BAB II BATASAN INVENSI YANG DAPAT DI MOHONKAN PATENNYA DI INDONESIA. menurut Dr. Soelistyo, S.H. LLM. adalah suatu wujud nyata dari suatu ciptaan,

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II BATASAN INVENSI YANG DAPAT DI MOHONKAN PATENNYA DI INDONESIA. menurut Dr. Soelistyo, S.H. LLM. adalah suatu wujud nyata dari suatu ciptaan,"

Transkripsi

1 BAB II BATASAN INVENSI YANG DAPAT DI MOHONKAN PATENNYA DI INDONESIA A. Pengertian Invensi Invensi menurut pengertian katanya merupakan suatu penciptaan yang menurut Dr. Soelistyo, S.H. LLM. adalah suatu wujud nyata dari suatu ciptaan, yang mengandung makna dapat dibaca, didengar, atau dilihat sesuai dengan bentuk ciptaannya. 29 Menurut UU Paten Pasal 1 angka 2 invensi adalah ide dari inventor yang dituangkan kedalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan terhadap suatu produk ataupun proses. 30 Invensi merupakan ide yang lahir dari proses intelektualitas inventor yang membuahkan hasil dalam bentuk benda materil yang dapat diterapkan dalam proses industri. 31 Istilah invensi digunakan untuk penemuan dan istilah inventor digunakan untuk penemu. Istilah penemuan diubah menjadi invensi, dengan alasan istilah invensi berasal dari invention yang secara khusus digunakan dalam kaitannya dengan paten. Dengan ungkapan lain, istilah invensi jauh lebih tepat bila dibandingkan penemuan, karena penemuan memiliki banyak sekali arti dalam katanya, dapat saja diartikan sebagai mendapatkan, menghasilkan sesuatu yang bhilang, jika dilihat dalam bahasa lain contohnya bahasa Inggris juga dikenal pengertian penemuan dalam kata to discover, to find, 29 Dr. Henry Soelistyo, S.h. LL.M, Hak Cipta Tanpa Hak Moral, Jakarta: Rajawali Pers, 2011, hal Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 31 Pasal 2 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 30

2 dan to get serta dibandingkan dengan kata invensi atau Invention, kata to get, to find & to discover ini sangatlah berbeda maknanya dengan kata to invent, kata to get, to discover dan to find berarti menemukan sesuatu, sesuatu dapat berarti banyak baik penemuan, dan hal yang hilang, namun pada kata to invent yang berasal dari kata invention yang bermakna sebagai kegiatan pemecahan masalah dibidang teknologi yang dapat berupa proses, atau hasil produksi atau penyempurnaan dan pengembangan proses atau hasil produksi. 32 Ada beberapa pendapat sarjana mengenai pengertian invensi, yaitu pertama, Soekardo, yang mengatakan bahwa pendapatan (invensi) adalah suatu hasil baru yang secara praktek dapat digunakan buat perindustrian. 33 Bidang perindustrian diartikan seluas-luasnya, termasuk pula hasil perkembangan teknologi di bidang pertanian, misalnya mesin-mesin potong, bajak dan sebagainya. Kedua, Woerjati, beberapa istilah yang digunakan mengenai istilah uitvinding, invention yang dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai penemuan. 34 Suatu invensi harus mengandung unsur langkah inventif, baik itu temuan baru maupun pengembangan dari temuan yang telah ada sebelumnya. Hal ini yang memaksa inventor untuk terus mengembangkan dan menemukan, serta menuntut infentor untuk berfikir kreatif dalam menemukan suatu invensi, sehingga suatu invensi memiliki mutu atau kualitas yang bagus yang bernilai tinggi. 32 Drs. Mormin S.Pakpahan, et all, edt., Kamus Hukum Ekonomi ELIPS, Jakarta, Proyek ELIPS, 2000, hal Soekardono, Pidato Presiden Republik Indonesia. 34 Woerjati, Hak Paten, Jakarta, Rineka Cipta, 1999, hal

3 Adapun unsur lain yang harus dipenuhi dalam paten yaitu, unsur teknologi dan industry, dikarenakan invensi yang dapat dipatenkan harus dapat diterapkan dalam bidang teknologi dan dapat diterapkan dalam industry. Invensi adalah suatu ciptaan atau perancangan baru yang belum ada sebelumnya yang memperkaya khazanah serta dapat dipergunakan untuk menyempurnakan atau memperbarui ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada 35. Dari ketentuan Pasal 6 UU Paten, diketahui bahwa paten sederhana diperuntukkan bagi invensi yang berbentuk produk atau alat yang sederhana dan memiliki nilai praktis dari pada invensi sebelumnya. B. Jenis dan Pengertian Paten Istilah Paten yang dipakai saat ini dalam peraturan hukum di indonesia adalah untuk menggantikan hak octrooi yang berasal dari bahasa Belanda. Istilah Paten diserap dari bahasa Inggris yaitu Patent di Prancis dan Belgia dengan pengertian yang sama Paten dikenal dengan istilah brevet de inventoir 36 Dalam bahasa latin Paten (Patent) atau yang terbuka adalah lawan kata dari Laten (Latent) atau yang terselubung, arti kata terbuka dalam paten adalah berkaitan dengan invensi yang dimintakan paten, Semua rahasia yang berkaitan dengan invensi harus diurakan dalam sebuah dkumen yang disebut spesifikasi paten yang dilampirkan bersamaan dengan permohonan paten Pasal 1 Angka 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 36 Drs. Djumhanna,Muhamad, R.Djubaedillah, S.H., Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori, Dan prakteknya di Indonesia, Bandung : P.T.Citra Aditya Bakti 2003, Hal Prof. Tim Lindsey, et all, edt., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni, 2006, Hal

4 Menurut Sumantoro dengan meningkatnya pembangunan, kebutuhan teknologi makin terasa. Paten merupakan pengakuan atas penemuan yang sangat erat dengan perkembangan teknologi. Meningkatnya hubungan ekonomi melampaui batas-batas Negara membawa aliran modal asing yang membawa pula, meningkatnya aliran teknologi. Teknologi mempunyai nilai, karenanya untuk mendapatkannya diperlukan biaya. 38 Menurut Pengertian Pasal 1 Ayat 1 UU Paten, Paten ialah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang untuk slama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. 39 Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada inventor atas hasil invensinya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya, Dengan kata lain paten memiliki 2 unsur yaitu: 1. Hak Khusus yang diberikan Negara kepada penemu ( yaiu pemegang paten). 2. Untuk melaksanakan: a. (melaksanakan) sendiri penemuan tersebut: dalam literature kegiatan ini, diistilahkan sebagai paten proses yaitu berupa hak penemu menggunakan proses produksi (production procces) 38 Sumantoro, Hukum Ekonomi, Jakarta: UI Press 1986, Hal Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 33

5 b. Atau memberikan persetujuan kepada orang lain untuk melaksanakan; dalam literature kegiatan ini diistilahkan sebagai paten produk yaitu berupa hak penemu misalnya hak menjual, mengimpor, menyewakan, dan sebagainya hasil produksi (product) yang memberi paten. 40 Terdapat kesamaan antara hak eksklusif dan hak milik dimana menurut Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaandengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan Undang-Undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak untuk menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain;kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan undangundang dan dengan pembayaran ganti rugi. 41 Menurut Kartini Muljadi dengan dikuasainya suatu benda berdasarkan hak milik, maka seorang pemegang hak milik diberikan kewenangan untuk menguasainya secara tentram dan untuk mempertahankannya terhadap siapapun yang bermaksud untuk mengganggu ketentramannya dalam menguasai, memanfaatkan, serta mempergunakan hak milik tersebut. 42 Hak esklusif adalah hak yang dipergunakan oleh pemegang paten tersebut untuk melaksanakan serta melarang pihak lain untuk mempergunakan patennya tanpa adanya persetujuan dari pemegang paten. Adapun hak tersebut mengatur mengenai: 1. Pembuatan paten. 40 Suyud Margono, Aspek Hukum Komersialisasi Aset Intelektual, Bandung: Nuansa Aulia, Pasal 570 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 42 Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Kedudukan Berkuasa dan Hak Milik dalam sudut pandang KUHPerdata, Jakarta: Kencana 2004, Hal

6 Pemegang paten berhak atas pembuatan paten, dengan demikian pihak lain dilarang untuk membuat suatu objek yang telah dipatenkan tanpa ada persetujuan oleh pemegang patennya. 2. Penggunaan paten. Pihak lain tidak diperbolehkan menggunakan paten miilik orang lain, tanpa ada persetujuan dari pemilik paten, sebaliknya pemilik paten juga memiliki hak untuk membirikan izin ataupun melarang orang lain untuk mempergunakan patennya. 3. Penjualan paten Penjualan paten adalah bukan menjual hakdaripada paten tersebut, tapi menjual suatu objek yang telah dipatenkan orang lain tanpa persetujuan pemegang patennya. 4. Pengimporan paten. Pengimporan paten adalah khususnya mengenai paten proses, yaitu menggunakan prosses yang di patenkan orang lain ke dalam wilayah pihak yang mempergunakan paten tersebut 5. Penyewaan paten Pihak pemegang paten berhak untuk melarang dan melaksanakan kegiatan penyewaan objek yang dipatenkannya, sebaliknya pihak lain haruslah memintakan izin untuk melaksanakan penyewaan objek yang telah dipatenkan. Dikarenakan pada paten umumnya terdapat suatu hal yang dirahasiakan dan dapat dikatakan bagian dari rahasia dagang menurut Ahmad M 35

7 Ramli Rahasia dagang didefenisikan sebgai informasi termasuk rumus, pola-pola, kompilasi, program, metoda, teknik, ataupun proses yang menghasilkan nilai ekonomis secara mandiri, nyata dan potensial Penyerahan paten. 7. Penyediaan paten untuk di serahkan produk yang diberi paten. 44 Terdapat dua macam paten yang terdapat dalam UU Paten yaitu: 1. Paten biasa. Paten biasa adalah Paten yang diberikan Negara kepada investor atas invensinya dibidang teknologi. Dalam paten biasa objek patennya bukan hanya produk saja, tetapi juga proses. Produk adalah suatu bentuk yang dihasilkan dari suatu proses, sedangkan proses adalah suatu tahapan dalam menghasilkan suatu produk. 2. Paten sederhana Paten sederhana adalah paten yang diberikan oleh Negara terhadap suatu invensi berupa produk atau alat yang baru dan mempunyai kegunaan praktis disebabkan karena: 1) Bentuk 2) Konfigurasi 3) Konstruksi, Ataupun komponennya dapat memperoleh perlindungan hukum dalam bentuk sederhana Dr. Ahmad Ramli, Perlindungan Rahasia Dagang dalam UU No. 30/2000 dan Perbandingannya dengan Beberapa Negara, Bandung: Mandar Maju, Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 45 Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tentang Paten. 36

8 Adapun penggolongan paten lainnya yang semata-mata untuk memudahkan pengaturannya, adapun jenis-jenis paten adalah: 1. Paten yang berdiri sendiri, tidak bergantung pada paten lain. 2. Paten yang terkait dengan paten lainnya ( dependent patent). Keterkaitan ini bisa terjadi bila ada hubungan lisensi biasa maupun lisensi wajib dengan paten yang lainnya dan paten tersebut dalam bisang yang berlainan. Sedangkan bila kedua paten tersebut dalam bidang yang sama, penyelesaiannya diusahakan dengan saling memberikan lisensi atau lisensi timbale balik (cross lisence) 3. Paten tambahan atau paten perbaikan. Patenini merupakan suatu tambahan atau suatu perbaikan dari paten sebelumnya, atau tambahan dari penemuan yang asli. 4. Paten impor atau paten konfirnmasi atau paten revalidasi paten ini bersifat khusus karena dikenal di luar negeri. 46 Indonesia hanya mengenal 2 jenis paten berdasarkan ketentuan perundang-undangannya yaitu: 1. Jenis paten biasa 2. Jenis paten sederhana Muhamad Djumhana dan, R.Djubaedillah, Hak Milik Intellektual(Sejarah, Teori, Prakteknya di Indonesia), Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2003, hal Ibid, hal

9 Dalam segi permohonannya, terdapat perbedaan dalam segi perolehan paten biasa dan paten sederhana, adapun perbedaan perolehan tersebut antara lain: 1. Permohonan pemeriksaan subtantif atas paten sederhana dapat dilakukan bersamaan pengajuan permohonan atau paling lama enam bulan terhitung sejak tanggal penerimaan. 2. Dalam memeriksa pemeriksaan subtantif Ditjen HKI hanya memeriksa kebaharuan saja, yaitu dengan melihat tanggal penerimaan invensi yang dipatenkan dengan teknologi yang sebelumnya telah dipatenkan. Sesuai dengan Pasal 3 UU Paten. 48 C. Invensi yang Dapat Dimohonkan Patennya di Indonesia Invensi yang dapat diberikan paten (hak eksklusif) adalah: 1. Invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. 2. Invensi yang pada saat tanggal penerimaan tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. Ada pendapat sarjana mengenai invensi yang dapat diberikan paten, yaitu menurut sarjana Woerjati. bahwa paten dapat diberikan terhadap: 1. Penemuan yang baru (penemuan dalam arti pendapatan) 2. Pendapatan itu harus merupakan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi 48 Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 38

10 3. Penemuan itu harus dapat dilaksanakan di bidang industri. 49 Pengaturan mengenai invensi dalam permohonan paten dapat dilihat di UU Paten yang terdapat pada Pasal 2 ayat 1 dan 2 yaitu paten diberikan untuk invensi yang baru dan mengandung langkah inventif serta dapat diterapkan dalam industri. Suatu invensi mengandung langkah inventif apabila invensi tersebut bagi seseorang yang mempunyai keahlian tertentu dibidang teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya. Permohonan adalah permohonan paten yang duajukan terhadap Ditjend. 50 Undang-Undang Paten dengan jelas menyebutkan paten diberikan untuk penemuan baru mengandung langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri Pasal 2 ayat (1). Suatu penemuan mengandung langkah inventif, jika penemuan tersebut bagi seorang yang mempunyai keakhlian bisa mengenai teknik merupakan hal yang tidak dapat diduga sebelumnya Pasal 2 ayat (2) 51. Adapun salah satu teknik yang dapat dilakukan dalam menentukan kebaharuan dari suatu temuan adalah dengan cara silogisme yaitu dengan menggunakan silogisme kategorial menariknya kedalam bentuk suatu premis dengan menggunakan rumusan secara negatif, rumusan secara negatif yang dimaksudkan oleh penulis adalah apabila kedua premis bersifat negatif maka temuan tersebut merupakan mengandung unsur kebaharuan, dikarenakan tidak 49 Woerjati, Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta Rineka Cipta, 2000, hal Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten. 51 Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 39

11 ada mata rantai yang menghubungkan kedua premisnya. 52 yang dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Suatu penemuan dianggap baru, jika pada saat pengajuan permintaan paten tersebut tidak sama atau tidak merupakan bagian dari penemuan terdahulu; 2. Penemuan terdahulu adalah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah penemuan yang pada saat atau sebelum : a. Tanggal pengajuan permintaan paten, atau b. Tanggal penerimaan permintaan paten dengan hak prioritas, apabila permintaan paten diajukan dengan hak prioritas, telah diumumkan Indonesia atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan tersebut atau telah diumumkan di Indonesia dengan menguraikan lisan atau melalui peragaan penggunaannya atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan penemuan tersebut. 53 Penerapannya dalam bidang industri merupakan syarat daripada invensi yang dapat dimohonkan patennya di Indonesia. Suatu invensi dapat diterapkan dalam industri jika invensi tersebut merupakan invensi yang berhubungan dengan bidang industri. Dalam hal setiap invensi yang berupa produk ataupun alat yang baru yang mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya dapat diperoleh perlindungan hukum berbentuk paten sederhana. 52 Putri Sardy Hartati, pengertian dan Macam-Macam Silogisme, diakses Penjelasan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 40

12 Syarat mendapatkan paten yakni : 1. Penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal/tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. 2. Penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Jadi bila sekedar menggabungkan dua benda tidak dapat dipatenkan. 54 Adapun invensi yang didaftarkan patennya di Indonesia adalah merupakan invensi yang baru dan belum pernah ditemukan sebelumnya dan belum terduga sebelumnya, dengan kata lain haruslah mengandung unsur kebaharuan. Kebaharuan berdasarkan makna katanya berasal dari kata Baru yang berarti sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya dan kemudian diciptakan dan tidak terduga, tidak diketahui oleh siapapun sebelumnya. Oleh karenanya syarat yang mutlak dalam pendaftaran Paten adalah mengandung unsur kebaharuan, tidak diperbolehkan adanya kesamaan antar Invensi satu sama lainnya, dikarenakan Paten merupakan hak eksklisif yang diberikan kepada pemegangnya untuk melaksanakan Patennya dan memberikan larangan serta Lisensi kepada orang lain dalam penggunaan patennya, oleh karenanya tidaklah diperbolehkan apabila ada dua buah paten yang sama karena sangat bertentangan dengan apa itu pengertian Paten. 54 Hak Kekayaan Intelektual Bidang Paten, blogspot. com/diakses tanggal 30 Juni

13 Paten dalam segi syarat dalam perolehannya tentu haruslah mengandung unsur kebaharuan sesuai dengan yang di diatur pada Pasal 3 dan 4 UU Paten yaitu bukan hanya mengenai aspek kebaharuannya, yang dapat di uji dalam penyesuaian dokumen pembanding yang lama dengan Invensi yang didaftarkan, dan bukan menggunakan dokumen Paten di Indonesia saja sebagai pembandingnya, namun menggunakan dokumen dari luar Indonesia, disamping itu juga mengenai pengaturan tanggal dalam permohonan, yang diatur pada Pasal 3, 4, 5, 6, dan 7 UU Paten. 55 Adapun pengaturan mengenai kebaharuan paten berdasalkan tanggal penerimaannya adalah:. 1. Apabila tanggal penerimaannya tidak sama dengan teknologi yang diungkapkan sebelumnya. 2. Pengaturan tersebut berlaku terhadap teknologi yang diumumkan di Indonesia ataupun diluar Indonesia dalam suatu Tulisan, uraian lisan ataupun melalui peragaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan seorang ahli untuk melaksanakan invensi tersebut sebelum: 1. Tanggal penerimaan, atau 2. Tanggal prioritas. 3. Teknologi yang diungkap sebelumnya sebagaimana dimaksud mencakup dokumen permohonan yang diajukan di Indonesia, serta dipublikasikan pada atau setelah tanggal penerimaan yang 55 Pasal 3, 4, 5, 6 dan, 7 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2001 Tentang Paten. 42

14 pemeriksaan substansinya sedang dilakukan, tetapi tenggal penerimaan tersebut lebih awal dari pada tanggal penerimaan atau tanggal prioritas permohonan, yang secara rinci diatur dalam Pasal 3 UU Paten. 56 UU Paten juga mengatur ketentuan dalam menentukan apakah suatu invensi dapat dikatakan baru atau tidak dengan sistem pengumuman. adapun pengaturan mengenai pengumuman tersebut diatur dengan ketentuan: 1. Penguman dianggap batal apabila 6 (enam) bulan sebelum tanggal penerimaan apaabila: a. Telah ada yang mempertunjukkan paten dalam suatu pameran internasional di Indonesia ataupun di luar negeri yang resmi atau diakui sebagai resmi atau dalam suatu pameran nasional di Indonesia yang resmi atau diakui sebagai resmi. b. Digunakan di Indonesia oleh inventornya dalam rangka percobaan dengan tujuan penelitian dan pengembangan. 2. Apabila 12 (dua belas) bulan sebelum tanggal penerimaan, ternyata ada pihak lain yang mengumumkan dengan cara melanggar kewajiban untuk menjaga kerahasiaan invensi tersebut, pengumuman tersebut dianggap tidak pernah dilakukan, yang secara jelas diatur dalam Pasal 4 UU Paten Pasal 3 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 57 Syafrudin. s, Kompilasi Undang-Undang Bidang Hak Kekayaan Intelektuan, Medan, Pustaka bangsa press, hal

15 Pengumuman dilakukan segera setelah 18 bulan sejak tanggal penerimaan atau segera setelah 18 bulan sejak tanggal prioritas apabila permohonan di ajukan adapun pengumuman itu dilakukan dengan menempatkan pengumuman tersebut dalam berita Resmi paten yang diterbitkan secara berkala oleh Ditjend, serta ditempatkan di sarana khusus yang dapat dilihat oleh masyarakat. 58 Apabila invensi tersebut dapat diterapkan dalam indutri dan dapat dilaksanakan dalam industri, serta terhadap invensi yang berupa produk, atau alat baru yang mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya, yang diatur secara jelas pada Pasal 5, dan Pasal 6 UU Paten. Terdapat pula pengaturan mengenai invensi yang tidak dapat dimohonkan patennya yaitu 1. Terhadap proses ataupun produk yang pengumuman dan penggunaannya bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. 2. Terhadap metode perawatan, pemeriksaan, pengobatan, ataupun pembedahan yang diterapkan pada manusia ataupun hewan. 3. Terhadap teori dan metode di bidang ilmu pengetahuan dan matematuika, atau semua makluk hidup terkecuali jasad renik. 58 Pasal 42 ayat 2 dan, Pasal 42 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 44

16 4. Terhadap proses biologis yang esensial untuk memproduksi tanaman atau, hewan, kecuali proses non biologis atau proses mikrobiologis, yang diatur secara jelas pada Pasal 7 UU Paten 59. Adapun sumber peraturan lain yang mengatur mengenai paten yang tidak bisa dimohonkan adalah menurut TRIPS-GATT yaitu termasuk metode untuk diagnosis, mengobati atau pembedaan untuk merawat manusia atau hewan, juga dapat dikecualikan pada tanaman dan binatang, selain mikroorganisme, proses biologis yangpenting untuk memproses produksi dari tumbuhan atau binatang, selain proses non-biologis atau mikrobiologis. 60 D. Syarat dan Prosedur dalam Permohonan Paten Proses permohonan pendaftaran paten ini dimulai dengan mengajukan permohonan paten. Pasal 20 UU Paten menyatakan bahwa paten diberikan atas dasar permohonan dan Pasal 21 UU Paten menyatakan bahwa setiap permohonan hanya dapat diajukan untuk satu Invensi atau beberapa invensi yang merupakan satu kesatuan Invensi. Dari ketentuan Pasal 20 dan 21 UU Paten ini, jelas ditentukan bahwa pemberian paten didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh inventor atau kuasanya. Artinya, tanpa adanya permohonan seseorang paten tidak akan diberikan. Permohonan paten dimaksud hanya dapat diajukan baik untuk satu 59 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 60 Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional:TRIPS, GATT, PUTARAN URUGUAY, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti Hal 35 45

17 Invensi atau beberapa Invensi yang merupakan satu kesatuan dan saling berkaitan erat. 61 Pada dasarnya, permohonan paten harus diajukan oleh inventor dan disertai dengan membayar biaya permohonan kepada Ditjend HKI. Dalam hal permohonan tidak diajukan oleh Inventor atau diajukan oleh pemohon yang bukan Inventor, menurut Pasal 23 UU Paten permohonan tersebut harus disertai pernyataan yang dilengkapi bukti yang cukup bahwa ia berhak atas Invensi yang bersangkutan dan inventor dapat meneliti surat permohonan dimaksud dan atas biayanya sendiri dapat meminta salinan dokumen permohonan tersebut. 62 Ada dua sistem permohonan pendaftaran paten yang dikenal di dunia, yaitu sistem registrasi dan sistem ujian. Menurut sistem registrasi setiap permohonan permohonan pendaftaran paten diberi paten oleh kantor paten secara otomis. Spesifikasi dari permohonan tersebut hanya memuat uraian dan monopoli yang diminta dan tidak diberi penjelasan secara rinci. Karenanya batas-batas monopoli tidak dapat diketahui sampai pada saat timbul sengketa yang dikemukakan di sidang pengadilan yang untuk pertama kali akan menetapkan luasnya monopoli yang diperbolehkan. Itu pula sebabnya patenpaten yang terdaftar menurut sistem registrasi tanpa penyelidikan dan pemeriksaan lebih dahulu dianggap bernilai rendah atau paten-paten yang memiliki status lemah. Menurut O. K. Saidin dalam bukunya, jumlah negara yang menganut sistem registrasi sedikit sekali, antara lain Belgia, Afrika Selatan, dan Prancis. 61 Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 62 Pasal 23 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 46

18 Pada awalnya, sistem permohonan pendaftaran paten yang banyak dipakai adalah sistem registrasi. Namun karena jumlah permohonan makin lama semakin bertambah, beberapa sistem registrasi lambat laun diubah menjadi sistem ujian dengan pertimbangan bahwa paten seharusnya lebih jelas menyatakan monopoli yang dituntut dan selayaknya sejauh mungkin monopolimonopoli yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tidak akan diberi paten. Sebuah syarat telah ditetapkan bahwa semua spesifikasi paten harus meliputi klaim-klaim yang dengan jelas menerayatn monopoli yang akan dipertahankan sehingga pihak lain secara mudah dapat mengetahui yang mana yang dilarang oleh monopoli dan yang mana yang tidak dilarang. 63 Dengan sistem ujian, seluruh instansi terkait diwajibkan untuk menguji setiap permohonan permohonan pendaftaran dan bila perlu mendesak pemohon agar mengadakan perubahan (amandement) sebelum hak atas paten tersebut diberikan. Pada umumnya ada tiga unsur (kriteria) pokok yang diuji : 1. Invensi harus memenuhi syarat-syarat untuk diberi hak atas paten menurut undang-undang yang mengatur paten. 2. Invensi baru harus mengandung sifat kebaruan. 3. Invensi harus mengandung unsur menemukan sesuatu yang bersifat kemajuan (invention step) dari apa yang telah diketahui. 64 Di Indonesia sendiri ketentuan tentang sistem permohonan pendaftaran paten semula merujuk pada Pengumuman Menteri Kehakiman tanggal 12 Agustus 1953 Nomor J. S. 5/41/4 (Berita Negara Nomor 53-69) tentang 63 H. OK. Saidin, S. H., M. Hum, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual. 64 ibid 47

19 Permohonan paten. 65 Adapun syarat-syarat permohonan permohonan pendaftaran menurut Pengumuman Menteri Kehakiman tersebut adalah : 1. Permohonan permohonan pendaftaran paten harus disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa si pemohon dengan disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Surat permohonan harus ditandatangani oleh si pemohon sendiri dan harus disebut dalam surat itu nama, alamat dan kebangsaan pemohon. Syarat demikian harus dipenuhi pula apabila permohonan diajukan oleh seseorang yang bertindak bagi dan atas nama pemohon selaku kuasanya; 2. Surat permohonan harus disertai : a. Sebuah uraian dari ciptaan baru (maksudnya temuan baru dari pemohon yang dimintakan rangkap tiga 3); b. Jika perlu sebuah gambar atau lebih dan setiap gambar harus dibuat rangkap dua 2 c. Surat kuasa, apabila permohonan diajukan oleh seorang kuasa; d. Surat pernyataan seorang kuasa yang bertempat tinggal di Indonesia; 3. Biaya-biaya yang ditentukan; 4. Keterangan tentang belum atau sudah dimintakannya hak paten di luar negeri atas permohonan yang diajukan itu dan kalau sudah dimintakannya, apakah sudah diberi hak paten di luar negeri negeri tersebut Pengumuman Menteri Kehakiman tanggal 12 Agustus 1953 Nomor J. S. 5/41/4 (Berita Negara Nomor 53-69) tentang Permohonan Sementara Permohonan Pendaftaran Paten 66 Ibid. 48

20 Namun kemudian setelah keluar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989, yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997, ketentuan ini disempurnakan lagi melalui UU Paten, prosedur permohonan paten sudah disebut secara rinci dan menyamai prosedur permohonan paten di negara-negara lain di seluruh dunia. Pemeriksaan paten adalah tahapan yang menentukan keputusan dapat atau tidaknya diberikan paten oleh Ditjend. Halhal dan langkah-langkah pemeriksaan telah ditetapkan dalam peraturanperaturan paten, sedayatn pelaksanaannya dilakukan oleh Ditjend. Dalam berbagai literatur ditemukan istilah-istilah yang digunakan mengenai sistem permohonan pendaftaran paten antara lain adalah sistem konstitutif yang disebut juga sistem ujian (examination system). Dalam sistem konstitutif ini dikenal dua jenis sistem pemeriksaan, yaitu pemeriksaan langsung (prompt examination system) dan pemeriksaan yang ditunda (defered examination system). 67 Kemudian sistem deklaratif yang dalam permohonan pendaftaran hanya memberi dugaan saja menurut undang-undang bahwa orang yang mendaftarkan patennya itu adalah orang yang berhak dari paten yang didaftarkan. Undang-Undang Paten menggunakan sistem konstitutif dengan sistem pemeriksaan berupa pemeriksaan yang ditunda. Hal ini dapat dilihat dari tahaptahap pemeriksaan, yaitu pemeriksaan substansi dilakukan setelah dipenuhi syarat-syarat administratif. Adapun syarat-syarat administratif yang harus dipenuhi untuk mengajukan permintaan paten adalah: 67 Adisumarto Harsono, Hak Milik Intelektual Khususnya Paten dan Merek, Hak Milik Perindustrian (Industrial Property), Jakarta, Akademika Pressindo, 1985, hal

21 1. Dalam pengajuan permohonan, diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Ditjend; 2. Format permohonan harus memuat : a. Tanggal, bulan, dan tahun permohonan; b. Alamat lengkap dan alamat jelas pemohon; c. Nama lengkap dan kewarganegaraan inventor; d. Nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; e. Surat kuasa khusus, dalam hal permohonan diajukan oleh kuasa; f. Pernyataan permohonan untuk dapat diberi paten; g. Judul invensi; h. Klaim yang terkandung dalam invensi; i. Deskripsi tentang invensi yang secara lengkap memuat keterangan tentang cara melaksanakan invensi; j. Gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk memperjelas invensi; dan k. Abstraksi invensi. 68 Yang diatur secara menyeluruh pada UU Paten yaitu pada pasal yang ke 24. Selain syarat administrasi yang harus dipenuhi, terdapat juga beberapa syarat yang diatur dalam Pasal 2, 3 dan 5 UU Paten. Setelah syarat-syarat dalam Pasal 2, 3 dan 5 tersebut terpenuhi, kantor paten memberikan secara 68 Pasal 24 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 50

22 resmi surat paten untuk invensi yang bersangkutan kepada orang yang mengajukan permintaan paten Pasal 55 ayat 1 UU Paten. 69 Setelah melalui tahapan pemeriksaan, Ditjend berkewajiban memberikan keputusan untuk menyetujui permintaan paten dan dengan demikian memberi paten atau menolaknya. Apabila berdasarkan pemeriksaan dihasilkan kesimpulan bahwa penemuan yang dimintakan paten dapat diberi paten, Ditjend memberikan Surat Paten kepada orang yang mengajukan permintaan paten. Begitu pula sebaliknya bila kesimpulannya tidak memenuhi syarat, maka permintaan ditolak dan penolakan harus dilakukan secara tertulis. 70 Surat pemberitahuan yang berisikan penolakan permintaan paten harus dengan jelas mencantumkan pula alasan dan pertimbangan yang menjadi dasar penolakan. Ditjend memberikan secara resmi Surat Paten untuk penemuan yang permintaannya diterima kepada orang yang mengajukan permintaan paten atau kuasanya. 71 Paten yang telah diberikan dicatat dalam Daftar Umum Paten dan diumumkan dalam Berita Resmi Paten. Begitu pula surat yang berisikan penolakan permintaan paten, dicatat dalam Buku Resmi Paten yang mencatat paten yang bersangkutan. Atas keputusan penolakan dapat dilakukan banding, yang diajukan kepada Komisi Banding Paten dengan tembusan kepada Ditjend. Adapun peraturan lain yang mengaturnya adalah pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1999 yang selanjutnya disingkat dengan PP 34 tahun 1999 yaitu mengatur mulai dari syarat serta prosedur permohonan 69 Pasal 55 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 70 Pasal 55 dan Pasal 56 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 71 Pasal 55 ayat 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten. 51

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1995 TENTANG KOMISI BANDING MEREK PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 35 Undang-undang Nomor 19 Tahun

Lebih terperinci

PENEMUAN MASA DEPAN. Pengantar Paten untuk Usaha Kecil dan Menengah. WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION

PENEMUAN MASA DEPAN. Pengantar Paten untuk Usaha Kecil dan Menengah. WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION Intellectual Property for Business Series Number: 3 PENEMUAN MASA DEPAN Pengantar Paten untuk Usaha Kecil dan Menengah. WORLD INTELLECTUAL PROPERTY ORGANIZATION Publikasi-publikasi yang tersedia dalam

Lebih terperinci

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011

PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 i PEMBATALAN HAK ATAS TANAH BERDASARKAN PUTUSAN PENGADILAN MENURUT PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2011 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hak milik atas tanah sangat penting bagi negara, bangsa dan rakyat Indonesia sebagai masyarakat yang sedang membangun ke arah perkembangan industri. Tanah yang merupakan

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SUSUNAN DALAM SATU NASKAH DARI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 Tentang : Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 40 TAHUN 1996 (40/1996) Tanggal : 17 JUNI 1996 (JAKARTA)

Lebih terperinci

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBUK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2006 TENTANG SISTEM RESI GUDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : a. bahwa pembangunan bidang ekonomi khususnya

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61 TAHUN 2010 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa informasi merupakan kebutuhan

Lebih terperinci

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK

KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK KOMISI INFORMASI PUSAT REPUBLIK INDONESIA PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KOMISI INFORMASI Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Tim Penyusun: Dhoho A. Sastro M. Yasin Ricky Gunawan Rosmi Julitasari Tandiono Bawor JAKARTA 2010 Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa pembangunan nasional

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2006 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.207, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Hak Guna Air. Hak Guna Pakai. Hak Guna Usaha. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5578) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI LAMPIRAN IV-A TATA CARA PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI BERBENTUK BADAN USAHA

DAFTAR ISI LAMPIRAN IV-A TATA CARA PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI BERBENTUK BADAN USAHA DAFTAR ISI LAMPIRAN IV-A TATA CARA PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI BERBENTUK BADAN USAHA BAGIAN HALAMAN A. PERSIAPAN PEMILIHAN PENYEDIA JASA KONSULTANSI 1 1. Rencana Umum Pengadaan 1 2. Pengkajian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH )

UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH ) UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2006 DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 1995 TENTANG KEPABEANAN ( DALAM SATU NASKAH ) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Negara

Lebih terperinci

TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK

TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK TANYA JAWAB STANDAR LAYANAN INFORMASI PUBLIK Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia Bekerjasama dengan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Didukung oleh: The Asia Foundation dan Royal Netherlands

Lebih terperinci

Penjelasan atas UU Nomor 11 Tahun 1992 P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN

Penjelasan atas UU Nomor 11 Tahun 1992 P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN P E N J E L A S A N A T A S UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1992 TENTANG DANA PENSIUN U M U M Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang pada hakekatnya merupakan pembangunan manusia

Lebih terperinci

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi

Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi Pedoman Penerapan Pengecualian Informasi 1. Prinsip- prinsip Kerangka Kerja Hukum dan Gambaran Umum Hak akan informasi dikenal sebagai hak asasi manusia yang mendasar, baik di dalam hukum internasional

Lebih terperinci

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun

Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun Undang Undang No. 16 Tahun 1985 Tentang : Rumah Susun Oleh : PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Nomor : 16 TAHUN 1985 (16/1985) Tanggal : 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA) Sumber : LN 1985/75; TLN NO. 3318 DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2012 TENTANG IZIN LINGKUNGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33,

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2004 TENTANG LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa untuk menunjang terwujudnya perekonomian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa

Lebih terperinci

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK PERATURAN KOMISI INFORMASI NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, KOMISI INFORMASI Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci