BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana Ada dua istilah yang dipakai dalam bahasa Belanda, yaitu strafbaar feit dan istilah delict yang mempunyai makna yang sama. Delict diterjemahkan dengan delik (tindak pidana) saja, sedangkan strafbaar feit dalam bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti dan belum diperoleh kata sepakat diantara para sarjana Indonesia mengenai alih bahasa. Ada yang menggunakan terjemahan: perbuatan pidana (Moeljatno dan Roeslan Saleh), peristiwa pidana (Konstitusi RIS, UUDS 1950, Tresna serta Utrecht), tindak pidana (Wiryono Prodjodikoro), delik (Satochid Kartanegara, A.Z Abidin dan Andi Hamzah), perbuatan yang boleh dihukum (karni dan Van Schravendijk) dan pelanggaran pidana (Tirtaamidjaja). Namun dari berbagai salinan ke bahasa Indonesia tersebut yang dimaksud dengan berbagai istilah tersebut ialah strafbaar feit (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 15). Beberapa pakar hukum pidana memberikan definisi mengenai strafbaar feit, antara lain : 1) Simons Mengatakan bahwa strafbaar feit adalah kelakuan yang diancam pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 15). 2) Jonkers Memberikan definisi strafbaar feit dalam dua pengertian, yakni: a) Definisi pendek memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kejadian yang dapat diancam pidana oleh undang-undang. b) Definisi panjang, maka strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa 13

2 oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 16). 3) Pompe Membedakan pengertian strafbaar feit antara: a) Strafbaar feit yaitu suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelaku dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum (definisi menurut teori). b) Strafbaar feit adalah suatu feit (kejadian) yang oleh peraturan perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dihukum (definisi menurut hukum positif) (Martiman Prodjohamidjojo, 1997: 16). 4) Moeljatno Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut (Moeljatno, 2000: 54). Berdasarkan pengertian strafbaar feit yang telah dikemukakan oleh pakar hukum pidana diatas, maka diperoleh makna bahwa strafbaar feit sama dengan delik, perbuatan pidana, tindak pidana dan istilah lain salinannya b. Unsur-Unsur Tindak Pidana Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsurunsur subjektif dan unsur-unsur objektif (PAF. Lamintang, 2013: 193). Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedang yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di 14

3 dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan (PAF. Lamintang, 2013: 193). Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah (PAF. Lamintang, 2013: 193): 1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa) 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP 3) Macam-macam atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain. 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan Pasal 340 KUHP. 5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah (PAF. Lamintang, 2013: 194): 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2) Kualitas dari si pelaku, misalnya Keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; 3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. c. Perumusan Tindak Pidana Di dalam KUHP perumusan tindak pidana, itu biasanya dimulai dengan kata barangsiapa dan dilanjutkan dengan lukisan perbuatan yang dilarang atau diperintahkan dalam undang undang (disebut norma hukumnya). Untuk perumusan norma (dan sanksi) sebagaimana tercantum dalam undang-undang pidana (KUHP) terdapat 3 (tiga) cara yaitu: 15

4 1) Dengan menguraikan atau menyebutkan unsur-unsur perbuatan itu satu persatu. Misalnya dalam tindak pidana menurut Pasal 305 KUHP Barangsiapa menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan melepaskan diri dari padanya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. 2) Dengan menyebutkan kualitas dari tindak pidana itu tanpa menguraikan unsur-unsurnya, misalnya Pasal 297 KUHP Perdagangan wanita dan perdaganagan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. 3) Dengan cara menggabungkan nomor 1) dan nomor 2) diatas, yakni di samping menyebutkan unsur-unsurnya (berupa perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan) juga disebut pula kualifikasinya, seperti : Pasal 124 KUHP: Memberi bantuan kepada musuh. Pasal 263 KUHP : Memalsukan surat Pasal 372 KUHP : Penggelapan Pasal 378 KUHP : Penipuan Pasal 362 KUHP : Pencurian Pasal 338 KUHP : Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, di ancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (Hanif Aryo Nugroho, 2005: 21). 2. Berita Bohong (Hoaks) Sampai kini belum ada definisi hukum di Indonesia yang tepat tentang apa yang disebut dengan berita bohong atau hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kelima (KBBI V), kata hoaks dikategorikan sebagai ajektiva dan nomina. Sebagai ajektiva, kata hoaks berarti tidak benar; bohong. Dalam penulisannya sebagai frasa, hoaks ini menggunakan kata yang diterangkan terlebih dahulu, misalnya menjadi berita hoaks. Sebagai nomina, hoaks juga dapat berdiri sendiri dengan arti berita bohong (Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam diakses pada 28 Mei 2017). 16

5 Berita bohong atau hoaks adalah sebuah tipuan dan kebohongan yang menyamar sebagai kebenaran. Istilah ini populer di internet dan media sosial karena peredaran berita bohong atau hoaks memang lebih mudah berkembang di internet dan media sosial. Istilah hoaks sendiri sudah dikenal sejak akhir abad kedelapan belas. Secara etimologi, istilah hoaks berasal dari penyusutan frasa hocus yang berarti untuk menipu, atau untuk mencurangi (Robert Nares, 1822: 235). Frasa hocus ini dipercaya berasal dari mantra yang sering dibaca oleh para pesulap, yaitu hocus pocus yang maknanya sama seperti sim salabim, tetapi hoaks sendiri berbeda dari trik sulap karena perbedaan tujuan dari keduanya dan keadaan dari masyarakat yang menerimanya. Masyarakat yang menerima hoaks tidak sadar dan tidak menduga bahwa mereka sedang ditipu, sementara dalam trik sulap, masyarakat sudah menduga dan mengharapkan untuk ditipu oleh para pesulap. Secara terminologi, makna hoaks sedikit agak berbeda dari makna berita palsu/bohong yang sering kita dengar. Hoaks adalah suatu kesalahan yang sengaja dibuat untuk menyamar menjadi sebuah kebenaran. Sementara itu berita bohong/palsu adalah artikel berita yang dibuat bohong/palsu dengan sengaja dan dapat dibuktikan kebohongan/kepalsuannya, serta dapat menyesatkan para pembaca (Hunt Allcott dan Matthew Gentzkow, 2017: 213). Dari kedua definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hoaks adalah bentuk dari kesalahan atau kepalsuannya sementara berita bohong/palsu adalah berita yang terdapat hoaks di dalamnya. Penulis menggunakan istilah hoaks dalam pengertian KBBI edisi kelima, yaitu kata hoaks sebagai adjektiva dan nomina untuk menghindari kerancuan dalam penulisan hukum ini. Menurut Lynda Walsh, beberapa berita bohong/hoaks secara alami memberi keuntungan dan beberapa penyebar hoaks yang sukses sering mendapatkan keuntungan berupa uang atau ketenaran melalui kesalahan yang dibuat oleh mereka, sehingga perbedaan antara hoaks dan penipuan tidak begitu jelas (Lynda Walsh, 2006: 24-25). Salah satu media hoaks yang pertama kali tercatat adalah almanak atau penanggalan palsu yang dipublikasikan oleh Jonathan Swift yang 17

6 menggunakan nama pena yaitu Isaac Bickerstaff pada tahun Swift memprediksi kematian John Partridge, salah satu astrolog di Inggris pada saat itu, di dalam almanak yang kemudian diisukan menjadi sebuah elegi atau sajak kesedihan di hari Partridge seharusnya meninggal. Almanak tersebut berdampak pada reputasi Partridge yang menjadi hancur dan almanak astrologinya tidak dipublikasikan lagi dalam enam tahun ke depan (Lynda Walsh, 2006: 17-18). Claire Wardle mengidentifikasi tujuh tipe berita bohong/hoaks, antara lain: a. Satire atau parodi (tidak memiliki niat untuk merugikan atau merusak, tetapi berpotensi untuk membodohi orang); b. Tidak berkaitan (judul dan gambar dalam berita tidak berkaitan dengan isi berita); c. Isi yang menyesatkan (menggunakan informasi yang menyesatkan untuk membingkai sebuah masalah atau seorang individu); d. Isi berita yang palsu (isi berita yang asli dibagikan dengan informasi yang konteksnya palsu); e. Isi berita yang menipu (sumber berita yang asli ditiru dengan sumber yang palsu atau dibuat-buat); f. Isi berita yang dimanipulasi (informasi atau gambar yang asli dimanipulasi untuk menipu dengan menggunakan gambar palsu); g. Isi berita yang dibuat-buat (isi berita 100% palsu, disengaja untuk menipu dan menyebabkan kerugian) (Claire Wardle dalam diakses pada tanggal 16 Februari 2017). Berita bohong atau hoaks mudah sekali menyebar dan teknologi internet (melalui media sosial) membuat penyebaran berita bohong atau hoaks menjadi lebih parah. Direktur Institute of Cultural Capital di University of Liverpool, Simeon Yates, dalam tulisannya yang berjudul Fake News Why People Believe It and What Can be Done to Counter It menyatakan ada fenomena gelembung atau disebut bubbles dalam penggunaan media sosial. 18

7 Pengguna media sosial cenderung berinteraksi dengan orang yang memiliki ketertarikan yang sama dengan diri sendiri. Dikaji dari studi kelas sosial, gelembung media sosial tersebut mencerminkan gelembung "offline" sehari-hari. Kelompok tersebut, kembali ke model lama, juga bertumpu pada opini pemimpin, mereka yang memiliki pengaruh di jejaring sosial. Kabar bohong yang beredar di media sosial, menjadi besar ketika diambil oleh situs atau pelaku terkemuka yang memiliki banyak pengikut. Kecepatan dan sifat media sosial yang mudah untuk dibagikan, shareability berperan dalam penyebaran berita.sebagai mana ditekankan Presiden Amerika Serikat Barack Obama, menjadi sulit untuk membedakan yang palsu dari fakta, sudah banyak bukti bahwa butuh perjuangan untuk menghadapi ini. Media digital membuat lebih sulit untuk membedakan kebenaran konten. Berita online lebih sulit untuk dibedakan. Masalah berikutnya adalah bahwa mencabut "berita palsu" di media sosial saat ini kurang didukung oleh teknologi. Meskipun tulisan dapat dihapus, ini adalah tindakan pasif, kurang bermakna daripada pencabutan satu paragraf di surat kabar. Agar memberi dampak, yang diperlukan tidak hanya menghapus posting-an tetapi menyoroti dan mengharuskan pengguna untuk melihat dan menyadari bahwa berita yang dimaksud sebagai berita palsu (Simeon Yates dalam diakses pada tanggal 12 Juni 2018). Dampak dari berita bohong atau hoaks adalah fenomena global, dimana berita bohong/hoaks sering disebar melalui penggunaan situs berita bohong/hoaks, yang demi mendapatkan kredibilitas atas beritanya, mengkhususkan diri dalam membuat berita yang dapat menarik perhatian para pembaca dan sering meniru sumber berita yang dikenal dengan baik oleh masyarakat (Adrian Chen dalam The New York Times ( diakses pada tanggal 2 Juni 2017). Dampak-dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh berita bohong atau hoaks antara lain: a. Membuang-buang waktu dan uang. Berdasarkan perhitungan situs cmsconnects.com, membaca berita bohong atau hoaks dapat menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi 19

8 individu atau kantor tempatnya bekerja. Hal ini terjadi berkat produktivitas yang menurun akibat efek mengejutkan kabar bohong atau hoaks. Bagi perusahaan, kerugian minimal bisa mencapai Rp ,- per tahun, sementara individu bisa Rp ,- per tahun. Semua ini bisa terjadi bila setiap pekerja menghabiskan waktu 10 detik saja per hari untuk membaca atau pesan hoaks. Apabila berita bohong terus dibiarkan berlarut-larut dalam waktu lama, tentu kerugian yang diterima akan semakin bertambah. b. Berita bohong atau hoaks menjadi alat penyebaran virus komputer dan internet. Di dunia maya, khususnya bagi para penjahat siber, berita bohong atau hoaks dapat digunakan untuk memuluskan aksi ilegal mereka dengan cara menyebarkan berita bohong atau hoaks mengenai adanya kerentanan sistem di sebuah layanan internet. Melalui berita bohong atau hoaks, penjahat siber menyertakan tautan tertentu yang berisi virus untuk membajak komputer atau layanan internet pengguna, dengan dalih dengan membuka tautan tersebut pengguna bisa terhindar dari kerentanan sistem di layanan internet tersebut. c. Mengakibatkan penipuan publik. Berita bohong atau hoaks dibuat untuk mencari simpati dan uang. Hal ini pernah dialami oleh lembaga kanker Amerika, American Cancer Society (ACS). Saat itu muncul kabar bohong yang mengaku membutuhkan bantuan uang dari 500 orang demi membantu operasi seorang gadis penderita kanker. Banyak orang dilaporkan tertipu kabar ini dan akhirnya mengirimkan sejumlah uang pada rekning yang dicantumkan pada kabar bohong tadi. Sementara di Indonesia, berita bohong yang banyak menipu publik beberapa waktu lalu adalah pesan pembukaan pendaftaran CPNS nasional yang dikirim lewat sosial media. Setelah ramai tersebar, barulah pemerintah memberikan pernyataan bahwa pihak pemerintah belum akan membuka pendaftaran CPNS. 20

9 d. Berita bohong atau hoaks memicu kepanikan publik. Berita bohong atau hoaks dapat memicu kepanikan publik. Sebagai contoh adalah berita bohong atau hoaks mengenai penculikan anak di beberapa daerah. Ada seseorang yang menulis di media sosial bahwa telah terjadi penculikan anak di Bogor, Depok, dan Ciputat. Hal tersebut memicu kepanikan publik di daerah-daerah tersebut. Namun setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata berita tersebut bohong. Untuk menghentikan kepanikan tersebut, polisi segera menangkap pihak-pihak yang membuat dan menyebarkan kabar tersebut ( 3. Internet Internet merupakan singkatan dari kata international dan network. Internet disebut juga dengan istilah Net, Online dan Web atau World Wide Web (WWW) sebagai ruang yang bebas dan menyediakan akses untuk layanan telekomunikasi dan sumber daya informasi untuk jutaan pemakainya yang tersebar diseluruh dunia (Dwi Haryadi, 2007: 52). The US Supreme Court mendefinisikan internet sebagai international network of interconnected computers, yaitu jaringan internasional dari komputer yang saling berhubungan. Definisi ini menunjukkan adanya dimensi internasional, dimana jaringan antar komputer ini melewati batas-batas teritorial suatu negara (Abdul Wahid dan Moh. Labib, 2005: 31). The Federal Networking Council (FCN) memberikan definisi mengenai internet dalam Resolusinya tanggal 24 Oktober Definisi yang diberikan adalah sebagai berikut: Internet Refers to the global information system that: (i) is logically linked together by a globally unique address space based in the Internet Protocol (IP) or its bubsequent exstensions/follow-ons; (ii) is able to support communications using the Transmission Control Protocol (TCP/IP) suite or its subsequent extentions/follow-ons, and/or other internet Proocol (IP)- comptible protocols, and; 21

10 (iii)providers, uses or makes accessesible, either publicly or privately, high level services layered on the communications and related inftastructure described herein. (Agus Raharjo, 2002: 60). Teknologi internet berawal dari perkembangan teknologi komputer dan telekomunikasi. Perpaduan kedua teknologi ini telah memunculkan suatu teknologi baru yang dikenal dengan internet. Berawal dari rangkaian beberapa komputer dari suatu tempat atau ruangan atau gedung yang disebut dengan LAN (Local Area Network), sementara di gedung lain ada lagi LAN. Jika beberapa LAN ini digabung atau dirangkaikan menjadi satu akhirnya menjadi kelompok LAN yang disebut WAN (Wide Area Network). Beberapa WAN ini dapat dirangkai menjadi WAN lagi yang lebih besar dan banyak serta bukan saja berhubungan antar gedung tetapi juga menjadi antar kota, antar provinsi bahkan antar negara yang terangkai menjadi satu, maka disebutlah internet (Dwi Haryadi, 2007: 54). Dari segi penulisannya, internet mempunyai 2 arti yang berbeda, yaitu : a. internet Jaringan internet (huruf i kecil sebagai huruf awal) adalah suatu jaringan komputer yang mana komputer-komputer terhubung dapat berkomunikasi walaupun perangkat keras dan perangkat lunaknya berlainan (sering kali disebut juga internet working). b. Internet Jaringan Internet (huruf I besar sebagai huruf awal) adalah jaringan dari sekumpulan jaringan (networks of networks) yang terdiri dari jutaan komputer yang dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan suatu aturan komunikasi jaringan komputer (protokol) yang sama. Protokol yang digunakan tersebut adalah Transmission Control Protocol/ Internet Protocol ( TCP/IP ) (Agus Raharjo, 2002: 60). 22

11 4. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana a. Kebijakan Hukum Pidana Istilah kebijakan diambil dari bahasa Inggris, yaitu policy atau yang dalam Bahasa Belanda adalah Politiek. Dalam Black s Law Dictionary, policy diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum) dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara) (Henry Campbell Black et.al, 1979: 1041). Robert R. Mayer dan Ernest Greenwood, merumuskan kebijakan (policy) sebagai suatu keputusan yang menggariskan cara yang paling efektif dan paling efisien untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara kolektif (Dwi Haryadi, 2007: 97). Sementara menurut Barda Nawawi Arief, istilah kebijakan berasal dari kata politic, politics dan policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Politik berarti acting of judging wisely, prudent, jadi ada unsur wise dan prudent yang berarti bijaksana. Politics berarti the science of the art of government. Policy berarti a) Plan of action, suatu perencanaan untuk melakukan suatu tindakan dari negara, b) art of government, dan c) wise conduct (Barda Nawawi Arief, 1991: 780). Istilah kebijakan hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau strafrechtspolitiek (Barda Nawawi Arief, 2008: 26). Menurut Sudarto, kebijakan hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik criminal meliputi: 23

12 1) Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. 2) Kebijakan dan negara dengan perantara badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang diperkirakan bisa digunakan mengekspresikan apa yang dikandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (Barda Nawawi Arief, 2008: 26). Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik (Barda Nawawi Arief, 2008: 26-27). Menurut A. Mulder dalam Barda Nawawi Arief, Strafrechtspolitiek ialah garis kebijakan untuk menentukan: 1) Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau diperbarui. 2) Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana. 3) Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan (Barda Nawawi Arief, 2008: 27). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada akikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (Barda Nawawi Arief, 2008: 28). b. Kebijakan Kriminal Upaya penanggulangan dan pencegahan kejahatan dapat dilakukan melalui suatu kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) dan sarana non penal. Dikutip oleh Barda Nawawi Arief, Prof. Sudarto, S.H. pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu: 24

13 1) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana; 2) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi. 3) Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat. Dalam kesempatan lain, beliau mengemukakan definisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Definisi ini diambil dari definisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai the rational organization of the control by society. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan oleh Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa criminal policy adalah: 1) Criminal policy is the rational organization of the social reaction to crime. 2) Criminal policy is the science of responses. 3) Criminal policy is the science of crime prevention. 4) Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime, 5) Criminal policy is a rational total of the responses to crime. (Barda Nawawi Arief, 2008: 3-4). c. Kebijakan Formulasi Hukum Pidana Kebijakan formulasi adalah suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau diprogramkan itu (Barda Nawawi Arief, 1994: 63). Menurut G. P. Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan: 1) Penerapan Hukum Pidana (criminal law application); 25

14 2) Pencegahan Tanpa Pidana (prevention without punishment); 3) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media masa (influencing views of society on crime and punishment). (Barda Nawawi Arief, 2007: 39-40). Penanggulangan kejahatan yang telah diungkapkan oleh G. P. Hoefnagels secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penanggulangan kejahatan secara penal (penal policy) dan penanggulangan kejahatan secara non penal (non penal policy). Pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan saran penal merupakan penal policy atau penal-law enforcement policy yang fungsionalisasi/operasionalisasinya dilakukan melalui beberapa tahap: 1) tahap formulasi (kebijakan legislatif); 2) tahap aplikasi (kebijakan yudikatif); 3) tahap eksekusi (kebijakan administratif) (Barda Nawawi Arief, 2007: 77). Tahap pertama yaitu tahap formulasi merupakan tahap paling strategis dari upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sarana penal. Strategis dikarenakan pada tahap inilah ditetapkan pedoman-pedoman bagi pelaksanaan tahap-tahap selanjutnya, yaitu tahap aplikasi dan eksekusi. Dengan kata lain, kesalahan dalam membuat suatu formulasi peraturan perundangundangan maka akan berdampak negatif bagi operasionalisasi dari aplikasi dan eksekusi peraturan tersebut. Tahap formulasi juga disebut penegakan hukum in abstracto oleh badan legislatif sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk membuat kebijakan formulasi (Evan Elroy Situmorang, 2009: 18). Karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi (Barda Nawawi Arief, 2007: 79). 5. Efektivitas Hukum dan Hubungannya dengan Kebijakan Formulasi Efektivitas hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum berlaku efektif. Keadaan tersebut dapat ditinjau atas dasar beberapa tolok ukur efektivitas di antaranya: hukumnya, penegak hukum, fasilitas, kesadaran 26

15 hukum masyarakat dan budaya hukum masyarakat. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati (Achmad Ali, 2009: 375). Pidana penjara benar-benar memperbaiki si pelaku tindak pidana dan dengan demikian dapat mencegahnya untuk melakukan tindak pidana lagi. Jadi persoalannya terletak pada masalah efektivitas pidana penjara itu sendiri. Apabila dikatakan bahwa tujuan politik kriminal adalah untuk mencegah atau menanggulangi kejahatan, maka adalah rasional apabila suatu sarana benarbenar dapat mencegah atau menanggulangi terjadinya kejahatan itu. Namun persoalannya, seberapa jauhkan efektivitas pidana penjara itu dapat dibuktikan dan dengan demikian dapat dijadikan sebagai tolak ukur untuk memberikan dasar pembenaran (Barda Nawawi Arief, 1994: 96). Kebijakan formulasi dapat mengefektifkan berfungsinya pidana penjara atau pidana perampasan kemerdekaan pada umumnya. Untuk dapat mengefektifkan berfungsinya pidana penjara, maka kebijakan formulasi sepatutnya memerhatikan hal-hal sebagai berikut (Barda Nawawi Arief, 2008: 222): a. Mengingat berbagai kritik dan kelemahan/pengaruh negatif dari pidana penjara, maka penggunaan/penetapan pidana penjara dalam perundangundangan seyogianya ditempuh dengan kebijakan selektif dan limitatif. b. Agar hakim dapat menerapkan pidana penjara secara selektif dan dengan demikian pidana penjara diharapkan dapat berfungsi secara efektif sesuai dengan tujuannya, maka dalam kebijakan formulasi perlu dirumuskan tujuan pemidanaan dan pedoman pemidanaan. c. Dalam kebijakan formulasi sepatutnya dihindari perumusan ancaman pidana penjara yang bersifat imperatif (yaitu, sistem perumusan tunggal dan perumusan kumulatif). Kelemahan utama dari sistem imperatif ini ialah sifatnya yang sangat kaku karena bersifat mengharuskan. Jadi, hakim dihadapkan pada suatu jenis pidana yang sudah pasti ( define sentence ) dan sangat bersifat mekanik, karena mau tidak mau hakim seolah-olah harus 27

16 menetapkan pidana penjara secara otomatis. Hakim tidak diberi kesempatan dan kelonggaran untuk menentukan jenis pidana lain yang sesuai untuk terdakwa. d. Sekiranya sistem perumusan tunggal (untuk pidana penjara) akan tetap digunakan, maka untuk menghindari sifat kaku dari sistem tunggal ini, di dalam kebijakan legislatif harus ada pedoman bagi hakim untuk dapat menerapkan sistem perumusan tunggal itu secara lebih elastis/fleksibel. e. Sistem perumusan pidana penjara yang tertuang dalam kebijakan formulasi bukanlah sistem yang berdiri sendiri. Sistem/kebijakan pidana penjara ini terkait erat dengan keseluruhan sistem/kebijakan pemidanaan, baik yang terdapat dalam perundang-undangan hukum pidana substantif/material, maupun yang terdapat dalam aturan hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana. Oleh karena itu, untuk mengefektifkan pidana penjara perlu dilakukan reorientasi dan evaluasi terhadap keseluruhan peraturan perundang-undangan yang ada selama ini, yaitu apakah sesuai dan menunjang kebijakan pidana penjara yang berorientasi pada sistem pemasyarakatan dan berorientasi pada kebijakan yang selektif dan limitatif. f. Khusus mengenai pidana penjara seumur hidup, untuk dapat mengefektifkan pidana penjara seumur hidup dilihat dari konsep/sistem pemasyarakatan, maka ketentuan formulasi seyogianya memuat kebijakan-kebijakan sebagai berikut: 1) Pidana penjara seumur hidup selalu dirumuskan/diancamkan secara alternatif dengan jenis pidana lainnya; 2) Pidana penjara seumur hidup hanya dijatuhkan untuk melindungi masyarakat, menjamin keadilan dan hanya dikenakan kepada pelaku kejahatan yang sangat serius dan sulit diperbaiki; 3) Pidana penjara seumur hidup tidak dapat dikenakan kepada anak/remaja; 4) Ada jaminan bahwa terpidana penjara seumur hidup mempunyai hak juga untuk memperoleh pelepasan/pembebasan bersyarat, remisi, dan proses asimilasi. 28

17 B. Kerangka Pemikiran Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoaks) Pengaturan mengenai Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoaks) Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoaks) dalam Hukum Pidana Indonesia Keterangan: Kelemahan dari Kebijakan Formulasi Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoaks) Gambar 1. Kerangka Pemikiran Skema kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam menelaah serta menemukan jawaban atas permasalahan hukum yang dikaji yaitu bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana penyebaran berita bohong dalam hukum pidana Indonesia dan kelemahan dari kebijakan formulasi tersebut. Berita bohong atau hoaks adalah fenomena yang mendunia dan jumlahnya semakin bertambah pesat dari tahun ke tahun. Menyebarnya berita bohong atau hoaks yang semakin banyak dan menjadi-jadi dari tahun ke tahun ini menyebabkan kerugian yang tidak sedikit, baik secara materiil maupun immateriil. Dari fenomena tersebut, penulis menganalisis pengaturan yang mengatur tentang penyebaran berita bohong atau hoaks untuk mengetahui bagaimana kebijakan formulasi tindak pidana penyebaran berita bohong (hoaks) dalam hukum pidana Indonesia, kemudian dari hasil analisis sebelumnya, penulis menganalisis juga apa saja kelemahan dari kebijakan formulasi tersebut. 29