TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA"

Transkripsi

1 TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Hukum Di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : Tri Wahyuni NIM E FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008 i

2 PERSETUJUAN PEMBIMBING Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA Disusun Oleh : TRI WAHYUNI NIM : E Disetujui Untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP ii

3 PENGESAHAN PENGUJI PENULISAN HUKUM (SKRIPSI) TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA Disusun oleh : TRI WAHYUNI NIM : E Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Selasa Tanggal : 15 April 2008 TIM PENGUJI 1. : Bambang Santosa, S.H., M.Hum. Ketua 2. : Kristiyadi, S.H., M.Hum. Sekretaris 3. : Edy Herdyanto, S.H., M.H. Anggota Mengetahui : Dekan, Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP iii

4 ABSTRAK TRI WAHYUNI, E , TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum (Skripsi) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas mengenai mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan Surakarta, dan juga bertujuan untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan Surakarta serta upaya-upaya penyelesaiannya. Penelitian ini merupakan jenis penelitian yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di RUPBASAN Surakarta. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang bersumber dari Kepala Rupbasan yang secara langsung menangani serta mengelola Rupbasan dan data sekunder diperoleh dari bahan kepustakaan serta peraturanperaturan yang berkaitan dengan judul skripsi. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu dilakukan dengan wawancara dan studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif model interaktif, dimana data yang terkumpul akan dianalisa melalui tiga tahap yaitu mereduksi data, menyajikan data dan penarikan kesimpulan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara diatur dalam Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M.05.UM Tahun Sedangkan sebagai pedoman pelaksanaannya telah diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E2.UM Tahun 1986 yang telah disempurnakan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E1.35.PK Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan yaitu meliputi penerimaan, penelitian, pendaftaran, penyimpanan, pemeliharaan, pemutasian, penyelamatan, pengamanan, pengeluaran dan penghapusan serta pelaporan. Dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan di Rupbasan Surakarta masih mengalami kendala-kendala yang meliputi kendala intern dan kendala ekstern. Oleh karena itu diperlukan upaya-upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan Surakarta. iv

5 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat : 1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M. Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Bambang Joko Sudibyo, S.H. Selaku Pembimbing Akademik yang tidak pernah bosan memberikan nasehat serta motivasi kepada penulis selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum UNS. 3. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. Selaku Pembimbing Skripsi dan Ketua Bagian Hukum Acara yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya skripsi ini. 4. Bapak Drs. Hendrat Puryanto, S.H., M.Si., Selaku Kepala RUPBASAN Surakarta yang telah memberikan izin kepada penulis dalam rangka penyusunan skripsi ini, serta kepada seluruh staff yang telah banyak membantu memperlancar penyusunan skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah membimbing dan memberikan ilmu pengetahuan umumnya dan ilmu hukum khususnya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal dalam penulisan skripsi ini. v

6 6. Ayah dan Ibuku yang telah memberikan motivasi dan dukungan baik materiil maupun spiritual. 7. Kakak-kakakku tercinta yang telah memberikan motivasi dalam penyusunan skripsi ini. 8. Seseorang yang sempat mengisi hari-hariku disaat sedih dan bahagiaku. I hope you happy with your choice. 9. Sahabatku Heni dan Yuli, terima kasih untuk kasih sayang dan perhatiannya selama ini. 10. Tigor, Tri, Budi, Samsul, Neny, Rika you are my best friend always and forever. Semoga kalian tetap menjadi sahabat terbaikku. 11. Sahabatku Maya yang slalu setia mendengarkan curhatku dan membuat hidupku jadi lebih hidup. 12. Toya (tiyip) dan Nourish (tarwo) kucing-kucingku tersayang yang telah mengisi hari-hariku penuh dengan canda tawa. 13. Teman-temanku SMA VISKA : Bulan, Andri, Nurul, Gita, Hesti, Fajar terima kasih untuk supportnya 14. Teman-temanku Lia, Dastin, Heri, Agung, Grace, Mbak Shinta dan semua teman-teman angkatan 04 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. 15. Teman-teman magangku Gana, Fitri, Chater, Neny, Maya, Ridwan, Jack, Ananto, Mas Hendra yang menjadikan magang terheboh dan tak terlupakan. 16. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dengan segenap kerelaannya sehingga penulisan skripsi ini bisa terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun. Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Surakarta, April 2008 Penulis vi

7 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL i HALAMAN PERSETUJUAN ii HALAMAN PENGESAHAN... iii ABSTRAK..... iv KATA PENGANTAR. v DAFTAR ISI vii BAB I PENDAHULUAN. 1 B. Latar Belakang Masalah. 1 C. Rumusan Masalah... 4 D. Tujuan Penelitian 4 E. Manfaat Penelitian.. 5 F. Metode Penelitian 5 G. Sistematika Penulisan Hukum 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 11 B. Kerangka Teori Tinjauan Tentang Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana a. Penyelidikan Perkara Pidana.. 11 b. Penyidikan Perkara Pidana Tinjauan Tentang Alat Bukti dan Sistem Pembuktian.. 27 a. Alat Bukti 27 b. Sistem Pembuktian Tinjauan Tentang Barang Bukti 40 a. Pengertian Barang Bukti. 40 b. Hubungan Antara Barang Bukti dengan Alat Bukti Tinjauan Tentang Penyitaan Barang Bukti 43 a. Pengertian Penyitaan vii

8 b. Pengertian Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara c. Benda-benda Yang Dapat Disita Tinjauan Tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) 47 C. Kerangka Pemikiran 49 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 51 A. Mekanisme Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rupbasan Surakarta.. 51 B. Kendala-Kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Surakarta dan Upaya-Upaya Penyelesaiannya Kendala-kendala Yang Timbul Dalam Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Surakarta Upaya-Upaya Yang dilakukan Untuk Mengatasi Kendala- Kendala Tersebut. 85 BAB IV PENUTUP.. 88 A. Simpulan 88 B. Saran.. 91 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

9 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah negara hukum. Demikian penegasan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Sebagai negara hukum, negara menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Jadi segala tingkah laku dan perbuatan masyarakat indonesia harus berdasarkan pada hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Sehingga segala permasalahan yang timbul yang berkaitan dengan pelanggaran hukum maka diselesaikan dengan hukum yang berlaku pada saat itu. Dalam Hukum Acara Pidana, Indonesia mempunyai UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Dengan terciptanya KUHAP maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal penyidikan sampai pada kasasi di Mahkamah Agung, bahkan sampai meliputi Peninjauan Kembali (Herziening) dan pelaksanaan putusan. Dalam melaksanakan peranannya sebagai Hukum Acara, maka KUHAP mengatur adanya upaya-upaya paksa dalam penyidikan yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat. Mengenai penyitaan yang menurut Pasal 1 butir 16 dinyatakan : Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan. Berkaitan dengan penyitaan maka benda yang dapat disita antara lain : ix

10 1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidana. 2. Benda yang telah digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau mempersiapkannya. 3. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana. 4. Yang dibuat khusus untuk melakukan tindak pidana. 5. Dan benda lain yang berhubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Kelima benda tersebut dapat digunakan dan dikategorikan sebagai alat bukti dan berfungsi dalam proses pemeriksaan suatu perkara pidana, sehingga dalam proses mendapatkan alat bukti dan menyitanya serta menempatkan barang sitaan tersebut diperlukan suatu tempat yang merupakan pusat penyimpanan segala macam barang sitaan. Mengenai tempat penyimpanan benda sitaan negara sebagai barang bukti di dalam perkara pidana, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) yang berbunyi : Benda Sitaan Negara disimpan dalam Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara. Di wilayah Surakarta terdapat suatu Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, namun fungsi dan peranannya belum dapat dikatakan maksimal, dikarenakan belum terciptanya suatu kebijakan fungsional yang menetapkan bahwa diperlukannya Rupbasan dalam suatu proses peradilan perkara pidana menyangkut dengan penyimpanan alat-alat bukti yang selama ini dicitra masyarakat umum Rupbasan belum berfungsi dengan baik berkaitan dengan penjagaan, penyimpanan, pengamanan, dan penyelamatan benda-benda sitaan. Secara struktural dan fungsional, Rupbasan berada di bawah lingkungan Departemen Kehakiman yang akan menjadi pusat penyimpanan segala macam barang sitaan dari berbagai instansi. Pendirian Rupbasan didasari oleh Pasal 44 x

11 ayat (1) KUHAP dan juga PP No. 27 Tahun 1983 serta Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05.UM Tahun Sehubungan dengan apa yang disebut RUPBASAN yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PP No.27 Tahun 1983 serta Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05.UM Tahun 1983, pada kenyataannya belum jelas mengenai pengaturan pelaksanaannya. Untuk memperjelas pelaksanaannya, perlu diketahui bagaimana Mekanisme Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rupbasan, sehingga kemudian hal itu diatur dalam SK Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. E1.35.PK Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di RUPBASAN, sebagai penjabaran dari Peraturan Menteri Kehakiman No. M.05.UM Tahun Agar dalam Pelaksanaan Pengelolaan Benda Sitaan Negara dan Barang Rampasan Negara di Rupbasan dapat berjalan sesuai fungsinya, maka diperlukan suatu kerja sama yang baik dari berbagai instansi yang berkaitan seperti Pengadilan, Kepolisian dan Kejaksaan serta instansi lainnya untuk menyerahkan benda-benda sitaan untuk disimpan di Rupbasan agar keamanannya dapat terjaga dan terlindungi serta apabila dalam proses pengadilan putusan agar dikembalikan maka dapat dikembalikan secara utuh tanpa cacat ataupun rusak. Menurut Anton.M.Moeliono, pengelolaan adalah proses memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan (Anton.M.Moeliono, 1998: 534). Berdasarkan Pertimbangan-pertimbangan di atas penulis ingin mengadakan penelitian guna mengetahui secara lebih mendalam mengenai mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rupbasan serta untuk mengetahui kendala yang timbul dalam pelaksanaan dan upaya penyelesaiannya. Sehingga di dalam penulisan skripsi ini penulis mengambil judul : TINJAUAN TENTANG PELAKSANAAN xi

12 PENGELOLAAN BENDA SITAAN NEGARA DAN BARANG RAMPASAN NEGARA DI RUMAH PENYIMPANAN BENDA SITAAN NEGARA (RUPBASAN) SURAKARTA. B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Surakarta? 2. Kendala-kendala apakah yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Surakarta dan bagaimanakah upaya penyelesaiannya? C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di RUPBASAN Surakarta. b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di RUPBASAN Surakarta serta upaya penyelesaiannya. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan penulisan hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan wajib bagi setiap mahasiswa dalam meraih gelar sarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. xii

13 b. Untuk menambah pengetahuan dalam bidang hukum dan mengembangkan daya pemikiran penulis dalam lingkungan masyarakat. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Teoritis a. Memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran yang dapat digunakan bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya. b. Dapat sebagai bahan acuan bagi penelitian yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian yang penulis teliti. 2. Manfaat Praktis a. Dapat memberikan data dan informasi tentang pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (RUPBASAN) Surakarta. b. Sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penelitian ini. E. METODE PENELITIAN Dalam mencari data mengenai suatu permasalahan, diperlukan suatu metode atau cara yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan masalah yang diteliti. Adapun metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum empiris. Jenis penelitian diatas digunakan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundangan yaitu hubungan peraturan yang satu dengan peraturan lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek. xiii

14 2. Sifat Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejalanya. Maksudnya adalah mempertegas hipotesahipotesa, agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru (Soerjono Soekanto, 1984:10). 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai oleh penulis untuk melakukan penelitian hukum ini adalah dengan pendekatan penelitian secara kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia (Burhan Ashofa, 2004: 20-21). 4. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini, penulis mengambil lokasi di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Jln. Ir. Sutami No. 7 Surakarta. 5. Jenis Data Jenis data yang digunakan penulis dalam penelitin ini yaitu antara lain : a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Data primer dapat berupa sejumlah keterangan atau fakta yang diperoleh secara langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian lapangan. b. Data Sekunder xiv

15 Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari lapangan, yang dapat diperoleh melalui buku-buku, literatur, peraturan perundang-undangan, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 6. Sumber Data Sesuai dengan jenis data yang digunakan dalam penelitian ini maka sumber data yang dipakai adalah : a. Sumber Data Primer Sumber data yang memberikan penjelasan tentang data-data empiris dan data-data tersebut terkait dengan pihak-pihak yang berhubungan secara langsung dengan masalah yang diteliti oleh penulis seperti Kantor Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) di Surakarta, Kepala Rupbasan sebagai penanggung jawabnya. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan keterangan yang sifatnya mendukung sumber data primer. Sumber data ini berasal dari literatur, referensi-referensi, dokumen-dokumen, buku-buku, makalah dan dokumen-dokumen kepustakaan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti oleh penulis. 7. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam suatu penelitian yang bersifat deskriptif adalah sesuatu yang penting karena digunakan untuk memperoleh data secara lengkap dan relevan. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Wawancara xv

16 Wawancara merupakan cara memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan kepada responden secara lisan, dan dapat disimpulkan sebagai tanya jawab untuk mendapatkan keterangan maupun data mengenai masalah yang diteliti. Adapun yang digunakan peneliti adalah wawancara tidak terstruktur namun mendalam dan mengarah pada kedalaman informasi agar dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan penelitian. b. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara mengumpulkan, membaca, mempelajari dan mengutip dari data-data sekunder yang meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen dan bahan-bahan kepustakaan lain dari beberapa bukubuku referensi, artikel-artikel dari beberapa jurnal, arsip, hasil penelitian ilmiah, bahan-bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. 8. Teknik Analisa Data Menurut Lexy J. Moleong analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan suatu tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data (Lexy J. Moleong, 2001: 103). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif (interaktive model of analysis). Menurut HB. Soetopo teknik analisis kualitatif dengan model interaktif terdiri dari tiga komponen analisis yaitu (HB. Soetopo, 2002: 96) : a. Reduksi Data xvi

17 Reduksi data merupakan proses penyelesaian, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data yang diperoleh dari data yang kasar yang dimuat di catatan tertulis (fieldnote). b. Penyajian Data Sajian data berupa rangkaian informasi yang tersusun dalam kesatuan bentuk narasi yang memungkinkan untuk dapat ditarik suatu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan. Selain dalam bentuk narasi kalimat, sajian data dapat pula ditampilkan dengan berbagai jenis matriks, gambar, jaringan kerja, kaitan kegiatan dan juga tabel. c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasinya Penarikan kesimpulan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh peneliti yang perlu untuk diverifikasi, berupa suatu pengulangan dari tahap pengumpulan data yang terdahulu dan dilakukan secara lebih teliti setelah data tersaji. Penarikan kesimpulan dan verifikasinya merupakan tahap akhir dari suatu penelitian yang dilakukan dengan didasarkan pada semua hal yang ada dalam reduksi maupun penyajian data. Teknik analisis kualitatif model interaktif dapat digambarkan dalam bentuk rangkaian yang utuh antara ketiga komponen diatas (reduksi data, penyajian data, serta penarikan kesimpulan dan verifikasinya) yaitu sebagai berikut : xvii

18 Pengumpulan Data Reduksi Data Sajian Data Penarikan Kesimpulan/Verifikasi F. SISTEMATIKA PENULISAN HUKUM Sistematika bertujuan untuk memberikan gambaran dan mengemukakan garis besar dalam penulisan hukum agar memudahkan dalam mempelajari isinya. Penulisan hukum terbagi dalam empat bab yang saling berkaitan dan berhubungan. Sistematika dalam penulisan hukum (Skripsi) ini adalah : BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini penulis berusaha memberikan gambaran awal mengenai penelitian yang meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, dan sistematika penulisan hukum untuk dapat lebih memberikan pemahaman terhadap isi penelitian. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini berisi tentang kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, yaitu : tinjauan tentang penyelidikan perkara pidana dan penyidikan perkara pidana, tinjauan tentang alat bukti dan sistem pembuktian, tinjauan tentang barang bukti, tinjauan tentang xviii

19 penyitaan barang bukti, tinjauan tentang rumah penyimpanan benda sitaan negara (Rupbasan). Selain itu dalam bab ini juga dipaparkan kerangka pemikiran penulisan hukum (Skripsi). BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berisi uraian hasil penelitian yang disertai dengan pembahasan mengenai mekanisme pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Surakarta dan kendala-kendala yang timbul dalam pelaksanaan pengelolaan benda sitaan negara dan barang rampasan negara di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Surakarta beserta upaya-upaya penyelesaiannya. BAB IV PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penelitian ini yang berisi simpulan-simpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan dan saran-saran sebagai tindak lanjut dari simpulan tersebut. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Tentang Penyelidikan dan Penyidikan Perkara Pidana a. Penyelidikan Perkara Pidana Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana atau yang diduga sebagai perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai xix

20 tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP (Pasal 1 butir 5). Dari penjelasan diatas, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum. Jadi, sebelum dilakukan penyidikan, dilakukan terlebih dahulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan dan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Tuntutan dan tanggung jawab moral yang demikian sekaligus menjadi peringatan bagi aparat penyelidik untuk bertindak hati-hati. Sebab kalau kurang hati-hati melakukan penyelidikan, bisa terjadi akibat yang fatal pada tingkat penyidikan yang akan menyeret tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan ke muka sidang Praperadilan. Karena sebagaimana digariskan KUHAP, memberi hak kepada xx

21 tersangka/terdakwa menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan yang berlawanan dengan hukum. Kalau begitu sangat beralasan untuk tidak melanjutkan penyelidikan ke tingkat penyidikan, jika fakta dan bukti belum memadai di tangan penyidik. Lebih baik kegiatan itu dihentikan atau masih tetap dibatasi pada usaha-usaha mencari dan menemukan kelengkapan fakta, keterangan, dan barang bukti agar memadai untuk dilanjutkan penyidikan. Siapa berwenang melakukan penyelidikan diatur dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP, Penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Selanjutnya sesuai dengan Pasal 4 KUHAP, yang berwenang melaksanakan fungsi penyelidikan adalah setiap pejabat polisi Negara Republik Indonesia. Tegasnya: penyelidik adalah setiap pejabat polri. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan (M. Yahya Harahap, 2000: 103). Dari penegasan bunyi Pasal 4 KUHAP, dijernihkan aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan, hanya pejabat polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi atau pejabat lain. 1) Fungsi dan Wewenang Penyelidik Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada Pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi. a) Fungsi dan Wewenang Berdasar Hukum Ini diatur pada Pasal 5 KUHAP. Berdasar ketentuan ini fungsi dan wewenang aparat penyelidik : 1. Menerima Laporan atau Pengaduan xxi

22 2. Mencari Keterangan dan Barang Bukti 3. Menyuruh Berhenti Orang yang Dicurigai 4. Tindakan Lain Menurut Hukum b) Kewenangan Berdasar Perintah Penyidik Kewajiban dan wewenang ini bersumber dari perintah penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik, berupa: 1. Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan; 2. Pemeriksaan dan penyitaan surat; 3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; 4. Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. Sesuai dengan ketentuan Pasal 102 ayat (2) KUHAP, dalam hal tertangkap tangan, penyelidik dapat bertindak melakukan segera apa yang disebut dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b tanpa mendapat perintah dari pejabat penyidik. Hal ini logis dan realistis, demi untuk segera dapat menangani dengan baik dan sempurna tugas penyelidikan. Pemberian wewenang yang demikian pada keadaan tertngkap tangan, efektif, dan efisien (M. Yahya Harahap, 2000: ). c) Kewajiban Penyelidik Membuat dan Menyampaikan Laporan Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, harus merupakan laporan tertulis. Jadi disamping adanya laporan lisan, harus diikuti laporan tertulis demi xxii

23 untuk adanya pertanggungjawaban dan pembinaan pengawasan terhadap penyelidik, sehingga apa saja pun yang dilakukan penyelidik tertera dalam laporan tersebut (M. Yahya Harahap, 2000: 108). 2) Tahap Penyelidikan a) Kapan Penyelidikan Dimulai Menurut KUHAP, penyelidikan diintrodusir dengan motivasi perlindungan hak asasi manusia dan pembatasan ketat terhadap penggunaan upaya paksa, dimana upaya paksa baru digunakan sebagai tindakan yang terpaksa dilakukan, Penyelidikan mendahului tindakan-tindakan lain yaitu untuk menentukan apakah suatu peristiwa yang diduga tindak pidana dapat dilakukan penyidikan atau tidak. Dengan demikian, penggunaan upaya paksa dapat dibatasi hanya dalam keadaan terpaksa demi kepentingan yang lebih luas (Moch. Faisal Salam, 2001: 31). Adapun hal yang perlu diperhatikan untuk memulai melakukan penyelidikan didasarkan pada hasil penilaian terhadap informasi dan data-data yang diperoleh. Sedangkan Informasi atau data-data yang diperlukan untuk melakukan penyelidikan dapat diperoleh melalui : 1. Sumber-sumber tertentu yang dapat dipercaya. 2. Adanya laporan langsung kepada penyidik dari orang yang mengetahui telah terjadi suatu tindak pidana. 3. Hasil berita acara yang dibuat oleh penyelidik. Sumber-sumber informasi yang dapat dipergunakan sangat banyak, sumber tersebut dapat berupa orang, tulisan dalam mass media, instansi/perusahaan dan sebagainya. xxiii

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Bagian Kedua Penyidikan

Bagian Kedua Penyidikan Bagian Kedua Penyidikan Pasal 106 Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan

Lebih terperinci

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 21 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYIDIKAN BAGI PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN,

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual

Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana Untuk Kasus Kekerasan Seksual Hukum Acara Pidana dibuat adalah untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta

Lebih terperinci

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH

KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA. Oleh : Sumaidi, SH.MH KEKUATAN PEMBUKTIAN VISUM ET REPERTUM BAGI HAKIM DALAM MEMPERTIMBANGKAN PUTUSANNYA Oleh : Sumaidi, SH.MH Abstrak Aparat penegak hukum mengalami kendala dalam proses pengumpulan alat-alat bukti yang sah

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN POLTABES LOCUSNYA KOTA BESAR KEJAKSAAN NEGERI KOTA PENGADILAN NEGERI PERISTIWA HUKUM PENGADUAN LAPORAN TERTANGKAP TANGAN PENYELIDIKAN, PEYIDIKAN BAP Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu realita, bahwa proses sosial, ekonomi, politik dan sebagainya, tidak dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam masyarakat. Proses

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana

I. PENDAHULUAN. Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penanganan dan pemeriksaan suatu kasus atau perkara pidana baik itu pidana umum maupun pidana khusus, seperti kasus korupsi seringkali mengharuskan penyidik untuk

Lebih terperinci

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang : Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal : 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber : LN 1981/76;

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna

I. PENDAHULUAN. mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu proses yang dinamakan penyelidikan. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penegakan hukum merupakan salah satu usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan usaha pencegahan maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral bangsa dan merugikan seluruh lapisan masyarakat, sehingga harus dilakukan penyidikan sampai

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan: 1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Peradilan Pidana Peradilan Pidana di Indonesia di selenggarakan oleh lembaga - lembaga peradilan pidana, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan serta Lembaga Pemasyarakatan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 40 BAB II HUBUNGAN KUHP DENGAN UU NO. 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Ketentuan Umum KUHP dalam UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1981 TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan

BAB I PENDAHULUAN. material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Hukum Acara atau Hukum Formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Anak dan Anak Nakal Pengertian masyarakat pada umumnya tentang anak adalah merupakan titipan dari Sang Pencipta yang akan meneruskan keturunan dari kedua orang tuanya,

Lebih terperinci

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya

BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR. penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya BAB II PENAHANAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TERSANGKA ANAK DIBAWAH UMUR 2.1. Penyidikan berdasarkan KUHAP Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan

Lebih terperinci

ALUR PERADILAN PIDANA

ALUR PERADILAN PIDANA ALUR PERADILAN PIDANA Rangkaian penyelesaian peradilan pidana terdiri atas beberapa tahapan. Suatu proses penyelesaian peradilan dimulai dari adanya suatu peristiwa hukum, misalnya seorang wanita yang

Lebih terperinci

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. 1 Hal ini berarti bahwa Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dengan adanya perkembangan dan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung meningkat. Semakin pintarnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1

NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 NILAI KEADILAN DALAM PENGHENTIAN PENYIDIKAN Oleh Wayan Rideng 1 Abstrak: Nilai yang diperjuangkan oleh hukum, tidaklah semata-mata nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan bagi masyarakat, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) BAB I PENDAHULAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3) yang berbunyi

Lebih terperinci

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : HUKUM ACARA PIDANA Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tanggal 31 Desember 1981 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum

Lebih terperinci

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara

Lebih terperinci

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia,

PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus Presiden Republik Indonesia, PELAKSANAAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tanggal 1 Agustus 1983 Presiden Republik Indonesia, Menimbang : bahwa perlu diadakan peraturan pelaksanaan ketentuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 Tentang : Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 27 TAHUN 1983 (27/1983) Tanggal : 1 AGUSTUS 1983 (JAKARTA)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA)

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor: 8 TAHUN 1981 (8/1981) Tanggal: 31 DESEMBER 1981 (JAKARTA) Sumber: LN 1981/76; TLN NO. 3209 Tentang: HUKUM ACARA PIDANA Indeks: KEHAKIMAN.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma-norma yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu hukuman pidana. Maka, sifat-sifat yang ada di dalam

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (yang telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 18 Juli 2006) RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016 PERTIMBANGAN YURIDIS PENYIDIK DALAM MENGHENTIKAN PENYIDIKAN PERKARA PELANGGARAN KECELAKAAN LALU LINTAS DI WILAYAH HUKUM POLRESTA JAMBI Islah 1 Abstract A high accident rate makes investigators do not process

Lebih terperinci

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014

PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN. Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 PERLUNYA NOTARIS MEMAHAMI PENYIDIK & PENYIDIKAN Dr. Widhi Handoko, SH., Sp.N. Disampaikan pada Konferda INI Kota Surakarta, Tanggal, 10 Juni 2014 Ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kehidupan manusia merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus dijalani oleh setiap manusia berdasarkan aturan kehidupan yang lazim disebut norma. Norma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan Penyelidik. Dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar 15 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Polri Melaksanakan tugas penegak hukum dapat terjadi Polisi melaksanakan pelanggaran HAM yang sebenarnya harus ditegakkan. Selama pelaksanaan tugas penegakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan semua warga negara bersama

Lebih terperinci

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana.

BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM tentang Hukum Acara Pidana. 22 BAB II PENGERTIAN, KEWENANGAN DAN TUGAS PENYIDIKAN, JENIS, BENTUK UMUM VISUM ET REPERTUM, DAN VISUM ET REPERTUM MENURUT HUKUM ACARA PIDANA ISLAM A. Tinjauan Umum Penyidikan a. Pengertian Berdasarkan

Lebih terperinci

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 Lex Crimen, Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengajuan permohonan perkara praperadilan tentang tidak sahnya penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam sidang praperadilan sebagaimana

Lebih terperinci

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL SALINAN BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TASIKMALAYA, Menimbang

Lebih terperinci

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP) NOMOR 8 TAHUN 1981 Bab I Ketentuan Umum Bab II Ruang Lingkup Berlakunya Undang-undang Bab III Dasar Peradilan Bab IV Penyidik dan Penuntut Umum Bagian Kesatu:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara hukum, yaitu bahwa setiap orang mempunyai hak dan kewajiban terhadap negara dan kegiatan penyelenggaraan negara harus berlandaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi setiap individu tentang bagaimana selayaknya berbuat

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D ----------------------------------------------------------- PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (PERDA

Lebih terperinci

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DRAFT 16 SEPT 2009 PERATURAN KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA NOMOR TAHUN 2009 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAGELANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan mempertimbangkan semua bukti-bukti yang ada.

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Hasil PANJA 12 Juli 2006 Dokumentasi KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI Hasil Tim perumus PANJA, santika 12 Juli

Lebih terperinci

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, 1 BUPATI BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI NOMOR 4 TAHUN 2012 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 42 TAHUN : 2004 SERI : E PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 5 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang : a. WALIKOTA

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa sistem dan mekanisme yang ada mengenai perampasan aset hasil tindak

Lebih terperinci

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan 1 Ahmad Bustomi, 2

Lebih terperinci

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NO : 7 2001 SERI : D PERATURAN DAERAH KABUPATEN BEKASI NOMOR : 11 TAHUN 2001 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace mencabut: UU 14-1970::UU 35-1999 file PDF: [1] LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.8, 2004 HUKUM. KEHAKIMAN. Lembaga Peradilan. Badan-badan Peradilan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang sedang dilaksanakan pemerintah meliputi semua aspek kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari semua aspek kehidupan

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185.

Lex Crimen Vol. VII/No. 1 /Jan-Mar/2018. H. Rusli Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm. 185. KEKUATAN ALAT BUKTI KETERANGAN AHLI DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA MENURUT KUHAP 1 Oleh: Sofia Biloro 2 Dosen Pembimbing: Tonny Rompis, SH, MH; Max Sepang, SH, MH ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian

Lebih terperinci

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

- 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL - 1 - PEMERINTAH DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENANGANAN LAPORAN MASYARAKAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK

Lebih terperinci

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil. 12 A. Latar Belakang Masalah Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang 1. Hukum pidana sebagai peraturan-peraturan yang bersifat abstrak merupakan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 SERI E =============================================================== PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa salah satu alat bukti yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 84, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3713) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DISTRIBUSI II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa salah satu alat

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO

PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO PERATURAN DAERAH KABUPATEN JENEPONTO NOMOR : 7 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN JENEPONTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA

FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA FUNGSI DAN KEDUDUKAN SAKSI A DE CHARGE DALAM PERADILAN PIDANA Disusun Dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Hukum Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA 2.1. Pengertian Berita Acara Pemeriksaaan (BAP) Dan Terdakwa Sebelum masuk pada pengertian

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 239/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di Indonesia dalam kehidupan penegakan hukum. Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, : a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang

Lebih terperinci

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI

BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI SALINAN BUPATI BATANG HARI PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR : 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BATANG HARI, Menimbang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG RGS Mitra Page 1 of 9 PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 3 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KOTA BONTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kejahatan dalam kehidupan manusia merupakan gejala sosial yang akan selalu dihadapi oleh setiap manusia, masyarakat, dan bahkan negara. Kenyataan telah membuktikan,

Lebih terperinci

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA 1. Wewenang Jaksa menurut KUHAP Terlepas dari apakah kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia diatur secara eksplisit atau implisit

Lebih terperinci