BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Teleostei Subkelas : Actinopterygii Ordo : Perciformes Subordo : Scombridei Family : Scombridae Genus : Thunnus Spesies : Thunnus sp. Berdasarkan ukuran tuna, di Indonesia terdapat dua kelompok tuna yaitu tuna besar dan tuna kecil. Ikan tuna besar yang hidup di perairan laut Indonesia yaitu tuna madidihang (Thunnus albacares), tuna mata besar (Thunnus obesus), tuna albakora (Thunnus alalunga) dan tuna sirip biru (Thunnus maccoyii). Gambar dari beberapa jenis ikan tuna besar seperti pada Gambar 1. A. Tuna madidihang (Thunnus albacares) B. Tuna mata besar (Thunnus obesus) C. Tuna albakora (Thunnus alalunga) D. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) Gambar 1. Jenis-jenis Ikan Tuna Sumber: Maulana (2012) 5

2 6 Ikan tuna madidihang dan tuna mata besar terdapat di seluruh wilayah perairan laut Indonesia. Tuna albakora hidup di perairan sebelah Barat Sumatera, Selatan Bali sampai dengan Nusa Tenggara Timur. Ikan tuna sirip biru hanya hidup di perairan sebelah Selatan Jawa sampai ke perairan Samudera Hindia bagian Selatan yang bersuhu rendah (Widiastuti 2008). Menurut Widiastuti (2008), ikan tuna memiliki warna biru kehitaman pada bagian punggung dan berwarna keputih-putihan pada bagian perut. Tubuh ikan tuna berbentuk cerutu menyerupai torpedo serta tertutup oleh sisik sisik kecil. Ikan tuna pada umumnya mempunyai panjang antara cm dengan berat antara kg (Novriyanti 2007). Daging yang dimiliki berwarna merah muda sampai merah tua. Hal ini karena otot tuna lebih banyak mengandung myoglobin dari pada ikan lainnya (Mc Afee et al. 2009). 2.2 Komposisi Kimia Ikan Tuna Ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung lemak rendah (kurang dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi gizi ikan tuna bervariasi tergantung spesies, jenis, umur, musim, laju metabolism, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby dan Olcott 1963). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Ikan Tuna (g/100g) Komposisi Kimia (g/100g) Komponen Madidihang Tuna ekor biru Cakalang Air 74,0±0,28 70,1±1,98 69,9±0,71 Protein 23,2±1,34 25,5±4,03 26,0±0,28 Lemak 2,4±1,41 2,1±0,92 2,0±0,07 Karbohidrat 1,0±1,27 0,9±1,13 0,7±0,42 Abu 1,3±0,4 1,4±0,21 1,4±0,07 Sumber: Wahyuni (2011) 2.3 Keadaan Umum Perusahaan Penanganan Tuna Loin Beku PT. Awindo International merupakan salah satu perusahaan pengolahan hasil perikanan yang terletak di Jalan Muara Baru nomor 12, Kelurahan

3 7 Penjaringan, Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara. PT. Awindo International tepat berada di komplek Pelabuhan Perikanan Nusantara Samudera Nizam Zachman sehingga dapat mempermudah masuknya bahan baku dari kapal penangkap ikan dan pengiriman barang ke Tanjung Priok untuk di ekspor ke negara tujuan Produk yang dihasilkan PT. Awindo International adalah produk penanganan dari ikan pelagis dalam bentuk loin beku, stik beku, dan fillet beku. Ikan pelagis yang diproduksi yaitu ikan Marlin (Makaira spp.), Swordfish (Xiphias gladius), Oilfish (Lepidocybium flavobruneus), dan Sailfish (Istioporus oriental). Komoditas produksi utama milik PT. Awindo International adalah ikan tuna yang ditangani dalam bentuk tuna loin beku, tuna saku beku, tuna stik beku, serta tuna filet beku. Tujuan ekspor PT. Awindo International adalah Asia (Jepang, Malaysia, dan Cina), USA, dan Uni Eropa. PT. Awindo International telah menerapkan HACCP dalam berproduksi sesuai dengan sertifikat penerapan HACCP dalam Lampiran 1. PT. Awindo International memiliki beberapa fasilitas bangunan untuk menunjang kelancaran proses produksinya, yaitu fasilitas bangunan proses fresh, proses frozen, serta fasilitas penunjang. Tata letak bangunan (layout) perusahaan dapat dilihat pada Lampiran Penurunan Mutu Ikan Tuna Ikan tuna yang mati setelah ditangkap akan mengalami serangkaian perubahan yang mengarah pada proses penurunan mutu yang disebabkan oleh tiga kegiatan utama yaitu penurunan secara bakteriologis, kimia, dan fisik. Seluruh proses perubahan ini pada akhirnya dapat mengarah pada pembusukan (Murniyati dan Sunarman 2000) Kemunduran Mutu Secara Kimiawi Menurut Hadiwiyoto (1993) penurunan mutu secara kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri dari penurunan mutu secara autolisis, oksidasi dan akibat histidin.

4 8 1) Kemunduran Mutu Secara Autolisis Autolisis adalah penguraian protein dan lemak menjadi senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino dan asam lemak. Menurut Ilyas (1983) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolysis (pengurai protein) dan enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa, warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama setelah ikan tuna mati. Kecepatan autolisis sangat tergantung pada suhu, semakin rendah suhu semakin lambat kecepatan autolisis. Kecepatan autolisis tidak dapat dihentikan namun hanya dapat memperlambat laju proses autolisis. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan, penggaraman, pengeringan, dan pengasaman atau dapat dihentikan dengan cara pemasakan ikan (Ilyas 1983). 2) Kemunduran Mutu Secara Oksidasi Menurut Faustman dan Cassens (1990), oksidasi adalah reaksi antara suatu senyawa kimia dengan oksigen. Salah satu kemunduran mutu ikan tuna yang disebabkan oleh proses oksidasi yaitu terjadinya penambahan kation Fe 2+ (ferrous) dalam mioglobin menjadi bentuk Fe 3+ (ferric) yang dapat mengakibatkan perubahan warna daging ikan tuna dari merah segar menjadi coklat. Penyuntikan karbonmonoksida pada daging ikan tuna dapat mempertahankan warna merah daging ikan tuna pada saat penyimpanan dan pengangkutan. Senyawa karbonmonoksida dapat bereaksi dengan myoglobin menjadi karboksimioglobin yang merupakan bentuk stabil dari pigmen merah dalam daging ikan tuna. Karboksimioglobin dapat mencegah terjadinya proses oksidasi dibanding oksimioglobin karena senyawa karbonmonoksida memiliki daya ikat yang lebih kuat terhadap mioglobin dibanding oksigen (Livingston dan Brown 1981).

5 9 3) Penurunan Mutu Akibat Histidin dan Histamin Menurut Hadiwiyoto (1993), histamin terbentuk dari degradasi histidin yang dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin bersifat racun dan dapat menimbulkan keracunan yang disebut Scromboid Food Poisoning. Kandungan histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis Horse mackerel, Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6% histidin, bahkan cakalang, yellowtail, madidihang, daging bluefin tuna mengandung histidin antara 8% dan 9% (Alasalvar et al. 2011). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dari spesies ikan lainnya, sehingga kadar histamin dapat meningkat jika dilakukan penyimpanan dan penanganan yang salah (Wahyuni 2011). Penyimpanan ikan pada kondisi suhu rendah sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk mengurangi kerusakan ikan dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu rendah mengontrol bakteri penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah (Widiastuty 2007) Kemunduran Mutu secara Fisik Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan tuna yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang kurang baik sehingga dapat mempengaruhi mutu. Penanganan lebih awal akan sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan. Menurut Kushardiyanto (2010), perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat dari air adalah: 1) Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih saat ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya. Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan akan menjadi memar dan luka-luka. 2) Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung

6 10 dari tingkat kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai terlihat yaitu berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan perut dan daging ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan, sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, berubahnya bau dari segar menjadi asam. 3) Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi atau busuk. Kesegaran ikan dapat dinilai menggunakan metode inderawi atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, bau atau aroma Kemunduran Mutu Secara Bakteriologis Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari lingkungan dan dalam tubuh ikan (Junianto 2003). Menurut Sarmono (2002), ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi aktivitas bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan. Bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang, saluran darah, serta permukaan kulit tidak dapat menyerang bagian-bagian tubuh ikan karena masih memiliki daya tahan terhadap serangan bakteri. Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), ikan yang telah mati tidak dapat mempertahankan aktivitas bakteri karena kemampuan daya tahan tubuh ikan telah hilang, sehingga bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang tubuh ikan. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam proses autolisis, dan substansi-substansi non-nitrogen. Penguraian yang dilakukan oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol, dan lain-lain.

7 11 Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), setiap jenis bakteri memerlukan suhu tertentu untuk dapat hidup dengan baik. Ada tiga macam jenis bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang antaranya dapat dilihat pada Tabel 2. Pencegahan yang dilakukan untuk menghambat aktivitas bakteri yaitu dengan menurunkan suhu hingga di bawah 0 o C atau menaikkan hingga di atas 100 o C. Tabel 2. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri. Jenis Bakteri Suhu Minimum Suhu Optimum Suhu Maksimum Thermophylic o C o C o C Mesophylic 5-25 o C o C 43 o C Psycrophylic 0 o C o C 30 o C Sumber: Murniyati dan Sunarman (2000) 2.5 Tuna Loin Beku Menurut Ditjenkan (1993), Tuna loin beku adalah suatu produk penanganan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami perlakuan sebagai berikut: - Sortasi - Pemotongan kepala - Pemotongan sirip dan ekor - Pencucian - Pembuatan loin - Pembuangan daging hitam - Pembuangan kulit dan perapihan - Pembekuan dengan atau tanpa penggelasan - Pengepakan - Penyimpanan beku. Menurut BSN (2006), semua jenis tuna dapat dibuat menjadi produk tuna loin beku namun pada umumnya bahan baku yang digunakan adalah yellowfin, bluefin, bigeye dan longfin. Produk tuna loin beku dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini.

8 12 Gambar 2. Tuna Loin Beku Persyaratan Bahan Baku Menurut BSN (2006), bahan baku tuna loin beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk berupa tuna loin beku. Ikan tuna yang digunakan untuk produksi tuna loin beku harus memenuhi persyaratan di bawah ini: - Ikan tuna dalam keadaan bersih, - Bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, - Bebas dari tanda dekomposisi dan pemalsuan, - Bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, - Berasal dari perairan yang tidak tercemar. Menurut Fadly (2009), secara organoleptik bahan baku tuna loin beku dikelompokan menurut standar atau kualitas daging yang terbagi menjadi empat tingkat mutu yaitu grade A, B, C, dan D. Pengujian tingkatan mutu ikan dilakukan dengan menusukkan coring tube yang merupakan suatu alat berbentuk batang, tajam, dan terbuat dari besi. Coring tube dimasukkan pada kedua sisi ikan (bagian belakang sirip atau ekor kanan dan kiri) sehingga didapatkan potongan daging ikan tuna yang selanjutnya dilakukan pengujian organoleptik. Ciri-ciri untuk masing-masing grade adalah sebagai berikut: 1) Grade A Ciri-ciri ikan tuna grade A adalah sebagai berikut: - Warna daging untuk tuna ekor kuning adalah merah seperti darah segar dan untuk tuna mata besar dagingnya berwarna merah tua seperti bunga mawar

9 13 - Mata bersih, terang, dan menonjol - Kulit normal, warna bersih dan cerah - Tekstur daging untuk tuna ekor kuning keras, kenyal, dan elastis, dan untuk tuna mata besar dagingnya lebut, kenyal dan elastis - Kondisi ikan (penampakannya) bagus dan utuh 2) Grade B Ciri-ciri ikan tuna grade B adalah sebagai berikut: - Warna daging merah, otot daging agak elastis, jaringan daging tidak pecah - Mata bersih, terang dan menonjol - Kulit normal, bersih, dan sedikit berlendir - Tidak ada kerusakan fisik 3) Grade C Ciri-ciri ikan tuna grade C adalah sebagai berikut: - Warna daging kurang merah - Kulit normal dan berlendir - Otot daging kurang elastis - Kondisi ikan tidak utuh atau cacat, umumnya pada bagian punggung atau dada 4) Grade D Ciri-ciri ikan tuna grade D adalah sebagai berikut: - Warna daging agak kurang merah dan cenderung berwarna coklat dan pudar - Otot daging kurang elastis dan lemak sedikit - Teksturnya lunak dan jaringan daging pecah - Terjadi kerusakan fisik pada tubuh ikan yang sudah sobek, mata ikan yang hilang, dan kulit terkelupas Persyaratan Mutu Tuna Loin Beku Persyaratan mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu berdasarkan SNI , seperti yang terlihat pada Tabel 3.

10 14 Tabel 3. Standar SNI Mutu Tuna Loin Beku JENIS UJI SATUAN PERSYARATAN Organoleptik Skala hedonik 1-9 Minimal 7 Cemaran mikroba*: ALT Koloni/gram 5 x 10 5 Eschericia coli APM/gram <2 Salmonella APM/gram negatif Vibrio cholera APM/gram negatif Cemaran kimia* Raksa (Hg) mg/kg Maksimal 1 Timbal (Pb) mg/kg Maksimal 0,4 Histamin mg/kg Maksimal 100 Cadmium (Cd) mg/kg Maksimal 0,5 Fisika: Suhu pusat o C Maksimal -18 Parasit ekor Maksimal 0 Catatan* bila diperlukan Sumber: BSN (2006) Bahan Pembantu Penanganan Tuna Bahan pembantu yang digunakan untuk penanganan tuna loin beku harus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh SNI tentang penanganan dan pengolahan tuna loin beku. Bahan pembantu atau penolong terdiri dari air dan es. Air untuk penanganan dan pengolahan harus aman dan saniter dan berasal dari sumber yang diijinkan dengan angka Coliform (Angka Paling Memungkinkan/APM) maksimal 2 dalam 100 ml air serta memiliki tekanan minimal 142,26 g/cm 2. Air yang digunakan untuk unit pengolahan harus memenuhi persyaratan air minum dan dilakukan pengujian mikrobiologi, kimia, dan fisika secara berkelanjutan oleh laboratorium yang telah terakreditasi oleh pemerintah (Maulana 2012). Es yang digunakan harus dibuat dari air bersih dan memenuhi persyaratan air minum. Penggunaan es harus ditangani dan disimpan di tempat yang bersih agar terhindar kontaminasi silang dari lingkungan. Es kering digunakan untuk mempertahankan suhu ikan selama proses pengangkutan agar tetap rendah dan terjaga kesegarannya. Es kering merupakan karbondioksida (CO2) yang terkondensasi menjadi bentuk padat, selain itu es kering memiliki temperatur yang lebih rendah dari es biasa yaitu C (Maulana 2012).

11 Peralatan Penanganan Tuna Peralatan utama yang digunakan dalam penanganan dan pengolahan tuna loin beku yaitu, meja kerja stainless steel, timbangan digital, pisau filet, ABF (Air Blast Freezer), cold storage, chilling room, bak penampungan ikan, rak penyusunan ikan, alat suntik CO, vacuum sealer (Lampiran 3). Semua peralatan dan perlengkapan yang digunakan dalam penanganan tuna loin beku harus mempunyai permukaan yang halus dan rata, tidak mengelupas, tidak berkarat, bukan merupakan sumber cemaran jasad renik, tidak retak, dan mudah dibersihkan. Seluruh peralatan dipastikan dalam keadaan bersih, sebelum, selama, dan sesudah digunakan (Maulana 2012). 2.6 Faktor yang Mempengaruhi Mutu Tuna Loin Beku Menurut Ilyas (1983), faktor-faktor yang mempengaruhi mutu produk perikanan adalah suhu, lama proses penanganan, kebersihan, serta cara kerja Suhu Suhu memiliki peranan penting dalam upaya mempertahankan mutu produk beku. Faktor suhu berperan dalam keseluruhan usaha produk, baik sejak awal ditangkap hingga menjadi produk akhir. Suhu ikan tuna di atas 0 o C akan mengalami kemunduran mutu yang terjadi secara kimia maupun mikrobiologi (Hadiwiyoto 1993). Proses pembusukan pada ikan tuna yang disimpan pada suhu 3 o -5 o C terjadi pada hari ke 12. Bakteri pembusuk hidup pada suhu antara 0 o -30 o C dengan suhu optimal 15 o C. Suhu yang diturunkan dengan cepat hingga di bawah 0 o C atau pada kisaran suhu -1 o -5 o C maka proses pembusukan akan terhambat, pada suhu ini kegiatan enzim perusak akan terhambat, sedangkan kegiatan bakteri patogen akan terhenti (Moelyanto 1992). Dasar inilah yang digunakan untuk proses penanganan pada tuna loin beku, yakni penggunaan suhu rendah dengan teknik pendinginan dan pembekuan. Pendinginan merupakan proses pengawetan dengan suhu rendah (-1 o -5 o C) yang bertujuan untuk menghambat aktivitas mikroorganisme, proses kimia, dan proses fisik lainnya yang dapat mempengaruhi kesegaran mutu. Pembekuan tuna loin merupakan salah satu cara menghentikan terjadinya proses penurunan mutu

12 16 dengan suhu yang digunakan yaitu -18 o C sampai -30 o C (Ilyas 1993). Menurut BSN (2006), proses penanganan tuna loin beku harus mempertahankan suhu produk maksimal 4,4 o C dan proses pembekuan maksimal -18 o C. Suhu tuna loin yang tidak diperhatikan akan berpengaruh terhadap mutu produk akhir tersebut. Keberhasilan penanganan tergantung pada stabilitas suhu selama penanganan. Semakin rendah suhu yang dapat diturunkan dan semakin stabil suhu tersebut dipertahankan selama penanganan, maka mutu atau kualitas yang didapat akan semakin baik (Afrianto dan Liviawaty 1989) Lama Proses Penanganan Lama proses berkaitan dengan lamanya waktu suatu proses penanganan, perlakuan dan waktu penyimpanan yang dialami oleh produk beku. Tertundanya waktu proses penanganan dapat mempengaruhi mutu dari produk tersebut, maka dari itu proses penanganan harus dilakukan sesegera mungkin dengan menggunakan suhu rendah antara -1 o - 5 o C. Semakin panjang waktu penyimpanan produk pada suhu rendah, maka semakin besar pengaruhnya terhadap produk beku tersebut (Ilyas 1983). Produk yang disimpan dalam waktu lama sebaiknya digunakan suhu penyimpanan yang rendah yaitu berkisar pada -18 o C untuk mencegah terjadinya dehidrasi pada produk Kebersihan Faktor kebersihan memiliki peranan yang sangat penting dalam pemantapan mutu produk. Faktor kesehatan dan higienis selalu ditunjukkan oleh keadaan bakteri dari kesegaran produk dan faktor suhu produk. Indikator yang digunakan yaitu jumlah bakteri yang terdapat pada produk beku, kondisi tempat penanganan, peralatan, dan bahan yang terlihat dalam proses produksi (Nasution 2009). Sanitasi perlu diperhatikan baik bagi produknya maupun yang berhubungan selama proses penanganan. Sarana dan peralatan yang digunakan serta kebersihan para pekerja diusahakan agar terhindar dari kontaminasi silang dengan produk (Ilyas 1983). Faktor kebersihan ini harus diperhatikan karena akan mempengaruhi mutu produk akhir yang dihasilkan.

13 Cara Kerja Kecermatan dalam penanganan harus dilakukan agar tuna loin tidak rusak, maka dari itu digunakan prosedur penanganan tiap jenis, ukuran dan tujuan pemanfaatan serta pemasarannya. Semua kerusakan tuna loin akan menyebabkan tuna loin tidak terjual, masa simpan yang singkat, berkurang mutunya, dan terjadi penolakan dari negara ekspor (Ilyas 1983). Proses penanganan diperlukan tenaga kerja yang cermat, cepat dan teliti agar didapatkan produk yang memiliki mutu baik dan sesuai standar. 2.7 Kelayakan Dasar Unit Pengolahan Program Manajemen Mutu Terpadu (PMMT) berdasarkan pada konsep HACCP sebagai suatu sistem manajemen mutu tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus ditunjang oleh faktor-faktor lain yang menjadi dasar dalam menganalisis besar kecilnya potensi terjadinya bahaya. Penerapan HACCP dapat berjalan lebih efektif jika setiap unit pengolahan yang akan menerapkan HACCP memenuhi persyaratan kelayakan dasar. Persyaratan kelayakan merupakan prosedur yang terdiri dari cara berproduksi yang baik dan benar atau Good Manufacturing Practices (GMP) dan Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP). Kedua faktor tersebut merupakan persyaratan dasar yang harus dipenuhi oleh unit pengolahan sebelum menerapkan PMMT/HACCP (Ditjenkan 2001) Cara Berproduksi yang Baik dan Benar Good Manufactring Practice (GMP) atau Cara Berproduksi yang Baik dan Benar merupakan suatu pedoman cara berproduksi makanan dengan tujuan agar produsen memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan untuk menghasilkan produk makanan bermutu sesuai dengan tuntutan konsumen (Thaheer 2005). Secara umum GMP untuk produk perikanan mencakup semua aspek operasi unit pengolahan dan karyawan seperti pelakuan/kondisi yang dipersyaratkan, waktu yang cepat dan tepat, mempertahankan rantai dingin, bahan baku yang baik, bahan kimia yang diizinkan, jumlah bahan pembantu seperti es harus cukup untuk mempertahankan suhu tetap rendah, cara penimbangan yang

14 18 benar, alat timbang yang akurat, teknik pengemasan yang tepat dan bahan pengemas yang baik, teknik pelabelan yang memenuhi syarat, serta dilakukan secara teliti dan terampil (Nurrakhmi 2009) Prosedur Standar Operasi Sanitasi Prosedur Standar Operasi Sanitasi atau Sanitation Standar Operating Procedure (SSOP) dalam suatu industri pangan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pembinaan mutu secara keseluruhan. Sanitasi dilakukan sebagai usaha mencegah penyakit dari konsumsi pangan yang diproduksi dengan cara menghilangkan atau mengendalikan faktor-faktor didalam pengolahan pangan yang berperan dalam pemindahan bahaya (hazard) sejak penerimaan bahan baku sampai produk akhir didistribusikan (Thaheer 2005). Menurut Food and Drug Administration USA dalam Thaheer (2005), SSOP umumnya meliputi delapan aspek, yaitu: 1) Keamanan Air dan Es Air untuk penanganan dan pengolahan harus cukup aman dan saniter, berasal dari sumber yang diizinkan. Es harus dibuat dari air bersih yang memenuhi persyaratan air minum. Es harus ditangani dan disimpan ditempat yang bersih dalam pengunaannya agar terhindar dari penularan dan kontaminasi dari luar. 2) Kebersihan Permukaan yang Kontak dengan Produk Permukaan peralatan dan perlengkapan yang berhubungan langsung dengan bahan dan produk akhir harus bebas dari lubang-lubang dan celah, halus, tidak menyerap air, tidak berkarat, dan tidak menimbulkan racun. Perlengkapan dan peralatan hendaknya dibuat, dirancang dan ditata dengan baik sehingga mudah dibersihkan dengan sempurna serta menjamin kelancaran proses penanganan dan pengolahan. Peralatan yang sudah tidak dipergunakan lagi dipisahkan dengan peralatan yang masih dipakai. 3) Pencegahan Kontaminasi Silang SSOP ini berisi prosedur-prosedur untuk menghindarkan kontaminasi silang pada produk dari pekerja, bahan mentah, pengemas dan permukaan yang

15 19 kontak dengan produk. SSOP ini mencakup tindakan-tindakan yang menyangkut pembersihan bahan baku untuk mengurangi kontaminasi silang. 4) SSOP untuk Kebersihan Karyawan Sanitasi ini meliputi fasilitas cuci tangan, sanitasi tangan, serta toilet yang digunakan. Kebersihan personal yang harus senantiasa diperhatikan yaitu, pembersihan rambut, pencucian tangan, dan pembersihan kuku. Perilaku yang bersih dan sehat dari karyawan sangat menunjang kebersihan produk yang dihasilkan. Ruang pengolahan harus mempunyai sejumlah tempat cuci tangan yang cukup, sekurang-kurangnya satu tempat cuci tangan untuk 10 karyawan. Ruang pengolahan harus dilengkapi juga dengan air panas, air dingin, sabun, tissue paper (lap sekali pakai), dan tetap sampah yang bertutup. Tempat cuci tangan harus diletakan di ruang pengolahan yang dapat dilihat oleh pengawas dan dekat pintu masuk ruang pengolahan. Air untuk mencuci tangan harus mengalir dan tidak boleh dipakai berulang. Ruang istirahat harus dilengkapi dengan tempat cuci tangan dan ganti pakaian serta letaknya harus terpisah dari ruang pengolahan. Pabrik pengolahan harus dilengkapi dengan toilet yang cukup. 5) SSOP untuk Pencegahan Pencemaran Pencegahan pencemaran yaitu mencegah tercampurnya bahan non pangan ke dalam produk pangan yang dihasilkan. Sanitasi ini mencakup prosedurprosedur yang digunakan untuk mencegah tercampurnya bahan-bahan non pangan ke dalam produk yang dihasilkan. Bahan-bahan non pangan yang dimaksud meliputi pelumas, bahan bakar, sanitizer, serta cemaran kimia dan cemaran fisik lainnya (Thaheer 2005). Peralatan dan perlengkapan pembantu yang bersentuhan dengan bahan yang diolah, kecuali produk akhir yang dikemas harus selalu dibersihkan dan didesinfeksi sekurang-kurangnya satu kali dalam satu gilir kerja, kemudian dikeringkan dan disimpan dengan cara saniter (Purwaningsih 1995). Pestisida, fumigant, desinfektan dan deterjen harus disimpan dalam ruangan terpisah dan hanya ditangani dibawah pengawasan petugas yang memenuhi tentang bahayanya untuk menghindari kontaminasi terhadap produk (Nasution 2009).

16 20 6) SSOP untuk Pelabelan dan Penyimpanan Syarat pengemas yang digunakan bereaksi dengan produk dan mampu melindungi produk dan mencantumkan: isi, merk dagang, asal negara, produsen, berat bersih, komposisi, masa kadaluarsa dan persyaratan penyimpanan. Ruang penyimpanan harus terjaga kebersihannya dan sesuai persyaratan dan jenis produk. Produk yang disimpan harus selalu dikontrol agar produk tetap aman dan baik mutunya. 7) SSOP untuk Pengendalian Kesehatan Karyawan Karyawan yang dipekerjakan harus sehat dan tidak menderita penyakit menular atau menyebarkan kuman penyakit menular. Kesehatan para karyawan harus diperiksa secara berkala untuk menghindarkan penularan penyakit baik terhadap produk maupun karyawan lainnya. Setiap karyawan harus dilengkapi dengan pakaian dan perlengkapan kerja sesuai dengan bidangnya masing-masing. 8) Pemberantasan Hama Bagian-bagian ruangan penanganan dan pengolahan yang berhubungan langsung dengan bagian luar harus dilengkapi dengan peralatan untuk mencegah masuknya serangga, tikus, dan hama lainnya. Jalan dan lobang yang dapat dilalui tikus dan serangga harus ditutup dengan saringan (screen) logam yang tahan karat. 2.8 Konsepsi HACCP Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (2007), pengertian Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem manajemen mutu untuk penanganan atau pengolahan makanan khususnya hasil perikanan berdasarkan pada pendekatan sistematis untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya bahaya (hazard) selama proses produksi dengan menentukan titik kritis yang harus diawasi secara ketat (Muhandri dan Kadarisman 2006) Prinsip HACCP Menurut Thaheer (2005) prinsip sistem HACCP yang diadopsi pada SNI terdiri dari tujuh bagian, yaitu:

17 21 Prinsip 1. Analisis Bahaya Analisis bahaya merupakan proses pengumpulan dan penilaian informasi mengenai bahaya dan keadaan sampai dapat terjadinya bahaya. Penentuan jenis bahaya mana yang berdampak nyata terhadap keamanan pangan serta harus ditangani dalam rencana HACCP. Prinsip 2. Identifikasi Titik Kendali Kritis (CCP) Identifikasi CCP (Critical Control Point) adalah suatu upaya untuk menentukan titik atau tahapan tertentu dimana pengendalian dapat dilakukan dan harus diterapkan untuk mencegah atau mengeliminasi bahaya keamanan pangan, atau menguranginya sampai pada tingkat yang dapat diterima. Tindakan pengawasan dan pengendalian yang tidak dilakukan akan menyebabkan resiko penolakan dan kerugian dari konsumen. Penentuan CCP dapat dilakukan dengan menggunakan pohon keputusan (Lampiran 4) yang menyatakan pendekatan pemikiran logis. Prinsip 3. Menentukan Batas-batas Kritis (Critical Limit) Batas kritis adalah persyaratan dan toleransi yang harus dipenuhi oleh CCP. Batas kritis ini tidak boleh terlampaui, karena batas-batas kritis ini merupakan toleransi yang menjamin bahwa bahaya dapat dikontrol. Batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Kriteria yang dipergunakan mencakup pengukuran suhu, waktu, tingkat kelembaban, ph, klorin yang digunakan, jumlah bakteri total, serta parameter yang berhubungan dengan panca indera (organoleptik). Batas kritis menunjukkan perbedaan antara produk yang aman dan tidak aman sehingga proses produksi dapat dilakukan pada tingkat yang aman. Batas kritis ini harus selalu dipantau untuk menjamin bahwa CCP dapat mengendalikan bahaya mikrobiologi, kimia, dan fisik secara efektif. Prinsip 4. Menetapkan Prosedur Pemantauan (Monitoring) Monitoring dalam konsep HACCP adalah tindakan dari pengujian atau observasi yang dicatat oleh unit usaha untuk melaporkan keadaan CCP. Kegiatan ini untuk menjamin bahwa batas kritis tidak terlampaui. Untuk menyusun prosedur monitoring pertanyaan-pertanyaan apa yang harus dievaluasi dengan

18 22 metode apa, kapan dilakukan, dimana dilakukan, siapa yang melakukan, jumlah dan frekuensi yang ditetapkan harus terjawab. Monitoring batas kritis ini ditujukan untuk memeriksa apakah prosedur pengolahan atau penanganan pada CCP telah terkendali, efektif dan terencana untuk mempertahankan keamanan produk. Prinsip 5. Menetapkan Tindakan Koreksi (Corrective Action) Tindakan koreksi adalah prosedur-prosedur yang harus dilaksanakan ketika ditemukan penyimpangan pada tahap CCP yang melebihi batas kritis. Kegagalan yang terjadi dalam pengawasan pada CCP, maka tindakan koreksi harus dilakukan. Tindakan koreksi harus mengurangi atau mengeliminasi potensi bahaya dan resiko yang terjadi ketika batas kritis terlampaui pada CCP dan menjamin bahwa penyimpangan yang terjadi tidak mengakibatkan potensi bahaya yang baru. Setiap tindakan koreksi yang dilaksanakan harus didokumentasikan untuk tujuan modifikasi suatu proses. Prinsip 6. Menetapkan Prosedur Verifikasi Verifikasi adalah unsur yang sangat penting dari HACCP dan harus selalu disertakan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi tambahan untuk meyakinkan produsen (dan inspektur) bahwa aplikasi hasil HACCP dalam memproduksi makanan yang aman. Pengamatan prosedur dan pengujian, termasuk pengambilan contoh secara acak dan analisis dapat digunakan untuk menentukan apakah sistem HACCP bekerja secara benar. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasi bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Prinsip 7. Menetapkan Cara Pencatatan (Record Keeping) Pencatatan (record keeping) merupakan elemen penting dari penerapan HACCP. Catatan tetap memastikan bahwa informasi yang dikumpulkan selama instalasi, modifikasi dan pengoperasian alur proses produksi mudah diakses oleh semua orang yang terlibat dalam proses sebagai auditor luar. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi. Rekaman harus termasuk penjelasan CCP telah didefinisikan, deskripsi prosedur pengendalian dan modifikasi alur, monitoring dan verifikasi data. Data

19 23 penyimpangan dari praktek normal serta tindakan koreksi (Schothorst, V.M 2004) Penerapan Prinsip-Prinsip HACCP Menurut BSN (1998) dalam SNI penerapan prinsip-prinsip HACCP terdiri dari tugas-tugas berikut sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Tahap-tahap penerapan HACCP sebagai berikut: 1) Pembentukan Tim HACCP Pengembangan rencana HACCP yang efektif dapat dicapai dengan pembentukan sebuah tim HACCP dari berbagai disiplin ilmu. Jika ada beberapa keahlian tidak tersedia, maka diperlukan konsultan dari pihak luar. Seluruh lingkup yang ada harus diidentifikasi oleh program HACCP. Lingkup tersebut harus menggambarkan segmen-segmen mana saja dari rantai pangan tersebut yang terlibat secara umum dalam potensi bahaya yang dimaksudkan (yaitu meliputi semua bahaya atau hanya bahaya tertentu). 2) Deskripsi Produk Penjelasan lengkap dari produk harus dibuat termasuk informasi mengenai komposisi, struktur fisika/kimia (termasuk Aw, ph), perlakuan-perlakuan seperti perlakuan pemanasan, pembekuan, penggaraman, pengasapan, keadaan pengemasan, kondisi penyimpanan dan daya tahan serta metode pendistribusiannya. 3) Identifikasi Rencana Penggunaan Produk Rencana penggunaan harus berdasarkan pada kegunaan-kegunaan produk untuk pengguna produk atau konsumen. Pengelompokan penggunaan produk perlu diperhatikan apakah sasaran konsumen untuk dewasa, anak-anak atau balita. Cara penggunaan produk perlu diinformasikan agar produk tepat dan baik dalam penggunaannya. 4) Penyusunan Bagan Alur Proses Tim HACCP menyusun bagan alur proses produksi. Diagram alur harus memuat segala tahapan dalam operasional produksi. HACCP yang diterapkan

20 24 pada suatu operasi tertentu harus dipertimbangkan tahapan sebelum dan sesudah operasi tersebut. 5) Konfirmasi Bagan Alur Produksi Tim HACCP sebagai penyusun bagan alur produksi harus mengkonfirmasikan cara kerja produksi dengan semua tahapan dan jam operasi saat produksi serta jika perlu mengadakan perubahan bagan alur produksi dilapangan bila alur produksi tidak sesuai dengan yang disusun. 6) Pencatatan Semua Bahaya yang Berkaitan dengan Tahapan, Pengadaan Suatu Analisis Bahaya dan Menyarankan Berbagai Pengukuran Untuk Mengendalikan Bahaya yang Teridentifikasi Tim HACCP harus membuat daftar analisis bahaya yang mungkin terdapat pada tiap tahapan alur produksi dari awal bahan baku, pengolahan dan menghasilkan produk akhir sampai distribusi ke tangan konsumen. Tim HACCP harus mengadakan analisis bahaya untuk mengidentifikasi program HACCP dimana bahaya yang mungkin ditemukan, karena sifatnya mutlak semua bahaya harus ditiadakan atau dikurangi hingga batas-batas yang dapat diterima, sehingga produksi pangan tersebut dinyatakan aman. Tim HACCP harus mempertimbangkan tindakan pengendalian, jika ada yang dapat dilakukan untuk setiap bahaya. Lebih jauh tindakan pengendalian disyaratkan untuk mengendalikan bahaya-bahaya tertentu dan jika perlu ditemukan satu bahaya yang harus dikendalikan dengan tindakan pengawasan yang tertentu. 7) Penentuan Titik Kendali Kritis/ Critical Control Point (CCP) Pengendalian bahaya yang sama mungkin ditemukan lebih dari satu CCP pada saat pengendalian dilakukan. Penentuan dari CCP pada sistem HACCP dapat dibantu menggunakan Pohon keputusan (Lampiran 4). 8) Penentuan Batas-Batas Kritis (Critical Limits) pada Setiap CCP Batas-batas kritis harus ditentukan untuk setiap CCP. Beberapa kasus lebih dari satu batas kritis mencakup pengukuran-pengukuran terhadap suhu, waktu, tingkat kelembaban, ph, Aw, keberadaan klorin, dan parameter sensori seperti kenampakan visual dan tekstur.

21 25 9) Penyusunan Sistem Pemantauan untuk Setiap CCP Pemantauan merupakan pengukuran atau pengamatan dari setiap CCP yang dibandingkan dengan batas kritisnya. Pemantauan dapat memberikan informasi yang tepat untuk dilakukan perbaikan proses dalam memastikan proses dapat mencegah bahaya yang melebihi batas kritis. Penyesuaian proses harus dilaksanakan pada saat hasil pemantauan menunjukkan kecenderungan terjadinya penyimpangan pada suatu CCP. Perubahan proses perlu dilaksanakan sebelum terjadi penyimpangan. Data yang diperoleh dari pemantauan harus dinilai oleh orang yang diberi tugas, berpengetahuan dan berkewenangan untuk melaksanakan tindakan perbaikan yang diperlukan. Pemantauan yang tidak berkesinambungan harus dilakukan pemantauan dengan frekuensi yang cukup untuk menjamin CCP dapat terkendali. Sebagian besar prosedur pemantauan untuk CCP perlu dilaksanakan secara cepat, karena berhubungan dengan proses yang berjalan dan tidak tersedia waktu lama untuk melaksanakan pengujian analitis. Pengujian yang dilakukan berupa uji fisik, kimia dan mikrobiologi. Semua catatan dan dokumen yang terkait dengan kegiatan pemantauan CCP harus ditanda tangani oleh orang yang melakukan pengamatan dan oleh petugas yang bertanggung jawab melakukan peninjauan kembali terhadap alur produksi dalam perusahaan tersebut. 10) Penetapan Tindakan Perbaikan Tindakan perbaikan yang spesifik harus dikembangkan untuk setiap CCP dalam sistem HACCP agar dapat menangani penyimpangan yang terjadi. Tindakan-tindakan perbaikan harus memastikan bahwa CCP telah berada dibawah kendali dan tindakan harus yang tepat. Penyimpangan dan perubahan prosedur produk harus didokumentasikan dalam catatan HACCP.

22 26 Pembentukan Tim HACCP Deskripsi Produk Identifikasi Rencana Penggunaan Penyusunan Bagan Alir Konfirmasi bagan alir di lapangan Pencatatan Semua Bahaya Potensial yang Berkaitan dengan Analisis Bahaya, Penentuan Tindakan Pengendalian Penentuan Titik Pengendalian Kritis Penentuan Batas Kritis untuk setiap CCP Penyusunan Sistem Pemantauan untuk setiap CCP Penetapan Tindakan Perbaikan untuk setiap Penyimpangan yang terjadi Penetapan Prosedur Verifikasi 11) Penetapan Prosedur Verifikasi Gambar 3. Urutan Logis Penerapan HACCP Sumber: BSN (1998) Penetapan prosedur verifikasi dapat dipergunakan untuk menentukan sistem HACCP bekerja secara benar. Prosedur verifikasi ini meliputi metode audit, verifikasi, pengujian, serta pengambilan contoh secara acak dan analisis. Frekuensi verifikasi harus cukup untuk mengkonfirmasikan bahwa sistem HACCP bekerja secara efektif. Penetapan Dokumen dan Pencatatan

23 27 12) Penetapan Dokumentasi dan Pencatatan Pencatatan yang efisien serta akurat merupakan hal penting dalam penerapan sistem HACCP. Dokumentasi dan pencatatan harus cukup memadai sesuai sifat dan besarnya operasi.

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 27 Mei 2013 sampai dengan 5 Juni 2013 di PT. Awindo Internasional Jakarta. PT. Awindo Internasional terletak

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan di PT. Graha Insan Sejahtera yang berlokasi di salah satu Perusahaan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jalan Muara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Cakalang (Katsuwonus pelamis) Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack tuna menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Layur (Trichiurus sp.) Ikan layur (Trichiurus sp.) menurut taksonominya diklasifikasikan sebagai berikut (Saanin 1984) Phyllum : Chordata Sub Phylum : Vertebrata Class

Lebih terperinci

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010.

Tugas Manajemen Mutu Terpadu. 3. Penanganan dan pengolahan Penanganan dan pengolahan cumi-cumi beku sesuai SNI :2010. Nama : RaisAbdullah NPM : 230110097026 Kelas : Perikanan B Tugas Manajemen Mutu Terpadu Spesifikasi CUMI-CUMI BEKU SNI 2731.1:2010 1. Istilah dan definisi cumi-cumi beku merupakan produk olahan hasil perikanan

Lebih terperinci

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit

2 ekspor Hasil Perikanan Indonesia. Meskipun sebenarnya telah diterapkan suatu program manajemen mutu terpadu berdasarkan prinsip hazard analysis crit TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 181). PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi

Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5. Deskripsi Produk Tuna Loin Beku di PT. Awindo Internasional BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Tuna loin beku merupakan salah satu hasil penanganan ikan tuna yang diproduksi oleh PT. Awindo Internasional. Jenis bahan baku yang digunakan yaitu yellowfin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Kandungan Gizi dan Vitamin pada Ikan Layur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan layur (Trichiurus sp.) adalah salah satu jenis ikan demersal ekonomis penting yang banyak tersebar dan tertangkap di perairan Indonesia terutama di perairan Palabuhanratu.

Lebih terperinci

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku

Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku Standar Nasional Indonesia Tuna loin segar Bagian 2: Persyaratan bahan baku ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

Sosis ikan SNI 7755:2013

Sosis ikan SNI 7755:2013 Standar Nasional Indonesia Sosis ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya

Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya Standar Nasional Indonesia SNI 01-4852-1998 Sistem analisa bahaya dan pengendalian titik kritis (HACCP) serta pedoman penerapannya Badan Standardisasi i Nasional - BSN Standar ini merupakan adopsi secara

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013 di PT. AGB Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi-Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat

Lebih terperinci

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB XV PENGENDALIAN MUTU SELAMA PROSES KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Filet kakap beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penanganan maupun pengolahan merupakan suatu cara ataupun tindakan untuk mempertahankan mutu dan kualitas bahan pangan, termasuk di sektor perikanan. Menurut data Dirjen

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011)

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Ikan Selais (O. hypophthalmus). Sumber : Fishbase (2011) 3 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Selais (Ompok hypophthalmus) Ikan Ompok hypophthalmus dikenal dengan nama daerah selais, selais danau dan lais, sedangkan di Kalimantan disebut lais

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi

SNI Standar Nasional Indonesia. Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah

Lebih terperinci

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonim b 2010 )

Gambar 1. Ikan Tongkol (Ethynnus affinis) (Sumber: Anonim b 2010 ) 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Ikan tongkol (Euthynnus affinis) termasuk dalam famili scombridae terdapat di seluruh perairan hangat Indo-Pasifik Barat,

Lebih terperinci

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P

2 MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

PRINSIP PENERAPAN HACCP DI INDUSTRI PANGAN SIAP SAJI

PRINSIP PENERAPAN HACCP DI INDUSTRI PANGAN SIAP SAJI PRINSIP PENERAPAN HACCP DI INDUSTRI PANGAN SIAP SAJI BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Pedoman

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis pada Penanganan Tuna Loin Beku di PT. Awindo International

KATA PENGANTAR Analisis Bahaya dan Titik Kendali Kritis pada Penanganan Tuna Loin Beku di PT. Awindo International KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Analisis Bahaya dan Titik

Lebih terperinci

Siomay ikan SNI 7756:2013

Siomay ikan SNI 7756:2013 Standar Nasional Indonesia Siomay ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2013 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi

Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Tuna loin segar Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...1 2 Acuan normatif...1 3 Istilah dan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Ikan segar - Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

SNI Standar Nasional Indonesia. Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Udang beku Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sanitasi Dan Higiene Pada Tahap Penerimaan Bahan Baku. Penerapan sanitasi dan higiene diruang penerimaan lebih dititik beratkan pada penggunaan alat dan bahan sanitasi.

Lebih terperinci

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P

2015, No MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH P LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.181, 2015 LINGKUNGAN HIDUP. Perikanan. Hasil. Jaminan Mutu. Keamanan. Sistem. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5726). PERATURAN

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 1-5 ISSN : 2088-3137 ANALISIS BAHAYA DAN PENENTUAN TITIK PENGENDALIAN KRITIS PADA PENANGANAN TUNA SEGAR UTUH DI PT. BALI OCEAN ANUGRAH LINGER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global

BAB I PENDAHULUAN. sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengolahan hasil perikanan memegang peranan penting dalam kegiatan pascapanen, sebab ikan merupakan komoditi yang sifatnya mudah rusak dan membusuk, di samping itu

Lebih terperinci

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan

Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan Standar Nasional Indonesia Ikan tuna dalam kaleng Bagian 3: Penanganan dan pengolahan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus thynnus)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus thynnus) BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tuna (Thunnus thynnus) Menurut Saanin (1984), ikan tuna berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Filum Subfilum Kelas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan

Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan Teknologi Pangan Teknologi pangan adalah teknologi yang mendukung pengembangan industri pangan dan mempunyai peran yang sangat penting dalam upaya mengimplementasikan tujuan industri untuk memenuhi permintaan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Deskripsi Produk Tuna Steak Beku di PT. Garaha Insan Sejahtera

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Deskripsi Produk Tuna Steak Beku di PT. Garaha Insan Sejahtera BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Tuna Steak Beku PT. Graha Insan Sejahtera ialah salah satu perusahaan perikanan di Muara Baru-Jakarta Utara yang menangani tuna menjadi produk akhir tuna

Lebih terperinci

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK

BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK BAB V PRAKTEK PRODUKSI YANG BAIK Good Manufacturing Practice (GMP) adalah cara berproduksi yang baik dan benar untuk menghasilkan produk yang memenuhi persyaratan mutu dan keamanan. Telah dijelaskan sebelumnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA SALINAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2015 TENTANG SISTEM JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN SERTA PENINGKATAN NILAI TAMBAH PRODUK HASIL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice

Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice 113 LAMPIRAN 113 114 Lampiran 1. Pengukuran tingkat penerapan Good Manufacturing Practice 1 Lokasi Lokasi produksi harus jauh dari tempattempat yang menjadi sumber cemaran, seperti: tempat pembuangan sampah,

Lebih terperinci

Uji Organoleptik Ikan Mujair

Uji Organoleptik Ikan Mujair Uji Organoleptik Ikan Mujair Bahan Mentah OLEH : PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN SEKOLAH TINGGI PERIKANAN JAKARTA I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mutu atau nilai-nilai tertentu yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Deskripsi Produk cakalang precooked loin beku di PT.GEM BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Cakalang precooked loin beku adalah produk yang dihasilkan oleh PT..Gabungan Era Mandiri (GEM). Produk diekspor sebagai bahan baku pengalengan karena perusahaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN xxix HASIL DAN PEMBAHASAN Sampel daging ayam beku yang diambil sebagai bahan penelitian berasal dari daerah DKI Jakarta sebanyak 16 sampel, 11 sampel dari Bekasi, 8 sampel dari Bogor, dan 18 sampel dari

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi wilayah PT. Cipta Frima Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dalam penanganan pasca panen (pembekuan) untuk hasil perikanan, yang merupakan milik Bapak

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi penanganan pasca panen Penanganan pasca panen dilakukan untuk memperbaiki cita rasa dan meningkatkan daya tahan ikan mentah serta memaksimalkan manfaat hasil tangkapan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Sertifikat HACCP Frozen Cooked Tuna

Lampiran 1. Sertifikat HACCP Frozen Cooked Tuna LAMPIRAN Lampiran 1. Sertifikat HA Frozen Cooked Tuna 52 Lampiran 2. Sertifikat Keterangan Pengolahan Frozen Cooked Tuna 53 Lampiran 3. Tata Letak Bangunan PT. Gabungan Era Mandiri 54 55 Lampiran 4.Pohon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. batok sabut kelapa (lunggabongo). Sebelum dilakukan pengasapan terlebih dahulu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Ikan tongkol (Euthynnus affinis) segar diperoleh dari TPI (Tempat Pelelangan Ikan) kota Gorontalo. Bahan bakar yang digunakan dalam pengasapan ikan adalah batok sabut kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. perikanan yang sangat besar. Oleh karena itu sangat disayangkan bila. sumber protein hewani, tingkat konsumsi akan ikan yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas perairan, dan mempunyai laut serta potensi perikanan yang sangat besar. Oleh

Lebih terperinci

Bakso ikan SNI 7266:2014

Bakso ikan SNI 7266:2014 Standar Nasional Indonesia Bakso ikan ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi dokumen ini

Lebih terperinci

Studi Kelayakan Unit Pengolahan Udang Putih Beku Tanpa Kepala di PT. XX Gorontalo

Studi Kelayakan Unit Pengolahan Udang Putih Beku Tanpa Kepala di PT. XX Gorontalo Studi Kelayakan Unit Pengolahan Udang Putih Beku Tanpa Kepala di PT. XX Gorontalo 1,2 Saprin Hayade, 2 Rieny Sulistijowati, 2 Faiza A. Dali 1 saprin_hayade@yahoo.com 2 Jurusan Teknologi Perikanan Fakultas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. H.Yusdin Abdullah dan sebagai pimpinan perusahaan adalah Bapak Azmar BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Wilayah PT. Cipta Frima Jaya adalah salah satu perusahaan yang bergerak dibidang proses dan pembekuan untuk hasil perikanan laut, yang merupakan milik Bapak H.Yusdin

Lebih terperinci

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI

Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI Tanya Jawab Seputar DAGING AYAM SUMBER MAKANAN BERGIZI KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN 2012 DAFTAR ISI 1. Apa Kandungan gizi dalam Daging ayam? 2. Bagaimana ciri-ciri

Lebih terperinci

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut

Gambaran pentingnya HACCP dapat disimak pada video berikut A. Penerapan Cara Peoduksi Perikanan laut yang Baik (GMP/SSOP/HACCP) HACCP merupakan suatu sistem yang mengidentifikasi, mengevaluasi dan mengontrol setiap tahapan proses yang rawan terhadap risiko bahaya

Lebih terperinci

TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI. Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt

TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI. Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt TUGAS INDIVIDU PENGANTAR MIKROBIOLOGI Penerapan HACCP pada Proses Produksi Yoghurt Disusun Oleh : Yatin Dwi Rahayu 1006578 JURUSAN PENDIDIKAN TEKNOLOGI AGROINDUSTRI FAKULTAS PENDIDIKAN TEKNOLOGI KEJURUAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Proksimat Fillet Gurami Komponen penting dari komposisi kimia ikan adalah protein dan lemak. Ikan gurami mengandung 75-80% protein dan 6-9% lemak (basis kering) (Tabel 3).

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Susu

TINJAUAN PUSTAKA. Susu TINJAUAN PUSTAKA Susu segar Susu adalah susu murni yang belum mendapat perlakuan apapun kecuali proses pendinginan tanpa mempengaruhi kemurniannya. Susu murni adalah cairan yang berasal dari ambing sapi

Lebih terperinci

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi

Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi Dokumentasi SSOP (Sanitation Standard Operating Procedures) S P O Sanitasi HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia.

BAB I PENDAHULUAN. persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Makanan merupakan suatu kebutuhan pokok manusia, dimana persyaratan itu harus memenuhi syarat-syarat bagi kesehatan hidup manusia. Syarat-syarat makanan yang baik diantaranya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik Nilai Organoleptik BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Data hasil penelitian pengaruh penambahan garam terhadap nilai organoleptik ikan lolosi merah (C. chrysozona) dapat di lihat pada analisis

Lebih terperinci

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN

PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN PENGGUNAAN ES SEBAGAI PENGAWET HASIL PERIKANAN Oleh : Eddy Afrianto Evi Liviawaty i DAFTAR ISI PENDAHULUAN PROSES PENURUNAN KESEGARAN IKAN PENDINGINAN IKAN TEKNIK PENDINGINAN KEBUTUHAN ES PENGGUNAAN ES

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

BAB I PENDAHULUAN. mutu dan keamanan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya merupakan hak azasi setiap warga masyarakat sehingga harus tersedia dalam jumlah yang cukup, aman, bermutu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan merupakan salah satu sektor ekonomi yang mempunyai potensi dan peranan penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan sektor perikanan dalam pembangunan nasional

Lebih terperinci

4 PEMBAHASAN 4.1 Implementasi Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) Di Katering A

4 PEMBAHASAN 4.1 Implementasi Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) Di Katering A 4 PEMBAHASAN 4.1 Implementasi Sanitation Standard Operating Procedure (SSOP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) Di Katering A Penelitian ini dilakukan dengan menganalisa sebuah proses produksi dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. disertai dengan proses penggilingan dan penjemuran terasi. Pada umumnya 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terasi Terasi atau belacan adalah salah satu produk awetan yang berasal dari ikan dan udang rebon segar yang telah diolah melalui proses pemeraman atau fermentasi, disertai

Lebih terperinci

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi

Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Kepiting (Scylla Serrata) kulit lunak beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

PENGENDALIAN HACCP PADA PENGALENGAN IKAN

PENGENDALIAN HACCP PADA PENGALENGAN IKAN PENGENDALIAN HACCP PADA PENGALENGAN IKAN Oleh: Amanda Gabriella Chandra (6103008080) Ivana Halingkar (6103008103) Lita Kuncoro (6103008104) Catherine Tanaya (6103008105) PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

MATERI III : ANALISIS BAHAYA

MATERI III : ANALISIS BAHAYA MATERI III : ANALISIS BAHAYA (Prinsip HACCP I) Tahap-tahap Aplikasi HACCP 1 1. Pembentukan Tim HACCP 2. Deskripsi Produk 3. Indentifikasi Konsumen Pengguna 4. Penyusunan Bagan alir proses 5. Pemeriksaan

Lebih terperinci

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi

Udang beku Bagian 1: Spesifikasi Standar Nasional Indonesia Udang beku Bagian 1: Spesifikasi ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif... 1 3 Istilah dan definisi...

Lebih terperinci

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea.

Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna, cermin kaca dan bahan peledak. Bahan pembuatan pupuk dalam bentuk urea. Langkah 3 Penggunaan formalin: Pembunuh kuman sehingga dimanfaatkan untuk pembersih: lantai, kapal, gudang, pakaian. Pembasmi lalat dan berbagai serangga lain. Bahan pada pembuatan sutra buatan, zat pewarna,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Ikan Tenggiri (Scomberomorus commerson) Sheedy (2006), klasifikasi ilmiah ikan Tenggiri yaitu : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Kelas : Actinopterygii

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Produk Ikan Layur Beku Menurut SNI 6940.1:2011 (BSN 2011), ikan layur beku merupakan produk hasil perikanan dengan bahan baku layur segar utuh yang mengalami perlakuan

Lebih terperinci

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian

METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian 3. METODOLOGI 3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penilaian program kelayakan dasar (pre requisite program), evaluasi penerapan program Hazard Analysis Critical

Lebih terperinci

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015

Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 Pujianto, SE DINAS PERINKOP DAN UMKM KABUPATEN MAGELANG TAHUN 2015 APA ITU CPPOB? adalah cara produksi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. mencegah tercemarnya pangan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor

BAB IV PEMBAHASAN. Nama Produk Nama Spesies. Asal Ikan. Alur Proses. Kemasan Produk. Daya Tahan Produk. Penggunaan Produk Negara Tujuan Ekspor BAB IV PEMBAHASAN 4. Deskripsi Produk Tuna saku beku adalah loin tuna yang telah dipotong menyerupai bentuk saku yang hasil akhirnya dalam kondisi beku. Di PT. X tuna saku beku merupakan salah satu produk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Nilai Organoleptik Ikan Layang Data hasil penelitian pengaruh konsentrasi belimbing terhadap nilai organoleptik ikan layang dapat dilihat pada Lampiran 2. Histogram hasil

Lebih terperinci

The Hazard Analysis and Critical Control Point System

The Hazard Analysis and Critical Control Point System The Hazard Analysis and Critical Control Point System HACCP merupakan metode yang rasional & alamiah untuk penjaminan mutu makanan. Sistem ini terdiri atas identifikasi serta pengkajian yang sistematis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

Analisa Mikroorganisme

Analisa Mikroorganisme 19 Analisa Mikroorganisme Pemeriksaan awal terhadap 36 sampel daging ayam dan 24 sampel daging sapi adalah pemeriksaan jumlah mikroorganisme. Hasil yang diperoleh untuk rataan jumlah mikroorganisme daging

Lebih terperinci

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)**

PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** PERANAN NOMOR KONTROL VETERINER (NKV) SEBAGAI PERSYARATAN DASAR UNTUK PRODUKSI PANGAN HEWANI YANG AMAN, SEHAT, UTUH DAN HALAL (ASUH)** Oleh : Dr.drh. I Wayan Suardana, MSi* *Dosen Bagan Kesmavet Fakultas

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Potensinya terbuka, baik pasar bebas maupun industri. Kebutuhan cabai perkapita (2013) adalah 5 Kg/ tahun. Dengan jumlah penduduk 230 juta jiwa, maka

Lebih terperinci

Tuna dalam kemasan kaleng

Tuna dalam kemasan kaleng Standar Nasional Indonesia Tuna dalam kemasan kaleng ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Metode Penelitian 15 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Sukabumi pada bulan Desember 2010. 3.2 Bahan dan Alat Bahan dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Klasifikasi Ikan Cakalang Morfologi jenis ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) secara sepintas memiliki ukuran tubuh yang relatif besar, panjang tubuh sekitar 25cm dan

Lebih terperinci

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik

GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik GMP (Good Manufacturing Practices) Cara Pengolahan Pangan Yang Baik HANDOUT MATA KULIAH : REGULASI PANGAN (KI 531) OLEH : SUSIWI S JURUSAN PENDIDIKAN KIMIA F P M I P A UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Ikan Tuna (Thunnus sp.) Ikan Tuna adalah ikan laut yang terdiri atas beberapa spesies dari famili scombridae, terutamaa genus Thunnus. Tuna mempunyai beberapaa spesies

Lebih terperinci

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik

Keberadaan mikroorganisme patogen pada makanan umumnya tidak menyebabkan perubahan fisik Prerequisite Program #7 Pencegahan Kontaminasi Silang Pencegahan, pengendalian, deteksi kontaminasi; kontaminasi mikrobiologik, fisik, dan kimiawi Bahaya biologis: cacing, protozos, bakteri, cendawan/fungi

Lebih terperinci

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017

- 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 - 1 - PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR /PERMEN-KP/2017 TENTANG PERSYARATAN DAN TATA CARA PENERBITAN SERTIFIKAT PENERAPAN PROGRAM MANAJEMEN MUTU TERPADU DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN DISTRIBUSI Menimbang

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN V GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 5.1. Sejarah dan Perkembangan Perusahaan PT Tridaya Eramina Bahari berdiri pada tahun 1994 di Cirebon. Perusahaan ini didirikan oleh Bapak H. Danuri sebagai komisaris dan Bapak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pengembangan keberhasilan program sanitasi makanan dan minuman diperlukan peraturan dalam memproses makanan dan pencegahan terjadinya food borne disease. Selain itu

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) ABSTRAK 1 PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KADAR HISTAMIN PADA YELLOWFIN TUNA (Thunnus albacore) Replin Amrin Saidi 1, Abdul Hafidz Olii 2, Yuniarti Koniyo 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya 2.1 Komposisi Kimia Udang BAB II TINJAUAN PUSTAKA Udang merupakan salah satu produk perikanan yang istimewa, memiliki aroma spesifik dan mempunyai nilai gizi cukup tinggi. Bagian kepala beratnya lebih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Katering merupakan suatu industri jasa boga dalam melayani pemesanan makanan pada jumlah yang banyak. Pola hidup yang semakin berkembang dan serba cepat mengakibatkan

Lebih terperinci

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng

Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng Standar Nasional Indonesia Sarden dan makerel dalam kemasan kaleng ICS 67.120.30 Badan Standardisasi Nasional BSN 2016 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA

PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA PENGEMBANGAN PROSEDUR DAN LEMBAR KERJA BAHAYA BIOLOGIS BAHAYA KIMIA AMANKAN PANGAN dan BEBASKAN PRODUK dari BAHAN BERBAHAYA BAHAYA FISIK BEBAS BAHAYA Direktorat Surveilan dan Penyuluhan 1 PROSEDUR Direktorat

Lebih terperinci

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C

EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL. Oleh: TIMOR MAHENDRA N C EVALUASI RISIKO BAHAYA KEAMANAN PANGAN (HACCP) TUNA KALENG DENGAN METODE STATISTICAL PROCESS CONTROL Oleh: TIMOR MAHENDRA N C 34101055 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kabupaten Kendal terkenal dengan sentra pertanian, salah satunya adalah budidaya jambu biji. Jambu biji jenis getas merah (Psidium guajava Linn) merupakan jenis jambu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap. Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Ikan Tongkol (Euthynnus affinis) Asap Pengolahan ikan tongkol (Euthynnus affinis) asap diawali dengan melakukan preparasi ikan. Selanjutnya diberi perlakuan penggaraman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama

BAB I PENDAHULUAN. upaya untuk menyelamatkan harga jual buah jambu getas merah terutama 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Buah jambu getas merah merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan dan secara nyata kerusakannya terjadi pada saat penanganan, transportasi,

Lebih terperinci