Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis"

Transkripsi

1 Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis Jamal Zaini Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Abstrak Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) merupakan salah satu bentuk penyakit akibat respons imun hiperreaktif terhadap aspergillus fumigatus tanpa disertai invasi jaringan. Kelainan ini hampir semuanya ditemukan pada penderita asma ataupun fibrosis kistik terutama yang memiliki atopi. Mekanisme yang mendasarinya saat ini masih terus diteliti. Insidens penyakit ini sangat bervariasi dan diperkirakan dapat ditemukan pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10% penderita fibrosis kistik. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi gejala klinis, pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Penemuan dini dan pemberian terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah progresivitas penyakit, kerusakan parenkim paru dan penurunan fungsi paru. (J Respir Indo. 2013; 33:191-8) Kata kunci : Allergic bronchopulmonary aspergillosis, aspergillus spp, asma, fibrosis kistik. a Allergic Bronchopulmonary Aspergillosis Abstract Allergic bronchopulmonary aspergillorsis (ABPA) is a hypersensitivity disorder induced by a fungus aspergillus fumigatus in the lung, although the precise mechanism need further exploration, this clinical entity mostly found in difficult asthma or cystic fibrosis with the prevalence around 7-18 % in asthmatics and 5-10% in cystic fibrosis. The diagnosis is based on the presence of a combination of clinical, biological and radiological criteria. Early diagnosis and appropriate therapy could decelerate disease progression. (J Respir Indo. 2013; 33:191-8) Keywords : Allergic bronchopulmonary aspergillosis, aspergillus spp, asthma, cystic fibrosis. PENDAHULUAN Aspergillus spp merupakan spesies jamur yang mudah ditemukan di seluruh penjuru dunia, namun hanya sedikit yang bersifat patogen pada manusia. Spora sangat kecil sehingga mudah terhirup ke saluran 1-4 napas yang kemudian dapat tumbuh dan berkembang. Karakteristik respons imun pejamu menentukan jenis kelainan/jenis penyakit yang akan muncul pada paparan aspergillus sehingga dikenal beberapa tipe seperti tipe safrofitik pada aspergiloma, tipe alergi pada allergic aspergillus sinusitis, allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), hypersensitivity pneumonia dan tipe invasif seperti pada aspergillosis invasive dan 3,5 chronic necrotizing pulmonary aspergillosis. Allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) merupakan salah satu bentuk penyakit akibat respons imun hiperreaktif terhadap Aspergillus fumigatus tanpa disertai invasi jaringan. Kelainan ini hampir semuanya ditemukan pada penderita asma ataupun fibrosis kistik 4-6 terutama yang memiliki atopi. Insidens penyakit ini sangat bervariasi dan diperkirakan dapat ditemukan pada sekitar 7-18% penderita asma dan 5-10% penderita fibrosis kistik. Penemuan dini dan pemberian terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah progresivitas penyakit, kerusakan parenkim paru dan 1-5 penurunan fungsi paru. PATOFISIOLOGI ABPA Patofisiologi ABPA sangat kompleks dan belum sepenuhnya diketahui. Pada pejamu yang alergi, keberadaan Aspergillus fumigatus di paru menimbulkan aktivasi sel limfosit T, sitokin, pelepasan imunoglobulin dan mengundang sel inflamasi lain. Inflamasi lokal yang terjadi dapat menyebabkan produksi mukus, 7,8 hiperreaktivitas bronkus dan bronkiektasis. Spora aspergillus sangat kecil berukuran 3-5 µm sehingga akan dapat mencapai saluran napas distal jika spora atau miselia ataupun antigen aspergillus tersebut terhirup. Mekanisme tubuh pertama kali yang berperan 191 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

2 Defence mechanism against fungal infections siga + Complement Alveolar macrophages Mucus Antigen release Antigen-presenting cells untuk mengatasinya adalah aktivasi innate immune response pada saluran napas yang terdiri dari opsonisasi oleh sistem komplemen dan siga ataupun fagositosis oleh makrofag alveolar. Seiring dengan itu, mekanisme bersihan mukosilier oleh kerja sel epitel bersilia dibantu oleh mukus juga aktif dengan membawa spora/miselia tersebut ke saluran napas atas untuk 8-10 ditelan atau dibatukkan. Spores, mycelia, antigens Airway, skin First line of defence Infiltration/fungal colonization Mucociliary clearance Lesions Second line of defence Phagocytosis IL-2, INF-g T-cell activation Killing Th1 responses (Protection) Cytokine release IL-4, IL-5 Th2 responses Gambar 1. Patogenesis ABPA Opsonization Phagocytosis Barrier (Allergy) Dikutip dari (8) Pada kelompok dengan fibrosis kistik, lapisan mukus menjadi kental dan terjadi pula disfungsi mekanisme bersihan mukosilier jalan napas sehingga mengganggu proses bersihan spora dan akhirnya spora mudah terdeposisi dan berkembang dalam saluran napas. Zat proteolitik yang dihasilkan aspergillus juga dapat mengganggu bersihan saluran napas dan merusak pertahanan sel epitel. Jika terjadi kolonisasi, aspergillus akan berkembang dan tumbuh 7,9,10 sehingga antigen yang dihasilkan semakin banyak. Sel dendritik merupakan sel utama yang mengolah dan mempresentasikan spora dan miselia antigen (antigen presenting cell). Selama proses tersebut sel dendritik akan mengeluarkan sitokin dan juga mempresentasikan antigen jamur ke sel T melalui major histocompatibility complex class II. Pada pejamu normal terjadi aktivasi sel T helper 1 (Th1) ataupun sel Th2. Respons sel Th1 ditandai dengan aktivasi makrofag dan aktivasi netrofil, juga menginisiasi produksi antibodi imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin A (IgA) yang memproteksi terhadap 9-12 infeksi aspergillus (gambar 1). Pada pejamu yang memiliki bakat alergi dapat terjadi aktivasi Th2 yang berlebihan dan menghasilkan sitokin dan imunoglobulin yang memicu terjadinya inflamasi alergi. Hal ini terjadi pada pejamu yang alergi terhadap aspergillus dan pada ABPA. Sel Th2 yang teraktivasi akan menghasilkan sitokin yang berperan memicu aktivasi respons imun alergi. Interleukin (IL) merupakan salah satu sitokin penting. Sitokin ini berhubungan dengan konversi isotipe imunoglobulin (Ig) pada sel B sehingga menghasilkan IgE, berhubungan dengan ekpresi molekul adhesi sel pada sel endotel dan molekul ligan adhesi sel vaskuler pada eosinofil dan juga ekpresi Fc reseptor IgE dan IgA pada eosinofil. Imunoglobulin E akan mengaktivasi sel mast jika mengikat antigen aspergillus, bersama dengan IL-5 kemokin yang dihasilkan sel mast akan merekrut eosinofil. Eosinofil merupakan sel yang dianggap memiliki peran penting pada ABPA. Degranulasi sel mast dan eosinofil akan memicu pelepasan mediator vasodilator dan bronkokonstriksi. Sel B dan sel T yang teraktivasi akan masuk ke dalam sirkulasi limfatik dan melepas sitokin ke sirkulasi sistemik. Interleukin-4 dalam sirkulasi sistemik akan memicu produksi IgE dan serum total IgE akan jauh meningkat melebihi kadar aspergillus-spesifik IgE. Antibodi IgE dan IgG spesifik aspergillus juga dapat dideteksi dalam sirkulasi sistemik. KARAKTERISTIK PEJAMU Banyak ahli menganggap bahwa kerentanan terhadap ABPA berhubungan dengan faktor genetik yang berkaitan dengan respons inflamasi pada kelompok atopik. Faktor genetik yang berhubungan J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli

3 Tabel 1. Gambaran radiologis yang dapat ditemukan pada ABPA Gambaran radiologis Penemuan foto toraks tersering Transient Perubahan permanen Penemuan HRCT* tersering * HRCT : High resolution computed tomography Keterangan Konsolidasi menyebar (patchy areas of consolidation) Infiltrat : toothpaste and gloved finger shadows karena impaksi mukoid dan pelebaran bronkus Kolaps baik segmental ataupun lobaris Parallel-line shadows yang menggambarkan pelebaran bronkus Ring-shadows diameter 1-2 cm menggambarkan dilatasi bronkus en face Lesi fibrosis pada lobus atas dengan kavitasi Bronkiektas sentral Mucus plugging dengan bonkosel Konsolidasi Nodul sentrilobuler dengan tree-in-bud opacities Penebalan dinding bronkus Atelektasis Perfusi mosaik dengan air trapping saat inspirasi Dikutip dari (2) Tabel 2. Kriteria diagnosis ABPA Rosenberg 1977 Revisi Rosenberg 1991 Asma Peningkatan total IgE (>1000 ng/ml) Uji kulit tipe lambat positif Eosinofilia serum (> 1 x 9 10 /L) Presipitin Infiltrat parenkim paru Bronkiektas sentral ABPA-CB (central bronchiectasis) Asma Uji kulit tipe cepat positif Peningkatan total IgE Peningkatan IgG dan IgE spesifik A. fumigatus Bronkiektas sentral ABPA-S (serologic) Asma Uji kulit tipe cepat positif Peningkatan total IgE Peningkatan IgG dan IgE spesifik A. fumigatus Tambahan Mucus plug Sputum + aspergillus Presipitin Infiltrat parenkim paru Uji kulit tipe lambat positif Dikutip dari (3) dengan munculnya ABPA misalnya human leukocyte antigen (HLA) DR-2, polimorfisme IL-10, polimorfisme IL-15, polimorfisme tumour necrosis factor (TNF), polimorfisme IL-13, polimorfisme IL-4, polimorfisme toll like receptor (TLR), polimorfisme gen surfactan protein A dan mutasi cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR). Kondisi ABPA ini terjadi umumnya pada pasien asma dan fibrosis kistik yang keduanya memiliki hubungan kuat dengan atopi. Pasien dengan ABPA ternyata juga memiliki kekerapan tinggi munculnya kondisi atopik lain seperti rinitis alergi, konjungtivitis alergi, dermatitis atopik dan hipersensitivitas terhadap makanan. Sinusitis alergi jamur merupakan salah satu respons imun alergi terhadap aspergillus. Pada awalnya ABPA dan sinusitis alergi 2,3 jamur dianggap tidak berhubungan, namun memiliki kesamaan riwayat atopi dan asma namun beberapa penelitian membuktikan hubungan antara sinusitis alergi jamur dengan ABPA. Patofisiologi sinusitis alergi jamur berhubungan dengan kelainan anatomi sinus dan hal ini menerangkan mengapa hanya sebagian kecil pasien ABPA juga memiliki sinusitis alergi jamur. Pada beberapa keadaan, ABPA berhubungan dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pasca tuberkulosis, terapi infliximab pada sarkoidosis. Kondisi ini juga dilaporkan pada sindrom hiper IgE, bronchocentric granulomatosis dan granulomatosis 2-5,15 kronik. ABPA dan asma Hubungan antara ABPA dan asma belum sepenuhnya dimengerti. Tidak jelas apakah asma meningkatkan risiko ABPA atau asma dan ABPA memiliki kesamaan predisposisi. Sekitar 25% pasien asma juga memiliki sensitisasi dengan aspergillus, (aspergillus hypersensitivity) namun hanya sebagian kecil saja yang berkembang menjadi ABPA. Diperkirakan ABPA ditemukan pada 7-18% pasien asma. Hipotesis yang berkembang adalah abnormalitas saluran napas, perubahan produksi dan susunan kimia mukus kemungkinan berperan dalam berkembangnya ABPA pada pasien asma. Mutasi gen CFTR juga ditemukan lebih banyak pada pasien asma dan ABPA tanpa fenotip fibrosis kistik. Onset ABPA biasanya muncul setelah beberapa tahun terdiagnosis sebagai asma. Insidens ABPA lebih tinggi pada dewasa 193 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

4 Tabel 3. Protokol penatalaksanaan ABPA Penatalaksanaan ABPA Glukokortikoid oral Regimen 1 Regimen 2 Follow up dan monitoring Itrakonazol oral Keterangan Prednisolon 0,5mg/kg/hari selama 1-2 minggu, kemudian selang sehari selama 6-8 minggu. Diturunkan 5-10 mg tiap 2 minggu dan dihentikan. Ulang pemeriksaan total serum IgE dan foto toraks 6-8 minggu. Prednisolon 0,75 mg/kg selama 6 minggu; 0,5 mg/kg/hari selama 6 minggu; kemudian diturunkan tiap 5mg dalam 6 minggu hingga total pemberian 6-12 bulan. Ulang pemeriksaan total IgE tiap 6-8 minggu selama 1 tahun Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, foto toraks dan pemeriksaan total serum IgE tiap 6 minggu untuk melihat respons terapi. Penurunan 35% IgE dan menghilangnya infiltrat menggambarkan respons yang baik. Peningkatan nilai IgE 2 kali dapat menunjukan eksaserbasi subklinis. Jika pasien tidak dapat dilakukan tapering off prednisolon, maka dianggap telah berkembang menjadi stadium IV. Pemberian steroid dapat dilakukan selang sehari dengan dosis minimal. Monitor efek samping seperti hipertensi dan diabetes. Kadang perlu dipertimbangkan pemberian kalsium oral ataupun bifosfonat untuk profilaksis osteoporosis. Dosis: 200 mg 2x/hari selama 16 minggu kemudian satu kali/hari selama 16 minggu. Indikasi : Kasus relaps pertama atau ABPA yang tergantung steroid. Monitor efek samping, interaksi obat, respons klinis, radiologis dan pemeriksaan IgE. Dikutip dari (2) 2,3,14,16 dibandingkan pada anak. ABPA dan fibrosis kistik Pasien dengan fibrosis kistik memiliki risiko terjadinya ABPA. Prevalensi ABPA pada fibrosis kistik meningkat terutama pada laki-laki, dewasa muda dengan fungsi paru rendah, memiliki riwayat mengi, asma atau ditemukan pseudomonas pada sputum. Atopi ditemukan pada sekitar 60% pasien fibrosis kistik dan diperkirakan ABPA ditemukan pada 5-10% pasien fibrosis kistik. Kelainan mekanisme bersihan jalan napas yang merupakan ciri khas fibrosis kistik dianggap merupakan faktor langsung penyebab ABPA walaupun 2,3,16,17 ada beberapa faktor pendukung lain. GAMBARAN KLINIS Munculnya ABPA pada pasien asma dan fibrosis kistik ditandai dengan batuk yang memburuk, mengi dan meningkatnya produksi sputum. Produksi mukus tebal dan kental sering ditemukan dan kadang sangat sulit untuk dilakukan penghisapan. Dahak yang dibatukkan dapat berupa mucus plug kental berwarna tengguli atau kecoklatan hingga kehitaman. Mukus kental tersebut terdiri dari eosinofil yang telah terdegenerasi, serpihan sel epitel dan musin. Hemoptisis dapat terjadi akibat inflamasi ataupun bronkiektasis. Gejala sistemik seperti demam subfebris, malaise dan berat badan turun dapat terjadi. Evaluasi ke arah ABPA harus dipikirkan pada pasien asma atau 2,3,5,7 fibrosis kistik dengan gejala sistemik. Laboratorium Serum IgE total di atas 1000 IU/ml merupakan tanda khas ABPA. Imunoglobulin E spesifik aspergillus juga meningkat. Dapat pula ditemukan IgG spesifik aspergillus, presipitin ataupun eosinofilia. Pemberian kortikosteroid dapat menurunkan reaksi alergi sehingga pada pasien ABPA dengan kortikosteroid sistemik dapat tidak ditemukan eosinofilia atau peningkatan total serum IgE signifikan. Pemeriksaan lain yang berguna adalah dengan skin test menggunakan antigen A.fumigatus. Pemeriksaan serum presipitin untuk menilai antibodi IgG aspergillus juga dapat dilakukan 2,3,5,9 walapun bersifat tambahan saja. Radiologi Foto toraks ditemukan perselubungan pada parenkim ataupun bronkiektasis. Infiltrat biasanya bersifat eosinofilik sehingga responsif terhadap pemberian steroid dan kadang salah diagnosis sebagai pneumonia. Gambaran perselubungan opak yang terjadi dapat diakibatkan oleh bronkosel, mucus plugging, atelektasis ataupun kolaps lobus. Computed tomography (CT) scan merupakan cara yang paling baik untuk mendeteksi semua kelainan tersebut lebih detail. Bronkiektasis sentral pada pemeriksaan high J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli

5 resolution computed tomography (HRCT) merupakan kelainan patognomonic untuk ABPA, namun tidak 2,3,18-21 semua ABPA dapat ditemukan kelainan ini. Variasi penemuan radiologis pada ABPA dapat dilihat pada tabel 1. Kultur sputum Jamur A.fumigatus dapat tumbuh pula pada pasien dengan kelainan paru karena jamur ini ditemukan dimana-mana dan mudah terhirup. Kultur sputum A.fumigatus hanya merupakan pemeriksaan tambahan saja dan bukan untuk membantu 2,3 menegakkan diagnosis ABPA. Fungsi paru Gambaran fungsi paru sangat tidak spesifik untuk membantu diagnosis ABPA karena hampir semua pasien telah memiliki kelainan paru sebelumnya. Manfaat pemeriksaan fungsi paru pada ABPA adalah memonitor perkembangan penyakit. Kadang ditemukan gambaran obstruksi reversibel parsial terutama pada ABPA ringan/awal. Jika penyakit telah progresif dapat ditemukan gambaran obstruksi menetap dan berkurangnya volume paru akibat perubahan dan kerusakan interstisial paru. Kapasitas difusi dapat ditemukan mengalami penurunan selama eksaserbasi 2,3 dan tetap rendah pada ABPA stadium akhir. DIAGNOSIS ABPA Hingga saat ini belum ada konsensus internasional berkaitan dengan kriteria diagnosis ABPA sehingga standar diagnosis kadang berbeda tiap negara. Kriteria diagnosis yang saat ini banyak dipakai adalah kriteria yang dikemukakan oleh Rosenberg- Greenberger (tabel 2). Petanda yang digunakan tidak ada yang sensitif ataupun spesifik, sehingga dibutuhkan integrasi gejala klinis, radiologis dan serologis untuk 2,3,19 menegakkan diagnosis ABPA. Jika seseorang dicurigai ABPA, diperlukan pemeriksaan serum total IgE dan uji hipersensitivitas kulit terhadap A.fumigatus. Uji kulit positif merupakan penanda sangat sensitif untuk mengetahui sensitisasi aspergillus, namun tidak spesifik untuk ABPA. Jika hasil uji kulit positif dan terjadi peningkatan IgE perlu dilakukan pemeriksaan kadar antibodi spesifik A.fumigatus. Pemeriksaan ini diperlukan untuk membedakan ABPA dengan asma sensitif aspergillus. Pemeriksaan presipitin juga dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan kadar antibodi spesifik 2,3,20 aspergillus. Alur diagnosis ABPA dapat dilihat pada gambar 2. Peningkatan kadar eosinofil merupakan gambaran primer yang sering ditemukan walaupun banyak yang sudah tidak menggunakannya lagi. Peningkatan eosinofil serum tidak sensitif dan tidak spesifik, namun jika ditemukan sangat mendukung diagnosis ABPA. Bronkiektasis sentral merupakan tanda khas ABPA, walaupun ada juga ABPA tanpa disertai bronkiektasis. Kelompok ABPA-S merujuk pada ABPA yang terdiagnosis secara serologis, sedangkan ABPA-CB (central bronchiectasis) merujuk pada ABPA dengan bronkiektasis sentral. Perbedaan ini memiliki implikasi klinis yaitu ABPA-S memiliki kemungkinan kerusakan paru permanen lebih rendah dan frekuensi eksaserbasi lebih sedikit jika dibandingkan dengan 2,3,19 ABPA-CB. Diagnosis banding Pasien asma/ fibrosis kistik Curiga ABPA jika terdapat salah satu dari parameter berikut: 1. Foto toraks atau HRCT menunjukkan infiltrat rekurens dan atau bronkiektasis sentral 2. Gejala klinis refrakter 3. Uji kulit dengan antigen Aspergillus fumigatus (AF) positif 4. Kultur sputum tumbuh jamur Aspergillus fumigatus 5. Eosinofilia perifer sangat menonjol Keduanya positif : ABPA Lakukan pemeriksaan spesifik untuk ABPA: 1. Total serum IgE > 1000 ng/ml 2. IgE atau IgG spesifik A.fumigatus Salah satu positif: Follow up/ ulang tes secara periodik Gambar 2. Alur diagnosis ABPA Keduanya negatif: Bukan ABPA Dikutip dari (2) Diagnosis banding ABPA meliputi asma refrakter, fibrosis kistik, TB, sarkoidosis, pneumonia eosinofilik, asma sensitif aspergillus, ataupun bronkogenik 195 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

6 2,3 granulomatosis. PERJALANAN KLINIS Perjalanan penyakit ABPA saat ini masih belum jelas dan sangat sulit diprediksi, namun para ahli telah membuat stadium klinis. Stadium klinis digunakan untuk klasifikasi populasi pasien, pedoman terapi dan prediksi respons terapi. Perkembangan stadium tidak selalu muncul berurutan karena perkembangan penyakit sangat bervariasi sering waktu, baik parameter klinis ataupun parameter imunologis. Hipotesis yang berkembang saat ini adalah jika penyakit ditemukan lebih dini dan diterapi lebih awal, kemungkinan 1-5 berkembangnya fibrosis paru akan makin kecil. Pada stadium I, pasien memenuhi semua kriteria diagnosis ABPA, termasuk peningkatan serum IgE dan IgG spesifik A.fumigatus. Serum total IgE mencapai puncak seiring ditemukannya infiltrat pada foto toraks, sedangkan serum IgE mencapai puncak 4 bulan kemudian. Kelompok ini biasanya sangat responsif terhadap pemberian steroid oral yang ditandai dengan perbaikan gejala klinis, perubahan radiologis, kadar IgE menuju normal. Jika perbaikan ini bertahan 6 bulan pasien dianggap masuk ke stadium II atau yang disebut fase remisi. Stadium II ini dapat bertahan dalam waktu yang tidak terbatas namun dapat muncul kembali sewaktu-waktu. Stadium III atau relaps, ditandai munculnya infiltrat baru, peningkatan kadar IgE atau rekurensi pada salah satu kriteria diagnosis setelah terjadinya remisi. Stadium IV menggambarkan kelompok pasien dengan gejala klinis dengan atau tanpa infiltrat pada foto toraks namun tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid yang ditandai dengan peningkatan kadar IgE dan antibodi A.fumigatus persisten. Usaha untuk menghentikan pemberian kortikosteroid pada stadium IV akan menimbulkan eksaserbasi. Stadium V menggambarkan sudah terjadinya fibrosis paru dan munculnya bronkiektasis luas disertai batuk kronik produktif. Kadang diperlukan pemberian kortikosteroid jangka panjang pada stadium ini. Pada kelompok ini sering ditemukan riwayat infiltrat berulang pada asma sehingga sering diberikan terapi antibiotik dan 1-5,22 kortikosteroid jangka pendek. TERAPI Tujuan terapi adalah tercapainya remisi dengan menekan inflamasi dan mencegah destruksi parenkim paru ireversibel. Belum ada pedoman dan kesepakatan internasional mengenai terapi ABPA namun secara umum terapi yang diberikan didasarkan pada stadium penyakit. Jenis terapi yang ada diantaranya pemberian kortikosteroid sistemik ataupun inhalasi, antijamur, dan antibodi monoklonal anti IgE (omalizumab). Terapi tersebut didasarkan pada kesepakatan para ahli karena hingga saat ini belum ada uji klinis ideal dengan jumlah 2,5 sampel memadai untuk membuktikannya. Eksaserbasi akut (stadium I ataupun III) merupakan perburukan gejala klinis, muncul infiltrat baru dan terjadi peningktan 2x kadar total serum IgE. Eksaserbasi akut dapat diberikan kortikosteroid yang diharapkan dapat mencapai remisi. Stadium IV didefinisikan sebagai kondisi yang sudah tergantung steroid (steroid dependent) namun untuk mencegah efek jangka panjang steroid diperlukan dosis kortikosteroid minimal yang dapat mengontrol gejala. Penggunaan steroid jangka panjang tidak direkomendasikan, karena itu perlu dipertimbangkan modalitas terapi lain ataupun pemberian antijamur. Inhalasi kortikosteroid kadang dapat mempercepat terjadinya remisi dan dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid sistemik. Stadium akhir/ stadium V dapat terjadi kapan saja. Rekomendasi terapi untuk kondisi ini masih sangat jarang dan tidak berdasarkan uji klinis. Biasanya memiliki prognosis buruk dan sering muncul infeksi berulang Pseudomonas dan Staphylococcus aureus. 22,23 Pada kondisi ini perlu dipikirkan transplantasi paru. Antijamur dapat digunakan dengan tujuan menurunkan jumlah jamur dan mencegah stimulasi antigen berlebihan yang akhirnya dapat menurunkan inflamasi. Antijamur yang pernah diuji coba antara lain nistatin, amfoterisin B, natamisin, ketokonazol dan itrakonazol. Ketokonazol memberikan hasil yang menjanjikan namun memiliki efek samping cukup berat, sedangkan penggunaan itrakonazol juga cukup menjanjikan dengan efek samping minimal dan dapat ditoleransi baik. Rekomendasi penggunaan antijamur pada ABPA adalah sebagai tambahan jika kortikosteroid tidak efektif (corticosteroid sparring agent). Laporan J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli

7 kasus juga menyebutkan penggunaan varikonazol 2,3,22,23 cukup memiliki potensi untuk terapi ABPA. Protokol terapi ABPA dapat dilihat dalam tabel 3. KESIMPULAN Allergic bronchopulmonary aspergillosis merupakan salah satu bentuk penyakit akibat Aspergillus fumigatus yang banyak ditemukan pada asma ataupun fibrosis kistik. Kondisi ini perlu dicurigai jika ditemukan perburukan gejala klinis, serum eosinofilia dan infiltrat baru pada pemeriksaan radiologis. Ditemukannya peningkatan serum total IgE, bronkiektasis sentral dan mucus plug pada HRCT meningkatkan kecurigaan ke arah ABPA. Patofisiologi yang mendasari ABPA adalah reaksi imunologis dengan ciri khas aktivasi eosinofil dan produksi IgE oleh karena itu penggunaan imunosupresi merupakan salah satu pendekatan terapi yang direkomendasikan. Penggunaan antijamur juga perlu dipertimbangkan sebagai corticosteroid sparring agent. Penemuan dini dan pemberian terapi lebih awal diharapkan dapat mencegah progresivitas penyakit, mencegah kerusakan parenkim paru lebih luas/ permanen dan mencegah penurunan fungsi paru. DAFTAR PUSTAKA 1. Cockrill BA, Hales CA. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Annu Rev Med. 1999;50: Agarwal R. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Chest. 2009;135: Patterson K, Strek ME. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Proc Am Thorac Soc. 2010;7: Antunes J, Fernandes A, Borrego LM, Leiria-Pinto P, Cavaco J. Cystic fibrosis, atopy, asthma and ABPA. Allergol Immunopathol. 2010;38: Soubani AO, Chandrasekar PH. The clinical spectrum of pulmonary aspergillosis. Chest. 2002; 121: Riscili BP, Wood KL. Noninvasive pulmonary aspergillus infections. Clin Chest Med. 2009; 30: Tillie-Leblond I, Tonnel A-B. Allergic bronchopulmonary aspergillosis. Allergy. 2005; 60: Crameri R, Blaser K. Allergy and immunity to fungal infections and colonization. Eur Respir J. 2002; 19: Banerjee B, Kurup V. Molecular biology of aspergillus allergens. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18: Balloy V, Chignard M. The innate immune response to Aspergillus fumigatus. Microbiol Infect. 2009; 11: Knutsen AP, Chauhan B, Slavin RG. Cell-mediated immunity in allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am. 1998; 18: Kauffman HF, Tomee JFC. Inflammatory cells and airway defense against aspergillus fumigatus. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18: Murali PS, Greenberger PA, Kurup VP. Cytokines in allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18: Novey HS. Epidemiology of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18: Agarwal R, Agarwal AN. Aspergillus hypersensitivity and allergic bronchopulmonary aspergillosis in patients with bronchial asthma: systematic review and meta-analysis. Int J Tuberc Lung Dis. 2009;13: Denning DW, O'Driscoll BR, Hogaboam CM, Bowyer P, Niven RM. The link between fungi and severe asthma: a summary of the evidence. Eur Respir J. 2006;27: Rapaka RR, Kolls JK. Pathogenesis of allergic bronchopulmonary aspergillosis in cystic fibrosis: current understanding and future directions. Med Mycol. 2009;47:S Moss RB. Allergic bronchopulmonary aspergillosis and Aspergillus infection in cystic fibrosis. Curr Opin Pulm Med.2010;16: Oliveira E, Giavina-Bianchi P, Fonseca LAM, Francxa AT, Kalil J. Allergic bronchopulmonary aspergillosis' diagnosis remains a challenge. Respir Med. 2007;101: Sarma PU, Banerjee B, Bir N, Kurup V. 197 J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli 2013

8 Immunodiagnosis of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Immunol Allergy Clin North Am.1998;18: Lynch DA. Imaging of asthma and allergic bronchopulmonary mycosis. Radiol Clin North Am.1998;36: Vlahakis NE, Aksamit TR. Diagnosis and treatment of allergic bronchopulmonary aspergillosis. Mayo Clin Proc. 2001;76: Walsh TJ, Anaissie EJ, Denning DW, Herbrecht R, Kontoyiannis DP, Marr KA, et al. Treatment of aspergillosis: Clinical practice guidelines of the Infectious Diseases Society of America. CID. 2008; 46: J Respir Indo Vol. 33, No. 3, Juli

ASPERGILLUS FUMIGATUS

ASPERGILLUS FUMIGATUS ASPERGILLUS FUMIGATUS Taxonomy Superkingdom : Eukaryota Kingdom : Fungi Phylum : Ascomycota Subphylum : Pezizomycotina Class : Eurotiomycetes Order : Eurotiales Family : Trichocomaceae Genus : Aspergillus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari

BAB I PENDAHULUAN. bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1. manifestasi klinis tergantung pada organ target. Manifestasi klinis umum dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Istilah alergi digunakan pertama kali digunakan oleh Clemens von Pirquet bahan yang sama untuk kedua kalinya atau lebih. 1 Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir

Lebih terperinci

Bronkiektasis kelainan anatomik dilatasi bronkus yang kronik dan menetap. Bronkus yang terkena biasanya berukuran sedang (generasi 4-9).

Bronkiektasis kelainan anatomik dilatasi bronkus yang kronik dan menetap. Bronkus yang terkena biasanya berukuran sedang (generasi 4-9). Bronkiektasis kelainan anatomik dilatasi bronkus yang kronik dan menetap. Bronkus yang terkena biasanya berukuran sedang (generasi 4-9). Karakteristik bronkiektasis yaitu kerusakan dari dinding bronkus,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen

Lebih terperinci

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman

JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms. Levi Aulia Rachman JOURNAL READING Imaging of pneumonia: trends and algorithms Levi Aulia Rachman 1410.2210.27.115 Abstrak Pneumonia merupakan salah satu penyakit menular utama yang menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas

Lebih terperinci

Dr. Dedy Zairus, Sp.P RSUD ABDUL MOELOEK

Dr. Dedy Zairus, Sp.P RSUD ABDUL MOELOEK Dr. Dedy Zairus, Sp.P SMF PARU dan PERNAPASAN RSUD ABDUL MOELOEK PENDAHULUAN Bronkiektasis (BE) merupakan penyakit paru kronik ditandai dengan dilatasi bronkus yang bersifat menetap disebabkan karena kerusakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated

BAB I PENDAHULUAN. imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang diinisiasi oleh mekanisme imun. Antibodi yang biasanya berperan dalam reaksi alergi adalah IgE ( IgEmediated allergy). 1,2

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus PENDAHULUAN Survei Kesehatan Rumah Tangga Dep.Kes RI (SKRT 1986,1992 dan 1995) secara konsisten memperlihatkan kelompok penyakit pernapasan yaitu pneumonia, tuberkulosis dan bronkitis, asma dan emfisema

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk sekelompok penyakit paru

Lebih terperinci

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani

Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani KEDARURATAN ASMA DAN PPOK Suradi, Dian Utami W, Jatu Aviani Bagian Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNS / RSUD Dr. Moewardi Surakarta WORKSHOP PIR 2017 PENDAHULUAN PPOK --> penyebab utama mortalitas

Lebih terperinci

CT EKSPIRASI RESOLUSI TINGGI: KEGUNAAN DIAGNOSTIKNYA PADA PENYAKIT PARU DIFUS

CT EKSPIRASI RESOLUSI TINGGI: KEGUNAAN DIAGNOSTIKNYA PADA PENYAKIT PARU DIFUS CT EKSPIRASI RESOLUSI TINGGI: KEGUNAAN DIAGNOSTIKNYA PADA PENYAKIT PARU DIFUS ABSTRAK Gayathrie Chantrhira Sakaran Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (gayathrie12@gmail.com)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,

BAB I PENDAHULUAN. SK/XI/2008 tentang pedoman pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan penyakit paru obstruktif kronik telah di bahas dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1022/MENKES/ SK/XI/2008 tentang pedoman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT Hubungan Tingkat Kepositivan Pemeriksaan Basil Tahan Asam (BTA) dengan Gambaran Luas Lesi Radiologi Toraks pada Penderita Tuberkulosis Paru yang Dirawat Di SMF Pulmonologi RSUDZA Banda Aceh Mulyadi *,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN. dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pneumonia kerap kali terlupakan sebagai salah satu penyebab kematian di dunia (Musher, 2014). Penumonia komunitas merupakan penyakit infeksi saluran napas bawah yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memulihkan fungsi fisik secara optimal(journal The American Physical

BAB 1 PENDAHULUAN. memulihkan fungsi fisik secara optimal(journal The American Physical BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fisioterapi merupakan sebuah profesi yang dinamis dengan dasar teori dan aplikasi klinik yang luas untuk memelihara, mengembangkan, dan memulihkan fungsi fisik secara

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi 1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hipotesis Higiene Hipotesis higiene merupakan penjelasan terhadap peningkatan kejadian atopi yang terjadi pada tiga puluh sampai empat puluh tahun terakhir, terutama di negara-negara

Lebih terperinci

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal

BAB I PENDAHULUAN. virus DEN 1, 2, 3, dan 4 dan ditularkan oleh nyamuk Aedes aegepty dan Aedesal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Infeksi dengue masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi. Infeksi dengue disebabkan oleh virus DEN 1,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. dermatitis yang paling umum pada bayi dan anak. 2 Nama lain untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang masalah Dermatitis atopik (DA) merupakan inflamasi kulit yang bersifat kronik berulang, disertai rasa gatal, timbul pada tempat predileksi tertentu dan didasari oleh

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyakit paru obstruktif kronik atau yang biasa disebut PPOK merupakan salah satu jenis dari penyakit tidak menular yang paling banyak ditemukan di masyarakat dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang mempunyai karakteristik keterbatasan aliran nafas yang persisten, bersifat progresif dan berkaitan

Lebih terperinci

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA Oleh : dr. Safriani Yovita Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk

BAB I PENDAHULUAN. pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batuk merupakan salah satu keluhan utama pada kelainan saluran pernapasan yang membuat pasien datang berobat ke dokter. (Rab, 2010) Batuk merupakan mekanisme refleks

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala periodik berupa mengi, sesak napas,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Patofisiologi Kelainan Paru akibat Paparan Uap/Gas BBM Secara fisiologis sebelum masuk ke paru udara inspirasi sudah dibersihkan dari partikel debu dan asap yang memiliki diameter

Lebih terperinci

ANGKA KEJADIAN PENEMUAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN BRONKIEKTASIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 2012 SAMPAI 2013

ANGKA KEJADIAN PENEMUAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN BRONKIEKTASIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 2012 SAMPAI 2013 ANGKA KEJADIAN PENEMUAN TUBERKULOSIS PARU PADA PASIEN BRONKIEKTASIS DI BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA TAHUN 2012 SAMPAI 2013 NASKAH PUBLIKASI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem respirasi tersering pada anak (GINA, 2009). Dalam 20 tahun terakhir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini

BAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis. pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinosinusitis kronis merupakan inflamasi kronis pada mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung selama minimal 12 minggu berturut-turut. Rinosinusitis kronis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kanker merupakan salah satu penyakit yang banyak menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab kematian nomor

Lebih terperinci

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono ASTHMA Wiwien Heru Wiyono Dept. of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine - University of Indonesia Persahabatan Hospital - Jakarta INTRODUCTION Asthma is the most common and serious

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika adalah suatu peradangan pada kulit yang didasari oleh reaksi alergi/reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit yang berkaitan dengan reaksi hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut.

BAB 1 PENDAHULUAN. napas, batuk kronik, dahak, wheezing, atau kombinasi dari tanda tersebut. 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah inflamasi saluran napas kecil. Pada bronkitis kronik terdapat infiltrat dan sekresi mukus di saluran pernapasan. Sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel

Lebih terperinci

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya

ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH. I Made Kusuma Wijaya ASMA DAN PENDIDIKAN JASMANI OLAHRAGA DAN KESEHATAN (PENJASORKES) DI SEKOLAH I Made Kusuma Wijaya Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age

Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh

Lebih terperinci

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT Pendahuluan Sejarah; Thn 1984 ISPA Ringan ISPA Sedang ISPA Berat Thn 1990 Titik berat PNEUMONIA BALITA Pneumonia Pneumonia Berat Bukan Pneumonia Di Indonesia Kematian bayi

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi

FORM UNTUK JURNAL ONLINE. : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi : : Dermoskopi Sebagai Teknik Pemeriksaan Diagnosis dan Evaluasi Lesi Pigmentasi : penggunaan dermoskopi telah membuka dimensi baru mengenai lesi pigmentasi. Dermoskopi merupakan metode non-invasif yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000

Lebih terperinci

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam

CURRICULUM VITAE. Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam CURRICULUM VITAE Nama : DR. Dr. Nur Ahmad Tabri, SpPD, K-P, SpP(K) Tempat, tanggal lahir : Ujung Pandang, 12 April 1959 Agama: Islam Email: nurahmad_59@yahoo.co.id Jabatan: Ketua Divisi Pulmonologi Dept.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4-5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial

Lebih terperinci

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis

- Asma pada Anak. Arwin AP Akib. Patogenesis Sari Pediatri, Sari Pediatri, Vol. 4, No. Vol. 2, 4, September No. 2, September 2002: 782002 - Asma pada Anak Arwin AP Akib Asma pada anak mempunyai berbagai aspek khusus yang umumnya berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi akut yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai hidung sampai alveoli termasuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.1. Latar Belakang Asma adalah penyakit saluran nafas kronis yang penting dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara diseluruh dunia. Meskipun penyakit

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATITIS ATOPIK DI POLIKLINIK RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATITIS ATOPIK DI POLIKLINIK RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH KARAKTERISTIK PENDERITA DERMATITIS ATOPIK DI POLIKLINIK RSUP DR. KARIADI SEMARANG LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 kedokteran

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang

BAB I PENDAHULUAN. diikuti oleh kompensasi anti-inflamasi atau fenotip imunosupresif yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Trauma pembedahan menyebabkan perubahan hemodinamik, metabolisme, dan respon imun pada periode pasca operasi. Seperti respon fisiologis pada umumnya, respon

Lebih terperinci

TUBERKULOSIS PADA PASIEN DENGAN HIV AIDS. dr. Bambang Satoto,Sp.Rad(K),M.Kes Departemen Radiology F.K Undip /RSUP Dr Kariadi Semarang

TUBERKULOSIS PADA PASIEN DENGAN HIV AIDS. dr. Bambang Satoto,Sp.Rad(K),M.Kes Departemen Radiology F.K Undip /RSUP Dr Kariadi Semarang TUBERKULOSIS PADA PASIEN DENGAN HIV AIDS dr. Bambang Satoto,Sp.Rad(K),M.Kes Departemen Radiology F.K Undip /RSUP Dr Kariadi Semarang PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis Atopik (DA) adalah penyakit inflamasi pada kulit yang bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan. Penyakit ini terjadi akibat adanya kelainan pada fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema

BAB I PENDAHULUAN. penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kronis pada kulit dengan penyebab yang belum diketahui sampai saat ini, ditandai oleh adanya plak eritema ditutupi sisik tebal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran napas yang terbanyak didapatkan dan sering menyebabkan kematian hampir di seluruh dunia. Penyakit ini menyebabkan

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN

BAB III. METODE PENELITIAN 37 BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru

B A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada

Lebih terperinci

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH

FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks, mencakup faktor genetik, infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang cenderung didiagnosis pada stadium lanjut dan merupakan penyakit dengan angka kejadian tertinggi serta menjadi

Lebih terperinci

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan

BAB III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan BAB III. METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji klinis dengan metode Quasi Experimental dan menggunakan Pretest and posttest design pada kelompok intervensi dan kontrol.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan

BAB 1 PENDAHULUAN. pada saluran napas yang melibatkan banyak komponen sel dan elemennya, yang sangat mengganggu, dapat menurunkan kulitas hidup, dan 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma dan rinosinusitis adalah penyakit yang amat lazim kita jumpai di masyarakat dengan angka prevalensi yang cenderung terus meningkat selama 20-30 tahun terakhir.

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

Imunisasi: Apa dan Mengapa?

Imunisasi: Apa dan Mengapa? Imunisasi: Apa dan Mengapa? dr. Nurcholid Umam K, M.Sc, Sp.A Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Jogjakarta Penyebab kematian pada anak di seluruh dunia Campak

Lebih terperinci

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K)

TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K) TUTIK KUSMIATI, dr. SpP(K) TB paru problem kesehatan global MODALITAS TES CEPAT MENDETEKSI DR-TB & DS-TB TB Resisten Obat meningkat TB HIV +++ METODE DETEKSI KASUS YANG LAMBAT PASIEN TB HIV + PASIEN DIAGNOSIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan dan kematian pada anak. 1,2 Watson dan kawan-kawan (dkk) (2003) di Amerika Serikat mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons

BAB 1 PENDAHULUAN. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis, merupakan suatu respons tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin

Lebih terperinci

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik

Tahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target

Lebih terperinci