FAKTOR PENGHAMBAT ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISION ON HUMAN RIGHT (AICHR) UNTUK MENEGAKKAN HAM DALAM KONFLIK ETNIS ROHINGYA- PEMERINTAH MYANMAR

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR PENGHAMBAT ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISION ON HUMAN RIGHT (AICHR) UNTUK MENEGAKKAN HAM DALAM KONFLIK ETNIS ROHINGYA- PEMERINTAH MYANMAR"

Transkripsi

1 FAKTOR PENGHAMBAT ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISION ON HUMAN RIGHT (AICHR) UNTUK MENEGAKKAN HAM DALAM KONFLIK ETNIS ROHINGYA- PEMERINTAH MYANMAR LAPORAN TUGAS AKHIR Oleh: Fisa Faurika FAKULTAS KOMUNIKASI DAN DIPLOMASI PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL UNIVERSITAS PERTAMINA 2020

2 LEMBAR PENGESAHAN Judul Tugas Akhir : Faktor Penghambat ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) untuk Menegakkan HAM dalam Konflik Etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar. Nama Mahasiswa : Fisa Faurika Nomor Induk Mahasiswa : Program Studi : Hubungan Internasional Fakultas : Fakultas Komunikasi dan Diplomasi Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir : 17 Januari 2020 Jakarta, 17 Februari 2020 MENGESAHKAN Novita Putri Rudiany MENGETAHUI, Ketua Program Studi Hubungan Internasional Dr. Indra Kusumawardhana, M.Hub.Int NIP ii

3 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir berjudul Faktor Penghambat ASEAN Intergovernmental Commision on Human Right (AICHR) untuk Menegakkan HAM dalam Konflik Etnis Rohingya- Pemerintah Myanmar ini adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan tidak mengandung materi yang ditulis oleh orang lain kecuali telah dikutip sebagai referensi yang sumbernya telah dituliskan secara jelas sesuai dengan kaidah penulisan karya ilmiah. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam karya ini, saya bersedia menerima sanksi dari Universitas Pertamina sesuai dengan peraturan yang berlaku. Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Pertamina hak bebas royalti noneksklusif (nonexclusive royalty-free right) atas Tugas Akhir ini beserta perangkat yang ada. Dengan hak bebas royalti noneksklusif ini Universitas Pertamina berhak menyimpan, mengalih media/format-kan, mengelola dalam bentuk pangkatan data (database), merawat, dan mempublikasikan Tugas Akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya Jakarta, 17 Februari 2020 Yang membuat pernyataan, Materai Rp Fisa Faurika iii

4 ABSTRAK Fisa Faurika Faktor Penghambat ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) untuk Menegakkan HAM dalam Konflik Etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar. Konflik etnis yang terjadi di Myanmar yang melibatkan kelompok muslim Rohingya dan Pemerintah Myanmar sulit ditemukan titik tengahnya. Perbedaan fisik, bahasa dan agama dijadikan alasan oleh pemerintah Myanmar untuk tidak menjadikan etnis Rohingya ini sebagai bagian kelompok dari masyarakat negaranya. Pemerintah Myanmar berasumsi bahwa etnis Rohingya merupakan pendatang atau imigran gelap yang tidak dapat diakui sebagai warga negara. Akar konflik ini terbagi kedalam banyak faktor yang menyebabkan kasus ini menjadi sorotan publik di lingkup internasional. Rohingya sendiri merupakan etnis minoritas di Myanmar yang kerap mendapatkan perlakuan tidak adil dan bersifat diskriminatif dari pemerintah Myanmar. Konflik ini sulit untuk diselesaikan dikarenakan alasan utama terjadinya konflik ialah perseteruan mengenai perbedaan agama antara kelompok muslim dan Budha.. ASEAN sebagai organisai yang membawahi negara-negara Asia Tenggara termasuk Myanmar, dituntut untuk berperan sebagai subjek penengah yang membantu proses penyelesaian konflik dan menciptakan perdamaian di kawasan Asia Tenggara. Namun, pada nyatanya sistem yang dianut ASEAN tidak mengubah keadaan etnis Rohingya yang terus diperlakukan berbeda dengan masyarakat Myanmar pada umumnya. Sebagai sebuah entitas regional yang menaungi negara-negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, ASEAN memegang peranan yang sangat krusial dalam menjaga stabilitas kawasan melalui pengaturan-pengaturan politik, sosial budaya, ekonomi, keamanan, dan aspek lain seperti isu kemanusiaan. Pembentukan AICHR merupakan salah satu bentuk perpanjangan peran ASEAN dalam bidang kemanusiaan yang memegang kepentingan sebagai komisi penyelesaian konflik yang berkaitan dengan pelanggaran HAM. Namun, pada nyatanya pengaplikasian AICHR masih dihadapkan oleh banyak hambatan yang berujung pada inefektivitas sebuah fungsi. Tulisan ini akan membahas hal yang melatarbelakangi inefektivitas kinerja AICHR dalam penyelesaian konflik Rohingya. Kata kunci: ASEAN, Rohingya, Konflik Etnis, HAM, AICHR iv

5 ABSTRACT Fisa Faurika Inhibiting Factors of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) to Uphold Human Rights in the Rohingya Ethnic Conflict-Myanmar Government. Ethnic conflicts that occur in Myanmar involving Rohingya Muslim groups and the Government of Myanmar are difficult to find a middle ground. Physical, linguistic and religious differences are used as a reason by the Myanmar government not to make these Rohingya ethnic groups a part of the country's community. The Myanmar government assumes that the Rohingya are immigrants or illegal immigrants who cannot be recognized as citizens. The root of this conflict is divided into many factors which have caused this case to become a public spotlight on an international scale. rohingya themselves are ethnic minorities in Myanmar who often get unfair and discriminatory treatment from the Myanmar government. This conflict is difficult to resolve because the main reason for the conflict is a dispute about religious differences between Muslim and Buddhist groups. ASEAN as an organization that oversees Southeast Asian countries, including Myanmar, is demanded to act as an intermediate subject who helps the conflict resolution process and creates peace in Southeast Asia region. However, in fact the system adopted by ASEAN does not change the state of the Rohingya ethnic group which continues to be treated differently from the people of Myanmar in general. As a regional entity that houses countries in the Southeast Asian region, ASEAN plays a very crucial role in maintaining regional stability through political, socio-cultural, economic, security, and other aspects such as humanitarian issues. The establishment of the AICHR is one form of the extension of ASEAN's role in the humanitarian field which holds an interest as a conflict resolution commission related to human rights violations. However, in reality the application of AICHR is still confronted by many obstacles that lead to the ineffectiveness of a function. This paper will discuss the background of the effectiveness of AICHR's performance in resolving Rohingya conflicts. Keywords: ASEAN, Rohingya, Ethnic Conflict, Human Rights, AICHR v

6 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Faktor Penghambat ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights untuk Menegakkan HAM dalam Konflik Etnis Rohingya- Pemerintah Myanmar. Penulis sadar bahwa penulisan tugas akhir ini dapat selesai berkat adanya dukungan serta bantuan dari pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung selama menulis. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Orang tua dan keluarga yang telah memberi dukungan serta doa yang tiada henti; 2. Yth. Mba Novita Putri Rudiany sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan jerih payah dengan baik dan sabar membimbing penulis dalam penulisan tugas akhir ini; 3. Seluruh Dosen dan Staf di Prodi Hubungan Internasional yang telah mendidik dan membantu penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini; 4. Meidiana, Rara, Lukita, Amel, Mayang, Rindu, Anin, Rachel, Dewa, Salma, yang telah memberikan dukungan dan motivasi penuh kepada penulis untuk tetap semangat dalam menulis tugas ini serta dengan sabar mendengar setiap keluh kesah penulis; vi

7 5. Abimanyu Putra yang telah dengan sabar mendukung dan menemani penulis sejak awal menulis tugas akhir ini hingga selesai; 6. Teman-teman di Aceh dan di Universitas Pertamina yang namanya tidak bisa disebutkan satu-persatu; Perlu diketahui bahwa dengan segenap kelemahan, tentunya tugas akhir dari penulis tetap jauh dari kata sempurna, oleh karena itu penulis meminta masukkan dan kritikan yang dapat membangun penulis, yang kemudian dapat menyempurnakan laporan ini. Terakhir, tentunya penulis berharap setiap bantuan yang telah diberikan dan semoga tugas akhir ini dapat memberikan manfaat. Jakarta, 10 Februari 2020 Fisa Faurika vii

8 DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii ABSTRAK... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii BAB I... 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Bagan kerangka berpikir Definisi Konseptual dan Operasionalisasi Konsep Metodologi Penelitian Tujuan Penulisan Jenis data Batasan Penelitian Sistematika Penulisan BAB II ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) DAN KONFLIK ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR Sejarah AICHR dan HAM ASEAN Konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar viii

9 2.3 Tugas dan Fungsi AICHR Sebagai Lembaga Penegak HAM Asia Tenggara FAKTOR PENGHAMBAT AICHR DALAM PENEGAKAN HAM PADA KONFLIK ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR Analisis Faktor Eksternal Efektivitas AICHR dalam Penanganan Konflik Rohingya-Myanmar Patterns of Interest Distributions of Influence Nature of the Issue Area Analisis Faktor Internal Efektivitas AICHR dalam Penanganan Konflik Rohingya-Myanmar Design Features Programmatic activities Identifikasi Perilaku Aktor BAB VI KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... Error! Bookmark not defined. ix

10 x

11 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Semenjak terbentuk di tahun 2009, ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) nyatanya belum mampu menjadi badan yang dapat menegakkan permasalahan terkait hak asasi manusia yang terjadi antara etnis Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Hal ini terbukti dengan terus bertambahnya jumlah imigran Rohingya setiap tahunnya. Dilansir dari UNHCR, data yang ditunjukkan hingga agustus 2017, jumlah imigran Rohingya yang memasuki Bangladesh mencapai jiwa, namun hanya diantaranya yang terdaftar secara legal (UNHCR Family Counting Factsheet, 2017). Tidak hanya bertambahnya jumlah migrasi, korban akibat kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar juga terus bertambah. Berdasarkan data dari International Development Committee, setidaknya terdapat 200 korban jiwa pada tahun 2014 (International Development Committee,2018) dan lebih dari 100 jiwa pada tahun 2016 (International Crisis Group, 2016). Data keseluruhan hingga tahun 2017, dilansir dari Medecins Sans Frontiers (MSF), setidaknya terdapat korban jiwa yang 730 diantaranya merupakan anak berumur dibawah 5 tahun (International Development Committee, 2018). Jika menarik garis permasalahan melalui sejarah, suku etnis Rohingya adalah kelompok migran yang berasal dari Bangladesh yang kemudian menetap di Arakan salah satu kota di Myanmar berabad-abad. Pada tahun 1984, sejak Burma merdeka, Rohingya kerap mendapatkan perlakuan diskriminatif yang dibuktikan Universitas Pertamina - 1

12 dengan dari 135 suku nasional yang terdaftar, etnis Rohingya tidak termasuk kedalamnya (Lewa, n.d). Sementara itu, pada tahun-tahun selanjutnya sikap diskriminatif kembali dialami etnis Rohingya. Ketika itu, Pemerintah Myanmar mengeluarkan kebijakan penggunaan warna untuk menggolongkan kewarganegaraan. Terdapat tiga warna utama yang melambangkan golongan yakni: (1) merah muda untuk kewarganegaraan penuh (2) hijau untuk warga naturalisasi dan (3) untuk warga asosiasi. Dari ketiga penggolongan tersebut, etnis Rohingya tidak tergolong kedalam warna apapun (Lwin, 2012). Akibat etnis Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh Pemerintah Myanmar sebagai bagian dari kelompok warga negara Myanmar, kelompok ini pada akhirnya kerap mendapatkan berbagai bentuk perlakuan diskriminatif dalam berbagai aspek. Terlebih pada masa rezim militer dibawah pimpinan Ne Win hingga kurun tahun 2000, etnis Rohingya mengalami banyak kesulitan. Pada masa ini etnis Rohingya mengalami diskriminasi besar-besaran serta adanya paksaan bagi etnis Rohingya yang beragama Islam untuk menerima ajaran agama Budha serta adanya provokasi dari pihak tertentu yang semakin membuat etnis Rohingya semakin terpojok (Septiari, n.d). Konflik di Rohingya ini pada awalnya belum menjadi sorotan dunia internasional, hingga pada akhirnya pada tahun 2012 pemberitaan internasional mulai membuka fakta-fakta tentang konflik tersebut. Konflik ini memuncak pada saat adanya pembakaran besar-besaran terhadap perumahan masyarakat etnis Rohingya oleh kelompok etnis Rakhine. (Nimer, 2010). Setelah kasus Rohingya-Pemerintah Myanmar menjadi perhatian internasional, negara-negara ASEAN mulai mencoba memberikan respon. Melalui Universitas Pertamina - 2

13 AICHR ASEAN berusaha untuk mengatasi permasalahan dan konflik dalam kawasan. dalam hal ini, AICHR menjalankan misinya seperti yang tercantum dalam Terms of Reference (TOR) AICHR pasal 1 yang beberapa diantaranya adalah sebagai berikut; melindungi hak asasi manusia serta kebebasan fundamental dari masyarakat ASEAN, menjunjung setiap hak dari masyarakat ASEAN untuk menciptakan hidup damai, bermartabat dan makmur serta menjunjung tinggi standar HAM sebagaimana yang terdapat dalam Deklarasi Universal hak asasi manusia (ASEAN, 2009). Namun, pada kenyataannya AICHR sebagai badan yang bertujuan untuk menjamin HAM di Asia Tenggara, belum mampu meredam pelanggaran HAM akibat adanya konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar. Oleh karena itulah, penelitian ini difokuskan untuk mengkaji alasan mengapa AICHR dianggap belum mampu menjadi badan yang mengatasi pelanggaran HAM akibat konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian adalah Faktor apakah yang menghambat AICHR dalam menegakkan HAM Konflik Etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar dari Tahun 2009 Hingga 2017? 1.3 Tinjauan Pustaka Untuk menunjukkan signifikansi dan distingsi penelitian ini, tinjauan pustaka diperlukan sebagai referensi pendukung. Dalam hal ini, tinjauan pustaka difokuskan pada hasil penelitian terdahulu yang membahas mengenai konflik etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar. Penelitian yang pertama ialah tulisan milik Universitas Pertamina - 3

14 Ghonimah (2017) yang berjudul Tanggung Jawab Dunia Terhadap Konflik Rohingya. Penulis dalam tulisannya menjelaskan bahwa ASEAN sebagai sebuah organisasi yang membawahi regional di Asia Tenggara memegang peranan yang cukup penting demi terwujudnya proses demokratisasi bagi tiap-tiap negara anggota dalam kawasan. Peranan ASEAN ini dapat dilihat pada kasus konflik etnis Rohingya di Myanmar. Asal-usul konflik yang berawal dari perbedaan bahasa, budaya, fisik dan agama yang menjadikan etnis Rohingya tidak mendapatkan pengakuan sebagai bagian dari kelompok masyarakat negara Myanmar. Selain itu penulis juga menjelaskan prinsip non-intervensi ASEAN sebagai jalan penyelesaian konflik etnis Rohingya di Myanmar dengan menekankan penggunaan pendekatan ASEAN Way. ASEAN sebagai regional kawasan dalam tulisan Ghonimah dikatakan menggunakan prinsip non-intervensi yang tetap menjaga kedaulatan masing-masing negara sehingga dinilai mampu menciptakan peranan dan partisipasi aktif dari tiap-tiap negara anggota untuk menggerakkan pertumbuhan politik di Asia Tenggara serta menyelesaikan konflik dengan cara damai (Ghonimah, 2017). Penelitian Berikutnya membahas mengenai regionalism dan ASEAN yang terdapat dalam tulisan Regionalisme Menjawab Human Security: Studi Kasus ASEAN dalam permasalahan Human Security. Menurutnya, ASEAN meskipun merupakan salah satu bentuk hasil regionalism, pada nyatanya masih banyak pihak yang melihat institusi ini berjalan di tempat. Hal ini dikarenakan beberapa faktor yang diantaranya adalah arah program yang tidak berpola dan tidak jelas serta terdapat faktor-faktor lainnya seperti adanya persaingan antar negara anggota ASEAN. Dalam tulisannya, Ia menambahkan bahwa ASEAN sejak awal terbentuk Universitas Pertamina - 4

15 kurang memiliki daya ikat yang kuat karena hanya mengandalkan deklarasi. Dalam tulisannya, Yustika juga membahas mengenai posisi human security yang menurutnya bahwa antara negara dan individu (manusia) harus sama-sama merasa aman, namun dalam praktiknya, negara selalu buntu dalam mendeskripsikan permasalahan keamanan bagi individunya. Hal ini dikarenakan permasalahan keamanan yang didefinisikan negara selalu berarah pada penggunaan militer (Mahendra, 2017). Isu mengenai kemanusiaan sendiri dibahas dalam tulisan yang berjudul Human Rights in Southeast Asia: the Search for Regional Norms Milik Kraft (2005). Kraft memulai tulisannya dengan pembahasan mengenai struktur norma yang dianut negara anggota ASEAN yang kemudian dikaitkan dengan isu kemanusiaan dan kedudukan HAM di dalam ASEAN sebagai lembaga kolektif di level regional. Menurut Kraft definisi dari kemanusiaan adalah segala sesuatu tentang bentuk kehidupan individual manusia. Dimana setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dan mendapatkan hak untuk berkembang, tumbuh dan merasa aman. Isu mengenai kemanusiaan terus mengalami perkembangan sejak tahun 1945 hingga pada akhirnya muncul Universal Declaration on Human Rights pada tahun Isu kemanusiaan terus menjadi trend di dunia dan menjadi tanggung jawab setiap lapisan masyarakat global. Tulisan Kraft membahas secara rinci setiap badan-badan yang terdapat dalam ASEAN dan mempertanyakan efisiensi dari terbentuknya badan tersebut dikaitkan dengan beberapa contoh kasus terkait pelanggaran HAM. Keberadaan prinsip non-intervensi yang dipegang teguh oleh setiap negara-negara anggota ASEAN menjadi pertanyaan besar bagi Kraft. Bagaimana sebuah institusi regional yang seharusnya menjadi subjek penyelesaian Universitas Pertamina - 5

16 konflik justru tidak ikut andil dengan alasan takut mengintervensi, sedangkan beberapa individual masyarakat regional mereka dalam keadaan yang menyedihkan dan membutuhkan pertolongan kemanusiaan. Selain itu, banyak juga pertanyaan mengenai norma yang dianut tiap negara anggota ASEAN yang menjadikan kawasan tersebut tidak ikut andil dalam menegakkan HAM dikawasan mereka sendiri. (Kraft, 2005). Tulisan ini memiliki kaitan yang cukup erat dengan tulisan yang berjudul An Agreement to Disagree: The ASEAN Human Rights Declaration and the Absence of Regional Identity in Southeast Asia.Dalam tulisannya Davies menyebutkan bahwa sejak awal pembentukan ASEAN, institusi regional ini telah dihadapi dengan permasalahan terkait isu kemanusiaan. Sejak awal pembentukannya ASEAN terus mengurusi permasalahan-permasalahan terkait politik dan perekonomian bahkan peran wanita. Namun, tidak satupun dari agenda di dalam ASEAN mengupas secara dalam mengenai penyelesaian konflik yang bersangkutan dengan pelanggaran HAM dalam kawasan dikarenakan adanya ketakutan akan mengganggu kedaulatan negara anggota. Tiap-tiap negara anggota berusaha menghindari perdebatan mengenai pelanggaran HAM dengan dasar pemikiran ingin menjaga kepercayaan bersama yang sudah dibentuk sejak ASEAN lahir. Penyelesaian masalah yang dilakukan ASEAN dengan sebutan ASEAN Way tidak hanya menjadi titik pokok acuan penyelesaian konflik namun juga menjadi titik acuan peraturan dalam berinteraksi dan sebagai tanda kepercayaan bagi tiaptiap negara anggota dalam ASEAN. Davies membedah satu-persatu hal-hal yang rancu dan tidak efisien di dalam ASEAN sejak masa awal pembentukannya sebagai institusi regional yang membawahi kawasan Asia Tenggara. Davies juga Universitas Pertamina - 6

17 menguatkan argumennya terhadap isu kemanusiaan dengan mengangkat artikel 25(1) yang berisikan every person who is citizen of his or her country has the right to participate in the government of his or her country, either directly or indirectly through democratically elected representatives, in accordance with national law (ASEAN, 2012) berdasarkan artikel tersebut dikatakan bahwa setiap lapisan masyarakat memiliki hak untuk ikut berpartisipasi dalam pemerintahan dalam negaranya. (Davies, 2014). Permasalahan mengenai HAM dan keterkaitannya dengan prinsip nonintervensi di ASEAN terdapat dalam tulisan Non-Interference in ASEAN Reviewed from Human Rights Perspective. Dalam tulisan dikatakan bahwa pada dasarnya setiap orang wajib menghargai dan menghormati HAM orang lain. Selain itu, Negara yang diwakili oleh Pemerintah wajib serta bertanggungjawab untuk melindungi, menghormati dan memajukan HAM. Adanya prinsip non-intervensi yang menopang keberlangsungan regionalism di ASEAN dianggap sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan HAM yang sangat mengedepankan prinsip non diskriminasi dan kesetaraan serta prinsip penegakan hukum dan tanggung jawab negara. Tulisan ini secara garis besar memberikan pandangan bahwa penegakan HAM ditengah adanya prinsip non-intervensi di ASEAN itu sendiri masih memungkinkan (Rahmanto, 2017). Selanjutnya pada tulisan berikutnya yang berjudul Menakar Ulang peran ASEAN dalam Penegakkan HAM Regional atas Dilema Prinsip Non-Intervensi ASEAN: Studi Kasus Konflik Moro dan Pemerintah Filipina. Dalam tulisannya, Suganda mencoba menarik garis permasalahan konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar ke konsep kedaulatan bagi rakyat yang kemudian di korelasikan kedalam Universitas Pertamina - 7

18 tanggungjawab dari AICHR. Dalam tulisannya dikatakan bahwa ancaman terhadap kedaulatan tidak hanya dapat berasal dari eksternal negara namun juga dapat berasal dari internal negara itu sendiri. Suganda juga menambahkan bahwa permasalahan kedaulatan dari internal negara biasanya dipicu oleh perpecahan ataupun disintegrasi kelompok-kelompok yang dilatarbelakangi oleh perbedaan etnis, suku, budaya, ras, agama, sejarah dan ideologi yang berbeda hingga adanya perbedaan yang struktural seperti tidak meratanya ekonomi. Wilayah Asia tenggara rentan akan terjadinya konflik dalam internal negara mengingat wilayah ini memiliki perbedaan identitas yang tersebar di seluruh bagian kawasannya. Tulisan ini juga membahas bagaimana identitas dapat menjadi faktor utama terjadinya konflik internal dalam negara yang dapat mengganggu kedaulatan negara yang akan menjalar pada ketidakstabilan dalam kawasan Asia tenggara (Fatimah, 2014). Pembahasan mengenai identitas sendiri dibahas dalam jurnal Adriani (2014) yang berjudul ASEAN and Ongoing Cultural Conflicts. Pada tulisannya, Adriani berfokus pada keberadaan budaya dan identitas dalam masyarakat ASEAN yang dinilai dapat menjadi cikal bakal terjadinya konflik yang berbasis pada perbedaan identitas. Dalam tulisannya sendiri, Adriani menyebut permasalahan tersebut dengan sebutan dilemma budaya yang kemudian dikaitkan dengan penjelasan mengenai mengapa banyak institusi gagal dalam menyelesaikan konflik terlebih konflik budaya ataupun identitas. Di dalam jurnal dituliskan setidaknya terdapat 13 indikator dilemma budaya yang disertai dengan penjelasan dan contoh studi kasus. Tidak hanya menuliskan 13 indikator dilemma budaya beserta contoh kasusnya, Adriani juga menambahkan beberapa solusi yang dapat dicapai oleh ASEAN untuk menghadapai konflik terkait budaya (Adriani, 2014). Universitas Pertamina - 8

19 Menyambung tulisan milik Adriani, Zulfikar (2013) dalam tulisannya tulisan lainnya dikatakan bahwa untuk mengukur efektivitas dari peranan institusi kawasan seperti ASEAN dibutuhkan adanya indikator yang dapat mengukur tingkat keberhasilan dan hal-hal yang dianggap perlu pembenahan. Menurutnya untuk mengukur keefektifan ini harus melalui tiga tahapan analisis yakni konseptualisasi, identifikasi serta keterlibatan. Selain itu Zulfikar juga menambahkan bahwa permasalahan terkait human security dalam kawasan di tangani oleh ASEAN secara institusional. Di dalam tulisannya, Zulfikar juga menjabarkan beberapa isu kemanusiaan yang terjadi di dalam ASEAN dan melabel isu tersebut berdasarkan ada atau tidaknya keterlibatan ASEAN di isu tersebut (Zulfikar, 2013) Tulisan selanjutnya membahas mengenai ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) milik Ahmat Reza Pahlefi Patthua (2017). Pada awal tulisannya Patthua menjelaskan perjalanan terbentuknya AICHR sebagai badan yang terbentuk dari kelanjutan dari ASEAN Charter dengan tujuan untuk mengurangi setiap permasalahan yang memiliki keterkaitan dengan pelanggaran HAM di regional Asia Tenggara. Komisi HAM ini ada untuk menegakkan dan mempromosikan isu-isu mengenai hak asasi manusia dan kerjasama regional di dalam kawasan Asia Tenggara terkait dengan HAM. Di dalam tulisannya juga dikatakan bahwa kinerja AICHR dinilai sangat tidak memuaskan dan tidak berkontribusi penuh di dalam penegakan HAM di dalam kawasan Asia Tenggara, bahkan tidak memberikan respon terhadap adanya bentuk pelanggaran HAM yang terjadi (Patthua, 2017). Tulisan ini berkesinambungan dengan tulisan Ananda Ruriska Saputri (2014) yang berjudul Peran ASEAN Intergovernmental Commision of Human Universitas Pertamina - 9

20 Rights (AICHR) dalam Menegakkan hak Asasi Manusia di Kawasan Negara Anggota ASEAN. Dalam tulisannya Saputri mengungkapkan kronologi pembentukan AICHR sebagai komisi yang mengurusi permasalahan terkait isu kemanusiaan di ASEAN yang membawahi kawasan Asia tenggara. Selain itu, di dalam bacaan juga dijelaskan secara rinci peranan AICHR terhadap negara-negara anggota ASEAN, yakni: 1). sebagai instrument perpanjangan kepentingan negaranegara anggota ASEAN terkait penegakan HAM di dalam kawasan Asia Tenggara tanpa mempergunakan cara yang bersifat kohersif ataupun kekerasan. 2). Sebagai sarana komunikasi negara-negara anggota ASEAN yang bersifat soft approach tanpa adanya sikap yang mempergunakan kekerasan. 3). Sebagai wadah untuk mengembangkan ide serta memajukan HAM di kawasan Asia Tenggara yang bertanggungjawab sebagai institusi yang menaungi kemajuan terhadap HAM (Saputri, 2014). Selanjutnya, dalam tulisan yang berjudul Urgensi Pembentukan Pengadilan HAM Oleh AICHR mengatakan bahwa AICHR memiliki mandat dan fungsi untuk melindungi dan memajukan HAM. Namun pada kenyataaannya kasus HAM Asia tenggara baik antar negara anggota maupun internal negara tidak berkurang jumlahnya atau menghilang bahkan setelah AICHR disahkan. Tulisan ini secara singkat menuliskan beberapa contoh kasus pelanggaran HAM yang terjadi di regional Asia Tenggara dan melakukan analisis hukum yang diimplementasikan oleh AICHR dalam mengatasi pelanggaran HAM. Menurut penulis, kebanyakan institusi-institusi HAM seringkali lalai dalam mengidentifikasi hak-hak dasar dasar dan seringkali bertentangan dengan hukum internasional (Zaimah, 2015). Universitas Pertamina - 10

21 Sedangkan Verdinand Robertua (2014) dalam tulisannya Normative Tensions: European Sanction vs. ASEAN s Non-Interference in the Case of Myanmar menambahkan perbandingan studi kasus perbedaan budaya dan identitas di Uni Eropa dan penyelesaian konflik terhadap isu kemanusiaan. Pada awal penulisannya, penulis membuka alur cerita dengan menceritakan sejarah konflik di Myanmar antara etnis Rohingya dengan pihak pemerintahan Myanmar. Pada bagian selanjutnya, penulis melakukan studi komparatif yang membandingkan institusi regional ASEAN dan institusi regional Uni Eropa (EU) dari sisi pandang normative. Tulisan Robertua berusaha menjelaskan kesinambungan antara kebijakan mengenai sanksi milik Uni Eropa dengan kebijakan constructive engagement ASEAN. Robertua juga berusaha mengkaji perbedaan pembentukan identitas ASEAN dan Uni Eropa yang menjadi basis pembentukan kebijakan bagi keduanya. Konflik Myanmar menjadi studi kasus dalam menganalisis perbedaan pengambilan kebijakan yang diambil oleh ASEAN dan Uni Eropa terkait dengan isu kemanusiaan dan pelanggaran HAM.Tulisan komparatif Robertua menarik dikarenakan adanya perbandingan antar dua institusi regional dan menjelaskan kekurangan dan kelebihan masing-masing institusi regional tersebut. Dari tulisannya Robertua cenderung menggambarkan Uni Eropa sebagai organisasi regional yang dapat menjadi contoh bagi ASEAN dikarenakan sistem pada Uni Eropa yang sudah cukup jelas dan tertata jika dibandingkan dengan ASEAN terlebih terkait dengan isu-isu mengenai HAM. Pemberian sanksi di Uni Eropa memberikan dampak yang baik terhadap penyelesaian konflik, hal ini tentu berbeda dengan ASEAN yang tidak adanya perlakuan pemberian sanksi kepada para pelanggaran HAM (Robertua, 2014). Universitas Pertamina - 11

22 Berdasarkan beberapa tinjauan pustaka yang disebutkan diatas, dapat dilihat bahwa sebagian besar penelitian terdahulu menekankan ASEAN sebagai sebuah organisasi regional Asia Tenggara menjadi fokus utama dari penelitian. Hal ini berkaitan dengan penerapan prinsip non-intervensi yang diterapkan oleh ASEAN sehingga menjadi hambatan dalam mengatasi permasalahan pelanggaran HAM di kawasan. sementara pembahasan mengenai AICHR hanya dibahas secara umum di level regional bukan secara khusus terhadap sebuah studi kasus. Oleh karenanya, penelitian ini akan mengkaji tentang faktor yang menghambat AICHR sebagai sebuah lembaga yang mengatasi permasalahan pelanggaran HAM dalam satu studi kasus yang spesifik yakni konflik Etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar dalam kisaran tahun 2009 hingga Kerangka Pemikiran Pada tulisan ini peneliti mengambil AICHR sebagai objek kajian. Pembentukan AICHR sendiri berawal dari proses regionalisasi di kawasan Asia Tenggara yang kemudian membentuk adanya ASEAN. ASEAN sebagai sebuah organisasi kawasan Asia Tenggara kemudian melakukan memberikan mandat untuk mengatasi isu-isu dan permasalahan HAM ke dalam fungsi lainnya yang kemudian melahirkan adanya badan baru di bawah ASEAN yang bernama AICHR. Sementara itu, menurut Columbis dan Wolfe di bukunya yang berjudul Introductions to International relations, Power and Justice dikatakan bahwa terdapat setidaknya empat cara/kriteria yang dapat digunakan untuk mendefinisikan sebuah kawasan. keeempat kriteria tersebut adalah : Universitas Pertamina - 12

23 1. Kriteria geografis Kriteria ini mengelompokkan negara berdasarkan dari lokasi/letak dari negara tersebut dalam sebuah benua, sub-benua, pulau dan lain sebagainya. 2. kriteria politik/militer kriteria ini mengelompokkan negara berdasarkan pada keikutsertaan negara tersebut pada berbagai institusi atau aliansi yang berkaitan dengan orientasi ideologi dan orientasi dari politik. 3. Kriteria ekonomi Kriteria ini mengelompokkan negara berdasarkan pada perkembangan pembangunan perekonomian, seperti jumlah nilai GNP, GDP, dan output industri. 4. Kriteria Transaksional Kriteria ini mengelompokkan negara kedalam jumlah dari frekuensi mobilitas penduduk, perputaran barang dan jasa seperti jumlah imigran, turis, jumlah perdagangan ekspor serta impor. Bagi ASEAN, pengelompokkan pembagian kawasan berdasarkan pada kriteria geografis yang membagi identitas dan proses regionalisasi ASEAN berawal dari inisiatif negara-negara di Asia Tenggara untuk membentuk sebuah institusi dengan tujuan sebagai collective security untuk menghindari perpanjangan kepentingan negara-negara besar pasca perang dunia kedua. Pembentukan institusi ASEAN sebagai bentuk dari collective security berkembang menjadi kerjasama kawasan untuk meningkatkan kemajuan sosial, pertumbuhan ekonomi serta Universitas Pertamina - 13

24 mengembangkan kebudayaan. (Gochhayat, 2013). ASEAN terus mengalami perkembangan hingga pada akhirnya isu HAM menjadi isu yang sering diangkat di wilayah Asia Tenggara sehingga dibentuklah komisi HAM yang disebut dengan AICHR. Kehadiran dari AICHR ini berangkat dari minimnya komitmen negaranegara ASEAN terhadap hak asasi khususnya hak politik dan hak sipil yang terbukti dari banyaknya kasus mengenai pelanggaran HAM di wilayah Asia Tenggara. (Numnak, 2009). AICHR hadir sebagai badan yang mengurusi permasalahan HAM di lingkup regional Asia Tenggara dan dinilai belum cukup efektif. Efektivitas sebuah institusi atau badan dapat di tentukan melalui beberapa indikator. Institusi yang efektif akan membentuk sebuah kausal dimana kinerja/operasi yang dilakukan oleh sebuah institusi akan mengubah perilaku aktor-aktor di dalamnya secara relevan. Setidaknya terdapat 3 indikator yang menentukan sebuah institusi efektif atau tidak, yakni: faktor eksternal dalam sebuah institusi, efektifitas internal institusi dan identifikasi perilaku aktor yang kaitkan dengan karakteristik dari sebuah institusi. (Young, 1994). 1. Faktor eksternal dalam sebuah institusi Dalam menentukan efektifitas institusi, banyak para penstudi tertarik untuk membahas mengenai faktor eksternal yang mempengaruhi kinerja dari sebuah institusi. Faktor eksternal dalam sebuah institusi sendiri terbagi atas 3 pembabakan, yakni: Universitas Pertamina - 14

25 - Patterns of Interest Sebuah institusi akan dikatakan efektif apabila perilaku institusi di dalam menyelesaikan sebuah permasalahan berdasarkan tujuan dan kepentingannya bernilai positif. Maksudnya bernilai positif ialah, sebuah institusi dapat dengan melihat arah kebijakan dari institusinya tanpa adanya badan atau institusi lain dengan kepentingan dan tujuan yang sama. Institusi bernilai tidak positif apabila terdapat badan atau institusi lainnya yang bergerak dengan tujuan serta kebijakan yang diambil memiliki kepentingan yang sama. - Distributions of influence Di dalam sebuah institusi, sebuah pengaruh memiliki dampak yang besar dalam pengambilan kebijakan dari institusi tersebut. Sebuah institusi dikatakan efektif apabila negara-negara anggota memiliki partisipasi yang aktif dan memiliki pengaruh terhadap kesuksesan dari sebuah institusi dalam menghadapi suatu isu. Pengaruh dalam hal ini dapat dilakukan dengan penggunaan power yang dapat berupa coercive power atau noncoercive power. Penggunaan coercive power dapat dicontohkan dengan melakukan ancaman akan melakukan serangan terhadap suatu negara atau institusi lainnya dengan penggunaan militer dan alat perang lainnya. Penggunaan coercive power memiliki dampak yang lebih kuat dalam mendorong efektifitas dari institusi. Sedangkan non-coercive power akan berakibat pada terbentuknya penyebaran banyak pengaruh di dalam sebuah institusi. Penggunan non-coercive power biasanya melakukan pendekatan yang sifatnya tidak memaksa seperti diskusi ringan, melakukan diplomasi Universitas Pertamina - 15

26 dan negosiasi serta lain sebagainya tanpa menggunakan kekerasan. Ketika negara-negara anggota dalam sebuah institusi memiliki tingkat partisipasi yang rendah dan cenderung tidak memiliki pengaruh terhadap setiap kebijakan yang diambil, maka institusi tersebut tidak bernilai efektif. - Nature of the issue area Perilaku aktor dalam menghadapi dan merespon sebuah isu dangat diperlukan dalam menentukan efektifitas dari sebuah institusi. Dalam hal ini tiap aktor yang terlibat dalam sebuah institusi dituntut agar dapat memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk menganalisis atau memprediksi ancaman dari suatu isu pada suatu area. Dalam menghadapi isu pada suatu area, sebuah institusi dikatakan efektif dengan melihat sudut pandang bagaimana sikap atau tindakan yang dilakukan oleh institusi tersebut untuk menekan tingkat ancaman dari suatu isu tersebut agar tidak menyebar dan tidak mengganggu stabilitas dari negara-negara anggota lainnya. Ketika sebuah institusi tidak dapat menganalisis dan memprediksi ancaman dari suatu isu di area tertentu maka dapat dikatakan bahwa institusi tersebut belum cukup efektif. 2. Efektifitas internal institusi Untuk mengidentifikasi efektifitas internal dari sebuah institusi, dapat dilihat melalui bagaimana sebuah institusi menentukan kebijakan yang baik, bagaimana sekretariat dalam sebuah institusi dibentuk serta program seperti apakah yang dijalankan oleh sebuah institusi. Faktor internal dalam sebuah institusi sendiri terbagi atas 2 pembabakan, yakni : Universitas Pertamina - 16

27 - Design Features Pada bagian ini sebuah institusi menentukan bagaimana international design dalam mengatasi sebuah isu yang dimulai dari proses pengambilan keputusan serta setting agenda yang dilakukan secara teknis. Nilai dari efektifitas dalam sebuah institusi dapat dinilai bagaimana sebuah institusi dapat menentukan visi dan misi dari institusinya dengan mempertimbangkan setiap nilai dan norma yang dianut oleh tiap-tiap negara anggotanya. Pertimbangan nilai dan norma ini ditujukan agar setiap negara anggotanya dapat mengasimilasi visi dan misi dari institusi tersebut sehingga tidak terdapat perbedaan kepentingan dan menghindari adanya ketidaksepahaman yang berujung pada ketidakpatuhan negara anggota terhadap institusi tersebut. Dalam penentuan visi dan misi ini, jika institusi tidak dapat merangkum kepentingan dari setiap negara anggota dan kepentingan dari berbagai pihak berbeda-beda maka suatu institusi tersebut belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi yang efektif. - Programmatic activities Untuk dapat dikatakan sebagai sebuah institusi yang efektif maka diperlukan adanya pembentukan program atau kegiatan ataupun agenda yang disusun dengan baik untuk mengatur pola kerja dari sebuah institusi. Setiap program dan agenda yang sudah ditetapkan nantinya harus dijalankan oleh institusi tersebut. Untuk itu, agar program serta agenda dari sebuah institusi dapat berjalan dengan baik maka dibutuhkan adanya kepatuhan bagi tiap-tiap negara anggota untuk dapat berjalan mengikuti program ataupun agenda yang sudah diatur oleh institusi tersebut. Dengan kata lain, Universitas Pertamina - 17

28 sebuah institusi dapat bernilai efektif ketika tiap-tiap negara anggotanya memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi, apabila institusi tersebut tidak memiliki tingkat kepatuhanyang tinggi maka institusi tersebut belum dapat dikatakan sebagai sebuah institusi yang efektif. 3. Identifikasi perilaku aktor Dalam menentukan arah perilaku dari aktor dalam sebuah institusi dibutuhkan adanya intervensi dari institusi. Untuk itu dibutuhkan adanya kemampuan bagi sebuah institusi untuk dapat membuat para anggotanya menyepakati dan menjalankan kontrak yang berlaku dalam institusi. Sebuah institusi dikatakan efektif apabila dapat menentukan arah dari perilaku aktor (negara anggota). Dalam hal ini, apabila institusi tidak dapat menjadi sebuah mekanisme yang dapat mengatur perilaku negara maka institusi tersebut secara garis besar tidak dapat dikatakan sebagai institusi yang bernilai efektif. Untuk itu, efektivitas AICHR dapat diukur melalui 3 indikator di atas yang nantinya akan dapat menentukan indikator manakah yang tidak efektif di dalam kinerja dan program AICHR. Universitas Pertamina - 18

29 1.4.1 Bagan kerangka berpikir 1.5 Definisi Konseptual dan Operasionalisasi Konsep Rezim adalah perilaku internasional yang terinstitusi (Ruggie, 1975). Rezim dalam skala internasional dapat didefinisikan sebagai perangkat norma, peraturan dan prosedur pembuatan kebijakan yang sifatnya eksplisit maupun implisit dimana terkumpulnya harapan dari para aktor dalam hubungan internasional (Krasner, 1981). Kepentingan dari rezim timbul dikarenakan adanya ketidakpuasan akan konsep yang mendominasi tata aturan institusi, kewenangan dan internasional (Haggard & Simmons, 1987). Rezim mengacu pada pengaruh dari perilaku institusi internasional terhadap aktor-aktor lainnya terutama negara yang berfokus pada ekspektasi terhadap aktor serta dampak yang diakibatkan oleh suatu institusi internasional. terdapat empat hal yang menjadi ciri dari rezim internasional yakni: principles (kepercayaan), norms (norma), rules (peraturan) dan decision making Universitas Pertamina - 19

30 process (proses pengambilan kebijakan) (Haggard & Simmon, 1987). Sebuah rezim internasional memuat kepentingan para aktor yang berisikan kumpulan dari norma, aturan, proses pengambilan keputusan. Pada AICHR di dalamnya berisikan kumpulan kepentingan dari negara-negara anggotanya terkait penegakan HAM di Asia Tenggara. AICHR juga menjadi bentuk dari terwujudnya institusionalisasi norma dan kepentingan dari negara-negara anggotanya yang bertujuan untuk mengelola konflik dan cenderung saling bergantung satu sama lain. Berdasarkan penjelasan tersebut, AICHR dapat dikategorikan sebagai salah satu bentuk dari rezim dikarenakan pembentukan komisi ini berdasarkan pada kepercayaan untuk menegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara yang kemudian membentuk norma serta peraturan yang juga melibatkan adanya proses dari pengambilan kebijakan untuk mencapai tujuan dari pembentukannya. Sedangkan kata hak asasi manusia (HAM) sendiri menurut Abul A la al- Mawdudi ialah hak-hak yang diberikan Tuhan kepada setiap manusia tanpa memandang adanya perbedaan agama, ras, negara dan lain sebagainya serta hak tersebut tidak dapat dicabut oleh lembaga apapun dan siapapun dikarenakan hak tersebut adalah pemberian Tuhan. Sedangkan berdasarkan Universal Declaration of Human Right mengenai hak asasi manusia dicantumkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup, memperoleh pengakuan yang sama dengan yang lainnya, kemerdekaan, mendapatkan kebangsaan, bebas berpendapat, bebas memeluk agama dan lain sebagainya. (United Nations, 2015) Universitas Pertamina - 20

31 1.6 Metodologi Penelitian Tujuan Penulisan Tulisan ini bertujuan sebagai sarana mengungkapkan pemikiran dan hasil penelitian yang diharapkan dapat menjadi sumber bagi ilmu pengetahuan. Selain itu dengan adanya tulisan ini diharapkan dapat menjadi acuan ilmu mengenai konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar Jenis data Pada penulisan ini penulis menggunakan metode pengumpulan data kualitatif. Dimana metode pengumpulan data kualitatif yang digunakan adalah dengan studi literatur. Studi literatur yang dilakukan oleh penulis adalah dengan melakukan pencarian dari berbagai jenis sumber tertulis, baik berupa buku-buku, artikel, jurnal atau dokumen-dokumen yang memiliki kesinambungan dengan permasalahan yang dikaji Batasan Penelitian Batasan penelitian atau batasan masalah juga dibutuhkan untuk membatasi lingkup masalah yang diteliti. Hal ini dilakukan agar pembahasan yang ditulis nantinya tidak akan terlalu luas dan tidak menjauhi relevansi dari penelitian sehingga penelitian dapat menjadi lebih fokus dilakukan. Untuk itu tulisan ini membatasi penelitian pada konflik yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan etnis Rohingya dalam kurun waktu 8 tahun terakhir berawal dari tahun 2009 sampai dengan Hal ini dikarenakan pada tahun 2009 inilah AICHR dibentuk untuk mengatasi permasalahan HAM dalam kawasan Asia tenggara dan puncak eskalasi Universitas Pertamina - 21

32 konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar terjadi hingga tahun 2017 dimana terdapat eksodus besar-besaran serta jumlah korban jiwa yang mencapai ratusan ribu. 1.7 Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Bagian ini berisikan penjelasan mengenai latar belakang dari permasalahan yang diangkat dalam tulisan, pertanyaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, pendekatan dan konsep-konsep yang digunakan dalam tulisan dan teknik pengumpulan data. BAB II AICHR dan konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar Bab ini akan membahas mengenai peranan, fungsi, serta upaya yang telah dilakukan oleh AICHR dalam menangani konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar BAB III Analisis Hambatan AICHR dalam Konflik Rohingya-Myanmar Bab ini akan membahas mengenai bagaimana faktor eksternal, internal dan pengidentifikasian perilaku aktor yang dapat mempengaruhi kinerja dari AICHR sehingga AICHR dapat dikatakan sebagai institusi yang tidak efektif. BAB VI Kesimpulan Pada bagian ini, penulis akan menarik kesimpulan dari pembahasan yang sudah dibahas. Universitas Pertamina - 22

33 BAB II ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) DAN KONFLIK ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR 2.1 Sejarah AICHR dan Hak Asasi Manusia ASEAN Association of South East Asian Nations (ASEAN) dibentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi Bangkok yang merupakan badan regional pertama di Asia yang menangani berbagai macam kepentingan dan isu. Awalnya ASEAN terdiri dari lima negara, yaitu Indonesia, Filipina, Singapura, Malaysia dan Thailand. Kemudian jumlahnya bertambah menjadi dua kali lipat di beberapa tahun setelahnya. Di dalam Deklarasi Bangkok, dikatakan bahwa pembentukan kerjasama regional di tiap negara Asia Tenggara yang dikenal sebagai ASEAN itu bertujuan untuk membentuk suatu kerjasama regional di Asia Tenggara dan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, politik, sosial dan budaya serta meningkatkan keamanan dan kestabilan regional (Spiegel, 1995). Berbagai perbedaan dan keragaman yang dimiliki oleh tiap-tiap negara anggota ASEAN disertai dengan kurang berpengalamannya negara-negara Asia Tenggara dalam bidang kerjasama multilateral menyebabkan pembentukan ASEAN menjadi hal yang mengejutkan bagi komunitas internasional lainnya (Stubbs, 2014). Namun setelah beberapa tahun berlalu, ASEAN nyatanya masih berdiri hanya dengan berlandaskan Deklarasi Bangkok sebagai acuan dasar konstitusinya. Padahal Deklarasi Bangkok hanyalah sebuah deklarasi yang terdiri dari lima paragraf yang berisikan prinsip, tujuan serta organ internal dari ASEAN. Universitas Pertamina - 23

34 Terkait hak asasi manusia, negara-negara ASEAN sebenarnya telah meratifikasi beberapa instrumen HAM internasional dan juga ikut berpartisipasi di berbagai perjanjian mengenai HAM seperti deklarasi HAM ASEAN dan Deklarasai Cha Am Hua hin (Wisnu, 2019). Deklarasi adalah perjanjian yang berisikan prinispprinsip hukum dan istilah ini biasanya digunakan untuk kesepakatan dan pernyataan sikap antara para pihak yang dihasilkan dari sebuah konferensi inernasional. Sesuai dengan praktek dan hukum kebiasaan, deklarasi dalam ranah hukum internasional memiliki daya hukum seperti jenis-jenis perjanjian lainnya (Spiegel, 1995). Deklarasi Wina yang disetujui oleh negara-negara anggota ASEAN menjadi titik awal dari komitmen negara-negara anggota ASEAN untuk menegakkan hak asasi manusia di Asia Tenggara (Wisnu, 2019). Perkembangan pembentukan badan ini terlihat dimulai dari pertemuan tingkat menteri ASEAN, yang diadakan pada Juli Pertemuan ini kemudian menyepakati adanya pembentukan dan pelaksanaan High Level Panel on Establishment for ASEAN Human Rights Body, yang bertugas untuk menyusun ToR ASEAN Human Rights Body bersama-sama dalam waktu 1 tahun sejak dibentuk. Kesepakatan ini ialah merupakan sikap lanjutan dari Pasal 14 Piagam ASEAN, mengenai mandat pembentukan ASEAN Human Rights Body. Pada awalnya, nama yang diusulkan beberapa Negara anggota untuk ASEAN Human Rights Body adalah ASEAN Commission on Human Rights, tanpa memakai kata Intergovernmental dikarenakan adanya keinginan agar dinilai sebagai sebuah induk yang berdiri dengan mandiri. Akan tetapi kemudian, pada kenyataannya karena adanya negosiasi politik yang lebih berperan, akhirnya disepakatilah ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR, 2009). Universitas Pertamina - 24

35 Selanjutnya pada KTT ke-21 Tahun 2012 ASEAN menghasilkan Deklarasi HAM yang menjadi salah satu mandat di dalam TOR AICHR. Adapun beberapa masalah penting didalam deklarasi ini adalah (AICHR, 2014) : a. Penegasan kembali komitmen dari Negara-negara anggota ASEAN terhadap perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia dan kebebasan dasar serta prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan yang tertuang dalam piagam ASEAN b. Penekanan kembali komitmen Negara-negara anggota ASEAN terhadap deklarasi Wina, Piagam PBB, Deklarasi Universal HAM, dan instrumen internasional HAM lainnya yang di dalamnya terdapat Negara ASEAN dan merupakan pihak yang ikut serta, serta deklarasi dan instrumen lainnya yang berkaitan dengan HAM c. Pentingnya peran dari AICHR sebagai institusi yang bertanggung jawab bagi perlindungan dan pemajuan HAM di ASEAN yang berkontribusi terhadap terbentuknya komunitas ASEAN yang berorientasi pada konsep masyarakat sebagai sarana pembangunan sosial dan menciptakan lingkungan yang adil serta pemenuhan martabat manusia dan pencapaian kualitas hidup yang lebih baik bagi negara-negara anggota ASEAN d. Menghargai peranan dari AICHR yang telah menyusun deklarasi secara komprehensif tentang HAM melalui adanya konsultasi dengan badanbadan yang ada di dalam ASEAN dan para pemangku kepentingan lainnya Universitas Pertamina - 25

36 e. Pentingnya adanya kontribusi badan-badan dalam ASEAN dan para pemangku kepentingan lainnya dalam perlindungan dan pemajuan HAM di ASEAN serta mendorong adanya keterlibatan dan dialog yang berkelenjutan dengan AICHR (AICHR, 2014) Piagam ASEAN atau ASEAN Charter yang diratifikasi oleh 10 negara di Asia Tenggara ini menjadi landasan utama untuk membentuk AICHR. Pada Piagam ASEAN di pasal 14 berisikan perintah kepada ASEAN untuk dapat membentuk sebuah badan ASEAN yang kemudian diwujudkan pada KTT ASEAN ke 15 di Thailand Tahun 2015 dimana AICHR diresmikan. Komposisi AICHR sendiri terdiri dari perwakilan dari 10 negara anggota ASEAN yang memiliki tanggung jawab pada pemerintah yang menunjuknya. Sebagai sebuah institusi yang berada dibawah naungan ASEAN, AICHR bekerja sama dengan seluruh badan-badan dan pihak-pihak sektoral ASEAN yang terdapat didalam 3 Pilar ASEAN yaitu Pilar Ekonomi ASEAN, Pilar Politik dan Keamanan ASEAN, dan Pilar Sosial dan Budaya ASEAN. AICHR melakukan kordinasi, konsultasi, dan kolaborasi dengan tiga pilar ASEAN tersebut (AICHR, 2014). Perkembangan dan pemajuan HAM di dalam kawasan Asia Tenggara telah memulai babak baru semenjak terbentuknya sebuah mekanisme komisi HAM, yakni AICHR. Kehadiran AICHR dilatarbelakangi oleh minimnya komitmen dari negara-negara anggota ASEAN dalam menegakkan hak asasi manusia, khususnya hak politik dan sipil yang direfleksikan pada terus meningkatnya kasus pelanggaran HAM yang terjadi dalam kawasan meliputi eksploitasi anak, diskriminasi terhadap beberapa etnis grup, perdagangan manusia, korupsi dan konflik bersenjata (Numnak, 2009). Dalam pengertiannya Hak Asasi Manusia (HAM) menurut Universitas Pertamina - 26

37 definisi para ahli yaitu, hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu manusia sebagai anugerah Tuhan yang dibawa sejak lahir kedunia. Sedangkan pengertian HAM menurut perserikatan bangsa-bangsa (PBB) adalah hak yang melekat dengan kemanusiaan kita sendiri, yang mana tanpa hak tersebut kita mustahil hidup sebagai manusia (UNHCR,2017). HAM dan perwujudannya harus di selaraskan dikarenakan suatu bentuk timbal balik yang mengacu kepada konsep kesatuan mutlak HAM. HAM dapat dikatakan dilanggar seseorang, apabila seseorang tersebut telah melanggar hak dan kewajiban HAM orang lain. Contohnya seperti pembunuhan massal atau genosida, pemaksaan kehendak, hak untuk hidup, hak membentuk keluarga, hak untuk memperoleh pendidikan dan keadilan, hak memeluk agama, dll (UNHCR, 2017). Pada dasarnya HAM dikemukakan Untuk menyadarkan manusia mengenai kebebasan dalam ketertiban, tidak bisa dikatakan HAM apabila bebas tapi tak teratur atau berantakan, tidak juga bisa dibilang tertib tapi didikte. Secara umum bidang-bidang yang termasuk kedalam HAM dan diakui oleh dunia meliputi 6 jenis yaitu; 1. Personal Right (Hak Asasi Pribadi) 2. Political Right (Hak Asasi Politik) 3. Property right (Hak Asasi Ekonomi) 4. Rights of legal equality (Hak mendapatkan perlakuan yang sama) 5. Social and culture right (Hak Asasi Social Kebudayaan) 6. Procedural right (Hak mendapatkan pembalaan hukum) Dalam pengimplementasiannya dan menetukan batasan-batasan pada Universitas Pertamina - 27

38 pelanggaran hak asasi manusia, AICHR dibawah naungan ASEAN mengadopsi kebijakan deklarasi universal terkait hak asasi manusia. Dimana pada deklarasi tersebut batasan HAM terbagi atas beberapa pembagian pasal yang tiap-tiao pasalnya menggambarkan perilaku ataupun sikap dari suatu negara atau kelompok individu terhadap sebuah negara atau kelompok individu lainnya yang dikategorikan sebagai pelanggar HAM. Diantaranya diatur dalam pasal (UNHCR, 2017): 1. Pasal 1 Semua orang yang dilahirkan merdeka serta mempunyai hak dan martabat yang sama. 2. Pasal 2 Setiap orang memiliki hak atas kebebasan tanpa adanya pengecualian apapun seperti warna kulit, ras, bangsa, jenis kelamin, agama, bahasa, politik ataupun perbedaan pendapat, kedudukan, kelahiran ataupun hak milik. 3. Pasal 3 Setiap orang memiliki hak untuk hidup, bebas dan keselamatan atas individu 4. Pasal 5 Tidak seorangpun dapat diperlakukan secara kejam, disiksa, memperoleh perlakuan atau mendapatkan hukuman secara tidak manusiawi ataupun direndahkan martabatnya. 5. Pasal Setiap orang berhak atas kebebasan untuk bergerak atau berdiam di dalam batas-batas negara Universitas Pertamina - 28

39 2. Setiap orang memiliki hak untuk meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri dan juga memiliki hak untuk kembali 6. Pasal 15 Setiap orang. Berhak atas sesuatu kewarganegaraan dan tidak ada satu orangpun dapat semena-mena dapat mencabut kewarganegaraannya atau ditolak hak untuk mengganti kewarganegaraan. 7. Pasal Setiap orang berhak untuk ikut serta dalam pemerintahan dinegerinya, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas 2. Setiap orang memiliki kesempatan dan hak yang sama untuk dapat diangkat menjadi pejabat dalam pemerintahan negerinya 3. Kehendak rakyat harus menjadi acuan dasar kekuasaan pemerintah Beberapa pasal diatas mendefinisikan secara keseluruhan mengenai batasan-batasan dalam pelanggran HAM. AICHR dibawah naungan ASEAN juga mengadopsi prinsip dan penafsiran yang sama terkait batasan pelanggaran HAM. Oleh karenanya, jika dilihat dari pasal-pasal tersebut, perilaku yang dilancarkan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya tentu sudah melewati batasan pelanggaran HAM dan dapat dikatakan sebagai pelaku pelanggar HAM. Konflik yang terjadi di Myanmar antara agama Islam dan Budha berdampak jangka panjang bagi etnis Rohingya yang beragama Islam. Egoisme pemerintah Myanmar yang tidak mengakui adanya etnis Rohingya di Myanmar membuat adanya pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga Rohingya. Sejak diterapkan sebuah kebijakan yang disebut burmanisasi, yaitu kebijakan yang hanya mengakui Universitas Pertamina - 29

40 adanya agama Budha di Myanmar (Safdar,2015). Sebagian besar etnis Rohingya yang memilih untuk pergi atau kabur ke negara lain untuk mendapatkan perlindungan dan hidup yang lebih layak karena mereka tidak mendapatkan itu semua di negara mereka sendiri. Yang patut disayangkan dari ini semua ialah, sikap pemerintah Myanmar yang memilih untuk tidak mengakui Rohingnya sebagai bagian dari negaranya dan bersikeras bahwa mereka adalah pendatang baru dari subkontinen India, sehingga konstitusi negara itu tidak memasukkan mereka dalam kelompok masyarakat adat yang berhak mendapat kewarganegaraan (Rahman, 2000). Konflik yang terjadi antara etnis Rohingya dan pemerinah Myanmar telah melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan seperti yang tercantum dalam beberapa pasal yan telah disebutkan. Pertama, kebebasan untuk menganut agama dan kepercayaan. Mayoritas masyarakat di Myanmar memeluk agama Buddha, sedangkan agama Islam sendiri menjadi agama minoritas yang diperkirakan hanya terdapat sekitar lima persen dari keseluruhan jumlah total penduduk Myanmar. Selain terdapat delapan etnis utama, ada sekitar 130 jenis etnis lainnya yang juga merupakan masyarakat yang menduduki Myanmar namun kerap diabaikan dan mengalami diskriminasi dan salah satunya adalah etnis Rohingya (Rahman, 2000). Kedua, pelanggaran hak asasi hukum karena sangat terlihat dimana mereka tidak mendapat perlindungan hukum. Etnis Rohingya sebagai korban penindasan tidak dapat hidup dengan adil dan damai, mereka terus mendapatkan pengusiran dari desa mereka, bahkan untuk pekerjaan pun dibatasi. Jika mereka mendapat perlindungan hukum tentunya konflik ini tidak akan terus berkepanjangan. Banyak dari etnis Rohingnya yang memilih untuk kabur ke negara lain untuk mendapatkan Universitas Pertamina - 30

41 perlindungan dan hidup yang lebih layak karena mereka tidak mendapatkan itu semua di negara mereka sendiri (UNHCR, 2017). Ketiga, anak-anak etnis Rohingnya tidak mendapatkan pendidikan yang layak atau bahkan tidak mendapatkan pendidikan sama sekali dan ini melanggar hak asasi sosial budaya. Dalam kasus ini juga ada pelanggaran hak asasi ekonomi karena rumah mereka dibakar dan mereka diusir dari rumah mereka dan juga dipaksa untuk tinggal dipenampungan, bahkan untuk mencari pekerjaanpun dibatasi oleh pemerintah. Mereka tidak diberi kebebasan untuk menyatakan pendapat mereka sehingga mereka hanya bisa menerima semua perlakuan pemerintah dan tidak dapat melakukan apa-apa (UNHCR, 2017). Keempat adanya pembedaan jenis kewarganegaraan bagi kelompok masyarakat Myanmar yang membagikan tiap-tiap kelompok masyarakat kedalam beberapa kategori yang dimulai dari kelompok warga negara penuh, naturalisasi dan asosiasi. Dari ketiga kategori tersebut, kelompok Rohingya tidak termasuk kedalam kategori manapun. Kelompok ini bahkan sulit untuk dapat mengadopsi ataupun naturalisasi kewarganegaraan dikarenakan adanya anggapan umum dari pemerintah Myanmar bahwa kelompok etnis tersebut merupakan imigran pendatang dari Banglades yang tidak memiliki golongan ataupun bangsa tertentu dan tidak memiliki wilayah kekuasaan maupun wilayah untuk bertempat tinggal (Safdar, 2015). Menilik beberapa fakta dan peristiwa yang telah disebutkan diatas, oerlakuan pemerintah Myanmar terhadap kelompok etnis Rohingya tentu dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM yang dilancarkan oleh negara terhadap suatu kelompok etnis. Peristiwa-peristiwa tersebut tentu telah melanggar Universitas Pertamina - 31

42 setiap ketentuan pasal yang teah disebutkan dalam deklarasi HAM universal. Oleh karenanya, konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar merupakan sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi tanggungjawab AICHR dibawah naungan ASEAN sebagai sebuah institusi penegakan HAM regional yang secara legal menganut pengaturan HAM berdasar deklarasi HAM universal. 2.2 Konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar ASEAN sebagai salah satu institusi regional di kawasan Asia Tenggara merupakan bagian dari keanggotaan PBB yang juga memiliki kewajiban untuk mewujudkan perlindungan terkait perlindungan dan penegakan HAM di wilayahnya. Namun, dalam praktiknya ASEAN kurang fokus dalam mengatasi isuisu mengenai kemanusiaan dan pelanggaran HAM yang terjadi di dalam kawasannya. Berdasarkan data dari Mapelcroft tahun 2014, negara-negara di kawasan ASEAN sebagian besar menunjukkan label berwarna merah yang mengindikasikan bahwa terjadi pelanggaran HAM tingkat tinggi di negara-negara anggotanya, salah satunya Myanmar. Republik persatuan Myanmar atau dikenal dengan sebutan Burma atau Birma oleh negara barat, merupakan negara yang merdeka dari Inggris pada tahun Bergantinya Burma menjadi Myanmar merupakan hasil dari Junta militer Myanmar tahun 1989, dengan tujuan agar etnis non-burma tidak mengalami diskriminasi dan menjadi bagian dari kelompok masyarakat Myanmar. Namun, perubahan nama ini ternyata tidak diadopsi oleh semua negara terlebih negara persemakmuran Inggris. Hal ini dikarenakan negara persemakmuran Inggris tidak pernah mengakui kekuasaan junta militer Myanmar (Raymond, 2014). Universitas Pertamina - 32

43 Penduduk Myanmar merupakan ras keturunan Mongol, selebihnya merupakan keturunan yang berasal dari India dan Pakistan. Hampir sebagian besar penduduk Myanmar merupakan petani dikarenakan kondisi geografis wilayah ini berada di pedesaan dan hanya sedikit yang menduduki perkotaan. Mayoritas penduduk Myanmar berisikan etnis Burma. Setidaknya terdapat 8 etnis besar yang diakui dan diberi wilayah serta otonom khusu di Myanmar, yakni (Safdar, 2015) : 1. Etnis Bamar, merupakan kelompok etnis mayoritas yang terdiri atas dua pertiga total warga Myanmar. kelompok ini beragama Buddha dan bertempat tinggal di sebagian wilayah di Myanmar kecuali di pedesaan 2. Etnis Karem, etnis ini menganut agama Buddha dan Kristen atau perpaduan antara dua agama tersebut yang memperjuangkan hak otonom selama 60 tahun dan menghuni pegunungan yang dekat dengan perbatasan Thailand 3. Etnis Khayah, merupakan etnis yang menganut agama Buddha dan dekat dengan etnis Thai 4. Etnis Rakhine/Arakan, etnis yang kerap disebut sebagai etnis beragama Buddha yang menduduki wilayah Arakan, Myanmar Barat. 5. Etnis Mon, merupakan kelompok etnis Buddha yang menduduki kawasan selatan Myanmar 6. Etnis Kachin, etnis beragama Kristen yang terpecah dari etnis Tiongkok dan India 7. Etnis Chin, merupakan kelompok etnis beragama Kristen yang menduduki wilayah Myanmar yang berbatasan langsung dengan India Universitas Pertamina - 33

44 8. Etnis Shan, kelompok etnis yang beragama Islam dan tinggal di Utara Myanmar yang bersebelahan dengan Tiongkok dan Thailand, yang mayoritasnya beragama Buddha dan agama tradisional lainnya. Mayoritas etnis di Myanmar merupakan etnis yang beragama Buddha, sedangkan Islam menjadi agama minoritas yang diperkirakan hanya sekitar lima persen dari total penduduk Myanmar. Selain kedelapan etnis tersebut, ada sekitar 130 ragam etnis lainnya yang juga menduduki Myanmar yang kerap diabaikan dan mengalami diskriminasi termasuk salah satunya adalah etnis Rohingya (Rahman, 2000). Myanmar merupakan salah satu contoh negara di Asia Tenggara yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Konflik ini melibatkan pemerintah Myanmar dengan salah satu suku di dalam negaranya yakni Rohingya. Rohingya merupakan bagian dari kelompok etnis Indo-Arya yang menetap di wilayah Arakan (sekarang Rakhine) yang juga diduduki oleh kelompok etnis Rakhine. Rohingya dan Rakhine merupakan dua kelompok yang suku yang berbeda. Rohingya merupakan etnis yang mayoritasnya beragama Islam sedangkan Rakhine beragama Buddha. Pemerintah Myanmar memperkirakan jumlah total populasi di Arakan mencapai 3,33 juta jiwa, dimana 2,2 juta jiwa diantaranya adalah umat Buddha Rakhine dan sekitar 1,8 juta jiwa lainnya merupakan etnis Rohingya. (Safdar, 2015). Rohingya merupakan penduduk muslim keturunan Pashu dan Bengali atau Moken yang dikenal sebagai Orang Laut dalam bahasa Melayu. Penduduk Rohingya tinggal di Arakan bagian barat laut antara sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-10 Masehi (Human Rights Watch, 1996). Secara estimologis etnis Rohingya adalah penduduk asli Arakan yang sejak dahulu telah menjadi area masuk Universitas Pertamina - 34

45 dan berkembangnya agama Islam sekitar tahun 100 Hijriyah yang disebarkan oleh pedagang dan pelaut dari Timur Tengah (Rahman, 2000). Perlakuan diskriminasi pada etnis Rohingya ini dimulai dikarenakan adanya perbedaan agama, identitas etnis serta ciri-ciri fisik antara etnis ini dengan etnisetnis yang berada di Myanmar pada umumnya. Pada kisaran tahun 1948 sampai dengan 1962, etnis Rohingya pernah diakui sebagai warga negara Myanmar, bahkan terdapat beberapa etnis Rohingya yang diangkat menjadi anggota parlemen dan menteri. Namun, pada masa kekuasaan Jenderal Ne Win pada tahun 1962, etnis ini mulai mengalami diskriminasi. Terlebih sejak adanya undang-undang kewarganegaraan Burma tahun 1982 yang berisikan mengenai penghapusan etnis Rohingya sebagai warga negara Myanmar (Nuswanto, 2009). Undang-undang ini diumumkan secara resmi setelah datangnya etnis Rohingya secara massal di tahun 1978 (Maghfuri, 2012). Seseorang akan diberikan kartu dengan warna yang berbeda-beda berdasarkan dengan jenis kewarganegaraannya. Warna merah muda sebagai simbol untuk full citizenship, hijau untuk naturalized citizenship dan biru untuk associate citizenship. Status kewarganegaraan ini terbagi atas: 1. Warga negara penuh (full citizenship) adalah penduduk yang tinggal di Myanmar sebelum tahun 1823 dan atau lahir dari orang tua dengan garis keturunan warga negara Myanmar dan diharuskan berasal dari salah satu ras yang berada di Myanmar. 2. Warga naturalisasi (naturalize citizenship) adalah orang yang tinggal di Myanmar tepat sebelum 4 januari pada tahun 1948 dan melakukan pengajuan permohonan kepada Pemerintah Myanmar terkait kewarganegaraan setelah tanggal tersebut. Seseorang Universitas Pertamina - 35

46 tersebut harus bisa menunjukkan bukti yang kuat bahwa orangtuanya masuk serta tinggal di Myanmar sebelum tahun Seseorang yang orangtuanya memiliki jenis kewarganegaraan salah satu dari tiga status kewarganegaraan maka memiliki hak menjadi warga naturalisasi. 3. Warga asosiasi (associate citizenship) adalah mereka yang memperoleh kewarganegaraan melalui Union Citizenship Act tahun 1948 lalu mendaftar kembali sebelum tanggal 15 Oktober 1982 pada saat pergantian undang-undang menjadi Burma Citizenship Law of Permohonan tidak akan diterima jika pengajuannya melewati tanggal tersebut. Lebih lanjut, pada pasal 44 dari undang-undang mengenai kewarganegaraan juga mengatakan bahwa untuk mendapatkan status kewarganegaraan, harus minimal berumur 18 tahun, bisa berbahasa nasional Myanmar, memiliki karakter yang baik, berasal dari ras nasional Myanmar dan berakal sehat (Burma citizenship Law-UN ACT, 2015). Namun, sulitnya untuk memberikan bukti yang kuat mengenai garis keturunan menjadi penghambat bagi etnis Rohingya untuk dapat memperoleh status kewarganegaraannya. Meskipun sejarah etnis Rohingya pada abad kedelapan dapat dilacak, hukum negara Myanmar tidak mengakui etnis tersebut sebagai salah satu ras nasional Myanmar (Safdar, 2015). Penggolongan status kewarganegaraan ini mirip seperti kasta. Penggolongan full citizenship akan memperoleh kemudahan akses terhadap pelayanan publik dan hak penuh. Sedangkan kategori yang lainnya hanya akan menerima haknya secara terbatas, terutama akses terhadap pelayanan publik dan Universitas Pertamina - 36

47 hak-hak politik. Pemerintah Myanmar berpendapat bahwa sistem yang hirarkis dibutuhkan untuk menjaga keamanan dan kepentingan nasional (Raymond, 2014). Ketidakcocokan antara muslim Rohingya dan mayoritas buddhis di Myanmar tidak hanya berdasar pada perbedaan fisik yang cukup mencolok namun pada peradaban antara keduanya. Ketidakcocokan ini lebih kepada kekhawatiran mengenai keamanan dan ideologis yang berkaitan dengan terorisme dan ekstrimisme. Kekhawatiran inilah yang membangkitkan adanya kekerasan dan penganiayaan yang terus dilakukan oleh mayoritas Buddha. Banyaknya perbedaan inilah yang menjadikan pemerintah Myanmar menjatuhkan tuduhan bahwa etnis Rohingya merupakan etnis pengungsi dari Bengali. Namun, hal ini tentu saja dibantah oleh etnis Rohingya dan mereka bersikeras bahwa Rohingya merupakan penduduk asli Arakan yang dilanggar hak asasinya dan diusir dari tanah kelahiran mereka. Etnis Rohingya yang terusir pun memutuskan melakukan eksodus besarbesaran dari Myanmar. Perpindahan ini dilakukan dengan berbagai cara, dan berbagai macam negara tujuan seperti ke Bngaladesh, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Turki. Salah satu cara yang dilakukan oleh etnis Rohingya untuk berpindah ialah dengan menumpang pada kapal ilegal yang melakukan perdagangan manusia ke Malaysia. Selanjutnya, mantan Presiden Myanmar Thein Sein ( ), secara terang-terangan membantah mengenai pelanggaran HAM yang terjadi terhadap etnis Rohingya dan menyebutkan bahwa laporan tersebut merupakan fabrikasi atau dibuat-buat. Thein Sein juga membantah perkataan mengenai bahwa Rohingya merupakan imigran gelap dan penyebutan Bengali (Djafar, 2014). Menurutnya, Universitas Pertamina - 37

48 penyebutan Bengali atas etnis Rohingya merupakan tindakan diskriminatif yang menimbulkan xenophobia. Secara perlahan eskalasi konflik terus meningkat hingga adanya tindakan penghapusan kaum yang dilakukan oleh Pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Peristiwa penghapusan kaum ini merupakan bentuk genosida yang dilancarkan langsung oleh negara. Dikarenakan hal ini, etnis Rohingya bahkan mendapatkan predikat sebagai the most presecuted minority dari PBB (Sun, 2018). Bentuk diskriminasi dan penganiayaan ini tidak lagi berdasar pada sejarah ataupun identitas namun bertolak belakang pada pemberontakan yang pernah dilakukan oleh etnis Rohingya di masa lalu yang membawa serta bendera mujahidin. Perselisihan semakin memuncak ketika keduanya semakin memegang teguh mengenai sejarah etnis mereka di Arakan. Dalam hal ini Pemerintah Myanmar memberikan dukungan terhadap kelompok etnis Rakhine dikarenakan etnis tersebut merupakan salah satu etnis nasional Myanmar yang taat terhadap Buddha dan sering disebut-sebut sebagai etnis yang menahan ekspansi Islam di Myanmar (Septiari, n.d). Konflik antara etnis Rohingya dan Rakhine ini diawali dengan saling menuduh antara satu sama lain mengenai siapa yang melakukan pembantaian pertama kali. Etnis Rakhine mengklaim bahwa etnis Rohingya membantai orang Arakan. Klaim ini kemudian ditanggapi oleh etnis Rohingya yang menyatakan bahwa lebih dari muslim dibunuh oleh Buddhis pada masa perang dunia ke-2 dan diangkat ke media (Septiari, n.d). Isu konflik ini kembali diangkat ke media pada tahun 2012 dimana terjadi sebuah kerusuhan komunal di negara bagian Rakhine dan menuju Myanmar Tengah. Kerusuhan ini berawal dari kasus perampokan, pemerkosaan dan perempuan terhadap seorang perempuan Rakhine Universitas Pertamina - 38

49 yang bernama Thida Hwte di Desa Thabyechaung pada 28 Mei 2012 di Kota Yanbe (Brussels, 2012). Pada 5 Juni media merilis 3 orang pelaku yang merupakan pemuda yang berasal dari kelompok Bengali yang kemudian keesokan harinya ditangkap. Kemudian tersebar pula berita bahwa pada tanggal 3 Juni terdapat sebuah bus yang melewati Taungup berisikan prang muslim doberhentikan oleh 300 orang Buddhis Myanmar. Pada saat itu terjadi pembunuhan dan pembakaran terhadap para penumpung bus termasuk 10 diantaranya merupakan 10 orang non Rohingya. (Brussels, 2012). 2.3 Tugas dan Fungsi AICHR Sebagai Lembaga Penegak HAM Asia Tenggara Tingkat pelanggaran HAM yang tinggi di negara-negara anggota ASEAN khususnya Myanmar, diakibatkan oleh ketertinggalan ASEAN dalam usaha mempromosikan dan melakukan perlindungan terhadap HAM di dalam kawasan. Meski isu mengenai perlindungan HAM sudah dibahas sejak lama oleh institusi regional kawasan lainnya, ASEAN secara perlahan mulai mengejar ketertinggalannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya ASEAN Inter-Parliamentary Asembly (AIPA) ke-26 yang diadakan di Singapura tahun Pertemuan tersebut membahas mengenai isu mengenai kemanusiaan yang pada akhirnya mengeluarkan deklarasi mengenai HAM dan himbauan kepada tiap-tiap pemerintahan negara anggota ASEAN untuk membentuk mekanisme HAM (ASEAN, 2014). AIPA ke-26 ini mengawali sejarah penegakan HAM di Asia Tenggara hingga pada akhirnya pada tahun 2009 pada KTT ASEAN ke-15 di Thailand dokumen The Cha-am Hua Hin on the Inauguration of the AICHR disahkan. Pengesahan dokumen tersebut sekaligus meresmikan berdirinya ASEAN Universitas Pertamina - 39

50 Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR). Pembentukan AICHR ini merupakan perwujudan dari negara-negara anggota ASEAN untuk mematuhi prinsip-prinsip dari demokrasi, asas pemerintahan yang baik, rule of law, serta komitmen untuk melindungi HAM dan kebebasan fundamental (ASEAN, 2009). Dasar hukum pembentukan AICHR ini ialah Pasal 14 Piagam ASEAN, yang berbunyi: In conformity with purposes and principles of the ASEAN Charter relating to the promotion and protection of human rights and fundamental freedoms. ASEAN shall establish and ASEAN human rights body (ASEAN, 2009). Tujuan dari AICHR ini disebutkan dalam pasal 1 ayat (1) dari Terms of Reference (ToR) yakni: untuk meningkatkan dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan fundamental dari masyarakat ASEAN. Sedangkan pada pasal 1 ayat (3) berisikan tentang aturan mengenai perwujudan tujuan yang tertulis pada Piagam ASEAN, yakni meningkatkan stabilitas, kerjasama, keharmonisan, serta hubungan baik antar negara-negara anggota ASEAN (AICHR, 2009). Lebih lanjut di dalam Pasal 1 ayat (4), tujuan dari dibentuknya AICHR adalah untuk dapat mewujudkan apa yang tertulis dalam Bangkok Declaration on Human Rights yang menekan adanya keunikan regional dalam upaya penegakan hak asasi manusia, sebagaimana yang dikemukakan di Vienna World Conference on Human Rights tahun 1993, yakni: national and regional particularities and mutual respect for differen historical, cultural and religious backgrounds, and taking into account the balance between rights and responsibilities (ASEAN, 2009). Universitas Pertamina - 40

51 Mandat dan fungsi dari AICHR sebagai sebuah mekanisme penegak HAM di regional Asia Tenggara tertulis dalam pasal 4 ToR AICHR. Terdapat 14 mandat serta fungsi dari AICHR yakni : (1) mengembangkan strategi untuk memajukan dan melindungi hak-hak asasi manusia; (2) merumuskan Deklarasi HAM ASEAN; (3) meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pelaksanaan HAM; (4) meningkatkan kapasitas pengimplementasian kewajiban-kewajiban yang tedapat di dalam berbagai konvensi dan perjanjian internasional terkait HAM; (5) mendorong tiap negara-negara anggota ASEAN untuk meratifikasi instrumeninstrumen hak asasi manusia di lingkup internasional; (6) mendorong pelaksanaan dari instrumen-instrumen ASEAN yang terkait dengan HAM; (7) memberikan advisory service mengenai HAM kepada badan-badan terkait di ASEAN apabila diminta; (8) ikut serta dalam berbagai konsultasi, diskusi dan dialog dengan aktoraktor lainnya di ASEAN, termasuk seperti lembaga-lembaga swadaya masyarakat; (9) meminta pendapat kepada berbagai institusi HAM nasional, regional dan internasional lainnya yang bergerak di bidang pemajuan dan perlindungan HAM; (10) mengumpulkan informasi dari negara-negara anggota dengan tujuan untuk pemajuan dan perlindungan HAM; (11) melakukan suatu pendekatan umum dan memberikan sikap atas setiap permasalahan-permasalahan HAM yang terkait dengan ASEAN; (12) melakukan penelitian atas isu-isu mengenai hak asasi manusia; (13) memberikan laporan secara berkala pada saat pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN mengenai setiap kegiatan AICHR atau laporan lainnya apabila diminta; (14) melakukan tugas-tugas lainnya sesuai dengan hasil pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AICHR,2009). Dari ke-14 mandat tersebut, hanya terdapat tiga buah mandat yang secara eksplisit menyebutkan mengenai fungsi Universitas Pertamina - 41

52 perlindungan, yakni pasal 14 ayat (1), ayat (9) dan ayat (10). Selebihnya, mandat dan fungsi lainnya berfokus pada meningkatkan inisiatif dan kesadaran, promosi, serta hal-hal lainnya yang menunjukkan bahwa AICHR lebih mengarah pada fungsi promosi daripada fungsi perlindungan. Berdasarkan pada kerangka acuan pembentukan AICHR, komisi ini sendiri merupakan suatu badan intergovernmental yang terintigrasi dengan ASEAN. Istilah intergovernmental menunjukkan bahwa AICHR tidak memiliki otoritas terhadap tiap negara-negara anggotanya. Tidak seperti institusi hak asasi manusia regional lainnya (Gamez, 2017), komisi ini tidak memiliki kekuatan ataupun wewenang untuk memberikan negara anggotanya sanksi maupun hukuman, juga melakukan kunjungan pada negara-negara anggota untuk melakukan investigasi mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam negara anggotanya. Meskipun di dalam kerangka acuan telah disebutkan mengenai hak serta kewajiban negara-negara anggota untuk memberikan laporan secara berkala pada tiap pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN. Namun, tidak terdapat keterangan serta penjelasan lebih lanjut mengenai tindakan apa yang dilakukan oleh AICHR terhadap laporan-laporan tersebut. selain itu, ASEAN juga merupakan badan yang sifatnya konsultatif. Secara umum konsultatif dapat diartikan kedalam tiga buah arti, yakni (Numnak, 2009): 1. Di bawah Protokol PBB, sebuah institusi yang menyandang status konsultatif berarti dapat memberikan laporan baik secara lisan maupun secara tertulis. Selain itu, sebuah institusi tersebut juga dapat mengajukan pengaduan. 2. Dalam sebuah definisi yang lebih luas, badan yang konsultatif Universitas Pertamina - 42

53 berarti dapat memberikan rekomendasi dan dapat menjadi tempat untuk dapat melakukan konsultasi. 3. Secara politis, badan yang sifatnya konsultatif berarti harus melakukan konsultasi dan harus mendapatkan persetujuan dari tiap-tiap negara anggotanya apabila hendak mengambil keputusan. Mengingat bahwa AICHR merupakan lembaga yang terintegrasi dengan ASEAN dan meletakkan kekuatan dalam pengambilan keputusannya pada konsensus yang diwakili oleh setiap perwakilan negara anggotanya, maka terdapat kemungkinan bahwa sebuah badan hak asasi manusia ini cukup diragukan terkait fungsi pengaduannya. Jika dilihat dari ketiga definisi tersebut terkait konsultatif, definisi yang ke-tiga merupakan definisi yang dimaksudkan terhadap AICHR. Penyebutan konsultatif dalam kerangka acuan ini mengundang banyak kritik baik dari dalam negara anggota ASEAN maupun dari luar (Numnak, 2009). Kata konsultatif ini dianggap sebagai sebuah penekanan terhadap adanya prinsip nonintervensi yang dianut oleh ASEAN dan memunculkan stigma bahwa tujuan dan fungsi utama komisi ini ialah untuk menjalankan fungsi edukatif serta promosi hak asasi manusia yang tidak terdapat adanya pemberian sanksi dan penegakan HAM yang sesungguhnya. Terbentuknya AICHR merupakan sebuah batu loncatan dalam dunia hak asasi manusia di kawasan Asia Tenggara. Proses yang memakan waktu begitu lama pada akhirnya melahirkan sebuah komisi yang beranggotakan setiap perwakilan negara anggota ASEAN. AICHR juga merupakan bentuk perwujudan dari Pasal 14 Piagam ASEAN yang dibentuk dalam rangka memperkuat ASEAN dan Universitas Pertamina - 43

54 menciptakan ASEAN community (Numnak, 2009). Namun, penegakkan HAM di kawasan Asia Tenggara tidaklah mudah. Terbentuknya AICHR tidak dengan serta merta mengatasi dan mengurangi pelanggaran HAM dalam kawasan terlebih mengingat tatanan sistem internasional yang anarki. Terlebih pada penyelesaian konflik Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Direktur Pusat Informasi dan Advokasi Indonesia mengenai Rohingya-Arakan, Heri Aryanto mengatakan bahwa pemerintah Myanmar merupakan pemain dibalik kerusuhan yang menimpa etnis muslim Rohingya dan dengan sengaja membiarkan kerusuhan tersebut. selain itu, beliau juga menyebutkan bahwa terdapat tim khusus yang dinamakan Rohingya Elimination Group (REG) yang merupakan tim yang dibentuk dengan sengaja untuk menghilangkan etnis muslim di Myanmar dan terkenal dengan sebutan 969. Kelompok ini juga melakukan provokasi terhadap warga dengan mendistribusikan video atau buku yang menghina agama islam (Gamez, 2009). Untuk itu sebagai lembaga regional yang bergerak menegakkan dan melindungi HAM, AICHR memegang peranan yang cukup penting. Adapun beberapa peran AICHR dalam upaya perlindungan HAM di kawasan regional Asia Tenggara antara lain adalah sebagai instrumen, sebagai komunikator, dan sebagai third parties. AICHR sebagai instrumen sesuai dengan salah satu peran institusi yang diungkapkan oleh Clive Archer (1983), dimana AICHR memegang peranan sebagai alat yang dipakai oleh tiap-tiap negara anggota ASEAN untuk dapat melaksanakan kepentingannya terkait penegakan HAM, yakni dengan mengimplementasikan ketentuan HAM dalam regional dan sebisa mungkin menghindari adanya konflik dalam kawasan. Penegakan HAM yang dilakukan ASEAN melalui AICHR dilakukan dengan pengimplementasian ketentuan HAM Universitas Pertamina - 44

55 secara preventif yang menghindari coercion dan pengadaan konvensi-konvensi yang membahas mengenai HAM. Ketentuan mengenai HAM pernah dibahas dalam pertemuan pada tanggal 21 Februari 2010 di Vientiane, Laos. Pertemuan ini membahas mengenai perihal penegakan HAM tanpa menggunakan kekerasan serta pembuatan draft mengenai kebijakan pencegahan tindakan koersif (Indra, 2018). AICHR sebagai komunikator berperan dalam penyelenggaraan forumforum diskusi antar negara-negara anggota ASEAN. Selain itu, AICHR juga memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan isu-isu yang benar mengenai HAM kepada tiap-tiap negara anggota guna untuk memajukan dan melindungi HAM di negaranya masing-masing, khususnya negara-negara yang penegakan HAM nya lemah seperti Myanmar. AICHR juga berperan sebagai wadah yang menampung setiap informasi yang disampaikan oleh negara-negara anggotanya mengenai isuisu terkait HAM dan menyerahkan laporan tahunannya atau laporan lainnya yang diperlukan pada saat pertemuan tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN (Indra, 2018). Selain itu, bentuk AICHR sebagai komunikator juga dicerminkan dalam pengadaan setiap workshop dan diskusi-diskusi ringan yang bertujuan untuk mempromosikan isu mengenai HAM di kawasan tiap-tiap negara anggota ASEAN. Selanjutnya, AICHR dalam perannya sebagai institusi penaung HAM di kawasan ASEAN dengan tanggung jawab yang menyeluruh terhadap pemajuan serta perlindungan HAM di Asia Tenggara dan dimanfaatkan oleh tiap-tiap negara anggota sebagai forum diskusi mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan isu HAM di negaranya. AICHR mengadakan rapat pertamanya di Sekretariat ASEAN di Jakarta guna untuk berdiskusi dengan badan-badan ASEAN yang terkait untuk membahas mengenai operasi AICHR yang lebih efektif sebagai sebuah Universitas Pertamina - 45

56 lembaga HAM yang menyeluruh di kawasan ASEAN (AICHR, 2014). Pertemuan ini juga membahas antara lain, perumusan mengenai prosedur pedoman operasional pelaksanaan pekerjaan AICHR di segala aspek, penembangan Rencana Kerja Lima Tahun agar dapat menyediakan langkah-langkah yang komprehensif dengan kegiatan dan program yang akan dilakukan oleh AICHR dalam kurun waktu lima tahun kedepan (AICHR, 2010). Dalam pemaparannya, Sekretaris Jenderal ASEAN, Dr. Surin Pitsuwan mengatakan bahwa isu Rohingya dapat mengganggu kestabilan kawasan apabila komunitas internasional termasuk ASEAN gagal dalam merespon krisis tersebut secara efektif dan tepat. Beliau juga mengatakan bahwa ASEAN tidak dapat menekan pemerintah Myanmar agar dapat memberikan kewarganegaraan pada etnis Rohingya, dalam kasus yang terjadi dalam Myanmar, prinsip non-intervensi dalam urusan internal antar negara anggota ASEAN yang tercantum pada piagam ASEAN, membatasi ruang gerak AICHR untuk dapat bertindak menegakkan perlindungan HAM dalm skala regional (Gamez, 2017). AICHR tidak dapat menegakkan hukum terhadap pemerintah Myanmar karena tidak adanya legitimasi hukum dalam skala regional yang memberikan kewenangan untuk dapat bertindak. The ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) sejak kelahirannya telah mencapai hasil-hasil antara lain; mengadopsi panduan mengenai operasi AICHR, membentuk tim yang menyusun deklarasi HAM ASEAN dimana deklarasi tersebut menjadi sebuah roadmap untuk penegakan HAM regional, membuat TOR tim penyusun deklarasi HAM ASEAN, mengadopsi aturan prosedur terkait dana AICHR, mengadopsi studi tematik tentang program CSR dan HAM di ASEAN, menyetujui elemen kunci rencana kerja lima tahun Universitas Pertamina - 46

57 AICHR periode , menyetujui TOR tentang migrasi, melakukan dialog dengan mekanisme HAM Inter-Amerika, UN Women, UNDP, UNHCR, serta beberapa wakil institusi HAM Internasional di New York dan Washington serta dialog dengan European Fundamental Rights Agency, Commisioner of Human Rights of CoE, Council of Europe, European Human Rights Court 2011 (Djafar,2014). Berdasarkan peranan yang dipegang oleh AICHR, dalam mengatasi pelanggaran HAM di Myanmar, AICHR telah mengambil beberapa langkah kegiatan antara lain: pertama yakni mengadakan beberapa pertemuan. Seperti pada pertemuan yang dilakukan di Yangon, Myanmar pada tanggal 8-11 Februari 2014 yang membahas mengenai peran AICHR terkait kontribusinya terhadap perkembangan ASEAN. pada pertemuan ini, AICHR menjadwalkan serangkaian konsultasi untuk mengumpulkan masukan dari setiap pemangku kepentingan yang mana rumusan ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi ASEAN untuk menyelesaikan permasalahan mengenai pelanggaran HAM (AICHR, 2014). Pertemuan berikutnya ialah pertemuan ke 16 pada tanggal 3-4 Oktober 2014 yang dipimpin oleh H.E U kyaw Tint Swe, sebagai ketua AICHR sekaligus perwakilan Myanmar. Pertemuan ini membahas mengenai laporan untuk menteri luar negeri ASEAN dan pengadopsian sejumlah inisiatif yang berkaitan dengan mempromosikan HAM di ASEAN, terutama untuk wilayah Myanmar dan perlindungan terhadap anak. Selain beberapa pertemuan, AICHR juga mengadakan workshop di Myanmar yang dihadiri oleh sekitar 80 peserta yang merupakan praktisi CSR dan HAM serta stakeholder regional dari pemerintah, masyarakat sipil dan bisnis (Triono, 2014). Workshop ini juga dihadiri oleh beberapa perwakilan dari Universitas Pertamina - 47

58 AICHR dan memberikan kesempatan kepada setiap peserta untuk dapat mendiskusikan isu terkait kemanusiaan dan belajar dari pengalaman dari satu sama lain. Selain pertemuan dan beberapa workshop, dalam menegakkan HAM di Myanmar, AICHR juga memberikan edukasi bagi masyarakatnya tentang hak asasi manusia. hal ini diwujudkan oleh AICHR dalam seminar AICHR Youth Debate of Human Rights. Seminar ini diadakan oleh AICHR di beberapa universitas yang ada di Myamar dengan tujuan untuk menumbuhkan kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya penegakan hak asasi manusia (Saputri, 2014). Upaya AICHR juga tercantum dalam kegiatan Five-Year Work Plan of AICHR ( ) yang berisikan (AICHR, 2014): 1. Mengembangkan dan menyelesaikan kegiatan dengan tempo jangka pendek atau jangka panjang yang berkontribusi dalam mendukung pelaksanaan rencana kerja 5 tahun AICHR 2. Melakukan kunjungan dengan badan-badan terkait HAM baik regional maupun internasional lainnya. 3. Melakukan konsultasi dan dialog dengan tiga komunitas ASEAN lainnya mengenai perlindungan dan pengembangan hak asasi manusia sesuai dengan komunitas masing-masing 4. Membuat deklarasi HAM (ASEAN Human RightsDeclaration) 5. Mendukung setiap pemajuan instrumen hukum ASEAN lainnya yang terkait dengan hak asasi manusia yang dilakukan oleh badan-badan ASEAN lainnya Universitas Pertamina - 48

59 6. Melakukan pengembangan informasi umum terkait AICHR termasuk menerjemahkannya kedalam berbagai Bahasa nasional Negara-negara anggota ASEAN 7. Menyelenggarakan seminar/workshop baik ditingkat nasional maupun regional 8. Menyelesaikan instrumen internasional terkait hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Negara anggota ASEAN 9. Mendapatkan salinan dan laporan dari tiap Negara anggota ASEAN yang kemudian diberikan kepada badan hak asasi manusia PBB Beberapa implementasi kegiatan dari Five-Year Work Plan AICHR yakni (AICHR, 2014): 2. Regional Dialogue on the Mainstreaming of the Rights of Person with Disabilities in the ASEAN Community yang diadakan pada tahun 2015 di Bangkok, Thailand. 3. Regional Workshop AICHR on the Role of Youth in Promoting Human Rights in ASEAN: Making Rights A Reality yang diadakan di Kuala Lumpur, Malaysia. 4. AICHR Workshop on the Implementation of Human Rights Obligations Relating to the Environment and Climate Change pada tahun 2015 di Mandalay, Myanmar. 5. AICHR Youth Debates on Human Rights yang diadakan pada tahun 2015 di Singapura Universitas Pertamina - 49

60 6. Sharing National Experience on Human Rights Implementation in ASEAN yang diadakan pada tahun 2014 di Luanprabang, Laos. 7. The AICHR Training of Trainers on ASEAN Human Rights Mechanism for ASEAN Member States Law Enforcement Officers yang diadakan pada tahun 2014 di Bali 8. Workshop on Coorporate Social Responsibility (CSR) and Human Rights in ASEAN: Outcames of the AICHR Thematic Study yang diadakan pada tahun 2014 di Singapura 9. The AICHR and ACWC (ASEAN Commision on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children) Consultation Meeting yang diadakan pada tahun 2014 di Sekretariat ASEAN 10. Consultation on the AICHR s Thematic Study on Migration yang diadakan pada tahun 2013 di Bangkok, Thailand 11. Intensive Learning Workshop on Womens Human Rights for theregional and National Secretariats to ASEAN Human Rights Bodies yang diadakan pada tahun 2013 di Bali, Indonesia. 12. Regional Workshop and Coonsultation on Business and Human Rights in ASEAN yang diadakan pada tahun 2012 di Singapura 13. Menyusun draft ASEAN Human Rights Declaration yang telah disetujui pada KTT ASEAN yang ke-21 pada tahun 2012 di Bangkok. Universitas Pertamina - 50

61 BAB III FAKTOR PENGHAMBAT AICHR DALAM PENEGAKAN HAM PADA KONFLIK ROHINGYA-PEMERINTAH MYANMAR 3.1 Analisis Faktor Eksternal Efektivitas AICHR dalam Penanganan Konflik Rohingya-Myanmar Faktor eksternal sebuah institusi adalah faktor yang berasal dari luar institusi yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, tujuan, serta praktik dari sebuah institusi tersebut. Lingkungan eksternal merupakan kekuatan yang timbul dari luar batas sebuah institusi yang dapat mempengaruhi tindakan dan keputusan sebuah institusi seperti pasar, ekonomi dan peraturan pemerintah (Smith, 1993) Patterns of Interest Perilaku sebuah institusi terkait pengambilan sebuah kebijakan dapat dinilai positif atau tidak. Sebuah organisasi yang positif dalam pengambilan kebijakan akan bernilai positif dan kebijakan yang diambil efektif terhadap sebuah isu atau peristiwa. Kebijakan dapat bernilai negatif apabila di dalam sebuah wilayah terdapat dua buah institusi dengan tujuan dan kepentingan yang sama sehingga institusi tersebut menjadi tidak efektif. Dalam merespon konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar, ASEAN selain membentuk AICHR juga membentuk ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar Caucus (AIPMC). AIPMC beranggotakan beberapa perwakilan dari negara Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, Kamboja dan Filipina Universitas Pertamina - 51

62 yang aktornya bukanlah pejabat pemerintah atau orang yang bergelut dalam bidang politik. AIPMC melakukan beberapa kegiatan yang berkaitan untuk menegakan hak asasi manusia khususnya konflik yang terjadi di Myanmar. AIPMC selama dibentuk banyak bertindak menyerukan aksi dukungan penyelesaian konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar kepada beberapa institusi internasional dan beberapa instrumen penegakan HAM lainnya (Burma Partnership, 2013). Keberadaan AIPMC yang dibentuk ASEAN yang kemudian disusul dengan keberadaan AICHR tentu menimbulkan kebingungan antara keduanya. AIPMC pasca pembentukan AICHR menjadi sebuah komisi yang tidak memiliki fungsi bahkan dapat dinilai sia-sia (Gamez, 2017). Dimulai dari anggota AIPMC yang berasal dari negara anggota ASEAN, dimana AICHR juga beranggotakan negara anggota ASEAN. Mandat dan tujuan dari keduanya juga berhubungan dengan penegakan hak asasi manusia dan turut menangani kasus yang sama. Keberadaan komisi ini akan berakibat pada pelimpahan tanggungjawab antara keduanya yang nantinya akan berakibat pada sulitnya penyelesaian konflik dikarenakan akan menimbulkan pertanyaan mengenai institusi atau komisi manakah yang bertanggungjawab Distributions of Influence Pada sebuah institusi, pengaruh memiliki peranan dan dampak yang cukup besar bagi proses pengambilan keputusan sebuah institusi dan juga tindakan yang diambil oleh institusi tersebut. Dalam hal pengaruh, tiap-tiap institusi tentunya memiliki faktor pengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan lingkungan, budaya dan sosial dimana sebuah isntitusi itu berada. Di dalam AICHR pengaruh yang paling besar yang juga menghambat dan menjadi kendala utama jalannya institusi Universitas Pertamina - 52

63 ini adalah adanya prinsip non-interference atau dengan kata lain prinsip nonintervensi. Kata intervensi kerap dipakai untuk menunjukkan tindakan campur tangan yang dilakukan oleh suatu negara dalam urusan dengan negara yang lain (Starke, 2007). Non-intervention is a foreign principle which holds that political rulers should avoid alliances with other nations, but still retain diplomacy, and avoid all wars not related to direct self-defense. This is based on the grounds that a state should not interfere in the internal politics of another state, based upon the principles of state sovereignty and self-determination. A similar phrase is strategic independence (Starke, 2007) Prinsip non-intervensi sendiri juga merupakan suatu kewajiban dimana setiap negara berdaulat tidak ikut campur tangan dalam setiap urusan negara lain (Spiegel, 1995). Prinsip ini dijalankan oleh negara karena didasari paham kemerdekaan dan adanya kesepahaman mengenai persamaan derajar antar tiap negara, artinya negara yang berdaulat akan bebas dari negara lainnya dan juga memiliki derajat yang sama dengan negara yang lain (Kusumaatmadja, 2003). Di dalam AICHR sendiri prinsip non-intervensi dimuat secara tegas dalam dokumen ASEAN. Sejak awal ASEAN dibentuk prinsip ini telah dimuat dalam Deklarasi Bangkok, dalam berbagai pertemuan dan berbagai perjnjian antarnegara ASEAN seperti saat pembukaan deklarasi the Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) tahun 1971 dan dimuat dalam salah satu prinsip yang disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) (ASEAN, 2008): Universitas Pertamina - 53

64 ASEAN and its Member States shall act accordance with the following principles: (e) non-interference in the internal affairs of ASEAN Member states Keberpihakan setiap negara anggota ASEAN dalam mempercayakan prinsip non-intervensi sebagai pondasi utama dari ASEAN menjadikan banyaknya pelanggaran HAM baik berat maupun ringan di Asia Tenggara. Keberadaan prinsip ini menjadikan negara juga ikut serta tidak melakukan fungsi perlindungan HAM, maksudnya adalah kedaulatan dari negara secara tidak langsung dimaklumi oleh masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Adanya prinsip ini akan berdampak pada meningkatnya peluang peningkatan terjadinya kejahatan manusia. Konflik Myanmar merupakan salah satu isu yang dapat dijadikan contoh mengenai keberadaan prinsip non-intervensi yang menjadikan terhambatnya penyelesaian terhadap kasus ini. Di dalam TOR AICHR maupun ASEAN Charter tidak mengatur secara jelas dan tegas mengenai pengaturan melakukan campur tangan terhadap negara lain apabila di dalam negara tersebut terjadi pelanggaran HAM. Hal ini mengakibatkan AICHR sebagai sebuah institusi penegakan HAM di Asia Tenggara hanya menjadi hiasan dan diabaikan dikarenakan tugasnya hanya sekedar promosi HAM di regional saja (ASEAN, 2008). Dari sisi fungsional sendiri setidaknya terdapat tiga (3) obligasi yang harus dipatuhi oleh tiap-tiap negara anggota ASEAN sebagai bentuk konsekuensi dari adanya prinsip non-intervensi, yaitu: 1. Dilarang keras untuk melakukan protes terhadap tindakan apapun yang dilakukan oleh negara lainnya terhadap warga negara anggotanya, termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia Universitas Pertamina - 54

65 2. Mengkritisi tindakan sari suatu negara juga melanggar prinsip nonintervensi 3. Menolak permohonan suaka, pengakuan atau bentuk dukungan lainnya terhadap kelompok pemberontak yang mengganggu keamanan dari negara tetangga. Dari ketiga poin tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen dari negara-negara anggota ASEAN mengenai penegakan dan perlindungan HAM wraga negaranya. Pertanyaan ini wajar muncul dikarenakan prinsip non-intervensi jelas mengharuskan para pemimpin ASEAN harus bertindak mengabaikan pelanggaran yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya (Soetjipto, 2015). Selain adanya keberadaan prinsip non-intervensi, AICHR menjadi instiusi yang tidak efektif dikarenakan kurangnya dorongan masyarakat di ASEAN dalam mendorong AICHR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini dikarenakan sejak awal pembentukannya, AICHR sendiri dikecam oleh masyarakat ASEAN dan dianggap sebagai sebuah institusi yang tugas dan fungsinya berkontradiksi dengan ASEAN karena menolak mengadakan pertemuan dengan masyarakat sipil. Menurut perndapatnya Yap Swee Seng, AICHR sebagai sebuah institusi penegakan HAM yang menolak pendapat serta pengadaan pertemuan dengan masyarakat sipil, tidak mencerminkan perilaku dari sebuah institusi HAM, dimana keberadaan HAM itu sendiri objek kajian dan target dari visi dan misi institusinya merupakan masyarakat sipil namun justru tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat sipil Universitas Pertamina - 55

66 untuk ikut turun tangan (SAPA TFAHR, 2010) Nature of the Issue Area Tindakan aktor dalam merespon sebuah isu diperlukan untuk dapat menetukan efektivitas dari sebuah institusi. Oleh karenanya setiap aktor yang terlibat diharuskan agar dapat memprediksi ancaman dari sebuah isu. Hal ini diperlukan agar intitusi tersbut dapat menekan dampak yang diakibatkan oleh isu tersebut. dalam hal ini, AICHR sebagai sebuah institusi tidak dapat menentukan ancaman ataupun memprediksi ancaman di dalam Asia Tenggara yang terkait dengan hak asasi manusia. 1. Tertutupnya Negara Myanmar Salah satu bentuk ancaman yang tidak dapat diprediksi AICHR dalam penangan kasus konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar adalah keberadaan Pemerintah Myanmar yang tertutup dan enggan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai konflik yang terjadi di dalam negaranya tersebut. Tertutupnya Myanmar terhadap negara-negara anggota AICHR termasuk AICHR terkait pelanggaran masalah HAM di Rohingya tentu menghambat kinerja dari AICHR. Kurang informasi serta tidak terbukanya pihak Myanmar tentu akan berakibat pada eskalasi konflik yang lebih lanjut dan berujung pada meningkatnya jumlah korban jiwa dan eksodus besar-besaran dari etnis Rohingya keberbagai wilayah di Asia Tenggara yang tentunya akan mengganggu kestabilan dari wilayah Asia tenggara itu sendiri. Terkait penegakan dan pemajuan HAM sendiri padahal di dalam kerangka acuan telah disebutkan mengenai hak serta kewajiban negara-negara anggota untuk memberikan laporan secara berkala pada tiap pertemuan Menteri Luar Negeri Universitas Pertamina - 56

67 ASEAN. Namun, pihak Pemerintah Myanmar seolah menutupi permasalahan tersebut dan tidak membuka diri. Menurut penjelasan yang disampaikan oleh salah satu tokoh Buddha yakni Philip Wijaya, sikap pemerintah Myanmar yang terkesan menutup dirinya serta menunjukkan respon yang sangat minim atas tuntutan dunia terhadap tindakan genosida dan pelanggaran HAM yang menimpa etnis Rohingya sangat disayangkan (Ramalan, 2017). Dalam pernyataannya tersebut, ia juga menambahkan bahwa Pemeritah Myanmar memiliki kemampuan komunikasi yang buruk ke dunia Internasional dan tidak memberikan gambaran yang bagus dan sesungguhnya ataupun mengundang dunia unternasional untuk dapat turun dan menyaksikan langsung bagaimana keadaan yang sesungguhnya di Myanmar. Sedangkan menurut Wakil Indonesia untuk AICHR yakni Yuyun Wahyuningrum mengatakan bahwa jika permasalahan ini dilihat melalui level Nasional Myanmar, permasalahan etnis Rohingya ini tidak dianggap sebagai isu yang penting bagi Pemeritah Myanmar itu sendiri (Syakur, 2019). AICHR sebagai institusi khusus yang dibentuk dalam rangka menegakkan HAM di regional tentu memiliki peran yang cukup penting dalam penyelesaian kasus ini. keberadaan Pemerintah Myanmar yang menutup diri tentu tidak hanya akan berakibat pada stabilitas kawasan namun juga akan berdampak pada stabilitas di wilayah lain, seperti Bangladesh. 2. Terganggunya stabilitas wilayah lain Aliran migrasi dari Rohingya ke Bangladesh dimulai pada tahun 1978, saat pemerintah junta militer Myanmar melakukan operasi yang dinamakan operasi Naga Min. Setidaknya terdapat sekitar orang Rohingya melarikan diri ke Bangladesh dengan tujuan untuk mencari perlindungan. Jumlah aliran migrasi Universitas Pertamina - 57

68 tumbuh lebih besar, yakni orang di tahun Saat itu pemerintah Myanmar tidak henti-hentinya melakukan tindakan represi kepada etnis Rohingya. Pemerintah Bangladesh menerima pengungsi dari Rohingya dengan menyediakan dua puluh kamp pengungsian yang ditempatkan di distrik Cox s Bazar (Mapelcroft, 2013). Orang Rohingya yang datang ke Bangladesh berniat ingin menghindari tekanan serta kesulitan yang didapatkan di negara asal, kebanyakan etnis Rohingya yang datang ke Bangladesh dan beberapa negara lainnya pun harus menghadapi banyak kesulitan di negara tujuan. Orang-orang yang bermigrasi biasanya kerap akan ditempati di wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi juga disertai dengan tingkat pembangunan yang rendah dengan jumlah kapasitas lokal yang sangat terbatas, serta tingkat sosial ekonomi dan politik yang buruk (Lwin, 2012). Oleh karenanya, permasalahan yang seringkali terjadi di wilayah-wilayah kamp pengungsian adalah sumber daya primer, seperti ketersediaan air, tempat tinggal, sanitasi, dan makanan yang buruk. Dalam menanggapi hal ini pemerintah Bangladesh mengambil sikap dengan membenahi kualitas dari tempat tinggal di tempat pengungsian, meskipun hasilnya juga tidak dapat dikatakan sebagai tempat yang layak untuk dihuni (Lwin, 2012). Peningkatan kualitas kamp pengungsi Rohingya ini tentu saja meggolontorkan dana Pemerintah Bangladesh, yang tentu sangat mengganggu stabilitas negaranya. Namun, meskipun begitu, Keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh Pemerintah Bangladesh ini tidak semerta-merta menghentikan laju migrasi korban konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar untuk tetap masuk ke Bangladesh. Selain dikarenakan adanya faktor tidak memungkinkannya etnis Rohingya untuk tetap berada di wilayahnya sendiri (Myanmar), seperti tidak terpenuhinya akses terhadap kebebasan dasar dan Universitas Pertamina - 58

69 kesempatan, faktor adanya kesamaan etnis serta agama memberikan etnis Rohingya rasa aman untuk tetap menetap di Bangladesh daripada harus kembali ke wilayahnya meskipun kamp pengungsian di Bnagladesh tidak layak untuk dihuni (Bashar, 2012). Namun perihal migrasi dan eksodus ini tidak diprediksi oleh AICHR sebelumnya sehingga dampak yang diakibatkan oleh konflik sangat besar dan mengganggu stabilitas dari kawasan lainnya. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang terkena dampak dari adanya migrasi etnis Rohingya. Saat ini Indonesia mencoba mendorong Pemerintah Myanmar untuk dapat menindak lanjuti laporan yang berjudul Towards a Peaceful, Fair, and Properous Future for the People of Rakhine yang merupakan hasil investigasi yang dipimpin oleh Kofi Annan (Bashar, 2012). Laporan tersebut merupakan hasil kerjasama pejabat Pemerintah Myanmar dengan sipil lain dengan tujuan untuk meneliti akar permasalahan konflik yang terjadi di Rakhine dimana mayoritas etnis Rohingya menetap. Salah satu pengamat Hubungan Internasional yang pernah berkecimpung langsung di dalam AICHR yakni Dinna Wisnu memberikan pandangan bahwa di satu sisi sejumlah badan dan elemen yang berada di Myanmar sebetulnya ingin bergerak untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia dan mengatasi permasalahan mengenai Rohingya dan Pemerintah Myanmar, akan tetapi di sisi lainnya sebagian lebih negara ASEAN yang memiliki kepentingan di Myanmar terkait pemejuan HAM regional tidak memberikan insentif dalam bentuk apapun kepada Myanmar baik dalam bentuk ekonomi maupun politik (Wisnu, 2019). Sehingga hal ini menjadikan Pemerintah Myanmar akan merasa tidak akan diuntungkan atau dirugikan apabila konflik tersebut tidak terselesaikan. Universitas Pertamina - 59

70 3.2 Analisis Faktor Internal Efektivitas AICHR dalam Penanganan Konflik Rohingya-Myanmar Faktor internal institusi yakni merupakan faktor yang bersumber dari dalam institusi itu sendiri seperti yang meliputi sumber daya manusia (SDM), kebijakan institusi, agenda serta tujuan institusi tersbut. Dalam mengidentifikasi efektivitas sebuah institusi, dapat terlihat dari bagaimana sebuah institusi tersebut menentukan arah kebijakannya, bagaimana secretariat dari institusi tersebut dibentuk serta agenda dan program apakah yang di implementasikan Design Features Sebuah institusi yang efektif dapat menyusun program dan agenda kegiatan dengan baik sehingga pola kerja dari institusi tersebut jelas dan dapat berjalan sesuai target. Setiap agenda dan program yang sudah sibentuk oleh isntitusi tersebut nantinya akan dijalankan oleh institusi tersebut sesuai dengan deadline dan targetnya. Untuk itu agar penyusunan agenda ini dapat dijalankan oleh setiap negara-negara anggotanya maka diperlukan adanya kesepahaman kepentingan dari tiap-tiap negara anggota sehingga agenda dan program dari institusi tersebut dapat berjalan dengan semestinya. Sebagai sebuah institusi hak asasi manusia, AICHR dalam penyusunan agenda masih tidak dapat mengumpulkan berbagai kepentingan dari berbagai negara anggotanya. Hal ini dikarenakan adanya independensi yang dimiliki oleh AICHR cenderung lemah baik dalam segi tanggung jawab/akuntabilitas dari tiaptiap negara anggota yang ditunjuk, keanggotaan, pendanaan serta mekanisme proteksi yang juga lemah dimana tidak adanya weweang untuk menerima Universitas Pertamina - 60

71 pengaduan yang sifatnya individual, wewenang untuk melaukan investigasi dan bahkan tidak terdapat wewenang untuk dapat melakukan kunjungan dan tidak ada diskusi atau dialog mengenai country situation (AICHR, 2009). Kurangnya independen dari AICHR ini dapat dilihat dari penempatan sekretariat AICHR yang digabungkan dengan lembaga sekretariat ASEAN. Kondisi ini menjadikan AICHR berada dibawah kuasa ASEAN dan menjadikan keberadaan AICHR tidak dihargai dan hanya sebagai simbolik penegakan HAM tanpa adanya praktik. Berkaitan dengan permasalahan mengenai kelembagaan, hal ini juga merujuk pada kurangnya fungsi perlindungan dalam AICHR yang diagmbarkan dalam TOR yang hanya menekankan fungsi pemajuan. Pada tabel berikut akan memberikan gambaran mengenai empat poin utama dari 14 mandat TOR, yakni standard setting, promotion and education, protecting dan reporting. Tabel Mandat-Mandat AICHR Standard Setting Promotion and Protecting Reporting Education Melakukan Melakukan Mengumpulkan Menyerahkan pengembangan pengembangan infromasi dari laporan tahunan strategi-strategi Deklarasi HAM berbagai negara mengenai kegiatan mengenai pemajuan ASEAN agar anggota ASEAN atau laporan lain dan perlindungan terciptanya menngenai pemajuan apabila diperlukan dari HAM serta kerangka kerjasama dan perlindungan pada Pertemuan kebebasan HAM melalui HAM Menteri Luar fundamental untuk berbagai macam Negeri ASEAN melengkapi konvensi dan Universitas Pertamina - 61

72 pembentukan instrumen lainnya komunitas ASEAN yang terkait HAM Memajukan Meningkatkan Menyiapkan kajian- Menjalankan tugas peningkatan kesadaran publik kajian tentang isu- lain yang mungkin kemampuan demi terhadap hak asasi isu tematik hak asasi diberikan oleh pelaksanaan manusia di antara manusia di ASEAN Pertemuan kewajiban- rakyat ASEAN Menteri Luar kewajiban melalui pendidikan, Negeri ASEAN perjanjian hak asasi penelitian, dan manusia secara diseminasi efektif oleh negara- informasi negara anggota ASEAN Mendorong negara- Memberikan negara anggota pelayanan ASEAN agar konsultasi dan mempertimbangkan bantuan teknis untuk mengaksesi terhadap masalah- dan meratifikasi masalah hak asasi instrumen- manusia kepada instrumen hak asasi badan-badan manusia sektoral ASEAN internasional berdasarkan permintaan Memajukan Melakukan dialog Universitas Pertamina - 62

73 pelaksanaan instrumeninstrumen ASEAN sepenuhnya terkait dengan hak asasi manusia dan konsultasi dengan badanbadan ASEAN lain dan entitas lain yang terkait dengan ASEAN, termasuk institusi rakyat sipil dan para pemangku kepentingan lainnya seperti tercantum dalam Bab V Piagam ASEAN Mengupayakan pendekatan dan posisi bersama Berkonsultasi bilamana diperlukan dengan institusi Sumber: Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN, Djafar Dkk (2014:29-30) Berdasarkan tabel tersebut, fungsi perlindungan tergambar lebih lemah jika dibandingkan dengan fungsi pemajuan HAM. Adapun fungsi perlindungan dalam mandat tersebut hanya meliputi pada pengumpulan informasi dari tiap-tiap negara anggota ASEAN dalam implementasi mengenai perlindungan dan promosi HAM di negara masing-masing anggota. Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan fungsi pemajuan yang ditekankan oleh AICHR. Berdasarkan tabel diatas, terdapat lima maandat mengenai penekanan kinerja AICHR yang diantaranya ialah melakukan peningkatan kesadaran dari masyarakat dan publik melalui edukasi dan pendidikan, Universitas Pertamina - 63

74 penyebaran informasi, penelitian serta memberikan layanan konsultasi dan bantuan teknis kepada badan sektoral ASEAN dan juga melakukan dialog dan konsultasi dengan badan dan lembaga ASEAN lainnya termasuk dengan negara-negara anggota AICHR, institusi masyarakat serta para pemangku kepentingan lainnya di ASEAN. Selain itu, di dalam fungsi pelindungan juga tidak diatur mengenai mekanisme mengenai penanganan permasalahan dan pelanggaran HAM seperti penyidikan terhadap sebuah isu atau peristiwa ataupun pelaksanaan penanganan dalam bentuk lainnya. Padahal seharusnya, AICHR sebagai sebuah institusi yang bergerak dalam penegakan dan pemajuan HAM harus ikut terlibat aktif dalam menangani dan meghadapi pelanggaran HAM, sehingga dibutuhkan adanya mekanisme baik dalam bentuk sanksi politik dan ekonomi atau pengadilan HAM (Djafar, 2014). Bentuk mekanisme ini berlaku pada setiap jenis pelanggaran dan permasalah HAM dengan mengikat anggotanya secara hukum namun tentu saja sulit untuk direalisasikan mengingat keanggotaan AICHR menjunjung tinggi kedaulatan masing-masing negara anggota. Tidak adanya wewenang AICHR dan keberadaannya yang berada di bawah ASEAN menjadikan sulitnya institusi ini untuk dapat menghasilkan kesepahaman dari tiap-tiap negara-negara anggota, terlebih AICHR tidak dapat memberikan sanksi apapun atau hukuman apapun kepada negara anggotanya. Lebih lanjut, kurang independensi AICHR juga merujuk pada penunjukkan komisioner AICHR yang dilakukan oleh tiap-tiap negara anggota. Dimana beberapa negara anggota ASEAN akan cenderung memilih pejabat negara ataupun mantan pejabat negara yang dianggap pro terhadap pemerintah. Hal ini dibuktikan pada saat pemilihan Nguyen Duy Hung sebagai perwakilan dari Vietnam untuk AICHR serta pemilihan Universitas Pertamina - 64

75 Dr. Awang Hj.Ahmad sebagai perwakilan dari Brunei Darussalam untuk AICHR (Djafar, 2014). Penunjukkan keduanya dipenuhi oleh kritik masyarakat ASEAN, sebab keduanya memilik latar belakang yang tidak berkesinambungan dengan AICHR dan tidak ahli dalam bidang hak asasi manusia. Keduanya merupakan mantan pejabat tinggi di negaranya maisng-masing, dimana Nguyen Duy Hung merupakan mantan duta besar dari Vietnam untuk Thailand dan Dr. Awang Hj. Ahmad adalah menteri industri dan sumber daya di Brunei Darussalam (SAPA- TFAHR, 2012). Kondisi ini tentu tidak menguntungkan AICHR secara kelembagaan, dikarenakan anggota komisionernya justru akan condong bersifat independen dan tidak netral. Mereka tentunya akan menjadi corong pemerintah mereka sendiri yang diwujudkan melalui adanya penolakan terhadap setiap keputusan yang diambil oleh AICHR apabila terkesan merugikan negaranya. Oleh karenanya, setiap ada pertemuan, dialog ataupun diskusi mengenai kasus atau topik seringkali ditemukan tidak ada kata mufakat atau persamaan kepentingan, termasuk dalam kasus Rohingya Programmatic activities Agar sebuah institusi dapat dikatakan efektif maka diperlukan adanya pembentukan agenda dan bagaimana agenda tersebut diikuti oleh negara-negara anggotanya dan negara-negara anggota tersebut patuh terhadap agenda yang telah dibuat. Keterlibatan AICHR dalam menangani setiap peristiwa dan isu-isu regional hanya dipersepsikan oleh negara-negara anggotanya sebagai penghasil forum atau pengatur pertemuan untuk membahas dan berdiskusi mengenai masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara anggota. AICHR dipersepsikan sebagai sebuah Universitas Pertamina - 65

76 arena bagi negara anggotanya. Anggapan ini terjadi dikarenakan dalam pengambilan keputusan, AICHR cenderung lebih mengutamakan penggunaan konsensus yang dilakukan dengan melaksanakan pertemuan rutin setiap dua kali dalam setahun. Apabila dibutuhkan, AICHR dapat mengadakan pertemuan tambahan lainnya apabila semua perwakilan AICHR menyetutujui (AICHR, 2019). Oleh karenanya, identitas AICHR seolah hanya dijadikan event organizer yang dipaksa untuk melaksanakan pertemuan dalam upaya merespon setiap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di ASEAN, contohnya pada kasus Rohingya. AICHR mengadakan beberapa pertemuan sebagai bentuk keteribatannya dalam kasus Rohingya. Pada pertemuan pertama yang dilakukan di Jakarta, AICHR melaksanakan retreat untuk melakukan diskusi mengenai kasus Rohingya selama dua jam. Sejak pertama kali AICHR didirikan, perwakilan AICHR dari tiap-tiap negara anggota menyetujui untuk membawa persoalan mengenai hak asasi manusia dan membahasnya pada pertemuan tersebut. Akan tetapi, hasil akhir dari pertemuan tersebut tidak mencapai sebuah resolusi pasca kebijakan retreat tersebut (Gamez, 2017). Hal ini dikarenakan sistem konsensus yang diimplementasikan oleh AICHR tidak dapat mengambil keputusan tanpa adanya persetujuan dari seluruh negara anggota ASEAN. Sementara pada saat pertemuan tersebut, satu-satunya aktor yang menolak dan tidak mengakui hasil retreat tersebut adalah Myanmar (Septiar. n.d). Myanmar mengemukakan bahwa permasalahan mengenai Rohingya merupakan permasalahan internal dari negaranya (Wahyuningrum n.d). Selain itu, salah satu kekurangan yang terdapat di kerangka acuan AICHR, dimana tidak adanya mandat yang secara tegas mengatur implementation mechanism dan enforcement atas hak asasi manusia yang terdapat dalam instrumen- Universitas Pertamina - 66

77 instrumen internasional yang diratifikasi ataupun berdasarkan rekomendasi dan outcome report yang dihasilkan dari laporan berkala. Padahal untuk dapat memastikan terlaksananya hak asasi manusia dibutuhkan adanya laporan negara (state report) (Donnelly, n.d). Meskipun negara-negara anggota ASEAN meratifikasi suatu instrumen mengenai hak asasi manusia internasional dan berada dibawah pengawasan treaty body dari isntrumen tersebut, setiap negara-negara anggota diharuskan untuk melakukan pelaporan secara berkala. Namun apabila mekanisme yang ada berada dalam skala regional, dalam hal ini AICHR, apabila mengadopsi mekanisme yang sama maka setiap negara-negara anggota tersebut dapat memberikan laporan pada mekanisme regional terlebih dahulu sebelum diajukan ke skala internasional. Kemudian, komisi dapat melakukan penilaian terlebih dahulu atas laporan tersebut untuk memastikan ketepatan dan akurasi dari laporan yang diberikan sebelum paada akhirnya akan diserahkan ke treaty body yang ada (Sun, 2018). Lebih lanjut, AICHR dapat melakukan monitoring pelaksanaan outcome report dan rekomendari dari treaty body. Bila mekanisme tersebut dapat dilakukan, maka hal tersebut akan membantu AICHR untuk dapat melaksanakan fungsinya untuk mendapatkan informasi yang dapat digunakan untuk perlindungan dan pemajuan HAM di regional dan akan secara efektif negara-negara anggota akan melaksanakan kewajiban mereka terkait penegakan hak asasi manusia (AICHR, 2009). Tantangan penegakan hak asasi manusia yang dihadapi oleh AICHR cukup banyak dan fundamental. Oleh sebab itu, kekurangan-kekurangan yang ada dan menghambat berdirinya hak asasi manusia harus dikikis secara perlahan. Misalnya dengan melakukan amandemen Kerangka Acuan AICHR sebagaimana Universitas Pertamina - 67

78 dimungkinkan di pasal 9 Kerangka Acuan AICHR (AICHR, 2009). Singkat kata, pembentukan agenda yang dilakukan oleh AICHR sebagai institusi penegakan hak asasi manusia tidak menghasilkan penyelesaian apapun. Hal ini dikarenakan AICHR tidak dapat meningkatkan derajat kepatuhan negara-negara anggotanya. 3.3 Identifikasi Perilaku Aktor Sebuh institusi yang efektif dapat menentukan arah perilaku dari aktor-aktor yang berada di dalam institusi tersebut. Untuk dapat menentukan arah perilaku aktor maka dibutuhkan adanya kemampuan dari institusi tersebut untuk dapat membuat tiap-tiap anggotanya menyepakati dan menjalankan kontrak yang berlaku di institusi tersebut. Di dalam AICHR terdapat sepuluh aktor negara yang masingmasing memiliki perilaku yang berbeda-beda. Sepuluh keanggotaan AICHR antara lain adalah: Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja. Terkait isu mengenai konflik antara etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar, tiap-tiap aktor menghasilkan respon dan tindakan yang berbeda. Indonesia misalnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki peran yang cukup besar di ASEAN dan termasuk kedalam negara yang mencetuskan adanya pembentukan ASEAN di Asia Tenggara. Terkait isu mengenai hak asasi manusia Indonesia kerap mendukung segala bentuk tindakan yang bertujuan untuk menegakkan hak asasi manusia baik di dalam skala nasional, regional serta internasional. Keberadaan AICHR sebagai institusi penegakan HAM di Asia Tenggara tentunya mendapatkan respon positif dari Indonesia. Terlebih dalam penyelesaian kasus konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar, Indonesia merupakan aktor yang berperan cukup aktif. Hal ini dibuktikan dengan beberapa Universitas Pertamina - 68

79 tindakan yang dilakukan Indonesia seperti menggalang bantuan kemanusiaan serta mengirimkan Menteri Luar Negeri ke Myanmar untuk menyerukan penghentian pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya (Dewi, 2017). Namun, sikap Indonesia yang pro terhadap hak asasi manusia ini bukan dikarenakan keberadaan AICHR ataupun menandakan bahwa AICHR berhasil menentukan arah perilaku Indonesia. Setidaknya terdapat tiga faktor utama yang mendorong pemerintah Indonesia untuk dapat berperan aktif dalam kasus Rohingya yaitu : 1. Masyarakat Indonesia merasa prihatin terhadap apa yang menimpa etnis Rohingya di Arakan. Oleh karenanya, masyarakat Indonesia cenderung mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan scepatnya dan melakukan upaya terhadap konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar ini. 2. Atribut nasional, dimana Indonesia merupakan negara yang mayoritasnya beragama Islam. Dengan hal ini Indonesia memiliki identitas yang sama dengan etnis Rohingya. 3. Kondisi eksternal serta ideology Indonesia yang tertulis di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan pancasila yang menjadi cerminan bagi cita-cita bangsa yang harus dipatuhi. Dimana salah satu sila dari pancasila berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab, menjadikan Indonesia merasa isu mengenai kemanusiaan penting untuk ditegakkan dan merasa bertanggung jawab. (Triono, 2014) Berbeda dengan Indonesia, Malaysia merupakan salah satu negara di Asia tenggara yang memiliki permasalahan terkait penegakan HAM. Hal ini dibuktikan dari beberapa isu dan peristiwa yang terjadi di negaranya. Pemerintahnya juga Universitas Pertamina - 69

80 kerap bertindak melarang aktivis HAM asing untuk menghadiri acara di Malaysia. Salah satu cotoh kasusnya ialah penahanan aktivis perempuan asal Singapura yakni Han Hui Hui yang dilakukan oleh pejabat migrasi Malaysia pada saat ia berusaha masuk ke Malaysia untuk menghadiri acara HAM. Han Hui Hui kemudian dipulangkan kembali ke Singapura. Tidak hanya itu, Malaysia juga tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun Lebih dari pengungsi serta pencari suaka terdaftar di UNHCR, PBB, di Malaysia namuan mereka tidak dapat bepergian, bekerja atau mendaftar di sekolah (Human Rights Watch, 2017). Selain itu, tidak ada orang Malaysia yang bertanggung jawab atas kematian lebih dari 100 orang Rohingya yang merupakan korban perdagangan yang ditemukan di kamp penahanan di hutan dekat perbatasan Thailand-Malaysia pada tahun Padahal selama kejadian ini berlangsung, Malaysia ikut berpartisipasi aktif di AICHR. Namun, dengan banyaknya pelanggaran HAM terlebih lagi keluarnya pernyataan dari Zahid yang merupakan Menteri Luar Negeri Pemerintah Malaysia yang menyatakan bahwa Malaysia tidak ingin menjadi negara yang menerima pengungsi Rohingya dan menyatakan akan mengeluarkan kartu Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bagi para pengungsi Rohingya (Hutapea, 2017). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan AICHR tidak dapat mengontrol dan mengatur perilaku dari negara-negara anggotanya. Lain halnya dengan Thailand, sikap Thailand sebagai sesama anggota ASEAN dan juga AICHR berkomitmen untuk tidak melakukan intervensi mengenai urusan dalam negeri Myanmar. Hal ini disampaikan oleh Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-o-cha, kami tidak melakukan intervensi terhadap urusan dalam negerinya. (Saya paham bhawa) Pemerintah Myanmar mendukung Universitas Pertamina - 70

81 dan mengembangkan wilayah negara bagian Rakhine (Firman, 2017 ). Sikap yang dilakukan Thailand juga dilakukan oleh negara-negara anggota ASEAN lainnya, seperti Singapura, Kamboja, Laos dan Vietnam. Singapura melalui Perdana menterinya, Lee Hsien Loong tetap mendukung adanya prinsip non-intervensi dalam penanganan kasus Rohingya. PM Lee mengatakan bahwa ASEAN bukanlah satu negara dan ASEAN juga tidak bisa meminta negara lain untuk melakukan sesuatu atau bertindak. Sikap ini berakar dari paham kesepakatan negara-negara anggota ASEAN untuk tidak campur tangan terhadap suatu negara, termasuk mengenai permasalahan hak asasi manusia. Sama halnya dengan Singapura, Kamboja, melalui PM Hun Sen menolak adanya internasionalisasi kasus Rohingya dan menyatakan bahwa permasalahan tersebut merupakan masalah internal. Sikap negara anggota ASEAN lainnya, seperti Filipina dan Brunei Darussalam mengenai kasus Rohingya di Myanmar adalah hanya dengan memberikan kritik kepada pemerintah Myanmar serta mendesak agar diterapkannya tindakan kemanusiaan yang efektif (Indra, 2018). Tidak semua negara-negara anggota ASEAN memiliki sense of belonging atas ASEAN dan AICHR, dan tidak semua anggota menganggap bahwa isu mengenai Rohingya merupakan isu yang penting untuk diselesaikan. Adanya perbedaan pandangan menjadikan konsep dari regional security complex yang selama ini digadang-gadang oleh ASEAN tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Jika melihat dari pengertian regional security complex yang didefinisikan oleh Barry Buzan, dikatakan bahwa keamanan regional hanya akan terwujud apabila sekelompok negara yang berada di dalamnya memiliki persamaan kepentingan (Buzan, 2000). Hal inilah yang menyebabkan permasalahan mengenai etnis Universitas Pertamina - 71

82 Rohingya ini cenderung sulit ditemukan titik terangnya dikarenakan keberadaan ASEAN dan AICHR tidak dapat merangkul kepentingan setiap negara anggotanya sehingga tidak ada alasan bagi negara anggota untuk patuh dan tunduk kepada agenda institusi. Permasalahan konflik yang tidak pernah terselesaikan ini juga dikarenakan adanya perbedaan pandangan mengenai keamanan antara Pemerintah Myanmar dan ASEAN. Pemerintah Myanmar dalam kasus konflik Rohingya ini berusaha untuk menjaga keamanan wilayahnya dari etnis Rohingya dan menempatkan enmity pada ASEAN yang dianggap mengganggu kestabilan wilayah serta kedaulatan negaranya apabila ASEAN terlalu mengintervensi persoalan mengenai konflik Rohingya. Sedangkan di sisi lainnya, ASEAN melalui AICHR berupaya untuk mengamankan setiap hak-hak dasar dari etnis Rohingya yang tidak bisa dipenuhi oleh Pemerintah Myanmar dengan bersandar pada sikap amity yang mengharapkan Pemerintah Myanmar dapat melakukan perubahan yang lebih baik dalam memperlakukan etnis Rohingya. Selain itu, adanya faktor domestik Myanmar mengenai perbedaan pemahaman terkait etnis Rohingya, dimana pemerintah Myanmar meyakini bahwa kelompok etnis Rohingya merupakan bagian dari imigran illegal yang datang dari Bangladesh ke Myanmar hanya untuk mecari simpati. Sedangkan etnis Rohingya dengan tegas menyatakan bahwa mereka telah berada di Myanmar sebelum Myanmar merdeka sehingga mereka berhak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dengan etnis-etnis lainnya. Perbedaan pandangan ini menjadikan pemerintah Myanmar merasa harus menyingkirkan etnis Rohingya dari wilayah kedaulatannya. Sedangkan etnis Rohingya melakukan segala upaya agar dapat mempertahankan Universitas Pertamina - 72

83 eksistensinya di Myanmar dan agar kebutuhan hidup mereka dapat terpenuhi (Indra, 2018). Adanya perbedaan kepentingan antara institusi AICHR dengan pemerintah Myanmar menjadikan negara tersebut enggan untuk tunduk atau patuh terhadap institusi itu. Ketidakpatuhan pemerintah Myanmar tentu akan menjadikan AICHR sebagai institusi sulit untuk dapat menentukan arah perilaku dari aktor. Negaranegara anggota ASEAN lebih patuh terhadap konteks non-intervensi daripada penegakan hak asasi manusia. Menurut Direktorat Investasi dan Administrasi Perusahaan negara Myanmar (DICA) tahun Statistic DICA menunjukkan bahwa masuknya jumlah investasi asing langsung ke Myanmar mencapai US$ 67,012 miliar dengan dipimpin oleh sektor minyak dan gas sebesar US$ 22,41 miliar, kemudian diikuti oleh manufaktur, hotel dan pariwisata. Cina merupakan investor terbesar negara ini dengan jumlah investasi US$ 18,511 miliar yang kemudian disuusl oleh Singapura dan Thailand (DICA, 2016). Selain adanya faktor dan keinginan untuk tidak ikut campur tangan, faktor ekonomi juga menjadi alasan yang mempengaruhi sikap dari negara-negara anggota ASEAN. Hingga akhir tahun 2017 setidaknya beberapa negara anggota ASEAN masuk kedalam daftar investor terbesar di Myanmar berdasarkan grafik. (Lihat Lampiran 1.1 dan 1.2) Berdasarkan grafik tersebut dapat terlihat bahwa Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia, Brunei Darussalam, dan Laos termasuk kedalam daftar negara investor bagi Myanmar. Apabila negara-negara anggota AICHR tersebut melakukan tindakan yang terlalu menekan negara Myanmar dalam perihal kasus persekusi etnis Rohingya, ditakutkan akan dapat mengganggu hubungan ekonomi antar-negara terutama mengenai perdagangan dan investasi. Oleh Universitas Pertamina - 73

84 karenanya, negara-negara anggota AICHR pada hakikatnya tidak dapat diikat oleh institusi ini dan pada akhirnya AICHR merupakan contoh institusi yang tidak efektif dikarenakan tidak dapat mengatur pola perilaku dari aktor di dalam institusinya tersebut (Indra, 2018). Universitas Pertamina - 74

85 BAB VI KESIMPULAN AICHR pada akhirnya belum mampu menjadi badan yang dapat menegakkan permasalahan HAM yang terjadi antara Rohingya dan Pemerintah Myanmar. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya jumlah imigran Rohingya setiap tahunnya. Tidak hanya bertambahnya jumlah migrasi, korban akibat kekerasan yang dilakukan Pemerintah Myanmar juga terus bertambah. Konflik ini menjadi tanggungjawab banyak aktor, termasuk AICHR sebagai institusi penegakan HAM di Asia Tenggara. Untuk itu sebagai lembaga regional yang bergerak menegakkan dan melindungi HAM, AICHR memegang peranan yang cukup penting. Adapun beberapa peran AICHR dalam upaya perlindungan HAM di kawasan regional Asia Tenggara antara lain adalah sebagai instrumen, sebagai komunikator, dan sebagai third parties. Berdasarkan peranan yang dipegang oleh AICHR, dalam mengatasi pelanggaran HAM di Myanmar, AICHR telah mengambil beberapa langkah kegiatan antara lain : pertama yakni mengadakan beberapa pertemuan. Selain pertemuan, AICHR juga memberikan edukasi bagi masyarakatnya tentang hak asasi manusia. hal ini diwujudkan oleh AICHR dalam seminar AICHR Youth Debate of Human Rights. Dalam menjalankan institusinya, kinerja dari AICHR dapat dinilai apakah efektif atau tidak efektif. Penilaian efektivitas dari institusi ini dapat dianalisis melalui penggunaan teori efektivitas. Teori ini terbagi atas tiga faktor yakni eksternal, internal dan identifikasi perilaku aktor. Faktor eksternal sebuah institusi adalah faktor yang berasal dari luar institusi yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, tujuan, serta praktik dari sebuah institusi tersebut. Faktor Universitas Pertamina - 75

86 eksternal terbagi atas tiga yaitu pertama patterns of interest, dimana efektivitas dari institusi dapat dinilai bagaimana kebijakan yang diambil dapat bernilai positif. AICHR dalam pengimplementasiannya menghasilkan kebijakan yang tidak bernilai positif dikarenakan terdapat komisi lainnya dibawah ASEAN dengan tujuan dan mandate yang sama. Kedua, distribution of influence, Di dalam AICHR pengaruh menjadi indikator yang memiliki faktor paling besar yang juga menghambat dan menjadi kendala utama jalannya institusi. Pada AICHR sendiri, pengaruh adanya prinsip non intervensi dan tidak adanya dorongan dari negara-negara anggotanya menjadikan AICHR tidak berjalan efektif. Ketiga, nature of issue area, merupakan indikator penilaian mengenai sejauh mana suatu institusi dapat memprediksi anacaman di kawasannya. AICHR sebagai sebuah institusi tidak dapat menentukan ancaman ataupun memprediksi ancaman di dalam Asia Tenggara yang terkait dengan hak asasi manusia. Salah satu bentuk ancaman yang tidak dapat diprediksi AICHR dalam penangan kasus konflik Rohingya-Pemerintah Myanmar adalah keberadaan Pemerintah Myanmar yang tertutup serta terganggunya stabilitas kawasan lainnya. Faktor Internal dalam teori efektivitas terbagi atas dua yakni design features dan programmatic activities. Pada design features AICHR masih tidak dapat mengumpulkan berbagai kepentingan dari berbagai negara anggotanya. Hal ini dikarenakan adanya independensi yang dimiliki oleh AICHR cenderung lemah baik dalam segi tanggung jawab/akuntabilitas dari tiap-tiap negara anggota yang ditunjuk, keanggotaan, pendanaan, serta mekanisme proteksi yang juga lemah. Sedangkan pada programmatic activities, identitas AICHR seolah hanya dijadikan event organizer yang dipaksa untuk melaksanakan pertemuan dalam upaya Universitas Pertamina - 76

87 merespon setiap kasus pelanggaran HAM. Selanjutnya pada identifikasi aktor, tiaptiap aktor negara anggota AICHR menghasilkan repon yang berbeda-beda dalam menghadapai isu Rohingya dan penegakan HAM di regional. AICHR tidak dapat menentukan pola perilaku dari negara-negara anggotanya dikarenakan adanya perbedaan kepentingan antara keduanya. Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa AICHR merupakan institusi yang tidak efektif. Dikarenakan AICHR tidak dapat memenuhi persyaratan dalam indikator yang tertulis di dalam teori efektivitas. Universitas Pertamina - 77

88 DAFTAR PUSTAKA Jurnal & Buku: Adriani, Isyana. (2014). ASEAN and Ongoing Cultural Conflicts. Cikarang : Jurnal Hubungan Internasional. Ali, M. (2011). Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat : In Court& Out Court System. Depok: Gramata. Al-Maududi, Abul A., (1993). Human Right, The West and Islam. New Delhi: Institute of Objective Studies Anealla Safdar, Who Are the Rohingya, dalam ASEAN. (2008). Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Jakarta: ASEAN Secretariat. Apriandhini, Megafury. (2015). Keberadaan ASEAN Way dalam Menghadapi Komunitas ASEAN Jakarta : UTCC. Archer, C. (1983). International Organization. London: Allen & Unwin Ltd. Awaluddin, Hamid. (2012). HAM Politik, Hukum dan Kemunafikan Internasional. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara. Azwin Maghfuri. (2012). Dinamika Konflik Internal Etnis Rohingya dengan Pemerintah Myanmar. diakses dari / /Dinamika_Konflik_Inte rnal_etnis_rohingya_dengan_peme rintah_myanmar_ ?auto=download Baehr, Peter. (2006). Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, terj. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Budi, Winarno. (2011). Isu-isu Global Kontemporer. Yogyakarta :CAPS. Davies, Mathew. (2014). An Agreement to Disagree: The ASEAN Human Rights Declaration and the Absence of Regional Identity in Southeast Asia. Hamburg : GIGA. Dewi, Maria Umma. (2017). Langkah Nyata Indonesia untuk Rohingya. Jakarta : Goodnews. Dickens, David. (2002). The Human Face of Security: Asia-Pacific Perspectives. Canberra: Strategic Defence Studies Centre Australian National University. Djafar, Wahyudi. (2014). Memperkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia di ASEAN. Jakarta: INFID & ICCO. Caballero-Anthony, M. (1995). Human Rights, Economic Change and Political Development. Dalam J. T.-H. Tang, Human Rights and International Relations in the Asia-Pacific Region (hal ). London: Pinter. Evans, Gareth. (2008). The Responsibility to Protect.Washington D.C: Brookings Institution Press Gamez, Kimberly Ramos. (2017). Examining The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR): The Case Study of The Rohingya Crisis. Tilburg: Tilburg University. Ghonimah, Syifa Nur. (2017). Tanggung Jawab Dunia Terhadap Konflik Rohingya. Jakarta : Universitas Nasional. Gochhayat, Artatrana. (2013). Regionalism and Sub-regionalism : A theoretical Framework with Special Reference to India. Africa : African Journal of Political Science and International Relations. Goh, Gillian. (2003). The ASEAN Way Non-Intervention and ASEAN s Role in Conflict Management. California : Stanford Journal of East Asia Affairs. Universitas Pertamina - 78

89 Hartati, A. Y. (2013). Konflik Etnis Myanmaar (Studi Eksistensi Rohingya ditengah Tekananan Pemerintah). Semarang: Universitas Wahid Hasyim. Indra, Erizon Kepatuhan Negara-Negara ASEAN untuk tidak Campur Tangan dalam Menangani Persekusi Etnis Rohingya di Myanmar. Semarang: JoIR ICRtoP. ( 2009). Summary of the Report of the Secretary-General on Implementing the Responsibility to Protect. Diakses dari 0SG%20report.pdf Jackson, Robert. (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jemadu, Aleksius. (2008). Politik Global dalam Teori dan Politik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kelsen, Hans. (2007). General Theory of Law and State. Jakarta :Bee Media. Kusumaatmadja, Mochtar. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung:Alumni. Kraft, Herman Joseph S,. (2005). Human Rights in Southeast Asia: the Search for Regional Norms. Washington : EWCW Working Papers Madu, L. (2016). Pelembagaan Regional mengenai Hak Asasi Manusia di ASEAN. Journal UMY. Mangku, Dewa Gede Sudika. (2014). Meneropong Prinsip Non-Intervensi yang masih Melingkar dalam ASEAN. Samarinda : Perspektif. Mas oed, Mochtar. (1994). Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta : Pustaka LP3ES. Najiyah, Martiam. (2010). Jalan Dialog Hans Kung dan Perspektif Muslim. Yogyakarta : CRCS-UGM. Nimer, Mohammed Abu. (2010). Nirkekerasan dan Bina-Damai dalam Islam: Teori dan Praktik. Jakarta :Democracy Project Numnak, Gorawut. (2009). The Unfinished Business: The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights. Freiderich Naumann Stiftung Fur die Freihet. Olivia, Yessi. (2014). Will the ASEAN Intergovernmental Commission of Human Rights (AICHR) Grow Its Teeth?. Riau : Jurnal Hubungan Internasional. Pattihua, Ahmat Reza Fahlefi. (2017). Efektivitas ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights (AICHR) dalam Mengatasi HAM di Asia Tenggara. Magelang : URECOL. Pratama, Adi K. (2017). Analisis Konflik Rohingya-Pemerintah Burma di Rakhine. Rahman, A. Zainuddin. (2000). Problematika Minoritas Muslim Di Asia Tenggara: Sejarah Minoritas Muslim di Filiphina, Thailand, dan Myanmar. Jakarta: Puslitbang. Ramalan, Suparjo. (2017). Tokoh Buddha sesalkan sikap pemerintah Myanmar atas Rohingya. Jambi:Tirto Raymond, Ricky. (2014), Identity, Conflict, and Statelessness in Southeast Asia. Study Case The Predicament of Rohingya. Italy: The University of Calabria. Robertua, Verdinand. (2014). Normative Tensions: European Sanction vs. ASEAN s Non-Interference in the Case of Myanmar. Jakarta Timur: Jurnal Universitas Pertamina - 79

90 Hubungan Internasional. SAPA TFAHR. (2010). Hiding Behind its limits: A Performance Report on the First Year of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Thailand: Asian Forum for Human Rights and Development. Saputra, Oddie Bagus. (2019). Peran ASEAN Intergovernmental Commision on Human Rights Sebagai institusi HAM ASEAN : Kasus Rohingya di Myanmar Semarang : UNDIP. Saputri, Ananda Ruriska. (2014). Peran ASEAN Intergovernmental Commision of Human Rights (AICHR) dalam Menegakkan hak Asasi Manusia di Kawasan Negara Anggota ASEAN. Kalimantan : Universitas Mulawarman. Saragih, Hendra Maujana. (2017). Indonesia dan Responsibility to Protect Etnis Muslim Rohingya Myanmar. Sein, Kyaw. (2016). Myanmar s Evolving Relations:the NLD in Government. Sweden : Stallion Press. Smith, P. (1993). Outcome-Related Performance Indicators and Organizational Control in the Public Sector. British Journal of Management Spiegel, Steven L. (1995). World politics in a new era. New jersey:harcout brace college publishers. Starke, J.G. (2007). Pengantar Hukum Internasional. Jakarta:Sinar Grafika Stubbs, Richard. (2014). ASEAN:Building Regional Cooperation. Palgrave Mcmillan. Suganda, Fatimah. (2016). Menakar Ulang perang ASEAN dalam Penegakkan HAM Regional atas Dilema Prinsip Non-Intervensi ASEAN: Studi Kasus Konflik Moro dan Pemerintah Filipina. Sun, T. N. (2018). Corespondence of Human Rights Implementation in Myanmar and Rohingya case. (O. B. Saputra, Interviewer). Syakur, Abdus.(2019). AICHR: Tak ada komitmen kuat Myanmar selesaikan masalah Rohingya. Jakarta: hidayatullah. Tekunan, Susy. (2014). The ASEAN Way: The Way To Regional Peace?. Banten : Jurnal Hubungan Internasional. Triono. (2014). Peran ASEAN dalam Penyelesaian Konflik Etnis Rohingya. Lampung: Jurnal TAPIs. United Nations. (2015). Universal Declaration of Human Rights. UDHR Wisnu, Dinna. (2019). Formulasi Diplomasi Rohingya untuk Capres. Jakarta: Sindo Young Oran R. (1989). International Cooperation: Building Regimes for Natural Resources and Environment. New York: Cornell University Press. Website: AICHR. (2009). ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights Terms of Reference. Jakarta: ASEAN Secretariat. AICHR. (2010). FIVE-YEAR WORK PLAN OF THE ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS ( ). Jakarta: ASEAN Secretariat. AICHR. (2014). AICHR What You Need to Know (2nd Edition). Jakarta: ASEAN Secretariat. Universitas Pertamina - 80

91 Al Jazeera. (2012). Al Jazeera. Retrieved May 14, 2017, from 'Mass graves' for Myanmar's Rohingya: Exclusive report from Rakhine state exposes an entire region divided by religious and racial discrimination.: tml 955 ASEAN. (2008). Charter of the Association of Southeast Asian Nations. Jakarta: ASEAN Secretariat. ASEAN Inter-Parliamentary Myanmar caucus. Diakses dari : DICA. (2016). Diakses dari : Dirjen Kerjasama ASEAN. (2007). ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Kementerian Luar Negeri RI. Firman, Tony Rohingya: Membandingkan Respon Indonesia & Negara Lain. Fisher, J. (2015). BBC Indonesia. Retrieved May 14, 2017, from Fakta Penting Pemilu Myanmar (2015):. Diakses dari : mar Heru Susetyo Nuswanto. Rohingya 101: Sejarah, Masalah, Kekerasan dan Tuntutan. Diakses dari sejarah-masalah-kekerasan-dan-tuntutan Human Rights Watch. (2017). Malaysia. Diakses dari : Human Right Watch Diakses dari Human Rights Watch. (2017, June 29). Burma: Repeal Section 66(d) of the 2013 Telecommunications Law. Diakses dari Human Rights Watch: telecommunications-law. Hutapea, Rita Uli. (2017). Rakhine bergolak, ini Sikap Malaysia Terkait Pengungsi Rohingya /rakhine-bergolak-ini-sikap-malaysia-terkait-pengungsi-rohingya Lewa, C. (n.d). Force Migration Review. Diakses dari : North Arakan: an open prison for the Rohingya in Burma: 32/11-13.pdf Lwin, N. S. (2012). The Platform. Diakses dari : Burma s Rohingya: A Denial of Citizenship and Human Right. Mapelcroft. (2016). Human Rights Risk Index Q4. Diakses dari : Reliefweb: q4 Universitas Pertamina - 81

92 Nugraha, F. (2012, July 31). Diakses dari : Muslim Rohingya Dibantai, Dilaporkan Hilang: dibantai dilaporkan-hilang Pillay, N. (2012, July 27). UN News Centre. Diakses dari : Myanmar: UN official concerned over rights violations in Rakhine state: NewsID=42575#.WRgScsYlHIU Samutra, Riyan, Agar Diakui, Rohingya Harus Ubah Nama. Diakses dari : /agar-diakui-Rohingya- harus-ubah-nama/ SAPA-TFAHR. (2012). A Performance Report on the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights Bangkok: Asian Forum for Human Rights and Developments. Septiari, D. (t.th). Myanmar should be held accountable for Rohingya crisis: AICHR Indonesia. Diakses dari : The Jakarta Post: UNHCR Verisk Mapelcroft. (2013, December 04). Human Rights Risk Atlas Retrieved from 70% increase in countries identified as 'extreme risk' for human rights since Human Rights Risk Atlas 2014: analysis/2013/12/04/70- increase-countries-identified-extreme-risk-human-rights bhumanrights-risk-atlas-2014b/ Wahyuningrum, Y. (t.th). Fourth Anniversary of the AICHR. Retrieved from Diplomacy Training Program - UNSW Sydney: RY% 20OF%20THE%20AICHR.doc Universitas Pertamina - 82

93

94

95

96

97 BIODATA Fisa Faurika, merupakan anak pertama dari empat bersaudara ini merupakan anak kandung dari Bapak Azhari dan Ibu Nurhafni. Penulis lahir di Lhokseumawe pada tanggal 23 Agustus Riwayat pendidikan penulis dimulai dari MIN Kutablang Lhokseumawe, Aceh (lulus tahun 2010). Selanjutnya, penulis meneruskan pendidikan di SMPS Sukma Bangsa Lhokseumawe dari tahun 2010 hingga 2013, lalu di SMAN Modal Bangsa Arun Aceh dari tahun 2013 hingga tahun Setelah penulis menyelesaikan pendidikan wajib selama 12 tahun, penulis melanjutkan pendidikannya di Universitas Pertamina dengan mengambil fokus pada studi Hubungan Internasional. Selama menempuh masa perkuliahan, penulis cukup aktif mengikuti organisasi dan juga kegiatan lainnya baik secara formal ataupun informal. Beberapa kegiatan formal yang penulis ikuti yaitu menjadi panitia acara seni dan budaya. Selain itu, penulis juga aktif dalam UKM kesenian daerah dan pernah memenangkan kompetisi angklung tingkat nasional di Bandung. Penulis juga pernah ikut turun langsung dalm event art exhibition TeamLab Future Park di Gandaria City selama beberapa bulan. Sehingga, seiring dengan selesai disusunnya Tugas Akhir yang berjudul "Faktor Penghambat ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) untuk Menegakkan HAM dalam Konflik Etnis Rohingya-Pemerintah Myanmar" maka penulis telah menyelesaikan masa perkuliahan yang ditempuh selama 3.5 tahun ke belakang. Universitas Pertamina - 87

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 38 TAHUN 2008 TENTANG PENGESAHAN CHARTER OF THE ASSOCIATION OF SOUTHEAST ASIAN NATIONS (PIAGAM PERHIMPUNAN BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal...

DAFTAR ISI. I.6.1 Kelemahan Organisasi Internasional secara Internal I.6.2 Kelemahan Organisasi Internasional dari Pengaruh Aktor Eksternal... DAFTAR ISI DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iii DAFTAR GRAFIK... iii DAFTAR SINGKATAN... iii ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv BAB I PENDAHULUAN... 1 I.1 Latar Belakang... 1 I.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerja sama merupakan upaya yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok maupun negara untuk mencapai kepentingan bersama. Lewat bekerjasama, tentu saja seseorang, kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya

BAB I PENDAHULUAN. oleh United Nations Security Council yang menyebabkan berkembangnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan organisasi internasional sebagai subjek hukum internasional, tidak terlepas dari munculnya berbagai organisasi internasional pasca Perang Dunia ke II. Terjadinya

Lebih terperinci

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017

AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL. Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017 AKTOR NEGARA DAN NON NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Pengantar Hubungan Internasional FISIP UMJ 2017 STATE Miriam Budiardjo: Negara sebagai suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan

Lebih terperinci

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai

2015, No Mengingat : perlu dilanjutkan dengan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun ; e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.144, 2015 HAM. Rencana Aksi. Nasional. Tahun 2015-2019. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi membuka kesempatan besar bagi penduduk dunia untuk melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah integrasi dalam komunitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di

BAB I PENDAHULUAN. yaitu di daerah Preah Vihear yang terletak di Pegunungan Dangrek. Di BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Thailand dan Kamboja merupakan dua negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan terletak dalam satu kawasan yakni di kawasan Asia Tenggara. Kedua negara ini

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal

BAB V KESIMPULAN. Tenggara, yakni Association South East Asian Nations atau yang dikenal BAB V KESIMPULAN Malaysia merupakan negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, sebagai negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, Malaysia merupakan salah satu pendiri organisasi di kawasan Asia Tenggara,

Lebih terperinci

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21

GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1

Lebih terperinci

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP.

Kompetensi. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. hukum dengan HTSdP. Hukum Dan Hak Asasi Manusia Hak Turut Serta dalam Pemerintahan (HTSdP) Andhika Danesjvara & Nur Widyastanti Kompetensi 1. Mampu menjelaskan pengertian tentang Hak Turut Serta dalam Pemerintahan. 2. Mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi

BAB I PENDAHULUAN. ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) adalah organisasi regional di kawasan Asia Tenggara yang telah membangun mitra kerjasama dengan Tiongkok dalam berbagai

Lebih terperinci

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA

MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA MODUL VII HAK AZAZI MANUSIA Pengertian Hak Azazi Manusia Hak asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal Dasar-dasar HAM tertuang dalam

Lebih terperinci

BAB I - PENDAHULUAN. 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia

BAB I - PENDAHULUAN. 1 Perjanjian Westphalia pada tahun 1648 menciptakan konsep kedaulatan Westphalia BAB I - PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini ingin melihat kebijakan eksternal Uni Eropa (UE) di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai bentuk implementasi dari konsep kekuatan normatif. Konsep

Lebih terperinci

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004

KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 KEKUASAAN HUBUNGAN LUAR NEGERI PRESIDEN (FOREIGN POWER OF THE PRESIDENT) Jumat, 16 April 2004 1. Ketentuan UUD 1945: a. Pra Amandemen: Pasal 11: Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN BAB I LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75 TAHUN 2015 TANGGAL 22 JUNI 2015 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA TAHUN 2015-2019 BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Komitmen Negara Republik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peacebuilding. Tulisan-tulisan terebut antara lain Aid, Conflict, and Peacebuilding 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA II.1 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini lebih mengacu pada tulisan-tulisan yang berkaitan dengan peran organisasi internasional dalam peacebuilding.

Lebih terperinci

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR Workshop Penguatan Komunitas Sosio-Kultural ASEAN 2015: Perumusan lndikator Capaian dari Strategic Measures dalam Attendant Document ASEAN Socio-Cultural

Lebih terperinci

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015

Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Hak Beribadah di Indonesia Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima: 4 Agustus 2015; disetujui: 6 Agustus 2015 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebut istilah basic human rights (hak-hak asasi

Lebih terperinci

Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir RINA KURNIAWATI, SHI, MH

Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir RINA KURNIAWATI, SHI, MH Modul ke: HAK ASASI MANUSIA Mengetahui hak manusia yang melekat sejak lahir Fakultas FAKULTAS www.mercubuana.ac.id RINA KURNIAWATI, SHI, MH Program Studi DEFINISI Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

DRAFT PEDOMAN MENGENAI HUBUNGAN AICHR DENGAN ORGANISASI MASYARAKAT MADANI

DRAFT PEDOMAN MENGENAI HUBUNGAN AICHR DENGAN ORGANISASI MASYARAKAT MADANI PEDOMAN MENGENAI HUBUNGAN AICHR DENGAN ORGANISASI MASYARAKAT MADANI As of 14 November 2013 I. Pendahuluan 1. Salah satu tujuan ASEAN seperti yang diatur dalam Piagam ASEAN adalah untuk memajukan ASEAN

Lebih terperinci

POINTERS ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) Jakarta, 12 April 2016

POINTERS ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) Jakarta, 12 April 2016 POINTERS ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS (AICHR) Jakarta, 12 April 2016 AICHR merupakan bagian integral dari struktur organisasi ASEAN yang berperan sebagai badan konsultasi dan bersifat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengungsi dan pencari suaka kerap kali menjadi topik permasalahan antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai mandat

Lebih terperinci

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA JURNAL STATUS KEWARGANEGARAAN MASYARAKAT YANG BERDOMISILI DI KAWASAN PERBATASAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR LESTE KHUSUSNYA YANG BERDOMISILI DI WILAYAH KABUPATEN BELU ( Studi

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGNYA. Triono * Abstrak

PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGNYA. Triono * Abstrak PERAN ASEAN DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS ROHINGNYA Triono * Abstrak Konflik dan kekerasan berbau SARA yang terjadi di Myanmar hingga kini belum terselesaikan dengan baik. Banyaknya faktor yang menjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1997 TENTANG PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB IV LANDASAN KJRI DAVAO CITY MENYELESAIKAN PERMASALAHAN MASYARAKAT KETURUNAN INDONESIA DI MINDANAO YANG BERESIKO STATELESS

BAB IV LANDASAN KJRI DAVAO CITY MENYELESAIKAN PERMASALAHAN MASYARAKAT KETURUNAN INDONESIA DI MINDANAO YANG BERESIKO STATELESS BAB IV LANDASAN KJRI DAVAO CITY MENYELESAIKAN PERMASALAHAN MASYARAKAT KETURUNAN INDONESIA DI MINDANAO YANG BERESIKO STATELESS Ratusan tahun yang lalu, masyarakat tradisional Indonesia yang pada saat itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION ON COUNTER TERRORISM (KONVENSI ASEAN MENGENAI PEMBERANTASAN TERORISME) DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lebih terperinci

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM.

Materi Bahasan. n Pengertian HAM. n Generasi HAM. n Konsepsi Non-Barat. n Perdebatan Internasional tentang HAM. Hak Asasi Manusia Cecep Hidayat cecep.hidayat@ui.ac.id - www.cecep.hidayat.com Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Materi Bahasan Pengertian HAM. Generasi

Lebih terperinci

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN

K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN K111 DISKRIMINASI DALAM PEKERJAAN DAN JABATAN 1 K 111 - Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan 2 Pengantar Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan

Lebih terperinci

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011.

Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. Rio Deklarasi Politik Determinan Sosial Kesehatan Rio de Janeiro, Brasil, 21 Oktober 2011. 1. Atas undangan Organisasi Kesehatan Dunia, kami, Kepala Pemerintahan, Menteri dan perwakilan pemerintah datang

Lebih terperinci

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional

Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional. Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Perjanjian Internasional Sarana utama memulai & mengembangkan hubungan internasional Bentuk semua perbuatan hukum dan transaksi masyarakat internasional Sarana menetapkan kewajiban pihak terlibat dalam

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1

UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA PASAL 1 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang tersebut

Lebih terperinci

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011

Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Pidato Dr. R.M Marty M. Natalegawa, Menlu RI selaku Ketua ASEAN di DK PBB, New York, 14 Februari 2011 Senin, 14 Februari 2011 PIDATO DR. R.M MARTY M. NATALEGAWA MENTERI LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA SELAKU

Lebih terperinci

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI

MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN SOSIAL DAN EKONOMI FOCUS GROUP DISCUSSION DAN WORKSHOP PEMBUATAN MODUL MATERI HAM UNTUK SPN DAN PUSDIK POLRI Hotel Santika Premiere Yogyakarta, 17 18 Maret 2015 MAKALAH HAM UNTUK STABILITAS POLITIK DAN KEAMANAN SERTA PEMBANGUNAN

Lebih terperinci

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM

INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM INSTRUMEN HUKUM MENGENAI HAM Materi Perkuliahan HUKUM & HAM ke-6 INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI HAM Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa Universal Declaration of Human Rights, 1948; Convention on

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK DEMOKRATIK TIMOR- LESTE TENTANG AKTIFITAS KERJA SAMA DIBIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

Prinsip Dasar Peran Pengacara

Prinsip Dasar Peran Pengacara Prinsip Dasar Peran Pengacara Telah disahkan oleh Kongres ke Delapan Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB ) mengenai Pencegahan Kriminal dan Perlakuan Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide dan pelaksanaan HAM

Lebih terperinci

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: HAK ASASI MANUSIA. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN.

KEWARGANEGARAAN. Modul ke: HAK ASASI MANUSIA. Fakultas FEB. Syahlan A. Sume. Program Studi MANAJEMEN. KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK ASASI MANUSIA by Fakultas FEB Syahlan A. Sume Program Studi MANAJEMEN www.mercubuana.ac.id HAK ASASI MANUSIA Pokok Bahasan: 1.Pengertian Hak Asasi Manusia. 2. Tujuan Hak Asasi

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan

BAB V PENUTUP. Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan BAB V PENUTUP 4.1. Kesimpulan Akhir-akhir ini masalah yang menjadi keprihatinan umat manusia di seluruh dunia dan masyarakat di Asia Tenggara meluas mencangkup persolan-persoalan yang tidak terbatas pada

Lebih terperinci

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin

Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Memutus Rantai Pelanggaran Kebebasan Beragama Oleh Zainal Abidin Saat ini, jaminan hak asasi manusia di Indonesia dalam tataran normatif pada satu sisi semakin maju yang ditandai dengan semakin lengkapnya

Lebih terperinci

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL

PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL PERAN INDONESIA DALAM ORGANISASI REGIONAL Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) ASEP GINANJAR PPG DALAM JABATAN Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi 2018 1. Peran Indonesia dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia terletak di benua Asia, tepatnya di kawasan Asia Tenggara. Negara-negara yang terletak di kawasan ini memiliki sebuah perhimpunan yang disebut dengan ASEAN (Assosiation

Lebih terperinci

PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekua

PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekua Hak Azazi Manusia 2012 PENGERTIAN HAM Hak adalah kekuasaan atau wewenang yang dimiliki seseorang atas sesuatu (Suria Kusuma, 1986). Istilah Hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan atau wewenang yang dimiliki

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA)

NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) NASKAH PENJELASAN PROTOCOL TO THE ASEAN CHARTER ON DISPUTE SETTLEMENT MECHANISM (PROTOKOL PIAGAM ASEAN MENGENAI MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA) 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Protokol Piagam ASEAN

Lebih terperinci

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM*

STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* STATUTA INSTITUT INTERNASIONAL UNTUK DEMOKRASI DAN PERBANTUAN PEMILIHAN UMUM* Institut Internasional untuk Demokrasi dan Perbantuan Pemilihan Umum didirikan sebagai organisasi internasional antar pemerintah

Lebih terperinci

Modul ke: HAK ASASI MANUSIA. 09Teknik. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU

Modul ke: HAK ASASI MANUSIA. 09Teknik. Fakultas. Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU Modul ke: HAK ASASI MANUSIA Fakultas 09Teknik Yayah Salamah, SPd. MSi. Program Studi MKCU Tujuan Instruksional Khusus 1. Mengetahui pengertian hak asasi manusia (HAM) 2. Memahami tujuan (HAM) 3. Memahami

Lebih terperinci

Pembela Hak Asasi Perempuan tentang DEKLARASI ASEAN TENTANG HAK ASASI MANUSIA

Pembela Hak Asasi Perempuan tentang DEKLARASI ASEAN TENTANG HAK ASASI MANUSIA Pembela Hak Asasi Perempuan tentang DEKLARASI ASEAN TENTANG HAK ASASI MANUSIA PRINSIP Kaukus Perempuan Asia Tenggara tentang ASEAN1, yang juga dikenal sebagai Kaukus Perempuan, berkomitmen untuk menegakkan

Lebih terperinci

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) Copyright 2002 BPHN UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA) *9571 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR

Lebih terperinci

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR

KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR KEYNOTE ADRESS RAFENDI DJAMIN WAKIL INDONESIA UNTUK AICHR PERTEMUAN SELA NASIONAL MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL INDONESIA (PSNMHII) XXVI PROMOTING AND SUSTAINING BALI DECLARATION S PRIORITY AREAS ON

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2007 TENTANG PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH REPUBLIK FILIPINA TENTANG KEGIATAN KERJASAMA DI BIDANG PERTAHANAN

Lebih terperinci

BAB III AICHR (ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS) SEBAGAI BADAN MEKANISME HAM ASEAN

BAB III AICHR (ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS) SEBAGAI BADAN MEKANISME HAM ASEAN BAB III AICHR (ASEAN INTERGOVERNMENTAL COMMISSION ON HUMAN RIGHTS) SEBAGAI BADAN MEKANISME HAM ASEAN Bab ketiga akan dimulai dengan menjelaskan tentang pandangan ASEAN terhadap HAM, kemudian pemaparan

Lebih terperinci

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN

RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN LAMPIRAN I KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2004 TANGGAL 11 MEI 2004 RENCANA AKSI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA INDONESIA TAHUN 2004 2009 I. Mukadimah 1. Sesungguhnya Hak Asasi Manusia

Lebih terperinci

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA

KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME. Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA KEGAGALAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DALAM PENYELESAIAN KONFLIK SUDAN RESUME Disusun oleh : PETRUS CORNELIS DEPA 151060046 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN OLEH TERORIS,

Lebih terperinci

Health and Human Rights Divisi Bioetika dan Medikolegal FK USU WHO Definition of Health Health is a state t of complete physical, mental and social well- being and not merely the absence of disease or

Lebih terperinci

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini.

Serikat (telah menandatangani, namun belum bersedia meratifikasi), menguatkan keraguan akan perjanjian ini. BAB V KESIMPULAN Melalui perjalanan panjang bertahun-tahun, Majelis Umum PBB berhasil mengadopsi Perjanjian Perdagangan Senjata (Arms Trade Treaty/ATT), perjanjian internasional pertama yang menetapkan

Lebih terperinci

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL

MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL MENEGAKKAN TANGGUNG JAWAB MELINDUNGI: PERAN ANGGOTA PARLEMEN DALAM PENGAMANAN HIDUP WARGA SIPIL Resolusi disahkan oleh konsensus* dalam Sidang IPU ke-128 (Quito, 27 Maret 2013) Sidang ke-128 Inter-Parliamentary

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN Melalui Buku Pegangan yang diterbitkan setiap tahun ini, semua pihak yang berkepentingan diharapkan dapat memperoleh gambaran umum tentang proses penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers

2 dunia. Kerjasama yang terjalin diantara negara-negara menjadikan status antar negara adalah partner bukan musuh sehingga keinginan untuk saling bers BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi telah menjadi fenomena yang terjadi secara global yang cukup mempengaruhi tatanan dunia hubungan internasional dewasa ini. Globalisasi merupakan proses

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR 17 TAHUN 2013 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI ACEH I. UMUM Salah satu kewenangan Pemerintah Aceh yang diamanatkan dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah

Lebih terperinci

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara

BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara BAB II PENGATURAN PEKERJA RUMAHANMENURUT KONVENSI ILO N0. 177 A. Konvensi Sebagai Produk ILO dan daya Ikatnya Bagi Negara-negara Anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan organisasi perdamaian

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan

BAB 5 PENUTUP. 5.1.Kesimpulan 99 BAB 5 PENUTUP 5.1.Kesimpulan Berbagai macam pernyataan dari komunitas internasional mengenai situasi di Kosovo memberikan dasar faktual bahwa bangsa Kosovo-Albania merupakan sebuah kelompok yang memiliki

Lebih terperinci

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945:

Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: Jakarta 14 Mei 2013 Tujuan pendirian Negara Indonesia tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: a. Pertama, dimensi internal dimana Negara Indonesia didirikan dengan tujuan untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia

Lebih terperinci

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012

Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Oleh: Dr. Makarim Wibisono Direktur Eksekutif ASEAN Foundation Seminar KOMNAS Perempuan Hotel Kartika Chandra, 12 Maret 2012 Ucapan Selamat Saya atas nama saya pribadi dan ASEAN Foundation mengucapkan:

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA Oleh : Nandia Amitaria Pembimbing I : Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.,MH Pembimbing II : I Made Budi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE SUPPRESSION OF TERRORIST BOMBINGS, 1997 (KONVENSI INTERNASIONAL PEMBERANTASAN PENGEBOMAN

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana

Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana Perspektif Hukum Internasional atas Tragedi Kemanusiaan Etnis Rohingya Hikmahanto Juwana Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI 1 Cycle of Violence Tragedi kemanusiaan atas etnis Rohingnya berulang

Lebih terperinci

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN

BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN BAB III INSTRUMEN INTERNASIONAL PERLINDUNGAN HAM PEREMPUAN A. Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women 1. Sejarah Convention on the Elimination of All Discrimination Against

Lebih terperinci

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK

BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK BAB 10 PENGHAPUSAN DISKRIMINASI DALAM BERBAGAI BENTUK Di dalam UUD 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, pada dasarnya telah dicantumkan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang atau warga negara. Pada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 1999 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL CONVENTION ON THE ELIMINATION OF ALL FORMS OF RACIAL DISCRIMINATION 1965 (KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENGHAPUSAN

Lebih terperinci

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)

KONSEP DASAR HAM. Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) KONSEP DASAR HAM Standar Kompetensi: 3. Menampilkan peran serta dalam upaya pemajuan, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) Kompetensi Dasar : 3.1 Menganalisis upaya pemajuan, Penghormatan,

Lebih terperinci

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM

PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM PERSPEKTIF DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL REALISM DAN NEO REALISM Sebelum PD I studi Hubungan Internasional lebih banyak berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional Setelah PD I mulai ada

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PENGESAHAN ASEAN CONVENTION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS, ESPECIALLY WOMEN AND CHILDREN (KONVENSI ASEAN MENENTANG PERDAGANGAN ORANG, TERUTAMA

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KAUM MINORITAS MUSLIM ATAS PERLAKUAN DISKRIMINATIF DI UNI EROPA Oleh : Miga Sari Ganda Kusuma Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS I Made Budi Arsika, SH., LLM Bagian Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan Indonesia terkait dengan prinsip Wawasan Nusantara telah membuahkan hasil dengan diakuinya konsep negara kepulauan atau archipelagic state secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa kini Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi issue

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa kini Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi issue 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa kini Hak Asasi Manusia (HAM) telah menjadi issue internasional yang sangat penting, bahkan bagi negara-negara maju HAM dijadikan senjata untuk menekan

Lebih terperinci

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh Rumadi Peneliti Senior the WAHID Institute Disampaikan dalam Kursus HAM untuk Pengacara Angkatan XVII, oleh ELSAM ; Kelas Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi adalah suatu rangkaian proses penyadaran dari semua bangsa yang sama-sama hidup dalam satu ruang, yaitu globus atau dunia. Pendapat ini mencoba menyampaikan

Lebih terperinci

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar

RESUME SKRIPSI. Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak. bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar RESUME SKRIPSI Dalam pergaulan internasional setiap negara tidak bisa melepaskan diri dari hubungan atau kerjasama antar negara yang melintasi batas negara. Sebagian besar negara-negara di dunia saling

Lebih terperinci

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN Lembaga dan Proses

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN Lembaga dan Proses MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DI ASEAN Lembaga dan Proses Oleh : Hilton Tarnama Putra Eka An Aqimuddin Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2011 Hak Cipta 2011 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Lebih terperinci

Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM

Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM Dukungan Masyarakat Sipil Menuju Kota HAM Kedudukan Pemda Kewajiban Negara atas HAM Negara Pihak terikat dalam perjanjian HAM internasional yang diratifikasi. Kewajiban Negara atas HAM: (i) menghormati;

Lebih terperinci

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH

Diadopsi oleh resolusi Majelis Umum 53/144 pada 9 Desember 1998 MUKADIMAH Deklarasi Hak dan Kewajiban Individu, Kelompok dan Badan-badan Masyarakat untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal Diadopsi oleh resolusi Majelis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA...

DAFTAR ISI. Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB I EVOLUSI PEMIKIRAN DAN SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA... Daftar Isi v DAFTAR ISI DAFTAR ISI...v PENGANTAR PENERBIT...xv KATA PENGANTAR Philip Alston...xvii Franz Magnis-Suseno...xix BAGIAN PENGANTAR Maksud, Tujuan dan Kerangka Penulisan Buku...3 BAGIAN I BAB

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena

KATA PENGANTAR. Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena KATA PENGANTAR Segala puji syukur penulis panjatkan hanya bagi Tuhan Yesus Kristus, oleh karena anugerah-nya yang melimpah, kemurahan dan kasih setia yang besar akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA www.bpkp.go.id PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan

Lebih terperinci

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia

2 b. bahwa Persetujuan dimaksudkan untuk menetapkan prosedur penyelesaian sengketa dan mekanisme formal untuk Persetujuan Kerangka Kerja dan Perjanjia LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.93, 2015 PENGESAHAN. Agreement. Asosiasi Bangsa- Bangsa Asia Tenggara. Republik India. Penyelesaian Sengketa. Kerja Sama Ekonomi. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda

Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda Press Release The Asia Pacific Regional Parliamentarian and CSO Forum on MDG Acceleration and the Post 2015 Development Agenda Nusa Dua Bali, 25 26 Maret 2013 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2008 TENTANG KEBIJAKAN UMUM PERTAHANAN NEGARA PENDAHULUAN 1. Umum. Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perang etnis menurut Paul R. Kimmel dipandang lebih berbahaya dibandingkan perang antar negara karena terdapat sentimen primordial yang dirasakan oleh pihak yang bertikai

Lebih terperinci

perdagangan, industri, pertania

perdagangan, industri, pertania 6. Organisasi Perdagangan Internasional Untuk mempelajari materi mengenai organisasi perdagangan internasional bisa dilihat pada link video berikut: https://bit.ly/2i9gt35. a. ASEAN (Association of South

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk

BAB I PENDAHULUAN. yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Letak Asia Tenggara yang sangat strategis serta memiliki kekayaan alam yang melimpah membuat beberapa Negara di Eropa mempunyai niat untuk menguasai wilayah di Asia

Lebih terperinci