BESAR INDEKS PONT DAN KORKHAUS SERTA HUBUNGAN ANTARA LEBAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI TERHADAP TINGGI PALATUM PADA SUKU JAWA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BESAR INDEKS PONT DAN KORKHAUS SERTA HUBUNGAN ANTARA LEBAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI TERHADAP TINGGI PALATUM PADA SUKU JAWA"

Transkripsi

1 BESAR INDEKS PONT DAN KORKHAUS SERTA HUBUNGAN ANTARA LEBAR DAN PANJANG LENGKUNG GIGI TERHADAP TINGGI PALATUM PADA SUKU JAWA Oleh: G.A.M. D. H. Paramesthi, C.A.Farmasyanti dan D. Karunia INTISARI Setiap ras memiliki ciri-ciri khusus untuk suatu ras tertentu sehingga tidak dapat digunakan sebagai standar untuk ras yang lainnya. Pont dan Korkhaus menggunakan indeks yang didapatkan dari ras Kaukasoid sehingga perlu dilakukan penelitian pada suku Jawa yang tergolong dalam ras Mongoloid. Sering dijumpai pasien dengan palatum tinggi mempunyai lengkung gigi yang panjang dan sempit. Hal itu menandakan adanya hubungan antara tulang kepala, maksila, dan palatum Penelitian ini, selain bertujuan untuk mengetahui nilai indeks lebar lengkung gigi, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum berdasarkan analisis Pont dan Korkhaus, juga untuk mengetahui hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum pada suku Jawa. Penelitian bersifat deskriptif dan analitik. Sebanyak 31 subjek (8 laki-laki dan 23 perempuan) diambil dari mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun dengan metode selected sampling. Data diperoleh dari pengukuran pada model studi rahang atas meliputi lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum sesuai dengan parameter yang digunakan oleh Pont dan Korkhaus. Analisis statistik deskriptif, uji t tidak berpasangan, dan uji regresi digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada suku Jawa mempunyai indeks premolar Pont 82,62 ± 4,41; indeks molar Pont 65,96 ± 4,42; indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49 ±8,02; dan indeks tinggi palatum Korkhaus 36,29 ± 4,42. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum berdasarkan metode Pont dan Korkhaus pada suku Jawa. Kata kunci: indeks Pont dan Korkhaus, lebar lengkung gigi, panjang lengkung gigi, tinggi palatum ABSTRACT Every race has specific characteristics therefore can not be used for any other racial standard. Pont and Korkhaus used index from Kaukasoid and so that this study was done in other race, Javanese ethnic, that is classified in Mongoloid. High palate often seen in patients with long and narrow dental acrh. This explain that there is correlation between craniofasial, maxilla, and palate. The aim of this study was to determine the index of interpremolar, intermolar, arch length, and palatal height by Pont and Korkhaus and also to the correlation between arch width, arch length with palatal height. This is a descriptive and analytic research. Thirty one subjects (8 males and 23 females) were selected from students of Dentistry Faculty of Gadjah Mada University grade by selected sampling method. Measurement were obtained directly from study model and they included mesiodistal crown diameters of the four maxillary incisors, as well as interpremolar 1

2 width, intermolar width, arch length, and palatal height as specified by Pont and Korkhaus. Descriptive analysis, independent t test, and regression test were used as statistical analysis. The result showed that in Javanese ethnic, Pont s index were found 82,62 ±4,41 in the premolar area and 65,96 ± 4,42 in the molar area; and Korkhaus index were found 163,49 ± 8,02 for anterior arch length and 36,29 ± 4,42 for palatal height. It was concluded that there was no correlation between arch width, arch length with palatal height in Javanese ethnic by Pont s and Korhaus method. Key words: Pont s and Korkhaus index, arch width, arch length, palatal height. PENDAHULUAN Analisis lebar dan panjang lengkung gigi serta tinggi palatum dapat dilakukan pada model studi. Analisis Pont dan Korkhaus adalah dua di antara beberapa analisis model studi yang telah lama digunakan di bidang ortodonsia. Indeks Korkhaus adalah pengembangan index dari Pont sehingga memiliki beberapa persamaan dalam pengukurannya. Indeks Korkhaus menggunakan titik referensi interpremolar yang sama digunakan pada indeks Pont dalam penentuan indeks panjang lengkung gigi dan titik referensi intermolar Pont dalam penentuan indeks tinggi palatum. Penentuan indeks Pont maupun Korkhaus terdahulu dilakukan pada ras Kaukasoid. Setiap ras memiliki ciri-ciri khusus untuk ras tersebut sehingga ciri-ciri tersebut tidak dapat digunakan sebagai standar untuk ras yang lainnya. Ukuran normal yang ditentukan pada suatu kelompok tertentu tidak dapat digunakan untuk kelompok lain. Suku Jawa yang termasuk ke dalam ras Mongoloid, memiliki ciri-ciri tertentu yang berbeda dengan ras Kaukasoid. Perbedaan ras Mongoloid dan Kaukasoid tampak pada ukuran gigi dan morfologi palatum. Ras Mongoloid memiliki ukuran gigi yang lebih besar daripada ras Kaukasoid. Indeks Pont menggambarkan adanya hubungan antara lebar mesiodistal keempat gigi insisivus dengan lebar lengkung gigi di regio premolar dan molar sehingga kemungkinan pada ras Mongoloid memiliki lengkung gigi yang lebih lebar daripada ras Kaukasoid. Tinggi palatum pada ras Mongoloid, yang cenderung memiliki kubah palatum datar, lebih rendah daripada ras Kaukasoid yang cenderung memiliki kubah palatum tinggi. Tulang maksila terhubung dengan tulang palatum melalui suatu sutura yang memberi kesempatan pada tulang untuk berkembang dan berkontak dengan tulang di sekitarnya. Sistim sutura membuat maksila dan palatum bergerak ke depan dan ke bawah terhadap basis kranium anterior selama masa pertumbuhan. Lengkung maksila menjadi lebih tinggi dan lebih lebar akibat pertumbuhan, sementara itu lengkungan palatum akan bertambah besar secara transversal (tinggi) dan sagital (panjang) sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa. Korkhaus menyatakan bahwa nilai indeks tinggi palatum diperoleh dari membagi tinggi palatum dengan lebar intermolar (metode Pont) yang berarti bahwa tinggi palatum berbanding terbalik dengan lebar intermolar. Lebar lengkung gigi berbanding terbalik dengan panjang lengkung gigi. Panjang lengkung gigi maksila meningkat seiring dengan membesarnya lengkungan palatum secara sagital. Pasien ortodontik di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta sebagian besar berasal dari suku Jawa akibat dari letak geografisnya. Penelitian mengenai besar indeks Pont dan Korkhaus serta analisis hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum dengan menggunakan parameter metode Pont dan Korkhaus ini dilakukan pada orang Jawa. 2

3 PERMASALAHAN 1. Berapakah besar indeks lebar lengkung gigi di regio premolar dan molar menurut Pont serta indeks panjang lengkung gigi dan tinggi palatum menurut Korkhaus pada suku Jawa? 2. Bagaimana hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum berdasarkan analisis Pont dan Korkhaus pada suku Jawa? TINJAUAN PUSTAKA Lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh mahkota gigi-geligi. Lengkung gigi merupakan refleksi gabungan dari ukuran mahkota gigi, posisi dan inklinasi gigi, bibir, pipi dan lidah (Moyers, 1988). Bentuk lengkung gigi menurut Glinka (1990) adalah elips, huruf U, dan parabola. Budiman dkk. (2009) menyatakan variasi bentuk lengkung gigi anterior secara kualitatif ialah oval, tapered, atau square sedangkan secara kuantitatif bentuk lengkung gigi dipengaruhi oleh interkaninus, tinggi kaninus, intermolar, dan tinggi molar. Perkembangan lengkung gigi tergantung dari pertumbuhan rahang (Salzmann, 1966). Bishara dkk. (1998) menyatakan bahwa lengkung maksila akan terus berkembang sampai dengan umur 13 tahun dan pada lengkung mandibula sampai dengan umur 8 tahun. Penelitian Budiman dkk. (2009) menyatakan lebar lengkung gigi berbanding terbalik dengan panjang lengkung gigi. Basis apikal lengkung gigi maksila dan konfigurasi fosa kranial anterior berkaitan dengan palatum. Bentuk palatum merupakan proyeksi dari keduanya (Enlow, 1990). Tulang maksila terhubung dengan beberapa tulang, di antaranya tulang frontalis, lakrimalis, nasalis, vomer, palatina, dan zigomatik melalui sutura yang berisi jaringan ikat (Fehrenbach dan Herring, 2007). Letak maksila berada di bawah basis kranium anterior. Pertumbuhan sutura-sutura di maksila menyebabkan maksila bergerak ke inferior dan anterior dalam hubungannya terhadap basis kranium anterior (Koch dkk., 1990 sit. Hayati, 2003). Pertumbuhan maksila berhenti pada usia sekitar 15 tahun untuk wanita sedangkan pada pria sekitar usia 17 tahun (Rahardjo, 2009). Perluasan anterior dari lengkung maksila tidak memerlukan waktu yang lama selama periode gigi desidui. Permukaan anterior kemudian mengalami resorpsi yang merupakan bagian dari pertumbuhan dan proses remodeling terus berlanjut menghasilkan pergerakan pertumbuhan ke bawah dari lengkung maksila dan palatum (Enlow, 1990). Palatum dibentuk dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus fronto-nasalis (Iyyer, 2003). Prosesus maksilaris membentuk palatum keras atau palatum durum pada tiga perempat bagian anterior (Drake dkk., 2005) sedangkan bagian posterior palatum tidak terjadi penulangan dan membentuk palatum lunak atau palatum molle (Iyyer, 2003). Sutura midpalatal menyatu pada umur tahun (Iyyer, 2003). Palatum memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk palatum akan berpengaruh jika terjadi asimetri pada basis kranium. Basis apikal geligi atas ditentukan oleh konfigurasi dan ukuran perimeter palatum sehingga terdapat hubungan antara otak, basis kranium kemudian ke konfigurasi lengkung gigi (Enlow, 1990). Faktor-faktor yang mengontrol pertumbuhan kraniofasial antara lain: genetik, pertumbuhan badan secara umum, tindakan bedah, malnutrisi, malfungsi dan malformasi kraniofasial (Titien, 2003). Palatum ikut turun sesuai pertumbuhan maksila ke bawah yang diikuti oleh aposisi pada permukaan yang menghadap ke dasar rongga hidung. Lengkung palatal bertambah dalam dengan adanya pertumbuhan prosesus alveolaris (Rahardjo, 2009). Ruang mulut dalam pertumbuhan anak-anak letaknya makin menjauh dari dasar tengkorak karena adanya pertumbuhan dari sinus maksilaris dan rongga hidung. Lengkungan transversal dan sagital dari palatum akan bertambah 3

4 besar sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa (Muhammad, 1975; Sperber, 1976). Ciusa dkk. (2007) menyatakan bahwa pertumbuhan palatum dapat dipengaruhi kebiasaan buruk dan parafungsi oral. Pertumbuhan tinggi palatum telah lengkap pada usia 16 tahun dan jenis kelamin mempengaruhi tinggi palatum (Zarringhalam, 2004). Bentuk palatum menurut Banabilh dkk. (2010) dikelompokkan menjadi bentuk normal yaitu bentuk U dan bentuk V yang menandakan bahwa maksila sempit. Eckert (1997) menyatakan adanya perbedaan bentuk palatum yang berkaitan dengan ras. Ras Kaukasoid cenderung memiliki kubah palatum tinggi, ras Negroid cenderung memiliki kubah palatum pendek, dan ras Mongoloid cenderung memiliki kubah palatum datar. Salah satu analisis model studi yang banyak digunakan ialah analisis Pont. Analisis Pont membantu dalam menentukan lengkung gigi tergolong sempit, lebar, atau normal; menentukan perlu tidaknya ekspansi lateral terhadap lengkung gigi; dan menentukan besarnya kemungkinan ekspansi pada regio premolar dan molar (Iyyer, 2003). Semua pengukuran indeks Pont hanya dilakukan pada lengkung gigi maksila (Gupta dkk, 1979). Alasan Pont memilih keempat gigi insisivus maksila adalah untuk penyederhanaan metode predeterminasi lengkung (Stifter, 1958). Indeks Pont sebesar 80 pada regio premolar dan 64 pada regio molar (Joondeph dkk., 1970). Pont mengemukakan gigi yang lebar membutuhkan lengkung yang lebar untuk membentuk susunan yang normal. Jika jumlah lebar mesiodistal insisivus maksila pada model gigi dan pengukuran jarak interpremolar dan jarak intermolar diketahui, maka indeks Pont diperoleh melalui cara: a. indeks premolar = jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila x 100 jarak interpremolar jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila b. indeks molar = x 100 jarak intermolar (Salzmann, 1950). Lebar mesiodistal gigi diperoleh dengan mengukur jarak dari titik kontak mesial ke titik kontak distal gigi yang terbesar dengan menggunakan jangka sorong (Bishara dkk., 1989; Glinka, 1990). Dimensi mesiodistal gigi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi profil wajah (Susilowati, 2009). Titik pengukuran yang dipergunakan merupakan cekung distal pada oklusal gigi premolar pertama untuk mengukur jarak interpremolar dan pada cekung mesial pada permukaan oklusal pada gigi molar pertama maksila untuk mengukur jarak intermolar seperti yang diperlihatkan pada gambar 3 (Iyyer, 2003). Pengukuran panjang lengkung gigi menurut Korkhaus dapat dilakukan dengan mengukur jarak dari titik paling anterior permukaan labial gigi insisivus pertama maksila tegak lurus dengan garis yang menghubungkan titik referensi lebar interpremolar Pont (Rakosi dkk., 1993). Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus diperoleh melalui: indeks panjang lengkung gigi= jumlah mesiodistal keempat insisivus maksila x 100 panjang lengkung gigi Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus adalah 160 (Korkhaus, 1938 sit. Rakosi dkk., 1993). Korkhaus (1939 sit. Rakosi dkk., 1993) menilai bentuk palatum berdasarkan indeks tinggi palatum. Palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal prosesus alveolaris maksila yang biasanya terjadi pada kasus dengan kebiasaan menghisap jari atau bernafas melalui mulut. Tinggi palatum berdasarkan Korkhaus didefinisikan sebagai garis 4

5 vertikal yang tegak lurus terhadap raphe palatina yang berjalan dari permukaan palatum ke permukaan oklusal pada garis intermolar menurut Pont. Indeks tinggi palatum dapat diketahui melalui rumus sebagai berikut: tinggi palatum indeks tinggi palatum = x 100 jarak intermolar Nilai rata-rata indeks tersebut ialah 42, yang merupakan indeks ras Kaukasoid, selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan Korkhaus (1939 sit Rakosi dkk., 1993) diketahui bahwa nilai indeks ini meningkat apabila palatum tinggi dan nilainya menurun jika palatum dangkal. Sukadana (1976) menyebutkan bahwa salah satu suku yang yang tergolong Deutero- Melayu adalah suku Jawa. Suku Jawa paling banyak tinggal di tanah Jawa dan merupakan suku terbesar di Indonesia (Supriatna, 2008). Haviland (1995) menyatakan setiap populasi mempunyai ciri-ciri umum karena adaptasi dengan lingkungan, khususnya dengan iklim yang terus berubah. Kebudayaan dalam suatu populasi merupakan sesuatu hubungan erat dan bersifat turun-temurun. Hal ini juga akan menurunkan ciri-ciri fisiknya (Halim dan Sylvia, 2003). Ciri-ciri fisik pada manusia pada dasarnya merupakan ciri-ciri bawaan atau ciri genetik yang dapat diamati sebagai hasil ekspresi pembawa sifat-sifat keturunan dengan susunan tertentu yang dipenuhi oleh faktor lingkungan (Sofro, 1998). Ciri-ciri menonjol dari suatu suku bangsa dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga yang biasanya hal ini terlihat pada kebudayaan yang dipergunakan sehari-hari masyarakat suku bangsa tersebut (Sutardi, 2007). Ciri khas budaya suku Jawa di antaranya adalah kelambanannya dalam bertindak dan suka mengelompok (Hardjowirogo, 1983). Ciri fisik suku Jawa di Yogyakarta menurut penelitian Rahmawati dkk. (2003) adalah memiliki bentuk kepala antara lonjong dan bulat, bermuka sempit, dan dahi yang lebar. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada model studi rahang atas mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta angkatan tahun Subjek penelitian berjumlah 31 yang terdiri dari 8 subjek laki-laki dan 23 subjek perempuan, dalam persen 74,2% didominasi oleh subjek perempuan dan 25,8% subjek laki-laki. Pengukuran pada model studi rahang atas meliputi lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar interpremolar dan lebar intermolar yang diukur dengan jangka sorong merek New Deland dengan ketelitian 0,02 mm, panjang lengkung gigi yang diukur jangka sorong merek New Deland dengan ketelitian 0,02 mm dan penggaris lurus serta pengukuran tinggi palatum dengan bantuan palatal height guider (Gambar 1) dan jangka sorong (Gambar 2) sesuai dengan parameter yang digunakan oleh Pont dan Korkhaus. 5

6 y y Gbr 1. Aplikasi palatal height guider pada model gigi rahang atas.y: tinggi palatum. Gbr 2. Aplikasi jangka sorong pada palatal height guider untuk mengukur tinggi palatum.y: tinggi palatum. HASIL PENELITIAN Indeks premolar dan molar Pont serta indeks panjang lengkung gigi dan tinggi palatum Korkhaus Hasil analisis statistik deskriptif dan uji t tidak berpasangan untuk menguji kemaknaan perbedaan ukuran jumlah lebar mesiodistal insisivus, lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2. Rerata, simpangan baku, dan uji t tidak berpasangan lebar mesiodistal keempat insisivus, lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum pada model studi rahang atas antara mahasiswa laki-laki dan perempuan suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun Variabel Jenis Kelamin Jumlah sampel Rerata dan simpangan baku (mm) Lebar mesiodistal keempat insisivus Laki-laki Perempuan ,57 ± 0,85 30,69 ± 1,96 Lebar Laki-laki 8 39,05 ± 1,37 interpremolar Perempuan 23 37,33 ± 2,06 Lebar intermolar Laki-laki 8 48,99 ± 3,23 Perempuan 23 46,89 ± 2,02 Panjang lengkung Laki-laki 8 19,67 ± 1,49 gigi Perempuan 23 18,89 ± 1,15 Tinggi palatum Laki-laki 8 18,02 ± 1,38 Perempuan 23 16,81 ± 1,89 *Nilai kemaknaan (p) < 0,05 t hitung Nilai kemaknaan (p) uji t 2,603 0,014* 2,194 0,036* 2,154 0,040* 1,524 0,138 1,654 0,109 Laki-laki diketahui mempunyai rerata lebih besar daripada perempuan pada semua variabel pengukuran, namun dari uji t tidak berpasangan yang dilakukan, menunjukkan bahwa 6

7 tidak terdapat perbedaan bermakna pada panjang lengkung gigi dan tinggi palatum antara lakilaki dan perempuan (p>0,05), meskipun jumlah lebar mesiodistal gigi insisivus, lebar interpremolar, maupun lebar intermolar laki-laki lebih besar secara bermakna daripada Variabel Rerata Simpangan baku Indeks premolar Pont 82,62 4,41 Indeks molar Pont 65,96 4,42 Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49 8,02 Indeks tinggi palatum Korkhaus 36,29 4,42 perempuan (p<0,05). Uji t tidak berpasangan yang dilakukan terhadap semua indeks Pont dan Korkhaus baik pada indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont, indeks panjang lengkung gigi Korkhaus, dan indeks tinggi palatum Korkhaus, diketahui tidak ada perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan (p>0,05) yang diperlihatkan pada tabel 3 sehingga permasalahan penelitian untuk mengetahui besar indeks Pont dan Korkhaus suku Jawa pada penelitian ini dapat diketahui tanpa membedakan laki-laki dan perempuan sebagaimana tertulis dalam tabel 4. Tabel 3. Uji t tidak berpasangan terhadap variabel indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont, indeks panjang lengkung gigi Korkhaus, dan indeks tinggi palatum Korkhaus antara laki-laki dan perempuan pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan Variabel Jenis kelamin t hitung Nilai kemaknaan (p) Indeks premolar Pont Laki-laki Perempuan 0,600 0,553 Indeks molar Pont Laki-laki Perempuan 0,517 0,609 Indeks panjang lengkung Laki-laki gigi Korkhaus Perempuan 1,155 0,257 Indeks tinggi palatum Laki-laki Korkhaus Perempuan 0,498 0,622 *Nilai kemaknaan (p) < 0,05 Tabel 4. Rerata dan simpangan baku indeks interpremolar Pont, indeks intermolar Pont, indeks panjang lengkung gigi Korkhaus, dan indeks tinggi palatum Korkhaus pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun Tabel 4 menunjukkan bahwa mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada mempunyai indeks premolar Pont 82,62 ± 4,41; indeks molar Pont 65,96 ± 4,42; indeks panjang lengkung gigi Korkhaus 163,49 ±8,02; dan indeks tinggi palatum Korkhaus 36,29 ± 4,42. Uji hubungan lebar intermolar, interpremolar, dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum Metode analisis Shapiro-Wilk digunakan untuk uji normalitas data dengan sampel kecil yaitu 50 (Dahlan, 2009). Data lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum menunjukkan distribusi normal (p>0,05) sebagaimana terlihat pada tabel 5. 7

8 Tabel 5. Uji normalitas Shapiro-Wilk terhadap lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum pada model studi rahang atas mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun Variabel Nilai kemaknaan (p) Lebar interpremolar 0,603* Lebar intermolar 0,121* Panjang lengkung gigi 0,972* Tinggi Palatum 0,170* *Nilai kemaknaan (p) > 0,05 Uji regresi dan uji korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui variabel pengaruh lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (tabel 6). Tabel 6.Uji regresi variabel pengaruh (lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi) terhadap variabel terpengaruh (tinggi palatum) pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada angkatan tahun Variabel pengaruh (terhadap tinggi palatum) Koefisien Korelasi Pearson (r) Nilai Kemaknaan (p) Koefisien determinasi Lebar interpremolar 0,095 0,305 Lebar intermolar 0,018 0,461 Panjang lengkung gigi 0,139 0,229 *Nilai kemaknaan (p) < 0,05 0,024 Tabel 6 menunjukkan bahwa penelitian yang dilakukan dengan komposisi 74,2% perempuan dan 25,8% laki-laki pada mahasiswa suku Jawa di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada tidak ada korelasi dari variabel pengaruh yang meliputi lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (p>0,05). Besar koefisien determinasi variabel-variabel tersebut adalah 0,024. Hal ini menunjukkan pengaruh variabel lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi terhadap perubahan variabel tinggi palatum adalah 2,4% dan 97,6% dipengaruhi oleh variabel lainnya. PEMBAHASAN Hasil analisis penelitian pada suku Jawa menunjukkan bahwa jumlah mesiodisal insisivus laki-laki lebih besar secara bermakna (p<0,05) daripada perempuan. Hal ini sesuai dengan penelitian Ueta (1984) dan Elizabeth (2007) yang menjumpai adanya perbedaan lebar mesiodistal insisivus antara laki-laki dengan perempuan. Penelitian-penelitian terdahulu yang dilakukan Bishara dkk. (1994) di Iowa juga menjumpai rerata jumlah mesiodistal insisivus rahang atas laki-laki yang lebih besar daripada perempuan, penelitian Gaidyte dkk. (2003) pada 37 laki-laki dan 71 perempuan (65,7% sampel didominasi oleh perempuan) di Universitas Kedokteran Kaunas, menjumpai bahwa jumlah gigi anterior laki-laki yang lebih besar daripada perempuan. Lebar interpremolar dan intermolar pada laki-laki suku Jawa dalam penelitian ini diketahui lebih besar secara bermakna (p<0,05) daripada perempuan suku Jawa. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Bishara dkk. (1996) yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki lengkung gigi yang lebih lebar daripada perempuan. Penelitian Burris dan Harris (2000) yang dilakukan di Amerika, juga menjumpai bahwa rerata jarak interpremolar dan intermolar rahang atas laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hasil penelitian ini juga didukung penelitian Huth dkk. (2007) dan Kunz dkk. (2008) yang menjumpai adanya perbedaan 8

9 lebar intermolar yang signifikan antara laki-laki dan perempuan, demikian pula penelitian Agnihotri dan Gulati (2008) pada populasi Indian Utara, Ling dan Wong (2009) pada populasi Cina Selatan. Lebar mesiodistal gigi dan lebar lengkung gigi pada berbagai ras seperti yang telah diuraikan, seakan-akan menunjukkan bahwa secara umum ukuran pada laki-laki lebih besar daripada perempuan, namun hal ini ternyata tidak berlaku untuk dimensi panjang lengkung gigi. Panjang lengkung gigi laki-laki yang lebih besar daripada perempuan pada penelitian ini dijumpai tidak signifikan (p>0,05). Hasil penelitian pada suku Jawa ini sesuai dengan penelitian Bishara dkk. (1996) yang juga menjumpai bahwa perbedaan panjang lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan di Iowa secara statistik tidak berbeda bermakna. Burris dan Harris (2000) menyatakan bahwa perbedaan panjang lengkung gigi lebih cenderung disebabkan karena faktor ras daripada jenis kelamin. Hal ini disimpulkan dari penelitian yang dilakukan dengan membedakan kelompok laki-laki dan perempuan pada populasi Amerika berkulit hitam dan berkulit putih, dan menemukan bahwa panjang lengkung gigi tidak berbeda bermakna antara laki-laki dengan perempuan namun berbeda bermakna antara populasi Amerika berkulit hitam dengan berkulit putih. Perbedaan panjang lengkung gigi yang terjadi dalam ras tersebut dikatakan karena bentuk lengkung gigi pada populasi Amerika berkulit hitam cenderung lebih lebar (menyebar) dan kurang meruncing dibandingkan populasi Amerika berkulit putih (Burris dan Harris, 2000). Rerata tinggi palatum laki-laki suku Jawa dalam penelitian ini lebih besar daripada perempuan suku Jawa, namun setelah dilakukan uji t tidak berpasangan ternyata tidak berbeda bermakna (p>0,05). Hal itu sesuai dengan penemuan beberapa peneliti yang juga menjumpai jenis kelamin tidak secara signifikan mempengaruhi perkembangan vertikal dari kubah palatum (Vidic, 1971; Tsai dan Tan 2004). Pembentukan kubah palatum setelah lahir lebih dipengaruhi oleh perkembangan lokal pada rongga mulut dan kekuatan fungsional seperti otot lidah, maloklusi, menghisap jari (Vidic, 1971) dan kelainan pernafasan (Ciusa, 2007). Subjek yang digunakan pada penelitian ini tidak memiliki kebiasaan buruk seperti menghisap ibu jari atau jari lainnya dan bernafas melalui mulut yang dapat mempengaruhi morfologi kubah palatum setelah lahir sehingga dapat dianggap bahwa morfologi kubah palatum baik pada subjek laki-laki maupun perempuan pada penelitian ini adalah sama secara vertikal. Hasil penelitian tinggi palatum ini bertentangan dengan penelitian Zarringhalam (2004) yang menjumpai bahwa pada orang-orang beroklusi normal, tinggi palatum laki-laki lebih besar daripada perempuan. Perbedaan ini dimungkinkan karena adanya perbedaan metode pengukuran tinggi palatum, alat penelitian, dan jumlah sampel. Cara yang digunakan Zarringhalam tidak dikemukakan secara jelas namun terlihat penggaris segitiga dan bantuan penggaris lain digunakan Zarringhalam untuk mengukur tinggi palatum pada model studi. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian Zarringhalam sebanyak 60 sampel dengan proporsi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan (masing-masing 30 sampel) yang berasal dari Iran (ras Kaukasoid). Penelitian Tsai dan Tan (2004) menggunakan sampel penelitian yang lebih besar dari Zarringhalam (2004) dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 78 laki-laki dan 72 perempuan dengan lengkung gigi normal yang berasal dari Taiwan (ras Mongoloid). Pengukuran tinggi palatum pada penelitian Tsai dan Tan dilakukan pada fotografi digital dari model studi sampel. Hasil penelitian Tsai dan Tan dengan demikian mungkin lebih dapat dipercaya daripada penelitian Zarringhalam. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari suku Jawa 9

10 yang juga tergolong ke dalam ras Mongoloid. Hal inilah yang memungkinkan adanya persamaan hasil antara penelitian ini dengan penelitian Tsai dan Tan. Besar indeks interpremolar Pont, intermolar Pont, panjang lengkung gigi Korkhaus, dan tinggi palatum Korkhaus Hasil uji t tidak berpasangan untuk indeks Pont dan Korkhaus antara laki-laki dan perempuan suku Jawa diketahui tidak berbeda bermakna sehingga penentuan besar indeks Pont dan Korkhaus pada penelitian ini tidak dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Indeks Pont pada suku Jawa untuk regio premolar adalah 82,62 dan untuk regio molar adalah 65,96. Hasil penelitian ini berbeda dengan indeks Pont terdahulu yang menyatakan besarnya indeks pada regio premolar adalah 80 dan pada regio molar adalah 64 (Pont, 1909 sit. Joondeph dkk., 1970). Indeks panjang lengkung gigi Korkhaus pada suku Jawa adalah 163,49 sedangkan indeks panjang lengkung gigi menurut Korkhaus (1938 sit. Rakosi dkk., 1993) adalah 160. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan ras. Pont dan Korkhaus mendapatkan nilai indeks dari subjek penelitian ras Kaukasoid (Pont, 1909 sit. Gupta dkk., 1979) sedangkan pada penelitian ini semua subjek berasal dari suku Jawa, yang tergolong ras Mongoloid (Jacob, 1978). Hasil yang sama juga dijumpai pada orang Amerika (Stifter, 1958) dan orang Indian Utara yang tergolong ras Mongoloid (Gupta dkk., 1979) dengan nilai indeks interpremolar dan indeks molar yang lebih besar dengan indeks Pont terdahulu. Ukuran gigi akan berbeda pada ras yang berbeda (Graber, 1972), sehingga bisa dimengerti bahwa nilai indeks Pont dan Korkhaus yang lebih besar dalam penelitian ini kemungkinan karena ukuran mesiodistal insisivus maksila suku Jawa (ras Mongoloid) lebih besar daripada ras Kaukasoid. Lavelle (1972 sit. Gupta dkk., 1979) yang melakukan penelitian pada ras Kaukasoid, Negroid, dan Mongoloid, menjumpai bahwa ukuran gigi ras Negroid terbukti lebih besar dari pada ukuran gigi ras Mongoloid sementara ukuran gigi ras Mongoloid lebih besar daripada ras Kaukasoid (Lavelle, 1972 sit. Othman dan Harradine, 2006). Pont (1909 sit. Gupta dkk., 1979; Stifter, 1958) mengatakan adanya hubungan antara keempat mesiodistal insisivus permanen dengan lengkung gigi maksila, hal ini dapat diartikan bahwa semakin besar jumlah mesiodistal insisivus permanen akan menyebabkan lengkung gigi maksila semakin besar pula. Suku Jawa yang termasuk ras Mongoloid kemungkinan memiliki lengkung gigi maksila lebih besar daripada ras Kaukasoid, karena adanya perbedaan ukuran gigi (Lavelle, 1972 sit. Othman dan Harradine, 2006). Eckert (1997), di lain pihak juga mengaitkan perbedaan ras ini dengan adanya perbedaan bentuk lengkung gigi. Ras Kaukasoid cenderung memiliki lengkung gigi yang sempit sedangkan pada ras Mongoloid, lengkung gigi maksila berbentuk elips. Pernyataan Eckert tersebut secara tersirat dapat memperjelas lebih besarnya lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi maksila pada suku Jawa (ras Mongoloid), yang mempunyai lengkung gigi berbentuk elips. Sama halnya dengan indeks lengkung gigi Pont dan Korkhaus, perbedaan ras ini juga menjadikan indeks tinggi palatum Korkhaus pada suku Jawa sebesar 36,29 sedangkan indeks Korkhaus sebesar 42 (Korkhaus, 1939 sit. Rakosi dkk., 1993) pada ras Kaukasoid. Hal ini dapat dikarenakan adanya perbedaan morfologi palatum antar satu ras dengan yang lain. Ras Kaukasoid memiliki kubah palatum yang tinggi (Eckert, 1997), sempit dan cenderung berbentuk segitiga (Indriati, 2004) sedangkan pada suku Jawa yang mewakili ras Mongoloid cenderung memiliki kubah palatum datar (Eckert, 1997) dengan lebar palatum berukuran sedang (Indriati, 2004). Hal tersebut menyebabkan nilai indeks tinggi palatum pada suku Jawa lebih kecil daripada nilai indeks Korkhaus pada ras Kaukasoid. 10

11 Burris dan Harris (2000) lebih jauh menyatakan bahwa sekelompok orang yang berasal dari budaya yang berbeda dapat mengakibatkan adanya perbedaan bentuk dan dimensi lengkung akibat adanya perbedaan morfologi pada kelompok tersebut. Kebudayaan dalam suatu populasi merupakan sesuatu hubungan erat dan bersifat turun-temurun. Hal ini juga akan menurunkan ciri-ciri fisiknya (Halim dan Sylvia, 2003). Al-Khateeb dan Alhaija (2006 sit. Hussein, 2008) menambahkan pengaruh lingkungan luar, keturunan, dan pertumbuhan tulang juga berpengaruh pada ukuran dan bentuk lengkung gigi. Al-Omari dkk. (2007) menyatakan bahwa sebaiknya indeks yang diperoleh dari populasi tertentu tidak digunakan untuk menganalisis suatu kasus pada populasi yang berbeda. Jadi, indeks Pont dan Korkhaus yang diperoleh pada penelitian terdahulu sebaiknya tidak diterapkan untuk suku Jawa. Hubungan lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum Uji normalitas menunjukkan bahwa lebar interpremolar, lebar intermolar, panjang lengkung gigi, dan tinggi palatum merupakan data yang memiliki distribusi normal sehingga uji regresi linier dapat dilakukan untuk mengetahui variabel mana dari lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi yang paling mempengaruhi tinggi palatum. Hasil analisis regresi menunjukkan tidak adanya korelasi antara lebar interpremolar, lebar intermolar, dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum (p>0,05) yang berarti hipotesis ditolak. Hal itu berarti dimensi lengkung gigi yang meliputi panjang dan lebar lengkung gigi tidak mempengaruhi tinggi palatum pada suku Jawa. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini berumur minimal 17 tahun yang berarti baik pertumbuhan tinggi palatum maupun lengkung gigi telah berhenti. Pertumbuhan tinggi palatum terus meningkat semasa anak-anak dari umur 3 6 tahun (Ciusa dkk., 2007) dan bertambah besar secara transversal sampai dewasa (Sperber, 1976). Pertumbuhan palatum akan menunjukkan keadaan konstan selama periode gigi bercampur dan setelah erupsi gigi molar kedua (Lebret, 1962). Vidic (1971) menjumpai pada penelitiannya bahwa pertumbuhan tinggi palatum tidak akan berubah secara signifikan setelah usia 12 tahun dan tidak berubah secara signifikan seiring dengan bertambahnya umur. Tidak berbeda jauh dengan palatum, lengkung gigi maksila, juga akan terus berkembang sampai dengan umur 13 tahun Bishara (1998) atau lebih dari 14 tahun (Moorrees dan Chadha, 1965). Subjek penelitian ini mempunyai susunan gigi rapi dan lengkap hingga molar kedua dengan bentuk palatum yang dianggap normal karena tidak memiliki torus palatinus maupun kebiasaan buruk yang dapat mempengaruhi tinggi palatum. Kelainan pertumbuhan kraniofasial yang menurut Titien (2003) dapat diakibatkan karena malnutrisi, malfungsi, dan malformasi kraniofasial, juga tidak ada dalam subjek penelitian ini. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi pada lebar dan panjang lengkung gigi pada subjek penelitian ini secara signifikan tidak berpengaruh pada tinggi palatum. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Hassanali dan Odhiambo (2000) di Kenya dan Phan dkk. (2007) di Kanada, yang juga menjumpai bahwa secara signifikan panjang lengkung gigi tidak ada hubungan terhadap tinggi palatum. Demikian pula pada penelitian lebar lengkung gigi yang dilakukan oleh Ciusa dkk. (2007) pada 150 sampel dengan lengkung gigi normal, tidak memiliki korelasi dengan tinggi palatum. Tidak adanya pengaruh lengkung gigi terhadap tinggi palatum ini mungkin karena bentuk palatum, setelah lahir, lebih dipengaruhi oleh pertumbuhan rongga mulut sekitar dan kekuatan fungsional seperti aktivitas otot lidah dan maloklusi (Vidic, 1971). Palatum yang dibentuk dengan kontribusi dari prosesus maksilaris dan prosesus fronto-nasalis (Iyyer, 2003) 11

12 memperlihatkan hubungan antara kranium dan fasial. Bentuk palatum akan terpengaruh jika terjadi kelainan skeletal pada basis kranium (Enlow, 1990). Dalam landasan teori dikatakan bahwa lengkungan palatum akan bertambah besar secara transversal dan sagital sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa (Sperber, 1976). Tulang maksila terhubung dengan tulang palatum melalui suatu sutura yang memberi kesempatan pada tulang untuk berkembang dan berkontak dengan tulang di sekitarnya. Sistim sutura membuat maksila dan palatum bergerak ke depan dan ke bawah terhadap basis kranium anterior selama masa pertumbuhan (Proffit dkk., 2007). Lengkung maksila menjadi lebih tinggi dan lebih lebar akibat pertumbuhan skeletal, yang dalam penelitian ini, berbeda dengan hipotesis, diketahui tidak ada korelasi dengan panjang dan lebar lengkung gigi, sesuatu hal yang akan dijelaskan dalam paragraf berikutnya. Berbeda dengan palatum, lengkung gigi lebih dipengaruhi oleh faktor lokal (Rahardjo, 2009) baik oleh gigi geligi yang menyusun lengkung gigi itu sendiri (Thurow, 1970), hubungan antar gigi, maupun dengan gigi antagonisnya (Iyyer, 2003). Lengkung gigi merefleksikan gabungan antara ukuran gigi, lidah, bibir, dan fungsi dinding otot pipi (Moyer, 1988). Hal baru yang juga bisa disampaikan dalam penelitian ini, meskipun tetap dalam skala keterwakilan subjek penelitian yang digunakan, adalah bahwa lengkung gigi maksila bisa dikatakan mempunyai hubungan dengan palatum namun dengan ukuran perimeternya bukan ketinggiannya. Hal ini disimpulkan bersama-sama dengan pernyataan Enlow (1990) bahwa basis apikal gigi geligi maksila yang ditentukan oleh konfigurasi dan ukuran perimeter palatum dijumpai mempunyai keterkaitan dengan lengkung gigi. Prosesus alveolaris baru terbentuk bila ada gigi (Moss-Salentijn dan Klyvert, 1980). Pernyataan ini dan pernyataan Korkhaus (1939 sit. Rakosi dkk., 1993) yang mengatakan bahwa palatum yang tinggi merupakan gambaran dari penyempitan bagian apikal prosesus alveolaris maksila akibat menghisap jari atau bernafas melalui mulut, memperkuat hasil penelitian yang dilakukan pada orang beroklusi normal dan tanpa kelainan kraniofasial ini. Secara menyeluruh, berdasarkan hasil penelitian ini, dapat dikatakan bahwa perubahan palatum lebih bergantung pada pertumbuhan skeletalnya bukan lengkung giginya. Bahwasannya seakan ada pengaruh palatum terhadap dimensi lengkung gigi, hal tersebut karena lengkung gigi sangat dipengaruhi oleh faktor lokal di dalam mulut, termasuk posisi basis apikal gigi geligi pada perimeter palatum. KESIMPULAN Kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah: 1. Besar indeks Pont pada suku Jawa adalah 82,62 untuk indeks premolar dan 65,96 untuk indeks molar sedangkan besar indeks Korkhaus pada suku Jawa adalah 163,49 untuk indeks panjang lengkung gigi dan 36,29 untuk indeks tinggi palatum. 2. Tidak terdapat hubungan antara lebar dan panjang lengkung gigi terhadap tinggi palatum berdasarkan analisis Pont dan Korkhaus pada suku Jawa (p>0,05). Acknowledgment: Terimakasih tidak terhingga kami haturkan kepada yth drg. Christnawati, M.Kes, Sp.Ort.(K), atas budi baik penyediaan studi model penelitian. DAFTAR PUSTAKA 12

13 Agnihotri, G. dan Gulati, M.S., 2008, Maxillary Molar and Premolar Indices in North Indians: A Dimorphic Study, The Internet Journal of Biological Anthropology, 2(1): Al-Omari, I.K., Duaibis, R.B., Al-Bitar, Z.B., 2007, Application of Pont s Index to a Jordanian Population, European Journal of Orthodontics, 29: Banabilh, S.M., Samsudin, A.R., Suzina, A. H., Dinsuhaimi, S., 2010, Facial Profile Shape, Malocclusion and Palatal Morphology in Malay Obstructive Sleep Apnea Patients, Angle Orthodontist, 80: Bishara, S.E., Jakobsen, J.R., Abdallah, E.M., Garcia A.F., 1989, Comparisons of Mesiodistal and Buccolingual Crown Dimensions of The Permanent Teeth in Three Populations From Egypt, Mexico, and The United Stated, Am J Orthod Dentofac Orthop, 96(5): Bishara, S.E., Treder, J.E., Jakobsen, J.R., 1994, Facial and Dental Changes in Adulthood, Am J Orthod Dentofac Orthop, 106: Bishara, S.E., Treder, J.E., Damon, P., Olsen, M., 1996, Changes in The Dental Arches and Dentition Between 25 and 45 Years of Age, The Angle Orthodontist, 66(6): Bishara, S.E., Treder, J., Nowak, A., 1998, Arch Length Changes From 6 Weeks to 45 Years, Angle Orthodontist, 68 (1): Budiman, J.A., Hayati, R., Sutrisna, B., Soemantri, E.S., 2009, Identifikasi Bentuk Lengkung Gigi Secara Kuantitatif, dentika Dental Journal, 14(2): Burris, B.G dan Harris, F.E, 2000, Maxillary Arch Size and Shape in American Blacks and Whites, Angle Orthodontist, 70(4): Ciusa, V., Dimaggio, F.R., Sforza, C., Ferrario, V.F., 2007, Three-Dimentional Palatal Development Between 3 and 6 Years, Angle Orthodontist, 77(4): Dahlan, M.S., 2009, Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: Deskriptif, Bivariat, dan Multivariat, Edisi 4, Salemba Medika, Jakarta, h.46. Drake, R.L, Vogl, W., Mitchell, A.W.M., 2005, Gray s Anatomy for Students, Elsevier Churchill Livingstone, Philadelphia, h.999. Eckert, W.G., 1997, Forensic Odontology in Introduction to Forensic Science, Bernstein, M. (eds.), Edisi 2, CRC Press, Inc., Boca Raton, h Elizabeth, A., 2007, Rata-Rata Ukuran Lebar Mesiodistal Gigi Panjang dan Lebar Lengkung Geligi pada Anak Usia 12 Tahun di Pamekasan Madura, ansyeeliza-3820, diunduh 6 September Enlow, D.H., 1990, Facial Growth, Edisi 3, W.B. Saunders Company, Philadelphia, h , 115, 243, 319. Fehrenbach, M.J. dan Herring, S.W., 2007, Anatomy of the Head and Neck, Edisi 3, Saunders Elsevier, St. Louis, h Gaidyte, A., Latkauskiene, D., Baubiniene, D., Leskauskas, V., 2003, Analysis of Tooth Size Discrepancy (Bolton Index) Among Patients of Orthodontic Clinic at Kaunas Medical University, Stomatologija, 5(1): Glinka, J., 1990, Antropometri dan Antroposkopi, Edisi 3, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, h.5, 22, 41. Graber, T.M., Orthodontics Principles and Practise, Edisi 3, W.B. Saunders Company, Philadelphia, h.4. Gupta, D.S., Sharma, V.P., Anggarwal, S.P., 1979, Pont s Index As Applied On Indians, Angle Orthodontist, 49(4):

14 Halim, H. dan Sylvia M., 2003., Posisi Gigi Dipengaruhi Oleh Faktor Ras (Studi Pustaka), JKGUI, 10(Edisi Khusus): Hardjowirogo, M., 1983, Manusia Jawa, Yayasan Idayu, h.3. Hassanali, J. dan Odhiambo, J.W., 2000, Analysis of Dental Cast of 6-8 and 12-Year-old Kenyan Children, European Journal of Orthodontics, 22: Haviland, W.A., 1995, Antropologi, Edisi IV, Jilid 1, Erlangga, Jakarta, h.183. Hayati, R., 2003, Kajian Tumbuh Kembang Dentokraniofasial Untuk Kedokteran Gigi, JKGUI, 10: Hussein, K.H., 2008, Variations in Tooth Size, Dental Arch Dimentions and Shape Among Malay School Children, Thesis, School of Dental Sciences Health Campus, Universiti Sains Malaysia, h.2. Huth, J., Staley, R.N., Jacobs, R., Bigelow, H., Jakobsen, J., 2007, Arch Widhts in Class II-2 Adults Compared to Adults with Class II-1 and Normal Occlusion, Angle Orthodontist, 77(5): Indriati, E., 2004, Antropologi Forensik: Identifikasi Rangka Manusia Aplikasi Antropologi Biologis Dalam Konteks Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h Iyyer, B.S., 2003, Orthodontics: The Art and Science, Edisi 3, Arya (Medi) Publishing House, New Delhi, h.71, 74, Jacob, T., 1978, Beberapa Pokok Persoalan Tentang Hubungan Antara Ras dan Penyakit di Indonesia, Berkala Ilmu Kedokteran Gadjah Mada, 10(2): Joondeph, D.R., Riedel, R.A., Moore, A.W., 1970, Pont s Index: A Clinical Evaluation, Angle Orthodontist, 40(2): Lebret, L., 1962, Growth Changes of the Palate, J Dent Res, 41: Ling, Y.K. dan Wong, R.W.K., 2009, Dental Arch Widhts of Southern Chinese, Angle Orthodontist, 79: Moorrees, C.F.A. dan Chadha, J.M., 1965, Available Space For The Incisors During Dental Development A Growth Study Based on Physiologic Age, Angle Orthodontist, 35(1): Moss-Salentijn L. dan Klyvert, M., 1980, Dental and Oral Tissues: An Introduction for Paraprofessional in Dentistry, Lea and Febiger, Philadelphia, h Moyers, R. E., 1988, Handbook of Orthodontics, Edisi 4., Year Book Medical Publisher, Chicago, h.3, 233. Muhammad, S.A., 1975, Perubahan Bentuk dan Struktur Alat-Alat pada Manusia Dengan Bertambahnya Umur, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Anatomi pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h Othman, S.A., dan Harradine, N.W.T., 2006, Tooth-size Discrepancy and Bolton s Ratios: A Literature Review, Journal of Orthodontics, 33: Phan, X., Antoniazzi, A., Short, L., 2007, Palatal Expansions in Mixed Dentition Versus Early Permanent Dentition, Virtual Journal of Orthodontics (serial online), 7(3): 2-8, diunduh 12 September Proffit, W.R., Fields, H.W., Sarver, D.M., 2007, Contemporary Orthodontics, Edisi 4, Mosby Elsevier, St. Louis, h.35, 42-44, 170. Rahardjo, P., 2009, Orthodonti Dasar, Airlangga University Press, Surabaya, h.7-19, Rahmawati, N. T., Hirai, M., Suryadi, E., Romi, M., Jacob, T., 2003, Kajian Kefalometrik (Studi Perbandingan antara suku Jawa di Yogyakarta dan suku Naulu di pulau Seram, Maluku Tengah), Berkala Ilmu Kedokteran, 35(4):

15 Rakosi, T., Jonas, I., Graber, T.M., 1993, Color Atlas of Dental Medicine: Orthodontic Diagnosa, Thieme Medical Publishers Inc., New York, h , Salzmann, J.A., 1950, Principles of Orthodontics, Edisi 2, J.B. Lippincott Company, Philadelphia, h.493., 1966, Practise of Orthodontics, Volume One, J. B. Lippincott Company, Philadelphia, h.1, Sofro, A.S.M., 1998, Fenomena Keanekaragaman Pada Manusia: Tinjauan Genetika Biokimia dan Implikasinya dalam Kedokteran, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, h Sperber, G.H., 1976,Craniofacial Embryology, Edisi 2, Bristol: John Wright & Sons LTP., Great Britain, h Stifter, J., 1958, A study of Pont s, Howes, Rees, Neff s, and Bolton s Analyses On Class I Adult Dentitions, Angle Orthodontist, 28(4): Sukadana, A.A., 1976, Dasar-dasar Antropologi Fisik dan Phylogenesis, Khusus untuk Ilmu Kedokteran Gigi di Indonesia, FKG Universitas Airlangga, Surabaya, h.8-9. Supriatna J., 2008, Melestarikan Alam Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 37, 39. Susilowati, 2009, Hubungan Antara Sudut Interinsisal Dengan Derajat Konveksitas Profil Jaringan Lunak Wajah Pada Suku Bugis dan Makassar, dentika Dental Journal, 14(2): Sutardi, T., 2007, Antropologi: Mengungkap Keragaman Budaya, Cetakan Pertama, PT Setia Purna Inves, Bandung, h.36. Thurow, R.C., 1970, Atlas of Orthodontic Principles, The C.V. Mosby Company, Saint. Louis, h.3. Titien, I., 2003, Teori-Teori dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kraniofasial, JKGUI, 10: Tsai, H. dan Tan, C., 2004, Morphology of the Palatal Vault of Primary Dentition in Transverse View, Angle Orthodontist, 74(6): Ueta, H., 1984, Difference Sex in Human Tooth, Kyushu Dental Society, 38(4): Vidic, B., 1971, Variations in Height of the Palatum Osseum as a Function of Other Vertical Dimensions and Angles of the Skull, J Dent Res, 50: Zarringhalam, M., 2004, Measuring Palatal Height in Normal Occlusion and Malocclusions, J Dent TUMS, 1(4):

Gambar 1. Anatomi Palatum 12

Gambar 1. Anatomi Palatum 12 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Palatum 2.1.1 Anatomi Palatum Palatum adalah sebuah dinding atau pembatas yang membatasi antara rongga mulut dengan rongga hidung sehingga membentuk atap bagi rongga mulut. Palatum

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhan dan Perkembangan Rahang Tumbuh-kembang adalah suatu proses keseimbangan dinamik antara bentuk dan fungsi. Prinsip dasar tumbuh-kembang antara lain berkesinambungan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ortodonsia merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Gigi yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan yang disebabkan oleh pergerakan gigi. Ortodonsia mencakup diagnosis,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Maloklusi Klas I Angle Pada tahun 1899, Angle mengklasifikasikan maloklusi berdasarkan relasi molar satu permanen rahang bawah terhadap rahang atas karena menurut Angle, yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ukuran lebar mesiodistal gigi bervariasi antara satu individu dengan individu lainnya, antara satu populasi dengan populasi lainnya. 1 Adanya variasi ukuran lebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. atau bergantian (Hamilah, 2004). Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Proses tumbuh kembang pada anak bisa disebut masa rentan karena masa kanak-kanak merupakan masa kritis dalam proses tumbuh kembang. Pada umumnya proses tumbuh

Lebih terperinci

Kata kunci : palatum, maloklusi Angle, indeks tinggi palatum

Kata kunci : palatum, maloklusi Angle, indeks tinggi palatum ABSTRAK Maloklusi merupakan susunan gigi geligi yang menyimpang dari oklusi normal, dapat menyebabkan gangguan estetik dan fungsional. Maloklusi dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan dan psikososial,

Lebih terperinci

Scanned by CamScanner

Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner Scanned by CamScanner PALATAL HEIGHT DIFFERENCES IN MALE AND FEMALE OF BUGINESE, MAKASSARESE AND TORAJANESSE. Irene

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang,

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang, PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Ortodontik merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pertumbuhan struktur jaringan pendukung gigi dan kraniofasial, perkembangan oklusi gigi geligi serta mempelajari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Maloklusi secara umum dapat diartikan sebagai deviasi yang cukup besar dari hubungan yang ideal yang dapat menyebabkan ketidakpuasan baik secara estetik maupun secara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi,

BAB 1 PENDAHULUAN. studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi, studi. 7 Analisis model studi digunakan untuk mengukur derajat maloklusi, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ortodonti adalah cabang ilmu kedokteran gigi yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Ukuran lebar mesiodistal gigi setiap individu adalah berbeda, setiap populasi juga berbeda dengan populasi lainnya. 1 Data lebar mesiodistal gigi penting sebagai informasi sebelum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Mokhtar, 2002). Susunan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah (Mokhtar, 2002). Susunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lengkung gigi adalah lengkung yang dibentuk oleh mahkota gigi geligi. Lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imajiner yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Lengkung gigi merupakan suatu garis lengkung imajiner yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan bawah. 7,9 Bentuk lengkung gigi ini berhubungan dengan bentuk kepala

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lengkung Gigi Menurut DuBRUL (1980), bentuk lengkung gigi sangat bervariasi, akan tetapi secara umum lengkung gigi rahang atas berbentuk elips dan lengkung gigi rahang bawah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lengkung Gigi Lengkung gigi merupakan suatu garis imajiner yang menghubungkan sederetan gigi pada rahang atas dan rahang bawah yang dibentuk oleh mahkota gigigeligi dan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. 1. indeks kepala dan indeks wajah. Indeks kepala mengklasifikasian bentuk kepala

BAB I PENDAHULUAN. secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. 1. indeks kepala dan indeks wajah. Indeks kepala mengklasifikasian bentuk kepala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menangani setiap kasus dalam kedokteran gigi khususnya bidang ortodontik, para praktisi harus menyusun rencana perawatan yang didasarkan pada diagnosis. Untuk

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi

I.PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nesturkh (1982) mengemukakan, manusia di dunia dibagi menjadi beberapa golongan ras. Masyarakat negara Indonesia termasuk ke dalam golongan ras Mongoloid. Jacob

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin

I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah. Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin 1 I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara umum bentuk wajah (facial) dipengaruhi oleh bentuk kepala, jenis kelamin dan usia. Bentuk wajah setiap orang berbeda karena ada kombinasi unik dari kontur

Lebih terperinci

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk

Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti. Analisis model studi merupakan salah satu sumber informasi penting untuk Analisis Model Studi, Sumber Informasi Penting bagi Diagnosis Ortodonti Avi Laviana Bagian Ortodonti Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran Jl. Sekeloa Selatan No. 1 Bandung Abstrak Analisis

Lebih terperinci

BAB I. Pendahuluan. A. Latar belakang. waktu yang diharapkan (Hupp dkk., 2008). Molar ketiga merupakan gigi terakhir

BAB I. Pendahuluan. A. Latar belakang. waktu yang diharapkan (Hupp dkk., 2008). Molar ketiga merupakan gigi terakhir 1 BAB I Pendahuluan A. Latar belakang Gigi impaksi adalah gigi yang gagal erupsi ke dalam rongga mulut pada waktu yang diharapkan (Hupp dkk., 2008). Molar ketiga merupakan gigi terakhir yang tumbuh pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Salah satu jenis maloklusi yang sering dikeluhkan oleh pasien-pasien ortodonti adalah gigi berjejal. 3,7 Gigi berjejal ini merupakan suatu keluhan pasien terutama pada aspek estetik

Lebih terperinci

Kata kunci: lebar mesiodistal gigi, indeks Bolton, maloklusi kelas I Angle, overjet, overbite, spacing, crowding

Kata kunci: lebar mesiodistal gigi, indeks Bolton, maloklusi kelas I Angle, overjet, overbite, spacing, crowding ABSTRAK Rasio lebar mesiodistal gigi dapat ditentukan melalui perhitungan analisis Bolton yang selalu dilakukan sebelum perawatan ortodontik karena rasio Bolton mempengaruhi besarnya overjet, overbite,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Saluran Pernafasan Saluran pernafasan merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling berhubungan. Pada bagian anterior saluran pernafasan terdapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Gigi berjejal merupakan jenis maloklusi yang paling sering ditemukan. Gigi berjejal juga sering dikeluhkan oleh pasien dan merupakan alasan utama pasien datang untuk melakukan perawatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Maloklusi merupakan salah satu masalah di bidang kedokteran gigi. Maloklusi adalah ketidakteraturan letak gigi geligi sehingga menyimpang dari hubungan antara gigi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Molar Dua Mandibula Fungsi molar dua mandibula permanen adalah melengkapi molar satu mandibula. Seluruh bagian molar dua mandibula lebih kecil sekitar 1mm daripada molar satu.

Lebih terperinci

BAHAN AJAR Pertemuan ke 9

BAHAN AJAR Pertemuan ke 9 UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta BAHAN AJAR Pertemuan ke 9 ASUHAN KEPERAWATAN ORTODONSIA I Semester V/ 1 SKS (1-0) /KKG 5313 Oleh: drg. Christnawati,

Lebih terperinci

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2 PERAWATAN MALOKLUSI KELAS I ANGLE TIPE 2 MAKALAH Oleh : Yuliawati Zenab, drg.,sp.ort NIP.19580704 199403 2 001 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG 2010 Bandung, Maret 2010 Disetujui

Lebih terperinci

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior

BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR. 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior BAB 2 PROTRUSI DAN OPEN BITE ANTERIOR 2.1 Definisi Protrusi dan Open Bite Anterior Protrusi anterior maksila adalah posisi, dimana gigi-gigi anterior rahang atas lebih ke depan daripada gigi-gigi anterior

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Salzmann mendefinisikan oklusi dalam ortodonti sebagai perubahan inter relasi permukaan gigi maksila dan mandibula yang terjadi selama pergerakan mandibula dan kontak penuh terminal

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari

BAB 1 PENDAHULUAN. gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Fase gigi bercampur adalah suatu fase ditemukan adanya gigi desidui dan gigi permanen bersamaan di dalam rongga mulut. Fase gigi bercampur dimulai dari usia 6 tahun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing 20 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Lengkung gigi terdiri dari superior dan inferior dimana masing-masing dikenal sebagai maksila dan mandibula. 6 Lengkung gigi adalah berbeda pada setiap individu, tidak ada seorang

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan rancangan crosssectional yang bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konveksitas skeletal

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Gigi Perkembangan gigi merupakan proses kompleks yang disebut juga morfogenesis gigi atau odontogenesis yang dimulai selama minggu ke-6 perkembangan embrio. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perawatan ortodontik bertujuan untuk mengoreksi maloklusi sehingga diperoleh oklusi yang normal. Penatalaksanaan perawatan ortodontik sering dihadapkan kepada permasalahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Ortodonti adalah kajian tentang variasi pertumbuhan dan perkembangan dari struktur wajah, rahang dan gigi, serta pengaruhnya terhadap oklusi gigi geligi (Grist,

Lebih terperinci

BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK

BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK BAB III PREVENTIF ORTHODONTIK 1. Pendahuluan Preventif orthodontik mempunyai peranan yang sangat penting dalam halmengusahakan agar gigi-gigi permanen yang akan menggantikan posisi gigi desidui akan mendapatkan

Lebih terperinci

Dentofasial, Vol.11, No.3, Oktober 2012: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia

Dentofasial, Vol.11, No.3, Oktober 2012: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin Makassar, Indonesia 156 Perbedaan ukuran dan bentuk lengkung gigi antara laki-laki dan perempuan suku Bugis, Makassar, dan Toraja Difference of size and shape of dental arch between male and female of Buginese, Makassarese,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ras Deutro-Melayu Sebagian besar dari penduduk Indonesia termasuk ras Paleomongoloid yang disebut dengan ras Melayu. Ras Melayu terdiri dari kelompok Proto-Melayu (Melayu tua)

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pertumbuhkembangan Dentofasial Laki-laki dan Perempuan Pertumbuhan merupakan bertambah jumlah dan besarnya sel di seluruh bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur, sedangkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemajuan jaman membuat pemikiran masyarakat semakin maju dan cepat berkembang. Masyarakat makin menyadari kebutuhan pelayanan kesehatan, karena pengetahuan masyarakat tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah

I. PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah 1 I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Ilmu Ortodonti menurut American Association of Orthodontics adalah cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari pertumbuhan dan perkembangan gigi geligi dan hubungannya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis,

BAB 1 PENDAHULUAN. pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ortodonti adalah bidang kedokteran gigi yang berhubungan dengan pertumbuhan dan perkembangan wajah dan gigi-geligi, serta diagnosis, pencegahan, dan perbaikan dari

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kesimetrisan Diagnosis dalam ilmu ortodonti, sama seperti disiplin ilmu kedokteran gigi dan kesehatan lainnya memerlukan pengumpulan informasi dan data yang adekuat mengenai

Lebih terperinci

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA

BAB 2 TI JAUA PUSTAKA 6 BAB 2 TI JAUA PUSTAKA Ortodonti adalah salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan estetika gigi, wajah, dan kepala. Berdasarkan American Board of Orthodontics (ABO), Ortodonti adalah

Lebih terperinci

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi

BAB 2 MALOKLUSI KLAS III. hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi BAB 2 MALOKLUSI KLAS III 2.1 Pengertian Angle pertama kali mempublikasikan klasifikasi maloklusi berdasarkan hubungan lengkung rahang dari model studi. Menurut Angle, oklusi Klas I terjadi apabila tonjol

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini banyak pasien datang ke dokter gigi karena kondisi gigi yang kurang rapi. Gigi yang kurang rapi ini disebut juga dengan maloklusi. Maloklusi merupakan penyimpangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang

BAB I PENDAHULUAN. permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Oklusi adalah berkontaknya permukaan oklusal gigi geligi rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi rahang bawah pada saat rahang atas dan rahang bawah menutup.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perawatan ortodontik dapat dicapai jika diagnosis dan rencana perawatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perawatan ortodontik dapat dicapai jika diagnosis dan rencana perawatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perawatan ortodontik dapat dicapai jika diagnosis dan rencana perawatan ditegakkan secara tepat sebelum perawatan dilakukan. Diagnosis ortodontik dapat diperoleh

Lebih terperinci

PERBEDAAN RASIO UKURAN MESIODISTAL GIGI (BOLTON) PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN 1 SALATIGA JAWA TENGAH

PERBEDAAN RASIO UKURAN MESIODISTAL GIGI (BOLTON) PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN 1 SALATIGA JAWA TENGAH PERBEDAAN RASIO UKURAN MESIODISTAL GIGI (BOLTON) PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN 1 SALATIGA JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI Disusun untuk Dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Fakultas Kedokteran Gigi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Periode Perkembangan Gigi Geligi Terdapat empat tahap perkembangan gigi geligi manusia, yaitu periode bantalan gusi (gum pads), periode gigi desidui (primary dentition stage),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu kesehatan gigi, estetik dan fungsional individu.1,2 Perawatan dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi merupakan suatu keadaan kedudukan gigi geligi yang menyimpang dari oklusi normal.1 Masalah maloklusi ini mendapat perhatian yang besar dari praktisi dan dokter

Lebih terperinci

Howes Analysis Measurement of Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha Bandung Patients

Howes Analysis Measurement of Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha Bandung Patients Howes Analysis Measurement of Rumah Sakit Gigi dan Mulut Maranatha Bandung Patients Evelyn Eunike Faculty of Dentistry Maranatha Christian University Jl. Prof. Drg. Suria Sumantri MPH No. 65 Bandung 40164

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Radiografi Sefalometri. 22,23 Sejak tahun 1922 radiografi sefalometri telah diperkenalkan oleh Pacini dan Carrera dan kemudian dikembangkan oleh Hofrath (Jerman) dan Broadbent

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau

BAB I PENDAHULUAN. Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ortodontik berasal dari bahasa Yunani orthos yang berarti normal atau benar dan dontos yang berarti gigi. Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki posisi gigi dan memperbaiki

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Kasus maloklusi yang disertai diskrepansi vertikal cenderung sulit dalam perawatan ortodonti dan mempunyai prognosis yang kurang baik. Diskrepansi vertikal dapat bermanifestasi pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut memiliki peran yang penting bagi fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rongga mulut memiliki peran yang penting bagi fungsi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rongga mulut memiliki peran yang penting bagi fungsi pengunyahan manusia. Gigi merupakan kunci dari proses pengunyahan, berbicara dan penampilan. Oklusi normal merupakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Arch Length Discrepancy (ALD), indeks Howes, indeks Pont, Model studi

ABSTRAK. Kata kunci: Arch Length Discrepancy (ALD), indeks Howes, indeks Pont, Model studi ABSTRAK Maloklusi dengan hubungan molar kelas I Angle ditandai dengan keadaan hubungan molar antar lengkung rahang normal tetapi menunjukkan adanya iregularitas gigi antara lain crowding. Perbedaan hubungan

Lebih terperinci

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR

CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR CROSSBITE ANTERIOR DAN CROSSBITE POSTERIOR 1. Crossbite anterior Crossbite anterior disebut juga gigitan silang, merupakan kelainan posisi gigi anterior rahang atas yang lebih ke lingual daripada gigi

Lebih terperinci

PERAWATANORTODONTIK KANINUS KIRI MAKSILA IMPAKSI DI DAERAH PALATALDENGAN ALAT CEKATTEKNIK BEGG

PERAWATANORTODONTIK KANINUS KIRI MAKSILA IMPAKSI DI DAERAH PALATALDENGAN ALAT CEKATTEKNIK BEGG Maj Ked Gi; Desember 2011; 18(2): 149-151 ISSN: 1978-0206 PERAWATANORTODONTIK KANINUS KIRI MAKSILA IMPAKSI DI DAERAH PALATALDENGAN ALAT CEKATTEKNIK BEGG Emil' dan Prihandini Iman" * Program Studi Ortodonsia,

Lebih terperinci

LEBAR MESIODISTAL GIGI PERMANEN RAHANG ATAS DAN RAHANG BAWAH PADA MAHASISWA MALAYSIA DI FKG USU

LEBAR MESIODISTAL GIGI PERMANEN RAHANG ATAS DAN RAHANG BAWAH PADA MAHASISWA MALAYSIA DI FKG USU LEBAR MESIODISTAL GIGI PERMANEN RAHANG ATAS DAN RAHANG BAWAH PADA MAHASISWA MALAYSIA DI FKG USU SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi Syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Lebih terperinci

PERBANDINGAN RERATA BESARAN LEEWAY SPACE SUKU BANJAR DENGAN RERATA LEEWAY SPACE MENURUT PROFFIT

PERBANDINGAN RERATA BESARAN LEEWAY SPACE SUKU BANJAR DENGAN RERATA LEEWAY SPACE MENURUT PROFFIT PERBANDINGAN RERATA BESARAN LEEWAY SPACE SUKU BANJAR DENGAN RERATA LEEWAY SPACE MENURUT PROFFIT 20 Gusti Meidy L*, Fajar Kusuma D.K.**, Irnamanda D.H.** Keywords: Banjarese population, leeway space ABSTRACT

Lebih terperinci

DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK. Risti Saptarini Primarti * Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad

DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK. Risti Saptarini Primarti * Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad DETEKSI DINI KETIDAKSEIMBANGAN OTOT OROFASIAL PADA ANAK Risti Saptarini Primarti * Bagian Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Unpad ABSTRAK Fungsi otot orofasial berperan penting dalam pembentukan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Calvin Kurnia, 2011 Pembimbing I : drg. Susiana, Sp.Ort Pembimbing II: dr. Winsa Husin, M.Sc, M.Kes

ABSTRAK. Calvin Kurnia, 2011 Pembimbing I : drg. Susiana, Sp.Ort Pembimbing II: dr. Winsa Husin, M.Sc, M.Kes ABSTRAK PERHITUNGAN INDEKS WAJAH PADA MAHASISWA DAN MAHASISWI ETNIS TIONGHOA UMUR 20-22 TAHUN DI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA PADA TAHUN 2011 Calvin Kurnia, 2011 Pembimbing I : drg.

Lebih terperinci

Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar

Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar Susilowati: Hubungan antara derajat konveksitas profil 125 Hubungan antara derajat konveksitas profil jaringan keras dan jaringan lunak wajah pada suku Bugis dan Makassar Susilowati Bagian Ortodonsia Fakultas

Lebih terperinci

PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH

PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH SKRIPSI Skripsi ini Disusun sebagai Syarat Memperoleh Gelar Strata Satu Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi

BAB I PENDAHULUAN. diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Senyum adalah kunci percaya diri pada seseorang. Seseorang merasa percaya diri atau tidak melalui bentuk gigi dan bentuk senyuman. Penting bagi dokter gigi untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan serangkaian pulau besar-kecil dengan lingkungan yang berbeda-beda terletak diantara dua benua yaitu Australia dan Asia. Bangsa Indonesia pada awalnya

Lebih terperinci

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus.

BAB 2 KANINUS IMPAKSI. individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus. BAB 2 KANINUS IMPAKSI Gigi permanen umumnya erupsi ke dalam lengkungnya, tetapi pada beberapa individu gigi permanen dapat gagal erupsi dan menjadi impaksi di dalam alveolus. Salah satunya yaitu gigi kaninus

Lebih terperinci

Analisa Ruang Metode Moyers

Analisa Ruang Metode Moyers ANALISA RUANG I. Analisa Ruang Analisis ruang sangat diperlukan untuk membandingkan ruangan yang tersedia dengan ruangan yang dibutuhkan untuk normalnya keteraturan gigi. Adanya ketidakteraturan atau crowding

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oklusi Oklusi merupakan hubungan statis antara gigi atas dan gigi bawah selama interkuspasi dimana pertemuan tonjol gigi atas dan bawah terjadi secara maksimal. Dikenal dua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995)

BAB I PENDAHULUAN. berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah tumbuh kembang sebenarnya mencakup 2 peristiwa yang sifatnya berbeda, tetapi saling berkaitan dan sulit dipisahkan. Soetjiningsih (1995) berpendapat bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tipe Wajah Penentuan tipe wajah merupakan salah satu prosedur penting dalam menentukan diagnosis ortodonti walaupun tidak memberikan keterangan secara lengkap mengenai tulang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1. Ukuran lebar mesiodistal gigi permanen menurut Santoro dkk. (2000). 22 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lebar Mesiodistal Gigi Geligi Lebar mesiodistal gigi adalah jarak terbesar yang diukur dari titik kontak anatomis mesial sampai ke titik kontak anatomis distal pada masing-masing

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan Gigi-Geligi dan Oklusi Perkembangan oklusi mengalami perubahan signifikan sejak kelahiran sampai dewasa. Perubahan dari gigi-geligi desidui menjadi gigi-geligi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengukuran Maloklusi Suatu kriteria untuk menetapkan tingkat kesulitan perawatan pada American Board of Orthodontic (ABO) adalah kompleksitas kasus. ABO mengembangkan teknik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi pada posisi ideal dan seimbang dengan tulang basalnya. Perawatan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. gigi geligi pada posisi ideal dan seimbang dengan tulang basalnya. Perawatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan ortodontik bertujuan mengoreksi maloklusi dan menempatkan gigi geligi pada posisi ideal dan seimbang dengan tulang basalnya. Perawatan ortodontik harus dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. oklusi sentrik, relasi sentrik dan selama berfungsi (Rahardjo, 2009). BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Oklusi Oklusi dalam pengertian yang sederhana adalah penutupan rahang beserta gigi atas dan bawah. Pada kenyataannya oklusi merupakan suatu proses kompleks karena meibatkan gigi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter

BAB 1 PENDAHULUAN. ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Besarnya pengaruh erupsi gigi dan banyaknya kelainan yang mungkin ditimbulkan oleh gangguan erupsi gigi di rongga mulut, sudah selayaknya bagi dokter gigi mengetahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ortodonsia menurut American Association of Orthodontists adalah bagian Ilmu Kedokteran Gigi yang terkonsentrasi untuk mengawasi, membimbing, dan mengoreksi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan ortodontik bertujuan memperbaiki fungsi oklusi dan estetika wajah. Pengetahuan tentang pertumbuhan kraniofasial meliputi jaringan keras dan jaringan lunak yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya, perawatan ortodonti adalah usaha pengawasan untuk membimbing dan mengoreksi struktur dentofasial yang sedang tumbuh atau yang sudah dewasa. Perawatan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah maloklusi pertama kali diciptakan oleh Guilford. Guilford mengartikan maloklusi sebagai setiap penyimpangan oklusi yang berada diluar rentang kewajaran yang

Lebih terperinci

III. KELAINAN DENTOFASIAL

III. KELAINAN DENTOFASIAL III. KELAINAN DENTOFASIAL PEN DAHULUAN Klasifikasi maloklusi dan oklusi Occlusion = Oklusi Pengertian Oklusi adalah hubungan gigi geligi rahang atas dan rahang bawah bila rahang bawah digerakkan sehingga

Lebih terperinci

Rasio lebar mesiodistal gigi Bolton pada geligi berjejal dan geligi normal

Rasio lebar mesiodistal gigi Bolton pada geligi berjejal dan geligi normal Rasio lebar mesiodistal gigi Bolton pada geligi berjejal dan geligi normal Susilowati,* Meryl Dekaria** * Bagian Ortodonsia ** Mahasiswi tingkat kepaniteraan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH

PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH PERBEDAAN LEBAR LENGKUNG GIGI PADA MALOKLUSI KLASIFIKASI ANGLE DI SMPN I SALATIGA JAWA TENGAH NASKAH PUBLIKASI Disusun untuk Dipublikasikan pada Jurnal Ilmiah Kedokteran Gigi Universitas Muhammadiyah Surakarta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gigi berjejal, tidak teratur dan protrusif adalah kondisi yang paling sering terjadi dan memotivasi individu untuk melakukan perawatan ortodontik. Motivasi pasien

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Perkembangan Mandibula Pada waktu bayi dilahirkan, mandibula sangat kecil dan terdiri dari 2 bagian yang sama, dihubungkan oleh jaringan fibrosa. Mandibula

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal.

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari berbagai macam penyebab dan salah satunya karena hasil dari suatu. pertumbuhan dan perkembangan yang abnormal. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maloklusi adalah suatu kondisi yang tidak dapat diwakilkan oleh suatu keadaan yang tunggal tetapi merupakan jumlah atau kumpulan dari sifat oklusi yang multifaktorial.

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA. Universitas Sumatera Utara 56 DAFTAR PUSTAKA 1. Febrina RS, Eky SSS, Endah M. Ukuran dan bentuk lengkung gigi rahang bawah pada mahasiswa FKG Unpad. JKG 1997; 9(1): 22-7. 2. Yaacob H, Nambiar P, Naidu MDK. Racial characteristics

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ortodonti merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang berhubungan dengan teknik untuk mencegah, mengintervensi dan mengoreksi keberadaan maloklusi dan kondisi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Maloklusi a. Definisi Oklusi merupakan hubungan gigi rahang atas dan rahang bawah saat berkontak fungsional selama aktivitas mandibula (Newman, 1998). Oklusi

Lebih terperinci

Korelasi antara Tinggi Badan dan Panjang Jari Tangan

Korelasi antara Tinggi Badan dan Panjang Jari Tangan Korelasi antara Tinggi Badan dan Panjang Jari Tangan Athfiyatul Fatati athfiyatul.fatati@yahoo.com Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu Politik Universitas Airlangga ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS II KELETAL DENGAN KOMBINASI AKTIVATOR - HEADGEAR

PERAWATAN MALOKLUSI KELAS II KELETAL DENGAN KOMBINASI AKTIVATOR - HEADGEAR PERAWATAN MALOKLUSI KELAS II KELETAL DENGAN KOMBINASI AKTIVATOR - HEADGEAR MAKALAH Oleh : Yuliawati Zenab, drg.,sp.ort NIP.19580704 199403 2 001 FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS PADJADJARAN BANDUNG

Lebih terperinci

BAHAN AJAR Pertemuan ke 6

BAHAN AJAR Pertemuan ke 6 UNIVERSITAS GADJAH MADA FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI Jl. Denta No.1 Sekip Utara Yogyakarta BAHAN AJAR Pertemuan ke 6 ASUHAN KEPERAWATAN ORTODONSIA I Semester V/ 1 SKS (1-0) /KKG 5313 Oleh: drg. Heryumani S.,

Lebih terperinci

ABSTRAK KORELASI ANTARA BENTUK WAJAH DAN BENTUK GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA PADA ETNIS TIONGHOA USIA TAHUN

ABSTRAK KORELASI ANTARA BENTUK WAJAH DAN BENTUK GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA PADA ETNIS TIONGHOA USIA TAHUN ABSTRAK KORELASI ANTARA BENTUK WAJAH DAN BENTUK GIGI INSISIVUS SENTRAL MAKSILA PADA ETNIS TIONGHOA USIA 18 25 TAHUN Latar Belakang. Bentuk gigi merupakan hal yang esensial untuk estetika. Sisi estetik

Lebih terperinci

ABSTRAK GAMBARAN MALOKLUSI PADA SISWA SISWI SDK 6 BPK PENABUR KELOMPOK USIA TAHUN BERDASARKAN KLASIFIKASI ANGLE DAN KLASIFIKASI PROFFIT-ACKERMAN

ABSTRAK GAMBARAN MALOKLUSI PADA SISWA SISWI SDK 6 BPK PENABUR KELOMPOK USIA TAHUN BERDASARKAN KLASIFIKASI ANGLE DAN KLASIFIKASI PROFFIT-ACKERMAN ABSTRAK GAMBARAN MALOKLUSI PADA SISWA SISWI SDK 6 BPK PENABUR KELOMPOK USIA 11 12 TAHUN BERDASARKAN KLASIFIKASI ANGLE DAN KLASIFIKASI PROFFIT-ACKERMAN Arnold Kyoto, 2011 Pembimbing 1 Pembimbing 2 : Susiana,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perawatan Ortodontik bertujuan untuk memperbaiki susunan gigi-gigi dan ubungan rahang yang tidak normal sehingga tercapai oklusi, fungsi yang normal dan estetis wajah yang

Lebih terperinci

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI

PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI SEMINAR WISATA DENTISTRY YOGYAKARTA 6 FEBRUARI 2009 Oleh Endah Mardiati, drg., MS., Sp.Ort 1 PERANAN DOKTER GIGI UMUM DI BIDANG ORTODONTI SEMINAR DENTISTRY

Lebih terperinci