VI. ANALISIS KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. ANALISIS KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 VI. ANALISIS KEBIJAKAN 6.1 Analisis Kebijakan Ekonomi Sumberdaya Perikanan Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis bioekonomi pada jenis ikan tertentu. Jenis ikan yang dianalisis adalah ikan-ikan yang masuk ke dalam kategori ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Dipilihnya kedua jenis ini disebabkan telah terjadinya penurunan hasil tangkapan yang signifikan sebagai akibat terjadinya kerusakan sumberdaya pesisir dan laut. Penyebab utama kerusakan ini adalah maraknya kegiatan penambangan timah di lokasi sekitar perairan laut di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sejak tahun Jenis ikan pelagis kecil yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 7 jenis ikan. Dipilihnya jenis tersebut disebabkan ketujuh jenis ikan pelagis kecil inilah yang menjadi tangkapan yang paling banyak ditangkap oleh nelayan di perairan Bangka Belitung. Jumlah produksi jenis ikan palagis kecil dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa secara agregat jumlah tangkapan ikan pelagis kecil mengalami penurunan dari tahun 2001 hingga Penurunan yang paling besar terjadi sejak tahun 2004 dimana penurunannya dari ,69 ton hanya menjadi ,62 ton saja. Ini berarti jumlah penurunannya mencapai hingga 74 persen. Tabel 21. Jumlah Tangkapan Ikan Pelagis Kecil (ton) Ikan Selar , , , , , , ,05 Kuwe 2.354, , ,00 958, , , ,55 Tetengkek 6.554, , , , , , ,91 Tembang 9.202, , , , , , ,85 Peperek 2.667, , ,58 825,00 575,00 589, ,40 Kurisi 7.049, , , , , , ,59 Kembung 6.761, , , , , , ,50 Jumlah , , , , , , ,81 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung (2008)

2 Penurunan hasil tangkapan ini tidak hanya terjadi dalam jumlah totalnya saja, namun juga terjadi pada semua jenis ikan pelagis kecil. Pada Gambar 14 terlihat bahwa ke tujuh jenis ikan pelagis kecil mengalami penurunan produksinya. Hampir semuanya mengalami penurunan sejak tahun Jenis ikan yang paling drastis penurunannya adalah ikan selar. Jenis ikan ini semakin sulit ditangkap oleh nelayan karena banyak habitatnya telah rusak akibat maraknya penambangan timah di perairan dekat pantai. Gambar 14. Jumlah Produksi Ikan Pelagis Kecil Per Spesies Jenis ikan demersal yang dianalisis dalam penelitian ini berjumlah 5 jenis ikan. Ikan-ikan inilah yang menjadi tangkapan yang paling banyak ditangkap oleh nelayan di perairan Bangka Belitung. Sama halnya dengan ikan pelagis kecil, jumlah hasil tangkapan ikan demersal mulai mengalami penurunan sejak tahun 2004 yaitu sebesar 31 persen. Jumlah produksi jenis ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 22.

3 Tabel 22. Jumlah Tangkapan Ikan Demersal (ton) Ikan Bawal putih 650,00 696,07 731,50 956,20 675,00 575,90 588,40 Kakap Putih 1.477, , , ,59 239,39 399,10 495,16 Ikan merah 2.647, , , , , , ,36 Kerapu karang 3.892, , , ,56 995, , ,33 Jumlah , , , , , , ,96 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung (2008) Berdasarkan hasil tangkapan nelayan sejak 2001 hingga 2007 tersebut, maka dapat dilihat bahwa hampir setiap jenis ikan mengalami penurunan hasil tangkapan setiap tahunnya. Penurunan tersebut tidak hanya terjadi pada per spesies, akan tetapi juga terjadi pada jumlah total dari keseluruhan. Jika dilihat per spesies, berdasarkan Gambar 15 maka jumlah hasil tangkapan yang paling mengalami penurunan secara drastis adalah jenis ikan kerapu karang dan kakap putih. Oleh karena itu, hal tersebut dapat mengindikasikan telah terjadinya degradasi terhadap sumberdaya ikan di perairan Bangka Belitung. Degradasi ini terjadi akibat penambangan timah yang banyak dilakukan dengan TI apung di perairan karang di sekitar wilayah Babel. Gambar 15. Jumlah Produksi Ikan Demersal Per Spesies

4 Penurunan produksi hasil tangkapan ikan, ternyata berbanding terbalik dengan upaya penangkapan (effort) yang dilakukan oleh nelayan. Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan terjadinya penambahan effort untuk menangkap ikan, walaupun hasil yang didapatkan tidak berbanding lurus. Pada ikan pelagis kecil, dengan rata-rata jumlah produksi ,49 ton memerlukan effort sebanyak ,14 trip. Sedangkan pada ikan demersal jumlah rata-rata produksi ikan adalah ,90 ton dengan jumlah effort sebesar ,86 trip. Tabel 23. Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Pelagis Kecil dan Ikan Demersal Tahun Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Produksi (ton) Effort (Trip) Produksi (ton) Effort (trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,00 Ratarata , , , ,86 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bangka Belitung (2008) Pada awalnya, perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkap ikan pelagis kecil dengan jumlah effort yang dikeluarkan berbanding lurus. Artinya setiap penambahan jumlah usaha penangkapannya, maka hasil yang diperoleh akan semakin meningkat. Sejak tahun 2003 hingga 2007, perbandingan antara hasil tangkapan ikan pelagis kecil dengan effort-nya berbanding terbaik. Peningkatan usaha penangkapan yang dilakukan tidak menjadikan hasilnya juga mengalami peningkatan. Perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkapan dengan effort pada ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Gambar 16.

5 Gambar 16. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Pelagis Kecil Pada ikan demersal, perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkap ikan pelagis kecil dengan jumlah effort yang dikeluarkan telah berbanding terbalik sejak tahun Sejak tahun 2001 hingga 2003, jumlah effort yang menurun malah membuat hasil tangkapan meningkat. Ini berarti kapasitas penangkapan pada alat tangkap semakin meningkat. Pada tahun 2004 hingga 2005, penambahan jumlah usaha penangkapan malah menjadikan jumlah hasil tangkapan semakin menurun. Peningkatan produksi hanya terjadi dengan proporsi yang kecil ketika penambahan effort dilakukan dengan begitu besar sejak tahun Ini berarti telah terjadi penurunan daya dukung lingkungan perairan yang disebabkan banyak terumbu karang yang rusak akibat beroperasinya TI apung di peraitan karang

6 sejak tahun Perbandingan antara jumlah produksi hasil tangkapan dengan effort pada ikan demersal dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Perbandingan Jumlah Produksi dan Effort pada Ikan Demersal a. Estimasi Parameter Biologi Parameter biologi diestimasi dengan menggunakan model estimator Gordon-Schaefer (1957). Adapun parameter yang diestimasi meliputi: tingkat pertumbuhan instrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Hasil estimasi ketiga parameter biologi ini akan sangat berguna

7 dalam menentukan tingkat produksi lestari seperti maximum sustainable yield (MSY) dan maximum economic yield (MEY). Berdasarkan perhitungan seperti pada Lampiran 13 dan Lampiran 14, maka diperoleh parameter biologi untuk jenis ikan pelagis kecil dan ikan demersal dalam Tabel 24. Berdasarkan tabel diperoleh hasil bahwa pada ikan pelagis kecil tingkat pertumbuhan instrinsiknya (r) adalah 0,0631 dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 2,24x10-08 serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah ,859 ton. Tingkat pertumbuhan instrinsik pada ikan demersal adalah dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 7,85x10-08 serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah ton. Tabel 24. Parameter Biologi. Parameter Pelagis Kecil Demersal r 0, , q 2,23736E-08 7.,85E-08 K (ton) , Sumber: Lampiran 13 dan Lampiran 14 b. Estimasi Parameter Ekonomi a. Harga dan Struktur Biaya Data yang berkenaan dengan struktur biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section dan series yang diperoleh melalui wawancara dilapangan dan data sekunder dari Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari segenap spesies berdasarkan kelompok sumberdayanya masing-masing. Penelitian ini mengelompokkan jenis ikan ke dalam dua jenis yaitu ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Harga yang digunakan pada ikan pelagis kecil adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dengan mengalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar Pada analisis bioekonomi ini, harga riil ikan pelagis kecil adalah Rp 7,35 juta per ton. Harga ikan pelagis kecil dapat dilihat pada Tabel 25.

8 Tabel 25. Harga Ikan Pelagis Kecil Tahun Harga/kg Harga (Juta/ton) IHK Indeks (2002) Harga riil (jt rp/ton) ,00 12,47 283,83 91,56 11, ,00 12,19 309,98 100,00 12, ,00 12,73 110,45 35,63 4, ,00 10,37 120,39 38,83 4, ,00 12,57 141,39 45,61 5, ,00 13,08 150,47 48,54 6, ,00 14,38 154,44 49,82 7,17 Ratarata ,86 12,55 181,56 63,96 7,35 Sumber: Hasil analisis Begitu juga halnya dengan harga pada ikan demersal. Harga yang digunakan adalah harga yang berlaku pata tahun tersebut dikalikan dengan IHK untuk mendapatkan harga riil. Pada analisis bioekonomi ini, harga riil ikan demersal adalah Rp 19,43 juta per ton Harga ikan demersal dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Harga Ikan Demersal Tahun Harga/kg Harga (Juta/ton) IHK Indeks (2002) Harga riil (jt rp/ton) ,00 24,50 283,83 91,56 22, ,00 30,00 309,98 100,00 30, ,00 38,20 110,45 35,63 13, ,00 36,90 120,39 38,84 14, ,00 36,79 141,39 45,61 16, ,00 40,78 150,47 48,54 19, ,00 38,29 154,44 49,82 19,08 Ratarata ,86 35,07 181,56 63,98 19,43 Sumber: Hasil analisis

9 Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, yaitu nelayan jaring yang merupakan alat tangkap ikan pelagis kecil, maka diperoleh data terhadap biaya yang dikeluarkan. Biaya total yang dikeluarkan setiap sekali melaut adalah Rp Jika dikalikan dengan inflasi maka biaya riil yang dikeluarkan adalah sebesar Rp ,-. Biaya operasional alat tangkap jaring untuk setiap kali melakukan penangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 27. Tabel 27. Biaya Ikan Pelagis kecil Komponen Biaya Per trip Es (Rp) BBM (Rp) Oli (Rp) Pangan (Rp) Jumlah (Rp) Total (Rp) Biaya Riil (Rp) Biaya riil / E (Rp juta/ribu hari) 0,2218 Sumber: Data primer (Hasil survei bulan Maret-April 2009) Pada ikan demersal biaya yang diperoleh dalam setiap kali penangkapan adalah Rp ,- per trip. Jika dikalikan dengan inflasi maka biaya riil yang dikeluarkan adalah sebesar Rp ,-. Jumlah biaya dan komponen biaya yang dikeluarkan dapat dilihat pada Tabel 28. Rata-rata biaya riil tersebut diperoleh berdasarka pada Tabel 29. Tabel 28. Biaya Ikan Demersal Komponen Biaya Per trip Es (Rp) BBM (Rp) Oli (Rp) Pangan (Rp) Jumlah (Rp) Total (Rp) Biaya Riil (Rp) Biaya riil / E (Rp juta/ribu hari) 0,5452 Sumber: Data primer (Hasil survei bulan Maret-April 2009)

10 Tabel 29. Biaya Riil pada Penangkapan Ikan Pelagis Kecil dan Ikan Demersal Biaya Riil (Rp juta per trip)) Tahun Ikan Pelagis Ikan Demersal ,2863 0, ,2218 0, ,1153 0, ,2167 0, ,4202 1, ,1546 0, ,0636 0,15627 Rata-Rata 0,2218 0,54516 Sumber: Hasil analisis b. Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman. Di dalam penelitian ini, tingkat discount rate yang digunakan adalah perhitungan discount rate Fauzi (2004) sebesar 8% dan market discount rate (15%). Market discount rate yang digunakan dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan nilai tengah discount rate yang umum digunakan untuk sumberdaya alam. Teknik ini merupakan teknik penentuan tingkat discount rate yang sama digunakan oleh Fauzi (1998) dan Resosudarma (1995) serta Anna (2003).

11 c. Estimasi Produk Lestari Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologis saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan bukan hanya berupa parameter biologi saja, melainkan juga harus menggunakan beberapa parameter ekonomi. Parameter biologi yang digunakan dalam MSY diantaranya parameter r, q, dan K, sedangkan parameter yang digunakan untuk menghitung MEY diantaranya ditambahkan peremeter ekonomi seperti c (cost per unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate (δ). Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Babel masih berada di bawah titik optimalnya. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 30 yang menunjukkan bahwa masih terdapat selisih antara pemanfaatan aktual dan lestarinya. Pada ikan pelagis kecil, rata-rata jumlah produksi aktualnya adalah ,49 ton yang masih dibawah potensi lestarinya yaitu ,18 ton. Pada ikan demersal produksi aktual juga masih di bawah potensi lestarinya yaitu produksi aktual ,90 ton dan lestarinya mencapai ,70 ton. Tabel 30. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Tahun Produksi Ikan Pelagis Kecil (ton) Produksi Ikan Demersal (ton) Aktual Lestari Aktual Lestari , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,31 Rata , , , ,70 Sumber: Hasil Analisis, 2009 Berdasarkan Gambar 18 dapat diperhatikan bahwa produksi ikan pelagis kecil sempat mengalami overeksploitasi dimana jumlah produksi aktual berada diatas produksi lestarinya. Hal tersebut terjadi sejak tahun 2001 hingga Akan tetapi, mulai dari tahun 2004 hingga 2007 produksi aktual pada ikan pelagis

12 kecil berada dibawah produksi lestarinya. Gap yang paling besar terjadi pada tahun 2004, kemudian mengecil pada tahun-tahun selanjutnya. Gambar18. Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Pelagis Kecil Pada jenis ikan demersal, secara umum nilai produksi aktualnya berada dibawah produksi lestarinya. Ini menandakan bahwa jenis ikan ini masih memiliki potensi yang cukup besar untuk ditingkatkan produksinya. Pada Gambar 19 terlihat bahwa sejak tahun 2001 hingga 2007, kurva produksi lestari berada diatas kurva produksi aktualnya.

13 Gambar 19. Perbandingan Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Demersal Jumlah upaya tangkap pada ikan pelagis kecil sudah berada diatas jumlah effort yang seharusnya dilakukan. Pada Gambar 20 terlihat bahwa jumlah effort aktual telah melewati jumlah effort pada kondisi open access dan MEY. Pada tahun 2001 hingga 2002, jumlah effort aktual masih berada dibawah effort open acces, setelah tahun 2003 hingga 2006 jumlah effort-nya telah melebihi batas effort kondisi open access. Jumlah effort MEY selalu berada dibawah effort aktualnya yang mengindikasikan telah upaya penangkapan ikan pelagis kecil tidak efesien secara ekonomi.

14 Gambar 20. Perbandingan Effort Aktual, MEY dan OA pada Ikan Pelagis Kecil Pada ikan demersal, jumlah effort aktualnya masih berada dibawah jumlah effort yang pada kondisi open access. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2001 hingga Jumlah effort aktual melewati batas jumlah effort open access mulai terjadi pada tahun 2005 hingga 2006 dan kembali menurun pada tahun selanjutnya. Hampir sama dengan ikan pelagis kecil, pada ikan demersal jumlah effort MEY selalu berada dibawah effort aktualnya yang mengindikasikan telah upaya penangkapan ikan pelagis kecil tidak efesien secara ekonomi. Grafik perbandingan effort ikan demersal ini disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Perbandingan Effort Aktual, MEY dan OA pada Ikan Demersal

15 Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 15, maka diperoleh nilai bioekonomi terhadap ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Estimasi dilakukan pada beberapa rejim pengelolaan yaitu kondisi MSY (Maximum Sustainable Yield), kondisi pemilik tunggal (Sole Owner/ Maximum Economic Yield), dan kondisi akses terbuka (open access). Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 31. Tabel 31. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Pelagis Kecil Parameter MSY MEY Open Access Aktual - X (ton) , , ,02 H(ton) , , , ,49 E(trip) , , , ,14 Rente(Rp juta) , ,96 - (92.081,20) Sumber: Lampiran 15 Pada kondisi MSY, jumlah stok ikan pelagis kecil yang ada adalah sebanyak ,43 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,87 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,94 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp ,10 juta. Pengelolaan sole owner menghasilkan standing stock sebanyak ,44 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,41 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,53 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp ,96 juta. Pada kondisi open access, stok ikan pelagis kecil yang ada adalah sebanyak ,02 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,16 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,06 trip. Nilai rente sumberdaya ikan pelagis kecil pada kondisi open access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dibiarkan terbuka untuk setiap orang, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Pada rejim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi MSY. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak.

16 Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis kecil secara statik di perairan Kepulauan Bangka Belitung dikelola dengan rejim pengelolaan sole owner. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara MEY pada ikan pelagis kecil, maka ada beberapa skenario kebijakan yang harus dilakukan antara lain: 1. Pengaturan Property Right dari Pemerintah Daerah Pada rejim sole owner, pengaturan property right sangat diperhatikan. Pemerintah Daerah baik pemerintah provinsi, kabupaten dan kota harus bekerjasama dalam hal pengaturan property right ini. Berdasarkan Undang- Undang No 32 tahun 2004 maka pemerintah provinsi berhak mengelola wilayah laut sejauh 12 mil dan 4 mil dari garis pantai dikelola oleh kabupaten dan kota. Oleh karena itu, pemerintah Bangka Belitung harus kembali mengatur pembagian mengenai wilayah pengelolaan, sehingga kedepannya akan memudahkan dalam hal pemberian ijin penangkapan ikan dan pengelolaan sumberdaya pada masingmasing wilayah. 2. Pengurangan upaya penangkapan (Effort) Berdasarkan perhitungan MEY, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan pelagis kecil adalah berjumlah ,53 trip. Target jumlah ini menyebabkan diharuskannya pengurangan upaya tangkap yang dilakukan. Jika pada kondisi aktual jumlah effort adalah ,14 trip, maka jumlah yang harus dikurangi sebesar ,61 trip. Hal ini menunjukkan secara ekonomi, usaha penangkapan ikan pelagis kecil di perairan Babel sudah tidak efesien lagi. Penyebab utama adalah selain stok ikan yang sedikit dan sulit ditangkap, lokasi penangkapan juga sudah harus dilakukan penangkapan dengan jarak yang relatif jauh dari tempat tinggal nelayan. 3. Peningkatan kegiatan pengawasan untuk mencegah illegal fishing. Salah satu penyebab penurunan jumlah tangkapan nelayan adalah maraknya kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan luar. Nelayan luar yang banyak menangkap ikan di perairan Babel berasal dari wilayah Kepulauan Seribu dan Pekalongan. Selain itu, nelayan asing dari Thailand, Vietnam dan Filipina juga seringkali melakukan penangkapan di sekitar Babel. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus

17 meningkatkan kegiatan pengawasan di perairannya dengan menambah jumlah armada kapal pengawas dan personil pengawas. Pengelolaan sumberdaya perikanan secara dinamik dengan menggunakan discount rate 8% dan 15% disajikan pada Tabel 32. Analisis secara dinamik ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar sumberdaya ikan pelagis kecil dapat dikelola secara berkelanjutan. Dengan mengetahui jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan maka sumberdaya ikan pelagis kecil di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Tabel 32. Pengelolaan Optimum pada Ikan Pelagis Kecil Parameter Optimum 8% Optimum 15% Aktual X (ton) , ,31 - H(ton) , , ,49 E(trip) , , ,14 Rente (Rp juta) , ,57 (92.081,20) Rente Overtime (Rp Juta) , ,99 - Sumber: Lampiran 15 Pengelolaan secara optimal dengan memasukkan nilai discount rate 8% dan 15% menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengelolaan sebelumnya. Nilai rente pada discount rate 8% adalah Rp ,10 juta dan rente pada discount rate 15% adalah Rp ,57. Pada pengelolaan ini, secara overtime menunjukkan hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp ,59 juta pada discount rate 8% dan Rp ,99 juta pada discount rate 15%. Pada tabel juga terlihat semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan pelagis kecil semakin meningkat dan lestari. Berdasarkan Tabel 32 maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan pelagis kecil harus dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh. Ini berarti pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan

18 Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus menetapkan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah ikan pelagis kecil yang boleh ditangkap pertahunnya berjumlah ,44 ton. Jika dibandingkan dengan produksi aktualnya maka masih terdapat selisih sehingga jumlah produksi masih bisa ditingkatkan sebesar 5.369,95 ton. Kebijakan lainnya adalah jumlah effort penangkapan ikan pelagis kecil harus dikurangi sebesar ,09 trip karena effort aktualnya telah melebihi effort optimal. Berdasarkan perhitungan pada Lampiran 16, maka diperoleh nilai bioekonomi terhadap ikan demersal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Hasil Analisis Bioekonomi Ikan Demersal Parameter MSY MEY Open Access Aktual X (ton) , , ,95 - H(ton) , , , ,90 E(trip) , , , ,86 Rente(Rp juta) , , ,27 Sumber: Lampiran 16 Pada kondisi MSY, jumlah stok ikan demersal adalah sebanyak ,41 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,82 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,06 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp ,38 juta. Pengelolaan sole owner menghasilkan standing stock sebanyak ,39 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,34 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,96 trip sehingga jumlah rente yang didapatkan adalah Rp ,06 juta. Pada kondisi open access, stok ikan adalah sebanyak ,95 ton dengan hasil tangkapan sebesar ,17 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak ,92 trip. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh, pada rejim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan

19 sumberdaya perikanan demersal secara statik di perairan Kepulauan Bangka Belitung dikelola dengan rejim pengelolaan MEY atau sole owner. Dalam pengelolaan sumberdaya perikanan secara MEY pada ikan pelagis kecil, maka ada beberapa skenario kebijakan yang harus dilakukan antara lain: 1. Pengaturan Property Right dari Pemerintah Daerah Sama dengan pengelolaan pada ikan pelagis kecil, pada rejim sole owner, pengaturan property right merupakan hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pemerintah Bangka Belitung harus kembali mengatur pembagian mengenai wilayah pengelolaan sehingga kedepannya akan memudahkan dalam hal pemberian ijin penangkapan ikan dan pengelolaan sumberdaya pada masingmasing wilayah. Selain itu pemerintah harus menjaga agar jumlah ijin yang diberikan tidak melebihi batas yang wilayah penangkapan yang telah ditetapkan. 2. Pengurangan upaya penangkapan (Effort) Berdasarkan perhitungan MEY, jumlah effort yang diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan demersal adalah berjumlah ,96 trip. Target jumlah ini menyebabkan diharuskannya pengurangan upaya tangkap yang dilakukan. Jika pada kondisi aktual jumlah effort adalah 367, trip, maka jumlah yang harus dikurangi sebesar ,9 trip. Penyebab utama pengurangan trip ini adalah kerena biaya yang harus dikeluarkan relatif besar untuk mendatangi fishing ground. Sebab karang yang menjadi habitat ikan demersal sudah jauh berkurang dan kondisinya sudah banyak yang rusak akibat penambangan timah di peisisr dan laut. 3. Peningkatan kegiatan pengawasan untuk mencegah illegal fishing. Harga ikan demersal yang relatif mahal menyebabkan banyak nelayan luar Bangka Belitung menangkap ikan di perairan karang yang banyak tersebar di wilayah ini. Hal ada ikan menyebabkan penurunan jumlah tangkapan nelayan adalah maraknya kegiatan pencurian ikan (illegal fishing) yang dilakukan oleh nelayan luar daerah maupun nelayan asing. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus meningkatkan kegiatan pengawasan di perairannya dengan menambah jumlah armada kapal pengawas dan personil pengawas.

20 4. Penghentian kegiatan pertambangan timah di areal terumbu karang Terumbu karang yang menjadi habitat ikan-ikan karang sudah jauh berkurang jumlahnya. Penyebab utamanya adalah kebiatan penambangan karang sebagai fondasi jalan dan rumah di pemukiman wilayah pesisir pantai. Kerusakan diperparah dengan meningkatnya jumlah penambangan timah dengan TI apung di sungai, pantai dan laut. Lokasi penambangan yang berada di areal terumbu karang sudah pasti merusak karang di laut, selain itu aktivitas penambangan di sungai dan laut juga menyebabkan tingginya kekeruhan air laut yang pada akhirnya mematikan bagi terumbu karang yang letaknya tidak berada di daerah penambangan. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus mengeluarkan peraturan dan memberi sanksi yang tegas pada perusahaan dan mayarakat yang melakukan penambangan timah di wilayah terumbu karang. Agar peraturan ini dapat berjalan maka pemerintah harus benar-benar mengadakan pengawasan secara terus menerus dan memberikan denda yang sangat besar pada para pelaku penambangan ini. Pengelolaan sumberdaya ikan demersal secara dinamik dengan menggunakan discount rate 8% dan 15% disajikan pada Tabel 34. Analisis secara dinamik ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar sumberdaya ikan demersal dapat dikelola secara berkelanjutan. Dengan mengetahui jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan maka sumberdaya ikan demersal di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dapat dimanfaatkan secara optimal dan lestari. Tabel 34. Pengelolaan Optimum pada Ikan Demersal Parameter Optimum 8% Optimum 15% Aktual X (ton) , ,47 - H(ton) , , ,90 E(trip) , , ,86 Rente(Rp juta) , , ,27 Rente Overtime (Rp Juta) , ,06 - Sumber: Lampiran 16

21 Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate 8% dan 15% menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda dengan pengelolaan MSY. Nilai rente pada discount rate 8% adalah Rp ,87 juta dan rente pada discount rate 15% adalah Rp ,91 juta. Pengelolaan ini, secara overtime menunjukkan hasil yang jauh lebih besar yaitu Rp ,07 juta pada discount rate 8% dan Rp ,06 juta pada discount rate 15%. Pada tabel juga terlihat semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan demersal semakin meningkat dan lestari. Berdasarkan Tabel 34 maka dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada ikan demersal harus dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh dengan discount rate 8%. Ini berarti pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung harus menetapkan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah ikan demersal yang boleh ditangkap per tahunnya berjumlah ,80 ton. Jika dibandingkan dengan produksi aktualnya maka masih terdapat selisih sehingga jumlah produksi masih bisa ditingkatkan sebesar 5.052,90 ton. Kebijakan lainnya menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar ,35 trip. Ini berarti jumlah effort penangkapan ikan demersal masih bisa ditambah sebesar ,49 trip. Interaksi antar sektor dalam bidang kelautan ternyata cukup erat. Interaksi ini terjadi baik secara positif maupun negatif. Interaksi yang terjadi antar sumberdaya perikanan dengan pertambangan, khususnya timah adalah bersifat negatif. Sebagaimana seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terjadinya penurunan produksi penangkapan ikan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung disebabkan oleh maraknya penambangan timah. Aktivitas penambangan timah di wilayah pesisir dan laut telah menyebabkan kerusakan habitat ikan baik untuk mencari makan maupun sebagai tempat berkembang biak. Oleh karena itu, untuk mengetahui besarnya dampak penambangan timah terhadap produksi ikan, maka dilakukan analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan. Pada analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan pelagis kecil, hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan analisis keterkaitan antara

22 produksi penambangan timah dengan produksi hasil tangkapan ikan. Hal ini dapat dilihat seperti yang ditampilkan pada Tabel 35. Tabel 35. Jumlah Produksi Timah dan Produksi Ikan Pelagis Kecil Tahun Tambang (Ton) Produksi ikan (h) (ton) Harga Ikan (Rp juta/ton) Biaya effort (Rp juta/trip) Effort (Et) (Trip) Income (Rp juta) , ,60 11,42 1, , , ,98 12,20 0, , , ,75 4,54 0, , , ,62 4,03 0., , , ,15 5,73 1, , , ,95 6,35 0, , , ,40 7,17 0, , Sumber: Hasil analisis Langkah selanjutnya adalah mencari koefisien keterkaitan antar hubungan produksi timah dengan produksi ikan. Berdasarkan hasil regresi pada Lampiran 17, maka diperoleh hasil seperti pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Simulasi untuk Efek dari Penambangan Timah pada Open Access Equilibrium Ikan Pelagis Kecil selama tahun ( ) Tahun Harga Ikan (Rp Juta/ton) (p) Biaya effort (Rp juta/trip) (c ) Perubahan keseimbangan produksi (dha) metric ton Perubahan keseimbangan harga (pdh) (Rp Juta) ,42 1,00 (14,27) 163, ,20 0,77 (10,35) 126, ,54 0,40 (14,48) 65, ,03 0.,76 (30,62) 123, ,73 1,47 (41,73) 239, ,35 0,54 (13,86) 88, ,17 0,22 (5,05) 36,20 Rata-rata 11,42 1,00 (18,62) 120,27 Sumber: Lampiran 17

23 Berdasarkan Tabel 36, maka selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 dapat diketahui bahwa telah terjadi peningkatan jumlah produksi timah tiap tahunnya yang mengakibatkan terjadinya penurunan keseimbangan produksi (dh) pada ikan pelagis kecil sebesar ton. Hal tersebut setara dengan perubahan keseimbangan harga (pdh) sebesar Rp ,- per tahun. Penurunan yang paling besar terjadi pada tahun 2004 hingga Pada tahun-tahun tersebut di beberapa wilayah Bangka Belitung jumlah produksi ikan menjadi nol. Hal ini disebabkan selain kondisi lingkungan perairan yang rusak akibat limbah penambangan timah, juga disebabkan beralihnya seluruh nelayan di lokasi tertentu menjadi pekerja penambang timah. Perbandingan produksi ikan pelagis kecil akibat penambangan timah dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 22. Gambar 22. Perbandingan Produksi Ikan Pelagis Kecil Akibat Pertambangan Pada analisis degradasi dan depresiasi sumberdaya ikan demersal, hubungan antara produksi penambangan timah dengan jumlah hasil tangkapan ikan dapat dilihat pada Tabel 37.

24 Tabel 37. Jumlah Produksi Timah dan Produksi Ikan Demersal Produksi Biaya Harga Ikan Effort (Et) Tahun Tambang ikan (h) effort (Rp (Rp juta/ton) (Trip) (ton) juta/trip) Income (Rp juta) , ,10 22,43 2, , , ,48 30,00 1, , , ,12 13,61 0, , , ,45 14,33 1, , , ,09 16,78 3, , , ,99 19,80 1, , , ,96 19,08 0, , Sumber: Hasil analisis Hasil analisis regresi yang dilakukan pada Lampiran 18, menghasilkan nilai koefisien keterkaitan antar produksi timah dengan jumlah produksi ikan demersal hasil yang diperoleh berdasarkan koefisien tersebut. Koefisien analisis regresi tersebut dimasukkan ke dalam persamaan perhitungan produksi ikan. Pengaruhnya adalah terjadinya perubahan dalam nilai koefisien K. Berdasarkan Tabel 38, maka selama tahun 2001 sampai dengan tahun 2007 dapat diketahui bahwa dengan semakin meningkatnya produksi penambangan timah tiap tahunnya maka mengakibatkan penurunan keseimbangan produksi (dh) ikan demersal sebesar ton. Hal tersebut setara dengan perubahan keseimbangan harga (pdh) sebesar Rp ,- per tahun. Tabel 38. Hasil Simulasi untuk Efek dari Penambangan Timah pada Open Access Equilibrium Ikan Demersal selama tahun ( ) Tahun Perubahan Perubahan Harga Ikan Biaya effort keseimbangan keseimbangan (Rp (Rp juta/trip) produksi (dha) harga (pdh) (Rp juta/ton) (p) (c ) metric ton juta) ,43 2,46 (5,17) 115, ,00 1,90 (2,99) 89, ,61 0,99 (3,43) 46, ,33 1,86 (6,12) 87, ,78 3,60 (10,14) 170, ,80 1,33 (3,16) 62, ,08 0,55 (1,35) 25,73 Rata-rata 19,43 1,81 (4,62) 85,50 Sumber: Lampiran 18

25 Pada ikan demersal penurunan yang paling besar terjadi pada tahun dengan jumlah produksi ikan menjadi nol. Hal ini disebabkan selain kondisi lingkungan perairan yang rusak akibat limbah penambangan timah, juga disebabkan beralihnya seluruh nelayan di lokasi tertentu menjadi pekerja penambang timah. Perbandingan produksi ikan pelagis kecil akibat penambangan timah dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 23. Gambar 23. Perbandingan Produksi Ikan Demersal Akibat Pertambangan 6.2 Analisis Laju Degradasi/Depresiasi Sumberdaya Perikanan Status degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan masih relatif aman karena masih berada dikisaran nilai 0,5. Pada ikan pelagis kecil, rata-rata laju degradasinya adalah 0,2821 dan laju depresiasinya adalah 0,3143. Dan pada ikan demersal rata-rata laju degradasi adalah 0,2655 dengan laju depresiasi sebesar 0,3419. Nilai laju degradasi dan laju depresiasi sumberdaya perikanan ini dapat dilihat secara lebih jelas pada Tabel 39.

26 Tabel 39. Hasil Analisis Koefisien Laju Degradasi dan Depresiasi Tahun Ikan Pelagis Kecil Ikan Demersal Laju Degradasi Laju Depresiasi Laju Degradasi Laju Depresiasi ,2505 0,2241 0,2464 0, ,2330 0,1665 0,1980 0, ,2131 0,1838 0,2388 0, ,3920 0,7171 0,3666 0, ,2877 0,2435 0,2348 0, ,3206 0,3840 0,3026 0, ,2779 0,2812 0,2712 0,3495 Rata-rata 0,2821 0,3143 0,2655 0,3419 Sumber: Hasil Analisis, 2009 Secara umum, kedua jenis ikan tersebut tidak mengalami degradasi sumberdaya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 24 yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 hingga 2007, sumberdaya ikan pelagis kecil dan ikan demersal masih dibawah ambang batas degradasi. Hal ini bisa terjadi karena potensi sumberdaya perikanan yang masih cukup melimpah di perairan Bangka Belitung. Akan tetapi, angka ini tidak menggambarkan kondisi sumberdaya yang sebenarnya karena ada dampak eksternal lain yang bisa menjadikan laju degradasi bertambah parah yaitu dampak pencemaran akibat pertambangan dan maraknya illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan luar daerah dan nelayan asing. Gambar 24. Trajektori Laju Degradasi Ikan Pelagis Kecil dan Demersal

27 Nilai laju degradasi yang masih belum melewati threshold ini menunjukkan secara umum pemanfaatan sumberdaya perikanan di Provinsi Bangka Belitung masih besar. Berdasarkan analisis optimum pada ikan pelagis kecil dan ikan demersal masih dimungkinkannya penambahan produksi perikanan. Hal ini disebabkan jumlah hasil tangkapan aktualnya masih berada dibawah jumlah tangkapan optimalnya. Begitu pula halnya dengan laju depresiasi ikan pelagis kecil dan ikan demersal. Akan tetapi, pada tahun 2004, ikan pelagis kecil mengalami depresiasi yang cukup besar yaitu sebesar 0,7171. Ini berarti pada tahun tersebut, ikan pelagis kecil mengalami depresiasi karena melebihi ambang batasnya yaitu 0,5. Pada ikan demersal, depresiasi juga terjadi yaitu pada tahun 2005 dengan nilai 0,6502. Laju depresiasi kedua jenis ikan tersebut dapat dilihat secara jelas pada Gambar 25. Gambar 25. Trajektori Laju Depresiasi Ikan Pelagis Kecil dan Demersal

28 6.3 Analisis Input-Output Kontribusi bidang kelautan terhadap PDRB Provinsi Babel relatif besar yaitu berkisar rata-rata 48%. Nilai tersebut semakin terus meningkat dari tahun ke tahun, walaupun proporsi keduanya bersifat fluktuatif, seperti yang digambarkan pada Gambar 26. Pada tahun 2007, kontribusi bidang kelautan adalah 44.66% dan bidang non kelautannya adalah 55,34%. Besarnya nilai kontribusi masing-masing bidang terhadap PDRB Provinsi Kepulauan Babel dapat dilihat pada Lampiran 1. Gambar 26. Perbandingan Kontribusi Bidang Kelautan dan Non Kelautan Terhadap PDRB Analisis Deskriptif 1. Analisis Struktur Permintaan dan Penawaran Berdasarkan Tabel Input-Output Bidang Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005 pada Lampiran 19, dapat dilihat bahwa total permintaan dan penawaran bidang kelautan pada tahun 2005 adalah sebesar Rp juta rupiah. Dilihat dari sisi permintaan seperti pada Tabel 40, ekspor (53,93%) lebih besar dibandingkan dengan permintaan antara (28,9%) dan

29 permintaan akhir domestik (17,18%). Jumlah adalah ekspor Rp juta, dan nilai permintaan antara dan permintaan akhir domestik masing-masing adalah Rp ,36 juta dan Rp ,03 juta. Dilihat dari sisi penawaran nilai produk domestik lebih besar dari impor dengan perbandingan 86,53% dan 13,47% atau sebesar Rp ,81 juta dan Rp ,71 juta. Tabel 40. Struktur Permintaan dan Penawaran Menurut Tabel Input Output 2005 (Rp Juta Rupiah) Sektor Perikanan Penambangan Timah Pertambangan Lainnya Industri Pengolahan Ikan Industri Kerupuk Industri Peleburan Timah Bangunan Kelautan Perdagangan Hotel Restoran Transportasi Laut Jasa Penunjang Angk Laut Jasa Pendidikan Kelautan Jasa Hiburan dan Rekreasi Jumlah Permintaan Antara Permintaan Akhir Domestik Ekspor Jumlah Permintaan Impor Output Domestik Penawaran , , , , , , ,47 28,76% 70,55% 0,67% 100% 12,15% 87,84% 100% , , % 0 50% 100% 19,82% 80,17% 100% , , , , , , ,24 32,24% 4,72% 63,03% 100% 7,94% 92,05% 100% 29949, ,9 4191, , , , ,81 10,28% 88.27% 1,43% 100% 10,27% 89.,72% 100% 1837, , , , , , ,24 0,47% 47,10% 52,41% 100% 8,87% 91,12% 100% , , , , , , ,42 6,54% 1,10% 92,349% 100% 3,37% 96,62% 100% , , , , , ,37 6,00% 93,99% 0 100% 14,12% 85,87% 100% , , , , , , ,98 44,26% 35,47% 20,26% 100% 24,51% 75,48% 100% , , , , , % 80,94% 0 100% 12,27% 87,72% 100% , , , , , % 81,24% 0 100% 20,17% 79,82% 100% , , , , , ,81 44,48% 48,28% 7,22% 100% 30,74% 69,25% 100% 11357, , , , , , ,58 68,51% 24,39% 7,09% 100% 11,86% 88,13% 100% 14876, , , , , ,18 14,33% 85,66% 0 100% 15,04% 84,95% 100% 445, , ,96 547, , ,96 27,24% 72,75% 0 100% 33,49% 66,50% 100% , , , , , , ,52 28,89% 17,17% 53.,925% 100% 13,46% 86,53% 100% Sumber: Lampiran 21

30 Pada Tabel 40 dapat dilihat dari sisi permintaan, sektor yang paling besar nilainya adalah sektor pertambangan timah yaitu sebesar Rp juta dan yang paling kecil adalah sektor jasa hiburan dan rekreasi yaitu Rp juta. Nilai permintaan antara yang paling besar adalah sektor penambangan timah sebesar Rp juta dan yang terkecil adalah sektor jasa hiburan dan rekreasi yaitu sebesar Rp juta. Nilai ekspor yang paling besar adalah dari sektor industri peleburan timah sebesar Rp ,41 juta. Sedangkan nilai permintaan akhir domestik terbesar adalah sektor bangunan kelautan sebesar Rp ,39 juta. Dari sisi penawaran, nilai output domestik terbesar adalah dari sektor industri peleburan timah yaitu sebesar Rp ,67 juta. Nilai impor terbesar juga terdapat pada sektor penambangan timah yaitu Rp juta. Distribusi penawaran terbesar terdapat pada output domestik yaitu 86,53% dan impor hanya sebesar 13,47% dari total penawaran. Tabel 41 menunjukkan struktur permintaan dan penawaran bidang kelautan yang dikelompokkan ke dalam 7 sektor yaitu: perikanan, pertambangan laut, pariwisata bahari, industri maritim, transportasi laut, bangunan kelautan dan jasa kelautan. Berdasarkan tabel tersebut, dapat dilihat dari sisi permintaan dan penawaran, sektor yang paling besar nilainya adalah sektor pertambangan laut yaitu sebesar Rp ,2 juta dan yang paling kecil adalah sektor transportasi laut yaitu Rp juta. Nilai permintaan antara yang paling besar adalah sektor pertambangan laut sebesar Rp ,68 juta dan yang terkecil adalah sektor transportasi laut yaitu sebesar Rp ,28 juta. Nilai permintaan akhir domestik terbesar adalah sektor bangunan kelautan sebesar Rp ,39 juta dan nilai terkecil adalah sektor transportasi laut yaitu sebesar Rp ,98 juta. Sedangkan nilai ekspor yang paling besar adalah dari sektor industri maritim sebesar Rp ,41 juta. Distribusi permintaan yang terbesar adalah pada nilai ekspor yaitu 54% yang disusul permintaan akhir sebesar 29% dan permintaan akhir domestik sebesar 17%.

31 Tabel 41. Struktur Permintaan dan Penawaran Bidang Kelautan Menurut Tabel Input Output 2005 (Rp Juta Rupiah) No Sektor Perikanan Persentase Pertambangan Laut Persentase Pariwisata Bahari Persentase Industri Kelautan Persentase Transportasi Laut Persentase Bangunan Kelautan Persentase Jasa Kelautan Persentase Jumlah Persentase 29% Sumber: Hasil analisis Permintaan Permintaan Akhir Impor Antara Output Domestik Ekspor Permintaan Domestik Penawaran , , , , , % 68% 11% 100% 11% 89% 100% , , , , % 0% 51% 100% 19% 81% 100% , , , , , ,42 19% 81% 0% 100% 20% 80% 100% , , , , , , % 1% 92% 100% 3% 97% 100% , , , , , , % 48% 7% 100% 31% 69% 100% , , , , , % 94% 0% 100% 14% 86% 100% , , , , , , % 37% 19% 100% 24% 76% 100% , , , ,5 29% 17% 54% 100% 13% 87% Dari sisi penawaran, nilai impor terbesar juga terdapat pada sektor pertambangan laut yaitu Rp juta dan nilai terkecil adalah sektor sektor transportasi laut yaitu sebesar Rp ,53 juta. Nilai output domestik terbesar adalah pertambangan laut yaitu Rp juta dan nilai terkecil adalah sektor sektor transportasi laut yaitu sebesar Rp ,28 juta Distribusi penawaran terbesar terdapat pada output domestik yaitu 87% dan impor hanya sebesar 13% dari total penawaran. 2. Analisis Struktur Output Berdasarkan Tabel 42 yang menunjukkan peringkat output bidang kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun Nilai output dan distribusi dari 14 sektor terbesar adalah sebagai berikut. Sektor terbesar adalah berasal dari pertambangan timah sebesar Rp juta dengan kontribusi

32 38,068%. Sektor terbesar selanjutnya adalah industri peleburan timah mencapai Rp ,42 juta dengan kontribusi 31,907%. Selanjutnya disusul sektor perdagangan Rp ,98 juta atau 9,089%, sektor bangunan kelautan Rp ,37 juta atau 7.492% dan sektor perikanan yaitu Rp ,47 juta atau 4,491%. Peringkat sektor selanjutnya adalah pertambangan dan penggalian lainnya (4.365%), industri kerupuk (1,445%), restoran (1,223%), industri pengolahan dan pengawetan ikan (1,080%), jasa pendidikan kelautan (0,385%), transportasi laut (0,334%), jasa penunjang angkutan laut (0,062%), hotel (0,051%), serta jasa hiburan dan rekreasi (0,006%). Dengan demikian, jika dilihat dari segi outputnya, Indonesia di dominasi oleh sektor penambangan timah yang menjadi leading sector perekonomiannya pada ekonomi bidang kelautan Provinsi Babel. Tabel 42. Peringkat Output Bidang Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2005 dengan 14 Sektor (dalam juta rupiah) Urutan Sektor Output % 1 Penambangan Timah ,00 38,06 2 Industri Peleburan Timah ,42 31,91 3 Perdagangan ,98 9,09 4 Bangunan Kelautan ,37 7,49 5 Perikanan ,47 4,49 6 Pertambangan dan Penggalian Lainnya ,24 4,36 7 Industri Kerupuk ,24 1,45 8 Restoran ,90 1,22 9 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan ,81 1,08 10 Jasa Pendidikan Kelautan ,18 0,39 11 Transportasi Laut ,81 0,33 12 Jasa Penunjang Angkutan Laut ,58 0,06 13 Hotel ,56 0,05 14 Jasa Hiburan dan Rekreasi 1.634,96 0,01 Jumlah ,52 100,00 Sumber: Hasil analisis Pada Tabel 43, peringkat output bidang kelautan telah dikelompokkan kedalam tujuh sektor. Nilai output dan distribusi dari 7 sektor kelautan tersebut adalah sebagai berikut. Sektor terbesar adalah berasal dari pertambangan laut sebesar Rp juta dengan kontribusi 42,46%. Sektor terbesar

33 selanjutnya adalah industri maritim mencapai Rp ,42 juta dengan kontribusi 31,92%. Selanjutnya disusul sektor jasa kelautan Rp ,12 juta atau 9,49%, sektor bangunan kelautan Rp ,37 juta atau 7,5%, sektor perikanan yaitu Rp ,52 juta atau 7,02%, sektor pariwisata bahari sebesar Rp ,42 juta atau 1,28% dan transportasi laut sebesar Rp ,81 juta atau 0,33%. Dengan demikian, jika dilihat dari segi outputnya, perekonomian di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di dominasi oleh sektor pertambangan laut yang menjadi leading sector perekonomiannya pada ekonomi bidang kelautan Provinsi Babel. Tabel 43. Peringkat Output Bidang Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tahun 2005 dengan 7 Sektor (dalam juta rupiah) Urutan Sektor Output % 1 Pertambangan Laut ,24 42,46 2 Industri Kelautan ,42 31,92 3 Jasa Kelautan ,12 9,49 4 Bangunan Kelautan ,37 7,50 5 Perikanan ,52 7,02 6 Pariwisata Bahari ,42 1,28 7 Transportasi Laut ,81 0,33 Jumlah , ,00 Sumber: Hasil analisis 3. Analisis Struktur Nilai Tambah Bruto Tabel 44 menunjukkan peringkat sektor yang memberikan nilai tambah terbesar di Indonesia. Sektor penambangan timah memberikan nilai tambah terbesar yaitu Rp ,02 juta dengan kontribusi 33,928%. Berikutnya adalah sektor perdagangan dengan nilai Rp ,71 juta atau 18,119%. Disusul industri peleburan timah Rp ,8 juta atau 18,01%, perikanan Rp ,22 juta atau 8,488% serta sektor bangunan kelautan sebesar Rp ,02 juta dengan kontribusi 8,02%. Peringkat sektor selanjutnya berturut-turut adalah sektor pertambangan dan penggalian lainnya Rp ,32 juta atau 7,802%, restoran sebesar Rp ,91 juta atau 1,843%, industri kerupuk sebesar Rp ,73 juta atau 1,23%, industri pengolahan dan pengawetan ikan sebesar Rp ,81 juta atau

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian adalah nelayan yang menangkap ikan atau beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI Wonokerto

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 ISSN Kurniawan 1)

AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 9. Nomor. 1. Tahun 2015 ISSN Kurniawan 1) AKUATIK-Jurnal Sumberdaya Perairan ISSN 1978-1652 ANALISIS POTENSI DAN DEGRADASI SUMBERDAYA PERIKANAN CUMI-CUMI (Urotheutis chinensis) KABUPATEN BANGKA SELATAN Analysis of Potential and Degradation of

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 37 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemanfaatan Kapasitas Penangkapan (Fishing Capacity) Dalam menganalisis kapasitas penangkapan purse seine berdasarkan bulan, data adalah data pendaratan ikan dari kapal-kapal

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA

VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 92 VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan 6.1.1. Analisis Kontribusi Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 38/08/14/Th.XIV, 2 Agustus 2013 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau Tanpa Migas Triwulan II Tahun 2013 mencapai 2,68 persen Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan II tahun 2013, yang diukur dari

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP

LAPORAN AKHIR RIA Seri: PERMENKP NO. 57 Tahun 2014 BALITBANG-KP, KKP REGULATORY IMPACT ASSESSMENT (RIA) PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER.30/MEN/2012 TENTANG USAHA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang

VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP. Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang VI. KARAKTERISTIK PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP.. Rumahtangga Nelayan Rumahtangga nelayan merupakan salah satu potensi sumberdaya yang berperan dalam menjalankan usaha perikanan tangkap. Potensi sumberdaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 6, No. 1, Mei 2015 Hal: 13-22 ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Bioeconomic Analysis

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara

Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28. Tengah Sumatera Utara Analisis usaha alat tangkap gillnet di pandan Kabupaten Tapanuli 28 Jurnal perikanan dan kelautan 17,2 (2012): 28-35 ANALISIS USAHA ALAT TANGKAP GILLNET di PANDAN KABUPATEN TAPANULI TENGAH SUMATERA UTARA

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH NUR ISNAINI RAHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya memiliki 570 jenis spesies ikan tawar dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu jenis ikan endemik

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PEMlKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dalam Pembangunan Wilayah Kesalahan mengadopsi konsep pembangunan dari luar yang dilaksanakan di masa Orde Baru terbukti telah

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU

PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU No. 24/05/14/Th.XV, 5 Mei 2014 PERKEMBANGAN EKONOMI RIAU Ekonomi Riau termasuk migas pada triwulan I tahun 2014, yang diukur dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2000, mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR

ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR ARAHAN LOKASI DAN STRATEGI PENGEMBANGAN TEMPAT PELELANGAN IKAN DI KAWASAN PESISIR UTARA KABUPATEN SIKKA NUSA TENGGARA TIMUR TUGAS AKHIR Oleh : FRANSISKUS LAKA L2D 301 323 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2012

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2012 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 33/05/21/Th. VII, 7 Mei 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2012 PDRB KEPRI TRIWULAN I TAHUN 2012 TUMBUH 7,63 PERSEN PDRB Kepri pada triwulan I tahun

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO. PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen

PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO. PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen No. 62/11/75/Th. VII, 6 November 2013 PERTUMBUHAN EKONOMI GORONTALO PDRB Gorontalo Triwulan III-2013 Naik 2,91 Persen PDRB Provinsi Gorontalo triwulan III-2013 naik 2,91 persen dibandingkan triwulan sebelumnya.

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja

Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Dinamika Pengembangan Subsektor Industri Makanan dan Minuman Di Jawa Timur: Pengaruh Investasi Terhadap Penyerapan Jumlah Tenaga Kerja Oleh: Putri Amelia 2508.100.020 Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Ir. Budisantoso

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2010

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2010 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 214/11/21/Th.V, 5 Nopember 2010 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2010 PDRB KEPRI TRIWULAN III TAHUN 2010 TUMBUH 1,23 PERSEN PDRB Kepri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2009

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2009 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No.145/11/21/Th.IV, 10 November 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN III TAHUN 2009 PDRB KEPRI TRIWULAN III TAHUN 2009 TUMBUH 1,90 PERSEN PDRB Kepri pada triwulan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN

PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN 7 Desember 2016 PERTUMBUHAN EKONOMI TAHUN 2015 KABUPATEN BANGKA SELATAN EKONOMI TAHUN 2015 TUMBUH 4,06 PERSEN MELAMBAT SEJAK EMPAT TAHUN TERAKHIR Perekonomian Kabupaten Bangka Selatan tahun 2015 yang diukur

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru.

3 METODOLOGI. Gambar 2 Peta Selat Bali dan daerah penangkapan ikan lemuru. 3 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama bulan Juli 009 di Pelabuhan Perikanan Pantai Muncar - Perairan Selat Bali, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Perairan Selat Bali terletak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

8 KESIMPULAN DAN SARAN

8 KESIMPULAN DAN SARAN 171 8 KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian untuk disertasi ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: (1) Kondisi perikanan tangkap di lokasi penelitian menunjukkan bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 16 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Halmahera Utara sebagai salah satu kabupaten kepulauan di Provinsi Maluku Utara, memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang sangat potensial untuk dikembangkan.

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN 1 ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2, Tridoyo Kusumastanto 3, dan Moch. Prihatna Sobari 4 PENDAHULUAN Aktivitas penangkapan ikan di Perairan Teluk

Lebih terperinci

BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI

BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI BADAN PUSAT SATISTIK PROPINSI KEPRI No. 96/02/21/Th. IV / 16 Februari 2009 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU PDRB KEPRI TAHUN 2008 TUMBUH 6,65 PERSEN PDRB Kepri pada tahun 2008 tumbuh sebesar 6,65 persen,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON

KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 2 No. 3, Desember 2015: 181-190 ISSN : 2355-6226 E-ISSN : 2477-0299 KEBIJAKAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KOTA AMBON 1* 2 2 Ahadar Tuhuteru,

Lebih terperinci

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah)

Tabel PDRB Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan 2000 di Kecamatan Ngadirejo Tahun (Juta Rupiah) 3.14. KECAMATAN NGADIREJO 3.14.1. PDRB Kecamatan Ngadirejo Besarnya Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kecamatan Ngadirejo selama lima tahun terakhir dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 3.14.1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan alam yang dimiliki oleh Negara ini sungguh sangat banyak mulai dari yang terdapat di daratan hingga di lautan. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008

PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 BPS PROVINSI DKI JAKARTA No. 31/08/31/Th. X, 14 Agustus 2008 PERTUMBUHAN EKONOMI DKI JAKARTA TRIWULAN II TAHUN 2008 Secara total, perekonomian DKI Jakarta pada triwulan II tahun 2008 yang diukur berdasarkan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2011 BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU No. 30/05/21/Th.VI, 5 Mei 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI KEPULAUAN RIAU TRIWULAN I TAHUN 2011 PDRB KEPRI TRIWULAN I TAHUN 2011 TUMBUH 0,23 PERSEN PDRB Kepri pada triwulan I tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (nomor kep. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara kelautan dengan kekayaan laut maritim yang sangat melimpah, negara kepulauan terbesar di dunia dengan garis pantai yang terpanjang

Lebih terperinci