NASKAH AKADEMIK LAB-DPPKAD3 P E M E R I N T A H K A B U P A T E N B O Y O L A L I D I N A S P E T E R N A K A N & P E R I K A N A N

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "NASKAH AKADEMIK LAB-DPPKAD3 P E M E R I N T A H K A B U P A T E N B O Y O L A L I D I N A S P E T E R N A K A N & P E R I K A N A N"

Transkripsi

1 P E M E R I N T A H K A B U P A T E N B O Y O L A L I D I N A S P E T E R N A K A N & P E R I K A N A N LAB-DPPKAD3 Tahun Anggaran 2019 NASKAH AKADEMIK Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Tentang Identifikasi Dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar

2 KATA PENGANTAR Atas Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa kami telah menyusun Laporan Akhir Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar Tahun Anggaran Laporan ini merupakan laporan awal dari rencana secara keseluruhan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tersebut. Maksud dan tujuan dari penyusunan laporan ini adalah memberikan gambaran dan penjelasan awal terkait kegiatan penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah. Sebagaimana diketahui Naskah Akademik ini diperlukan dalam menyusun Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar. Rancangan Peraturan Daerah merupakan bagian dari kebijakan dan strategi pengembangan sektor peternakan di daerah secara aspiratif dan akomodatif di Kabupaten Boyolali. Untuk itu diharapkan semua pihak memahami, membantu dan berpartisipasi dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar Tahun Anggaran Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya laporan ini. Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Boyolali. Boyolali, Desember 2019 Tim Penyusun i

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR TABEL... v DAFTAR GAMBAR... v B A B - I P E N D A H U L U A N LATAR BELAKANG Umum Kabupaten Boyolali sebagai Produsen Utama Ternak Sapi di Jawa Tengah IDENTIFIKASI MASALAH Perlunya Pencegahan Penyakit Hewan Menular Strategis Perlunya Upaya Peningkatan Produksi Ternak Sapi Perlunya Monitoring Komoditas Daging Sapi sebagai Upaya Stabilisasi Harga Pangan SIMAPI sebagai Upaya Monitoring Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali masih Mengadapi Kendala Pelaksanaan TUJUAN DAN KEGUNAAN LANDASAN HUKUM METODOLOGI STUDI B A B - II K A J I A N T E O R I T I S D A N P R A K T E K E M P I R I S KAJIAN TEORITIS Teori Otonomi Daerah ii

4 2.1.2 Teori Otonomi Kebijakan Publik Teori tentang Peternakan ASAS/ PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA KAJIAN PRAKTIK EMPIRIS BAB-III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ANALISIS MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN SINKRONISASI DAN HARMONISASI ANTAR PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN BAB-IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS LANDASAN FILOSOFIS LANDASAN SOSIOLOGIS LANDASAN YURIDIS BAB-V RUMUSAN JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP RANCANGAN PERDA JANGKAUAN DAN ARAH PENGATURAN RUANG LINGKUP MATERI PENGATURAN Ketentuan Umum Materi yang Diatur B A B - VI PEN U T U P KESIMPULAN SARAN iii

5 D A F T A R P U S T A K A L A M P I R A N iv

6 DAFTAR TABEL Tabel I. 1 Populasi Ternak di Kabupaten Boyolali tahun Tabel I. 2 Produksi Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali tahun Tabel I. 3 Jumlah Kejadian Penyakit di Kabupaten Boyolali, Tabel II. 1 Masak Kelamin, Birahi, Ovulasi dan Kebuntingan pada Sapi DAFTAR GAMBAR Gambar 1. 1 Peta Sebaran Penyakit Brucellosis di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, Gambar 1. 2 Perbandingan Harga Produk Karkas Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Gambar 1. 3 Perbandingan Harga Produk Jeroan Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Gambar 1. 4 Perbandingan Harga Produk Sapi lainnya Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, v

7 B A B - I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Umum Ternak ruminansia besar merupakan sumber produksi daging yang potensial, sudah menjadi komoditas bisnis antardaerah bahkan antarnegara karena tingginya kebutuhan daging oleh masyarakat. Ternak Ruminansia Besar meliputi ternak sapi potong, ternak kerbau dan ternak sapi perah baik jantan maupun betina dari seluruh struktur umur anak, muda dan dewasa. Sebagai komoditas bisnis yang diperlukan masyarakat luas, ternak ruminansia besar harus memenuhi persyaratan teknis keamanan pangan. Untuk menjamin daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH), diperlukan sistem yang memiliki kemampuan telusur terhadap penyakit hewan termasuk zoonosis dan keamanan pangan mulai dari budidaya ternak hingga rumah potong hewan. Pada tataran global, sistem identifikasi ternak ruminansia besar telah dipersyaratkan oleh Office International des Epizooties (OIE) dalam perdagangan bebas sebagai suatu persyaratan Sanitary and Phytosanitary (SPS). Sistem identifikasi merupakan sarana yang sangat efektif untuk mendukung kegiatan survailance, sistem peringatan dini dan pelaporan, manajemen wabah penyakit, program vaksinasi, penggunaan obat, dan pakan secara benar, pengelolaan kelompok ternak atau peternakan, pengawasan mutasi ternak, zoning/kompartemen, inspeksi - sertifikasi ternak dan produk ternak, insiden keamanan pangan serta praktek-praktek perdagangan yang jujur. Berkenaan dengan hal tersebut, diperlukan acuan hukum atau peraturan tentang identifikasi ternak ruminansia besar sebagai dasar bagi peternak, 1

8 petugas di lapangan maupun para pengambil kebijakan baik di tingkat kabupaten dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal untuk mewujudkan penyediaan dan keamanan pangan hewani serta meningkatkan kesejahteraan peternak Kabupaten Boyolali sebagai Produsen Utama Ternak Sapi di Jawa Tengah Kabupaten Boyolali merupakan wilayah potensial berkembangnya ternak ruminansia besar terutama jenis ternak sapi (sapi perah dan sapi potong) sebagai komoditas utama peternakan di wilayah ini. Di Kabupaten Boyolali tahun 2018, terdapat populasi sapi perah sebanyak ekor dan sapi potong sebanyak ekor (lihat Tabel I.1). Tabel I. 1 Populasi Ternak di Kabupaten Boyolali tahun 2018 Kecamatan Banyaknya Ternak (ekor) Sapi Potong Sapi Perah Kerbau Kuda Kambing Domba Kecamatan Selo Kecamatan Ampel Kecamatan Cepogo Kecamatan Musuk Kecamatan Boyolali Kecamatan Mojosongo Kecamatan Teras Kecamatan Sawit Kecamatan Banyudono Kecamatan Sambi Kecamatan Ngemplak Kecamatan Nogosari Kecamatan Simo Kecamatan Karanggede Kecamatan Klego Kecamatan Andong Kecamatan Kemusu Kecamatan Wonosegoro Kecamatan Juwangi Kecamatan Gladagsari Kecamatan Tamansari Kecamatan Wonosamodro TOTAL Sumber: BPS Kabupaten Boyolali,

9 Kabupaten Boyolali merupakan wilayah penghasil produk daging sapi terbesar di Jawa Tengah dengan kontribusi mencapai lebih dari 15% dari total produksi provinsi. Sementara itu dalam produksi susu sapi Kabupaten Boyolali juga menjadi wilayah dengan produksi terbesar di Jawa Tengah, bahkan mencapai hampir 50% produksi susu sapi di Jawa Tengah dipasok dari Kab. Boyolali. Data Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali tahun 2019 menunjukkan bahwa jumlah peternak sapi keseluruhan mencapai sekitar peternak. Rata-rata peternak sapi potong memiliki 2 ekor sapi, sementara sapi perah rata-rata memiliki 3 ekor sapi per peternak. Produksi ternak sapi berupa daging yang dipotong mencapai lebih dari ekor sapi potong dan lebih dari ekor sapi perah pada tahun Produksi daging dari sapi potong mencapai ton dan dari sapi perah mencapai ton daging. Produksi susu dari sapi perah sendiri mencapai hampir 50 juta liter (lihat Tabel I.2). Tabel I. 2 Produksi Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali tahun 2018 JENIS TERNAK Sapi potong Sapi perah PEMOTONGAN (ekor) RPH Pemerintah RPH Swasta Luar RPH Tidak Tercatat Jantan 12,383 1,850 Betina 2, Jantan - - Betina - - Jantan 3,987 - Betina - - Jantan 23,772 3,552 Betina 3, Total 46,102 6,294 3

10 JENIS TERNAK Sapi potong Sapi perah Produksi Daging ( kg ) 9,929,218 1,431,948 Rata-rata Berat ( kg ) Produksi Susu ( lt ) - 49,913,068 Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, 2019 Memperhatikan posisi strategis Kabupaten Boyolali dalam produksi sektor peternakan (daging dan susu sapi), maka pengaturan dan pengelolaan peternakan sapi ini perlu menjadi perhatian Pemerintah Kabupaten Boyolali dan semua stakeholder yang terkait. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Perlunya Pencegahan Penyakit Hewan Menular Strategis Untuk menjamin daging yang aman, sehat, utuh dan halal diperlukan sistem yang memiliki kemampuan telusur terhadap penyakit hewan terutama penyakit huwan menular strategis termasuk zoonosis. Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS) adalah penyakit hewan yang dapat mengakibatkan angka kematian dan/atau angka kesakitan yang tinggi pada hewan. Selain itu juga menimbulkan dampak kerugian ekonomi, keresahan masyarakat dan/atau bersifat zoonotik/ zoonosis. Zoonosis adalah penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia atau sebaliknya, penyakit manusia yang dapat menular kepada hewan (Balai Besar Penelitian Veteriner, 2016). Kabupaten Boyolali merupakan wilayah endemik beberapa penyakit hewan menulat strategis di antaranya adalah Brucellosis dan Anthrax. Penyakit endemik artinya adalah penyakit yang menyerang suatu wilayah geografis atau lingkup populasi tertentu. Antrax (radang limpa) adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, umumnya menyerang hewan herbivora (termasuk sapi). Penyakit anthrax bersifat 4

11 zoonosis karena dapat menulari manusia. Kematian penderita anthrax utamanya akibat toxin (toksemia) yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus anthracis (Balai Besar Penelitian Veteriner, 2016). Anthrax pertama kali mewabah di kabupaten Boyolali pada tahun 1990 ketika sapi-sapi perah terjangkit bakteri Bacillus anthracis, pada tahun 1992 dilaporkan Dinas Kesehatan Kabupaten Boyolali bahwa wabah anthrax menyerang manusia sebanyak 25 orang di kecamatan Teras dan 18 diantaranya meninggal (Adi, 2011). Data tahun menunjukkan tidak terdapat kasus penyakit Anthrax di wilayah kabupaten Boyolali (Tabel I.3). Namun, karena sifatnya yang endemik maka perlu kewaspadaan, pencegahan dan pengawasan agar tidak muncul di kemudian hari. Tabel I. 3 Jumlah Kejadian Penyakit di Kabupaten Boyolali, S TAHUN JENIS PENYAKIT u m Anthrax b Brucellosis e Sumber: Dinas Peternakan dan Perikanan Pemkab Boyolali, Sedangkan penyakit Brucellosis terjadi fluktuasi di Kabupaten Boyolali dalam kurun Pada tahun 2015 jumlah kejadiannya adalah 9 kasus, lalu menurun pada 2016 menjadi 3 kasus. Pada 2017 jumlah kejadiannya justru meningkat drastis menjadi 24 kasus, lalu kembali naik jumlahnya pada 2018 menjadi 36. Pada tahun 2019 (data hingga bulan Oktober) mesih terjadi 15 kasus. Balai Besar Veteriner Wates juga merilis data sebaran Brucellosis di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta, dimana Kabupaten Boyolali positif terdampak Brucellosis sebanyak 39 kasus (lihat Gambar 1.1). 5

12 Brucellosis menjadi salah satu fokus utama bagi Disnakkan Kabupaten Boyolali dalam upaya memberantasnya. Sistem surveillance yang baik sangat dibutuhkan dalam upaya ini, karena Brucellosis selain merupakan penyakit hewan menular strategis juga belum ada obat yang secara efektif menyembuhkannya sehingga langkah paling tepat adalah dengan pencegahan yang didasari penelusuran yang akurat. Pendataan secara akurat perlu dilakukan mengingat Brucellosis merupakan penyakit hewan menular strategis yang zoonosis. Selain itu, ternak yang positif terdampak Brucellosis setelah ditangani perlu mendapat semacam tanda pada pendataan agar memudahkan pemetaan Brucellosis di kabupaten Boyolali. Dengan pencatatan / monitoring yang akurat akan memudahkan penanganan dan pengawasan serta meminimalisir dampak yang diakibatkan oleh penyakit ini. Sumber: Balai Besar Veteriner Wates, Gambar 1. 1 Peta Sebaran Penyakit Brucellosis di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY,

13 1.2.2 Perlunya Upaya Peningkatan Produksi Ternak Sapi Sektor peternakan sapi secara umum masih menghadapi permasalahan yaitu belum tercapainya swasembada daging sapi secara nasional. Permasalahan panjangnya jarak kelahiran dan gangguan reproduksi serta penyakit merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produktivitas ternak selain faktor teknis seperti kurangnya nutrisi dan rendahnya pengetahuan peternak seputar manajemen pengelolaan ternak. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan upaya yang terintegrasi melalui sistem manajemen reproduksi yang terdiri unsur-unsur: 1) pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi; 2) pelayanan inseminasi Buatan (IB) dan Intensifikasi kawin alam (INKA); 3) pemenuhan semen beku dan nitrogen cair ; 4) pengendalian pemotongan sapi betina produktif; dan 5) pemenuhan hijauan pakan ternak dan konsentrat (Sulaiman dkk, 2018). Kabupaten Boyolali meskipun merupakan wilayah penghasil produk daging sapi terbesar di Jawa Tengah dengan kontribusi mencapai lebih dari 15% dari total produksi provinsi (serta produsen susu sapi terbesar, bahkan mencapai hampir 50% produksi susu sapi di Jawa Tengah), peningkatan produksi masih juga menjadi tantangan bagi wilayah ini. Permasalahan masih dihadapi wilayah ini seperti penyakit hewan. Dengan potensi wilayah yang dimiliki (lahan, hijauan pakan, sosial masyarakat), seharusnya produktifitas peternakan sapi di wilayah ini dapat meningkat lebih besar di masa mendatang. Untuk meningkatkan produksi ternak sapi perlu dilakukan percepatan peningkatan populasi ternak sapi. Sehingga perlu ditetapkan sasaran / target kebuntingan sapi dan pada gilirannya nanti akan menghasilkan anakan / pedet. Peningkatan sistem manajemen reproduksi misalnya melalui pemeriksaan status reproduksi dan gangguan reproduksi; pelayanan IB; dan pengendalian pemotongan sapi betina produktif memerlukan data dan 7

14 informasi ternak sapi yang cepat, akurat dan real time guna mewujudjan program yang efektif atau tepat sasaran. Untuk itu diperlukan pendataan dan monitoring sebagai bagian Sistem Informasi Kesehatan Hewan maupun Sistem Monitoring dan Pelaporan ternak sapi di Kabupaten Boyolali Perlunya Monitoring Komoditas Daging Sapi sebagai Upaya Stabilisasi Harga Pangan Pemerintah menargetkan swasembada daging sapi dalam rangka mewujudkan kecukupan protein hewani. Secara umum di Indonesia masih terdapat permasalahan dalam memenuhi kecukupan protein karena mahalnya harga daging sapi. Meskipun pemenuhan protein hewani tidak hanya dari daging sapi, tetapi bisa juga berasal dari ayam, ikan, dan kambing. Terkait pentingnya kebutuhan protein, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, secara nasional rata-rata konsumsi protein penduduk Indonesia saat ini sebesar 53,91 gram per kapita per tahun, masih berada dibawah standar kecukupan konsumsi protein sebesar 57 gram. Dalam konteks tersebut, menjaga keterjangkauan dan stabilitas harga daging sapi sangat penting dilakukan. Sehingga masyarakat secara umum mempunyai daya beli produk daging sapi sebagai sumber protein. Data BPS Provinsi Jawa Tengah yang mencatat rata-rata Harga Produk Pemotongan Ternak Sapi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) yang dilaporkan menurut Kabupaten /Kota tahun 2018 menunjukkan bahwa secara umum harga produk ternak sapi (karkas, jeroan, dan produk sapi lainnya) di Kabupaten Boyolali lebih rendah daripada rata-rata harga di Jawa Tengah (lihat Gambar 1.2, Gambar 1.3 dan Gambar 1.4). Harga produk daging sapi di Kab. Boyolali yang lebih rendah (terjangkau) dibandingkan Jawa Tengah secara umum perlu dijaga sehingga dapat meningkatkan pemenuhan protein masyarakat di Kab. Boyolali. Untuk 8

15 menjaga stabilitas harga produk sapi, salah satu upaya yang ditempuh adalah meningkatkan pendataan dan monitor ternak sehingga dengan mudah mengetahui ketersediaan daging, selain mengetahui kondisi kesehatan sapi, dan memudahkan penyediaan pakan. Pendataan dan monitor ternak upaya juga untuk memperbaiki manajemen bisnis sapi dan membangun kelembagaan peternak secara berkelanjutan. Harga produk karkas sapi th (Rp/kg) Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Kab. Boyolali Prov. Jateng Sumber: BPS Prov. Jawa Tengah, Gambar 1. 2 Perbandingan Harga Produk Karkas Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng,

16 Harga produk jeroan sapi th (Rp/kg) - Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Kab. Boyolali Prov. Jateng Sumber: BPS Prov. Jawa Tengah, 2019 Gambar 1. 3 Perbandingan Harga Produk Jeroan Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Harga produk sapi lainnya th (Rp/kg) - Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV Kab. Boyolali Prov. Jateng Sumber: BPS Prov. Jawa Tengah, 2019 Gambar 1. 4 Perbandingan Harga Produk Sapi lainnya Kab. Boyolali dan Prov. Jateng,

17 1.2.4 SIMAPI sebagai Upaya Monitoring Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali masih Mengadapi Kendala Pelaksanaan Pemenuhan sistem identifikasi ternak ruminansia besar, dalam hal ini sapi, yang efektif sebagaimana dipersyaratkan diperlukan untuk mendukung kegiatan survailance, sistem peringatan dini dan pelaporan, manajemen wabah penyakit, program vaksinasi, penggunaan obat, dan pakan secara benar, pengelolaan kelompok ternak atau peternakan, pengawasan mutasi ternak, zoning/ kompartemen, inspeksi-sertifikasi ternak dan produk ternak, insiden keamanan pangan serta praktek-praktek perdagangan yang jujur (fair trade). Menyadari pentingnya hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Boyolali melalui Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali telah menyiapkan sistem identifikasi melalui Sistem Informasi dan Monitoring Sapi (SIMAPI) yang dirancang sebagai database ternak berbasis web atau internet. Manfaat SIMAPI untuk peternak adalah: (1) Memudahkan memonitoring kebuntingan, perkawinan, calving (beranak), kesehatan hewan, mengetahui status vaksinasi, dan mempermudah monitoring hasil vaksinasi; dan (2) Memudahkan apabila ternak akan diperjualbelikan, bisa terpantau hasil vaksinasinya sehingga tidak ditolak di pos pemeriksaan karena dokumen lengkap dan valid dan bila akan membeli dapat mengetahui sejarah kesehatan dan reproduksinya. Manfaat untuk untuk Petugas/Dinas adalah ; (1) Semua data dan informasi dari ternak dapat dipantau, akan memudahkan petugas dalam melayani masalah yang ada pada ternak, contohnya bisa memonitoring kesehatannya, sistem reproduksinya, calving interval sehingga apabila ada permasalahan akan segera ditangani karena sistemnya online, maka bisa dicek dimanapun petugas berada berdasarkan ID ternak dan peternak; dan (2) Memudahkan dalam hal pendataan ternak yang selama ini kurang valid dan data bisa terpaut (link) dengan Dinas lain misalnya Disdukcapil (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil); (3) Karena memuat 11

18 berbagai informasi lintas bidang, maka dapat memudahkan kerjasama lintas bidang untuk bersama-sama menggunakan data untuk kepentingan monitoring dan evaluasi kerja serta meningkatkan pelayanan kepada masyakarakat terutama peternak. Namun demikian, hingga saat ini penerapan SIMAPI tersebut masih mengalami kendala pelaksanaan yaitu : (1) Belum ada dasar hukum sebagai acuan pelaksanaan SIMAPI dimana identifikasi kegiatan ini dilakukan melalui tagging atau pemberian tanda identitas pada hewan ternak. Dasar hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) dapat mewajibkan, termasuk memberi konsekuensi hukum kepada semua pihak terutama peternak, sehingga semua pihak mendukung pelaksanaan SIMAPI; (2) Jumlah tagging belum sesuai dengan jumlah sapi di Boyolali. Tahun 2018 baru mencapai tag sedangkan jumlah sapi perah sebanyak ekor lebih ; dan (3) Petugas belum sepenuhnya mengerti cara penggunaan dan memasukkan data SIMAPI. Memperhatikan berbagai kendala di atas, alternatif solusi yang dapat ditempuh adalah: (1) Menyusun dan menetapkan Perda tentang Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar sebagai dasar hukum pelaksanaan SIMAPI. Penyusunan Naskah Akademik ini merupakan langkah awal dalam penyusunan raperda dimaksud; (2) Pengadaan tag yang dianggarkan tiap tahun untuk tagging; (3) Sosialisasi untuk peternak; dan (4) Sosialisasi dan pelatihan untuk petugas baik medik maupun paramedic veteriner PNS maupun swasta. 1.3 TUJUAN DAN KEGUNAAN Naskah Akademik akan digunakan sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah. Tujuan Penyusunan Naskah 12

19 Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali tentang Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar adalah: 1. Merumuskan permasalahan utama yang dihadapi dalam pengawasan ternak ruminansia besar, terutama sapi di Kabupaten Boyolali. 2. Merumuskan landasan perlunya pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dalam rangka pemecahan permasalahan berkaitan dengan pengawasan ternak ruminansia besar, terutama sapi di Kabupaten Boyolali. 3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah dimaksud. 4. Merumuskan sasaran rancangan Peraturan Daerah yang akan diwujudkan meliputi ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan. 1.4 LANDASAN HUKUM 1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah; 2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 3495); 3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan 13

20 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5619); 5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234); 6. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5279); 7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4002); 10. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu Dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

21 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424); 11. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2011 tentang Sumber Daya Genetik Hewan Dan Pembibitan Ternak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5260); 12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2012 tentang Alat Dan Mesin Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5296); 13. Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 214, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356); 14. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391); 15. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2014 Tentang Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Hewan; 16. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Otoritas Veteriner; 17. Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pengendaliaan Zoonosis; 18. Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 16/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Pedoman Identifikasi dan Pengawasan Ternak Ruminansia Besar; 15

22 19. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 8 Tahun 2019 Tentang Pejabat Otoritas Veteriner dan Dokter hewan Berwenang; 20. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Di Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 57); 21. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2014 Nomor 8; Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 68); 22. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 14 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Boyolali Tahun (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2016 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 181); 23. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2016 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 183); dan 24. Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 22 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Tahun 2016 Nomor 22, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 189). 1.5 METODOLOGI STUDI Penyusunan Naskah Akademik Raperda pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. 16

23 Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris, dengan penjelasan sebagai berikut A. Metode Yuridis Normatif. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi/ kajian pustaka yang menelaah Peraturan Perundang-undangan atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat berupa: (1) studi/kajian pustaka/literatur yang menelaah (terutama) data sekunder berupa Peraturan Perundang-undangan atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya; (2) Wawancara/interview dengan pihak terkait (stakeholder); dan (3) Diskusi (focus group discussion). B. Metode Yuridis Empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal. Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundangundangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta pengumpulan informasi jika diperlukan untuk mendapatkan data empirik di lapangan atau faktor nonhukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti. Sehingga metode ini melengkapi metode yuridis normatif di atas. Metode yuridis normatif dapat berupa: (1) Desk study atas data lapangan dan praktek di lapangan; (2) Studi literatur atau studi kasus sejenis; (3) Wawancara/interview dengan pihak terkait (stakeholder); dan (4) Diskusi (focus group discussion). 17

24 Contents B A B - I P E N D A H U L U A N LATAR BELAKANG Umum Kabupaten Boyolali sebagai Produsen Utama Ternak Sapi di Jawa Tengah IDENTIFIKASI MASALAH Perlunya Pencegahan Penyakit Hewan Menular Strategis Perlunya Upaya Peningkatan Produksi Ternak Sapi Perlunya Monitoring Komoditas Daging Sapi sebagai Upaya Stabilisasi Harga Pangan SIMAPI sebagai Upaya Monitoring Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali masih Mengadapi Kendala Pelaksanaan TUJUAN DAN KEGUNAAN LANDASAN HUKUM METODOLOGI STUDI Gambar 1. 1 Peta Sebaran Penyakit Brucellosis di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY, Gambar 1. 2 Perbandingan Harga Produk Karkas Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Gambar 1. 3 Perbandingan Harga Produk Jeroan Sapi Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Gambar 1. 4 Perbandingan Harga Produk Sapi lainnya Kab. Boyolali dan Prov. Jateng, Tabel I. 1 Populasi Ternak di Kabupaten Boyolali tahun Tabel I. 2 Produksi Ternak Sapi di Kabupaten Boyolali tahun Tabel I. 3 Jumlah Kejadian Penyakit di Kabupaten Boyolali,

25 BAB-II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS 2.1 KAJIAN TEORITIS Teori Otonomi Daerah Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan sebagaimana amanat dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik 1. Kemudian, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibagi atas daerahdaerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten dan kota mempunyai pemerintah daerah yang diatur dengan undang-undang. Penegasan yang demikian, dimaksudkan untuk lebih memperjelas pembagian daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi dan dalam daerah provinsi terdapat daerah kabupaten dan kota 2. Adanya pembagian daerah tersebut mempunyai keterkaitan dengan wilayah NKRI yang luas dan membentang di seluruh wilayah Republik Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945 mempunyai makna, bahwa dalam konteks bentuk negara, meskipun bangsa Indonesia memilih negara kesatuan, tetapi didalamnya terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antardaerah beragam dalam kesatuan struktur NKRI. Dengan kata lain, bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan 1 Lihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Lihat dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

26 otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Penyelenggaraan otonomi daerah berkembang pesat pasca era reformasi di akhir 1990-an di Indonesia. Otonomi adalah tatanan yang menyangkut tata cara pemmembagian wewenang, tugas, dan tanggungjawab dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Konsekuensi pembagian tersebut yaitu daerah-daerah memiliki sejumlah urusan pemerintahan baik atas dasar penyerahan atau pengakuan sebagai urusan rumah tangga daerah. Bagi masyarakat, penyelenggaraan otonomi daerah merupakan peluang sekaligus kesempatan untuk memajukan daerah. Selain itu, dampak dari adanya otonomi daerah, masyarakat dapat menentukan sendiri pemimpin di daerah masing-masing. Otonomi daerah diselenggarakan untuk menjamin efisensi penyelenggaraan pemerintahan. Otonomi daerah juga merupakan dasar memperluas pelaksanaan demokrasi dan instrumen mewujudkan kesejahteraan umum. Disamping, otonomi daerah merupakan cara memelihara negara kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan esensi pemerintahan yang terdesentralisasi. Dalam Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi memungkinkan terlaksananya perencanaan pembangunan dari bawah (bottom up planning) secara siginifikan dan mengikis rantai birokrasi 19

27 yang dirasakan sangat menghambat pelayanan kepada masyarakat. Otonomi juga akan dapat memberdayakan partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam melaksanaan pembangunan. Sehingga pembangunan akan berjalan sesuai dengan kebutuhan di daerahnya. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ada tiga hubungan kewenangan antara pusat dengan daerah. Pertama ialah Desentralisasi yaitu penyerahan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan Asas Otonomi. Kedua, Dekonsentrasi yaitu pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/ atau kepada gubernur dan bupati/wali kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum. Yang kemudian dimaksud dengan Instansi Vertikal adalah perangkat kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang mengurus Urusan Pemerintahan yang tidak diserahkan kepada daerah otonom dalam wilayah tertentu dalam rangka Dekonsentrasi. Ketiga, Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/ kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi. Ketiga hubungan kewenangan antara pusat dan daerah di atas tentu harus dilakukan dengan tetap mengacu pada batasan yang telah diatur dalam pasal 18A ayat (1) yang menegaskan bahwa Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Selain itu juga dalam batasan Pasal 18B ayat (1) dimana Negara mengakui dan menghormati 20

28 satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Berkaitan dengan kewenangan daerah dalam bidang peternakan, daerah diberikan kewenangan untuk menangani peternakan dimana hal tersebut merupakan bagian dari urusan bidang pertanian. Adapun urusan bidang pertanian merupakan Urusan Pemerintahan Pilihan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 12 ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana bidang pertanian merupakan urusan pemerintahan pilihan. Artinya bidang peternakan sebagai bagian dari pertanian dapat menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah pusat maupun pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Secara lebih rinci, urusan pemerintahan bidang pertanian terkait peternakan adalah pada sub urusan Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Pemerintah Kabupaten / Kota mempunyai kewenangan untuk : a. Penjaminan kesehatan hewan, penutupan dan pembukaan daerah wabah penyakit hewan menular dalam Daerah kabupaten/kota; b. Pengawasan pemasukan hewan dan produk hewan ke Daerah kabupaten/kota serta pengeluaran hewan dan produk hewan dari Daerah kabupaten/kota; c. Pengelolaan pelayanan jasa laboratorium dan jasa medik veteriner dalam Daerah kabupaten/kota; d. Penerapan dan pengawasan persyaratan teknis kesehatan masyarakat veteriner; dan e. Penerapan dan pengawasan persyaratan teknis kesejahteraan hewan Teori Otonomi Kebijakan Publik Kebijakan pemerintah dalam bidang peternakan dalam hal ini untuk identifikasi ternak ruminansia besar yang efektif sehingga memberikan 3 Lihat Lampiran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah - Pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota. 21

29 manfaat besar di sektor ini merupakan bentuk kebijakan publik yang disusun sebagai upaya dan strategi pemerintah untuk meningkatkan pembangunan daerah. Analisis terhadap kebijakan identifikasi ternak ruminansia besar penting dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah, apakah berhasil atau tidak, mengalami kendala atau tidak serta untuk mengukur keberhasilan sejauh mana manfaat yang diperoleh melalui kebijakan tersebut. Uraian di bawah ini adalah beberapa dasar teori dan ketentuan tentang kebijakan publik. 1. Pengertian Kebijakan Publik Kebijakan publik menurut Dye (1978) dapat diartikan sebagai pengembilan keputusan (decision making), dimana pemerintah mempunyai wewenang Commented [I1]: Understanding Public Policy. Dye, Thomas R Prentice Hall Inc, Englewood Cliff, New Jersey. untuk menggunakan keputusan otoritatif, termasuk mengambil keputusan untuk membiarkan sesuatu terjadi. Kebijakan publik juga dapat diartikan pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan pemerintah. Kebijakan tersebut dapat dituangkan dalam berbagai bentuk hukum atau peraturan. Kadji (2008) mengemukakan bahwa terdapat beberapa unsur yang terkandung dalam kebijakan publik sebagai berikut: Commented [I2]: Implementasi Kebijakan Publik melalui MSN Aprproach. Kadji Jurnal Teknologi dan Manajemen Indonesia, Volume 6 Edisi Khusus Juli 2008, Univesrsitas Merdeka Malang. a. Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. b. Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 22

30 c. Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan bukan apa yang dimaksud akan dilakukan. d. Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai sesuatu dalam memecahkan masalah publik tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu). e. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif). Dengan memahami pendapat beberapa ahli tentang kebijakan tersebut, dapat diketahui beberapa ciri/karakeristik penting dari pengertian kebijakan publik, yaitu: a. Kebijakan adalah suatu tindakan pemerintah yang mempunyai tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat. b. Kebijakan dibuat melalui tahap-tahap yang sistematis sehingga semua variabel pokok dari semua permasalahan yang akan dipecahkan tercakup. c. Kebijakan harus dapat dilaksanakan oleh (unit) organisasi pelaksana. d. Kebijakan perlu dievaluasi sehingga diketahui berhasil atau tidaknya dalam menyelesaikan masalah. e. Kebijakan adalah produk hukum yang harus ditatati dan berlaku mengikat terhadap warganya. Kebijakan merupakan tujuan yang di putuskan dengan memiliki aturan formal oleh pemerintah atau penguasa dalam keputusan politis yang sesuai dengan kondisi dan keadaan yang sekali-sekali akan berubah (dinamis). Untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pemerintah baik di pusat maupun di daerah mengeluarkan peraturan-peraturan tertentu; ada yang 23

31 berbentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Daerah. Kebijakan publik merupakan semua kebijakan yang berkaitan dengan hukum ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan dibuat oleh lembaga yang berwenang. Kebijakan publik mencakup hukum, peraturan, perundang-undangan, keputusan, dan pelaksanaan yang dibuat oleh Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif; Birokrasi pemerintahan; Aparat penegak hukum; dan Badan-badan pembuat keputusan publik yang lain. Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa kebijakan publik pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan masyarakat. Oleh sebab itu kebijakan publik harus bertumpu pada keinginan, harapan, tuntutan, dan kebutuhan masyarakat. Masyarakat merupakan pelaksana dari kebijkanan publik. Tanpa dukungan dari masyarakat, suatu kebijakan tidak akan dapat dilaksanakan dengan baik, bahkan akan menimbulkan protes dan gejolak. Untuk menjamin bahwa kebijakan yang disusun akan mengakomodir kepentingan masyarakat serta tidak akan merugikan maka partisipasi masyarakat sangat diperlukan dalam pembuatan kebijakan publik. 2. Formulasi Kebijakan Islamy (2007) mengatakan bahwa formulasi kebijakan (policy formulation) atau pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan Commented [I3]: Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Islamy, M Irfan Cetakan Keempat belas, PT. Bumi Aksara, Jakarta berbagai alternatif yang dilakukan secara terus menerus, dalam hal ini didalamnya termasuk pembuatan keputusan. Formulasi kebijakan sebagai suatu proses menurut Winarno (2012), dapat dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah memutuskan secara umum apa Commented [I4]: Kebijakan Publik: Teori dan ProsesWinarno. Budi Media Pressindo, Yogyakarta. yang apa yang harus dilakukan atau perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan- 24

32 keputusan kebijakan dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan untuk menyetujui, mengubah atau menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih. Islamy (2007) membagi proses formulasi kebijakan ke dalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan Commented [I5]: Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Islamy, M Irfan Cetakan Keempat belas, PT. Bumi Aksara, Jakarta agenda pemerintah, perumusan usulan kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan, dengan penjelasan sebagai berikut: a. Perumusan masalah kebijakan Masalah kebijakan adalah masalah publik tidak hanya tergantung dari dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Suatu problem tidak hanya cukup dihayati / dihadapi oleh banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat atau pihak terkait perlu memiliki political will untuk memperjuangkannya dan ditanggapi positif oleh pembuat kebijakan menjadi problem kebijakan, memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik. Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan sifat proses perumusan kebijakan. b. Penyusunan agenda pemerintah Oleh karena masalah publik yang telah diidentifikasi banyak jumlahnya, maka pembuat keputusan dapat memilih dan menentukan problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas untuk diperhatikan. Selanjutnya, setelah problem publik tersebut dimasukkan ke dalam 25

33 agenda pemerintah, maka para pembuat keputusan memprosesnya ke dalam 4 (empat) tahapan, yakni: (1) problem definition agenda yaitu halhal (problem) yang memperoleh perhatian secara aktif dan didefinisikan para pembuat keputusan; (2) proposal agenda, yaitu hal-hal (problem) yang telah mencapai tingkat diusulkan, dimana telah terjadi perubahan fase merumuskan masalah kedalam fase memecahkan masalah; (3) bargaining agenda, yaitu usulan-usulan kebijakan tadi ditawarkan untuk memperoleh dukungan secara aktif dan serius; dan (4) continuing agenda, yaitu hal-hal (problem) yang didiskusikan dan dinilai secara terus menerus. c. Perumusan usulan kebijakan Tahap ini merupakan kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi: 1) Identifikasi alternatif dilakukan untuk pemecahan masalah. Terhadap problem tertentu, pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya. Identifikasi yang benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif. 2) Mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar masingmasing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masingmasing alternatif tersebut. 3) Menilai alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif mempunyai nilai 26

34 bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan. Untuk dapat melakukan penilaian terhadap berbagai alternatif dengan baik, maka dibutuhkan kriteria tertentu serta informasi yang relevan. 4) Memilih alternatif. Proses pemilihan alternatif yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekuensi dari pilihannya. d. Pengesahan kebijakan Sebagai suatu proses kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards). Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya. Menurut Anderson dalam Islamy (2007), proses pengesahan kebijakan diawali dengan kegiatan: (a) Persuasion, yaitu usaha-usaha untuk Commented [I6]: Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Islamy, M Irfan Cetakan Keempat belas, PT. Bumi Aksara, Jakarta 27

35 meyakinkan orang lain tentang suatu kebenaran ; (b) Bargaining, yaitu suatu proses dimana kedua orang atau lebih mempunyai kekuasaan atau otoritas mengatur setidak-tidaknya tujuan-tujuan mereka tidak sepakati agar dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama tetapi tidak ideal bagi mereka. Barganing meliputi perjanjian (negotiation); saling memberi dan menerima (take and give); dan kompromi (compromise). Penetapan kebijakan dilakukan agar sebuah kebijakan mempunyai kekuatan hukum yang dapat mengikat dan ditaati oleh siapa saja, dan bentuk kebijakan yang dihasilkan seperti Undang-Undang, Peraturan Daerah dan sebagainya dapat diterima oleh masyarakat Teori tentang Peternakan 1. Pengertian Peternakan Pengetahuan adalah landasan ilmu peternakan, itulah yang dikemukakan Blakely dan Bade (1985) dalam buku mereka The Science of Animal Husbandry. Ilmu Peternakan terus berkembang dari zaman dahulu hingga sekarang. Mulai dari manusia berburu hewan liar hingga berusaha Commented [I7]: The Science of Animal Husbandry Blakely dan Bade 1985, Bab I - halaman 1 menjinakkannya dan kemudian saat ini sudah menjadi komoditas industri yang masif. Kebutuhan masyarakat akan komoditas asal ternak yang terus meningkat seiring ledakan populasi manusia terus mendorong pengetahuan tentang peternakan semakin meningkat pula. Gillespie (2004) menyatakan bahwa beberapa fungsi peternakan itu memberikan manfaat Commented [I8]: Modern Livestock & Poultry Production. 7th Edition. Gillespie, James R Delmar Learning, New York. pada masyarakat luas dan bagian lainnya memberi manfaat secara khusus pada peternak. Dari kesemuanya, peternakan merupakan bagian vital dari sektor pertanian suatu bangsa. Dalam definisinya, Peternakan atau Usaha Peternakan adalah pengusahaan atau pembudidayaan ternak dengan segala fasilitas penunjang bagi 28

36 kehidupan ternak (Hanif et al., 2005). Menurut Undang-Undang Nomor 41 Commented [I9]: Pengantar Ilmu Perternakan, Hanif et al Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Peternakan adalah segala Commented [I10]: Pasal 1 ayat 1 halaman 120 urusan yang berkaitan dengan sumber data fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana. Dalam usaha peternakan, objek utamanya adalah ternak itu sendiri. Ternak sebagai objek dalam usaha peternakan didefinisikan oleh Clements dan Shelford (1963) dengan hewan yang dengan sengaja dipelihara sebagai sumber pangan, sumber bahan baku industri, atau sebagai pembantu pekerjaan manusia. Kata ternak dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) memiliki arti yaitu binatang yang dipelihara untuk dibiakkan dengan tujuan Commented [I11]: The Ecology of North America Clements dan Shelford (1963) produksi misalnya: lembu, kuda, kambing, dan sebagainya., sedangkan peternakan adalah usaha atau pemeliharaan dan pembiakan ternak. Usaha peternakan dalam ruang lingkupnya menurut Pokphand (2006) mencakup jenis atau macam usaha peternakan yang didasari oleh kegiatan ekonomi di bidang produksi peternakan mulai dari memasukkan input kemudian diakhiri dengan dikeluarkannya output oleh produsen. Input pada bidang peternakan meliputi lahan, bibit ternak, pakan, obat-obatan, peralatan, bahan bakar, tenaga kerja, modal bangunan dan uang. Sedangkan yang termasuk output adalah susu bagi usaha sapi perah, daging bagi usaha penggemukan sapi, dan ayam, telur bagi usaha itik dan unggas. Ternak dapat memberikan output ketika masih hidup maupun sudah dipotong. Ketika masih hidup, outputnya ternak dimanfaatkan Commented [I12]: Charoen Pokphand Bulletin Service Fokus Kesehatan pada poultry dan pig Fokus Ed April 2006, Nomor 76/Tahun VII. susunya, telurnya, woolnya, tenaga kerjanya, untuk transportasi, olahraga maupun untuk tujuan fancy (kesenangan). Apabila telah dipotong, ternak dimanfaatkan mulai dari daging hingga kulitnya (Blakely dan Bade, 1985). Commented [I13]: The Science of Animal Husbandry Blakely dan Bade 1985, Bab I - halaman 1 29

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

LAPORAN KINERJA 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BAB I PENDAHULUAN LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 16/Permentan/OT.140/1/2010 TANGGAL : 29 Januari 2010 PEDOMAN IDENTIFIKASI DAN PENGAWASAN TERNAK RUMINANSIA BESAR A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Ternak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila

2013, No.6 2 BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan: 1. Pemberdayaan Peternak adalah segala upaya yang dila No.6, 2013 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5391) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PEMBENTUKAN KANTOR SERTA SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA KANTOR PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN BENGKAYANG DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun PENGANTAR Latar Belakang Upaya peningkatan produksi susu segar dalam negeri telah dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Perkembangan usaha sapi perah

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, SASARAN, STRATEGI, DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan tugas

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014

CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 CAPAIAN KINERJA KELUARAN (OUTPUT ) UTAMA APBN PKH TAHUN 2014 1 Peningkatan Produksi Ternak Dengan Pendayagunaan Sumber Daya Lokal a. Pengembangan Kawasan Sapi Potong (Kelompok) 378 335 88,62 b. Pengembangan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG PEMBERDAYAAN PETERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.78, 2010 Kementerian Pertanian. Identifikasi. Ternak Ruminansia Besar. Pedoman. PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR: 16/Permentan/OT.140/1/2010 TENTANG PEDOMAN IDENTIFIKASI

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH - 1 - BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BOYOLALI NOMOR 16 TAHUN 2016 TENTANG PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN PERANGKAT DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BOYOLALI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF Pada bab ini dikemukakan rencana program dan kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran, dan pendanaan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TENGAH

GUBERNUR JAWA TENGAH GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 77 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI JAWA TENGAH DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG BUPATI CIAMIS PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA UNSUR ORGANISASI DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF PEMERINTAH PROVINSI JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAMBI Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF

BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF BAB V RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN, DAN PENDANAAN INDIKATIF Pada bab ini dikemukakan rencana program dan kegiatan, indikator kinerja, kelompok sasaran, dan pendanaan

Lebih terperinci

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF 1 GUBERNUR BENGKULU PERATURAN DAERAH PROVINSI BENGKULU NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur :

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA. Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA ORGANISASI 3.1.1. Capaian Kinerja Berikut ini merupakan gambaran umum pencapaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur : Tujuan 1 Sasaran : Meningkatkan

Lebih terperinci

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN RENCANA PROGRAM, KEGIATAN, INDIKATOR KINERJA, KELOMPOK SASARAN DAN PENDANAAN INDIKA DINAS PERKEBUNAN DAN PETERNAKAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Tujuan Sasaran RPJMD Kinerja Utama Program dan Kegiatan Indikator

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.995, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Penyediaan dan Peredaran Susu. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMENTAN/PK.450/7/2017 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEREDARAN SUSU

Lebih terperinci

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH Pita Sudrajad*, Muryanto, Mastur dan Subiharta Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL BERITA DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 12 Tahun : 2011 Seri : D PERATURAN BUPATI GUNUNGKIDUL NOMOR 67 TAHUN 2011 TENTANG URAIAN TUGAS DINAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA

LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA LAPORAN REFLEKSI AKHIR TAHUN 2014 DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA UTARA Medan, Desember 2014 PENDAHULUAN Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Suamtera Utara sebagai salah

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa

Lebih terperinci

PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG PROVINSI BANTEN PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI, DAN TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang sangat besar (mega biodiversity) berupa sumber daya hewan

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG PENGENDALIAN SAPI DAN KERBAU BETINA PRODUKTIF I. UMUM Provinsi Jawa Timur dikenal sebagai wilayah gudang ternak sapi

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 63 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.214, 2012 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Peternakan. Kesehatan. Veteriner. Hewan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5356) PERATURAN PEMERINTAH

Lebih terperinci

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR WALIKOTA MALANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 43 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA Akuntabilitas Kinerja dalam format Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur tidak terlepas dari rangkaian mekanisme

Lebih terperinci

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA

GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA GUBERNUR PAPUA PERATURAN GUBERNUR PAPUA NOMOR 47 TAHUN 2015 TENTANG URAIAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI PAPUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR PAPUA, Menimbang

Lebih terperinci

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh

Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Peternakan Aceh Provinsi Aceh No. Indikator Kinerja sesuai Tugas dan Fungsi Tabel. 2.1 Pencapaian Kinerja Pelayanan Dinas Kesehatan Hewan dan Aceh Target Indikator Lainnya Target Renstra ke- Realisasi Capaian Tahun ke- Rasio Capaian

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KOTA MAGELANG

PEMERINTAH KOTA MAGELANG PEMERINTAH KOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 16 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH KOTAMADYA DAERAH TINGKAT II MAGELANG NOMOR 2 TAHUN 1998 TENTANG RETRIBUSI RUMAH

Lebih terperinci

LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015

LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 LAPORAN REALISASI KEGIATAN APBN PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2015 KEADAAN s/d AKHIR BULAN : DESEMBER 2015 SKPD : DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA BARAT REALISASI RUPIAH MURNI REALISASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ARAH KEBIJAKAN ( KEMENTAN RI ) PEMBANGUNAN PETERNAKAN DAN KESWAN 2015-2019 KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PETERNAKAN DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERUBAHAN PROGRAM WAKTU PROGRAM 2010-2014 2015-2019 DALAM RANGKA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016 - 679 - PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48/Permentan/PK.210/10/2016 TENTANG UPAYA KHUSUS PERCEPATAN PENINGKATAN POPULASI SAPI DAN KERBAU BUNTING DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA 2013 BAB II. PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Rencana Strategis atau yang disebut dengan RENSTRA merupakan suatu proses perencanaan yang berorientasi pada hasil yang ingin dicapai selama kurun waktu tertentu

Lebih terperinci

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO,

BUPATI MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MOJOKERTO, BUPATI MOJOKERTO PERATURAN BUPATI MOJOKERTO NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI ORGANISASI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN MOJOKERTO DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA

BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA 3.1. CAPAIAN KINERJA SKPD Pada sub bab ini disajikan capaian kinerja Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timnur untuk setiap pernyataan kinerja sasaran strategis SKPD sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN BAB IV VISI, MISI, TUJUAN, DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1 Visi dan Misi SKPD Visi SKPD adalah gambaran arah pembangunan atau kondisi masa depan yang ingin dicapai SKPD melalui penyelenggaraan

Lebih terperinci

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men

2 seluruh pemangku kepentingan, secara sendiri-sendiri maupun bersama dan bersinergi dengan cara memberikan berbagai kemudahan agar Peternak dapat men TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN HIDUP. Peternak. Pemberdayaan. Hewan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 6) PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA :

OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : OLEH DR. Drh. RAIHANAH, M.Si. KEPALA DINAS KESEHATAN HEWAN DAN PETERNAKAN ACEH DISAMPAIKAN PADA : WORKSHOP PENGENDALIAN DAN PENANGGULANGAN BAHAYA RABIES DINAS PETERNAKAN KAB/KOTA SE PROVINSI ACEH - DI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan pangan hewani asal ternak (daging, telur dan susu) dari waktu kewaktu cenderung meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, pendapatan, kesadaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Usaha sektor peternakan merupakan bidang usaha yang memberikan peranan sangat besar dalam pemenuhan kebutuhan protein hewani dan berbagai keperluan industri. Protein

Lebih terperinci

I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016

I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016 I. PROGRAM DAN KEGIATAN TAHUN 2016 A. Program. Sebagai upaya untuk mewujudkan sasaran pembangunan peternakan ditempuh melalui 1 (satu) program utama yaitu Program Pengembangan Agribisnis. Program ini bertujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI BOYOLALI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI BOYOLALI NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG URAIAN TUGAS JABATAN ESELON PADA INSPEKTORAT DAERAH KABUPATEN BOYOLALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA PERATURAN DAERAH KABUPATEN SABU RAIJUA NOMOR 13 TAHUN 2011 TENTANG PENERTIBAN TERNAK DALAM WILAYAH KABUPATEN SABU RAIJUA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SABU RAIJUA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta e-mail : goested@yahoo.com Abstrak Kebutuhan daging

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.20, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Otoritas Veteriner. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian I. PENDAHULUAN Populasi penduduk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 95 TAHUN 2012012 TENTANG KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DAN KESEJAHTERAAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang :

Lebih terperinci

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG BUPATI BONDOWOSO PERATURAN BUPATI BONDOWOSO NOMOR 43 TAHUN 2010 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN DAN PERIKANAN KABUPATEN BONDOWOSO DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BONDOWOSO,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG OTORITAS VETERINER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 127 TAHUN 2016 TENTANG

-1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 127 TAHUN 2016 TENTANG -1- GUBERNUR ACEH PERATURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 127 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN ACEH DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH,

Lebih terperinci

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN BUPATI BELITUNG PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG NOMOR 55 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA DINAS KETAHANAN PANGAN

Lebih terperinci

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA ACEH,

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA ACEH, PERATURAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH NOMOR : 18 TAHUN 2001 TENTANG SUSUNAN ORGANISASI DAN TATAKERJA DINAS PETERNAKAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA ACEH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN RAHMAT ALLAH

Lebih terperinci

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN

MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN MATRIK RENSTRA DINAS PETERNAKAN PROVINSI JAWA TIMUR TAHUN 2009-2014 1. VISI : Terwujudnya peningkatan kontribusi subsektor peternakan terhadap perekonomian. 2. MISI : 1. Menjamin pemenuhan kebutuhan produk

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT 2 GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PEMBENTUKAN ORGANISASI DAN TATA KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) INSEMINASI BUATAN PADA DINAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5.

Ayam Ras Pedaging , Itik ,06 12 Entok ,58 13 Angsa ,33 14 Puyuh ,54 15 Kelinci 5. NO KOMODITAS POPULASI (EKOR) PRODUKSI DAGING (TON) 1 Sapi Potong 112.249 3.790,82 2 Sapi Perah 208 4,49 3 Kerbau 19.119 640,51 4 Kambing 377.350 235,33 5 Domba 5.238 17,30 6 Babi 6.482 24,55 7 Kuda 31

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2009 TENTANG PETERNAKAN DAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hewan sebagai karunia dan amanat Tuhan Yang

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 62 TAHUN 2016 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS PUSAT KESEHATAN HEWAN PADA DINAS KETAHANAN PANGAN, PERTANIAN DAN PERIKANAN Menimbang

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN Jakarta, 26 Januari 2017 Penyediaan pasokan air melalui irigasi dan waduk, pembangunan embung atau kantong air. Target 2017, sebesar 30 ribu embung Fokus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejak zaman dahulu manusia telah menggunakan susu sebagai bahan pangan. Manusia mengambil susu dari hewan yang memiliki kelenjar susu seperti sapi, kuda dan domba. Masyarakat

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG

- 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG - 1 - BUPATI BANYUWANGI PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 44 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PETERNAKAN KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

Lebih terperinci

WALIKOTA TASIKMALAYA

WALIKOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA KEPUTUSAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR : 17 TAHUN 2003 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI DAN RINCIAN TUGAS UNIT DINAS PERTANIAN KOTA TASIKMALAYA WALIKOTA TASIKMALAYA Menimbang : a. bahwa dengan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN LALU LINTAS TERNAK DAN PEREDARAN BAHAN ASAL HEWAN DI KABUPATEN BULUKUMBA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUKUMBA,

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SULAWESI SELATAN, 1 SALINAN GUBERNUR SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENGENDALIAN PENYEMBELIHAN TERNAK BETINA PRODUKTIF DAN PENGELUARAN TERNAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. struktur organisasi dan pembagian tugas berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No.

BAB III METODOLOGI. struktur organisasi dan pembagian tugas berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. BAB III METODOLOGI 3.1 Gambaran Umum Instansi 3.1.1 Sejarah Berdiri Kementerian Pertanian terdiri dari beberapa unit Eselon I dengan tujuan struktur organisasi dan pembagian tugas berdasarkan Keputusan

Lebih terperinci

BUPATI MALANG BUPATI MALANG,

BUPATI MALANG BUPATI MALANG, BUPATI MALANG PERATURAN BUPATI MALANG NOMOR 8 TAHUN 2009 TENTANG UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS (UPTD) RUMAH POTONG HEWAN (RPH) PADA DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN KABUPATEN MALANG BUPATI MALANG, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor

BAB I PENDAHULUAN. beli masyarakat. Sapi potong merupakan komoditas unggulan di sektor 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan daging sapi sebagai salah satu sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya gizi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur

BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN. 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur BAB II GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN 2.1 Uraian Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur Pembangunan Peternakan Provinsi Jawa Timur selama ini pada dasarnya memegang peranan penting dan strategis dalam membangun

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT

GUBERNUR SUMATERA BARAT GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN GUBERNUR SUMATERA BARAT NOMOR 30 TAHUN 2017 TENTANG URAIAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI DINAS PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN PROVINSI SUMATERA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG

Lebih terperinci

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN BUPATI PURBALINGGA NOMOR 65 TAHUN 2014 TENTANG PEMOTONGAN HEWAN RUMINANSIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PURBALINGGA, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

VISI. Terwujudnya masyarakat yang mandiri, sejahtera melalui peningkatan pembangunan peternakan.

VISI. Terwujudnya masyarakat yang mandiri, sejahtera melalui peningkatan pembangunan peternakan. VISI Terwujudnya masyarakat yang mandiri, sejahtera melalui peningkatan pembangunan peternakan. MISI 1. Meningkatkan peluang ekonomi dan lapangan kerja untuk kemandirian dan kesejahteraan masyarakat di

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015

LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 1 LEMBARAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG PENGENDALIAN PEMOTONGAN TERNAK RUMINANSIA BESAR BETINA PRODUKTIF

Lebih terperinci

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT,

BUPATI LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI LOMBOK BARAT, BUPATI LOMBOK BARAT PERATURAN BUPATI LOMBOK BARAT NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG RINCIAN TUGAS, FUNGSI DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN PERKEBUNAN KABUPATEN LOMBOK BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF PERATURAN MENTERI PERTANIAN Nomor : 35/permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN, Menimbang : a. bahwa dalam rangka

Lebih terperinci

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT H. ZULQIFLI Dinas Peternakan, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat PENDAHULUAN Kabupaten

Lebih terperinci

BUPATI KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 84 TAHUN 2016

BUPATI KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 84 TAHUN 2016 SALINAN BUPATI KULON PROGO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR 84 TAHUN 2016 PEMBENTUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, FUNGSI DAN TUGAS, SERTA TATA TENTANG KERJA UNIT PELAKSANA TEKNIS

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 35/Permentan/OT.140/7/2011 TENTANG PENGENDALIAN TERNAK RUMINANSIA BETINA PRODUKTIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

.000 WALIKOTA BANJARBARU

.000 WALIKOTA BANJARBARU SALINAN.000 WALIKOTA BANJARBARU PERATURAN WALIKOTA BANJARBARU NOMOR 39 TAHUN 2012 TENTANG TUGAS POKOK, FUNGSI, URAIAN TUGAS DAN TATA KERJA DINAS PERTANIAN, PERIKANAN DAN KEHUTANAN KOTA BANJARBARU DENGAN

Lebih terperinci