peningkatan harga palawija (laju 0,0273/bulan) lebih besar dari peningkatan harga padi (laju 0,0233/bulan). Sementara pada sub sektor hortikultura kontribusi peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi (laju 0,0262/bulan) dibandingkan peningkatan harga sayuran (laju 0,0262/bulan). Pada sub sektor perkebunan tidak dirinci menurut kelompok komoditas secara lebih rinci, sehingga komponen sub sektor perkebunan yang dimaksud berarti juga kelompok tanaman perkebunan rakyat. Pada sub sektor peternakan, kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil (laju 0,0213/bulan) menyusul hasil peternakan (laju 0,0178/bulan), ternak unggas (laju 0,0171/bulan) dan kelompok ternak besar (laju 0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor perikanan kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani ikan dan nelayan terjadi pada harga produk penangkapan (laju 0,1880/bulan) sementara laju harga produk budidaya ikan sebesar 0,01380/bulan. 7) Indeks HB disusun dari oleh unsur harga pembelian barang konsumsi rumahtangga dan harga pembelian faktor produksi dan barang modal. Dalam periode Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 HB meningkat dengan laju 0,0180/bulan, dan peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi pembelian barang konsumsi rumahtangga (laju 0,0202/bulan), sementara pengeluaran biaya produksi dan penambahan barang modal meningkat dengan laju 0,0117/bulan. 8) Penelusuran lebih lanjut menunjukkan komponen utama peningkatan pengeluaran konsumsi rumahtangga adalah konsumsi bahan makanan (laju 0,0238/bulan), disusul oleh konsumsi makanan jadi (laju 0,0214/bulan), sandang (laju 0,0195/bulan), perumahan (laju 0,0193/bulan), kesehatan (laju 0,0130/bulan), pendidikan-rekreasi dan olahraga (laju 0,0105/bulan), serta transportasi dan komunikasi (laju 0,0035/bulan). Sementara itu dalam komponen penyusun biaya produksi dan penambahan barang modal, peran terbesar terjadi karena peningkatan biaya modal (laju 0,0140/bulan), disusul biaya bibit (laju 0,0123/bulan), upah buruh (laju 0,0119/bulan), obat-pupuk (laju 0,0119/bulan), sewa lahan (laju 0,0105/bulan), dan transportasi (laju 0,0073/bulan). Faktor-Faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi NTP 9) Dari rumus pembentukan NTP dapat diturunkan besaran koefisien pertambahan marjinal dan elastisitas masing-masing komponen unsur penyusun terhadap NTP. Besaran nilai marjinal dan elastisitas NTP tersebut menggambarkan besarnya pengaruh dari perubahan harga-harga terhadap NTP. Pengaruh perubahan harga-harga HT terhadap NTP bertanda positif dan pengaruh perubahan harga HB terhadap NTP bertanda negatif. iii

6 10) Diantara lima sub sektor penyusun HT, nilai elastisitas harga komoditas sub sektor tanaman pangan terhadap NTP menunjukkan nilai terbesar (0,50) menyusul sub sektor hortikultura (0,19), perkebunan (0,18), peternakan (0,16), dan perikanan (0,13). Nilai elastisitas harga sub sektor tanaman pangan terhadap NTP sebesar 0,50 berarti peningkatan harga-harga tertimbang sub sektor sebesar 1 persen akan meningkatkan NTP sebesar 0,50 persen, demikian seterusnya. Sementara itu, dari unsur pengeluaran penyusun HB, nilai elastisitas harga produk konsumsi rumahtangga sebesar - 0,08 lebih besar dari elastisitas harga penambahan barang modal sebesar - 0,46. 11) Penelusuran lebih rinci menunjukkan pada sub sektor tanaman pangan, elastisitas harga padi terhadap NTP sebesar 0,28 lebih besar dibandingkan dengan elastisitas harga palawija sebesar 0,25. Pada sub sektor hortikultura, elastisitas harga sayuran dan buah terhadap NTP menunjukkan nilai yang sama, yaitu masing-masing 0,18. Nilai elastisitas harga komoditas perkebunan 0,18. Sedangkan pada sub sektor peternakan, nilai elastisitas terbesar terjadi pada harga ternak besar (0,10), disusul harga ternak kecil (0,08), hasil ternak (0,07), dan unggas (nilai elastisitas 0,06). Pada sub sektor perikanan, nilai elastisitas harga produk hasil tangkap sebesar 0,08 dan harga produk budidaya sebesar 0,06. 12) Dalam komponen penyusun HB, pada kelompok konsumsi rumahtangga, nilai elastisitas harga produk bahan makanan menunjukkan nilai tertinggi (elastisitas -0,50), disusul produk makanan jadi (-0,25), perumahan (-0,10), transportasi dan komunikasi (-0,05), sandang (-0,04), dan kesehatan serta pendidikan dengan elastisitas`masing-masing -0,03. Pada kelompok sarana produksi dan barang modal, nilai elastisitas terbesar dijumpai pada elastisitas upah terhadap NTP sebesar -0,08, disusul elastisitas pupuk-obat (-0,05), transportasi (-0,05), sewa (-0,03), penambahan barang modal (-0,03), dan elastisitas harga bibit (-0,02). 13) Indeks pengeluaran konsumsi rumahtangga (KRT) merupakan indeks inflasi pedesaan. Dengan demikian hasil analisa menunjukkan inflasi pedesaan memberi pengaruh besar terhadap penurunan NTP (elastisitas -0,80), dan faktor terbesar penyumpang inflasi pedesaan tersebut adalah bahan makanan (elastisitas -0,50), disusul bahan makanan jadi (-0,25), selanjutnya perumahan, transportasi dan komunikasi, sandang, kesehatan dan pendidikan. Dalam rangka kepentingan mengendalikan inflasi pedesaan, langkah strategis yang dapat dilakukan adalah pengendalian harga yang diterima petani (HT) karena HT sangat berhubungan erat dengan harga dan juga akan berdampak kepada stabilitas NTP. NTP yang stabil berarti kenaikan harga-harga terjadi secara proporsional antara HT dan HB. Diperlukan kebijakan pengaturan harga yang merangsang petani berusahatani dan akan meningkatkan kesejahteraan petani (NTP) dan pengendalian inflasi. iv

7 14) Terdapat hubungan erat antara harga konsumsi rumahtangga (KRT) terutama bahan makanan (BM) dari sisi biaya yang dibayar petani (HB), dengan harga yang diterima petani (HT) terutama harga komoditas tanaman pangan (HTTP). Nilai elastisitas HT terhadap KRT dan BM masing-masing sebesar 0,869 dan 0,988; sementara elastisitas HTTP terhadap KRT dan BM masing-masing 0,721 dan 0,821. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga yang diterima petani (HT) terutama harga sub sektor tanaman pangan (HTTP) akan berdampak kepada harga bahan makanan dan KRT (inflasi pedesaan), atau berarti pula kebijakan peningkatan harga pangan (HTTP) dalam rangka meningkatkan NTP juga berakibat meningkatkan KRT (inflasi di pedesaan). 15) Dampak penyesuaian harga BBM terhadap NTP yang terjadi pada bulan Mei tahun 2008 dan Juni pada tahun 2013 menunjukkan pengaruh berbeda. Kebijakan kenaikan BBM tahun 2008 bersamaan dengan kondisi harga harga produk pertanian di pasar domestik dan internasional yang meningkat pesat, sehingga kenaikan harga/biaya transportasi dan HB akibat kenaikan harga BBM masih lebih kecil dibandingkan kenaikan HT akibat kenaikan harga produk komoditas yang diterima, sehingga NTP masih menunjukkan peningkatan. Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun 2013, kenaikan harga BBM bulan Juni telah berakibat kenaikan harga transportasi dan kenaikan HB yang jauh lebih tinggi dibandingkan kenaikan harga produk pertanian yang diterima petani (HT), sehingga telah menurunkan NTP. 16) Dari data mikro menunjukkan hasil analisa usahatani beberapa komoditas pertanian (komoditas tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat dan peternakan) menghasilkan keuntungan positif. Berdasarkan hasil studi Panel, tingkat keuntungan usaha pertanian tersebut cenderung meningkat, dan peningkatan tersebut terutama karena peningkatan harga jual hasil produksi dibandingkan karena pengaruh peningkatan produktivitas. Kondisi ini terjadi terutama pada usahatani tanaman pangan, hortikultura dan usaha ternak. 17) Terjadi peningkatan biaya produksi berkaitan dengan peningkatan nilai sewa lahan, upah buruh tani dan harga sarana produksi. Peningkatan biaya produksi terjadi dengan laju lebih besar dibanding laju peningkatan nilai produksi, sehingga daya tukar atau profitabilitas usaha komoditas pertanian cenderung menurun. 18) Kegiatan pembangunan yang berjalan juga telah meningkatkan pendapatan rumahtangga pertanian, baik pada rumahtangga berbasis agroekosistem lahan sawah dengan komoditas utama tanaman padi maupun rumahtangga berbasis tanaman perkebunan. Peningkatan pendapatan rumahtangga terutama disebabkan oleh peningkatan pendapatan dari kegiatan di luar pertanian (non pertanian) dan pendapatan dari usahatani (on-farm). Peningkatan pendapatan dari non pertanian (non-farm) sejalan dengan terbukanya lapangan kerja usaha non pertanian. Tarikan untuk bekerja di luar pertanian dengan fasilitas yang lebih baik menyebabkan partisipasi kerja v

8 sebagai buruh tani menurun, dan ini ditunjukkan oleh penurunan proporsi curahan kerja dan pendapatan dari berburuh tani di hampir semua lokasi contoh. 19) Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin tinggi pendapatan/ kesejahteraan, semakin menurun proporsi pengeluaran untuk makanan, sementara proporsi untuk konsumsi barang bukan makanan cenderung meningkat. Data tahun menunjukkan gambaran tersebut. Proporsi pengeluaran rumahtangga untuk makanan menurun dari 58,47 persen menjadi 49,45 persen (atau turun sebesar 1,54 persen/tahun), sementara proporsi untuk bukan makanan meningkat dari 41,53 persen menjadi 50,55 persen atau meningkat sebesar 2,17 persen/tahun. Gambaran makro di atas juga ditunjang oleh data hasil penelitian primer. Proporsi pengeluaran untuk bahan makanan relatif paling besar, namun cenderung menurun sejalan dengan peningkatan pendapatan. Sementara proporsi pengeluaran untuk makanan jadi, perumahan, pendidikan-rekreasi serta transportasi-komunikasi menunjukan keragaman antar daerah. 20) Dengan kondisi dasar skala usahatani (skala pemilikan) rumahtangga petani skala kecil, maka pola usahatani petani perlu dilakukan melalui pendekatan pengembangan usahatani terpadu dengan memaksimalkan pemanfaatan lahan yang terbatas. Melalui pengembangan pola usahatani terpadu akan mengurangi resiko akibat kegagalan produksi dari suatu tanaman tertentu. Pengembangan pola usahatani terpadu juga dinilai strategis sebagai langkah antisipasi kondisi anomali iklim yang semakin sulit diprediksi. 21) Peningkatan produktivitas usahatani merupakan salah satu peluang peningkatan pendapatan petani. Peningkatan produktivitas dan nilai jualnya perlu didukung dengan peningkatan akses kepada teknologi (melalui bimbingan dan penyuluhan), peningkatan akses terhadap layanan usahatani dan infrastruktur untuk memperoleh kemudahan sarana produksi dan peningkatan akses pasar. 22) Kebijakan dan program pemerintah telah dilakukan untuk peningkatan pendapatan petani melalui bantuan subidi, penyediaan infrastruktur; serta kebijakan untuk pengendalian pengeluaran konsumsi rumahtangga (seperti pemberian raskin, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan, dan lainnya) dinilai sangat relevan dalam perbaikan kesejahteraan petani. Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan petani 23) Konsep NTP yang dikembangkan BPS dihitung dari rasio harga yang diterima petani (HT) terhadap harga yang dibayar petani (HB). Konsep ini secara sederhana dapat menggambarkan daya beli petani. Dalam penghitungan NTP digunakan indeks Laspeyres dimana nilai indeks vi

9 tertimbang terhadap kuantitas tahun dasar tertentu dan pergerakan indeks ditentukan oleh pergerakan harga harga. Dengan dasar asumsi tersebut maka rasio harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayar petani dipakai sebagai indikator daya beli pendapatan petani terhadap pengeluarannya, dan indikator tersebut digunakan sebagai indikator kesejahteran petani. 24) Indikator NTP yang dibangun BPS mempunyai unit analisa nasional dan merupakan agregasi dari provinsi dan sub sektor /komoditi. Dengan demikian disamping dapat diketahui daya beli petani nasional juga dapat diketahui dan diperbandingkan daya beli petani antar regional provinsi dan daya beli antar sub sektor. Disagreagasi juga dapat dilakukan dengan lebih rinci atas masing-masing komponen komoditi penyusunnya, seperti NT padi terhadap pupuk, NTP sayuran terhadap sewa lahan, NTP unggas terhadap upah dan sebagainya. Indeks nilai tukar komponen penyusun NTP tersebut merupakan parameter penting kebijakan pembangunan pertanian. 25) Dalam kaitan dengan NTP sebagai alat ukur kesejahteraan petani, penggunaan asumsi tingkat produksi yang tetap (indeks Laspeyres) dinilai kurang relevan, karena dengan kuantitas tetap berarti NTP tidak mengakomodasikan kemajuan produktivitas pertanian, kemajuan teknologi dan pembangunan. NTP sebagai indikator daya beli petani yang didasarkan kepada rasio harga harga dinilai belum menunjukkan kesejahteraan petani, karena daya beli yang lebih mendekati kesejahteraan petani sesungguhnya adalah daya beli penerimaan petani terhadap pengeluaran petani. 26) Dengan struktur tataniaga pertanian yang terjadi saat ini, kenaikan harga produk yang diterima petani tidak identik dengan peningkatan pendapatan petani. Kenaikan harga yang diterima petani justru mengindikasikan kelangkaan suplai/produksi pertanian. Peningkatan NTP berarti kenaikan harga yang diterima petani (harga produsen) dengan proporsi yang lebih tinggi dari harga yang dibayar petani (harga konsumen). Pada kondisi demikian maka NTP yang konstan dinilai lebih baik, karena pada NTP yang konstan berarti perubahan harga yang diterima petani meningkat (atau menurun) secara proporsional dengan perubahan harga yang dibayar petani. 27) Dengan beberapa kekurangan dalam penghitungan NTP, diperlukan penyempurnaan penghitungan NTP yang lebih mendekati pengukuran kesejahteraan petani. Penyempurnaan dapat dilakukan antara lain melalui penghitungan pendekatan dengan menggunakan konsep nilai, yaitu dengan memasukkan unsur kuantitas dalam penghitungan NTP, sehingga NTP merupakan rasio antara nilai pendapatan terhadap nilai pengeluaran. Dengan memasukkan unsur kuantitas maka perhitungan NTP menjadi lebih kompleks. Cara paling sederhana adalah dengan disusun dan diakomodasikannya Indeks Produksi Pertanian dan Indeks Konsumsi vii

10 Rumahtangga Pertanian dalam rumus penghitungan NTP. Dengan konsep nilai tersebut maka indeks NTP baru merupakan rasio antara nilai penerimaan terhadap nilai pengeluaran. 28) Pada bagian lain penyusunan NTP yang dilakukan BPS saat ini juga masih memiliki kekurangan berkaitan dengan cakupan/definisi "petani" belum sepenuhnya mengakomodasikan seluruh sub sektor pertanian (seperti petani kawasan hutan) dan cakupan komoditas dari masing-masing sub sektor. Penyempurnaan tersebut perlu mendapat kesepakatan bersama karena terkait dengan pemahaman, ketersediaan data dan analisa. viii

11 DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR i RINGKASAN ii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xvii DAFTAR LAMPIRAN xix 1.1. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Dasar Pertimbangan Tujuan Keluaran 7 II. TINJAUAN PUSTAKA NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) Harga yang Diterima Petani (HT) Harga yang Dibayar Petani (HB) Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani Peningkatan Produksi Pertanian Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif Kebijakan Perdagangan Penyediaan Infrastruktur Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat 24 III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT) Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB) 30 ix

12 DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR i RINGKASAN ii DAFTAR ISI ix DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xvii DAFTAR LAMPIRAN xix 1.1. PENDAHULUAN 1.2. Latar Belakang Dasar Pertimbangan Tujuan Keluaran 7 II. TINJAUAN PUSTAKA NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) Harga yang Diterima Petani (HT) Harga yang Dibayar Petani (HB) Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani Peningkatan Produksi Pertanian Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif Kebijakan Perdagangan Penyediaan Infrastruktur Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat 24 III. METODOLOGI Kerangka Pemikiran Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT) Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB) 30 x

13 3.1.3.Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani Ruang Lingkup Kegiatan Metoda Analisa Sumber Data 35 IV. KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI Keragaan Rumahtangga Pertanian Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan Keragaan Rumahtangga Hortikultura Keragaan Rumahtangga Perkebunan Keragaan Rumahtangga Peternakan Keragaan Kesejahteraan Rumahtangga Petani 55 V. PERILAKU NILAI TUKAR PETANI Perkembangan NTP Tahun Perilaku Harga yang Diterima Petani (HT) Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perkebunan Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Peternakan Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perikanan Perilaku Harga yang Dibayar Petani (HB) Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal 73 xi

14 VI. FAKTOR-FAKTOR DAN KEBIJAKAN YANG MEMPENGARUHI NTP Pengaruh Perubahan Harga-harga terhadap NTP Pengaruh Perubahan Harga Diterima Petani (HT) Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) Keterkaitan antara Inflasi dengan NTP Dampak Kebijakan BBM terhadap NTP Pengaruh Peningkatan Produk Pertanian terhadap NTP 84 VII. NILAI TUKAR PENDAPATAN PETANI DAN RUMAHTANGGA TANI Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Nilai Tukar Usahatani Tanaman Pangan Nilai Tukar Usahatani Tanaman Hortikultura Nilai Tukar Usahatani Tanaman Perkebunan Nilai Tukar Usaha Peternakan Marjin Pemasaran Komoditas Pertanian Perubahan Pendapatan Rumahtanga Petani Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem Lahan Sawah Pendapatan Rumahtangga pada Agroekosistem Lahan Perkebunan 107 VIII. RELEVANSI NTP DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN KESEJAHTERAAN PETANI Relevansi NTP sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Kebijakan Peningkatan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Kebijakan Di Bidang Pendapatan Rumahtangga Petani Kebijakan Di Bidang Pengeluaran Rumahtangga Petani 124 IX. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Implikasi Kebijakan 133 DAFTAR PUSTAKA 137 LAMPIRAN 141 xii

15 DAFTAR TABEL Hal 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk Pertanian NTP dan Produksi di Tingkat Regional Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta) Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian Berdasarkan Regional (juta) Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan Lahan Tahun Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 (dalam persen) Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor Produksi Padi dari Pemerintah Tahun Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumah tangga Hortikultura Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m2) Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura Menurut Jenis Lahan, Tahun 2003 (m2) Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun xiii

16 4.15. Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan Terpilih Tahun Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas Perkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan (m2) Tahun Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas Perkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m2) Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis Masalah Utama Tahun Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang Diusahakan Tahun Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan Usaha untuk Pertanian Lain Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih, Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%) Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan, 2002 dan 2011 (Rp/Kap/Bulan) Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun Rangkuman Nilai Marjinal dan Elastisitas dari Pengaruh HT terhadap NTP 76 xiv

17 6.2. Pengaruh Perubahan Harga Dibayar Petani (HB) terhadap NTP Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usaha tani Padi, Jagung, Kedelai, dan Ubikayu Tahun Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Kubis, Kentang, Tomat, dan Cabe Merah Tahun Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Tebu dan Tembakau Perubahan Nilai Tukar Pendapatan Usahatani Sapi dan Kambing Tahun Marjin Pemasaran Beberapa Komoditas Pertanian Struktur dan Nilai Tukar Pendapatan Rumahtangga Petani pada Agroekosistem Sawah Tahun Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani Perkebunan Tahun Struktur Pendapatan Rumahtangga Petani pada Agroekosistem Perkebunan Tahun Skenario Perubahan HT dan HB terhadap NTP 116 xv

18 xvi

19 DAFTAR GAMBAR Hal 2.1. Pembentukan NTP Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP Perkembangan Produktivitas per Sektor, Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani Per Sub sektor dan Gabungan, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub sektor Perkebunan/ Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Peternakan, Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan Hasil Ternak, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perikanan, Indeks Harga Ikan Hasil Penangkapan dan Ikan Hasil Budidaya, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga yang Dibayar Petani, Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei Perkembangan Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Komponen Penyusunnya, Januari 2008-Mei xvii

20 5.10. Perkembangan Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei Dampak Kenaikan Harga BBM Bulan Mei 2008 dan Juni 2013 terhadap NTP Dampak kenaikan Harga BBM Bulan Juni 2013 terhadap NTP Perkembangan Indeks Produksi dan Rata-rata NTP Tahun Perkembangan Indeks Produksi Sub Sektor dan Rataan NTP Sub Sektor, Tahun xviii

21 DAFTAR LAMPIRAN Hal Tabel Lampiran 1. Nilai Tukar Petani Nasional 142 Tabel Lampiran 2. Bobot Komponen Penyusun NTP 148 Tabel Lampiran 3. Analisa Usahatani Komoditas Padi, Jagung, Kedelai dan Ubikayu Tahun 2008 dan 2011 (Rp 000) 150 Tabel Lampiran 4. Analisa Usahatani Kubis, Kentang, Tomat dan Cabe Merah Tahun 2005 dan 2012 (Rp 000) 151 Tabel Lampiran 5. Analisa Usahatani Komoditas Tebu dan Tembakau Tahun 2008, 2009, 2011 dan 2012 (Rp 000) 152 xix

22 xx

23 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan masyarakat sangat relevan untuk terus mendapat perhatian, hal ini berkaitan dengan beberapa aspek, antara lain: (a) kehidupan yang sejahtera merupakan hak dari setiap anggota masyarakat, (b) Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa Indonesia yang sejahtera merupakan tujuan akhir dari pembentukan negara Indonesia, (c) peningkatan kesejahteraan telah menjadi kesepakatan dunia seperti yang tertuang dalam Millennium Development Goals (MDGs), dan (d) kesejahteraan masyarakat selalu menjadi prioritas pembangunan nasional. Peningkatan kesejahteraan rakyat ditunjukkan oleh membaiknya berbagai indikator pembangunan sumberdaya manusia, antara lain peningkatan pendapatan per kapita; penurunan angka kemiskinan dan tingkat pengangguran. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang mempunyai kontribusi penting dalam pembangunan nasional, melalui perannya dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, dan sumber pendapatan masyarakat, serta perannya dalam memproduksi produk pertanian untuk penyediaan pangan, pakan, bahan baku industri dan ekspor. Dalam dekade terakhir, PDB sektor pertanian secara luas terus meningkat. Atas dasar harga konstan, PDB pertanian meningkat dari Rp 66,2 trilyun pada tahun 2000 menjadi Rp 166,8 trilyun pada tahun 2011, atau terdapat peningkatan rata-rata 4,0 persen/tahun. Keberhasilan transformasi ekonomi yang berjalan menyebabkan laju pertumbuhan di banyak sektor di luar pertanian tumbuh lebih tinggi dibanding sektor pertanian, sehingga kontribusi sektor pertanian terhadap pembentukan PDB total nasional mengalami penurunan. Kontribusi penting lain dari sektor pertanian adalah sebagai penyedia lapangan kerja masyarakat. Pada tahun jumlah tenaga kerja di sektor 1

24 pertanian cenderung menurun dari 40,7 juta jiwa (45,3 persen total tenaga kerja) pada tahun 2000 menjadi 39,3 juta jiwa (35,9 persen total tenaga kerja) pada tahun 2011, sejalan dengan tumbuhnya lapangan kerja di luar sektor pertanian. Namun demikian, jumlah serapan tenaga kerja tersebut masih cukup dominan. Aktivitas sektor pertanian sebagian besar dilakukan di wilayah pedesaan dan didominasi kegiatan on farm atau usahatani budidaya. Aktivitas dilakukan oleh petani penggarap dan para buruh tani yang memperoleh upah tenaga kerja. Pelaksanaan pembangunan pertanian pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani. Oleh karena itu, dalam setiap tahap kegiatan pembangunan pertanian kesejahteraan petani selalu menjadi tujuan pembangunan. Melalui berbagai kebijakan dan program pembangunan pertanian yang dilaksanakan, pemerintah telah berupaya peningkatan produksi pertanian, menjaga stabilitas pasokan bahan pangan, dan meningkatkan pendapatan/kesejahteraan petani. Diantara kegiatan-kegiatan pembangunan telah berjalan diyakini banyak keberhasilan yang dicapai, terutama dalam peningkatan produksi, perekonomian pedesaan serta bagi konsumen pedesaan dan perkotaan. Namun kemiskinan masih menjadi masalah yang belum sepenuhnya terpecahkan, terutama kemiskinan di pedesaan. Peningkatan produksi hasil pertanian melalui berbagai rekayasa teknologi dan kelembagaan dinilai belum cukup mampu meningkatkan pendapatan, kesejahteraan petani dan penangggulangan kemiskinan di pedesaan (Dillon et al., 1999; Simatupang et al., 2000). Kondisi ini didukung oleh data yang menunjukkan jumlah masyarakat miskin di Indonesia terutama di pedesaan masih besar. Data BPS menunjukkan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 29,13 juta jiwa, dan sebagian besar, yaitu 18,48 juta (63,4 persen) berada di pedesaan dan sebesar 10,65 juta jiwa (36,6 persen) penduduk miskin berada di perkotaan. Pembangunan pertanian berorientasi ke arah perbaikan kesejahteraan pelaku pembangunan, yaitu petani. Oleh karena itu, sangat relevan untuk 2

25 mengkaji dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap kesejahteraan petani. Kajian tersebut terutama ditujukan untuk menilai kebijakan yang memberi dampak positif, negatif, atau netral terhadap produksi dan kesejahteraan petani. Salah satu indikator/alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai tingkat kesejahteraan petani adalah indeks Nilai Tukar Petani (NTP). NTP merupakan ukuran kemampuan daya beli/daya tukar petani terhadap barang yang dibeli petani. Peningkatan nilai tukar petani menunjukkan peningkatan kemampuan riil petani dan mengindikasikan peningkatan kesejahteraan petani, atau sebaliknya. Pengetahuan secara mendalam tentang perilaku nilai tukar petani, dampak pembangunan, dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program pembangunan ke depan Dasar Pertimbangan Dalam periode tiga dasawarsa terakhir sektor pertanian dalam arti luas telah menunjukkan peran penting dalam pembangunan nasional, terutama dalam menggerakkan perekonomian nasional. Sektor pertanian diharapkan masih akan menjadi motor penggerak perekonomian pedesaan ke depan. Beberapa dekade yang lalu, pertumbuhan pertanian menunjukkan pertumbuhan yang cukup besar dan telah memberi kontribusi berarti dalam penurunan tingkat kemiskinan. Sektor pertanian memiliki multifungsi, antara lain mencakup aspek produksi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, atau penanggulangan kemiskinan dan kelestarian lingkungan. Dalam aspek produksi, pertanian berperan dalam menghasilkan produksi untuk bahan pangan pokok, bahan baku industri domestik, bahan pakan, bio energi, dan produksi untuk ekspor. Dalam aspek peningkatan kesejahteraan masyarakat, sektor pertanian merupakan sumber lapangan kerja dan pendapatan masyarakat, pembentukan kapital yang berperan besar dalam penanggulangan kemiskinan. Penyediaan/produksi berbagai produk pertanian dengan harga yang murah juga telah meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama konsumen. Sektor pertanian juga berperan dalam menjaga 3

26 kelestarian lingkungan melalui perannya dalam menciptakan alam yang hijau dan menciptakan keseimbangan lingkungan, menghindari erosi, dan pengurangan polusi. Berbagai kebijakan dan program dalam kegiatan pembangunan pertanian yang berjalan, ditujukan untuk memaksimalkan multifungsi di atas. Kebijakan dan program pembangunan tersebut seperti: penyediaan infrastruktur produksi seperti (irigasi, jalan usahatani); pemberian berbagai bantuan, insentif dan subsidi sarana produksi (benih, pupuk) dan subsidi harga; dan dukungan penyuluhan dan pembinaan dalam usahatani serta panen dan pascapanen. Walaupun pembangunan pertanian telah berdampak positif bagi masyarakat pedesaan, namun belum mampu memecahkan masalah kemiskinan di pedesaan. Meskipun jumlah penduduk miskin di pedesaan menunjukkan penurunan, jumlah penduduk miskin di pedesaan masih besar. Produksi pertanian telah tumbuh secara signifikan, namun kesejahteraan petani belum dapat meningkatkan secara signifikan. Hal ini disebabkan antara lain karena umumnya harga yang diterima petani dan yang dibayar konsumen relatif masih rendah. Hal ini berkaitan dengan rendahnya daya tawar petani. Kondisi ini menunjukkan sistem agribisnis yang terbangun belum dapat sepenuhnya mensejahterakan petani. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya daya tawar petani tersebut seperti kesetaraan kelembagaan dalam pasar, infrastruktur, serta kualitas produk dan lain. Dalam pandangan yang bersifat positif, kondisi demikian menunjukkan bahwa masih ada peluang meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan secara keseluruhan melalui perbaikan dan melonggarkan kendalakendala yang ada. Sektor pertanian mempunyai potensi besar dalam perekonomian nasional. Potensi pertanian mencakup wilayah yang luas dengan keragaman kondisi agroekosistem dan potensi besar komoditas untuk dikembangkan. Namun, pembangunan pertanian terkendala oleh sejumlah keterbatasan, antara lain: (1) sumberdaya alam yang terbatas dan rusak, (2) ketersediaan infrastruktur 4

27 pendukung pengembangan pertanian terbatas, (3) penguasaan lahan oleh rumahtangga relatif kecil, (4) keterbatasan akses petani terhadap modal, (4) kelembagaan pertanian belum kuat, (5) kebijakan dan pembinaan pertanian (agribisnis) yang tersekat oleh banyak lembaga. Peningkatan kesejahteraan petani telah dan akan menjadi prioritas pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang dalam rencana jangka panjang pembangunan nasional. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) , Visi Pembangunan Nasional tahun adalah: INDONESIA YANG MANDIRI, MAJU, ADIL DAN MAKMUR. Dalam tahapan pelaksanaan pembangunan jangka menengah (PJM) tahun telah ditetapkan tiga strategi pembangunan ekonomi, yaitu Pro Growth, Pro Jobs, dan Pro Poor. Strategi pembangunan nasional tersebut dilanjutkan pada PJM dengan memperluas fokus menjadi Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro Environment. Dalam strategi pembangunan tersebut, aspek kesejahteraan masyarakat termasuk masyarakat pertanian (petani) menjadi perhatian, sehingga agenda peningkatan kesejahteraan rakyat tetap menjadi prioritas dari pemerintah mendatang. Wujud akhir dari perbaikan kesejahteraan akan tercermin pada peningkatan pendapatan, penurunan tingkat pengangguran dan perbaikan kualitas hidup rakyat. Dalam RPJM tahun diyakini fokus kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pendalaman dari strategi Triple + One Track Strategy, yaitu Pro Growth, Pro Poor, Pro Jobs, dan Pro Environment masih akan menjadi perhatian utama. Sebagai negara agraris, jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertanian/agribisnis relatif besar. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan masyarakat pertanian (petani) akan mendapat perhatian besar pembangunan nasional melalui kegiatan pembangunan pertanian. Oleh karena itu, dalam setiap tahapan kegiatan pembangunan pertanian yang telah dilaksanakan dan yang sedang berjalan, kesejahteraan petani selalu menjadi salah satu tujuan utama dan 5

28 ke depan diyakini masih menjadi salah satu prioritas/target utama pembangunan pertanian. Dengan orientasi pembangunan pertanian ke arah perbaikan kesejahteraan pelaku pembangunan, yaitu petani, maka sangat relevan untuk mengkaji tingkat kesejahteraan petani dan dampak pembangunan yang dilaksanakan terhadap kesejahteraan petani. Pengetahuan secara mendalam tingkat kesejahteraan petani dalam bentuk alat ukur nilai tukar petani, dampak pembangunan dan identifikasi faktor-faktor penentu nilai tukar akan sangat berguna bagi perencanaan kebijakan pembangunan, perbaikan program-program pembangunan ke depan Tujuan Secara umum kajian bertujuan untuk merumuskan kebijakan peningkatan nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN Bidang Pertanian. Secara lebih rinci tujuan kajian adalah: 1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia, 2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani, 3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga, 4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN Bidang Pertanian Keluaran Sesuai dengan tujuan, maka keluaran kajian adalah rumusan kebijakan peningkatan nilai tukar petani sebagai bahan penyusunan RPJMN Bidang Pertanian. Secara lebih rinci keluaran kajian adalah: 1) Analisa perilaku nilai tukar petani Indonesia, 2) Analisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani, 5) Analisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga, 6) Rumusan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN Bidang Pertanian. 6

29 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nilai Tukar Petani sebagai Indikator Kesejahteraan Petani Unsur penting yang dijadikan sebagai indikator kesejahteraan petani adalah besarnya pendapatan dan perimbangannya dengan pengeluaran. Dalam kaitan tersebut salah satu alat ukur yang sering digunakan adalah nilai tukar petani (NTP). Perhitungan NTP diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. Nilai tukar petani menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli petani terhadap produk yang dibeli/dibayar petani yang mencakup konsumsi dan input produksi yang dibeli. Semakin tinggi nilai tukar petani, semakin baik daya beli petani terhadap produk konsumsi dan input produksi tersebut, dan berarti secara relatif lebih sejahtera. Simatupang dan Maulana (2008) mengemukakan bahwa penanda kesejahteraan yang unik bagi rumahtangga tani praktis tidak ada, sehingga NTP menjadi pilihan satu-satunya bagi pengamat pembangunan pertanian dalam menilai tingkat kesejahteraan petani. Dengan demikian, NTP merupakan salah satu indikator relatif tingkat kesejahteraan petani. Semakin tinggi NTP, relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan petani (Silitonga, 1995; Sumodiningrat, 2001; Tambunan, 2003; BPS, 2006; Masyhuri, 2007). Konsep NTP yang dikembangkan BPS, identik dengan konsep nisbah paritas (parity ratio) yang dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1930an (Tomek dan Robinson, 1981). Konsep tersebut sampai sekarang masih digunakan dan secara dinamis dilakukan beberapa modifikasi sesuai dengan perubahan relatif komoditas penyusunnya. Konsep nisbah paritas dirumuskan sebagai berikut: 7

30 Dengan menggunakan teori keseimbangan umum Rachmat (2000) menunjukkan bahwa NTP dapat dijadikan sebagai alat ukur tingkat kesejahteraan petani. Secara konsepsi arah dari NTP (meningkat atau menurun) merupakan resultan dari arah setiap komponen penyusunnya, yaitu komponen penerimaan yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani dan komponen pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan. Apabila laju komponen penerimaan lebih tinggi dari laju pembayaran maka nilai tukar petani akan meningkat, demikian sebaliknya. Pergerakan naik atau turun NTP menggambarkan naik turunnya tingkat kesejahteraan petani. Lebih lanjut Rachmat (2000) menunjukkan bahwa NTP mempunyai karakteristik yang cenderung menurun. Hal ini berkaitan dengan karakteristik yang melekat dari komoditas pertanian dan non pertanian. Ada tiga penjelasan mengenai terjadinya penurunan NTP, yaitu: (1) Elastisitas pendapatan produk pertanian bersifat inelastik, sementara produk non pertanian cenderung lebih elastis, (2) Perubahan teknologi dengan laju yang berbeda menguntungkan produk manufaktur, dan (3) Perbedaan dalam struktur pasar, dimana struktur pasar dari produk pertanian cenderung kompetitif, sementara struktur pasar produk manufaktur cenderung kurang kompetitif dan mengarah ke pasar monopoli/oligopoli. Secara umum, nilai tukar mempunyai arti yang luas dan dapat digolongkan menjadi lima konsep nilai tukar, yaitu: (1) Nilai Tukar Barter, (2) Nilai Tukar Faktorial, (3) Nilai Tukar Penerimaan, (4) Nilai Tukar Subsisten, (5) Nilai Tukar Pendapatan, dan (6) Nilai Tukar Petani (Diakosawas dan Scandizzo, 1991; Simatupang, 1992; Simatupang dan Isdijoso, 1992; Rachmat et al., 2000; Supriyati et al., 2000). 1) Konsep Barter/Pertukaran Konsep barter (Nilai Tukar Barter) mengacu kepada harga nisbi suatu komoditas pertanian tertentu terhadap barang/produk non pertanian. Nilai Tukar Barter (NTB) didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga 8

31 produk non pertanian. Secara matematik dirumuskan sebagai berikut: dimana: NTB = Nilai Tukar Barter Pertanian, P x = Harga komoditas pertanian, = Harga komoditas non pertanian. P y Konsep nilai tukar ini mampu mengidentifikasi perbandingan harga relatif dari komoditas pertanian tertentu terhadap harga produk yang dipertukarkan. Peningkatan NTB berarti semakin kuat daya tukar harga komoditas pertanian terhadap barang yang dipertukarkan. Konsep NTB hanya berkaitan dengan komoditas dan produk tertentu dan tidak mampu memberi penjelasan berkaitan dengan perubahan produktivitas (teknologi) komoditas pertanian dan komoditas non pertanian tersebut. 2) Konsep Faktorial Konsep faktorial merupakan perbaikan dari konsep barter, yaitu dengan memasukkan pengaruh perubahan teknologi (produktivitas). Nilai Tukar Faktorial (NTF) pertanian didefinisikan sebagai rasio antara harga pertanian terhadap harga non pertanian, dikalikan dengan produktivitas pertanian (Zx). Apabila hanya memperhatikan produktivitas pertanian maka disebut Nilai Tukar Faktorial Tunggal (NTFT). Apabila produktivitas non pertanian (Zy) juga diperhitungkan, maka disebut Nilai Tukar Faktorial Ganda (NTFG). NTFT dan NTFG dirumuskan sebagai berikut: 9

32 dimana: NTFT NTFG Z X Z y Z = Nilai Tukar Faktorial Tunggal, = Nilai Tukar Faktorial Ganda, = Produktivitas komoditas pertanian, = Produktivitas produk non pertanian, = Rasio produktivitas pertanian (x) terhadap non pertanian (y). 3) Konsep Penerimaan Konsep penerimaan (Nilai Tukar Penerimaan) merupakan pengembangan dari konsep nilai tukar faktorial. Nilai Tukar Penerimaan (NTR) merupakan daya tukar dari penerimaan (nilai hasil) komoditas pertanian yang diproduksikan petani per unit (hektar) terhadap nilai input produksi untuk memproduksi hasil tersebut. Dengan demikian NTR menggambarkan tingkat profitabilitas dari usahatani komoditas tertentu. Namun NTR hanya menggambarkan nilai tukar komoditas tertentu, belum keseluruhan komponen penerimaan dan pengeluaran petani. dimana: NTR = Nilai Tukar Penerimaan, P X = Harga komoditas pertanian, P y = Harga input produksi, Q X = Jumlah komoditas pertanian yang dihasilkan, = Jumlah input produksi yang digunakan. Q y 4) Konsep Subsisten Konsep nilai tukar subsisten (NTS) merupakan pengembangan lebih lanjut dari NTR. NTS menggambarkan daya tukar dari penerimaan total usahatani petani terhadap pengeluaran total petani untuk kebutuhan hidupnya (Pramonosidhi, 1984). Penerimaan petani merupakan penjumlahan dari seluruh nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani dan pengeluaran nilai hasil produksi komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pengeluaran petani merupakan penjumlahan dari pengeluaran untuk konsumsi rumahtangga dan pengeluaran untuk biaya produksi usahatani. NTS dirumuskan sebagai berikut: 10

33 dimana: NTS = Nilai Tukar Subsisten, P Xi = Harga komoditas pertanian ke i, Q Xi = Produksi komoditas pertanian ke i, P Yj = Harga produk konsumsi, P Yj = Harga produk input produksi, Q Yi = Jumlah produk konsumsi, = Jumlah input produksi. P Yj Dengan demikian, NTS menggambarkan tingkat daya tukar/daya beli dari pendapatan petani dari usahatani terhadap pengeluaran rumahtangga petani untuk kebutuhan hidupnya yang mencakup pengeluaran konsumsi dan pengeluaran untuk biaya produksi. Dalam operasionalnya konsep NTS ini hanya dapat dilakukan pada tingkat mikro, yaitu unit analisa rumahtangga Pengukuran Nilai Tukar Petani (NTP) Secara konsepsi NTP mengukur daya tukar dari komoditas pertanian yang dihasilkan petani terhadap produk yang dibeli petani untuk keperluan konsumsi dan keperluan dalam memproduksi usahatani. Nilai tukar petani (NTP Padi ) didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB) atau NTP = HT/HB. Pengukuran NTP dinyatakan dalam bentuk indeks sebagai berikut: dimana: INTP = Indeks Nilai Tukar Petani, IT = Indeks harga yang diterima petani, IB = Indeks harga yang dibayar petani. Indeks tersebut merupakan nilai tertimbang terhadap kuantitas pada tahun dasar tertentu. Pergerakan nilai tukar akan ditentukan oleh penentuan tahun dasar karena perbedaan tahun dasar akan menghasilkan keragaan perkembangan indeks yang berbeda. Formulasi indeks yang digunakan adalah Indeks Laspeyres (BPS, 1995). 11

34 dimana: I = Indeks Laspeyres, Q o = Kuantitas pada tahun dasar tertentu (tahun 0), P 0 = Harga pada tahun dasar tertentu (tahun 0), P i = Harga pada tahun ke i. Dalam operasionalisasi penghitungan NTP, BPS memodifikasi Indeks Laspeyres sebagai berikut: dimana: In = Indeks harga bulanan bulan ke n (IT dan IB), P ni = Harga bulan ke n untuk jenis barang ke i, P (n-1)i = Harga bulan ke (n-1) untuk jenis barang ke i, P ni /P (n-1)i = Relatif harga bulan ke n untuk jenis barang ke i, P oi = Harga dasar tahun dasar untuk jenis barang ke i, Q oi = Kuantitas pada tahun dasar untuk jenis barang ke i, m = Banyaknya jenis barang yang tercakup dalam paket komoditas Harga yang Diterima Petani (HT) Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang dari harga setiap komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani. Penimbang yang digunakan adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga komoditas pertanian merupakan harga rataan yang diterima petani atau "Farm Gate". Petani yang dimaksud dalam konsep NTP dari BPS adalah petani yang berusaha di sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternak, serta petani ikan budidaya dan nelayan. Petani sub sektor tanaman pangan mencakup petani yang berusaha pada usahatani padi dan palawija; petani sub sektor hortikultura mencakup petani sayur-sayuran dan buah-buahan; petani perkebunan rakyat terdiri usahatani komoditas perdagangan rakyat; petani peternak yang bergerak dalam usaha ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil peternakan; serta petani nelayan yang mencakup petani budidaya ikan dan nelayan penangkapan. Harga yang diterima petani (HT) dirumuskan sebagai berikut: 12

35 dimana: HT = Harga yang diterima petani, P Ti = Harga kelompok komoditas dalam sub sektor ke i (i= tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan dan perikanan), a i = Pembobot dari masing-masing sub sektor ke i. Harga dari setiap sub sektor merupakan harga tertimbang dari harga setiap komoditas penyusunnya Harga yang Dibayar Petani (HB) Harga yang dibayar petani merupakan harga tertimbang dari harga/biaya konsumsi makanan, konsumsi non makanan dan biaya produksi dan penambahan barang modal dari barang yang dikonsumsi atau dibeli petani. Komoditas yang dihasilkan sendiri tidak masuk dalam perhitungan harga yang dibayar petani. Harga yang dimaksud adalah harga eceran barang dan jasa yang di pasar pedesaan. Harga yang dibayar petani (HB) dirumuskan berikut: dimana: HB = Harga yang dibayar petani, PBi = Harga kelompok produk ke i yang dibeli petani, b = Pembobot dari komoditas ke i, i = Kelompok produk konsumsi pangan, non pangan (perumahan, pakaian, aneka barang dan jasa), dan sarana produksi (faktor produksi, non, barang modal). Konsep NTP dikembangkan BPS sebagai alat ukur untuk melihat perbandingan relatif kesejahteraan petani. Pada awal penyusunannya, cakupan petani hanya yang berusaha dalam kegiatan usahatani tanaman bahan makanan (tanaman pangan dan hortikultura sayur-sayuran dan buah-buahan) dan perkebunan rakyat, serta hanya dilakukan di tingkat provinsi. Sesuai dengan berjalannya waktu, pada tahun 2008 dilakukan penyempurnaan pengukuran NTP baik dalam cakupan petani dan cakupan wilayah (provinsi). Cakupan dalam 13

36 definisi petani diperluas mencakup petani yang berusaha pada kegiatan usahatani tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan (petani ternak), dan perikanan (petani ikan dan nelayan). NTP dikembangkan dengan unit analisa nasional dan regional, sehingga diperoleh keunggulan karena merupakan indikator makro nasional dan regional dari tingkat kesejahteraan petani regional. Melalui NTP dan komponennya dapat diketahui perbandingan relatif Nilai Tukar Petani atau Nilai Tukar Komoditas Pertanian antar regional (provinsi). Secara konsepsi arah dari NTP (kesejahteraan petani) merupakan resultan dari arah setiap Nilai Tukar Komponen Pembentuknya, yaitu nilai tukar komponen penerimaan petani yang mempunyai arah positif terhadap kesejahteraan petani dan nilai tukar komponen pembayaran yang mempunyai arah negatif terhadap kesejahteraan petani. Apabila laju nilai tukar komponen penerimaan lebih tinggi dari laju nilai tukar komponen maka Nilai Tukar Petani (NTP) akan meningkat, demikian sebaliknya. Pembentukan NTP yang dikembangkan BPS terangkum dalam Gambar

37 HARGA YANG DITERIMA PETANI HARGA YANG DIBAYAR PETANI Padi Padi Bahan Makanan Tanaman Pangan Jagung, Kedelai,...dst... Palawija Makanan Jadi Kubis, Bw Merah,...dst... Sayuran Perumahan Hortikultura Pisang, Mangga,...dst... Buah-buahan Konsumsi Sandang Karet, Kopi,...dst... Perkebunan Rakyat Perkebunan Kesehatan Sapi, Kerbau Ternak Besar HT NT Petani HB Pendidikan, Rekreasi, Olahraga Kambing, Domba Ternak Kecil Transportasi dan Komunikasi Peternakan Ayam, Itik Unggas Bibit Susu, Telur Hasil Ternak Obat, Pupuk Tuna, Cakalang Penangkapan Transportasi Perikanan Sarana Produksi Gurame, Mas Budidaya Sewa Lahan, Pajak NT Komoditas NT Kelompok Komoditas NT Subsektor NT Petani Penambahan Barang Modal Upah buruh Gambar 2.1. Pembentukan NTP. Perhitungan NTP merupakan merupakan agregasi dari nilai tukar penyusunnya. NTP merupakan agregasi dari NTP sub sektor (yaitu sub sektor tanaman pangan, sub sektor hortikultura, sub sektor perkebunan, sub sektor peternakan, dan sub sektor perikanan). NTP sub sektor tanaman pangan disusun dari komponen NTP padi dan NTP kelompok palawija, dan NTP palawija disusun dari NTP komoditas palawija (jagung, kedelai, dan sebagainya) dan seterusnya seperti terangkum dalam Gambar 2.1. Pandangan umum yang selama ini berlaku sebagaimana disampaikan BPS adalah peningkatan NTP berarti peningkatan kesejahteraan, demikian sebaliknya. BPS mendefinisikan dan memberi arti NTP sebagai berikut: 15

38 (a) NTP > 100, berarti petani mengalami surplus. Harga produksinya naik lebih besar dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Pendapatan petani naik lebih besar dari pengeluarannya, dengan demikian tingkat kesejahteraan petani lebih baik dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya. (b) NTP = 100, berarti petani mengalami impas/break even. Kenaikan/penurunan harga produksi sama dengan persentase kenaikan/penurunan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat kesejahteraan petani tidak mengalami perubahan. (c) NTP < 100, berarti petani mengalami defisit. Harga produksinya naik lebih kecil dari kenaikan harga konsumsi dan biaya produksi. Tingkat kesejahteraan petani mengalami penurunan dibanding tingkat kesejahteraan petani sebelumnya Kebijakan Pembangunan dalam Peningkatan Kesejahteraan Petani Peningkatan kesejahteraan petani telah dan diyakini tetap menjadi prioritas pembangunan pertanian mendatang, sejalan dengan arahan yang tertuang dalam rencana jangka panjang pembangunan nasional. Indikator pencapaian sasaran peningkatan kesejahteraan petani tercermin dari peningkatan pendapatan petani, penurunan tingkat pengangguran di pedesaan, dan perbaikan kualitas hidup petani. Langkah perbaikan kesejahteraan petani dituangkan dalam sejumlah kebijakan dan program bidang pertanian dan di luar sektor pertanian terkait. Kebijakan pertanian pada dasarnya adalah serangkaian tindakan yang telah, sedang dan akan dilaksanakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan pembangunan pertanian, yaitu memajukan pertanian, mengusahakan agar pertanian menjadi lebih produktif dan efisien serta dapat meningkatkan tingkat penghidupan/kesejahteraan petani meningkat. Dengan didasarkan kepada konsep NTP sebagai indikator kesejahteraan petani, konsep NTP mengacu kepada kemampuan daya beli petani, yaitu 16

39 kemampuan pendapatan yang diterima petani untuk dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya. Peningkatan kesejahteraan identik dengan peningkatan pendapatan untuk memperbaiki/meningkatkan kebutuhan konsumsinya. Dengan demikian peningkatan kesejahteraan dapat ditempuh melalui upaya untuk meningkatkan pendapatan dan atau meningkatkan kebutuhan konsumsi rumahtangga. Banyak faktor yang mempengaruhi pendapatan dan pola konsumsi rumahtangga petani. Dari sisi pendapatan, tingkat pendapatan petani dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: (a) pendapatan dari usahatani (on-farm), (b) pendapatan dari kegiatan bidang pertanian di luar usahatani (off-farm) seperti sebagai buruh tani, buruh di bidang usaha pascapanen pertanian, dan (d) pendapatan dari usaha di luar kegiatan pertanian seperti pegawai negeri, buruh non farm, kegiatan dagang, jasa dan lain-lain. Besarnya tingkat pendapatan dari usaha pertanian (on-farm) dipengaruhi oleh besarnya asset produksi pertanian (terutama pemilikan lahan usaha), jenis komoditas yang diusahakan, produktivitas, dan harga produksi. Besarnya pendapatan dari off-farm dipengaruhi oleh kesempatan/peluang berusaha dan tingkat upah. Tingkat pendapatan non farm juga dipengaruhi oleh aset dan kemampuan untuk dapat akses terhadap layanan, iklim usaha, produktivitas usaha dan harga produk yang dihasilkan. Besarnya tingkat pendapatan ini akan mempengaruhi struktur dan pola konsumsi rumahtangga. Beberapa penelitian menunjukkan pada tingkat pendapatan yang rendah, proporsi pengeluaran untuk pemenuhan makanan relatif lebih besar dan proporsi tersebut semakin menurun dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga. Pola konsumsi tersebut juga pada akhirnya dipengaruhi oleh harga-harga produk yang akan dibeli. Dengan demikian, banyak kebijakan berkaitan dengan pembentukan pendapatan dan konsumsi rumahtangga, seperti kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas pertanian; sistem distribusi dan pemasaran produksi hasil pertanian, pembentukan harga produksi, kebijakan subsidi dan insentif, penyediaan infrastruktur, dan berbagai kebijakan di luar 17

40 pertanian terkait dengan konsumsi rumahtangga. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam rangka memperbaiki daya beli petani adalah dengan penerapan subsidi yang dapat mengurangi tingkat pengeluaran rumahtangga, melalui pemberian bantuan langsung, subsidi harga jual dan keringanan lainnya (Gambar 2.2). Kebijakan Produksi Pertanian Komoditas Pertanian: - Tanaman Pangan - Hortikultura - Perkebunan - Peternakan - Perikanan Kebijakan Harga Subsektor: - Tanaman Pangan - Hortikultura - Perkebunan - Peternakan - Perikanan HT NT Petani HB Konsumsi Rumah Tangga Biaya Produksi dan Barang Modal - Bahan Makanan - Bahan Makanan Jadi - Perumahan - Sandang - Kesehatan - Pendidikan - Transportasi & Komunikasi - Penambahan Barang Modal - Transportasi - Bibit - Upah Buruh - Sewa Lahan, Pajak - Obat, Pupuk Kebijakan Subsidi Harga Pangan, BBM, Perumahan, Kesehatan Kebijakan Subsidi Harga Input, BBM Gambar 2.2. Kebijakan-kebijakan yang Mempengaruhi NTP Peningkatan Produksi Pertanian Pendapatan petani secara langsung ditentukan oleh besarnya produksi yang dihasilkan petani, sedangkan besarnya produksi tersebut dipengaruhi oleh penguasaan lahan yang dikuasai dan produktivitas usahatani. Dalam kaitan dengan lahan pertanian, data menunjukkan ketersediaan lahan pertanian per kapita mengalami penurunan akibat peningkatan jumlah penduduk dan kecenderungan konversi lahan, terutama untuk lahan sawah. Ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian yang sangat terbatas perlu dilindungi. Kebijakan untuk mencegah terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian telah banyak dibuat. Telah banyak ditetapkan undang-undang dan peraturan Pemerintah lain yang mengatur tentang pendayagunaan lahan dan pengendalian konversi lahan. Kebijakan terakhir adalah dengan diterbitkannya UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Secara umum, undang-undang tersebut bertujuan untuk melindungi kawasan dan lahan 18

41 pertanian pangan dalam rangka menjamin tersedianya lahan pertanian dan mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Dalam rangka meningkatkan produktivitas, penyelenggaraan program peningkatan kesejahteraan rakyat akan dilaksanakan seiring dengan upaya peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan mendukung terciptanya penyelenggaraan program pembangunan ekonomi yang makin berkualitas, yaitu pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada peningkatan produktivitas dan daya saing, serta makin memacu terciptanya kreativitas dan inovasi. Peningkatan produktivitas dilakukan melalui kegiatan penelitian dan pengembangan pertanian yang mampu menciptakan benih unggul, cara-cara produksi yang dapat menghasilkan produk berkualitas. Adanya dinamika perubahan iklim yang mengarah pada anomali iklim menuntut proses mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini menuntut langkah-langkah kongkrit terkait mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim Pemberian Dukungan Subsidi dan Insentif Untuk mendorong peningkatan produksi dan produktivitas pertanian terutama pangan, pemerintah memberi subsidi dan insentif dalam bentuk: (a) subsidi sarana produksi (benih, pupuk, pestisida); (b) dukungan dan jaminan harga jual produk dengan menetapkan harga dasar; (c) kredit bersubsidi; dan (d) air irigasi bersubsidi. Subsidi harga sarana produksi diberikan untuk pupuk, benih, pestisida, dan kredit. Pupuk merupakan input utama yang memperoleh subsidi paling besar. Subsidi pupuk mulai diberlakukan sejak tahun 1971 dengan argumen dasar adalah: (a) merangsang penggunaan pupuk sebagai bagian penerapan teknologi pertanian dan peningkatan produksi, (b) menstabilkan harga di tingkat petani, dan (c) meningkatkan efisiensi transfer sumberdaya dari pemerintah ke petani dalam rangka pembangunan pedesaan. Selain pupuk, subsidi diberikan pada penyediaan 19

42 prasarana produksi seperti irigasi, penyuluhan, penelitian dan pengembangan. Selama 40 tahun pemberian subsidi terhadap pupuk telah meningkatkan penggunaan pupuk di tingkat petani dan berperan besar dalam peningkatan produksi pertanian. Subsidi-subsidi di muka menjadi beban bagi pemerintah karena besarannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Kebijakan lain yang dinilai strategis adalah kebijakan harga (price support). Sasaran kebijakan ini adalah: (a) melindungi produsen dari kemerosotan harga pasar, yang umumnya terjadi pada musim panen, (b) melindungi konsumen dari kenaikan harga yang melebihi daya beli, yang umumnya terjadi pada musim paceklik, (c) mengendalikan inflasi melalui stabilitasi harga. Falsafah dasar kebijaksanaan harga tersebut mencakup komponen: (1) menjaga agar harga dasar cukup tinggi untuk merangsang produksi, (2) perlindungan harga batas tertinggi yang menjamin harga yang layak bagi konsumen, (3) perbedaan antara harga dasar dan harga batas tertinggi cukup layak memberi keuntungan yang wajar bagi penyimpanan beras, dan (4) hubungan harga yang wajar antar daerah maupun terhadap harga internasional (Amang, 1993) Kebijakan Perdagangan Kebijakan perdagangan dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan harga komoditas di dalam negeri, mempertahankan daya saing produksi dalam negeri, meningkatkan kesejahteraan petani produsen, melindungi konsumen dari harga tinggi, dan menjaga keseimbangan neraca perdagang luar negeri komoditas. Tujuan akhir dari kebijakan perdagangan diarahkan pada perbaikan tataniaga produk pertanian, sehingga marjin tataniaga dari petani sampai dengan konsumen akhir menjadi minimal dan petani menerima harga yang maksimal Penyediaan Infrastruktur Kondisi infrastruktur pertanian Indonesia sangat tidak memadai. Sarana jalan usahatani tidak memadai untuk mendukung peningkatan/pengembangan pertanian, antara lain dalam hal adopsi teknologi, pemanfaatan mekanisasi dan 20

43 pemasaran secara efisien. Dalam aspek infrastruktur irigasi, jaringan irigasi yang ada sudah tua dan kurang pemeliharaan, sehingga tingkat efisiensinya rendah. Sementara itu, pembangunan jaringan irigasi yang baru belum sepenuhnya optimal karena beberapa kendala yang sebelumnya tidak diperhitungkan. Sarana dan prasarana bagi petani untuk akses terhadap pemasaran produk juga sangat rendah, misalnya keberadaan cold storage untuk produk segar, gudang, tempat pengolahan, dan lain masih terbatas. Kurangnya infrastruktur pertanian sering menjadi kendala bagi pengembangan agribisnis berbasis iptek mutakhir. Penerapan inovasi teknologi sering terhambat karena tidak tersedianya infrastruktur penyediaan input produksi, jaringan informasi atau infrastruktur pemasaran hasil. Kebijakan infrastruktur tidak hanya dibutuhkan untuk mendukung usaha agribisnis yang sudah ada, tetapi juga merangsang tumbuhnya usaha-usaha baru yang dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. Pengembangan infrastruktur sebagai bagian dari pelayanan publik akan lebih efektif apabila: (a) sesuai dengan kebutuhan/kepentingan publik, (b) mampu menunjang pengembangan usaha yang dilakukan masyarakat banyak, dan (c) mampu merangsang tumbuhnya usaha-usaha atau investasi baru yang dapat memacu perkembangan ekonomi wilayah. Dalam kaitannya dengan pembangunan sistem dan usaha agribisnis, maka kebijakan pembangunan infrastruktur perlu diarahkan pada infrastruktur yang dibutuhkan oleh banyak pelaku agribisnis dan mampu merangsang para investor untuk melakukan usaha agribisnis. Infrastruktur seperti sarana pengairan dan drainase, jalan, listrik, farm road, pelabuhan (khususnya pelabuhan-pelabuhan ekspor baru di wilayah timur Indonesia), transportasi dan telekomunikasi merupakan prasarana yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan sistem dan usaha agribisnis. 21

44 Kebijakan Khusus Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Dalam program pembangunan nasional, peningkatan kesejahteraan rakyat selalu menjadi perhatian. Hal ini sejalan dengan empat pilar strategi pembangunan yang dilakukan yaitu: pembangunan yang pro-pertumbuhan (progrowth), pro-lapangan pekerjaan (pro-job), pro-pengurangan kemiskinan (propoor), serta pro-pengelolaan dan atau ramah lingkungan (pro-environment). Disamping program pembangunan sektoral yang dilaksanakan oleh kementrian, untuk mengentaskan kemiskinan, pemerintah telah menggulirkan program khusus. Perpres No. 13 tahun 2009 dilanjutkan dengan Perpres No. 15 tahun 2010, program khusus penanggulangan kemiskinan dikelompokkan dalam 4 klaster program, yaitu : (a) Klaster pertama: Bantuan dan perlindungan sosial berbasis keluarga, dengan sasaran mengurangi beban kehidupan dan memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin. Bentuk program ini adalah bantuan langsung Raskin, BOS, dan Program Keluarga Harapan. (b) Klaster kedua: Pemberdayaan Masyarakat, dengan sasaran Meningkatkan Kapasitas Kelompok Masyarakat Miskin untuk Terlibat dalam Proses Pembangunan. Bentuk program ini adalah mengembangkan PNPM Mandiri. (c) Klaster ketiga: Pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, dengan sasaran Meningkatkan Tabungan dan Menjamin Keberlanjutan Usaha. Bentuk program ini adalah Klaster penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social Responsibility (CSR), dan (d) Klaster keempat: Program Pro Rakyat, dengan sasaran Menyediakan Fasilitas Dasar Bagi Masyarakat Miskin dengan Harga Murah Melalui Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Sektoral pada Wilayah Tertentu. Bentuk program berupa program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang makin merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin di perkotaan (Pidato Presiden 16 Agustus 2012). Dalam klaster pertama, pemberian bantuan raskin (beras untuk orang miskin) ditujukan dalam rangka menjaga ketahanan pangan masyarakat dari kondisi gejolak pangan yang terjadi akibat adanya gejolak pangan dunia yang 22

45 juga mempengaruhi gejolak pangan dalam negeri. Bantuan pangan tersebut secara langsung menekan pengeluaran rumahtangga untuk bahan pangan. Bidang pendidikan, bantuan diberikan dalam rangka pengurangan beban biaya pendidikan yang dilakukan melalui subsidi Program Wajib Belajar Sembilan Tahun dan Bantuan Operasional Sekolah/BOS. Bidang kesehatan bantuan dalam upaya menjamin kesehatan masyarakat dengan biaya terjangkau dilakukan melalui pemberian Jaminan Kesehatan masuarakat (Jamkesmas), jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan persalinan, dan jaminan kematian. Dalam klaster kedua, upaya pemberdayaan untuk meningkatkan akses dan kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam proses pembangunan, dilakukan melalui pengembangan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. PNPM Mandiri dimaksudkan untuk menjadi payung program penanggulangan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan pembangunan berbasis masyarakat sejalan dengan target pencapaian MDGs (Millennium Development Goals). Tujuan PNPM Mandiri adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri dengan cara menciptakan atau meningkatkan kapasitas masyarakat, baik secara individu maupun berkelompok dalam memecahkan berbagai persoalan terkait upaya peningkatan kualitas hidup, kemandirian serta kesejahteraan hidup dengan memanfaatkan potensi ekonomi dan sosial yang mereka miliki melalui proses pembangunan secara mandiri. PNPM Mandiri telah dilaksanakan sejak tahun 2007, dimulai dengan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP). Atas keberhasilan PPK dan P2KP menjadi model pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat di perdesaan dan perkotaan. Dalam klaster ketiga, upaya pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil dilakukan dengan penyediaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan Corporate Social Responsibility (CSR). Kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah kredit/pembiayaan yang 23

46 diberikan oleh perbankan kepada UMKMK yang layak tapi belum bankable. Maksudnya adalah usaha tersebut memiliki prospek bisnis yang baik dan memiliki kemampuan untuk mengembalikan. Sasaran program KUR adalah UMKM dan Koperasi yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain: pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan simpan pinjam. Penyaluran KUR dapat dilakukan langsung melalui kantor pelayanan bank pelaksana KUR atau dapat juga melalui Lembaga Keuangan Mikro dan KSP/USP Koperasi, atau melalui kegiatan linkage program lain yang bekerjasama dengan Bank Pelaksana. Program KUR diluncurkan pada 5 November 2007, dengan bank Pelaksana adalah Bank BRI, Bank Mandiri, Bank BNI, Bank BTN, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin; dan dengan fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah melalui PT Askrindo dan Perum Jamkrindo. Dalam klaster keempat, program pro rakyat, dilakukan dalam rangka menyediakan fasilitas dasar bagi masyarakat miskin dengan harga murah, dalam bentuk program rumah murah, angkutan umum murah, air bersih dan listrik yang makin merata, serta peningkatan kehidupan nelayan dan masyarakat miskin. Kebijakan yang bersifat pro rakyat dalam rangka pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat ini sebagian besar sangat relevan dalam rangka menjaga memperbaiki NTP. 24

47 BAB III METODOLOGI 3.1. Kerangka Pemikiran Salah satu unsur kesejahteraan petani adalah kemampuan pendapatan petani untuk memenuhi kebutuhan perbaikan pengeluaran rumahtangga petani. Alat ukur yang sering digunakan untuk menilai kesejahteraan petani tersebut adalah NTP. Indeks NTP dihitung dari perbandingan antara harga yang diterima petani terhadap harga yang dibayar petani. Secara konsepsi arah dari NTP merupakan resultan dari arah komponen pembentuknya tersebut, yaitu komponen harga yang diterima petani yang mempunyai arah positif terhadap NTP dan komponen harga yang dibayar petani yang mempunyai arah negatif terhadap NTP. Apabila laju pergerakan harga yang diterima petani lebih tinggi dari laju harga yang dibayar petani maka NTP akan meningkat, dan sebaliknya. Pergerakan NTP mengidentifikaskan pergerakan tingkat kesejahteraan petani. Perilaku NTP tersebut dapat digambarkan oleh garis tren mengikuti pergerakan nilainya, dan pergerakan tersebut dapat diduga dengan menggunakan persamaan regresi. Pendugaan persamaan regresi yang paling sesuai dapat dilakukan berdasarkan nilai R 2 tertinggi. Koefisien regresi dari setiap persamaan dugaan menggambarkan perubahan laju NTP sepanjang periode analisa. Dalam Gambar 2.1 ditunjukkan rangkuman pembentukan NTP termasuk unsur-unsur penyusunnya. Hubungan antara komponen penyusun dengan NTP dapat digambarkan dengan nilai marjinal dan elastisitas penyusun terhadap NTP. Perhitungan nilai marjinal dan elastisitas NTP terhadap komponen penyusun dapat diturunkan sebagai berikut (Rachmat, 2000). NTP = ; Harga yang diterima petani (HT) merupakan harga tertimbang dari harga setiap komoditas pertanian yang diproduksi/dijual petani, dengan penimbang 25

48 adalah nilai produksi yang dijual petani dari setiap komoditas. Harga yang dibayar petani (HB) merupakan harga tertimbang dari harga/biaya konsumsi rumahtangga yang mencakup konsumsi makanan dan konsumsi non makanan; dan harga/biaya produksi dan penambahan barang modal dari barang yang dibeli petani. Apabila diasumsikan hanya ada dua komoditas yang dihasilkan, yaitu T 1 dan T 2, dengan harga PT 1 dan PT 2 dan dua produk yang dibeli petani, yaitu B 1 dan B 2 dengan harga PB 1 dan PB 2, maka: HT = a 1 PT 1 + a 2 PT 2 ; atau HT = HB = b 1 PB 1 + b 2 PB 2 ; atau HB = PT i PB k dimana: NTP = Nilai Tukar Petani, HT = Harga yang diterima petani, HB = Harga yang diterima petani, PT i = Harga yang diterima petani dari komoditas ke i yang dihasilkan petani, PB k = Harga yang dibayar petani dari produk ke k yang dibeli petani, a i = Pembobot komoditas yang dihasilkan ke i, b k = Pembobot produk yang dibeli petani ke k. sehingga: NTP = Dari persamaan di atas dihasilkan turunan total sebagai berikut: NTP = NTP = NTP = NTP = sehinggga dihasilkan rumus umum sebagai berikut: 26

49 NTP = Pengaruh Perubahan Harga yang Diterima Petani (HT) Pengaruh perubahan harga komoditas T i (PT i ) terhadap NTP dapat diturunkan sebagai berikut: Pengaruh perubahan HT terhadap NTP dapat berupa pengaruh langsung dan pengaruh tidak langsung. Pengaruh langsung perubahan harga komoditas terhadap nilai tukar petani merupakan respon langsung perubahan nilai tukar petani akibat perubahan harga PT i, sedangkan pengaruh tidak langsung mencakup pengaruh perubahan harga tersebut terhadap harga komoditas pertanian lain yang diproduksikan ( dan terhadap produk manufaktur yang dibeli ( Besarnya pengaruh tersebut dirumuskan sebagai berikut: Pengaruh langsung: Pengaruh tidak langsung: Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut: 27

50 Pengaruh Perubahan Harga yang Dibayar Petani (HB) Pengaruh perubahan harga produk yang dibeli (PB k ) terhadap NTP diturunkan sebagai berikut: Pengaruh langsung dan tidak langsung dari perubahan harga produk yang dibeli petani terhadap nilai tukar petani dapat dituliskan sebagai berikut: Pengaruh langsung: Pengaruh tidak langsung: Dari analisa marjinal ini dapat diturunkan elastisitas sebagai berikut: Nilai Tukar Penerimaan/Pendapatan Petani Konsep NTP yang didasarkan kepada Indeks Laspeyre sebagaimana yang dilakukan oleh BPS pada akhirnya merumuskan NTP sebagai rasio harga antara yang diterima petani dan dibayar petani. Perilaku NTP hanya ditentukan oleh perilaku harga-harga. Konsep ini sejalan dengan konsep NTP sebagai konsep daya beli. Namun demikian, konsep daya beli yang dikembangkan tidak sepenuhnya menggambarkan tingkat kesejahteraan. Konsep NTP tidak memperhitungkan jumlah yang diproduksi dan jumlah yang dikonsumsi. Perhitungan NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (NTP = HT/HB). Nilai NTP akan meningkat apabila HT meningkat dengan laju lebih tinggi dari 28

51 peningkatan HB, atau HB tetap atau HB menurun. NTP juga akan meningkat pada kondisi HT menurun, namun dengan laju lebih rendah dari penurunan HB. Berbagai skenario perubahan HT dan HB terhadap NTP terangkum dalam Tabel 3.1. Tabel 3.1. Perubahan HT dan HB terhadap NTP Harga yang Harga yang dibayar Laju perubahan HT diterima petani Petani (HB) dan HB (HT) NTP Naik Naik Laju HT = laju HB Tetap Naik Naik Laju HT > laju HB Meningkat Naik Naik Laju HT < laju HB Menurun Naik Tetap Meningkat Naik Turun Meningkat Turun Turun Laju HT = laju HB Tetap Turun Turun Laju HT > laju HB Menurun Turun Turun Laju HT < laju HB Meningkat Turun Tetap Menurun Turun Naik Menurun BPS mendefinisikan bahwa peningkatan NTP berarti peningkatan kesejahteraan. Definisi tersebut benar pada asumsi bahwa produktivitas selalu tetap dan petani selalu menguasai produksi, sehingga kenaikan produksi juga berarti kebaikan penerimaan. Kenyataan seringkali menunjukkan bahwa kenaikan harga terjadi pada saat pasokan berkurang dibanding permintaannya. Penurunan pasokan dapat terjadi karena penurunan produksi atau permintaan naik lebih tinggi dibandingkan penawaran (produksi). Pada skala nasional atau regional, kenaikan NTP/kenaikan harga produk justru mengidentifikasikan kekurangan/kelangkaan pasokan/produksi untuk mengimbangi permintaan dan terjadinya inflasi. Dengan demikian peningkatan peningkatan harga produk pertanian yang berakibat NTP naik tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi yang diinginkan. Skenario perubahan penawaran dan permintaan terhadap harga produk terangkum dalam Tabel

52 Tabel 3.2. Perubahan Penawaran/Produksi dan Permintaan terhadap Harga Produk Pertanian Penawaran produk/produksi pertanian Permintaan produk pertanian Laju penawaran dan permintaan Harga produk pertanian (S) (D) Naik Naik Laju S = laju D Tetap Naik Naik Laju S > laju D Turun Naik Naik Laju S < laju D Naik Naik Tetap Turun Naik Turun Turun Turun Turun Laju S = laju D Tetap Turun Turun Laju S > laju D naik Turun Turun Laju S < laju D Turun Turun Tetap Naik Turun Naik Naik Harga produksi dan NTP yang meningkat tidak sepenuhnya meningkatkan pendapatan petani. Pendapatan meningkat apabila harga produksi naik dan/atau tingkat produksi meningkat. Dalam kaitan itu penggunaan alat ukur NTP dalam pengukuran kesejahteraan petani perlu memasukkan unsur produksi karena kesejahteraan identik dengan pendapatan. Kesejahteraan petani akan naik apabila NTP naik dengan tingkat produksi naik, tetap, atau turun namun dengan laju peningkatan NTP lebih tinggi dari laju penurunan produksi. Keterkaitan antara NTP produksi dengan kesejahteraan petani terangkum di dalam Tabel 3.3. Tabel 3.3. NTP dan Produksi di Tingkat Regional NTP Produksi petani (P) Laju NTP dan Kesejahteraan produksi Petani Naik Turun Laju NTP > laju P Tetap Naik Turun Laju NTP > laju P Naik Naik Turun Laju NTP < laju P Turun Naik Tetap Naik Naik Naik Naik Turun Naik Laju NTP = laju P Tetap Turun Naik Laju NTP > laju P Turun Turun Naik Laju NTP < laju P Naik Turun Tetap Turun Turun Turun Turun 30

53 Pengukuran NTP dapat dikembangkan menjadi Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian (NTU) yang memasukkan unsur kuantitas, sehingga NTR merupakan kemampuan daya beli dari penerimaan petani. berikut: Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian (NTU) dirumuskan sebagai dimana: NTU = Nilai Tukar Penerimaan Usaha Pertanian, P x = Harga komoditas pertanian, Q x = Produksi komoditas pertanian, P y = Harga input produksi, = Jumlah input produksi. Q y Peningkatan kesejahteraan petani juga dapat dilihat dari perubahan tingkat pendapatan rumahtangga. Peningkatan pendapatan rumahtangga petani mengindikasikan peningkatan daya beli rumahtangga dalam rangka pemenuhan kebutuhan konsumsinya. Peningkatan pendapatan akan berakibat perbaikan dalam pola konsumsi dan standar hidup, dan ini berarti perbaikan dalam kesejahteraan Ruang Lingkup Kegiatan Sesuai dengan tujuan dan sasaran, maka lingkup kajian adalah: 1) Menganalisa perilaku nilai tukar petani Indonesia, 2) Menganalisa faktor-faktor dan kebijakan yang mempengaruhi nilai tukar petani, 3) Menganalisa nilai tukar pendapatan usahatani dan pendapatan rumahtangga, 4) Merumuskan kebijakan peningkatan kesejahteraan petani sebagai bahan dasar RPJMN Bidang Pertanian Metoda Analisa adalah: Sesuai dengan lingkup kegiatan di atas, metoda analisa yang digunakan 31

54 1) Analisa Nilai Tukar Petani Nasional Dalam analisa digunakan metoda regresi data perkembangan NTP secara nasional. Data yang digunakan dalam analisa ini adalah data bulanan sejak Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 yang berasal BPS. Hasil analisa regresi NTP nasional dan perilakunya akan digambarkan dalam bentuk grafik yang sesuai. 2) Analisa Faktor-faktor dan Kebijakan yang Mempengaruhi Nilai Tukar Petani Analisa faktor-faktor yang mempengaruhi NTP dilakukan dengan cara menghitung dampak dari masing-masing komponen penyusun NTP (hargaharga) terhadap NTP. Dampak tersebut ditunjukkan dalam bentuk nilai marjinal dan elastisitas dari perubahan harga-harga terhadap NTP. Dampak dari perubahan harg-harga tersebut juga dapat terjadi karena penerapan kebijakan, sehingga melalui analisa ini juga dapat dilakukan analisa dampak dan kebijakan terhadap NTP. 3) Analisa Nilai Tukar Pendapatan Usahatani dan Pendapatan R um ahtangga Analisa ini mencakup: (a) Analisa NT Pendapatan Usahatani komoditas terpilih menurut sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan serta, (b) Analisa NT Pendapatan Rumahtangga dari agroekosistem sawah dan lahan kering. 4) Perumusan Alternatif Kebijakan Nilai Tukar Petani sebagai Ukuran Kesejahteraan Petani sebagai Bahan Dasar RPJMN Bidang P ertanian Perumusan kebijakan dilakukan dengan cara merangkum semua hasil temuan analisa di atas dan merumuskan implikasi kebijakan dari hasil temuan tersebut yang terkait dengan RPJM

55 3.4. Sumber Data Kajian akan dilakukan dengan menggunakan data sekunder, yaitu (a) Data NTP yang dipublikasikan oleh BPS, (b) Publikasi BPS yang terkait dengan rumahtangga pertanian, usaha pertanian, harga-harga pertanian, dan lain-lain, (c) Publikasi hasil-hasil penelitian Panel Petani Nasional dari PSE-KP, dan (d) Data dari direktorat teknis terkait di dalam Kementerian Pertanian. 33

56 34

57 BAB IV KERAGAAN RUMAHTANGGA PERTANIAN DAN KESEJAHTERAAN PETANI 4.1. Keragaan Rumahtangga Pertanian Berdasarkan sensus pertanian tahun 1993 dan 2003 telah terjadi pertambahan jumlah rumahtangga pertanian dari 20,51 juta menjadi 24,84 juta. Artinya, telah terjadi kenaikan rata-rata sebesar 21,13 persen. Kenaikan jumlah rumahtangga yang sangat pesat terjadi pada sub sektor hortikultura dari 4,86 juta ribu rumahtangga menjadi 8,45 juta ribu rumahtangga, atau mencapai kenaikan hingga 73,93 persen. Kenaikan yang besar ini diduga karena dua sebab, yaitu: (a) Meningkatnya minat masyarakat terhadap usaha di subsektor hortikultura sebagai komoditas yang bernilai tinggi, dan (b) Penambahan statistik jumlah komoditas hortikultura yang dicatat di BPS. Dalam tahun 2006 komoditas hortikultura yang tercatat di BPS baru 17 komoditas dari sejumlah 323 komoditas hortikultura, sesuai Kepmentan 511/Kpts/PD.9/2006. Dalam perkembangannya, jumlah jenis hortikultura yang dicatat dalam statistik terus meningkat. Kenaikan terbesar kedua adalah sub sektor perkebunan, yaitu 13,72 persen, menyusul sub sektor tanaman pangan sebesar 3,86 persen, dan yang terendah sub sektor peternakan 2,89 persen (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian Berdasarkan Sub Sektor Pertanian (juta) No No Sektor Perubahan (%) (%) 11 Tanaman Pangan 17,55 18,23 3,86 22 Hortikultura 4,86 8,45 73,93 33 Perkebunan 6,11 6,94 13,72 44 Peternakan 5,47 5,62 2,89 Pertanian 20,51 24,84 21,13 Sumber: BPS; Sensus pertanian 1993 dan Penelusuran lebih lanjut menurut wilayah menunjukkan peningkatan jumlah rumahtangga relatif lebih besar terjadi di luar Pulau Jawa, yaitu 26,07 persen, sedangkan di Pulau Jawa hanya sekitar 17,30 persen atau di bawah rata- 35

58 rata nasional yang mencapai 21,13 persen. Rumahtangga tersebut mencakup rumahtangga petani yang memiliki lahan dan rumahtangga buruh tani (Tabel 4.2). Tabel 4.2. Perkembangan Jumlah Rumahtangga Pertanian Berdasarkan Wilayah (juta) No Regional Perubahan (%) 1 Pulau Jawa 11,55 13,55 17,30 2 Luar Pulau Jawa 8,95 11,29 26,07 Indonesia 20,51 24,84 21,13 Sumber: BPS, Sensus pertanian 1993 dan Salah satu dari aset petani yang menggambarkan potensi pengembangan usaha pertanian adalah distribusi kepemilikan lahan, semakin luas pemilikan akan semakin baik peluang peningkatan produksi dan kesejahteraannya. Dengan hanya melihat rumahtangga yang memiliki lahan, jumlah rumahtangga petani tahun meningkat dari 19,71 juta RT menjadi 23,67 juta RT atau peningkatan sebesar 29,92 persen. Pertanian Indonesia didominasi pertanian skala kecil, bahkan sebagian diantaranya dioperasikan oleh buruh tani yang tidak memiliki lahan. Hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah dan proporsi rumahtangga skala kecil (<0,5 ha) meningkat dibandingkan tahun 1993, yaitu dari 10,63 juta RT menjadi 14,03 juta RT atau peningkatan sebesar 31,95 persen (Tabel 4.3). Tabel 4.3. Struktur Rumahtangga Pertanian Menurut Golongan Luas Pemilikan Lahan Tahun Tahun Golongan Luas Lahan (ha) <0,5 0,50 0,99 1,00 1,99 > 2,00 Total (42,26) (24,19) (19,26) (14,29) (100) (53,93) (22,06) (15,89) (8,12) (100) (56,41) (18,41) (13,91) (11,27) (100) Perubahan Jumlah Rumahtangga ,81 +18,44 +7,18-26,15 +29, ,95 +5,28 +10,48 +74,95 +20, ,78 +24,70 +18,41 +29,21 +55,98 Sumber: Sensus Pertanian 1983, 1992, 2003 (BPS). 36

59 Gambaran ini ditunjang oleh hasil kajian mikro, Penelitian Patanas tahun 2000, yang menunjukkan sekitar 88 persen rumahtangga petani di Jawa menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar dan sekitar 76 persen menguasai lahan sawah kurang dari 0,25 hektar. Kondisi penguasaan lahan sawah di luar Pulau Jawa masih relatif lebih baik. Kondisi penguasaan lahan yang sempit dan ketimpangan pemilikan lahan menyebabkan kemustahilan petani kecil mampu meningkatkan kesejahteraannya apabila hanya menggantungkan pada mata pencaharian yang berbasis pada lahan. Hasil penelitian Sumaryanto (2009) menunjukkan adanya 8,84 persen rumahtangga pertanian yang tidak memiliki lahan usaha (tunakisma). Tingkat tunakisma di Pulau Jawa lebih tinggi dibanding luar Jawa, yaitu masing-masing 12,4 persen dan 7,05 persen. Apabila digunakan definisi luas pemilikan lahan sangat sempit di bawah 0,25 ha, maka rata-rata pemilikan lahan sangat sempit di Indonesia sekitar 27,35 persen, dengan rincian di Jawa 40 persen dan di luar Jawa 20,75 persen. Selama ini definisi petani gurem adalah pemilikan lahan di bawah 0,5 ha. Dengan kriteria tersebut, maka jumlah petani gurem di Indonesia sekitar 44 persen, dengan rincian di Jawa sebanyak 57 persen dan di luar Jawa 37,3 persen. Apabila lahan usahatani yang dianggap layak dapat memberi pendapatan bagi rumahtangga tani harus lebih dari dua hektar, berdasarkan studi ini, di Pulau Jawa tidak didapatkan petani yang bisa menghidupi keluarga rumahtangga tani dari lahan usahatani. Pemilikan lahan di atas dua hektar hanya dijumpai di luar Pulau Jawa, yaitu sebesar 12,86 persen (Tabel 4.4.) Ketimpangan distribusi kepemilikan lahan di Pulau Jawa semakin mengkhawatirkan. Hal ini mengakibatkan tanah absentee yang menjadi salah satu penyebab kesulitan pelaksanaan berbagai program peningkatan produksi dan pendapatan petani. Selain pemilikan dan penguasaan lahan yang sempit, sumberdaya lahan juga menghadapi permasalahan degradasi. 37

60 Tabel 4.4. Distribusi Rumahtangga Petani Menurut Kelompok Pemilikan Lahan, Tahun 2007 (dalam persen) Luas Pemilikan (ha) Pulau Jawa Luar Pulau Jawa Total Tunakisma 12,40 7,05 8,84 < 0,25 40,50 20,75 27,35 O,25-0,50 16,53 16,60 16,57 O,51 1,00 14,05 9,13 5,25 > 1,01 2,00 16,52 33, > 2,00-12,86 12,86 Sumber: Sumaryanto, Pembangunan pertanian menghadapi kendala keterbatasan infrastruktur pertanian. Sarana jalan usahatani tidak memadai untuk memanfaatkan teknologi mekanisasi secara efisien. Saluran irigasi banyak sudah tua dan rusak. Upaya operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi masih terbatas, sehingga tingkat efisiensinya sangat rendah. Kendala infrastruktur pertanian menjadi kendala pengembangan produksi dan produktivitas pertanian serta pemasaran hasil pertanian Keragaan Rumahtangga Tanaman Pangan Berdasarkan Sensus Pertanian 2003, jumlah rumahtangga tanaman pangan tahun 2003 sebanyak 24,55 juta. Pada kelompok rumahtangga tanaman pangan ini, lebih dari setengahnya adalah rumahtangga padi (56,09 persen) seperempatnya adalah kelompok rumahtangga jagung (25,82 persen) dan terbanyak ketiga adalah rumahtangga ubikayu (18,33 persen). Jumlah rumahtangga lain yang relatif banyak adalah aneka kacang dan ubijalar (Tabel 4.5). 38

61 Tabel 4.5. Proporsi Jumlah Rumahtagga Tanaman Pangan Tahun 2003 No No Tanaman Pangan 2003 Persen 11 Padi ,09 22 Palawija ,91 33 Jagung ,82 44 Kedelai ,13 55 Kacang Tanah ,71 66 Kacang Hijau ,27 77 Ubikayu ,33 88 Ubijalar ,31 99 Shorgum , Talas , Lain ,14 Tanaman pangan ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Pada kasus rumahtangga padi, sumbangan pendapatan dari usahatani padi terhadap total pendapatan rumahtangga terbesar pada proporsi persen, yaitu sebesar 45,51 persen, menyusul proporsi persen sebesar 30,67 persen. Sementara itu, rumahtangga padi dengan kontribusi pendapatan dari usahatani padi di atas 75 persen hanya 6,72 persen. Hal ini memberi indikasi bahwa usahatani padi tidak dapat sepenuhnya menjamin kebutuhan rumahtangga padi, dan/atau berarti pula bahwa sumber pendapatan rumahtangga padi telah terdiversifikasi (Tabel 4.6). Peran usahatani padi terhadap rumahtangga lebih tinggi terjadi pada petani padi sawah dibanding rumahtangga padi ladang. Artinya, tingkat diversifikasi usaha (sumber pendapatan rumahtangga) dari rumahtangga padi ladang lebih tinggi. 39

62 Tabel 4.6. Proporsi Jumlah Rumahtangga (RT) berdasarkan Peran Pendapatan Usahatani Tanaman Padi Sawah dan Padi Ladang Tahun 2003 No Proporsi sumbangan pendapatan RT Padi usahatani padi terhadap Sawah pendapatan keluarga RT PadiLadang RT RT Padi Padi 1 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi < (15,61) (28,43) (17,21) persen 2 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi (29,92) (35,88) (30,67) persen 3 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi (47,26) (32,44) (45,51) persen 4 RT dengan sumbangan pendapatan usatahani padi > (7,21) (3,25) (6,72) persen Total Rumahtangga usaha padi sawah (100) (100) (100) Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Berdasarkan hasil sensus 2003, beberapa kendala dijumpai dalam usahatani padi dan palawija, yaitu berturut-turut adalah masalah harga produksi yang rendah, kekurangan modal, harga saprotan yang mahal, serangan hama dan penyakit dan lain (Tabel 4.7). Kendala ini disamping berpengaruh terhadap produksi, juga mempengaruhi nilai tukar petani ditunjukkan oleh banyaknya petani padi dan palawija yang mengalami harga jual hasil panen yang rendah, berturut-turut sebanyak 30,47 dan 38,32 persen. Tabel 4.7. Permasalahan/Kendala Utama dalam Usahatani Padi Tahun 2003 No Akses Petani Padi Jumlah RT Jumlah RT RT Persentase Padi Palawija Persentase 1 Kekurangan Modal , ,77 2 Harga Saprotan Mahal , ,25 9,25 3 Kelangkaan Saprotan , ,47 0,47 4 Harga Produksi Rendah , ,32 5 Hama/Penyakit , ,82 5,82 6 Lain , ,36 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). 40

63 Masalah permodalan yang dijumpai di atas sejalan dengan informasi tentang sumber modal yang digunakan dalam usahatani yang sebagian besar (95,4 persen) berasal dari modal sendiri. Sementara petani yang mempunyai akses terhadap kredit baik dari Bank maupun Non Bank hanya sebanyak 2,02 persen (Tabel 4.8). Kondisi ini berdampak kepada upaya peningkatan produksi. Petani mengalami kesulitan untuk menerapkan teknologi anjuran karena kekurangan modal. Hal ini perlu menjadi perhatian dalam hal peningkatan akses petani terhadap lembaga permodalan (Bank dan Non Bank) dalam rangka peningkatan usaha pertanian. Tabel 4.8. Sumber Pembiayaan Usahatani Padi Tahun 2003 No No Sumber Pembiayaan Jumlah RT Jumlah RT Persentase Padi Palawija Persentase 1 1 Modal Sendiri , , Kredit Bank , , Kredit Non Bank , , Lain , ,04 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Keterbatasan modal usaha akan menyebabkan anjuran paket teknologi usahatani tidak akan dapat dipenuhi dan mengakibatkan berkurangnya produktivitas hasil/produksi rendah. Karena harga saprotan mahal, maka secara keseluruhan usahatani padi dan palawija tidak dapat berkembang secara optimal dan tidak memperoleh keuntungan yang memadai. Hal ini dapat berakibat petani mengalihkan jenis komoditas, sehingga secara keseluruhan akan dapat mengurangi produksi nasional. Penerapan teknologi dalam budidaya pertanian, bukan hanya dapat meningkatkan produktivitas, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan sarana produksi yang dapat meningkatkan pendapatan petani. Tabel 4.9 menggambarkan penerapan teknologi budidaya padi pada tahun 2003 dan menunjukkan bahwa penggunaan benih padi berlabel dan varietas yang sesuai 41

64 dengan kondisi agroekologi lahan sawah sangat penting dalam rangka meningkatkan produktivitas. Penggunaan benih padi berlabel pada lahan sawah belum banyak, hanya sekitar 35,5 persen, sedangkan pada padi ladang hanya mencapai 12,9 persen. Selain varietas padi, penggunaan pupuk sangat mempengaruhi produktivitas padi, hal ini dirasakan oleh petani padi sawah. Lebih dari setengah petani padi telah melakukan pemupukan sesuai anjuran (54,6 persen), namun pada padi ladang baru mencapai 31,3 persen saja. Tabel 4.9. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Tahun 2003 No No Penerapan Teknologi Padi Sawah Padi Ladang Budidaya RT Persentase RT RT Persentase 1 1 Penggunaan benih berlabel , , Penggunaan pupuk sesuai anjuran , , Melakukan pengendalian OPT , , Melakukan penjualan hasil panen , , Melakukan pengeringan hasil , Jumlah rumahtangga , ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) harus disesuaikan dengan kondisi gangguan di lapangan, tidak semua budidaya harus melakukan pengendalian OPT, bila tidak atau masih dalam batas ambang toleransi, tidak diperlukan pengendalian OPT. Pada padi ladang pengendalian OPT hanya dilakukan tingkat 20,1 persen dan pada padi ladang hanya sekitar 17,1 persen. Usahatani padi merupakan sumber pendapatan keluarga, sehingga sebagian dari hasil padi yang diperoleh dijual untuk kebutuhan rumahtangga. Pada petani padi sawah hampir setengahnya melakukan penjualan hasil panen, dan pada padi ladang yang menjual hasil panen hanya sekitar 22,5 persen. Gambaran tersebut menjelaskan bahwa hasil panen petani padi ladang hanya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga tidak ada yang dapat dijual. 42

65 Hasil panen petani padi sawah cukup banyak dan sebagian dapat dijual. Agar dapat lebih lama disimpan, semua jenis dan varietas padi memerlukan pengeringan hasil panen, sehingga petani melakukan penjemuran padi setelah panen dan sebelum menyimpannya. Terlihat dalam Tabel 4.9, hampir semua petani padi melakukan pengeringan/penjemuran hasil panen, baik pada padi ladang maupun padi sawah. Petani yang tidak melakukan penjemuran hasil panen disebabkan langsung dijual ke pengumpul di lapangan. Untuk memperbaiki tingkat penerapan teknologi budidaya diperlukan intervensi Pemerintah dalam bentuk bantuan faktor produksi padi. Hasil sensus tahun 2003 menunjukkan intervensi pemerintah dalam bantuan sarana produksi padi sawah maupun padi ladang masih relatif kecil (Tabel 4.10). Belum banyak kelompok rumahtangga tanaman pangan yang memperoleh bantuan faktor produksi uasahatani dari Pemerintah. Selama tahun 2003 tercatat hanya sekitar 407,39 ribu yang memperoleh bantuan dari Pemerintah (kurang dari tiga persen). Setengah dari bantuan tersebut berupa bibit tanaman dan yang cukup banyak bantuan dalam bentuk pupuk, sedangkan faktor produksi lain relatif sedikit. Sebagian besar dari bantuan faktor produksi dalam bentuk paket program peningkatan produksi tanaman pangan dan usaha pengembangan agribisnis. Tabel Banyaknya Rumahtangga Tani Padi yang Mendapat Bantuan Faktor Produksi Padi dari Pemerintah Tahun 2003 No No Bantuan Faktor Produksi Jumlah RT Jumlah RT Persentase Padi Padi Palawija Persentase 1 1 Bibit , , Pupuk , , Pestisida , , Alsintan , , Lain , ,35 Jumlah yang mendapat bantuan , ,14 Jumlah rumahtangga Padi ,20 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). 43

66 Tidak berbeda dengan tanaman padi, Pemerintah juga membantu sarana produksi untuk usahatani tanaman palawija sebagaimana dirangkum dalam Tabel Bantuan sarana produksi bibit tanaman palawija terbanyak disalurkan Pemerintah kepada petani palawija, yaitu mencapai 1,20 persen dari total rumahtangga petani palawija. Bantuan sarana produksi lain seperti pupuk, pestisida dan alsintan di bawah setengah persen bahkan di bawah satu persen. Tahun 2003 tercatat dalam sensus pertanian hanya sekitar 2,14 persen saja petani palawija yang memperoleh bantuan sarana produksi atau sebanyak 229,84 ribu rumahtangga palawija Keragaan Rumahtangga Hortikultura Peningkatan jumlah rumahtangga petani hortikultura dalam kurun waktu 1993 sampai 2003 mengalami pertumbuhan yang pesat dari tahun 1993 berjumlah 5,04 juta naik menjadi 8,44 juta rumahtangga pada tahun 2003, atau naik 67 persen. Kegiatan usahatani hortikultura menjadi andalan lebih dari 34 juta orang untuk memenuhi kebutuhan hidup, sehingga sub sektor ini tidak dapat diabaikan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani Indonesia. Selain itu, sub sektor ini merupakan andalan bagi buruh tani hortikultura yang jumlahnya hampir dua juta orang. Seperti kita ketahui kegiatan usahatani hortikultura ini relatif lebih rentan terhadap perubahan iklim dan serangan hama penyakit tanaman dibanding jenis tanaman lain, sehingga tidak jarang petani hortikultura mengalami kegagalan panen. Namun, seringkali harga komoditas hortikultura jatuh atau rendah (jauh di bawah titik impas) akibat surplus penawaran, sehingga petani hortikultura mengalami kerugian. Hal sebaliknya dapat terjadi, dimana harga komoditas sayursayuran tiba-tiba tinggi karena kekurangan pasokan dari petani produsen. Kondisi ini dapat memberi keuntungan lebih tinggi bagi petani produsen, sehingga mempengaruhi jumlah rumahtangga petani hortikultura (Tabel 4.11). 44

67 Tabel Jumlah Rumahtangga Tanaman Hortikultura 1993 dan 2003 No Jumlah Rumahtangga (RT) Perubahan(%) 1 Jumlah R T Hortikultura ,40 2 Jumlah anggota RT Hortikultura Jumlah Buruh Tani Hortikultura Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003 (BPS). Rata-rata luas lahan yang dikuasai petani hortikultura cukup luas, mencapai 0,89 ha. Sebagian besar lahan yang diusahakan untuk kegiatan usahatani komoditas hortikultura merupakan lahan milik (85,7 persen), tetapi cukup banyak juga petani hortikultura yang menyewa atau gadai dari pihak lain (lebih dari 10 persen). Tanda bahwa petani hortikultura kekurangan lahan adalah petani menyewa lahan dari tetangga, sedangkan yang menyewakan pada teman relatif sedikit (3,65 persen). Status penguasaan lahan hortikultura secara rinci dalam Tabel Tabel Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Hortikultura Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan, Tahun 2003 (m 22 )) No Status penguasaan lahan Luas (m 2 ) Persen 1 Lahan yang dimiliki 8.334,90 85,71 2 Lahan yg berasal dari pihak lain 953,59 10,64 3 Lahan yang berada dipihak lain 327,20 3,65 Lahan yang dikuasai 8.961, Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Sebagian besar lahan yang diusahakan petani hortikultura adalah lahan bukan sawah (tegal, kebun, dan darat/ladang). Lahan sawah yang diusahakan untuk usahatani komoditas hortikultura hanya sekitar 23 persen dari total lahan pertanian yang diusahakan. Hanya sedikit proporsi lahan bukan pertanian yang diusahakan untuk usahatani hortikultura (Tabel 4.13). 45

68 Tabel 4.13.Rata-rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Hortikultura Menurut Jenis Lahan, Tahun 2003 (m 2 ) No No Jenis Lahan Rata-rata Luas (m 22 )) Persen 11 Lahan Sawah 2.038,63 22,75 22 Lahan Bukan Sawah 6.384,83 71,25 33 Lahan Bukan Pertanian 537,83 6,0 Lahan yang Dikuasai 8.961,29 100,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Modal usahatani sangat diperlukan bagi petani hortikultura karena biaya yang dibutuhkan relatif besar. Selain itu, modal yang dimiliki petani terbatas, sehingga perlu bantuan atau pinjaman modal dari pihak lain. Pada Tabel 4.14 digambarkan bantuan atau pinjaman kredit modal usahatani hortikultura yang diperoleh petani. Hanya 2,4 persen rumahtangga hortikultura yang memperoleh pinjaman/kredit dari total rumahtangga hortikultura, selebihnya petani mengusahakan hortikultura dengan modal usaha milik sendiri. Petani hortikultura yang memperoleh pinjaman kredit, sebagian besar berupa uang tunai (61 persen), selebihnya beragam dalam bentuk bibit/benih (9,8 persen), pupuk (hampir 15 persen), dan alat pertanian (3,2 persen). Dengan kepemilikan modal yang terbatas dan kesulitan memperoleh modal usaha, maka banyak petani hortikultura yang tidak dapat melaksanakan paket teknologi anjuran dan berdampak pada produktivitas dan pendapatan usahatani hortikultura tidak optimal. Tabel 4.14.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Modalnya dari dari Kredit dan Bentuk Pinjaman Tahun 2003 No No Jenis Kredit yang diperoleh Jumlah Rumahtangga Persen (%) (%) 1 1 Bentuk kredit uang tunai , Bentuk pinjaman bibit/benih , Bentuk pinjaman pupuk , Bentuk pinjaman alat pertanian , Bentuk pinjaman lain ,26 Jumlah rumahtangga yang memperoleh ,40 kredit/pinjaman Jumlah RT Hortikultura ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). 46

69 Dalam rangka memenuhi kebutuhan komoditas hortikultura dalam negeri (substitusi impor) dan peningkatan ekspor produk hortikultura, Pemerintah (khususnya Kementerian Pertanian) telah mengusahakan berbagai program peningkatan produksi hortikultura. Diantara program peningkatan produksi tersebut dalam bentuk bantuan sarana dan prasarana produksi hortikultura (Tabel 4.15). Tabel 4.15.Jumlah Rumahtangga Usaha Tanaman Hortikultura yang Sebagian Modalnya dari Bantuan Pemerintah Tahun 2003 No No Jenis bantuan modal Jumlah RT Persen 11 Bentuk bantuan pengolahan lahan ,17 33 Bentuk bantuan pinjaman bibit/benih ,95 44 Bentuk bantuan pinjaman pupuk ,36 55 Bentuk bantuan lain ,25 Rumatangga yang memperoleh bantuan ,74 Jumlah RT Hortikultura ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Bantuan bibit dan benih dari program Pemerintah paling popular di kalangan masyarakat hortikultura, baik kelompok komoditas sayur-sayuran maupun buah-buahan. Lebih dari setengah program bantuan Pemerintah dalam bentuk bibit dan benih komoditas yang diusahakan. Sebagian program peningkatan produksi hortikultura berupa paket bantuan, misalnya bibit dan biaya pengolahan lahan, benih dan pupuk diperlukan petani termasuk kompos, dan lainlain. Bentuk bantuan selain bibit/benih yang cukup banyak diusahakan adalah bantuan pupuk dan biaya pengolahan lahan. Berbagai upaya dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan produksi komoditas hortikultura dan sekaligus untuk mencapai sasaran peningkatan pendapatan/kesejahteraan petani, seperti mengembangkan koperasi petani hortikultura untuk meningkatkan kelembagaan usahatani termasuk melakukan inovasi teknologi melalui penyuluhan pertanian. Upaya-upaya tersebut diharapkan dapat mengembangkan usahatani hortikultura di tingkat petani melalui upaya penguatan modal usaha, pemasaran hasil, inovasi teknologi dan kelembagaan petani. 47

70 Keragaan Rumahtangga Perkebunan Jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta, dengan pengusahaan terbesar adalah karet (18,36 persen), kelapa (16,1 persen) dan kopi (15,86 persen). Dalam kurun waktu usaha perkebunan yang tumbuh paling cepat adalah karet (38,8 persen) dan kopi (7,30 persen), sementara kelapa menurun (-33,8 persen). Dalam kurun waktu perkebunan sawit rakyat belum berkembang (Tabel 4.16). Dari jumlah rumahtangga pekebun pada tahun 2003 sebanyak 6,88 juta, hampir setengah dari jumlah rumahtangga tersebut yang memiliki luas lahan perkebunan antara 0,5 sampai 2,0 ha. Rumahtangga pekebun yang memiliki lahan sempit, yaitu kurang dari 0,5 ha berjumlah 1,35 juta atau 19,60 persen. Kelompok rumahtangga pekebun ini sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga apabila hanya menggantungkan hidupnya dari pendapatan hasil kebun saja. Tabel 4.16.Perkembangan Jumlah Rumahtangga Komoditas Perkebunan Terpilih Tahun No Jenis Komoditas Perubahan (%) 1 Karet ,80 2 Kelapa ,59 3 Kopi ,30 Total ,88 Sumber: BPS, Sensus Pertanian tahun 1993 dan Berdasarkan hasil sensus 2003, proporsi terbesar pengusahaan perkebunan rakyat adalah 0,5-2,0 hektar, sementara yang di atas 2 hektar hanya 31 persen. Apabila dikatakan bahwa luas lahan komoditas perkebunan terpilih untuk petani memperoleh pendapatan yang layak paling sedikit 2,0 hektar, maka jumlah rumahtangga petani yang memenuhi kriteria tersebut hanya sekitar 2,14 juta atau 31 persen dari total jumlah rumahtangga pekebun. Artinya, 69 persen dari rumahtangga pekebun belum memiliki skala usaha yang memadai untuk memenuhi hidup keluarganya (Tabel 4.17). Dengan sistem waris dan penjualan 48

71 lahan perkebunan, dikhawatirkan ke depan kelompok usaha perkebunan yang skala usahanya belum layak akan semakin bertambah. Tabel 4.17.Proporsi Rumahtangga (RT) Perkebunan Berdasarkan Luas Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai Tahun 2003 No Rata-rata luas lahan usaha ternak Jumlah Persentase Rumahtangga (%) 1 Lahan usaha perkebunan <=1.000 m ,17 2 Lahan usaha perkebunan m ,43 3 Lahan usaha perkebunan m ,07 4 Lahan usaha perkebunan m ,29 5 Lahan usaha perkebunan m ,57 6 Lahan usaha perkebunan >= m ,47 Jumlah rumahtangga usaha Perkebunan ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Rata-rata luas lahan milik tanaman karet jauh lebih luas dibanding tanaman kelapa dan kopi. Kebun karet relatif lebih banyak yang disewakan/gadai atau sakap ke pihak lain dibanding perkebunan kelapa dan kopi. Demikian pula lahan yang dikuasai oleh rumahtangga pekebun karet lebih luas dibanding dua komoditas lain (Tabel 4.18). Tabel 4.18.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas Perkebunan Terpilih Menurut Status Penguasaan Lahan dan Penggunaan Lahan (m 2 ) Tahun 2003 No No Uraian Karet Kelapa Kopi 11 Lahan yang dimiliki , , ,74 22 Lahan yg berasal dari pihak lain 1.782,10 945, ,55 33 Lahan yang berada dipihak lain 705,64 546,16 283,95 Lahan yang dikuasai , , ,34 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Pada semua komoditas perkebunan terpilih jauh lebih banyak diusahakan pada lahan bukan sawah atau lahan kering (Tabel 4.19). Rata-rata luas lahan kebun karet yang bukan sawah relatif luas pada rumahtangga pekebun karet dibanding kelapa dan kopi. Demikian pula untuk lahan bukan pertanian yang diusahakan untuk pengembangan ketiga komoditas perkebunan terpilih. Rata-rata luas lahan yang dikuasai pekebun karet hampir dua kali lipat dibanding pekebun 49

72 kopi, sedangkan rata-rata luas pekebun kelapa sedikit lebih luas dibanding ratarata pekebun kopi. Tabel 4.19.Rata-Rata Luas Lahan yang Dikuasai Rumahtangga Usaha Komoditas Perkebunan Menurut Jenis Lahan Tahun 2003 (m (m ) 2 ) No Uraian Karet Kelapa Kopi 1 Lahan Sawah 1.981, , ,92 2 Lahan Bukan Sawah , , ,94 3 Lahan Bukan Pertanian 1.211,70 636,54 491,49 Lahan yang Dikuasai , , ,34 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Sebagaimana petani umumnya, di sub sektor perkebunan pun lebih dari setengah rumahtangga pekebun mengalami masalah kekurangan modal usaha untuk mengembangkan perkebunannya karena pengembangan perkebunan membutuhkan modal yang cukup besar (Tabel 4.20). Keterampilan budidaya yang terbatas juga dialami oleh sebagian rumahtangga pekebun (14,44 persen). Mutu hasil produksi yang rendah menjadi kendala pekebun untuk memperoleh pendapatan yang memadai. Dalam banyak kasus, tidak hanya disebabkan keterampilan pekebun untuk memperoleh/menghasilkan mutu yang baik, tetapi pasar produk kurang merespon terhadap hasil komoditas perkebunan yang bermutu baik, sehingga pekebun kurang berminat (bermotivasi rendah) untuk menghasilkan produk bermutu baik. Tabel 4.20.Persentase Banyaknya Rumahtangga Perkebunan yang Menghadapi Masalah dalam Pembudidayaan Tanaman Menurut Jenis Masalah Utama Tahun 2003 No Jenis masalah utama Persentase 1 Kurangnya Modal 51,64 2 Kurangnya Pengetahuan Budidaya 14,44 3 Rendahnya Mutu Produksi 14,89 4 Lain 19,03 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS) Keragaan Rumahtangga Peternakan Jumlah rumahtangga peternakan pada tahun 2003 mencapai 5,63 juta, yang meliputi jumlah anggota rumahtangga sebanyak 23,60 juta orang. Umumnya usaha peternakan ternak besar dengan skala usaha kecil, diusahakan oleh 50

73 pemiliknya sendiri, tidak menggunakan buruh, sehingga jumlah buruh yang terlibat dalam usaha peternakan ini hanya sekitar 509,30 ribu orang (Tabel 4.21). Tabel 4.21.Jumlah Rumahtangga Peternakan Tahun 2003 No No Uraian Jumlah rumahtangga 11 Jumlah rumahtangga usaha Peternakan Jumlah Anggota rumahtangga Peternakan Jumlah buruh usaha peternakan Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Dari jumlah rumahtangga ternak 5,63 juta, hampir setengahnya merupakan peternak sapi, yaitu sebanyak 2,57 juta rumahtangga (45,65 persen), sedangkan peternak lain relatif lebih sedikit. Peternak kambing hanya 597,83 ribu rumahtangga (10,62 persen) dan peternak ayam buras 724,65 ribu rumahtangga (12,88 persen). Sisanya adalah rumahtangga peternak dari jenis ternak lain, seperti babi, kuda, itik dan lain sebagainya (Tabel 4.22). Tabel 4.22.Jumlah Rumahtangga Usaha Ternak Berdasarkan Jenis Ternak yang Diusahakan Tahun 2003 No No Jenis Usaha Ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%) (%) 11 Peternakan Sapi ,65 22 Peternakan Kambing ,62 33 Peternakan Ayam Buras ,88 44 peternakan lain ,85 55 Total rumahtangga usaha peternakan ,00 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Skala usaha peternakan, selain dapat dilihat dari jumlah ekor ternak yang diusahakan, juga dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai untuk usaha peternakan. Jumlah rumahtangga peternakan berdasarkan kelompok luas lahan yang dikuasai terbanyak adalah rumahtangga kelompok luas lahan usaha ternak yang dikuasai <= 500 m 2, mencapai 4,94 juta rumahtangga atau 87,75 persen dari total rumahtangga peternak (Tabel 4.23). Kelompok terbanyak kedua adalah pada luas lahan m 2, mencapai 656,84 ribu rumahtangga (11,67 persen). Kelompok rumahtangga ternak yang relatif sedikit adalah luas lahan yang dikuasai lebih besar dari m 2 (satu hektar), hanya 32,52 ribu rumahtangga 51

74 (0,58 persen). Kenyataan menunjukkan bahwa peternak di Indonesia didominasi oleh peternak kecil. Tabel 4.23.Proporsi Jumlah Rumahtangga Berdasarkan Lahan Usaha Ternak yang Dikuasai No No Kelompok luas lahan usaha ternak Jumlah rumahtangga Persentase (%) Jumlah rumahtangga usaha peternakan ,00 11 Luas lahan usaha ternak <= 500 m ,75 22 Luas lahan usaha ternak m ,67 33 Luas lahan usaha ternak m ,48 44 Luas lahan usaha ternak > m ,10 Sumber: Sensus Pertanian 2003 (BPS). Umumnya usaha peternakan dilakukan bersamaan dengan usaha pertanian lain, baik yang berhubungan dengan usaha peternakan (misalnya pengembangan pakan ternak), atau usaha tanaman lain yang sisa hasil produksinya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Jumlah terbanyak adalah rumahtangga yang mengusahakan lahan pertanian untuk pertanian lain dengan luas lahan <= m 2 (setengah hektar) sebanyak 3,42 juta rumahtangga atau 60,69 persen. Kedua adalah kelompok luas lahan untuk usaha pertanian lain m 2 mencapai 1,50 juta rumahtangga atau 26,59 persen. Kelompok rumahtangga dengan luas lahan usaha pertanian lain lebih luas dari m 2 hanya 715,76 ribu rumahtangga atau 12,72 persen (Tabel 4.24). Tabel 4.24.Proporsi Jumlah Rumahtangga Peternakan Berdasarkan Lahan Usaha untuk Pertanian Lain No No Kelompok luas lahan usaha untuk pertanian lain Jumlah Persentase rumahtangga (%) Rumahtangga usaha peternakan ,00 11 Luas lahan usaha lain <=5.000 m ,69 22 Luas lahan usaha lain m ,59 33 Luas lahan usaha lain > m ,62 44 Luas lahan usaha lain > m ,10 Sumber: BPS, Sensus Pertanian

75 4.2. Keragaan Kesejahteraan Rumahtangga Petani Secara makro, kesejahteraan masyarakat pertanian diukur melalui produktivitas pertanian, yaitu rasio antara PDB pertanian dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat di sektor pertanian (petani dan buruh). Dalam kurun waktu , produktivitas pertanian cenderung paling rendah dibandingkan sektor lain, seperti terangkum dalam Gambar 4.1. Namun demikian, selama kurun waktu , produktivitas sektor pertanian meningkat dari Rp 5,3 juta/kap/tahun pada tahun 2000 menjadi Rp 8,0 juta/kap/tahun pada tahun 2011, atau peningkatan rata-rata sebesar 3,37 persen/tahun. Produktivitas tertinggi ditunjukkan oleh sektor industri pengolahan yang meningkat dari Rp 33,1 juta/kap/tahun pada tahun 2000, menjadi Rp 43,6 juta/kap/tahun pada tahun 2011, atau peningkatan rata-rata sebesar 2,72 persen/tahun. Sektor lain, di luar pertanian menunjukkan peningkatan produktivitas dalam kurun waktu Secara keseluruhan, produktivitas nasional meningkat dari Rp 15,5 juta/kap/tahun pada tahun 2000, menjadi Rp 22,5 juta/kap/tahun pada tahun 2011, atau peningkatan rata-rata sebesar 3,35 persen/tahun (Gambar 4.1 dan Tabel 4.25). 53

76 Gambar 4.1. Perkembangan Produktivitas per Sektor, Diantara lima sektor terpilih, laju pertumbuhan PDB tertinggi ditunjukkan oleh sektor perdagangan, rumah makan, hotel, yaitu sebesar 6,15 persen/tahun, sedangkan laju pertumbuhan PDB terendah ditunjukkan sektor pertanian, yang hanya mencapai 3,41 persen/tahun. Sektor dengan laju pertumbuhan tenaga kerja tertinggi ditunjukkan oleh sektor bangunan, yaitu sebesar 4,75 persen/tahun, sedangkan sektor pertanian laju pertumbuhan tenaga kerjanya paling rendah, sebesar 0,04 persen/tahun. Produktivitas lima sektor terpilih menunjukkan laju pertumbuhan yang positif (cenderung meningkat), atau sejalan dengan laju pertumbuhan produktivitas nasional. Diantara sektor terpilih, laju pertumbuhan produktivitas sektor jasa adalah terendah dibanding sektor lain. Hal 54

77 ini sejalan dengan pertumbuhan tenaga kerja yang terlibat di sektor jasa yang meningkat cukup besar. Tabel Laju Pertumbuhan PDB, Tenaga Kerja, dan Produktivitas Sektor Terpilih, Laju Pertumbuhan (Persen/Tahun) Sektor PDB Tenaga Kerja Produktivitas Pertanian, Kehutanan, Perikanan 3,41 0,04 3,37 Industri Pengolahan 4,50 1,79 2,72 Bangunan 6,99 4,75 2,24 Perdagangan, Rumah Makan, Hotel 6,15 2,70 3,45 Jasa 5,43 4,72 0,72 Total 5,28 1,93 3,35 Sumber: Statistik Indonesia (diolah). Peningkatan laju produktivitas pertanian yang tinggi dibanding laju PDBnya sejalan dengan menurunnya beban tenaga kerja di sektor pertanian. Hal ini membawa implikasi penting bahwa tumbuhnya sektor di luar pertanian yang mengalihkan beban tenaga kerja dari pertanian ke non pertanian telah memperbaiki produktivitas pertanian. Peningkatan pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh tumbuhnya sektor-sektor pembangunan ternyata belum sepenuhnya mengentaskan kemiskinan baik di perkotaan dan pedesaan. Pertumbuhan ekonomi memang telah menurunkan jumlah penduduk miskin, namun jumlah penduduk miskin masih cukup besar. Dalam kurun waktu tahun jumlah penduduk miskin Indonesia mengalami peningkatan jumlah, namun persentasenya terhadap total jumlah penduduk menurun. Dalam tahun 2012 jumlah penduduk miskin di Indonesia sebesar 29,13 juta jiwa atau 11,96 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah penduduk miskin terbesar masih terdapat di pedesaan, yaitu 18,48 juta jiwa atau 15,12 persen dari jumlah penduduk pedesaan. Sementara jumlah penduduk miskin di perkotaan sebesar 10,65 juta jiwa atau 8,78 persen dari jumlah penduduk perkotaan (Tabel 4.26). 55

78 Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa rumahtangga miskin mempunyai sumber penghasilan utama dari sektor pertanian. Sementara rumahtangga tidak miskin mempunyai sumber penghasilan utama di luar sektor formal, seperti jasa. Tabel Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun * Pedesaan Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 32,8 17,8 26,4 18,48 persen thd Penduduk Pedesaan 28,4 14,3 22,38 15,12 Perkotaan Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 9,5 9,4 12,3 10,65 persen thd Penduduk Perkotaan 29,0 16,8 14,6 8,78 Perdesaan + Perkotaan Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) 42,3 27,2 38,7 29,13 persen thd Penduduk Perdesaan + Perkotaan 28,6 15,1 19,14 11,96 *Maret Sumber: Statistik Indonesia, 1980, 1990, 2000, 2012 (Diolah). Pada tahun 2012, kelompok rumahtangga miskin yang mempunyai sumber penghasilan utama dari pertanian sebesar 55,51 persen, atau persentase tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan periode tahun 2010 yang menempati proporsi 57,78 persen. Pada rumahtangga tidak miskin proporsi rumahtangga yang berpenghasilan utama dari pertanian juga menurun (Tabel 4.27). Tabel Sumber Penghasilan Utama Rumahtangga (%) Karakteristik Rumahtangga Miskin Rumahtangga Tidak Miskin Tidak bekerja 8,39 11,67 11,50 5,85 11,61 11,29 Pertanian 57,78 56,62 55,51 34,60 32,06 32,69 Industri 8,81 6,27 5,71 10,67 9,04 9,23 Lainnya 25,03 25,4 27,28 48,89 47,29 46,79 Sumber: Statistik Indonesia 2012 (BPS). Indikator lain yang mencerminkan keragaan kesejahteraan masyarakat dapat dinilai dari struktur pengeluaran rumahtangga. Terdapat indikasi semakin 56

79 tinggi pendapatan/kesejahteraan, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan. Sementara proporsi untuk konsumsi barang bukan makanan cenderung meningkat. Data tahun menunjukkan gambaran tersebut. Proporsi pengeluaran rumahtangga untuk makanan menurun dari 58,47 persen menjadi 49,45 persen, atau turun sebesar 1,54 persen/tahun. Sementara proporsi untuk bukan makanan meningkat dari 41,53 persen menjadi 50,55 persen, atau meningkat sebesar 2,17 persen/tahun (Tabel 4.28). Pada kelompok makanan konsumsi terjadi penurunan pada semua kelompok barang, kecuali makanan dan minuman jadi. Penurunan terbesar terjadi pada padi-padian (makanan pokok), menyusul daging, minuman, dan bumbubumbuan. Pada kelompok bukan makanan terjadi peningkatan pengeluaran konsumsi kecuali untuk kelompok barang pakaian, alas kaki, dan tutup kepala serta keperluan pesta dan upacara. Peningkatan pengeluaran terbesar terjadi untuk pajak dan asuransi, disusul barang-barang tahan lama, barang dan jasa, biaya pendidikan, biaya kesehatan, serta perumahan dan fasilitas rumahtangga. 57

80 Tabel Struktur Pengeluaran Rumahtangga Per Kapita Per Bulan, 2002 dan 2011 (Rp/Kap/Bulan) Kelompok Barang Perubahan perse perse (persen/th Rp/Kap Rp/Kap n n ) A. Makanan , ,45-1,54 Padi-padian , ,48-4,00 Umbi-umbian , ,51-2,13 Ikan , ,27-1,74 Daging , ,85-3,54 Telur dan susu , ,88-1,20 Sayur-sayuran , ,31-0,89 Kacang-kacangan , ,26-3,74 Buah-buahan , ,15-2,44 Minyak dan lemak , ,91-1,51 Bahan minuman , ,80-3,36 Bumbu-bumbuan , ,06-3,20 Konsumsi lainnya , ,07-2,15 Makanan dan minuman jadi , ,73 4,16 Minuman yang mengandung alkohol 170 0,08-0,00 - Tembakau dan sirih , ,16-2,41 B. Bukan Makanan , ,55 2,17 Perumahan dan fasilitas RT , ,91 1,19 Barang dan Jasa , ,24 4,99 Biaya Pendidikan , ,64 4,71 Biaya Kesehatan , ,04 4,50 Pakaian, alas kaki, dan tutup kepala , ,02-6,10 Barang-barang tahan lama , ,52 8,32 Pajak dan asuransi , ,64 10,52 Keperluan pesta dan upacara , ,53-0,22 TOTAL , ,00 Sumber: Statistik Indonesia, 2002, 2012 (Diolah)

81 BAB V PERILAKU NILAI TUKAR PETANI Nilai Tukar Petani (NTP) didefinisikan sebagai rasio antara harga yang diterima petani (HT) dengan harga yang dibayar petani (HB). HT dan HB merupakan harga tertimbang dari harga-harga pembentuknya (harga komoditas dan harga barang konsumsi dan sarana produksi) dengan pembobot besarnya nilai produksi yang dijual dan nilai yang dibeli petani. Dengan demikian pembentukan NTP merupakan mekanisme yang kompleks berkaitan dengan aspek pendapatan petani dan aspek pengeluaran (konsumsi) petani. Adanya keragaman setiap daerah dalam hal sumberdaya dan produksi pertanian, komoditas yang dihasilkan dan teknologi, serta keragaman dalam pola konsumsi akan menyebabkan keragaman pembentukan harga-harga dan keragaman NTP. Pembentukan indeks NTP sebagai indikator kesejahteraan petani telah dilakukan oleh BPS tahun 1987 dan terus dilakukan penyempurnaan. Pada awalnya definisi petani terbatas kepada petani yang berusaha di lahan, sehingga cakupan petani hanya petani tanaman bahan makanan dan tanaman perkebunan rakyat, dengan cakupan wilayah di 14 provinsi. Sejak tahun 2008 dilakukan penyempurnaan dengan mencakup nelayan di dalam sub sektor perikanan Perkembangan NTP Tahun Perkembangan NTP bulan Januari 2008 Mei 2013 menunjukkan tren meningkat dengan laju 0,0038/bulan. Peningkatan ini terjadi karena laju HT meningkat lebih tinggi dibandingkan HB. HB dan HT bergerak mengikuti garis tren yang cenderung linier dengan penambahan (marjinal) HT sebesar 0,0233/bulan dan HB sebesar 0,0180/bulan, sehingga NTP masih bergerak naik walaupun dengan kenaikan yang relatif rendah (Gambar 5.1). Detil NTP, HT, dan HB di dalam Tabel Lampiran 1. Perilaku NTP seperti diuraikan di atas tidak lepas dari faktor-faktor penyusunnya, baik komponen penyusun HT maupun komponen penyusun HB. 59

82 Faktor yang mempengaruhi perilaku NTP, HT dan HB tersebut tercermin dari pergerakan nilai marjinal faktor-faktor penyusunnya. Gambar 5.1 menunjukkan bahwa perilaku NTP dibandingkan perilaku HT dan HB tidak banyak perubahan dari bulan dasar, Januari Harga yang diterima petani dan yang dibayar petani meningkat secara simultan, namun harga yang diterima petani meningkat lebih tinggi (43 persen) dibandingkan harga yang dibayar (37 persen) selama Januari 2008-Mei 2013, sehingga terjadi kesenjangan antara harga yang diterima dan dibayar petani. Variabel Dugaan Regresi R 2 R 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0233x - 812,2-0,9866 Indeks Harga Dibayar Petani (IHB) 0,018x - 601,64-0,9837 Nilai Tukar Petani (NTP) 0,0038x - 51,004-0,8131 Gambar 5.1. Perkembangan Indeks Diterima Petani, Indeks Dibayar Petani, dan dan Nilai Nilai Tukar Petani, Januari 2008-Mei Dengan asumsi bahwa kuantitas produksi komoditas yang dihasilkan petani tetap bersamaan dengan perubahan harga-harga barang konsumsi dan produksi, perilaku NTP di atas mencerminkan bahwa daya beli petani relatif naik selama periode tersebut, atau kesejahteraan petani meningkat. Apabila diukur dengan kriteria standar hidup, hampir sepanjang lima tahun terakhir, kecuali pada bulan 60

83 Maret-April 2008 dan periode Oktober 2008-Juli 2009, petani relatif lebih sejahtera ditunjukkan oleh peningkatan NTP Perilaku Harga yang Diterima Petani (HT) Harga yang diterima petani merupakan harga tertimbang di tingkat petani/peternak/nelayan dari harga-harga sub sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan rakyat, peternakan, dan perikanan. Harga dari masingmasing sub sektor sendiri juga dibangun dari harga tertimbang dari komoditas penyusunnya. Penimbang dari masing-masing adalah nilai produksi. Perilaku HT dari Januari 2008 sampai dengan Mei 2013 terangkum di dalam Gambar 5.2. Seperti dijelaskan di atas, HT meningkat dengan marjinal sebesar 0,0233/bulan. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan yang lebih besar dari sub sektor tanaman pangan (marjinal = 0,0273/bulan) dan sub sektor hortikultura (marjinal = 0,0264/bulan); menyusul sub sektor perikanan dengan marjinal 0,0180/bulan, perkebunan sebesar 0,0169/bulan dan peternakan sebesar 0,0155/bulan. 61

84 Variabel Dugaan Regresi RR 2 2 Indeks Harga Diterima Petani NAS (HT ) 0,0233x --812,2 0,9866 Indeks Harga Diterima Petani T.Pangan (HT TP) 0,0273x --974,74 0,9756 Indeks Harga Diterima Petani Hortikultura (HT HOR) 0,0264x --931,8 0,9596 Indeks Harga Diterima Petani Perkebunan (IHT BUN) 0,0169x --547,78 0,8805 Indeks Harga Diterima Petani Ternak (HT NAK) 0,0155x --497,56 0,8996 Indeks Harga Diterima Petani Perikanan (HT IK) 0,018x --596,39 0,9295 Nilai Tukar Petani NAS (NTP ) 0,0038x --51,004 0,8131 Gambar 5.2. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani, Indeks Harga Dibayar Petani, dan Nilai Tukar Petani per Sub sektor dan Gabungan, Januari 2008-Mei Penulusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan harga yang diterima petani sub sektor tanaman pangan (HTTP) pengaruh peningkatan harga palawija relatif lebih besar dibanding peningkatan harga padi, yaitu dengan nilai peningkatan marjinal sebesar 0,0273/bulan untuk palawija dan 0,0233/bulan untuk padi (Tabel 5.1). Sementara itu, pada sub sektor hortikultura, kontribusi peningkatan harga buah-buahan relatif lebih tinggi dibandingkan peningkatan harga sayuran, yaitu masing-masing dengan peningkatan marjinal sebesar 0,0262/bulan dan 0,0259/bulan. Pada sub sektor perkebunan nilai marjinal yang dimaksud adalah nilai marjinal kelompok tanaman perkebunan rakyat. Pada sub sektor peternakan, kontribusi terbesar dari peningkatan harga yang diterima petani terjadi pada kelompok komoditas ternak kecil (nilai marjinal 0,0213/bulan) menyusul hasil peternakan (nilai marjinal 0,0178/bulan), unggas 62

85 (nilai marjinal 0,0171/bulan) dan kelompok ternak besar (nilai marjinal 0,0120/bulan). Sementara pada sub sektor perikanan kontribusi terbesar dari dari peningkatan harga yang diterima petani ikan dan nelayan terjadi pada harga produk penangkapan (nilai marjinal 0,188/bulan) dan nilai marjinal harga produk budidaya ikan sebesar 0,0138/bulan. Tabel 5.1. Nilai Regresi Indeks Harga yang Diterima Petani Tahun Sub sektor Komoditas Dugaan Regresi R 2 R 2 Tanaman Pangan Padi (PAD) 0,0271x ,64 0,9744 (TP) Palawija (PLW) 0,0286x ,1 0,9682 Hortikultura (HT) Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x ,93 0,8947 Buah-buahan (BUH) 0,0262x ,23 0,9642 Perkebunan (BUN) Tanaman Perkebunan Rakyat 0,0169x ,78 0,8805 (TPR) Ternak Kecil (TNK) 0,0213x ,06 0,9104 Peternakan (NAK) Ternak Besar (TNB) 0,0120x ,75 0,8489 Unggas (UGS) 0,0171x 559,66 0,8671 Hasil Ternak (HST) 0,0178x ,17 0,9004 Perikanan (IK) Penangkapan (KAP) 0,0188x 629,51 0,9241 Budidaya (BDY) 0,0138x ,51 0, Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0273/bulan. Dua komoditas tanaman pangan, yaitu padi dan palawija menunjukkan penambahan marjinal harga yang diterima masing-masing sebesar 0,0271/bulan untuk padi dan 0,0286/bulan untuk palawija. Detil perilaku harga yang diterima petani padi dan palawija ditunjukkan Gambar 5.3 dimana palawija tampak dominan disbanding padi. 63

86 Variabel Dugaan Regresi R 2 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0273x --974,74 0,9756 Padi (PAD) 0,0271x --968,64 0,9744 Palawija (PLW) 0,0286x ,1 0,9682 Gambar 5.3. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Tanaman Pangan, Indeks Harga Padi dan Palawija, Januari 2008-Mei Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura Indeks harga yang diterima petani hortikultura meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0264/bulan, lebih rendah dari penambahan marjinal harga yang diterima petani hortikultura. Dua komoditas hortikultura, yaitu sayur-sayuran dan buah-buahan menunjukkan penambahan marjinal harga yang diterima masing-masing sebesar 0,0259/bulan untuk sayur-sayuran dan 0,0262/bulan untuk buah-buahan. Detil perilaku harga yang diterima petani sayursayuran dan buah-buahan ditunjukkan Gambar

87 Variabel Dugaan Regresi R 2 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0264x --931,8 0,9596 Sayur-sayuran (SYR) 0,0259x --909,93 0,8947 Buah-buahan (BUH) 0,0262x --924,23 0,9642 Gambar 5.4. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Hortikultura, Indeks Harga Sayur-sayuran dan Buah-buahan, Januari 2008-Mei Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perkebunan Indeks harga yang diterima petani tanaman perkebunan hanya disusun oleh satu komoditas, yaitu tanaman perkebunan rakyat. Selama Januari 2008-Mei 2013 indeks harga yang diterima oleh petani perkebunan/tanaman perkebunan rakyat meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0169/bulan atau lebih rendah dari indeks harga yang diterima petani tanaman pangan maupun petani hortikultura. Detil perilaku harga yang diterima petani perkebunan/tanaman perkebunan rakyat ditunjukkan Gambar

88 Variabel Dugaan Regresi R 2 R 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0169x --547,78 0,8805 Tanaman Perkebunan Rakyat (TPR) 0,0169x --547,78 0,8805 Gambar 5.5. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perkebunan/Tanaman Perkebunan Rakyat, Januari 2008-Mei Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Peternakan Indeks harga yang diterima petani sub sektor peternakan/peternak disusun oleh empat komoditas, yaitu ternak besar, ternak kecil, unggas, dan hasil ternak. Indeks harga yang diterima peternak bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0155/bulan. Penambahan marjinal harga yang indeks harga yang diterima peternak lebih rendah dibandingkan petani tanaman pangan, petani hortikultura, dan petani perkebunan. Artinya, indeks harga yang diterima peternak adalah terendah dibandingkan yang diterima petani di tiga sub sektor lain. Diantara empat komoditas penyusunnya, ternak kecil menunjukkan penambahan marjinal tertinggi, yaitu 0,0213/bulan, diikuti hasil ternak dengan penambahan marjinal sebesar 0,0178/bulan, lalu disusul oleh unggas dengan penambahan marjinal sebesar 0,0171/bulan, dan terendah adalah ternak besar dengan penambahan marjinal sebesar 0,0120/bulan. Perilaku indeks harga yang diterima peternak beserta komoditas penyusunnya ditunjukkan Gambar

89 Variabel Dugaan Regresi R 2 R 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0155x ,56 0,8996 Ternak Besar (TNB) 0,012x ,75 0,8489 Ternak Kecil (TNK) 0,0213x ,06 0,9104 Unggas (UGS) 0,0171x 559,66 0,8671 Hasil Ternak (HST) 0,0178x ,17 0,9004 Gambar 5.6. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sub Sektor Peternakan, Indeks Harga Ternak Besar, Ternak Kecil, Unggas, dan dan Hasil Ternak, Januari 2008-Mei Perilaku Harga yang Diterima Petani Sub Sektor Perikanan Indeks harga yang diterima petani sub sektor perikanan/nelayan disusun oleh dua komoditas, yaitu penangkapan dan budidaya. Indeks harga yang diterima nelayan bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0155/bulan. Penambahan marjinal indeks harga yang diterima nelayan lebih tinggi dibandingkan indeks harga yang diterima petani perkebunan dan peternak, namun lebih rendah dibandingkan indeks harga yang diterima petani tanaman pangan dan hortikultura. Indeks harga perikanan penangkapan bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0188/bulan, sedangkan indeks harga perikanan budidaya bergerak naik dengan penambahan marjinal sebesar 0,0138/bulan. Perilaku indeks 67

90 harga yang diterima nelayan beserta komoditas penyusunnya ditunjukkan Gambar 5.7. Tampak bahwa indeks harga perikanan penangkapan lebih dominan dalam penyusunan indeks harga yang diterima oleh nelayan. Variabel Dugaan Regresi R 2 Indeks Harga Diterima Petani (IHT) 0,0155x - 497,56 0,8996 Ternak Besar (TNB) 0,012x - 361,75 0,8489 Ternak Kecil (TNK) 0,0213x - 724,06 0,9104 Unggas (UGS) 0,0171x 559,66 0,8671 Hasil Ternak (HST) 0,0178x - 584,17 0,9004 Gambar 5.7. Perkembangan Indeks Harga Diterima Petani Sub Sektor Perikanan, Indeks Harga Ikan Hasil Penangkapan dan Ikan Hasil Budidaya, Januari 2008-Mei Perilaku Harga yang Dibayar Petani (HB) Harga yang dibayar petani juga merupakan harga tertimbang pembayaran di tingkat petani/peternak/nelayan dari harga-harga atas pembelian barang konsumsi dan faktor produksi dan barang modal. HB meningkat dengan penambahan marjinal sebesar 0,0180/bulan, dan peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan yang lebih besar dari pengeluaran konsumsi rumahtangga (marjinal = 0,0202/bulan). Pengeluaran biaya produksi dan penambahan barang modal meningkat dengan nilai marjinal sebesar 68 68

91 0,0117/bulan. Detil perilaku harga barang yang dikonsumsi dan biaya produksi akan ditunjukkan Gambar 5.8. Gambar 5.8 menunjukkan bahwa sejak Januari 2008, kenaikan NTP tertinggi hanya mencapai 5 persen, sedangkan kenaikan pengeluaran konsumsi rumahtangga mencapai 40 persen dan biaya produksi dan penambahan barang modal mencapai 26 persen. Peningkatan NTP yang rendah selama Januari Mei 2013 mengindikasikan bahwa tidak ada perubahan tren perilaku NTP. Kenaikan harga barang konsumsi dan biaya produksi pertanian mencerminkan telah terjadi perubahan kebijakan subsidi pada harga input produksi dan barang yang dikonsumsi rumahtangga petani (Khan and Ahmed, 2004). Variabel Dugaan Regresi R 2 Konsumsi Rumahtangga (KRT) 0,0202x - 686,48 0,9871 Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal (BPPBM) 0,0117x - 350,41 0,9474 Gambar 5.8. Perkembangan Indeks Harga yang Dibayar Petani, Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal, Januari 2008-Mei

92 Namun, seperti dijelaskan di muka harga yang diterima petani pada periode yang sama meningkat tajam (43 persen) dan lebih tinggi dibandingkan kenaikan hargaharga yang dibayar petani, sehingga perubahan kebijakan harga yang dilakukan pemerintah tidak banyak mengubah perilaku NTP. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan harga input produksi dan subsidi harga produk pertanian dapat dialihkan untuk pembangunan infrastruktur produksi dan pemasaran hasil pertanian Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga Harga konsumsi rumahtangga adalah harga tertimbang dari harga barangbarang yang dikonsumsi oleh rumahtangga, yang mencakup kelompok bahan makanan, makanan jadi, perumahan, sandang, kesehatan, pendidikan, rekreasi, dan olahraga, serta transportasi dan komunikasi. Harga konsumsi rumahtangga mencerminkan inflasi di pedesaan. Sesuai dengan definisi, inflasi merupakan persentase perubahan harga-harga konsumen pada periode tertentu. Berdasarkan data Januari 2008-Mei 2013 indeks harga konsumsi rumahtangga meningkat dengan peningkatan marjinal sebesar 0,0202/bulan (Gambar 5.9). Peningkatan marjinal tertinggi ditunjukkan oleh konsumsi bahan makanan (0,0238/bulan), disusul oleh konsumsi makanan jadi (0,0214/bulan), lalu sandang (0,0195/bulan), perumahan (0,0193/bulan), kesehatan (0,0130/bulan), pendidikan, rekreasi, dan olahrga (0,0105/bulan), serta transportasi dan komunikasi (0,0035/bulan). 70

93 Variabel Dugaan Regresi R 2 Konsumsi Rumahtangga (KRT) 0,0202x - 686,48 0,9871 Bahan Makanan (BM) 0,0238x - 828,25 0,9799 Makanan Jadi (MKJ) 0,0214x - 737,59 0,9926 Perumahan (PRM) 0,0193x - 649,02 0,9766 Sandang (SDG) 0,0195x - 661,06 0,9860 Kesehatan (KSH) 0,013x - 403,09 0,9863 Pendidikan, Rekreasi, & Olahraga (PDK) 0,0105x - 304,88 0,9731 Transportasi dan Komunikasi (TRP) 0,0035x - 26,85 0,2833 Gambar 5.9. Perkembangan Indeks Harga Konsumsi Rumahtangga dan Komponen Penyusunnya, Januari 2008-Mei Indeks Biaya Produksi dan Penambahan Barang Modal Indeks biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPBM) adalah harga tertimbang dari biaya untuk pembelian bibit, obat obatan dan pupuk, sewa lahan dan pajak, upah buruh, transportasi, dan penambahan barang modal. Dalam periode Januari 2008-Mei 2013 indeks BPPBM meningkat dengan peningkatan marjinal sebesar 0,0117/bulan (Gambar 5.10). Peningkatan marjinal tertinggi ditunjukkan oleh biaya penambahan barang modal (peningkatan marjinal = 0,0140/bulan), disusul biaya bibit (peningkatan marjinal = 0,0123/bulan), upah buruh tani dan obat/ pupuk (peningkatan marjinal = 0,0119/bulan), sewa lahan 71 71

PENYUSUNAN NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN Kata kunci : Nilai Tukar Petani, Fluktuasi Harga, Subsektor.

PENYUSUNAN NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN Kata kunci : Nilai Tukar Petani, Fluktuasi Harga, Subsektor. PENYUSUNAN NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2017 Markus Patiung markuspatiung@uwks.ac.id ABSTRAK Judul Penyusunan Nilai Tukar Petani Kabupaten Bondowoso Tahun 2017 dengan tujuan (1) Mengetahui

Lebih terperinci

TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI KABUPATEN JOMBANG: PENDEKATAN NILAI TUKAR PETANI PENDAHULUAN

TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI KABUPATEN JOMBANG: PENDEKATAN NILAI TUKAR PETANI PENDAHULUAN P R O S I D I N G 78 TINGKAT KESEJAHTERAAN PETANI KABUPATEN JOMBANG: PENDEKATAN NILAI TUKAR PETANI Rosihan Asmara 1*, Nuhfil Hanani 1 1 Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Lebih terperinci

NILAI TUKAR USAHA TANI PALAWIJA: JAGUNG, KEDELAI, DAN UBI KAYU

NILAI TUKAR USAHA TANI PALAWIJA: JAGUNG, KEDELAI, DAN UBI KAYU NILAI TUKAR USAHA TANI PALAWIJA: JAGUNG, KEDELAI, DAN UBI KAYU Muchjidin Rachmat dan Sri Nuryanti PENDAHULUAN Penyediaan pangan merupakan prioritas utama pembangunan pertanian. Komoditas pangan prioritas

Lebih terperinci

Bab 5 Indeks Nilai Tukar Petani Kabupaten Ciamis

Bab 5 Indeks Nilai Tukar Petani Kabupaten Ciamis Bab 5 Indeks Nilai Tukar Petani Kabupaten Ciamis Sektor pertanian memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi daerah, walaupun saat ini kontribusinya terus menurun dalam pembentukan Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih

BAB I PENDAHULUAN. pertiga penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan dan sebagian besar masih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di segala bidang merupakan arah dan tujuan kebijakan pemerintah Indonesia. Hakikatnya sosial dari pembangunan itu sendiri adalah upaya peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan pustaka Tingkat kesejahteraan petani merupakan salah satu faktor penting dalam pembangunan sektor pertanian.

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI : KONSEP, PENGUKURAN DAN RELEVANSINYA SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI

NILAI TUKAR PETANI : KONSEP, PENGUKURAN DAN RELEVANSINYA SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI NILAI TUKAR PETANI : KONSEP, PENGUKURAN DAN RELEVANSINYA SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI Farmers Terms of Trade: The Concept, Estimation, and Relevance for Farmers Welfare Indicators Muchjidin Rachmat

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017 DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN SUKOHARJO

NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017 DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN SUKOHARJO NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017 NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017 DINAS KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA KABUPATEN SUKOHARJO NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2017

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Mei 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/10/62/Th.VIII, 1 Oktober 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada September 2014 Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Mei 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/12/62/Th.VIII, 1 Desember 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada November 2014 Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013

Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013 Judul Buku : Nilai Tukar Petani Kabupaten Magelang Tahun 2013 Nomor Publikasi : Ukuran Buku : Kwarto (21 x 28 cm) Jumlah Halaman : v + 44 hal Naskah : Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang Gambar Kulit

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Juni 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/10/62/Th.IX, 1 Oktober 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada September 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2013

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2013 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/01/53/Th. XVII, 2 Januari 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2013 NILAI TUKAR PETANI (NTP) DESEMBER 2013 SEBESAR 97,92 ATAU TURUN 0,18 PERSEN Nilai Tukar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN MEI 2009

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN MEI 2009 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 04/07/33/Th. III, 01 Juli 2009 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN MEI 2009 NTP Umum Provinsi Jawa Tengah Bulan Mei 2009 tercatat sebesar 97,86 atau naik 0,02

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN TEGAL TAHUN 2014

NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN TEGAL TAHUN 2014 Katalog : 332804.15.01 NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN TEGAL TAHUN KERJASAMA BAPPEDA KABUPATEN TEGAL DAN BPS KABUPATEN TEGAL NILAI TUKAR PETANI KABUPATEN TEGAL TAHUN Nomor Publikasi : 332804.15.01 Ukuran

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2014 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2014 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MEI 2014 SEBESAR 99,90 No. 02/06/53/Th. XVII, 02 Juni 2014 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Mei 2014 didasarkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI AGUSTUS 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI AGUSTUS 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI AGUSTUS 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) AGUSTUS 2015 SEBESAR 102,15 No. 02/09/53/Th. XVIII, 01 SEPTEMBER 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 09/02/72/Th.XIX, 01 Februari 2016 Selama Januari 2016, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 99,09 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Januari

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Juni 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/11/62/Th.IX, 2 November 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada Oktober 2015 Nilai T ukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 37/07/73/Th. XI, 3 Juli PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN JUNI SEBESAR 100,54 NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Juni sebesar 100,54;

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JUNI 2015 SEBESAR 101,71 No. 02/07/53/Th. XVIII, 01 JULI 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Juni 2015

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2014 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2014 NILAI TUKAR PETANI (NTP) APRIL 2014 SEBESAR 98,52 No. 02/05/53/Th. XVII, 02 Mei 2014 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan April 2014

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 18/03/72/Th. XVIII, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama Februari 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 97,75 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Februari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2015 SEBESAR 101,66 No. 02/08/53/Th. XVIII, 03 AGUSTUS 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Juli

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Mei 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/02/62/Th.IX, 2 Februari PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat sebesar 99,30

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2014

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2014 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/01/53/Th. XVII, 02 Januari 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2014 NILAI TUKAR PETANI (NTP) DESEMBER 2014 SEBESAR 101,03 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MARET 2015 SEBESAR 101,16 No. 02/04/53/Th. XVIII, 01 April 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Maret

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JANUARI 2016 SEBESAR 101,69 No. 02/02/53/Th. XIX, 01 FEBRUARI 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) NOVEMBER 2015 SEBESAR 103,49 No. 02/12/53/Th. XVIII, 01 DESEMBER 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 39/07/72/Th. XVIII, 01 Juli 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama Juni 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 97,62 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Juni 2015 sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 25/05/73/Th. XI, 2 Mei 5 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN APRIL SEBESAR 100,11 PERSEN NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan April sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/10/53/Th. XVIII, 01 OKTOBER 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEPTEMBER 2015 SEBESAR 102,87 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 06 / 62 /Th.V, 1 juni 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada Mei 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat 101,55

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JANUARI 2015 SEBESAR 100,89 No. 02/02/53/Th. XVII, 02 Februari 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MEI 2015 SEBESAR 100,89 No. 02/06/53/Th. XVIII, 01 JUNI 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan April 2015

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN NOPEMBER 2008

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN NOPEMBER 2008 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No 04/01/33/Th. III, 05 Januari 2009 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN NOPEMBER 2008 Bulan Nopember 2008, NTP Umum Provinsi Jawa Tengah sebesar 101.65 atau turun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PEMALANG Bulan April Juni 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PEMALANG Bulan April Juni 2017 No. 36/07/3327 TH VI, Juli 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PEMALANG Bulan April Juni 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Nilai Tukar Petani (NTP) Pemalang bulan April-Juni 2017 menunjukkan perkembangan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 Juni 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03/02/62/Th.X,1 Februari 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI (NTP) Pada Januari 2016 NTP Kalimantan Tengah tercatat sebesar 96,94 atau

Lebih terperinci

No. 02/05/81/Th.VIII, 2 Mei 2016

No. 02/05/81/Th.VIII, 2 Mei 2016 No. 02/05/81/Th.VIII, 2 Mei 2016 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU APRIL 2016 SEBESAR 103,96, NAIK 0,06 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada April 2016 adalah sebesar 103,96, atau naik

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2009

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2009 BPS PROVINSI JAWA TENGAH No. 04/11/33/Th.III, 02 Nopember 2009 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2009 NTP Umum Provinsi Jawa Tengah Bulan September 2009 tercatat sebesar 99,69

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 16/03/73/Th. XI, 1 Maret 5 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN FEBRUARI SEBESAR 101,41 PERSEN NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Februari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 33/06/73/Th. XI, 2 Juni PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN MEI SEBESAR 100,41 NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan Mei sebesar 100,41, terjadi

Lebih terperinci

No. 02/07/81/Th.VIII,1 Juli 2016 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU JUNI 2016 SEBESAR 103,01, TURUN 0,48 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada Juni 2016 adalah sebesar 103,01, atau turun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI OKTOBER 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI OKTOBER 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI OKTOBER 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) OKTOBER 2015 SEBESAR 103,39 No. 02/10/53/Th. XVIII, 02 NOVEMBER 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MARET 2016 SEBESAR 100,73 No. 02/04/53/Th. XIX, 01 APRIL 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Februari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) APRIL 2016 SEBESAR 100,02 No. 02/05/53/Th. XIX, 02 MEI 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan April 2016

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NOVEMBER 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) NOVEMBER 2016 SEBESAR 101,83 No. 02/12/53/Th. XIX, 01 DESEMBER 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 iv Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013 KATA PENGANTAR Penghitungan dan Penyusunan Publikasi Nilai Tukar Petani Kabupaten Ponorogo Tahun 2013

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA AGUSTUS 2017

NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA AGUSTUS 2017 No. 80/09/71/Th.XI, 4 September 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA AGUSTUS 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulawesi Utara pada 2017 turun 0,07 persen; dari nilai 92,32 pada bulan Juli turun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 44/08/72/Th.XVIII, 03 Agustus 2015 Selama Juli 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 98,21 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Juli 2015

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/03/53/Th. XVIII, 02 Maret 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JANUARI 2015 SEBESAR 101,57 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2015 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI APRIL 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) APRIL 2015 SEBESAR 100,54 No. 02/05/53/Th. XVIII, 04 MEI 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan April 2015

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/02/53/Th. XIX, 01 MARET 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI FEBRUARI 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) FEBRUARI 2016 SEBESAR 101,13 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Februari

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA JULI 2017

NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA JULI 2017 No. 45/08/71/Th.XI, 1 Agustus 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) SULAWESI UTARA JULI 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulawesi Utara pada 2017 sebesar 92,32; turun 0,08 persen dari bulan sebelumnya yang masih

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGAH JULI 2009 SEBESAR PERSEN

NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGAH JULI 2009 SEBESAR PERSEN No.02/09/72/Th. XII, 1 September 2009 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI SULAWESI TENGAH JULI 2009 SEBESAR 98.92 PERSEN A. PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI *) Pada Bulan Juli 2009, NTP Provinsi Sulawesi Tengah

Lebih terperinci

No. 02/05/81/Th.VII,4 Mei 2015

No. 02/05/81/Th.VII,4 Mei 2015 No. 02/05/81/Th.VII,4 Mei 2015 Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada bulan April 2015 adalah sebesar 100,54 atau turun sebesar 0,11 persen dibandingkan bulan Maret 2015 yang tercatat sebesar 100,65.

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM KARAKTERISTIK DAN ARAH PERUBAHAN KONSUMSI DAN PENGELUARAN RUMAH TANGGA Oleh : Harianto

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2017 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JANUARI 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JANUARI 2017 SEBESAR 101,19 No. 02/01/53/Th. XX, 01 Februari 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Januari

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 53 /09/72/Th.XVIII, 01 September 2015 Selama Agustus 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 97,71 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Agustus

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 27/05/72/Th. XVIII, 04 Mei 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama April 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 96,52 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama April 2015

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 11 / 62 /Th.V, 1 November 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada Oktober 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 04/03/Th. XVI, 1 Maret 2013 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN FEBRUARI 2013 SEBESAR 97,22 PERSEN NTP Provinsi Sulawesi Tengah (NTP-Gabungan) bulan Februari 2013 sebesar 97,22

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 58/10/72/Th.XVIII, 01 Oktober 2015 Selama September 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 98,50 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama September

Lebih terperinci

No. 02/06/81/Th.VIII, 1 Juni 2016 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU MEI 2016 SEBESAR 103,50, TURUN 0,44 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada Mei 2016 adalah sebesar 103,50, atau turun

Lebih terperinci

No. 02/03/81/Th.IX, 1 Maret 2017

No. 02/03/81/Th.IX, 1 Maret 2017 No. 02/03/81/Th.IX, 1 Maret 2017 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU FEBRUARI 2017 SEBESAR 100,02, NAIK 0,45 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada Februari 2017 adalah sebesar 100,02, atau

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA DESEMBER 2015 SEBESAR 96,85 ATAU TURUN SEBESAR 0,09 PERSEN

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA DESEMBER 2015 SEBESAR 96,85 ATAU TURUN SEBESAR 0,09 PERSEN No.03/01/71/Th.X, 04 Januari 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA DESEMBER 2015 SEBESAR 96,85 ATAU TURUN SEBESAR 0,09 PERSEN Pada bulan Desember 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 04/01/73/Th. VIII, 1 Januari 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN DESEMBER 2013 SEBESAR 104,95 PERSEN. Penyajian Nilai Tukar Petani (NTP) untuk

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/10/53/Th. XIX, 03 OKTOBER 2016 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI SEPTEMBER 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) SEPTEMBER 2016 SEBESAR 102,03 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR No. 02/01/53/Th. XX, 03 JANUARI 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DESEMBER 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) DESEMBER 2016 SEBESAR 101,31 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2017 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MARET 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MARET 2017 SEBESAR 100,84 No. 02/04/53/Th. XX, 03 April 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Maret 2017

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JULI 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JULI 2016 SEBESAR 100,46 No. 02/07/53/Th. XIX, 01 AGUSTUS 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Juli 2016

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 09/02/72/Th. XVIII, 2 Februari 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama Januari 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 98,37 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Januari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

No. 02/01/81/Th.IX, 3 Januari 2017

No. 02/01/81/Th.IX, 3 Januari 2017 No. 02/01/81/Th.IX, 3 Januari 2017 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU DESEMBER SEBESAR 100,67, TURUN 0,15 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada Desember adalah sebesar 100,67, atau turun

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 12 / 62 /Th.V, 1 Desember 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada November 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2016

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2016 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI MEI 2016 NILAI TUKAR PETANI (NTP) MEI 2016 SEBESAR 100,08 No. 02/06/53/Th. XIX, 01 JUNI 2016 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Mei 2016 didasarkan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 56/10/72/Th. XVII, 1 Oktober 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama September 2014, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 102,26 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama September

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 35/06/72/Th.XVIII, 01 Juni 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Selama Mei 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 96,70 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Mei 2015 sebesar

Lebih terperinci

NTP Sulawesi Utara September 2017 Naik 0,79 Persen

NTP Sulawesi Utara September 2017 Naik 0,79 Persen BADAN PUSAT STATISIK PROVINSI SULAWESI UTARA NTP Sulawesi Utara 2017 Naik 0,79 Persen Dari 92,26 di bulan Agustus naik menjadi 92,99 di bulan 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulawesi Utara pada 2017 naik

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 02/05/81/Th.IX, 2 Mei 2017 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU APRIL 2017 SEBESAR 100,43 NAIK 0,04 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada April 2017 adalah

Lebih terperinci

No. 02/12/81/Th.VIII, 1 Desember 2016

No. 02/12/81/Th.VIII, 1 Desember 2016 No. 02/12/81/Th.VIII, 1 Desember NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU NOVEMBER SEBESAR 100,83, TURUN 0,10 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada November adalah sebesar 100,83, atau turun sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 25/05/72/Th.XIX, 02 Mei 2016 Selama April 2016, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 99,48 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama April 2016 sebesar

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 19/03/73/Th. IX, 2 Maret 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN FEBRUARI 2015 SEBESAR 103,84 PERSEN. NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulan

Lebih terperinci

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA APRIL 2015 SEBESAR ATAU TURUN 0.96 PERSEN

NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA APRIL 2015 SEBESAR ATAU TURUN 0.96 PERSEN No.30/05/71/Th.IX, 4 Mei 2015 NILAI TUKAR PETANI (NTP) DI PROVINSI SULAWESI UTARA APRIL 2015 SEBESAR 96.55 ATAU TURUN 0.96 PERSEN Pada bulan April 2015, Nilai Tukar Petani (NTP) di Provinsi Sulawesi Utara

Lebih terperinci

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

BPS PROVINSI JAWA TENGAH BPS PROVINSI JAWA TENGAH No 04/10/33/Th. II, 06 Oktober 2008 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN AGUSTUS 2008 Bulan Agustus 2008, NTP Umum Provinsi Jawa Tengah sebesar 101.08 atau naik

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2009 MODEL PROYEKSI JANGKA PENDEK PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PERTANIAN UTAMA Oleh : Reni Kustiari Pantjar Simatupang Dewa Ketut Sadra S. Wahida Adreng Purwoto Helena

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 03 / 62 /Th.VI, 1 Maret 2012 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada Februari 2012, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 04 / 62 /Th.V, 1 April 2011 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada Maret 2011, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat

Lebih terperinci

No. 02/08/81/Th.VIII,1 Agustus 2016

No. 02/08/81/Th.VIII,1 Agustus 2016 No. 02/08/81/Th.VIII,1 Agustus 2016 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU JULI 2016 SEBESAR 103,14, NAIK 0,13 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada Juli 2016 adalah sebesar 103,14, atau naik

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 60/11/73/Th. VIII, 3 November 2014 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NILAI TUKAR PETANI BULAN OKTOBER 2014 SEBESAR 106,52 PERSEN. NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI No. 44/8/72/Th.XVIII, 01 Agustus Selama Juli, Nilai Tukar Petani (NTP) Sebesar 100,59 Persen Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Sulawesi Tengah selama Juli sebesar 100,59

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI BPS PROVINSI SULAWESI SELATAN No. 29/05/73/Th. IX, 4 Mei 2015 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI NTP Gabungan Provinsi Sulawesi Selatan bulanapril 2015 sebesar 103,58 persen, terjadi penurunan sebesar (-0,91)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

ANALISIS KESEJAHTERAAN PETANI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2013

ANALISIS KESEJAHTERAAN PETANI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2013 ANALISIS KESEJAHTERAAN PETANI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2013 ANALISIS KESEJAHTERAAN PETANI KALIMANTAN TENGAH TAHUN 2013 ISSN : Nomor Publikasi : Ukuran Buku Jumlah Halaman : 15 x 21 cm : viii + 32 halaman

Lebih terperinci

No. 02/12/81/Th.VII,1 Desember2015 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU NOVEMBER 2015 SEBESAR 102,34, NAIK 1,22 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku pada November 2015 adalah sebesar 102,34, atau

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH o. 04/04/62/Th. I, 2 April 2007 BPS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH No. 03 / 07 / 62 /Th.VI, 2 Juli 2012 PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI Pada Juni 2012, Nilai Tukar Petani (NTP) Kalimantan Tengah tercatat 99,26

Lebih terperinci

No. 02/09/81/Th.VIII,1 September 2016

No. 02/09/81/Th.VIII,1 September 2016 Hari Statistik Nasional, 26 September 2016 No. 02/09/81/Th.VIII,1 September 2016 NILAI TUKAR PETANI PROVINSI MALUKU AGUSTUS 2016 SEBESAR 102,28, TURUN 0,84 PERSEN Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Maluku

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2017

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2017 BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI JUNI 2017 NILAI TUKAR PETANI (NTP) JUNI 2017 SEBESAR 101,20 No. 02/07/53/Th. XX, 03 Juli 2017 Nilai Tukar Petani (NTP) bulan Juni 2017 didasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui perannya dalam pembentukan Produk

Lebih terperinci