PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 11 OKTOBER 2000

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 11 OKTOBER 2000"

Transkripsi

1 PENJELASAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 11 OKTOBER 2000 Masa Persidangan : II Tahun Sidang : Pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Komisi IX DPR RI beserta seluruh Anggota Komisi yang telah mengundang kami pada Rapat Kerja hari ini. Bagi kami, pertemuan dengan Anggota Dewan yang terhormat seperti ini mempunyai arti yang sangat penting untuk menyampaikan informasi mengenai pelaksanaan tugas yang telah diamanatkan oleh Dewan. Pertemuan ini juga penting sekaligus untuk mendengarkan masukan Anggota Dewan kepada kami dalam mengupayakan berbagai perbaikan dalam perumusan dan pelaksanaan tugas ke depan. Sebagaimana Anggota Dewan telah maklumi bersama, Rapat Kerja rutin terakhir yang kami hadiri adalah pada tanggal 19 Juni Dalam pertemuan tersebut kami telah menjelaskan mengenai perkembangan ekonomi dan moneter serta langkah-langkah kebijakan yang ditempuh hingga periode Juni Selanjutnya kami juga telah menghadiri beberapa pertemuan dan Rapat Kerja dengan Anggota Dewan untuk membahas hal-hal khusus dimana yang terakhir diadakan kemarin hari Selasa 10 Oktober 2000 untuk membahas mengenai permasalahan BLBI. Pada kesempatan Rapat Kerja hari ini, perkenankanlah kami menyampaikan perkembangan terakhir atas langkah-langkah kebijakan yang telah ditempuh selama triwulan III/2000. Secara umum, beberapa indikator penting ekonomi makro sampai dengan akhir triwulan III/2000 menunjukkan proses pemulihan ekonomi kita terus berlangsung. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III/2000 diperkirakan pada kisaran 4%-5%, setelah mencatat 4,13% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan kegiatan investasi dan ekspor yang terjadi pada dua triwulan sebelumnya diperkirakan akan terus berlanjut, sedangkan konsumsi diperkirakan masih mengalami 1

2 pertumbuhan positif meskipun semakin melambat. Secara sektoral, peningkatan kegiatan ekonomi terutama ditunjang oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, bangunan dan pengangkutan. Terus membaiknya perekonomian juga didukung oleh mulai berlangsungnya penyaluran kredit baru oleh perbankan meskipun masih dalam jumlah yang relatif kecil. Sementara itu, nilai tukar Rupiah dalam triwulan III/2000 cenderung melemah dan rata-rata mencapai Rp 8.737,- atau terdepresiasi sebesar 5,8% dibandingkan triwulan sebelumnya. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut adalah sebagai akibat dari perkembangan beberapa faktor seperti meningkatnya permintaan valuta asing khususnya untuk membiayai impor dan melunasi utang luar negeri yang jatuh tempo, terbatasnya penawaran valuta asing terutama karena relatif kecilnya devisa ekspor yang masuk ke dalam negeri dan masih negatifnya lalu lintas modal swasta bersih, serta kurang kondusifnya faktor-faktor sentimen pasar terhadap perkembangan sosial-politik dalam negeri. Di sisi lain, tekanan terhadap harga yang terjadi sejak triwulan I dan II/ 2000 masih berlanjut hingga triwulan III/2000. Laju inflasi IHK selama triwulan III-2000 meningkat sebesar 1,74%, lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 1,91%. Dengan perkembangan ini, secara kumulatif untuk periode Januari hingga September 2000 laju inflasi IHK telah mencapai 4,65%. Angka ini berarti mendekati batas bawah dari kisaran sasaran inflasi dengan memperhitungkan kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan yang ditetapkan pada awal tahun 2000 sebesar 5-7%. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya inflasi sampai dengan triwulan III/2000 adalah terkait dengan dampak dari kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Sebagaimana Anggota Dewan maklumi, Pemerintah mulai April telah melakukan penyesuaian harga pada beberapa sektor ekonomi seperti kenaikan gaji PNS, harga BBM, TDL, cukai rokok serta terakhir kenaikan tarif angkutan pada tanggal 1 September Pada awal tahun 2000, berdasarkan informasi yang tersedia waktu itu, kebijakan tersebut diperkirakan akan berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 2%. Akan tetapi, hingga September 2000 kebijakan tersebut telah memberikan pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap inflasi sebesar 1,73%. Dengan perhitungan tersebut, laju inflasi IHK kumulatif 9 bulan pertama tahun 2000 di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan telah mencapai 2,85%, atau telah mendekati batas bawah dari kisaran sasaran inflasi 3%-5% yang ditetapkan pada awal tahun

3 Inflasi pada triwulan laporan juga dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah. Kecenderungan depresiasi nilai tukar rupiah telah meningkatkan harga barang-barang yang dapat diperdagangkan secara internasional (traded goods). Inflasi kelompok traded goods pada triwulan III-2000 mencapai 0,86% atau lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 1,87%. Hal ini didorong oleh lebih rendahnya depresiasi rupiah pada triwulan ini dan bahkan cenderung menguat setelah melemah bulan Juli Untuk kelompok non-traded goods, inflasi pada triwulan III-2000 mencapai 3,40% atau lebih tinggi dari triwulan sebelumnya sebesar 1,84%. Untuk triwulan IV/2000 ini kami perkirakan tekanan terhadap inflasi masih akan cukup besar. Hal ini terutama berkaitan dengan dampak kenaikan harga BBM per 1 Oktober 2000, kenaikan tahap II gaji PNS, TNI dan POLRI dan pengaruh inflasi musiman di akhir tahun sehubungan dengan Hari Raya, Natal, Tahun Baru yang akan datang secara bersamaan. Di samping itu, pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar menjelang tutup tahun anggaran diperkirakan juga akan berdampak pada tekanan laju inflasi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, laju inflasi IHK laju inflasi hingga akhir tahun 2000 diprakirakan akan melampaui sasaran yang telah ditetapkan di awal tahun, yaitu sekitar 1% di atas sasaran. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perkenankan kami dalam kesempatan ini menjelaskan mengenai beberapa faktor yang menurut hemat kami berpotensi menyebabkan tidak tercapainya sasaran inflasi pada tahun ini. Pertama, dampak kenaikan harga dan pendapatan yang dikendalikan Pemerintah untuk keseluruhan tahun 2000 yang sebelumnya diproyeksikan sebesar 2% diprakirakan akan terlampaui. Hal ini terutama karena sulitnya untuk memperkirakan dengan tepat, kapan dan besarnya implementasi kenaikan berbagai harga dan pendapatan yang dikendalikan oleh Pemerintah, meskipun telah melakukan koordinasi dengan Pemerintah sebelum sasaran inflasi ditetapkan. Sebagai contoh, penundaan kenaikan harga BBM selain Premix dan Super dari April menjadi Oktober, misalnya, tidak diperhitungkan dalam perkiraan awal. Meski kenaikannya ditunda, harga-harga telah sempat naik pada awal April. Demikian pula persentasi kenaikan harga yang terjadi tidak seluruhnya sama dengan asumsi yang digunakan dalam perkiraan awal, antara lain kenaikan UMR Jabotabek yang diasumsikan naik satu kali sebesar 25% dalam realisasinya naik dua kali sebesar total 45%. Hal lain yang diprakirakan berpotensi mendorong laju inflasi dari sisi fiskal 3

4 adalah kemungkinan pengeluaran pemerintah dalam jumlah besar yang akan dilakukan menjelang berakhirnya tahun anggaran pada bulan Desember tahun Kedua, nilai tukar Rupiah rata-rata yang sebelumnya diperkirakan dapat mencapai Rp7.000 per USD, sampai bulan September 2000 sudah mencapai Rp8.125 per USD. Secara umum, melesetnya perkiraan asumsi ini disebabkan karena lebih sensitifnya perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sentimen negatif pasar terhadap faktor nonekonomi dibandingkan sensitivitas sentimen positif pasar terhadap membaiknya faktor ekonomi. Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut selanjutnya akan meningkatkan laju inflasi melalui kenaikan harga barang-barang yang diperdagangkan di pasar internasional. Ketiga, beberapa perkembangan di sisi penawaran sampai kuartal III/2000, baik berupa dampak positif atau negatif terhadap pencapaian sasaran inflasi, juga sangat sulit untuk diperkirakan dengan baik. Membanjirnya beras impor dibarengi musim panen kedua dalam bulan September 2000 telah memberikan dampak positif berupa deflasi, sedangkan kelangkaan BBM dan terganggunya saluran distribusi BBM pada bulan Juli 2000 memberikan dampak negatif berupa inflasi. Keempat, pertumbuhan PDB tahun 2000 diprakirakan akan melampui asumsi proyeksi pertumbuhan ekonomi yang digunakan dalam inflasi sebesar 3% - 4%. Meningkatnya kegiatan ekonomi yang lebih cepat dari yang diprakirakan sebelumnya menyebabkan kelebihan kapasitas perekonomian yang ada saat ini mulai berkurang serta jumlah base money riil dan M1 riil meningkat. Dapat diinformasikan, sampai bulan Agustus 2000 rata-rata M1 riil mengalami pertumbuhan sebesar 19,7%, jauh lebih tinggi dibandingkan negatif 8,8% pada Desember Meningkatnya kegiatan ekonomi tersebut juga sejalan dengan kenaikan laju inflasi dari sisi permintaan (core inflation) yang telah terjadi sejak akhir triwulan I/2000. Menghadapi besarnya tekanan terhadap tingginya inflasi dan melemahnya nilai tukar rupiah, kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight bias) diterapkan dengan mengupayakan pencapaian sasaran base money yang ditetapkan pada awal tahun Akan tetapi lebih tingginya kegiatan ekonomi dibandingkan dengan asumsi semula menyebabkan sasaran base money tersebut terlalu ketat untuk dipergunakan sebagai patokan dalam menyerap besarnya ekses likuiditas perbankan. Selain itu, penerapan kebijakan moneter yang terlalu ketat akan menyebabkan suku bunga SBI meningkat tinggi dan dikhawatirkan dapat mengancam pemulihan 4

5 ekonomi. Dengan kondisi demikian, meskipun diupayakan untuk dikendalikan, posisi base money dalam triwulan III-2000 masih di atas target indikatifnya. Sementara performance criteria berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi base money, yaitu Net Domestic Asset (NDA) dan Net International Reserve (NIR), masih dalam batas yang ditetapkan. Pertumbuhan base money baik nominal maupun riil terus menunjukan trend kenaikan seiring dengan peningkatan kegiatan ekonomi. Dalam triwulan III-2000, pertumbuhan rata-rata base money riil sebesar 14,9.% (yoy) lebih tinggi dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 12,3%. Perkembangan base money ini terutama disebabkan oleh tingginya permintaan uang kartal untuk memenuhi kegiatan ekonomi. Hal ini diperlihatkan meningkatnya currency to deposit ratio (C/D) sejak bulan April 2000 dari 0,65 menjadi 0,69 pada bulan Agustus 2000, walaupun sudah agak sedikit menurun dibandingkan bulan sebelumnya (Juli 2000). Tanda mulai menurunnya C/D tersebut sejalan dengan meningkatnya penggunaan uang giral untuk memenuhi kebutuhan kegiatan investasi. Penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat telah mendorong suku bunga bergerak naik. Hal ini ditandai mulai meningkatnya suku bunga rata-rata SBI 1 bulan dari 11,7% pada akhir bulan Juni menjadi 13,62% bulan September Kenaikan suku bunga SBI tersebut tidak segera diikuti dengan kenaikan suku bunga deposito perbankan karena besarnya ekses likuiditas perbankan dan relatif kecilnya spread suku bunga penjaminan, yaitu 100 basis point di atas JIBOR. Suku bunga rata-rata deposito 1 bulan mulai meningkat sejak bulan Juli dari 9,7% menjadi 10,5% pada bulan September 2000 setelah spread suku bunga penjaminan tesebut dinaikkan menjadi 200 basis point di atas JIBOR. Sementara itu, suku bunga riil (dihitung secara annualized) SBI 1 bulan masih positif sekitar 7%, sedangkan rata-rata suku bunga deposito 1 bulan sekitar 3,7%. Selanjutnya, perkenankanlah kami menjelaskan perkembangan dan langkah kebijakan di bidang perbankan. Secara umum, telah kami kemukakan bahwa telah dicapai perbaikan-perbaikan pada kinerja perbankan sebagaimana terlihat pada adanya kenaikan modal, menurunnya Non Performing Loans (NPLs), meningkatnya Net Interest Margin (NIM) pada semua kelompok bank, meningkatnya perolehan laba yang menunjukkan peningkatan serta kredit yang mulai menunjukkan peningkatan. Perbaikan yang dicapai ini merupakan buah yang berkaitan erat dengan 5

6 berlangsungnya program restrukturisasi perbankan yang telah kita lakukan sejak awal tahun Berkaitan dengan perkembangan program restrukturisasi perbankan, dapat kami sampaikan bahwa sampai dengan triwulan III/2000 Pemerintah telah menerbitkan obligasi dalam rangka program rekapitalisasi untuk 26 bank yang terdiri dari 4 bank BUMN, 7 Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) peserta program rekapitalisasi, 3 Bank Take Over (BTO) dan 12 Bank Pembangunan Daerah (BPD). Obligasi Pemerintah untuk BRI dan BTN diterbitkan dalam dua tahap, tahap pertama telah dilaksanakan pada bulan Juli 2000 dan tahap berikutnya akan dilaksanakan pada bulan Oktober 2000 bersama-sama dengan rencana rekapitalisasi Bank Bali. Apabila penerbitan obligasi tersebut telah dilakukan, maka program rekapitalisasi bank-bank telah selesai dilakukan sesuai dengan rencana. Sementara itu berkaitan dengan program penjaminan, sebagaimana Anggota Dewan maklumi, sejak November 1999 program penjaminan bank umum sepenuhnya menjadi tanggung jawab BPPN. Namun untuk memelihara kepercayaan internasional, untuk dan atas nama Pemerintah masih melaksanakan program penjaminan yang terkait dengan perdagangan internasional (trade finance arrears) dan program pertukaran utang luar negeri perbankan (interbank debt exchange offer). Sehubungan dengan pelaksanaan penjaminan tersebut, selama triwulan III/2000 telah dilakukan pembayaran pokok dan bunga atas interbank debt exchange offer sebesar USD236,69 juta, sehingga akumulasi pembayaran sampai dengan triwulan III/2000 sebesar USD473,94 juta. Sementara itu untuk trade finance tidak terjadi pembayaran hingga triwulan III/2000. Berkaitan dengan upaya menerapkan good corporate governance untuk meningkatkan pemantapan ketahanan sistem perbankan, sampai dengan triwulan III/2000 telah diselesaikan penilaian fit and proper bagi pemilik dan pengurus, wawancara terhadap calon pemilik dan pengurus (new entry), serta persetujuan penunjukkan direktur kepatuhan (compliance director) pada beberapa bank umum. Sementara itu dalam hal penyempurnaan ketentuan perbankan, selama triwulan III/2000 telah mengeluarkan Peraturan (PBI) yang mengatur tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank, Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum dan Laporan Bulanan Bank Umum. Disamping itu dikeluarkan pula Surat Edaran (SE) yang mengatur tentang Penetapan Obligasi Pemerintah Seri FR0003, 6

7 FR0004 dan FR0005 Untuk Diperdagangkan di Pasar Sekunder dan tentang Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang Dapat Diperdagangkan Bagi Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan. Dalam rangka lebih memantapkan fungsi pengawasan bank, pelaksanaan pengawasan bank tidak hanya difokuskan pada compliance supervision tetapi juga diarahkan pada risk based supervision dan forward looking. Dalam kaitan tersebut, Bank Indonesia telah menempatkan tenaga on-site permanent supervision (OSP) pada beberapa bank yang dinilai sebagai systemic bank. Hingga saat ini telah ditempatkan beberapa tenaga OSP pada 4 bank BUMN dan 5 bank BUSN. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan pemenuhan 25 Basel Core Principles tentang peningkatan pengawasan sebagaimana tercantum dalam Letter of Intent (LoI) September 2000, telah merumuskan Action Plan untuk 2 tahun ke depan (sampai dengan tahun 2002). Action plan tersebut antara lain meliputi : (i) persyaratan/ketentuan dalam licensing untuk pendirian bank, pemilik dan pengurus bank; (ii) koordinasi antar otoritas pengawas pada sektor keuangan; (iii) perluasan cakupan pemeriksaan bukan hanya pada segi operasional bank tetapi juga meliputi kebijakan, prosedur dan internal kontrol; dan (iv) pengawasan yang berdasarkan pada risk based dan consolidated supervision. Perkenankanlah kami dalam kesempatan ini menginformasikan perkembangan penyaluran kredit perbankan. Meskipun masih dalam jumlah yang relatif kecil beberapa bank telah mulai menyalurkan kredit-kredit baru ke sektor-sektor usaha. Meskipun masih ada pengalihan kredit ke BPPN berkaitan dengan program rekapitalisasi, khususnya untuk bank BUMN, penyaluran kredit baru tersebut menunjukkan bahwa proses pemulihan fungsi intermediasi bank mulai berlangsung. Kami menyadari bahwa belum tuntasnya pelaksanaan restrukturisasi perbankan dan lambatnya penyelesaian proses restrukturisasi perusahaan (corporate) selama ini mengakibatkan fungsi intermediasi perbankan belum secepat dan sebesar yang kita harapkan, meskipun kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sudah pulih. Untuk itu kami berkeyakinan bahwa penyelesaian kredit bermasalah merupakan agenda yang krusial untuk segera diselesaikan mengingat kredit bermasalah menjadi beban bagi perbankan dan penyelesaiannya dapat mempengaruhi keberhasilan program penyehatan perbankan secara keseluruhan. Restrukturisasi kredit pada dasarnya bertujuan untuk menormalisasi fungsi bisnis 7

8 debitur sehingga mampu kembali memenuhi kewajibannya kepada bank, serta meningkatkan kualitas portofolio kredit bank. Selanjutnya dapat kami sampaikan kepada anggota Dewan yang terhormat bahwa sampai dengan Agustus 2000 penyelesaian kredit bermasalah melalui program restrukturisasi kredit yang difasilitasi oleh Tim Satgas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia maupun yang dilakukan oleh bank sendiri menunjukkan peningkatan. Total kredit yang telah direstrukturisasi sampai dengan Agustus 2000 meningkat sebesar Rp3,4 triliun menjadi Rp54,1 triliun dengan jumlah debitur meningkat sebanyak debitur menjadi debitur dibandingkan posisi bulan Juni Hasil tersebut mencerminkan bahwa restrukturisasi kredit mampu memberikan kontribusi yang memadai bagi proses penurunan NPLs dan sekaligus meningkatkan kualitas kredit. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, kami terus berupaya untuk mempercepat penyelesaian restrukturisasi kredit antara lain dengan meningkatkan peran aktif di dalam restrukturisasi kredit melalui Tim Satgas Restrukturisasi Kredit yang menangani kredit bank-bank di luar BPPN serta meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait antara lain Prakarsa Jakarta, BPPN dan INDRA. Sebagaimana anggota Dewan ketahui, kebijakan di bidang sistem pembayaran adalah diarahkan kepada pengembangan sistem pembayaran yang cepat, efisien, handal dan aman untuk mengurangi risiko pembayaran yang dapat mengganggu kestabilan moneter serta mendukung pengembangan sistem pembayaran yang sehat. Di bidang pengedaran uang, selain menyediakan uang dalam jumlah cukup, juga senantiasa menjaga agar kualitas uang yang dipegang masyarakat selalu terjaga kualitasnya dengan cara melakukan kebijakan pemusnahan uang yang sudah tidak layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta mengganti uang yang dimusnahkan tersebut. Berkaitan dengan upaya menanggulangi peredaran uang palsu, salah satu upaya yang dilakukan oleh adalah dengan mencabut dan menarik jenis uang kertas yang banyak dipalsukan. Sejak triwulan III/2000, akan terus melanjutkan upaya penarikan dari peredaran uang kertas pecahan Rp tahun emisi 1992, Rp tahun emisi 1992/1995 dan Rp tahun emisi 1993/

9 Di bidang lalu lintas pembayaran, kebijakan yang diambil selama triwulan III/2000 adalah melanjutkan kebijakan yang telah diambil pada triwulan sebelumnya yaitu meneruskan langkah-langkah pengembangan sistem Real Time Gross Settlement (RTGS) yang pada saat ini telah mencapai tahap akhir untuk diimplementasikan pada akhir Desember Pada akhir pengantar ini, ijinkanlah kami menyampaikan pandangan kami mengenai prospek ekonomi dan arah kebijakan ke depan. Mencermati perkembangan beberapa indikator penting ekonomi sampai dengan triwulan III/2000, kami memandang bahwa prospek ekonomi Indonesia ke depan, khususnya dalam triwulan IV/2000 masih terus menunjukkan berlangsungnya proses pemulihan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV/2000 diperkirakan akan lebih tinggi dari triwulan sebelumnya. Sumber pertumbuhan berasal dari terus meningkatnya investasi, ekspor dan konsumsi, serta maraknya kegiatan ekonomi di akhir tahun sehubungan dengan Natal, Idul Fitri dan Tahun Baru. Investasi diperkirakan akan terus meningkat walaupun tidak setinggi kuartal sebelumnya. Konsumsi akan tetap tumbuh positif namun dengan kecepatan melambat. Dari sisi penawaran, sektor industri pengolahan, perdagangan dan pengangkutan merupakan penggerak utama perekonomian. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi tahun 2000 diperkirakan tumbuh pada kisaran 4%-5%. Namun demikian, perkembangan tersebut dibayangi oleh tingginya tekanan terhadap laju inflasi pada akhir tahun sebagai dampak dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, serta adanya faktor musiman yaitu hari raya keagamaan yang akan terjadi bersamaan di akhir tahun Kebijakan Pemerintah menaikkan harga dan pendapatan yaitu kenaikan harga BBM, rencana kenaikan tahap II gaji PNS/TNI/Polri, peningkatan penggunaan dan meningkatnya ekspektasi inflasi pada triwulan IV/2000, diperkirakan akan mendorong meningkatnya laju inflasi. Seperti telah kami sampaikn sebelumnya, kami memprakirakan laju inflasi tahun 2000 akan mencapai sekitar 1% di atas sasaran yang telah ditetapkan. Dengan memperhatikan besarnya tekanan inflasi di satu sisi dan peningkatan kegiatan perekonomian di sisi lain, maka kami memandang bahwa arah kebijakan moneter ke depan akan dilakukan secara berhati-hati. Kebijakan ini juga dilakukan mengingat masih rentannya proses pemulihan ekonomi dengan masih berlangsungnya proses restrukturisasi utang perusahaan dan perbankan. Dalam kondisi seperti sekarang ini, kondisi moneter perlu tetap diarahkan untuk meredam besarnya tekanan 9

10 inflasi dengan tetap menyediakan likuiditas yang cukup untuk mendukung proses pemulihan ekonomi. Dalam konteks ini, saat ini tengah melakukan kajian untuk merubah sasaran base money tahun 2000 agar lebih realistis dengan perkembangan kegiatan ekonomi saat ini. Di bidang perbankan, arah kebijakan perbankan ke depan akan ditempuh dengan mempertimbangkan (i) upaya-upaya untuk mendorong pemulihan fungsi intermediasi perbankan, (ii) tindak lanjut terhadap bank-bank yang masuk ke dalam pengawasan khusus (Special Surveillance), (iii) pelaksanaan Master Plan sesuai jadwal yang ditetapkan dalam rangka peningkatan efektifitas pengawasan dan pengaturan perbankan, serta (v) tindak lanjut action plan terhadap pemenuhan 25 Basel Core Principles terutama yang berkaitan dengan risk based supervision, kajian untuk persiapan pelaksanaan consolidated supervision serta cakupan pemeriksaan. Untuk selanjutnya ijinkanlah kami untuk memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan tertulis yang sebelumnya telah Anggota Dewan sampaikan kepada kami. Pertanyaan : 1. Sertifikat (SBI) adalah instrumen untuk menarik likuiditas dari masyarakan, berapa besar beban per bulannya, berapa uang yang masuk digunakan untuk operasional, dan dari mana sumber penerimaan untuk bunga SBI dimaksud? Jawaban : SBI adalah surat berharga dalam rupiah yang diterbitkan oleh sebagai pengakuan hutang jangka pendek (1 bulan dan 3 bulan) yang digunakan sebagai instrumen moneter. Pada saat penerbitan, SBI berfungsi sebagai alat kontraksi moneter untuk menyerap kelebihan likuiditas rupiah di pasar uang dan pada saat pelunasan/jatuh waktu SBI terjadi ekspansi moneter secara otomatis. Oleh karena itu, pelaksanaan lelang SBI perlu dilakukan secara berkesinambungan sehingga di satu sisi dapat menetralisir dampak ekspansi moneter dari SBI yang jatuh waktu dan di sisi lain dapat menyerap kelebihan likuiditas rupiah yang ada di pasar uang. 10

11 Berdasarkan Anggaran Tahunan (ATBI) tahun 2000, beban diskonto transaksi SBI untuk tahun 2000 dianggarkan sebesar Rp10,25 triliun atau Rp0,85 triliun per bulan. Sampai dengan bulan Agustus 2000, realisasi beban diskonto yang sudah dikeluarkan untuk transaksi SBI adalah sebesar Rp7,80 triliun atau Rp0,98 triliun per bulan. Meningkatnya realisasi dimaksud (dibandingkan anggarannya) terutama disebabkan oleh relatif tingginya suku bunga SBI tahun 2000 dibandingkan perkiraan semula dalam menyusun anggaran yaitu hanya 11,0%. Sebagai diketahui, pada awal tahun 2000, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan adalah 11,64% dan turun sampai menjadi 10,88% (terendah dalam tahun 2000) pada akhir April dan awal Mei Sejak itu, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan terus mengalami kenaikan dan sejak minggu ke dua Juli 2000 levelnya sudah di atas 13,00%. Terakhir, per tanggal 4 Oktober 2000, suku bunga rata-rata SBI 1 bulan adalah sebesar 13,63%. Sumber pendanaan dalam membayar diskonto SBI terutama berasal dari pengelolaan cadangan devisa yang dikuasai BI yang ditanamkan dalam bentuk giro, deposito, surat-surat berharga dan transaksi forex lainnya. Sebagaimana diketahui, berdasarkan ATBI BI tahun 2000, penerimaan dari pengelolaan devisa diperkirakan sebesar Rp14,77 triliun atau Rp1,23 triliun per bulan. Sampai dengan bulan Agustus 2000, realisasi dari pengelolaan devisa sudah mencapai Rp22,37 triliun atau Rp2,80 triliun per bulan. Pertanyaan : 2. Apa dan bagaimana tanggung jawab dalam menindaklanjuti bank-bank pasca rekapitalisasi? Jawaban: Sebagaimana diketahui, program rekapitalisasi bertujuan untuk memperbaiki struktur permodalan perbankan khususnya bank-bank yang mempunyai prospek untuk hidup dan terus berkembang (viable banks). Upaya untuk memperbaiki struktur permodalan tersebut dilakukan melalui setoran modal oleh pemilik dan penyertaan oleh pemerintah. Penyertaan oleh pemerintah telah dilakukan melalui penerbitan Obligasi yang sampai saat ini mencapai Rp. 412,16 triliun. Upaya perbaikan struktur permodalan bank ini diikuti pula dengan perbaikan kualitas aktiva melalui restruktrusasi kredit dan pengalihan kredit bermasalah kepada BPPN. Dengan 11

12 kualitas aktiva dan permodalan yang lebih baik diharapkan kinerja bank-bank akan meningkat dan pada gilirannya sistem perbankan akan sehat. Sebagai langkah lanjut dari penyehatan perbankan nasional, juga melakukan serangkaian upaya pemantapan ketahanan sistem perbankan melalui pengembangan infrastruktur perbankan, penerapan good corporate governance serta penyempurnaan ketentuan dan peningkatan pengawasan. Berkaitan dengan pengembangan infrastruktur, telah dikembangkan bank yang melakukan kegiatan dengan prinsip syariah dan Bank Perkreditan Rakyat. Penerapan good corporate governance dilakukan melalui pelaksanaan fit and proper test terhadap pengurus dan pemilik bank, wawancara terhadap calon pengurus dan pemilik, mewajibkan bank untuk menunjuk compliance director serta pendirian Unit Khusus Investigasi Perbankan di. Upaya penyempurnaan ketentuan dan pemantapan pengawasan yang dilakukan dengan mengacu kepada standar internasional. Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan ditempuh berbagai upaya meliputi : Monitoring terhadap realisasi rencana kerja (business plan) bank-bank, dimana pengawas secara dini meminta kepada pemilik dan pengurus bank untuk melakukan langkah-langkah yang diperlukan, misalnya menambah modal dan mempercepat penyelesaian kredit bermasalah. Kerja sama dengan Kantor Akuntan Publik dalam melakukan pemeriksaan bank. Penerapan On-site Supervisory Presence melalui penempatan pengawas pada bank-bank yang dianggap memiliki pangsa yang besar terhadap perbankan nasional. Penempatan dalam status pengawasan khusus (special surveillance) bagi bankbank yang tidak memenuhi ketentuan kehati-hatian perbankan. Pelaksanaan enforcement atas ketentuan exit policy bagi bank-bank yang tidak dapat dipertahankan lagi berada dalam sistem perbankan. Pertanyaan : 3. Bagaimana pelaksanaan Program Restrukturisasi atau Rescheduling Hutang Luar Negeri, baik hutang luar negeri Pemerintah maupun hutang luar negeri swasta? 12

13 Jawaban: Sebagaimana diketahui, upaya restrukturisasi hutang Pemerintah dilakukan melalui dua mekanisme yakni Paris Club dan London Club, masing-masing untuk restrukturisasi pinjaman bilateral dan pinjaman komersiil Pemerintah Indonesia. Upaya restrukturisasi kewajiban tersebut dilakukan Pemerintah dalam kerangka mengurangi tekanan defisit atas fiskal maupun tekanan terhadap Neraca Pembayaran Indonesia. Program ini secara implisit juga telah memperoleh persetujuan DPR sebagaimana tercermin pada persetujuan Sidang Dewan atas RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah. Program restrukturisasi tercermin pada pos pengeluaran pembayaran angsuran pokok pinjaman pada RAPBN dimaksud. Pelaksanaan program melalui masing-masing mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Paris Club I: Negosiasi dengan 17 negara anggota Paris Club intensif dilakukan sejak Agustus Pemerintah mengupayakan restrukturisasi atas pinjaman bilateral yang jatuh tempo selama FY dan Persyaratan pinjaman yang direstrukturisasi merujuk pada perjanjian asal. Pinjaman-pinjaman tersebut umumnya berjangka waktu antara 20 s.d 24 tahun untuk ODA dan 10 sampai 15 tahun untuk Non-ODA. Kesepakatan restrukturisasi dengan kreditur tertuang dalam MOU yang ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 23 September 1998, dengan pokok-pokok kesepakatan: (pertama) restrukturisasi atas kewajiban pembayaran pokok pinjaman bilateral jatuh tempo antara tgl.06/08/98 s.d 31/03/00 senilai USD4,2 milyar. (kedua) Pinjaman ODA direstrukturisasi untuk jangka waktu 20 tahun termasuk 5 tahun masa tenggang, dan pinjaman Non ODA direstrukturisasi untuk jangka waktu 11 tahun termasuk 3 tahun masa tenggang. (ketiga) Pemerintah Indonesia wajib melakukan comparable treatment atas kewajiban pembayaran pinjaman bilateral lainnya (diluar anggota PC) dan kewajiban atas pinjaman komersiil yang diterima oleh Pemerintah. 13

14 Sebagai implementasi kesepakatan MOU tersebut, Pemerintah mengajukan permintaan restrukturisasi secara bilateral kepada masing-masing kreditur yang bersangkutan. Total pinjaman yang direstrukturisasi adalah USD4,66 milyar. Jumlah ini termasuk kewajiban pinjaman sindikasi senilai USD210 juta yang dilakukan melalui mekanisme London Club. Sebagai implementasi MOU PC I, Pemerintah telah menandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban pembayaran angsuran pokok kepada 17 negara donor anggota PC, senilai USD4,38 milyar pada akhir Maret Dapat diinformasikan bahwa perbedaan jumlah ini dengan nilai yang terdapat dalam MOU semata disebabkan oleh perubahan nilai tukar. Disamping itu Pemerintah juga telah menandatangani perjanjian restrukturisasi kewajiban kepada 2 negara bukan anggota (Saudi Arabia dan Brunei) dan 5 bank komersiil, senilai USD70,85 juta. Upaya penyelesaian negosiasi masih terus dilakukan terhadap 3 negara nonanggota PC (Taiwan, Kuwait dan China) dengan total kewajiban senilai USD18 juta. Keterlambatan penyelesaian restrukturisasi ini tidaklah menghambat atau menggagalkan pelaksanaan program secara keseluruhan. Hal ini terutama dilandasi pertimbangan bahwa kesepakatan MOU Paris Club tersebut bersifat nonbinding bagi kreditur non-anggota PC. Walaupun demikian, Pemerintah tetap mengupayakan restrukturisasi kewajiban kepada negara non-anggota tersebut. 2. Paris Club II: Mempertimbangkan masih dirasakan beratnya tekanan defisit fiskal dan Neraca Pembayaran; Pemerintah melakukan upaya restrukturisasi tahap II. Restrukturisasi diajukan untuk kewajiban yang jatuh tempo dalam FY 2000 dan FY (periode pemulihan ekonomi), dan dengan persyaratan merujuk pada perjanjian asal. Negosiasi instensif dilakukan pada bulan Maret/April 2000, dan kesepakatan restrukturisasi dengan 17 negara anggota Paris Club dituangkan padam MOU tanggal 13 April Adapun pokok-pokok kesepakatan MOU tersebut adalah: (pertama) restrukturisasi atas kewajiban pembayaran pokok pinjaman bilateral jatuh tempo antara tgl.01/04/00 s.d 31/03/02 senilai USD5,8 milyar. (kedua) Pinjaman ODA direstrukturisasi untuk jangka 20 tahun termasuk 7 tahun masa tenggang dan pinjaman Non ODA direstrukturisasi untuk jangka waktu 15 tahun termasuk 3 tahun masa tenggang. 14

15 (ketiga) Pemerintah Indonesia wajib melakukan comparable treatment atas kewajiban pembayaran pinjaman bilateral lainnya (diluar anggota PC) dan kewajiban atas pinjaman komersiil yang diterima oleh Pemerintah. Dalam MOU juga disepakati batas penyelenggaraan negosiasi adalah akhir November Sebagai implementasi MOU PC II, Pemerintah telah mengajukan proposal restrukturisasi kepada kreditur dengan total kewajiban senilai USD5,86 milyar yang terdiri atas USD5,8 milyar kewajiban kepada 17 negara donor anggota PC dan sebesar USD425 juta adalah kewajiban kepada 5 negara bukan anggota dan pinjaman komersiil diluar pinjaman sindikasi. Sampai dengan posisi tanggal 10 Oktober 2000, Pemerintah baru menandatangani perjanjian restrukturisasi dengan Saudi Arabia senilai USD19,8 juta. Pemerintah telah menerima dan mengevaluai draft perjanjian yang diajukan oleh 15 negara anggota PC dengan total nilai USD2, 84 milyar. Perlu kami kemukakan bahwa ke-15 negara yang telah menyampaikan draft perjanjian restrukturisasi tersebut belum termasuk Jepang. Kewajiban kepada Jepang yang akan direstrukturisasi merujuk pada PC II adalah USD3 milyar. Pembahasan dengan Jepang masih intensif dilakukan baik melalui korespondensi maupun langsung dalam kerangka kunjungan Delegasi JBIC (institusi sebagai hasil merger antara JEXIM dan OECF) ke Indonesia. 3. London Club I: Sebagai implementasi kesepakatan comparable treatment yang tertuang dalam MOU Paris Club; sebagai debitur atas nama Pemerintah RI mengupayakan restrukturisasi kewajiban pinjaman sindikasi yang jatuh tempo selama periode 06/08/98 sampai dengan 31/03/00 senilai USD210 juta. Negosiasi dilakukan dengan Steering Committee yang terdiri atas Bank of Tokyo Mitsubishi selaku syndicate agent bank dan 5 bank sebagai perwakilan kreditur. Negosiasi mulai intensif dilakukan pada bulan Januari/Februari Bank Indonesia mengajukan proposal restrukturisasi dengan merujuk pada persyaratan restrukturisasi sebagaimana tertuang dalam MOU PC tanggal 23 September Kesepakatan restrukturisasi kewajiban pinjaman senilai USD210 juta yang jatuh tempo dalam periode 06/08/98 s.d 31/03/00 menjadi kewajiban berjangka waktu 10,5 tahun, dituangkan dalam Term-sheet MOU London Club, Februari Penandatanganan perjanjian restrukturisasi kewajiban tersebut dilaksanakan pada tanggal 28 Maret London Club II: Sebagai pelaksanaan atas kesepakatan comparable treatment yang dituntut kreditur untuk pelaksanaan program restrukturisasi PC II; mengupayakan restrukturisasi atas kewajiban 2 pinjaman sindikasi senilai USD340 15

16 juta yang jatuh tempo antara 01/04/00 s.d 31/03/02. Proposal restrukturisasi merujuk pada MOU Paris Club II untuk pinjaman Non-ODA. Pembahasan intensif dengan Steering Committee mulai dilaksanakan pada bulan Mei 2000 yang menghasilkan kesepakatan restrukturisasi untuk jangka waktu 12,5 tahun termasuk masa tenggang 3 tahun Penandatanganan perjanjian restrukturisasi pinjaman sindikasi ini dilaksanakan setelah memperoleh persetujuan dari seluruh kreditur. Penandatanganan naskah dilaksanakan pada tanggal 28 September 2000 lalu. Dengan keberhasilan ini, Standard & Poors salah satu lembaga rating internasional berkedudukan di London, telah menaikkan peringkat sovereign rating Indonesia dari SD/Selective Default menjadi B- pada tanggal 2 Oktober 2000 lalu. Disamping Paris Club sebagai upaya restrukturisasi hutang Pemerintah; dalam kerangka mengurangi tekanan atas neraca pembayaran nasional, Pemerintah mendukung upaya restrukturisasi hutang swasta. Upaya ini dituangkan dalam bentuk siaran pers/release bersama kesepakatan Frankfurt pada tanggal 4 Juni 1998 oleh Indonesia dengan perwakilan kreditur. Kesepakatan tersebut mencakup dua hal yakni Exchange Offer untuk restrukturisasi hutang sektor perbankan nasional dan INDRA untuk restrukturisasi hutang sektor korporasi Indonesia. Adapun implementasi masing-masing program dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Restrukturisasi hutang sektor perbankan: Dilakukan melalui pelaksanaan Program Exchange Offer. Program diselenggarakan disamping dalam kerangka mengurangi tekanan atas neraca pembayaran, juga memperhatikan kesulitan likuiditas valas yang dialami perbankan nasional. Program dilakukan dalam dua tahap sebagai berikut: a. Exchange Offer I: Program ditandai dengan penandatanganan Master Loan Agreement oleh atas nama perbankan nasional sebagai debitur dengan kreditur bank pada tanggal 18 Agustus Pokok-pokok kesepakatan adalah: (pertama) merestrukturisasi kewajiban angsuran pokok pinjaman perbankan nasional kepada perbankan asing yang jatuh tempo sampai dengan 31 maret (kedua) Kewajiban direstrukturisasi untuk jangka waktu 4 tahun dengan pembayaran angsuran pokok dilakukan secara tahunan terhitung sejak 25 Agustus

17 Sebagai implementasi program, senilai USD3 milyar kewajiban perbankan nasional kepada perbankan asing telah direstrukturisasi. Adapun posisi outstanding pinjaman yang direstrukturisasi per 10 Oktober 2000 adalah USD1,45 milyar. Senilai USD1,56 milyar telah diselesaikan sebagai kewajiban angsuran pokok yang jatuh pada tanggal 25 Agustus 1999 dan 25 Agustus 2000 lalu serta prepayment yang dilakukan 4 bank yakni BCA, Danamon, Lippo Bank dan BPD Jateng. b. Exchange Offer II: Program diajukan dengan memperhatikan kesulitan likuiditas yang masih dihadapi oleh perbankan nasional dan upaya terus menekan kesulitan dalam neraca pembayaran yang diperlukan untuk menunjang program pemulihan ekonomi. Negosiasi mulai intensif dilakukan pada bulan Februari/Maret 2000 dengan Steering Committee. Pokok-pokok kesepakatan tersebut adalah: (pertama) merestrukturisasi kewajiban angsuran pokok pinjaman perbankan nasional kepada perbankan asing yang jatuh tempo antara 01/04/99 sampai dengan 31/03/02. (kedua) Kewajiban direstrukturisasi untuk jangka waktu 4 tahun dengan pembayaran angsuran pokok pertama jatuh pada bulan Juni Kesepakatan kemudian dituangkan dalam bentuk penandatanganan Master Loan Agreement pada tanggal 25 Mei 1999 oleh sebagai debitur atas nama perbankan nasional dengan kreditur bank yang berpartisipasi dalam program. Program berhasil merestrukturisasi kewajiban senilai USD3,3 milyar menjadi kewajiban dengan jangka waktu 4 tahun. 2. Restrukturisasi hutang sektor swasta non-bank Berbeda dengan program Exchange Offer yang berhasil; implementasi program INDRA hanya dapat menarik kesepakatan restrukturisasi 1 debitur swasta yakni PT. Danareksa senilai USD96 juta. Pemerintah telah menutup masa pendaftaran program INDRA ini terhitung sejak tanggal 1Juni lalu. Dengan demikian harapan dan upaya restrukturisasi hutang swasta sepenuhnya kini terletak pada keberhasilan pelaksanaan program-program Prakarsa Jakarta. Berdasarkan informasi dari Prakarsa Jakarta, sampai saat ini senilai USD5,3 milyar pinjaman sektor swasta telah direstrukturisasi melalui program JITF. Menurut JITF, restrukturisasi tahun 2000 ditargetkan mencapai USD10 milyar. 17

18 Pertanyaan : 4. Berapa perkiraan cadangan devisa sampai akhir tahun 2000? Jawaban : Posisi cadangan devisa kotor (Gross Reserves) pada awal bulan Oktober adalah sebesar USD ,20 juta. Selama triwulan mendatang yang dimulai bulan Oktober, maka jumlah tersebut akan meningkat sebesar USD 1.363,80 juta sehingga pada akhir triwulan ke empat tahun 2000, jumlah cadangan devisa kotor akan menjadi sebesar USD ,00 juta. Adapun pertambahan jumlah cadangan devisa tersebut disebabkan terutama adanya perkiraan penerimaan hasil ekspor minyak dan gas, perkiraan penarikan pinjaman luar negeri. Sedangkan pertambahan jumlah cadangan devisa tersebut telah pula memperhitungkan pembayaran kewajiban luar negeri pemerintah. Perkiraan penerimaan hasil ekspor migas yang disebutkan diatas, dilakukan dengan menggunakan asumsi harga minyak di pasaran dunia yang masih membaik, yaitu meningkat dari harga rata-rata per tahun selama tahun tahun 1999 sebesar USD17,40 per barrel menjadi rata-rata per tahun selama tahun 2000 sebesar USD26,90 per barrel. Sedangkan pemenuhan kewajiban luar negeri pemerintah dalam penyusunan perkiraan cadangan devisa tersebut diatas, telah memperhitungkan penjadwalan hutang luar negeri dalam rangka Paris Club I dan II. Perkiraan pembayaran kewajiban luar negeri tersebut antara lain kepada lembaga-lembaga multilateral seperti IBRD, ADB dan IDB; serta pembayaran kewajiban luar negeri Indonesia secara bilateral. Sedangkan pembayaran kewajiban kepada IMF baru akan dilakukan mulai tahun 2001 mendatang, dan untuk pembayaran bunganya telah dimasukkan dalam perkiraan perhitungan cadangan devisa diatas. Sebagai informasi, penjadualan hutang pemerintah dalam rangka London Club II, tanggal 28 September 2000 telah berhasil menjadualkan kembali hutang pemerintah sebesar USD 340 juta untuk jangka waktu 12,5 tahun termasuk grace period 3 tahun. Sehingga pembayaran hutang dalam ranka London Club ini baru akan dilakukan mulai tahun 2003 mendatang. 18

19 Asumsi yang digunakan dalam perhitungan tersebut diatas sejalan dengan perkiraan yang digunakan dalam menyusun APBN tahun 2001.Dengan perkiraan cadangan devisa kotor (gross reserves) seperti diatas, dengan menggunakan nilai tukar tetap; maka cadangan devisa bersih atau Net International Reserve (NIR) Indonesia pada akhir tahun 2000 diperkirakan akan menjadi sebesar USD 18,1 milyar. Apabila dibandingkan dengan performance criteria dari IMF dalam Letter of Intent tanggal 31 Juli 2000, dimana performance criteria untuk NIR ditetapkan sebesar USD 15,7 milyar; maka angka ini masih memenuhi target minimum batas aman cadangan devisa yang disepakati bersama IMF. Perkiraan Cadangan Devisa Posisi 31 Desember 2000 (Current Rate) (dalam juta USD) Posisi awal Oktober 2000 (aktual) 28, Proyeksi Inflow (Oktober s.d. Desember 2000) - Penarikan Pinjaman Luar Negeri Penerimaan Migas 1, Inkaso WEB Penerimaan bunga/kupon Total Inflows 3, Proyeksi Outflow (Oktober s.d. Desember 2000) - Pembayaran pokok dan bunga pinjaman luar negeri (1,431.00) - Penjualan USD dalam rangka ONH (249.00) - Pengeluaran Lainnya (66.00) Total Outflows (1,746.00) Mutasi 1, Perkiraan Posisi Cadangan Devisa 31 Desember , Sumber: Data SDDS-IMF (diolah) Pertanyaan : 5. Upaya apa yang dilakukan agar Pemerintah secepatnya terbebas dari Program Penjaminan. 19

20 Jawaban: Sesuai dengan SK Menteri Keuangan No. 179/KMK.017/2000 tanggal 26 Mei 2000 tentang Syarat, Tata cara dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Pemerintah terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum, maka saat ini pelaksanaan Program Penjaminan terhadap bank umum sepenuhnya dilakukan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan adanya Keputusan Menteri Keuangan tersebut, maka tidak lagi terlibat langsung dalam Program Penjaminan. Mengingat besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan program tersebut, yakni hingga bulan September 2000 telah mencapai Rp53,8 trilyun, maka perlu dipertimbangkan upaya-upaya untuk mengurangi beban potensial yang akan ditanggung oleh Pemerintah. Dari sisi, berbagai langkah telah dan akan dilakukan untuk mengurangi beban Pemerintah tersebut antara lain melalui : a. Mengupayakan terciptanya perbankan nasional yang sehat, sebagai industri maupun individual bank, sehingga dapat menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank yang pada gilirannya akan dapat mengurangi beban biaya penjaminan; b. Melakukan kajian atas skim-skim penjaminan sebagai upaya mengurangi beban yang harus ditanggung oleh Pemerintah. Hasil kajian akan disampaikan kepada Pemerintah sebagai masukan untuk meninjau kembali cakupan program penjaminan yang saat ini tampak terlalu luas. c. Sementara menunggu pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sesuai Letter of Intent ditargetkan paling lambat tahun 2004, mempertimbangkan untuk memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah agar dapat melakukan upaya pengurangan secara bertahap cakupan penjaminan. d. Kajian mengenai LPS yang menyangkut berbagai aspek yang meliputi kelembagaan, pendanaan, hak dan kewenangan serta organisasi. Hasil kajian tersebut sebagai masukan kepada Pemerintah akan disampaikan melalui working group pembentukan LPS yang diketuai oleh Menteri Keuangan. 20

21 Pertanyaan : 6. Berapa proyeksi inflasi akhir Tahun Anggaran 2000 dan upaya apa yang dilakukan untuk menekan inflasi tersebut? Jawaban : Sebagaimana diketahui, laju inflasi IHK kumulatif bulan Januari hingga September 2000 telah mencapai 4,65%, atau semakin mendekati batas bawah dari kisaran sasaran laju inflasi secara keseluruhan tahun sebesar 5%-7%. Kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan (administered price and income policy) seperti kenaikan harga BBM, tarif angkutan, tarif dasar listrik, cukai rokok, gaji PNS dan UMR merupakan penyebab utama dari tingginya laju inflasi hingga September Dari keseluruhan laju inflasi IHK tersebut, sekitar 1,73% berasal dari dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Dengan perhitungan tersebut, laju inflasi IHK kumulatif 9 bulan pertama tahun 2000 di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan telah mencapai 2,85%, atau telah mendekati batas bawah dari kisaran inflasi 3%-5% yang menjadi sasaran. Tekanan inflasi ini diperkirakan masih akan berlangsung pada triwulan keempat tahun Kebijakan pemerintah di bidang tarif angkutan dan kenaikan harga BBM diperkirakan akan menimbulkan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap inflasi bulan Oktober dan November mendatang. Selain itu adanya faktor musiman yaitu hari raya keagamaan yang akan terjadi bersamaan (Lebaran, Natal dan Tahun Baru) di akhir tahun 2000 diperkirakan akan meningkatkan harga-harga pada bulan Desember mendatang. Tekanan-tekanan harga tersebut diperkirakan akan mendorong laju inflasi IHK pada triwulan IV sekitar 3%-4% (q-t-q). Melihat perkembangan tersebut di atas, maka laju inflasi selama tahun 2000 diperkirakan akan berada sekitar 1% di atas sasaran. Dalam perkiraan IHK tersebut telah pula memperhitungkan dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan terhadap IHK yang diperkirakan di atas proyeksi semula sebesar 2%. Meningkatnya tekanan terhadap inflasi dan kurs rupiah mengharuskan Bank Indonesia untuk menempuh kebijakan moneter yang cenderung ketat (tight-bias) dengan mengupayakan sasaran uang primer yang ditetapkan. Beberapa faktor dipertimbangkan dalam implementasi kebijakan moneter yang cenderung ketat 21

22 tersebut. Pertama, perlu disadari bahwa melemahnya kurs rupiah (dan dampaknya secara langsung terhadap inflasi) lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi. Ini terutama tercermin dari meningkatnya premi resiko, diukur dengan premi swap atau yield spread antara Yankee Bond Indonesia dengan T-bills, yang cenderung meningkat untuk semua tenor sejak April Kedua, meningkatnya tekanan terhadap inflasi banyak dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan (tarfi listrik, harga premix, tarif angkutan, gaji PNS dan UMR). Ketiga, ekses likuiditas pada perbankan selama ini didorong oleh belum pulihnya sektor riil khususnya karena proses restrukturisasi utang dan perusahaan yang masih berlangsung. Dalam kondisi demikian, portofolio aset perbankan lebih banyak pada SBI dan obligasi pemerintah. Keempat, pertumbuhan uang primer yang cukup tinggi lebih banyak didorong oleh peningkatan permintaan uang kartal oleh masyarakat baik untuk kebutuhan transaksi maupun untuk berjaga-jaga. Kegiatan ekonomi yang lebih cepat dari asumsi-asumsi semula menyebabkan sasaran uang primer yang ditetapkan akhir tahun 1999 menjadi terlalu ketat. Pada waktu itu pertumbuhan ekonomi, inflasi dan kurs rupiah untuk tahun 2000 diasumsikan masing-masing sebesar 2,50 persen, 5 persen, dan Rp7000 per US dollar. Dengan kondisi seperti di atas, tidaklah rasional apabila upaya stabilisasi makro melalui kebijakan moneter dilakukan secara berlebihan. Stabilisasi kurs rupiah dan pengendalian inflasi dengan pengetatan kebijakan moneter secara drastis akan menyebabkan suku bunga melambung tinggi dan mengancam proses pemulihan ekonomi. Dalam hubungan ini, pengetatan moneter tetap perlu dilakukan dengan kerangka pencapaian sasaran uang primer, dengan mempertimbangkan lebih tingginya pertumbuhan ekonomi dibandingkan dengan asumsi semula, sebagai patokan kerja. Strategi ini dibarengi dengan langkah-langkah yang secara langsung meminimalkan volatilitas kurs rupiah, khususnya yang berasal dari spekulasi, dengan penegakan ketentuan yang lebih tegas atas aturan-aturan prudensial di bidang devisa (antara lain posisi devisa neto dan pembatasan transaksi forward jual kepada nonresiden). Dengan kata lain, kebijakan moneter yang cenderung ketat tersebut perlu dipandang sebagai upaya temporer untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Setelah kepercayaan kembali normal dan premi resiko mulai menurun, ruang gerak untuk penurunan suku bunga diharapkan dapat lebih longgar untuk mendorong pemulihan ekonomi. 22

23 Pertanyaan : 7. Dalam rangka meningkatkan kegiatan sektor riil, perlu pengucuran kredit perbankan baik untuk restrukturisasi usaha maupuan untuk modal investasi usaha-usaha baru. Permasalahannya apakah bank-bank mempunyai dana untuk keperluan itu? Harap diberikan gambaran dana masyarakat yang ada di perbankan dan penyalurannya dalam penggunaan dana tersebut. Pertanyaan : 9. Mengapa terjadi peningkatan yang masih besar atas Penyimpanan Dana Ketiga (PDK) pada bank-bank BUMN? Apakah bank swasta sangat likuid karena telah berani mengucurkan kredit? Berapa proyeksi bunga SBI pada akhir Tahun Anggaran 2000? Jawaban : Mengingat pertanyaan nomor 7 dan 9 saling berkaitan, perkenankanlah kami menjawabnya sekaligus, Sejalan dengan semakin membaiknya kepercayaan masyarakat kepada perbankan dana pihak ketiga yang dihimpun bank umum terus menunjukkan peningkatan. Sampai dengan akhir Agustus 2000, dana pihak ketiga rupiah yang berhasil dihimpun bank umum dari masyarakat telah mencapai Rp 525,40 triliun, atau meningkat sebesar Rp 32,53 triliun bila dibandingkan dengan posisi pada akhir tahun Peningkatan DPK rupiah tersebut bersumber dari peningkatan giro Rp 22,36 triliun dan tabungan Rp 25,09 triliun. Sementara itu, deposito yang berhasil dikumpulkan bank umum mengalami penurunan sebesar Rp 14,92 triliun. Dilihat dari kelompok bank, peningkatan DPK rupiah perbankan terjadi pada semua kelompok kecuali bank asing. Peningkatan DPK rupiah terbesar dialami oleh kelompok bank persero yang naik sebesar Rp 22,72 triliun. Peningkatan yang tinggi dari DPK bank persero kemungkinan disebabkan masih tingginya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kelompok bank persero. Pesatnya penghimpunan dana tidak diikuti oleh penyaluran dalam bentuk kredit oleh perbankan. Total kredit yang telah disalurkan bank umum sampai dengan Agustus 2000 baru mencapai Rp 267,61 triliun. Jumlah tersebut masihlah sangat rendah jika dibandingkan dengan penghimpunan dana yang dilakukan. Kondisi ini 23

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 10 JUNI 2002 MENGENAI ANGGARAN TAHUNAN BANK INDONESIA

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 10 JUNI 2002 MENGENAI ANGGARAN TAHUNAN BANK INDONESIA Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Dewan Gubernur Tanggal 10 Juni 2002 PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 10 JUNI 2002 MENGENAI ANGGARAN TAHUNAN

Lebih terperinci

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER

INDONESIA PADA GUBERNUR BANK PANITIA ANGGARAN SEMESTER PANDANGAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA PANITIA ANGGARAN DPR RI MENGENAI LAPORAN SEMESTER I DAN PROGNOSIS SEMESTER II APBN TA 2006 2006 Anggota Dewan yang terhormat, 1. Pertama-tama perkenankanlah

Lebih terperinci

1. Tinjauan Umum

1. Tinjauan Umum 1. Tinjauan Umum Perekonomian Indonesia dalam triwulan III-2005 menunjukkan kinerja yang tidak sebaik perkiraan semula, dengan pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan lebih rendah sementara tekanan terhadap

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1999-2005 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1999-2 2005 2. Arah Kebijakan 1999-2005 3 3. Langkah-Langkah Strategis 1999-2005

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1997-1999

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1997-1999 SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1997-1999 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1997-2 1999 2. Arah Kebijakan 1997-1999 3 3. Langkah-Langkah Strategis 1997-1999

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran 1 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Tim Penulis Laporan Triwulanan, Bank Indonesia I.1

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2003 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2003, Bank Indonesia Sampai dengan triwulan III-2003, kondisi perekonomian Indonesia masih mengindikasikan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan III 2004 185 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN III 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan III 2004, Bank Indonesia

Lebih terperinci

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran,Triwulan III - 2005 135 ANALISA TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2005 Tim Penulis

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I-2003

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I-2003 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I-2003 Tim Penulis Laporan triwulan I-2003, Bank Indonesia Kondisi moneter selama triwulan I-2003 tetap stabil dan terkendali meskipun belum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perbankan berperan dalam mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja melalui penyediaan sejumlah dana pembangunan dan memajukan dunia usaha.

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 127 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan III - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 12/19/PBI/2010 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

... BANK INDONESIA I N D O N E S I A B A N K

... BANK INDONESIA I N D O N E S I A B A N K 1 B A N K I N D O N E S I A KINERJA TRIWULAN I-2004 : EVALUASI KEBIJAKAN MONETER, PERBANKAN, DAN SISTEM PEMBAYARAN SERTA ARAH KEBIJAKAN MENDATANG Penyampaian penjelasan ini merupakan salah satu wujud dari

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perbankan memegang peranan penting dalam menunjang kegiatan perekonomian. Begitu penting perannya sehingga ada anggapan bahwa bank merupakan "nyawa

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN II/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Dalam triwulan II/2001 proses pemulihan ekonomi masih diliputi oleh ketidakpastian.

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan I 2004 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN I 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan I 2004, Bank Indonesia Membaiknya

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan II 2004 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN II 2004 Tim Penulis Laporan Triwulanan II 2004, Bank Indonesia Selama

Lebih terperinci

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN I. Ekonomi Dunia Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Sejak tahun 2004, ekonomi dunia tumbuh tinggi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang dipicu dengan gejolak nilai tukar sejak Juli 1997 berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Selama semester II/1997 dan tahun 1998, semua indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi tahun 1997 di Indonesia telah mengakibatkan perekonomian mengalami krisis yang berkepanjangan. Krisis ekonomi tersebut membuat pemerintah Indonesia terbelit

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN IV 2003

PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN IV 2003 Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran Triwulan IV 2003 1 PERKEMBANGAN MONETER, PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN TRIWULAN IV 2003 Tim Penulis Laporan Triwulanan IV 2003, Bank Indonesia Sampai

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

Lebih terperinci

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia

IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia IV. KINERJA MONETER DAN SEKTOR RIIL DI INDONESIA 4.1. Kinerja Moneter dan Perekonomian Indonesia 4.1.1. Uang Primer dan Jumlah Uang Beredar Uang primer atau disebut juga high powered money menjadi sasaran

Lebih terperinci

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website : Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Biro Kebijakan Moneter Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Telepon : +62 61 3818189 +62 21 3818206 (sirkulasi)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website : Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Biro Kebijakan Moneter Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Telepon : +62 61 3818189 +62 21 3818206 (sirkulasi)

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perbankan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Indikator perbankan nasional

I. PENDAHULUAN. perbankan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah. Indikator perbankan nasional I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pertumbuhan industri perbankan di masa mendatang diramalkan masih akan membaik. Hal tersebut didukung oleh hasil positif program restrukturisasi perbankan yang telah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN A. Gambaran Umum 1. Kebijakan Perbankan Pasca Krisis 1998 Krisis keuangan yang terjadi di Asia mulai pertengahan tahun 1997 telah memicu krisis perbankan di beberapa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan

BAB 1 PENDAHULUAN. pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Surat Berharga Negara (SBN) dipandang oleh pemerintah sebagai instrumen pembiayaan alternatif selain pembiayaan melalui perjanjian pinjaman (loan agreement). Kondisi APBN

Lebih terperinci

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website : Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Biro Kebijakan Moneter Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Telepon : +62 61 3818189 +62 21 3818206 (sirkulasi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini, perekonomian Indonesia diliput banyak masalah. Permasalahan tersebut muncul dari faktor internal maupun faktor eksternal. Namun saat ini, permasalahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 dan kebijakan moneter yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. Resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 dan kebijakan moneter yang kurang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Resesi ekonomi dunia pada tahun 1982 dan kebijakan moneter yang kurang berperan diikuti dengan melemahnya permintaan terhadap komoditas migas dan nonmigas dalam

Lebih terperinci

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA LAPORAN PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN I/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Dalam tahun 2000 pemulihan ekonomi terus berlangsung. Namun memasuki tahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Investasi merupakan suatu daya tarik bagi para investor karena dengan

I. PENDAHULUAN. Investasi merupakan suatu daya tarik bagi para investor karena dengan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Investasi merupakan suatu daya tarik bagi para investor karena dengan berinvestasi seorang investor dihadapkan pada dua hal yaitu return (imbal hasil) dan risiko. Dalam

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 263 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2009 Tim Penulis

Lebih terperinci

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA

International Monetary Fund UNTUK SEGERA th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C USA Siaran Pers No. 16/104 International Monetary Fund UNTUK SEGERA 700 19 th Street, NW 15 Maret 2016 Washington, D. C. 20431 USA Dewan Eksekutif IMF Menyimpulkan Konsultasi Pasal IV 2015 dengan Indonesia

Lebih terperinci

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007

ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Ma kro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 ANALISIS Perkembangan Indikator Ekonomi Makro Semester I 2007 Dan Prognosisi Semester II 2007 Nomor. 02/ A/B.AN/VII/2007 Perkembangan Ekonomi Tahun 2007 Pada APBN 2007 Pemerintah telah menyampaikan indikator-indikator

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi

I. PENDAHULUAN. sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi dapat terwujud melalui dana perbankan atau potensi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kehidupan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari keberadaan serta peran penting sektor jasa keuangan pada umumnya dan pada perbankan khususnya. Pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk simpanan. Sedangkan lembaga keuangan non-bank lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lembaga keuangan digolongkan ke dalam dua golongan besar menurut Kasmir (2012), yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank. Lembaga keuangan bank atau

Lebih terperinci

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 26 JUNI 2001

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 26 JUNI 2001 PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA DENGAN KOMISI IX DPR RI TANGGAL 26 JUNI 2001 Masa Persidangan : IV Tahun Sidang : 2000-2001 Pertama-tama, perkenankan saya mengucapkan terima kasih

Lebih terperinci

TINJAUAN UMUM. Tim Penulis Analisis Triwulanan Bank Indonesia

TINJAUAN UMUM. Tim Penulis Analisis Triwulanan Bank Indonesia Tinjauan Umum 485 TINJAUAN UMUM Tim Penulis Analisis Triwulanan Bank Indonesia Selama triwulan I-2005, kinerja perekonomian Indonesia masih menunjukkan perkembangan yang membaik. Kestabilan makroekonomi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Perkembangan Inflasi di Indonesia 14 INFLASI 12 10 8 6 4 2 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Sumber: Hasil Olahan Data Oleh Penulis (2016) GAMBAR 4.1. Perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga

BAB I PENDAHULUAN. Pencerminan tingkat inflasi merupakan persentasi kecepatan naiknya harga-harga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat ditinjau dari variabelvariabel makroekonomi yang mampu melihat perekonomian dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Variabelvariabel

Lebih terperinci

NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA

NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2002 TENTANG SURAT UTANG NEGARA Menimbang: DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa guna mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang

BAB I PENDAHULUAN. tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Secara umum perekonomian Indonesia 2005 menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan diharapkan dapat meningkatkan perannya secara optimal sebagai lembaga intermediasi didalam momentum recovery setelah

Lebih terperinci

SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode

SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode SEJARAH BANK INDONESIA : PERBANKAN Periode 1999-2005 Cakupan : Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Perbankan Periode 2 1999-2005 2. Arah Kebijakan 1999-2005 4 3. Langkah-Langkah Strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan perekonomian suatu negara dan tingkat kesejahteraan penduduk secara umum diukur dari pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ekonomi suatu negara tidak lepas dari peran penting perbankan. Peranan penting perbankan dalam era pembangunan nasional adalah sebagai sumber permodalan

Lebih terperinci

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL

L A M P I R A N. Kantor Bank Indonesia Ambon 1 PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL PERTUMBUHAN TAHUNAN (Y.O.Y) PDRB SEKTORAL No. Sektor 2006 2007 2008. 1 Pertanian 3.90% 4.01% 3.77% 0.31% 2.43% 3.29% 2.57% 8.18% 5.37% 4.23% 2.69% -0.49% 2 Pertambangan dan Penggalian -3.24% 77.11% 8.98%

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014

LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014 LAPORAN EKONOMI MAKRO KUARTAL III-2014 Proses perbaikan ekonomi negara maju terhambat tingkat inflasi yang rendah. Kinerja ekonomi Indonesia melambat antara lain karena perlambatan ekspor dan kebijakan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 13/ 3 /PBI/2011 TENTANG PENETAPAN STATUS DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN BANK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH

PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN SISTEM PEMBAYARAN DI ACEH Perbankan Aceh PERKEMBANGAN PERBANKAN DI ACEH KAJIAN EKONOMI REGIONAL PROV. ACEH TRIWULAN 4-2012 45 Perkembangan Perbankan Aceh Kinerja perbankan (Bank

Lebih terperinci

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang

menyebabkan meningkatnya risiko gagal bayar (default risk). Hal ini berpotensi mengganggu kestabilan sistem keuangan dan ekonomi makro seperti yang TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/20/PBI/2014 TANGGAL 28 OKTOBER 2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan industri perbankan di masa mendatang diramalkan masih

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan industri perbankan di masa mendatang diramalkan masih I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Pertumbuhan industri perbankan di masa mendatang diramalkan masih akan membaik. Hal tersebut didukung oleh hasil positif program restrukturisasi perbankan yang telah

Lebih terperinci

PENGGUNAAN SPN 3 BULAN SEBAGAI PENGGANTI SBI 3 BULAN DALAM APBN (Perspektif Bank Indonesia)

PENGGUNAAN SPN 3 BULAN SEBAGAI PENGGANTI SBI 3 BULAN DALAM APBN (Perspektif Bank Indonesia) 1. SBI 3 bulan PENGGUNAAN SPN 3 BULAN SEBAGAI PENGGANTI SBI 3 BULAN DALAM APBN (Perspektif Bank Indonesia) SBI 3 bulan digunakan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu instrumen untuk melakukan operasi

Lebih terperinci

BABI PENDAHULU~ Jumlah uang beredar teramat penting karena peranannya sebagai alat

BABI PENDAHULU~ Jumlah uang beredar teramat penting karena peranannya sebagai alat BABI PENDAHULU~ 1.1 Latar Belakang Jumlah uang beredar teramat penting karena peranannya sebagai alat transaksi penggerak perekonomian. Besar kecilnya jumlah uang beredar akan mempengaruhi daya beli riil

Lebih terperinci

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl.

Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. September 2014-1 Alamat Redaksi: Grup Neraca Pembayaran dan Pengembangan Statistik Departemen Statistik Bank Indonesia Menara Sjafruddin Prawiranegara, Lantai 15 Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 Telepon

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/11/PBI/2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 15/15/PBI/2013 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING BAGI BANK UMUM KONVENSIONAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghimpun dana dari pihak yang berkelebihan dana dan menyalurkannya

I. PENDAHULUAN. menghimpun dana dari pihak yang berkelebihan dana dan menyalurkannya 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perbankan merupakan lembaga yang vital dalam mempengaruhi perkembangan perekonomian suatu negara. Melalui fungsi intermediasinya, perbankan mampu menghimpun dana dari

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/ 25 /PBI/2008 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/19/PBI/2008 TENTANG GIRO WAJIB MINIMUM BANK UMUM PADA BANK INDONESIA DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING

Lebih terperinci

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI

Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 BIRO ANALISA ANGGARAN DAN PELAKSANAAN APBN SETJEN DPR RI Analisis Asumsi Makro Ekonomi RAPBN 2008 Nomor. 01/ A/B.AN/VI/2007 Asumsi Dasar dan Kebijakan Fiskal 2008 Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2003, Pemerintah Pusat diwajibkan untuk menyampaikan

Lebih terperinci

2017, No Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (L

2017, No Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (L No.87, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum Konvensional. GWM. Rupiah. Valuta. Perubahan. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6047) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pasal 1 Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 (Merkusiwati, 2007:100) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perbankan memiliki peranan yang sangat strategis dalam menunjang berjalannya roda perekonomian dan pembangunan nasional mengingat fungsinya sebagai lembaga

Lebih terperinci

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV

ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 245 ANALISIS TRIWULANAN: Perkembangan Moneter, Perbankan dan Sistem Pembayaran, Triwulan IV - 2010 Tim Penulis

Lebih terperinci

*13423 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2002 (24/2002) TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

*13423 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2002 (24/2002) TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, Copyright (C) 2000 BPHN UU 24/2002, SURAT UTANG NEGARA *13423 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 24 TAHUN 2002 (24/2002) TENTANG SURAT UTANG NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN

Lebih terperinci

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21

TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 TANYA JAWAB PERATURAN BANK INDONESIA NO.16/21 21/PBI/2014 TENTANG PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN HATIAN DALAM PENGELOLAAN UTANG LUAR NEGERI KORPORASI NONBANK 1. Q: Apa latar belakang diterbitkannya PBI

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 3/25/PBI/2001 TENTANG PENETAPAN STATUS BANK DAN PENYERAHAN BANK KEPADA BADAN PENYEHATAN PERBANKAN NASIONAL GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka menciptakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Bank 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Bank Pengertian bank menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 adalah badan usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan

BAB I PENDAHULUAN. sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Kinerja ekonomi Indonesia yang mengesankan dalam 30 tahun terakhir sebelum krisis bukan tanpa hambatan. Indonesia mengalami beberapa kelemahan dan kerentanan

Lebih terperinci

No. Sektor No. Sektor No. Jenis Penggunaan

No. Sektor No. Sektor No. Jenis Penggunaan PDRB SEKTORAL Berdasarkan Harga Berlaku (Rp Miliar) No. Sektor 2006 2007 1 Pertanian 431.31 447.38 465.09 459.18 462.01 491.83 511.76 547.49 521.88 537.38 2 Pertambangan dan Penggalian 11.48 11.44 11.80

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran

BAB I PENDAHULUAN. mengelompokkan unsur-unsur pendapatan dan biaya, akan dapat diperoleh hasil pengukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Laba atau rugi sering dimanfaatkan sebagai ukuran untuk menilai prestasi perusahaan. Unsur-unsur yang menjadi bagian pembentuk laba adalah pendapatan dan biaya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa, bank memegang peranan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa, bank memegang peranan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan perekonomian suatu bangsa, bank memegang peranan yang cukup penting dalam lalu lintas keuangan. Perbankan sebagai lembaga keuangan yang memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan dalam mengatur kegiatan ekonomi secara makro, di samping kebijakan fiskal juga terdapat kebijakan moneter yang merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi

I. PENDAHULUAN. nasional sangatlah diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingkat kesejahteraan penduduk yang relatif rendah. Oleh karena itu kebutuhan akan pembangunan nasional sangatlah diperlukan

Lebih terperinci

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website :

BANK INDONESIA. Telepon : (sirkulasi) Fax. : Website : Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Tim Outlook Jangka Pendek dan Diseminasi Kebijakan Biro Kebijakan Moneter Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Telepon : +62 61 3818189 +62 21 3818206 (sirkulasi)

Lebih terperinci

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi

Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Ringkasan Eksekutif Kajian Ekonomi Regional Asesmen Pertumbuhan Ekonomi Penurunan momentum pertumbuhan ekonomi Kepulauan Riau di periode ini telah diperkirakan sebelumnya setelah mengalami tingkat pertumbuhan

Lebih terperinci

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 4 MARET 2002

PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 4 MARET 2002 PENJELASAN DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIA PADA RAPAT KERJA KOMISI IX DPR RI TANGGAL 4 MARET 2002 Masa Persidangan : III Tahun Sidang : 2001-2002 Pertama-tama, perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Aktivitas sektor perbankan dalam suatu negara memegang peranan penting dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Setiap orang dalam melakukan transaksi finansial yang berhubungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda sebagian kawasan Asia Tenggara pada

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang melanda sebagian kawasan Asia Tenggara pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Krisis ekonomi yang melanda sebagian kawasan Asia Tenggara pada sekitar tahun 1997 mengakibatkan sektor perbankan mengalami pemburukan kinerja dan mendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kemerosotannya. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang semakin melemah, inflasi

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kemerosotannya. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang semakin melemah, inflasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada awal tahun 1998 yakni pada awal masa orde baru perekonomian Indonesia mengalami kemerosotannya. Hal ini terlihat dari nilai tukar yang semakin melemah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses

BAB I PENDAHULUAN. rakyat (Yunan, 2009:2). Pertumbuhan ekonomi juga berhubungan dengan proses 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai salah satu negara berkembang berusaha dengan giat melaksanakan pembangunan secara berencana dan bertahap, tanpa mengabaikan usaha pemerataan dan

Lebih terperinci

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/8/PBI/2015 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA,

PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/8/PBI/2015 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 17/8/PBI/2015 TENTANG PENGATURAN DAN PENGAWASAN MONETER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam upaya mencapai dan memelihara

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN

BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN BAB II DESKRIPSI PERUSAHAAN 2.1 Gambaran Umum Bank Indonesia 2.1.1 Status dan Kedudukan Bank Indonesia Babak baru dalam sejarah Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang independen dalam melaksanakan tugas

Lebih terperinci

Juni 2017 RESEARCH TEAM

Juni 2017 RESEARCH TEAM RESEARCH TEAM RINGKASAN Ekonomi Indonesia kuartal pertama 2017 tumbuh 5,01% yoy. Angka ini lebih tinggi dibandingkan PDB pada kuartal keempat 2016 sebesar 4,94%(yoy) dan kuartal ketiga 2016 sebesar 4,92%

Lebih terperinci

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia

Andri Helmi M, SE., MM. Sistem Ekonomi Indonesia Andri Helmi M, SE., MM Sistem Ekonomi Indonesia Pemerintah bertugas menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial budaya kesejahteraan seluruh masyarakat. Siapa itu pemerintah? Bagaimana stabilitas di

Lebih terperinci

Diubah dengan PBI No. 3/14/PBI/2001 tanggal 20 September 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000

Diubah dengan PBI No. 3/14/PBI/2001 tanggal 20 September 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 Diubah dengan PBI No. 3/14/PBI/2001 tanggal 20 September 2001 PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR : 2/12/PBI/2000 TENTANG JAMINAN PINJAMAN LUAR NEGERI ANTAR BANK GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001

PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 REPUBLIK INDONESIA PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO SAMPAI DENGAN TRIWULAN III/2001 DAN PROYEKSI PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2001 Pada awal triwulan III/2001 perekonomian membaik seperti tercermin dari beberapa

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010

PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak. Juni 2010 PERKEMBANGAN TRIWULAN PEREKONOMIAN INDONESIA Keberlanjutan ditengah gejolak Juni 2010 viii Ringkasan Eksekutif: Keberlanjutan di tengah gejolak Indonesia terus memantapkan kinerja ekonominya yang kuat,

Lebih terperinci

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang

2017, No menetapkan Peraturan Bank Indonesia tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional; Mengingat : 1. Undang-Undang No.82, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PERBANKAN. BI. Bank Umum. Konvensional. Jangka Pendek. Likuiditas. Pinjaman. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6044) PERATURAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat

BAB I PENDAHULUAN. motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perdagangan internasional mempunyai peranan sangat penting sebagai motor penggerak perekonomian nasional. Perdagangan internasional dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI

BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI BAB 7 OUTLOOK EKONOMI BAB 7 : OUTLOOK EKONOMI Perekonomian Gorontalo pada triwulan II- diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan I-. Kondisi ini diperkirakan didorong oleh proyeksi kenaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, termasuk di dalam perdagangan internasional. Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. berbagai bidang, termasuk di dalam perdagangan internasional. Pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era perdagangan bebas saat ini telah meningkatkan interaksi antara Negara berbagai bidang, termasuk di dalam perdagangan internasional. Pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

2 Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko penurunan capacity to repay (default) dari ULN Korporasi Nonbank. Selain itu, sebagian

2 Keseluruhan kondisi tersebut menyebabkan meningkatnya risiko penurunan capacity to repay (default) dari ULN Korporasi Nonbank. Selain itu, sebagian TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI PERBANKAN. BI. Prinsip. Kehati-Hatian. Utang Luar Negeri. Korporasi. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 394) PENJELASAN ATAS PERATURAN

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG PAKET KEBIJAKAN EKONOMI MENJELANG DAN SESUDAH BERAKHIRNYA PROGRAM KERJASAMA DENGAN INTERNATIONAL MONETARY FUND PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci