Bidang Hubungan Industrial & Advokasi. Asosiasi Pengusaha Indonesia

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bidang Hubungan Industrial & Advokasi. Asosiasi Pengusaha Indonesia"

Transkripsi

1 Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi Pendahuluan Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi (Bidang HI & Advokasi) merupakan bentuk nyata dari komitmen APINDO untuk menciptakan kondisi hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi dunia usaha Indonesia. Bidang HI dan Advokasi bertugas menyelenggarakan 3 (tiga) peran dan fungsi utama yaitu : 1. Perlindungan a. Meningkatkan efektifitas peran APINDO sebagai organisasi yang mewakili Pengusaha / Perusahaan di Lembagalembaga Tripartit baik tingkat Nasional maupun tingkat Internasional; b. Melaksanakan kaidah-kaidah operasional Hubungan Industrial Indonesia disesuaikan dengan tuntutan-tuntutan era Globalisasi. 2. Pembelaan a. Memberikan konsultasi dalam bidang pengembangan Sumber Daya Manusia / Ketenagakerjaan / Hubungan Industrial kepada anggota; b. Menggalakkan upaya Bipartit dan terbentuknya LKS Bipartit di perusahaan; b. Penyusunan Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama beserta teknikteknik bernegosiasi; c. Memberikan bantuan hukum dalam perselisihan hubungan industrial di Pengadilan Hubungan Industrial. 3. Pemberdayaan a. Memberikan informasi yang terkini kepada para anggota tentang perkembanganperkembangan di bidang Ketenagakerjaan/ Hubungan Industrial dalam bentuk pelbagai macam informasi dan pelbagai sarana; b. Melaksanakan kegiatan penelitian dan pelatihan dalam rangka peningkatan mutu dan profesionalisme Sumber Daya Manusia dalam lingkup dunia usaha baik dilakukan oleh APINDO sendiri maupun bekerjasama dengan lembaga profesional; c. Menggalang kerjasama dengan para pelaku hubungan industrial, baik di dalam maupun di luar negeri, sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan tujuan APINDO serta dengan cara yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkembangan Ketenagakerjaan / Hubungan Industrial di Indonesia yang terjadi (hingga akhir tahun 2011 tidak terlepas dari peran aktif Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO antara lain : 1. Monitoring dan evaluasi perkembangan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, termasuk terlibat dalam proses kajian ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), memantau dan mengkaji proses judicial review Undang-undang terkait ketenagakerjaan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan lain-lain; 2. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), termasuk memberikan konsultasi dan koordinasi dengan instansi terkait (Kemenakertrans, Mahkamah Agung dan instansi terkait lainnya); 3. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN); 4. Berperan aktif dalam LKS Tripartit Nasional dalam pembuatan pelbagai rancangan peraturan pelaksanaan terkait ketenagakerjaan / hubungan industrial Indonesia. Peran Bidang HI dan Advokasi untuk mendorong tercapainya perkembangan Ketenagakerjaan/Hubungan Industrial yang sejalan dengan pencapaian Hubungan Industrial Indonesia yang harmonis, dinamis dan berkeadilan bagi Dunia Usaha Indonesia, yang sangat mendukung dalam perkembangan dunia usaha. Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 3

2 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi Laporan Kegiatan Secara garis besar, kegiatan Bidang HI dan Advokasi di tingkat Nasional dan tingkat Internasional terdiri dari : 1. Pelatihan Kegiatan ini untuk memberikan informasi dan pengetahuan terkait Ketenagakerjaan/ Hubungan Industrial di Indonesia dalam rangka peningkatan mutu dan profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia. Pelatihan ini ditujukan untuk : a. Para praktisi hubungan industrial di Indonesia yang terdiri dari Industrial Relations Department Perusahaan Anggota APINDO; b. Industrial Relations Department Perusahaan Non-Anggota APINDO, Hakim Ad-Hoc Pengadilan Hubungan Industrial Unsur APINDO; dan c. Tim Advokasi APINDO tingkat Pusat maupun tingkat Daerah. Dengan kegiatan berupa : Workshop Beracara di PHI Tingkat Lanjutan Merupakan program kerja DPN APINDO bekerjasama dengan NHO tahun 2011, yang diselenggarakan bekerjasama dengan DPP APINDO DKI Jakarta, Lampung, DPP APINDO Sulawesi Utara, dengan gambaran acara sebagai berikut : 1. DPP APINDO DKI Jakarta Yang diselenggarakan tanggal Februari 2011 di Hotel Twin Plaza, Slipi, Jakara Barat dengan Jumlah peserta 57 (lima puluh tujuh ) orang. Dengan Nara Sumber: Bapak Hasanuddin Rachman (Ketua Bidang HI dan Advokasi DPN APINDO), Ibu Endang Susilowati (Anggota Bidang HI dan Advokasi DPN APINDO), Bapak Jono Sihono (Hakim Ad Hoc Kasasi Unsur APINDO). 2. DPP APINDO Jabar Yang diselenggarakan tanggal Maret 2011 di Hotel Yehezkiel Bandung, dihadiri + 50 utusan perusahaan dan DPK se- Jawa Barat. Dengan Nara Sumber : Bapak Hasanuddin Rachman (Ketua Bidang HI dan Advokasi DPN APINDO), Ibu Endang Susilowati (Anggota Bidang HI dan Advokasi DPN APINDO), Bapak Bernard (Hakim Ad Hoc Kasasi Unsur APINDO). 3. DPP APINDO Lampung Workshop Beracara di PHI Tingkat Lanjutan pada tanggal April 2011 di Hotel Sheraton Lampung, dengan jumlah peserta 80 (delapan puluh ) orang Nara sumber terdiri dari : (i) DPN APINDO: Bapak H. Hasanuddin Rachman, dan Ibu Endang Susilowati; (ii) Hakim AdHoc PHI Kasasi di Mahkamah Agung : Bapak Horadin Saragih; dan; (iii) Hakim AdHoc PHI PN Lampung : Bapak H. Burhanuddin. 4. DPP APINDO Sulawesi Utara Workshop Beracara di PHI Tingkat Lanjutan pada tanggal Juli 2011 di Hotel Grand Puri Manado. Peserta berjumlah 40 (empat puluh) orang. Nara sumber terdiri dari : (i) DPN APINDO : Bapak H. Hasanuddin Rachman, dan Ibu Endang Susilowati; (ii) Hakim AdHoc PHI Kasasi di Mahkamah Agung : Bapak Dwi Cahyo Suwarsono. Secara keseluruhan Materi Workshop : a. Perkembangan Sistem Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Review Pelaksanaan PHI baik di tingkat PHI di Pengadilan Negeri maupun di MA Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI); b. Strategi Pembuatan Gugatan, Jawaban, Replik, Duplik oleh Ibu Endang Susilowati, Koordinator Tim Advokasi; c. Hukum Acara Pengadilan Hubungan Industrial dan Latihan-latihan; d. Penilaian MA terhadap kasus-kasus yang diajukan Kasasi di MA oleh Hakim Ad Hoc Kasasi Unsur APINDO; e. Diskusi Panel oleh Nara Sumber DPN APINDO dan Hakim Kasasi; f. Serta tanya jawab. Komposisi Peserta : a. Pengurus DPP dan DPK APINDO Provinsi; b. Tim advokasi DPP dan DPK APINDO Provinsi; c. Hakim Ad Hoc PHI Unsur APINDO Provinsi; dan d. Perusahaan Anggota DPP APINDO Provinsi Temuan dan Masukan Secara Umum : Masih banyak peserta yang kurang memahami sistem dan pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) sebagai sarana untuk pelaksanaan penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial baik di tingkat Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri maupun di tingkat Kasasi (MA); Walaupun banyak yang kurang memahami sistem dan pelaksanaan PPHI di PHI, namun para peserta kebanyakan telah menerapkan upaya Bipartit dalam PPHI, hal ini terlihat dari setiap uraian pertanyaan yang disampaikan oleh peserta, walaupun kemudian atas upaya Bipartit tersebut belum mencapai keberhasilan atau kalaupun sudah berhasil ternyata masih banyak ditemukan kesalahan dalam tehnis administrasinya seperti dalam penyusunan risalah rapatnya. Kendalakendala inilah yang harus dicermati lebih lanjut sehingga upaya Bipartit yang telah ditempuh tersebut dapat berjalan dengan baik dan sempurna, sehingga dapat menguntungkan bagi kedua belah pihak yaitu untuk pekerja maupun untuk pengusaha, dan tidak menimbulkan perselisihan yang lebih lanjut ke tingkat Pengadilan Hubungan Industrial; Dalam hal pembuatan gugatan untuk proses PHI masih banyak terdapat ketidaksempurnaan dalam pembuatan surat kuasa maupun dalam pembuatan gugatan untuk proses beracara di tingkat PHI. Dalam pembuatan surat kuasa masih banyak ditemukan ketidaklengkapan syaratsyarat formil untuk sebuah surat kuasa, begitu juga dalam pembuatan gugatan. Hal ini menunjukkan adanya kekurangmampuan para peserta workshop dan menunjukkan adanya keperluan untuk pelatihan dan bimbingan lebih lanjut bagi para peserta workshop. Dengan pendalaman kemampuan tehnik beracara ini diharapkan dapat memberikan bekal bagi para pelaku hubungan industrial di perusahaanperusahaan sehingga dapat dihindari adanya kesalahan yang dapat menyebabkan permasalahan menjadi lebih rumit dan berkelanjutan sehingga akan menyulitkan bagi perusahaan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial; Masukan selanjutnya diharapkan dapat diadakan lagi acara workshop PHI seperti ini, untuk lebih mendalami materi tingkat lanjut (advance) ini dengan materi yang lebih mendalam dan waktu yang cukup sehingga diharapkan pemahaman peserta terhadap praktek penyelesaian perselisihan hubungan Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 4 Laporan Tahunan

3 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi industrial dapat semakin mendalam dan lengkap. Dengan pemahaman yang mendalam tersebut, diharapkan peserta terutama Tim Advokasi di DPP dapat bertugas dengan baik dalam menyelesaikan perselisihan yang dihadapi anggotanya. 2. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Undangundang Terselenggaranya pelbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Ketenagakerjaan / Hubungan Industrial memerlukan peran aktif APINDO untuk mewakili Pengusaha Indonesia dan / atau mengawasi penerapan peraturan perundangundangan yang mendukung terciptanya iklim usaha yang kondusif. Dalam hal ini, Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO diberikan kepercayaan oleh DPN APINDO untuk melakukan ha tersebut. Hingga akhir tahun 2011, peran Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO untuk mewakili pengusaha Indonesia dan / atau mengawasi penerapan peraturan perundang-undangan antara lain : 2.1. Monitoring perkembangan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pada tahun 2011 ini kembali terjadi satu perkembangan ketentuan ketenagakerjaan yang mengejutkan bagi kalangan dunia usaha di Indonesia yaitu terbitnya Putusan MK No. 037/PUU-IX/2011. APINDO berpendapat bahwa Putusan MK tersebut tidaklah mengakomodir rasa keadilan kalangan dunia usaha, yang mana berpotensi menyebabkan munculnya pelanggaran hukum dari kalangan dunia usaha terutama terkait pemberlakuan upah proses. Terkait putusan MK tersebut APINDO telah mempersiapkan dan melakukan beberapa langkah-langkah taktis guna melindungi dunia usaha Indonesia Hasil kajian LIPI Upaya mewujudkan kesejahteraan pekerja/ buruh dan perbaikan iklim usaha Indonesia melalui pembangunan ketenagakerjaan, yang telah diusahakan oleh Forum Bipartit Nasional (FBN) pada tahun 2010, berupa kerjasama kajian peraturan ketenagakerjaan bersama Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang dalam kelanjutannya diambilalih oleh Pemerintah, pada akhir tahun 2011 LIPI menyampaikan laporan ketenagakerjaan dengan pokok-pokok pikiran yang menarik untuk dikritisi. Pokokpokok pikiran tersebut dituangkan dalam 7 (tujuh) bagian besar yang terdiri dari : (i) Tenaga Kerja Asing (TKA); (ii) Hubungan Kerja (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Outsourcing); (iii) Istirahat Panjang; (iv) Pengupahan; (v) Mogok Kerja; (vi) Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK); dan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam laporannya, LIPI menyimpulkan : a. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengandung berbagai kelemahan substansi maupun implementasinya. Kelemahan substansi antara lain berkaitan dengan adanya pasal-pasal yang terlalu rigid dan detil sehingga dianggap menyulitkan ruang gerak dunia usaha atau kurang mendukung perluasan kesempatan kerja. Beberapa pasal lainnya dianggap merugikan hak-hak dan perlindungan pekerja/buruh, karena memberi ruang untuk pelanggaran dalam implementasinya. Permasalahan substansi lainnya adalah ketidakjelasan beberapa pasal, adanya pasal-pasal yang bermakna ganda (multi-tafsir) ataupun tidak konsisten dengan regulasi lainnya, sehingga menjadi sumber perselisihan dalam pelaksanaan hubungan kerja dan hubungan industrial; b. Dalam hal substansi, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga belum menjangkau keseluruhan pekerja terutama pekerja di sektor informal dan sektor pertanian yang merupakan bagian terbesar dari seluruh pekerja/buruh. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga cenderung bias sektor formal, khususnya sub-sektor industri, karena lebih banyak mengatur hubungan industrial antara pekerja/buruh dengan pengusaha sektor industri. Sementara proporsi pekerja di sektor industri dan formal relatif kecil dibandingkan jumlah semua pekerja di Indonesia (masing-masing hanya sekitar 13% dan 30%); c. Hukum perburuhan memiliki sifat hukum publik karena kepentingan negara yang sangat besar dalam pengaturan perburuhan. Negara mempunyai peran penting dan strategis sebagai mediator (antara pekerja/buruh/serikat pekerja/ serikat buruh dengan pengusaha/pemberi kerja), sebagai fasilitator dan sekaligus sebagai supervisor/pengawas untuk menjamin agar terjadi hubungan industrial yang harmonis, sehingga kelangsungan usaha dan kesejahteraan untuk semua pihak dapat tercapai. Banyaknya kasus perselisihan yang mengarah ke konflik kepentingan, menunjukkan pihak pemerintah kurang menjalankan perannya sebagai mediator dan supervisor secara optimal, sehingga semakin mengganggu kelangsungan usaha; d. Peran pemerintah dalam menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum (law enforcement) relatif lemah, terbukti dengan banyaknya pelanggaran yang terjadi dan penyelesaian hukum yang berlarut, menyebabkan Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan kurang memberikan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak terkait (pekerja dan pemberi kerja) sehingga semakin tidak kondusif untuk pengembangan investasi maupun peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh; e. Berbagai kondisi juga telah menyebabkan peran pemerintah sebagai bagian penting dari pemangku kepentingan, relatif lemah dalam memenuhi tanggung jawab sosial bagi warga negaranya, sehingga kewajiban menyediakan jaminan sosial masih terabaikan (seperti jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan jaminan pengangguran). Hal ini berdampak pada beban yang semakin berat bagi pengusaha/ pemberi kerja dalam memenuhi hak pekerja/buruh, sehingga mengganggu kelangsungan dan pengembangan usaha; f. Dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh cenderung masih menjadi beban pengusaha, sehingga pada saat kemampuan perusahaan menurun, berdampak pada terabaikannya perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Penekanan kewajiban untuk peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh hanya pada pengusaha/pemberi kerja dapat mengakibatkan penurunan efisiensi usaha yang berdampak pada terhambatnya perluasan kesempatan kerja. Maka sudah saatnya negara berperan untuk melaksanakan kewajiban sosialnya yaitu mengambil alih sebagian beban tersebut dengan memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi pekerja melalui peningkatan sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif. Dengan prinsip tersebut, Sistem Jaminan Sosial merupakan program bersama (pemerintah dan masyarakat), yang dilaksanakan melalui pendekatan sistem, guna mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 6 Laporan Tahunan

4 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi Pokok-pokok Pikiran untuk Penyempurnaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan : I. Tenaga Kerja Asing (TKA) Perlu adanya perbaikan dan ketegasan dalam pendefinisian tenaga kerja asing yang masuk ke wilayah Indonesia dalam Undang-undang Ketenagakerjaan; Di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan tidak perlu dijelaskan secara detil tentang standar kompetensi, namun diperlukan ketentuan yang tegas tentang persyaratan penggunaan TKA sesuai standar kompetensi yang diatur lebih lanjut dalam Keputusan Presiden atau Keputusan Menteri; Perlu penegakan hukum bagi pemberi kerja dan TKA yang menduduki jabatan tanpa ijin serta menjalankan pendampingan sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang; Perlu dilakukan penyederhanaan persyaratan penggunaan TKA dalam peraturan turunannya, namun tidak mengurangi esensi pengaturan dan pembatasan penggunaan TKA; Perlu peningkatan jumlah dan kompetensi petugas perijinan TKA di tingkat pusat dan daerah; Perlu transparansi dan sosialisasi dalam pemanfaatan dana kompensasi TKA dalam Undang-undang maupun peraturan turunannya, serta disarankan persyaratan bagi TKA ditambah dengan wajib memiliki asuransi. II. Hubungan Kerja A. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Sistem PKWT tetap diperlukan terutama untuk memenuhi kebutuhan usaha sejalan denaga dinamika sosial ekonomi, namun pelaksanaannya harus menjamin pemenuhan hak dan perlindungan pekerja, termasuk keikutsertaan dalam Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Pekerja kontrak (PKWT) harus mempunyai take home pay lebih tinggi dibanding pekerja tetap (PKWTT); Dalam hal jenis pekerjaan/kegiatan yang sudah dilakukan oleh pekerja tetap di suatu perusahaan, maka jenis pekerjaan tersebut tidak boleh dilakukan dengan status kontrak (PKWT). Apabila pengusaha tetap akan mempekerjakan pekerja kontrak (PKWT) pada pekerjaan tersebut, maka take home pay pekerja kontrak (PKWT) harus lebih tinggi daripada pekerja tetap (PKWTT); Diperlukan kejelasan pengertian pekerjaan yang bersifat tetap dan tidak tetap. Akan tetapi sejalan dengan dinamika perusahaan, diperlukan ruang untuk penyesuaian kembali melalui kesepakatan kedua belah pihak yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB); Untuk meminimalisisr berbagai pelanggaran atau penelewengan terhadap pelaksanaan PKWT, maka diperlukan peningkatan pengawasan diantaranya dengan melibatkan SP/SB di dalam perusahaan yang mempekerjakan pekerja kontrak (PKWT); Pekerja perlu didorong untuk menggunakan hak-hak berserikat. Di sisi lain pemberi kerja harus memberi peluang dan kesempatan bahkan menjamin pekerja kontrak (PKWT) untuk mendapatkan hak-hak berserikat sesuai dengan Konvensi ILO Nomor 87 dan Konvensi ILO Nomor 98. B. Outsourcing Hubungan kerja sistem outsourcing tetap diperlukan terutama untuk memenuhi kebutuhan usaha sejalan dengan perkembangan dinamika sosial ekonomi, namun pelaksanaannya harus menjamin perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja/buruh, termasuk keikutsertaaan pekerja/buruh dalam jaminan sosial tenaga kerja. Dalam hal ini pekerja/buruh outsourcing harus dipastikan bahwa hak-hak dan jaminan perlindungan kerjanya minimal harus sama dengan pekerja/ buruh lainnya dan diatur sesuai peraturan perundangan yang berlaku; Hubungan kerja sistem outsourcing dapat dilakukan dengan penekanan pada beberapa ketentuan sebagai berikut : (1) kegiatan outsourcing tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang sedang dilakukan oleh pekerja tetap/kontrak di perusahaan yang sama; (2) jenis pekerjaan/kegiatan yang dapat di-outsourcing-kan harus sesusai dengan daftar (list) pekerjaan yang disahkan oleh lembaga/ instansi yang berwenang; (3) dalam menentukan jenis pekerjaan/kegiatan yang di-outsourcing-kan harus mengedepankan prinsip beritikad baik (code of good faith) dan dialog sosial melalui kesepakatan kolektif (bipartit) di tingkat perusahaan; Ketentuan atau aturan dalam undang-undang seharusnya tidak membuka ruang bagi adanya upaya penyimpangan. Dalam hal ini aturan tentang pengalihan tanggung jawab hubungan kerja dari perusahaan penyedia jasa ke perusahaan pengguna (Pasal 66 ayat (4)) dinilai telah memberi dampak pada posisi pekerja/buruh menjadi rentan terhadap kepastian status hubungan kerja; Diperlukan peninjauan ulang terhadap pengertian outsourcing. Dalam hal ini diusulkan untuk menghapus aturan tentang pemborongan pekerjaan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan karena sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerd) Buku III Bab 7A bagian VI. Kegiatan pemborongan merupakan bentuk kerjasama hubungan bisnis antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong (sub-kontraktor) sehingga Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur hubungan kerja sistem outsourcing melalui jasa penyediaan pekerja/ buruh; Untuk meminimalisir berbagai pelanggaran atau penyelewengan terhadap pelaksanaan outsourcing, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut : (1) peningkatan pengawasan dan memperketat ijin pendirian perusahaan jasa penyedia pekerja/buruh; (2) pemberlakuan standar kelayakan perusahaan jasa penyedia pekerja/buruh melalui penerbitan lisensi (sertifikat) yang pemberiaannya diawasi secara ketat dan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu; (4) perusahaan pengguna (user) didorong untuk dapat bekerjasama dengan perusahaan jasa penyedia pekerja/buruh yang telah berlisensi (bersertifikat); dan (5) reformasi birokrasi terutama pada lembaga/instansi yang memiliki kewenangan terkait pemberian ijin pendirian usaha, pemberan lisensi, pengawasan dan penegakan hukum. Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 8 Laporan Tahunan

5 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi III. Istirahat Panjang Perlunya pemberian istirahat panjang untuk jangka waktu tertentu pada pekerja dengan memperhatikan sektor dan jenis pekerjaan, serta masa kerja sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha; Selama menjalankan hak istirahat panjang, pekerja berhak mendapatkan upah dan kompensasi yang besarnya ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara pekerja dan pengusaha. IV. Sistem Pengupahan Penetapan Upah Minimum (UM) cukup memperhatikan komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel produktifitas pekerja penting dalam melakukan penyesuaian upah secara berkala sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 92 ayat (2); Dalam upaya mengurangi kesenjangan nilai UM antara Kabupaten/Kota, kerumitan proses penghitungan, efisiensi birokrasi dan menghindari politisasi UM baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat Propinsi, maka penetapan UM cukup di tingkat propinsi dengan memperhatikan survei KHL yang objektif oleh lembaga yang kompeten (misalnya BPS) di tingkat Kabupaten/Kota; Perlu adanya peninjauan ulang Kepmenaker Nomor 226 Tahun 2000 Pasal 4 ayat (6), agar waktu penetapan lebih efektif dengan memperhatikan faktor inflasi pada jangka waktu yang disepakati (misalnya 2 tahun); Perlunya sinkronisasi Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 90 ayat (2) dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiba Pembayaran Utang; Penetapan UM bagi perusahaan skala menengah dan besar harus senilai 100% KHL. Namun penetapan UM bagi perusahaan berskala mikro dan kecil perlu diatur khusus dalam peraturan lain; Perlunya penegakan hukum (law enforcement). Sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 81 mengenai perlunya pengawasab ketenagakerjaan dalam industri dan perdagangan dibawah supervisi dan kontrol dari pemerintah pusat. VI. Mogok Kerja Perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap pengertian mogok kerja supaya tidak menimbulkan kerancuan dengan demo dan unjuk rasa; Perlu dilakukan tinjauan ulang terhadap persyaratan dan mekanisme pelaksanaan hak mogok kerja sehingga tidak mempersulit SP/SB bila hendak menyampaikan aspirasinya setelah perundingan dengan pengusaha menghadapi jalan buntu. VII. Pemutusan Hubungan Kerja A. Mekanisme Perlunya pembedaan mekanisme dan kompensasi PHK menurut alasan terjadinya PHK, karena perbuatan kejahatan (pidana) dan/atau pelanggaran peraturan perusahaan serta pelanggaran Perjanjian Kerja Bersama (perdata) yang dilakukan oleh pekerja; Diperlukan adanya peninjauan kembali Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial agar prosedur dan mekanisme PHK lebih efisien; Pengenaan pasal skorsing beserta konsekuensinya harus diatur dalam perjanjian kerja bersama atau peraturan perusahaan yang lebih adil bagi semua pihak; Penyelesaian persoalan PHK diupayakan seoptimal mungkin melalui lembaga Bipartit dan/atau perundingan di tingkat perusahaan; Perlunya pasal sanksi bagi yang tidak melaksanakan ketentuan yang diatur dalam peraturan pemerintah. B. Kompensasi Perlunya kejelasan kata per kata dalam pasal-pasal PHK, sehingga tidak menimbulkan multi-tafsir. Perbedaan jumlah kompensasi ini diakibatkan oleh adanya kata paling sedikit di pasal 156 ayat (2) yang bisa ditafsirkan secara berbeda antara pekerja dan pengusaha. Kata paling sedikit bisa menimbulkan konflik multi-tafsir antara pekerja dan pengusaha. Sesuai dengan ayat (2), pekerja bisa menuntut lebih dari ketentuan yang sudah ada dalam ayat ini, meski besaran pesangonnya sudah dirinci dengan jelas dalam ayat (2) tersebut. Untuk itu, kata dan/atau dan paling sedikit harus dihindari dalam upaya penyempurnaan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Diperlukan penjelasan tentang filosofi dan definisi uang pesangon sehingga dimungkinkan adanya reformulasi uang pesangon sesuai dengan kesepakatan. Hal ini untuk menghindari adanya perdebatan yang terus berlangsung tentang besaran uang pesangon sebagai dampak adanya perbedaan persepsi tentang uang pesangon dari pihak pekerja/buruh dan pengusaha; Untuk menghindarkan perlakuan diskriminatif dalam hal pemberian kompensasi PHK untuk pekerja yang melakukan pelanggaran dengan pekerja yang baik atau pekerja yang mengundurkan diri, maka perlu adanya pembedaan kompensasi sesuai dengan alasan PHK. Untuk memenuhi rasa keadilan terhadap pekerja yang di- PHK akibat melakukan pelanggaran seharusnya mendapatjan kompensasi yang lebih kecil daripada pekerja/buruh yang mengundurkan diri dan pekerja/ buruh yang memasuki usia pensiun; Perlunya harmonisasi antara Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, sehingga perusahaan yang telah mengikutsertakan pekerjanya pada program Jamsostek perlu mendapatkan pengaturan khusus. Hal ini disebabkan adanya indikiasi bahwa Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah sejalan dengan Undangundang Dana Pensiun, tetapi belum harmonis dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja; Untuk menjaga keseimbangan kelangsungan usaha dan pemenuhan hak pekerja, baik pada kasus pailit, maupun pembayaran kompensasi PHK Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 10 Laporan Tahunan

6 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi yang memberatkan perusahaan, maka perlu alternatif penyelesaian antara lain : (1) perlunya mempercepat pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional (BPJSN) yang memiliki program menyeluruh dan berlaku untuk semua warga (termasuk pekerja). BPJSN memiliki program jaminan kerja (yang mengarah pada unemployment insurance) atau program jaminan kompensasi PHK; dan (2) mengoptimalkan fungsi PT Jamsostek untuk program penjaminan kompensasi PHK, dengan dasar aturan khusus dalam Peraturan Pemerintah. Keberhasilan program ini, akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan usaha dan perbaikan iklim investasi Monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) Penerapan dan/atau pelaksanaan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, sebagaimana diketahui, memiliki berbagai macam hambatan atau kendala, dengan hambatan atau kendala utama terdiri dari : 1) Pengetahuan dan pemahaman stakeholders PPHI terkait ketentuan Hukum Acara Perdata yang digunakan dalam PPHI melalui Pengadilan Hubungan Industrial (PHI); 2) Tidak terpenuhinya quota Hakim Ad-Hoc PHI; 3) Minimnya sarana dan prasarana PHI; dan 4) Rendahnya kesejahteraan Hakim Ad-Hoc PHI. Pada tahun 2011, Monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI dilakukan oleh APINDO melalui Forum Komunikasi dan Konsultasi 3 (Tiga) Unsur APINDO, Ketua, Tim Advokasi dan Hakim Ad-Hoc PHI Unsur APINDO - Pembekalan Hakim Ad-Hoc PHI Unsur APINDO. Acara ini berfokus pada berbagai persoalan teknis dalam PPHI yakni terkait dengan pembentukan keputusan/penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Meningkatnya jumlah perkara Perselisihan Hubungan Industrial yang dikasasikan mencerminkan adanya ketidakpercayaan (bukan ketidakpuasan) dari pihak yang berperkara terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Seiring dengan hal tersebut, Hakim Ad-Hoc Unsur Pengusaha di tingkat Kasasi berpendapat bahwa telah terjadi disparitas kualitas putusan/penetapan ditingkat pertama, Pengadilan Hubungan Industrial, antara lain : 1) Masih adanya putusan yang melebihi ketentuan Peraturan Perundang-undangan; 2) Masih adanya putusan yang terkesan berpihak; 3) Masih adanya ketidaktepatan penerapan hukum; 1) Kesalahan berat (ex-ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pasal 158) Adanya putusan MK yang menyatakan bahwa Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidak bisa dipungkiri telah menimbulkan polemik keadilan bagi para pemberi kerja/pengusaha. Dalam praktek penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui litigasi, hal ini juga telah menimbulkan kerancuan dalam penetapan, yaitu munculnya berbagai putusan (yang tergolong jurisprudensi) terkait PHK karena kesalahan berat, dimana putusan hakim didasarkan kepada kebiasaan di perusahaan / bukan berdasarkan ketentuan undang-undang. Salah satu polemik (berupa ketidaksepahaman) yang muncul dari hal di atas adalah banyak hakim PHI di tingkat pertama (PN) yang menggunakan ketentuan Pasal 1603 huruf o Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) dalam mengklasifikasikan perbuatan/fakta-fakta sebagai kesalahan berat. Menyikapi hal ini Hakim Ad- Hoc secara tegas menyatakan bahwa Pada dasarnya Pasal 1603 huruf o BW memang memberikan batasan-batasan yang dapat digunakan oleh para hakim dalam memberikan keputusan, akan tetapi apabila kesalahan berat dimaksud tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian 4) Masih adanya ketidaktepatan penetapan/ penghitungan upah proses; 5) Lainnya. Secara rinci, hal-hal yang dibahas antara lain : Kerja Bersama, maka pekerja/buruh bersangkutan harus dibebaskan dari gugatan/yang dituntutkan. Menyikapi hal tersebut, Ibu Endang Susilowati (Anggota Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi DPN APINDO) berpendapat bahwa Sekalipun kesalahan berat tidak diatur Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama, hakim harus/ wajib memutus perkara itu berdasarkan kepatutan dan keadilan. Di dalam diskusi, salah satu peserta mengemukakan pertanyaan menarik Apakah dalam menggiring Majelis Hakim dalam membuat keputusan dalam kasus PHK karena kesalahan berat, Penggugat dapat menggunakan pendekatan Argumentum per Analogio, dimana dalam hal ini penggugat dapat menganalogikan ketentuan kesalahan berat ex-pasal 158 dengan ketentuan Pasal 169 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dalam gugatannya?. Menyikapi hal ini, Bapak Bernard (Hakim Ad-Hoc PHI tingkat Kasasi) memiliki pendapat yang sama, akan tetapi dalam kenyataannya banyak pihak yang menentang/tidak setuju dengan hal tersebut. Pada kesempatan yang sama, Bapak Jono Sihono (Hakim Ad-Hoc PHI tingkat Kasasi) berpendapat lain, bahwa kita harus menggunakan pendekatan batasan dasar bahwa Yang bisa melakukan analogi hanyalah hakim, bukan penggugat melalui gugatannya, Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 12 Laporan Tahunan

7 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi oleh karena itu pendekatan Argumentum per Analogio dapat dikatakan bertentangan dengan batasan-batasan hukum yang ada. 2) Sumpah saksi Seringkali terjadi di dalam peradilan perkara-perkara hubungan industrial dimana saksi menolak untuk disumpah maupun suatu pihak yang berperkara menolak saksi dari pihak lawan untuk disumpah. Berdasarkan asas hukum yang berlaku, maka apabila terjadi hal seperti tersebut di atas maka segala keterangan yang keluar dari saksi bersangkutan hanya dapat dijadikan sebagai Keterangan, bukan sebagai Alat bukti saksi. Salah satu contoh kasus tersebut adalah pekerja/buruh yang sering tidak masuk kerja, dimana pekerja/ buruh diindikasikan memiliki pekerjaan sampingan. Seringkali dalam hal ini perusahaan meminta supir dari pekerja/ buruh bersangkutan untuk menjadi saksi (supir) dalam persidangan. Akan tetapi saat saksi diminta untuk bersumpah di muka persidangan, saksi (supir) bersangkutan menolak. Sangat disayangkan, karena seharusnya keterangan saksi ini bisa menjadi keterangan kunci terkait kasus tersebut. Menyikapi hal ini, DPN APINDO menyatakan bahwa hal ini pernah dibicarakan/ dikomunikasikan oleh DPN APINDO kepada MA, yang seyogyanya MA membuat petunjuk berupa Surat Edaran (SE) yang isinya menyatakan bahwa Dalam perkara hubungan industrial saksi yang masih mempunyai hubungan kerja diperkenankan untuk memberikan keterangan sebagai saksi dibawah sumpah. 3) Upah proses Panjangnya prosedur penetapan PHK yang ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI dalam penerapannya sering diiringi dengan gugatan/tuntutan pekerja/buruh terkait upah proses. Dalam hal ini sering terjadi perbedaan pendapat antara para hakim tentang besarnya upah proses ini. Contoh yang dapat dikemukakan adalah Putusan di tingkat pertama menetapkan bahwa upah proses terhadap pekerja/buruh dalam suatu kasus perselisihan PHK adalah sebesar 8 bulan upah, setelah kasus bersangkutan naik ke tingkat kasasi, putusan kasasi merubah putusan tersebut (bukan menjadi lebih besar melainkan menjadi lebih kecil) menjadi hanya 6 bulan. Implikasi dari perbedaan pendapat ini adalah sering kali pekerja/buruh bersangkutan mendatangi para hakim di tingkat pertama (baik) untuk meminta penjelasan hingga untuk meminta pembelaan, dan sering kali hal ini tidak dapat dijawab maupun dilakukan oleh para hakim di tingkat pertama. Menyikapi hal ini, para Hakim Ad-Hoc tingkat Kasasi menjawab bahwa terdapat kesepahaman diantara Hakim PHI tingkat Kasasi (Karir maupun Hakim Ad-Hoc Unsur APINDO maupun Hakim Ad-Hoc Unsur SP/SB) bahwa Jumlah maksimal upah proses yang dapat diberikan dalam proses penetapan PHK adalah 6 bulan upah. 4) Uang Pisah Dalam beberapa ketentuan mengenai kompensasi PHK yang diatur di dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa Bagi pekerja/ buruh yang mengundurkan diri atau bagi pekerja/buruh yang melakukan kesalahan berat) mendapatkan kompensasi PHK berupa Uang Pisah yang besaran dan pelaksanaannya diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama. Dalam prakteknya, ketentuan ini sering menimbulkan polemik, dimana sering menyebabkan perbedaan/silang pendapat diantara para hakim dalam satu majelis. Bahkan terkadang, saat uang pisah diberikan dalam putusan di tingkat pertama, putusan ini (sepanjang mengenai uang pisah) dianulir oleh putusan kasasi. Menyikapi hal ini, Ibu Endang Susilowati (Anggota Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi DPN APINDO) berpendapat bahwa terkait hal ini terdapat 2 (dua) poin penting terkait penerapan uang pisah sebagai kompensasi PHK, yaitu : a) Hanya diperuntukkan bagi pekerja/ buruh non-managerial yang ter-phk; b) Ketentuan uang pisah dimaksud diatur di dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku. 5) Jangka waktu penyampaian memori kasasi Tidak diaturnya batas waktu penyampaian memori kasasi di dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI dalam prakteknya sering menimbulkan rasa ketidakpuasan masyarakat, dimana banyak putusan yang ingin dilanjutkan proses hukumnya ke tingkat kasasi ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) dengan alasan Penyampaian memori kasasi telah melewati batas waktu yang diberikan (terlambat). Dari diskusi yang terjadi diketahui bahwa terdapat perbedaan penafsiran terhadap batas waktu ini, yaitu perbedaan dalam menganalogikan batas waktu penyampaian memori kasasi ini. Penafsiran yang berkembang di sisi Hakim Ad-Hoc tingkat pertama (PN) adalah Batas waktu penyampaian memori kasasi adalah mengikuti batas waktu pernyataan permohonan kasasi yaitu 14 hari bursa (secara awam disebut juga hari kerja) yang diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI. Menyikapi hal ini Hakim Ad-Hoc Kasasi menyatakan bahwa Batas waktu penyampaian memori kasasi adalah terlepas dari batas waktu pernyataan permohonan kasasi, yang mana hal ini (penyampaian memori kasasi) tidak diatur dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI, atau dengan kata lain tidak diberikan pengkhususan penyampaian memori kasasi dalam PHI, maka penyampaian memori kasasi dilakukan dengan menggunakan ketentuan yang diatur dalam HIR yaitu 14 hari kalender. 6) Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Prosedur mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang saat ini berlaku, dalam prakteknya sering menimbulkan beragam permasalahan, baik dari sisi TKA, pengusaha hingga saat diterapkan di dalam pertimbangan hukum dalam proses PPHI. Salah satu contoh permasalahan yang dikemukakan oleh salah satu peserta (Ketua DPP APINDO/perwakilannya) menyebutkan bahwa Terdapat ketidaksinkronan antara jangka waktu/ periode mempekerjakan TKA yang dimohonkan dalam Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dengan jangka waktu/periode yang diberikan dalam Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), misalnya di RPTKA disetujui jangka waktu/periode 5 tahun tapi jangka waktu/periode yang diberikan dalam IMTA hanya 1 tahun. Dalam prakteknya hal ini sering menjadi permasalahan misalnya : a) Saat penandatanganan Perjanjian Kerja dengan TKA, TKA yang bersangkutan menolak menandatangani Perjanjian Kerja dimaksud dengan alasan jangka waktu/periode kontrak yang diperjanjikan tidak sesuai dengan kesepahaman awal (kesepakatan lisan, dan sebagainya) yang tercantum dalam Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 14 Laporan Tahunan

8 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi RPTKA; b) Saat terjadi PHK karena habisnya jangka waktu/periode IMTA (tidak bisa diperpanjang) yang mana dilakukan sebelum habisnya jangka waktu/periode yang disetujui dalam RPTA, TKA yang bersangkutan menuntut sisa pembayaran upah dengan pagu sesuai sisa jangka waktu/periode yang tercantum dalam RPTKA; dan c) Lainnya. Menyikapi hal ini, DPN APINDO menyampaikan bahwa permasalahan TKA saat ini merupakan salah satu perhatian yang sudah dimasukkan dalam segala upaya revisi/harmonisasi/ sinkronisasi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sedangkan pada kesempatan yang sama, Hakim Ad- Hoc Kasasi berpendapat (solusi) Akan lebih baik jika pembuatan dan/atau penandatangan Perjanjian Kerja bagi TKA dilakukan setelah IMTA didapatkan oleh Pemberi Kerja/Pengusaha yang bersangkutan Monitoring dan evaluasi pelaksanaan UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Upaya mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia melalui penerapan SJSN sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 40 Tahun 2004, pada tahun 2011 telah mendorong pemberlakuan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tertanggal 25 November Sebelumnya pada tanggal Juli 2011, diselenggarakan Rapat Kerja Nasional SJSN yang diselenggarakan di Jakarta oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), yang rekomendasinya sebagai berikut : REKOMENDASI RAKERNAS SJSN 2011 Jakarta, 20 Juli 2011 Rakernas SJSN berlangsung di Jakarta pada tanggal Juli 2011 dengan tem Transformasi Jaminan Sosial. Rakernas diikuti oleh sekitar 180 peserta, yang terdiri atas utusan : Pemerintah Daerah dari 33 provinsi, Kemenkokesra, Kemenkes, Kemenakertrans, Kemensos, Kemhan, Kemendagri, Kemen PAN dan RB, Kementerian PPN / Bappenas, Kemenhuk dan HAM, Mabes TNI, Mabes POLRI, BPS Setelah mencermati paparan sebagai berikut : 1. Pokok pokok Pengaturan Rancangan Undang Undang BPJS. Key Note Speaker Oleh : Ketua Pansus RUU BPJS 2. Kesiapan Pemerintah Untuk Transformasi Program, Kelembagaan dan Kepesertaan Jaminan Sosial. Oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan 3. Panel Diskusi Kesiapan BPJS Untuk Transformasi Program, Kelembagaan dan Kepesertaan Jaminan Sosial. Oleh : PT. Jamsostek (Persero), PT. Askes (Persero), PT. Taspen (Persero), PT. Asabri (Persero). 4. Panel Diskusi Kesiapan Peserta Untuk Transformasi Program, Kelembagaan dan Kepesertaan Jaminan Sosial. Oleh : Ketua Umum APINDO Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial 5. Panel Diskusi : Transformasi Program, Kelembagaan dan Kepesertaan Jaminan Sosial Dalam Perspektif Pakar. Oleh : Sri Murwardjo Srimardji, MSc., FSAI (aspek kelembagaan), Prof. Dr. Anggito Abimanyu (aspek keuangan dan asset) 6. Roadmap Universal Coverage Program Jaminan Kesehatan Oleh : DR. dr. Fachmi Idris, MKes. Dan membahas dalam diskusi kelompok tentang : 1. Mekanisme transformasi program jaminan sosial 2. Mekanisme transformasi kelembagaan jaminan sosial 3. Langkah-langkah implementasi Roadmap Universal Coverage jaminan Kesehatan Maka peserta Rakernas SJSN 2011 menyampaikan rekomendasi kepada DJSN sebagai berikut : 1. Mendesak Pemerintah dan DPR untuk segera menuntaskan pembahasan RUU BPJS pada masa sidang 2011 berikutnya, untuk memenuhi amanat Undangundang No. 40/2004 tentang SJSN. 2. Mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk merumuskan proses transformasi kelembagaan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 40/2004 terntang SJSN. 3. Mendorong pemerintah dan DPR untuk menetapkan arah transformasi program menuju pemenuhan hak konstitusi warganegara secara lengkap atas jaminan sosial; yakni 5 (lima) program untuk pekerja dan 2 (dua) program (Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kematian) untuk penerima bantuan. 4. Mengusulkan penataan ulang penyelenggaraan program sebagai berikut : a. BPJS Askes menyelenggarakan jaminan kesehatan untuk semua penduduk kecuali anggota TNI/POLRI beserta keluarganya. b. BPJS Jamsostek menyelenggarkan JKK, JHT, JKm dan JP. Untuk semua pekerja swasta (penerima upah dan bukan penerima upah) c. BPJS Taspen menyelenggarakan JKK, JHT, JKm dan JP untuk PNS. d. BPJS Asabri menyelenggarakan JHT, JKm, JP, JKK untuk anggota TNI/POLRI beserta janda/duda dan anaknya. Mabes TNI tetap menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan anggota TNI/POLRI beserta keluarganya. 5. Mengingatkan kembali pemerintah dan DPR untuk memuat ketentuan pembentukan BPJS daerah dalam UU BPJS. Transformasi kelembagaan dan program memerlukan pengkajian yang lebih mendalam dengan memperhatikan masukan dari ke empat BPJS yang ada. 3. Konsultasi dan Advokasi Dalam menjalankan peran dan fungsi APINDO dalam perlindungan dan pembelaan terkait permasalahan ketenagakerjaan, Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO pada tahun 2011 telah melakukan hal-hal sebagai berikut : 3.1. Konsultasi Konsultasi yang diterima oleh Bidang HI dan Advokasi DPN APINDO antara lain mengenai PHK karena Kesalahan Berat, PHK dengan proses skorsing, PHK karena perusahaan melakukan efisiensi, PHK karena pekerja/ buruh diklasifikasikan mengundurkan diri, Kompensasi Perusahaan kepada pekerja/ buruh yang mengundurkan diri, Outsourcing, Core dan Non-core, Berakhirnya PKWT karena salah satu pihak mengakhiri perjanjian, Jam Kerja (rooster), Prosedur Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan (PP) / Perjanjian Kerja Bersama (PKB), Pembaruan PP, Cuti Bersama, Pelanggaran original software Microsoft, THR, Upah Minimum, Upah Minimum Sektoral, Pemogokan, Mangkir, Surat Peringatan, Pembentukan SP/SB di Perusahaan, dan Akuisisi Advokasi Dalam tahun 2011, Bidang HI dan Advokasi Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 16 Laporan Tahunan

9 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi DPN APINDO melakukan beberapa proses penyelesaian perselisihan terkait permasalahan ketenagakerjaan, baik di dalam Pengadilan (litigasi) maupun diluar Pengadilan (nonlitigasi), yang meliputi antara lain Perselisihan terkait perbedaan penafsiran tentang penggunaan jadwal kerja dan waktu istirahat, PHK, Uji Materiil terkait Penetapan Upah Minimum di Kabupaten/Kota. 4. Lembaga Kerjasama Tripartit Sebagai salah satu pemangku kepentingan hubungan industrial di Indonesia, APINDO secara aktif mewakili pengusaha di dalam lembaga kerjasama tripartit tingkat nasional maupun lembaga kerjasama tripartit tingkat internasional. Informasi terkait peran Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO di dalam lembaga kerjasama tripartit adalah sebagai berikut: LKS Tripnas LKS Tripnas merupakan forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur Pemerintah, Serikat Pekerja / Serikat Buruh (SP/SB), dan Organisasi Pengusaha. Berdasarkan Pasal 107 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lembaga ini bertugas memberikan pertimbangan, saran dan pendapat kepada Pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan. Mengingat posisi LKS Tripnas yang strategis dalam penyampaian aspirasi Dunia Usaha Indonesia dalam penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan di Indonesia, Bidang Hubungan Industrial dan Advokasi APINDO secara konsisten menghadiri setiap rapat LKS Tripnas dan berpartisipasi dalam memberikan pertimbangan, saran dan pendapat yang didasarkan pada kondisi dan kebutuhan Dunia Usaha Indonesia. Rapat LKS Tripnas terdiri dari Rapat Badan Pekerja LKS Tripnas (Rapat BP-LKS Tripnas) dan Sidang Pleno LKS Tripnas. Pada tahun 2011, telah diselenggarakan Rapat LKS Tripnas dengan perincian sebagai berikut : No Agenda Inventarisasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-220/MEN/X/2004 dan Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-101/MEN/VI/2004, terkait penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing) Rencana Agenda Kerja LKS Tripartit Nasional tahun 2012 Keterangan Menghasilkan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 04-PPKBP-TRIPNAS/VIII/2011 tentang Inventarisasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Menghasilkan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 05-PPKBP-TRIPNAS/XI/2011 tentang Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagaian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain dan Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Menghasilkan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 06-PPKBP-TRIPNAS/XII/2011 tentang Rencana Agenda Kerja LKS Tripartit Nasional tahun Bidang Hubungan Industrial & Advokasi Sidang Pleno LKS Tripnas Rapat BP-LKS Tripnas No. Agenda Keterangan No Agenda Pakta Lapangan Kerja Indonesia (Indonesia Jobs Pact) Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama Keterangan Menghasilkan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 01-PPKBP-TRIPNAS/III/2011 tentang Pakta Lapangan Kerja Indonesia (Indonesia Jobs Pact) dan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 02-PPKBP-TRIPNAS/IV/2011 tentang Tindak lanjut pembahasan tentang Pakta Lapangan Kerja Indonesia (Indonesia Jobs Pact). Menghasilkan Pokok-pokok Pikiran BP-LKS Tripnas Nomor : 03-PPKBP-TRIPNAS/IV/2011 tentang Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-48/ MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Diterbitkannya Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : PER.16/MEN/XI/2011 pada tanggal 17 Nopember Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama Inventarisasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan Rencana Agenda Kerja LKS Tripartit Nasional tahun 2012 Menghasilan Kesepakatan Bersama LKS Tripartit Nasional Nomor : 01-KBPL-TRIPNAS/V/2011 tentang Penyempurnaan Kepmenakertrans Nomor : KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama. Menghasilan Kesepakatan Bersama LKS Tripartit Nasional Nomor : 02-KBPL-TRIPNAS/VIII/2011 tentang Iventarisasi Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang sudah sesuai dengan perkembangan. Menghasilkan Kesepakatan Bersama LKS Tripartit Nasional Nomor : 03-KBPL-TRIPNAS/ XII/2011 tentang Agenda LKS Tripartit Nasional Tahun Laporan Tahunan

10 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi bidang pengupahan DAN Jaminan sosial Pendahuluan Secara programatik, pada tahun 2011 Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DPN APINDO telah melakukan berbagai kegiatan/usaha yang bertumpu pada berbagai penyelesaian yang belum rampung di tahun Dengan kata lain, tahun 2011 merupakan estafet perjuangan pengembangan konsepkonsep pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja dari tahun sebelumnya. Harus diakui, soal pengupahan didedikasikan sebagai wujud untuk mensejahterakan pekerja/ buruh dengan memperhatikan perkembangan dan kemajuan dunia usaha. Namun, penetapan upah yang tiap tahun, acapkali memicu aksi unjuk rasa pekerja/buruh yang tak jarang berbuntut pada tindakan anarkis. Kondisi tersebut jika dibiarkan tanpa adanya solusi dan konsep yang jelas terhadap model pengupahan, akan membawa dampak buruk bagi perekonomian nasional. Untuk itu, Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial DPN APINDO secara terusmenerus merumuskan, mengembangkan, dan merekomendasikan strategi dan konsep-konsep pengupahan yang dapat mengakomodir dan menjadi acuan bersama dengan mendorong perubahan dan perbaikan regulasi, peraturan, dan kebijakan mengenai pengupahan. Selanjutnya, mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan SJSN perlu dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). BPJS merupakan sebuah badan hukum baru untuk menyelenggarakan program jaminan sosial dengan mengedepankan sembilan prinsip SJSN. Dalam perjalanannya pembentukan dan realisasi BPJS mengalami kendala dan kerumitan tersendiri. Salah satu masalah utamanya yakni menjadikan BPJS sebagai wadah tunggal bagi pelaksanaan jaminan sosial yang harus melebur dan melakukan pengalihan 4 BUMN yang menjalankan fungsi jaminan sosial menjadi BPJS. Disamping itu, masih adanya tarik menarik antara eksekutif dan legislatif terkait seleksi dewan dan direksi BPJS juga menambah persoalan. Kami mengakui bahwa masih banyak pekerjaan rumah terkait pengupahan dan jaminan sosial yang sepenuhnya belum terselesaikan di tahun Namun melalui laporan tahunan ini, diharapkan masyarakat sipil dan publik pada umumnya dapat menilai secara jernih dan obyektif untuk menilai kinerja Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DPN APINDO selama periode Disisi lain, laporan tahunan ini diharapkan dapat menjadi referensi dan baseline untuk meningkatkan kinerja organisasi DPN APINDO pada tahun yang akan datang. Laporan Kegiatan Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja DPN APINDO selain mencatat kegiatan/program juga mencatat dan memotret berbagai peristiwa dan dinamika dalam upaya mendorong pemajuan konsepkonsep pengupahan dan jaminan sosial tenaga kerja. Namun, karena berbagai keterbatasan yang ada, hanya kegiatan atau peristiwa utama saja yang dipaparkan 1. Permasalahan Pengupahan Perselisihan dalam penetapan upah minimum 2012 Peristiwa mutakhir yang muncul dipenghujung tahun 2011 adalah gejolak dan aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh pekerja/ buruh mengenai penetapan Upah Minimum untuk tahun Di Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang misalnya, dimana serikat pekerja / serikat buruh menuntut kenaikan upah minimum dan menolak penetapan upah minimum tahun 2012 yang telah ditetapkan melaui mekanisme tripartit. Pada saat yang bersamaan, dinamika politik daerah ikut serta memainkan peran yang negatif dan menciptakan ruang bagi munculnya banalitas politik (banality of politics) dalam penetapan upah minimum. Elite politik daerah berkepentingan untuk mendapatkan dan memikat dukungan publik untuk maju dalam Pilkada misalnya, mengunakan isu penetapan upah minimum sebagai komoditas politik dan strategi pencitraan serta popularitas atas kepemimpinannya sebagai salah satu preferensi publik untuk menentukan pilihan politik dan atau memperkuat legitimasi kekuasaan. Untuk kedua kasus tersebut, DPN APINDO melakukan gugatan ke PTUN demi melindungi kepentingan dunia usaha Indonesia terutama sektor padat karya yang dinilai sangat terbebani dengan kenaikan upah minimum yang dituntut oleh para pekerja/buruh tersebut. Melihat perkembangan yang memprihatinkan atas aksi unjuk rasa serikat pekerja/serikat buruh dan juga mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional, melalui rapat koordinasi yang difasilitasi oleh pemerintah yang dihadiri oleh pemerintah daerah, serikat pekerja/ serikat buruh, dan unsur pengusaha maka diambil langkah-langkah kesepakatan untuk memecahkan kebuntuan yang terjadi. Langkah-langkah tersebut diantaranya yakni; Menetapkan upah minimum tahun 2012 untuk Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Tangerang; Meminta DPN APINDO mencabut gugatan PTUN; Memberi kelonggaran bagi pengusaha/perusahaan yang belum mampu memenuhi upah minimum dengan mengajukan penangguhan kepada Kepala Daerah; serta melakukan fact finding dan benchmark sebagai bahan dan data untuk keperluan perbaikan regulasi, kebijakan, dan peraturan yang terkait pemberlakuan dan penetapan upah minimum. 2. Kegiatan Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) 2.1. Studi Banding ke Luar Negeri Kegiatan studi banding ditujukan untuk perbaikan, kajian dan penyusunan kebijakan pengupahan melalui pertukaran informasi dan data dengan negara lain yang dianggap telah mapan dan konsisten dalam penerapan mekanisme pengupahan. Pemerintah sebagai regulator dan sekaligus fasilitator pelaksanaan hubungan industrial dengan melibatkan stakeholder yang berada dalam Dewan Pengupahan Nasional (DEPENAS), telah melakukan kegiatan studi banding dengan negara lain. Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 20 Laporan Tahunan

11 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi Studi Banding DEPENAS ke Jepang Pada tanggal November 2011, Dewan Pengupahan Nasional (DEPENAS) melaksanakan pertukaran informasi dan studi banding dengan negara Jepang. Pilihan ini dikarenakan Jepang adalah negara yang menetapkan upah minimum melalui perundingan/negoisasi upah dilakukan oleh organisasi pengusaha (Keidanren) dan serikat pekerja/buruh (Rengo) pada tiap-tiap bulan Februari setiap tahunnya (Shunto). Sebagaimana diketahui bahwa di dalam perundingan upah minimum masingmasing pihak dapat menyampaikan berbagai alasan untuk mendapatkan besaran nilai upah minimum yang berfungsi sebagai jaring pengaman, sedangkan di dalam penerapannya perusahaan mengutamakan pembayaran upah berdasarkan perundingan. Sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai penyedia data dan informasi dalam penetapan upah minimum dengan memberikan 20 indeks indikator perekonomian. Beberapa indeks indikator diantaranya mencakup; Pendapatan perfektur per kapita; pendapatan ratarata pekerja; indeks haraga konsumen dan kebutuhan hidup rata-rata standar rumah tangga diwilayah perfektur. Pada tanggal 6 10 Desember 2011, kegiatan studi banding kali ini, Dewan Pengupahan Nasional memilih Australia yang dinilai memiliki karekteristik yang cukup baik untuk dapat dijadikan rujukan dalam soal pengupahan. Australia memiliki badan independen yang berwenang dan bertanggung jawab dalam melakukan tinjauan atas upah minimum setiap tahunnya yakni Fair Work Australia (FWA). Dalam penetapan upah minimum sebelum ditentukan, terlebih dahulu dilakukan riset sebagai bagian peninjauan upah tahunan. Semua pihak yang berkepentingan dapat mengajukan proposal. Tinjauan proposal berupa statistik dan proyeksi masa depan upah tahunan nantinya akan dipulikasikan melalui website FWA. Melalui penugasan dari FWA, University of Sydney melakukan riset upah minimum. Riset yang dilakukan menekankan pada kemampuan bayar dunia usaha dengan mempertimbangkan kesejahteraan pekerja dan kemampuan usaha kecil, yang mendasarkan pada ukuran, analisa dan potensi yang dapat mempengaruhi terjadi dispute atas penentuan upah minimum. Dari studi banding ini, DEPENAS merekomendasikan beberapa hal diantaranya : [1] upah minimum harus mengemban prinsip sebagai jaring pengaman (safety net), [2] upah minimum hanya diterapkan pada pekerja yang masa kerjanya 0 (nol) tahun, sedangkan upah diatas upah minimum ditetapkan melalui hasil perundingan bipartit, [3] upah riil disetiap perusahaan didasarkan atas kinerja/produktivitas yang memuat unsur keadilan melalui perundingan kolektif ditingkat perusahaan dengan memperhatikan kondisi ekonomi, kemampuan perusahaan dan laju inflasi, dan [4] perlu dipertimbangkan adanya lembaga riset yang independen untuk mendapatkan data survai pasar yang menjadikan patokan Studi Banding DEPENAS ke Australia dalam penentuan KHL yang menjadi dasar penetapan UMP/UMK/UMSP/UMSK di masing-masing daerah/propinsi Survai Kebutuhan Hidup Layak Untuk mendorong keperluan perbaikan dan revisi terhadap PP no. 8 tahun 1981 tentang Perlindungan Upah dan PermenNaker no. 17 tahun 2005 tentang Tahapan Pencapaian Hidup Layak, perlu dilakukan fact finding dan benchmark tentang pemberlakuan upah minimum yang selama ini terkait dengan kepatuhan pemberi kerja dalam melaksanakan upah minimum serta bagi kepentingan pekerja/ buruh dan pengusaha. Guna mencapai temuan yang komprehensif dan kredibel, maka dipandang perlu untuk dilakukan survai. Survai ini ditujukan untuk mendapatkan atau memperoleh informasi/data tentang sejumlah persoalan yang terkait dengan Kebutuhan Hidup Layak, menggali dan mengidentifikasi pandangan/persepsi para pekerja/buruh menyangkut Kebutuhan Hidup Layak, serta bahan rekomendasi dan input bagi pemerintah, pengusaha dan pekerja/buruh dalam upaya perbaikan serta revisi regulasi dan kebijakan tentang Kebutuhan Hidup Layak. Kegiatan ini merupakan rentetan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh semua pihak baik dari unsur pemerintah, serikat pekerja/ serikat buruh, dan pengusaha untuk sama-sama mencari solusi dalam penetapan dan model pengupahan di tahun yang akan datang. 3. Kegiatan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) 3.1. Rakernas 2011 Rapat Kerja Nasional Sistem Jaminan Sosial (Rakernas SJSN) yang diselenggarakan di Jakarta, merupakan sebuah acara tahunan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Rakernas menfokuskan pada pembahasan tentang proses transformasi BPJS sebagai usaha pencapaian Sistem Jaminan Sosial Nasional Indonesia yang Universal Coverage. Pada tahun ini, Rakernas SJSN Tahun 2011 mengangkat tema Transformasi Jaminan Sosial, Transformasi Program dan Kelembagaan Jaminan Sosial Nasional. Rakernas SJSN 2011 menghasilkan beberapa butir rekomendasi, diantaranya adalah : [1] Mendesak Pemerintah dan DPR untuk menuntaskan pembahasan RUU BPJS guna memenuhi amanat Undang-undang No. 40/2004 tentang SJSN, [2] Mengingatkan Pemerintah dan DPR untuk merumuskan proses transformasi kelembagaan berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 40/2004 tentang SJSN, [3] Mendorong pemerintah dan DPR untuk menetapkan arah transformasi program menuju pemenuhan hak konstitusi warga negara secara lengkap atas jaminan sosial: yakni 5 (lima) program untuk pekerja dan 2 (dua) program (Jaminan Kesehatan dan Jaminan Kematian) untuk penerima bantuan, dan [4] Transformasi kelembagaan dan program memerlukan pengkajian yang lebih mendalam dengan memperhatikan masukan dari empat BPJS yang ada sekarang (existing). Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 22 Laporan Tahunan

12 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi 3.2. Perjalanan Luar Negeri (Working Visit) Perjalanan Luar Negeri (Working Visit) bertujuan untuk memperoleh gambaran secara langsung pelaksanaan jaminan sosial oleh negara lain yang meliputi aspek kebijakan, kelembagaan, kepesertaan, pembiayaan dan manfaat sekaligus curah pendapat dalam pengalaman penyelenggaraan jaminan sosial. Study banding/working study ini dapat berbentuk kunjungan delegasi DJSN ke lembaga terkait pada suatu negara atau berbentuk keikutsertaan dalam forum pertemuan ilmiah yang diselenggarakan oleh lembaga/ negara di asean, asia, eropa maupun forum internasional lainnya. Untuk tahun 2011 negara-negara tujuan dari working visit meliputi: Pada tanggal April 2011, Dewan Jaminan Sosial Nasional menghadiri kegiatan ASEM Forum on Social Safety Nets di Hanoi, dengan tema Enhanced Cooperation to Address Post-Crisis Challenges. ASEM Forum on Social Safety Nets diadakan dalam rangka meningkatkan kerjasama antara negara mitra ASEM dalam menghadapi tantangan pasca krisis, sehubungan dengan pengembangan sistem jaminan sosial. Pertemuan sekaligus menindaklanjuti Leiden Declaration yang diadopsi pada pertemuan ASEM tingkat Menteri Urusan Ketenagakerjaan tahun 2010 yang menekankan pentingnya penguatan perlindungan jaminan sosial bagi semua lapisan masyarakat. Pada tanggal 4 7 Oktober 2010, Dewan Jaminan Sosial melakukan perjalanan luar negeri (working visit) dalam rangka mempelajari best pratices program jaminan sosial di Thailand, yang dinilai telah berhasil menyelenggarakan Universal Health Coverage (program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduknya). Pada tanggal Oktober 2011, Bagi Dewan Jaminan Sosial Nasional keikutsertaannya dalam ASSA Meeting Board di Brunei Darussalam dinilai sangat penting sebagai forum yang tepat untuk mempelajari dan bertukar pengalaman dalam penyelenggaraan program jaminan sosial, khususnya terkait dengan investasi dan penguatan yang telah dilaksanakan oleh negara-negara dikawasan ASEAN. ASSA meeting diikuti oleh negaranegara di kawasan ASEAN dalam rangka untuk mengembangkan penyelenggaraan jaminan sosial dan menjadi forum anggota ASSA untuk tukar menukar pengalaman terkait isu-isu jaminan sosial. Pada tanggal 2 6 November 2011, dalam rangka mempelajari best pratices program jaminan sosial, Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Kementerian/ Lembaga terkait mengadakan kunjungan kerja ke Auckland, salah satu provinsi di Selandia Baru yang telah berhasil menyelenggarakan program jaminan sosial khususnya jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja. RENCANA KEGIatan Mendorong kajian-kajian bagi penyempurnaan peraturan, kebijakan, dan regulasi ketenagakerjaan dan pengupahan yang dapat mengakomodir semua pihak. 2. Peningkatan koordinasi, pemantauan, dokumentasi dan evaluasi atas kinerja lembaga-lembaga terkait pengupahan dan jaminan sosial guna pemenuhan tanggung jawab dalam wewenang dan fungsinya. 3. Menguatkan kelembagan Bidang Pengupahan dan Jaminan Sosial DPN APINDO dalam peningkatan kemampuan SDM bagi pengusaha dalam menghadapi kemungkinan permasalahan yang muncul dibidang pengupahan. 24 Laporan Tahunan 2011

13 Bidang Hubungan Industrial & Advokasi Bidang Hubungan Internasional Pendahuluan Dibawah bimbingan kepengurusan DPN APINDO, Departemen Hubungan Internasional terus memperkuat jejaring kerjasama internasional APINDO baik di tingkat bilateral, regional dan multilateral. Di tingkat bilateral, APINDO telah membangun komitmen kerjasama berkelanjutan/multi-years dengan mitra-mitra internasional di Norwegia, Belanda, Italia, Jepang, Swedia, dan lainnya. Sementara di tingkat regional, APINDO menjadi Sekretariat ASEAN Confederation of Employers (ACE) untuk Periode Peranan APINDO pun lebih diperhitungkan dalam memfasilitasi komunikasi dan kerjasama antara organisasi pengusaha di kawasan Asia Tenggara. Di tingkat multilateral, APINDO sebagai salah satu konstituen International Labour Organization (ILO) terus meningkatkan kerjasama dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan ILO. Selain itu APINDO juga tergabung dalam keanggotaan International Employers Organization (IOE) dan Confederation of Asia Pacific Employers (CAPE) dan ASEAN Confederation of Employers (ACE). Bidang Hubungan Internasional Laporan Kegiatan Kerjasama internasional DPN APINDO di tahun 2011 pada dasarnya adalah kelanjutan dan maksimalisasi dari kegiatan kerjasama di tahun-tahun sebelumnya. Selain itu juga terdapat dan penambahan kerjasama baru (ad hoc) dengan organisasi internasional lainnya, seperti HAPEG, the Asia Business Forum, dan lainnya. Kerjasama Multilateral : International Labour Organization (ILO) International Organization of Employers (IOE) Confederation of Asia Pacific Employers (CAPE) ASEAN Confederation of Employers (ACE) Kerjasama Bilateral, terdiri dari: a. Kerjasama yang bersifat Multi-years Confederation of Norwegian Enterprises (NHO) The Association for Overseas Technical Scholarship (AOTS) Dutch Employers Cooperation Program (DECP) International Training Center of ILO (ITC ILO) ILO Bureau for Employers Activities (ILO ACTEMP) Delegation of the European Commission to Indonesia and Brunei Darussalam (EU) Organisasi internasional di atas merupakan mitra utama kerjasama internasional APINDO di tahun b. Kerjasama yang bersifat Ad Hoc / lainnya Di luar negeri : Organisasi Pengusaha di ASEAN: CAMFEBA (Kamboja), ECOP (Philipina), ECOT (Thailand), MEF (Malaysia) SNEF (Singapura), dan VCCI (Vietnam). China Employers Confederation (CEC - China) Korea International Labour Foundation (KOILAF - Korea) HAPEG (Norwegia) Stockholm Chamber of Commerce (Swedia) The Asia Business Forum (ABF) Di dalam negeri : Delegation of the European Commission to Indonesia and Brunei Darussalam 26 Laporan Tahunan

14 Bidang Hubungan Internasional United States Agency for International Development (USAID) American Chamber of Commerce in Indonesia (Amcham Indonesia) Indonesian Netherland Association (INA) Jakarta Japan Club (JJC) International Business Chambers (IBC) Japan External Trade Organization (JETRO) Indonesian Norway Business Chambers (INBC) Japan International Cooperation Agency (JICA) Korea Trade Investment Promotion Agency (KOTRA) Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) The World Bank German-Indonesian Chamber of Commerce and Industry (EKONID) Dan lain-lain. Selain itu, APINDO juga memiliki hubungan erat dengan perwakilan negara-negara (kedutaan besar) di Jakarta: Amerika Serikat Australia Belanda China Findlandia India Inggris Italia Jepang Jerman Korea Norwegia Perancis Singapura Swiss Swedia Taipei Uni Eropa Fokus kerjasama internasional DPN APINDO tahun 2011 antara lain: 1. Perkuatan Organisasi APINDO 2. Pengadilan Hubungan Internasional 3. Usaha Kecil Menengah (UKM) 4. Corporate Social Responsibility (CSR) 5. Perdangangan dan Investasi A. Kerjasama dengan Mitra Utama (multiyears) 1. Confederation of Norwegian Enterprises (NHO) Confederation of Norwegian Enterprises (NHO) adalah organisasi pengusaha terbesar dan paling berpengaruh di Norwegia. Kemitraan APINDO dengan NHO sudah dimulai sejak tahun Tahun 2011 adalah tahun kedua dalam perpanjangan kesepakatan kerjasama lima tahun DPN APINDO dengan NHO (periode ). Perjanjian kemitraan periode kedua ini di tanda tangani oleh Sofjan Wanandi selaku DPN APINDO dan Elsbeth Tronstad selaku Direktur Eksekutif NHO di Jakarta. Kegiatan kerjasama Reguler APINDO - NHO di tahun 2011 terdiri dari: 1.1. Program Perkuatan Organisasi Business Gathering Lokakarya mengenai Kegiatan Business Gathering bertujuan untuk menarik atensi dan partisipasi para pengusaha setempat/ komunitas bisnis lokal dalam kepengurusan serta keanggotaan APINDO sehingga dapat memperkuat organisasi APINDO di daerah. Pelaksanaan kegiatan Business Gathering pada umumnya dilakukan berdekatan dengan pelaksanaan Musyawarah Propinsi (MUSPROP). Di tahun 2011 kegiatan Business Gathering kerjasama dengan NHO dilakukan di beberapa propinsi, antara lain : No Provinsi DI Yogyakarta Papua Barat Sulawesi Barat Sumatera Selatan Sumatera Barat Maluku Utara Perencanaan Strategis (Strategic Planning) Lokakarya mengenai Strategic Planning bertujuan untuk membantu DPP APINDO dalam menentukan rencana strategis dan program tahunan DPP APINDO. Lokakarya Strategic Planning kerjasama APINDO - NHO dilakukan di 2 (dua) DPP APINDO yaitu : (1) DPP APINDO Gorontalo pada tanggal 4-5 April 2011 yang dihadiri oleh 50; dan (2) di DPP APINDO Sumatera Selatan pada tanggal Desember 2011 yang dihadiri oleh 50 peserta dari DPP dan DPK APINDO setempat Pemantauan Perencanaan Strategis (Monitoring of Strategic Planning) Dalam rangka mengetahui perkembangan perencanaan strategis yang telah diformulasikan sebelumnya maka dilakukan pemantauan terhadap program tersebut. DPP APINDO Aceh telah melaksanakan kegiatan ini pada tanggal 22 Maret 2011 yang dihadiri oleh 50 peserta, telah pula dilaksanakan di DPP APINDO Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 4 Juli 2011, yang juga dihadiri oleh 50 peserta, dan dalam dua kegiatan tersebut perwakilan dari NHO yaitu Mr. Bjørn Delbæk, Program Direktur NHO. Monitoring of Strategic Planning di DPP APINDO Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, 4 5 Juli Pengembangan Kompetensi Staff Sekretariat DPN (training keahlian) Program pengembangan Kompetensi Staff Sekretariat DPN APINDO dilakukan untuk meningkatkan keahlian staf sekretariat di bidang tertentu, seperti kecakapan Bahasa Inggris, Advokasi, manajemen SDM, pengelolaan proyek, komunikasi publik, dan lain-lain. Pelatihan dilakukan oleh lembaga pelatihan yang profesional di Jakarta, seperti ILP (Bahasa Inggris), PPM (Manajemen HRD & Manajemen Proyek, PKPA Faizal Hafied & Partners (Advokat), dan lainnya Pengembangan Kompetensi dan Kerjasama Tim (Team Building) Dalam rangka membina dan meningkatkan kerjasama antar departemen di dalam Sekretariat DPN APINDO, Evaluasi Kegiatan Sekretariat per Departemen tahun 2011, Evaluasi Job-Desk per Departemen, serta merumuskan Program kerja Sekretariat DPN APINDO tahun 2012, maka diselenggarakan Program Pengembangan Kompetensi/Outbond Staff Sekretariat DPN APINDO dengan tema Small, Meaningful, Unlimited and Beyond yang diselenggarakan pada tanggal Desember 2011 di Pulau Umang, Banten. Team Building Sekretariat DPN APINDO, Desember 2011 di Pulau Umang, Banten 1.2. Program Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Di tahun 2011 Program Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) terdiri dari 2 bagian, yakni Bidang Hubungan Internasional 28 Laporan Tahunan

15 Bidang Hubungan Internasional Lokakarya mengenai Beracara di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan Forum Koordinasi Nasional antara DPN APINDO, DPP APINDO, Tim Advokasi APINDO dan Hakim Ad Hoc PHI Unsur Pengusaha/APINDO Lokakarya mengenai Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Lokakarya mengenai Pengadilan Hubungan Industrial bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta keahlian para praktisi APINDO, baik Tim Advokasi maupun anggota perusahaan APINDO di daerah dalam penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial yang efektif baik sebelum maupun di dalam Pengadilan Hubungan industrial. Lokakarya ini diikuti oleh anggota Tim Advokasi APINDO DPP & DPK dan perusahaan anggota APINDO setempat. Di tahun 2011 Lokakarya mengenai PHI dilakukan di 4 (empat) propinsi, antara lain: No Provinsi DKI Jakarta & Banten Jawa Barat Lampung Sulawesi Utara Forum Koordinasi Nasional antara DPN APINDO, DPP APINDO, Tim Advokasi APINDO dan Hakim Ad Hoc PHI Unsur Pengusaha/APINDO Forum nasional ini berperan penting dalam menyatukan pandangan dan sikap ketiga elemen APINDO tersebut terhadap permasalahan-permasalahan terkini yang terkait dengan pelaksanaan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Forum Koordinasi Nasional ini diselenggarakan pada tanggal 2011 di Hotel Cemara, Jakarta yang dihadiri oleh peserta, APINDO juga mendapat kehormatan dengan kehadiran perwakilan dari kedutaan Norwegia untuk Indonesia, yakni Mr. Constantin N Karame (First Secretary of Norwegian Embassy to Indonesia) dan narasumber dari NHO-Norwegia, Mr. Bjorn Delbek (Program Direktur NHO). Mr. Bjørn Delbæk dan Mr. Constantine Karame dalam Forum Koordinasi Nasional antara DPN APINDO, DPP APINDO, Tim Advokasi APINDO dan Hakim Ad Hoc PHI Unsur Pengusaha/APINDO 1.3. Program Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) APINDO terus memberikan perhatian terhadap pengembangan Usaha Kecil dan Menengah melalui program-program berkelanjutannya. Kerjasama APINDO-NHO di bidang pengembangan UKM di tahun 2011 terfokus pada pengembangan keterampilan dan keahlian UKM setempat, terutama pada sektor garmen, kerajinan tangan, dan industri makanan. Kegiatan tersebut terpusat pada tiga DPP APINDO, yakni : No Provinsi DI Yogyakarta Gorontalo Sulawesi Selatan 1.4. Pertemuan Regional ke-5 APINDO CEC VCCI NHO dengan topik Organisasi dan Kebijakan dalam K3 Dalam rangka memperkuat kerjasama dan komunikasi antara NHO dan organisasi mitranya di Asia, yakni CEC (China), VCCI (Vietnam) dan APINDO, maka sejak tahun 2007 NHO menyelenggarakan seminar regional dengan topik terkait Corporate Social Responsibility (CSR). Pada tahun 2011, APINDO (Indonesia) berkesempatan menjadi tuan rumah kegiatan tersebut yang dihadiri oleh 22 peserta dari keempat Negara terkait. Seminar Regional ke-5 kali ini bertema Organisasi dan Kebijakan Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3), diselenggarakan pada tanggal 29 November- 1 Desember 2011 dan bertempat di Dynasty Hotel, Bali. Para peserta merasa puas dengan seminar tersebut, karena dengan sistem benchmarking selama acara, pertukaran informasi dan ilmu antara setiap Negara dapat diserap dengan baik demi peningkatan kualitas K3 masing-masing konstituen. Adapun perwakilan dari APINDO yang menghadiri pertemuan ini antara lain: a. Nina Tursinah, Ketua Bidang UKM, Jender & urusan Sosial DPN APINDO b. Dr. Harjono, Anggota Sektor K3 DPN APINDO c. Dr. Kiki Sutjahyo, Anggota Sektor K3 DPN APINDO d. Iwan Zulkarnain, Office Manager DPN APINDO e. Renita Sandra Putri, Hubungan Internasional DPN APINDO f. Diana M Savitri, Hubungan Internasional DPN APINDO APINDO, CEC, VCCI dan NHO 5th Regional Seminar on Organisational Policies and Practice in OSH, Bali, 29 November 1 Desember The Association for Overseas Technical Scholarship (AOTS) AOTS mulai mengirimkan undangan rutin ke APINDO sejak pertengahan 2010 dan dengan terbuka memberikan kesempatan kepada anggota APINDO juga perwakilan APINDO nasional dan daerah untuk dapat berpatisipasi pada banyak kegiatannya. Selain dari undangan pelatihan keluar negeri, di tahun 2011, APINDO juga mendapat kesempatan pertama kali untuk mengadakan joint-workshop dengan AOTS Rekapitulasi undangan pelatihan ke luar negeri AOTS kepada APINDO tahun 2011 Pada umumnya pelatihan AOTS terfokus pada Hubungan Industrial, namun diberikan juga pelatihan mengenai sektor lainnya seperti Manajemen Sumber Daya Manusia, Kesehatan & Keselamatan Kerja, dll. Lewat pelatihan semacam ini, para peserta mendapat ilmu baru tentang sistem kerja di Jepang ataupun Negara peserta lain melalui pola benchmarking selama acara berlangsung. No Nama Program Role of Executive on Better Industrial Relations in Global Era AOTS Workshop of Joint Study on - The International Standards and HRD for Sustainable Enterprises Trainers Training Course on Management Training Program [ERM1] Program on Industrial Relations (IR) and Human Resource Management (HRM) [ERPM-1] Program on Occupational Safety and Health Management and Work Environment [ERWM] Program on Industrial Relations (IR) and Human Resource Management (HRM) [ERPM-2] The Refresher Seminar for Former Participants of NICC Short-term Programs [ERLX] 2.2. Kegiatan Tindak lanjut - Alumni NICC/ AOTS di Indonesia Pada bulan Oktober 2011, AOTS mengadakan 2 (dua) kegiatan di Indonesia yaitu seminar mengenai hubungan industrial dan pertemuan alumni NICC dan AOTS dengan menghadirkan 2 (dua) narasumber dari Jepang, yaitu Mr. Naoki Kuriyama - Profesor dari Universitas Bidang Hubungan Internasional 30 Laporan Tahunan

16 Bidang Hubungan Internasional Soka, Jepang dan Mr. Yasuhiko Inoue - Japan Productivity Center (JPC). Pertemuan alumni NICC/AOTS di APINDO Training Center (ATC) pada tanggal 25 Oktober 2011 tersebut dihadiri oleh 28 peserta dari berbagai perusahaan dan institusi. Diantara para peserta, 7 orang alumni peserta pelatihan NICC/AOTS perwakilan APINDO mendapat kesempatan untuk mempresentasikan evaluasi action-plan yang didapat selama pelatihan, perwakilannya antara lain : No Nama Program/Pelatihan Hubungan Industrial dan Manajemen HRD Manajemen K3 dan Lingkungan Kerja Peran Eksekutif dalam Hubungan Industrial yang Lebih Baik di Era Global ToT Program Pelatihan Manajemen Selain itu, pada tanggal 28 Oktober 2011 bersama dengan perwakilan dari AOTS, para peserta mengunjungi pabrik perakitan motor milik PT. Astra Honda Motor yang berlokasi di MM2100 Cikarang sebagai studi banding perusahaan alumni Seminar AOTS/APINDO Bersama Masih dalam bulan Oktober 2011, AOTS mengembangkan program pelatihannya di Indonesia dengan mengadakan kerjasama dengan APINDO untuk pertama kalinya mengadakan seminar bersama dengan Joint Seminar APINDO AOTS : Enhancing Productivity through Harmonized Industrial Relations, Hotel Nikko, Jakarta, Oktober 2011 Alumni Peserta Pelatihan NICC/AOTS dalam kegiatan Visit Company Activity ke PT. Astra Honda Motor, Cikarang, 28 Oktober 2011 topik Meningkatkan Produktifitas melalui Hubungan Industrial yang Harmonis. Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal Oktober 2011 di Hotel Nikko, Jakarta.. 3. Dutch Employers Cooperation Program (DECP) dan International Training Center Turin (ITC ILO) Kerjasama dengan DECP dimulai pada pertengahan tahun 2006 dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MOU) antara APINDO, KADIN, DECP dan INA (Indonesian Netherland Association) di tahun Dalam pelaksanaannya, DECP bekerjasama dengan International Training Center ILO (ITC ILO) Turin. Kegiatan kerjasama antara APINDO, DECP dan ITC ILO di tahun 2011 menuju pada suatu wacana baru dalam rangka perkuatan kemampuan sekretariat DPN dalam lobi dan advokasi juga pembentukan kapasitas DPN & DPP APINDO dalam hal survey dan riset Lokakarya Pengembangan Kapasitas APINDO dalam Riset dan Analisis Dengan arahan dari ILO Bureau for Employers Activities (ACTEMP) yang berpusat di Bangkok, APINDO merintis kegiatan survey besar untuk pertama kalinya. DECP dan ITC ILO memberikan keleluasaan bagi APINDO untuk mengadakan forum pertemuan dengan Peserta dan Pembicara dalam Workshop on Research and Analysis Capacity Building for Secretariat of APINDO, Juli 2011 beberapa Ketua DPN dan DPP APINDO pada tanggal 12 Juli 2011 untuk mendapat masukan dan kesatuan pendapat setiap daerah demi menyukseskan program survei yang dimaksud. Berbekal arahan dari masing-masing pengurus APINDO, pada Juli 2011 diadakan pelatihan Research and Analysis Capacity Building for the Secretariat of APINDO yang dihadiri oleh 18 perwakilan DPN, DPP dan DPK APINDO terpilih. Pelatihan ini bertujuan untuk memperkenalkan APINDO pada kegiatan survey yang diyakini akan memberikan efek positif dan membantu secretariat dalam upaya menyokong kegiatan pengurus. Turut hadir pula dua pembicara eksternal APINDO yang ahli dalam bidang riset Perkuatan Sekretariat APINDO dalam Lobi dan Advokasi Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk meningkatkan kompetensi staff sesuai dengan sinergi Ketua Umum APINDO, yang mengharapkan sekretariat APINDO tidak hanya mendukung segi administratif kegiatan pengurus, namun juga bisa berperan dalam segi substantif advokasi dan lobi, yang saat ini dilakukan oleh pengurus. Maka dalam kegiatan Peserta dan Pembicara dalam kegiatan Workshop on Strengthen the Secretariat Capacity in Lobbying and Advocacy, November 2011 ini segala aspek yang terkait dengan proses lobi dan advokasi diidentifikasi sebagai acuan dan arahan bagi staf. Sebagai target utama, semua staf sekretariat DPN APINDO menjadi peserta dalam pelatihan ini. 4. ASEAN Confederation of Employers (ACE) ACE didirikan pada tanggal 25 November 2009 di Singapura sebagai bentuk solidaritas, kebersamaan dan komitmen antara organisasi pengusaha di kawasan Asia tenggara. Sampai saat ini ACE beranggotakan 6 organisasi pengusaha di 6 negara ASEAN, antara lain Malaysian Employers Federation (MEF), Singapore National Employers Federation (SNEF), Employers Confederation of Thailand (ECOT), Employers Confederation of the Philippines (ECOP), Cambodian Federation of Business Agency (CAMFEBA) dan APINDO. Pada bulan April 2009 APINDO mendapat kepercayaan untuk memegang Presidensi dan Kesekretariatan ACE periode Oleh karenanya pada tanggal 2 April 2011 APINDO menjadi tuan rumah sekaligus penyelenggara The 36th ACE CEOs & BODs Meeting di Hotel Borobudur, Jakarta yang dihadiri oleh 6 organisasi anggota ACE. Dalam pertemuan kali ini, APINDO menyerahkan kursi presidensi ACE kepada SNEF (Singapura) untuk masa jabatan Pada kesempatan tersebut hadir juga Ms. Miaw Tiang Tang dan Mr. Dragan Radic, Employers Specialist ILO untuk Asia Bidang Hubungan Internasional 32 Laporan Tahunan

17 Bidang Hubungan Internasional Tenggara untuk menyampaikan informasi dan perkembangan seputar ACTEMP dari ILO sekaligus berdiskusi dengan para anggota ACE. Turut hadir pula perwakilan dari LNCCI (Laos PDR) sebagai pengamat dalam rapat ini untuk membuka pintu organisasi pengusaha yang representatif dari Laos PDR tersebut untuk bergabung dengan ACE. B. Kerjasama Multilateral 1. International Labour Organization (ILO) Indonesia tergabung dalam keanggotaan ILO pada tahun Sebagai salah satu dari tiga konstituen ILO, APINDO telah dilibatkan dalam berbagai proyek ILO baik di tingkat daerah, nasional dan internasional. Setiap tahunnya APINDO selalu berpartisipasi dalam Delegasi Republik Indonesia (DELRI) untuk mengikuti Konferensi Perburuhan Internasional (International Labour Conference/ILC). Di tahun 2011 kerjasama APINDO ILO terdiri dari : 1.1. ILO/ACTEMP-ACE Workshop on Strategic Direction for ACE Lokakarya ini diselenggarakan sebagai bagian dari kerjasama berkelanjutan antara ILO / ACTEMP dan ASEAN Confederation of Employers (ACE), organisasi pengusaha ASEAN, yang memiliki peran dalam mewakili kepentingan pengusaha di wilayah tersebut. Dalam lokakarya ini, Mr. Scott Barklamb, Senior Advisor Asia dari International Organization of Employers (IOE) dan Mr. Liew Meon Koon, Konsultan dari Singapura, turut hadir dan memberikan pemaparannya. Pertemuan ini menjadi kesempatan bagi para pemimpin masing-masing organisasi pengusaha yang tergabung dalam ACE untuk duduk bersama, membahas, mengkaji dan mengidentifikasi area yang menjadi isu prioritas Lokakarya mengenai Perencanaan Strategis (Strategic Planning) Lokakarya mengenai Strategic Planning bertujuan untuk membantu DPP APINDO dalam menentukan rencana strategis dan program tahunan DPP APINDO. Lokakarya ini diselenggarakan bagi DPP APINDO Maluku pada tanggal Oktober 2010 yang dihadiri oleh 45 peserta dari DPP dan DPK APINDO setempat. Lokakarya ini juga dihadiri oleh Ms. Miaw Tiang Tang (Employers Specialist ILO Bangkok) dan Ibu Lusiani Julia (Program Officer ILO Jakarta) Pelatihan ILO Education and Skills Training for Youth Employment in Indonesia (EAST) Program Pelatihan EAST bertujuan untuk meningkatkan kerja dan kapasitas kewirausahaan di kalangan perempuan muda dan lakilaki melalui peningkatan akses yang berkualitas tinggi, kesempatan pendidikan dan pelatihan yang relevan, serta berusaha untuk mengurangi jumlah pekerja anak. Pelatihan ini dilaksanakan di dua propinsi yaitu: (1) di DPP APINDO Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tanggal 1 Juni - 28 Juli 2011 yag terfokus pada dua jenis pelatihan (Otomotif/ Perbengkelan dan Konveksi) dengan total peserta sebanyak 50 orang; (2) kemudian di DPP APINDO ACEH yang dilaksanakan pada tanggal 4 Juli - 10 Agustus 2011, juga dengan 2 (dua) jenis pelatihan (Perawatan Kecantikan dan Menjahit/Konveksi) Program Employers Organization to Employers Organization (EO to EO) Dalam misi perkuatan sekretariat DPN APINDO, dengan bekerjasama dengan ILO, program EO to EO dilaksanakan dan telah dimulai sejak bulan Desember Program ini berupa asistensi/kunjungan Direktur Eksekutif Malaysian Employers Federation (MEF), Tn. Hj. Shamsuddin Bardan untuk memberikan masukan bagi pengembangan Sekretariat APINDO. Program ini berakhir pelaksanaannya pada tanggal Oktober 2011, dan hasil evaluasi beliau telah dilaporkan kepada APINDO kegiatan dan ILO selaku institusi pendukung program tersebut Program Pengembangan Kemampuan APINDO di Bidang Survei dan Riset Seiring dengan misi APINDO untuk pengembangan kapasitas Sekretariat APINDO dalam bidang survey dan riset, ILO-ACTEMP Bangkok, diwakili oleh Ms. Miaw Tiang Tang, meramu implementasi program tersebut dengan mengadakan lokakarya tentang kegiatan penelitian. Selain DPN APINDO, beberapa propinsi lain juga terpilih menjadi pilot project, yaitu DPP APINDO DKI Jakarta, DPK APINDO Jakarta Timur, DPP APINDO Jawa Tengah dan DPP APINDO Sumatera Utara. Para peserta yang terlibat mendapat ilmu yang sangat aplikatif melalui paparan Bapak Agung Pambudhi dan Bapak Sigit Murwito, Konsultan dari Regionomika, yang memiliki keahlian dalam bidang riset dan analisis Lokakarya Survey Tool for APINDO Dalam kegiatan ini para peserta mendapatkan arahan awal cara melakukan riset, seperti peramuan kuesioner dan tatacara wawancara dengan responden. Ms. Ruhaida, Bidang Riset Malaysian Employers Federation (MEF) juga memacu semangat para peserta dengan membagi pengalaman dari MEF yang telah memiliki departemen Riset dan Analisis sejak lama dan telah berkembang. Acara yang diadakan pada tanggal Juli 2011 ini juga dihadiri oleh Ms. Sandra Rothbeck, Specialist Skills and Employ Ability dari ILO Bangkok, yang memberi pemahaman tentang isu Skills Mismatch dan menuntun para peserta dalam menyempurnakan kuesionernya Training on Coding and Data Processing Pelatihan lanjutan pada perkuatan kapasitas riset APINDO difokuskan pada Pengkodean dan Proses Data pada hasil kuesioner yang telah berhasil dikumpulkan 3 (tiga) grup peneliti (DPN APINDO, DPP DKI Jakarta + DPK Jakarta Timur, DPP Jawa Tengah, dan DPP Sumatera Utara). Pelatihan tersebut berlangsung pada November 2011, dihadiri oleh Ms. Miaw Tiang Tang, Employers Specialist dari ILO Bangkok. Jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan dari anggota masing-masing grup peneliti dinilai cukup mewakili populasi responden agar dapat dianalisa National Workshop on Survey Project Tool for APINDO Setelah melalui proses analisa data kuesioner, didapatkan hasil sementara untuk dipaparkan secara luas kepada publik terutama kepada responden terkait, DPP APINDO Se- Indonesia, dan instansi terkait lainnya. Dengan berbekal masukan dan evaluasi para pengurus dan responden terkait, paparan mengenai hasil kegiatan penelitian disempurnakan untuk dilaporkan kepada ILO. Mr. Peter van Rooij, Bidang Hubungan Internasional 34 Laporan Tahunan

18 Bidang Hubungan Internasional Direktur Regional ILO Jakarta & Timor Leste, juga memberikan komentar dan sarannya dalam acara yang dilaksanakan pada tanggal 20 Desember 2011, di APINDO Training Center, Jakarta ini. 2. Partisipasi APINDO dalam Konferensi Perburuhan Internasional ke 100 di Jenewa, Swiss APINDO setiap tahunnya berpartisipasi dalam Konferensi Perburuhan Internasional (ILC) ILO di Jenewa, Swiss. ILC di tahun 2011 merupakan ILC ke-100 dan diselenggarakan pada tanggal 2-18 Juni Merupakan kebanggan bagi APINDO, bahwa pada pertemuan ILC tahun ini, Ketua Umum APINDO, Bapak Sofjan Wanandi, dan Sekretaris Umum DPN APINDO, Bapak Suryadi Sasmita turut mendampingi Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono dalam rombongan Kepresidenan. Adapun delegasi RI Unsur Pengusaha dalam ILC terdiri dari : No Nama Hasanuddin Rachman FX. Sri Martono Djimanto Muhamad Aditya Warman Iftida Yasar Doddy Irawan Endang Susilowati Rajo Emirsyah Hary Setyono Ngatijan Harjowiyono Indra Gunawan Ari Kartika Dewa Akhmad Prayogi Achmad Rizky Permadi Sugito Dwi Anugrah Hariadi Mawardi Abdullah Rusdi Gamal Hidayat Habibie Kunsatrijo Sanon Ra Sitanggang Karentina Marhaeni Yusro Andriana Gusti Delegasi APINDO pada Konferensi Perburuhan Internasional ke-100, 2 18 Juni 2010 di Jenewa Status Kepesertaan APINDO APINDO/Astra International APINDO APINDO/Astra International APINDO APINDO/PT. Chevron Pacific Indonesia APINDO PT. Mega Maroci Lines PT. Exxon Mobil Indonesia BP Migas BP Migas Total E & P PT. Pertamina BOB PT. BSP Pertamina Hulu PT. Pertamina PT. Chevron Pacific Indonesia BOB PT. Bumi Siak Pusako PT. Pertamina PT. Pertamina PT. Pertamina PT. Pertamina PT. Pertamina PT. CNOOC Partisipasi APINDO dalam forum - forum ILO antara lain : No Workshop / Training Media and Communication Training for ASEAN Confederation of Employers (ACE) Interregional workshop on The Role of the Global Jobs Pact in supporting recovery Workshop on Enhancing Policy Influence: Persuasive Communication and Management for Employers Organisation ILO/Korea : Training on participatory approaches to improve working and employment conditions in the informal economy with the Korea Occupational Safety and Helath Agency (KOSHA) Foundation Training-Green Jobs in Asia Project Dialog Sosial Sektor Elektronik Fifth IR Team Meeting ASEAN-ILO/Japan IR Project Asia-Pacific Knowledge Sharing Network on Industrial Relations (AP-IR Net) Visioning Event Tripartite-plus Regional Conference on Promoting Inclusive Vocational Education and Training in the Asian Region ILO/SKILLS-AP/Japan/Regional Technical workshop and Study Programme on : Addressing Skills Mismatch through Public Private Partnership C. Kerja sama internasional dengan mitra lainnya Selain kegiatan bilateral dan multilateral di atas, di tahun 2011 DPN APINDO juga telah melakukan kerjasama ad hoc dengan organisasi internasional lainnya serta Kedutaan besar asing di Jakarta, seperti kerjasama dalam pelaksanaan the Asia HR Summit dengan the Asia Business Forum, partisipasi dalam kegiatan the Friederich- Ebert-Stiftung), partisipasi program KOILAF (Korea), studi banding ke Malaysia (Program Menakertrans) dan lain-lain. Tanggal Desember September September Agustus - 2 September 8-9 Agustus Juni 12 Mei April Maret Feb Tempat Bangkok, Thailand Turin, Italy Bangkok, Thailand Seoul, Korea Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Aston Hotel, Bogor Jakarta Bangkok, Thailand Bangkok, Thailand Tokyo Kenshu Center, Jepang Partisipan Bpk. Barliana Amin, Ibu Renita Sandra Ibu Mariko Asmara, Ibu Iftida Yasar Bpk. Baliana Amin, Ibu Niken Rintani Bp. Agus Guntur Prispatmono Ibu Renita Sandra, Ibu Vuji Syukra Ibu Renita Sandra, Bpk. Wahyu Handoko Ibu Endang Susilowati Bp. Doddy Irawan Bp. Dickdick Sodikin Bpk. Frans Kongi, DPP APINDO Jawa Tengah 1. Konferensi Ketiga Regional Tripartite Social Dialogue for Growth, Employment and Sound Industrial Relations in the Services Sectors: Best Roles of ASEAN Tripartite Social Partners APINDO sebagai anggota Konfederasi Pengusaha ASEAN (ACE) turut berperan dalam konferensi Ketiga Regional Tripartite Social Dialogue pada tanggal 31 Oktober 1 November 2011 yang diselenggarakan oleh Friedrich-Ebert-Stiftung (FES) bersamasama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Republik Indonesia, Konfederasi Pengusaha ASEAN Bidang Hubungan Internasional 36 Laporan Tahunan

19 Bidang Hubungan Internasional (ACE) serta the ASEAN Services Employees Trade Union Council (ASETUC), yang terdiri dari 3 Uni Federasi global (BWI, PSI dan UNI APRO). Pada sesi pembuka, Ibu Shinta W. Kamdani, Ketua Bidang Hubungan Internasional DPN APINDO, mewakili konfederasi Pengusaha ASEAN menyampaikan harapannya agar peningkatan Dialog Sosial Tripartit di negaranegara ASEAN dapat memberikan kontribusi yang positif dalam mewujudkan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN (The ASEAN Economic Community 2015). Konferensi ketiga Dialog Sosial kawasan ASEAN merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya memfokuskan pada : Tindak lanjut pada prioritas utama strategis Program Kerja Menteri Ketenagakerjaan ASEAN dan isu-isu pada kepentingan umum untuk meningkatkan Dialog Sosial Tripartit di tingkat nasional maupun regional negara-negara ASEAN, Menyuarakan peran dan tanggung jawab mitra sosial tripartit melalui inisiatif bersama untuk membangun proses Dialog Sosial Tripartit sektoral, Meningkatkan solidaritas dan kerjasama mitra sosial untuk membangun kepedulian dan saling berbagi antar komunitas ASEAN. 2. ASEAN Business dan Investment Summit (ASEAN-BIS) 2011 ASEAN Business dan Investment Summit (ASEAN-BIS) diadakan oleh ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) setiap tahun agar bertepatan dengan pelaksanaan KTT ASEAN. ASEAN-BIS bertujuan untuk menghadirkan organisasi-organisasi sektor swasta dan publik, perwakilan pemerintah dan industri besar dari dalam dan luar ASEAN untuk berdialog dan menjalin jaringan, serta menjadi ajang interaktif untuk memajukan industri dan bisnis dalam kawasan ASEAN. ASEAN Business and Investment Summit (ASEAN-BIS) diselenggarakan pada tanggal November 2011 di Bali dan telah berhasil mengundang, dalam rata-rata, 700 hingga 1000 delegasi yang kebanyakan datang dari negaranegara anggota ASEAN, mitra dialog dan seluruh dunia. Pada tahun 2011, ASEAN-BAC bekerjasama dengan (APINDO), Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Departemen Perdagangan di Indonesia menyelenggarakan ASEAN Business and Investment Summit yang bertema, ASEAN Community in a Global Community of Nations. ASEAN telah berdiri sejak tahun ASEAN Business Advisory Council (ASEAN-BAC) telah secara aktif mempromosikan kemitraan sektor publik-swasta dan mengintegrasikan keduanya dalam menciptakan Komunitas Ekonomi ASEAN / ASEAN Economic Community (AEC) pada tahun Dalam kesempatan ini, APINDO sebagai perwakilan pengusaha dan bisnis baik dalam kedudukannya di dalam negeri dan keikutsertaannya sebagai ASEAN Confideration of Employers (ACE) turut berperan aktif dalam mendukung pelaksanaan kerjasama ekonomi ASEAN. Forum ini mendukung upaya dalam meningkatkan penyuluhan dan langkahlangkah advokasi, dimana KTT Bisnis tahun ini menetapkan babak dan menyoroti posisi saat ini antara Komunitas Ekonomi ASEAN/ ASEAN Economic Community (AEC) berhadapan dengan komunitas global. ASEAN- BIS memandang ketiga area penting yang membentuk lingkungan bisnis di kawasan ASEAN. Hal ini termasuk perubahan iklim dan krisis pangan global, ASEAN konektivitas dalam konteks pembangunan infrastruktur; kewirausahaan dan peran inovasi dalam pembangunan ekonomi di wilayah itu. Pertemuan ASEAN Business & Investment Summit 2011 dihadiri oleh para pembicara terkemuka, yaitu : Bapak Susilo Bambang Yudhoyono - Presiden Republik Indonesia; H.E. Julia Gillard - MP Australia; H.E. Ban Ki-Moon, Sekretaris Jenderal PBB; Bapak Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Republik Indonesia, H.E. Hillary Rodham Clinton Sekretaris Negara Amerika Serikat; Ibu Mari Elka Pangestu - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif; Bpk. Sofjan Wanandi, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); Mr. Tan Sri Azman Mokhtar, Managing Director Khazanah Nasional Berhad; Mr. Dato Sri Nazar Razak, CEO CIMB Group; Mr.Tan Sri Tony Fernandes, CEO Air Asia Berhad; Mr. Jean-Phillipe Courtois, Presiden Microsoft Internasional dan banyak lagi. Bidang Hubungan Internasional 38 Laporan Tahunan

20 CS-P Ad Fort 210x275 Fort.fh10 7/29/11 9:40 AM Page 1 C M Y CM MY CY CMY K

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN KERJA

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.16/MEN/XI/2011 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing;

TENTANG DI KOTA CIMAHI. Ketenagakerjaan. Kerja Asing; LEMBARAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR : 183 TAHUN : 2014 PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum 1 PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (PPHI) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh

Lebih terperinci

DAFTAR PERATURAN PELAKSANAAN DARI UU NO. 13 TAHUN 2003 DAN PERATURAN KETENAGAKERJAAN YANG LAIN

DAFTAR PERATURAN PELAKSANAAN DARI UU NO. 13 TAHUN 2003 DAN PERATURAN KETENAGAKERJAAN YANG LAIN A. KEPUTUSAN MENTERI PERATURAN PELAKSANAAN UU NO.13/2003: 1 KEP. 223 /MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi. 2 KEP. 224 /MEN/2003 Tentang

Lebih terperinci

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm

file://\\ \web\prokum\uu\2004\uu htm Page 1 of 38 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 32/MEN/XII/2008 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG MENTERI KETENAGAKERJAAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA PUBLIKDONESIA PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Teks tidak dalam format asli. LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.6,2004 KESRA Pemerintah Pusat. Pemerintah Daerah.Tenaga Kerja. Ketenagakerjaan. Perjanjian

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL HUKUM PERBURUHAN (PERTEMUAN XII) PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL copyright by Elok Hikmawati 1 Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

Jaminan Hari Tua (JHT) & Jaminan Pensiun (JP) Pekerja. Timoer Sutanto, DPN Apindo, Ketua Bidang Jaminan Sosial Jakarta, 24 April 2015

Jaminan Hari Tua (JHT) & Jaminan Pensiun (JP) Pekerja. Timoer Sutanto, DPN Apindo, Ketua Bidang Jaminan Sosial Jakarta, 24 April 2015 Jaminan Hari Tua (JHT) & Jaminan Pensiun (JP) Pekerja Timoer Sutanto, DPN Apindo, Ketua Bidang Jaminan Sosial Jakarta, 24 April 2015 Jaminan Sosial Minimum Jaminan Sosial adalah perlindungan yang diberikan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UU No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Undang-undang Yang Terkait Dengan Ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; Undang-Undang

Lebih terperinci

2 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Ta

2 2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Ta BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1435, 2014 KEMENAKERTRANS. Mediator. Mediasi. Pengangkatan. Tata Cara. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Pendahuluan PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Oleh : Gunarto, SH, SE, Akt,MHum Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa hubungan industrial

Lebih terperinci

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN

- 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN - 1 - BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 8 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PELAYANAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a.

Lebih terperinci

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS Gambaran hasil penelitian dalam Bab mengenai Hasil Penelitian dan Analisis ini akan dimulai dari pemaparan hasil penelitian terhadap peraturan perundangundangan sebagaimana

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub

2 Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4); Menetapkan 2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh (Lembaran Negara Repub BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.2099, 2014 KEMENAKER. Peraturan Perusahaan. Pembuatan dan Pendaftaran. Perjanjian Kerja Sama. Pembuatan dan Pengesahan. Tata Cara. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KETENAGAKERJAAN

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP.48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

Undang-undang No. 21 Tahun 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM I-7 BAB II ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN I-8 BAB III PEMBENTUKAN I-10 BAB

Lebih terperinci

Undang-undang No 13 tahun 2003 POKOK-POKOK KETENTUAN NORMATIF HUBUNGAN INDUSTRIAL KETENAGAKERJAAN DAN SERIKAT PEKERJA

Undang-undang No 13 tahun 2003 POKOK-POKOK KETENTUAN NORMATIF HUBUNGAN INDUSTRIAL KETENAGAKERJAAN DAN SERIKAT PEKERJA Undang-undang No 13 tahun 2003 POKOK-POKOK KETENTUAN NORMATIF HUBUNGAN INDUSTRIAL KETENAGAKERJAAN DAN SERIKAT PEKERJA 1 Seekor tiram berjemur diri dipantai dengan kedua kulitnya yang terbuka lebar, Tatkala

Lebih terperinci

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN

KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN KISI-KISI HUKUM KETENAGAKERJAAN BAB 1 PERJANJIAN KERJA 1.1. DEFINISI Pasal 1 UU No. 13/2003 14. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja / buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Teks tidak dalam format asli. Kembali: tekan backspace LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 131, 2000 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3989) UNDANG-UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 21 TAHUN 2000 (21/2000) TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 48/MEN/IV/2004 TENTANG TATA CARA PEMBUATAN DAN PENGESAHAN PERATURAN PERUSAHAAN SERTA PEMBUATAN DAN PENDAFTARAN PERJANJIAN

Lebih terperinci

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id

SALINAN. jdih.bulelengkab.go.id SALINAN BUPATI BULELENG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULELENG NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULELENG, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum Sejalan dengan perkembangan zaman era globalisasi sudah barang tentu tuntutan perkembangan penyelesaian sengketa perburuhan

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN

BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 34 BAB III AKIBAT HUKUM APABILA PERJANJIAN KERJA TIDAK DILAPORKAN KE INSTANSI YANG MEMBIDANGI MASALAH KETENAGAKERJAAN 3.1 Pelaporan Perjanjian Kerja Antara Perusahaan Pemberi Pekerjaan Dengan Perusahaan

Lebih terperinci

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok.

Setiap karyawan dapat membentuk atau bergabung dalam suatu kelompok. Mereka mendapat manfaat atau keun-tungan dengan menjadi anggota suatu kelompok. PENGANTAR Pembahasan MSDM yang lebih menekankan pada unsur manusia sebagai individu tidaklah cukup tanpa dilengkapi pembahasan manusia sebagai kelompok sosial. Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG PERATURAN BUPATI KUNINGAN NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS POKOK, FUNGSI DAN URAIAN TUGAS, SERTA TATA KERJA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN KUNINGAN DENGAN

Lebih terperinci

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang

perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang perjanjian kerja waktu tertentu yakni terkait masalah masa waktu perjanjian yang dibolehkan dan sifat kerja yang dapat dibuat perjanjian kerja waktu tertentu. Faktor pendidikan yang rendah dan kurangnya

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PROGRAM AKSI

KEBIJAKAN DAN PROGRAM AKSI KEBIJAKAN DAN PROGRAM AKSI 1 2012-2013 Kerugian terhadap lapangan kerja akibat krisis finansial dan ekonomi telah menyebabkan kesulitan hidup bagi pekerja perempuan dan laki-laki, keluarga dan komunitas,

Lebih terperinci

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Hubungan Kerja Hubungan antara buruh dengan majikan, terjadi setelah diadakan perjanjian oleh buruh dengan majikan, dimana buruh menyatakan kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada

II. TINJAUAN PUSTAKA. Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Pengertian Peran Peran adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perilaku, pada kedudukan-kedudukan tertentu dalam masyarakat, kedudukan dimana dapat dimiliki

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR 3.1. Pemutusan Hubungan Kerja Pemutusan hubungan kerja oleh majikan adalah jenis PHK yang sering terjadi,

Lebih terperinci

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

: KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP. 255/MEN/2003 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN DAN SUSUNAN KEANGGOTAAN LEMBAGA KERJASAMA BIPARTIT MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN

Lebih terperinci

Transformasi BPJS 2. September 2011

Transformasi BPJS 2. September 2011 Transformasi BPJS 2 September 2011 1 Transformasi BPJS 2 (1) RUU BPJS disahkan menjadi UU Nov 2011 Ijin prakarsa pembuatan dan revisi PP terkait JHT dan JP Proses konsultasi publik terkait harmonisasi

Lebih terperinci

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM

BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM BAB 9 PEMBENAHAN SISTEM DAN POLITIK HUKUM Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis merupakan upaya yang terus-menerus dilakukan, sampai seluruh bangsa Indonesia benar-benar merasakan keadilan dan

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR,

GUBERNUR JAWA TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR, GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 19 TAHUN 2017 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR 8 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN KETENAGAKERJAAN DENGAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha di Indonesia semakin berkembang dan berdaya saing ketat sehingga membuat perusahaan-perusahaan berusaha untuk meningkatkan kualitas kinerja

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pekerja/buruh dan Pengusaha Berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja/buruh adalah Setiap orang yang bekerja

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003

UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 UNDANG-UNDANG NO. 13 TH 2003 BAB XI HUBUNGAN INDUSTRIAL Bagian Kesatu Umum Pasal 102 1. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan

Lebih terperinci

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan.

BERITA NEGARA. No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2014 KEMENAKERTRANS. Data. Informasi. Ketenagakerjaan. Klasifikasi. Karakteristik. Perubahan. PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/I/2005 TENTANG

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/I/2005 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR : PER.02/MEN/I/2005 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN, PENGUJIAN, PEMBERIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan

BAB I PENDAHULUAN. pertentangan tersebut menimbulkan perebutan hak, pembelaan atau perlawanan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sengketa adalah suatu pertentangan atas kepentingan, tujuan dan atau pemahaman antara dua pihak atau lebih. Sengketa akan menjadi masalah hukum apabila pertentangan

Lebih terperinci

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG BUPATI SUKOHARJO PERATURAN BUPATI SUKOHARJO NOMOR 46 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS POKOK, FUNGSI DAN URAIAN TUGAS JABATAN STRUKTURAL PADA DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KABUPATEN SUKOHARJO BUPATI

Lebih terperinci

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA UU No 21/2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh UU No 13/2003 Tentang Ketenagakerjaan UU No 2/2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial UNTUK

Lebih terperinci

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek)

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA. Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA Oleh: NY. BASANI SITUMORANG, SH., M.Hum. (Staf Ahli Direksi PT Jamsostek) PENERAPAN HUKUM ACARA PERDATA KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN

Lebih terperinci

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2005 TENTANG TATA KERJA DAN SUSUNAN ORGANISASI LEMBAGA KERJA SAMA TRIPARTIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA

I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA I. FENOMENA IMPLEMENTASI OUTSOURCING TERHADAP KETENAGAKERJAAN INDONESIA Oleh : Basani Situmorang SH,Mhum Dampak dan Trend Outsourcing Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi terpenting. Dilihat

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 54 TAHUN 2017 TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Labor and Industrial Relations

Labor and Industrial Relations Labor and Industrial Relations Modul ke: 13 Mahasiswa memahani mengenai : 1. Hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha 2. Membandingkan hubungan tenagakerja di Indonesia dan USA Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Lebih terperinci

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH

NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13

BAB I PENDAHULUAN. Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan industrial menurut Undang Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16 didefinisikan sebagai Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dengan Pengusaha/Majikan, Undangundang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sudah mulai dikenal dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 1954 tentang Perjanjian Perburuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA. Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJA BERSAMA A. Pengertian Perjanjian kerja bersama Istilah Perjanjian Kerja Bersama (PKB) timbul setelah diundangkannya Undang-undang No.21 Tahun 2000. Istilah

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, 1 of 24 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000

UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 UNDANG-UNDANG NO. 21 TH 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan

Lebih terperinci

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial

Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Anda Stakeholders? Yuk, Pelajari Seluk- Beluk Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Hubungan Industrial Masih ingatkah Anda dengan peristiwa mogok kerja nasional tahun 2012 silam? Aksi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 27 NOMOR 27 TAHUN 2008

BERITA DAERAH KOTA SEMARANG PERATURAN WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 27 NOMOR 27 TAHUN 2008 BERITA DAERAH KOTA SEMARANG TAHUN 2008 NOMOR 27 PERATURAN WALIKOTA SEMARANG NOMOR 27 TAHUN 2008 TENTANG PENJABARAN TUGAS DAN FUNGSI DINAS TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI KOTA SEMARANG Menimbang : a. DENGAN

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KESEJAHTERAAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA Mengapa RUU tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) perlu segera disusun? Apakah peraturan perundang-undangan yang menjadi

Lebih terperinci

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA

2017, No Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BADAN USAHA MILIK DAERA No.305, 2017 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA PEMERINTAH DAERAH. Badan Usaha Milik Daerah. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6173) PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2011 TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL I. UMUM Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL 1 PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL I. UMUM Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, LAMPIRAN 218 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2007 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa perekonomian nasional yang

Lebih terperinci

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL SIFAT KHUSUS PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL OLEH : SOLECHAN 1. A. PENDAHULUAN Sejak dahulu sampai sekarang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 45 TAHUN 2005 TENTANG PENDIRIAN, PENGURUSAN, PENGAWASAN, DAN PEMBUBARAN BADAN USAHA MILIK NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2000 TENTANG SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat,

Lebih terperinci

BAB 22 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN

BAB 22 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN BAB 22 PERBAIKAN IKLIM KETENAGAKERJAAN A. KONDISI UMUM Perkembangan ekonomi Indonesia telah menunjukkan kemajuan diberbagai bidang pembangunan. Tetapi kemajuan ini masih belum dapat menangani masalah pengangguran

Lebih terperinci

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR

WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR SALINAN WALIKOTA SURABAYA PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN WALIKOTA SURABAYA NOMOR 54 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, URAIAN TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS TENAGA KERJA KOTA SURABAYA

Lebih terperinci

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG

WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG SALINAN WALIKOTA DEPOK PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN WALIKOTA DEPOK NOMOR 103 TAHUN 2016 TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA DINAS TENAGA KERJA Menimbang Mengingat

Lebih terperinci

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia

Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan Mengenai Sistem Ketenagakerjaan di Indonesia Penjelasan mengenai penentuan upah sehari Sesuai ketentuan Pasal 77 ayat (2) UU Ketenagakerjaan No. 13/2003, bahwa waktu kerja adalah: 1. a. 7 (tujuh)

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 2004 TENTANG TATA CARA PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM AD-HOC PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN HAKIM AD-HOC PADA MAHKAMAH AGUNG PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI SJSN. Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional

IMPLEMENTASI SJSN. Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional IMPLEMENTASI SJSN Rapat Pakar tentang Jaminan Sosial dan Landasan Perlindungan Sosial: Belajar dari Pengalaman Regional DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL Jakarta, 12 Desember 2011 1 Latar belakang SJSN SJSN

Lebih terperinci

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB

III. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial Pancasila. Dasar Hukum Aturan lama. Pusat Pengembangan Bahan Ajar - UMB (1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (2)

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib

BAB III LANDASAN TEORI. A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. 2 Perjanjian kerja wajib BAB III LANDASAN TEORI A. Pengertian Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pengaturan perjanjian bisa kita temukan didalam buku III bab II pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah suatu perbuatan

Lebih terperinci

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Perluasan cakupan peserta dan peningkatan kolektabilitas Iuran Jamsos Bid. Ketenagakerjaan Oleh : Drs. M. FACHRUDDIN, MM Disampaikan pada Sosialisasi SJSN Novotel Banjarmasin,

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMENEP NOMOR : 4 TAHUN 2011 TENTANG PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN SUMENEP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat : : BUPATI SUMENEP

Lebih terperinci

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG

SURAT EDARAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA SURAT EDARAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR: SE.04/MEN/VIII/2013 TENTANG 26 Agustus 2013 PEDOMAN PELAKSANAAN PERATURAN

Lebih terperinci