Apakah kebijakan dapat dipidana?

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Apakah kebijakan dapat dipidana?"

Transkripsi

1 Apakah kebijakan dapat dipidana? Totok Soeprijanto Pendahuluan Beberapa waktu yang lalu banyak dibicarakan tentang kriminalisasi kebijakan. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahkan menegaskan bahwa kebijakan penyelamatan Bank Century pada November 2008 tidak bisa dipidanakan. Tapi jika dalam implementasi kebijakan itu ada hukum yang dilanggar, pelanggaran inilah yang bisa ditindak (Koran Tempo, 26 Januari 2010). Aspek kebijakan apabila ditinjau dari ilmu hukum dapat mempergunakan tinjauan Hukum Administrasi Negara (HAN). Secara teoritis dalam Hukum Administrasi Negara tindakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan (bestuurhandeling) dapat di pisahkan antara tindakan nyata (feitelijke handelingen) dan tindakan hukum (rechts handelingen). Tindakan dalam bidang hukum dapat dibagi menjadi tindakan dalam bidang hukum publik dan dalam bidang hukum privat. Tindakan dalam hukum publik berarti tindakan hukum yang dilakukan berdasarkan hukum publik. Sedangkan tindakan hukum privat artinya tindakan yang dilakukan berdasarkan hukum privat. Kewenangan dan asas legalitas Dalam negara hukum, salah satu asas yang penting adalah asas legalitas. Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan harus menjadi sumber wewenang bagi setiap tindakan pemerintah. Bagi pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan hukum publik adalah adanya kewenangan (bevoegdheids). Melalui kewenangan yang bersumber pada peraturan perundang-undangan tersebut pemerintah melakukan tindakan hukum. Pemberian wewenang tersebut harus dinyatakan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Hukum Administrasi Negara, yang dilekati dengan kewenangan atau penyandang hak dan kewajiban hukum publik adalah jabatan. Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat adalah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) dari subyek hukum. Subyek hukum dalam hal ini adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh, atau menyandang hak dan kewajiban serta dapat berwujud manusia dan badan hukum. Pengertian jabatan ini adalah fiksi dalam hukum. Oleh karena itu, jabatan dilaksanakan oleh pejabat, yaitu manusia yang menduduki jabatan itu agar berjalan secara nyata. Jabatan adalah

2 merupakan subyek hukum, yaitu pendukung hak dan kewajiban yang tak terpisahkan dari pejabat yang menjabat jabatan tersebut. Jabatan diberi wewenang agar dapat menjamin kesinambungan hak dan kewajiban. Tanggung gugat sehubungan dengan suatu perbuatan hukum publik adalah pada pejabat. Dengan demikian gugatan dalam sengketa tata usaha negara ditujukan kepada pejabat yang membuat keputusan. Terkait dengan pengertian jabatan, perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai subyek hukum. Subyek hukum yang bersengketa dalam perspektif Hukum Administrasi Negara adalah orang atau badan hukum dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Pejabat adalah yang bertindak untuk dan atas nama jabatan. Hal tersebut karena jabatan yaitu suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. Oleh karena jabatan merupakan fiksi atau abstraksi yang oleh hukum diangkat menjadi realita hukum, yang merupakan personifikasi yang diciptakan oleh hukum. Tindakan jabatan tersebut dilakukan oleh wakil, yaitu seseorang yang pada satu pihak sebagai manusia (natuurlijke persoon) yang tunduk pada hukum privat, pada pihak yang lain adalah untuk dan atas nama jabatan sebagai pejabat yang tunduk pada hukum publik. Pejabat ini juga disebut alat perlengkapan negara. Jadi apabila Direktur Jenderal (Dirjen) pada saat menandatangani keputusan adalah sebagai pejabat yang mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai manusia (natuurlijke persoon) dan dalam kualitasnya sebagai dirjen yang merupakan personifikasi dari alat perlengkapan negara. Seseorang sebagai pejabat adalah ketika ia menjalankan kewenangannya untuk dan atas nama jabatan. Dalam hal dirjen sebagai pejabat menetapkan kebijakan teknis sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka yang bersangkutan melaksanakan kebijakan aparatur negara (overheidbeleids) yang merupakan lingkup hukum administrasi negara. Apabila terjadi sengketa dalam wilayah Hukum Administrasi Negara (HAN) dengan merujuk pada UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004, maka semua aspek kewenangan, penyelesaian sengketa, proses pengajuan gugatan, pembuktian dan putusan pada prinsipnya diatur dengan peraturan perundang-undangan tersebut. W.F.Prins mengatakan bahwa pekerjaan pemerintahan sebagian besar di luar ditujukan kepada usaha memenuhi kebutuhan nyata yang untuk sebagian bergerak diluar bidang hukum yang disebut sebagai perbuatan materiel (feitelijke handeling) (W.F. Prins, tt). Kuntjoro Purbopranoto menyebut feitelijke handeling dengan tindak pemerintahan yang berdasarkan fakta (Philipus M Hadjon et al, 1994). Namun demikian setiap tindakan pemerintah agar

3 memiliki legitimasi harus mendasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-udang. Artinya pejabat administrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan wewenang kekuasaannya terikat pada peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Wewenang ini adalah kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu. Untuk memberi penilaian kewenangan seorang pejabat dalam membuat suatu kebijakan harus dilihat sumber kewenangan pejabat yang membuat kebijakan. Kewenangan dapat berasal dari atribusi, yaitu terjadinya pemberian wewenang yang baru oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang pemerintahan yang baru. Kewenangan dapat juga bersumber pada suatu delegasi atau mandat. Legislator yang kompeten untuk memberi atribusi wewenang dibedakan antara yang berkedudukan sebagai original legislator dan delegated legislator (Ridwan HR, 2007). Bagaimana apabila keputusan dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang (onvoegdheid)? Dalam hal dibuat oleh pejabat yang tidak berwenang maka disebut sebagai keputusan yang cacat mengenai kewenangan (bevoegdheidsgebreken) yang meliputi : Onbevoegdheid ratione materiae, apabila suatu keputusan tidak ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan atau dikeluarkan oleh pejabat yang tidak berwenang; Onbevoegdheid ratione loci, keputusan yang diambil oleh pejabat yang berada diluar wilayahnya secara geografis; Onbevoegdheid ratione temporis, apabila keputusan dibuat oleh pejabat yang belum berwenang atau tidak berwenang lagi untuk mengeluarkan keputusan. Kasus Beberapa kasus kebijakan yang dapat dilihat aspek legitimasinya Pertama, dalam hal Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal yang berdampak sistemik melalui Keputusan KSSK Nomor 04/KSSK.03/2008 dan meminta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk melakukan penanganan sesuai dengan UU LPS. Apakah keputusan ini dilakukan oleh pejabat yang berwenang? Menurut Komisi XI DPR RI, pasal 18 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) No.4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) yang dijadikan

4 dasar pengambilan keputusan tidak sah. Sebab, pada 18 Desember 2008 Komisi XI DPR RI telah meminta pemerintah mengajukan RUU tentang JPSK. Permintaan ini oleh DPR kemudian dianggap sebagai penolakan. Perppu No 4 Tahun 2008 ditetapkan oleh Presiden pada tanggal 15 Oktober 2008, namun perlu dicermati hakekat perppu sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945 menyatakan, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Dalam penjelasan UUD 1945 naskah asli pasal 22 dikatakan sebagai noodverordeningsrecht atau hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa Perppu akan berubah menjadi undang-undang apabila DPR menyetujui pengajuan yang dilakukan Presiden. Apabila DPR menolak maka perppu harus dicabut. Mekanisme pencabutannya melalui pengajuan RUU pencabutan yang diajukan presiden. Mekanisme ini diatur dalam UU No. 10 Tahun Pasal 36 ayat 1 UU No 10 Tahun 2004 menyatakan pembahasan rancangan undangundang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang menjadi undangundang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan undangundang. Selanjutnya dalam ayat 2 diatur bahwa DPR hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Dalam ayat 4 dikatakan dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak DPR, maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang tersebut yang dapat pula segala akibat dari penolakan tersebut. Tanggal penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK) menjadi perdebatan antara pemerintah dan DPR. Beberapa fraksi di DPR beranggapan bahwa penolakan Perppu JPSK terjadi pada 18 Desember Sementara pemerintah menganggap penolakan terjadi pada 30 September Hasil rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008, ditindaklanjuti dengan surat Ketua DPR kepada Presiden tanggal 24 Desember Sesuai dengan pendapat yang berkembang dalam sidang DPR waktu itu, surat ketua DPR antara lain meminta kepada pemerintah agar segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) sebelum tanggal 19 Januari Pilihan untuk meminta

5 Presiden mengajukan RUU JPSK adalah pilihan di luar kerangka aturan dalam UU No. 10 tahun Mengapa? Karena sebagaimana disebutkan dalam pasal 36 ayat 2 UU No 10 Tahun 2004, DPR hanya menerima atau menolak. Barangkali karena suasana pada saat pengambilan keputusan masih belum bulat, maka DPR memakai bahasa meminta kepada pemerintah agar segera mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK) sebelum tanggal 19 Januari 2009 bukan menerima atau menolak Perppu. DPR mengembalikan surat Presiden mengenai RUU Pencabutan Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK. DPR berpendapat ada kekeliruan surat Presiden yang menyatakan Perppu berakhir pada tanggal 30 September Tanggal 30 September 2009 dijadikan dasar karena laporan Komisi XI DPR mengenai Pembahasan Laporan Kemajuan Pemeriksaan Investigasi Kasus Bank Century dalam rapat paripurna DPR yang menegaskan hasil rapat paripurna DPR tanggal 18 Desember 2008 bahwa Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK tidak mendapat persetujuan. Kewenangan KSSK bersumber pada atribusi yang tersebut pada Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK. yang antara lain mengatur tujuan JPSK, fungsi dan tugas KSSK. Jaring Pengaman Sistem Keuangan bertujuan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pencegahan dan penanganan krisis. Ruang lingkup Jaring Pengaman Sistem Keuangan meliputi pencegahan dan penanganan Krisis. Sedangkan Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dibentuk untuk mencapai tujuan Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang keanggotaannya terdiri dari Menteri Keuangan sebagai Ketua merangkap Anggota dan Gubernur Bank Indonesia sebagai Anggota. Adapun tugas dan fungsi KSSK adalah mengevaluasi skala dan dimensi permasalahan likuiditas dan/atau solvabilitas bank/lkbb yang ditengarai berdampak sistemik; menetapkan permasalahan likuiditas dan/atau masalah solvabilitas bank/lkbb berdampak sistemik atau tidak berdampak sistemik; dan menetapkan langkah-langkah penanganan masalah bank/lkbb yang dipandang perlu dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Fungsi KSSK adalah menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis (Pasal 7). Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugasnya, KSSK dibantu oleh sekretariat. KSSK menyampaikan laporan mengenai pencegahan dan penanganan krisis kepada Presiden. Dari dasar hukum diatas, tidak ada cacat kewenangan dalam pengambilan keputusan oleh KSSK, baik cacat dari unsur onbevoegdheid ratione materiae karena diputuskan oleh pejabat yang berwenang yaitu Menteri Keuangan sebagai Ketua KSSK sesuai dengan fungsi

6 dan tugasnya dalam Perppu No 4 Tahun 2008, unsur onbevoegdheid ratione loci, karena keputusan yang diambil oleh pejabat yang berada di dalam wilayah kerjanya; dan unsur onbevoegdheid ratione temporis, karena keputusan dibuat oleh pejabat yang masih berwenang untuk mengeluarkan keputusan dengan landasan pada tanggal 21 November 2008 adalah masih berlakunya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang JPSK. pouvoir)? Apakah keputusan ini mengandung penyalahgunaan wewenang (detournement de Pertanyaan ini diperlukan jawabannya untuk mengetahui apakah terdapat penyimpangan penggunaan wewenang. Disamping itu juga dalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang di dalamnya terkandung asas tidak mencampuradukkan kewenangan. Rumusan penyalahgunaan wewenang ini dengan meminjam aturan UU No 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan dalam pasal 53 ayat 2 b bahwa Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut Meskipun pasal ini sudah dicabut dengan UU No 9 Tahun2004 dan diganti dengan asas-asas pemerintahan yang baik, tetap bahwa Keputusan KSSK No 04/KSSK.03/2008 yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal dan meminta LPS untuk menangani berdasarkan UU LPS, tidak menyimpang dari maksud dan tujuan serta fungsi KSSK yaitu menetapkan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis. Kedua, Putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Akbar Tanjung yaitu Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 572K/PID/2003, dikatakan bahwa manakala suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan seperti halnya yang didakwakan terhadap diri terdakwa I (Akbar Tanjung), maka menurut hemat Mahkamah Agung hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum aspek Hukum Administrasi Negara, dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan yang harus dibedakan dan dipisahkan dari prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu atau pribadi sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. Berikut pertimbangan MA dalam kasus Akbar Tanjung :...Pemohon Kasasi/Terdakwa I Ir. Akbar Tandjung tidak pernah menyimpang atau melampaui, apalagi menyalahgunakan kewenangan selaku Menteri Sekretaris Negara dalam perkara ini, kesemuanya hanya melaksanakan kebijaksanaan (beleid) Presiden. Presiden merupakan pengambil kebijaksanaan (beleid), penentu kebijaksanan, bukan Pemohon Kasasi/Terdakwa I Ir. Akbar Tandjung. Descretionary power (lazim disebut Freies Ermessen) yang di lakukan Menteri Sekretaris Negara adalah dalam lingkup pelaksanaan kebijaksanaan (beleid) Presiden, bukan dalam kualitas penentu kebijaksanaan. Selanjutnya pertimbangan MA,

7 Dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang diambil alih menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, disebutkan bahwa terpenuhinya unsur menyalahgunakan kewenangan ini adalah didasarkan pada pendapat ahli Prof.Dr. Philipus M. Hadjon, SH, yang pada pokoknya menyatakan bahwa dalam melaksanakan pemerintahan, harus selalu memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur); bahwa dalam melaksanakan kebijakan, selalu ada ruang kebebasan untuk melaksanakannya, tetapi kebebasan itu tetap dibatasi oleh dua hal, yaitu jangan ada penyalahgunaan wewenang, dan tidak sewenang-wenang. Dalam lingkup Freies Ermessen, salah satu pengertiannya adalah yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir) ;... Pertimbangan MA yang lain :...Berdasarkan Keputusan Presiden, Nomor 104 Tahun 1998, Tanggal 23 Juli 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Negara, ditentukan antara lain sebagai berikut:pasal 1: Sekretariat Negara adalah Lembaga Pemerintah yang bertugas memberi dukungan staf dan pelayanan administrasi sehari-hari kepada Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan negara dan kepada Wakil Presiden; Pasal 2: ayat (1) dan (2): Sekretariat Negara yang berkedudukan langsung dibawah dan bertanggung jawab kepada Presiden, apabila Sekretaris Negara diberi kedudukan Menteri Negara, maka sebutannya adalah Menteri Sekretaris Negara Tatkala membahas kebijakan Negara (staatsbeleid), penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) yang merupakan bahasan Hukum Administrasi Negara, kemudian dimanfaatkan oleh Hukum Pidana, misalnya tertuang dalam unsur menyalahgunakan wewenang (Pasal 1 ayat 1 b UU No 3 Tahun 1971 jo Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999), unsur melawan hukum (Pasal 1 ayat 1 huruf a UU No 3 Tahun 1971 jo Pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999), unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 ayat 1 UU 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001). Permasalahan berikutnya apakah peradilan pidana mempunyai kompetensi untuk mengadili kebijakan Negara (staatsbeleids)? Dalam Hukum Pidana sejak 1930 dikenal asas tiada pidana tanpa kesalahan (keine strafe ohne schuld ) hanya orang yang bersalah atau perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada pembuat yang dapat dipidana. Adapun kesalahan mengandung unsur kesengajaan; kelalaian (culpa) dan dapat dipertanggungjawabkan. Menurut Hazewinkel Suringa dalam Andi Hamzah (1994), syarat pengenaan pidana adalah adanya kesalahan dan melawan hukum. Melawan hukum (wederrechtelijk) dalam hal ini bertentangan dengan hukum, pengertiannya sama dengan pasal 1365 BW. Pada tahun 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan Perbuatan Melawan Hukum dalam arti luas pada perkara Lindenbaum v. Cohen dengan mengatakan Perbuatan Melawan Hukum harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan hak subyektif orang lain; kaedah kesusilaan; kepatutan dalam masyarakat

8 Melawan hukum dibedakan melawan hukum formel dan materiel. Melawan hukum secara formel adalah bertentangan dengan UU. Apabila suatu perbuatan telah sesuai dengan rumusan delik, dikatakan telah melawan hukum secara formel. Melawan hukum secara materiel, apabila perbuatan bertentangan dengan hukum tidak tertulis, kepatutan. Perbuatan Melawan Hukum dapat dilakukan baik oleh individu maupun penguasa. Namun kebijaksanaan yang diambil penguasa untuk kepentingan umum tidak dapat digugat. Bahwa soal perbuatan melanggar hukum oleh penguasa di samping harus diukur dengan undangundang, peraturan-peraturan formal yang berlaku, juga harus tetap diukur dengan batas kepatutan dalam masyarakat. Sejauhmana batas-batas kepatutan dalam masyarakat itu, haruslah ditinjau kasus demi kasus. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 menyatakan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150) sepanjang frasa yang berbunyi, Yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau normanorma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kesimpulan Dari hal-hal diatas, apabila terdapat kesalahan sebagaimana asas tiada pidana tanpa kesalahan (keine strafe ohne schuld) hanya orang yang bersalah atau perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada pembuat yang dapat dipidana dan adanya unsur melawan hukum yang dirumuskan secara jelas, sebagai inti delik (bestand delen) serta unsur-unsur tindak pidana, maka peradilan pidana mempunyai kompetensi. Namun apabila suatu dakwaan telah dikaitkan dengan masalah kewenangan ataupun jabatan dan kedudukan pejabat dalam kapasitasnya melaksanakan kewenangan dalam jabatan, maka hal tersebut tidak terlepas dari pertimbangan-pertimbangan hukum aspek Hukum Administrasi Negara (HAN), dimana pada dasarnya berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan yang harus dibedakan dan dipisahkan

9 dari prinsip pertanggungjawaban perorangan atau individu atau pribadi sebagaimana yang berlaku sebagai prinsip yang berlaku dalam hukum pidana. Daftar Pustaka: Hamzah, Andi, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta. Hamzah, Andi, 2005, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Philipus M. Hadjon, et al.1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press,Yogyakarta. WF Prins, tt, Hukum Tata Usaha Negara, terjemahan Tavip,Jakarta Peraturan Perundang-undangan: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun Undang- Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa pembentukan peraturan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2005 TENT ANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK SIPIL DAN POLITIK) DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a b c d e bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN KEDUA Perkara Nomor 79/PUU-XII/2014 Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Pembentuk Undang-Undang I. PEMOHON Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam hal ini diwakili oleh Irman Gurman,

Lebih terperinci

HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI

HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI HASIL EKSAMINASI PUTUSAN PRAPERADILAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN NOMOR 04/PID.PRAP/2015/PN/JKT.SEL MAJELIS EKSAMINASI Prof. Dr. Elwi Danil, SH., MH. (Guru Besar Hukum Pidana Unand) Dr. Yuslim, S.H.,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersamasama

BAB I PENDAHULUAN. haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersamasama 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersamasama maupun badan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa setiap orang

Lebih terperinci

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting

b. bahwa Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Badan Usaha Milik Negara merupakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi khususnya

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.207, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Hak Guna Air. Hak Guna Pakai. Hak Guna Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5578) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG TATA CARA PEMBERHENTIAN DENGAN HORMAT, PEMBERHENTIAN TIDAK DENGAN HORMAT, DAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA, SERTA HAK JABATAN FUNGSIONAL JAKSA

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara mengakui

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA

UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA Oleh: Rudy Satriyo Mukantardjo (staf pengajar hukum pidana FHUI) Materi disampaikan dalam acara pelatihan hakim dalam perkara korupsi Senin,

Lebih terperinci

RANCANGAN DRAFT PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, 28 MEI 2015

RANCANGAN DRAFT PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, 28 MEI 2015 RANCANGAN DRAFT PERUBAHAN ANGGARAN DASAR IKATAN NOTARIS INDONESIA KONGRES LUAR BIASA IKATAN NOTARIS INDONESIA BANTEN, 28 MEI 2015 1. Beberapa ketentuan dalam MENIMBANG diubah dan disesuaikan dengan adanya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1986 TENTANG PERADILAN UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, enimbang: a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara hukum

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Tim Penyusun: Dhoho A. Sastro M. Yasin Ricky Gunawan Rosmi Julitasari Tandiono Bawor JAKARTA 2010 Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Lebih terperinci

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia, PERADILAN TATA USAHA NEGARA Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 Tanggal 29 Desember 1986 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia sebagai

Lebih terperinci