LAflORAN AKHIR PEKERJAAN PEMANFAAT AN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "LAflORAN AKHIR PEKERJAAN PEMANFAAT AN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN"

Transkripsi

1 .. LAflORAN AKHIR PEKERJAAN PEMANFAAT AN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN PROGRAM INSENTIF PENINGKAT KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIA. RISTEK BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENElITtAN KEHUTANAN PALEMBANG JI. Kol \--i, Burlian Punti Kayu Km 6,5 PO BOX 179 TelpfFax 4'14864 Pa,embang tembesu@.telkornnej November 2010

2 ... LAPORAN AKHIR PEKERJAAN PEMANFAATAN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISTEK BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG JI. Ko!. H. Burlian Punti Kayu Km 6,5 PO BO X 179 Telp/Fax Palembang tembesu@telkom.net November 2010

3 *, LAPORAN AKHIR PEKERJAAN PEMANFAATAN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN PROGRAM INSENTIF PENINGKATAN KEMAMPUAN PENELITI DAN PEREKAYASA KEMENTERIAN RISTEK Peneliti Utama Anggota : Ir. R. Dody Prakosa, M.Sc : 1. Edwin Martin, S.Hut., M.Si. 2. Junaidah, S.Hut. 3. Armellia Prima Yuna, 5.Hut. BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN PALEMBANG J!. Ko!. H. Burlian Punti Kayu Km 6,5 PO BOX 179 Telp/Fax Palembang tembesu@te lkom.net November 2010

4 LEMBAR PENGESAHAN Judul penelitian Fokus Bidang Prioritas Lokasi penelitian Pemanfaatan Aren Sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Selatan Keterangan Lembaga Pelaksana IPengelola Penelitian A. Lembaga pelaksana penelitian Nama Koordinatorl peneliti utama Ir. Dody Prakosa, M.Sc Nama lembaga/lnstitusi Departemen Kehutanan Unit Organisasi Balai Penelitian Kehutanan Palembang Alamat Jln. Kol Burlian Km 6,5. Puntikayu, Palembang. Telepon/HP/F ax/ (0711 ) B. Lembaga lain yang terlibat - Jangka waktu kegiatan : 1 (satu) tahun Biaya tahun 1 : Rp , Kegiatan : baru Rekapitulasi Biaya Tahun yang disetujui : Rp , No Uraian Jumlah (Rp) 1 Gaji dan Upah , 2 Bahan habis pakai , 3 Perjalanan (tidak untuk perjalanan luar negeri) Total i , ,- Setuju diusulkan : Koordinator/Peneliti Utama r Ir. R. Dody P i kosa, M. Sc NIP Kepala Balai

5 ... RINGKASAN Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 634/Kpts-11 /1996 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 339/Kpts-11/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan disebutkan bahwa pohon batas adalah pohon yang ditanam atau tumbuh di sepanjang batas yang dapat berfungsi seba gai tanda batas. Ini berarti bahwa pohon dapat dijadikan sebagai tanda batas di sepanjang batas kawasan hutan. Penanaman pohon batas diharapkan dapat meningkatkan nllai manfaat batas kawasan hutan bagi masyarakat dan memperkuat kejelasan batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya. Pohon batas yang tepat dan bernilai ekonomi tinggi tidak saja akan berguna bagi masyarakat sekitar kawasan hutan namun diharapkan dapat membantu menjadi objek batas kawasan hutan dalam analisis citra satelit. Jika aren dapat menjadi vegetasi penciri batas kawasan hutan dalam analisis citra satelit, maka akan sang at membantu dan memudahkan dalam pengaturan tata ruang wilayah, inventarisasi sumberdaya lahan, valuasi dan evaluasi sumberdaya hutan. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu diupayakan inovasi peningkatan nilai manfaat di sepanjang batas kawasan hutan, terutama yang bersinggungan langsung dengan lahan budidaya milik masyarakat melalui upaya pengembangan pohon batas yang tepat dari sisi kepentingan analisis citra satelit (tata ruang) dan bernilai ekonomi bagi masyarakat. Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode penelitian partisipatif (riset aksi) dalam mendorong aksi bersama pemanfaatan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung (yang didominasi areal berlereng) dan untuk mengetahui kemampuan citra sate lit ALOS dalam mendeteksi vegetasi aren sebagai potensi pohon batas. Secara umum penelitian dilakukan dengan cara survei dan non survei. Survei meliputi pemeriksaan pal batas kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan kawasan budidaya masyarakat, aktivitas sosial ekonomi masyarakat, dan pemeriksaan lapangan posisi tegakan aren. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat dipahami melalui teknik penilaian desa cepat (Rapid rural appraisad. Kegiatan non survei berupa diskusi dengan para plhak yang terkait, yaitu Dinas Kehu ta nan Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam dan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah II Palembang. Kegiatan penelitian tahap 2 (dua) ini ditujukan untuk mendapatkan pengetahuan tentang respon masyarakat pasca kegiatan penataan batas kawasan hutan dan peluang penanaman aren di sepanjang batas kawasan hutan di Semendo, Kab. Muara Enim. Secara umum, kegiatan penataan batas pada posisi yang berbatasan langsung dengan areal garapan masyarakat, terutama persawahan, cukup meresahkan masyarakat. Tata batas terbukti menguatkan posisi hukum kawasan hutan lindung, namun secara faktual seringkali tidak efektif menjadi batas aktivitas, sehingga pengalihfungsian hutan lindung menjadi perkebunan kopi tetap terjadi. Penelitian aksi "penanaman aren sebagai pohon batas kawasan hutan" dapat mewujudkan ide untuk menanami kebun-kebun di sepanjang garis batas kawasan dengan pohon aren, melalui dukungan masyarakat untuk menanam dan memelihara aren secara swadaya. Kebun aren diharapkan tidak berfungsi sebagai batas yang memisahkan antara kawasan hutan lindung dengan areal budidaya masyarakat tetapi juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat. Formula indeks vegetasi yang terbaik pada citra ALOS-AVNIR-2 yang dapat digunakan untuk mendeteksi tutu pan tegakan aren sebagai pohon batas adalah MID14 dan MSAVI. Jarak tanam untuk penanaman aren sebagai pohon

6 batas agar dapat dideteksi dengan citra satelit ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter adalah 8x8 meter sampai 1Ox1 0 meter, dengan lebar jalur minimum 40 meter. Deteksi tutu pan tegakan aren secara visual tidak dapat dilakukan dengan ALOS AVNIR-2 resolusi 10 meter, dengan demikian perlu dicoba untuk resolusi yang lebih tinggi yaitu resolusi 5 meter sampai 1 meter.

7 PRAKATA Penggunaan pohon batas dalam penataan batas kawasan hutan telah ditetapkan dalam peraturan yang berlaku tapi masih jarang dilakukan. Penanaman pohon batas diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat batas kawasan hutan bagi masyarakat dan memperkuat kejelasan batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya. Pohon batas yang tepat dan berni/ai ekonomi tinggi tidak saja dapat berguna bagi masyarakat sekitar kawasan hutan, tetapi juga dapat membantu menjadi objek batas kawasan hutan dalam analisis citra satelit. Aren atau enau (Arenga pinnata Merr.) adalah komoditas unggulan yang multi guna. Hampir semua bag ian fisik pohon aren mempunyai manfaat baik itu untuk di konsumsi sendiri maupun dijual. Selain itu tanaman aren juga mempunyai fungsi ekologi. Untuk mengembangkan aren sebagai pohon batas kawasan hutan menjadi tantangan dan keinginan berbagai pihak yang dapat diwujudkan dalam bentuk aksi bersama. Penelitian ini berjudul "Pemanfaatan Aren Sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan ". Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas metode penelitian partisipatif (riset aksi) dalam mendorong aksi bersama pemanfaatan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung (yang didominasi areal berlereng) dan untuk mengetahui kemampuan citra satelit ALOS dalam mendeteksi vegetasi aren sebagai potens; pohon batas. Tahapan kegiatan penelitian ini adalah melakukan survei pendahuluan, penyusunan rencana aksi, ground cek vegetasi dan pengumpu/an data sekunder di Kota Pagar Alam dan Kab. lviuara Enim. Laporan kegiatan penelitian ini secara garis besar berisi uraian tahapan-tahapan kegiatan yang dilaksanakan pada survei di kedua lokasi tersebut. Hasil survei menunjukkan kawasan hutan di Kota Pagar Alam dan Kab. Muara Enim memiliki konflik permasalahan yang cukup rumit. Selain permasalahan dengan masyarakat sekitar kawasan hutan, juga terkait dengan kondisi pal tata batas yang hilang dan lokasinya tidak sesuai dengan pet a batas kawasan hutan Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Tim Pelaksana Penelitian

8 . DAFTAR 151 Hal PRAKATA i DAFTAR lsi ii DAFTAR TABEL iii DAFTAR GAMBAR iv BAB I. BAB II. PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Penelitian Aksi atau Partisipatif Konsep Dasar Remote Sensing (Penginderaan Jauh/SIG) BAB III. TUJUAN DAI\I MANFAAT BAB IV. METODOLOGI Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan Batas Kawasan Hutan; Kasus HL. Bukit Jambul Gunung Patah dan HL. Bukit Dingin Gunung Dempo Pagar Alam Pengukuhan Hutan: Sebuah Proses Mendapatkan Kepastian Hukum atas Kawasan Hutan (Kasus HL. Bukit Jambul Asahan) Mengenalkan Aren sebagai Pohon Batas; upaya multimanfaat Deteksi Tanaman Aren dengan Indeks Vegetasi Deteksi Tanaman Aren dengan Cara Visual BAB VI. PENUTUP DAFTAR PUSTAKA II

9 .~ DAFTAR TABEL Teks Hal Tabel1. Tabel segiempat untuk menguji signifikansi perubahan sikap partisipan sebelum dan setelah mengikuti penelitian partisipatif Tabe/2. Karakteristik usaha masyarakat desa-desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan III

10 DAFTAR GAMBAR Teks Hal Gambar 1. Kerangka metodologi riset aksi dikuatkan oleh paket SIG Gambar 2. Proses iteratif penelitian partisipatif Gambar 3. Proses penelitian untuk mengetahui efektifitas penelitian partisipatif dalam upaya pengembangan pohon batas kawasan hutan Gambar 4. Posisi kawasan hutan lindung di wilayah Kota Pagar Alam Gambar 5. Posisi pal batas, pemukiman dan hutan lindung di Kota PagarAlam Gambar 6 Posisi pal batas kawasan hutan dan pemukiman di sekitarnya Gambar 7. Posisi trayek tata batas sementara kawasan HL Bukit Jambul Asahan Gambar 8. Posisi Oesa Tanjung Tiga Kecamatan SOU menurut peta penunjukan kawasan hutan SK.76/2001 (5a) dan RTRWP Sumsel tahun 2006 (5b) Gambar 9. Posisi pal batas sementara yang dipasang pada tahun 2010 dan jalur trayek batas sebagai pedoman pelaksanaan tata batas 19 Gambar 10. Pal batas kawasan HL yang dipasang pada tahun 1999 (4a) dan hutan lindung yang berubah menjadi perkebunan kopi Gambar 11. Oeskripsi garis batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan yang berbatasan dengan Oesa Muara Oanau Gambar 12. Nilai indeks vegetasi NOVI pada plot tanaman aren milik masyarakat di Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong Gambar 13. Nilai indeks vegetasi SAVI pad a plot tanaman aren milik masyarakat di Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong Gambar 14. Nilai indeks vegetasi MSAVI pada plot tanaman aren milik, masyarakat di Oesa Air Meles, Ka bupaten Rejang Lebong Gambar 15. Hasil analisis beberapa indeks vegetasi dari citra ALOS-AVNIR-2. MI Gambar 16. Hasil anal isis indeks vegetasi MI014 dari ALOS-AVNIR IV

11 Gambar 17. Gambar citra ALOS-AVNIR-2 setelah diperbesar dengan skala 1: Gambar 18. Citra ALOS-AVNIR-2 satu scene penuh dengan skala 1: v

12 .. BAB I PENDAHULUAN Menurut Keputusan Menteri Kehutanan No. 634/Kpts-11/1996 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 339/Kpts-11/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan disebutkan bahwa pohon batas adalah pohon yang ditanam atau tumbuh di sepanjang batas yang dapat berfungsi sebagai tanda batas. Ini berarti bahwa pohon dapat dijadikan sebagai tanda batas di sepanjang batas kawasan hutan. Pohon yang ditanam dapat menjadi penciri batas antar kepemilikan hak penguasaan lahan (property right). Sayangnya, ca ra ini masih sangat jarang dilakukan dalam menandai batas antara kawasan hutan dengan batas areal kepemilikan privat, meskipun telah menjadi tradisi dalam kehidupan masyarakat Indonesia, terutama di luar Jawa. Hasil penelitian Wulan et al. (2004) menyebutkan bahwa masalah tata batas adalah salah satu faktor penyebab konflik kehutanan di Indonesia. Penataan batas kawasan hutan dianggap dapat mengurangi akses masyarakat ke kawasan hutan. Pada kasus seperti ini, patok batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya dinilai sebagai benda negatif dari sisi kepentingan masyarakat. Batas kawasan hutan selain tidak berharga juga dianggap merupakan penghalang aktivitas ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Pad a kawasan hutan lindung, nilai ekonomi batas menjadi makin rendah karena umumnya terletak di areal berlereng. Di sisi lain, kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan merupakan masalah lain yang menyumbang terjadinya konflik kehutanan dan tekanan terhadap sumberdaya hutan. Penggunaan pohon batas dalam penataan batas kawasan hutan masih jarang sekali diterapkan, meskipun dianjurkan dalam peraturan perundangan yang berlaku. Aktivitas penataan batas dengan memasang pal batas adalah umum dilakukan, namun melibatkan sebagian kecil saja masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam penataan batas dengan pal batas selama ini lebih banyak! berperan sebagai tenaga buruh rinti s atau objek sosialisasi. Ini menyebabkan rendahnya pemahaman tentang posisi dan rasa memiliki batas kawasan hutan oleh masyarakat. Penanaman pohon batas diharapkan dapat meningkatkan nilai manfaat batas kawasan hutan bagi masyarakat dan memperkuat kejelasan batas antara kawasan hutan dengan areal budidaya jika dilakukan dengan pemilihan 1

13 komoditas pohon yang tepat dan bernilai ekonomi tinggi serta dilakukan dengan metode yang mampu mendorong aksi kolektif masyarakat. Metode penelitian partisipatif adalah metode yang diakui banyak pihak dapat membantu menyelesaikan masalah pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat. Selener (1997) menganjurkan penggunaan metode penelitian partisipatif ini untuk mendorong terjadinya perubahan sosial. Sampai saat ini, belum ada informasi mengenai penggunaan metode penelitian partisipatif dalam mendorong pengelolaan pohon batas kawasan hutan termasuk di antaranya umpan balik masyarakat terhadap upaya penggunaan pohon batas dalam tata batas kawasan hutan. Pohon batas yang tepat dan bernilai ekonomi tinggi tidak saja akan berguna bagi masyarakat sekitar kawasan hutan namun diharapkan dapat membantu menjadi objek batas kawasan hutan dalam analisis citra satelit. Hasil penelitian Prakosa et a/. (2009) yang dilakukan di 3 (tiga) desa sekitar kawasan hutan lindung di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu menyebut aren sebagai pohon unggulan masyarakat yang bernilai ekonomi tinggi, sebagai sumber pangan. Pengelolaan aren tidak saja berperanan sebagai aktivitas harian utama setiap keluarga di ketiga desa penelitian, tetapi dapat mengurangi perilaku ekstensifikasi lahan usaha sebagaimana banyak terjadi pada petani kopi yang tinggal di sekitar kawasan hutan lindung. Sayangnya, belum ada informasi yang menyebutkan tentang potensi vegetasi aren sebagai objek yang tepat dalam anal isis citra satelit. Jika aren dapat menjadi vegetasi penciri batas kawasan hutan dalam analisis citra sate/it, maka akan sangat membantu dan memudahkan dalam pengaturan tata ruang wi/ayah, inventarisasi sumberdaya /ahan, valuasi dan eva/uasi sumberdaya hutan. Berdasarkan permasa/ahan di atas, per/u diupayakan inovasi peningkatan nil ai manfaat di sepanjang batas kawasan hutan, terutama yang bersinggungan langsung dengan lahan budidaya mi/ik masyarakat mela/ui upaya pengembangan pohon batas yang tepat dari sisi kepentingan analisis citra satelit (tata ruang) dan bernilai ekonomi bagi masyarakat. Aren telah terbukti sebagai vegetasi mu lti manfaat terutama sumber pangan yang dapat menopang kehidupan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung. 2

14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Dasar Peneliti an Aksi atau Partisi patif Penelitian aksi atau pal1isipatif mengkombinasikan tiga kegiatan utama, yakni penelitian, pendidikan dan aksi. Ini merupakan metode penelitian dimana orang secara aktif dilibatkan dalam melakukan sebuah penilaian sistematik terhadap gejala sosial dengan mengidentifikasi suatu masalah khusus guna dicari penyelesaiannya (Selener, 1997). Penelitian aksi jika dihubungkan dengan analisis sistem maka akan membentuk pemikiran sistemik. Menurut Flood (2001 ) pemikiran sistemik muncul dari anggapan bahwa konstruksi sosial itu bersifat sistemik atau hasil dari anggapan, pandangan, persepsi orang-orang yang dipengaruhi oleh informasi yang ia terima, pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Pemikiran sistemik seperti ini bersifat subjektif. Sementara itu, pemikiran sistem mengacu kepada cara berpikir tentang sistem sosial riil karena memang sistem tersebut ada. Sistem Informasi Geografis adalah contoh pemikiran sistem yang memodelkan informasi faktual yang ada dalam bentuk peta (maps). Pemikiran sistem seperti ini bersifat objektif. Apabila pemikiran sistem dalam bentuk Sistem Informasi Geografis dan pemikiran sistemik dalam bentuk fasilitasi penelitian aksi digabungkan maka akan dapat menghasilkan loop positif yang bersifat saling menguatkan kedua metodologi (Gambar 1). SIG dibutuhkan sebagai basis pengambilan keputusan atau mempengaruhi keputusan dalam dialog-dialog publik penelitian aksi Fasilitasi penelitian aksi menghasilkan pemikiran tentang apa yang perlu dan tidak perlu dalam merancang SIG (Prakosa et al., 2009). 3

15 .. L \ 1~ '! )~ I, l ; l!ku! i 1'('llll', l ' hi l~tl ' ; \ I: k'l ' ; ~ ll}; ', p c'!l C:~ 1! 1 1 b ll:i n " ':! ' l.rt l. : ~ : i!. k,d:l','i':,l;l: 1 U: 'II~:',11 h ; Ii! '~ t l1l',lllk p Ul l' J J I, i ~ i l:, U;t:,;,.'~ lt : ii l::_'l h!:li l!'l' :" l'i':'1 J ;i!, II;U':l ~: U : I' ;,r;, :, 1\1,( \[, \\ l:.; d " H ~ 1l 1 b~: jlitn \ nil l :~ It, 'I~ i Cill',.!1';~ Ij:: \'l'ne hi, i,hi \ ~; ' i \ k U\l di'l \.; 'lil illll\th ];i" ; I ~ : kll :;d u ltl.l,'; :lk'[ til l l; l ~ l' l' l i ~ :d l1h : : li : :';','1' 1,1'. t<hi Gambar 1, Kerangka metodologi riset aksi dikuatkan oleh paket SlG Penelitian partisipatif merupakan rangkaian proses kegiatan yang bersifat iteratif, Kegiatan tersebut adalah observasi, refleksi, perencanaan, aksi, kemudian berulang kembali ke kegiatan observasi (Gambar 2), Aksi Refleksi.1 Gambar 2, Proses iteratif penelitian partisipatif Efektivitas penelitian partisipatif dalam mendorong aksi bersama (cof!ective actio) masyarakat desa sekitar kawasan hutan untuk mengembangkan aren sebagai pohon batas kawasan hutan dapat dinilai berdasarkan analisis 4

16 .. perubahan sikap yang diukur pada saat sebelum dilakukan proses penelitian partisipatif dan paling tidak setelah tercapai satu siklus. Rancangan proses penelitian untuk mengetahui efektivitas penelitian partisipatif dillustrasikan dalam Gambar 3.,"ulali<;iI sibp 2 Anal,, ;; sikap 1 Dialog desa-obsc['\'as i D ~1 log des a-reilcksipcrencanaan Gambar 3. Proses penelitian untuk mengetahui efektivitas penelitian partisipatif dalam upaya pengembangan pohon batas kawasan hutan j Signifikansi perubahan sikap para pihak dapat dianalisis melalui tes McNemar. Menurut Siegel (1992) tes McNemar untuk signifikansi perubahan diterapkan teristimewa terhadap rancangan-rancangan "sebelum dan sesudah' dimana setiap orang sebagai pengontrol dirinya sendiri, dan dimana kekuatan pengukurannya adalah skala nominal dan ordinal. Untuk menguji signifikansi setiap perubahan yang diobservasi dengan metode ini, dibentuk suatu tabel frekuensi yang berbentuk segi empat. Ciri umum tabel semacam ini digambarkan dalam Tabel 1 berikut, dimana tand a tambah dan kurang dipakai untuk menandai jawaban yang berbeda. 5

17 Tabel 1. Tabe l segi empat untuk menguji signifikansi perubahan sikap partisipan sebelum dan setelah mengikuti penelitian partisipatif Sesudah + Sebelum A +1 C 0 B 2.2. Konsep Dasar Remote Sensing (Penginderaan Jauh/SIG) j Penginderaan jauh merupakan ilmu dan sen i untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek, daerah atau gejala yang dikaji (Li llesand and Kiefer, 1990). Lu et a/. (2004) lebih lanjut menyebutkan bahwa peng inderaan jauh (remote sensing) akhir-akhir ini dipil ih sebagai metode yang handal dalam melakukan inventarisasi hutan karena biaya yang relatif murah, akurasi yang dapat diterima, usaha yang layak karena keuntungan-keuntungan data yang dapat diulang. image-image yang memiliki spectrum yang luas dan waktu yang berlanjut, pandangan sinoptik, proses data digital yang cepat dari data yang banyak, dan kesesuaiannya dengan sistem informasi geografi Citra Landsat merupakan merupakan suatu hasil program sumber daya bumi yang dikembangkan oleh National Aeronautical and Space Administration (NASA) Amenka Serikat pada awal tahun 1970-an. Landsat 1 diluncurkan pada tanggal 22 Juli 1972 sebagai ERTS-1 (Earth Resources Technology Sattelite), tetapi kemudian diganti namanya menjadi Landsat-1 (C.P.Lo. 1996). Saat ini yang beroperasi adalah Landsat 7 yang dlluncurkan pada tanggal 15 April 1991 di Pangkalan Vandenburg. Satelit ini membawa sensor ETM+ yang dikembangkan oleh Raytheon Santa Barbara Remote Sensing, Santa Barbara, California. Sensor ETM+ terdiri dari 8 saluran penyiam radiometer multispektral yang mampu memberi informasi citra permukaan bumi dengan resolus i lebih tinggi dari Landsat sebelumnya Restorasi dan koreksi citra adalah suatu operasi pengkondisian supaya citra yang akan digunakan benar-benar memberikan informasi yang akurat secara geometris dan rad iometris (Danoedoro, 1996). Menurut Lillesand dan Kiefer (1990), restorasi citra merupakan kegiatan untuk memulihkan data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan keadaan 6

18 lit aslinya. Sebenarnya semua citra yang diperoleh melalui perekaman sensor tak lepas dari kesalahan yang diakibatkan oleh mekanisme sensornya, gerakan dan wujud geometri bumi serta kondisi atmosfer pada saat perekaman. Citra tersebut perlu diolah untuk mengembalikan data obyek permukaan bumi sehingga dapat dibaca dan tidak tercampur oleh data lain. Restorasi citra meliputi koreksi radiometrik dan koreksi geometrik yang terjadi pada data citra asli. Secara umum penginderaan jauh sa at ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpulan data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomasi serta anal isis citra dan penyajian hasil informasi yang diperoleh. 7

19 BAB III TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode penelitian partisipatif (riset aksi) dalam mendorong aksi bersama pemanfaatan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung (yang didominasi areal berlereng) dan untuk mengetahui kemampuan citra satelit ALOS dalam mendeteksi vegetasi aren sebagai potensi pohon batas. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi dasar dalam menetapkan strategi menjadikan aren sebagai pohon batas kawasan hutan. 8

20 BABIV METODOLOGI 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Kota Pagar Alam dan Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan. Fokus wilayah administratif Kota Pagar Alam adalah daerah di sekitar kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Gunung Patah dan Hutan Lindung Bukit Dingin Gunung Dempo, antara lain RW Kerinjing, Tanjung Taring, Semidang Alas, Rimbo Candi dan Talang Kubangan. Sedangkan untuk wilayah administratif Kab. Muara Enim difokuskan di daerah sekitar Hutan Lindung (HL) Bukit Jambul Asahan, antara lain Kecamatan Semende Darat Laut (SDL), Semende Darat Tengah (SDT), dan Semende Darat Ulu (SDU). Kegiatan penelitian ini bersamaan waktunya dengan keg iatan penataan batas oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan, yaitu pada Bulan Oktober Metode Penelitian Tujuan penelitian dicapai melalui 2 (dua) metode yang berbeda. Upaya pengembangan aren sebagai pohon batas kawasan hutan lindung akan dilakukan melalui metodologi penelitian partisipatif, sedangkan ketepatan vegetasi aren dan pengaturan jarak tanamnya dalam lebar jalur batas kawasan hutan sebagai objek dalam anal isis citra satelit akan dinilai dari hasil analisis digital dari indeks vegetasi (tingkat kehijauan) tanaman. Secara umum penelitian dllakukan dengan cara survei dan non su rvei. Survei meliputi kegiatan observasi lapangan seperti pemeriksaan pal batas kawasan hutan lindung yang berbatasan dengan kawasan budidaya masyarakat, aktivitas sosial ekonomi masyarakat, dan pemeriksaan lapangan posisi tegakan aren. Aktivitas sosial ekonomi masyarakat dipahami melalui teknik penilaian desa secara cepat (Rapid rural appraisa0. Kegiatan non survei berupa diskusi dengan para pihak yang terkait, yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah " ~ Palembang, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam dan Dinas Kehutanan Kab. Muara Enim. Selanjutnya, dilakukan diskusi desa dengan tema "Peluang Aren sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan" Tahapan kegiatan penelitian diuraikan sebagai berikut: (1) Pengumpulan informasi mengenai kegiatan tata batas dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan 9

21 .. Wilayah II Pa lembang, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kota Pagaralam dan Dinas Kehutanan Kab. Muara Enim, (2) Survei respon masyarakat terhadap kegiatan tata batas di desa-desa dalam wilayah administratif Kota Pagar Alam dan Kab. Muara Enim yang bersinggungan secara langsung dengan kawasan hutan, (3) Observasi posisi pal batas yang dianggap masalah oleh ma syarakat desa dan dilanjutkan dengan diskusi dengan warg a yang merasa dirugikan dengan posisi pal batas, (4) Penilaian secara cepat desa-desa yang paling memungkinkan untuk menanam aren sebagai pohon batas, berdasarkan kriteria intensitas pengelolaan masyarakat pada areal sepanjang batas dan tingkat masalah pasca kegiatan tata batas, (5) Observasi lapang terhadap posisi pal batas di sepanjang garis batas kawasan hutan yang berbatasan dengan desa terpilih, (6) Diskusi desa dengan tema "Peluang Aren sebagai Pohon Batas Kawasan Hutan". Data dan informasi yang terkumpul dianalisis sesuai jenis datanya. Data posisi pal batas disajikan melalui aplikasi ArcView GIS 3.2. Data dan informasi hash survei desa dan observasi lapangan disampaikan melalui tabulasi deskriptif. Informasi hash diskusi desa dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif 10

22 , BABV HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Permasa lahan Batas Kawasan Hutan; Kasus HL Bukit Jambul Gunung Patah dan HL Bukit Dingin Gunung Dempo Pagar AJam Kota Pagaralam melingkupi 2 (dua) kawasan hutan lindung, yaitu hutan lin dung Bukit Jambul Gunung Patah dan hutan lindung Bukit Dingin Gunung Dempo (Gambar 4). Kawasan budidaya masyarakat banyak yang berbatasan langsung dengan hutan lin dung Bukit Jambul Gunung Patah, sehingga hutan lin dung ini paling banyak dialihgunakan menjadi kebun. Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Selatan (2007), sekitar ha atau 22 % dari luas total kawasan sudah tldak berhutan lagi. /' HI. Bukit Jambul ( Gunung Patah ' ) J ) I ( / I u ~ \, f\,., >" -,., -" :1,_ " 1,/ I.,' Gambar 4. Posisi kawasan hutan lindung di wllayah Kota Pagar Alam Hutan lindung Bukit Jambul Gunung Patah berbatasan langsung dengan kawasan budidaya masyarakat. Terdapat 5 (lima) kelurahan dimana pemukiman warganya berdekatan dengan kawasan hutan lindung, yaitu Kelurahan Burung Dinang dan Agung Lawangan di Kecamatan Dempo Utara, Kelurahan Candi Jaya dan Jokoh di Kecamatan Dempo Tengah, dan Kelurahan Bandar Jaya di 11

23 .. Kecamatan Dempo Selatan. Kelompok pemukiman yang teridentifikasi berinteraksi langsung dengan kawasan hutan lindung, yakni Tanjung Taring, Talang Kubangan, Semidang Alas, Rimbo Candi, dan Kerinjing Wilayah ini sebelum Pagar Alam alam dimekarkan menjadi adalah desa, namun kini berfungsi sebagai sebuah RW (Rukun Warga). Posisi kelima pemukiman tersebut sangat dekat dengan batas kawasan hutan lindung, bah kan Rimbo Candi dan Talang Kubangan menu rut peta kawasan hutan dan perairan Provinsi Sumatera Selatan berada dalam kawasan hutan. Kawasan hutan lindung di Kota Pagar Alam telah selesai ditata batas pada tahun 1996/1997. Hasil pemeriksaan lapangan terhadap posisi pal batas, batas di peta (berdasarkan peta kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan, SK Menhut No. 76/Kpts- 11/2001 dan peta Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRWP) Sumatera Selatan tahun 2006, dan pemukiman warga disajikan dalam Gambar 5. Terdapat perbedaan posisi batas antara situasi lapangan dengan peta dan antara 2 (dua) sumber peta. /,,. i \.A ~,/ l Areal penggunaan lain (APL) D" KS'IIl/,I: -;: Pal H 1 1&_/ '-c,~ Ds -, D3 r ;r \ 5 Tartt "9 ~, =tlng ),... / --,I / ~- '" \ Keterangan : Hutan Lindung berdasarkan peta kawasan hutan : Hutan Lindung berdasarkan peta RTRWP Gambar 5. Posisi pal batas, pemukim an dan hutan lindung di Kota Pagar Alam Sebagian besar posisi pal batas yang dijumpai di lapangan temyata tidak tepat berada di garis batas peta, baik berdasarkan peta kawasan hutan maupun 12

24 ~ RTRWP. Pal batas kawasan hutan yang ditunjukkan ketua RW Kerinjing, yaitu pal HI 216 berada di luar kawasan berdasarkan peta RTRWP dan di dalam kawasan berdasarkan peta kawasan hutan (Gambar 6a). Hasll pemeriksaan pal batas kawasan yang berbatasan dengan pemukiman RW Semidang Alas Juga menunjukkan bahwa semua pal batas tidak berada dalam posisi batas sesuai peta (Gambar 6b). Sementara, di Talang Kubangan, menu rut RTRWP pal batas dan pemukiman berada dalam kawasan hutan namun menurut peta kawasan hutan berada dl luar kawasan hutan lindung (Gam bar 6c). Kelompok pemukiman dan lahan budidaya masyarakat di Oesa Rimbo Candi sebagian besar masuk dalam kawasan hutan lindung. tetapi di wilayah tidak dapat ditemukan pal batas kawasan hutan (Gam bar 6d) ;:.>a HL J S S ell1ldang A as ;'al ~2 6 H- Pa l ~ L al"'l Par HL (6a) (6b) APL Hutan lindung Hutan'i7 APL / \ \ \ Ds C andl,,18 a _... 8atas J<3'19 K,,,, 33ll:la' tan lindung Os RI 1-'0 C8nd, / (6c) (6d) Gambar 6. Posisi pal batas kawasan hutan dan pemukiman di sekitarnya 13

25 Ketidaksesuaian antara pal batas yang dijumpai di lapangan dengan posisi batas di dalam peta, baik menurut peta kawasan hutan maupun RTRWP dapat disebabkan oleh faktor kelalaian dalam pemasangan pal batas, pemindahan pal batas yang telah ditanam ke luar batas sebenarnya, dan ketidaktepatan dalam digitasi peta. Ketidakjelasan batas fisik kawasan hutan menyebabkan lemahnya pengakuan masyarakat terhadap keberadaan kawasan hutan lindung. Batas dianggap sebagai penghalang aktivitas budidaya dan pelemahan status kepemllikan lahan masyarakat. Oleh karena itu, rencana aksi menanam pohon batas pada batas kawasan hutan lindung akan sulit direalisasikan jika persoalaan ketidaktepatan batas fisik kawasan hutan belum diselesaikan terlebih dahulu Pengukuhan Hutan: Sebuah Proses Mendapatka n Kepastian Huku m atas Kawasan Hutan (Kasus HL. Bukit Jambul Asah an) Kepastian hukum atas kawasan hutan didapatkan melalui proses kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan, diawali dengan kegiatan penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. Pada kasus HL. Bukit Jambul Asahan, Menteri Pertanian melalui Keputusan Nomor 925/Kpts/Um/12/1982 tanggal 27 Desember 1982 Jo Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 410/Kpts-11/ 1986 tanggal 29 Desember 1986, telah menunjuk sebagian kawasan hutan Bukit J ambul sebagai Kawasan Hutan Lindung (HL) Bukit Jambul Asahan. Sebagai tindak lanjut Keputusan Menteri Pertanian/Kehutanan tersebut dan sesuai Berita Acara Ta:3 Batas (BA TB) tanggal 2 Maret 1999, telah dilakukan kegiatan penaiaan ba~as sebagian Kawasan Hutan Lindung Bukit Nanti Ogan Ulu dan ditandatangi ole r Panitia Tata Batas (PTB) Kabupaten Muara Enim serta diketahui oleh Kepala Kanwil Departemen Kehutanan dan Gubernur Sumatera Selatan. Menteri Kehutanan belum dapat menetapkan Kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan karena kawasan hutan dimaksud belum seluruhnya ditata batas ketemu gelang. Pada tahun 2001, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.76/Menhut-11/2001, Menteri Kehutanan kembali menunjuk sebagian Kawasan Hutan Bukit Jambul sebagai Kawasan HL. Bukit Jambul Asahan. Guna mendapatkan kepastian hukum terhadap letak, batas, dan luas kawasan HL. Bukit Jambul Asahan maka pada tahun 2010 kembali dllakukan kegiatan 14

26 penataan batas yang dilaksa nakan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan (PTB) Bukit Jambul Asahan. Kegiatan penataan batas Kawasan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan pada tahun 2010 dimaksudkan untuk mengukur dan memancang pal/patok/ajir sementara di lapangan, serta memetakan batas areal kawasan hutan. Gambar 7 memperlihatkan posisi trayek tata batas sementara Kawasan HL. Bukit Jambul Asahan sebagai pedoman pelaksanaan tata batas.,,.. ' "\ I J ;L " I ~ I \ t Desai pemukiman ' TrClvek lata batas sementara 7, \ ~ \./ v L,. l,/./ / / \ / \ / -.,~-S /,/ Kil ometer s i~~~ ~~~~~ ~ Gambar 7. Posisi trayek tata batas sementara kawasan HL Bukit Jambul Asahan Gambar 7 memperlihatkan trayek batas antara Kawasan HL. Bukit ~ Jambul Asahan dengan wilayah desa-desa di sekitarnya (Areal Penggunaan Lain-APL). Jika mengacu kepada Gambar 7 maka akan ada 3 (tiga) desa definitif yang berada di dalam kawasan hutan, yaitu Oesa Tanjung Tiga di Kecamatan SOU, Desa Rekimai Jaya dan Oesa Swarna Owipa di Kecamatan SOT. Penataan batas sementara pada tahun 2010 telah meresahkan penduduk di ketiga desa tersebut Mereka pad a umumnya mempertanyakan mengapa desa mereka 15

27 , dimasukkan kedalam kawasan hutan dan bagaimanakah dampak dari posisi tersebut bagi masa depan desanya Namun demikian, sebagian besar warga ketiga desa-desa tersebut berkeyakinan bahwa penataan batas kawasan HL. tidak akan mempengaruhi keadaan dan kehidupan masyarakat karena desa mereka merupakan desa definitif. Jika mengacu kepada peta RTRWP Sumsel tahun 2006, Oesa Tanjung Tiga di Kecamatan SOU berada di luar kawasan hutan. Trayek tata batas sementara pada Gambar 7 diduga mengacu kepada peta penunjukan kawasan hutan (SK.76/2001) dan RTRWP Sumsel tahun 2006 (Gam bar 8). i >.1 r.." '~ I I I, (8a) Gambar 8. Posisi Desa Tanjung Tiga Kecamatan SOU menurut peta penunjukan kawasan hutan SK.76/2001 (8a) dan RTRWP Sumsel tahun 2006 (8b) (8b) Selain meresahkan 3 (tiga) desa yang masuk ke dalam kawasan HL., keg iatan penataan batas HL Bukit Jambul Asahan juga membuat risau masyarakat di desa-desa lainnya yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan dan memiliki usaha di lahan-iahan yang ternyata termasuk kedalam kawasan HL. Tabel 2 menyajikan desa-desa yang berbatasan langsung dengan kawasan HL. dan tipologi usahatani masyarakatnya. Sebagian besar masyarakat desa-desa yang tersebut dalam Tabel 2 berinteraksi secara langsung dengan lahan-iahan yang diidentifikasi sebagai kawasan HL, dalam bentuk usahatani sawah dan kebun. Keluhan yang paling sering muncul sehubungan dengan kegiatan penataan batas H L adalah mengapa sawah mereka masuk ke dalam kawasan HL, karena sawah memiliki nil ai tersendiri dalam tradisi orang Semende. 16

28 , Tabel 2. Karakteristik usaha masyarakat desa-desa yang berbatasan langsung dengan Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan No. Nama Kecamatan Nama Oesa Karakteristik Usaha Masyarakat 1. Penyandingan Sebagian besar sawah, kebun 1. Semende Oarat Laut (SOL) 2. Muara Oanau 3. Muara Oua 4. Pulau Panggung Sebagian besar kebun, sawah Sebagian besar sawah, kebun Sebagian besar sawah, dagang 2. Semende Oarat Tengah (SOT) 1. Batu Surau Sebagian besar sawah, kebun 2. Seri Tanjung Sawah dan kebun 3. Gunung Agung Sebagian besar sawah, kebun 3. Semen de Oarat Ulu (SDU) 1. Cahaya Alam Sawah dan kebun 2. Pelakat Sawah dan kebun 3. Oanau Gerak Sebagian besar sawah dan kebun 4. Segamit Sebagian besar sawah dan kebun Dalam tradisi orang Semendo sawah dan rumah merupakan harta yang diwariskan turun temurun melalui pranata adat "Tunggu tubang". "Tunggu tu bang" secara sederhana berarti anak perempuan tertua dalam keluarga yang mendapat kepercayaan untuk mengurus harta warisan keluarga, terutama sawah dan rumah. "Tunggu tubang" hanya memiliki hak untuk mengelola tetapi tidak dapat menukar atau menjual harta warisannya. ''Tunggu tubang" berkewajiban menjaga keutuhan harta warisan, mengurusi orang tua, dan melayani seluruh simpul keluarga jika mereka pulang ke rumah "Tunggu tubang". Pengelolaan harta "Tunggu tubang" diawasi oleh "Meraje", yaitu kakak laki-iaki tertua dalam keluarga Anak-anak dalam keluarga selain "tunggu tubang" disebut sebagai "anak tengah". "Anak tengah" umumnya tidak memiliki sawah, sehingga banyak dari mereka yang pergi merantau atau terpaksa membuka lahan hutan lindung sebagai alternatif usaha. "Tunggu tubang" wajib memberi makan "anak tengah" 17

29 dan keluarganya (sebagai konsekuensi penguasaan sawah) apabila mereka pulang ke desa pada saat tertentu, seperti pesta pemikahan, lebaran Idul Fitri, atau pemilihan kepala desa. Oleh karena itu, sawah memiliki nilai yang tinggi dalam tradisi orang Semendo. Panitia tata batas sebaiknya mempertimbangkan sawah-sawah "Tunggu Tubang" sebagai hak-hak pihak ketiga yang harus diselesaikan sebelum penataan batas definitif. Tabel 2 pada dasarnya menunjukkan desa-desa yang berpotensi "dirugikan" karena kegiatan tata batas. Desa-desa yang sebagian besar masyarakatnya mengandalkan sawah dan dapat berarti pula berposisi sebagai "Tunggu tubang" tidak dapat menerima secara ikhlas kegiatan tata batas. Intensitas keluhan kegiatan tata batas paling rendah disuarakan oleh Desa Muara Danau. Di desa ini, interaksi antara masyarakat dengan lahan hutan lindung sebagian besar dalam bentuk kebun kopi. Dalam kasus Desa Muara Danau, keluhan masyarakat terhadap kegiatan tata batas dapat diselesaikan oleh Pemerintahan Desa setempat, karena kebun tidak memiliki ikatan sosiologis yang kuat dengan tradisi orang Semen do. Kegiatan penataan batas tahun 2010 sebetulnya merupakan kelanjutan atau rekonstruksi dari kegiatan tata batas tahun 1998/1998. Pal batas kawasan hutan yang dipasang pada tahun 1998/1999 dipedomani masyarakat sebagai posisi definitif batas kawasan hutan, meskipun pada kenyataannya berbeda dengan posisi trayek batas. Sebagai contoh kasus, posisi pal batas sementara tahun 2010 yang melewati Desa Muara Danau tidak persis sama dengan pedoman trayek batas (Gam bar 9). Hal in; dapat terjadi karena pendamping lokal dari desa setempat tetap berpegang pad a posisi pal batas lama (tahun 1998/1999), sesuai keputusan tim tata batas yang mereka bantu pad a tahun 1998/1999. Selain itu, meskipun pal batas lama telah terpasang sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu, namun tidak menghentikan aktivitas masyarakat untuk tetap masuk dan beraktivitas usahatani ke dalam kawasan hutan lindung (Gambar 10). 18

30 , Pe yand,ngan Posisi pal batas 2010 Posisi trayek batas 2010 ~ u a (a Dar aj 0,6 0, 1,2 Kl l om~ter ~ ~~--~~~~--~ Gambar 9, Posisi pal batas sementara yang dipasang pada tahun 2010 dan jalur trayek batas sebagai pedoman pelaksanaan tata batas (10a) (10b) Gambar 10, Pal batas kawasan HL yang dipasang pada tahun 1999 (7a) dan hutan lindung yang berubah menjadi perkebunan kopi (7b) Hampir seluruh masyarakat Desa Muara Danau mengetahui dimana posisi kawasan hutan lindung yang mereka sebut sebagai "hutan rintis", Secara 19

31 formal masyarakat desa mengetahui dan mengakui keberadaan kawasan hutan lindung, namun secara faktual mereka tetap berusahatani atau mengalihfungsikan kawasan hutan tersebut untuk keperluan pemenuhan kebutuhan ekonomi. Alasan umum yang dikemukakan masyarakat tentang mengapa mereka membuka hutan lindung adalah karena mereka merupakan Hanak tengah" yang tidak menguasai harta warisan orangtuanya. Selain itu, mereka Juga merasa tidak memiliki alternatif sumber nafkah lainnya kecuali dari aktivitas pengelolaan lahan (ag raris). Pal batas kawasan hutan dianggap sebagai onak yang mengganggu ketenangan aktivitas usahatani mereka. Pad a sisi lain, masyarakat tetap menebangi hutan lindung dengan alasan bahwa pal batas tidak dipasang pada lahan yang mereka masuki. Oleh karena itu, tanpa menyediakan alternatif sumber ekonomi, keberadaan pal batas tidak cukup berguna untuk memantapkan fungsi kawasan hutan lindung, meskipun kuat secara hu kum Mengenalkan Aren sebagai Pohon Batas; Upaya Multimanfaat. Tanaman aren terbukti menjadi sumber ekonomi utama bagi masyarakat di Desa Air Meles Atas, Desa Sindang Jaya, dan Sindang Jati di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu (Prakosa et ai., 2009). Jika dibandingkan, maka desadesa sekitar Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan di Semendo memiliki banyak kesamaan dan perbedaan dengan ketiga desa penghasll gula aren di Rejang Lebong. Kesamaannya adalah bahwa desa-desa itu berada di sekitar kawasan hutan lindung, topografi bergelombang hingga berbukit, jenis tanah berasosiasi dengan andosol, ketinggian antara 700 m s.d m di atas permukaan laut, dan jenis tanaman dominan di kebun adalah kopi. Perbedaan yang mencolok antardesa yang berbeda kabupaten dan provinsi in i adalah bahwa masyarakat desa aren di Rejang Lebong tidak mengalihfungsikan kawasan hutan lindung karena mereka memiliki sumber ekonomi selain kopi, yaitu pohon aren penghasil gula yang mampu memberikan penghasilan harian atau mingguan dan menyibukkan aktivitas harian masyarakat, sementara desa-desa Semendo hanya mengandalkan kopi sebagai komoditas utama dan masyarakatnya terpaksa memasuki kawasan hutan lindung untuk mencari lahan-iahan subur baru di dalam kawasan HL untuk pertanaman kopi. Persamaan dan perbedaan antara desa-desa Semendo yang berbatasan langsung dengan kawasan HL Bukit Jam bul Asahan dengan desa-desa penghasil gula aren di Rejang Lebong menjadi pintu masuk bagi introduksi 20

32 .. tanaman aren sebagai pohon batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan. Pengenalan aren sebagai pohon batas kawasan HL dilakukan hanya untuk desadesa yang dapat menerima atau tidak bermasalah dengan keberadaan batas kawasan hutan yang bersinggungan dengan desanya Dalam kasus ini, hanya Desa Muara Danau di Kecamatan SDL yang dapat menerima semua posisi pal batas sementara yang dipasang oleh Tim Tata Batas. Sementara, desa-desa lainnya belum dapat menerima posisi batas sementara yang ditunjuk oleh Tim Tata Batas, terutama pad a posisi yang melintasi persawahan. Kegiatan pengenalan aren sebagai pohon batas kawasan hutan di Desa Muara Danau diawali dengan audiensi rencana kegiatan terhadap aparat pemerintahan desa. Dukungan aparat pemerintahan desa diperlukan sebagai modal sosial awal untuk memperoleh dukungan masyarakat dan memudahkan aktivitas observasi lapangan terhadap lahan-iahan usahatani masyarakat yang dilalui garis batas kawasan hutan. Observasi lapangan terhadap lahan-iahan yang dilalui garis batas kawasan hutan mengikuti trayek rintis tata batas. Hasil observasl lapang adalah data nama dan ala mat pemilikjpenguasa lahan, jenis dan umur tanaman, kepadatan tanaman, dan potensi gulma di sepanjang garis batas kawasan yang termasuk dalam wilayah administrasi Oesa Muara Danau (Gambar 11). Deskripsi areal di sepanjang garis batas berguna dalam membuat perencanaan teknis penanaman aren pohon batas dan sebagai materi (amunisi) dalam diskusi desa. Setelah mendapatkan gambaran tentang areal di sepanjang garis batas, semua pemilik/penguasa kebun dalam posisi batas diundang ke pertemuan diskusi desa. 21

33 / ' C ' ~ rc; P ;il: :3 n.:. in ~8 I I t - :ar t: ~ gg oo,j~ ir be _ <arrss a l;el o r o) r,, ~g?e(! a ~Cii ' <;;a 7arsi::i ~~'1 "loaf ' S:" arr, - J/.,a"'a D... a ~3., s _ II., :: ' ~ ['c,a 'NNI~E ~ba 'n,,; t~ tl -ar \ I-j J 'h e l u~ a r Muara Da nau Gambar 11. Deskripsi garis batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan yang berbatasan dengan Desa Muara Danau Diskusi desa "aren sebagai pohon batas kawasan hutan" diikuti oleh para penguasa kebun yang teridentifikasi berada dalam garis batas kawasan HL Bukit Jambul Asahan, para tokoh masyarakat dan aparat pemerintahan Desa Muara Danau. Diskusi menggunakan metode fasllitasi dimana tim peneliti lebih ban yak memakai kata tanya dibandingkan pernyataan. Diskusi diawali dengan topik "pentingnya keberadaan kawasan hutan lindung" yang menghubungkan posisi hutan lindung dan keberlanjutan sawah-sawah yang terdapat di sekitar desa. Diskusi dilanjutkan dengan topik "mengapa perlu dibuat batas (pal batas) kawasan hutan". Pada sesl tersebut, diskusi cukup hangat karena sebagian warga merasa resah dengan keberadaan pal batas. Guna mengakhiri perdebatan seputar "nasib masyarakat pasca tata batas" tim peneliti menawarkan untuk membuat rencana penanaman aren di sepanjang kebun dalam garis batas kawasan hutan. Peserta diskusi desa merespon lontaran ide "penanaman aren di sepanjang batas ka wasan hutan" dengan 12 orang dapat menerima dan 8 orang menolak, sementara yang lainnya tidak menyatakan 22

34 pendapat. Penolakan terutama dilakukan oleh para tokoh masyarakat yang khawatir akan hilangnya sumber ekonomi masyarakat akibat penanaman aren. Penolakan terhadap ide penanaman aren di sepanjang batas kawasan hutan merupakan pintu masuk untuk menyampaikan "persamaan dan perbedaan antara desa-desa di Semendo dengan desa-desa Aren di Rejang Lebong. Kelebihan tingkat ekonomi masyarakat desa desa aren dibandingkan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat desa-desa Semendo, kemudahan teknik budidaya dan pengolahan nira aren menjadi gula ternyata mampu mempengaruhi minat masyarakat untuk mendukung ide menjadikan aren sebagai batas kawasan hutan. Bahkan, para tokoh masyarakat yang pad a awalnya menolak ide tersebut justru menunjukkan keinginan (passion) yang besar untu k turut menanam aren, meskipun tidak termasuk sebagai penguasa kebun di sepanjang garis batas. Penerimaan masyarakat terhadap ide penanaman aren di sepanjang batas ditunjukkan dengan kesediaan mereka untuk menanam dan memelihara tanaman aren secara swadaya. Tim peneliti diminta hanya menyediakan bibit aren dan memberi arahan teknik penanaman di lapangan serta melakukan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa keresahan masyarakat pasca kegiatan tata batas kini telah berubah menjadi harapan untuk hidup harmoni dengan hutan lindung dan pemerintah Mereka berharap suatu saat kebun-kebun yang berada di sepanjang garis batas tidak hanya teridentifikasi sebagai batas antara kawasan hutan lindung Bukit Jambul Asahan dengan areal budidaya masyarakat, tetapi menjadi inspirasi sumber ekonomi warga sekitarnya Deteksi Tanaman Aren dengan Indeks Vegetasi Jumlah band pada citra Alos hanya 4 band (saluran) sehingga formula indeks vegetasi yang dipakai hanya NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), SAVI (Soil-adjusted Vegetation Index) dan MSA VI (Modified Soil Adjusted Vegetation Index). Citra yang dipakai adalah ALOS AVNIR-2 dengan waktu pengambilan 25 Juni 2010 dan resolusi spasial 10 m, yang diperoleh dari LAPAN. ALOS/AVNIR-2 atau Advanced Land Observing Satellite/Advanced Visible Near Infrared Radiometer type 2, merupakan citra yang digunakan untuk mengobservasi daratan dan pantai khususnya untuk menghasilkan peta tutu pan 23

35 , lahan (land cover) dan peta penggunaan lahan dalam monitoring perubahan lingkungan (JAXA, 2007). Oari hasil analisis indeks vegetasi diperoleh hasil bahwa tegakan aren yang tajuknya rapat mempunyai nilai NOVI yang lebih tinggi dibandingkan tanaman lain di dekatnya. Tajuk tegakan aren yang rapat mengandung lebih banyak klorofil, sehingga deteksi dengan indeks vegetasi menghasilkan nilai NOVI yang lebih besar dari tanaman di sekitarnya. Namun demikian tegakan yang agak jarang mempunyai nllai NOVI yang sulit dibedakan dengan tanaman disekitarnya. Demikian juga tanama n aren yang dicampur tanaman kopi mempunyai nilai NDVI yang lebih rendah dibandingkan tanaman aren tua yang rapat dan agak sulit dibedakan dengan tanaman di sekitarnya. Melihat hasil deteksi dengan indeks vegetasi di atas, maka penanam an pohon batas dengan menggunakan aren sebaiknya ditanam rapat dan tidak dicampur dengan tanaman lain seperti kopi. Namun demikian tanaman kopi masih bisa ditanam asalkan ditanam pada jalur tertentu, sehingga nilai NOVI tidak turun dan dapat dibedakan dengan tanaman lain disekitarnya. Hasil nilai NOVI dan titik plot tanaman aren dapat dilihat pada Gambar 12. Pada Gambar 12 terlihat bahwa masih agak sulit membedakan tanaman aren dengan tanaman disekitar, tetapi kalau aren ditanam memanjang dengan lebar tertentu dan rapat, maka nilai NOVI akan terlihat seperti garis pembatas yang berbeda dengan tanaman di sekitarnya. Seandainya disebelahnya merupakan hutan yang rapat yang mungkin nilai NOVlnya hampir sama atau lebih tinggi dari pohon batas aren, tetapi tetap masih dapat dibedakan dengan tanaman disisi yang lain yaitu lahan masyarakat yang biasanya terdiri atas tanaman perkebunan ataupun semak belukar Oengan demikian indeks vegetasi NOVI sudah dapat digunakan untuk mendeteksi tegakan aren. Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah koreksi geometri citra, karena apabila tingkat kesalahan dari koreksi geometri cukup besar maka lokasi tegakan aren di lapangan dan di citra bisa berbeda atau bergeser. Oengan demikian hasil analisisnya menjadi salah, karena tidak pada lokasi yang benar. 24

36 ,.;5. I _ rc - i. "-, H.' I _. _. I ' l C-., 'f: '=', ;~,,!!! ~ ' 3f)OO ':3 -.':jd : '. ~ : - r: L:. Gambar 12. Nilai indeks vegetasi NOVI pada plot tanaman aren milik masyarakat di Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong. Oeteksi dengan menggunakan metode SAVI ternyata mempunyai range nilai yang lebih besar, sehingga agak sedikit lebih detil untuk membedakan hasil tutupan tajuk. l\ji lai interval SAVI seperti yang terlihat pad a Gambar 10 terletak antara -1,5 sampai dengan 1,5, dibandingkan dengan nilai NOVI (-1 sampai dengan 0,94). Perbedaan formula antara NOVI dan SAVI ini adalah dimasukkannya faktor kalibrasi tanah pada SAVI, sedangkan pada NOVI hanya berdasar 2 saluran atau band yaitu saluran infra merah dan saluran merah. Oengan demikian SAVI dapat digunakan untuk menentukan tutupan tanaman aren, karena sedikit lebih mudah dibedakan dibandingkan NOV!. Namun demikian kerapatan tanaman aren merupakan faktor penting dalam penanaman pohon batas, karena apabila tajuk tersebut tidak menutup maka nilai indeks vegetasi akan sulit dibedakan dengan tanaman disekitarnya. Oengan hanya memasukkan faktor kalibrasi tanah, maka interval nilai SA VI menjadi lebih lebar. Faktor kalibrasi tanah akan berpengaruh terutama pada lokasi dimana kanopi tidak menutup rapat dan pantulan tanah masih mempengaruhi nilai pixel pada citra, maka pad a kondisi tersebut formula SAVI lebih tepat dibanding NOVI (Gambar 13). Seperti pada NOVI, faktor yang tidak boleh diabaikan adalah koreksi geometri harus dibuat setepat mungkin atau error yang terjadi diusahakan sekecil mungkin. Wama biru menunjukkan bahwa tidak terdapat 25

37 vegetasi penutup dengan nilai pixel -1,5 dan warna ungu menunjukkan penutupan vegetas i yang paling ra pat dengan nilai pixel maksimum 1,5. Ternyata plot tanaman aren terl etak pada pixel dengan warna ungu atau tergolong penutupan tajuk yang rapat. 1:2) -!.. -:......!. j.l. Cl Ll x... ~ 0 0 ri '.<". 0 0 '. ~ Gambar 13. Nllai indeks vegetasi SAVI pa da plot tanaman aren mllik masyarakat dl Pal 8, Kabupaten Rejang Lebong. Deteksi dengan menggunakan formula MSAVI (Gambar 14) mempunyai hasil yang lebih detil lagi, karena interval nilainya sangat lebar yaitu antara 0,5 sampai dengan 255,5, sehingga semakin mudah dibedakan dengan tutupan lahan disekitarnya, meskipun pada formula ini tidak mempertimbangkan faktor kalibrasi tanah. Formula yan g cukup rumit ternyata mampu memisahkan tutupan lahan dengan lebih detil. Hasil peta MSAVI dapat dilihat pada Gambar 11. IV1SAVI merupakan hasil modifikasi dari SAVI, dengan formula yang lebih kompleks. Warna biru menunjukkan bahwa tidak terdapat vegetasi penutup dengan nilai pixel -1,5 dan warna ungu menunjukkan penutupan vegetasi yang ~ paling rapat dengan nilai pixel maks imum 255,5. Ternyata plot tanaman aren terletak pada pixel dengan antara wama hijau dan oranye atau tergolong penutupan tajuk yang cukup rapat dengan nilai pixel antara 127,5 sampai dengan 191,5. Pada SAVI plot aren masuk pada kategori tajuk sangat rapat (warna ungu), tetapi pada MSAVI masuk pada kategori tajuk cukup rapat karena terletak pada nilai 127,5-191,5 sedangkan nilai maksim um pixel 255,5. Dengan 26

38 demikian formula MSAVI lebih detil dibandingkan formula SAVI dalam membedakan kerapatan tajuk. Dari ha sil tersebut maka deteksi penutupan tegakan aren dapat dilakukan dengan analisis indeks vegetasi MSAVI, karena hasilnya lebih baik dari pada SA VI. w w., I ~._ I., -~. " 'It. L.' I,. I\, - w~ :J ',.. -~ ~. Q. Gambar 14. Nilai indeks vegetasi MSAVI pada plot tanaman aren milik masyarakat di Desa Air Meles, Kabupaten Rejang Lebong. Dari ketiga indeks vegetasi yang digunakan untuk analisis, maka penanaman pohon batas dengan tanaman aren hendaknya ditanam agak rapat agar tajuk dapat menutup rapat, sehingga nilai indeks vegetasinya (MSAVI) menjadi tinggi. Dengan demikian tegakan pohon batas tersebut dapat dibedakan dengan pohon di sekitarnya. Rumus MSAVI memberikan hasil yang terbaik dibandingkan rumus indeks vegetasi yang lain. Interval nilai MSAVI yang besar memberikan peluang untuk lebih mudah membedakan tutupan tajuk tegakan aren dengan tutupan tanaman lain di sekitarnya. Jarak tanam tanaman aren agar dapat dideteksi dengan citra ALOS-AVNIR-2 tergantung dari lebar tajuknya, yang penting tajuk tersebut bisa menutup rapat sehingga tidak ada pantulan dari semak belukar, tanaman kopi ataupun tanah. Dengan demikian diperkirakan jarak tanamnya antara 8x8 meter sa mpai 1 Ox1 0 meter. Hasil anal isis citra dengan formula yang lain seperti RVI, TVI, VIF, PVI, ARVI, ASVI, Albedo, KT1 dan MID14, masing-masing akan disajikan pada Gambar

39 .., d!h~ RVI TVI -rm=:-:. VIF, '...'......_...,...c=:iliiiio..j'..._... _'...'... '... '._. PVI... ".. '. fl 'ts i ' ARVI ASVI "'1''' t..n=r=p,.t &.', b Albedo KT1 -,,"w_ ~.,, _... - Gambar 15. Hasil analisis beberapa indeks vegetasi dari citra ALOS-AVNIR-2. MID14 28

40 Pada Gambar 15, beberapa formula hasilnya hampir sama dengan ketiga formula di atas dan beberapa formula ti dak dapat digunakan untuk mendeteksi tutupan tega kan aren. Hasil dari formula yang tidak dapat digunakan untuk mendeteksi yaitu: TVI, PVI, ARVI, Albedo dan KT1. Pada kelima formula tersebut perbedaan tutupan vegetasi tidak dapat terlihat dengan jel as. Degradasi warna dari perbedaan tutupan vegetasi hanya kecil, sehi ngga sulit untu k membedakan antara tutu pan tegakan aren dan vegetasi disekelilingnya. Pada ARVI mungkin masih bisa dibedakan berdasarkan nilai pixelnya, tetapi secara visual sulit dibedakan, tetapi untuk keempat indeks vegetasi lainn ya sulit dibedakan karena warnanya didominasi warna biru (Gambar 16). r!ei ; ~ _.\,. ~_. - l.. C. 11' CQ ',,'--,'. ~. c Gambar 16. Hasil analisis indeks vegetasi MID14 dari ALOS-AVNIR-2 Pada Gambar 15 dan Gambar 16 formula indeks vegetasi yang masih dapat untuk membedakan tegakan aren yaitu RVI, VIF, ASVI dan MID14. Namun demikian dari keem pat formula tersebut yang paling baik adalah ASVI, karena pada dasarnya hasilnya sama dengan MSAVI. Sedangkan untuk SAVI hasilnya hampir sama dengan VIF. Pada formula indeks vegetasi MID14 ternyata hasilnya cukup baik untuk membedakan tutupan vegetasi, karena interval nilainya sangat lebar (mulai nilai 3 sampai dengan 333), sedangkan untuk MSAVI interval nilai pixelnya antara -0, 5 sampai 255,5. Dengan demikian untuk membedakan tutupan 29

41 ., vegetasi tegakan aren ini sebaiknya digunakan formula indeks vegetasi MSAVI atau MID Deteksi Tanaman Aren dengan Cara Visual Deteksi tutupan tanaman aren secara visual dengan citra ALOS-AVNIR-2 dengan resolusi 10 meter ternyata masih sulit dilakukan, karena resolusi 10 meter belum cukup terlihat secara visual untuk membedakan antara tutupan lahan tanaman aren dengan tanaman di sekitarnya. Gambar (image) citra ALOS AVNIR-2 dengan resolusi 10 meter, untuk lokasi kota Curup, Kabupaten Rejang Lebong dan sekitamya disajikan pada Gambar 17 dan gambar citra ALOS AVNIR-2 satu scene dapat dilihat pada Gambar 18. Dengan resolusi 10 meter tersebut deteksi secara visual tutupan pohon batas aren belum dapat dilakukan, karena obyek masih terlihat kabur. Dari hasil tersebut disarankan untuk mencoba citra dengan resolusi yang lebih de til, misalnya resolusi 5 meter atau yang lebih detll yaitu 1 meter. Dengan demikian jarak tanam aren sebagai pohon batas bisa ditanam dengan jarak tanam 8x8 m sampai 1 Ox1 0 meter, dengan lebar jalur minimum 40 m agar minimum terekam citra sebanyak 4 pi xel pada resolusi 10 meter... ;... J,.: I.. t '.j:..p. J ~ ':Ic;:;., r.i., ~. ' ~ OG,', ~ ::; "..L \. Gambar 17. Gambar citra ALOS-AVNIR-2 setelah diperbesar dengan skala 1:

42 .,!::l - -'-....:.i: ' - Du ". ~ : ~-:. - 11"' -. "i Gambar 18. Citra ALOS-AVNIR-2 satu scene penuh dengan skala 1:

43 BABVI PENUTUP 1) Kegiatan tata batas kawasan hutan merupakan bagian dari proses pengukuhan yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum atas letak dan luas suatu kawasan hutan, termasuk dalam kasus ini adalah Hutan Lindung Bukit Jambul Asahan. Secara umum, kegiatan penataan batas pada posisi yang berbatasan lang sung dengan areal garapan masyarakat, terutama persawahan, cukup meresahkan masyarakat Tata batas terbukti menguatkan posisi hukum kawasan hutan lindung, namun secara faktual seringkali tidak efektif menjadi batas aktivitas, sehingga pengalihfungsian hutan lindung menjadi perkebunan kopi tetap terjadi. Penelitian aksi "penanaman aren sebagai pohon batas kawasan hutan" dapat mewujudkan ide untuk menanami kebun-kebun di sepanjang garis batas kawasan dengan pohon aren, melalui dukungan masyarakat untuk menanam dan memelihara aren secara swadaya. Kebun aren diharapkan tidak berfungsi sebagai batas yang memisahkan antara kawasan hutan lindung dengan areal budidaya masyarakat tetapi juga menjadi sumber ekonomi bagi masyarakat 2) Formula indeks vegetasi yang terbaik pada citra ALOS-AVNIR-2 yang dapat digunakan untuk mendeteksi tutu pan tegakan aren sebagai pohon batas adalah MID14 dan MSAVI. 3) Jarak tanam untuk penanaman aren sebagai pohon batas agar dapat dideteksi dengan citra satelit ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter adalah 8x8 meter sampai 1 Ox1 0 meter, dengan lebar jalur minimum 40 meter. 4) Deteksi tutupan tegakan aren secara visual tidak dapat dilakukan dengan ALOS-AVNIR-2 resolusi 10 meter, dengan demikian perlu dicoba untuk resolusi yang lebih tinggi ya itu resolusi 5 meter sampai 1 meter. 32

44 DAFTAR PUSTAKA C P. Lo Penginderaan Jauh Terapan. Edisi terjem ahan. Jakarta: Universitas Indonesia. Danoedoro, P Pengolahan Citra Digital, Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Yogyakarta : Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Flood, R.L The relationship of 'systems thinking ' to action research. Di dalam Reason P dan Bradbury H, editor. Handbook of Action Research. Participative Inquiry and Practice. London: Sage Publication. Lillesand, Thomas M. dan Kiefer R Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Ed isi terjemahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Prakosa et al Upaya Pen gembangan Aren Di Areal Sekitar Kawasan Hutan Lindung Melalu i Pemanfaatan Perangkat Pendukung Keputusan. Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang. Selener D Participatory Action Research and Social Change. New York: Cornell Un iversity. Siegel S Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-llmu Sosial. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wulan, Y.C., Yasmi Y, Purba C, dan Wollenberg E. sektor kehutanan di Indonesia. Laporan Hasil Research Report. Bogar CIFOR Analisi s konflik Penelitian CIFOR-FWI 33

45

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Ilmu penginderaan jauh berkembang sangat pesat dari masa ke masa. Teknologi sistem sensor satelit dan berbagai algoritma pemrosesan sinyal digital memudahkan pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teh merupakan salah satu komoditas unggulan Negara Indonesia. Berdasarkan data Direktorat Jendral Perkebunan (2014), perkebunan teh di Indonesia mencapai 121.034 Ha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Era Teknologi merupakan era dimana informasi serta data dapat didapatkan dan ditransfer secara lebih efektif. Perkembangan ilmu dan teknologi menyebabkan kemajuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Citra 5.1.1 Kompilasi Citra Penelitian menggunakan citra Quickbird yang diunduh dari salah satu situs Internet yaitu, Wikimapia. Dalam hal ini penulis memilih mengambil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 399/Kpts-II/1990 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 399/Kpts-II/1990 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 399/Kpts-II/1990 TENTANG PEDOMAN PENGUKUHAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN, Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 33

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hasil sensus jumlah penduduk di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 1.904.569 km 2 menunjukkan adanya peningkatan jumlah penduduk, dari tahun 2010 jumlah penduduknya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA

ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ANALISA DEGRADASI HUTAN MANGROVE PADA KAWASAN WISATA TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Oleh YOHAN M G JARISETOUW FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS NEGERI PAPUA MANOKWARI 2005 ii Abstrak Yohan M G Jarisetouw. ANALISA

Lebih terperinci

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan : MAKSUD DAN TUJUAN q Maksud dari kegiatan ini adalah memperoleh informasi yang upto date dari citra satelit untuk mendapatkan peta penggunaan lahan sedetail mungkin sebagai salah satu paramater dalam analisis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa. penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan TINJAUAN PUSTAKA KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan disebutkan bahwa perencanaan kehutanan meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1. Persebaran Lahan Produksi Kelapa Sawit di Indonesia Sumber : Badan Koordinasi dan Penanaman Modal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan dengan jumlah penduduk pada tahun 2014 sebanyak 237.641.326 juta jiwa, hal ini juga menempatkan Negara Indonesia

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PROGRAM INSENTIF RISET DANA BANTUAN SOSIAL (BLOCK GRANT) RISTEK 2010

PROGRAM INSENTIF RISET DANA BANTUAN SOSIAL (BLOCK GRANT) RISTEK 2010 PROGRAM INSENTIF RISET DANA BANTUAN SOSIAL (BLOCK GRANT) RISTEK 2010 1. PEMANFAATAN AREN SEBAGAI POHON BATAS KAWASAN HUTAN 2. PENGEMBANGAN BIOFARMAKA DI SEMATERA SELATAN 3. PEMANFAATAN LAHAN GAMBUT UNTUK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1242, 2012 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Pengukuhan. Standar. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 44/Menhut-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI JAWA BARAT

GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI JAWA BARAT + GubernurJawaBarat PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2013 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENATAAN BATAS KAWASAN HUTAN DI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA BARAT,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy

PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO. Risma Fadhilla Arsy PEMANFAATAN CITRA ASTER DIGITAL UNTUK ESTIMASI DAN PEMETAAN EROSI TANAH DI DAERAH ALIRAN SUNGAI OYO Risma Fadhilla Arsy Abstrak : Penelitian di Daerah Aliran Sungai Oyo ini bertujuan mengesktrak parameter

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat Adat Kasepuhan Pengertian masyarakat adat berdasarkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun)

Lebih terperinci

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) 1 KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI) Tesis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk yang bermata pencaharian

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE JAKARTA, MEI 2005 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem

BAB I PENDAHULUAN. Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penambangan batubara pada umumnya di Indonesia adalah sistem tambang terbuka (open pit mining) dengan teknik back filling. Sistem ini merupakan metode konvensional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas

BAB I PENDAHULUAN. and R.W. Kiefer., 1979). Penggunaan penginderaan jauh dalam mendeteksi luas BAB I PENDAHULUAN Bab I menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah serta sistematika penulisan yang menjadi dasar dari Perbandingan Penggunaan

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x, No. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 JURNAL TEKNIK POMITS Vol. x,. x, (2014) ISSN: xxxx-xxxx (xxxx-x Print) 1 Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Identifikasi Kerusakan Hutan di Daerah Aliran Sungai (DAS) (Studi Kasus : Sub DAS Brantas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh didefinisikan sebagai proses perolehan informasi tentang suatu obyek tanpa adanya kontak fisik secara langsung dengan obyek tersebut (Rees, 2001;

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan Lahan Lahan adalah suatu wilayah daratan yang ciri-cirinya menerangkan semua tanda pengenal biosfer, atsmosfer, tanah geologi,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: P.50/Menhut-II/2011 P. /Menhut II/2011 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: P.50/Menhut-II/2011 P. /Menhut II/2011 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor: P.50/Menhut-II/2011 P. /Menhut II/2011 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN Jakarta, Juni 2012 KATA PENGANTAR Buku ini merupakan penerbitan lanjutan dari Buku Statistik Bidang Planologi Kehutanan tahun sebelumnya yang

Lebih terperinci

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU SUMBERDAYA WILAYAH PESISIR (STUDI KASUS DI DELTA SUNGAI WULAN KABUPATEN DEMAK) Septiana Fathurrohmah 1, Karina Bunga Hati

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.62/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.62/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR Menimbang : Mengingat : PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.62/Menhut-II/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR P.44/MENHUT-II/2012 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989). BAB II METODE KAJIAN 2.1. Pengertian Rekonstruksi, dari kata re : kembali, dan konstruksi : susunan, model, atau tata letak suatu bangunan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989), dalam hal ini rekonstruksi

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRACT... xiii

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

2011, No Mengingat Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan perlu disesuaikan dengan ketentuan perundang-un

2011, No Mengingat Pengukuran dan Penataan Batas Areal Kerja Hak Pengusahaan di Bidang Kehutanan perlu disesuaikan dengan ketentuan perundang-un BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.192. 2011 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Batas Areal Kerja. Izin Pemanfaatan Hutan. Penataan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P. 19/Menhut-II/2011 TENTANG

Lebih terperinci

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya,

Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara Jurusan Teknik Geomatika FTSP-ITS, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya, KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAERAH ALIRAN SUNGAI BRANTAS BAGIAN HILIR MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTI TEMPORAL (STUDI KASUS: KALI PORONG, KABUPATEN SIDOARJO) Aninda Nurry M.F., Ira Mutiara Anjasmara

Lebih terperinci

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM

PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM PEMETAAN KERUSAKAN MANGROVE DI MADURA DENGAN MEMANFAATKAN CITRA DARI GOOGLE EARTH DAN CITRA LDCM Oleh : Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc Program Studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura email

Lebih terperinci

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan

Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun di Kota Tangerang Selatan Perubahan Penggunaan Tanah Sebelum dan Sesudah Dibangun Jalan Tol Ulujami-Serpong Tahun 2000-2016 di Kota Tangerang Selatan Aisyah Desinah 1, Mangapul P. Tambunan 2, Supriatna 3 1 Departemen Geografi.

Lebih terperinci

this file is downloaded from

this file is downloaded from th file PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut

Lebih terperinci

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA

KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA KONDISI KAWASAN HUTAN PROVINSI SUMATERA UTARA (Bahan Kata Sambutan Gubernur Sumatera Utara pada Rapat Monitoring dan Evaluasi Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kehutanan dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1. Gap Filling Citra Gap Filling citra merupakan metode yang dilakukan untuk mengisi garisgaris yang kosong pada citra Landsat TM hasil download yang mengalami SLCoff, sehingga

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 19/Menhut-II/2011 TENTANG PENATAAN BATAS AREAL KERJA IZIN PEMANFAATAN HUTAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 19/Menhut-II/2011 TENTANG PENATAAN BATAS AREAL KERJA IZIN PEMANFAATAN HUTAN PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 19/Menhut-II/2011 TENTANG PENATAAN BATAS AREAL KERJA IZIN PEMANFAATAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal.

DAFTAR TABEL. No. Tabel Judul Tabel No. Hal. DAFTAR ISI Halaman Judul... No Hal. Intisari... i ABSTRACT... iv KATA PENGANTAR... v DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi BAB I... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu dari tipe ekosistem yang ada di dunia dan dicirikan melalui suatu liputan hutan yang cenderung selalu hijau disepanjang musim.

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.9/Menhut-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.65, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Koridor. Penggunaan. Pembuatan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.9/MENHUT-II/2010 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman

I. PENDAHULUAN. masyarakat Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Pesawaran. Selain itu taman I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman merupakan wilayah sistem penyangga kehidupan terutama dalam pengaturan tata air, menjaga kesuburan tanah, mencegah erosi, menjaga keseimbangan

Lebih terperinci

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan alam tropika

Lebih terperinci

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS

DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS DETEKSI EKOSISTEM MANGROVE DI CILACAP, JAWA TENGAH DENGAN CITRA SATELIT ALOS Oleh : Tresna Sukmawati Suhartini C64104020 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA

PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA PERUBAHAN LUAS EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI TIMUR SURABAYA Nirmalasari Idha Wijaya 1, Inggriyana Risa Damayanti 2, Ety Patwati 3, Syifa Wismayanti Adawiah 4 1 Dosen Jurusan Oseanografi, Universitas

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT

INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT INTERPRETASI CITRA SATELIT LANDSAT Tujuan: Mahasiswa dapat mengidentifikasi objek yang ada pada citra landsat Mahasiswa dapat mendelineasi hasil interpretasi citra landsat secara teliti Mahasiswa dapat

Lebih terperinci

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini*

Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* PENENTUAN RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) DENGAN INDEX VEGETASI NDVI BERBASIS CITRA ALOS AVNIR -2 DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI DI KOTA YOGYAKARTA DAN SEKITARNYA Sudaryanto dan Melania Swetika Rini* Abstrak:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tanaman perkebunan utama di Indonesia. Kelapa sawit menjadi komoditas penting dikarenakan mampu memiliki rendemen

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Tahun Buku II BPK Palembang 126

Laporan Kegiatan Tahun Buku II BPK Palembang 126 Program : Penelitian dan Pengembangan Produktivitas Hutan Judul RPI : Agroforestry Koordinator : Ir. Budiman Achmad, M.For.Sc. Judul Kegiatan : Paket Analisis Sosial, Ekonomi, Finansial, dan Kebijakan

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : SK.352/Menhut-II/2004 TENTANG IZIN PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN KORIDOR UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D

ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R. Oleh : INDIRA PUSPITA L2D ZONASI KONDISI KAWASAN HUTAN NEGARA DI DIENG DAN ARAHAN PENGELOLAAN YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN T U G A S A K H I R Oleh : INDIRA PUSPITA L2D 303 291 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG

STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI DALAM SISTEM AGROFORESTRI HASIL HUTAN BUKAN KAYU (HHBK) MULTI STRATA DI TAMAN HUTAN RAYA WAN ABDUL RACHMAN LAMPUNG Nanang Herdiana, E. Martin, B. Winarno, A. Nurlia dan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1050, 2013 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Batas Areal Kerja. KPH. KJDTK. Penataan. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.43/Menhut-II/2013 TENTANG

Lebih terperinci

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN:

Volume 6, No. 2, Oktober 2013 ISSN: TINGKAT KEKRITISAN DAN KESESUAIAN LAHAN MANGROVE DI KABUPATEN SAMPANG DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni 1, Mahfud Efendy 1, Haryo Triajei 1, Aries Dwi Siswanto 1, Indah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil

TINJAUAN PUSTAKA. lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil 4 TINJAUAN PUSTAKA Makin banyak informasi yang dipergunakan dalam klasifikasi penutup lahan dengan data satelit penginderaan jauh makin tinggi akurasi hasil klasifikasinya. Menggunakan informasi multi

Lebih terperinci

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR

PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR PERANAN BALAI PEMANTAPAN KAWASAN HUTAN DALAM PEMBANGUNAN PLANOLOGI KEHUTANAN KATA PENGANTAR Materi ini disusun Dinas Kehutanan Propinsi Papua dalam rangka Rapat Kerja Teknis Badan Planologi Kehutanan Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan.

BAB I PENDAHULUAN. kondisi penggunaan lahan dinamis, sehingga perlu terus dipantau. dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan dan salah pemanfaatan. BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan sangat diperlukan untuk kelanjutan hidup manusia. Kemajuan pembangunan di suatu wilayah sejalan dengan peningkatan jumlah pertumbuhan penduduk yang diiringi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS EVALUASI ARAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK DI KABUPATEN SAMPANG MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS Firman Farid Muhsoni Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo JL. Raya Telang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN Perumusan Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan lahan merupakan hasil kegiatan manusia baik yang berlangsung secara siklus atau permanen pada sumberdaya lahan alami maupun buatan guna terpenuhinya kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Teh merupakan salah satu komoditi subsektor perkebunan yang memiliki berbagai peranan dan manfaat. Teh dikenal memiliki kandungan katekin (antioksidan alami) yang

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.

III. BAHAN DAN METODE. Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4. III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan Juni sampai dengan bulan September 2009. Lokasi Penelitian adalah di Kawasan Agropolitan Cendawasari, Desa Karacak,

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penginderaan jauh merupakan ilmu yang semakin berkembang pada masa sekarang, cepatnya perkembangan teknologi menghasilkan berbagai macam produk penginderaan jauh yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika dan Amerika Selatan, tepatnya Brasilia. Tanaman kelapa sawit awalnya

Lebih terperinci

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : Hernandi Kustandyo ( ) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Oleh : Hernandi Kustandyo (3508100001) Jurusan Teknik Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Ekosistem mangrove adalah salah satu obyek yang bisa diidentifikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dinamika bentuk dan struktur bumi dijabarkan dalam berbagai teori oleh para ilmuwan, salah satu teori yang berkembang yaitu teori tektonik lempeng. Teori ini

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lahan merupakan sumberdaya alam yang bersifat langka karena jumlahnya tidak bertambah, tetapi kebutuhan terhadap lahan selalu meningkat. Alih fungsi lahan pertanian

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara sampai 49 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Penelitian Secara geografis, Kabupaten OKU Selatan terletak antara 4 0 14 sampai 4 0 55 Lintang Selatan dan diantara 103 0 22 sampai 104

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan Pengertian Lahan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lahan dan Penggunaan Lahan 2.1.1 Pengertian Lahan Pengertian lahan tidak sama dengan tanah, tanah adalah benda alami yang heterogen dan dinamis, merupakan interaksi hasil kerja

Lebih terperinci