BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR"

Transkripsi

1 BAGIAN KEEMPAT RENCANA POLA RUANG WILAYAH KAB. LUWU TIMUR Berdasarkan Permen PU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten, pengertian rencana pola pemanfaatan ruang adalah rencana yang menggambarkan letak, ukuran dan fungsi dari kegiatan-kegiatan lindung dan budidaya. Substansi dari rencana pola pemanfaatan ruang meliputi batas-batas kegiatan sosial, ekonomi, budaya dan kawasan-kawasan lainnya (kawasan lindung dan kawasan budidaya). Pengembangan rencana pola pemanfaatan ruang bertujuan untuk : 1. Pemanfaatan ruang harus memperhatikan daya dukung lingkungan. 2. Tersedianya lahan yang dapat menampung perkembangan jumlah penduduk dan tenaga kerja. 3. Terciptanya sinkronisasi antara rencana pola pemanfaatan ruang dan rencana struktur tata ruang yang dikembangkan. 4. Memperhatikan kesesuaian lahan dan kondisi eksisting. 5. Mewujudkan aspirasi masyarakat. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 1

2 Rencana pola ruang wilayah kabupaten merupakan rencana distribusi peruntukan ruang dalam wilayah kabupaten yang meliputi rencana peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan rencana peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Rencana pola ruang wilayah kabupaten berfungsi: sebagai alokasi ruang untuk berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat dan kegiatan pelestarian lingkungan dalam wilayah kabupaten; mengatur keseimbangan dan keserasian peruntukan ruang; sebagai dasar penyusunan indikasi program utama jangka menengah lima tahunan untuk dua puluh tahun; dan sebagai dasar dalam pemberian izin pemanfaatan ruang pada wilayah kabupaten. Pada prinsipnya pemanfaatan ruang merupakan perwujudan dari upaya pemanfaatan sumberdaya alam di suatu wilayah melalui pola pemanfaatan yang diyakini dapat memberikan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan bahwa pola pemanfaatan ruang adalah bentuk pemanfaatan ruang yang menggambarkan ukuran, fungsi, serta karakter kegiatan manusia dan/atau kegiatan alam. Hasil dari pemanfaatan ruang meliputi; lokasi, sebaran, permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, pariwisata, pertambangan dan mineral, pola penggunaan tanah perdesaan dan perkotaan, serta penggunaan budidaya lainnya KAWASAN LINDUNG Rencana pola pemanfaatan ruang kawasan lindung ditujukan untuk mewujudkan kelestaian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan dan menjaga keseimbangan ekosistem antarwilayah guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan. 1. Klasifikasi dan Kriteria Pengelolaan Kawasan Lindung Penetapan kawasan lindung merupakan perwujudan dari pengembangan struktur ruang wilayah Kabupaten Luwu Timur yang berlandaskan pada prinsip pembangunan berkelanjutan. Setelah kawasan lindung ini ditetapkan sebagai wilayah limitasi atau kendala bagi pengembangan kawasan budidaya, selanjutnya dapat ditentukan kawasan budidaya. Kawasan lindung termasuk kekayaan flora dan fauna Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 2

3 atau biota yang ada di darat dan perairan pesisir. Pertimbangan yang digunakan untuk penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur adalah : (1) kriteria kawasan lindung menurut Kepres Nomor 32 Tahun 1990 didasarkan pada klasifikasi kriteria serta urutan prioritas penerapannya, (2) hasil analisis kesesuaian lahan. 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung Klasifikasi kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur dari fungsinya, meliputi: Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya adalah kawasan hutan lindung. Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari: - Kawasan sempadan pantai - Kawasan sempadan sungai - Kawasan sempadan danau Kawasan suaka alam, terdiri dari: - Kawasan cagar alam - Kawasan konservasi perairan Penetapan kawasan lindung di Kabupaten Luwu Timur berdasarkan klasifikasi kriteria serta urutan prioritas penerapannya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.1. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung di Kabupaten Luwu Timur Fungsi Kawasan Kawasan yang memberikan perindungan kawasan bawahannya Peruntukan Ruang Rencana Pengelolaan Hutan Lindung 1. Mempertahankan kawasan hutan lindung yang sudah ditetapkan dan meningkatkan fungsi hidrologisnya, sehingga tidak boleh dikonversi untuk kepentingan lain yang mengubah fungsi hutan lindung. 2. Menjaga fungsi hutan lindung yang masih baik serta mengembalikan kawasan yang beralih pemanfaatan lahannya dari non hutan menjadi hutan lindung. 3. Beberapa kawasan tertentu, terutama hutan produksi (terbatas dan tetap) yang memenuhi kriteria hutan lindung agar diproses secara cermat sesuai prosedur yang berlaku menjadi kawasan hutan lindung. Lokasi Rencana alokasi hutan lindung seluas ,64 hektar. Lokasi hutan lindung tersebar di Kecamatan Towuti, Nuha, Wasuponda, Malili, Angkona, Tomoni, Mangkutana, Wotu, dan Kecamatan Burau. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 3

4 4. Mengukuhkan kawasan sebagai hutan lindung apabila kawasan tersebut belum dikukuhkan. 5. Bagi kawasan non hutan (perkebunan) yang mempunyai kriteria lindung agar dikaji dan dipertimbangkan fungsinya sebagai hutan lindung atau kawasan resapan air atau dialihfungsikan secara bertahap (terutama bagi HGU-nya telah habis atau dihapuskan) secara cermat dan tepat sehingga menjadi bagian dari kawasan yang berfungsi lindung. 6. Kegiatan pada kawasan hutan lindung harus dibatasi secara ketat dan tidak mengganggu fungsi lindung seperti ekosistem, penelitian, dan pendidikan lingkungan. 7. Kegiatan budidaya yang sudah berlangsung pada kawasan hutan lindung dicegah perkembangannya, dan secara bertahap diarahkan sesuai fungsi kawasan. 8. Wilayah-wilayah perkampungan/penduduk asli/setempat yang berada di kawasan ini diupayakan mendapat perlakuan khusus, antara lain: a. Pemanfaatannya harus tetap mengacu pada fungsi lindung. b. Luasnya tidak boleh ditambah dan tidak boleh diperjualbelikan. c. Tidak diperkenankan mengubah bentang alam, kecuali untuk meningkatkan sistem konservasi tanah dan air. 9. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi hutan lindung dan atau bangunan yang merupakan bagian jaringan atau transmisi bagi kepentingan umum/ekowisata sepanjang tidak mengganggu keseimbangan ekosistemnya, misalnya pos pengamatan dan penjagaan, jalan setapak untuk wisata, triangulasi, jaringan listrik/telekomunikasi dan patok. 10. Melakukan rehbilitasi dan reboisasi dengan tutupan vegetasi tetap, terutama pada lahan-lahan yang saat ini kritis. 11. Menjaga dan melindungi flora dan fauna yang ada. 12. Monitoring secara kontinyu, khususnya pada kegiatan/pemanfaatan lahan yang saat ini tidak sesuai dengan peruntukan fungsi hutan lindung. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 4

5 13. Dilakukan pola-pola partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan. 14. Dilakukan studi-studi terhadap potensi ekonomi hutan lindung untuk sumberdaya non kayu. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya Cagar Alam 1. Memperhatikan keberadaan kawasan baik fungsi dan kualitasnya. 2. Dapat dikembangkan sebagai daerah ekowisata selama tidak mengganggu fungsi utama kawasan. 3. Rehabilitasi dan reboisasi terhadap kawasan yang mengalami kerusakan lingkungan. 4. Melakukan pengawasan dan pengamanan kawasan terhadap gangguan dan kegiatan pariwisata. Luas rencana kawasan cagar alam adalah , 89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda 1. Konservasi Perairan 1. Mempertahankan kawasan-kawasan resapan air atau kawasan yang berfungsi hidrologis untuk menjamin ketersediaan sumberdaya air. 2. Tidak diperkenankan mendirikan bangunan kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan selama tidak mengganggu ekosistem kawasan. 3. Kawasan ini dikategorikan sebagai wilayah limitasi bagi pembangunan fisik dan diperlukan bagi kelestarian lingkungan. Luas rencana kawasan konservasi perairan adalah ,47 hektar. Kawasan konservasi ini tersebar di Kecamatan Towuti dan Kecamatan Nuha. Kawasan Perlindungan Setempat (a) Sempadan Sungai 1. Tidak mengeluarkan ijin bangunan dan kegiatan yang berdampak mengganggu aliran sungai pada daerah sempadan sungai, kecuali bangunan yang diperlukan untuk menunjang fungsi kawasan. 2. Bangunan yang sudah berada di kawasan sempadan sungai ditata, baik secara rekayasa teknis maupun non teknis, sehingga tidak mengganggu aliran sungai. 3. Menata atau mengelola saluran-saluran bangunan limbah yang menuju badan sungai dan tertentu pada sempadan pantai. 4. Melakukan konservasi lahan pada jalur kiri dan kanan sungai yang potensial erosi dan longsor. Luas sempadan sungai adalah ,21 hektar. Kawasan sempadan sungai tersebar di seluruh Kabupaten Luwu Timur. (b) Sempadan Pantai 1. Pemanfaatan lahan pada kawasan ini baik melalui rekayasa teknis maupun non teknis harus dilakukan melalui kajian AMDAL yang cermat dan tidak diperkenankan memberi dampak negatif terhadap lingkungan pantai. Luas sempadan pantai adalah 5.542,97 hektar. Lokasi kawasan sempadan pantai berada di Kec. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 5

6 (c) Kawasan Sekitar Danau Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun Penataan dan pengendalian terhadap bangunan atau aktivitas yang mengganggu lingkungan pantai dan keindahannya. 3. Menyusun pengelolaan terpadu kawasan pesisir terutama untuk pengembangan kegiatan budidaya. 1. Melakukan rehabilitasi dan konservasi lahan pada kawasan yang rawan erosi untuk mencegah percepatan sedimentasi pada danau. 2. Menata ulang kawasan untuk meningkatkan fungsi kawasan 3. Kegiatan budidaya dapat dilakukan selama tidak mengganggu kualitas dan fungsi danau 4. Memasang rambu/tanda perungatan di wilayah radius kawasan Angkona, Burau, Malili dan Kecamatan Wotu. Kawasan sekitar danau memiliki luas 6.575,38 hektar. Lokasi kawasan sekitar danau terdapat di Kecamatan Towuti, Nuha dan Kecamatan Wasuponda Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya Kawasan Yang Memberikan Perlindungan Terhadap Kawasan Bawahannya merupakan yang ditujukan untuk mencegah erosi, bencana banjir, sedimentasi dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin tersedianya unsur hara tanah dan air permukaan. Kriteria dari kawasan ini adalah: Kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, dan curah hujan yang melebihi nilai skor 175 menurut Keputusan Menteri Pertanian No.837/KPTS/UM/11/1980 dan atau Kawasan hutan mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih (Inmendagri 8/1985) dan atau Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian diatas permukaan laut meter atau lebih. Kawasan lindung ini di Kabupaten Luwu Timur secara keseluruhan memiliki luas sekitar Ha, yang antara lain terdapat pada Kecamatan Burau, Wotu, Tomoni, Mangkutana, Kalaena, Angkona, Malili, Towuti Nuha, dan Wasuponda Adapun arahan pengaturan dari kawasan ini adalah sebagai berikut: Hutan lindung yang telah ada berdasarkan peraturan/perundangan yang berlaku tetap dipertahankan. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 6

7 Penggunaan lahan yang telah ada (permukiman, sawah, tegalan, tanaman tahunan/perkebunan, dan lain-lain) di dalam kawasan ini secara bertahap dialihkan ke arah usaha konservatif dan/atau dibatasi secara ketat, sehingga fungsi lindung yang diemban dapat dilaksanakan. Kawasan lahan >40% diluar hutan lindung/cagar alam dan terindikasi telah digunakan sebagai lahan budidaya juga akan tetap dibatasi secara ketat dan akan dijadikan area penyanggah (buferzone) bagi kawasan tersebut. Penggunaan lahan yang akan mengurangi fungsi konservasi secara bertahap dialihkan fungsinya sebagai lindung sesuai kemampuan dana yang ada. Penggunaan lahan baru tidak diperkenankan bila tidak menjamin fungsi lindung terhadap hidro-orologis, kecuali jenis penggunaan yang sifatnya tidak bisa dialihkan (menara BTS, jaringan listrik, telepon, air minum dan lain-lain), hal tersebut tetap memperhatikan azas konservasi. Adanya potensi pertambangan pada beberapa bagian di kawasan hutan lindung Kabupaten Luwu Timur perlu mendapatkan perhatian serius. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini wajib memperhatikan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, terutama terkait dengan tumpang tindih lahan pertambangan dan hutan lindung Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan perlindungan setempat diarahkan bagi pengembangan Sempadan Sungai, Sempadan Pantai, dan Kawasan Resapan Air. A. Kawasan Sempadan Sungai Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai. Tujuan dari penentuan ini adalah untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik dan dasar sungai, serta mengamankan aliran sungai. Kriteria dari kawasan sempadan sungai adalah kawasan yang sekurang-kurangnya berada 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di kiri-kanan anak sungai yang berada di luar permukiman (SK Mentan nomor 837/KPTS/Um/11/1980 dan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 7

8 nomor 887/KPTS/Um/1980). Sempadan sungai di kawasan permukiman berupa daerah sepanjang sungai yang diperkirakan cukup untuk dibangun jalan inspeksi (10-15 meter). Kawasan sempadan sungai dialokasikan di sepanjang aliran sungai yang ada di Kabupaten Luwu Timur. Pengalokasian dan pengelolaan kawasan ini secara tepat diharapkan dapat tetap menjaga keberadaan sungai di Kabupaten Luwu Timur, mengingat wilayah ini terbagi menjadi beberapa WAS (Wilayah Aliran Sungai) dan Sub WAS yang sudah tentu terdiri dari banyak sungai dan anak sungai yang membentang, diantaranya WAS Kalaena, Tomoni, Larona, WAS Malili, Sub WAS Pongkeru. B. Kawasan Sempadan Pantai dan Danau Sempadan pantai adalah kawasan sepanjang pantai, yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai terhadap daratan dari bahaya abrasi dan intrusi air laut ke darat, juga terhadap keragaman biota yang ada di kawasan pantai. Lokasi ini di Kabupaten Luwu Timur terdapat pada beberapa kecamatan, diantaranya Kecamatan Malili, Wotu, Angkona dan Burau. Demikian halnya dengan sempadan danau yang terdapat di Kabupaten Luwu Timur, diantaranya Danau Towuti, Danau Matano dan Danau Mahalona perlunya melestarikan fungsi untuk menjaga luapan air danau, serta menjaga kelestarian keragaman biota yang ada. Tujuan dari penentuan kawasan sempadan pantai dan danau adalah untuk melindungi wilayah pantai dari usikan kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai dan danau; Pengaturan umum terhadap kawasan sempadan pantai dan danau adalah : Khusus untuk pemanfaatan hutan bakau (mangrovee) untuk pengembangan perikanan tambak dapat dilakukan secara ketat dengan tetap mengedepankan aspek pelestarian pantai, dan danau, dengan terlebih dahulu mengarahkan pada arahan lokasi yang telah ditetapkan; Batas sempadan pantai yang berhutan bakau (mangrovee) minimal adalah 130 kali perbedaan pasang dan surut tertinggi. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 8

9 C. Kawasan Resapan Air Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (aquifer) yang berguna sebagai sumber air. Tujuan dari penentuan kawasan resapan air adalah memberikan ruang yang cukup bagi peresapan air hujan pada daerah resapan air tanah untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir, baik untuk kawasan bawahannya maupun kawasan yang bersangkutan. Kriteria dari kawasan resapan air adalah kawasan dengan curah hujan yang tinggi, struktur tanah yang mudah meresapkan air dan bentuk geomorfologi yang mampu meresapkan air hujan secara besar-besaran. Kawasan resapan air di Kabupaten Luwu Timur terdapat di pada hampir setiap kecamatan, terutama pada lahan-lahan pertanian basah, sekitar pantai, sekitar danau Towuti, Matano dan Mahalona Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya Pengelolaan kawasan cagar alam merupakan komponen yang penting dalam perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian ruang di Kabupaten Luwu Timur untuk menjaga kelestarian lingkungan. Beberapa upaya pengelolaan kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur, antara lain: - Menambah dan memelihara keanekaragaman flora dan fauna di dalam kawasan. - Memperketat penjagaan dan pengawasan kawasan cagar alam dan disekitarnya guna tetap terpeliharanya kawasan sesuai dengan fungsi kelestariannya. Luas rencana kawasan cagar alam di Kabupaten Luwu Timur adalah , 89 hektar. Kawasan cagar alam tersebar di Kecamatan Angkona, Kalaena, Mangkutana, Nuha, Towuti, dan Kecamatan Wasuponda Kawasan Rawan Bencana Kawasan rawan bencana alam, diarahkan pada daerah-daerah yang rawan gempa akibat adanya patahan dan sesar, juga pada daerah rawan bencana tsunami di pesisir pantai, daerah tanah longsor, dan banjir. Pengalokasian ini ditujukan untuk Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 9

10 melindungi manusia dan kegiatannya dari bencana yang disebabkan oleh bencana alam. Potensi rawan bencana Kabupaten Luwu Timur berupa tanah longsor, luapan air sungai, rawan gempa dan rawan banjir yang hampir terjadi setiap tahun. Adapaun arahan rencana penanganan kawsan rawan bencana di Kabupaten Luwu Timur sebagai berilkut: Untuk tanah longsor dan luapan air sungai diarahkan pengendaliannya dengan menetapkan deliniasi kawasan lindung agar pemanfaatan lahan pada kawasan tersebut mengeliminir kegiatan-kegiatan budidaya yang dapat menyebabkan terjadi longsor pada kawasan tersebut, terutama pada kawasan hulu sungai. Rawan longsor dan luapan air sungai di Kabupaten Luwu Timur sering terjadi pada Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Towuti, Malili, dan Kecamatan Nuha. Untuk daerah rawan banjir diarahkan pengendaliannya dikawasan yang sering terkena banjir seperti di sekitar Kecamatan Malili (Kota Lama Malili), Kecamatan Wotu, Kalaena, Mangkutana, Burau dan Kecamatan Tomoni. Untuk rawan gempa bumi, diarahkan pengendalian ketat pada wilayah yang berada tepat pada jalur patahan (sesar Matano) yang melalui beberapa wilayah kecamatan seperti Kecamatan Kalaena, Mangkutana, Malili, hingga ke Kecamatan Wasuponda dan Nuha Gambar 4.1. Patahan Matano yang Melintasi Wilayah Kabupaten Luwu Timur Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 10

11 Gambar 4.2. Peta Rencana Kawasan Lindung Kabupaten Luwu Timur Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 11

12 Gambar 4.3. Peta Rencana Kawasan Sempada pantai, sungai dan danau Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 12

13 4.2. KAWASAN BUDIDAYA Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia. Kawasan budidaya dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur diarahkan untuk: Memberikan arahan pemanfaatan ruang kawasan budidaya secara optimal dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Memnerikan arahan dalam menentukan prioritas pemanfaatan ruang antara kegiatan budidaya yang berlainan. Memberikan arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya tertentu ke jenis lainnya. Proses penentuan kawasan budidaya di dalam RTRW Kabupaten Luwu Timur didasarkan pada: Kawasan lindung yang telah ditetapkan sebelumnya dan menjadi limitasi bagi penetapan kawasan budidaya di wilayah Kabupaten Luwu Timur. Kriteria menurut pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) Hasil analisis kesesuaian lahan Kabupaten Luwu Timur Tahun 2009 Kawasan budi daya yaitu kawasan yang dilihat dari kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya dapat dan perlu dimanfaatkan guna kepentingan produksi dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia dan pembangunan. Berdasarkan peraturan Keppres No. 57 Tahun 1989 tentang Kriteria Kawasan Budidaya serta SK Mentan No. 683/Kpts/Um/8/1981 dan No. 837/Kpts/Um/11/1980 yang berkaitan dengan penetapan kriteria kawasan hutan produksi, kawasan budi daya di Kabupaten Luwu Timur terdiri dari hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi, perkebunan, pertanian padi sawah dan padi ladang, permukiman (termasuk kawasan pemerintahan) dan kawasan pertambangan. Kriteria kawasan budidaya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang dutetapkan untuk berbagai kegiatan usaha dan atau kegiatan yang terdiri dari kriteria teknis sektoral dan kriteria ruang. Kriteria teknis Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 13

14 sektoral adalah ukuran untuk menentukan bahwa penentuan pemanfaatan ruang suatu kegiatan dalam kawasan yang memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung, kesesuaian lahan dan bebas bencana alam. Sedangkan keriteria ruang adalah ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan untuk suatu kegiatan budidaya dalam kawasan, menghasilkan nilai strategis terbesar terhadap kesejahteraan masyarakat sekitarnya dan tidak bertentangan dngan pelestarian lingkungan. Kriteria ruang tersebut berdasarkan azas-azas sebagai berikut: 1. Saling menunjang antar kegiatan meliputi: Meningkatkan daya guna pemanfaatan ruang serta sumber daya yang ada di dalamnya guna perkembangan kegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Dorongan terhadap perkembangan kegiatan sekitarnya. 2. Kelestarian lingkungan, meliputi: Jaminan terhadap ketersediaan sumberdaya dalam waktu panjang. Jaminan terhadap kualitas lingkungan. 3. Tanggap terhadap dinamika perkembangan, meliputi: Peningkatan pendapatan masyarakat. Peningkatan pendapatan daerah dan nasional. Peningkatan kesempatan kerja. Peningkatan ekspor Peningkatan peran serta masyarakat dan kesesuaian sosial budaya Kawasan budidaya yang akan ditetapkan di Kabupaten Luwu Timur terdiri dari: 1. Kawasan hutan produksi, meliputi hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas. 2. Kawasan budidaya pertanian, meliputi kawasan tanaman pangan lahan basah, tanaman pangan lahan kering, peternakan, perkebunan, dan perikanan. 3. Kawasan budidaya non pertanian, meliputi kawasan permukiman, pertambangan, industri, pariwisata dan sebagainya. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 14

15 Kriteria bagi kawasan budidaya secara umum didasarkan pada faktor-faktor kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kagiatan budidaya tertentu. Secara rinci, kriteria dan klasifikasi kawasan budidaya dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.2. Klasifikasi dan Kriteria Kawasan Budidaya yang Diterapkan di Kabupaten Luwu Timur Jenis Fungsi Kriteria Keterangan Kawasan Hutan Produksi Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683//KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980). Arahan pengembangan hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap dan hutan produksi konversi: - Kategori hutan - Re-evaluasi peta paduserasi - Hasil analisis fisik dengan mempertimbangkan adanya wilayah limitasi, sesuai dengan kriteria dalam Kepres 32 Tahun 1990 bagi kawasan lindung. Dalam rangka memberikan arahan bagi pengembangan kawasan budidaya, kawasan ini mencakup hutan produksi, konversi yang telah ditetapkan seperti di atas setelah dikurangi arel yang potensial untuk kegiatan budidaya yang bersifat lebih intensif. Kawasan Hutan Produksi Tetap Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor , di luar hutan suaka alam, hutan wisata dan hutan konversi lainnya (683 /KPTS/Um/11/1980). Kawasan Hutan Produksi Konversi Kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah dan curah hujan yang memiliki skor < 124 di luar hutan suaka alam, hutan wisata, hutan produksi terbatas, dan hutan konversi lainnya (SK Mentan No. 683/KPTS/Um/8 dan 837/KPTS/Um/11/1980). Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan Pertanian Lahan Basah - Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40% - Kedalaman efektif tanah > 30 cm - Terdapat sistem irigasi (teknis, semi teknis dan sederhana) Arahan pengembangan kawasan pertanian lahan basah didasarkan pada potensi dan kesesuian lahan dengan dukungan jaringan irigasi. Kawasan Pertanian Lahan Kering Kawasan Tanaman Pangan/Perkebu - Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40% - Kedalaman efektif tanah > 30 cm - Ketinggian < 2000 meter dpl - Kemiringan lerang < 40% Pemetaannya dalam skala 1: hanya dilakukan dalam kawasan pertanian lahan kering yang didalamnya dapat pula terdiri atas kawasan pertanian lahan basah Arahan pengembangan kawasan tanaman tahunan dan perkebunan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 15

16 nan - Kedalaman efektif tanah > 30 cm didasarkan pada potensi pengembangan perkebunan, selain kesesuaian lahan dari hasil analisis. Kawasan Peternakan Kawasan Perikanan Kawasan Permukiman - Ketinggian < 1000 meter dpl - Kemiringan lerang < 15% - Jenis tanah/iklim sesuai dengan padang rumput - Kemiringan lerang < 8% - Persediaan air permukaan cukup - Kemiringan lerang < 15% - Ketersediaan air terjamin - Aksesibilitas yang baik - Tidak berada pada daerah rawan bencana - Berada dekat dengan pusat kegiatan - - Kawasan ini mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan. Ketentuan mengenai batas wilayah, ibukota kabupaten dan kecamatan menurut peraturan perundang undangan. Untuk permukiman perdesaan, keberadaan saat ini menjadi dasar untuk pertimbangan perluasannya Kawasan Pertambangan Kawasan Pariwisata Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun 2009 Mempunyai potensi bahan tambang - Memiliki keindahan dan panorama alam - Memiliki kebudayaan yang bernilai tinggi - Memiliki bangunan sejarah Kawasan ini tidak dapat diarahkan pengembangannya secara spesifik pada skala 1: atau lebih besar. Wilayah kontrak karya dan kuasa pertambangan yang ada perlu dipertegas pada skala yang lebih besar untuk menghindari terjadinya tumpang tindih dengan kawasan lain. - Tabel 4.3. Kriteria Kawasan Budidaya Pesisir dan Laut No. Kawasan Kriteria 1. Perikanan Tangkap 1. Jauh dari areal budidaya 2. Berjarak aman dari kawasan-kawasan lainnya. Jarak aman tersebut sama seperti yang disebutkan bagian sebelumnya, yaitu berdasarkan atas tipe pasut dan kecepatan arus di kawasan yang ditentukan. 3. Keberadaan front (pertemuan dua massa air yang berbeda karakteristiknya). Di kawasan pesisir, front ini sering ditemui di daerah muara sungai atau perairan teluk atau selat. 4. Merupakan daerah up-welling daerah yang kaya dengan unsur hara dan tempat berkumpulnya beberapa jenis ikan. 5. Karakteristik fisik perairan yang sesuai dengan peruntukannya. Sebagai contoh untuk pengoperasian jaringan tangkap yang diperlukan dasar perairan yang landai dengan substrak pasir atau lumpur. 6. Pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan perikanan di pantai dilaksanakan dengan tidak mengubah kondisi Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 16

17 pantai untuk menghindari proses erosi maupun sedimentasi. 7. Jauh dari spawning ground dan nursey ground. 2. Perikanan Budidaya 1. Terlindung ari gelombang dan angin. Menghindari terjadinya kerusakan pada kegiatan atau usaha budidaya yang berasal dari gelombang dan arus yang besar. 2. Jauh dari permukiman dan industri. Limbah atau pencemaran yang berasal dari rumah tangga dan industri dapat mengakibatkan kerusakan perairan dan kegagalan usaha budidaya. 3. Jauh dari muara sungai. Muara sungai juga dapat mempengaruhi budidaya laut dengan adanya proses sedimentasi akibat aktivitas di daerah atas (up-land), seperti penebangan hutan, pertanian, permukiman dan industri yang dekat bantaran sungai. Kondisi ini menjadi kompleks karena daerah muara sungai secara oseanografi sangat dipengaruhi oleh air laut. Akibatnya kondisi perairan, biota dan ekosistemnya memiliki karakteristik yang khas. Dengan demikian kegiatan budidaya laut tidak mungkin dilakukan di daerah ini. 4. Kualitas air baik. Kelayakan kondisi perairan dapat diukur dari parameter fisika (kecerahan), kimia (disolved Oxygen DO, Chemical Oxygen Demand-COD, kandungan organik, Biologycal Ozygen Demand-BOD, kandungan klorofil, dan parameter biologi: plankton. 5. Jaminan keamanan merupakan faktor yang mendukung keberhasilan budidaya. 3. Kawasan Pariwisata 1. Berjarak aman dari kawasan perikanan dan pertambangan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kagiatan di kawasankawasan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan pariwisata atau sebaliknya. Sumber : Hasil Analisis Tim Tahun Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan pariwisata tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung. 3. Sirkulasi massa air di kawasan perlu lancar. Agar pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur dapat berkelanjutan, secara garis besar wilayah pesisir perlu dipilah menjadi tiga mintakat (zones), yaitu : (1) mintakat preservasi, (2) mintakat konservasi dan (3) mintakat pemanfaatan. Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007, mintakat (1) dan (2) dinamakan sebagai kawasan lindung, sedangkan mintakat (3) disebut sebagi kawasan budidaya. Mintakat preservasi adalah suatu daerah yang memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang kehidupan seperti daerah pemijahan (spawning grounds), daerah pembesaran (nursey ground), dan alur migrasi (migration routes) dari biota perairan. Kecuali kegiatan pendidikan dan penelitian ilmiah, dalam mintakat ini tidak diperbolehkan adanya kegiatan manusia (pembangunan). Mintakat konservasi adalah daerah yang diperuntukkan bagi kegiatan pembangunan atau pemanfaatan secara terbatas dan terkendali. Misalnya kawasan Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 17

18 hutan mangrove atau terumbu karang untuk kegiatan wisata alam (ecotourism). Sementara ini mintakat pemanfaatan memang diperuntukan bagi kegiatan pembangunan dalam tingkat pemanfaatan yang lebih intensif, seperti industri, tambak intensif, pariwisata komersial, permukiman, pelabuhan dan pertambangan. Pada wilayah pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur terdapat berbagai kegiatan yang memanfaatkan potensi sumberdaya tersebut di atas, diantaranya untuk perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata, industri kelautan dan lainnya. Kondisi kawasan lindung di wilayah pesisir Kabupaten Luwu Timur pada saat ini banyak dijadikan areal tambak oleh masyarakat, sehingga perlu diatur dalam pembatasan konversi hutan bakau agar kelestarian sumberdaya tetap terjaga. A. Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya Darat Pengelolaan dan pemanfaatan kawasan budidaya ditujukan untuk menjaga kualitas daya dukung lingkungan Kabupaten Luwu Timur, menciptakan lapangan pekerjaan, terciptanya keserasian dengan struktur ruang yang direncanakan. Untuk menciptakan stabilitas ekonomi dan memanfaatkan potensi yang dimiliki oleh Kabupaten Luwu Timur, maka setiap luasan pengembangan kawasan budidaya harus memperhatikan potensi tenaga kerja dan daya dukung lingkungan yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut, maka rencana pemanfaatan ruang kawasan budidaya seluas ,44 hektar atau 31,26% dari luas wilayah Kabupaten Luwu Timur seperti yang ditunjukan tabel berikut. Tabel 4.4. Rencana Pemanfaatan Ruang Kawasan Budidaya di Kabupaten Luwu Timur PEMANFAATAN RANG KAWASAN LUAS PERSENTASE No. BUDIDAYA (HEKTAR) (%) 1. Kawasan Hutan Produksi Terbatas ,42 33,17 2. Kawasan Hutan Produksi Tetap 8.613,20 3,97 3. Kawasan Hutan Produksi Konversi ,21 7,78 4. Kawasan Pertanian Lahan Basah ,15 7,97 5. Kawasan Pertanian Lahan Kering ,62 9,14 6. Kawasan Perkebunan ,39 18,07 7. Kawasan Permukiman 6.140,99 2,83 8. Kawasan Pertambangan ,00 17,07 Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 18

19 B. Rencana Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Kalautan Saat ini perkembangan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur memungkinkan terjadi dampak perkembangan yang positif dan negatif terhadap kondisi lingkungan, ekosistem kawasan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Oleh karena itu, maka upaya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengoptimalkan perkembangan ini sehingga secara fungsional tetap dan dapat dimanfaatkan atau ditingkatkan pemanfaatannya untuk kepentingan pembangunan kawasan pesisir dan laut di Kabupaten Luwu Timur. Pengoptimasian suatu perkembangan bertujuan untuk mencari konfigurasi yang optimal untuk mencapai tujuan tertentu dengan mengacu kepada kendala dan keterbatasan tertentu. Upaya optimasi pemanfaatan ruang di kawasan pesisir dan laut Kabupaten Luwu Timur, maka perlu dilakukan perumusan seperti yang terlihat pada tabel berikut. Tabel 4.5. Optimasi Kawasan Pesisir dan Laut di Kabupaten Luwu Timur TUJUAN RUMUSAN KENDALA/KETERBATASAN KETERANGAN OPTIMASI PEMANFAATAN RUANG PENINGKATAN INTENSITAS RUANG Tingginya kebutuhan ruang akibat meningkatnya jumlah penduduk dengan sistem aktivitasnya. Sehingga perlu memperhatikan jumlah penggunaan lahan dan aktivitas masyarakat yang optimal Dikombinasikan dengan daya tampung ruang di kawasan agar lebih optimal bermanfaat dengan makin meningkatnya berbagai kendala penggunaan lahan pesisir Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 Keterbatasan daya dukung fisik Ketersediaan prasarana pendukung Dampak eksternal lingkungan sekitarnya Keterbatasan daya dukung fisik Azas diminishing return tingkat pelayanan (peningkatan usaha) pengadaan prasarana pelayanan mencapai titik optimum dan setelah itu penambahan jumlah prasarana tidak dapat lagi memberikan penambahan tingkat pelayanan Setiap jenis pemanfaatan ruang akan mencapai tingkat efisiensi dan bahwa keefektifan penggunaan kawasan dalam kondisi aglomerasi yang saling menguntungkan. Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 19

20 1. Optimasi dan Sinergi Perencanaan Ruang Kawasan Pesisir dan Laut Pengembangan kawasan pesisir dan laut merupakan suatu perwujudan berbagai kegiatan usaha masyarakat melalui dinamisasi perkembangannya di wilayah ini. Dengan demikian selama dinamika perkembangan kawasan pesisir tidak menimbulkan dampak negatif, mempunyai efek ganda positif dan potensial bagi pengembangan keseluruhan wilayah pesisir di Kabupaten Luwu Timur secara ekonomis, sosiologi dan fisik, maka rencana pengoptimasian kawasan pesisir harus dapat mengalokasikan berbagai kegiatan fungsional yang berkembang berdasarkan kaidah dan arahan perencanaan yang bersifat komprehensif. Diestimasikan perkembangan berbagai kegiatan di kawasan pesisir Kabupaten Luwu Timur akan berkembang terus, maka dalam kurun waktu perencanaan dapat terjadi perkembangan baru yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal kawasan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi rencana pengembangan pesisir Kabupaten Luwu Timur dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 4.6. Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Kawasan Pesisir NO. FAKTOR VARIABEL/INDIKATOR FAKTOR Pertambahan penduduk 1. Faktor internal Peningkatan kepdatan penduduk Pengendalian penduduk Kegiatan usaha 2. Faktor kegiatan/aktivitas manusia Mobilitas penduduk Produktivitas masyarakat Taraf sosial ekonomi masyarakat Kegiatan dan pergerakan investasi masyarakat 3. Perkembangan kemampuan kualitas budaya masyarakat pesisir Tingkat sosial budaya masyarakat Perkembangan pendidikan masyarakat Perkembangan kesadaran masyarakat Perkembangan kesadaran terhadap wawasan lingkungan 4. Faktor eksternal Sumber : Hasil Analisis Tahun 2009 Perkembangan perekonomian wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur Perkembangan sistem komunikasi dan teknologi serta ilmu pengetahuan wilayah sekitar Kabupaten Luwu Timur Perkembangan sosial politik dan sosial budaya Badan Perencanaan Pambangunan Daerah (Bappeda)Kabupaten Luwu Timur IV - 20

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 32 TAHUN 1990 (32/1990) Tanggal : 25 JULI 1990 (JAKARTA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang selain merupakan sumber alam yang penting artinya bagi

Lebih terperinci

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA PERENCANAAN WILAYAH 1 TPL 314-3 SKS DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT. Kuliah 10 BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA Dalam KEPPRES NO. 57 TAHUN 1989 dan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang PEDOMAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang . 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH

PEDOMAN TEKNIS PENGGUNAAN DAN PEMANFAATAN TANAH Lampiran I Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor : 2 TAHUN 2011 Tanggal : 4 Pebruari 2011 Tentang : Pedoman Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam Penerbitan Izin Lokasi, Penetapan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI

PEMERINTAH KABUPATEN SINJAI KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI -157- LAMPIRAN XXII PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 28 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SINJAI TAHUN 2012-2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI KABUPATEN SINJAI A. KAWASAN

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang termasuk rawan

Lebih terperinci

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang

Warta Kebijakan. Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang. Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan tata ruang. Perencanaan Tata Ruang No. 5, Agustus 2002 Warta Kebijakan C I F O R - C e n t e r f o r I n t e r n a t i o n a l F o r e s t r y R e s e a r c h Tata Ruang dan Proses Penataan Ruang Tata Ruang, penataan ruang dan perencanaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon bakau yang mampu

Lebih terperinci

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999)

KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) Copyright (C) 2000 BPHN KEPPRES 114/1999, PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR PUNCAK CIANJUR *49072 KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (KEPPRES) NOMOR 114 TAHUN 1999 (114/1999) TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN

Lebih terperinci

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA)

REPUBLIK INDONESIA 47 TAHUN 1997 (47/1997) 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Menimbang : PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir bukan merupakan pemisah antara perairan lautan dengan daratan, melainkan tempat bertemunya daratan dan perairan lautan, dimana didarat masih dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 19 TAHUN 2007 TENTANG KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

19 Oktober Ema Umilia

19 Oktober Ema Umilia 19 Oktober 2011 Oleh Ema Umilia Ketentuan teknis dalam perencanaan kawasan lindung dalam perencanaan wilayah Keputusan Presiden No. 32 Th Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung Kawasan Lindung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi

TINJAUAN PUSTAKA. Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : fungsi hidrologis, sosial ekonomi, produksi pertanian ataupun bagi TINJAUAN PUSTAKA Defenisi Lahan Kritis Defenisi lahan kritis atau tanah kritis, adalah : a. Lahan yang tidak mampu secara efektif sebagai unsur produksi pertanian, sebagai media pengatur tata air, maupun

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa ruang wilayah negara kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undangundang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang perlu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL.

MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN PEMERINTAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL. PP 47/1997, RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL... Bentuk: PERATURAN PEMERINTAH (PP) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 47 TAHUN 1997 (47/1997) Tanggal: 30 DESEMBER 1997 (JAKARTA) Sumber: LN 1997/96;

Lebih terperinci

commit to user BAB I PENDAHULUAN

commit to user BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu ekosistem, yaitu lingkungan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara makhluk hidup yang

Lebih terperinci

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional

Bab II. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG Tinjauan Penataan Ruang Nasional Bab II Tujuan, Kebijakan, dan Strategi 2.1 TUJUAN PENATAAN RUANG 2.1.1 Tinjauan Penataan Ruang Nasional Tujuan Umum Penataan Ruang; sesuai dengan amanah UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007 tujuan penataan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan wilayah di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan dengan dua

Lebih terperinci

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur

Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur Keputusan Presiden No. 114 Tahun 1999 Tentang : Penataan Ruang Kawasan Bogor-Puncak- Cianjur PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur sebagai konservasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara

BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara BAB 7 Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digunakan sebagai merupakan acuan dalam pelaksanaan pengendalian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pemanfaatan sumber daya alam yang semakin meningkat tanpa memperhitungkan kemampuan lingkungan telah menimbulkan berbagai masalah. Salah satu masalah lingkungan di

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, arti hutan dirumuskan sebagai Suatu lapangan tetumbuhan pohon-pohonan yang secara keseluruhan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN NOMOR P.12/MENLHK-II/2015

Lebih terperinci

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI

RENCANA TATA RUANG WILAYAH (RTRW) KABUPATEN NGAWI Rencana Pola ruang adalah rencana distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Bentukan kawasan yang

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Dasar Legalitas : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG Menggantikan UU No. 24 Tahun 1992 gg Tentang Penataan Ruang 1 Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 114 TAHUN 1999 TENTANG PENATAAN RUANG KAWASAN BOGOR-PUNCAK-CIANJUR PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa fungsi utama Kawasan Bogor-Puncak-Cianjur

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN 2.1 Tujuan Penataan Ruang Dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, khususnya Pasal 3,

Lebih terperinci

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2) 1) Disampaikan pada Lokakarya Nasional Rencana Pembangunan Jangka

Lebih terperinci

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA

KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA KAJIAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN LINDUNG MENJADI KAWASAN BUDIDAYA (Studi Kasus: Kawasan sekitar Danau Laut Tawar, Aceh Tengah) TUGAS AKHIR Oleh: AGUS SALIM L2D

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH

DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Lampiran II. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor : Tanggal : DATA MINIMAL YANG WAJIB DITUANGKAN DALAM DOKUMEN INFORMASI KINERJA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DAERAH Tabel-1. Lindung Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG

PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PERATURAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15/PERMEN/M/2006 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN PENGEMBANGAN KAWASAN NELAYAN MENTERI NEGARA PERUMAHAN RAKYAT, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NOMOR : 7 TAHUN 2005 TENTANG PENGENDALIAN DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT, Menimbang Mengingat : a. bahwa kondisi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.6/Menhut-II/2010 TENTANG NORMA, STANDAR, PROSEDUR DAN KRITERIA PENGELOLAAN HUTAN PADA KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG (KPHL) DAN KESATUAN PENGELOLAAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Kabupaten Cianjur Berdasarkan hasil proses klasifikasi dari Landsat-5 TM areal studi tahun 2007, maka diperoleh 10 kelas penutupan lahan yang terdiri dari:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang

tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA) Kementerian Kehutanan Tahun , implementasi kebijakan prioritas pembangunan yang PENDAHULUAN BAB A. Latar Belakang Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) menjadi salah satu prioritas nasional, hal tersebut tertuang dalam Rencana Strategis (RENSTRA)

Lebih terperinci

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 30 APRIL 2004 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK 01 SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 5 RTRW KABUPATEN

BAB 5 RTRW KABUPATEN BAB 5 RTRW KABUPATEN Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten terdiri dari: 1. Rencana Struktur dan Pola Pemanfaatan Ruang; 2. Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung dan Budidaya; 3. Rencana Pengelolaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS

KATA PENGANTAR. Meureudu, 28 Mei 2013 Bupati Pidie Jaya AIYUB ABBAS KATA PENGANTAR Sesuai Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 11 ayat (2), mengamanatkan pemerintah daerah kabupaten berwenang dalam melaksanakan penataan ruang wilayah kabupaten

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950);

1. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Jawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUNINGAN NOMOR : 38 TAHUN 2002 TENTANG RENCANA TATA RUANG GUNUNG CIREMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUNINGAN Menimbang : a. bahwa Gunung Ciremai sebagai kawasan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Copyright (C) 2000 BPHN UU 7/2004, SUMBER DAYA AIR *14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan KERANGKA PEMIKIRAN Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu konsep pengelolaan dan konservasi berbasis sumberdaya alam serta orientasi perubahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA SINGKAWANG NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA SINGKAWANG TAHUN 2013-2032 I. UMUM Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Nomor 24

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang TAHURA Bukit Soeharto merupakan salah satu kawasan konservasi yang terletak di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara dengan luasan 61.850 ha. Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup

BAB I PENDAHULUAN. tinggi. Kebutuhan tersebut terkait untuk pemenuhan kebutuhan hidup 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan sumberdaya alam terutama air dan tanah oleh masyarakat kian hari kian meningkat sebagai akibat dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi. Kebutuhan tersebut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang: a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang

Lebih terperinci

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT.

AMDAL. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan By Salmani, ST, MS, MT. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UULH = Undang-Undang Lingkungan Hidup no 23 Tahun 1997, yang paling baru adalah UU no 3 tahun 2009 tentang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.63/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN PENANAMAN BAGI PEMEGANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN DALAM RANGKA REHABILITASI DAERAH ALIRAN SUNGAI Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 07 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam tanah, air dan vegetasi serta sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perdesaan (rural) didefenisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN

KATA PENGANTAR RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN PACITAN KATA PENGANTAR Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, mengamanatkan bahwa RTRW Kabupaten harus menyesuaikan dengan Undang-undang tersebut paling lambat 3 tahun setelah diberlakukan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai mencapai 95.181 km (Rompas 2009, dalam Mukhtar 2009). Dengan angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai

Lebih terperinci

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t

2 menetapkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia tentang Rawa; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 t BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.797, 2015 KEMEN PU-PR. Rawa. Pencabutan. PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29/PRT/M/2015 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia. Dalam melaksanakan kegiatannya, manusia selalu membutuhkan air bahkan untuk beberapa kegiatan air merupakan sumber utama.

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA TENGAH

BUPATI BANGKA TENGAH BUPATI BANGKA TENGAH SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA TENGAH,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci