PEDOMAN NASIONAL TES DAN KONSELING HIV DAN AIDS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEDOMAN NASIONAL TES DAN KONSELING HIV DAN AIDS"

Transkripsi

1 PEDOMAN NASIONAL TES DAN KONSELING HIV DAN AIDS KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA 2013

2

3 KATA PENGANTAR HIV-AIDS di Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Telah banyak kemajuan yang dicapai oleh program seperti perkembangan sarana layanan terkait HIV yang telah merambah ke wilayah yang lebih luas di Indonesia sejak tahun 2005.Namun demikian, jumlah kasus dan ODHA masih cenderung terus meningkat. Penggunaan obat ARVakan meningkatkan dampak positif pada tingkat kesehatan individu maupun di tingkat masyarakat, yaitu meningkatnya kualitas hidup ODHA dan terjadinya penurunan penularan HIV di masyarakat.maka semakin banyak ODHA yang diobati maka semakin besar pula dampak manfaatnya dan akanmenuju 3 zero, yaitu zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, zero stigma dan diskriminasi. Untuk dapat meningkatkan jangkauan pengobatan HIV diperlukan upaya untuk meningkatkan jumlah ODHA yang mengetahui statusnya secara lebih cepat atau lebih dini.untuk diagnosis dan menemukan ODHA tersebut, maka pada awal program telah disusun pedoman Konseling dan Tes HIV Sukarela (KTS) atauvoluntary HIV counseling and testing (VCT)yang disusul kemudian dengan pedoman konseling dan tes HIV atas inisiatifpemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) atau Provider Initiated Testing and Counseling (PITC). Pemutakhiran selalu diperlukan berdasarkan perkembangan pengetahuan dan teknologiterkiniguna memberikan pedoman yang semakin mudah diikuti oleh penggunanya.oleh Karena itu maka kedua pedoman tersebut pada saat ini telah mengalami pemutakhiran. Penghargaan disampaikan kepada timpemutakhiran dan para kontributor yang telah memberikan sumbang saran sehinggapedoman ini dapat diterbitkan. Semoga pedoman ini dapat bermanfaat. Direktur Jendral PP & PL Prof. dr. Tjandra Y. Aditama, SpP(K), MARS, DTM&H, DTCE NIP i

4 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... I TIM EDITOR DAN KONTRIBUTOR... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. DAFTAR ISI... II BAB I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 3 C. SASARAN... 3 D. PRINSIP DASAR TES DAN KONSELING HIV... 3 E. PENGERTIAN... 4 BAB II. LAYANAN TES DAN KONSELING HIV... 9 A. TES DAN KOSELING HIV DI FASILITAS LAYANAN KESEHATAN B. TES DAN KOSELING HIV (TKHIV) MANDIRI C. TES DAN KOSELING HIV BERGERAK D. LAYANAN TES DAN KONSELING DALAM TATANAN KHUSUS D.1. Tes dan Konseling HIV di TNI &POLRI D.2. Tes dan Konseling HIV di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan 15 D.3. Tes dan Konseling HIV di Lingkungan Kerja (Perusahaan Swasta Dan BUMN) D.4. Tes dan Konseling HIV Pada Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) dan Tenaga Kerja Indonesia Purna (TKI Purna) D.5. Tes dan Konseling HIV terkait dengan Unit Transfusi Darah... Error! Bookmark not defined. BAB III. PELAKSANAAN TES DAN KONSELING HIV A. INFORMASI SEBELUM TES (PRA-TES) HIV DAN PERSETUJUAN PASIEN... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. A.1. Sesi Informasi Pra-Tes Secara Kelompok A.2. Sesi Informasi Pra-Tes Individual A.3. Pemberian Informasi Pra Tes Pada Kelompok Khusus A.4. Persetujuan Tentang Tes HIV (Informed Consent) A.5. Penolakan Untuk Menjalani Tes HIV B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV C. KONSELING PASCA TES HIV BAB IV. KONSELING... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. A. PERAN KONSELING DALAM TES DAN KONSELING HIV B. BERBAGAI JENIS KONSELING PADA LAYANAN HIV... ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. B.1. Konseling Pra-Tes... Error! Bookmark not defined. B.2. Konseling Pasca Tes HIV... Error! Bookmark not defined. B.3. Konseling Kepatuhan (Adherence)... Error! Bookmark not defined. B.4. Komunikasi Perubahan Perilaku... Error! Bookmark not defined. B.5. Konseling Pencegahan Positif... Error! Bookmark not defined. B.6. Konseling Gay, Waria, Lesbian, Pekerja Seks. Error! Bookmark not defined. B.7. Konseling HIV Pada Pengguna Napza... Error! Bookmark not defined. B.8. Konseling Pasangan... Error! Bookmark not defined. B.9. Konseling Keluarga... Error! Bookmark not defined. ii Pedoman Konseling dan Tes HIV

5 B.10. Konseling Pada Klien/ pasien Dengan Gangguan Jiwa... Error! Bookmark not defined. B.11. Konseling Pada Warga Binaan Pemasyarakatan... Error! Bookmark not defined. B.12. Konseling Penyingkapan Status...Error! Bookmark not defined. B.13. Konseling Paliatif dan Duka Cita...Error! Bookmark not defined. B.14. Konseling Gizi...Error! Bookmark not defined. B.15. Isu Gender dalam Konseling...Error! Bookmark not defined. C. MASALAH ETIK LAIN...ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. C.1. Ketidakmampuan Untuk Membuat Keputusan... Error! Bookmark not defined. C.2. Kesesuaian dengan Budaya...Error! Bookmark not defined. C.3. Konfidensialitas Bersama...Error! Bookmark not defined. C.4. Pengendalian Infeksi...Error! Bookmark not defined. BAB V. RUJUKAN DAN TINDAK LANJUT PASCA TES HIV A. RUJUKAN KE LAYANAN PDP DAN LAYANAN LAIN YANG DIBUTUHKAN B. KELOMPOK DUKUNGAN C. LAYANAN PSIKIATRIK BAB VI. PENCATATAN DAN PELAPORAN A. PENCATATAN B. PELAPORAN B.1. Sistem Informasi HIV-AIDS dan IMS B.2. Alur Pelaporan B.3. Proses Pelaporan BAB VII. BIMBINGAN TEKNIS, PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU LAYANAN TES HIV DAN KONSELING A. BIMBINGAN TEKNIS B. PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU BAB VIII. JEJARING KONSELOR HIV A. PELATIHAN, SERTIFIKASI DAN REGISTRASI B. DUKUNGAN BAGI KONSELOR HIV BAB IX. PENUTUP LAMPIRAN A. STRATEGI TES HIV...ERROR! BOOKMARK NOT DEFINED. B. PANDUAN KOMUNIKASI B.1. Penjelasan cara penularan HIV B.2. Penawaran Tes HIV sebagai Diagnostik B.3. Penawaran tes HIV secara rutin B.4. Memberikan informasi penting HIV B.5. Penjelasan prosedur untuk menjamin konfidensialitas B.6. Meyakinkan kesediaan pasien untuk menjalani tes dan meminta persetujuan pasien (informed consent) B.7. Informasi Tambahan B.8. Konseling Penyampaian Hasil B.9. Pemberian edukasi dan konseling IMS B.10. Pengurangan Dampak Buruk bagi PENASUN C. TANDA KLINIS KEMUNGKINAN INFEKSI HIV D. GAMBAR GEJALA-GEJALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV/AIDS iii

6 E. FORMULIR PENCATATAN DAN PELAPORAN E.1. Formulir 1: Persetujuan Tes/Tes E.2. Formulir 2: Catatan Kunjungan Harian Klien Konseling dan Tes HIV E.3. Formulir 3: Formulir KTS E.4. Formulir 4: Formulir TIPK E.5. Formulir 4: Persetujuan Tes... Error! Bookmark not defined. E.6. Formulir 5 A: Rujukkan Permintaan Tes Anti HIV E.7. Formulir 5 B: Pengambilan Hasil Tes Anti HIV Melalui Konseling Pasca Tes HIV 84 E.8. Formulir 6: Laporan Tes HIV Anti Bodi E.9. Formulir 7: FORM RUJUKAN UNTUK KLIEN E.10. Formulir 8: Pelayanan TKHIV... Error! Bookmark not defined. E.11. Formulir 9: Persetujuan Melepas Informasi. Error! Bookmark not defined. E.12. Formulir 10: Laporan Bulanan Disesuaikan sesuai hal 62 iv Pedoman Konseling dan Tes HIV

7 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sampai dengan akhir tahun 2012 jumah kasus HIV yang dilaporkan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat. Dari hasil kajian eksternal yang dilakukan telah terlaporkan banyak kemajuan program yang nyata seperti misalnya jumlah layanan tes HIV bertambah secara nyata. Demikian juga layanan perawatan, dukungan dan pengobatan HIV hingga saat ini berjumlah lebih dari 300 layanan yang tersebar di seluruh provinsi dan aktif melaporkan kegiatannya. Indonesia sudah menjadi negara urutan ke 5 di Asia paling berisiko HIV-AIDS, sehingga tidak bisa dihindari lagi bagi Indonesia untuk menerapkan kesepakatan tingkat internasional yang diikuti kebijakan nasional. Tes HIV merupakan pintu masuk yang terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Setelah sekian lama ketersediaan tes antibodi HIV di Indonesia, dan dengan peningkatan cakupan tes HIV di Indonesia ternyata masih juga belum cukup menjangkau masyarakat untuk mengetahui status HIV mereka. Tes dan Konseling HIV (TKHIV) akan mendorong seseorang dan pasangan untuk mengambil langkah pencegahan penularan infeksi HIV. Selanjutnya tes HIV akan memberikan kesempatan untuk mendapatkan layanan pencegahan termasuk pencegahan penularan dari ibu ke anak dan merupakan komponen penting untuk intervensi pengobatan ARV sebagai salah satu upaya pencegahan seperti pengobatan dini pada pasangan serodiskordan, sehingga peningkatan cakupan tes HIV pada pasangan sangat diperlukan. Di tingkat komunitas perluasan jangkauan layanan TKHIV akan menormalkan tes HIV itu sendiri dan mengurangi stigma dan diskriminasi terkait dengan status HIV dan tes HIV. Pengetahuan akan status HIV juga diperlukan untuk memulai pengobatan ARV, namun sampai saat ini masih terlihat kesenjangan yang tinggi antara estimasi jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dengan ODHA yang pernah menjangkau layanan HIV. Masih banyak ODHA yang belum terdiagnosis atau mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Mereka datang ke layanan kesehatan setelah timbul gejala dan menjadi simtomatik. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 1

8 Keterlambatan dalam mengakses layanan tersebut akan mengakibatkan kurang efektifnya pengobatan ARV yang akan diberikan untuk mengurangi kesakitan dan kematian dan keterlambatan dalam mencegah penularan HIV kepada pasangannya. Meskipun seperti dinyatakan di atas bahwa layanan TKHIV di Indonesia telah meningkat dengan pesat dan pelatihan terus dilaksanakan, cakupan layanannya masih perlu terus ditingkatkan di masyarakat, terutama cakupan pada populasi kunci dan populasi rentan terinfeksi HIV seperti kelompok pengguna Napza suntik, kelompok pekerja seks, kelompok laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki serta pasangan seksualnya. Tes HIV merupakan prasyarat penegakan diagnosis, menghubungkan ODHA dengan layanan pencegahan dan perawatan secara lebih dini. Dengan diagnosis yang telah ditegakkan, maka akses terapi dapat dimulai. Oleh karena itu layanan terapi ARV harus tersedia di semua Rumah Sakit rujukan tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar dapat dengan mudah diakses oleh ODHA yang membutuhkan. Mulai tahun 2006, model utama layanan tes HIV adalah atas inisiatif klien atau yang dikenal dengan konseling dan tes HIV sukarela atau KTS. Pendekatan tersebut semata mengandalkan keaktifan klien dalam mencari layanan tes HIV di fasilitas kesehatan ataupun layanan tes HIV berbasis masyarakat. Namun ternyata cakupan dari layanan KTS tersebut terbatas karena masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi serta kebanyakan orang tidak merasa dirinya berisiko tertular HIV meskipun di daerah atau di kelompok prevalensi tinggi. Di samping perlunya memperluas jangkauan KTS, perlu ada pendekatan lain untuk meningkatkan cakupan guna mencapai keterjangkauan universal (universal access) pada pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV. Pendekatan lain tersebut adalah melalui tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) atau provider-initiated HIV testing and counselling (PITC) yang menjadi pendekatan utama di layanan kesehatan dan akan dapat meningkatkan cakupan tes HIV, memperbaiki akses ODHA pada layanan kesehatan yang meningkatkan kesempatan untuk layanan pencegahan HIV. 2 Pedoman Konseling dan Tes HIV

9 B. TUJUAN Tujuan dari penerbitan buku pedoman ini adalah menyediakan pedoman dasar layanan tes dan konseling HIV. C. SASARAN Buku pedoman ini dimaksudkan untuk dipergunakan oleh para petugas layanan kesehatan dan kalangan yang lebih luas, seperti para penyusun kebijakan, para perencana program pengendalian HIV, para penyelenggara layanan kesehatan, LSM terkait layanan HIV D. PRINSIP DASAR TES DAN KONSELING HIV Tes HIV dan konseling merupakan pintu masuk utama pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Seperti telah diketahui bahwa: Mengetahui status HIV positif secara dini akan memaksimalkan kesempatan ODHA menjangkau pengobatan, sehingga akan sangat mengurangi kejadian penyakit terkait HIV dan menjauhkan dari kematian, serta dapat mencegah terjadinya penularan kepada pasangan seksual atau dari ibu ke bayinya. Pengobatan yang efektif akan mengurangi hingga 96% kemungkinan seseorang dengan HIV akan menularkan kepada pasangan seksualnya. Bila status HIV negatif maka dapat mempertahankan diri agar tetap negatif melalui upaya pencegahan seperti: perilaku seksual yang aman, penggunaan kondom, sirkumsisi, perilaku menyuntik yang aman, mengurangi pasangan seksual. Dalam kebijakan dan strategi nasional telah dicanangkan konsep akses universal untuk mengetahui status HIV, akses terhadap layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV dengan visi getting to zero, yaitu zero infeksi baru, zero diskriminasi dan zero kematian oleh karena AIDS. Tes HIV harus mengikuti prinsip yang telah disepakati secara global yaitu 5 komponen dasar yang disebut 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection/linkage to prevention, care, and treatment services). Prinsip 5C tersebut harus diterapkan pada semua model layanan Konseling dan Tes HIV. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 3

10 a. Sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, orang yang diperiksa HIV harus dimintai persetujuannya untuk pemeriksaan laboratorium. Mereka harus diberikan informasi atau pemahaman tentang proses tes HIV, layanan yang tersedia sesuai dengan hasil pemeriksaannya, dan hak mereka untuk menolak tes HIV tanpa mengurangi kualitas layanan lain yang dibutuhkan. Tes HIV secara mandatori tidak pernah dianjurkan, meskipun dorongan datang dari petugas kesehatan, pasangan, keluarga atau lainnya. b. Seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, tes HIV harus diperlakukan secara konfidensial. Artinya bahwa semua isi diskusi antara klien dan petugas pemeriksa atau konselor dan hasil tes laboratoriumnya tidak akan diungkapkan kepada pihak lain tanpa persetujuan klien. Konfidensialitas dapat dibagikan kepada pemberi layanan kesehatan yang akan menangani pasien untuk kepentingan layanan kesehatan sesuai indikasi penyakit pasien. c. Layanan tes HIV harus dilengkapi dengan informasi pra-tes dan konseling pasca-tes yang berkualitas baik. d. Penyampaian hasil tes harus akurat. Layanan tes HIV harus mengikuti standar nasional yang berlaku. Hasil tes harus dikomunikasikan sesegera mungkin kepada klien secara pribadi oleh tenaga kesehatan yang memeriksa. e. Klien harus dihubungkan atau dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan HIV yang didukung dengan sistem rujukan yang baik dan terpantau. E. PENGERTIAN 1. Tes/Pemeriksaan dan Konseling HIV (TKHIV), adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang yang dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal atau klinik yang berbasis komunitas. 2. Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK) yaitu tes HIV yang dianjurkan atau ditawarkan oleh petugas kesehatan kepada pasien pengguna layanan kesehatan sebagai komponen standar layanan kesehatan di fasilitas tersebut. Tujuan umum dari TIPK tersebut adalah untuk melakukan diagnosis HIV secara lebih dini dan memfasilitasi pasien untuk mendapatkan pengobatan lebih dini pula, juga untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinis atau medis terkait 4 Pedoman Konseling dan Tes HIV

11 pengobatan yang dibutuhkan dan yang tidak mungkin diambil tanpa mengetahui status HIV nya. 3. Konseling dan tes HIV atas insiatif klien atau konseling dan tes HIV sukarela (KTS) adalah layanan tes HIV secara pasif. Pada layanan tersebut klien datang sendiri untuk meminta dilakukan tes HIV atas berbagai alasan baik ke fasilitas kesehatan atau layanan tes HIV berbasis komunitas. Layanan ini menekankan penilaian dan pengelolaan risiko infeksi HIV dari klien yang dilakukan oleh seorang konselor, membahas perihal keinginan klien untuk menjalani tes HIV dan strategi untuk mengurangi risiko tertular HIV. KTS dilaksanakan di berbagai macam tatanan seperti fasilitas layanan kesehatan, layanan KTS mandiri di luar institusi kesehatan, layanan di komunitas, atau lainnya. 4. Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala penyakit akibat penurunan kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV. 5. Ante Natal Care (ANC) adalah pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan terhadap ibu hamil untuk menjaga kehamilannya dengan tujuan mempersiapkan ibu hamil agar dapat bersalin dengan selamat dan memperoleh bayi yang sehat; deteksi dan antisipasi dini kelainan kehamilan serta deteksi dan antisipasi dini kelainan janin. 6. Anti Retroviral Therapy atau Terapi antiretroviral (ART) adalah pengobatan untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV. 7. CD4 = Cluster of Differentiation 4 adalah suatu limfosit (T helper cell) yang merupakan bagian penting dari sel sistem kekebalan/imun. 8. ELISA atau Enzym Linked Immunosorbent Assay, adalah suatu pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV. 9. Edukasi kesehatan untuk HIV-AIDS dalam kelompok adalah diskusi antara konselor dengan beberapa orang dalam jumlah terbatas, bertujuan untuk menyiapkan mereka mengikuti tes HIV. 10. Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, sektor swasta dan/atau masyarakat 11. Hasil tes diskordan adalah istilah laboratorium yang merujuk kepada hasil tes yang positif pada satu tes, namun negatif pada tes lainnya. 12. Hasil tes indeterminan adalah hasil tes HIV yang belum jelas positif atau negatif. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 5

12 13. Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS. 14. Integrasi adalah pendekatan pelayanan yang membuat petugas kesehatan menangani klien secara utuh, menilai kedatangan klien berkunjung ke fasilitas kesehatan atas dasar kebutuhan klien, dan disalurkan kepada layanan yang dibutuhkannya ke fasilitas rujukan jika diperlukan. 15. Informed Consent (Permenkes No 290/Menkes/per/3/2008) adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut 16. Informed consent pada tes HIV adalah persetujuan akan suatu tindakan termasuk pemeriksaan laboratorium HIV yang diberikan oleh pasien/klien atau wali/pengampu setelah mendapatkan penjelasan yang dimengerti tentang tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien/klien tersebut. 17. Jaminan mutu konseling adalah proses memantau dan menguatkan kualitas konseling. Di dalam konseling, kendali kualitas dilakukan bersamaan dengan supervisi dan dukungan konselor. 18. Jaminan mutu tes HIV adalah proses memantau dan meningkatkan kualitas pemeriksaan laboratorium HIV. 19. Klien adalah seseorang yang mencari atau mendapatkan pelayanan konseling dan atau tes HIV. 20. Konselor adalah pemberi pelayanan konseling yang telah dilatih keterampilan konseling HIV-AIDS dan dinyatakan mampu. 21. Konseling adalah proses dialog antara konselor dengan klien bertujuan jelas memberikan pertolongan, waktu, perhatian dan keahliannya, untuk membantu klien mempelajari keadaan dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. 22. Konseling pasangan adalah konseling yang dilakukan terhadap pasangan seksual klien ataupun pasangan tetap klien. 23. Kelompok Minor adalah mereka yang belum dewasa, anak dan mereka yang masih terbatas kemampuan berpikir dan menimbang. 24. Kelompok Khusus terdiri dari narapidana, pekerja seks, penyalahguna narkoba suntik, kaum migran, orang yang mengalami gangguan psikiatrik, dan lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki. 25. Konseling dan Tes HIV adalah layanan konseling dan tes darah untuk diagnosis HIV. Terdapat dua pendekatan yaitu 1) secara sukarela disingkat degan KTS dan 2) atas inisiatif petugas kesehatan atau tes HIV 6 Pedoman Konseling dan Tes HIV

13 atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang disingkat TIPK 26. Konseling pasca tes adalah diskusi antara konselor dengan klien, bertujuan menyampaikan hasil tes HIV klien serta membantu klien beradaptasi dengan hasil tesnya. 27. Konseling pra Tes adalah dialog antara klien dan konselor dalam kerangka KTS yang bertujuan menyiapkan klien menjalani tes HIV dan membantu klien memutuskan akan tes atau tidak. 28. Konseling pra tes kelompok adalah komunikasi, edukasi dan informasi atau diskusi antara konselor dengan beberapa klien, biasanya antara 5 sampai 10 orang, bertujuan untuk menyiapkan mereka menjalani tes HIV. 29. Konseling gizi adalah layanan konseling mengenai kebutuhan gizi pada ODHA, sesuai dengan perjalanan penyakit. 30. Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi HIV. 31. Pasangan diskordan adalah pasangan seksual yang salah satunya adalah ODHA 32. Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah. 33. Periode jendela adalah suatu periode atau masa sejak orang terinfeksi HIV sampai tubuh orang tersebut membentuk antibodi melawan HIV yang cukup untuk dapat dideteksi dengan tes antibody HIV 34. Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan. 35. Petugas psikososial atau petugas non medis adalah orang yang memberikan layanan di bidang psikologis dan sosial terkait dengan HIV- AIDS. 36. Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) yang biasa di sebut pevention of mother-to-child transmission (PMTCT) adalah pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak selama dalam kandungan, persalinan, maupun menyusui. Layanan PPIA bertujuan mencegah penularan HIV dari ibu kepada anak. 37. Refusal Consent adalah penolakan yang dilakukan oleh pasien/klien secara tertulis untuk tidak dilakukan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medis lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 7

14 38. Sistem Rujukan adalah pengaturan dari institusi pemberi layanan yang memungkinkan petugasnya mengirimkan klien/pasien, sampel darah atau informasi, memberi petunjuk kepada institusi lain atas dasar kebutuhan klien/pasien untuk mendapatkan layanan yang lebih memadai. 39. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan 40. Tes HIV adalah pemeriksaan terhadap antibodi yang terbentuk akibat masuknya HIV kedalam tubuh, atau pemeriksaan antigen yang mendeteksi adanya virus itu sendiri atau komponennya. 41. Tes cepat HIV paralel adalah Tes HIV dengan reagen yang berbeda yang dikerjakan bersamaan yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam. 42. Tes cepat HIV serial adalah suatu tes HIV dengan reagen yang berbeda dilakukan satu sesudah lainnya yang hasilnya didapat kurang dari 2 jam. 43. Tes Ulang adalah tes HIV pada orang yang pernah melakukan tes sebelumnya dan memperoleh hasilnya. 44. Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi oleh bakteri tuberkulosa. TB seringkali merupakan infeksi yang menumpang pada mereka yang telah terinfeksi HIV. 45. Western Blot (WB) adalah suatu metode tes antibodi HIV, hanya digunakan untuk konfirmasi atau penelitian. 8 Pedoman Konseling dan Tes HIV

15 BAB II. LAYANAN TES DAN KONSELING HIV Layanan Tes dan Konseling HIV (TKHIV), adalah suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV di tubuh seseorang. Layanan ini dapat diselenggarakan di layanan kesehatan formal atau klinik yang berbasis komunitas. Tes dan Konseling HIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan konselor/petugas kesehatan dengan tujuan meberikan informasi tentang HIV-AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan dengan tes HIV. Alasan melakukan tes HIV: Orang atau pasangan yang ingin mengetahui status HIV nya Ibu hamil yang masuk dalam program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) Penegakan diagnosis klinis demi keperluan pasien Survei, surveilans, penelitian dan sebagainya Penapisan darah donor transfusi atau organ tubuh Tatalaksana profilaksis pasca pajanan (PPP) setelah terjadinya tusukan pada kecelakaan kerja okupasional. Prosedur pemeriksaan dalam kasus perkosaan Perintah pengadilan dari terdakwa dalam kasus kejahatan seksual dan sebagainya Namun pada dasarnya ada 3 (tiga) tujuan tes HIV, yaitu: 1. Penapisan darah donor 2. Survei, surveilans untuk kepentingan program 3. Penegakan diagnosis klinis Strategi pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk ketiga tujuan tersebut berbeda satu sama lain. Pada uji penapisan darah donor hanya dilakukan dengan Strategi I, pada surveilans dilaksanakan dengan strategi II dan untuk diagnosis dilaksanakan dengan strategi II atau III tergantung pada tanda klinis dan prevalensi di wilayah atau tempat tinggal pasien atau klien. Tabel 1. Penggunaan Strategi Tes HIV berdasarkan Tujuan dan Prevalensi Setempat Tujuan Tes Kondisi Klinis Prevalensi Setempat Strategi Donor darah & transplantasi Semua prevalensi I Surveilans >10% I <10% II Diagosis Simtomatik >10% II Asimtomatik <10% III Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 9

16 Proses TKHIV dapat dilakukan melalui 2 (dua) pendekatan, yaitu: 1. Tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling yang disingkat dengan TIPK 2. Konseling dan tes HIV secara sukarela yang disingkat dengan KTS Buku ini akan membahas tes HIV untuk keperluan diagnosis dengan pendekatan kesehatan masyarakat guna meningkatkan cakupan pengobatan ARV baik sebagai pencegahan maupun pengobatan dalam kerangka perawatan HIV yang berkesinambungan. Bahasan mencakup model layanan KTS, TIPK, juga model lain yang dikembangkan di Indonesia untuk memperluas layanan tes HIV. Perlu ditekankan bahwa TKHIV merupakan pintu rujukan terpenting pada layanan pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan dan menjadi salah satu mata rantai dalam jejaring Layanan HIV dan IMS Komprehensif Berkesinambungan yang terus dikembangkan. Di Indonesia perlu dikembangkan model layanan TKHIV yang mampu menjangkau sasaran yang lebih luas dengan lebih cepat. Dengan menggunakan paduan model pendekatan tersebut, tempat layanan yang dikembangkan dengan lebih luas diharapkan mampu menjangkau populasi kunci dan memfasilitasi diagnosis HIV sebanyak mungkin dan sedini mungkin untuk dapat dilanjutkan dengan pengobatan ARV. Berdasarkan tempat layanannya maka tes HIV dapat diselenggarakan di berbagai tempat, seperti: 1. Terintegrasi di fasilitas layanan kesehatan di mana pendekatan TIPK lebih dominan, baik yang menetap maupun yang bergerak. 2. Di suatu klinik mandiri yang terletak di komunitas dengan layanan kesehatan yang sangat terbatas yang cenderung dengan pendekatan KTS. 3. Layanan tes HIV untuk kelompok tatanan khusus yang diatur dengan pertaturan tertentu seperti: di kalangan TNI/POLRI; layanan bagi WBP di lapas/ rutan; layanan di tempat kerja; layanan bagi tenaga kerja migran. 10 Pedoman Konseling dan Tes HIV

17 Apapun model dan pendekatan yang diterapkan tes HIV selalu mengikuti alur atau algoritma yang sudah ditentukan dan harus disertai dengan sistem jaminan dan perbaikan mutu yang tidak hanya diterapkan pada pemeriksaan laboratorium saja tetapi juga perlu untuk proses konselingnya. A. TES DAN KONSELING HIV DI FASILITAS LAYANAN KESEHATAN HIV merupakan penyakit kronis dengan berbagai bentuk tampilan klinis sesuai dengan stadiumnya sehingga penawaran tes HIV di fasilitas kesehatan sebaiknya dilakukan sebagai standar pelayanan rutin di daerah epidemi meluas seperti Tanah Papua, Klinik TB, Klinik Bersalin, Klinik IMS, klinik yang melayani PS, penasun, waria dan populasi kunci lainnya. Indonesia saat ini lebih menekankan penawaran tes HIV di fasilitas layanan kesehatan sebagai pendekatan yang rutin. Dengan demikian upaya untuk menjamin klien mendapatkan manfaat diagnosis dan intervensi dini dapat diperoleh, terutama untuk populasi kunci atau untuk penduduk di wilayah epidemi yang menyeluruh. Penawaran tes HIV secara rutin di layanan kesehatan akan menormalkan (destigmatisasi) tes HIV dan tidak hanya mengandalkan motivasi individu dalam mencari layanan tes tersebut karena motivasi masyarakat untuk mencari layanan mungkin rendah mengingat masih adanya ketakutan akan stigma dan diskriminasi. Meskipun demikian, penting untuk ditekankan bahwa sekalipun berdasarkan inisiatif petugas, tes HIV tidak boleh dikembangkan menjadi tes mandatori atau memeriksa klien tanpa menginformasikannya. Perubahan paradigma tersebut perlu terus didorong perluasan pelaksanaannya, terutama di layanan kesehatan yang banyak melayani pasien dengan masalah TB, IMS, layanan PTRM, LASS bagi penasun, layanan bagi populasi kunci lain (seperti PS, LSL, Waria) dan di KIA, karena pasienpasien tersebut memiliki risiko tinggi untuk tertular HIV. Pada situasi/wilayah tertentu, seringkali TIPK tidak dapat dilaksanakan karena berbagai alasan, misalnya klien tidak mengetahui adanya layanan atau klien enggan datang ke layanan kesehatan. Dalam situasi seperti tersebut, perlu dikembangkan upaya yang dapat memperluas cakupan seperti melalui kegiatan mobile clinic/klinik bergerak serta penjangkauan yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat atau komponen masyarakat lainnya. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 11

18 Layanan TIPK di fasilitas layanan kesehatan meliputi penawaran tes HIV bagi ibu hamil, pasien TB, pasien IMS, pasien PTRM, klien LASS, di kesehatan anak dan tatanan klinik lain serta layanan kesehatan bagi populasi kunci. TIPK bagi ibu hamil merupakan strategi penting untuk pencegahan penularan dari ibu ke anak (PPIA). Di samping itu tes diagnostik HIV secara rutin sangat dianjurkan bagi semua pasien yang terdiagnosis atau suspek TB, mengingat TB masih menjadi penyebab kematian terbanyak pada ODHA sehingga mendorong pemberian ARV kepada pasien HIV dengan TB sedini mungkin. Secara teknis, kotak berikut ini penjelasan penerapan TIPK di fasilitas layanan kesehatan, didasarkan atas tingkat epideminya. Di tingkat epidemi meluas maka TIPK diterapkan pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) pengunjung fasilitas kesehatan, termasuk di layanan medis dan bedah; IMS; layanan untuk hepatitis; TB; baik di fasyankes pemerintah maupun swasta; rawat jalan dan rawat inap; layanan medis bergerak atau melalui penjangkauan; layanan antenatal; KB; kesehatan anak; layanan bagi populasi kunci; kesehatan reproduksi Di tingkat epidemi terkonsentrasi maka TIPK diterapkan pada dewasa, remaja, dan anak pengunjung semua fasilitas layanan kesehatan dengan tanda dan gejala atau kondisi klinis/medis yang diduga terkait dengan infeksi HIV, termasuk TB; anak yang terpajan oleh HIV, atau anak yang terlahir dari ibu terinfeksi HIV serta bayi dan anak yang simtomatis. pasien IMS; hepatitis; TB; ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan di antenatal care dan populasi kunci (LSL, waria, PS dan penasun) B. TES/PEMERIKSAAN DAN KOSELING HIV (TKHIV) MANDIRI TKHIV dengan pendekatan sukarela (KTS) secara mandiri biasanya merupakan layanan tes HIV berbasis klinik yang terletak di tingkat komunitas sehingga lebih dekat menjangkau masyarakat yang membutuhkannya. Contoh layanan ini adalah klinik gereja di tempat terpencil, klinik TKHIV yang ada di lembaga swadaya masyarakat, pustu, polindes, dll. Model KTS mandiri merupakan model yang dominan untuk mengetahui status HIV seseorang pada awal penerapan program HIV di Indonesia yang 12 Pedoman Konseling dan Tes HIV

19 pada saat tersebut layanan pengobatan ARV masih sangat terbatas. Selanjutnya model tersebut dikembangkan juga melekat di tatanan klinis. Model layanan tersebut menekankan kesukarelaan klien untuk datang mencari layanan dengan persetujuan (informed consent). Strategi layanan terdiri beberapa komponen: konseling pra-tes dan pasca-tes, persetujuan (informed consent) tertulis dan jaminan konfidensialitas. terhubung dengan layanan pengobatan C. TES DAN KONSELING HIV BERGERAK Layanan TKHIV dapat diberikan di berbagai tatanan di komunitas, baik dengan cara menjangkau klien potensial dan mendorong mereka datang ke layanan, atau dengan menyelenggarakan layanan ke tempat mereka berada (bergerak/mobile). Model layanan bergerak ini dapat bersifat sementara/temporer tetapi dilaksanakan secara berkala/reguler di tempat komunitas berada, seperti di tempat hiburan, bar, karaoke, sekolah, tempat kerja, di lokasi pekerja seks atau tempat nongkrong populasi kunci. Dapat pula diselenggarakan terkait dengan suatu perayaan atau pertunjukan. Model ini perlu dukungan dan berkoordinasi secara kuat dengan layanan penjangkauan (outreach) dan pendukung sebaya (peer educator - PE). Model tersebut harus pula terkait di dalam Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) yang dikembangkan di Indonesia. Sangat dianjurkan untuk menyelenggarakan layanan TKHIV bergerak mengikuti sistem penjangkauan yang ada, misalnya mengikuti jadwal posyandu, jadwal pemeriksaan terhadap para polulasi kunci yang jauh dari layanan kesehatan dengan tim yang terdiri dari petugas kesehatan, konselor, teknisi laboratorium, tenaga administrasi dan pembantu umum. Tes HIV dilakukan dengan tes cepat setelah sesi informasi atau konseling pra-tes dan persetujuan klien. Hasilnya dikomunikasikan segera kepada klien/pasien diikuti dengan rujukan ke layanan HIV. Jika kegiatan ini dilakukan oleh puskesmas seperti puskesmas keliling maka pemberian ARV dapat diinisiasi setelah ada penegakan tes diagnostik dengan hasil tes positif. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 13

20 Layanan TKHIV dengan penjangkauan diterapkan bagi komunitas di tempat yang sulit dijangkau atau komunitas yang termarginalisasi atau populasi kunci yang kurang mendapat akses layanan kesehatan formal. Layanan bergerak juga dapat dilaksanakan pada saat peristiwa atau kegiatan penting seperti peringatan hari-hari penting, pertunjukan musik, kegiatan olah-raga dan sebagainya. Layanan bergerak berinduk pada layanan kesehatan wilayah setempat, sehingga tindaklanjut tes dapat dilakukan, seperti akses ke pengobatan sesuai indikasi. D. LAYANAN TES DAN KONSELING HIV DALAM TATANAN KHUSUS Kelompok masyarakat khusus memiliki risiko relatif lebih besar untuk tertular HIV, mengingat pekerjaan ataupun keberadaan kelompok tersebut, seperti kalangan TNI/POLRI; lingkungan kerja tertentu; warga binaan pemasarakatan di Lapas atau Rutan; tenaga kerja migran. Di samping itu kelompok khusus ini perlu mendapat perhatian dan tindak lanjut meskipun tidak terkait dengan faktor risiko yang disandangnya. Layanan yang disediakan lebih kepada penyediaan akses tindak lanjut pasca tes seperti bagi donor darah yang tersaring reaktif pada uji saring pengamanan darah donor di Unit Transfusi Darah (UTD). D.1. TES DAN KONSELING-HIV DI LINGKUNGAN TNI & POLRI Layanan kesehatan TNI dan POLRI mengikuti peraturan di instansi tersebut. Namun bagi keluarga dan masyarakat sekitar yang berobat ke layanan kesehatan TNI atau POLRI, mengikuti tatacara layanan pasien/klien umum. TKHIV di lingkungan TNI dan Polri dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan meliputi KTS, TIPK, TKHIV atas perintah dinas (mandatory testing & counseling) serta penawaran rutin setiap kali melaksanakan pemeriksaan kesehatan/uji badan. Tes HIV di TNI dan Polri dilakukan saat: Penerimaan anggota TNI (recruitment), Pra dan purna tugas operasi, Pendidikan & pelatihan berkesinambungan, Persyaratan nikah dan lain-lain 14 Pedoman Konseling dan Tes HIV

21 Alur pelaporan, monitoring dan evaluasi di lingkungan TNI secara khusus mengacu pada Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/64/IX/2010 tanggal 15 September 2010 tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Penanggulangan HIV-AIDS di Lingkungan TNI. D.2. TES DAN KONSELING HIV DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN Pendekatan TKHIV di Lapas dan Rutan dapat dilakukan dengan inisiatif klien atau inisiatif petugas kesehatan. Bagi Lapas dan Rutan yang belum memiliki sarana tes atau petugas belum terlatih, maka tes darah dirujuk ke fasyankes terdekat. Layanan TKHIV di Lapas dan Rutan mengikuti alur layanan yang berlaku di fasilitas kesehatan dan ditawarkan pada waktu berikut ini: a. Pada saat pemeriksaan kesehatan warga binaan pemasyarakatan (WBP) baru. Perhatian khusus diberikan bagi WBP dan tahanan yang dinilai memiliki risiko tinggi. b. Saat edukasi HIV-AIDS kelompok yang dilakukan secara rutin di dalam Lapas/Rutan. WBP yang berminat untuk konseling dianjurkan untuk mendatangi klinik kesehatan Lapas/Rutan. c. Saat WBP datang ke klinik di lapas/rutan untuk berbagai keluhan medis. d. Pada saat 1-3 bulan sebelum WBP bebas. Pada tahap ini konseling untuk WBP adalah prosedur yang wajib dilakukan. e. Pada saat WBP mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) dalam pembinaan di Balai Pemasyarakatan (BAPAS). D.3. TES DAN KONSELING HIV DI LINGKUNGAN KERJA (PERUSAHAAN SWASTA DAN BUMN) Layanan TKHIV di tempat kerja diselaraskan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Kepmennakertrans No.Kep.68/MEN/IV/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS di Tempat Kerja. dan mengacu pada pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan SK.MENKES RI No.1507 tahun Pelaksanaan layanan TKHIV di tempat kerja sangat dipengaruhi oleh fasilitas dan sumber daya yang tersedia di masing-masing tempat kerja. Pada tempat kerja yang telah memiliki fasilitas layanan Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 15

22 konseling dan konselor terlatih, layanan konseling dilakukan di fasilitas tersebut. Pelayanan bersifat sukarela dengan menggunakan prinsip 5C dan tes HIV tidak boleh dilakukan sebagai syarat rekrutmen dan promosi pekerja. D.4. TES DAN KONSELING HIV PADA CALON TENAGA KERJA INDONESIA (CTKI) DAN TENAGA KERJA INDONESIA PURNA (TKI PURNA) TKHIV bagi CTKI dilakukan oleh sarana kesehatan yang ditunjuk, berdasarkan permintaan negara tujuan. Dalam hal sarana kesehatan tersebut belum memiliki sumber daya yang dimaksud, maka harus dilakukan jejaring dengan fasilitas layanan kesehatan yang sudah menjalankan. Calon TKI yang diketahui terinfeksi HIV pada saat pemeriksaan kesehatan umum (medical check up) dinyatakan tidak sehat (unfit) dan harus dirujuk ke layanan HIV untuk penanganan selanjutnya. Model layanan TKHIV untuk TKI dilaksanakan dengan mengikuti pedoman yang berlaku. D.5. TES DAN KONSELING HIV TERKAIT DENGAN UNIT TRANSFUSI DARAH UTD berfungsi untuk melaksanakan uji saring darah donor terhadap Infeksi Menular Lewat Transfusi Darah (IMLTD), yang salah satunya adalah HIV. Donor darah dengan hasil uji saring HIV reaktif perlu dirujuk ke RS untuk mendapatkan konseling dan tes diagnostik dan pengobatan lanjutan. Dalam hal ini, rujukan dapat dilakukan sebagai bagian dari jejaring layanan ke tes HIV. Bila hasil tes konfirmasi positif HIV maka pendonor perlu mendapat akses layanan pencegahan dan perawatan, dukungan dan pengobatan serta konseling untuk tidak lagi menjadi donor darah. Bagi yang sudah konfirmasi negatif perlu dipastikan bahwa yang bersangkutan tidak berperilaku berisiko dan tidak dalam masa jendela. Pendonor dapat kembali mendonorkan darahnya dengan surat rujukan tertulis dari RS ke UTD. Penjelasan lengkap tentang hal ini dapat dilihat pada Pedoman Tatalaksana Donor Darah Reaktif, terbitan Kementerian Kesehatan RI, Tahun Pedoman Konseling dan Tes HIV

23 Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 17

24 BAB III. PELAKSANAAN TES DAN KONSELING HIV Dalam pedoman ini maka alur dari tes HIV berlaku baik untuk TIPK maupun KTS. Proses TKHIV tersebut di fasilitas layanan kesehatan tergambar pada Bagan 1 di bawah. Bagan 1. Alur Tes HIV 18 Pedoman Konseling dan Tes HIV

25 Edukasi tentang kesehatan terkait HIV dapat diberikan kepada pengunjung layanan kesehatan di ruang tunggu dengan menggunakan alat audiovisual seperti yang dilakukan pada Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit (PKMRS) atau Puskesmas Langkah dalam melaksanakan TIPK di Layanan Kesehatan 1. Pasien datang dengan keluhan sakitnya diperiksa oleh petugas kesehatan sesuai dengan tatalaksana medis, baik di layanan kesehatan rawat jalan maupun di rawat inap 2. Pada pemeriksaan, jika ditemukan tanda ataupun gejala terkait HIV, maka pasien mendapatkan edukasi dan informasi keterkaitan penyakitnya dengan infeksi HIV. Edukasi dimaksud agar pasien mampu menimbang keputusan untuk tes HIV 3. Petugas kesehatan kemudian menawarkan tes HIV, guna memudahkan pengambilan keputusan terapi yang lebih tepat ketika diagnosis dapat ditegakkan 4. Penawaran tes dikuatkan dengan informed consent ketika pasien menyetujui tes. 5. Jika pasien tidak menyetujui tes, tenaga kesehatan tetap memberikan layanan sesuai penyakit pasien 6. Hasil tes HIV disampaikan langsung oleh petugas kesehatan kepada pasien 7. Pasien mendapat layanan sesuai dengan indikasi setelah memperoleh hasil tes HIV 8. Pasien dapat memperoleh dukungan psikologik dari konselor sesuai kondisi dan kebutuhan pasien Tes HIV seringkali juga diminta klien dengan berbagai alasan seperti memenuhi syarat untuk mengunjungi atau bekerja ke negara lain dan permintaan pihak ketiga. A. INFORMASI SEBELUM TES (PRA-TES) HIV DAN PERSETUJUAN PASIEN A.1. SESI INFORMASI PRA-TES SECARA KELOMPOK Sesi ini dapat dilaksanakan sebagai pilihan bila sarana memungkinkan. Semua pasien atau klien yang datang ke layanan kesehatan terutama di layanan TB, IMS, PTRM, LASS, KIA, KB, Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 19

26 layanan untuk populasi kunci (pekerja seks, waria, LSL, penasun) ataupun dapat juga klien yang datang ke layanan KTS untuk mencari layanan Tes HIV secara sukarela, dapat diberikan KIE secara kelompok di ruang tunggu sebelum bertatap muka dengan petugas yang bersangkutan sambil menunggu gilirannya dilayani. KIE tersebut hendaklah diselenggarakan secara rutin dan berkala sesuai kondisi tempat layanan dengan topik kesehatan secara umum dan masalah yang berkaitan dengan HIV-AIDS. Metode penyampaiannya dapat berupa edukasi dengan alat audio-visual (AVA) seperti TV, video atau bahan KIE lain seperti poster maupun brosur atau lembar balik oleh petugas yang ditunjuk sesuai dengan kondisi setempat. Informasi kelompok hendaknya meliputi komponen penting yang dibutuhkan pasien atau klien seperti: Informasi dasar HIV, tentang cara penularannya Upaya pencegahan yang efektif, termasuk penggunaan kondom secara konsisten, mengurangi jumlah pasangan seksual dan lainnya. Keuntungan dan pentingnya tes HIV sedini mungkin. Informasi tentang proses pemeriksaan laboratorium HIV Membahas konfidensialitas, dan konfidensialitas bersama Membahas pilihan untuk tidak menjalani tes HIV Tawaran untuk menjalani tes pada masa mendatang bila klien belum siap Pentingnya pemeriksaan gejala dan tanda penyakit TB selama konseling para dan pasca-tes Rujukan ke layanan yang terkait dengan HIV, seperti misalnya konsultasi gizi, pemeriksaan dan pengobatan TB, pemeriksaan IMS, pemeriksaan CD4, tatalaksana infeksi oportunistik dan stadium klinis. Persetujuan untuk menjalani tes HIV (informed consent) harus selalu diberikan secara individual dengan kesaksian petugas kesehatan. Undang-undang Praktik Kedokteran No. 29 Tahun 2004, secara jelas memuat hal tersebut dalam Pasal 45 mengenai Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi diberikan setelah pasien mendapatkan penjelasan secara lengkap 20 Pedoman Konseling dan Tes HIV

27 A.2. SESI INFORMASI PRA-TES INDIVIDUAL Pada sesi individual, klien mendapatkan informasi edukasi dari konselor tentang HIV untuk menguatkan pemahaman klien atas HIV dan implikasinya agar ia mampu menimbang perlunya pemeriksaan. Edukasi meliputi : 1. Informasi dasar tentang HIV dan AIDS 2. Penularan dan pencegahan 3. Tes HIV dan konfidensialitas 4. Alasan permintaan tes HIV 5. Ketersediaan pengobatan pada layanan kesehatan yang dapat diakses 6. Keuntungan membuka status kepada pasangan dan atau orang dekatnya 7. Arti tes dan penyesuaian diri atas status baru 8. Mempertahankan dan melindungi diri serta pasangan/keluarga agar tetap sehat Edukasi juga disertai dengan diskusi, artinya tersedia kesempatan klien bertanya dan mendalami pemahamannya tentang HIV dan status HIV. Konselor juga memberi dukungan atas keadaan psikologik klien. Sesudah edukasi dan menimbang suasana mental emosional, klien dimintai persetujuan untuk tes HIV (informed consent) dan dilanjutkan pemeriksaan laboratorium darah. yang diperlukan secara option out. Informasi di atas akan memudahkan pasien menimbang dan memutuskan menjalani tes serta memberikan persetujuannya untuk tes HIV (informed consent) yang harus dicatat oleh petugas kesehatan. Dengan demikian penerapan tes HIV memenuhi prinsip 5C (informed consent, confidentiality, counseling, correct testing and connection to care, treatment and prevention services). Pada umumnya dengan komunikasi verbal sudah cukup memadai untuk memberikan informasi dan mendapatkan informed-consent pelaksanaan tes-hiv. A.3. PEMBERIAN INFORMASI PRA TES PADA KELOMPOK KHUSUS Ada beberapa kelompok masyarakat yang lebih rentan terhadap dampak buruk seperti diskriminasi, pengucilan, tindak kekerasan, atau penahanan. Dalam hal tersebut maka perlu diberi informasi lebih dari yang minimal di atas, untuk meyakinkan informed-consent nya. 1. Perempuan Hamil Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 21

28 Fokus pemberian informasi pra tes bagi perempuan hamil meliputi: Risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya Pengurangan risiko penularan HIV dari ibu dengan HIV positif kepada janin yang dikandungnya antara lain terapi antiretroviral, persalinan aman dan pemberian makanan bayi. Manfaat diagnosis HIV dini bagi bayi yang akan dilahirkan. Perencanaan kehamilan berikutnya dan metode KB yang digunakan. 2. Bayi, Anak dan Remaja Pemberian informasi dalam penawaran tes HIV pada anak perlu dilakukan bersama dengan orangtua atau wali/pengampunya. Perlu ada pertimbangan khusus bagi anak dan remaja di bawah umur secara hukum (pada umumnya <18 tahun). Sebagai individu di bawah umur yang belum punya hak untuk membuat/memberikan informed-consent, mereka punya hak untuk terlibat dalam semua keputusan yang menyangkut kehidupannya dan mengemukakan pandangannya sesuai tingkat perkembangan umurnya. Dalam hal ini diperlukan informedconsent dari orang tua atau wali/pengampu. Fokus informasi pada anak dan remaja meliputi: Informasi dasar HIV-AIDS secara singkat Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan Masalah penyingkapan status HIV kepada anak pada saatnya Masalah stigma dan diskriminasi di lingkungan keluarga dan masyarakat setempat 3. Individu dalam kondisi khusus Individu dalam kondisi khusus adalah individu yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental dan individu yang akibat keadaan tertentu mengalami kekerasan, penelantaran, perdagangan manusia dan individu yang berhadapan dengan hukum. Individu yang mengalami hambatan mental perlu terapi mental emosionalnya lebih dahulu sebelum pemberian edukasi dan menjalankan tes. Seringkali diperlukan pengampuan pada mereka yang tidak dapat mengambil keputusan sehat. Fokus informasi prates pada individu khusus meliputi: 22 Pedoman Konseling dan Tes HIV

29 Informasi dasar HIV-AIDS Informasi tentang pencegahan, pengobatan dan perawatan Bila perlu dilakukan konseling oleh konselor yang memahami persoalan kebutuhan khusus tersebut. 4. Pasien dengan kondisi kritis Sekalipun pasien dalam kondisi kritis (adanya penurunan kesadaran), tidak dibenarkan dilakukan tes HIV tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pemberian informasi pra tes pada pasien tersebut dilakukan setelah kondisi kritis teratasi. 5. Pasien TB Banyak pasien TB tidak menyadari kemungkinan komorbiditas dengan HIV, sehingga petugas kesehatan perlu memberikan informasi tentang keterkaitan HIV dengan TB yang dilanjutkan dengan penawaran tes. Bila pasien menolak untuk menjalani tes HIV perlu dilakukan konseling dengan proses rujukan. 6. Kelompok berisiko (penasun, pekerja seks,, waria, LSL) Informasi pra tes pada kelompok ini dapat didahului dengan penyuluhan kelompok oleh penjangkau. Materi bahasan dalam penyuluhan kelompok: Informasi dasar tentang HIV-AIDS. Informasi dasar tentang cara penularan dan mengurangi risiko HIV. Demonstrasi dan diskusi tentang penggunaan kondom atau jarum suntik steril. Keuntungan dan isu potensial berkaitan dengan konseling. Prosedur tes HIV dan penyampaian hasil tes HIV. Informasi rujukan dan dukungan. Peserta penyuluhan kelompok yang tertarik untuk tes HIV diarahkan untuk mendapatkan konseling individual. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 23

30 A.4. PERSETUJUAN TENTANG TES HIV (INFORMED CONSENT) Informed consent bersifat universal yang berlaku pada semua pasien apapun penyakitnya karena semua tindakan medis pada dasarnya membutuhkan persetujuan pasien. Informed consent di fasilitas layanan kesehatan dapat diberikan secara lisan tidak perlu secara tertulis. Aspek penting di dalam persetujuan adalah sebagai berikut: Klien telah memahami tentang maksud dan tujuan tes, serta risiko dan dampaknya. Informasi bahwa jika hasil tes positif, akan dirujuk ke layanan HIV termasuk pengobatan ARV dan penatalaksanaan lainnya Bagi mereka yang menolak tes HIV dicatat dalam catatan medik untuk dilakukan penawaran tes dan atau konseling ulang ketika kunjungan berikutnya. Persetujuan untuk anak dan remaja di bawah umur diperoleh dari orangtua atau wali/pengampu. Pada pasien dengan gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif yang tidak mampu membuat keputusan dan secara nyata berperilaku berisiko, dapat dimintakan kepada isteri/suami atau ibu/ayah kandung atau anak kandung/saudara kandung atau pengampunya. Konfidensialitas Konfidensialitas berlaku secara umum. Semua informasi pasien apapun penyakitnya, yang berdasarkan undang-undang bersifat konfidensial tidak diberikan pada pihak yang tidak berkepentingan. Pada saat memberikan konseling pra tes maka konselor perlu meyakinkan klien bahwa tes HIV tersebut dilaksanakan secara konfidensial, yang berarti seorang konselor tidak diperkenankan menyampaikan hasil kepada siapapun di luar kepentingan kesehatan klien tanpa seijin klien, kecuali: a. Klien membahayakan diri sendiri atau orang lain b. Tidak mampu bertanggungjawab atas keputusan/tindakannya dan c. Atas permintaan pengadilan/hukum/undang-undang 24 Pedoman Konseling dan Tes HIV

31 Konfidensialitas tidak bersifat mutlak. Dalam hal ini konselor atau petugas kesehatan dapat berbagi hasil tes HIV pasien pada mereka yang berkompeten dan berhubungan secara langsung menangani kesehatan klien/pasien, misalnya jika pasien membutuhkan dokter penyakit paru, dokter kebidanan, bidan yang akan memberikan layanan kesehatan kepadanya, rujukan pada tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan pasien dan Pengawas Minum Obat atau kelompok dukungan sebaya). A.5. PENOLAKAN UNTUK MENJALANI TES HIV Penolakan untuk menjalani tes HIV tidak boleh mengurangi kualitas layanan lain yang tidak terkait dengan status HIVnya. Pasien yang menolak menjalani tes perlu ditawari kembali pada kunjungan berikutnya atau ditawarkan untuk menjalani sesi konseling di Klinik KTS oleh seorang konselor terlatih di masa yang akan datang jika memungkinkan. Penolakan tersebut harus dicatat di lembar catatan medisnya agar diskusi dan tes HIV diprakarsai kembali pada kunjungan yang akan datang. B. PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV Tes HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian Kesehatan. Sebaiknya tes HIV menggunakan tes cepat HIV yang sudah dievaluasi oleh Kementerian Kesehatan. Tes cepat yang sesuai prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan primer. Tes dengan reagen ELISA biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 25

32 jumlah pasien yang lebih banyak dan tidak perlu hasil tes segera (misalnya untuk pasien rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan. Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil. Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk pada alur Tes sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur serial. Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil nonreaktif atau negatif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan antigen dan/atau dasar tes yang berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi HIV 10% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah atau kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan tes HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan Pedoman Nasional menganjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja. Indonesia dengan prevalensi HIV dibawah 10% menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya. Dalam melakukan tes HIV dari alur tersebut direkomendasikan untuk menggunakan reagen tes HIV sbb: Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99% Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%. Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%. Kombinasi tes HIV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan secara luas. Tes HIV harus disertai dengan adanya sistem jaminan mutu dan program perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Jika 26 Pedoman Konseling dan Tes HIV

33 tidak maka klien/pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius yang panjang. Jaminan mutu juga diperlukan untuk kualitas konseling. Bagan 2. Alur Tes Laboratorium HIV Strategi III A1 (Tes I) A2 (Tes II) A1 + A1 - Laporkan Negatif A1 + A2 + A1 + A2 - Ulangi A1 dan A2 A1 + A2 + A1 + A2 - A1 - A2 - Laporkan Negatif A3 (Tes III) A1+ A2+ A3+ A1+ A2+ A3 - A1+ A2- A3+ A1+ A2 A3- Laporkan Positif Indeterminate Risiko Risiko Tinggi Rendah Indeterminate Negatif Keterangan: A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis tes antibodi HIV yang berbeda. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 27

34 1) Spesimen darah yang tidak Reaktif sesudah tes cepat pertama dikatakan sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif. Tidak dibutuhkan tes ulang. 2) Spesimen darah yang sero-reaktif pada tes cepat pertama membutuhkan tes ulang dengan tes kedua yang mempunyai prinsip dan metode reagen yang berbeda. 3) Bila hasil tes pertama Reaktif dan hasil tes kedua Reaktif maka dikatakan hasilnya positif. perlu dilanjutkan dengan testing cepat ketiga. 4) Apabila ketiganya Reaktif maka dikatakan positif. 5) Apabila dari ketiga tes cepat salah satu hasilnya non Reaktif maka dikatakan tidak dapat ditentukan/indeterminate. 6) Bila setelah tes kedua salah satunya non Reaktif dan dilanjutkan dengan tes ketiga hasilnya juga non Reaktif maka dikatakan hasilnya tidak dapat ditentukan/indeterminate. 7) Hasil yang dikatakan positif tidak diperlukan tes konfirmasi pada laboratorium rujukan. 8) Hasil yang tidak dapat ditentukan/indeterminate perlu dilakukan konfirmasi dengan WB (Western Blot). 9) Bila tetap indeterminate setelah dua belas bulan maka dapat dikatakan hasilnya negatif. Tes virologi yang lebih canggih dan mahal hanya dianjurkan untuk diagnosis anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan. Tes HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV-positif tidak dibenarkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu. Tes darah dengan tujuan untuk diagnosis HIV harus memperhatikan gejala atau tanda klinis serta prevalensi HIV di wilayah tempat tinggal atau kelompok, seperti terpapar pada Tabel 1 di halaman Pedoman Konseling dan Tes HIV

35 C. KONSELING PASCA TES Semua klien/pasien yang menjalani tes HIV perlu menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya. Hasil tes HIV tersebut disampaikan kepada klien/pasien sesegara mungkin secara individual dengan informasi singkat, jelas dan terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Konseling pasca tes membantu klien/pasien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil tes. Hal-hal berikut dilakukan oleh petugas atau konselor pada saat konseling pasca tes: a. Membacakan hasil tes b. Menjelaskan makna hasil tes c. Memberikan informasi selanjutnya d. Mendiskusikan strategi untuk menurunkan penularan HIV dan rencanakan pengobatan e. Merujuk klien/pasien ke fasilitas layanan kesehatan dan layanan lainnya Petugas yang memberikan konseling pasca-tes sebaiknya orang yang sama dengan orang yang memberikan konseling atau informasi pra tes. Dalam hal konseling tidak dapat diberikan oleh orang yang sama maka dapat ditawarkan petugas pengganti. Hal penting dalam menyampaikan hasil Tes: a. Periksa ulang seluruh hasil tes klien/pasien dalam data klien/catatan medik. Lakukan hal ini sebelum bertemu klien/pasien untuk memastikan kebenarannya. b. Hasil tes tertulis tidak diberikan kepada klien/pasien. Jika klien/pasien memerlukannya, dapat diberikan salinan hasil tes HIV dan dikeluarkan dengan tandatangan dokter penanggungjawab, mengikuti format penulisan dalam formulir hasil tes antibodi HIV. Cara dan alur pemberian konseling pasca tes dapat dilihat pada lampiran. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 29

36 BAB.IV KONSELING Konseling merupakan komponen penting pada pemeriksaan dan layanan HIV. Konseling dilaksanakan bagi klien baik sebelum, sesudah tes dan selama perawatan HIV yang dilaksanakan oleh tenaga yang terlatih. Kualitas konseling perlu dipantau dengan mentoring dan pembinaan yang teratur. Konseling diutamankan bagi mereka yang berisiko dan menolak tes, klien dengan kebutuhan khusus, serta konseling pasca tes dan konseling lanjutan bagi ODHA. A. PERAN KONSELING DALAM TES HIV Layanan konseling pada tes HIV dilakukan berdasarkan kepentingan klien/pasien baik kepada mereka yang HIV positif maupun negatif. Layanan ini dilanjutkan dengan dukungan psikologis dan akses untuk terapi. KTHIV harus dikerjakan secara profesional dan konsisten untuk memperoleh intervensi yang efektif. Konselor terlatih membantu klien/pasien dalam menggali dan memahami diri akan risiko infeksi HIV, mempelajari status dirinya dan mengerti tanggung jawab untuk mengurangi perilaku berisiko serta mencegah penyebaran infeksi kepada orang lain serta untuk mempertahankan dan meningkatkan perilaku sehat. Bagan 3. Peran Konseling dan Tes HIV 30 Peningkatan kualitas hidup dan perencanaan masa depan: pengasuhan anak Penerimaan status, Perawatan diri, Komunikasi perubahan perilaku, dan pencegahan positif Memfasilitasi rujukan PPIA, akses kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual Pedoman Konseling dan Tes HIV Pemeriksaan dan Manajemen dini pemeriksaan infeksi

37 B. BERBAGAI JENIS KONSELING PADA LAYANAN HIV B.1. KONSELING PRA-TES Konseling Pra-tes dilaksanakan pada klien/pasien yang belum mantap atau pasien yang menolak untuk menjalani tes HIV setelah diberikan informasi pra-tes yang cukup. Dalam konseling pra-tes harus seimbang antara pemberian informasi, penilaian risiko dan merespon kebutuhan emosi klien. Masalah emosi yang menonjol adalah rasa takut melakukan tes HIV karena berbagai alasan termasuk ketidaksiapan menerima hasil tes, perlakuan diskriminasi, stigmatisasi masyarakat dan keluarga. Ruang lingkup konseling pra-tes pada KTS adalah: a. Alasan kunjungan, informasi dasar tentang HIV dan klarifikasi tentang fakta dan mitos tentang HIV. b. Penilaian risiko untuk membantu klien memahami faktor risiko. c. Menyiapkan klien untuk pemeriksaan HIV. d. Memberikan pengetahuan tentang implikasi terinfeksi HIV dan memfasilitasi diskusi cara menyesuaikan diri dengan status HIV. e. Melakukan penilaian sistem dukungan termasuk penilaian kondisi kejiwaan jika diperlukan. f. Meminta informed consent sebelum dilakukan tes HIV. g. Menjelaskan pentingnya menyingkap status untuk kepentingan pencegahan, pengobatan dan perawatan. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 31

38 Pemberian informasi dasar terkait HIV bertujuan agar klien: Memahami cara pencegahan, penularan HIV, perilaku berisiko. Memahami pentingnya tes HIV Mengurangi rasa khawatir dalam tes HIV Konselor perlu mengetahui latar belakang kedatangan klien untuk mengikuti konseling HIV dan memfasilitasi kebutuhan agar proses tes HIV dapat memberikan penguatan untuk menjalani hidup lebih sehat dan produktif. B.2. KONSELING PASCA TES HIV C. SEPERTI TELAH DIURAIKAN SECARA RINCI PADA BAB SEBELUMNYA PEMERIKSAAN LABORATORIUM HIV ATAU TES HIV Tes HIV dilakukan di laboratorium yang tersedia di fasilitas layanan kesehatan. Jika layanan tes tidak tersedia di fasilitas tersebut, maka tes dapat dilakukan di laboratorium rujukan. Metode tes HIV yang digunakan sesuai dengan Pedoman Pemeriksaan Laboratorium HIV Kementerian Kesehatan. Sebaiknya tes HIV menggunakan tes cepat HIV yang sudah dievaluasi oleh Kementerian Kesehatan. Tes cepat yang sesuai prosedur sangat layak dilakukan dan memungkinkan untuk mendapatkan hasil secara cepat serta meningkatkan jumlah orang yang mengambil hasil, meningkatkan kepercayaan akan hasilnya serta terhindar dari kesalahan pencatatan atau tertukarnya hasil antar pasien. Tes cepat dapat dilakukan di luar sarana laboratorium, tidak memerlukan peralatan khusus dan dapat dilaksanakan di sarana kesehatan primer. Tes dengan reagen ELISA biasanya dilakukan di fasilitas layanan kesehatan dengan sarana laboratorium yang lengkap dan tenaga yang terlatih dengan jumlah pasien yang lebih banyak dan tidak perlu hasil tes segera (misalnya untuk pasien rawat inap di rumah sakit) dan laboratorium rujukan. Pemilihan antara menggunakan tes cepat HIV atau tes ELISA harus mempertimbangkan faktor tatanan tempat pelaksanaan tes HIV, biaya dan ketersediaan perangkat tes, reagen dan peralatan; pengambilan sampel, transportasi, SDM serta kesediaan pasien untuk kembali mengambil hasil. 32 Pedoman Konseling dan Tes HIV

39 Dalam melaksakan tes HIV, perlu merujuk pada alur Tes sesuai dengan pedoman nasional pemeriksaan yang berlaku dan dianjurkan menggunakan alur serial. Tes HIV secara serial adalah apabila tes yang pertama memberi hasil nonreaktif atau negatif, maka tes antibodi akan dilaporkan negatif. Apabila hasil tes pertama menunjukkan reaktif, maka perlu dilakukan tes HIV kedua pada sampel yang sama dengan menggunakan antigen dan/atau dasar tes yang berbeda dari yang pertama. Perangkat tes yang persis sama namun dijual dengan nama yang berbeda tidak boleh digunakan untuk kombinasi tersebut. Hasil tes kedua yang menunjukkan reaktif kembali maka di daerah atau di kelompok populasi dengan prevalensi HIV 10% atau lebih dapat dianggap sebagai hasil yang positif. Di daerah atau kelompok prevalensi rendah yang cenderung memberikan hasil positif palsu, maka perlu dilanjutkan dengan tes HIV ketiga. WHO, UNAIDS dan Pedoman Nasional menganjurkan untuk selalu menggunakan alur serial tersebut karena lebih murah dan tes kedua hanya diperlukan bila tes pertama memberi hasil reaktif saja. Indonesia dengan prevalensi HIV dibawah 10% menggunakan strategi III dengan tiga jenis reagen yang berbeda sensitifitas dan spesifitas-nya. Dalam melakukan tes HIV dari alur tersebut direkomendasikan untuk menggunakan reagen tes HIV sbb: Reagen pertama memiliki sensitifitas minimal 99% Reagen kedua memiliki spesifisitas minimal 98%. Reagen ketiga memiliki spesifisitas minimal 99%. Kombinasi tes HIV tersebut perlu dievaluasi secara nasional sebelum digunakan secara luas. Tes HIV harus disertai dengan adanya sistem jaminan mutu dan program perbaikannya untuk meminimalkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Jika tidak maka klien/pasien akan menerima hasil yang tidak benar dengan akibat serius yang panjang. Jaminan mutu juga diperlukan untuk kualitas konseling. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 33

40 Bagan 2. Alur Tes Laboratorium HIV Strategi III A1 (Tes I) A2 (Tes II) A1 + A1 - Laporkan Negatif A1 + A2 + A1 + A2 - Ulangi A1 dan A2 A1 + A2 + A1 + A2 - A1 - A2 - Laporkan Negatif A3 (Tes III) A1+ A2+ A3+ A1+ A2+ A3 - A1+ A2- A3+ A1+ A2 A3- Laporkan Positif Indeterminate Risiko Risiko Tinggi Rendah Indeterminate Negatif Keterangan: A1, A2 dan A3 merupakan tiga jenis tes antibodi HIV yang berbeda. 10) Spesimen darah yang tidak Reaktif sesudah tes cepat pertama dikatakan sebagai sero negatif, dan kepada klien disampaikan bahwa hasilnya negatif. Tidak dibutuhkan tes ulang. 34 Pedoman Konseling dan Tes HIV

41 11) Spesimen darah yang sero-reaktif pada tes cepat pertama membutuhkan tes ulang dengan tes kedua yang mempunyai prinsip dan metode reagen yang berbeda. 12) Bila hasil tes pertama Reaktif dan hasil tes kedua Reaktif maka dikatakan hasilnya positif. perlu dilanjutkan dengan testing cepat ketiga. 13) Apabila ketiganya Reaktif maka dikatakan positif. 14) Apabila dari ketiga tes cepat salah satu hasilnya non Reaktif maka dikatakan tidak dapat ditentukan/indeterminate. 15) Bila setelah tes kedua salah satunya non Reaktif dan dilanjutkan dengan tes ketiga hasilnya juga non Reaktif maka dikatakan hasilnya tidak dapat ditentukan/indeterminate. 16) Hasil yang dikatakan positif tidak diperlukan tes konfirmasi pada laboratorium rujukan. 17) Hasil yang tidak dapat ditentukan/indeterminate perlu dilakukan konfirmasi dengan WB (Western Blot). 18) Bila tetap indeterminate setelah dua belas bulan maka dapat dikatakan hasilnya negatif. Tes virologi yang lebih canggih dan mahal hanya dianjurkan untuk diagnosis anak umur kurang dari 18 bulan dan perempuan HIV positif yang merencanakan kehamilan. Tes HIV untuk anak umur kurang dari 18 bulan dari ibu HIV-positif tidak dibenarkan dengan tes antibodi, karena akan memberikan hasil positif palsu. Tes darah dengan tujuan untuk diagnosis HIV harus memperhatikan gejala atau tanda klinis serta prevalensi HIV di wilayah tempat tinggal atau kelompok, seperti terpapar pada Tabel 1 di halaman 9. Konseling Pasca, semua klien yang telah menjalani tes HIV harus menerima konseling pasca tes tanpa memandang apapun hasilnya. Konseling pasca tes adalah konseling untuk menyampaikan hasil tes kepada klien secara individual guna memastikan klien/pasien mendapat tindak lanjut yang sesuai dengan hasil terkait dengan pengobatan dan perawatan selanjutnya. Hal tersebut dilakukan untuk membantu klien/pasien memahami dan menyesuaikan diri dengan hasil pemeriksaan. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 35

42 C.1. KONSELING KEPATUHAN (ADHERENCE) Terapi ARV merupakan terapi yang kompleks dengan medikasi yang lebih dari satu macam dan diminum untuk jangka panjang, seumur hidup. Adherence yang efektif untuk terapi ARV adalah sebesar lebih dari 95%, karena itu minum obat harus tepat dosis, tepat waktu dan tepat cara. Kuran patuh minum obat akan membuat ODHA resisten terhadap terapi (obat) dengan konsekuensi dapat menularkan virus yang resisten kepada orang lain. Konselor bertugas menerapkan konseling dukungan kepatuhan dan menyampaikan cara kerja dasar obat ARV, terjadinya kegagalan terapi dan cara menghindarkan diri dari ketidak patuhan, serta cara yang mudah mengakses obat ARV lini. C.2. KOMUNIKASI PERUBAHAN PERILAKU Beberapa unsur penting dalam komunikasi perubahan perilaku adalah: a. Penilaian risiko dan kerentanan. Klien perlu menilai risiko dirinya akan infeksi HIV dan beberapa hambatan yang dapat terjadi dalam proses perubahan perilaku. b. Penjelasan dan praktik keterampilan perilaku aman. Pesan pencegahan, penggunaan kondom, dan jarum bersih harus ditekankan guna memotivasi klien terhadap kebutuhan, kepercayaan, kepedulian dan kesiapan klien untuk hidup lebih sehat. Keterampilan berpikir kritis, mengambil keputusan dan komunikasi dapat ditingkatkan dengan mengemukakan keuntungan penggunaan kondom dan menyuntik yang aman serta mampu bernegosiasi dalam penggunaan kondom dan alat suntik. c. Membuat rencana. Dalam konseling pra maupun pasca tes, klien didorong merencanakan perubahan perilaku dengan mempertimbangkan kemampuan dan sumber daya yang tersedia. d. Penguatan dan komitmen. Dalam konseling pasca tes, konselor harus membuat kesepakatan yang jelas dan rinci tentang perencanaan klien untuk hidup lebih sehat. e. Lingkungan yang mendukung. Menciptakan lingkungan yang mendukung untuk praktik perilaku yang aman, termasuk ketersediaan pilihan jenis kondom dan alat suntik, bahan komunikasi, informasi dan edukasi (leaflet, brosur) serta layanan 36 Pedoman Konseling dan Tes HIV

43 konseling rujukan/hotline bagi individu, keluarga maupun masyarakat sekitar sangat diperlukan. C.3. KONSELING PENCEGAHAN POSITIF (POSITIVE PREVENTION) Konseling Pencegahan Positif merupakan konseling yang dilakukan pada orang yang terinfeksi HIV dengan maksud : Mencegah penularan HIV dari orang yang terinfeksi HIV ke orang lain Mencegah penularan infeksi ulang HIV dan infeksi lain (termasuk IMS) pada orang yang terinfeksi HIV Meningkatkan kualitas hidup orang yang terinfeksi HIV Prinsip umum Pencegahan Positif: a. Didasarkan pada perspektif dan realita orang yang terinfeksi HIV. b. Orang yang terinfeksi HIV mempunyai hak seksualitas, oleh karena itu dibutuhkan informasi yang rinci tentang seksualitas. c. Difokuskan pada komunikasi, informasi, dukungan dan perubahan kebijakan, tanpa stigmatisasi dan diskriminasi. d. Membutuhkan keterlibatan dan partisipasi bermakna orang yang terinfeksi HIV. e. Perlu menyertakan organisasi layanan HIV, kelompok dukungan dan LSM ke dalam program penanggulangan HIV. f. Menjunjung hak asasi manusia, termasuk hak hidup sehat, hak seksualitas, privasi, konfidensialitas, informed consent dan bebas dari diskriminasi. Di samping itu juga memenuhi kewajiban dan tanggung jawab untuk tidak mencelakakan orang dengan cara tidak menularkan HIV. g. Penularan HIV diperbesar oleh ketidak setaraan gender, posisi tawar, seksualitas, pendidikan, ketidaktahuan status HIV dan tingkat ekonomi. h. Menuntut tanggung jawab bersama dalam upaya menurunkan tingkat penularan. Keterbukaan, informasi dan komunikasi tentang seksualitas dan hubungan seks bisa menjadi cara untuk menurunkan penyebaran HIV lebih lanjut kepada pasangan atau orang lain Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 37

44 i. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. C.4. KONSELING GAY,WARIA, LESBIAN DAN PEKERJA SEKS Konselor perlu mendiskusikan orientasi seksual klien dalam menurunkan risiko penularan. Penggunaan kondom mutlak diperlukan pada setiap hubungan seksual vaginal, anal, maupun oral. Waspadai adanya infeksi menular seksual dan diskusikan serta rujuk untuk terapi. Infeksi dapat terjadi pada mulut, vagina, anus, penis dan mukosa/kulit disekitarnya Pendekatan mental emosional atas hubungan seksual, relasi individu dengan pasangannya serta keluarganya terkait beban mental sangat diperlukan karena faham dan perilaku tidak sesuai dengan norma/kepercayaan masyarakat. Klien biasanya akan merasa : perasaan bersalah, perasaan dikucilkan insekuritas hubungan pasangan yang membuat klien lebih sensitif, rentan terhadap gangguan mental emosional rasa penerimaan diri dan ambiguitas, terhadap peran gender, peran hidupnya dalam masyarakat C.5. KONSELING HIV PADA PENGGUNA NAPZA Dalam konseling HIV ini konselor memiliki tugas sebagai berikut: Mengkaji dan mendiskusikan penggunaan Napza yang memperberat terjadinya gangguan pikiran dan perasaan dan akan menghambat kemampuan penurunan pencegahan Mendiskusikan tentang interaksi silang antara Napza yang digunakan, ARV, obat infeksi dan farmakoterapi lain yang digunakan dalam pengobatan (termasuk metadon, buprenorfina dan obat-obat psikiatri) Mendiskusikan strategi pengurangan risiko dari hubungan seksual, dan penggunaan alat suntik bersama (termasuk kapas swab, sendok, dan lainnya) terkait penggunaan napza Mendiskusikan strategi penurunan penularan lewat pembuatan tato, dan penindikan bagian tubuh. 38 Pedoman Konseling dan Tes HIV

45 Mendorong klien untuk mengikuti terapi rehabilitasi Napza sesuai jenis zat yang digunakannya, seperti terapi rumatan metadon atau buprenorfina untuk mereka yang ketergantungan opioida, atau terapi lainnya termasuk yang berorientasi abstinensia melalui program rehabilitasi rawat inap jangka panjang. Mengkaji permasalahan lain yang dialami klien, seperti gangguan kejiwaan, masalah legal, ketiadaan dukungan keluarga/sosial, dan permasalahan lain yang dapat menghambat adanya perubahan perilaku. Melakukan rujukan kepada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) baik secara internal ataupun eksternal. C.6. KONSELING PASANGAN Pasangan yang dimaksud adalah suami/isteri/pasangan seksual tetap atau yang berencana untuk melakukan hidup bersama. Secara ideal konseling ini dilakukan kepada pasangan tersebut secara sekaligus dan bukan pada individu satu persatu. Bilamana memungkinkan kedua individu tersebut dihadirkan dalam membicarakan masalah bersama. Dalam situasi tidak dimungkinkan kehadiran keduanya, seperti kehadiran pasangan mengancam dari pasangan satunya, maka konseling dapat dilakukan secara individual terlebih dahulu kemudian dihadirkan bersama apabila situasi sudah kondusif. Konseling pasangan merupakan layanan ketika pasangan dan klien datang untuk melaksanakan pemeriksaan bersama atau sebagai konseling berkelanjutan pada saat membuka status. Tugas konselor dalam konseling ini adalah : Mengkaji dan mendiskusikan permasalahan dan risiko tentang perilaku seksual, IMS dan HIV. Memfasilitasi pembelajaran bersama, praktik seksual yang aman dan saling bertanggung jawab satu atas lainnya. Mengkaji dan mendiskusikan penerimaan pasangan atas status yang sama-sama positif maupun diskordan. Membantu menurunkan kecemasan pasangan dan mencegah saling menyalahkan. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 39

46 Memfasilitasi pasangan untuk bersama-sama membuat rencana masa depan, saling menguatkan, saling memahami dan mendukung. Pesan yang diberikan: o Secara ideal hendaknya pasangan telah mengetahui statusnya terlebih dahulu sebelum membina hubungan. o Jika keduanya negatif, jaga agar tetap negatif. o Jika keduanya positif, tetap melakukan seks aman agar tidak saling menularkan. o Jika salah satu positif dan lainnya negatif (diskordan), konselor mendiskusikan strategi agar tidak terjadi penularan o Dorong klien agar tidak menghakimi pasangan. Dalam konseling pasangan, permintaan izin pemeriksaan secara individual tetap perlu dilakukan. Isi konseling biasanya menyangkut : 1. Relasi dan komunikasi pasangan 2. Saling menguntungkan dengan saling tahu status HIV 3. Relasi seksual dan pengaruh mental emosional mereka 4. Perencanaan kehamilan 5. Perencanaan keluarga (karier, pengasuhan dan pendidikan serta masa depan anak, sosial ekonomi) 6. Hubungan dengan keluarga besar (mertua, menantu, ipar) C.7. KONSELING KELUARGA Keluarga adalah lingkungan dimana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah atau kelompok sosial terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu dan terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. Konseling keluarga membutuhkan kompetensi khusus karena harus dapat mengakomodasi kebutuhan dan karakteristik dari masingmasing anggota keluarga. Yang dimaksud konseling keluarga dalam pedoman ini lebih dititik beratkan pemberian informasi dan edukasi bagi keluarga ODHA. Konselor dapat memulai pembicaraan dengan mengangkat permasalahan status salah satu atau lebih tentang status. 40 Pedoman Konseling dan Tes HIV

47 Hal-hal yang dibahas dalam konseling keluarga adalah: 1. Tingkat pengetahuan mengenai HIV dari masing-masing anggota keluarga 2. Komunikasi dan relasi dalam keluarga, peran anggota keluarga ketika mereka menghadapi sebuah persoalan, termasuk apabila salah satu atau lebih memiliki status HIV positif 3. Peran dari masing-masing anggota keluarga dalam mendukung odha di keluarga dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi penularan, stigma dan diskriminasi 4. Upaya keluarga dalam menghadapi stigma dan diskriminasi dari pihak luar (pihak ketiga) 5. Rujukan pada profesional apabila dibutuhkan penanganan lebih lanjut. C.8. KONSELING PADA KLIEN/ PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA Yang dimaksud dengan gangguan jiwa adalah berbagai gangguan yang dikarakteristikkan oleh beberapa kombinasi pola pikir, emosi, perilaku dan hubungan dengan orang lain yang abnormal. Hal ini mencakup gangguan jiwa ringan seperti kecemasan, gangguan tidur dan depresi sampai gangguan jiwa berat seperti skizofrenia, gangguan depresi mayor, gangguan bipolar dan gangguan jiwa lainnya. Ruang lingkup yang dibahas dalam pedoman ini adalah klien/pasien dengan gangguan jiwa ringan.untuk gangguan jiwa berat harus dilakukan rujukan kepada layanan psikiatri yang tersedia di wilayah masing-masing. Hal-hal yang dapat dilakukan pada klien/pasien dengan gangguan jiwa ringan : 1. Mengkaji derajat gangguan jiwa ringan yang dialami klien/pasien atas status HIVnya baik yang hasil positif maupun negatif 2. Mengkaji perilaku berisiko terkait kejiwaan seperti keinginan bunuh diri/membunuh orang lain, menarik diri dari lingkungan sosial, kabur dari rumah atau perilaku agresif 3. Mendiskusikan strategi untuk mengatasi perilaku berisiko di atas, misalnya melakukan relaksasi, membuat buku harian, Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 41

48 berbagi perasan dan pikiran dengan anggota keluarga/teman dekat atau kelompok dukungan 4. Apabila dibutuhkan, memfasilitasi klien/pasien untuk mengakses farmakoterapi sesuai dengan kondisi terkait kepada dokter. C.9. KONSELING PADA WARGA BINAAN PEMASYARAKATAN Konseling bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) umumnya berjalan dalam format konseling individual. Konseling dapat dilakukan oleh konselor atau petugas kesehatan yang terlatih konseling. WBP pada umumnya mengalami gangguan jiwa ringan, terutama bila kondisi lapas/rutan melebihi kapasitas atau tidak terdapat program pengembangan diri yang berkesinambungan. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling bagi WBP : 1. Mengkaji permasalahan yang dialami oleh WBP terkait perilaku berisiko HIV maupun gangguan jiwa 2. Mendiskusikan strategi pengurangan risiko penularan HIV, termasuk mendorong penerapan praktek perilaku seks dan atau penggunaan Napza yang aman apabila yang bersangkutan aktif berhubungan seks atau menggunakan Napza 3. Mendiskusikan strategi mengatasi stres yang mungkin dialami selama berada di lapas/rutan 4. Memberikan informasi dimana klien/pasien dapat mengakses layanan selepas dari lapas/rutan C.10. KONSELING PENYINGKAPAN STATUS Yang dimaksud dengan penyingkapan status adalah memberitahukan status HIV kepada orang lain terkait tindak lanjut yang bermanfaat. Penyingkapan status dalam banyak hal menguntungkan klien agar ia mendapat dukungan dalam proses pemulihan kesehatannya. Pada kasus dimana klien menolak menyingkap status HIV pada pasangannya, biasanya karena takut terjadi tindak kekerasan. Isu penyingkapan status perlu didiskusikan pada konseling pra tes atau KIE sebelum konseling. Tujuan dari penyingkapan status adalah: 42 Pedoman Konseling dan Tes HIV

49 a. Memungkinkan pasangan mempunyai akses dini ke layanan terapi dan perawatan b. Menurunkan risiko penularan HIV c. Mencegah infeksi berulang dan IMS d. Mencegah resisten terhadap pengobatan Hal-hal yang menjadi perhatian utama dalam konseling penyingkapan status: 1. Cara klien menyingkapkan statusnya: apakah akan dilakukan sendiri oleh klien atau dimediasi melalui konseling pasangan dengan melibatkan konselor 2. Resistensi klien dalam menyingkapkan statusnya: gali lebih dalam apa yang menjadi penghambat utama dalam menyingkapkan statusnya, termasuk dalam hal ini adalah apabila klien mengalami kekerasan domestik. Akomodasi permasalahan tersebut dengan menyajikan keuntungan penyingkapan status kepada pasangan serta cara mengatasi hambatan yang dialami. 3. Strategi yang dapat dilakukan apabila klien berulangkali menolak menyingkapkan statusnya dan juga menolak mempraktekkan perilaku yang aman. Penolakan yang terus dilakukan walaupun telah berulangkali dilakukan konseling, dapat disiasati melalui pertemuan kelompok. Keberadaan klien bersama dalam kelompok dukungan sebaya (KDS) dapat menginspirasi/memotivasi yang bersangkutan untuk belajar dari anggota kelompok lain terkait pengalaman mereka dalam menyingkapkan statusnya. C.11. KONSELING PALIATIF DAN DUKA CITA Perawatan paliatif (Palliative care) atau layanan paliatif merupakan pendekatan guna memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya ketika menghadapi masalah terkait penyakit yang mengancam kehidupan melalui pencegahan dan pengurangan penderitaan dengan cara mengenali secara dini, menilai perjalanan dan terapi nyeri serta masalah lainnya, baik fisik, psikososial dan spiritual (WHO 2002). Tujuannya perawatan paliatif adalah membantu pasien memaksimalkan kualitas dan mengendalikan martabat hidupnya Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 43

50 sebelum meninggal dunia. Pendekatan dilakukan secara aktif, holistik, terfokus pada pasien dan ditangani oleh profesi multidisiplin. Hal-hal yang dapat dilakukan dalam konseling paliatif dan duka cita adalah: 1. Penekanan pada mendengar aktif, terutama atas berbagai bahasa tubuh yang ditampilkan klien. 2. Beri dukungan atas berbagai hal positif yang telah dilakukan klien selama ini. Apabila klien terus menerus didera perasaan negatif, bimbing klien untuk mengingat hal yang positif. 3. Akomodasi berbagai pertanyaan seputar kematian, dimana pembahasan dapat diarahkan sesuai dengan keyakinan klien. 4. Beri dukungan klien apabila yang bersangkutan tidak memperoleh dukungan keluarga/sosial yang cukup menjelang kematiannya. Yakinkan bahwa klien tidak pernah sendiri di dunia ini. C.12. KONSELING GIZI Konseling gizi diberikan pada ODHA dan OHIDA. Konseling gizi memberikan layanan untuk gizi dalam hidup sehat, gizi sesuai stadium penyakit, gizi pada pemakaian ARV, dan gizi pada ODHA dengan IO. Jika diperlukan, dapat dilakukan rujukan kepada ahli gizi. C.13. ISU GENDER DALAM KONSELING Istilah gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya, psikologis dan aspek non biologis lainnya. Istilah seks secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi dan juga jenis kelamin. Aspek biologi meliputi perbedaan anatomi fisiologi tubuh termasuk sistem reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Dalam TKHIV, maka konselor perlu memperhatikan isu gender untuk merespon hal-hal sebagai berikut: Posisi tawar yang rendah pada perempuan terhadap laki-laki terutama dalam menerapkan perilaku yang aman. Perhatian 44 Pedoman Konseling dan Tes HIV

51 khusus perlu diberikan terhadap perempuan pekerja seks terhadap pelanggan dan pasangannya. Stigma, diskriminasi dan kriminalisasi terhadap pekerja seks Laki-laki pelanggan pekerja seks yang terjebak dan mempertahankan mitos kejantanan/keperkasaan. Stigma dan diskriminasi oleh petugas layanan kesehatan termasuk konselor. Pemahaman gender yang keliru dan dibawa dalam relasi seksual D. MASALAH ETIK LAIN D.1. KETIDAKMAMPUAN UNTUK MEMBUAT KEPUTUSAN Dalam keadaan klien tidak mampu membuat keputusan misalnya gangguan jiwa berat atau hendaya kognitif, dan secara nyata klien berperilaku berisiko menularkan HIV, maka persetujuan tes HIV dapat dimintakan kepada orang yang secara hukum berhak untuk memberikan persetujuan tersebut. Dalam hal orang dewasa maka persetujuan dapat dimintakan kepada suami/isteri sah, anggota keluarga langsung seperti orang tua dan anak. Namun harus dipastikan bahwa keperluan tes HIV tersebut hanya dilaksanakan berdasarkan semata-mata untuk kepentingan pasien. Anak dan remaja di bawah umur secara hukum (pada umumnya <18 tahun), belum punya hak untuk membuat/memberikan persetujuan (informed-consent) kecuali bagi mereka yang sudah menikah. Namun mereka punya hak untuk terlibat dalam semua keputusan yang menyangkut kehidupannya dan mengemukakan pandangannya sesuai tingkat perkembangan umurnya. Dalam hal ini diperlukan informed-consent dari orang tua atau wali/pengampu. D.2. KESESUAIAN DENGAN BUDAYA Layanan TKHIV harus sensitif dan disesuaikan dengan kepentingan klient (client oriented), termasuk budaya, bahasa, jenis kelamin, orientasi seksual, usia, tingkat perkembangan mental, alasan untuk melakukan tes HIV dan sebagainya. Perihal tersebut harus menjadi perhatian dan pertimbangan ketika merancang program dan Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 45

52 membangun layanan TKHIV beserta jejaring rujukan yang bersahabat untuk meningkatkan penerimaan oleh masyarakat dan selanjutnya meningkatkan pemanfaatannya. D.3. KONFIDENSIALITAS BERSAMA Dalam banyak hal berbagi informasi tentang status HIV dengan pasangan, keluarga, teman terpercaya, anggota komunitas dan staf medis akan sangat menguntungkan klien dan keluarganya dan harus terus dianjurkan sesuai keadaan. Namun demikian seorang konselor harus selalu mengigat beberapa hal berikut: Berbagi informasi tentang status HIV harus selalu didiskusikan dengan dan disetujui oleh klien yang bersangkutan dan harus menginformasikan klien kepada siapa informasi tersebut akan diberikan. Informasi hanya akan diberikan kepada pihak yang langsung berhubungan dan bertanggung jawab akan kesinambungan perawatan klien Status HIV tidak pernah akan disingkapkan kepada atasan klien kecuali atas permintaan klien secara tertulis. Pembahasan tentang konfidensialitas bersama harus menjajagi kendala yang dihadapi klien dalam menyingkap status HIVnya. Bila klien menghadapi risiko pelecehan atau tindakan kekerasan dalam hubungan pribadi dengan seseorang atau keluarganya, maka tidak boleh dipaksa untuk menyingkap statusnya kepada orang tersebut dan hendaknya dirujuk ke layanan yang menyediakan dukungan. D.4. PENGENDALIAN INFEKSI Semua petugas kesehatan harus menerapkan kewaspadaan standar sebagai upaya pengendalian infeksi, tanpa memandang status HIV klien yang dihadapi. Para penyelenggara layanan harus menyediakan dan mengupayakan lingkungan kerja yang memungkinkan penerapan kewaspadaan standar untuk meminimalkan risiko terjadinya pajanan HIV okupasional. Pedoman tatalaksana pasca pajanan okupasional harus tersedia dan dipahami oleh semua pegawai. Diperlukan penerapan secara 46 Pedoman Konseling dan Tes HIV

53 nondiskriminatif, ketersediaan fasilitas tes HIV, jaminan konfidensialitas, dan akses pada pengobatan profilaksis pasca pajanan (PPP). Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 47

54 BAB V. RUJUKAN DAN TINDAK LANJUT PASCA TES HIV A. RUJUKAN KE LAYANAN PDP DAN LAYANAN LAIN YANG DIBUTUHKAN Rujukan merupakan proses ketika klien membutuhkan layanan spesifik di samping layanan konseling. Rujukan merupakan komponen penting pada TKHIV. Semua pasien yang telah terdeteksi terinfeksi HIV harus dirujuk ke layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Mereka berhak mendapatkan akses layanan tersebut, oleh karenanya petugas wajib melaksanakan rujukan tersebut. Dalam merujuk klien lakukanlah pemberian informasi tentang pihak yang dapat dihubungi dan alamatnya, waktu dan cara menghubunginya. Petugas dalam jejaring rujukan sebaiknya saling berkomunikasi secara rutin termasuk bila ada perubahan petugas sehingga rujukan dapat berjalan secara lancar dan berkesinambungan. Rujukan dapat berupa: Internal: rujukan kepada layanan lain yang ada pada fasilitas layanan kesehatan yang sama. Eksternal: rujukan kepada berbagai sumber daya yang ada di wilayah tempat tinggal klien, baik yang dimiliki oleh pemerintah ataupun masyarakat. Layanan TKHIV harus terhubung dalam jejaring layanan HIV-IMS komprehensif berkesinambungan dengan sistem rujukan dan jejaring kerja yang akan menghasilkan perbaikan akses dan retensi dalam pengobatan. Jejaring kerja yang mampu menjamin kesinambungan layanan meliputi sistem rujukan pasien dan keluarganya dari satu layanan ke layanan lainnya secara timbal balik, baik di dalam maupun di luar sistem layanan, di dalam satu tingkat layanan atau antar tingkat layanan (layanan yang berbeda strata), secara horisontal maupun vertikal. Dalam hal tersebut maka perlu dibentuk jejaring kerjasama atas dasar saling menghormati dan menghargai. 48 Pedoman Konseling dan Tes HIV

55 Contoh kesinambungan internal antar unit layanan di dalam fasyankes yang sama antara lain adalah rujukan antar layanan PDP di rawat jalan, layanan laboratorium, farmasi, TB, IMS, KIA, KB dan kesehatan reproduksi remaja. Dalam melaksanakan rujukan, perlu dipertimbangkan segi jarak, waktu, biaya, dan efisiensi. Contohnya, jika rujukan dari rumah sakit Tangerang lebih cepat ke Jakarta daripada ke Serang maka rujukan ke Jakarta dapat dilaksanakan untuk kepentingan pasien. Rujukan juga dapat terjadi antara fasyankes pemerintah dan fasyankes swasta, laboratorium pemerintah dan swasta. Dengan demikian, diharapkan jaringan kerjasama yang terjalin dapat memberikan layanan yang lebih baik kepada klien. B. KELOMPOK DUKUNGAN Kelompok dukungan dapat dikembangkan oleh Odha, Ohidha, masyarakat yang peduli HIV-AIDS dan penyelenggara layanan. Layanan ini terdapat di tempat layanan TKHIV dan di masyarakat. Konselor atau kelompok Odha akan membantu klien baik dengan hasil negatif maupun positif untuk bergabung dalam kelompok ini. Kelompok dukungan TKHIV dapat diikuti oleh pasangan dan keluarga. C. LAYANAN PSIKIATRIK Infeksi HIV dapat mencapai otak yang tampak berupa gejala psikiatrik dan neurologik, juga karena penyakit kronis yang dapat menimbulkan beban psikologik bagi pasien maupun keluaraga. Pengguna Napza mempunyai gangguan psikiatrik lain atau gangguan mental berat. Pada saat menerima hasil positif tes HIV, walaupun telah dipersiapkan lebih dulu dalam konseling pra tes dan diikuti konseling pasca tes, klien dapat mengalami goncangan jiwa yang cukup berat seperti depresi, gangguan panik, kecemasan yang hebat atau agresif dan risiko bunuh diri. Bila keadaan tersebut terjadi, maka perlu dirujuk ke fasilitas layanan psikiatri. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 49

56 BAB VI. PENCATATAN DAN PELAPORAN Komponen penting dalam pelaksanaan dan tatakelola TKHIV adalah Monitoring dan Evaluasi, untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada termanfaatkan dengan efektif, layanan yang tersedia dimanfaatkan dan terjangkau secara optimal oleh masyarakat, kegiatan sesuai dengan pedoman nasional dan target cakupannya tercapai. Monitoring dan evaluasi dapat memantau kualitas layanan terus meningkat dan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya. Pada prinsipnya sistem M&E untuk TKHIV merupakan bagian dari sistem M&E program Pengendalian HIV-AIDS dan IMS nasional. Semua data dari fasilitas layanan kesehatan dan non-kesehatan pemerintah, LSM atau swasta penyelenggara layanan TKHIV, harus mengikuti pedoman M&E nasional dan terintegrasi dalam sistem informasi di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional, terutama dalam pengumpulan semua indikator yang terpilah dalam kelompok populasi. A. PENCATATAN Salah satu komponen penting dari monev yaitu pencatatan dan pelaporan, dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis, diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data yang dikumpulkan harus valid (akurat, lengkap dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Petugas UPK sangat berperan dalam pencatatan data secara akurat dan lengkap tersebut. Data yang perlu dicatat: 1. Data Identitas 2. Alasan tes HIV dan asal rujukan kalau ada 3. Tanggal pemberian informasi HIV 4. Informasi tentang tes HIV sebelumnya bila ada 5. Penyakit terkait HIV yang muncul: TB, Diare, Kandidiasis oral, Dermatitis, LGV, PCP, Herpes, Toksoplasmosi, Wasting syndrome, IMS, dan lainnya. 6. Tanggal kesediaan menjalani tes HIV 7. Tanggal dan tempat tes HIV 50 Pedoman Konseling dan Tes HIV

57 8. Tanggal pembukaan hasil tes HIV, dan reaksi emosional yang muncul 9. Hasil tes HIV, nama reagen ke 1, 2 dan ke Tindak lanjut: rujukan ke PDP, konseling, dan rujukan lainnya 11. Penggalian faktor risiko oleh konselor (melalui rujukan) 12. Nama petugas Formulir yang digunakan dalam layanan TKHIV sesuai dengan formulir yang berlaku dalam Pedoman Nasional Monitoring dan Evaluasi. Data layanan TKHIV diperoleh dari pencatatan dan pelaporan di UPK dan mitra terkait dengan menggunakan formulir pencatatan dan pelaporan standar. B. PELAPORAN Sistem pelaporan layanan TKHIV dibuat agar dapat melaporkan hasil dari kegiatan konseling di layanan TKHIV. Terdapat enam belas indikator yang wajib dilaporkan oleh setiap layanan TKHIV yang ada di Indonesia. Laporan layanan TKHIV membantu Kementerian Kesehatan dalam melakukan monitoring dan evaluasi terhadap layanan TKHIV yang ada. Selain itu data yang dilaporkan juga dapat dijadikan bahan perencanaan berbasis data dalam merencanakan program penanggulangan HIV di masa yang akan datang. Pelaporan layanan TKHIV dimulai dari laporan bulanan dari setiap layanan TKHIV yang ada ke dinas kesehatan di kabupaten/kota tempat layanan tersebut berada. Selanjutnya setiap bulan laporan tersebut dilaporkan kembali ke tingkat provinsi dan pusat (Subdit AIDS dan PMS) Kementerian Kesehatan. Setiap bulan laporan tersebut diberi umpan balik untuk memantau kualitas pelaporan. Formulir pelaporan dalam layanan TKHIV meliputi laporan bulanan pada unit pelayanan kesehatan (HA-UPK), kabupaten/kota (HA-Kab/Kota) dan propinsi (HA-Prov). Adapun jenis pelaporannya adalah sebagai berikut : Kode dan Jenis Pelaporan HA-UPK-1 HA-Kab/Kota-1 HA-Prov-1 Laporan Bulanan Konseling dan Tes HIV (KT) Laporan Bulanan Konseling dan Tes HIV (KT) Laporan Bulanan Konseling dan Tes HIV (KT) Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 51

58 B.1. SISTEM INFORMASI HIV-AIDS DAN IMS Perangkat lunak aplikasi pelaporan telah dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan yaitu SIHA yang merupakan sistem informasi manajemen yang digunakan untuk melakukan manajemen data program pengendalian HIV-AIDS & IMS. SIHA adalah suatu perangkat lunak aplikasi sistem informasi HIV- AIDS & IMS yang mampu menangkap data yang berasal dari UPK, dengan memanfaatkan perangkat server Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Kesehatan. Manfaat aplikasi SIHA terutama adalah : Untuk mendukung manajemen data program pengendalian HIV-AIDS dan IMS pada tingkat layanan, kabupaten/kota, provinsi dan tingkat nasional. Untuk meningkatkan kualitas informasi yang meliputi validitas, akurasi dan ketepatan waktu. Untuk meningkatkan efisiensi program dengan cara memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat. Sistem informasi dibuat sedemikian rupa untuk meminimalkan kesalahan dalam memasukkan data. SIHA TKHIV dilengkapi dengan menu yang didesain sedemikian rupa untuk menghindari kesalahan tersebut. Namun dalam sisitim ini masih terdapat berbagai kelemahan yang dapat diminimalkan dengan keakuratan informasi dari data yang ada di catatan medis klien. Kualitas semua data yang dimasukkan sangat tergantung pada keakuratan catatan medisnya. Petugas administrasi memiliki tugas untuk memasukan data ke dalam SIHA TKHIV. Apabila dalam proses entry petugas administrasi menemukan kejanggalan data klien maka proses entry terhadap klien tersebut hendaknya ditunda hingga datanya benar-benar valid. B.2. ALUR PELAPORAN Alur pelaporan berguna untuk memantau jalannya proses pelaporan. Alur ini didesain dengan konsep berjenjang agar setiap tingkat dapat merespon data yang masuk dan memberikan umpan 52 Pedoman Konseling dan Tes HIV

59 balik sebagai bagian dari sistem pelaporan. Dalam buku ini akan dibahas alur pelaporan mulai dari tingkat layanan hingga ke tingkat pusat. Bagan 4. Proses pengisian data sampai pengiriman laporan dengan menggunakan perangkat lunak aplikasi SIHA Data Pasien dicatat pada form Pasien diperiksa Pasien Data Pasien diinput kedalam sistem Pembuatan laporan bulanan / triwulanan Laporan dikirim ke dinas kesehatan kabupaten Laporan dikirim secara online kedalam sistem Laporan dikirim ke dinas kesehatan Propinsi Internet Laporan dikirim ke Pusat Pusat Data dan Informasi B.3. PROSES PELAPORAN Tiap layanan TKHIV wajib melaporkan data hasil kegiatannya sesuai format pelaporan yang tersedia setiap bulan ke Dinas Kesehatan kabupaten/kota. Laporan yang dikirimkan terlebih dahulu ditandatangani oleh Penanggung jawab Unit Pelayanan serta dibubuhi stempel dan nama jelas. Data yang diterima Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dari Unit Pelayanan akan dilakukan tabulasi dan kajian tentang capaian/kendala/masalah/ solusi untuk dilaporkan kembali ke tingkat Dinas Kesehatan Provinsi setiap bulan dengan format tersedia (lihat Lampiran) dan sudah ditandatangani Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 53

60 oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota serta dibubuhi stempel dan nama jelas. Data yang diterima Dinas Kesehatan Provinsi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dilakukan tabulasi dan kajian tentang capaian/kendala/masalah/solusi untuk dilaporkan ke Tingkat Kementerian Kesehatan khususnya Subdit AIDS dan PMS setiap bulan (lihat Lampiran), yang sudah ditandatangani oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi serta dibubuhi stempel dan nama jelas. Data yang diterima Subdit AIDS dan PMS akan dilakukan tabulasi dan kajian tentang capaian/ kendala/masalah/solusi untuk dilaporkan ke Dirjen PP&PL. 54 Pedoman Konseling dan Tes HIV

61 BAB VII. BIMBINGAN TEKNIS, PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU LAYANAN TES HIV DAN KONSELING A. BIMBINGAN TEKNIS Salah satu prinsip yang mendasari implementasi layanan TKHIV adalah layanan berkualitas guna memastikan klien mendapatkan layanan tepat dan bersahabat. Dengan supervisi dan koordinasi dari Kementerian Kesehatan, bimbingan teknis diberikan oleh mitra kerja (perhimpunan dan tim bimtek) dalam rangka menjamin layanan sesuai standar dalam Buku Petunjuk Teknis Peningkatan Mutu dan Jaminan Mutu Konseling dan Tes. Bimbingan teknis tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu dan menjamin keberlangsungan standar pelayanan TKHIV di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Data dan informasi secara cepat, tepat, akurat dan terkini melalui proses penyelenggaraan layanan TKHIV harus tersedia sehingga dapat digunakan untuk menentukan kebijakan serta untuk pengelolaan konseling dan Tes ditingkat nasional dan daerah. B. PENINGKATAN MUTU DAN JAMINAN MUTU Ruang lingkup dalam Petunjuk Teknis Bimbingan, Pengawasan dan Peningkatan Mutu Konseling dan Tes terdiri dari pengukuran Jaminan Mutu (JM) - Quality Assurance (QA) dan Peningkatan Mutu (PM) - Quality Improvement (QI). Jaminan mutu dan peningkatan mutu terdiri dari penatalaksanaan layanan konseling dan tes, perangkat jaminan mutu bagi konselor atau pertugas kesehatan terlatih konseling HIV, jaminan mutu teknis laboratorium, survei kepuasan klien, pencatatan dan dokumentasi layanan. 1) Jaminan Mutu (JM) bertujuan untuk memastikan kegiatan yang direncanakan dalam program dilaksanakan sesuai dengan strategi, metode dan standar operasional yang berlaku sehingga dapat memberikan hasil yang diharapkan. 2) Peningkatan Mutu (PM) adalah upaya peningkatan kualitas program secara terus menerus melalui berbagai usaha perbaikan dan inovasi untuk menjawab berbagai tantangan yang ada. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 55

62 BAB VIII. JEJARING KONSELOR HIV Mengingat keberagaman latar belakang dan profesi konselor HIV dan sebarannya yang luas mencakup seluruh wilayah Indonesia terutama pada daerah yang memiliki prevalensi kasus HIV-AIDS yang signifikan, maka perlu dibangun wadah bagi konselor HIV tersebut agar dapat terus berdaya dan terbina dalam jejaring yang siap menjawab tantangan terkait TKHIV. Wadah konselor HIV ini diharapkan dapat membantu tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh petugas konselor HIV dilapangan. Wadah Konselor ini yang dinamai Perhimpunan Konselor HIV Indonesia merupakan salah satu mitra Kementerian Kesehatan yang memiliki peran strategis dalam capaian program konseling dan Pemeriksaan HIV-AIDS dimasa mendatang. Kegiatan dari perhimpunan yang terbentuk meliputi: 1) Melakukan pendataan dan peningkatan kapasitas anggota perhimpunan 2) Melakukan advokasi kepada para penentu kebijakan 3) Menyelenggarakan Musyawarah tingkat Nasional, Wilayah dan Cabang untuk menyamakan persepsi, pertukaran/pemutakhiran informasi dan masalah, akselerasi pelaksanaan program HIV-AIDS. 4) Membangun kerjasama antar lembaga terkait baik Badan Pemerintah dan swasta nasional maupun internasional yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dalam rangka pelayanan, pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS. 5) Melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat tentang berbagai upaya pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS. 6) Melakukan pendidikan, pembinaan dan pengawasan serta pengembangan profesi dalam rangka meningkatkan kualifikasi konselor HIV. 7) Melakukan inventarisasi, analisis dan distribusi data pelayanan yang dapat bermanfaat bagi peningkatan program pencegahan dan pengendalian HIV-AIDS dengan tetap menjunjung tinggi asas konfidensialitas. Teknis pelaksanaan kegiatan sesuai dengan bidang-bidang diatur lebih lanjut. 56 Pedoman Konseling dan Tes HIV

63 A. PELATIHAN, SERTIFIKASI DAN REGISTRASI Pelatihan Tes dan Konseling HIV merupakan paduan kegiatan antara pelatihan Tes dan Konseling HIV. Petugas kesehatan yang menangani pasien dan sudah mendapat perbekalan pengetahuan terkait TKHIV diharapkan menawarkan tes HIV kepada pasiennya. Seorang dinyatakan sebagai konselor HIV apabila telah mengikuti pelatihan dengan menggunakan Modul Pelatihan Konseling dan Tes terbitan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yang senantiasa diperbarui sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan perubahan peraturan perundangan serta kebijakan negara. Sertifikasi dilakukan oleh Kementerian Kesehatan/Dinas kesehatan, sesudah modul dan pelatihan diakreditasi oleh Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPPSDM) Kementerian Kesehatan. Peserta pelatihan dapat berasal dari jajaran Dinas Kesehatan, Kementerian Kesehatan, LSM, RS pemerintah dan swasta, institusi kesehatan lainnya atau mereka yang peduli HIV. Registrasi keanggotaan konselor HIV dilakukan oleh perhimpunan konselor seminat di wilayah dan pusat. Mengingat berkembangnya ilmu pengetahuan, maka setiap konselor mempunyai kewajiban meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui acara ilmiah, penyegaran, membaca buku, pelatihan tambahan, dan atau bimbingan kelompok konselor melalui supervisi klinis maupun website. Adapun ketentuan penyelenggaran pelatihan konselor HIV, sebagai berikut: 1. Sebelum melakukan kegiatan pelatihan, panitia penyelenggara harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat, sebagai langkah awal dalam rangka perencanaan pelaksanaan pelatihan. 2. Penyelenggara pelatihan memberitahukan rencana pelaksanaan pelatihan TKHIV kepada Kemenkes, Dinas Kesehatan setempat dengan tembusan ke perhimpunan konselor setempat. Perhimpunan Konselor Wilayah atau pusat melakukan koordinasi dengan Panitia penyelenggara dalam rangka seleksi calon dengan cara pengiriman form kebutuhan pelatihan kepada calon peserta latih guna menghindari: a. duplikasi atau pernah mengikuti pelatihan yang sama b. tidak berminat menjadi konselor HIV. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 57

64 Perhimpunan konselor memberikan rekomendasi mengenai calon peserta latih kepada panitia penyelenggara dengan tembusan Dinkes dan Kemenkes RI, berdasarkan hasil evaluasi form seleksi dari calon peserta latih. 3. Pada saat penyelenggaran pelatihan, perwakilan Kemenkes atau Dinkes ikut sebagai narasumber dalam penyampaian Kebijakan dan epidemiologi HIV-AIDS & IMS di Indonesia dan Rencana Tindaklanjut pengembangan layanan TKHIV. 4. Perhimpunan konselor Pusat/Wilayah menempatkan satu orang wakil dalam pelatihan untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan, menyampaikan presentasi tentang perhimpunan, melakukan pencatatan administrasi keanggotaan PKVHI yang telah dinyatakan lulus sebagai konselor HIV sebelum menerima sertifikat yang dikeluarkan oleh Kemenkes atau Dinkes. 5. Apabila dalam jangka waktu selama 1 (satu) tahun terhitung sejak dinyatakan lulus sebagai konselor tidak melakukan pelayanan konseling HIV, maka untuk memulai pelayanan konseling HIV diharuskan magang di tempat layanan konseling HIV yang difasilitasi oleh Perhimpunan Konselor setempat. 6. Pelatihan yang dilaksanakan secara terpusat dan diikuti oleh peserta dari berbagai daerah, panitia berkoordinasi dengan Kemenkes dan Dinas Kesehatan setempat. Konselor yang sudah dinyatakan lulus, daftar namanya akan dikirimkan kepada perhimpunan masing-masing wilayah. 7. Pengajuan penerbitan sertifikat pelatihan dikeluarkan oleh Kementerian kesehatan atau Dinas Kesehatan dengan menggunakan akreditasi sertifikasi yang dikeluarkan oleh BPPSDMKes. 8. Berikut kelengkapan dokumen pelatihan yang dilampirkan untuk pengajuan sertifikat : a. SK Penyelenggaraan Pelatihan TKHIV yang diterbitkan oleh panitia penyelenggara mengacu pada SK Penyelenggaraan Pelatihan Kemenkes b. Surat Pengajuan Penerbitan Sertifikat oleh Dinkes mengacu pada surat pengajuan penerbitan sertifikat dari Kemenkes c. Surat Akreditasi menggunakan akreditasi Pusdiklat, BPPSDM Kemenkes d. Jadual, Kurikulum Pelatihan Konseling dan Tes, menggunakan kurikulum Kemenkes 58 Pedoman Konseling dan Tes HIV

65 e. Kerangka Acuan Pelatihan dibuat oleh panitia penyelenggara yang memuat: Nama Pelatihan, Latar belakang, Tujuan, Penyelenggara, Sasaran, Waktu dan Tempat, Narasumber/fasilitator, Peserta, Sumber dana f. Pengisian Formulir Komponen Fasilitator yang sudah diisi sesuai Tim Fasilitator pelatihan g. Pengisian Formulir Biodata Peserta dan narasumber/fasilitator, menggunakan formulir dari Kemenkes h. Pengisian Formulir Evaluasi Fasilitator & Penyelenggaraan Pelatihan, menggunakan formulir dari Kemenkes i. Soal Pra & Pasca Pelatihan, menggunakan soal dari Kemenkes 9. Peserta sudah menyiapkan foto 4 x 6 sebanyak 2 lembar dengan latar belakang warna merah 10. Segala biaya yang timbul dari proses pembuatan sertifikat sampai distribusi akan dibebankan kepada pihak penyelenggara 11. Surat-surat dan kelengkapan dokumen pelatihan yang sudah ditandatangani dan dicap Dinas Kesehatan setempat, sudah harus diterima paling lambat 2 minggu sebelum pelatihan dimulai, kepada : Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan SDM Kesehatan (BPPSDM) Kementerian Kesehatan RI Gedung PPSDM Lantai 7, Jl. Hang Jebat Raya F3 Kebayoran Baru PO BOX 6015 JKSGM, Jakarta Tembusan kepada : Direktur PPML,Ditjen PP & PL Cq. Subdit AIDS & PMS, Kementerian Kesehatan RI Gedung B Lantai 3, Direktorat PPML Jl. Percetakan Negara No. 29 Jakarta Pusat No Tlp: , No Fax : B. DUKUNGAN BAGI KONSELOR HIV Konselor bertugas melakukan konseling pada klien. Dalam melakukan tugasnya, konselor fokus pada masalah klien dan bekerja bersama klien mencari opsi, menyusun dan melaksanakan opsi. Materi yang tertuang selama proses konseling merupakan kepercayaan klien pada diri konselor yang harus dipertahankan konfidensialitasnya. Tugas yang rutin, Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 59

66 menghadapi keluhan dan masalah, serta keadaan kesehatan klien yang fluktuatif dapat membuat konselor menjadi jenuh. Kejenuhan ini ditandai dengan: 1. Perasaan negatif dan atau perilaku negatif sebagai akibat dari ketidakberhasilannya mengatasi tekanan pekerjaannya. 2. Perasaan dan atau perilaku negatif ini menimbulkan tanda kelelahan fisik dan psikologis sehingga menurunkan produktivitas kerja. 3. Kemunculan tanda psikologik dapat terlontar berupa ucapan sinis, menyakitkan hati, ketidak mampuan empati, menghakimi dan depresi 4. Kemunculan tanda fisik dapat berupa gangguan hipertensi, gangguan jantung, menurunnya imunitas dan mudah jatuh sakit. Konselor dapat melakukan pengaliran kejenuhan dengan : Melakukan diskusi atas pekerjaan tanpa membuka konfidensialitas klien dengan konselor lainnya dalam pertemuan berkala konselor. Melakukan peningkatan kemampuan konseling dan pengetahuan lainnya. Melakukan diskusi dengan konselor senior, terutama ketika dilakukan bimbingan teknis oleh organisasi konselor atau seniornya. Melakukan libur kerja sesuai peraturan yang berlaku. Melakukan aktivitas relaksasi. 60 Pedoman Konseling dan Tes HIV

67 BAB VII. PENUTUP TKHIV merupakan pintu gerbang ke semua akses layanan HIV dan AIDS yang diperlukan, termasuk pencegahan penularan kasus baru HIV. Layanan TKHIV juga merupakan salah satu kegiatan utama dalam pengendalian HIV-AIDS yang bertujuan untuk memberikan informasi tentang HIV dan mengubah perilaku berisiko tertular HIV yang dapat diselenggarakan oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, baik terpadu di layanan kesehatan ataupun secara mandiri di masyarakat. Layanan TKHIV di Indonesia saat ini sudah banyak, namun masih perlu ditingkatkan jumlah maupun kualitasnya, sehingga makin banyak masyarakat yang dapat memeriksakan status HIVnya. Salah satu upaya yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan TKHIV adalah dengan akselerasi tes HIV atas inisiatif pemberi layanan kesehatan dan konseling (TIPK). Tes HIV baik yang atas inisiatif klien maupun atas inisiatif petugas kesehatan merupakan pendekatan dalam layanan tes HIV yang saling melengkapi. Pedoman tes HIV akan terus dimutakhirkan sesuai perkembangan pengetahuan dan teknologi di dunia. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 61

68 LAMPIRAN I. PANDUAN KOMUNIKASI DI BAWAH MERUPAKAN CONTOH KOMUNIKASI YANG DAPAT DIGUNAKAN ATAU DIKEMBANGKAN SESUAI SITUASI DAN KONDISI. 1. PENJELASAN CARA PENULARAN HIV HIV adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh. Orang yang terinfeksi HIV mungkin tidak merasa sakit pada awalnya, tetapi perlahan-lahan sistem kekebalan tubuh akan rusak. Dia akan menjadi sakit dan tidak mampu melawan infeksi. Sekali seseorang terinfeksi HIV, dia dapat menularkan virus tersebut ke orang lain. HIV dapat ditularkan melalui : Cairan tubuh yang terinfeksi HIV seperti: semen, cairan vagina atau darah selama hubungan seksual yang tidak aman. Tranfusi darah yang terinfeksi HIV. Pengguna napza suntik yang bertukar jarum suntik tidak steril. Alat tato / skin piercing. Dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya selama: kehamilan; melahirkan dan persalinan; dan menyusui HIV tidak dapat ditularkan lewat berpelukan atau berciuman, atau gigitan nyamuk. Pemeriksaan darah khusus (tes HIV) dapat dilakukan untuk mencari tahu apakah seseorang terinfeksi HIV. 2. PENAWARAN TES HIV SEBAGAI DIAGNOSTIK Tes diagnostik sebagai bagian dari proses klinis dalam menentukan diagnosis pasien. Bila ada gejala yang sesuai dengan infeksi HIV, jelaskan bahwa akan dilakukan pemeriksaan HIV dalam rangka menegakkan diagnosis. 62 Pedoman Konseling dan Tes HIV

69 Tes diagnostik HIV sebaiknya ditawarkan seperti tersebut diatas kepada semua pasien dengan kondisi seperti pada Pertimbangkan Penyakit Terkait HIV. Contoh Komunikasi: o o o Kami akan mencari penyebab penyakit Anda. Untuk mendiagnosis dan mengobati penyakit Anda, kami perlu melakukan pemeriksaan infeksi tifoid, TB dan HIV, kecuali bila Anda keberatan. penyakit anda mungkin terkait dengan HIV, kalau kita tahu, maka anda akan mendapat pengobatan yang tepat dan obat HIV tersedia gratis di Indonesia dan di sarana ini Atau dengan kalimat yang sesuai dengan budaya dan penerimaan masyarakat setempat yang intinya serupa dengan yang terkandung dalam kalimat di atas. o Anda mengalami limfadenopati; kita ingin mencari tahu penyebabnya. Agar kami dapat mendiagnosis dan mengobati penyakit anda, maka anda perlu menjalani tes TB dan HIV, oleh karena itu kami akan melaksanakan tes tersebut kecuali jika anda tidak bersedia 3. PENAWARAN TES HIV SECARA RUTIN Penawaran tes HIV secara rutin dan konseling berarti menawarkan tes HIV kepada semua pasien pengunjung layanan medis yang masih aktif secara seksual tanpa memandang keluhan utamanya. Contoh komunikasi: Salah satu kebijakan di layanan kami adalah menawarkan ke setiap pasien untuk mendapatkan kesempatan menjalani pemeriksaan HIV agar kami dapat segera memberikan perawatan dan pengobatan selagi Anda di sini dan merujuk untuk tindak lanjut setelah Anda pulang, kecuali bila Anda keberatan. Kami akan memberikan konseling dan menyampaikan hasilnya. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 63

70 4. MEMBERIKAN INFORMASI PENTING HIV Contoh komunikasi: HIV adalah virus atau kuman yang dapat merusak bagian tubuh manusia yang diperlukan untuk melindungi dari serangan penyakit. Test HIV dapat menentukan apakah Anda telah terinfeksi oleh virus tersebut. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan darah sederhana yang dapat memperjelas diagnosis. Setelah menjalani tes, kami akan memberikan layanan konseling untuk membahas lebih dalam tentang HIV/AIDS. Bila hasil tes Anda positif, kami akan memberikan informasi dan layanan untuk mengendalikan penyakit Anda. Termasuk obat antiretroviral dan atau obat lain untuk mengatasi penyakit. Di samping itu, kami akan membantu dengan dukungan dalam hal pencegahan penyakit dan membuka diri. Bila hasilnya negatif, maka kita akan lebih mengupayakan upaya agar Anda bertahan tetap negatif. ii. PENJELASAN PROSEDUR UNTUK MENJAMIN KONFIDENSIALITAS Katakan: Hasil tes HIV ini bersifat rahasia dan hanya Anda dan tim medis yang akan memberikan perawatan kepada anda yang tahu. Artinya, petugas kami tidak diizinkan untuk memberi tahukan hasil tes anda kepada orang lain tanpa seizin anda. Untuk memberitahukannya kepada orang lain sepenuhnya menjadi hak Anda. iii. MEYAKINKAN KESEDIAAN PASIEN UNTUK MENJALANI TES DAN MEMINTA PERSETUJUAN PASIEN (informed consent). Informed consent artinya pasien telah diberi informasi secukupnya tentang HIV/AIDS dan Tes HIV, sepenuhnya memahaminya dan karenannya menyetujui untuk menjalani tes HIV. Contoh komunikasi: o Kami perlu menginformasikan bahwa kami akan mengambil sampel darah anda untuk tes HIV, bagaimana pendapat anda? 64 Pedoman Konseling dan Tes HIV

71 ATAU o Kami akan melakukan tes HIV hari ini, bila anda tidak keberatan ATAU o Menurut kami Tes HIV akanmembantu kami dalam memberikan perawatan karena itu kami akan mengambil darah bila anda tidak keberatan. Apakah anda setuju? Bila pasien masih mempunyai pertanyaan, berilah informasi yang ia perlukan. Bila pasien masih ragu untuk menjalani tes HIV, maka dapat ditawarkan lagi pada kunjungan berikutnya atau bila perlu rujuklah ke layanan konseling dengan konselor terlatih untuk mendapatkan konseling pra-tes secara lengkap. Sesi konseling tersebut harus membahas kendala yang dihadapi untuk menjalani tes dan menawarkannya kembali. Bila pasien telah siap, dan memberikan perseutujannya maka pemeriksaan HIV dapat dilaksanakan dan didokumentasikan dalam catatan medis pasien. Ingat: pasien berhak untuk menolak menjalani tes HIV karena tes HIV tidak boleh dipaksakan. iv. INFORMASI TAMBAHAN Bila pasien perlu informasi tambahan, bahas keuntungan dan pentingnya mengetahui status HIVnya. Hal yang perlu disampaikan: Hasil tes akan membantu tenaga kesehatan untuk membuat diagnosis yang lebih tepat dan memastikan terapi tindak lanjut secara efektif. Bila hasil tes anda negatif, diagnosis HIV dapat disingkirkan dan memberikan konseling untuk membantu anda agar tetap negatif. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 65

72 Bila hasil anda positif, anda akan dibantu untuk melindungi diri dari re-infeksi dan mencegah pasangan anda terinfeksi Anda akan diberi perawatan dan terapi untuk mengendalikan penyakit, di antaranya: profilaksis kotrimoksasol; pemeriksaan berkala dan dukungan; pengobatan infeksi; dan terapi antiretroviral (ART) jelaskan tempat untuk mendapatkan dan cara penggunaannya. Anda akan mendapatkan tindakan untuk mencegah penularan dari ibu ke bayi, dan mendapat penjelasan agar mampu membuat perencanaan yang tepat tentang kehamilan yang datang. Kita juga akan bahas dampak psikologis dan emosional dari infeksi HIV dan memberikan dukungan untuk membuka status infeksi anda kepada orang yang menurut anda perlu mengetahuinya. Diagnosis dini akan membantu anda menghadapi penyakit ini dan merencanakan masa depan anda dengan lebih baik. v. KONSELING PENYAMPAIAN HASIL Untuk hasil tes Positif Jelaskan bahwa berarti pasien tersebut telah terinfeksi Berikan konseling pasca-tes dan dukungan Tawarkan perawatan berkelanjutan dan rencanakan kunjungan tindak lanjut Berikan nasehat pentinganya melakukan perilaku seks dengan kondom agar tidak menularkan kepada orang lain dan terhindar dari IMS lain, dan terhindar dari infeksi virus HIV jenis lain. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien Berikan saran kepada pria dewasa untuk tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah, untuk menghindari penularan kepada orang lain. Bila perlu, rujuklah pasien untuk mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan lebih lanjut, seperti kepada dukungan sebaya dan layanan khusus untuk kelompok rentan. 66 Pedoman Konseling dan Tes HIV

73 Bila hasil tes negatif Berikan kesempatan pada pasien untuk merasa lega atau bereaksi positif yang lain. Berikan konseling tentang pentingnya tetap negatif dengan cara menggunakan kondom secara benar dan konsisten, atau perilaku seksual yang lebih aman lainnya. Buat rencana pengurangan perilaku berisiko bersama pasien Apabila pajanan baru saja terjadi atau pasien termasuk dalam kelompok risiko tinggi, jelaskan bahwa hasil negatif tersebut dapat berarti tidak terinfeksi HIV atau sudah terinfeksi namun belum sempat terbentuk antibodi untuk melawan virus (disebut Periode Jendela = Window Period, 3-6 bulan). Tawarkan tes HIV ulang pada 8 minggu kemudian. Bila perlu, rujuklah pasien untuk mendapatkan layanan pencegahan dan perawatan lebih lanjut, seperti kepada dukungan sebaya dan layanan khusus untuk kelompok rentan. Bila pasien tidak ingin mengetahui hasilnya atau belum membuka hasilnya (atau belum dites) Jelaskan prosedur yang menjamin kerahasiaan. Tekankan kembali pentingnya menjalani tes dan keuntungan untuk mengetahui hasilnya. Gali kembali kendala untuk menjalani tes, mengetahui, dan membuka status (rasa takut, persepsi yang salah, dan sebagainya). Dukungan untuk membuka diri Bahas keuntungan mebuka diri. Tanya pasien apakah telah mengungkapkan hasilnya atau mau mengungkapkan hasil tersebut kepada orang lain. Bahas kekhawatiran untuk mengungkap status HIV kepada pasangan, anak dan keluarga lain, atau teman. Nilai kesiapan untuk mengungkap status HIV dan kepada siapa (mulai dengan yang paling rendah risiko). Jajagi jejaring sosial. Jajagi ketersediaan dukungan dan kebutuhan sosial (kelompok dukungan). Ajarkan cara mengungkapkan status (dengan peragaan dan latihan). Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 67

74 Bantu pasien untuk merencanakan pengungkapannya. Memotivasi kehadiran pasangan untuk mempertimbangkan tes HIV; gali hambatan untuk menjalani tes. Yakinkan kembali bahwa anda akan menjamin kerahasiaan hasil tes pasien. Bila salah satu risiko pengungkapan hasil adalah kekerasan rumah tangga, maka bantulah menciptakan lingkungan yang aman. Bila pasien tidak ingin menyingkapkan status HIV nya: Yakinkan kembali akan jaminan atas kerahasiaan hasil tes pasien. Telusuri kesulitan dan kendal pengungkapan. Atasi kekhawatiran dan kendala komunikasi - latih pasien berkomunikasi. Terus memotivasi. Bahas kemungkinan membahayakan orang lain. Hubungkan bantuan tambahan sesuai keperluan (misalnya konselor sebaya). Khusus untuk perempuan, bahas manfaat dan kerugian menyingkap hasil positif, melibatkan serta menguji HIV pasangan. Pria dalam keluarga dan masyarakat biasanya sebagai pembuat keputusan, sehingga keterlibatan mereka akan: Memberikan dampak lebih besar dalam hal penerimaan penggunaan kondom dan praktek seksual yang lebih aman untuk mecegah infeksi. Membantu mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Membantu menurunkan risiko kecurigaan dan tindak kekerasan. Membantu meningkatkan dukungan pada pasangannya. Memotivasi mereka untuk mau menjalani tes HIV. Kerugian melibatkan dan melakukan tes atas pasangan: bahaya pelimpahan kesalahan, tindak kekerasan dan pengucilan. Bila memungkinkan tenaga kesehatan hendaknya berupaya memberikan konseling pasangan secara bersama. 68 Pedoman Konseling dan Tes HIV

75 vi. PEMBERIAN EDUKASI DAN KONSELING IMS Berbicara secara pribadi, dengan cukup waktu, dan pastikan kerahasiaannya. Jelaskan: - Penyakit tersebut - Cara penularan penyakit tersebut. - Cara pencegahannya - Terapi. - Bahwa kebanyakan IMS dapat disembuhkan, kecuali HIV, herpes dan kutil kelamin. - Perlunya mengobati pasangan (kecuali untuk vaginitis): Kemungkinan pasangan seksual terakhir juga terinfeksi tetapi tidak menyadari. Bila pasangan tidak diobati, dapat mengalami komplikasi. Hubungan seksual dengan pasangan yang tidak diberi terapi, infeksi terulang. Meskipun tanpa gejala pasangan perlu diterapi, demi kesehatan pasangan dan pasien. Dengarkan pasien: apakah ada stress atau kecemasan terkait dengan IMS? Dorong perilaku seksual yang aman untuk mencegah HIV dan IMS. - Konseling untuk memiliki pasangan tetap (atau pantangan) dan memilih pasangan secara cermat. - Jelaskan cara menggunakan kondom. Beri pendidikan tentang HIV. Sarankan Konseling dan Tes HIV Pemberitahuan pasangan atau suami/istri. - Tanyakan kepada pasien: dapatkah anda melakukannya? - Tanyakan: apakah mungkin anda: Rujuk untuk konseling tentang: Perhatian pada herpes (tidak ada obatnya) Kemungkinan mandul karena infeksi panggul Penilaian perilaku berisiko Pasien yang bermitra seksual multipel Masalah yang rumit atau risikonya Membicarakan infeksi tersebut kepada pasangan? Meyakinkan pasangan anda untuk mendapatkan terapi? Membawa/mengirimkan pasangan anda ke sarana kesehatan? - Jelaskan peran anda sebagai tenaga kesehatan. Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 69

76 - Strategi untuk membahas dan memperkenalkan penggunaan kondom? - Risiko kekerasan atau reaksi stigmatisasi dari pasangan dan keluarga. vii. PENGURANGAN DAMPAK BURUK BAGI PENASUN Ketika berbicara dengan para PENASUSN, pastikan bahwa: - Berbicara secara pribadi dan jaga konfidensialitas, bila tidak, pasien tidak akan pernah kembali untuk perawatan selanjutnya. Penggunaan napza suntikan adalah ilegal dan para penasun biasanya takut bila berhubungan dengan yang berwajib - Bersikap tidak menghakimi - Bangun kepercayaan - Empati Beri edukasi tentang pencegahan - Konseling dan promosi pemakaian kondom secara konsisten untuk mencegah penularan HIV, hepatitis viral dan IMS - Pertimbangkan risiko terhadap infeksi HIV, tawarkan tes dan konseling HIV Jelaskan tentang risiko penggunaan suntikan: - HIV, hepatitis B dan C dapat ditularkan melalui pemakaian semua jenis alat suntik jarum, semprit dan kapas atau pengusap secara bergantian dengan teman - Ada banyak penyakit penyerta yang terkait dengan Penasun dan/atau penggunaan obat lain: termasuk di antaranya adalah infeksi, gangguan mental, hati, dan ginjal - Penggunaan napza dapat mempengaruhi kemampuan atau fungsi anggota tubuh dalam kehidupan sehari-hari Jelaskan tentang risiko penggunaan suntikan: - Sediakan peralatan suntik steril (jarum, semprit, cairan pelarut) dan informasi tentang cara peyuntikan yang aman bila tersedia dan mampu, bila tidak Rujuk ke program yang menawarkan alat suntik steril (jarum, semprit dan cairan pelarut) dan informasi tentang cara penyuntikan yang aman - Cara mensterilkan alat dengan bahan pemutih. Ingat cara ini hanya ditawarkan bila tidak tersedia alat suntik steril 70 Pedoman Konseling dan Tes HIV

77 - Hindari pemakaian alat suntik, pisau cukur, alat tato, dsb secara bergantian - Dorong untuk menghentikan pemakaian napza suntik Jelaskan cara penyuntikan yang aman dan cara melindungi pembuluh vena: - Lakukan disinfeksi kulit tempat suntikan; hal tersebut akan mengurangi risiko terjadinya infeksi kulit yang dalam yang dapat mengenai pembuluh vena - Pindah tempat suntikan secara reguler - Gunakan jarum/semprit baru (jarum bekas akan merusak pembuluh vena) - Kurangi frekuensi penyuntikan setiap hari/minggu Jelaskan cara menghindari terjadinya infeksi Tawarkan dan dorong untuk mengikuti program detoksifikasi/ program terapi rumatan opioid oral atau Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) Sebelum menawarkan program tersebut di atas harus sudah terjalin hubungan yang saling percaya antara tenaga kesehatan dengan kliennya yang penasun yang mungkin akan memakan beberapa waktu atau kunjungan Berikan informasi kepada pasien tentang adanya program yang akan membantunya berhenti menggunakan napza Detoksifikasi opioid/ terapi rumatan opioid (PTRM) Bila klien penasun tertarik untuk mengikutinya: rujuk ke layanan terkait Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 71

78 b. TANDA KLINIS KEMUNGKINAN INFEKSI HIV Infeksi berulang dari semua organ Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Kelainan kulit seperti prurigo, seboroik berulang Limfadenopati (PGL) pembengkakan KGB di leher dan ketiak yang tidak terasa sakit Lesi kaposi (benjolan pada kulit atau langit-langit mulut berwarna gelap atau keunguan yang tidak terasa sakit) Infeksi bakteri yang berat pneumonia Tuberkulosis paru atau ekstra paru berulang Kandidosis oral hairy leukoplakia pada mulut Ulkus di mulut atau gusi berulang Kandidosid esofageal Kehilangan berat badan lebih dari 10% tanpa penyebab yang jelas lainnya Mengalami keadaan di bawah ini selam lebih dari 1 bulan: o diare tanpa penyebab yang jelas o Demam tanpa penyebab yang jelas o Herpes simpleks (alat kelamin atau pada mulut) Indikasi lain yang mengesankan kemungkinan infeksi: o Infeksi menular secara seksual (IMS) o Pasangan atau anak: diketahui positif HIV mengidap HIV atau penyakit yang terkait dengan HIV o Kematian pasangan muda yang tidak jelas penyebabnya o Pengguna NAPZA suntikan o Pekerjaan yang berrisiko tinggi o Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual dan tinggal di daerah prevalensi tinggi 72 Pedoman Konseling dan Tes HIV

79 c. GAMBAR GEJALA-GEJALA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HIV/AIDS (sumber: Modul Pelatihan CST; Gambar 1. Pruritic Papular Eruption Gambar 2. Gambaran foto toraks TB paru pada ODHA (perhatikan infiltrat tidak khas seperti pada pasien non HIV) Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 73

80 Gambar 3. Herpez zoster labialis Gambar 4. Ulkus intraoral akibat infeksi sitomegalovirus/cmv Gambar 5. Kandidiasis oral 74 Pedoman Konseling dan Tes HIV

81 Gambar 6. Kandidiasis dengan kheilitis angularis Gambar 7. Herpes Zoster Gambar 8. Oral Hairy Leucoplakia Gambar 9. Genital warts / kutil kelamin Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 75

82 d. FORMULIR PENCATATAN DAN PELAPORAN Formulir yang digunakan dalam konseling dan tes HIV, antara lain: 1. Formulir Informed Consent 2. Formulir Catatan Kunjungan Harian 3. Formulir KTS 4. Formulir TIPK 5. Formulir Permintaan Pemeriksaan HIV 6. Formulir Pengambilan Hasil Pemeriksaan HIV 7. Formulir Laporan Hasil Pemeriksaan HIV 8. Formulir Rujukkan Klien 9. Formulir Laporan Bulanan KTS 10. Formulir Laporan Bulanan TIPK 76 Pedoman Konseling dan Tes HIV

83 i. FORMULIR 1: INFORMED CONSENT FORMULIR INFORMED CONSENT Saya yang bertanda tangan di bawah ini telah mengerti tentang HIV-AIDS, memahami prosedur pemeriksaan dan tahu segala akibat yang mungkin timbul dari diketahuinya status HIV saya, serta telah diberikan konseling dengan baik maka saya: Bersedia / Tidak bersedia diperiksa HIV Saya menyetujui untuk menjalani pemeriksaan darah HIV dengan ketentuan bahwa hasil tes akan tetap rahasia dan terbuka hanya kepada saya dan untuk tim perawatan dan pengobatan. Saya menyetujui diambil darah untuk pemeriksaan HIV dan kemudian mendiskusikan kembali hasil tes dan caracara untuk meningkatkan kualitas hidup terkait HIV-AIDS. Saya dengan ini menyetujui tes HIV. Tanda Tangan/Cap Jempol Tanda Tangan Nama Klien Nama Petugas /Konselor HIV Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 77

84 ii. FORMULIR 2: CATATAN KUNJUNGAN HARIAN BUKU KUNJUNGAN KLIEN Buku kunjungan klien dapat dibuat oleh masing-masing layanan. Tidak ada bentuk formulir khusus, mengingat buku kunjungan klien akan bervariasi tergantung dari kebutuhan informasi di setiap layanan. Dalam membuat buku kunjungan klien, minimum variabel data yang akan dikumpulkan adalah sebagai berikut: - tanggal kunjungan - No Registrasi - nama kota tinggal saat ini - nama konselor yang akan melayani No Tanggal kunjungan No rekam medis No Registrasi Kota Tempat tinggal Nama Konselor 78 Pedoman Konseling dan Tes HIV

85 i. FORMULIR 3: FORMULIR KTS Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 79

86 80 Pedoman Konseling dan Tes HIV

87 Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 81

88 ii. FORMULIR 4: FORMULIR TIPK 82 Pedoman Konseling dan Tes HIV

89 iii. FORMULIR 5: PERMINTAAN PEMERIKSAAN ANTI HIV FORMULIR PERMINTAAN PEMERIKSAAN ANTI HIV Tanggal : Kode. Klien : Sudah menandatangani persetujuan pemeriksaan Ya Tidak Klien memiliki risiko tertular HIV : Ya Tidak Klien menunjukan gejala AIDS : Ya Tidak Menyetujui pemeriksaan darah, Nama Terang Dokter Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 83

90 iv. FORMULIR 6: PENGAMBILAN HASIL PEMERIKSAAN ANTI HIV FORMULIR PENGAMBILAN HASIL PEMERIKSAAN ANTI HIV Tanggal : Kode. Klien : Tanda Tangan Nama Dokter Dibeberapa tempat formulir ini diganti dengan kartu pasien 84 Pedoman Konseling dan Tes HIV

91 v. FORMULIR 7: LAPORAN TES HIV ANTI BODI Catatan Medis Klien : - - LAPORAN TES HIV ANTI BODI Kode Klien : Tanggal : / / LAPORAN LABORATORIUM Nama Tes Hasil 1. Reaktif Non Reaktif 2. Reaktif Non Reaktif 3. Reaktif Non Reaktif HASIL AKHIR Negatif HIV Reaktif Kesimpulan : Tanda tangan yang berwenang Lokasi serta alamat dan nomor telepon harus disertakan dibawah ini. Salinan dari laporan ini tidak boleh diberikan kepada klien Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 85

92 vi. FORMULIR 8: FORM RUJUKAN UNTUK KLIEN RUJUKAN UNTUK KLIEN Tanggal Rujukkan dibuat :... /... / Rujukkan dibuat oleh :... Dirujuk kepada :... Alamat instansi yang dirujuk :... No Telefon :... No Faximile : Kepada rekan-rekan yang terhomat, Kami dari penyelenggara layanan konseling dan pemeriksaan HIV mengajukan permohonan agar klien/pasien ini mendapatkan dukungan, perawatan ataupun pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klien/pasangan. Klien/pasien ini yang sebelumnya telah mendapatkan pelayanan di konseling dan tes. Klien/pasien ini telah memberikan persetujuan untuk mendapatkan penanganan dan pelayanan lebih lanjut sebagai berikut: 1. Konseling Psikososial Lanjutan 2. Konseling untuk memulai Minum ARV 3. Pemeriksaan kesehatan dasar untuk HIV 4. Bantuan untuk perawatan di sosial di rumah dan lingkungan 5. Kelompok dukungan orang dengan HIV 6. Konseling NAPZA 7. Bantuan akomodasi 8. Lainnya, sebutkan... Catatan khusus : Tanda tangan petugas Nama No Telepon 86 Pedoman Konseling dan Tes HIV

93 Pedoman Pemeriksaan dan Konseling HIV 87

94 vii. FORMULIR 10: LAPORAN BULANAN KTS 88 Pedoman Konseling dan Tes HIV

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV - 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV

- 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV - 1 - PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN KONSELING DAN TES HIV DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e.

dan kesejahteraan keluarga; d. kegiatan terintegrasi dengan program pembangunan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota; e. Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Lebih terperinci

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL

sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL PROGRAM PENGENDALIAN HIV&AIDS KABUPATEN BANTUL sebuah tinjauan strategi dr. Abednego Dani N Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul Disampaikan di hadapan: Workshop P2 HIV&AIDS di Kabupaten Bantul 30 Mei 2011

Lebih terperinci

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DI KABUPATEN KUDUS BUPATI KUDUS, Menimbang

Lebih terperinci

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak

Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Integrasi Program PPIA (PMTCT ) di Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak Direktur Jenderal Bina Gizi dan KIA Disampaikan pada Lecture Series Pusat Penelitian HIV/AIDS UNIKA ATMAJAYA: Peranan Bidan dalam Mendukung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko

BAB II TINJAUAN PUSTAKA sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epidemi HIV/AIDS di Indonesia Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung selama 25 tahun dan sejak tahun 2000 sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi

Lebih terperinci

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR,

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, WALIKOTA DENPASAR PERATURAN WALIKOTA DENPASAR NOMOR 21 TAHUN 2011 T E N T A N G PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA DENPASAR WALIKOTA DENPASAR, Menimbang: a. b. c. bahwa dalam upaya untuk memantau penularan

Lebih terperinci

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO

BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO SALINAN BUPATI PROBOLINGGO PERATURAN BUPATI PROBOLINGGO NOMOR : 25 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KABUPATEN PROBOLINGGO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan permasalahan penyakit menular seksual termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) semakin mengkhawatirkan secara kuantitatif dan kualitatif. HIV merupakan

Lebih terperinci

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti

Jangan cuma Ragu? Ikut VCT, hidup lebih a p sti Ragu? Jangan cuma Ikut VCT, hidup lebih pasti Sudahkah anda mengetahui manfaat VCT* atau Konseling dan Testing HIV Sukarela? *VCT: Voluntary Counselling and Testing 1 VCT atau Konseling dan testing HIV

Lebih terperinci

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR,

TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR KEPUTUSAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 48 TAHUN 2004 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 3 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG

WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG WALIKOTA GORONTALO PERATURAN DAERAH KOTA GORONTALO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA

Lebih terperinci

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 106 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS

BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS 1 BUPATI SIDOARJO PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIDOARJO NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV-AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SIDOARJO, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, 1 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARANGASEM, Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I

2 2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik I BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1238, 2015 KEMENKES. Pengguna Napza Suntik. Dampak. Pengurangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 55 TAHUN 2015 TENTANG PENGURANGAN DAMPAK

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

komisi penanggulangan aids nasional

komisi penanggulangan aids nasional 1 komisi penanggulangan aids nasional Pendahuluan: Isi strategi dan rencana aksi nasional penanggulangan HIV dan AIDS ini telah mengacu ke arah kebijakan yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014. Strategi dan

Lebih terperinci

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A

W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A W A L I K O T A Y O G Y A K A R T A PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 68 TAHUN 2013 TENTANG PUSKESMAS LAYANAN SATU ATAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang : a. bahwa untuk

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 8 TAHUN 2012 TENTANG PELAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT, Menimbang :

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun

BAB I PENDAHULUAN. Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah perempuan yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai

BAB 1 PENDAHULUAN. Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah HIV-AIDS, mulai dari penularan, dampak dan sampai penanggulangannya, merupakan masalah yang sangat kompleks. Penularan HIV- AIDS saat ini tidak hanya terbatas

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN HIV / AIDS

PENANGGULANGAN HIV / AIDS RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NO 5 TAHUN 2007 TENTANG PENANGGULANGAN HIV / AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG: Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem

Lebih terperinci

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015

SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 SITUASI EPIDEMI HIV DAN AIDS SERTA PROGRAM PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI DKI JAKARTA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS PROVINSI DKI JAKARTA 2015 LATAR BELAKANG DKI Jakarta merupakan salah satu provinsi di Indonesia

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 3 2009 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BEKASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG TENTANG BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 15 TAHUN 2016. TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KERANGKA ACUAN KEGIATAN

KERANGKA ACUAN KEGIATAN KERANGKA ACUAN KEGIATAN PRGRAM HIV AIDS DAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL I. PENDAHULUAN Dalam rangka mengamankan jalannya pembangunan nasional, demi terciptanya kwalitas manusia yang diharapkan, perlu peningkatan

Lebih terperinci

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014

LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 LEMBAR FAKTA HARI AIDS SEDUNIA 2014 KEMENTERIAN KESEHATAN 1 DESEMBER 2014 1. Hari AIDS Sedunia diperingati setiap tahun, dengan puncak peringatan pada tanggal 1 Desember. 2. Panitia peringatan Hari AIDS

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR... TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR... TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG SALINAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR... TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNO

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SERDANG BEDAGAI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2

Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 Kegiatan Penanggulangan HIV/AIDS Melalui Serosurvey Di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 201 Sitti Fatimah 1, Hilmiyah 2 1 Puskesmas Bulupoddo, 2 Dinas Kesehatan Kabupaten Sinjai, Sulawesi

Lebih terperinci

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM

MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM MODUL PEMBELAJARAN DAN PRAKTIKUM MANAJEMEN HIV AIDS DISUSUN OLEH TIM PROGRAM STUDI D III KEBIDANAN POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES GORONTALO TAHUN 2013 DAFTAR ISI Daftar Isi... 2 Pendahuluan... 3 Kegiatan

Lebih terperinci

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg

2017, No Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Neg No.122, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMKES. TB. Penanggulangan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 67 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);

2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); BERITA DAERAH KABUPATEN CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 SERI B.25 PERATURAN BUPATI CIREBON NOMOR 33 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN KOLABORASI TB-HIV (TUBERKULOSIS-HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS) KABUPATEN

Lebih terperinci

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome atau yang kita kenal dengan HIV/AIDS saat ini merupakan global health issue. HIV/AIDS telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABANAN NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TABANAN, Menimbang: a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. commit to user. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi Menular Seksual (IMS) merupakan salah satu penyebab masalah kesehatan, sosial dan ekonomi di banyak negara serta merupakan salah satu pintu masuk HIV. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan

BAB I PENDAHULUAN. Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Angka HIV/AIDS dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut laporan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP dan PL) Departemen Kesehatan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA, Menimbang: a.

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013

KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS. Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 KEBIJAKAN PROGRAM PENGENDALIAN HIV-AIDS DAN IMS Subdit AIDS dan PMS DITJEN PP & PL, KEMENKES KUPANG, 4 September 2013 SITUASI DI INDONESIA Estimasi Jumlah ODHA 591.823 Jumlah Kasus Jumlah HIV dan AIDS

Lebih terperinci

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN

GLOBAL HEALTH SCIENCE, Volume 2 Issue 1, Maret 2017 ISSN PENGARUH STIGMA DAN DISKRIMINASI ODHA TERHADAP PEMANFAATAN VCT DI DISTRIK SORONG TIMUR KOTA SORONG Sariana Pangaribuan (STIKes Papua, Sorong) E-mail: sarianapangaribuan@yahoo.co.id ABSTRAK Voluntary Counselling

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURBALINGGA NOMOR 9 TAHUN 2018 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian

2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Pelayanan Kesehatan adalah suatu kegiatan dan/atau serangkaian No.169, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA KESEHATAN. Reproduksi. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2014

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus HIV/AIDS bermunculan semakin banyak dan menyebar ke berbagai lapisan masyarakat dan ke berbagai bagian dunia. Di Indonesia, dilaporkan bahwa epidemi HIV dan AIDS

Lebih terperinci

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna

Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS. Astrid Wiratna Peran Psikologi dalam layanan HIV-AIDS Astrid Wiratna Psikologi dan HIV-AIDS HIV-AIDS adalah penyakit yang disebabkan oleh virus HIV Virus HIV bisa menginfeksi tubuh seseorang karena perilakunya Psikologi

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS PEMERINTAH KABUPATEN LUWU TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 7 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LUWU TIMUR, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 21.A 2010 SERI : E PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 21.A TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 03 TAHUN 2009 TENTANG PENCEGAHAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV & AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi prioritas dan menjadi isu global yaitu Infeksi HIV/AIDS. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit menular saat ini masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan merupakan penyebab kematian bagi penderitanya. Penyakit menular adalah penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Epidemi Human Immunodeficiency Virus (HIV) secara global masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Masalah kesehatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan retrovirus RNA yang dapat menyebabkan penyakit klinis, yang kita kenal sebagai Acquired Immunodeficiency

Lebih terperinci

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS BUPATI KUNINGAN PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR 8 TAHUN 2015 TENTANG Menimbang : PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN, a. bahwa penularan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) ,

PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) , PEMERINTAH KABUPATEN MIMIKA KOMISI PENANGGULANGAN AIDS Jl. KARTINI TIMIKA, PAPUA TELP. (0901) 322460, Email : kpakabmimika@.yahoo.co.id LAPORAN PELAKSANAAN PROGRAM HIV/AIDS DAN IMS PERIODE JULI S/D SEPTEMBER

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 24 HLM, LD Nomor 4 TAHUN 2013

PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 24 HLM, LD Nomor 4 TAHUN 2013 PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 2013 PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS 24 HLM, LD Nomor 4 TAHUN 2013 ABSTRAK : - bahwa penularan virus HIV dan AIDS semakin

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS

BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS 1 BUPATI BANYUWANGI PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a.

Lebih terperinci

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun

I. Identitas Informan No. Responden : Umur : tahun KUESIONER PENELITIAN PENGARUH PENGETAHUAN DAN PERSEPSI PENDERITA HIV/AIDS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TANJUNG MORAWA KABUPATEN DELI SERDANG TENTANG PENYAKIT AIDS DAN KLINIK VCT TERHADAP TINGKAT PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya

BAB 1 PENDAHULUAN. merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang secara progresif merusak sel-sel darah putih yang disebut limfosit (sel T CD4+) yang tugasnya menjaga sistem kekebalan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA BANJARBARU NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DI KOTA BANJARBARU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BANJARBARU, Menimbang: a. bahwa penularan virus HIV

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan HIV/AIDS di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan karena dari tahun ke tahun terus meningkat. Dalam sepuluh tahun terakhir, peningkatan AIDS sungguh mengejutkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang VCT adalah kegiatan konseling yang menyediakan dukungan psikologis, informasi dan pengetahuan HIV/AIDS, mencegah penularan HIV/AIDS, mempromosikan perubahan perilaku

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 4 Tahun 2016 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR. Nomor 4 Tahun 2016 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG LEMBARAN DAERAH KOTA BOGOR Nomor 4 Tahun 2016 Seri E Nomor 3 PERATURAN DAERAH KOTA BOGOR NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMMUNI DEFFICIENCY

Lebih terperinci

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH

HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH HASIL LOKAKARYA REVIEW PENANGGULANGAN HIV & AIDS PROVINSI JAWA TENGAH Upaya Penyelamatan Perempuan & Anak dari Kematian Sia-Sia Karena HIV & AIDS Bahan masukan RPJMD Propinsi Jawa Tengah TAHUN 2013-2018

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PEMERINTAH PROVINSI PAPUA PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang Mengingat : a.

Lebih terperinci

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh :

SKRIPSI. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S1 Kesehatan Masyarakat. Disusun Oleh : SKRIPSI HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN TENTANG HIV-AIDS DAN VOLUNTARY COUNSELLING AND TESTING (VCT) SERTA KESIAPAN MENTAL MITRA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK DENGAN PERILAKU PEMERIKSAAN KE KLINIK VCT DI SURAKARTA

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH KOTA PONTIANAK NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV/AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PONTIANAK, Menimbang : a. bahwa perkembangan penyebaran HIV/AIDS

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (AIDS) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG. PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG. PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HIV dan AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA, Menimbang : a. bahwa HIV merupakan virus perusak sistem kekebalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human

BAB I PENDAHULUAN. hangat dibahas dalam masa sekarang ini adalah penyakit HIV/AIDS (Human 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan masalah kesehatan global yang menjadi perbincangan masyarakat di seluruh

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH, Menimbang: a. bahwa Human Immunodeficiency Virus (HIV),

Lebih terperinci

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV

MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV MATERI INTI 1 INFORMASI TENTANG TB, HIV DAN KOINFEKSI TB-HIV POKOK BAHASAN 1 INFORMASI TB BEBAN PERMASALAHAN TB DI INDONESIA 2016* 5 Indikator Tingkat Jumlah Rate /100.000 Insidensi (pertahun) Global

Lebih terperinci

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada

Satiti Retno Pudjiati. Departemen Dermatologi dan Venereologi. Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Satiti Retno Pudjiati Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Layanan HIV PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANGGULANGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency

BAB 1 PENDAHULUAN. HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Sydrome) merupakan masalah kesehatan di dunia sejak tahun 1981, penyakit ini berkembang secara pandemi.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun Menurut BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Data kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan dari tahun 2008-2009. Menurut data per 31 Desember 2008 dari Komisi Penanggulangan AIDS Pusat, di 10 Propinsi jumlah kasus

Lebih terperinci

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan

HIV AIDS. 1. Singkatan dan Arti Kata WINDOW PERIOD DISKRIMINASI. 2. Mulai Ditemukan HIV AIDS 1. Singkatan dan Arti Kata HIV WINDOW PERIOD AIDS STIGMA ODHA OHIDHA VCT DISKRIMINASI 2. Mulai Ditemukan 1981 1987 1993 3. Cara Infeksi - Sex yang tidak aman - Napza suntik 4. Cara Pencegahan

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP

BAB V PEMBAHASAN. 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP BAB V PEMBAHASAN A. Pembahasan 1. Analisis Konteks dalam Program Skrining IMS dengan VCT di LP Wanita Klas II A Kota Malang Berdasarkan hasil evaluasi konteks program skrining IMS dengan VCT di LP Wanita

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2016 NOMOR 10 PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAGELANG NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAGELANG, Menimbang

Lebih terperinci

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia

Latar belakang, Skema & Implementasi SUFA (Strategic Use of Antiretroviral) di Indonesia Lecture Series Inisiasi Dini Terapi Antiretroviral untuk Pencegahan dan Pengobatan Oleh Pusat Penelitian HIV & AIDS Atma Jaya Jakarta, 25 Februari 2014 Pembicara: 1) Yudi (Kotex, perwakilan komunitas)

Lebih terperinci

Konseling & VCT. Dr. Alix Muljani Budi

Konseling & VCT. Dr. Alix Muljani Budi Konseling & VCT Dr. Alix Muljani Budi Konseling merupakan proses interaksi antara konselor dan klien utk memberikan dukungan mentalemosinal kepada klien mencakup upaya-upaya yang spesifik, terjangkau dan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA, Menimbang a. bahwa penularan virus HIV dan AIDS semakin

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO

PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO PEMERINTAH KOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN DAERAH KOTA PROBOLINGGO NOMOR 9 TAHUN 2005 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV / AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO, Menimbang

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROMES DI BONDOWOSO

BUPATI BONDOWOSO TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROMES DI BONDOWOSO BUPATI BONDOWOSO Salinan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNO DEFICIENCY SYNDROMES DI BONDOWOSO

Lebih terperinci

- 3 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BENGKULU. dan GUBERNUR BENGKULU MEMUTUSKAN:

- 3 - Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI BENGKULU. dan GUBERNUR BENGKULU MEMUTUSKAN: GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMMUNODEFFICIENCY VIRUS/ ACQUIRED IMMUNO DEFFICIENCY SINDROME DI PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG

BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG BERITA DAERAH KOTA SURAKARTA TAHUN 2008 NOMOR 4-A PEMERINTAH KOTA SURAKARTA PERATURAN WALIKOTA SURAKARTA NOMOR 4-A TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN HUMAN IMUNODEFICIENCY VIRUS DAN ACQUIRED IMUNODEFICIENCY

Lebih terperinci

TES DAN KONSELING HIV TERINTEGRASI DI SARANA KESEHATAN / PITC PEDOMAN PENERAPAN

TES DAN KONSELING HIV TERINTEGRASI DI SARANA KESEHATAN / PITC PEDOMAN PENERAPAN Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan tahun 2010 TES DAN KONSELING HIV TERINTEGRASI DI SARANA KESEHATAN / PITC Kementerian Kesehatan RI Direktorat

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2015 NOMOR 6 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 13 TAHUN 2013 TENTANG

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN HIV (Human Immunodeficiency Virus) virus ini adalah virus yang diketahui sebagai penyebab AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). HIV merusak sistem ketahanan tubuh,

Lebih terperinci

SOSIALISASI APLIKASI SISTIM INFORMASI HIV-AIDS & IMS (SIHA) HARTAWAN Pengelola Program PMS dan HIV

SOSIALISASI APLIKASI SISTIM INFORMASI HIV-AIDS & IMS (SIHA) HARTAWAN Pengelola Program PMS dan HIV SOSIALISASI APLIKASI SISTIM INFORMASI HIV-AIDS & IMS (SIHA) HARTAWAN Pengelola Program PMS dan HIV LATAR BELAKANG DATA DAN INFORMASI LENGKAP, AKURAT, TEPAT WAKTU PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERDASARKAN BUKTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human immunodeficiency virus (HIV) adalah suatu jenis retrovirus yang memiliki envelope, yang mengandung RNA dan mengakibatkan gangguan sistem imun karena menginfeksi

Lebih terperinci

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit!

Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Policy Brief Untuk komunitas dari komunitas: Jangan hanya di puskesmas dan rumah sakit! Pesan Pokok Perluasan cakupan perawatan HIV hingga saat ini masih terbatas karena adanya berbagai hambatan baik dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) di Indonesia terhitung mulai tanggal 1 Januari 2013 sampai dengan 30 Desember

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PEMERINTAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN HIV DAN AIDS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR NUSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN. Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Acquired Immune Deficiency Syndrome atau yang lebih dikenal dengan AIDS adalah suatu penyakit yang fatal. Penyakit ini disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan data estimasi United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS), hingga akhir tahun 2013 jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi

BAB 1 PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksi berlangsung,

Lebih terperinci