DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan... Halaman Sampul Dalam... Halaman Persyaratan Gelar... Halaman Persetujuan Promotor...

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAFTAR ISI. Halaman Sampul Depan... Halaman Sampul Dalam... Halaman Persyaratan Gelar... Halaman Persetujuan Promotor..."

Transkripsi

1 1 DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Depan... Halaman Sampul Dalam... Halaman Persyaratan Gelar... Halaman Persetujuan Promotor... Halaman Penetapan Panitia Penguji... Halaman Pernyataan Bebas Plagiat... Halaman Ucapan Terimakasih... Halaman Abstrak... Halaman Abstract... v... Halaman Ringkasan... Halaman Dafar Isi... i ii iii iv v vi vii xiii xi xv xx BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan Khusus Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Manfaat Praktis... 22

2 1.5 Orisinalitas Penelitian Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Asas-Asas Hukum Asas Legalitas Asas Keseimbangan Konsep Konsep Negara Hukum Konsep politik Hukum dalam Negara Hukum Konsep Hak Asasi Manusia Konsep Kematian Doktrin Yurisprudensi Teori-Teori Hukum Teori Kebijakan Hukum Pidana Teori Keadilan Teori Keadilan Pancasila Teori Keadilan Bermartabat Teori Utilitarianisme Teori Hukum Progresif Kerangka Berpikir

3 1.7 Metode Penelitian Jenis Penelitian Jenis Pendekatan Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach) Pendekatan Konseptual (Copseptual Approach) Pendekatan Perbandingan (Comperative Approach) Sumber Bahan Hukum Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik Analisis Bahan Hukum BAB II. TINJAUAN UMUM Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana Politik Hukum Politik Hukum Pidana Ruang Lingkup dan Esensi Euthanasia Pengertian Euthanasia Sejarah Euthanasia Konsep Kematian dan Hubungannya dengan Euthanasia Jenis-Jenis Euthanasia Pengertian Pidana dan Sanksi Pidana Pengertian Pidana Sanksi Pidana dan Tindakan

4 Perbedaan Antara Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana Terkait Euthanasia Pengertian Melawan Hukum Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana Sifat Melawan Hukum Umum Sifat Melawan Hukum Khusus Sifat Melawan Hukum Formil Sifat Melawan Hukum Materiel Alasan-Alasan Penghapus Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan Pertanggungjawaban Pidana Terkait Tindakan Euthanasia Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Hubungan Kesalahan dengan Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Kemampuan Bertanggungjawab Kesengajaan dan Kealpaan Kaitannya dengan Euthanasia Pengertian Kesengajaan dan Bentuk- Bentuknya Pengertian Kealpaan dan Bentuk-

5 Bentuknya BAB III. POLEMIK EUTHANASIA DALAM BERBAGAI PANDANGAN Polemik Euthanasia dalam Pandangan Filosofis Ontologis Berafiliasi dengan Aspek Filosofis Ideologis Polemik Euthanasia dalam Pandangan Epistemologis Yuridis Perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) Polemik Euthanasia dalam Pandangan Agama, Norma Sosial Budaya, Etika, dan Norma Hukum Terhadap Euthanasia Polemik Euthanasia dalam Pandangan Agama Pandangan Agama Islam Pandangan Agama Hindu Pandangan Agama Budha Pandangan Agama Kristen Katolik Pandangan Agama Kristen Protestan Polemik Euthanasia dalam Norma Sosial Budaya Kehidupan yang Beradab dan Manusiawi Kualitas Hidup Berkaitan dengan Euthanasia Budaya Masyarakat Polemik Euthanasia dalam Etika Profesi Medis

6 Polemik Euthanasia dalam Norma Hukum Peran Penegak Hukum dalam Malpraktek Medik di Masyarakat Hak dan Kewajiban Pasien dan Dokter Dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pandangan Terhadap Pelayanan Medis Dan Penegakkan Hukumnya Polemik Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Adat BAB IV. HUKUM PIDANA INDONESIA BERKAITAN EUTHANASIA PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM Dasar Hukum Hak Untuk Hidup Secara Universal Hak Hidup Secara Internasional Berafiliasi dengan Hak Pasien dan Euthanasia Berbagai Peraturan Perundang-Undangan Berhubungan Dengan Euthanasia Hak Untuk Mati Terwujud dalamtradisi Masyarakat Adat (Customary Law) Pertanggungjawaban Tindakan Medis yang Berhubungan dengan Euthanasia Pertanggungjawaban Administrasi Tindakan

7 7 Medis yang Berhubungan dengan Euthanasia Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent) Dasar Hukum Informed Consent Bentuk Informed Consent Tahapan dalam Informed Consent Hak Memberikan Persetujuan tindakan Medis (Informed Consent) Tanggungjawab Dokter dan Rumah Sakit dalam Pelaksanaan Informed Consent Dasar Hukum Sanksi Administratif Dalam Informed Consent Informed Consent pada Euthanasia Pertanggungjawaban Perdata Tindakan Medis Yang Berhubungan dengan Euthanasia Pertanggungjawaban Pidana Tindakan Medis Yang Berhubungan dengan Euthanasia Kasus-Kasus Euthanasia yang Pernah Terjadi Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia Perspektif Ius Operatum BAB V. POLITIK HUKUM PIDANA TENTANG EUTHANASIA PERSPEKTIF IUS CONSTITUENDUM

8 Pengaturan Euthanasia di Berbagai Negara Belanda Amerika Serikat-Oregon Nagoya-Jepang Uruguay Cekoslovakia Korea Belgia Indonesia Pembaharuan Sistem Hukum Pidana di Masa Mendatang Hukum Sebagai Suatu Sistem Pembaharuan Sistem Hukum Pidana Membangun Karakter Hukum Pidana Indonesia Keberadaan Hukum Pidana Adat Sebagai Karakter Hukum Pidana Indonesia Norma Agama dalam Pembentukan Hukum Pidana Indonesia Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Berdasarkan Prinsip Negara Hukum Pengaruh Tata Nilai dalam Dunia Internasional Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana Nasional Pancasila Sebagai Konsep Pembentukan Pengaturan Euthanasia dalam Hukum Pidana Indonesia

9 Politik Hukum Euthanasia di Masa Mendatang BAB VI. PENUTUP Kesimpulan Saran-saran Rekomendasai Gagasan Rintisan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR SKEMA Halaman Skema 1. Dasar Perundang-undangan Pidana Skema 2. Ruang Lingkup dan Kedudukan Politik Hukum Skema 3. Alur Prosedur Pengajuan Euthanasia

10 10 ABSTRAK Disertasi ini berjudul Politik Hukum Pidana Pengaturan Euthanasia di Indonesia. Masalah Euthanasia sangat menarik untuk dikaji, karena berkaitan erat dengan nilai-nilai kehidupan. Secara kodrati dalam siklus kehidupan, manusia pasti akan mengalami kematian. Kematian yang baik, cepat dan tenang tanpa rasa sakit adalah harapan semua manusia. Kondi si pasien yang sakit kritis, menurut medis sudah tidak dapat disembuhkan, seluruh daya dan upaya telah dilakukan keluarga pasien, namun kondisi pasien semakin lemah dan menuju kematian. Terjadi polemik dalam masyarakat, apakah pasien atau keluarganya dapat meminta dilakukan euthanasia.tindakan euthanasia dikaji dari segi hukum positif tidak ada yang mengatur secara eksplisit. Tindakan euthanasia jika dikaitkan dengan kejahatan terhadap nyawa, terdapat dalam Pasal 338, 340 atau 344 atau Pasal 304, 306 dan 531 KUHP tentang pembiaran sampai meninggal. Terdapat kekosongan norma yang menyebabkan tenaga medis atau dokter tidak berani mengambil tindakan euthanasia karena dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP. Terdapat tiga permasalahan yang penting untuk dite liti dan dikaji, yaitu: filosofi euthanasia sehingga menjadi polemik, euthanasia saat ini dalam hukum pidana Indonesia dan politik hukum pidana pengaturan Euthanasia perspektif ius constituendum. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan pend ekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Bahan hukumnya: bahan hukum primer, sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan bahan menggunakan metode gabungan antara bola salju dengan metode sistematis. Keseluruhan bahan-bahan hukum yang terkumpul dianalisis melalui langkah-langkah deskripsi, interpretasi, sistematis, argumentasi dan evaluasi. Hasil penelitian ini menunjukkan euthanasia secara filosofi selalu menjadi polemik disebabkan adanya pandangan bahwa kehidup an merupakan anugerah Tuhan yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apapun. Implementasinya terdapat dalam Pancasila sila ke-2 Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam UUD tahun 1945 Pasal 28G, menyatakan manusia bebas dari penyiksaan, pembunuhan dan perlakuan tidak manusiawi, merupakan cerminan manusia sebagai mahluk yang beragama,

11 beradat dan berbudaya serta beretika. Euthanasia dalam hukum pidana saat ini belum dirumuskan secara eksplisit. Politik hukum pidana euthanasia perspektif ius constituendum dalam arti kebijakan menyeleksi atau melakukan dekriminalisasi euthanasia berdasarkan pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang mengandung didalamnya keseimbangan nilai/ide/ paradigma, yaitu: Moral religius (Ketuhanan), Kemanusiaan (Humanistik), Kebangsaan, Demokrasi, dan Keadilan. 11 Kata kunci: Hukum Pidana, Politik Hukum, Pengaturan Euthanasia.

12 12 ABSTRACT This dissertation is entitled "The Criminal Law Politics of Euthanasia Arrangement in Indonesia". The Euthanasia problem is very interesting to study, because it addresses the values of life. Naturally in the cycle of life, humans must experience death. Good, easy and calm death without pain is the hope of all humans. The patient's condition is sick, incurable, all power and effort has been made for the patient, but there are patients who are more severe and lead to death but do not occur. There is a polemic in the community, whether patients or they can ask for euthanasia. Euthanasia measures are examined in terms of positive law not yet available. Euthanasia if it is associated with crime against life, can be linked to Article 338, 340 or 344 or Article 304, 306 and 531 of the Criminal Code concerning omission to death. This emptiness of norms causes medical personnel or doctors not to dare to take euthanasia actions because they can be snared with the articles in the Criminal Code. There are three important issues to be studied and studied, namely: the philosophy of euthanasia so as to become a polemic, the euthanasia policy in Indonesian criminal law and the criminal law politics of Euthanasia regulation in the perspective of ius constituendum. This research is a normative legal research with a statute approach, a conceptual approach, and comparative approach. Legal material: primary, secondary and tertiary legal materials. Material collection method uses a combination method of snowball with a systematic method. The entire legal material collected is analyzed through steps of description, interpretation, systematic, argumentation and evaluation. The results of this study show that euthanasia is always a polemic because the view of life is a gift from God that cannot be reduced in any form. Its implementation is contained in the Pancasila Sila 2 of just and civilized Humanity. In the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia Article 28G, states that humans are free from torture, murder and inhuman treatment, are a reflection of humans as beings who are religious, civilized and cultured and ethical. Euthanasia in criminal law is currently not explicitly formulated. The politics of criminal law euthanasia in the ius constituendum perspective in the sense of the policy of selecting or decriminalizing euthanasia is based on Pancasila basic ideas which contain a balance of values / ideas / paradigms, namely: Religious Morals (Godliness), Humanity, Nationality, Democracy, and Justice. Keywords: Criminal Law, Politics of Law, Regulation of Euthanasia.

13 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia adalah mahluk hidup ciptaan Tuhan yang memiliki kelebihan dibandingkan dengan mahluk hidup ciptaan Tuhan lainnya. Secara kodrati, manusia adalah mahluk hidup yang memiliki kebebasan yang mencerminkan ungkapan martabat manusia. Hakikat kebebasan terletak pada kemampuan eksistensial manusia untuk menentukan diri sendiri. 1 Adanya kebebasan menyebabkan manusia menjadi mahluk yang tidak aman, karena dengan adanya kebebasan ini pula mendorong tiap individu berlomba dalam egonya untuk saling menguasai dan memperebutkan sumber kehidupan yang jumlahnya terbatas. Walaupun pada hakekatnya manusia merupakan mahluk sosial, namun menurut Lenski tidak berarti bahwa seorang individu dalam kehidupan sosial sama sekali mengabaikan kepentingan dirinya sendiri. 2 Manusia akan selalu mengutamakan kepentingan pribadinya terlebih dahulu, apabila dihadapkan dengan pilihan antara kepentingan pribadi atau kepentingan kelompoknya. Dalam menghadapi sifat manusia yang naturalis, kelangsungan hidup manusia hanya mungkin dilindungi jika berada dalam dunia sosial yang tertib, yang 1 Franz Magnis Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta, hlm G.E., Lenski, Power and Priviledge: A Theory of Social Stratification, New York: Mc. Gra-Hill.p.75. 1

14 14 dipandu oleh hukum yang jelas, tegas dan tidak memihak. Hidup manusia yang dilindungi ini adalah hidup manusia secara umum dan perlindungan terhadap hidup manusia itu juga berdasarkan pada penghargaan terhadap hidup setiap individu secara khusus dalam arti bahwa sesama anggota masyarakat tidak boleh mengganggu kehidupan anggota masyarakat lainnya. Menurut Spinoza, dengan adanya negara dan hukum berarti terjadi suatu peralihan dari status manusia yang naturalis menjadi status civilized, yang berarti beradab untuk itulah manusia membutuhkan atau membentuk negara dan hukum. 3 Eksistensi negara dan hukum harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dapat dijadikan pembaharu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi kepada masa depan (for world looking), tidak boleh hukum itu dibangun dengan berorientasi kepada masa lampau (back world looking). Oleh karena itu, perubahan hukum mutlak diperlukan untuk mengakomodir perubahan masyarakat kearah yang lebih baik. Abdul Manan berpendapat, terdapat dua pandangan yang dominan dalam rangka perubahan hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat dalam suatu Negara. Kedua pandangan itu dikenal dengan pandangan tradisional dan pandangan modern. 4 Pandangan tradisional dalam rangka perubahan hukum menyatakan bahwa 3 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, Moralitas Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta. hlm. 3 4 Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Group, Jakarta, hlm.7-8.

15 15 masyarakat perlu berubah dahulu, baru hukum datang mengaturnya. Disini kedudukan hukum sebagai pembenar apa yang telah terjadi, fungsi hukum disini adalah sebagai fungsi pengabdian (dienende functie). Hukum berkembang mengikuti kejadian-kejadian yang terjadi dalam suatu tempat dan selalu berada di belakang peristiwa yang terjadi itu (het recht hinkt achter de feiten aan). Meskipun hukum tersebut datang belakangan diharapkan hukum tersebut dapat menampung segala perkembangan yang baru terjadi. 5 Pandangan modern menyatakan bahwa hukum diusahakan agar dapat menampung segala perkembangan baru, oleh karena itu hukum harus berada bersamaan dengan peristiwa yang terjadi. Hukum harus berperan menggerakkan masyarakat menuju perubahan yang terencana. Disini hukum berperan aktif sebagai alat untuk rekayasa sosial (law as a tool of social engineering). 6 Hukum dalam konsep law as a tool of social engineering sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound, hukum harus menjadi faktor penggerak kearah perubahan masyarakat yang lebih baik dari sebelumnya. 7 Sehubungan dengan hal tersebut, perubahan hukum dalam bidang yang netral ditujukan untuk melahirkan suatu kepastian hukum, sedangkan dalam bidang kehidupan pribadi harus lebih berfungsi sebagai sarana kontrol sosial dalam kehidupan masyarakat. 5 Ibid. 6 Ibid. 7 Ibid.

16 Pandangan tradisional yang menyatakan masyarakat berubah dulu baru hukum datang kemudian, menurut La Piere seperti yang dikutip oleh Abdul Manan menyatakan bahwa faktor yang menggerakkan perubahan itu sebenarnya bukan hukum, melainkan faktor lain seperti pertambahan penduduk, perubahan nilai dan ideologi serta perkembangan teknologi yang canggih. 8 Teknologi berasal dari manusia itu sendiri sebagai bentuk perwujudan usaha memenuhi kebutuhannya. Peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membangun peradaban suatu bangsa telah lama diakui secara universal. Hal inipun dinyatakan dalam UUD Tahun 1945, Pasal 31 ayat (5): Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia ditandai dengan adanya kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi yang berhubungan langsung dengan kesejahteraan manusia adalah teknologi dibidang kesehatan. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 42 menyatakan bahwa: Ayat 1: Teknologi dan produk teknologi kesehatan diadakan diteliti, diedarkan dan dikembangkan dan dimanfaatkan bagi kesehatan masyarakat. Ayat 2: Teknologi kesehatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) mencakup segala metode dan yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit, mendeteksi adanya penyakit, meringankan penderitaan akibat penyakit, menyembuhkan, memperkecil komplikasi dan memulihkan kesehatan setelah sakit Ibid.

17 Teknologi kesehatan didefinisikan sebagai seperangkat teknik-teknik, obatobatan, prosedur yang digunakan oleh profesional kesehatan dalam memberikan pelayanan medis kepada perorangan dan pelayanan kesehatan di masyarakat. 9 Teknologi kesehatan menurut Rogowski dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: (1) obat-obat; meliputi: bahan-bahan kimia dan substansi biologis yang dipakai untuk dimakan, diinjeksikan ke tubuh manusia untuk kepentingan medis; (2) alat-alat (device) meliputi: alat-alat khusus untuk tujuan: diagnostik, terapi; (3) prosedur bedah dan medis atau kombinasinya yang sering kali sangat komplek; (4) sistem penunjang atau support system: adalah teknologi yang digunakan untuk memberikan pelayanan medis di rumah sakit; (5) sistem organisasional, adalah teknologi yang digunakan untuk menjamin penyampaian pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. 10 Efektif dan efisien suatu pengobatan dipengaruhi oleh diagnose medis yang dilakukan terhadap suatu penyakit. Pengobatan penyakit pun dapat berlangsung secara lebih efektif. Dengan peralatan kedokteran yang lebih modern tersebut, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan. Hidup seorang pasien seolah-olah dapat diperpanjang untuk suatu jangka waktu tertentu, dengan memasang alat bantu pernafasan (respirator). Bahkan perhitungan waktu kematian seseorang penderita penyakit tertentu dapat dilakukan secara lebih tepat. 11 Kematian adalah merupakan kodrat manusia yang merupakan bagian akhir dari siklus kehidupan. Siklus kehidupan manusia secara umum diawali dengan proses 17 9 Feeny, D., New Health Technologies: Their Effect on Health and the cost of Health Care. Dalam: D. Feeney; G. Guyatt; Tugwell, P (eds): Health Care Technology: Effective, Efficiency, and Public Policy. The Institute for Research on Public Policy, Montreal. hlm Rogowski, W., Current impact of Gene Technology on Healthcare. A map of Economic Assesment. Health Policy, p Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan Hukum Pidana. Ghalia Indonesia, Jakarta. hlm. 10.

18 18 pembuahan, kelahiran, kemudian proses kehidupan didunia dan diakhiri dengan proses kematian. Kondisi badan (fisik) manusia tidak selamanya sehat (bugar), ada kalanya mengalami penurunan, menjadi lemah dan jatuh sakit. Penyakit yang tergolong ringan dan sedang mungkin dapat diobati dengan teknologi-teknologi kesehatan yang canggih yang dikembangkan oleh manusia. Namun sebaliknya penyakit kronis pada stadium lanjut dan menjelang kematian, pasien tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri, sesak nafas, penurunan berat badan dan gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya. 12 Dalam kondisi ini, pasien hanya dapat menunggu datangnya kematian. Ditinjau dari cara terjadinya kematian, dalam dunia ilmu pengetahuan membedakannya menjadi tiga jenis kematian, yaitu: 1. orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah; 2. dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar; dan 3. euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter. 13 Istilah euthanasia muncul karena memandang bahwa setiap orang mempunyai hak untuk hidup, maka setiap orang juga mempunyai hak untuk memilih kematian yang dianggap baik bagi dirinya. Dalam tindakan euthanasia untuk mendapat kematian yang 12 Fitria, C. N., Palliative care pada penderita penyakit terminal. Gaster Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(1), p Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.,Cit. hlm.10.

19 19 baik, seseorang yang menginginkan atau dianggap menginginkan kematian memerlukan bantuan orang lain. Peranan orang lain itulah yang membedakan euthanasia dengan bunuh diri. Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu Euthanatos (eu = baik, thanatos = mati) atau good death/easy death atau mati dengan tenang, sering pula disebut mercy killing. 14 Belanda merupakan salah satu negara di Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kedokteran mendefinisikan Euthanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter Belanda, yang menyatakan Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. 15 Black s law dictionary, memberikan definisi tentang euthanasia: euthanasia is the act or practice of killing or bringing about the death of a person who suffers from an incurable disease or condition. Euthanasia is sometimes regarded, by law, as second degree merder, manslaughter, or criminally negligent bomicide. 16 Jadi euthanasia adalah suatu tindakan atau praktek pembunuhan atau membuat seseorang 14 Ibid 15 Kartono Muhammad, Tekhnologi Kedokteran dan Tantangannya Terhadap Biotika. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. hlm Black Henry Campbell Black, 1979, Black s Law Dictionary, St. Paul Minim, West Publishing CO, hlm. 111.

20 20 yang menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan menjadi mati. 17 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi euthanasia adalah: tindakan mengakhiri dengan sengaja mahluk, (baik orang atau hewan piaraan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar kemanusiaan. 18 Euthanasia secara sederhana mempunyai definisi sebagai bentuk pengakhiran hidup kepada seseorang yang sedang mengalami sakit berat atau parah dengan kematian tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Makna atau esensi euthanasia berdasarkan penalaran penulis yang dipakai untuk mengkaji euthanasia sebagai definisi konseptual adalah euthanasia seperti yang dirumuskan oleh Euthanasia study group dari ikatan dokter Belanda. Tindakan euthanasia tidak hanya merupakan tindakan aktif berupa sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek kehidupan seorang pasien, tetapi juga dapat dilakukan secara pasif yaitu dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien Setiap manusia dalam dirinya melekat suatu unsur yang mendasar yang secara umum dikenal dengan hak asasi manusia. Asal-usul hakiki hak adalah kesadaran moral, hak-hak yang semata-mata atas dasar perintah kesadaran moral, yang disebut hak alamiah atau asasi. Secara kodrati dalam siklus kehidupan, selain mempunyai hak untuk hidup, berkembang dan menjalani kehidupan, manusia juga mempunyai hak yang berkaitan dengan proses kematian. Oleh karena itu, dalam hal ini kematian 17 H.Sutarno, 2014, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan dan Hukum Positif Indonesia, Setara Press, Malang, hlm Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi II, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 272

21 merupakan hak asasi manusia juga karena berhubungan dengan hak hidup dari seseorang. Disisi lain, kehadiran eutanasia sebagai suatu hak asasi manusia berupa hak untuk mati, dianggap sebagai konsekuensi logis dari adanya hak untuk hidup. Terdapat pandangan pandangan kelompok yang mendukung/pro dan menolak/kontra kematian yang berkaitan dengan euthanasia dengan berbagai alasan, kelompok yang kontra berpendapat bahwa: Malafide intention: In the era of declining morality and justice, there is a possibility of misusing euthanasia by family members or relatives for inheriting the property of the patient. 19 (Niat jahat: dalam era kemunduran moralitas dan keadilan, ada kemungkinan menyalahgunakan euthanasia oleh anggota keluarga atau kerabat untuk mewarisi property dari pasien). Kelompok yang pro euthanasia berpendapat bahwa tindakan euthanasia dilakukan dengan persetujuan dan tujuan utama untuk menghentikan penderitaan pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman kelompok ini adalah pendapat bahwa manusia tidak boleh dipaksa untuk menderita. Jadi tujuan utamanya adalah meringankan penderitaan pasien dengan resiko hidupnya diperbaiki. Indian Journal of Medical Research, menyatakan: Right to die: Many patients in a persistent vegetative state or else in chronic illness, do not want to be a burden on their family members. Eutanasia can be considered as a way to upheld the Right to life by honouring Right to die with dignity. Encouraging the organ transplantation: Eutanasia in terminally ill patients provides an opportunity to advocate for organ donation. This in turn will help many patients with organ failure waiting for transplantation. Not only Suresh Bada Math and Santosh K. Chaturvedi, Euthanasia: Right To Life Vs Right To Die, dalam Indian Journal of Medical Research (IJMR). Diakses terakhir tanggal 26 Agustus 2015.

22 eutanasia gives Right to die for the terminally ill, but also Right to life for the organ needy patients. 20 (Hak untuk mati: banyak pasien dalam keadaan vegetatif ataupun mengidap penyakit kronis, tidak ingin menjadi beban anggota keluarga mereka. Eutanasia dapat dianggap sebagai cara untuk menguatkan hak untuk hidup dengan menghormati hak untuk mati dengan martabat. Mendorong transplantasi organ: eutanasia pada pasien yang sakit parah memberikan kesempatan untuk mengadvokasi donasi organ. Hal ini pada gilirannya akan membantu banyak pasien dengan gagal organ menunggu untuk transplantasi. Tidak hanya eutanasia memberikan hak untuk mati bagi pasien yang menderita sakit parah, tapi juga hak untuk hidup untuk organ). In some countries there is a divisive public controversy over the moral, ethical, and legal issues of euthanasia. Those who are against euthanasia may argue for the sanctity of life, while proponents of euthanasia rights emphasize alleviating suffering, and preserving bodily integrity, self-determination, and personal autonomy. Jurisdictions where euthanasia is legal include the Netherlands, Canada, Colombia, Belgium, and Luxembourg. 21 (Terjemahan bebas: Di beberapa negara ada kontroversi publik yang memecah belah tentang masalah moral, etika, dan hukum euthanasia. Mereka yang menentang euthanasia mungkin memperdebatkan kesucian hidup, sementara para pendukung hak-hak euthanasia menekankan pengentasan penderitaan, dan menjaga integritas tubuh, penentuan nasib sendiri, dan otonomi pribadi. Yurisdiksi di mana euthanasia legal termasuk Belanda, Kanada, Kolombia, Belgia, dan Luxsemburg.) Pandangan pro dan kontra euthanasia ini, perlu mendapatkan perhatian khusus, mengingat setiap orang pada akhirnya pasti mengalami kematian. Konsep kematian inilah yang menjadi pusat kajian terhadap euthanasia. Apakah salah apabila seorang yang sudah tidak punya harapan hidup karena mengidap suatu penyakit terminal stadium akhir (menjelang kematian) menginginkan kematian, memilih tindakan Ibid. 21 Laurie Hess, Jeffrey R. Applegate, Jennifer Rode Bloss, Laura Brazelton, Gwen Flinchum, Susan Horton, Jerry Labonde And James R. Onorati, Euthanasia: Considerations, Concerns, and Complications, Journal of Avian Medicine and Surgery, Vol. 27, No. 1 (March 2013), p

23 23 euthanasia aktif untuk mendapatkan kematian yang mudah, tenang dan cepat berdasarkan perikemanusaan yang beradab. Daripada harus terisolasi dalam ruangan kaca dengan peralatan-peralatan kedokteran canggih yang menempel pada tubuh serta mengalami penderitaan yang luar biasa akibat penyakit terminal yang diderita dan sudah tidak tertolong lagi, sampai waktu kematian yang tidak menentu. Hal inilah yang mendasari betapa pentingnya dilakukan penelitian mengenai politik hukum pengaturan euthanasia. Rousseau terkenal dengan teori kontrak sosial, menurutnya secara alamiah menusia itu bebas, merdeka dan bebas dari wewenang orang lain, maka secara hakiki mempunyai kedudukan yang sama. Setiap manusia mempunyai kepentingan kepentingan pribadi yang tidak sama dan lepas dari kepentingan umum. Oleh karena itu wajib dihormati kebutuhan pribadi seseorang jika akan menilai tindakan euthanasia, apakah yang diinginkan orang tersebut saat itu memang logis dan perlu dibantu. 22 Kondisi fisik dan psikis dari pasien akan sangat menentukan sikap seseorang yang melihatnya. Bagi tenaga kesehatan yang merawatnya, akan lebih mendalam pengetahuan tentang penyakit dan kondisi pasien tersebut, dibandingkan orang lain. Dengan demikian maka pertimbangan apakah akan membantu melaksanakan euthanasia atau tidak, akan sangat tergantung dari keadaan saat itu. Bagi orang yang melihat atau menilai dokter yang membantu pasien dengan melaksanakan euthanasia, 22 H.Sutarno, Hukum Kesehatan, Euthanasia, Keadilan dan Hukum Positif di Indonesia, Setara Press, Malang, hlm. 27.

24 24 akan dapat menggunakan kata hatinya, apakah dokter ini mempunyai moral yang baik ataukah sebaliknya yaitu melakukan perbuatan pidana dengan membunuh pasiennya. Euthanasia merupakan suatu masalah yang menyulitkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Dokter dan tenaga kesehatan yang lain sering kali dihadapakan pada kasus dimana pasien yang menderita suatu penyakit dan penyakitnya tersebut telah menimbulkan suatu penderitaan yang berat pada pasiennya atau bahkan tidak dapat disembuhkan lagi. Masalah seperti ini yang membuat pasien dan pihak keluarga pasien pada akhirnya mengambil keputusan untuk menghentikan tindakan medis. Penghentian tindakan medis merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Akan timbul pertanyaan apakah dokter dan tenaga medis lainnya boleh menghentikan suatu pengobatan dan perawatan? Seorang dokter berdasarkan sumpah profesinya wajib mempertahankan dan meningkatkan kehidupan sekuat kemampuannya, dan tambahan pula oleh undang-undang dipaksa untuk memberikan pelayanan. 23 Pengecualian yang dapat dipikirkan atas aturan tersebut diatas adalah seorang dokter tidak wajib memberikan tindakan-tindakan pengobatan dan perawatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu kedokteran sudah tidak bermakna lagi. 24 Hanya dokter yang berdasarkan keahliannya dapat menentukan apakah pengobatan dan perawatan medis yang dilakukan bermakna atau tidak bermakna lagi. Oleh karena itu, sangat penting dikaji lebih lanjut mengenai kriteria-kriteria pengobatan yang dilakukan 23 H.M. Kuitert dan F. Tengker, Kematian Yang Digandrungi, Euthanasia Dan Hak Menentukan Nasib Sendiri. Nova, Bandung. hlm Ibid.

25 25 apakah bermakna ataukah tidak bermakna sehingga dapat dijadikan pertimbangan untuk merumuskan aturan hukum tentang euthanasia dimasa mendatang. Pengaturan internasional tentang hak untuk hidup diatur dalam Universal Nation Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM). DUHAM memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, yang didalamnya terdapat cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan sipil dan politik. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) tidak disebutkan dalam Universal Declaration of Human Rights. Hak untuk menentukan nasib sendiri diatur secara khusus dalam instrumen Hukum ICCPR. 25 Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia, pada hakekatnya hak ini menjadi bagian bagi hak-hak dasar tertentu, termasuk dalam hal ini hak dari pasien untuk menentukan pilihannya dalam hal pelayanan kesehatannya. Hal inilah yang kemudian dikaitkan dengan euthanasia. Sehingga ketika seorang pasien pada akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya dengan cara euthanasia kemudian ini didasarkan pada hak dari pasien tersebut untuk menentukan hidupnya sendiri. Hak untuk menentukan nasib sendiri berkaitan dengan kebebasan, keamanan terhadap diri sendiri, namun dalam kaitannya ini seharusnya perlu juga diatur batasanbatasan yang jelas mengenai kebebasan yang seperti apa, haruslah ada aturan yang bisa mengatur dengan lebih jelas konsep hak untuk menentukan nasib sendiri ini. Karena 25 Sinaga, J., Kewajiban Negara Dalam ICCPR. Jurnal Hak Asasi Manusia, 4.

26 26 belum adanya batasan-batasan yang lebih jelas maka dalam kasus euthanasia setiap orang atau pasien yang akan melakukan euthanasia menjadikan dasar self determination ini menjadi dasar dari pengambilan keputusan untuk dirinya di euthanasia. Hak untuk menentukan nasib sendiri dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan untuk euthanasia, hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari HAM. Seorang pasien yang sekarat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, ia juga mempunyai hak kebebasan dan rasa aman dan nyaman terhadap dirinya. Pasien tersebut mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri. Keputusan untuk melakukan euthanasia merupakan hak dari pasien tersebut untuk meminta sesuatu terhadap keadaan dirinya dan terhadap kehidupannya. Kasus-kasus euthanasia pernah terjadi di berbagai negara di dunia, diantaranya kasus Karen Ann Quinlan, di New Jersey, Amerika Serikat. 26 Kasus Sats v. Parlmutter. 27 Kasus etika biomedis mengenai eutanasia yang paling berat dan kompleks serta dilematis pernah terjadi di tahun 2000, yaitu pemisahan bayi kembar siam yang berlangsung di rumah sakit St. Mary s di Manchester, Inggris pada tanggal 7 Nopember A version of this obituary appears in print on June 12, 1985, on Page A00001 of the National edition with the headline: Karen Ann Quinlan, 31, Dies; Focus Of '76 Right To Die Case. 27 K.Bartens, Sketsa-Sketsa Moral, 50 Esai Tentang Masalah Aktual, Kanisius, Yogyakarta, hlm Ibid, hlm

27 27 Euthanasia juga pernah dilakukan oleh seorang perempuan yang bernama Gina, berusia 40 tahun berasal dari Selandia Baru. 29 Eluana Englaro, seorang perempuan berumur 38 tahun, yang sudah 17 tahun koma akibat kecelakaan mobil, tanggal 9 Pebruari 2009 meninggal dunia di klinik Udine, Italia. 30 Aruna Shanbaug berasal dari India, mengalami kerusakan otak yang parah dan lumpuh setelah serangan yang dilakukan seorang petugas di rumah sakit di Mumbai tempat dia bekerja. Kematian Shanbaug pada 2015 lalu memicu perdebatan tentang euthanasia di tingkat nasional di India. 31 Ovidio Gonzalez berusia 79 tahun berasal dari Kolumbia, menderita kanker tenggorokan stadium akhir dan menderita rasa sakit yang parah. Kolombia merupakan satu dari sedikit negara di dunia, dan satu-satunya di Amerika Latin, yang mengijinkan pengakhiran hidup atau euthanasia. Pendampingan untuk bunuh diri tersebut disetujui oleh Mahkamah Konstitusi pada 1990an. Tetapi tidak ada prosedur yang telah disusun karena kebijakan itu belum diterapkan. Gonzalez meninggal di sebuah klinik di bagian barat kota Pereira, setelah melakukan upaya hukum. 32 Kasus euthanasia di Indonesia, pernah menjadi perhatian masyarakat umum. Dalam kasus ini, suami dari Ibu Agian yang bernama Hasan Kusuma meminta pihak 29 Vemale.com.,2015.Mengidap Penyakit Langka, Gina Minta Agar Disuntik Mati Saja, Jawa Pos, 11 Pebruari 2009, Dipanggil Tuhan saat Kematian Diperdebatkan. Surabaya, hlm

28 28 Rumah Sakit RSCM yang merawat istrinya yang bernama Ibu Agian Isna Nauli untuk dilakukan suntik mati. Dokter Marius Widjajarta yang merawatnya menolak permintaan tersebut karena alasan etika kedokteran dan hukum. Kasus euthanasia berikutnya adalah kasus Rudi Hartono, pada tanggal 21 Pebruari Berlin Silalahi, mengajukan permohonan eutanasia dengan disuntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berlin menjadi putus asa karena mengalami radang tulang dan lumpuh sejak 2014, serta himpitan ekonomi yang dirasakan. Berdasarkan hukum dan etika kedokteran di Indonesia tidak mengizinkan Berlin mengakhiri hidupnya. 33 Seorang pasien bernama Humaidah di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur meminta disuntik mati atau euthanasia pada tanggal 26 Oktober Ia sudah dirawat selama 5 tahun 7 bulan, namun tidak ada perubahan. Humaidah koma setelah melahirkan anak kelimanya di Klinik Muhammadiyah Paser pada Kasus permohonan euthanasia selanjutnya yakni dari Ignatius Ryan Tumiwa (48), warga Jakarta Barat, mengajukan permohonan uji materi Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 344 terhadap Undang-undang Dasar 1945 ke Mahkamah Konstitusi. Ryan Tumiwa hidup sebatang kara dan tanpa pekerjaan. Sejak ditinggal ayahnya yang bernama Thu Indra (88) pada 2012, ia merasa depresi berat. Ia mulanya pergi ke Komnas HAM, bertanya soal pemberian tunjangan negara. Lantaran itu tak 33 News Regional, 34 News Regional, Kompas.com - 27/10/2016, 07:11 WIB Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pasien Lima Tahun Koma, Keluarganya Berniat Ajukan Fatwa Suntik Mati jukan.fatwa.suntik.mati. Penulis : Kontributor Balikpapan, Dani Julius Zebua

29 29 ditanggapi, kemudian terlintas ide untuk ke Departemen Kesehatan minta disuntik mati, terganjal karena di Indonesia tak ada hukum yang mengatur. Sejak saat itu, dirinya lebih memperjuangkan suntik mati bukan lagi tunjangan bagi penganggur. 35 Kasus-kasus euthanasia tersebut diatas, merupakan suatu gejala dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat yang penting untuk dikaji. Dokter dalam situasi seperti ini dihadapkan dalam dilema, dalam hal apakah mereka mempunyai hak hukum untuk mengakhiri hidup pasien dengan alasan atas permintaan pasien sendiri atau pihak keluarga, tetapi tanpa membuat dokter itu sendiri menghadapi suatu konsekuensi hukum. Beberapa Negara di dunia memandang euthanasia sebagai perbuatan yang menghormati hak untuk menentukan nasib sendiri sehingga dibentuk perundangundangan yang khusus tentang euthanasia. Euthanasia pada prinsipnya merupakan tindakan mengakhiri kehidupan baik yang dilakukan secara aktif maupun pasif atas permintaan sendiri atau melalui pihak ke tiga (keluarga) yang disebabkan menderita suatu penyakit kronis yang tidak mempunyai harapan untuk disembuhkan atau di karenakan pasien sudah berada dalam kondisi mati batang otak. Alasan utama dari tindakan euthanasia ini adalah seseorang yang mengalami suatu penyakit kronis/parah pada stadium tertentu yang sudah tidak dapat diselamatkan. Apabila terdapat suatu kondisi seseorang yang meminta euthanasia 35 News Megapolitan, Kompas.com - 05/08/2014, 07:39 WIB Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Ignatius Ryan Tumiwa Ingin Suntik Mati karena Merasa Sebatang Kara

30 diluar dari keadaan fisik yang menderita penyakit kronis/parah, itu sebenarnya bukan euthanasia. Tindakan euthanasia dianggap suatu cara terbaik untuk mengakhiri penderitaan yang hebat dan tidak tertahankan oleh pasien terhadap suatu penyakit yang dideritanya. To make a legitimate euthanasia request, the patient must be an adult, must be conscious and legally competent at the moment of making request, and must be in a condition of constant and unbearable physical or psychological suffering resulting from a serious and incurable disorder caused by illness or accident, for which medical treatments is futile and there is no possibility of improvement. 36 (terjemahan bebas: Untuk membuat permintaan euthanasia yang sah, pasien harus sudah dewasa, harus sadar dan secara hukum kompeten pada saat membuat permintaan, dan harus dalam kondisi penderitaan fisik atau psikologis konstan dan tak tertahankan akibat gangguan serius dan tidak dapat disembuhkan yang disebabkan oleh penyakit atau kecelakaan, yang perawatan medisnya sia-sia dan tidak ada kemungkinan perbaikan/kesembuhan). Istilah kematian dalam dunia medis menjadi perdebatan manakala menghadapi pasien yang dinyatakan tidak sadar bertahun-tahun dan dipasang ventilator atau alat bantu pernafasan, sementara tidak ada lagi harapan untuk sembuh, tapi masih dipertahankan terus. Sedangkan di satu sisi, segala daya dan upaya telah dilakukan pihak keluarga untuk berusaha memperpanjang kehidupan semu dari pasien tersebut. Dalam UUD tahun 1945, Pasal 28 G ayat (2) dinyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain Tinne Smets, Johan Bilsen, Joachim Cohen, Mette L. Rurup and Luc Deliens, Legal Euthanasia In Belgium: Characteristics of All Reported Euthanasia Cases, Journal, Medical Care/ Vol.48. No. 2. Februari 2010.p. 187.

31 31 Kondisi penyakit yang kritis dan cenderung tidak dapat tertolong, keadaan pasien yang mengalami penderitaan yang luar biasa karena penyakitnya, atau keadaan pasien yang sudah dalam taraf antara hidup tidak matipun tidak, keluarga pasien yang sudah kehabisan uang untuk biaya berobat, peralatan kedoteran yang terbatas sedangkan banyak pasien yang membutuhkan, menyebabkan dilema sang dokter dalam mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk kepentingan si pasien. Terjadi suatu pertentangan batin yang dilematis dialami oleh dokter terhadap pasien tersebut karena tindakan medis yang akan dilakukan akan berdampak luas. Tindakan euthanasia aktif di satu sisi akan berkaitan dengan moral, kode etik kedokteran dan di sisi yang lain dapat berimplikasi hukum dan sosial kemasyarakatan. Implikasi hukum dalam tindakan euthanasia, dikaji dalam hukum pidana yang diatur dalam KUHP, hal-hal yang menjadi bahan pertimbangan adalah apakah perbuatan itu termasuk suatu pembunuhan, penganiayaan atau suatu perbuatan yang mengabaikan seseorang sampai menyebabkan kematian. Mengenai kejahatan terhadap nyawa atau pembunuhan dalam KUHP diatur dalam Bab XIX mulai dari Pasal 338 sampai Pasal 350. Bab XX mengatur tentang Penganiayaan dimulai dari Pasal 351 sampai Pasal 361. Dalam hal euthanasia, dapat terjadi pelakunya diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan, atau Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, atau Pasal 344 tentang pembunuhan yang dilakukan karena permintaan si korban dan Pasal 345 tentang bantuan bunuh diri. Dalam KUHP tidak menyebut sama sekali istilah euthanasia.

32 32 Pengaturan tentang euthanasia dari perspektif inilah harus diperjelas, karena prinsip-prinsip dalam euthanasia dan pembunuhan mempunyai unsur-unsur yang berbeda. Hal ini sangat penting untuk dikaji secara terfokus dan mendalam mengingat adanya polemik mengenai euthanasia, tidak adanya hukum positif Indonesia mengatur euthanasia serta politik hukum euthanasia pada masa mendatang. Oleh karena hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap politik hukum pengaturan euthanasia dengan judul disertasi: Politik Hukum Pidana Pengaturan Euthanasia di Indonesia. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, dapat dirumuskan tiga permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam disertasi ini, antara lain: 1. Mengapa secara filosofi euthanasia selalu menjadi polemik? 2. Bagaimana euthanasia saat ini dalam hukum pidana Indonesia? 3. Bagaimanakah politik hukum pidana tentang euthanasia dalam perspektif Ius constituendum? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum, khususnya konsentrasi hukum pidana yang berkaitan dengan polemik euthanasia,

33 33 euthanasia saat ini dalam Hukum Pidana di Indonesia dan politik hukum pidana euthanasia dimasa yang akan datang dalam perspektif ius constituendum Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah mengkaji tiga rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian disertasi ini, yaitu: 1. Menganalisis dan mengkaji hakekat euthanasia yang menyebabkan polemik dalam masyarakat untuk dijadikan dasar merumuskan pengaturan euthanasia dimasa mendatang dengan menetapkan batasan-batasan dalam euthanasia. 2. Menganalisis dan mengkaji euthanasia saat ini dalam hukum pidana Indonesia sebagai dasar pembaharuan hukum pidana nasional. 3. Menganalisis dan mengkaji politik hukum eutanasia dalam pembaharuan hukum pidana di masa yang akan datang guna memberikan kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentu akan memiliki banyak manfaat sehingga sangat penting untuk diteliti. Adapun manfaat tersebut dapat berupa manfaat secara teoritis maupun manfaat praktis, antara lain sebagai berikut: Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara teoritis untuk pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu Hukum Pidana yang berkaitan dengan

34 34 politik hukum Pidana tentang euthanasia. Penelitian ini sangat bermanfaat mengkaji aspek epistemologis yuridis hak untuk mati dalam euthanasia yang perlu diatur dalam hukum positif Indonesia Manfaat Praktis Penelitian dalam disertasi ini memberikan manfaat praktis bagi berbagai pihak seperti Dokter dan pasien/keluarganya yang menghadapi situasi dilematis untuk dapat memutuskan pilihan tindakan terbaik yang akan diambil demi kepentingan terbaik pasien dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab tanpa harus terkena sanksi pidana bagi para pihak yang terlibat. Selain hal tersebut, dapat juga memberikan petunjuk pelaksanaan teknis prosedural apabila pasien/keluarga yang akan melakukan tindakan euthanasia tanpa terkena sanksi hukum. 1.5 Orisinalitas Penelitian Suatu karya ilmiah, orisinalitas adalah suatu yang penting. Untuk menghindari terjadinya plagiarisme, diperlukan adanya suatu perbandingan dengan penelitianpenelitian terdahulu yang pernah dilakukan oleh para peneliti. Perbandingan ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat persamaan secara prinsip dalam penelitian tersebut mengenai substansi dan pokok penelitian yang menjadi fokus penelitiannya. Disertasi yang berkaitan dengan politik hukum Pidana tentang pengaturan Euthanasia

35 35 di Indonesia tidak mempunyai kesamaan dengan disertasi-disertasi lainnya berdasarkan penelusuran yang pernah dilakukan penulis. Agar lebih memudahkan mengidentifikasi perbedaan tersebut, berikut ini dibuat dalam bentuk tabel seperti di bawah ini: No Nama Program Studi Tahun Judul Disertasi/Tesis Rumusan Masalah 1. Siska Elvandari 2. B.I.T. Tamba Ilmu Hukum UNPAD Ilmu Hukum UI 3. H. Sutarno Ilmu Hukum 2015 Kedudukan Hukum Pidana dalam Sengketa Medis Akibat Terjadinya Insiden Keselamatan Pasien Didasarkan Sistem Peradilan di Indonesia Pertanggungjawa ban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan 2013 Tinjauan Hukum Positif Indonesia 1. Bagaimanakah kedudukan dan fungsi Hukum Pidana dalam Sengketa Medis? 2. Bagaimanakah Akibat Terjadinya Insiden Keselamatan Pasien Didasarkan Sistem Peradilan di Indonesia? 3. Bagaimanakah penyelesaian sengketa medis dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia? 1.Apakah yang dapat dijadikan standar pertanggungjawaban pidana bagi seorang dokter? 2.Sejauh manakah pertanggungjawaban pidana seorang dokter yang telah melakukan suatu kesalahan (pidana) pada saat melakukan perawatan? 1.Bagaimanakah penerapan hukum positif Indonesia

36 UNTAG Surabaya Terhadap Euthanasia 36 dalam kasus Euthanasia? 2. Bagaimanakah seharusnya hukum positif Indonesia mengatur Euthanasia? Berdasarkan beberapa disertasi tersebut diatas, nampak adanya perbedaan-perbedaan yang jelas baik secara substansi maupun pokok penelitiannya dengan disertasi ini. Perbedaan tersebut antara lain: 1. Disertasi dengan judul: Kedudukan Hukum Pidana dalam Sengketa Medis Akibat Terjadinya Insiden Keselamatan Pasien Didasarkan Sistem Peradilan di Indonesia. Obyek kajiannya lebih menekankan pada penyelesaian sengketa medis akibat terjadinya insiden keselamatan dengan menggunakan sistem pemidanaan yang terdapat dalam hukum acara Pidana. 2. Disertasi dengan judul: Pertanggungjawaban Pidana Dokter Dalam Melakukan Perawatan. Obyek kajian disertasi ini berkaitan dengan standar yang digunakan untuk dapat memidana seorang dokter yang telah melakukan kesalahan (pidana) pada saat melakukan perawatan. 3. Disertasi dengan judul Tinjauan Hukum Positif Indonesia Terhadap Euthanasia. Obyek Kajian dalam disertasi ini berkaitan dengan penerapan Hukum Positif Indonesia dalam kasus Euthanasia. Merefleksi judul dan obyek kajian dalam disertasi-disertasi yang penulis sajikan diatas, sangat nampak perbedaan dengan penelitian dalam Disertasi yang

37 37 berjudul: Politik Hukum Pidana Pengaturan Euthanasia di Indonesia. Disertasi ini mengemukakan tiga isu hukum, yaitu: 1. Hakekat atau filosofi euthanasia yang menyebabkan polemik di masyarakat. 2. Dasar hukum yang terkait euthanasia saat ini dalam hukum pidana Indonesia. 3. Politik hukum pidana tentang euthanasia dalam perspektif Ius constituendum. Berdasarkan pada isu hukum yang tertuang dalam rumusan masalah diatas, maka sangat jelas kajian dalam disertasi ini mempunyai titik tolak yang perpangkal pada politik hukum pidana pengaturan euthanasia. Sedangkan kebaruan yang dihasilkan dalam disertasi ini adalah konsep pengaturan euthanasia dalam RKUHP berdasarkan politik hukum pidana Indonesia. 1.6 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Landasan Teoritis Kerangka teoritis merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan permasalahan yang dianalisis. Kerangka teoritis digunakan sebagai pisau analisis untuk pemecahan permasalahan hukum yang diteliti yang memuat uraian sistematis tentang teori dasar yang relevan terhadap bahan hukum dan hasil penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat teori, proposisi, konsep atau pendekatan terbaru yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan Johny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing, Malang, hlm. 303.

38 38 Kerangka teoritis yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian disertasi terdiri dari: asas-asas hukum yaitu, asas legalitas dan asas keseimbangan. Pembahasan permasalahan hukum yang diangkat dalam penelitian ini diperdalam dengan menggunakan konsep-konsep hukum diantaranya: konsep negara hukum, konsep politik hukum dalam Negara hukum, konsep hak asasi manusia dan konsep Kematian. Bagian ini terlebih dahulu akan diuraikan tentang kajian konsep dan pendapat para sarjana (doktrin) yang dapat digunakan untuk mengkaji dan menganalisis permasalahan tentang Politik Hukum Pidana Pengaturan Euthanasia di Indonesia. Kemudian menggunakan teori-teori dari para sarjana dan ahli hukum yang relevan untuk mengkaji permasalahan hukum yang diangkat, antara lain terdiri dari: teori kebijakan hukum pidana, teori keadilan, teori utilitarianisme dan teori hukum progresif Asas-asas Hukum Adanya suatu asas membuat hubungan dan susunan hukum pidana dapat berlaku. Dengan adanya asas dapat digunakan memecahkan suatu kasus yang terjadi. Paton mengemukakan pendapatnya mengenai asas hukum, adalah: a principle is the broad reason which lies at the base of a rule of law, it has not exhausted itself in giving birth to that particular rule but is fertile. Principle the means by which the law lives, grows and develops, demonstrate that law is not mere collection of rules. 38 (suatu prinsip merupakan alasan yang menjadi dasar dari aturan suatu hukum, hal ini tidak 38 Paton, GW. 1964, A Text-Book of Jurisprudence, Oxford Univ Press, London, hlm.204

39 39 akan menyia-nyiakan dirinya dengan melahirkan aturan tertentu yang tidak dapat berlaku. Suatu prinsip akan berarti, bilamana ada hukum yang hidup, tumbuh dan berkembang, yang dapat menunjukkan bahwa hukum bukan semata hanya sekumpulan peraturan) Asas Legalitas Asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia merupakan suatu dasar dalam penjatuhan pidana pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Hukum pidana Indonesia mengenal asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, menyatakan: Tiada suatu perbuatan dapat di pidana, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan Dalam bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang apabila diartikan dalam terjemahan bebasnya berbunyi tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. 39 Perspektif sejarahnya, asas legalitas pertama kali dicetuskan oleh Paul Johan Anselm von Feurbach seorang sarjana berasal dari Jerman dalam bukunya Lehrbuch des penlichen rechts pada tahun Apa yang dirumuskan oleh Feurbach mengandung arti yang sangat mendasar yang dalam bahasa latin berbunyi: nulla poena 39 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, hlm

40 40 sine lege; nulla poena sine crimine; nullum crimen sine poena legali. 41 Ketiga frasa tersebut kemudian menjadi adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia legi poenali. 42 Mengkritisi dari situasi dan kondisi munculnya asas legalitas, maka sulit dinafikan bahwa asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik. 43 Secara tegas seorang juris pidana terkenal dari Jerman, Frank von Liszt menulis, the nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege principles are the bulwark of the citizen against the state s omnipotence; they protect the individual against the brutal force of the majority, against the Leviathan. 44 Menurut Fletcher, melindungi individu dari kesewenangwenangan negara adalah prinsip negatif legalitas, sedangkan prinsip positif legalitas adalah melindungi masyarakat dari kejahatan dengan menghukum pelaku kejahatan yang bersalah oleh negara. Jonkers berpendapat Het eerste lid van het eerste artikel van het W.v.S., dat inhoudt, dat geen feit strafbaar is dan uit kracht van een daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling, is een beginsel-artikel. 45 Pada intinya Jonkers menyatakan 41 Bambang Poernomo, Manfaat Telaah Ilmu Hukum Pidana dalam Membangun Model Penegakkan Hukum di Indonesia, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 5 Juli 1989, hlm Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar atas Pasa-Pasal Terpenting dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm Hazewinkel Suringa, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Strafrecht, H.D. Tjeenk Willink & Zoon N.V. Haarlem, hlm Antonio Cassese, International Criminal Law, Oxford University Press, hlm J.E. Jonkers, Handboek Van Het Nederlandsch Indische Strafrecht. E.J. Brill, Leiden, hlm,1.

41 41 bahwa Pasal 1 ayat (1) KUHP, tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan undang-undang pidana yang ada sebelum perbuatan itu dilakukan adalah suatu Pasal tentang asas. Berbeda dengan asas hukum lainnya, asas legalitas ini tertuang secara eksplisit dalam undang-undang. Padahal menurut pendapat para ahli hukum, suatu asas hukum bukan merupakan peraturan hukum konkrit. Terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu. 46 Hal ini sesuai dengan suatu adagium yang berbunyi Non obligat lex nisi promulgate yang berarti suatu hukum tidak mengikat kecuali telah diberlakukan. Ketentuan sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah definisi baku dari asas legalitas. 47 Pendapat Groenhuijsen, seperti yang dikutip oleh Komariah Emong Supardjaja, ada empat makna yang terkandung dalam asas legalitas ini. Dua dari bagian pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman bagi hakim. Pertama, bahwa pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, bahwa semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum 46 Eddy O.S. Hiariej, Pemikiran Remmelink Mengenai Asas Legalitas. Jantera Jurnal Hukum, Edisi 16 tahun IV, April Juni 2007, hlm Eddy O.S. Hiariej, Makalah Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi II. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Surabaya, hlm.2.

42 tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang diterapkan analogi. 48 Pendapat dari Jescheck dan Weigend yang dikutip oleh Machteld Boot, paling tidak ada empat syarat yang termasuk dalam asas tersebut. Boot menyatakan: The formulation of the Gesetzlichkeitsprinzip in article 1 StGb is generally consideredto include four separate requirements. First, conduct can only be punished if the punishability as well as the accompanying penalty had been determined before the offense was commited (nullum crimen, noela poena sine lege praevia). Furthermore, these determinations have to be included in statutes (Gesetze): nullum crimen, noela poena sine lege scripta. These statutes have to be definite (bestimmt): nullum crimen, noela poena sine lege certa. Lastly, these statutes may not be applied by analogy which is reflected in the axiom nullum crimen, noela poena sine lege stricta. 49 Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Boot, ada beberapa hal yang berkaitan dengan asas legalitas. Pertama, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege praevia. Artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa Undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege scripta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini adalah semua ketentuan pidana harus tertulis. Dengan kata lain, baik perbuatan yang dilarang, maupun yang diancam terhadap perbuatan yang Komariah Emong Supardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi). Alumni, Bandung, hlm Machteld Boot, Nullum Crimen Sine Lege and the Subject Matter Jurisdiction of the International Criminal Court: Genocide, Crimes Againts Humanity, War Crimes. Intersentia, Antwerpen Oxford New York, hlm.94.

43 43 dilarang harus tertulis secara expressive verbis dalam undang-undang. Tidak boleh menjatuhkan pidana hanya berdasarkan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Ketiga, prinsip nullum crimen, nulla poena sine lege certa. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga tidak bersifat multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum. Demikian pula dalam hal penuntutan, dengan rumusan yang jelas penuntut umum akan dengan mudah menentukan mana perbuatan-perbuatan yang dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana dan mana yang bukan. Keempat, prinsip nullum crimen, noela poena sine lege stricta. Artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undangundang yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implisit tidak memperbolehkan analogi. Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru Asas Keseimbangan Asas keseimbangan ini mensyaratkan bahwa, aparat penegak hukum dalam melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum tidak boleh berorientasi pada kekuasaan semata-mata. Pelaksanaan hukum beracara yang tertuang dalam KUHAP harus berdasarkan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Hal ini berarti bahwa aparat penegak hukum harus menempatkan diri pada keseimbangan yang serasi antara

44 orientasi penegakan hukum dan perlindungan ketertiban masyarakat dengan kepentingan dan perlindungan hak-hak asasi manusia. Aparat penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum harus menghindari perbuatan melawan hukum yang melanggar hak-hak asasi manusia dan setiap saat harus sadar dan berkewajiban untuk mempertahankan kepentingan masyarakat sejalan dengan tugas dan kewajiban menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dan perlindungan individu (individual protection). Penyelenggaraan pelayanan kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat, antara fisik dan mental, antara material dan spiritual. Di dalam pelayanan kesehatan dapat pula diartikan sebagai keseimbangan antara tujuan dan sarana, antara sarana dan hasil, antara manfaat dan risiko yang ditimbulkan dari pelayanan kesehatan yang dilakukan. Dengan demikian berlakunya asas keseimbangan di dalam pelayanan kesehatan sangat berkaitan erat dengan masalah keadilan Konsep Hukum adalah sebuah konsep, dan tidak ada konsep tunggal mengenai apa yang disebut dengan hukum, sehingga ada 5 (lima) konsep hukum yang dikemukakan oleh Soetandyo Wignjosoebroto, yaitu: 1. hukum adalah asas moralitas atau asas keadilan yang bernilai universal dan menjadi bagian inheren sistem hukum alam; 2. hukum menurut konsepnya adalah kaidah positif yang berlaku umum in abstracto pada suatu waktu tertentu dan di suatu wilayah tertentu dan tersebut sebagai produk eksplisit suatu sumber kekuasaan politik tertentu yang berlegitimasi, yang lebih dikenal sebagai hukum nasional atau hukum negara; 44

45 3. hukum adalah keputusan-keputusan yang diciptakan hakim in concreto dalam proses-proses peradilan sebagai bagian dari upaya hakim dalam menyelesaikan kasus atau perkara, yang kemungkinan juga berlaku sebagai preseden untuk menyelesaikan perkara-perkara berikutnya; 4. hukum adalah institusi sosial yang riil dan fungsional di dalam sistem kehidupan bermasyarakat, baik dalam proses pemulihan ketertiban dan penyelesaian sengketa maupun dalam proses pengarahan dan pembentukan pola-pola perilaku yang baru; dan 5. hukum adalah makna-makna simbolik sebagaimana termanifestasi dan tersimak dalam dan dari aksi-aksi serta interaksi warga masyarakat. 50 Achmad Ali mengutip pendapat dari Jhon Chipman dalam bukunya The Rule Egain Perpetuities tentang konsep hukum, yaitu: a. hukum dipandang sebagai the commands of the sovereign yaitu perintahperintah dari pemegang kedaulatan. Hal tersebut didasarkan pada pandangan Jhon Austin yang mengakui hukum positif sebagai satu-satunya hukum, yang dapat ditemukan pada setiap komunitas manapun dan dibuat oleh pemegang keadulatan atau negara; b. hukum dari sifatnya adalah sebagai apa yang diputuskan oleh pengadilan, merupakan suatu kebenaran, yang menerapkan kesadaran umum rakyat yang telah ada sebelumnya. Hal tersebut didasarkan pada pandangan Von Savigny yang mengidentikkan hukum sebagai volksrecht (hukum rakyat) sebagai perwujudan dari volkgeist (jiwa rakyat) yang merupakan kesadaran umum rakyat dan merupakan intuisi hidup dari rakyat; dan c. hukum dipandang sebagai the law is what the judges rule yang memandang hukum sebagai apa yang diputuskan oleh hakim. Pandangannya didasarkan pada pendapatnya James C. Carter yang memandang hakim adalah yang menemukan hukum, tidak menciptakan hukum. 51 Antony Allot dalam pandangannya menyatakan, hukum ditetapkan oleh suatu otoritas yang berwenang dan sah di dalam suatu komunitas, yang memiliki posisi yang berpengaruh dan mempunyai kekuasaan, karena suatu sistem hukum tidak hanya Soetandyo Wignyosoebroto, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya. (selanjutnya disebut soetandyo wignyosoebroto, II). hlm Jhon Chipman Gray, p. 82, terjemahan Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm

46 mencakup norma-norma belaka, melainkan juga institusi bersama fasilitas yang dimilikinya serta proses yang dilakoni oleh institusi hukum tersebut Konsep Negara Hukum Konsep mengenai negara hukum diawali dengan adanya pemikiran-pemikiran para filosof sejak jaman Yunani dari pemikiran Plato yang menyatakan bahwa dalam negara ideal (politeia) penyelenggaraan negara yang baik tidak cukup dilakukan oleh filsuf, melainkan juga harus berdasarkan pada hukum yang baik yang disebut Nomoi. 53 Pemikiran Plato ini kemudian dipertegas oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu Negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil dan kesusilaanlah yang menentukan baik atau buruknya suatu hukum. Menurut Aristoteles, suatu Negara yang baik ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aristoteles menyatakan: Constitutional rule in a state is closely connected, also with the requestion whether is better to be rulled by the best men or the best law, since a goverrment in accordinace with law, accordingly the supremacy of law is accepted by Aristoteles as mark of good state and not merely as an unfortunate neceesity. 54 (Aturan konstutitusional dalam suatu Negara berkaitan secara erat, juga dengan mempertanyakan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia yang terbaik sekalipun atau hukum yang terbaik, selama pemerintahan menurut hukum. Oleh sebab itu, supremasi hukum diterima oleh Aristoteles sebagai pertanda Negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tidak layak.) hlm Ibid.,hlm J.H.Rapar, 1998, Filsafat Politik Plato, Rajawali Press, Jakarta, hlm George Sabine, A., 1995, History of Political Theory, George G. Harrap & CO. Ltd., London,

47 Aristoteles juga mengemukakan tiga unsur dari pemerintahan berkonstitusi, antara lain: pertama, pemerintah dilaksanakan untuk kepentingan umum. Kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang berdasarkan ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara sewenang-wenang yang mengesampingkan konvensi dan konstitusi. Ketiga, pemerintahan berkonstitusi yang dilaksanakan atas kehendak rakyat. 55 Konsep pemikiran mengenai ide Negara hukum kembali muncul dengan berkembangnya aliran liberal dengan cara pandang individualistik, yang melahirkan negara hukum liberal, atau lebih dikenal dengan negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Salah satu ciri penting dari konsep negara hukum ini adalah sifat pemerintahan yang pasif, artinya pemerintah hanya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, tidak turut dalam urusan kesejahteraan warganya. Pelopor Negara hukum liberal adalah Immanuel Kant yang melahirkan konsep rechtstaats dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh F.J.Stahl, yang mengemukakan unsur-unsur negara hukum adalah: 1) Pengakuan perlindungan HAM; 2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan; 3) Pemerintahan diselenggrakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur); 4) Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus melanggar hukum oleh pemerintah Ibid. 56 Muhamad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Medinah dan Masa Kini, Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, hlm. 89.

48 48 Ciri-ciri rechtstaat tersebut menunjukkan bahwa ide sentral rechtsstaat adalah pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang bertumpu pada prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya Undang-undang Dasar secara teoritis memberikan jaminan konstitusional atas kebebasan dan persamaan tersebut. Pembagian kekuasaan dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan dalam satu tangan. Kekuasaan yang berlebihan yang dimiliki seorang penguasa cendrung bertindak mengekang kebebasaan dan persamaan yang menjadi ciri khas Negara hukum. Unsur-unsur negara hukum di dalam negara yang menerapkan sistem Anglo Saxon dengan konsep the rule of law menurut Dicey, terdiri atas: 1. supremasi hukum (supremacy of law); 2. persamaaan di hadapan hukum (equality before the law); dan 3. konstitusi yang didasarkan pada hak-hak perorangan (the constitution based on individual right). 57 Hasil Simposium Indonesia Negara Hukum, yang dilaksanakan pada tahun 1996 di Jakarta menyebutkan ciri untuk suatu negara hukum antara lain: 1. pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia; 2. peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain yang tidak memihak; 3. legalitas dalam arti hukum dan segala bentuknya Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, hlm. 27.

49 49 Jimly Asshiddiqie merumuskan 12 (dua belas) prinsip negara Hukum yakni : 1) supremasi hukum; 2) persamaan dalam hukum ; 3) asas legalitas; 4) pembatasan kekuasaan; 5) organ-organ eksekutif independent; 6) peradilan bebas tidak memihak; 7) peradilan Tata Usaha Negara; 8) peradilan Tata Negara; 9) perlindungan hak asasi manusia; 10) bersifat demokratis; 11) berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan Negara; dan 12) transparansi dan kontrol sosial. 59 Prinsip negara hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, terdapat prinsip supremasi hukum dan asas legalitas. Prinsip supremasi hukum dan asas legalitas merupakan unsur rule of law, sedangkan asas legalitas (wetmatig van bestuur) merupakan unsur rechststaat. 60 Hukum sebagai suatu alat atau wahana untuk menyelenggarakan kehidupan Negara atau ketertiban dan menyelenggarakan kesejahteraan sosial. Pengertian ini tercermin dalam rumusan Penjelasan UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) yang menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar hanya memuat aturan-aturan pokok atau garis-garis besar sebagai instruksi kepada Pemerintah Pusat dan lain-lain 59 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Selanjtnya disebut Jimly Asshiddiqie I ). Penerbit Sektaretariat Jendral dan Kepaniteraan MK RI, Jakarta, hlm Indroharto, mengatakan bahwa asas legalitas (Asas Wetmatigheid Van Bestuur) tersebut merupakan salah satu asas yang selalu dijunjung tinggi oleh setiap Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara hukum. Tindakan-tindakan hukum demikian itu serta isi hubungan hukum yang diciptakan oleh pemerintah harus ada dasar atau sumber pada suatu ketentuan peraturan perundangundangan, Lihat Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I ( Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara ), Sinar Harapan Jakarta, hlm. 83.

50 penyelenggaraan Negara untuk menyelenggarakan kehidupan Negara dan kesejahteraan sosial. Padmo Wahjono menyatakan, bahwa dalam UUD Tahun 1945 (sebelum amandemen) terdapat penjelasan bahwa bangsa Indonesia juga mengakui kehadiran atau eksistensi hukum tidak tertulis (selain hukum yang tertulis). Sehubungan dengan fungsi hukum, lebih lanjut Padmo Wahjono menegaskan tiga fungsi hukum dilihat dari cara pandang berdasarkan asas kekeluargaan, yaitu: 1. Menegakkan demokrasi sesuai dengan rumusan tujuh pokok sistem pemerintahan Negara dalam Penjelasan UUD 1945; 2. Mewujudkan keadilan sosial sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945; 3. Menegakkan perikemanusiaan yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa dan dilaksanakan secara adil dan beradab. 61 Padmo Wahjono menamakan fungsi hukum Indonesia sebagai suatu pengayoman. Oleh karena itu, ia berbeda cara pandang dengan pandangan liberal yang melambangkan hukum sebagai Dewi Yustitia yang memegang pedang dan timbangan dengan mata tertutup, memperlihatkan bahwa keadilan yang tertinggi ialah suatu ketidak adilan yang paling tinggi. Hukum di Indonesia dilambangkan dengan pohon pengayoman. 62 Berbeda dengan cara pandang liberal yang melihat Negara sebagai suatu status (state) tertentu yang dihasilkan oleh suatu perjanjian masyarakat dari individu-individu yang bebas atau dari status naturalis ke status civilis dengan perlindungan terhadap civil rights, sehingga dalam Negara Hukum Pancasila ada suatu 50 Jakarta, hlm Ibid. 61 Padmo Wahjono, Konsep Yuridis Negara Hukum Republik Indonesia, Rajawali,

51 51 anggapan bahwa manusia dilahirkan dalam hubungannya atau keberadaannya dengan Tuhan. Berkaitan dengan pokok masalah penelitian disertasi ini, dapat diketahui bahwa seluruh kehidupan yang ada di dunia ini adalah merupakan ciptaan Tuhan termasuk manusia, sehingga perlu dijaga harkat dan martabat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan dalam kehidupan. Menurut Thomas Aquinas, realisasi kebahagiaan dan kebaikan akan menjadi pemenuhan dan penyempurnaan kodrat manusia itu sendiri. 63 Hukum haruslah membantu manusia berkembang sesuai kodratnya, menjunjung tinggi martabat manusia, bersifat adil, menjamin kesamaan dan kebebasan, memajukan kepentingan dan kesejahteraan umum Konsep Politik Hukum dalam Negara Hukum Politik hukum dalam kaitannya dengan negara hukum dilihat sebagai bagianbagian yang tak terpisahkan dari sistem hukum nasional. Indonesia sejak kemerdekaannya telah menyatakan diri sebagai negara hukum (rechtstaate) bukan negara berdasarkan kekuasaan (maaghtstaate). Maknanya adalah bahwa keseluruhan subsistem dari penyelenggara negara dan sistem ketatanegaraannya serta sistem tertib sosial harus diatur oleh hukum, dan juga semua elemen alat kekuasaan negara serta warga negara harus patuh pada hukum yang diciptakan untuk negara hukum Indonesia. Inilah yang disebut sebagai faham konstitusionalisme yang dianut dalam negara hukum. 63 E.Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 9.

52 52 Hukum menjadi sandaran pengaturan dan penjamin terjaganya ketertiban, maka segala strategi penyusunan hukum, penggunaan hukum, perlembagaan hukum, dan penegakan hukum menjadi suatu hal yang sangat penting. Maka di sinilah posisi politik hukum menjadi penting dan strategis dalam mewujudkan dan mengimplementasikan konsep negara hukum tersebut. Dari 12 ciri mengenai negara hukum yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, antara lain: supremasi Hukum (Supremacy of Law), Persamaan dalam Hukum (Equality before the law), Asas Legalitas (Due process of Law), Pembatasan Kekuasaan, Organ-Organ Eksekutif Independen, Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Tata Negara (constitutional court), Perlindungan Hak Asasi Manusia, Bersifat Demokratis (democratische Rechstaat), Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (welfare rechsstaat), Transparansi dan Kontrol Sosial. Dari 12 ciri negara hukum tersebut, dapat dikatakan bahwa idea negara hukum dapat diwujudkan melalui suatu strategi perancangan hukum dalam suatu politik hukum yang memiliki visi kenegaraan berdasarkan konstitusi dan cita negara. Ide negara dan cita negara hukum adalah salah satu prinsip yang hendak diwujudkan dalam penyelenggaraan negara, yang dituangkan dalam konstitusi (UUD Tahun 1945 Pasal 1 ayat 3), yang selanjutnya oleh para penguasa penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif, kuasa negara lainnya), menyusun dan merancang strategi penyelenggaraan, penyusunan dan pelaksanaan hukum berdasarkan bidangbidang hukum yang diperlukan untuk mewujudkan cita negara hukum tersebut. Oleh

53 53 karena itu komitmen para penyelenggara negara terhadap cita negara hukum yang telah dituangkan dalam konstitusi seharusnya menjadi standar ukuran dalam menilai apakah para penyelenggara negara memahami, mengerti dan mampu melaksanakan idea dan cita negara hukum. Terdapat 3 aspek penting dalam politik hukum yang harus dipahami oleh para penyelenggara negara hukum: 1. Idea dan Cita Negara: yang dituangkan dalam konstitusi (UUD Tahun 1945) yaitu terwujudnya negara yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila yaitu Negara Hukum yang Demokratis. "... Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur..." ", memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa..." (Pasal 1 ayat (3) jo Pasal 381 ayat (5) dan Pembukaan UUD), sewajarnya menjadi tujuan dan semua kuasa dari penyelenggaraan negara. 2. Kuasa Penyelenggara Negara: bahwa proses pengisian dan rekruitmen para penyelenggara negara seharusnya berbasis pada ideologi yang memiliki komitmen dan konsistensi yang nyata dalam mewujudkan cita dan idea negara tersebut. Maknanya bahwa kuasa politik atau konfigurasi politik apapun tidak boleh menyimpang dari tujuan cita negara tersebut. Dengan kata lain ideologi politik dari penyelenggara kuasa negara tidak boleh mengubah cita dan idea negara hukum yang telah dituangkan dalam UUD Tahun 1945, siapapun partai politik yang berkuasa.

54 54 3. Politik Hukum sebagai Strategi Untuk mewujudkan Idea atau Cita Negara Hukum, bahwa konfigurasi politik dalam kuasa negara harus dipandang sebagai dinamika demokrasi yang dapat diibaratkan dalam pepatah "banyak jalan menuju Roma". Bahwa cara atau kuasa politik boleh berganti tetapi kuasa politik itu tetap harus menuju terwujudnya cita negara hukum melalui konsep politik yang dijalankannya. Maka kuasa politik harus menggunakan ideologinya untuk menyusun strategi pencapaian dari terselenggaranya negara hukum tersebut. Tiga aspek ini menjadi penting karena bagi Indonesia, negara yang dibentuk melalui kontrak sosial yang mengikat keanekaragaman bangsa, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Maka pluralitas bangsa harus dipandang sebagai modal potensial untuk mewujudkan cita negara dengan salah satu pilarnya adalah negara hukum, negara yang diselenggarakan atas rambu dan mekanisme konstitusional, diselenggarakan atas aturan hukum yang berorientasi pada tujuan negara. Politik hukum dalam negara hukum adalah ibarat dua sisi mata uang, yang tak terpisahkan. Politik hukum menjadi sarana dan strategi mencapai tujuan dan cita negara, melalui mekanisme, proses dan prosedur hukum yang diciptakan untuk menjaga agar cita negara dapat dicapai dan diwujudkan. Oleh sebab itu, maka semua potensi dan semua bidang penyelenggaraan negara harus tunduk dan patuh pada aturan dan strategi politik hukumnya, secara terpadu, terintegrasi dan menuju satu tujuan akhir mewujudkan cita negara. Konsekuensinya tidak ada satu bagian dari penyelenggaraan

55 negara mulai dari tingkat pusat sampai daerah dan desa yang melakukan agenda secara parsial tanpa didasarkan pada koridor hukum yang telah disepakati bersama. Politik hukum harus dipahami sebagai strategi untuk menentukan bentuk hukum yang paling baik untuk digunakan mengatur, memelihara dan menjaga konsistensi terwujudnya ide dan cita negara. Dengan demikian maka tidak salah para pendiri negara menyepakati untuk menentukan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara yang disandarkan pada kekuasaan belaka (maaghstaat). Berkenaan dengan politik hukum pidana, berikut akan dikemukakan beberapa pendapat dan pemikiran mengenai pengertian dan konsep politik hukum pidana, sebagai berikut; Sudarto mengemukakan bahwa politik hukum pidana diartikan sebagai usaha yang rasional (logis) untuk mencegah dan menghalangi kejahatan dengan sarana hukum pidana dan sistem peradilan pidana memilih hukum dan undang-undang yang bersesuaian, paling baik dan memenuhi syarat keadilan dan fungsinya. Hal ini bermakna pula bahwa politik hukum pidana mesti mempertimbangkan aspek sosiologi hukum dan menjangkau masa depan. 64 Menurut Salman Luthan dan Muladi ada beberapa faktor yang dapat menjadi alasan dilakukannya pembaharuan hukum pidana, adalah: 1. Hukum pidana yang sudah ada sudah tidak bersesuaian dengan perkembangan sosial dan keperluan masyarakat yang berkenaan. Hukum dan Undang-undang itu tidak lagi relevan dengan keadaan sosial masyarakat yang hendak diaturnya, umpamanya dengan wujudnya kejahatan baru; Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 159.

56 2. Sebagian ketentuan dalam hukum pidana yang sedia ada, tidak sejalan dengan idea pembaharuan/reformasi yang membawa pada nilai-nilai hak asasi manusia, nilai-nilai kemerdekaan, keadilan, demokrasi dan nilai moral yang berkembang di masyarakat; 3. Bahwa pelaksanaan penegakan hukum pidana yang sedia ada mewujudkan ketidakadilan (injustice) dan bahkan merusak hak asasi manusia; dan 4. Hukum dan undang-undang pidana yang sedia ada sudah tidak bisa mengawal dan mengendalikan keamanan dan ketertiban masyarakatnya. 65 Muladi mengemukakan selanjutnya bahwa, politik hukum pidana dan pembaharuan hukum pidana harus tetap berasaskan kepada tiga inti dan substansi utama undang-undang pidana: pertama, merumuskan dan menentukan kelakuan atau perbuatan yang disebut sebagai pidana; kedua, menentukan bentuk unsur tindak pidana dan pertanggungjawabannya; dan ketiga, menentukan bentuk atau macam hukuman yang dapat diberikan kepada siapa yang melakukan kesalahan tersebut. 66 Sebagaimana di rujuk oleh Barda Nawawi Arif, Marc Ancel pernah menyatakan bahwa dalam modern criminal science, terdapat tiga komponen kajian utama dalam hukum pidana, yaitu; "Criminology", "Criminal policy and "Penal Policy". 67 Untuk mewujudkan hukum pidana yang baik, berkemajuan dan realistik, diperlukan kerjasama yang terpadu antara ilmuwan (scholar) dengan praktisi hukum (practitioners), antara pakar tentang kejahatan (criminologist) dengan advokat Salman Luthan, Kebijakan Kriminalisasi dalam Reformasi Hukum Pidana, dalam Jurnal Hukum No. 11 Vol. 6 Tahun 1999, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jogyakarta. 66 Mokhammad Najih, 2014, Politik Hukum Pidana, Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum, Setara Press, Malang, hlm Barda Nawawi Arif, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Cetakan ke III), Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 21. Merujuk kepada Marc Ancel, 1965, Social Defences, a Modern Approach to Criminal Problem, Routledge & Kegan Paul, London, hlm. 4-5.

57 (lawyers), sehingga dapat disatukannya gagasan-gagasan pencegahan kejahatan dengan idea-idea teknik perundangan dalam proses perundangan hukum pidana. 68 Marc Ancel juga memberikan pengertian "penal policy" sebagai suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan perundangan dalam hukum pidana dirumuskan secara lebih baik dan berkembang maju (progresive), sehingga tidak hanya memberikan panduan kepada para pembentuk hukum, tetapi juga kepada penegak hukum yang melaksanakan perundangan. 69 Sejalan dengan itu Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai politik hukum pidana (criminal policy), yaitu: 1. Dalam arti sempit, keseluruhan asas/prinsip dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa penghakiman; 2. Dalam arti luas, yaitu keseluruhan fungsi dari para penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari peradilan dan pihak polisi; 3. Dalam arti paling luas (diambil dari pandangan Jorgen Jepsen), yaitu keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui undang-undang dan badanbadan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 70 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa politik hukum pidana (penal policy/ criminal law policy/strafrecht politiek) diartikan sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan perundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dimasa sekarang dan untuk perbaikan undang-undang di masa depan, sesuai dengan kaedah keadilan dan nilai manfaat bagi masyarakat dan Negara. Sejalan dengan itu Peter Hoemagels Mokhammad Najih, Op.,Cit, hlm Barda Nawawi Arif, Op.,Cit, hlm Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm Dalam: Dwija Prijatno, Kebijakan Legislasi tentang Sistem Pertanggungjawaban Koorporasi di Indonesia, Utomo, Bandung, hlm

58 mengemukakan bahwa "criminalpolicy is the rational organization of the social reaction to crime", (politik hukum pidana adalah bentuk reaksi sosial terhadap kejahatan yang terorganisasi secara rasional), dan beberapa istilah lain yang dikemukakannya seperti berikut: 1. Politik hukum pidana merupakan ilmu tindak balas atau reaksi terhadap kejahatan (criminal polity is the sciences of responses); 2. Politik hukum pidana merupakan ilmu pencegahan kejahatan (Criminal policy is the sciences of crime prevention); 3. Politik hukum pidana merupakan sebuah kebijakan yang mengkonstruksi/ mendesain perbuatan manusia yang bagaimana sebagai kejahatan (Criminal policy is a policy of designating human behavior as crime); dan 4. Politik hukum pidana merupakan sebuah reaksi yang rasional dan menyeluruh atas tindak kejahatan.(criminal policy is a rational total of the responses to crime). 71 Mulder, menyebut politik hukum pidana sebagai "strafrechts politiek" yang bermaksud sebagai garis panduan untuk menentukan: (1) seberapa jauh ketentuanketentuan pidana yang sedang berkuat kuasa itu perlu diubahsuai atau diperbaharui; (2) apa yang boleh dilakukan untuk mencegah berlakunya tindakan jahat; (3) menentukan cara atau prosedur penghakiman dan melaksanakan hukuman oleh kuasa penghakiman. 72 Ifdal Kasim mengartikan politik hukum pidana sebagai suatu kebijakan, baik untuk memberikan penilaian ke atas suatu kelakuan manusia sebagai kelakuan jahat atau bukan jahat; yang disebut melakukan kriminalisasi (criminalization) maupun Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm Barda Nawawi Arief, Op.,Cit, hlm.25-26

59 59 dekriminalisasi (decriminalization) terhadap suatu kelakuan atau perbuatan. 73 Dalam kaitan ini, terdapat persoalan pilihan-pilihan terhadap suatu kelakuan ditentukan sama ada sebagai perbuatan kejahatan atau bukan, dan pemilihan antara pelbagai alternatif yang ada, mengenai apa yang menjadi tujuan sistem hukum pidana di masa yang akan datang. Dengan demikian negara diberikan kuasa merumuskan dan menentukan kelakuan yang dinilai dan dikategorikan sebagai kelakuan jahat dan merumuskan bentuk tindakan penghakiman yang dapat diberikan kepada siapa saja yang perbuatannya memenuhi ketentuan perundangan berkenaan. Mardjono Reksodiputro (Ketua tim RUU KUHP Nasional ), menyatakan bahwa pendekatan kelompok kerja dalam mengamalkan kriminalisasi dan dekriminalisasi adalah mencari sintesis antara tiga hak, yaitu hak-hak yang bersifat individual (civil liberties), hak-hak masyarakat (communal rights), serta menjaga kepentingan politik negara (States policy). Persoalan yang berlaku yaitu, apakah mudah menyeimbangkan tiga domain berkenaan. Oleh karena, kegagalan menjaga keseimbangan terhadap ketiga kepentingan tersebut (individu, masyarakat dan negara) akan menjelaskan dasar perundangan yang dibuat, dan sangat besar potensi untuk berlaku "overcriminalization" salah satu daripada tiga domain tersebut. 74 Mengkaji uraian di atas, dapat dipahami bahwa politik hukum pidana memiliki perbedaan makna dengan istilah "pembaharuan peraturan perundangan hukum pidana". 73 Ifdal Kasim, Kearah Mana Pembaruan KUHP?:Tinjauan Kritis Atas RUU KUHP, dalam Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 7, ELSAM, Jakarta, hlm Ibid.

60 Walau bagaimanapun, pengertian politik hukum pidana di dalamnya merangkum pula konsep pembaharuan peraturan perundangan pidana. Perlu ditegaskan bahwa, undangundang pidana merupakan salah satu bagian saja dari sistem hukum dalam suatu negara. Walaupun demikian politik hukum pidana memiliki makna yang luas, mencakup pembaharuan peraturan-perundangan substantif yang tertulis (UU, Perpu, Perda, dan Peraturan lainnya), pembaharuan struktur administrasi penegakan hukum, dan budaya masyarakat dalam mengamalkan hukum dan undang-undang. Secara ringkas dasar perundang-undangan pidana dapat digambarkan dalam skema di bawah ini: Skema 1. Dasar Perundang-Undangan Pidana 60 Sumber: Mokhammad Najih, Politik Hukum Pidana, Konsepsi Pembaharuan Hukum Pidana dalam Cita Negara Hukum

61 61 Berdasarkan skema diatas, secara umum politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum pemerintah pada keseluruhannya. Sedangkan politik hukum pada keseluruhannya yaitu merupakan bagian program dari visi/misi pemerintahan yang lebih luas lagi. Sedangkan garis besar program dan kebijakan pemerintah yang luas dan menyeluruh dari semua segi kehidupan itu, sangat dipengaruhi oleh ideologi politik yang menguasai pemerintahan. Jadi politik hukum pidana adalah bagian kecil dari rancangan pelaksanaan strategi politik dan program pembangunan suatu pemerintahan negara. Dari konsep inilah dapat ditelaah dan dikaji bagaimana hubungan ideologi politik yang menguasai pemerintahan, kaitannya dengan pelaksanaan asasasas dasar dan prinsip-prinsip negara yang telah dikuat kuasakan melalui konstitusinya. 75 Skema dibawah ini yang menerangkan mengenai gambaran ruang lingkup politik hukum pidana, serta kedudukannya dalam politik hukum nasional: Skema 2 Ruang Lingkup dan Kedudukan Politik Hukum 75 Bagi Negara Indonesia asas-asas dasar Tujuan Negara dan prinsip-prinsip undang-undang Negara telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, sebagaiamana telah diamandemen ke-4 tahun 2002.

62 62 Berdasarkan skema diatas dapat dijelaskan bahwa, politik hukum pidana nasional merupakan bagian dari politik hukum nasional secara keseluruhannya termasuk bagian dari program yang lebih luas yaitu bidang kesejahteraan sosial. Bahwa pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari upaya negara dalam mewujudkan kesejahteraan sosial, dan di antara keluaran dari berfungsinya hukum pidana di masyarakat adalah mewujudkan tujuan hukum itu sendiri. Berkenaan dengan hal tersebut, maka politik hukum pidana dapat dibagikan kedalam beberapa bentuk cabang dan cakupan politik hukum pidana, antara lain: 1. Kebijakan kriminalisasi (Criminalization Policy), politik hukum yang fokus pada usaha memformulasikan perbuatan jahat sebagai tindak pidana yang diperbaharui atau bentuk perumusan yang baru dalam perancangan undangundang, seperti pembuatan RUU KUHP atau tindak pidana tertentu. Termasuk dalam politik hukum ini, adalah kebijakan yang berkaitan dengan penghapusan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara berkembang tidak dapat menghindari adanya kemajuan dan perkembangan di bidang kedokteran khususnya dan bidang teknologi pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kematian merupakan suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Tuhan kepada seluruh makhluk hidup di jagad raya ini, termasuk pula manusia yang telah ditentukan secara

Lebih terperinci

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA

ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA ANALISA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER TERHADAP KASUS EUTHANASIA DITINJAU DARI KUHP YANG BERTENTANGAN DENGAN HAK ASASI MANUSIA Dewa Ayu Tika Pramanasari Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM

BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM BAB III ANALISIS DAN KAJIAN YURIDIS MENGENAI EUTHANASIA DIPANDANG DARI SEGI HAM 3.1 Kronologi kasus Ayah Ana Widiana Kasus berikut merupakan kasus euthanasia yang terjadi pada ayah dari Ana Widiana salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses

BAB I PENDAHULUAN. dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari proses BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap makhluk hidup termasuk manusia, akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun

BAB I PENDAHULUAN. suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun 8 A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Suatu keinginan kematian bagi sebagaian besar umat manusia merupakan suatu hal yang tidak menyenangkan dan kalau mungkin tidak dikehendaki. Namun demikian manusia

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA DAN KAITANNYA DENGAN HUKUM PIDANA Oleh: NUR HAYATI Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul ABSTRAK EUTHANASIA merupakan salah satu masalah etika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh segala aspek kehidupan yang ada di sekitarmya, seperti aspek ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan juga faktor

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata Kunci : Informed Consent dalam keadaan darurat, Perlindungan Hukum bagi Dokter

ABSTRAK. Kata Kunci : Informed Consent dalam keadaan darurat, Perlindungan Hukum bagi Dokter TINJAUAN YURIDIS PERLINDUNGAN HUKUM BAGI DOKTER DIHUBUNGKAN DENGAN PERATURAN MENGENAI PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN DALAM KEADAAN DARURAT YANG MEMBUTUHKAN PEMBEDAHAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 29

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS INFORMED CONCENT BAGI PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT

TINJAUAN YURIDIS INFORMED CONCENT BAGI PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT TINJAUAN YURIDIS INFORMED CONCENT BAGI PENANGANAN PASIEN GAWAT DARURAT Oleh I Komang Gede Oka Wijaya I Gede Pasek Eka Wisanjaya Program Kehususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis.

BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA. A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. BAB II TANGGUNG JAWAB DOKTER YANG MELAKUKAN EUTHANASIA A. Tanggung Jawab Dokter Menurut Profesi Medis. Pada dasawarsa ini para dokter dan petugas kesehatan lain menghadapi sejumlah masalah dalam bidang

Lebih terperinci

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA

HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA HAK MANTAN NARAPIDANA SEBAGAI PEJABAT PUBLIK DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Oleh: Yeni Handayani * Naskah diterima : 29 September 2014; disetujui : 13 Oktober 2014 Indonesia adalah negara yang berdasar

Lebih terperinci

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran

Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran Euthanasia ditinjau dari segi HAM dan Bioetika Kedokteran Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap manusia yang dalam penerapannya berada pada ruang lingkup hak persamaan dan hak kebebasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa tersebut tidak boleh dicabut oleh siapapun termasuk oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan Yang Maha Esa memberikan anugerah kepada manusia yaitu sebuah kehidupan yang harus dihormati oleh setiap orang. Kehidupan yang diberikan oleh Tuhan Yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 22 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Penahanan Aung San Suu Kyi 1. Pengertian Penahanan Penahanan merupakan proses atau perbuatan untuk menahan serta menghambat. (Kamus Besar Bahasa Indonesia: 2006),

Lebih terperinci

ANALISA KASUS PERKOSAAN DISERTAI PEMBUNUHAN TERHADAP YUYUN DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA

ANALISA KASUS PERKOSAAN DISERTAI PEMBUNUHAN TERHADAP YUYUN DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA ANALISA KASUS PERKOSAAN DISERTAI PEMBUNUHAN TERHADAP YUYUN DARI SUDUT PANDANG HUKUM HAK ASASI MANUSIA Oleh: Brian Edward Samuel Sorongan I Ketut Keneng, SH., MH. Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN TINDAKAN MALPRAKTEK DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA INDONESIA Oleh : I Gede Indra Diputra Ni Md. Ari Yuliartini Griadhi Bagian Hukum

Lebih terperinci

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI

PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI PENGECUALIAN LARANGAN ABORSI BAGI KORBAN PERKOSAAN SEBAGAI JAMINAN HAK-HAK REPRODUKSI Oleh : Putu Mas Ayu Cendana Wangi Sagung Putri M.E. Purwani Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat terhadap profesi kedokteran di Indonesia akhir-akhir ini makin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya pengetahuan masyarakat seiring pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan dalam mendapatkan informasi, membuat masyarakat lebih kritis terhadap pelayanan

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP MALPRAKTEK UPAYA MEDIS TRANSPLANTASI ORGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP MALPRAKTEK UPAYA MEDIS TRANSPLANTASI ORGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP MALPRAKTEK UPAYA MEDIS TRANSPLANTASI ORGAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Oleh I Gusti Agung Ayu Elcyntia Yasana Putri A.A. Ngurah

Lebih terperinci

PEMBERIAN GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS

PEMBERIAN GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS PEMBERIAN GANTI RUGI SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PASIEN DALAM TINDAK PIDANA DI BIDANG MEDIS I Gede Andika Putra I Wayan Wiryawan Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrac

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi

BAB 1 PENDAHULUAN. yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Aborsi adalah pembunuhan janin yang di ketahui oleh masyarakat yang biasa disebut dengaan istilah mengugurkan kandungan. Aborsi dibedakan antara aborsi yang terjadi

Lebih terperinci

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN

UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN UNSUR MELAWAN HUKUM DALAM PASAL 362 KUHP TENTANG TINDAK PIDANA PENCURIAN Oleh I Gusti Ayu Jatiana Manik Wedanti A.A. Ketut Sukranatha Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap anak adalah bagian dari penerus generasi muda yang merupakan faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita perjuangan bangsa

Lebih terperinci

TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) 1 TINDAK PIDANA MUTILASI DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) Oleh Ni Made Deby Anita Sari I Gusti Ngurah Wairocana Program Kekhususan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana

Lebih terperinci

ABSTRACT. DewiHapsariYaraRizkia ( )

ABSTRACT. DewiHapsariYaraRizkia ( ) ABSTRACT Juridical Analysis of Accountability Children Under Age As Actors Crime Persecution Causes of Death Associated With The Principles of Child Protection in The Indonesian Legal System DewiHapsariYaraRizkia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk memberikan pidana atau nestapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesatnya penemuan-penemuan teknologi modern, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan yang sangat cepat di dalam kehidupan sosial budaya manusia. Semua problema,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai moral yang ada di dalam masyarakat kita semakin berkurang. Pergaulan bebas dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat

BAB I PENDAHULUAN. continental dan sistem Anglo Saxon. Perkembangan hukum secara. campuran karena adanya kemajemukan masyarakat dalam menganut tingkat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara maju maupun negara berkembang di dunia ini menganut berbagai sistem hukum, apakah sistem hukum kodifikasi maupun sistem hukum-hukum lainnya. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata baik materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Lebih terperinci

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina

Hospital by laws. Dr.Laura Kristina Hospital by laws Dr.Laura Kristina Definisi Hospital : Rumah sakit By laws : peraturan Institusi Seperangkat peraturan yang dibuat oleh RS (secara sepihak) dan hanya berlaku di rumah sakit yang bersangkutan,dapat

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM

PRINSIP DASAR BIOETIKA. Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM PRINSIP DASAR BIOETIKA Oleh: E. Suryadi Fakultas Kedokteran UGM Pendahuluan: Pengertian Bioetika Awalnya adalah Etika bioteknologi yaitu suatu studi masalah etika terkait produksi, penggunaan dan modifikasi

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA Fakultas TEKNIK Martolis, MT Program Studi Teknik Mesin NEGARA = State (Inggris), Staat (Belanda),Etat (Perancis) Organisasi tertinggi

Lebih terperinci

Kata kunci: iktikad baik, rumah susun, perlindungan konsumen. v Universitas Kristen Maranatha

Kata kunci: iktikad baik, rumah susun, perlindungan konsumen. v Universitas Kristen Maranatha TINJAUAN YURIDIS TERHADAP IKTIKAD BAIK PENGEMBANG RUMAH SUSUN DALAM TINDAKAN HUKUM PEMESANAN RUMAH SUSUN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG- UNDANG

Lebih terperinci

ANALISIS YURIDIS KEBEBASAN BERSERIKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PARTAI POLITIK

ANALISIS YURIDIS KEBEBASAN BERSERIKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PARTAI POLITIK ANALISIS YURIDIS KEBEBASAN BERSERIKAT PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PARTAI POLITIK Oleh : Made Dian Supraptini Pembimbing : I Gusti Ayu Puspawati Program Kekhususan: Hukum Pemerintahan, Universitas Udayana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana

BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Lahirnya buku Dei delitti e delle pene/on crimes and Punishment (Pidana dan pemidanaan) karya Cesare Beccaria pada tahun 1764 yang menjadi argumen moderen pertama dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara yang berdiri berlandaskan Pancasila yang dimana dalam sila pertama disebutkan KeTuhanan Yang Maha Esa, hal ini berarti bahwa Negara

Lebih terperinci

PALLIATIVE CARE HENDRA

PALLIATIVE CARE HENDRA PALLIATIVE CARE HENDRA LUKA KANKER LUKA KANKER LUKA KANKER Back ground Perawatan paliatif dari bahasa Latin palliare, untuk jubah adalah setiap bentuk perawatan medis atau perawatan yang berkonsentrasi

Lebih terperinci

Ringkasan Putusan.

Ringkasan Putusan. Ringkasan Putusan Sehubungan dengan sidang pembacaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009 tanggal 19 April 2010 atas Undang- Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN A. Analisa Yuridis Malpraktik Profesi Medis Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 merumuskan banyak tindak pidana

Lebih terperinci

I S D I Y A N T O NIM : C

I S D I Y A N T O NIM : C TANGGUNG JAWAB DOKTER DALAM MELAKUKAN OPERASI BEDAH JANTUNG DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. SARDJITO YOGYAKARTA SKRIPSI Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Syarat syarat Guna Mencapai Derajat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari berbagai bentuk pembangunan. Perkembangan globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa. sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kejahatan yang semakin marak terjadi di kalangan masyarakat, dimana

BAB I PENDAHULUAN. merupakan kejahatan yang semakin marak terjadi di kalangan masyarakat, dimana 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perlindungan terhadap Anak yang dilakukan selama ini belum memberikan jaminan bagi Anak untuk mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya

Lebih terperinci

Kata kunci: mediasi penal, tindak pidana, penganiayaan ringan.

Kata kunci: mediasi penal, tindak pidana, penganiayaan ringan. ABSTRAK Mediasi penal merupakan model penyelesaian perkara pidana yang saat ini banyak digunakan di beberapa negara. Di Indonesia, mediasi penal digunakan untuk menyelesaikan perkara yang dilakukan oleh

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN Oleh : I Gusti Ngurah Ketut Triadi Yuliardana I Made Walesa Putra Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DIHUBUNGKAN DENGAN MALPRAKTIK DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN

TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DIHUBUNGKAN DENGAN MALPRAKTIK DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN DALAM PELAYANAN KESEHATAN DIHUBUNGKAN DENGAN MALPRAKTIK DALAM PRAKTIK KEDOKTERAN Yusmawati Sopian 1087047 ABSTRAK Pelayanan kesehatan yang baik

Lebih terperinci

PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H.

PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H. PERLINDUNGAN HAK PROFESI AKUNTAN PUBLIK Dr. Muchamad Ali Safa at, S.H., M.H. A. Pendahuluan Profesi merupakan suatu bidang kerja yang memerlukan keahlian dan independensi yang oleh karena itu tidak dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun

BAB I PENDAHULUAN. perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Human rights atau Hak Asasi Manusia menjadi pembahasan penting setelah perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah hak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah negara demokrasi yang berdasarkan hukum Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana yang tercantum

Lebih terperinci

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA KEKERASAN YANG DILAKUKAN OKNUM POLISI DALAM MENJALANKAN TUGAS SEBAGAI BENTUK PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA Oleh : Bernadus Ardian Ricky M (105010100111087) KEMENTRIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Seperti kita ketahui bahwa masalah kesehatan bukanlah merupakan hal yang baru dalam kehidupan, sebab hal tersebut banyak ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena

Lebih terperinci

ABSTRAK. Dewi Karina Crietie Alvin ( )

ABSTRAK. Dewi Karina Crietie Alvin ( ) ABSTRAK PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN TERHADAP PELAKU USAHA YANG MELAKUKAN JUAL BELI ONLINE DENGAN SISTEM EMAILPHISHING DITINJAU DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Glosarium

Daftar Pustaka. Glosarium Glosarium Daftar Pustaka Glosarium Deklarasi pembela HAM. Pernyataan Majlis Umum PBB yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak secara sen-diri sendiri maupun bersama sama untuk ikut serta dalam

Lebih terperinci

Moral Akhir Hidup Manusia

Moral Akhir Hidup Manusia Modul ke: 07Fakultas Psikologi Pendidikan Agama Katolik Moral Akhir Hidup Manusia Oleh : Drs. Sugeng Baskoro, M.M Program Studi Psikologi Bagian Isi TINJAUAN MORAL KRISTIANI AKHIR HIDUP MANUSIA (HUKUMAN

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH Oleh : Ni Putu Eka Martini AR Ibrahim R. Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan,

PROBLEMATIKA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH Oleh : Ni Putu Eka Martini AR Ibrahim R. Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, 1 PROBLEMATIKA CALON INDEPENDEN DALAM PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH Oleh : Ni Putu Eka Martini AR Ibrahim R. Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak : Dalam makalah

Lebih terperinci

HAK ASASI MANUSIA. Pengertian HAM

HAK ASASI MANUSIA. Pengertian HAM HAK ASASI MANUSIA Pengertian HAM HAM adalah hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati yang fundamental sebagai suatu anugerah Allah yang harus dihormati, dijaga, dan dilindungi oleh setiap

Lebih terperinci

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM Diadopsi oleh Resolusi Sidang Umum PBB No. 34/169 Tanggal 17 Desember 1979 Pasal 1 Aparat penegak hukum di setiap saat memenuhi kewajiban yang ditetapkan oleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk,

I. PENDAHULUAN. juga dapat menyengsarakan dan menghancurkan suatu negara. Dampak korupsi bagi negara-negara dengan kasus korupsi berbeda-beda bentuk, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi dewasa ini sudah semakin berkembang baik dilihat dari jenis, pelaku maupun dari modus operandinya. Masalah korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional

Lebih terperinci

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DI INDONESIA OLEH Ni Putu Ayu Leni Cahyarani I Ketut Rai Setiabudhi I Made Tjatrayasa Bagian hukum pidana, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya

BAB I PENDAHULUAN. 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), di dalam Pembukaan alinea pertama menyatakan bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak

Lebih terperinci

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration

Keywords: Position, Authority, Governor, Local Government Administration 1 KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN GUBERNUR DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH Oleh : Ni Luh Putu Arianti A.A Ariani Program Kekhususan : Hukum Pemerintahan, Fakultas Hukum Universitas Udayana Abstrak;

Lebih terperinci

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA Disajikan dalam kegiatan pembelajaran untuk Australian Defence Force Staff di Balai Bahasa Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Indonesia 10 September 2007

Lebih terperinci

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM PENGATURAN HAK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM PENINJAUAN KEMBALI OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM Oleh : Komang Agung Cri Brahmanda Ida Bagus Putra Atmadja, Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRAK

Lebih terperinci

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto

PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA. Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto PIDANA PENGAWASAN DALAM PERSPEKTIF PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA Oleh : I Made Ardian Prima Putra Marwanto Bagian Hukum Pidana, Fakultas Hukum, Universitas Udayana Abstract Titles in this writing

Lebih terperinci

PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA RS X TAHUN 2015 JL.

PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA RS X TAHUN 2015 JL. PANDUAN HAK PASIEN DAN KELUARGA RS X TAHUN 2015 JL. SURAT KEPUTUSAN No. : Tentang PANDUAN HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DIREKTUR RS Menimbang : a. Bahwa untuk mengimplementasikan hak pasien dan keluarga di

Lebih terperinci

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA

BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA BAB III KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA AGIAN ISNA NAULI DAN KASUS PERMOHONAN EUTHANASIA DARI PIHAK KELUARGA SITI JULAEHA A. Kasus Posisi 1. Kasus Suami Agian Isna Nauli Ajukan Euthanasia

Lebih terperinci

PANDUAN INFORMED CONSENT

PANDUAN INFORMED CONSENT PANDUAN INFORMED CONSENT A. PENGERTIAN Persetujuan tindakan medik atau yang sering di sebut informed consent sangat penting dalam setiap pelaksanaan tindakan medic di rumah sakit baik untuk kepentingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. dipersiapkan sebagai subjek pelaksana cita-cita perjuangan bangsa. Berdasarkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembicaraan tentang anak dan perlindungannya tidak akan pernah berhenti sepanjang sejarah kehidupan, karena anak adalah generasi penerus bangsa yang dipersiapkan sebagai

Lebih terperinci

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 DPR & PRESIDEN PERLU MEMPERHATIKAN PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MERUMUSKAN PASAL KESUSILAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan teknologi yang sangat cepat, berpengaruh secara signifikan terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1

BAB I PENDAHULUAN. bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hak asasi manusia merupakan hak yang melekat pada manusia secara alami sejak ia di lahirkan, bahkan jika kepentingannya dikehendaki, walaupun masih dalam kandungan

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA

PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA PENANGGULANGAN ABORTUS PROVOCATUS CRIMINALIS DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA Oleh : Angga Indra Nugraha Pembimbing : Ibrahim R. Program Kekhususan: Hukum Pidana, Universitas Udayana Abstract: The rise of

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN KESALAHAN TINDAKAN KEDOKTERAN KEPADA PASIEN

TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN KESALAHAN TINDAKAN KEDOKTERAN KEPADA PASIEN TANGGUNG JAWAB RUMAH SAKIT TERHADAP DOKTER YANG MELAKUKAN KESALAHAN TINDAKAN KEDOKTERAN KEPADA PASIEN Oleh: Gede Prasetia Adnyana I Wayan Bela Siki Layang Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Diajukan oleh : Hendrik Renyaan NPM : 080509823 Program Studi

Lebih terperinci

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L

Inform Consent. Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L Inform Consent Purnamandala Arie Pradipta Novita Natasya Calvindra L 1 PENDAHULUAN Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang bertentangan dengan Standard Operating Procedure

Lebih terperinci

Hak Pasien, Pemberian Insentif dan Perlindungan Hukum.

Hak Pasien, Pemberian Insentif dan Perlindungan Hukum. ABSTRAK TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PASIEN DALAM PEMBERIAN OBAT BERDASARKAN RESEP OLEH DOKTER DIHUBUNGKAN DENGAN PENGGUNAAN PEMBERIAN INSENTIF OLEH PEDAGANG BESAR FARMASI MELALUI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Page 14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan atas hukum. Itu berarti bahwa

Lebih terperinci

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN

EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN EUTHANASIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA DAN ETIKA KEDOKTERAN Oleh : Syamsul Hadi, SH., M.H.* Abstract Euthanasia is a dead issue requests from patients suffering from a disease that can not be addressed

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) yang menyatakan bahwa : BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan abad ke-21 ini, baik secara nasional maupun internasional. Hak Asasi Manusia telah

Lebih terperinci

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN

Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S BAB I PENDAHULUAN Penegakan hukum tindak pidana pencabulan terhadap anak berdasarkan undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (studi di Pengadilan Negeri Sukoharjo) Oleh : Didit Susilo Guntono NIM. S310907004

Lebih terperinci

Kata Kunci : Aborsi, Keterangan Penyidik, Implikasi Hukum

Kata Kunci : Aborsi, Keterangan Penyidik, Implikasi Hukum ABSTRAK Abortus provocatus dikenal di Indonesia dengan istilah aborsi berasal dari bahasa latin yang berarti pengguguran kandungan karena kesengajaan. Pengaturan aborsi diatur dalam Undang-Undang Kesehatan

Lebih terperinci

TESIS untuk MAGISTER HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM KONSENTRASI HUKUM KESEHATAN. Diajukan oleh : Erfen Gustiawan Suwangto NIM

TESIS untuk MAGISTER HUKUM PROGRAM MAGISTER HUKUM KONSENTRASI HUKUM KESEHATAN. Diajukan oleh : Erfen Gustiawan Suwangto NIM Pengaturan Mahasiswa Dokter Layanan Primer Dalam Pelayanan Kesehatan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Asas Perlindungan Hukum TESIS untuk MAGISTER HUKUM PROGRAM

Lebih terperinci

Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta

Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta * Andrie Irawan, SH., MH Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta *Kesehatan dlm kosnep duni internasional adalah a state of complete physical, mental and social, well being and not merely the

Lebih terperinci

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X Prosiding Ilmu Hukum ISSN: 2460-643X Penetapan kembali Status Kewarganegaraan Arcandra Tahar menjadi Warga Negara Indonesia berdasarkan Keputusan MENKUMHAM Nomor AHU-1 AH.10.01 Tahun 2016 dihubungkan dengan

Lebih terperinci

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan

ASPEK HUKUM EUTHANASIA. By L. Ratna Kartika Wulan ASPEK HUKUM EUTHANASIA By L. Ratna Kartika Wulan POKOK BAHASAN DEFINISI PERMASALAHAN EUTHANASIA HAK UNTUK MATI PANDANGAN HKM THD EUTHANASIA JENIS EUTHANASIA PRO & KONTRA EUTHANASIA DEFINISI SECARA HARAFIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara merupakan sebuah kesatuan wilayah dari unsur-unsur negara, 1 yang didalamnya terdapat berbagai hubungan dari sebuah masyarakat tertentu yang berlangsung

Lebih terperinci

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009.

Keywords: Abortion, Victims, Rape, Criminal Code, Law No. 36 of 2009. ABORSI OLEH KORBAN PEMERKOSAAN DITINJAU BERDASARKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN Oleh : Agus Jerry Suarjana Putra AA. Istri Ari Atu Dewi Bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kejahatan merupakan suatu fenomena kompleks yang dapat dipahami dari segi yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar tentang

Lebih terperinci

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER KEPADA PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK

TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER KEPADA PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK TANGGUNG JAWAB PERDATA DOKTER KEPADA PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAPEUTIK Oleh Made Hadi Setiawan A.A.Gede Agung Dharma Kusuma Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT This paper titled

Lebih terperinci

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi:

Pada UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran khususnya pada pasal 52 juga diatur hak-hak pasien, yang meliputi: Hak dan Kewajiban Pasien Menurut Undang-Undang Menurut Declaration of Lisbon (1981) : The Rights of the Patient disebutkan beberapa hak pasien, diantaranya hak memilih dokter, hak dirawat dokter yang bebas,

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS. Jessica Calista

IMPLEMENTASI KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS. Jessica Calista iv IMPLEMENTASI KONSEP RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA LALU LINTAS Jessica Calista 1087008 Undang-Undang Lalu Lintas yang saat ini diberlakukan di Indonesia adalah Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri-ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan pengarahan dalam rangka menjamin BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah bagian generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS (KOVENAN INTERNASIONAL TENTANG HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA)

Lebih terperinci

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK

: UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA ABSTRAK Judul : UPAYA PERLINDUNGAN ANAK BERHADAPAN HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN ANAK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 Disusun oleh : Ade Didik Tri Guntoro NPM : 11100011 FAKULTAS : HUKUM UNIVERSITAS SLAMET

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan manusia. Salah satu unsur yang menyebabkan adanya perubahan dan perkembangan hukum adalah adanya ilmu pengetahuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam menyampaikan keluhan jasmani danrohani kepada dokter yang. merawat, tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. dalam menyampaikan keluhan jasmani danrohani kepada dokter yang. merawat, tidak boleh merasa khawatir bahwa segala sesuatu yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rahasia kedokteran berkaitan erat dengan hak asasi manusia, seperti tertulis dalam United Nation Declaration of Human Right pada tahun 1984 yang intinya menyatakan

Lebih terperinci

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya Implementasi Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Negara Republik Indonesia No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dalam Sistem

Lebih terperinci