PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus"

Transkripsi

1 PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN B1 DAN M1 PADA HATI ITIK DENGAN PEMBERIAN KULTUR Saccharomyces cerevisiae DAN Rhizopus oligosporus (Reduction of Aflatoxin B1 and M1 residues in ducks liver by giving culture of Saccharomyces cerevisiae and Rhizopus oligosporus) ENI KUSUMANINGTYAS, RAPHAELA WIDIASTUTI dan ROMSYAH MARYAM Balai Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor ABSTRACT Saccharomyces cerevisiae (Sc) and Rhizopus oligosporus (Ro) was able to reduce aflatoxin produced by Aspergillus flavus or Aspergillus parasiticus in vitro. This experiment was conducted in order to find out the effect of Sc, Ro and their mixture (ScRo) addition in feed on aflatoxin (AF) residue in ducks liver. Sc, Ro and ScRo were given by mixing 1.5 g inoculum/kg feed while AF were given 200 ppb/kg feed. Twenty five ducks were divided into five treatment: feed; feed and AF; feed, AF and Sc; feed, AF and Ro; feed, AF and ScRo. Ducks was growed for two months. Concentration of AF residue was measured by using High Performance Liquid Chromatografy. The result showed that AFB1 and AFM1 residues in Ro treatment were lower than positive control. AFB1 residues in Sc and ScRo treatments were lower than positive control but those of AFM1 were higher than control. Based on the result, Sc and Ro are better given separately. Key Words: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoxin, Duck ABSTRAK Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dilaporkan dapat menurunkan produksi aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus secara in-vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan kultur Sc, Ro dan campurannya (ScRo) dalam pakan terhadap residu aflatoksin (AF) pada hati itik. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum/kg pakan sedangkan AF diberikan 200 ppb/kg pakan. Duapuluh lima itik dibagi lima perlakuan yaitu: pakan; pakan dan (AF); pakan, (AF) dan Sc; pakan, (AF), Ro; pakan, (AF), ScRo dan dipelihara selama dua bulan. Pemeriksaan kandungan residu AF dilakukan dengan menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Hasil pemeriksaan pada perlakuan dengan Ro menunjukkan bahwa kandungan residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik lebih rendah dibandingkan pada kontrol positif. Residu AFB1 pada kelompok Sc dan ScRo lebih rendah dibandingkan kontrol tetapi residu AFM1 lebih tinggi. Berdasarkan hasil tersebut sebaiknya pemakaian Sc atau Ro diberikan terpisah. Kata Kunci: Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus, Aflatoksin, Itik PENDAHULUAN Aflatoksin merupakan senyawa metabolit sekunder dari kapang Aspergillus flavus, A. parasiticus dan A. nomius yang banyak mengkontaminasi berbagai jenis komoditi pertanian seperti kacang-kacangan, jagung, beras, palawija dan hasil olahannya. Aflatoksin juga ditemukan pada bahan pakan dan pakan ternak sebagai penyebab terjadinya aflatoksikosis dan residu aflatoksin pada produk peternakan. Aflatoksikosis dapat terjadi karena manusia atau hewan yang mengkonsumsi makanan yang mengandung aflatoksin. Pada sapi yang terkena aflatoksikosis kurang berpengaruh pada produksi tetapi residu aflatosin pada produknya seperti daging dan susu ikut dalam rantai makanan (KUIPER-GODMAN, 1991). Residu aflatoksin dapat berupa aflatoksin B1 (AFB1), aflatoksin B2 (AFB2), aflatoksin M1 (AFM1) dan aflatoksikol (AFL) (OLIVEIRA et al., 2003). Residu aflatoksin sering terdeteksi pada organ seperti hati, ginjal dan 790

2 daging (MICCO et al., 1988). Residu AFM1 pada hati ditemukan pada semua kijang yang diperlakukan dengan aflatoksin (QUIST et al., 1997). Residu juga ditemukan pada telur ayam yang mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi aflatoksin (TRUCKSESS dan STOLOFF, 1984). Pada manusia, AFB1 berpotensi sebagai hepatotoksik dan hepatokarsinogenik (RASTOGI et al., 2001) dan berhubungan dengan hepatoselular karsinoma (RASTOGI, 2006). Aflatoksin juga dilaporkan menurunkan fertilitas (IBEH et al., 2000). Beberapa upaya telah dilakukan untuk menanggulangi residu aflatoksin diantaranya dengan penggunaan sodium calsium aluminosilicate (HSCAS) untuk mengabsorbsi aflatoksin (BINGHAM et al., 2004). Penggunaan HSCAS 4% pada pemberian 200 ppb aflatoksin pada makanan dapat menurunkan 86,9% residu AFM1 pada susu sapi sedangkan pada diet aflatoksin 100 ppb yang diberi HSCAS 1% dapat menurunkan residu aflatoksin 51,9%. (SMITH et al., 1994). Upaya lain adalah dengan penggunaan mikroorganisme kompetitor untuk menurunkan produksi aflatoksin seperti Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus nonaflatoksigenik (DORNER et al., 1999), Nannocystis exedens (TAYLOR dan DRAUGHON, 2001) dan Kluyveromices spp. (LA PENNA et al., 2004). Walaupun demikian penelitian mengenai penggunaan mikroorganisme untuk menurunkan residu aflatoksin pada hati dan daging pada itik belum banyak diketahui. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus terhadap residu AFB1 dan AFM1 pada hati itik. MATERI DAN METODE Isolat. Saccharomyces cerevisiae (F0206), Rhizopus oligosporus (Ro; F0216) dan Aspergillus flavus (F0213) diperoleh dari Balitvet Culture Collection (BCC) Bogor. Pembuatan inokulum. Pembuatan inokulum Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan Rhizopus oligosporus (Ro) dan campuran Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligosporus (ScRo) dilakukan menggunakan metode KUSUMANINGTYAS et al. (2005). Sc dan Ro ditumbuhkan dalam media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) miring dan diinkubasi pada suhu 28 C selama tiga hari untuk Sc dan lima hari untuk Ro. Inokulum dipanen dengan melarutkannya dalam air suling steril. Jumlah spora Ro atau sel Sc dihitung kemudian diencerkan untuk mendapatkan suspensi yang mengandung 10 6 spora/sel/ml. Tepung beras disiapkan dalam erlenmeyer masing-masing 250 g dan disterilisasi pada suhu 121 C selama 15 menit. Sterilitas tepung diuji dengan metode pembiakan pengenceran (THOMPSON,1969). Sc, Ro dan campuran ScRo sebanyak 10 ml yang berisi 10 6 sel/spora/ml masing-masing diinokulasikan ke dalam 250 g tepung beras dan diinkubasi dalam suhu 28 C selama lima hari. Setelah lima hari, inokulum Sc, Ro dan ScRo dikeringkan dalam oven pada suhu 40 C selama 24 jam. Inokulum kemudian disimpan pada suhu 4 C sampai digunakan. Produksi Aflatoksin. Spora Aspergillus flavus dipanen dengan melarutkan spora dalam air suling steril dan dipindahkan ke dalam tabung baru. Media PDB disiapkan sebanyak 500 ml, kemudian diinokulasikan suspensi spora Aspergillus flavus sehingga konsetrasi akhir menjadi 10 6 sel/spora per ml. Inokulum diinkubasi selama 10 hari. Inokulum A flavus dimatikan dengan menggunakan autoclave pada suhu 121 C selama 30 menit. Selanjutnya dihomogenisasi dengan blender 2 menit. Untuk pengukuran kadar aflatoksin dilakukan ekstraksi dan dianalisis dengan HPLC. Perlakuan. Pakan untuk percobaan disiapkan dengan mencampurkan aflatoksin yang telah dibuat dengan pakan sehingga konsentrasi aflatoksin adalah 200 ppb/kg pakan. Pemberian Sc, Ro dan ScRo dilakukan dengan mencampurkan 1,5 g inokulum / kg pakan. Itik yang digunakan adalah itik betina yang kemudian diberi perlakuan sebagai berikut: (I) Kontrol negatif, itik diberi pakan tanpa AFB1; (II) Kontrol positif, itik diberi pakan yang mengandung AFB 1 ; (III) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum Sc 1,5 g/kg pakan; (IV) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum Ro 1,5 g/kg pakan; (V) itik diberi ransum yang mengandung AFB 1 + inokulum ScRo 1,5 gram per kg pakan. Itik diberi perlakuan setiap hari selama 8 minggu. Setelah 8 minggu, itik dibunuh sampel hati diambil untuk diukur kadar residu aflatoksin B1 dan M1. Pengukuran dilakukan 791

3 dengan menggunakan tiga hati itik sampel untuk setiap perlakuan. Penentuan kadar aflatoksin. Sebanyak 25 g sampel hati itik yang telah dicincang halus ditambah dengan 25 ml asam sitrat 20% dan dikocok selama 5 menit agar tercampur merata. Kemudian tambahkan 50 ml diklorometana dan sodium sulfat anhidrat dan dikocok kembali menggunakan shaker selama 30 menit dan selanjutnya disaring dan dikeringkan hingga mendekati volume 1 2 ml. Ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam kolom kromatografi yang terdiri atas silika gel 60 dan sodium sulfat anhidrat yang telah dikondisikan dengan 5 ml campuran n-heksana-kloroform (1 : 1). Kolom dicuci dengan 25 ml toluen-asam asetat (9 : 1), 25 ml n-heksana-asetonitril-eter (6 : 1 : 3). Residu aflatoksin dielusi dengan 40 ml kloroform-aseton (4 : 1) dan dikeringkan menggunakan rotary evaporator. Residu diderivatisasi dengan menambahkan 50 µl trifluoroasetat dab 200 µl n-heksana dan dipanaskan pada suhu 110 C selama 15 menit. Selanjutnya ekstrak dilarutkan dengan 200 ul fasa gerak dan dianalisis dengan KCKT dengan kolom µ-bondapak C 18, fasa gerak airmetanol-asam asetat (65 : 15 : 20) dan dideteksi dengan fluoresen detektor pada panjang gelombang eksitasi 265 nm dan emisi 425 nm. Analisa statistik. Data residu aflatoksin pada hati itik dianalisis dengan menggunakan ANOVA untuk membedakan hasil antar perlakuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Aflatoksin merupakan metabolit skunder yang diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (COTTY et al., 1994; SCUDAMORE et al, 1994). Aflatoksin bersifat hapatotoksik dan hapatokarsinogenik dan dapat menyebabkan penurunan produksi pada ternak dan sering berhubungan dengan kejadian kanker hati pada manusia (DIENNER et al., 1987; BERRY, 1988; CHU, 1991, JAIMEZ et al., 2003). Aflatoxin selain dapat menyebabkan sakit dapat juga menyebabkan kematian apabila bahan makanan yang dikonsumsi terkontaminasi oleh aflatoksin (CAST, 1999). Konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan aflatoksikosis. Oleh karena itu perlu diwaspadai bahan makanan yang mengandung aflatoksin termasuk produk peternakan yang mengandung residu aflatoksin. Aflatoksin yang sering ditemukan dan dikenal paling toksik adalah AFB1. AFB1 yang tercampur dalam diet pakan ternak dapat menyebabkan residu terutama pada hati, ginjal dan daging. Residu yang dihasilkan dapat berupa AFB1, AFB2, AFM1 atau aflatoksikol. Beberapa alternatif untuk mencegah timbulnya residu pada produk peternakan adalah dengan penanganan pakan ternak dengan sekecil mungkin mengandung aflatoksin. Penanggulangan dapat dilakukan dengan menghambat pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin atau dengan mengikat aflatoksin yang terkandung dalam pakan. Saccharomyces cerevisiae (Sc) telah lama dikenal sebagai feed additif untuk ruminansia (CHAUCHEYRAS et al., 1996) dan dilaporkan dapat mendegradasi mikotoksin (YIANKOURIS et al., 2004; 2006). Sementara itu, Rhizopus oligosporus (Ro) secara komersial telah digunakan untuk meningkatkan kualitas pakan ternak (SABU et al., 2002). SANTA et al, (1999) melaporkan bahwa Rhizopus spp dapat menghambat sintesis aflatoksin secara in vitro sampai 90%. Pada penelitian ini digunakan Saccharomyces cerevisiae (Sc), Rhizopus oligosporus (Ro) dan kombinasinya (ScRo) untuk mereduksi residu aflatoksin pada hati itik. Seperti terlihat pada Tabel 1, pada kelompok perlakuan yang diberi Sc dan Ro residu aflatoksin B1 (AFB1) lebih rendah dibandingkan dengan kontrol positif. Bahkan, pada pemberian Sc dan Ro secara tunggal dapat menurunkan residu AFB1 sampai pada level tidak terdeteksi. Namun pemberian Sc atau ScRo justru meningkatkan residu AFM1 dan residu yang terukur lebih besar daripada kontrol positif tanpa perlakuan. Dari hasil tersebut di atas dapat diketahui bahwa Ro yang diberikan secara tunggal mempunyai potensi untuk menurunkan residu AFB1 dan AFM1 yang lebih besar daripada Sc atau Ro yang ditambahkan bersama-sama dengan Sc. Hal tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh KUSUMANINGTYAS et al. (2006) bahwa Ro yang ditambahkan secara tunggal dapat menurunkan konsentrasi aflatoksin pada pakan lebih baik daripada apabila diberikan bersamasama dengan Sc. 792

4 Tabel 1. Residu aflatoksin B1 dan M1 pada hati itik dengan pemberian Saccharomyces cerevisiae (Sc) dan/atau Rhizopus oligosporus (Ro) setelah 8 minggu perlakuan Kelompok Konsentrasi rata-rata AFB1 (ppb) ± SD Konsentrasi rata-rata AFM1 (ppb) ± SD Kontrol negatif Tidak terdeteksi 0,0023 ± 0,00 Kontrol positif 0,0184 ± 0,01 0,0035 ± 0,00 Pakan + AF + Sc Tidak terdeteksi 0,0210 ± 0,03 Pakan+ AF + Ro Tidak terdeteksi 0,0021 ± 0,00 Pakan + AF + ScRo 0,0070 ± 0,08 0,4373 ± 0,58 SD: Standar deviasi Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa residu aflatoksin pada semua perlakuan tidak berbeda nyata (P > 0,05) yang mengindikasikan bahwa penambahan Sc, Ro atau ScRo tidak begitu berpengaruh pada penurunan residu aflatoksin. Walaupun demikian, perlu diperhatikan dampak dari residu aflatoksin secara biologi. Mengingat sifat aflatoksin yang hepatotoksik dan hepatokarsinogenik dan berbahaya pada manusia maka keberadaan aflatoksin dalam produk ternak maupun produk makanan tetap harus diwaspadai sehingga penurunan residu aflatoksin yang kecil masih mempunyai arti secara biologi. Berdasarkan hasil tersebut, kemampuan Sc, Ro dan ScRo dalam menurunkan residu aflatoksin mungkin disebabkan kemampuan Sc, Ro dan ScRo untuk mengikat aflatoksin. Aflatoksin yang tercampur dalam pakan diikat oleh Sc, Ro dan ScRo sehingga tidak dapat diserap tubuh dan keluar bersama feses. Kemungkinan lain adalah Sc, Ro dan ScRo menghambat penyerapan aflatoksin oleh usus itik sehingga kadar aflatoksin yang beredar dan menetap sebagai residu di dalam tubuh itik menjadi berkurang. Untuk mengetahui pengaruh terhadap berat badan dari penambahan Sc, Ro dan ScRo dalam pakan dilakukan penimbangan berat badan itik pada satu hari sebelum perlakuan, pada minggu ke-4 dan minggu ke-8. Seperti terlihat pada Tabel 2, pada empat minggu pertama, perlakuan dengan Ro memberikan hasil penambahan berat badan paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada minggu kedua penambahan berat tertinggi terjadi pada kelompok perlakuan dengan Sc. Pada minggu ini penambahan berat badan pada kelompok kontrol positif yang diberi aflatoksin menunjukkan kenaikan berat badan yang lebih tinggi daripada kontrol negatif yang tidak diberi aflatoksin bahkan juga lebih tinggi daripada kelompok perlakuan dengan Ro. Ada kemungkinan kadar aflatoksin 200 ppb/kg pakan belum banyak berpengaruh terhadap berat badan. Pada perlakuan dengan Sc, penambahan berat badan itik pada empat minggu pertama dan kedua relatif stabil dibandingkan dengan itik yang diberlakukan dengan Ro yang mengalami penambahan berat badan yang tinggi pada empat minggu pertama dan menurun pada empat minggu kedua sehingga akumulasi pertambahan berat badan selama delapan bulan Sc memberikan hasil yang lebih baik daripada Ro. Meskipun kemampuan ScRo Tabel 2. Pertambahan rata-rata dari berat badan itik Perlakuan Pertambahan rata-rata berat badan masing-masing kelompok (g) 4 minggu 8 minggu Kontrol negatif 499,62 816,66 Kontrol positif 488,09 869,04 Pakan + AF+ Sc 433,33 930,95 Pakan+ AF + Ro 629,95 851,27 Pakan + AF + ScRo 462,54 905,16 793

5 dalam meningkatkan berat badan masih lebih baik daripada Ro tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan Sc. Apabila dibandingkan kemampuan Sc dan Ro sebagai additif dengan melihat Tabel 1 dan Tabel 2, maka Ro mereduksi residu aflatoksin lebih baik daripada Sc tetapi lebih rendah kemampuannya dalam membantu meningkatkan berat badan itik. Campuran ScRo selain mempunyai kemampuan yang lebih rendah dalam menurunkan residu aflatoksin dibandingkan Sc maupun Ro juga lebih rendah dalam meningkatkan berat badan itik dibandingkan dengan Sc. KESIMPULAN Sc dan Ro dapat digunakan sebagai kandidat untuk menganggulangi masalah aflatoksin yaitu dengan menurunkan konsentrasi residu, terutama AFB1 pada produk peternakan. Ro memberikan hasil yang lebih baik dalam menurunkan residu AFB1 dan AFM1 dibandingkan dengan Sc dan ScRo. Meskipun Sc mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin tetapi memberikan hasil yang baik untuk meningkatkan berat badan itik daripada Ro dan ScRo. Sedangkan ScRo mempunyai kemampuan yang rendah dalam menurunkan residu aflatoksin maupun dalam meningkatkan berat badan itik. Berdasarkan hasil tersebut, maka sebaiknya dalam usaha mengurangi residu aflatoksin, Sc atau Ro diberikan terpisah. UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat berjalan dengan baik atas dukungan biaya dari Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Patisipatif (The Participtory Development of Agricultural Tecnology Project/ PAATP) tahun DAFTAR PUSTAKA BERRY, C The pathology of mycotoxins. J. Pathol. 154: BINGHAM, A.K., H.J. HUEBNER, T.D. PHILLIPS and J.E. BAUER Identification and reduction of urinary aflatoxin metabolites in dogs. Food Chem. Toxicol. 42(11): CAST (Council for Agricultural Science and Technology) Mycotoxin-economic and health risk. Task Force Report No CAST. Ames. Iowa. CHAUCHEYRAS, F., G. FONTY, G. BERTIN, J.M. SALMON, P. GOUET Effect of a strain Saccharomyces cerevisiae (Levucell SC1), a microbial additive for ruminants, on lactate metabolism in vitro. Can. J. Microbiol. 42: CHU, F.S Mycotoxins: Food contaminations mechanism, carcinogenic potential and preventive measures. Mutant Res. 259: COTTY, P.J., P. BAYMAN, D.S. EGET and K.S. ELIAS Agriculture aflatoxin and Aspergillus. In: The Genus Aspergillus. POWELL, K.A., A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.). Plenum Press. New York. NY. pp DIENER, U.L., R.J. COLE, T.H. SANDERS, G.A. PAYNE, L.S. LEE and M.A. KLICH Epidemiology of aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Annu. Rev. Phytopathol. 25: DORNER, J.W., R.J. COLE and D.T. WICKLOW Aflatoxin reduction in corn through field application of competitive fungi. J Food Prot. 62(6): IBEH, I.N., D.X. SAXENA and N. URAIH Toxicity of aflatoxin: effects on spermatozoa, oocytes, and in vitro fertilization. J. Environ. Pathol. Toxicol. Oncol. 19(4): JAIMEZ, J., C.A. FENTE, C.M. FRANCO, A. CEPEDA and B.I. VAZQUEEZ Application of a modified culture medium for the simultaneous counting of the molds and yeasts and detection of aflatoxigenic strains of Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot. 66: KUIPER-GODMAN, T Risk assessment to humans of mycotoxins in animal-derived food product. Vet. Hum. Toxicol. 33(4): KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI, ISTIANA, R. MARYAM dan TARMUDJI Viabilitas Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus dan Campurannya dalam Tepung Beras. Pros. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor, September Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm KUSUMANINGTYAS, E., R. WIDIASTUTI and R. MARYAM Reduction of aflatoxin B1 production by using Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and their combination. Mycopathologia (In Press). 794

6 LA PENNA, M., A. NESCI and M. ETCHEVERRY In vitro studies on the potential for biological control on Aspergillus section Flavi by Kluyveromyces spp. Lett. Appl. Microbiol. 38: MICCO, C., M. MIRAGLIA, R. ONORI, C. BRERA, A. MANTOVANI, A. IOPPOLO and D. STASOLLA Long-term administrationof low doses of mycotoxins to poultry.1 Residues of aflatoxin B1 and its metabolites in broiler and lying hens. Food Addit. Contam. 5(3): OLIVEIRA, C.A., J.F. ROSMANINHO, A.L. CASTRO, P. BUTKERAITIS, T.A. REIST and B. CORREA Aflatoxin residues in eggs of laying Japanese quail after long term administration of rations containing low levels of aflatoxin B1. Food Addit. Contam. 20(7): QUIST, C.F., E.W. HOWERTH, J.R. FISCHER, R.D. WYATT, D.M. MILLER and V.F. NETTLES Evaluation of low-level aflatoxin in the diet of white-tailed deer. J. Wild Dis. 33(1): RASTOGI, R., A.K. SRIVASTAVA and A.K. RASTOGI Long term effect of aflatoxin B (1) on lipid peroxidation in rat liver and kidney: Effect of picroliv and silymarin. Phytother Res. 15(4): RASTOGI, S., R.K. DOGRA, S.K. KHANNA and M. DAS Skin tumorigenic potential of aflatoxin B1 in mice. Food Chem Toxicol. 44(5): SABU, A., S. SARITA, A. PANDEY, B. BOGAR, G. SZAKACS and C.R. SOCCOL Solid-state fermentation for production of pytase by Rhizopus oligosporus. Appl. Biochem. Biotechnol ; SCUDAMORE, K.A Aspergillus toxin in food and Animal feeding stuff, In: The genus Aspergillus. POWELL, K.A, A. RENWICK and J.F. PEBERDY (Eds.) Plenum Press. New York. NY. pp SHANTHA, T Fungal degradation of Aflatoxin B1. Nat. Toxins. 7(5): SMITH, E.F., T.D. PHILIPS, J.A. ELLIS, R.B. HARVEY, L.F. KUBENA, J. THOMPSON and NEWTON G Dietary hydrated sodium calcium aluminosilicate reduction aflatoxin M1 residue in dairy goat milk and effect on milk production and components. J. Anim. Sci. 72(3): TAYLOR, W.J. and F.A. DRAUGHON Nannocystis exedens: A Potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J. Food Prot THOMPSON, J.C Techniques for isolation of the common pathogenic fungi. Medium 7(3) and 4 MAFFCVL. Weybridge. England TRUCKSESS, M.W., L. STOLOFF, K. YANG, R.D. WYAT and B.L. MILLER Aflatoxicol and aflatoxins B1 and M1 in eggs and tissues of laying hens consuming aflatoxin contaminated feed. Poult. Sci. 62(11): YIANNIKOURIS, A., G. ANDRE, L. POUGHON, J. FRANCOIS, C.G. DUSSAP, G. JEMINET, G. BERTIN and J.P. JOUANY Chemical and Conformational Study of the Interactions Involved in Mycotoxin Complexation with beta-d-glucans. Biomacromolecules. 7(4): YIANNIKOURIS AYIANNIKOURIS, A., J. FRANCOIS, L. POUGHON, C.G. DUSSAP, G. BERTIN, G. JEMINET and J.P. JOUANY Adsorption of Zearalenone by beta-d-glucans in the Saccharomyces cerevisiae cell wall. J. Food Prot. 67(6): DISKUSI Pertanyaan: Kombinasi ScRo memberikan hasil yang kurang baik daripada pemberian kultur Saccharomyces cerevisiae dan Rhizopus oligaporus. Jawaban: Diduga Ro dan Sc bersifat saling menekan aktivitas masing-masing sehingga ketika dicampur (ScRo) memberikan hasil yang kurang baik. Penelitian sebelumnya pada pakan secara in vitro juga memberikan hasil yang sama. 795

EFEKTIFITAS NATRIUM KALSIUM ALUMINOSILIKAT HIDRAT DALAM PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI AYAM BROILER

EFEKTIFITAS NATRIUM KALSIUM ALUMINOSILIKAT HIDRAT DALAM PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI AYAM BROILER EFEKTIFITAS NATRIUM KALSIUM ALUMINOSILIKAT HIDRAT DALAM PENURUNAN RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI AYAM BROILER (Effectiveness of Hydroted Sodium Calcium Aluminosilicate to Reduce Aflatoxin Residue

Lebih terperinci

VIABILITAS Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus DAN CAMPURANNYA DALAM TEPUNG BERAS

VIABILITAS Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus DAN CAMPURANNYA DALAM TEPUNG BERAS VIABILITAS Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus DAN CAMPURANNYA DALAM TEPUNG BERAS (Viability of Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oligosporus and Their Mixture in Rice Powder) ENI KUSUMANINGTYAS,

Lebih terperinci

Lokakarye Fungsiona/Non Peneiti 1. Bahan-bahan Bahan baku : pakan ayam Bahan pereaksi Asetonitril ; Larutan potasium klorida 4% ; Larutan

Lokakarye Fungsiona/Non Peneiti 1. Bahan-bahan Bahan baku : pakan ayam Bahan pereaksi Asetonitril ; Larutan potasium klorida 4% ; Larutan PENETAPAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM DENGAN CARA KROMATOGRAFI LAPISAN TIPIS Siti Djuariah Balai Penelitian Veteriner Bogor PENDAHULUAN Pakan merupakan salah satu faktor penting di dalam upaya meningkatkan

Lebih terperinci

Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus

Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus Isolat Lokal Saccharomyces cerevisiae sebagai Biokompetitor Aspergillus flavus ENI KUSUMANINGTYAS Balai Besar Penelitian Veteriner, PO Box 151, Bogor 16114 (Diterima dewan redaksi 5 Oktober 2005) ABSTRACT

Lebih terperinci

ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI ANALISIS AFLATOKSIN PADA JAGUNG YANG DIMURNIKAN DENGAN SOLID PHASE EXTRACTION SILIKA DAN DIDETEKSI SECARA KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (Analysis of aflatoxins in corn which purified with SPE silica

Lebih terperinci

RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN DI JAWA BARAT

RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN DI JAWA BARAT Seminar Nosional Peternakan dan Veteriner 1999 RESIDU AFLATOKSIN PADA DAGING DAN HATI SAPI DI PASAR TRADISIONAL DAN SWALAYAN DI JAWA BARAT RAPHAELLA WIDIASTUTI Balai Penelitian Veteritter, Jalan R.E. Martadinata

Lebih terperinci

RESIDU AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI SEGAR DI PANGALENGAN DAN BOGOR JAWA BARAT

RESIDU AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI SEGAR DI PANGALENGAN DAN BOGOR JAWA BARAT RESIDU AFLATOKSIN M1 PADA SUSU SAPI SEGAR DI PANGALENGAN DAN BOGOR JAWA BARAT (Aflatoxin Residues (AFM1) in Fresh Dairy Milk in Pangalengan and Bogor District, West Java) R. WIDIASTUTI, R. MARYAM, S. BAHRI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU AFLATOKSIN B 1 DALAM HATI AYAM SECARA ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU AFLATOKSIN B 1 DALAM HATI AYAM SECARA ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) PENGEMBANGAN METODA ANALISIS RESIDU AFLATOKSIN B 1 DALAM HATI AYAM SECARA ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) (Method Development of Aflatoxin B 1 Residue in Liver Chicken by Enzyme Linked Immunosorbent

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Produksi Aflatoksin Metode Davis et al. (1966) Penelitian yang dilakukan oleh N. D. Davis, U. L. Diener, dan D. W. Eldridge di Alabama bertujuan untuk melihat bagaimana kondisi

Lebih terperinci

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal

Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam Ransum pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal Pengaruh Genotipa dan Kadar Aflatoksin dalam pada Karakteristik Awal Bertelur Itik Lokal L. HARDI PRASETYO dan T. SUSANTI Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 (Diterima dwan redaksi 23 Juli

Lebih terperinci

PENCEMARAN BAHAN PAKAN OLEH Aspergillus flavus YANG MAMPU MEMPRODUKSI AFLATOKSIN DI WILAYAH CIANJUR, DEPOK DAN BEKASI TAHUN 2009

PENCEMARAN BAHAN PAKAN OLEH Aspergillus flavus YANG MAMPU MEMPRODUKSI AFLATOKSIN DI WILAYAH CIANJUR, DEPOK DAN BEKASI TAHUN 2009 PENCEMARAN BAHAN PAKAN OLEH Aspergillus flavus YANG MAMPU MEMPRODUKSI AFLATOKSIN DI WILAYAH CIANJUR, DEPOK DAN BEKASI TAHUN 2009 (Feed Contamination by Aspergillus flavus Producing Aflatoxin in Region

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. BAHAN 1. Mikroorganisme Isolat Aspergillus flavus NTGA7A4UVE10 hasil penelitian terdahulu berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen Farmasi FMIPA UI. 2. Medium dan

Lebih terperinci

PEMAKAIAN ULANG FASA GERAK TETRASIKIAN DALAM ANALISIS ANTIBIOTIKA PADA ALAT KHROMATOGRAFI CAIRAN KINERJA TINGGI RINGKASAN

PEMAKAIAN ULANG FASA GERAK TETRASIKIAN DALAM ANALISIS ANTIBIOTIKA PADA ALAT KHROMATOGRAFI CAIRAN KINERJA TINGGI RINGKASAN PEMAKAIAN ULANG FASA GERAK TETRASIKIAN DALAM ANALISIS ANTIBIOTIKA PADA ALAT KHROMATOGRAFI CAIRAN KINERJA TINGGI HENY YUSRINI Balai penelitian Veteriner, ARE Martadinata No : 30, Bogor 16114 RINGKASAN Tetrasiklin

Lebih terperinci

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET

AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET AFLATOKSIN dan BAHAN PENGAWET AFLATOKSIN Senyawa metabolik sekunder yang bersifat toksik dan karsinogenik Dihasilkan: Aspergilus flavus & Aspergilus parasiticus Keduanya tumbuh pada biji-bijian, kacang-kacangan,

Lebih terperinci

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA UMUR SIMPAN DAN LEVEL PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA SKRIPSI UMI SA ADAH

DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA UMUR SIMPAN DAN LEVEL PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA SKRIPSI UMI SA ADAH DAYA DAN KESTABILAN BUIH PUTIH TELUR AYAM RAS PADA UMUR SIMPAN DAN LEVEL PENAMBAHAN ASAM SITRAT YANG BERBEDA SKRIPSI UMI SA ADAH PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES.) UNTUK MENGURANGI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM KOMERSIAL

SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES.) UNTUK MENGURANGI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM KOMERSIAL SAMBILOTO (ANDROGRAPHIS PANICULATA NEES.) UNTUK MENGURANGI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PAKAN AYAM KOMERSIAL SRI RACHMAWATI, ZAINAL ARIFIN, dan PADERI ZAHARI Balai Penelitian Veteriner Jalan R.E. Martadinata

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN Berbagai jenis makanan dan minuman yang dibuat melalui proses fermentasi telah lama dikenal. Dalam prosesnya, inokulum atau starter berperan penting dalam fermentasi.

Lebih terperinci

Alat Neraca analitik, gelas piala 600 ml, gelas ukur 100 ml, "hot plate", alat refluks (untuk pendingin), cawan masir, tanur, alat penyaring dengan po

Alat Neraca analitik, gelas piala 600 ml, gelas ukur 100 ml, hot plate, alat refluks (untuk pendingin), cawan masir, tanur, alat penyaring dengan po MODIFIKASI ANALISIS SERAT DETERGEN ASAM Martini Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Kebutuhan serat pada hewan, terutama ternak ruminansia sangat penting, karena sebagian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN

MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN MEWASPADAI CEMARAN AFLATOKSIN PADA PANGAN Kapang dapat menghasilkan metabolit beracun yang disebut mikotoksin. Mikotoksin terutama dihasilkan oleh kapang saprofit yang tumbuh pada bahan pangan atau pakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di 25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Agustus 2013 di Laboratorium Instrumentasi dan Laboratorium Biokimia Jurusan Kimia

Lebih terperinci

Pengaruh Komposisi Asam Benzoat Dan Asam Salisilat Pada Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin Aspergillus Flavus Pada Buah Jagung (Zea mays l.

Pengaruh Komposisi Asam Benzoat Dan Asam Salisilat Pada Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin Aspergillus Flavus Pada Buah Jagung (Zea mays l. Pengaruh Komposisi Asam Benzoat Dan Asam Salisilat Pada Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin Aspergillus Flavus Pada Buah Jagung (Zea mays l.) Irma Ratna Kartika, Stefanus, dan Tri Handayani Kurniati Jurusan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Asam Jawa (Tamarindus indica L) yang diujikan pada bakteri P. gingivalis.

BAB III METODE PENELITIAN. Asam Jawa (Tamarindus indica L) yang diujikan pada bakteri P. gingivalis. BAB III METODE PENELITIAN A. DESAIN PENELITIAN Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris secara in vitro menggunakan ekstrak buah Asam Jawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ayam pedaging atau yang sering disebut sebagai ayam broiler (ayam

BAB I PENDAHULUAN. Ayam pedaging atau yang sering disebut sebagai ayam broiler (ayam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ayam pedaging atau yang sering disebut sebagai ayam broiler (ayam buras) merupakan salah satu hewan ternak yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dalam pemenuhan

Lebih terperinci

KEAMANAN PANGAN HASIL TERNAK DITINJAU DARI CEMARAN LOGAM BERAT

KEAMANAN PANGAN HASIL TERNAK DITINJAU DARI CEMARAN LOGAM BERAT KEAMANAN PANGAN HASIL TERNAK DITINJAU DARI CEMARAN LOGAM BERAT Roostita L. Balia, Ellin Harlia, Denny Suryanto Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran ABSTRAK Tujuan dari pengembangan peternakan yaitu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN

PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN PERTUMBUHAN Saccharomyces cerevisiae PADA BERBAGAI JENIS MEDIUM, INTENSITAS CAHAYA, TEMPERATUR, RUMEN DAN LAMA PENYIMPANAN Abstract Saccharomyces cerevisiae yeast has been used for various purposes in

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis

PENDAHULUAN Latarbelakang aflatoksikosis 1 PENDAHULUAN Latarbelakang Indonesia yang beriklim tropis memberikan kondisi yang sangat baik bagi pertumbuhan dan perkembangan berbagai cendawan. Salah satu diantara cendawan tersebut adalah Aspergillus.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli sampai bulan November 2009 yang bertempat di Laboratorium Riset, Jurusan Pendidikan Kimia, Fakultas

Lebih terperinci

Koloni bakteri endofit

Koloni bakteri endofit Lampiran : 1 Isolasi Bakteri Endofit pada tanaman V. varingaefolium Tanaman Vaccinium varingaefolium Diambil bagian akar tanaman Dicuci (menghilangkan kotoran) Dimasukkan ke dalam plastik Dimasukkan ke

Lebih terperinci

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA

APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA APPENDIKS A PROSEDUR KERJA DAN ANALISA 1. Pembuatan sodium Sitrat (C 6 H 5 Na 3 O 7 2H 2 O) 0,1 M 1. Mengambil dan menimbang sodium sitrat seberat 29.4 gr. 2. Melarutkan dengan aquades hingga volume 1000

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS BAHAN PENGIKAT MIKOTOKSIN (UJI IN VITRO)

EFEKTIFITAS BAHAN PENGIKAT MIKOTOKSIN (UJI IN VITRO) EFETIFITAS BAHAN PENGIAT MIOTOSIN (UJI IN VITRO) (Effectifity of Toxin Binder (In Vitro Study)) SRI RACHMAWATI Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E. Martadinata No. 30, Bogor 16114 ABSTRACT Mycotoxin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

BAB III METODE PENELITIAN. lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari 2 faktor. Faktor pertama adalah variasi

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP PENURUNAN SENYAWA RACUN DALAM MINYAK BIJI KAPOK (CYCLOPROPENOID FATTY ACID, CPFA)

PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP PENURUNAN SENYAWA RACUN DALAM MINYAK BIJI KAPOK (CYCLOPROPENOID FATTY ACID, CPFA) PENGARUH PENYIMPANAN TERHADAP PENURUNAN SENYAWA RACUN DALAM MINYAK BIJI KAPOK (CYCLOPROPENOID FATTY ACID, CPFA) (Influence of Strorage Time on the Decreasing of a Toxic Compound in Kapok Seed Oil (Cyclopropenoid

Lebih terperinci

UJI PATOGENISITAS Fusarium moniliforme SHELDON PADA JAGUNG ABSTRAK

UJI PATOGENISITAS Fusarium moniliforme SHELDON PADA JAGUNG ABSTRAK Nurasiah Djaenuddin dan Amran Muis: Uji Patogenitas F. moniliforme.. UJI PATOGENISITAS Fusarium moniliforme SHELDON PADA JAGUNG Nurasiah Djaenuddin dan Amran Muis Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK

Lebih terperinci

PERUBAHAN KANDUNGAN OKSALAT SELAMA PROSES SILASE RUMPUT SETARIA

PERUBAHAN KANDUNGAN OKSALAT SELAMA PROSES SILASE RUMPUT SETARIA PERUBAHAN KANDUNGAN OKSALAT SELAMA PROSES SILASE RUMPUT SETARIA NANI IRIANI Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Rumput setaria adalah salah satu jenis rumput yang banyak ditanam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dan Laboratorium Kimia Universitas

Lebih terperinci

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH

ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH ANALISIS KUALITAS AIR MINUM SAPI PERAH RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS JAWA TENGAH Doso Sarwanto 1) dan Eko Hendarto 2) ABSTRAK Produksi susu sapi perah dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas air yang dikonsumsinya.

Lebih terperinci

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) Pendahuluan Pemanfaatan bakteri perakaran atau PGPR dalam bidang perlindungan telah banyak dilaporkan pada beberapa tanaman dan dilaporkan

Lebih terperinci

Produk Bioindustri di Indonesia

Produk Bioindustri di Indonesia Produk Bioindustri di Indonesia Nur Hidayat TIP FTP - UB Pendahuluan Produk bioindustri terutama industry fermentasi tradisional banyak berkembang di Indonesia Indonesia sebagai Negara berkembang menjadi

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN

BAB 4 METODE PENELITIAN 19 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian laboratoris. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimental 4.2. Tempat Penelitian 1. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Laboratorium Biologi

Lebih terperinci

PENGARUH IRADIASI DAN PENYIMPANAN DARI SUPLEMEN PAKAN RUMINANSIA

PENGARUH IRADIASI DAN PENYIMPANAN DARI SUPLEMEN PAKAN RUMINANSIA PENGARUH IRADIASI DAN PENYIMPANAN DARI SUPLEMEN PAKAN RUMINANSIA (The Effect of Irradiation on the Shelf Life of Feed Supplements for Ruminant) LYDIA ANDINI, SUHARYONO dan HARSOJO. Pusat Aplikasi Teknologi

Lebih terperinci

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya

Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya Uji antibakteri komponen bioaktif daun lobak (Raphanus sativus L.) terhadap Escherichia coli dan profil kandungan kimianya UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: Jenny Virganita NIM. M 0405033 BAB III METODE

Lebih terperinci

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher)

Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) Pengaruh Lanjutan Substitusi Ampas Tahu pada Pakan Basal (BR-2) Terhadap Penampilan Ayam Broiler Umur 4-6 Minggu (Fase Finisher) The Effect of Continued Substitution of Tofu on Basal Feed (BR-2) on The

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) DALAM PENANGGULANGAN AFLATOKSIKOSIS PADA AYAM PETELUR

EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) DALAM PENANGGULANGAN AFLATOKSIKOSIS PADA AYAM PETELUR EFEKTIVITAS EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum Linn) DALAM PENANGGULANGAN AFLATOKSIKOSIS PADA AYAM PETELUR ROMSYAH MARYAM, YULVIAN SANI, SITI JUARIAH, RACHMAT FIRMANSYAH, dan MIHARJA Balai Penelitian

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2009. Pengambilan sampel susu dilakukan di beberapa daerah di wilayah Jawa Barat yaitu

Lebih terperinci

diisolasi dari contoh kecap dengan menggunakan media SDA, sedikit sekali populasinya. Hal ini tentunya dikarenakan komposisi media tersebut kurang dap

diisolasi dari contoh kecap dengan menggunakan media SDA, sedikit sekali populasinya. Hal ini tentunya dikarenakan komposisi media tersebut kurang dap Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Perlanian 2006 PENINGKATAN EFEKTIVITAS MEDIA ISOLASI KHAMIR CONTOH KECAP DENGAN PENAMBAHAN KECAP WAWAN SUGIAWAN Balai Penelitian I'eteriner, Jl. R. E. Martadinata

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sejumlah produk olahan pangan

I. PENDAHULUAN. beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sejumlah produk olahan pangan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jagung (Zea mays L) merupakan bahan pangan pokok peringkat kedua setelah beras yang dikonsumsi masyarakat Indonesia. Sejumlah produk olahan pangan memanfaatkan jagung yang

Lebih terperinci

KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN

KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN KONTAMINASI SALMONELLA, ASPERGILLUS DAN AFLATOKSIN PADA PRODUK TERNAK ITIK ALABIO DI KALIMANTAN SELATAN ENI SITI ROHAENI dan SURYANA BPTP Kalimantan Selatan Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru, Kalimantan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris secara in vitro menggunakan ekstrak daun sirih merah

Lebih terperinci

Ekstraksi Minyak Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr.) selama 1 menit dan didiamkan selama 30 menit. diuapkan dengan evaporator menjadi 1 L.

Ekstraksi Minyak Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr.) selama 1 menit dan didiamkan selama 30 menit. diuapkan dengan evaporator menjadi 1 L. LAMPIRAN 47 Lampiran 1. Prosedur Kerja Ekstraksi Minyak Buah Makasar (Brucea javanica (L.) Merr.),Penetapan Kadar Protein, Penetapan Kadar Lemak, dan Penetapan Kadar Kolesterol Hati Itik Cihateup 48 Ekstraksi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana.

BAB III METODE PENELITIAN. mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu dengan cara mengujikan L. plantarum dan L. fermentum terhadap silase rumput Kalanjana. Rancangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan Mei 2011 di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor (IPB),

Lebih terperinci

Mycotoxins and Animal Nutrition. Trouw Nutrition Hifeed

Mycotoxins and Animal Nutrition. Trouw Nutrition Hifeed Mycotoxins and Animal Nutrition Trouw Nutrition Hifeed 1 Apakah mycotoxins? Mycotoxins adalah racun, sisa metabolite jamur Fungi spores 2 Apakah mycotoxins? Bijian Jagung Kacang tanah Bahan baku dari tumbuhan

Lebih terperinci

PENGARUH AFLATOKSIN B1 TERHADAP KANDUNGAN KALSIUM DAN MAGNESIUM DALAM SERUM ITIK

PENGARUH AFLATOKSIN B1 TERHADAP KANDUNGAN KALSIUM DAN MAGNESIUM DALAM SERUM ITIK PENGARUH AFLATOKSIN B1 TERHADAP KANDUNGAN KALSIUM DAN MAGNESIUM DALAM SERUM ITIK (The Effect of Aflatoxin B1 (AFB1) Consumption on the Consentration of Calcium (Ca) and Magnesium (Mg) in the Serum of Ducks)

Lebih terperinci

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER

PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER PKMI-1-15-1 PERLAKUAN PENYEDUHAN AIR PANAS PADA PROSES FERMENTASI SINGKONG DENGAN ASPERGILLUS NIGER Pratiwi Erika, Sherly Widjaja, Lindawati, Fransisca Frenny Fakultas Teknobiologi, Universitas katolik

Lebih terperinci

PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING YANG DIBERI TEPUNG CACING TANAH SEBAGAI SUPLEMEN PAKAN PENGGANTI ANTIBIOTIK

PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING YANG DIBERI TEPUNG CACING TANAH SEBAGAI SUPLEMEN PAKAN PENGGANTI ANTIBIOTIK PERSENTASE KARKAS AYAM PEDAGING YANG DIBERI TEPUNG CACING TANAH SEBAGAI SUPLEMEN PAKAN PENGGANTI ANTIBIOTIK (The Percentages of Broiler Carcas Fed on Earthworm Meal as Feed Supplement for Antibiotic Substitution)

Lebih terperinci

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962).

Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Lampiran 1. Metode analisis kolesterol, asam lemak dan Vitamin A A. Metode Analisis Kolesterol (Kleiner dan Dotti 1962). Diambil sampel dua telur pada setiap ulangan. Delapan belas sampel dianalisis kolesterolnya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III A. Jenis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratoris secara in vitro menggunakan ekstrak kelopak bunga mawar yang diujikan pada bakteri P. gingivalis

Lebih terperinci

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter

Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Bambu dan Litter Penampilan Produksi Anak Ayam Buras yang Dipelihara pada Kandang Lantai Abdul Azis, Anie Insulistyowati, Pudji Rahaju dan Afriani 1 Intisari Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penampilan produksi

Lebih terperinci

Seminar Nasional Teknologi Peternakan don Veteriner 2002

Seminar Nasional Teknologi Peternakan don Veteriner 2002 Seminar Nasional Teknologi Peternakan don Veteriner 2002 RESIDU AFLATOKSIN B1 PADA ORGAN HATI DAN PERTUMBUHAN ITIK YANG MENDAPAT PERLAKUAN BAKTERI ASAM LAKTAT (LA CTOBACILL US RIIAMNOSUS) (Aflatoxin B1

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C.

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C. 12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pengaruh Pemberian Kapang R. Oryzae atau C. Crassa terhadap Populasi Bakteri dalam Ileum Ayam Broiler yang dipelihara pada Kondisi Panas dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 1 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental laboratorium. B. Lokasi Penelitian Ekstraksi dilakukan di Lembaga Penelitian dan Pengujian Terpadu

Lebih terperinci

III BAHAN, ALAT, DAN METODE PENELITIAN

III BAHAN, ALAT, DAN METODE PENELITIAN III BAHAN, ALAT, DAN METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan mengenai : (3.1) Bahan Penelitian, (3.2) Alat Penelitian, dan (3.3) Metode Penelitian. 3.1. Bahan Penelitian Bahan baku penelitian pada proses

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Limbah tanaman jagung (LTJ) yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Bisi 2 yang komponen utamanya berupa batang, tongkol, klobot, dan daun berasal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 ulangan yang terdiri dari:

BAB III METODE PENELITIAN. terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 ulangan yang terdiri dari: BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang terdiri atas 5 perlakuan dengan 3 ulangan yang terdiri dari: 1. 0 ppm: perbandingan media

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Praktikum kali ini membahas mengenai isolasi khamir pada cider nanas. Cider merupakan suatu produk pangan berupa minuman hasil fermentasi dengan kandungan alkohol antara 6,5% sampai sekitar

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN A.

BAB III METODE PENELITIAN A. 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan memberikan manipulasi terhadap objek penelitian serta adanya kontrol (Nazir, 1999). Pada penelitian

Lebih terperinci

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica)

Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Efektifitas Berbagai Probiotik Kemasan Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Burung Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Effectiveness of Various Probiotics Product on the Growth and Production of Quail (Coturnix

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS ZEOLIT KOMERSIAL SEBAGAI BAHAN PENGIKAT AFLATOKSIN (UJI IN VITRO)

EFEKTIVITAS ZEOLIT KOMERSIAL SEBAGAI BAHAN PENGIKAT AFLATOKSIN (UJI IN VITRO) EFEKTIVITAS ZEOLIT KOMERSIAL SEBAGAI BAHAN PENGIKAT AFLATOKSIN (UJI IN VITRO) Binder Capacity of Commercial Zeolites to Aflatoxin (In Vitro Study) SRI RAHMAWATI Balai Besar Penelitian Veteriner, Jl. R.E.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian konversi lignoselulosa jerami jagung (corn stover) menjadi 5- hidroksimetil-2-furfural (HMF) dalam media ZnCl 2 dengan co-catalyst zeolit,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang

I. PENDAHULUAN. perunggasan merupakan salah satu penyumbang sumber pangan hewani yang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk di Indonesia berkembang pesat dengan kemajuan tekhnologi hingga saat ini. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat tersebut diikuti pula dengan

Lebih terperinci

XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN

XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN XIII. JAMUR DAN MIKOTOKSIN DALAM PANGAN Jamur dapat tumbuh pada berbagai jenis pangan, dan pertumbuhannya akan menyebabkan terjadinya kerusakan pangan yang bersangkutan, diantaranya kerusakan flavor, warna,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April-Mei 2014 di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

Lebih terperinci

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH

KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH KADAR KOLESTEROL SERUM DARAH AYAM PETELUR YANG DIBERI AIR REBUSAN DAUN SIRIH SKRIPSI TEFI HARUMAN HANAFIAH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN

Haris Dianto Darwindra BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN Dalam praktikum ini membahas mengenai inokulum tape. Tape adalah sejenis panganan yang dihasilkan dari proses peragian ( fermentasi). Tape bisa dibuat dari singkong (ubi kayu) dan hasilnya

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA

SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA SITUASI CEMARAN MIKOTOKSIN PADA PAKAN DI INDONESIA DAN PERUNDANG UNDANGANNYA Djodi Achmad Hussain Suparto Direktorat Budidaya Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Jakarta PENDAHULUAN

Lebih terperinci

DAN KACANG TANAH DI KABUPATEN KUPANG DAN TIMOR TENGAH SELATAN (NTT) Yuliana Tandi Rubak*

DAN KACANG TANAH DI KABUPATEN KUPANG DAN TIMOR TENGAH SELATAN (NTT) Yuliana Tandi Rubak* 1 TINGKAT CEMARAN AFLATOKSIN B 1 PADA PRODUK OLAHAN JAGUNG DAN KACANG TANAH DI KABUPATEN KUPANG DAN TIMOR TENGAH SELATAN (NTT) Yuliana Tandi Rubak* Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI

EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI EFEKTIVITAS PENYERAPAN Ca DAN P, KADAR AIR DAN KANDUNGAN AMONIA MANUR AYAM PETELUR DENGAN RANSUM BERZEOLIT DAN RENDAH Ca SKRIPSI SUSILAWATI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PERBANDINGAN NILAI NUTRISI (KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK) AMPAS TAHU TERFERMENTASI OLEH

PERBANDINGAN NILAI NUTRISI (KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK) AMPAS TAHU TERFERMENTASI OLEH PERBANDINGAN NILAI NUTRISI (KARBOHIDRAT, PROTEIN DAN LEMAK) AMPAS TAHU TERFERMENTASI OLEH Aspergillus oryzae, Rhizopus oligosporus DAN Neurospora sitophila Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna

Lebih terperinci

PEMBUATAN ETANOL DARI SAMPAH PASAR MELALUI PROSES PEMANASAN DAN FERMENTASI BAKTERI Zymomonas mobilis

PEMBUATAN ETANOL DARI SAMPAH PASAR MELALUI PROSES PEMANASAN DAN FERMENTASI BAKTERI Zymomonas mobilis PEMBUATAN ETANOL DARI SAMPAH PASAR MELALUI PROSES PEMANASAN DAN FERMENTASI BAKTERI Zymomonas mobilis ETHANOL MAKING FROM GREENGROCER S SOLID WASTE THROUGH HEATING PROCESS AND FERMENTATION USING Zymomonas

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai

BAB III METODE PENELITIAN. Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai 30 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Alat dan Bahan Pada penelitian ini digunakan berbagai jenis alat antara lain berbagai macam alat gelas, labu Kjeldahl, set alat Soxhlet, timble ekstraksi, autoclave, waterbath,

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh PenambahanProbiotik Rhizopus oryzae

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian tentang Pengaruh PenambahanProbiotik Rhizopus oryzae 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian tentang Pengaruh PenambahanProbiotik Rhizopus oryzae Dalam Ransum Terhadap Populasi Mikroba, Panjang serta Bobot Relatif Seka Ayam Kampung dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat

PENDAHULUAN. masyarakat. Permintaan daging broiler saat ini banyak diminati oleh masyarakat I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Broiler merupakan unggas penghasil daging sebagai sumber protein hewani yang memegang peranan cukup penting dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat. Permintaan daging

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair.

LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair. LAMPIRAN Lampiran 1: Komposisi dan Penyiapan Media Skim Milk Agar, Komposisi Media Feather Meal Agar, Komposisi Media Garam Cair. a. Komposisi media skim milk agar (Widhyastuti & Dewi, 2001) yang telah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratoris In Vitro. B. Populasi dan Sampel Penelitian Subyek pada penelitian ini yaitu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Alat dan Bahan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian diawali dengan pengambilan sampel susu pasteurisasi impor dari Australia melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta. Pengujian dilakukan di Balai Uji

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di

BAB III METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret-November 2012 di Laboratorium Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Agustus 2014 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Agustus 2014 di III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2013 sampai Agustus 2014 di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP) dan Laboratorium Kimia, Universitas

Lebih terperinci

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN

BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN BIOEDUKASI Jurnal Pendidikan Biologi e ISSN 2442-9805 Universitas Muhammadiyah Metro p ISSN 2086-4701 UPAYA PENYEDIAAN PAKAN ALTERNATIF DARI FERMENTASI ONGGOK BAGI BEBEK PEDAGING DI KOTA METRO Widya Sartika

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus:

HASIL DAN PEMBAHASAN. Perhitungan Kadar Kadar residu antibiotik golongan tetrasiklin dihitung dengan rumus: 8 Kolom : Bondapak C18 Varian 150 4,6 mm Sistem : Fase Terbalik Fase Gerak : Asam oksalat 0.0025 M - asetonitril (4:1, v/v) Laju Alir : 1 ml/menit Detektor : Berkas fotodioda 355 nm dan 368 nm Atenuasi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2008, Hal Vol. 3, No. 2 ISSN :

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2008, Hal Vol. 3, No. 2 ISSN : Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Agustus 2008, Hal 17-22 Vol. 3, No. 2 PENGARUH PENGGUNAAN KOMBINASI ASAM SITRAT DAN ASAM LAKTAT CAIR DAN TERENKAPSULASI SEBAGAI ADITIF PAKAN TERHADAP PERSENTASE

Lebih terperinci

Pengumpulan daun apu-apu

Pengumpulan daun apu-apu 58 Lampiran 1. Pembuatan Tepung Daun Apu-apu Pengumpulan daun apu-apu Pencucian daun apu-apu menggunakan air mengalir untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada daun Penyortiran, daun dipisahkan dari

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di 29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai Juni 2014 bertempat di Laboratorium Kimia Fisik, Laboratorium Biomassa Universitas Lampung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang

Lebih terperinci