BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian Paradigma merupakan suatu model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berfikir. Menurut Guba dalam Wibowo (2011), paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya, paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia (Wibowo, 2011:27). Paradigma juga diperlukan dalam penelitian karena akan menpengaruhi teori bahkan cara seseorang menganalisis dan menggambil tindakan terhadap sesuatu hal. Sudut pandang ataupun cara pandang tidak pernah bersifat netral dan objektif, tergantung pada paradigma yang digunakan. Oleh karena itu menurut Kuhn (1970), paradigma menentukan apa yang hanya ingin kita ketahui, hanya ingin kita inginkan, hanya ingin kita lihat dan kita ketahui. Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam menggambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberi respon yang berbeda terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan komunikasinya. Paradigma Ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme, (2) paradigma kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008: 237).

2 2.1.1 Paradigma Kritis Paradigma Kritis merupakan salah satu paradigma yang bersumber dari pemikiran sekolah frankurt, dimana pada saat itu sedang berlangsung propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik dan menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Media bukan sesuatu yang netral, melainkan dikuasai oleh kelompok dominan. Pertanyaan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi dalam membentuk suatu realitas (Eriyanto, 2001:23). Paradigma kritis beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagainya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43). Asumsi dasar dari teori kritis ini adalah, mengungkapkan realis atau struktur rill dibalik ilusi, kesadaran semu dari kehidupan manusia atas dasar kesadaran subjektif dan berupaya mengubah kondisi sosial yang ada yang telah mendominasi realitas sosial pikiran masyarakat. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, konsentrasi analisis pada paradigma kritis adalah menemukan kekuatan yang dominan tersebut dalam memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. Media dalam menyajikan tayangannya, bahkan berita-beritanya bukan dengan posisi yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya, media adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:49). Paradigma ini memandang suatu penelitian bukan hanya sekedar penelitian penuh kritikan saja, melainkan mengubah dunia yang timpang dan banyak didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah. Hal ini memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam menegasikan relasi yang nyata, mengungkapkan mitos dan ilusi, menunjukkan bagaimana dunia yang penuh ketimpangan sembari menegaskan bagaimana seharusnya dunia itu. Dengan kata lain, penelitian dengan

3 menggunakan paradigma ini hadir untuk menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang masyarakat, dan mengkritik sistem kekuasaan yang tidak seimbang dan struktur yang mendominasi dan menindas orang. Dalam pandangan paradigma kritis, tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi serta dibentuk manusia sendiri. Realitas tersebut dibentuk oleh kelompokkelompok dominan, dengan cara manipulasi, mengkondisikan orang lain agar punya penafsiran dan pemaknaan seperti yang kelompok itu inginkan. Oleh karena itu, apa yang disebut realitas sering kali bukanlah realitas, melainkan hanya ilusi yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:56). Analisis yang bersifat kritis ini, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini oleh peneliti. Oleh karena itu, keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data atau teks ditafsirkan. Subjektifitas peneliti sangat dominan dalam penelitian menggunakan paradigma kritis, karena menggandalkan penafsiran peneliti. Dalam hal ini penafsiran didapatkan langsung dari peneliti dengan masuk menyelami teks, gambar, ataupun suatu data, dan menyingkap makna yang ada dibaliknya, sehingga unsur subjektifitas tidak dapat dihindari (Eriyanto, 2011:62) Kajian Pustaka Semiotika Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Pengertian tersebut didukung dari segi etimologis semiotika yang berasal dari kata Yunani, yaitu semeion, yang berarti tanda atau seme, yaitu penafsir tanda. Tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam mendefenisikan sesuatu hal yang bisa berbentuk kata-kata, gambar-gambar, suara-suara, aroma, gerakan, atau objek, yang dapat ditafsirkan dan memiliki makna didalamnya (Birowo, 2004:44). Tanda merupakan perangkat yang kita pakai dalam upaya untuk mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda ini berada pada keseluruhan kehidupan manusia yang tidak bisa terlepas dari kebudayaan manusia itu

4 sendiri dan menjadi sistem tanda yang dapat digunakan sebagai pengatur kehidupannya. Oleh karena itu, tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna, seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, bahkan ilmu pengetahuan (Sobur, 2004:124). Tanda tersebut adalah cerminan dari realitas yang dikonstruksikan lewat bahasa maupun kata-kata. Dengan demikian, tanda adalah basis dari seluruh komunikasi, dimana melalui tanda, manusia dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya, bahkan melakukan banyak hal yang dapat dikomunikasikan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Menurut Umberto eco, tanda dianggap dapat mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kebohongan ataupun mengkelabui. Tanda tidak dapat berdiri sendiri, melainkan di dalam tanda tersebut terdapat sesuatu yang tersembunyikan dibaliknya. Contohnya sebutan penipu ulung menandakan seorang yang pura-pura menjadi dokter, pengacara atau apapun (Sobur, 2004:18). Secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic, yang berarti berupaya menemukan makna dari berbagai hal, termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks (Wibowo, 2011:5). Seorang ahli yang merupakan pendiri linguistik modern dan terkenal dengan teori tanda adalah Ferdinand de Saussure. Menurutnya, tanda tidak bisa terlepas dari bahasa, karena bahasa itu merupakan suatu sistem tanda yang dikonstruksikan melalui sistem sosial. Saussure berpersepsi dan berpandangan, bahwa kita memiliki pandangan tentang realitas yang dikonstruksikan oleh kata-kata serta tanda-tanda yang lain, yang digunakan dalam konteks sosial (Wibowo, 2011:7). Dalam konteks komunikasi manusia, Saussure meletakkan tanda dengan melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (Petanda). Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan keduanya disebut

5 Signification, yang berarti suatu upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44). Hubungan tersebut diperoleh dari produk kultural dan hanya bersifat kesepakatan, konveksi, atau peraturan dari cultural pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu : Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api Simbol adalah sebuah tanda dimana hubungan antara Signifier dan Signified semata-mata adalah masalah konveksi, kesepakatan atau peraturan (Sobur, 2004:126). Dengan kehadiran penanda dan petanda ini akan memunculkan suatu makna, oleh karena itu kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri-sendiri, bahkan kesatuan dari dua hal ini diibaratkan oleh Saussure seperti dua sisi dari sehelai kertas (Sobur, 2004:46). Charles Saunders Pierce, seorang filsuf aliran pragmatik Amerika yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009:38). Pierce melihat yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, dimana tanda ini sendiri tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun, sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda. Jika hal ini tidak terjadi demikian, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas, karena tanda tersebut adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi, serta hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Sobur, 2004:17). Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Analisis semiotika ini merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca suatu wacana maupun secara visual ketika menonton televisi. Analisis ini berupaya untuk menguak dan menemukan makna dari hal yang tersembunyi sekalipun. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea suatu tanda (LittleJohn, 1996:64). Menelaah dengan menggunakan pendekatan semiotika ini tidak terlepas dari peranan pembaca sendiri. Jika hendak ingin menerapkan tanda-tanda bahasa, maka

6 huruf, kata, bahkan kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itu sendirilah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Hal ini bisa terlihat dalam proses komunikasi melalui karya sastra. Misalnya dalam karya sastra kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda serta apa yang ditandakan (semantik). Hal ini juga berlaku bagi proses komunikasi melalui media manapun, karena keseluruhan faktor dalam proses komunikasi dan pemahamannya mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca (Sobur, 2004: 17). Bisa dilihat dari media yang sedang digunakan saat ini. Media massa khususnya, menawarkan beragam isi didalamnya. Isi media tersebut pada hakikatnya adalah suatu konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa tersebut tidak hanya sebagai alat merepresentasikan realitas, tetapi juga menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas yang dikonstruksikan. Dengan kata lain, setiap upaya menceritakan sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas (Sobur, 2004:88). Hal tersebut dapat kita lihat dalam iklan, cerpen, poster, komik, film, kartun, bahkan games secara visual. Semua hal tersebut memungkinkan terjadinya tanda, yang dapat membentuk suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda serta menghubungkan objek dan interpretasi Semiotika Roland Barthes Teori semiotika tidak bisa terlepas dari satu sosok yang juga banyak menggambil peran terhadap kajian studi ini. Ia adalah salah satu orang yang ahli dalam bidang persoalan semiotika dan dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang paling gigih mempraktikkan model linguistik serta semiologi Saussure. Ia juga merupakan salah seorang kritikus sastra perancis yang ternama, dan Ia hadir dengan gagasan yang dikembangkannya dari gagasan-gagasan Saussuren serta mengkajinya lebih luas lagi (Sobur, 2004:63). Dialah Roland Barthes. Ia mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu denotasi dan konotatif. Dua konsep ini lah

7 sebagai kunci dari analisisnya. Tidak hanya sampai pada tataran dua konsep tanda saja, Barthes juga melihat peranan yang aktif dari pembaca atau pengguna. Ia juga melihat dari sudut pembaca sendiri. Dalam studinya ini, Barthes menggangap peran pembaca dalam memberi makna terhadap tanda tersebut merupakan peran yang tidak kalah penting, karena dari keaktifan pembaca dalam memaknai tanda tersebut, akan memunculkan suatu pengertian yang baru yang lebih jelas. Denotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukan pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak dan makna apa yang dijelaskan dalam kamus. Harimurti Kridalaksana mendefenisikan denotasi sebagai makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi sesuatu serta bersifat objektif, karena dapat berlaku secara umum. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berarti menunjukkan pada sejenis bunga (Sobur, 2004:263). Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti, yang berartinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Konotasi merupakan suatu interaksi yang muncul ketika sign (tanda) bertemu dengan perasaan pembaca atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya mereka (Birowo, 2004:57). Dalam hal ini konotasi akan menghasilkan suatu makna yang berbeda jika bersentuhan dengan ruang lingkup perasaan, dan pikiran yang ditimbulkan pada penulis, penonton, ataupun pendengar serta bersifat subjektif atau emosional. Dengan kata lain, konotasi dapat dimaknai sebagai makna leksikal + X (Sobur, 2004:263). Misalnya kata Amplop. Secara denotasi atau makna dalam kamus yang sebenarnya, amplop diartikan dengan makna sebuah sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat, yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, ataupun perusahaan lainnya. Tetapi jika kata Amplop ditambah dengan kalimat, Beri saja beliau Amplop, agar urusanmu segera beres, dapat berubah maknanya menjadi Berilah beliau uang. Kata Amplop sudah berubah makna menjadi konotatif, yang mengarah ke pengertian uang suap atau sogokan.

8 Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa denotasi menduduki sistem tataran ataupun signifikasi tingkat pertama, sedangkan konotasi menduduki sistem tataran tingkat kedua yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Memang kalau dilihat dari defenisi denotasi yang telah dijelaskan diatas, pada umumnya banyak orang akan beranggapan, bahwa denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harafiah, makna yang sesungguhnya, bahkan tak jarang juga disebut sebagai referensi atau acuan. Makna yang biasanya juga mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang diucapkan. Akan tetapi, dalam ranah semiologi Roland Barthes, denotasi lebih dikenal dengan sistem signifikasi tingkat pertama, yang lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Hal ini dikatakan karena, makna yang melekat pada denotasi adalah makna yang bersifat umum dan seperti seadanya saja, tidak menggali tanda secara dalam. Sehingga apa yang diucapkan, apa yang terlihat, apa yang dibaca dari suatu tanda, itu lah yang mewakili makna didalamnya, tanpa melihat adanya suatu konstruksi makna. Sistem tataran kedua atau signifikasi tingkat dua yang disebut konotatif, lebih menyoroti dan melihat ada makna apa yang tersembunyi dari tanda tersebut, dan tak jarang juga, sistem kedua ini dipakai untuk mengguak hasil konstruksi dengan cermat. Pada sistem tataran kedua (konotatif) ini dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi dengan baik. Tanpa keaktifan dari pembaca makna konotatif ini akan sama halnya dengan makna denotatif, karena makna konotatif dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya, dan jika bertemu dengan emosi, atau nilai-nilai dari dalam diri pembaca akan menghasilkan suatu makna yang baru, bahkan dapat melihat makna lebih jelas tanpa adanya suatu ketertutupan. Pemaknaan tataran kedua ini dibangun diatas bahasa sebagai sistem yang pertama (Sobur, 2004: 69). Makna konotasi yang merupakan makna hasil dari stimulus dan respon dari nilai-nilai yang mengandung emosional juga sering diidentikkan dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai mitos. Hal ini berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi dapat digolongkan kedalam mitos karena, dalam mitos terdapat juga tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda namun sebagai suatu sistem yang

9 unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemakna yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos tersebut juga termasuk sistem pemaknaan kedua (Sobur, 2004:71). 1. Signifier (Penanda) 2. Signified (Petanda) 3. Denotative sign (tanda denotatif) 4. Connotative Signifier (Penanda Konotatif) 5. Connotative Signified (Petanda Konotatif) 6. Connotative Sign (Tanda Konotatif) Gambar. 2.1 Peta Tanda Roland Barthes Sumber : Sobur, 2004 :69 Barthes juga menciptakan peta tentang bagaimana tanda tersebut bekerja, yang merupakan perluasan dari studi Hjelmslev. Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya, dan hal inilah yang membedakan sekaligus menyempurnakan semiologi Saussure, yang dikenal dengan signifikasi dua tahap ( Two order of signification) (Sobur, 2004 :69). Barthes dalam membuat analisisnya juga menggunakan kode-kode atau unit-unit pembahasan yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2004:65-66), yaitu: 1) Kode Hermeneutik Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara

10 pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita. 2) Kode Semik Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan beragam sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Barthes melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. 3) Kode Simbolik Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut konsep barthes, pascastruktural. Hal ini didasari pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dari tahap bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibu dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya dan berbeda dari yang lain,atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan simbol istimewa dalam sistem simbol barthes. 4) Kode Proaretik Kode Proreatik sering juga disebut kode tindakan atau lakuan yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca setiap orang, artinya semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, Barthes menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuaan karena kita memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharapakan lakuan di isi sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks. 5) Kode Gnomik Kode Gnomik sering juga disebut kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, relaisme tradisional didefinisi oleh acuan teks ke apa yang sudah diketahui, rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Bukan hanya untuk membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.

11 Mitos Seperti pada penjelasan sebelumnya, dalam kerangka pemikiran Barthes, selain Ia fokus pada sasaran tanda denotasi dan konotasi, Ia juga sering mengidentikkan konotasi dalam ranah ideologi yang disebut Mitos. Barthes menempatkan ideologi dalam ranah mitos karena, menurutnya baik dalam ranah ideologi maupun mitos, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Dimana, Barthes memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia imajiner dan ideal, meskipun realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian (Sobur, 2004:71). Mitos berasal dari bahasa Yunani, yaitu muthos, yang secara umum diartikan keirasionalan atau tahyul atau khayalan, bahkan sesuatu yang tak berada dalam kontrol kesadaran dan rasional manusia (Sobur, 2004:222). Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos juga disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, karena dalam mitos pun terdapat tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda yang juga dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. (Sobur, 2004:71). Mitos menurut Barthes adalah sebuah kisah yang melaluinya sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu. Barthes juga berpendapat bahwa mitos, melayani fungsi ideologi naturalisasi. Artinya, mitos melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat natural, normal, abadi, masuk akal, objektif dan benar secara apa adanya (Birowo, 2004:60). Ideologi yang tercermin dalam mitos akan selalu ada selama kebudayaan itu ada dan merupakan suatu ekspresi budaya yang diwujudkan melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya (Sobur, 2004:71). Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Misalnya, Bahasa Inggris yang kini telah menginternasional bahkan mewabah di Indonesia sendiri. Sekarang melamar pekerjaan saja memakai keahlian bahasa inggris, padahal di Negara Indonesia kita hanya bisa sedikit menemukan penduduk Inggris, tetapi seolah bahasa Inggris menjadi bahasa yang sangat penting buat kita,

12 bahkan seperti bahasa ibu. Dari contoh tersebut, bisa dilihat bagaimana bahasa inggris seperti ideologi naturalisasi yang hadir di Indonesia, yang hingga kini masih diyakini kebenarannya, bahwa bahasa inggris setara dengan bahasa ibu Indonesia, bahkan dianggap bahasa yang sangat penting untuk dipelajari. Dari segi jumlah, petanda lebih minim jumlahnya dari pada penandanya, sehingga mengakibatkan dalam praktiknya muncul sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk berbeda. Bentuk-bentuk berbeda ini lah yang dipelajari dalam mitologi, karena adanya pengulangan konsep yang terjadi dalam berbagai bentuk (Sobur, 2004:71). Mitos merupakan suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuankesatuan budaya. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya (Sobur, 2004:129). Mitos ini sendiri tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan karena lebih banyak hidup didalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan dengan mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini lah yang menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan mitos (Wibowo, 2011:16-17). Mitos tidak hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis. Mitos ini tidak hanya berupa kata-kata lisan maupun tulisan, namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal, seperti: Film, Komik, Video games, lukisan, fotografi, dan iklan. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Sama halnya dengan pendapat Barthes dalam simbolik komunikasi, mitos juga dapat diciptakan melalui produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga, dan televisi (Sobur, 2004:208). Dalam Sosiologi Durkheim, mitos merupakan suatu jenis tuturan yang hampir mirip dengan representasi kolektif. Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan terhadap sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal dan mitos tersebut merupakan serangkaian konsep yang saling berkaitan (Sudibyo, 2001:245). Mitos juga termasuk sistem komunikasi karena didalamnya terdapat suatu pesan. Maka, mitos bukanlah sebuah objek. Mitos lebih jauh lagi tidak ditentukan oleh objek atau materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos tersebut disampaikan (Sobur, 2004:224).

13 2.2.2 Sensualitas Perempuan Perempuan dan segala apa yang ada dalam dirinya kerap sekali menjadi pusat perhatian yang hangat dan menarik, terutama tentang apa yang Ia tampilkan melalui tubuh yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Tubuh perempuan kerap sekali bersahabat dengan istilah sensualitas. Dunia dewasa ini hadir dengan beragam konstruksinya terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan bukan lagi menjadi miliknya sendiri, melainkan menjadi konsumsi oleh kepentingan banyak orang. Sensualitas itu sendiri diambil dari bahasa Inggris Sensuality yang berarti suatu keadaan atau kondisi dimana sesuatu hal dianggap sensual, baik secara fisik maupun tindakan yang mengarah kepada seksual atau kondisi yang menyentuh kenikmatan tertentu ( Kata sensualitas mengarah kepada akar kata sense yang berarti indera. Sensualitas merupakan tataran imajinasi seksual individu terhadap objek yang dilihatnya. Imajinasi tersebut merupakan pengalaman menyenangkan, yang terjadi melalui penginderaan seseorang terhadap bentuk tubuh orang lain. Jennifer L.Hillman dalam bukunya Clinical perspective on elderly sexuality, menjelaskan pengalaman menyenangkan tersebuat akan menghasilkan sebuah kesenangan (pleasure) yang didapatkan melalui aktivitas seksual orang lain yang dirasakan melalui penginderaannya. Walaupun demikian, sensual tidak hanya didapatkan dengan mengikutserakan orang lain sebagi objek, tetapi juga bisa didapatkan melalui benda, gambar, suara yang bersentuhan langsung dengan penginderaannya. Sensualitas bekerja dalam konteks yang ditentukan, dimana konteks tersebut mencakup lingkungan sosial, budaya, maupun opini publik. Dengan kata lain, sesuatu yang dapat dikatakan sensual merupakan apa yang selama ini disetujui oleh lingkungan sosial dan budaya dalam suatu lingkungan. Sensualitas perempuan kerap sekali dinilai berdasarkan tubuhnya dan bagaimana tubuh tersebut mengeluarkan daya tariknya. Daya tarik fisik muncul dari persepsi masyarakat yang memiliki latar belakang budaya terhadap ciri-ciri fisik individu yang dianggap menarik, indah, dan nyaman dipandang mata. Bahkan tak jarang, daya tarik fisik ini mempengaruhi daya tarik seksual seseorang. Sehingga sensualitas pada dasarnya berawal dari penginderaan seseorang terhadap sesuatu kemudian menjadi pleasure bagi mereka dan akhirnya dapat membangkitkan daya tarik seksual.

14 Tubuh perempuan secara fisik awalnya merupakan sebuah identitas yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik secara fungsi maupun konfigurasi anatominya. Tetapi disisi lain, tubuh perempuan menjadi sebuah masalah besar yang menggundang banyak orang untuk mengkonstruksinya berdasarkan latar belakang budaya yang mereka miliki masing-masing. Konstruksi yang terbentuk membuat posisi perempuan terhegemoni oleh dominasi laki-laki. Tubuh perempuan sering dianggap sebagai penggoda yang memaksa laki-laki untuk memangsanya. Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka. Dari pernyataan tersebut mununjukkan bagaimana imanijasi laki-laki akan merangsang hasrat seksualnya bila melihat tubuh perempuan yang ditampilkan dengan menonjolkan daya tarik seksual perempuan tersebut. Selama bertahun-tahun peran perempuan di media digambarkan hanya sebagai seorang obyek seks atau memiliki peran dalam hal domestik saja ( Termasuk dalam dunia game, yang hampir sering menampilkan anime perempuan dengan wujud penghibur, melalui karakter perempuan, pakaian seksi, dan bentuk tubuh yang proporsional. Keindahan tubuh perempuan memang selalu menjadi daya tarik yang tak terbantahkan dikalangan laki-laki, sehingga membuat banyak orang sering sekali memasukkan unsur-unsur ini dalam media massa, hingga dunia game. Bahkan, daya tarik tersebut dijadikan sebagai potensi komersial yang pada ujungnya membuat perempuan menjadi sasaran eksploitasi. Tubuh perempuan seperti menciptakan visual pleasure bagi kaum laki-laki. Perempuan ditempatkan dalam posisi objek yang bertugas sebagai pemuas kebutuhan laki-laki.

15 2.3 Model Teoritis Gambar. 2.3 Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Sensualitas Perempuan dalam Game Seven Sin Objek Penelitian Gambar Video Game Seven Sin level 1,2,3,dan 6 Semiotika Roland Barthes 1. Denotasi 2. Konotasi 3. Mitos 1. Representasi Sensualitas Perempuan dalam Game Seven Sin 2. Mitos

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. lagi pendekatan yang mencoba berebut nafas yaitu pendekatan Post BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Sebagai salah satu pendekatan yang baru, maka pendekatan konstruktivis (intepretatif) ini sebenarnya masih kurang besar gaungnya di bandingkan dengan pendekatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif yaitu Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang dan individu tersebut secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan

BAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. yang atas dasar konvensi sosial yang terhubung sebelumnya - dapat

BAB III METODE PENELITIAN. yang atas dasar konvensi sosial yang terhubung sebelumnya - dapat 48 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 1. Analisis Semiotik Secara etimologis istilah semiotika berasal dari kata Yunani Semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefisinikan

Lebih terperinci

REPRESENTASI MAKNA LESBIANISME DALAM PESAN NOVEL GERHANA KEMBAR KARYA CLARA Ng Oleh : Damai Ryanti Purba

REPRESENTASI MAKNA LESBIANISME DALAM PESAN NOVEL GERHANA KEMBAR KARYA CLARA Ng Oleh : Damai Ryanti Purba REPRESENTASI MAKNA LESBIANISME DALAM PESAN NOVEL GERHANA KEMBAR KARYA CLARA Ng Oleh : Damai Ryanti Purba 090904041 Abstrak Penelitian ini berjudul Representasi Makna Lesbianisme dalam Pesan Novel Gerhana

Lebih terperinci

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi

13Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi semiotika Modul ke: Analisis semiotik, pisau analis semiotik, metode semiotika, semiotika dan komunikasi Fakultas 13Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting analisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. 36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah jenis penelitian deskriptif. Dengan ini peneliti menempatkan diri sebagai pengamat dalam memaparkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini 73 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian pada film animasi Barbie The Princess And The Popstar ini bersifat desktiptif dalam ranah kualitatif. Deskriptif adalah sifat penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek kajian dalam penelitian ini adalah topeng dari grup band Slipknot. Untuk mempermudah penelitian, maka objek kajian tersebut akan ditelisik dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma didefinisikan bermacam-macam, tergantung pada sudut pandang yang digunakan. Sebagian orang menyebut paradigma sebagai citra fundamental

Lebih terperinci

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel

KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel KONSEP DIRI DALAM IKLAN ROKOK A MILD (Analisis Semiotika Tentang Konsep Diri dalam Iklan Rokok A Mild Versi Cowok Blur Go Ahead 2011) Fachrial Daniel Abstrak Penelitian ini menggunakan analisis semiotika

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Dalam penelitian ini peneliti memakai paradigma dari salah satu penelitian kualitatif yaitu teori kritis (critical theory). Teori kritis memandang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan paradigma kritis. Paradigma kritis menyajikan serangkaian metode dan perspektif yang memungkinkan untuk

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya, maka seorang peneliti harus dapat memahami dan menggunakan cara

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini memiliki signifikasi berkaitan dengan kajian teks media atau berita, sehingga kecenderungannya lebih bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian baik yang mencakup objek penelitian, metode penelitian, dan hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. penelitian baik yang mencakup objek penelitian, metode penelitian, dan hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Membahas mengenai pengertian tentang paradigma, yang dimaksud paradigma penelitian adalah dasar kepercayaan seseorang dalam melakukan penelitian baik

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. penelitian kualitatif. Seperti pendapat yang dikemukakan Bog dandan Taylor

METODE PENELITIAN. penelitian kualitatif. Seperti pendapat yang dikemukakan Bog dandan Taylor III. METODE PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Seperti pendapat yang dikemukakan Bog dandan Taylor (1975) dalam Maleong

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan merupakan jenis penelitian deskriptif, dimana peneliti hanyalah memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari

Lebih terperinci

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda.

12Ilmu. semiotika. Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom. Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. semiotika Modul ke: Sejarah semiotika, tanda dan penanda, macam-macam semiotika, dan bahasa sebagai penanda. Fakultas 12Ilmu Komunikasi Sri Wahyuning Astuti, S.Psi. M,Ikom Program Studi S1 Brodcasting

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas

BAB 1 PENDAHULUAN. film memiliki realitas yang kuat salah satunya menceritakan tentang realitas 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed

Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Resume Buku SEMIOTIK DAN DINAMIKA SOSIAL BUDAYA Bab 8 Mendekonstruksi Mitos-mitos Masa Kini Karya: Prof. Dr. Benny H. Hoed Oleh: Tedi Permadi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti

BAB III METODE PENELITIAN. menimbulkan perhatian pada makna tambahan (connotative) dan arti BAB III METODE PENELITIAN Dalam peneltian ini, peneliti menggunakan metode analisa semiotika. Analisa semiotika merupakan suatu teknik analisa yang menarik sebuah tanda dan cara tanda-tanda tersebut bekerja.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah kualitatif (data yang tidak berupa angka-angka) 35

BAB III METODE PENELITIAN. digunakan adalah kualitatif (data yang tidak berupa angka-angka) 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Semiotik adalah ilmu yang mempelajari sederetan luar objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Alasan mengapa penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. juga sebagai alat komunikator yang efektif. Film dengan kemampuan daya

BAB I PENDAHULUAN. juga sebagai alat komunikator yang efektif. Film dengan kemampuan daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Film selain sebagai alat untuk mencurahkan ekspresi bagi penciptanya, juga sebagai alat komunikator yang efektif. Film dengan kemampuan daya visualnya yang didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tahun 2014 lalu merupakan tahun yang cukup penting bagi perjalanan bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut bertepatan dengan dilaksanakan pemilihan umum yang biasanya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 38 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian pada hakikatnya merupakan suatu upaya untuk menemukan kebenaran atau untuk lebih membenarkan kebenaran. Usaha untuk mengejar kebenaran dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah kualitatif dengan pendekatan semiotika Barthesian. Definisi metode kualitatif menurut Strauss and

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu berbicara. mengenai makna apa yang mengandung pesan dakwah anak dalam

BAB III METODE PENELITIAN. Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu berbicara. mengenai makna apa yang mengandung pesan dakwah anak dalam 39 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Dan Jeni s Penelitian Sesuai dengan tema yang diangkat oleh peneliti yaitu berbicara mengenai makna apa yang mengandung pesan dakwah anak dalam program televisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Jenis danpendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,penelitian dilakukan dengan melihat konteks permasalahan secara utuh, dengan fokus penelitian

Lebih terperinci

Semiotika, Tanda dan Makna

Semiotika, Tanda dan Makna Modul 8 Semiotika, Tanda dan Makna Tujuan Instruksional Khusus: Mahasiswa diharapkan dapat mengerti dan memahami jenis-jenis semiotika. 8.1. Tiga Pendekatan Semiotika Berkenaan dengan studi semiotik pada

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah

BAB III METODE PENELITIAN. pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah analisis semiotika dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dan studi wacana media massa. Pendekatan kualitatif adalah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang

BAB III METODE PENELITIAN. Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah. Penelitian kualitatif itu bertumpu secara mendasar pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun

BAB I PENDAHULUAN. bentuk atau gambar. Bentuk logo bisa berupa nama, angka, gambar ataupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Logo merupakan bagian yang penting untuk menunjukan keberadaan sesuatu. Logo menjadi sebuah pengakuan, kebanggaan, inspirasi, kepercayaan, kehormatan, kesuksesan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. atau nonlapangan yang menggunakan pendekatan paradigma kritis dan jenis

BAB III METODE PENELITIAN. atau nonlapangan yang menggunakan pendekatan paradigma kritis dan jenis BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian dengan judul Analisis Semiotika Pidato Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Kasus Bank Century merupakan penelitian nonkancah atau nonlapangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Semiotika sebagai Metode Penelitian Semiotika merupakan cabang ilmu yang membahas tentang bagaimana cara memahami simbol atau lambang, dikenal dengan semiologi. Semiologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Dalam penelitian ini peneliti menggunakan paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis ini memandang bahwa ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipandang sebagai faktor yang menentukan proses-proses perubahan.

BAB I PENDAHULUAN. dapat dipandang sebagai faktor yang menentukan proses-proses perubahan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi media massa mempunyai peran yang sangat penting untuk menyampaikan berita, gambaran umum serta berbagai informasi kepada masyarakat luas.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang mendasar dari suatu kelompok saintis (Ilmuan) yang menganut suatu pandangan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. yang mendasar dari suatu kelompok saintis (Ilmuan) yang menganut suatu pandangan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Pengertian paradigma menurut Dedy Mulyana adalah suatu kerangka berfikir yang mendasar dari suatu kelompok saintis (Ilmuan) yang menganut suatu pandangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak

BAB I PENDAHULUAN. saat itu dalam berbagai bentuk film-film ini akhirnya memiliki bekas nyata di benak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Film adalah media audio visual yang memiliki peranan penting bagi perkembangan zaman di setiap negara. terlepas menjadi bahan propaganda atau tidak, terkadang sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Televisi merupakan salah satu media massa yangcukup populer di tengah

BAB I PENDAHULUAN. Televisi merupakan salah satu media massa yangcukup populer di tengah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Televisi merupakan salah satu media massa yangcukup populer di tengah masyarakat. Televisi telah lama menjadi bagian hidup yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. Sifat Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat interpretatif yaitu peneliti melakukan pengamatan langsung secara menyeluruh dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma penelitian Penelitian ini menggunakan metodelogi kualitatif, paradigma yang penulis pilih ialah teori kritis. Penelitian kualitatif merupakan suatu strategy

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pandangan konstruktivis memelihat realitas sebagai hasil konstruksi

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Pandangan konstruktivis memelihat realitas sebagai hasil konstruksi BAB III METODELOGI PENELITIAN 3.1. ParadigmaKonstruktivis Pandangan konstruktivis memelihat realitas sebagai hasil konstruksi manusia atas realitas. Konstruktivisme melihat bagaimana setiap orang pada

Lebih terperinci

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM VIDEO GAME

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM VIDEO GAME REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM VIDEO GAME (Studi Analisis Semiotika tentang Representasi Sensualitas Perempuan dalam Video Game Seven Sin) Oleh: Rina Maria 090904092 ABSTRACT Penelitian ini berjudul

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Media televisi merupakan media massa yang sering digunakan sebagai media penyampaian informasi. Kekuatan media massa televisi paling mempunyai kekuatan yang

Lebih terperinci

NIM : D2C S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip. Semiotika

NIM : D2C S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip. Semiotika Nama : M. Teguh Alfianto Tugas : Semiotika (resume) NIM : D2C 307031 S1 Ilmu Komunikasi Fisip Undip Semiotika Kajian komunikasi saat ini telah membedakan dua jenis semiotikan, yakni semiotika komunikasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. produksi dan strukstur sosial. Pandangan kritis melihat masyarakat sebagai suatu 35 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Kritis Penelitian ini termasuk dalam kategori paradigma kritis. Paradigma ini mempunyai pandangan tertentu bagaimana media dan pada akhirnya informasi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah tentang sistem pendidikan nasional, dirumuskan bahwa: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan bagian terpenting dalam hidup manusia, pendidikan dapat dilakukan secara formal maupun non formal. Menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyertakan emosinya saat melihat isi berita yang dimuat oleh surat kabar.

BAB I PENDAHULUAN. menyertakan emosinya saat melihat isi berita yang dimuat oleh surat kabar. BAB I PENDAHULUAN TOPIK PENELITIAN Analisis Semiotik 2 Foto Jurnalistik tentang Erupsi Gunung Kelud pada Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat A. LATAR BELAKANG MASALAH Foto merupakan hal yang sangat dekat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif adalah karena penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Semiotika adalah ilmu yang mempelajari sederetan luar objek-objek, peristiwa-peristiwa seluruh kebudayaan sebagai tanda. Alasan mengapa penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN\ sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. 1. Penelitian deskriptif yang ditujukan untuk: 2

BAB III METODOLOGI PENELITIAN\ sejelas mungkin tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti. 1. Penelitian deskriptif yang ditujukan untuk: 2 BAB III METODOLOGI PENELITIAN\ 1.1 Sifat Penelitian Penelitian ini menggunakan sifat penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian deskriptif ini adalah jenis penelitian yang

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menggunakan pendekatan deskriptif interpretatif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian yang penulis tetapkan, yaitu untuk mengetahui bagaimana film 9 Summers 10 Autumns mendeskripsikan makna keluarga dan reproduksi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan

METODE PENELITIAN. deskriptif dan dengan pendekatan analisis wacana. Dalam melakukan 25 III. METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode kualitatif yang bersifat deskriptif dan dengan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari obyek, proses atau apa pun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

dalam arti penelitian merupakan saran untuk pengembangan ilmu ilmu yang mempelajari metode-metode penelitian 49. Metodologi berasal

dalam arti penelitian merupakan saran untuk pengembangan ilmu ilmu yang mempelajari metode-metode penelitian 49. Metodologi berasal 63 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian merupakan kegiatan pengembangan wawasan keilmuan, dalam arti penelitian merupakan saran untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun

Lebih terperinci

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber:

Gambar 1.1 : Foto Sampul Majalah Laki-Laki Dewasa Sumber: BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Menurut Widyokusumo (2012:613) bahwa sampul majalah merupakan ujung tombak dari daya tarik sebuah majalah. Dalam penelitian tersebut dideskripsikan anatomi sampul

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang digunakan karena beberapa pertimbangan yang bersifat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa sebagai media komunikasi telah dijadikan instrumen untuk memperkuat dan mengubah kognisi dalam menciptakan sejumlah makna-makna konotatif. Namun bahasa tidak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya.

BAB IV ANALISIS DATA. Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan. untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya. 93 BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Film sebagai salah bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamnya. Juga digunakan sebagai sarana hiburan. Selain

Lebih terperinci

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya

Bab 1. Pendahuluan. Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masalah Film Hachiko : A Dog s Story adalah film drama yang didalamnya bercerita tentang seekor anjing ras Akita inu asal Jepang yang sangat setia pada tuannya. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hitam dan putih adalah konsep dualisme yang ada di masyarakat, dimana hitam sering identik dengan salah dan putih identik dengan benar. Pertentangan konsep

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Dalam penelitian ini, kita menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang diambil dari pendapat orang-orang serta perilakunya yang menghasilkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu

BAB IV ANALISIS DATA. Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu BAB IV ANALISIS DATA A. TEMUAN PENELITIAN Dalam tahap ini, peneliti mulai menerapkan proses representasi yaitu dengan proses penyeleksian atas tanda-tanda yang ada dengan menggaris bawahi hal-hal tertentu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Paradigma Penelitian Paradigma konstruktivisme memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi terbentuk dari hasil konstruksi. Karenanya, konsentrasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Paradigma Penelitian Paradigma yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah paradigma teori kritis (critical theory). Aliran pemikiran paradigma ini lebih senang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada awalnya film merupakan hanya sebagai tiruan mekanis dari realita atau sarana untuk mereproduksi karya-karya seni pertunjukan lainnya seperti teater. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan periklanan sangat lekat dalam kehidupan masyarakat terutama di kota kota besar. Dalam satu hari, masyarakat kota selalu berhadapan dengan iklan, dalam tampilan

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588).

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Alwi, dkk 2003: 588). BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada diluar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan dalam 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki kebutuhan dalam berkomunikasi. Komunikasi tersebut tidak terbatas hanya dari apa yang diberikan namun juga dari

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Penelitian ini bersifat Interpretatif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif interpretatif yaitu suatu metode yang memfokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Pada hakikatnya manusia membutuhkan sebuah media massa untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Konteks Penelitian. Pada hakikatnya manusia membutuhkan sebuah media massa untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Konteks Penelitian Pada hakikatnya manusia membutuhkan sebuah media massa untuk mendapatkan informasi terkini, wawasan maupun hiburan. Media massa sendiri dalam kajian komunikasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. komunikasi yang terjadi antarmanusia. Menurut Moloeng paradigma merupakan pola

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. komunikasi yang terjadi antarmanusia. Menurut Moloeng paradigma merupakan pola BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma ialah bagaimana kita memandang dunia. Dalam penelitian komunikasi, paradigma digunakan untuk melihat gambaran umum bagaimana komunikasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. video klip musik Lady Gaga Alejandro dan Applause. Produk media

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. video klip musik Lady Gaga Alejandro dan Applause. Produk media 45 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek/Subyek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah adegan atau content yang dimuat dari video klip musik Lady Gaga Alejandro dan Applause. Produk media tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. massa yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi non profit dan

BAB 1 PENDAHULUAN. massa yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi non profit dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Iklan merupakan suatu bentuk komunikasi massa melalui berbagai media massa yang dibayar oleh perusahaan-perusahaan bisnis, organisasi non profit dan individu-individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman ini banyak sekali beredar surat kabar, koran-koran, majalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman ini banyak sekali beredar surat kabar, koran-koran, majalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pada zaman ini banyak sekali beredar surat kabar, koran-koran, majalah baik mingguan maupun bulanan dimana menampilkan banyak sekali beritaberita, informasi-informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat

BAB I PENDAHULUAN. film memiliki realitas tersendiri yang memiliki dampak yang dapat membuat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Konteks Penelitian Film merupakan suatu media komunikasi massa yang sangat penting untuk mengkomunikasikan tentang suatu realita yang terjadi dalam kehidupan sehari hari, film memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana.

BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA. Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. BAB I PENGANTAR KHAZANAH ANALISIS WACANA Deskripsi Singkat Perkuliahan ini membelajarkan mahasiwa tentang menerapkan kajian analisis wacana. Relevansi Dalam perkuliahan ini mahasiswa diharapkan sudah punya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Paradigma Penelitian Penelitian ini menetapkan paradigmanya sebagai paradigma kritis. Paradigma ini pada dasarnya adalah paradigma ilmu pengetahuan yang meletakkan epistimologi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tipe Penelitian Sifat penelitian yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam kasus ini adalah sifat penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi tidak akan pernah bisa lepas dari adanya visual dan verbal. Visual ditandai dengan gambar, verbal ditandai dengan lisan maupun tulisan. Antara visual dengan

Lebih terperinci

11ILMU. Modul Perkuliahan XI. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Semiotik. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI.

11ILMU. Modul Perkuliahan XI. Metode Penelitian Kualitatif. Metode Analisis Semiotik. Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm KOMUNIKASI. Modul ke: Modul Perkuliahan XI Metode Penelitian Kualitatif Metode Analisis Semiotik Fakultas 11ILMU KOMUNIKASI Ponco Budi Sulistyo., S.Sos., M.Comm Program Studi Public Relations Judul Sub Bahasan Pendekatan

Lebih terperinci

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN

2016 REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Parfum Casablanca merupakan produk perawatan tubuh yang berupa body spray. Melalui kegiatan promosi pada iklan di televisi, Casablanca ingin menyampaikan pesan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Paradigma penelitian kualitatif melalui proses induktif, yaitu berangkat dari konsep khusus ke umum, konseptualisasi, kategori, dan deskripsi yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan pesan kepada orang-orang yang melakukan komunikasi dengan

BAB I PENDAHULUAN. menyampaikan pesan kepada orang-orang yang melakukan komunikasi dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi merupakan kegiatan mutlak yang dilakukan seluruh umat manusia selama mereka masih hidup di dunia, karena manusia sebagai makhluk sosial perlu saling melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai budaya terdapat di Indonesia sehingga menjadikannya sebagai negara yang berbudaya dengan menjunjung tinggi nilai-nilainya. Budaya tersebut memiliki fungsi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian dan Jenis Penelitian Burhan Bungin (2003:63) mengemukakan bahwa penelitian kualitatif mengacu pada prosedur penelitian yang menghasilkan data secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya,

BAB I PENDAHULUAN. iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Iklan televisi pada dasarnya diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemasang iklan dalam menyampaikan informasi mengenai produknya. Umumnya, pengiklan juga ingin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Barthes. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau

BAB III METODE PENELITIAN. Barthes. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini hanya memaparkan situasi atau BAB III METODE PENELITIAN A. Tipe Penelitian Tipe penelitian ini bersifat deskripsi kualitatif dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian ini

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan analisa semiologi komunikasi. Sebagai sebuah penelitian deskriptif, penelitian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA

BAB IV ANALISIS DATA BAB IV ANALISIS DATA A. Temuan Penelitian Film sebagai salah satu bentuk komunikasi massa yang digunakan untuk menyampaikan pesan yang terkandung didalamya. Juga digunakan sebagai sarana hiburan. Selain

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri dalam pemaknaan karyanya.

BAB I PENDAHULUAN. Seni lukis ini memiliki keunikan tersendiri dalam pemaknaan karyanya. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seni lukis merupakan bagian dari seni rupa yang objek penggambarannya bisa dilakukan pada media batu atau tembok, kertas, kanvas, dan kebanyakan pelukis memilih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ialah komunikasi melalui tanda (sign) yang mempunyai makna dan arti yang

BAB I PENDAHULUAN. ialah komunikasi melalui tanda (sign) yang mempunyai makna dan arti yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Esensinya tiap mahkluk hidup ialah berkomunikasi. Dan komunikasi bukan yang hal yang tabu lagi dikehidupan kita, ada berbagai cara tiap-tiap individu untuk mengungkapkan

Lebih terperinci

TEORI-TEORI SEMIOTIK DALAM KOMUNIKASI

TEORI-TEORI SEMIOTIK DALAM KOMUNIKASI KONSEP DASAR Semiotik, Sesi 01 TEORI-TEORI SEMIOTIK DALAM KOMUNIKASI Konsep Dasar Semantik Sintaktik Pragmatik Konsep dasar pertama yang menyatukan tradisi ini adalah tanda yang diidentifikasikan sebagai

Lebih terperinci

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada di luar

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada di luar BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Landasan Teori 2.1.1 Konsep Konsep adalah pemikiran rancangan suatu karya dasar yang ada di luar bahasa yang digunakan untuk memahami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Kailani (2001:76) menyatakan bahwa bahasa merupakan alat komunikasi yang berbentuk lisan dan tulisan yang dipergunakan oleh masyarakat,

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan

BAB VI KESIMPULAN. Pertama, poligami direpresentasikan oleh majalah Sabili, Syir ah dan NooR dengan BAB VI KESIMPULAN 6.1 Kesimpulan Hasil analisa wacana kritis terhadap poligami pada media cetak Islam yakni majalah Sabili, Syir ah dan NooR ternyata menemukan beberapa kesimpulan. Pertama, poligami direpresentasikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Paradigma Penelitian Paradigma konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Deli dan rekan-rekan sejawatnya.

Lebih terperinci

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913)

Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November February 1913) Strukturalisme (Ferdinand de Saussure) (26 November 1857 22 February 1913) Strukturalisme suatu gerakan pemikiran filsafat yg mempunyai pokok pikiran bhw semua masy & kebudayaan mempunyai suatu struktur

Lebih terperinci